BAB III KONSEP PERANCANGAN MUSEUM BAMBU DI BANDUNG 3.1
Tema
Museum Bambu merupakan tempat untuk memamerkan benda koleksi berupa tumbuhan bambu dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, benda koleksi ini merupakan satu faktor utama yang menjadi daya tarik pada Museum Bambu ini. Tentunya tema desain yang dipilih harus mencakup pada benda yang dipamerkan pada museum ini. Tema desain mengacu pada benda koleksi akan membantu peranan dari pemaparan koleksi sehingga koleksi yang dimiliki menjadi pusat perhatian. Berikut faktor-faktor yang menjadi batasan dalam pemilihan tema yaitu: -
Materi koleksi mengenai bambu
-
Materi koleksi mewakili bambu di Indonesia yang terpenting
-
Materi bambu sebagai cagar budaya
Faktor-faktor diatas menjelaskan bahwa tema harus mewakili bambu sebagai cagar budaya yang keberadaanya mendunia. Tema yang dipilih untuk Museum Bambu ini adalah “ Menjelajahi dan memahami dunia bambu sebagai cagar budaya”.
3.2
Penggayaan Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kawasan asia yang memiliki beraneka ragam kebudayaan dengan hasil alam yang memiliki pengaruh didalamnya. Unsur manusia dan lingkungan memang tidak bisa dipisahkan dalam suatu kebudayaan sehingga dengan perkembangannya terdapat sebuah hasil budaya dalam hal ini bentuk bangunan dan interior bangunan tradisional yang sarat dengan makna. (Srihartati: 2001)
52
Pada perancangan Museum Bambu di Bandung ini akan di terapkan pemahaman mengenai proses perancangan tradisional untuk kemudian diadaptasi dalam wujud yang lebih modern yaitu Neo Vernakular Sunda, selain itu penggayaan pada Museum Bambu ini mengacu pada letak geografis museum, dan benda koleksi yang di pamerkan. Musem bambu ini terletak di kota Bandung dan bambu merupakan material alam yang memang berasal dari kawasan asia sehingga penggayaan yang diambil pada Museum Bambu ini adalah Neo Vernakular Sunda
Vernakular adalah suatu model individual yang dimodifikasi. (Amos Rapoport dalam Srihartati:2001). Dari penjelasan diatas bahwa Vernakular merupakan arsitekur yang bersumber dari rakyat yang asli dan murni. Dengan perkembangannya terdapat pengaruh dari arsitektur modern yang berkembang pada masa modernisasi. Menurut McLaine-Pont, “Keharusan mengawinkan unsur budaya setempat dengan arsitektur modern” . Neo Vernakular
adalah lahirnya suatu karya yang terbuka pada arsitektur
modern tetapi juga menyesuaikan dengan kebudayaan setempat. Dalam penerapanya Neo Vernakular digunakan sebagai pedoman tidak sematamata menggunakan teknologi yang canggih dan estetika, tetapi juga merupakan kesesuaian antara karya arsitektur dengan kebudayaan setempat, dan terciptanya keseimbangan antara lingkungan dan teknologi. Sehingga Neo Vernakular merupakan salah satu solusi desain dalam menghadapi modernisasi.
Kata Sunda sendiri memiliki berbagai pengertian, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur sedangkan bagian tenggara dinamakan sahul. (R.W Van Bemelem dalam Suryadi,2008: 47). Terdapat pengertian lain mengenai arti kata sunda. Sunda merupakan wilayah di bagian pulau jawa dengan berbagai aktivitas kehidupan yang muncul pada awal abad ke 11 Masehi. (Suryadi,2008: 47)
53
Sehingga
berdasarkan
penjelasan
diatas,
Neo
Vernakular
Sunda
merupakan sebuah proses perancangan yang berpegangan pada teknologi modern yang disesuaikan dengan kebudayaan Sunda dan aktivitas kehidupan masyarakat Sunda. 3.3
Konsep Perancangan 3.3.1
Konsep Ruang
Konsep ruang sangat identik dengan jenis sirkulasi yang digunakan. Sirkulasi menjadi salah satu bagian penting dalam museum karena sirkulasi akan membantu pengunjung dalam melihat benda koleksi, diharapkan dengan pemilihan sirkulasi yang baik benda koleksi yang ditampilkan akan terilhat semua sesuai cerita. Alur sirkulasi dapat diartikan sebagai “tali” yang mengikat ruang-ruang suatu bangunan atau suatu deretan ruang-ruang dalam maupun luar , menjadi saling berhubungan.(Ching 1996 :246). Berdasarkan penjelasan diatas sirkulasi memiliki fungsi untuk menghubungkan ruang yang satu dengan ruang yang lain sehingga menjadi satu kesatuan. Sirkulasi terdapat dengan beragam jenis organisasi ruang seperti
terpusat, linier, radial, cluster, grid.
