KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra’ Ayat 23-24)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh : KHASAN FARID NIM: 063111029
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Khasan Farid
NIM
: 063111029
Jurusan/Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya. Semarang, 02 Juni 2011 Saya yang menyatakan,
Khasan Farid NIM: 063111029
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Telp/Fax 7601295, 7615387 Semarang 50185 PENGESAHAN Naskah skripsi dengan: Judul
: Konsep Pendidikan Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra‟ Ayat 23-24)
Nama
: Khasan Farid
NIM
: 063111029
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam siding munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiya IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam. Semarang, 28 Juni 2011 DEWAN PENGUJI Ketua,
Sekretaris,
Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag. NIP: 19600524 199203 1 001
Hj. Nur Asyiah,M.Si. NIP: 1971026 199803 2 002
Penguji I,
Penguji II,
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd. NIP: 19520208 197612 2 001
Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag. NIP: 19681212 199403 1 003
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.Dr. HM. Erfan Soebahar, MA. NIP: 19560624 198703 1 002
Drs. Ikhrom, M.Ag. NIP:19650329199403 1 002
iii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Semarang, 01 Juni 2011 Lamp : 4 (Empat) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Khasan Farid
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara: Nama : Khasan Farid NIM : 063111029 Judul : KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas al-Qur‟an Surat alIsra‟ Ayat 23-24) Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. HM. Erfan Soebahar, MA. NIP. 19560624 198703 1 002
Drs. Ikhrom, M.Ag. NIP. 19650329 199403 1 002
iv
ABSTRAK
Judul
: Konsep Pendidikan Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra‟ Ayat 23-24)
Penulis : Khasan Farid NIM
: 063111029
Skripsi ini membahas konsep pendidikan bagi anak dan orang tua. Kajiannya dilatarbelakangi oleh hubungan anak dan orang tua serta peranannya masing-masing dalam keluarga. Studi ini di maksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam keluarga? (2) Bagaimana gambaran al-Qur‟an tentang pendidikan etika bagi anak dan orang tua? (3) Bagaimana konsep pendidikan etika bagi anak dan orang tua? Permasalahan tersebut melalui studi pustaka karena kajian berkaitan dengan pemahaman al-Qur‟an dalam surat al-Isra‟ ayat 23-24. Sumber data digolongkan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber primer yang diperoleh dari al-Qur‟an dan Tafsir Maraghi, Tafsir Ibn Kastir, tafsir al-misbah dan lain sebagainya, sedang data sekunder diperoleh dari buku etika mendidik anak sholeh, anak soleh, pola komunikasi orang tua dan anak dalam keluarga dan lain sebagainya. Dalam menganalisis data menggunakan metode tafsir tahlili dan metode tafsir tematik. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Pendidikan etika diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dan menumbuhkan kepribadian yang baik. Pendidikan ini memberikan anak untuk menjadi pribadi kokoh yang seutuhnya. Hal ini keluarga yang terutama dalam memberikan pola asuh serta dasar-dasar pendidikan kepada anak. Lingkungan dan kebiasaan mempengaruhi dalam pergaulan anak. (2) Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 23-24 telah menjelaskan mengenai pendidikan etika bagi anak dan orang tua. Anak harus mempunyai etika yang benar kepada orang tua dari perkataan maupun perbuatan. Dalam keadaan masih hidup atau telah meninggal dunia dan telah mencapai usia lanjut dalam pemeliharaan anak. Anak diperintahkan untuk memiliki sikap dan sifat yang baik kepada orang tua. (3) Konsep pendidikan etika bagi anak dan orang tua merupakan hak dan kewajiban serta peranannya dalam keluarga. Anak mempunyai perilaku yang baik berawal dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Pendidikan etika bagi anak adalah kewajiban anak untuk menghormati dan menghargai serta birrul walidain kepada orang tua. Pendidikan etika bagi orang tua merupakan kewajiban orang tua dalam merawat dan mendidik anak dalam mengembangkan potensi serta mempunyai karakter yang baik. Komunikasi dalam keluarga sangat ditekankan supaya hak dan kewajiban masingmasing antara anak dan orang tua bisa diterapkan dalam kehidupan.
v
MOTTO
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".” (Q.S. al-Isra‟/17:23-24)1
1
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, t.th), hlm. 542.
vi
TRANSLITERASI ARAB LATIN Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/Untuk1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-) disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya. a
t}
b
z}
t
‘
s|
gh
j
f
h}
q
kh
k
d
l
z|
m
r
n
z
w
s
h
sy
’
s}
y
d} Bacaan madd:
Bacaan diftong:
a>
= a panjang
= au
i>
= I panjang
= ai
u>
= u panjang
vii
PERSEMBAHAN Persembahan buat ayanda dan ibunda tercinta (Bapak Basari dan Ibu Asmiyati) Persembahan buat pengasuh Pondok Pesantren Rahmatan Lil ‘Alamin Mijen Semanrang, KH Muhammad Nasir Muhyi beserta keluarga Persembahan buat kakak Chusni Muchayanah beserta suami Imron Achadi, serta adek Achmad Saiful dan keponakan Restu Fyona Ratnasari Persembahan buat Ustadz dan temen- temen di pondok pesantren Rahmanatan Lil ‘Alamin Mijen Semarang(Ust. Imam, Ust. Ubay, Ust. Ali, Ust. Zaenuri, Ust. Udin, Ust. Hamzah,Ust. Aziz, Ust. Basir, Ust. Paul, Ust. Hanafi, kang bustom, kang karyoto, kang Joman, kang kasyoko, kang yanto, kang taqrib, Kang Maman, Kang Suhardiman, Kang Tobari, Kang Ibni, Kang Halimi, Fahmi, Oky, Anam, Rafi sama Furqon)
viii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan kemudahan yang telah dan akan selalu diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al Isra‟ Ayat 23-24)” dengan baik tanpa menemui kendala yang berarti. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan, baik berupa moral maupun spiritual, dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada : 1. Dr. Suja‟i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.. 2. Prof. Dr. HM. Erfan Soebahar, MA, selaku dosen pembimbing I dan Drs. Ikhrom, M.Ag, selaku pembimbing II terima kasih sebanyak-banyaknya atas bimbingan dan arahannya serta kemudahan yang diberikan dengan sabar, teliti dan tulus, serta telah bersedia meluangkan waktunya. 3. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (Bapak Basari dan Ibu Asmiyati), dengan ketulusan kasih sayangnya semoga Allah membalas dengan keindahan surga-Nya, amin. Dan semoga penulis bisa menjadi anak yang sholeh. Tidak lupa juga kakakq mas Imron Ahadi, mb Chusni Muchayanah, dan adekku Achmad Saiful,, Restu Fyona Ratnasari. 4. Yang mulia kepada pengasuh Pondok Pesantren Rahmatan Lil „Alamin Mijen Semarang, KH. Muhamad Nasir Muhyi (Gus Nasir) beserta keluarganya, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingannya serta semoga ilmu yang telah diberikan kepada penulis barokah dan manfaat di dunia dan akhirat. 5. Teman-teman santri Pondok Pesantren Rahmatan Lil „Alamin Mijen Semarang, baik santri salaf atau dikenal dengan sebutan F-MIB (Forum
ix
Muslim Indonesia Bersatu) dan akademik dalam belajar menuntut ilmu dan mensyiarkan agama Islam, dengan target Islam jaya di Indonesia. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung selalu memberi bantuan, dorongan dan do‟a kepada penulis selama melaksanakan studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Harapan penulis, semoga amal kebaikan mereka mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Tidak lupa juga mengharap saran dan kritik konstruktif dari pembaca demi sempurnanya skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat nyata bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 02 Juni 2011 Penulis,
Khasan Farid NIM. 063111029
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................
ii
PENGESAHAN ..........................................................................................
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................................
iv
ABSTRAK .................................................................................................
v
MOTTO ......................................................................................................
vi
TRANSLITERASI ......................................................................................
vii
PERSEMBAHAN .......................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Penegasan Istilah ....................................................................
8
C. Rumusan Masalah ...................................................................
9
D. Tujuan Penelitian ....................................................................
10
E. Kajian Pustaka.........................................................................
10
F. Kerangka Teoritik ...................................................................
11
G. Metode Penelitian....................................................................
13
H. Sistematika Pembahasan .........................................................
15
BAB II : PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA DALAM KELUARGA A. Pendidikan Etika .....................................................................
17
1. Pengertian Pendidikan Etika .............................................
17
2. Penilaian Baik dan Buruk.................................................
21
3. Ukuran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika .............
23
4. Aliran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika ...............
28
xi
B. Anak terhadap Orang Tua dalam Keluarga .............................
30
1. Keluarga sebagai Institusi Pendidikan ..............................
30
2. Fungsi Keluarga ...............................................................
31
3. Pola Asuh Orang Tua .......................................................
34
4. Kewajiban anak ................................................................
38
BAB III : GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA A. Lafadz dan Terjemahannya ....................................................
40
B. Arti Mufrodat ..........................................................................
43
C. Munasabah ..............................................................................
43
D. Pendapat Para Mufassir ...........................................................
46
E. Telaah Isi kandungan surat al-Isra‟ ayat 23-24 menurut para mufasir.....................................................................................
58
BAB IV : ANALISIS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA A. Pendidikan Etika Anak Terhadap Orang Tua .........................
60
B. Pendidikan Etika Orang Tua Terhadap Anak .........................
71
C. Pendidikan Etika Bagi Keduanya............................................
79
BAB V : PENUTUP D. Simpulan .................................................................................
83
E. Saran-Saran ............................................................................
85
F. Penutup....................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Karena hal ini potensi dapat dididik dan mendidik.1 Pendidikan dalam Islam berdasarkan pada al-Qur’an2 dan hadist.3 Al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam pendidikan Islam karena mengandung konsep yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Secara garis besar, ajaran dalam alQur’an terdiri dari dua prinsip, yaitu yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah.4 Keimanan merupakan keyakinan yang ada dalam hati manusia. Sedangkan amal merupakan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama dan lingkungan, serta dapat dikatakan bahwa amal merupakan aktualisasi dari iman. Manusia adalah makhluk yang sangat menarik, oleh karena itu manusia menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya.5 Pendidikan untuk memelihara dan membina hubungan baik sesama manusia dengan mengembangkan cara dan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama sesuai dengan nilai dan norma agama.6 Hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dapat dipelihara dengan cara saling membantu, suka memaafkan orang lain, lapang 1
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 16.
2
Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang tertulis dalam bentuk mushaf terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6666 ayat yang berisi tentang petunjuk serta pedoman bagi manusia. 3
Hadits merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad baik secara ucapan, perbuatan dan taqrir. 4
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 19.
5
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 10. 6
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam , hlm. 370.
1
2
dada, serta menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Ciri
utama manusia adalah memiliki perilaku yang baik
berdasarkan norma yang berlaku. Dalam Islam prioritas perilaku maupun akhlak sangat penting, selain dilihat dari Sunnah Nabi yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan manusia sendiri juga diberi kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk.7 Oleh karena itu Allah SWT menciptakan manusia dengan ciptaan yang terbaik dan dilengkapi akal pikiran. Dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang lebih bagus dari pada makhluk lain, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan. Dalam diri manusia terdapat sesuatu yang tidak ternilai harganya, sebagai anugerah Allah yang diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu "akal". Sekiranya manusia tidak diberi akal niscaya keadaan dan perbuatan akan sama dengan hewan. Dengan adanya akal, segala anggota manusia, gerak dan diamnya, semua berarti dan berharga. Islam merupakan agama ilmu dan akal, sehingga sebelum Islam membebankan umatnya memperoleh kepentingan dunia, Islam lebih dahulu mewajibkan untuk mencerdaskan akal, sehingga hidup sejalan dengan semangat al-‘adalah (keadilan), al-haq (kebenaran), dan al-mashalih al-ammah (kemaslahatan umum).8 Mengenai pemberian akal terhadap manusia, Allah telah berfirman dalam Q.S. An-Nahl: 78
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur, (Q.S. An-Nahl/16 : 78).9
7
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 19.
8
Ibnu Husein, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang :Pustaka Nuun, 2004), hlm. 36.
9
Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hlm. 542.
3
Ayat di atas menggunakan kata ( )السمعyang berarti pendengaran dengan bentuk tunggal dan menempatkannya sebelum kata ( )اال بصبرatau penglihatan-penglihatan yang berbentuk jamak serta ( )اال فئدةyang berarti aneka hati. Menurut M. Quraish Shihab kata al-af’idah adalah bentuk jamak dari kata ( )فؤادfu’ad yang berarti aneka hati atau akal. Didahulukan kata pendengaran atas penglihatan merupakan perurutan yang sungguh cepat, karena memang ilmu kedokteran membuktikan bahwa indra pendengaran berfungsi mendahului indra penglihatan. Kata ( )التعلمون شيئبdijadikan sebagai bukti bahwa manusia lahir tanpa sedikit pengetahuan pun. Manusia bagaikan lertas putih yang belum dibubuhi satu huruf pun. Hal ini pengetahuan manusia diperoleh dengan upaya manusiawi.10 Melihat betapa pendidikan memegang peranan yang penting dalam menentukan moral bangsa, maka tidak dapat disalahkan apabila pendidikan yang gagal merupakan penyebab terjadinya dekadensi moral. Pendidikan akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan akhlak Islam berarti juga menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan menanamkan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika berpredikat muslim benar-benar menjadi penganut agama yang baik seharusnya menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap tercurahkan. 11 Pendidikan etika merupakan proses membimbing serta terdapat arahan yang benar bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan membentuk hati nurani yang baik melalui suatu ajaran maupun keteladanan seseorang.12 Namun dalam proses pendidikan etika untuk membentuk manusia dipengaruhi 10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol. 7, hlm. 303.
11
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an ,(Jakarta: Amzah, 2007),
hlm. 19. 12
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Pendidikan Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 56.
4
oleh hal-hal yang tidak hanya oleh komponen-komponen yang ikut terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan etika, seperti kurikulum, metode pengajaran, akan tetapi faktor-faktor yang terdapat dalam diri anak, seperti keminatan, karakter dan sifat-sifat bawaan termasuk di dalamnya tentang hereditas. Ajaran pendidikan ini membahas tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, dalam memberikan latihan mental maupun fisik dalam melaksanakan suatu tugas sebagai manusia yang mempunyai potensi untuk menumbuhkan kepribadian yang lebih baik, dengan cara mendidik, kecerdasan berpikir baik dan memberikan latihan mengenai suatu etika harus bersifat formal maupun informal. Dalam hal ini akal berperan penting dalam daya pikirannya untuk memecahkan dan menemukan suatu kehidupan menjadi lebih baik dan mengikuti norma-norma yang ada. Pendidikan etika erat hubungannya dengan tanggapan hidup, maka dari itu suatu latihan untuk membentuk suatu kebiasaan serta memberikan teladan baik merupakan suatu keharusan cara pendidikan etika dalam praktik. Hal ini disebabkan pengaruh pembawaan dan lingkungan dalam menentukan kepribadian yang baik saling terkait yang tidak dapat dipisahkan. Pembawaan tidak dapat begitu saja diubah oleh kondisi lingkungan dan tidak dapat diciptakan, lingkungan juga tidak dapat lepas dari pengembangan pembawaan. Kurang adanya dukungan kondisi pembawaan dan lingkungan akan berakibat kurang maksimalnya suatu kepribadian yang baik dalam pendidikan etika. Pendidikan etika dalam Islam merupakan suatu pendidikan baik secara jasmaniah maupun rohaniah sehat dan mampu diwujudkan dalam kehidupan manusia menjadi pendidikan budi pekerti dan tingkah laku yang baik serta berilmu pengetahuan, beragama, berbudaya dan beradab. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam memberikan suatu perhatian kepada manusia terkait dengan suatu baik dan buruknya perbuatan. Tentunya terdapat tujuan yang benar berdasarkan sumber ajaran Islam untuk menciptakan manusia yang mempunyai etika. Tidak adanya suatu pegangan dalam kehidupan manusia akan berdampak rendahnya derajat manusia.
5
Anak merupakan dambaan bagi setiap orang tua, kehadirannya sangat dinantikan setiap keluarga, sebagai penerus keturunan orang tua. Disisi lain anak adalah amanah dan anugerah Allah SWT, sebagai orang tua bertanggung jawab untuk merawat, mengasuh dan mendidiknya agar menjadi insan kamil, insan yang bertaqwa kepada Allah SWT, sehat jasmani, rohani dan berguna bagi keluarga dan masyarakat. Dalam memperhatikan anak seharusnya dilihat secara keseluruhannya, dari pendidikannya, pergaulan, serta masa depannya. Dengan harapan sebagai orang tua, anak mampu menjadi manusia yang bisa bertanggung jawab apa yang dilakukannya. Orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian. Tak seorang pun dapat menceraiberaikannya. Ikatan itu dalam bentuk hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku.13 Meskipun suatu saat misalnya, ayah dan ibu mereka sudah bercerai karena suatu sebab, tetapi hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak terputus. Sejahat-jahat ayah adalah tetap orang tua yang harus dihormati. Lebih terhadap ibu yang telah melahirkan dan membesarkan. Bahkan dalam perbedaan keyakinan agama sekalipun antara orang tua dan anak, maka seorang anak tetap diwajibkan menghormati orang tua sampai kapanpun. Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan, dan mendidiknya. Seorang ibu yang telah melahirkan tanpa ayahpun memiliki naluri untuk memelihara, membesarkan, dan mendidiknya, meski terkadang harus menanggung beban malu yang berkepanjangan. Sebab kehormatan keluarga salah satunya ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak nama baik keluarga dipertahankan. Seorang anak menurut ajaran Islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam kejadian
13
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam Keluarga, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 27.
6
bagaimanapun. Karena hal itu merupakan bentuk etika seorang anak terhadap orang tua yang telah berjasa besar kepadanya.14 Dalam kajian ini adalah al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24 yang berbunyi:
a “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”, (Q.S Al-Isra’/17: 23-24).15 Ayat di atas mengandung perintah kewajiban untuk mengEsakan Allah SWT, serta berbuat baik terhadap orang tua baik dari segi perkataan, perbuatan dan perintah perkataan yang mulia kepada mereka. Ini berbeda dengan perkataan yang benar, meskipun apa yang disampaikan benar namun perkataan mulia lebih utama dan diharapkan dalam berkomunikasi kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan suatu akhlak atau etika kepada Allah SWT dan orang tua. Tentunya sangat disadari semua itu ajakan bagi kaum muslimin dalam ibadah, mengikhlaskan diri, tidak mempersekutukan-Nya dan memperlakukan sebaik mungkin sesuai anjuran al-Qur’an terhadap orang tua.16 Namun dalam kajian penelitian ini menfokuskan nilai pendidikan yang 14
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 204.