Berikut penjelasan mengenai jeni- jenis organisasi ruang :
1. Organisasi Ruang Terpusat
Gambar 18 Organisasi Ruang Terpusat. Sumber : Ching 1996:205
Pusat : suatu ruang dominan dimana pengelompokan sejumlah ruang sekunder dihadapkan.(Ching 1996:205). Berdasarkan penjelasan diatas ruang yang menggunakan sirkulasi terpusat selalu terdapat ruang yang lebih dominan
54
sedangkan ruang-ruang diluanya memusatkan diri terhadap ruangan dominan tersebut.
2. Organisasi Ruang Linier
Gambar 19 Organisasi Ruang Linier. Sumber : Ching 1996:205
Suatu urutan linier dari ruang yang berulang-ulang. (Ching 1996:205).
Berdasarkan
penjelasan
diatas
ruang
yang
menggunakan sirkulasi linier cenderung terarah baik bentukan, sifat dan ukuranya dari ruang tersebut cenderung sama selain itu menggambarkan pergerakan bisa membelok tetapi sifat dan bentuk serta ukuran ruangnya tetap sama, ruang linier ini biasanya dihentikan oleh ruang dengan ukuran yang lebih dominan dari ruang-ruang yang berurutan tersebut.
3. Organisasi Ruang Radial
Gambar 20 Organisasi Ruang Radial. Sumber : Ching 1996:205.
Sebuah ruang yang menjadi acuan organisasi organisasi ruang yang berkembang menurut bentuk jari-jari. (Ching 1996: 205). Berdasarkan penjelasan diatas sirkulasi dengan menggunakan organisasi ruang radial merupakan penggabungan antara sirkulasi terpusat dan linier yang dimana pada pusatnya terdapat ruang yang dominan sedangkan ruang sekundernya
55
berurutan dan membentuk jari-jari dengan bentuk, sifat dan ukuran yang sama.
4. Organisasi Ruang Cluster
Gambar 21 Organisasi Ruang Cluster. Sumber : Ching 1996:205.
Ruang-ruang dikelompokan berdasarkan adanya hubungan atau bersama-sama memanfaatkan ciri atau hubungan visual. Berdasarkan penjelasan diatas dengan menggunakan sistem cluster keteraturan giometrisnya kurang sehingga cenderung menyebabkan terjadinya kerumunan.
5. Organisasi Ruang Grid
Gambar 22 Organisasi Ruang Grid. Sumber : Ching 1996:205.
Ruang-ruang diorganisir dalam kawasan grid struktural atau grid tiga dimensi lain. (Ching,1996:205) Berdasarkan penjelasan diatas dengan menggunakan pola grid lebih teratur bergantung pada titik yang telah ditetapkan.
Sirkulasi pada Museum Bambu ini menggunakan sirkulasi terpusat dan linier, pemilihan sirkulasi tersebut diterapkan
56
sesuai kebutuhan ruang. Terdapat berbagai ruang pada Museum Bambu ini dengan berbagai fungsi dan sirkulasi yang digunakan. Berikut ruang yang terdapat pada Museum Bambu :
1. Pada ruang pelayanan umum memfasilitasi kebutuhan umum seperti pelayanan tiket, penitipan barang dan ruang informasi sifat ruangan ini terbuka memiliki ruangan yang luas dan berarah sehingga bisa membawa pengunjung melewati alur pada museum ini. Sirkulasi yang digunakan terpusat.