15
Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hlm.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 443.
542
7
terdapat dalam ayat tersebut, di antaranya menyangkut birrul walidain (berbuat baik terhadap orang tua) dalam segi perbuatan maupun perkataan yang sopan serta peranan kedua orang tua dalam keluarga.
“Manusia wajib mengingat nikmat yang telah diberikan oleh kedua orang tua agar supaya bisa bersyukur atas nikmat tersebut, dan wajib mematuhi segala perintah kedua orang tua kecuali dalam hal maksiat, dan duduk bersama mereka dengan khusyu’, dan tidak menyakiti mereka meskipun hanya dengan perkataan uf dan tidak diperkenankan berselisih pendapat dan jalan di depan mereka kecuali dengan khidmat namun mendo’akan mereka dengan rahmat dan maghfiroh, serta amar ma’ruf nahi munkar supaya menjadi sebab keselamatannya. Kalam yang tidak menimbulkan manfaat dan menolak kemadharatan maka kalam tersebut terdapat kebodohan dan kekurangan, oleh sebab itu sebaiknya manusia menjaga perkataan maupun perbuatannya apalagi terhadap kedua orang tua”. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dinamakan pertama karena dalam keluargalah seorang anak pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan. Begitu juga dikatakan utama, karena sebagian besar kehidupan anak dilalui dalam keluarga.19 Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak pada usia dini, karena pada usia-usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidiknya (orang tuanya dan anggota keluarga yang lain).20 17
Hafidh Hasan al-Mas’udi, Taisirul Akhlak Fi Ilmil Akhlak, (Semarang: Maktabah alAlawiyah), hlm. 6. 18
Sayyid Muhammad, at-Tahliyah wa Targhib Fi at-Tarbiyah Wat Tahdhib, (Surabaya: alHidayah), hlm .23. 19
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 38. 20
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 177.
8
Kepribadian dapat terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserap dalam pertumbuhan dan perkembangannya, terutama pada tahuntahun pertama dari umurnya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku orang tersebut akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan pada masamasa pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Betapapun sederhananya pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga tetaplah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Karena dari keluargalah pertumbuhan fisik dan mental anak dimulai. Bahkan dalam Islam, sistem pendidikan keluarga ini dipandang sebagai penentu masa depan anak.21 Kehadiran Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progesif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Al-Qur’an itulah yang menjadi landasan penegakan moral tersebut. Keberadaan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung pelajaran yang bersifat pendidikan.22 Islam dilengkapi dengan berbagai prasarana keilmuan akhirat yang akan membawa keselamatan di akhirat. Semua itu tidak lain karena didasari oleh sumber keilmuan yang paripurna, yaitu al-Qur’an al-Karim.23 Agama Islam adalah agama yang berpegang pada nilai akal. Dengan diberlakukannya hujah-hujah (dalil-dalil) yang didasarkan pada akal dalam menentukan hukum syari’at sehingga suatu ilmu yang didasari dengan nalar (kognitif). 21
Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),
hlm. 86. 22
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 19.
23
Rafy Sapuri, Psikologi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009). hlm. 8.
9
Ayat 23-24 surat al-Isra’ besar sekali manfaatnya berhubungan dengan pendidikan etika bagi anak berlaku pada umumnya dan semestinya terhadap orang tua hak dan kewajibannya. Sehubungan dengan ayat diatas, maka penulis termotivasi untuk lebih meneliti al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24. B. Penegasan Istilah Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis merasa perlu memberikan penjelasan beberapa istilah yang terkandung dalam judul skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q. S. al- Isra’ Ayat 23-24) 1. Konsep Konsep adalah rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Pengertian di sini ruang lingkup tentang suatu nilai terhadap pendidikan.24 2.
Pendidikan Etika Pendidikan etika adalah suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan mental dan fisik tentang etika dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal, sehingga menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan bertanggung jawab dalam masyarakat.25
3. Orang Tua Orang tua adalah “setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut ibu – bapak”.26
24
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 748. 25 26
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 57.
Thamrin Nasution, Peranan Orang Tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, (Jakarta: Gunung Mulia,1985), hal. 1.
10
4. Tafsir Tahlili Salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, yaitu ayat ke ayat, menguraikan kosakata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki serta kandungannya dan tidak mengabaikan asbabun nuzul, munasabah (hubungan) ayat-ayat al-Qur’an antara satu sama lain.27 C. Rumusan Masalah Dari kerangka penelitian dan latar belakang masalah diatas dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam keluarga? 2. Bagaimanakah gambaran al-Qur’an tentang pendidikan etika bagi anak dan orang tua? 3. Bagaimanakah konsep tentang pendidikan etika bagi anak dan orang tua ? D. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini tidak lepas dari pokok permasalahan di atas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendidikan etika anak terhadap orang tua dalam keluarga 2. Untuk mengetahui gambaran al-Qur’an tentang pendidikan etika bagi terhadap dan orang tua 3. Untuk mengetahui konsep tentang pendidikan etika bagi anak terhadap orang tua E. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah suatu istilah untuk mengkaji bahan atau literature kepustakaan (literature review). Bentuk kegiatan ini yaitu memaparkan dan mendeskripsikan pengetahuan, argumen, dalil, konsep, atau ketentuan-ketentuan yang pernah diungkapkan dan diketemukan oleh peneliti
27
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 42.
11
sebelumnya yang terkait dengan objek masalah yang hendak dibahas. Adapun karya-karya yang mendukung dan dijadikan kajian pustaka sebagai berikut: Pertama, Penelitian yang ditulis oleh saudara Mustaghfirin tentang pandangan Franz Magnis Suseno tentang Etika dan Relevansi dengan Pendidikan Islam . Skripsi ini memaparkan tentang mengatur sikap tingkah laku manusia terhadap dirinya, orang lain, sesama makhluk dan Tuhan sebagai Maha Pencipta.28 Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh saudari Umi Munadzirah tentang
prinsip-prinsip
pendidikan
akhlak
dan
aktualisasinya
dalam
pembinaan kepribadian muslim : kajian terhadap surat al-Hujurat 11-13 yang membahas tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak menurut surat al-Hujurat ayat 11-13 dalam pembentukan kepribadian muslim.29 Ketiga, penelitian yang diteliti oleh saudari Rohmah tentang Pendidikan Etika dalam surat al-Hujurat ayat 11-12 dan implentasinya terhadap pendidikan akhlak yang isinya bagaimana cara berinteraksi yang tidak menyakitkan dan tidak menyinggung orang lain serta menghindarkan perbuatan-perbuatan yang merusak masyarakat yang bersumber dari dalam diri manusia sendiri.30 Penelitian yang dikaji oleh penulis menfokuskan tentang pendidikan etika yang berhubungan dengan adab sopan santun kepada kedua orang tua yaitu dalam surat al-Isra’ ayat 23-24. Hal ini terkait dengan hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau sebaliknya. F. Kerangka Teoritik 1. Pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam keluarga Pendidikan etika dapat direalisasikan dengan berbagai cara, baik positif maupun negatif. Adapun cara positif dengan memberi teladan yang 28
Ahmad Mustaghfirin, Pandangan Franz Magnis Suseno tentang Etika dan Relevansi dengan Pendidikan Islam, 2009. 29
Umi Munadzirah, Prinsip-Prinsip Pendidikan Akhlak dan Aktualisainya dalam Pembinaan Kepribadian Muslim,: Kajian Surat al-Hujurat Ayat 11-13, 2007 30
Rohmah, Pendidikan Etika dalam Surat al-Hujurat Ayat 11-12 dan Implementasinya terhadap Pendidikan Akhlak, 2006.
12
baik, latihan untuk membentuk kebiasaan, memberi perintah, memberi pujian, dan hadiah. Sedang cara negatif dengan memberikan berbagai bentuk larangan, memberikan suatu teguran dan celaan serta memberikan hukuman. Penilaian manusia tentang buruk dan baiknya dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari.31 Keluarga merupakan persekutuan terkecil dari masyarakat yang luas, pangkal kedamaian dan ketentraman hidup terletak pada keluarga yang dikepalai oleh kedua orang tua. Begitu pentingnya peranan yang dimainkan oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Maka dalam berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran yang penting. Karena pada hakekatnya, pembentukan kepribadian anak terjadi di lingkungan keluarga. Sebagaimana dalam al-Qur’an dalam surat at-Tahrim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. (Q.S. at-Tahrim/66: 6)32 Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Hal ini ayah dan ibu mempunyai peran penting dalam keluarga. Kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilainilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. 33 Kewajiban anak terhadap orang tua merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh anak. Perjuangan dan rasa tanggung jawab mereka dalam merawat dan mendidik merupakan bentuk kasih sayang mereka terhadap
31
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 56. 32
Az-Zikr, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 560.
33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, hlm. 327.
13
anaknya.34 Oleh karena itu, anak berusaha dengan sebaik mungkin untuk berbakti dan tidak menyakiti mereka. 2. Gambaran al-Qur’an pendidikan etika bagi anak dan orang tua Al-Qur’an telah menjelaskan pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam kehidupan. Hal ini dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24:
”Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”, (Q.S Al-Isra’/17: 23-24).35 3. Konsep pendidikan etika bagi dan orang tua Di dalam kehidupan keluarga orang tua merupakan cermin masa depan anak-anaknya. Anak dan orang tua mempunyai kewajiban masing-masing dalam keluarga. Anak berkewajiban untuk berbuat baik serta menghormati dan menghargai orang tua dalam hidupnya. Sedang orang tua mempunyai kewajiban dalam merawat, mendidik sehingga terbentuknya kepribadian yang baik. Sebagaimana dalam hadis
34
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, hlm . 200.
35
Az-Zikr, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 542.
14
عه ابى ىريرة رضى اهلل عنو قبل عه النبي صلى اهلل وسلم مه حق )الولدعلى الوالد ان يحسه اسمو ويحسه ادبو) رواه ابه النجبر “Kewajiban orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik dan tata krama ”. (H.R. Ibn Nujjar)36 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Data-data yang terkait dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka atau telaah, karena kajian berkaitan dengan pemahaman ayat al-Qur’an. Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode mengkaji beberapa sumber buku pendidikan Islam sebagai library research yaitu: penelitian kepustakaan.37 Maksudnya dalam penelitian ini mencari nilai yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24 dari berbagai tafsir yang merupakan interpretasi dari para mufassir dalam memahami isi, maksud maupun kandungan yang ada dalam ayat tersebut sehingga akan mempermudah dalam kajian ini. 2. Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer: sumber data yang diperoleh langsung dari sumbernya.38 Dalam hal ini al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya surat al-Isra’ ayat 23-24, seperti tafsir al-Maraghi, tafsir Ibnu Kastir, tafsir al-Qur’anul Majid anNuur, tafsir al-Azhar dan tafsir al-Misbah. sedangkan sumber data sekunder: sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang berkaitan, memberi interpretasi terhadap sumber primer, seperti hadist 36
‘Alauddin Ali al-Muttaqi, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, (t. Muassasah ar-Risalah), Juz 16, hlm. 461. 37
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), hlm. 9.
38
Winarno Surackhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1998),
hlm.134..
15
Sahih Muslim, etika mendidik anak menjadi sholeh (karangan Ust. Labib Mz), anak sholeh (karangan Umar Hasyim), kitab taisirul kholaq, kitab at tarbiyah wat tahdhib dan pola komunikasi orang tua dan anak dalam keluarga (karangan Syaiful Bahri Djamarah). 3. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis berusaha menjelaskan pola uraian yang signifikan terhadap analisis. Adapun metode yang digunakan adalah: a.
Metode tafsir Tahlili Yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menjelaskan beberapa aspek yang terkandung dalam ayat ditafsirkan. Dalam uraian ini diuraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an, ayat demi ayat, surat ke surat sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf.39 Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek seperti kosakata, asbabun nuzul, munasabah dan pendapat-pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut.
b. Metode Interpretatif Metode interpretative adalah suatu metode yang digunakan untuk menjelaskan teks naskah atau ayat dengan jalan teks naskah atau ayat tersebut diselami untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksud secara khas.40 Metode ini juga berperan untuk mencari makna yang merupakan upaya untuk menangkap dibalik yang tersurat, selain itu juga mencari makna yang tersirat serta mengaitkan dengan hal-hal yang terkait yang sifatnya logic, teoritik, etik, dan transcendental.41
65.
39
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, hlm .42.
40
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 98.
41
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm.
16
H. Sistematika Pembahasan Penulisan karya ilmiah harus bersifat sistematis, di dalam penulisan skripsi ini pun harus dibangun secara berkesinambungan. Dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang isinya adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan
BAB II : PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA DALAM KELUARGA Memaparkan tentang Pendidikan etika yang meliputi: Pengertian Pendidikan Etika, Penilaian Baik dan Buruk, Ukuran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika, Aliran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika. Sedangkan anak dan orang tua dalam keluarga memaparkan
keluarga
sebagai
institusi
pendidikan,
fungsi
keluarga, pola asuh orang tua, kewajiban anak. BAB III : GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA Bab ini meliputi: lafadz dan terjemahan al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24, arti mufrodat, munasabah, pendapat para mufassir, dan telaah isi kandungan menurut para mufassir BAB IV : ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA Bab empat merupakan bab analisis yang meliputi pendidikan etika bagi anak terhadap orang tua, pendidikan etika bagi orang tua terhadap anak dan pendidikan etika bagi keduanya. BAB V : PENUTUP Bab lima merupakan rangkaian terakhir dari penulisan skripsi yang memuat simpulan, saran-saran dan penutup.
17
BAB II PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA DALAM KELUARGA
A. Pendidikan Etika a. Pengertian Pendidikan Etika Pendidikan etika sangat penting dalam kehidupan manusia, baik pada diri seseorang, keluarga, masyarakat, agama maupun bangsa. Dengan pendidikan tersebut, kehidupan manusia lebih baik dan sejahtera.1 Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai etika dan kecerdasan akal.2 Etika merupakan system of moral principles atau a system of moral standar values. artinya perilaku atau tindakan, tata susila. Secara terminology etika didefinisikan sebagai the normatif science of the conduct of human being lifing societies. A science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad 3. Yang artinya
pengetahuan
normatif
yang
menghubungkan
kehidupan
masyarakat dan manusia. Sebuah pengetahuan yang menilai hubungan tersebut sebagai hal benar atau salah, baik atau buruk. Jadi pendidikan etika dapat disimpulkan tentang perbuatan mendidik etika, ilmu-ilmu mendidik, pengetahuan tentang pendidikan etika dan pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk pembelajaran. Untuk mencapai suatu tujuan manusia dalam melakukan perbuatan, tentu melihat norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.4 Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari aturan yang ada, baik dalam lingkungan maupun agama. Hal ini akal dapat difungsikan sebagaimana mestinya untuk mempertimbangkan suatu perbuatan. 1
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 51. 2
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 55.
3
Zaenul Arifin, dkk., Moralitas al-Qur‟an dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2002), hlm. 15. 4
M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm. 57.
17
18
Pendidikan etika merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan etika meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang suatu kehidupan. Menurut caranya pendidikan etika dibagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Dresur adalah suatu bentuk pendidikan yang berdasarkan paksaan, artinya manusia diharuskan untuk melakukan suatu perbuatan, mengikuti, mematuhi serta melaksanakan dengan maksimal.5 2. Latihan untuk membentuk suatu kebiasaan, dengan cara berlatih secara terus-menerus dan tetap berkesinambungan. 3. Dengan pendidikan, dalam arti untuk membentuk hati nurani yang baik melalui keteladanan seseorang. Hakikat dan tujuan pendidikan etika erat hubungannya dengan tanggapan hidup dalam merealisasikannya di muka bumi ini. Pendidikan etika dapat direalisasikan dengan berbagai cara, baik positif maupun negatif. Adapun cara positif dengan memberi teladan yang baik, latihan untuk membentuk kebiasaan, memberi perintah, memberi pujian, dan hadiah. Sedang cara negatif dengan memberikan berbagai bentuk larangan, memberikan suatu teguran dan celaan serta memberikan hukuman. Jadi pendidikan etika dapat diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas
kewajiban
dan
tanggung
jawab
dalam
masyarakat
serta
menumbuhkan personalitas (kepribadian) yang baik.6 Predikat muslim yang benar merupakan ciri manusia yang menaati ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan menjaga rahmat Allah agar selalu mengalir dalam suatu kehidupan di alam jagad raya ini. Pendidikan ini tidak lain merupakan sistem pendidikan yang bisa memberikan kemampuan bagi manusia untuk memimpin kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai Islam serta mampu memberikan warna corak suatu kepribadian. 5
M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm. 56.
6
M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm 57.
19
Dalam hal ini sorotan utama mengenai baik dan buruk dalam perbuatan manusia terhadap sesama, adapun akal merupakan sebagai ukuran dalam menentukan hidup menjadi lebih baik sesuai norma yang berlaku. Seorang muslim yang berperan mengajak kebaikan tidak mesti menguasai seluruh isi ilmu pengetahuan. Namun hal ini beberapa yang dipenuhi oleh seorang muslim, yaitu: 1. Mengetahui al-Qur’an dengan sempurna, baik bacaan, tajwid dan tafsirnya dan hadist. Karena dengan ilmu akan membawa pengaruh yang besar dan sebagai pedoman dasar untuk mengetahui hukum Islam dan kewajiban agama yang harus dipahami dan diterapkan.7 2. Memahami Islam secara universal serta harus diterapkan pada diri sendiri dan orang lain, pemahaman tersebut meliputi: a. Islam merupakan tatanan yang komplek, meliputi manifestasi kehidupan, seperti tatanan dalam Negara, bangsa, dan instansi pemerintah. Islam adalah norma, kekuatan, kasih sayang, peradaban, keadilan, ilmu, hokum, materi, kekayaan, jihad dan dakwah. b. Islam menempatkan tanggung jawab atas pendengaran, penglihatan dan hati. Itulah agama yang membawa kearah kebaikan dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam
dunia
mengembangkan
pendidikan,
kehidupan
terdapat
manusia,
beberapa
sehingga
fungsi
terwujud
yang
manusia
paripurna (insan kamil). Adapun fungsi pendidikan etika pada kehidupan manusia, 8yaitu: 1. Fungsi psikologis Maksud fungsi ini adalah bahwasanya manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan lemah, baik secara fisik maupun psikis. Dengan hal ini pendidikan etika memberikan suatu pendidikan, arahan
7
Musthafa Muhammad Tahlan, Muslim Ideal Masa Kini, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2000), hlm. 71. 8
Musthafa Muhammad Tahlan, Muslim Ideal Masa Kini, hlm. 51-52.