2. Ruang pamer memfasilitasi untuk kegiatan meneliti, memberi pengetahuan dan rekreasi para pengunjung melihat benda koleksi pada Museum Bambu ini. Sirkulasi terpusat diterapkan pada ruang pamer penyebaran bambu agar benda pamer yang berada ditengah menjadi pusat perhatian sedangkan sirkulasi linier digunakan di bagian ruang pamer A hingga ruang pamer I agar ruangan dapat dilalui sesuai dengan pembagian ruang pamer yang disajikan.
3. Ruang pegawai sifat ruang terorganisir , karena selain terdapat privasi kerja selain itu agar terlihat rapih sesuai dengan kebutuhan kapasitas pegawai. Pada ruang staff menggunakan sirkulasi linier agas sirkulasinya berarah.
57
3.3.2
Konsep Bentuk
Gambar 23. Boboko (tempat nasi) Sumber : Dokumentasi penulis
Konsep bentuk yang diterapkan pada museum ini adalah penerapan dari bentuk boboko (tempat nasi) yang terbuat dari bambu dan bentuk dari senjata tradisional Sunda kujang karena dari kedua bentuk tersebut memiliki makna filosofi kehidupan suku Sunda.
Menurut Mamat Sasmita (Pendiri Rumah Baca Buku Sunda) dalam Satria (2010:8) pada boboko (tempat nasi) bentuknya yang unik, bentuk atasnya yang membulat dan bawahnya yang menggunakan alas berbentuk persegi merupakan filosofi hidup masyarakat Sunda yaitu “tekad kudu buleud, hidup kudu masagi” yang artinya menurut bahasa tekad harus bulat, dan hidup harus persegi, yang secara garis besar bisa diartikan kita harus mempunyai tekad yang teguh dan tidak goyah dan hidup kita harus teratur. Berdasarkan penjelasan diatas
bentuk boboko memiliki makna
yang dalam bagi masyarakat sunda yang memiliki semangat dan tekad yang tinggi juga kehidupan yang teratur, maka pada perancangan museum ini akan menggunakan stilasi bentuk boboko agar dapat mendukung penggayaan yang diususng yaitu Neo Vernakular Sunda, berikut penerapan konsep bentuk pada perancangan Museum Bambu di Bandung: Bentuk awal dan Gambar 24. Bentuk Awal Boboko Sumber : Dokumentasi penulis
58
Bentuk yang diterapkan pada Museum Bambu ini 1.
2.
Gambar 25. Penerapan Bentuk Pada Museum Bambu Sumber : Dokumentasi penulis
Selain itu pula terdapat beberapa aplikasi bentuk kujang yang merupakan senjata khas Jawa Barat. Yang dapat memberikan kesan Sunda pada ruangan. Selain itu kujangpun memiliki filosofi Sunda yang disebut dengan tritangtu masyarakat Sunda. Konsep tritangtu itu seperti berikut : Skema 5 Tritangtu
Papatuk
Papatuk waruga
Tadah
Sumber : Suryadi, 2008 :164
Dari skema diatas kujang memiliki konsepsi tritangtu yang disakralkan adalah papatuk yang merupakan simbol monumental, esa, satu, sedangkan tadah memiliki arti menahan selain itu menjelaskan mengenai bumi yang dapat dipijak. Sedangkan waruga memiliki arti menyerang, mengiria dan menebas secara simbolik mengenai halnya langit dan bumi
yang saling
59
membutuhkan.
Sehingga kujang merupakan cerminan hidup
masyarakat Sunda yang hidup dari lingkungan berbukit dan berhuma, yang terdapat nilai kesejahteraan dan kedamaian. (Suryadi,2008: 164)
Penerapan bentuk akan diterapkan pada ruangan di Museum Bambu ini selain menambah kesan sunda bentuk kujang akan menambah keindahan didalam ruang pada Museum Bambu ini.
3.3.3 Konsep Warna Penggunaan warna interior pada museum sangat penting selain sebagai
mewakili
pencitraan
museum,
warna
juga
dapat
mempengaruhi pengunjung secara psikologis. Pada perancangan museum ini diterapkan warna hangat sebagai warna utama seperti warna coklat muda dan coklat tua,dan warna putih, sedangkan warna hijau digunakan sebagai aksentuasi pada ruang.