20
serta mengantarkan manusia yang lemah fisik dan psikis supaya menjadi manusia yang dewasa, bertanggung jawab dan mandiri. 2. Fungsi pedagogis Artinya
pendidikan
etika
di
sini
menumbuhkan
dan
mengembangkan potensi dasar manusia, sehingga bisa tumbuh dan berkembang semua kemampuan yang ada dan akhirnya menjadi manusia yang lebih baik. 3. Fungsi filosofis Dengan dirumuskannya pendidikan etika bagi manusia agar dapat mewujudkan manusia yang berjiwa baik, berilmu pengetahuan tinggi dan bisa berpikir secara luas serta bijaksana. 4. Fungsi sosiologis Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan dasar, dan memiliki insting untuk hidup bermasyarakat (homo socius). Pendidikan etika sendiri mengharapkan agar potensi dasar tersebut mampu berkembang dan berjalan sehingga terjadi interaksi yang positif. 5. Fungsi agama Manusia dikenal dengan sebutan homo religius (makhluk beragama), artinya bahwa manusia mempunyai dasar ketuhanan yang dibawa sejak lahir (fitrah). Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan Nabi dan Rasul untuk mengembangkan fitrah keagamaan melalui pendidikan dan pengajaran. b. Penilaian Baik dan Buruk Penilaian manusia tentang buruk dan baiknya dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari. Perilaku tersebut didorong dengan adanya kesadaran dalam dirinya, sehingga mampu menanggapi akan makna hidup dalam pengertian yang benar. Dengan demikian dapat dipahami terdapat corak kehidupan manusia yang beraneka ragam.9
9
Manusia mampu
Mudlor Achmad, Etika dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2006), hlm. 12.
21
membedakan mana yang baik dan buruk kemudian mengamalkannya merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebab telah ada sejak masih berada dalam kandungan seorang ibu. Jadi pengertian baik buruk merupakan tanggapan pembawaan manusia.10 Hal ini dijelaskan dalam alQur’an surat As-Syam ayat 7-8:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Q.S. as-Syam/91: 7-8)11 Menurut Muhammad Nasib ar-Rifa’I dalam ringkasan tafsir ibnu kastir tentang kalimat “dan jiwa serta penyempurnaannya” mempunyai makna bahwasanya demi jiwa dan Allah telah menciptakan dengan sempurna dan istiqomah di atas fitrah yang lurus. Manusia diberikan potensi untuk mengembangkan segala kemampuannya berdasarkan fitrahnya. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya”. Ini menunjukkan terhadap sesuatu yang mengakibatkan kefasikan dan ketaqwaan manusia kepada Allah kemudian menjelaskan tentang baik dan buruk. Manusia dianugrahi akal dan hati yang mempunyai fungsi masing-masing, tentunya akal berfikir yang berdmpak positif sehingga yang diharapkan kebaikan akan terwujud. Di sini manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.12 Manusia memberikan hukum terhadap beberapa perbuatan tentang baik dan buruknya perilaku merata diantara manusia, baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah, baik dalam perbuatan yang besar maupun yang kecil, diucapkan oleh ahli hukum di dalam soal undangundang atau ahli perusahaan, bahkan terhadap orang tua. Dengan hal itu 10
Mudlor Achmad, Etika dalam Islam, hlm.13.
11
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya., hlm. 595
12
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir, (Jakarta: Gema Insani Press,2002), hlm. 989.
22
perbuatan dapat diukur
yang akan dihukumi baik atau buruk.13 Pada
umumnya manusia memiliki puncak tujuan hidupnya, tujuan tersebut menjadi ukuran segala perbuatan antara baik dan yang buruk. Namun semuanya dibutuhkan adanya kesadaran dan petunjuk jalan yang dianggap benar dalam lingkungannya.14 Terdapat beberapa pengertian mengenai baik dan buruk, sebagai berikut: 1. Baik ()خير, bahasa Arab/good, bahasa Inggris, yaitu a. Sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan b. Sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan dan persesuaian c. Sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan d. Sesuatu yang sesuai dengan keinginan e. Bisa mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia15 2. Buruk ()شر, bahasa Arab/bad, bahasa Inggris, yaitu a. Tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai b. Keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat diterima c. Segala yang tercela, lawan baik, lawan pantas, lawan bagus d. Perbuatan buruk berarti yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku Baik merupakan sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan, bernilai buruk apabila merugikan, menyebabkan tidak tercapai tujuan. Setiap manusia mempunyai tujuan yang berbeda, meskipun terdapat pertentangan dalam lingkungan masyarakat, sehingga yang berharga untuk 13
Ahmad Amin, Etika,(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 2.
14
Ahmad Amin, Etika, hlm. 3.
15
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, ,hlm.23.
23
diri sendiri berbeda dengan golongan lain. Baik menurut pandangan satu dengan yang lain sering mengalami perselisihan. Akan tetapi kembali sumber ajaran Islam akan mengetahui kebenarannya baik dan buruknya suatu perbuatan yang dilakukan manusia. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 216, yaitu:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah/2: 216)16 Kata („ )عسىasa yang diterjemahkan boleh jadi dan yang mengandung makna ketidakpastian, namun tidak dari sisi pengetahuan Allah, karena tiada sesuatu yang tersembunyi atau tidak pasti bagi Allah. Ketidakpastian dari sisi manusia artinya manusia ketika menghadapi sesuatu harus menanamkan rasa optimism dalam jiwanya dan mempunyai keyakinan bisa untuk melakukannya. Dan sebaliknya ketika manusia mendapatkan kegembiraan tidak sampai pada batas lupa diri. Dikarenakan bisa jadi di balik yang disenangi terdapat mudharat. Pada dasarnya ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah sekaligus mendorongnya untuk hidup seimbang tidak kehilangan optimism ketika mendapatkan kesedihan dan tidak larut dalam kegembiraan yang menjadikannya lupa segalanya.17 Penilaian manusia mengenai suatu perbuatan merupakan relatif, disebabkan adanya perbedaan agama, cara berpikir, pendidikan serta lingkungan yang ada. Namun dalam pendidikan Islam al-Qur’an dan Hadist adalah sumber utama dalam menentukan suatu hukum serta dijadikan sebagai pegangan hidup bagi seorang muslim. Akal ikut 16
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 34.
17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol I, hlm. 460.
24
berperan dalam pemikiran yang benar, hal ini dikarenakan keistimewaan akal yang merupakan dasar bagi segala kebaikan sekaligus arus utama kewajiban agama.18 c. Ukuran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika Mempersoalkan
baik
dan
buruk
dalam
pendidikan
etika
memperlihatkan bahwa pada perbuatan manusia, ukuran karakternya selalu dinamis dan sulit dipecahkan. Namun, karakter baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur menurut fitrah manusia.19 Terdapat berselisih pendapat untuk menilai sesuatu perbuatan, ada yang menilai suatu perbuatan itu baik dan ada yang menilainya buruk. Baik oleh suatu masyarakat, dipandang buruk oleh yang lain. Dalam melihat ukuran etika baik dan buruk dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang mempengaruhi, yaitu: a) Pengaruh Adat Istiadat (al-„Urf) Manusia dapat terpengaruh oleh adanya adat istiadat yang terjadi di masyarakat sekitar. Kebiasaan memberikan kekuatan yang dapat tumbuh untuk diikuti oleh kebanyakan orang.
20
Namun hal ini
penyelidikan adat istiadat tidak dapat digunakan sebagai ukuran dan pertimbangan, dikarenakan terkadang sebagian kebiasaan yang ada bahkan merugikan dan tidak baik dilakukannya. Seperti halnya yang terjadi pada masa lampau bangsa Arab jahiliyah mengubur anak perempuan dengan hidup-hidup. Ini merupakan suatu adat yang sering terjadi di lingkungan Arab jahiliyah, akan tetapi tidak baik diteladani. Ada beberapa cara yang dapat merubah kebiasaan yang kurang baik, di antaranya:21 1. Niat yang sungguh tanpa keragu-raguan untuk merubah suatu kebiasaan yang disertai dengan azam (kemauan keras). 18
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 78.
19
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 62.
20
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 63.
21
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponerogo, 1985), hlm. 65.
25
2. Pengertian dan kesadaran yang mendalam akan perlunya kebiasaan yang negatif perlu ditinggalkan. 3. Dalam niat hendaklah setia apa yang sudah diniatkan, kuat pendirian meskipun menemukan kesulitan. 4. Kebiasaan yang jelek segera diganti dengan kebiasaan yang baik, jangan sampai kekosongan diisi kembali dengan kebiasaan jelek lagi. Pendidikan Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha dan berdo’a dalam setiap perbuatannya, dengan tujuan apa yang diharapkan
dalam
kebaikan
mampu
menjadi
karakter
dalam
pribadinya. Allah menjelaskan dalam firman-Nya, yaitu:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',”. (Q.S. al-Baqarah/2: 45)22 Kata ( )الصبرash-shabr artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenaan dihati atau juga berarti ketabahan. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Kesabaran secara jasmani, artinya kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam peperangan membela kebenaran. Termasuk dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani seperti penyakit, penganiayaan dan lain sebagainya. 2. Kesabaran secara rohani, hal ini menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar terhadap keburukan seperti menahan amarah atau menahan seksual yang bukan pada tempatnya.23 22
Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 34.
23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 181.
26
Sedang kata ( )الصالةash-shalah, dari segi bahasa adalah do’a dan segi pengertian syari’at Islam adalah “Ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”. Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunianya, mengingat Allah mengantar manusia terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta tabah menerima cobaan atau tugas yang berat. Hal ini mempunyai maksud “mintalah pertolongan kepada Allah dengan jalan tabah dan sabar menghadapi segala tantangan serta dengan melaksanakan shalat. Wa innaha lakabiratun illa „ala al-khasy‟in/ dan sesungguhnya ia sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, artinya bahwasanya keduanya antara sabar dan shalat tidak mudah dipraktekkan kecuali bagi yang khusyu’. Khusyu’ ( )خشوعadalah ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan. Yang dimaksud dengan orang-orang yang khusyuk oleh ayat ini adalah mampu mengendalikan nafsunya dan membiasakan diri menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah.24 Manusia akan menerima suatu kebiasaan dalam dirinya, apabila dikerjakan secara terus menerus. Hal ini disebabkan sudah berakar kuat dalam pribadi manusia. Untuk membangun kebiasaan yang baik, tentu dibutuhkan latihan yang sungguh-sungguh. Suatu yang wajar dalam membina kebiasaan yang baik terdapat rintangan maupun hambatan yang menghalanginya, akan tetapi dengan keteguhan hati serta kesabaran akan menjadi penolong dalam suatu kehidupan. b) Pengaruh Intuisi (Intuition) Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu yang baik atau buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Setiap manusia mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk. Hal ini dapat 24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 181.
27
berakar dalam tubuh tiap individu manusia. Manusia melihat suatu perbuatan, secara langsung
memberikan nilai perbuatan tersebut
dalam ukuran hokum baik dan buruk, sebagaimana manusia diberi mata untuk melihat, telinga untuk mendengar serta akal untuk membedakan mana yang baik dan buruk.25 c) Pengaruh Pendapat Pribadi Penilaian baik dan buruknya perbuatan dapat juga dapat ditentukan oleh pendapat pribadi, meskipun pendapat pribadi bersifat subjektif. Subjektivitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan dan milieu (lingkungan seseorang).26 Dan manusia dianjurkan untuk berusaha melakukan suatu kebaikan dengan dirinya sendiri. Dalam diri manusia diberi kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri, yang nantinya akan membentuk pribadi muslim yang ideal
berdasarkan kaidah-kaidah hukum
yang berlaku dalam
pendidikan Islam.27 Adapun pendapat pribadi berdasarkan pada hati nurani seseorang yang cenderung kepada kebaikan dapat berlaku di lingkungan, juga berdasarkan pengaruh ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Oleh karena itu, adakalanya sesuatu dikatakan baik oleh seseorang, tetapi tidak sesuai bagi pihak lainnya. Untuk menekan subjektivitas tersebut diperlukan pendidikan dan pengetahuan sehingga mampu menghadirkan objektivitas yang mampu diterima mayoritas manusia. d) Pengaruh Ajaran Agama Agama memiliki hubungan erat dengan pendidikan etika. Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang menjadi pegangan bagi perilaku penganutnya. Ajaran etika yang terkandung dalam suatu agama meliputi dua macam aturan, yaitu:28 25
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 67.
26
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 74.
27
Ibnu Husein, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 3.
28
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 74.
28
1. Aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, tata cara bergaul, tata cara rumah tangga yang dapat diterima secara umum. 2. Aturan bersifat nonteknis, yaitu aturan-aturan yang lebih umum, seperti jangan berdusta, jangan berzina, jangan menganiaya, jangan durhaka terhadap orang tua. Ajaran etika setiap agama berasal dari Tuhan, yang didasarkan kepada wahyu. Dalam Islam dikenal dengan istilah ihsan ( )احسانyang berarti berbuat baik, beribadah semata-mata mencari ridho Allah. Ihsan dapat diartikan dengan berbuat baik kepada Allah, manusia dan alam. Tingkah laku merupakan perwujudan dari iman seseorang, karena dalam ajaran Islam kekuatan dan kelemahan iman dapat dilihat dari tingkah laku manusia. Setiap manusia yang ingin melakukan perbuatan, untuk memenuhi kebutuhan nalurinya, maka wajib secara syara‟ mengetahui hukum Allah tentang perbuatan yang akan dilakukannya.29 Seorang muslim memiliki keterkaitan terhadap hukum Allah, karena Islam melalui sumber al-Qur’an dan Hadis mengatur secara global semua hal dan perbuatan yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Allah telah menjadikan Islam agama yang memiliki ajaran yang sempurna,30 berskala internasional, manusiawi, dan autentik. Kepatuhan terhadap ikatan hukum syara‟ ( )حكم شرعيtersebut dapat mendatangkan rahmatan lil‟alamin ( )رحمت للعالميه, kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan dunia akhirat. Hal ini sesuai al-Qur’an surat al-A’raf ayat 96, yaitu:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.(QS. Al-A’raf/7: 96)31 29
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 75.
30
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 90.
31
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 250.
29
Kata ( )لوjikalau digunakan dalam arti perandaian terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terjadi. Berbeda dengan kata ()اذا apabila yang digunakan untuk mengambarkan perandaian bagi sesuatu yang diduga keras akan terjadi. Penggunaan kata lau ini menunjukkan bahwa melimpahnya keberkatan untuk penduduk negeri-negeri yang durhaka tersebut adalah sesuatu yang mustahil. Ayat ini bisa dipahami bahwa Allah akan melimpahkan aneka anugerah dan keberkatan kepada penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa. Sejarah Islam menunjukkan bahwa penduduk Mekah yang durhaka kepada Allah mengalami masamasa sulit bahkan paceklik selama tujuh tahun sedang penduduk Madinah hidup aman dan sejahtera dibawah bimbingan Rasul.32 Untuk mencari kebahagiaan dan tujuan-tujuan baik, harus menggunakan jalan yang baik dan benar yaitu jalan yang hanya ditempuh manusia dengan mengikuti aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Allah. Aturan-aturan syara’ tersebut sesuai dengan akal manusia, dan tidak berlawanan dengannya, karena akal ( )عقلdiberi kedudukan tinggi dalam ajaran Islam, mendorong kaum muslimin untuk memahami ajaran tersebut dengan menggunakan penalaran rasional. Oleh karena itu, pada hakekatnya, umat Islam telah berfilsafat sejak menggunakan penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam.33 d. Aliran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika Menurut M. Yatimin Abdullah menjelaskan tentang aliran baik dan buruk dalam pendidikan etika adalah sebagai berikut: 1) Aliran Hedonisme Aliran hedonisme ini menjelaskan bahwa norma baik dan buruk adalah
kebahagiaan,
karena
suatu
perbuatan
apabila
dapat
mendatangkan kebahagiaan maka perbuatan tersebut baik dan sebaliknya. Hal ini manusia menginginkan kebahagiaan, yang
31.
32
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 182.
33
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.
30
merupakan tujuan akhir dari hidup manusia.34 Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menghasilkan hedone kenikmatan dan kelezatan. Kelezatan merupakan ketenteraman jiwa yang berarti keseimbangan badan. 2) Aliran Idealisme Aliran ini menjelaskan mengenai wujud yang paling dalam dari kenyataan
(hakikat)
yaitu
kerohanian.
Manusia
berbuat
baik
merupakan bukan anjuran dari pihak lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri dan merasa suatu keharusan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dorongan yang kuat untuk melakukan hal kebaikan, meskipun terdapat ancaman maupun hinaan akan tetapi berusaha tetap selalu dalam koridor perbuatan baik. Ini membuktikan karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam rohani manusia. Faktor penting dalam mempengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan tindakan konkret dan yang menjadi utamanya ada kemauan baik. Dari kemauan baik akan melahirkan kemuliaankemuliaan untuk menyempurnakan rasa kewajiban. Menurut aliran ini kemauan merupakan faktor terpenting dari wujudnya tindakantindakan yang nyata. Oleh karena itu, “kemauan yang baik” menjadi dasar pokok dalam idealisme.
35
Perbuatan manusia harus berdasarkan
prinsip kerohanian yang tinggi, bukan berdasarkan pada kausalitas verbal yang tampak. Perbuatan yang baik berdasarkan atas kemauan sendiri, rasa wajib, bukan anjuran dari pihak lain atau ingin mendapatkan pujian. Jadi, faktor yang mempengaruhi perbuatan manusia adalah kemauan rasa kewajiban dan tujuan.36 3) Aliran Naturalisme Manusia akan menemukan suatu kebahagiaan dengan melakukan sesuatu sesuai fitrahnya dan melangsungkan kehidupannya. Ukuran 34
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 84.
35
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 85.
36
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm 86.