Warna coklat merupakan warna yang netral yang natural, hangat membumi dan stabil, menghadirkan kesan anggun dan elegan. Dapat memberi keyakinan dan rasa aman, warna coklatbwarna yang akrab dan menyenangkan. (Gon,dkk, 2008:29). Selain itu adapula fungsi warna sebagai pengaruh dalam pembentuk rangsangan bagi sifat dan emosi manusia seperti yang dikatakan David dalam Dharmaprawira (2002:38) Coklat : hangat tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, rendah hati. Berdasarkan penjelasan diatas warna coklat akan diterapkan di ruang-ruang pada museum bambu ini agar dapat menimbulkan kesan akrab dan dapat membuat pengunjung lebih nyaman sehingga warna ini akan diterapkan pada ruang pamer musem bambu ini dengan maksud dapat memberikan ketenangan pada pengunjung saat menikmati benda koleksi.
60
R : 96, G : 57, B: 15
R : 165, G : 124 B: 32
R : 255, G : 255, B: 255
C: 40, M : 70, Y: 100 K: 50
C: 10, M : 36, Y: 62, K: 31
C: 0, M : 0, Y: 0, K: 0
Gambar 26. Penerapan Warna Dominan Pada Museum Bambu Sumber : Dokumentasi penulis
Pada Museum Bambu ini akan diterapkan pula warna putih sebagai warna yang dominan pada seluruh ruang di Museum Bambu ini karena warna putih memiliki karakter. Putih melambangkan kemurnian dan kepolosan, meberikan perlindungan ketentraman, kenyamanan, dan memudahkan refleksi. Selain itu terdapat pendapat lainnya mengengenai warna putih, seperti yang diungkapkan oleh David dalam Dharmaprawira (2002:38), putih : senang, harapan, murni, lugu, bersih, spiritual, cinta, terang.
Kemudian untuk aksen dipilh warna hijau. Hijau selalu di identikan dengan warna alam yang mengegarkan, membangkitkan energi dan juga mampu memberikan efek menenangkan. (Gon,dkk, 2008: 29). Sehingga penerapan warna hijau pada Museum Bambu ini untuk memberikan penyegaran di dalam museum agar terhindar dari perasaan membosankan dan dapat memberikan kesan lebih dekan dengan alam agar dapat berkesinambungan dengan benda koleksi yang ditampilkan yaitu bambu.
R : 0, G : 166, B: 94 C: 86, M : 7, Y: 85 K: 1
Gambar 27. Penerapan warna aksentuasi pada museum bambu Sumber : dokumentasi penulis
61
3.3.4
Konsep Material Pada museum bambu ini material yang digunakan pada museum ini adalah terbagi menjadi tiga yaitu material dinding, ceiling dan lantai. Material pada ceiling menggunakan papan gypsum dan beberapa treatment ceiling menggunakan bilah bambu dan anyaman bilil sasag ganda, seperti gambar berikut :
Papan gypsum
Bilah Bambu
Anyaman sasag ganda
Gambar 28. Material Ceiling Sumber: Dokumen penulis dan www. google.com
Pada material dinding digunakan material alami yang dapat memberikan kesan natural dan terdapat pula material fabrikasi yang menambah kesan modern untuk mengusung penggayaan Neo Vernakular Sunda, berikut material dinding yang digunakan pada museum bambu :
anyaman sasag ganda ijuk
bilah bambu
Stainless steel Gambar 29. Material Dinding Sumber: Dokumen penulis dan www. google.com
Pada lantai masih digunakan material yang natural yang memanfaatkan dari pengolahan bambu itu sendiri seperti
62
penggunaan parket bambu. Terdapat pula material fabrikasi yang digunakan pada Museum Bambu ini.
Parket bambu
bilah bambu
marmer marbela
plur
Gambar 30. Material Lantai Sumber: Dokumen penulis dan www. google.com
3.3.5
Konsep Penghawaan Penghawaaan dalam suatu museum sangat diperlukan perhatian khusus baik bagi objek yang dipamerkan, ruang penyimpann benda koleksi, hingga ruang pengunjung dan pengelola. Kedaan suhu yang
terdapat
diluar
bangunan
yang
tidak
stabil
dapat
mempengaruhi suhu di dalam ruangan, sehingga suhu di dalam ruangan dapat distabilkan dengan menggunakan penghawaan buatan. Penghawaan pada Museum Bambu ini menggunakan dua macam penghawaan, yaitu penghawaan buatan dan penghawaan alami.