31
baik buruknya perbuatan manusia menurut aliran naturalisme adalah perbuatan yang sesuai dengan fitrah manusia. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi setiap tujuan dari setiap manusia didapat dengan jalan memenuhi panggilan-panggilan nature atau kejadian manusia itu sendiri. Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu yang menjadi sebuah tujuan secara otomatis melalui pertimbangan akal. Hewan menuju kepada tujuannya dengan naluri kehewanannya dan manusia menuju tujuan baik dengan akal pikirannya. 4) Aliran Teologi Aliran ini menjelaskan bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya suatu perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan, artinya sebuah perintah atau larangan. Perbuatan yang diperintahkan Tuhan merupakan perbuatan yang baik dan segala perbuatan yang buruk tidak lain larangan-Nya. Perbuatan yang baik merupakan perbuatan yang sesuai dengan instruksi Tuhan untuk mencapai suatu puncak dari kehidupan. B. Anak dan Orang Tua dalam Keluarga 1. Keluarga sebagai Institusi Pendidikan Keluarga merupakan sebuah institusi yang terbentuk dengan adanya pernikahan yang sah. Keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir batin adalah tujuan dari pada keluarga. Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, meskipun tidak terdapat hubungan darah.37 Keluarga sebagai pusat 37
pendidikan pertama,
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 16.
32
mempunyai tugas fundamental dalam mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup dan berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan persekutuan terkecil dari masyarakat yang luas, pangkal kedamaian dan ketentraman hidup terletak pada keluarga yang dikepalai oleh kedua orang tua. Orang tua adalah orang yang bertanggung jawab di dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang dalam penghidupan sehari-hari lazim disebut bapak ibu.38 Keluarga atau orangtualah yang pertama dan utama memberikan dasar-dasar pendidikan tersebut. Apabila sikap hidup dan perilaku seperti itu dikembangkan sejak dini akan sangat membekas pada diri anak dan merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju terbentuknya pribadi muslim yang memiliki kepribadian manusia seutuhnya. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang bersifat kodrat karena terdapatnya hubungan antara pendidik dan anak didiknya. Karena sifat ini maka wewenang pendidik dalam keluarga (orang tua) juga bersifat kodrat, dan wewenang ini tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika keluarga tersebut tidak mampu melaksanakan tugasnya tadi. Dengan adanya ikatan yang bersifat kodrati ini maka terdapat hubungan yang erat antara pendidik dan anak didik atau antara orang tua dengan anak. Begitu pentingnya peranan yang dimainkan oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Maka dalam berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran yang penting. Karena pada hakekatnya, pembentukan kepribadian anak terjadi di lingkungan keluarga.39 Di sini seorang anak dapat belajar untuk dapat saling mengasihi, menyayangi, bekerjasama serta berkorban untuk orang lain. Sehingga seorang ayah dan ibu harus benar-benar sadar bahwa si 38
Thamrin Nasution, Peranan Orang tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989, hlm.1. 39
Husain Mazhahiri, Surga Rumah Tangga (Jakarta : Titian Cahya, 2001), hlm. 52.
33
kecil apapun perbuatan dan ucapan mereka di rumah, semua itu akan memberikan pengaruh secara langsung kepada anak. 2. Fungsi Keluarga Untuk menciptakan keluarga yang berkualitas harus melihat aspek nilai dalam kesejahteraan lahir dan batin antara bapak, ibu dan anak. Artinya semua anggota keluarga membangun dan mengembangkan yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil, sehingga fungsi keluarga
berjalan
secara
optimal.
Dalam
keluarga
juga
harus
memperhatikan kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan masyarakat, serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai perilaku yang benar.40 Keluarga adalah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi sosial yang utama melalui individu-individu dengan harapan mampu menciptakan nilai-nilai yang baik.41 Dengan demikian peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.42 Pada saat yang sama keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat terbentuk berdasarkan sukarela dan cinta yang asasi antara dua subyek manusia (suami istri) Keluarga
sebagai
tempat
pendidikan
bagi
anak-anaknya.
dikarenakan pendidikan di lingkungan keluarga ada sejak anak lahir bahkan setelah dewasa orang tua masih mempunyai hak untuk memberikan nasihat terhadap anaknya. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 36, yaitu:
40
Husain Mazhahiri, Surga Rumah Tangga, hlm. 17.
41
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan (Jakarta : al-Husna Zikra, 1995), hlm. 346. 42
hlm. 110.
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996),
34
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh43, dan teman sejawat, ibnu sabil.44 dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.(QS. An-Nisa’/4: 36)45 Ayat diatas mengandung maksud perintah beribadah kepada Allah serta larangan beribadah selain Allah. Dan kemudian perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (secara khusus) dan sanak kerabat (secara umum). Hal ini perintahnya mengarah kepada anak keturunan agar berbuat terhadap orang tua. anak-anak sangat memerlukan arahan untuk berbakti kepada orang tua, generasi yang mendidik dan merawatnya. Pengarahan bermula dari orang tua, kerabat kemudian mengembang dan meluas areanya hingga kepada keluarga kemanusiaan yang besar yang memerlukan bantuan dan pemeliharaan. Di
dalam pendidikan keluarga merupakan dasar untuk
memperkenalkan education of religion, yang akan direalisasikan terhadap keluarga maupun saudaranya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Melalui komunikasi tersebut diharapkan terjadi proses penerimaan
43
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim. 44
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya 45
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 84.
35
pengetahuan dan nilai-nilai hidup dan berkembang di lingkungan keluarga.46 Keluarga merupakan benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan yang Islami dan telah mendasarkan aktifitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam.47 Dalam Islam penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan do’a kepada Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak yang saleh.48 Demikian keluarga tersebut telah merintis untuk dilaksanakannya rancang bangunan pendakian spiritual, jiwa dan mental anak untuk beragama. Yang pertama kali ditanamkan pada anak adalah keimanan yang kuat kepada Allah, kemudian iman kepada malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, rasul-rasul Allah, hari akhirat dan kepercayaan bahwa semua perbuatan manusia selalu di bawah pengawasan Allah. Lembaga pendidikan keluarga memberi pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak, sebab pengalaman masa kanak-kanak yang menyakitkan walaupun sudah jauh terpendam di masa silam, tetapi dapat mengganggu keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu selanjutnya. Melalui pendidikan keluarga ini kehidupan emosional atau kebutuhan akan rasa kasih sayang dapat dipenuhi (dapat berkembang dengan baik). Hal ini disebabkan karena adanya hubungan darah antara orang tua dengan anak. Hubungan orang tua dengan anak didasarkan atas rasa cinta kasih sayang yang murni. Kehidupan emosional ini merupakan salah satu faktor yang terpenting di dalam membentuk pribadi seseorang.
46
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, hlm. 22.
47
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj. Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), hal. 197. 48
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta : Ruhama, 1995), hal. 64.
36
3. Pola Asuh Orang Tua Pendidikan yang diberikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak. Anak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga. Kebiasaan yang terdapat dalam pendidikan keluarga akan mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Hal ini anak masih dalam tahap belajar dari orang tua yang bersifat meniru apa yang biasa dilakukan di dalam keluarga. Artinya meniru kebiasaan hidup orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua harus memberikan teladan yang positif, baik dalam bentuk tingkah laku atau ucapan, karena pola asuh orang tua akan mempengaruhi pendidikan anak.49 Situasi dan kondisi keluarga besar pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian anak. Sehingga Islam menganjurkan agar keluarga menjadi tempat yang bisa menenteramkan dan menenangkan psikis seluruh keluarganya.50 Agar keluarga menjadi penyeimbang yang tenang dan damai untuk menjadi tempat tinggal yang menyenangkan bagi semua anggotanya. Mereka akan berlindung kepada keluarga setiap diganggu oleh orang lain dalam pergaulannya. Dan hanya keluarga sakinahlah yang mampu menciptakan situasi seperti itu. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.51 Karena, jika suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang dan ketentraman psikologis yang interaktif, maka anak-anaknya akan tumbuh dalam suasana bahagia, percaya diri, tentram dan kasih sayang. Mereka 49
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, hlm. 25.
50
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj. Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat , hal. 140. 51
Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 37.
37
akan jauh dari kekacauan, kesulitan dan penyakit batin yang melemahkan kepribadiannya. Menurut H.M. Chabib Thoha, pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.52 Dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini adalah merupakan tanggung jawab primer. Cara mendidik ini dapat dilihat dalam tiga pola asuh orang tua terhadap anak, yakni pola asuh yang demokratis, otoriter dan permisif. 1. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu bergantung pada orang tua. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. Bentuk-bentuk konkret dari perilaku atau sikap orang tua yang demokratis antara lain sebagai berikut : 1) Melakukan sesuatu dalam keluarga dengan cara bermusyawarah. 2) Menentukan peraturan-peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan, perasaan dan pendapat si anak, serta memberikan alasan-alasan yang dapat diterima, difahami dan dimengerti oleh anak. 3) Hubungan antar keluarga saling menghormati. Orang tua menghormati anak sebagai manusia yang sedang bertumbuh dan berkembang. Pergaulan antara ibu dan ayah juga saling menghormati. 4) Adanya komunikasi dua arah yaitu, anak juga dapat mengusulkan, menyarankan
sesuatu
pada
orang
tuanya,
dan
orang
tua
mempertimbangkannya. 5) Memberikan
pengarahan
tentang
perbuatan
baik
yang
perlu
dipertahankan dan yang tidak baik supaya ditinggalkan. 52
hlm. 109.