Penghawaan buatan dengan mengunakan AC (air conditioning). Pada setiap ruangan terdapat perbedaan suhu, untuk benda koleksi sebaiknya menggunakan suhu 25 derajat hingga 27 derajat celcius, untuk benda koleksi yang disimpan menggunakan suhu 23 derajat celsius. Sedangkan untuk pengunjung dan pengelola menggunakan suhu 25 hingga 27 derajat celcius. (Yudhistira, 2004 : 50).
3.3.6
Konsep Pencahayaan Pada ruang pamer pencahayaan yang dipilih dua yaitu pencahayaan alami dan buatan, pencahayaan alami digunakan pada siang hari 63
hampir setiap ruangan memanfaatkan pencahayaan buatan kecuali ruang pamer, ruang pamer menggunakan pencahayaan temaram dan
beberapa
bagian
menggunakan
pencahayaan
khusus
menggunakan LED, spot light dan downlight dengan warna warm white, besaran cahaya bergantung pada benda pamer yang ditampilkan.
Pada ruangan lain menggunakan pencahayaan yang menyeluruh dan terang karena terdapat kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan cahaya yang cukup seperti pada ruang staff dan kurator.
3.3.7
Konsep Keamanan
Pada Museum Bambu ini akan diterapkan sistem keamanan agar terciptanya keamanan bagi benda koleksi museum, pengenola meseum, pengunjung dan Museum bambu itu sendiri, sehingga keamanan terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
A. Keamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan cara : 1. Penggunaan sitem pendeteksian terhadap asap dan api 2. Pemggunaan sprinkler B. Keamanan terhadap bahaya pencurian tingkah laku pegunjung 1. Pengadaan pos pengawas dalam ruang pamer 2. Penggunaan Closed Circuit TeleVision (CCTV), sehingga terhindarnya benda koleksi dari tidak pencurian. C. Keamanan dari gangguan manusia, kondisi cuaca serta gangguan serangga 1. Penggunaan pembatas keamanan pada media penyimpanan, pada perancangan Museum Bambu ini menggunakan dua jenis pembatas, semu dan tidak semu. Salah satu pembatas semu dengan menggunakan perbedaan pola dan ketinggian lantai pada area perletakan media penyimpanan benda
64
koleksi.
Sedangkan
pembatas
tidak
semu
dengan
menggunakan perbatas seperti kaca yang dapat terlihat dengan jelas oleh pengunjung museum 2. Mengatasi gangguan kondisi cuaca untuk material yang bersifat organik menggunakan suhu yang sesuai dengan objek yang dipamerkan. 3. Menghindari dari serangan serangga yaitu dengan cara fumigasi menggunakan gas pembasmi serangga. 3.3.8
Konsep Pemilihan Media Penyimpanan Benda Koleksi Pada museum bambu ini dipilih empat media penyimpanan museum yaitu: 1. Diorama diperuntukan untuk benda koleksi yang disajikan dengan rekonstruksi kegiatan yang sebenarnya dengan skala sebenarnya, agar terciptanya penghayatan saat menyaksikan penjelasan peristiwa tersebut. 2. Panel yang merupakan media berbentuk pipih yang digunakan untuk memberikan keterangan mengenai benda koleksi yang bersifat dua dimensi, pemilihan berdasarkan hal-hal yang informasi tertulis dan gambar. 3. Vitrin, lemari pajang menggunakan kaca yang diperuntukan bagi benda-benda koleksi yang memiliki tingkat bahaya seperti benda tajam dan alat pemotong bambu, hal tersebut dilakukan agar terjaganya keamanan bagi pengunjung 4. Pedestal, media penyimpanan benda koleksi yang digunakan bagi benda koleksi yang memiliki satu kesatuan seperti alat-alat musik, agar bisa dinikmati secara utuh.
65