H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
38
6) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian. 7) Bukan mendikte apa-apa yang harus dikerjakan anak, akan tetapi selalu disertai dengan penjelasan-penjelasan yang bijaksana.53 2. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk
bertindak atas nama diri sendiri
dibatasi. Orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa. Merupakan kewajiban orang tua untuk menolong anak dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, akan tetapi tidak boleh berlebihlebihan dalam menolong, sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri nanti. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perilaku orang tua yang otoriter adalah sebagai berikut : 1). Anak harus mematuhi peraturan orang tua dan tidak boleh membantah. 2). Orang tua lebih cenderung mencari kesalahan-kesalahan pada pihak anak dan kemudian menghukumnya. 3). Jika terdapat perbedaan pendapat orang tua dengan anak, maka anak dianggap sebagai seorang yang suka melawan dan membangkang. 4). Lebih cenderung memberi perintah dan larangan terhadap anak dan cenderung memaksakan disiplin kepada anak. 5). Orang tua lebih cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana (orang tua sangat berkuasa).54 53 54
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Aksara Raya, 1987), hlm. 38.
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, hlm. 39-40.
39
3. Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif dapat disebut juga dengan Laisser-faire. Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak
secara bebas, anak
dianggap sebagai orang dewasa (muda), diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini pengawasan orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Cara mendidik yang demikian dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya, tetapi tidak sesuai jika diberikan kepada anak-anak remaja. Apalagi jika diterapkan untuk pendidikan agama, banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Dan bentuk-bentuk pola orang tua yang permisif, adalah sebagai berikut: 1). Membiarkan
anak
bertindak
sendiri
tanpa
memonitor
dan
membimbingnya. 2). Mendidik anak acuh tak acuh atau bersifat pasif (masa bodoh). 3). Terutama memberikan kebutuhan material saja. 4). Membiarkan apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur dirinya tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan oleh orang tua. 5). Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga.55 Demikianlah jenis-jenis pola asuh (perilaku) orang tua dalam mendidik anaknya. Dan dari ketiga jenis pola asuh tersebut kemungkinan tidak semuanya digunakan, akan tetapi mungkin hanya salah satunya saja. C. Kewajiban anak Kewajiban anak adalah berbuat baik kepada orang tua. Dan itu merupakan suatu keharusan ya ng dilakukan oleh anak. Dikarenakan perjuangan dan rasa tanggung jawab mereka dalam merawat dan mendidik
55
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, hlm. 41.
40
merupakan bentuk kasih sayang mereka terhadap anaknya.56 Oleh karena itu, anak berusaha dengan sebaik mungkin untuk berbakti dan menghormati mereka. Hal ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 8:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, (Q.S. an-Nisa’: 36)57 Berbakti kepada orang tua merupakan suatu keharusan bagi anak. Dalam ajaran Islam sangat dianjurkan untuk berbuat baik dengan sebaikbaiknya. Hal ini menunjukkan derajat orang tua sangat mulia di sisi Allah. Kasih sayang orang tua yang tulus telah tertanam dan terhunjam di dalam dada dan batin orang tua. Dalam keadaan bagaimanapun orang tua tidak bisa melepaskan kasih sayangnya terhadap sang anak.58 Pengorbanan orang tua demi keselamatan dan kesejahteraan serta mencurahkan tenaga, pikirannya untuk kemaslahatan dan masa depan sang anak pula. Maka dari itu anak yang sudah dilahirkan melalui perantara orang tua, harus bisa memberikan sebuah etika terhadap mereka. Ada beberapa hal yang diperhatikan oleh anak kepada orang tua dalam keluarga diantaranya59: 1. Apabila orang tua menghendaki makanan, maka hendaklah dipenuhi 2. Apabila menghajati pakaian, hendaklah penuhi keinginannya 3. Apabila memanggil kepada anaknya, hendaklah menjawab dengan baik dan datang dihadapan mereka
56
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, hlm . 200.
57
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul ART, 2005), hlm. 84. 58
Umar Hasyim, Anak Sholeh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm. 1
59
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 15.
41
4. Mematuhi dengan baik segala perintah orang tua, kecuali dalam hal maksiat atau durhaka kepada Allah. 5. Melemah lembutkan perkataan ketika berbicara kepada orang tua 6. Memanggil orang tua dengan panggilan yang menyenangkan hatinya. 7. Meneladani perbuatan orang tua selama masih dalam koridor ajaran Islam 8. Memohonkan ampun kepada Allah atas orang tua, selain memohon ampunan terhadap kesalahan sendiri.
BAB III GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
A. Lafadz dan Terjemahannya Pendidikan etika bagi anak dan orang tua dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24. Surat ini termasuk Makkiyah yang terdiri dari 111 ayat dan dinamakan surat Bani Isra’il, karena menguraikan tentang pembinasaan dan penghancuran Bani Isra’il, selain itu juga dinamai dengan surat Subhana karena awal ayat dimulai dengan kata tersebut. Adapun kajian dalam penelitian ini adalah ayat 23-24 yang berbunyi:
”Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”, (Q.S Al-Isra’/17: 23-24).1 B. Arti Mufrodat ()
: memberi keputusan dan perintah
()
: berbuat baik kepada orang tua
1
Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset, 2007), hlm. 542.
42
43
( )
: Jangan katakana kepada mereka (orang tua) الmerupakan النهىyang mempunyai makna “jangan” dan تقمmerupakan fiil mudhori‟ dari –يقىل قال. Dan افmempunyai makna صىت ينبئ عن تضجز artinya adalah suara yang menimbulkan muak, kesal dan tidak sopan
()
: Janganlah kamu membentak mereka
( )
: Katakan kepada mereka (orang tua) dengan perkataan mulia قمmerupakan fiil amr yang mengandung makna perintah, yang berarti “katakanlah”
() : Merendahkan sayap terhadap orang tua. Adapun yang dimaksud adalah tawadhu’ dan merendahkan diri ( )
: Katakanlah: Wahai Tuhanku! Kasihinilah mereka
()
: Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil
C. Munasabah Munasabah merupakan unsur terpenting dalam memaknai suatu ayat, yang mana ayat-ayat tersebut telah tersusun dengan baik berdasarkan petunjuk dari Allah. Untuk mengetahui pengertian suatu ayat kurang dapat dipahami tanpa mempelajari ayat-ayat yang berhubungan erat dan keterkaitan antara ayat sebelumnya dan sesudahnya. Adapun pengertian munasabah secara etimologi adalah ( مقا ربةmendekatkan). Sedangkan secara terminology adalah suatu hubungan antara beberapa kalimat dalam satu ayat atau suatu ayat/surat dengan ayat/surat yang lain, baik yang ada dibelakangnya maupun di
44
mukanya.2 Dalam penelitian ini adalah munasabah antara surat al-Isra’ dengan an-Nahl dan al-Kahf serta ayat sebelum dan sesudah ayat 23-24 surat al-Isra’. 1. Munasabah Surat Dalam surat al-Isra’ persesuaiannya dengan sebelumnya, yaitu surat an-Nahl: a.
Kedua surat tersebut sama-sama menerangkan tentang ketuhanan serta keesaan Allah, karena awal surat al-Isra’ diawali dengan kata Subhana yang berarti Maha Suci Allah.
b. Surat an-Nahl secara global menerangkan tentang kehendak manusia dalam konteks iman, kufur, hidayah dan kesesatan, sedang dalam surat al-Isra’ menerangkan mengenai Bani Israil mengenai Isra’nya Nabi Muhammad saw. c. Surat al-Nahl menyebutkan mengenai soal interaksi sosial, seperti ihsan yang merupakan penutup dari surat tersebut, sedangkan dalam surat al-Isra’ menyinggungnya pula.3 d. Keduanya sama menjelaskan tentang kesempurnaan kuasa Allah dan keluasan ilmu-Nya, di mana surat an-Nahl sebagai pengantar dalam surat al-Isra’ yang mana lebah (makna dari an-Nahl) melukiskan keajaiban ciptaan-Nya sebagai pengantar perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ Mi’ra’ Nabi Muhammad saw. Adapun persesuaian surat al-Isra’ dengan surat sesudahnya yaitu, surat al-Kahf: a. Surat al-Isra’ menerangkan ajakan menuju ke hadirat Allah swt, dan meninggalkan
selain-Nya,
adapun
dalam
surat
al-Kahf
juga
mengandung ajakan menuju kepercayaan yang haq dan beramal sholeh melalui pemberitaan yang menggembirakan dan peringatan. b. Surat al-Isra’ banyak mengulang kata Subhana yang memaparkan tentang keesaan Allah dari segala bentuk persekutuan, sedang dalam 2
Ahmad Syadzali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur‟an I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
hlm 68. 3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 7, hlm. 175-177.
45
surat an-Nahl menggambarkan betapa al-Qur’an merupakan satu kitab yang bisa mencegah manusia mempersekutukan Allah. c. Surat al-Isra’ menerangkan bahwa Allah memberi suatu keutamaan siapa yang dikehendaki-Nya serta melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, sedangkan dalam surat an-Nahl menceritakan secara haq dan benar berita sekelompok manusia yang telah dianugerahi keutamaan pada masanya. d. Surat al-Isra’ menguraikan kisah yang bisa diambil hikmahnya mengenai suatu akidah, dalam surat al-Kahf juga menjelaskan tentang akidah yang benar melalui pemaparan kisah-kisah yang menyentuh.4 2. Munasabah Ayat Dalam Q.S. al-Isra’ ayat 23-24 mempunyai munasabah dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu ayat 22 dan 25 yang berbunyi:
“Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)”.(Q.S. al-Isra’/17: 22)5
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orangorang yang baik, Maka Sesungguhnya dia Maha Pengampun bagi orangorang yang bertaubat”. (Q.S. al-Isra’/17: 25)6 Munasabah ini berbentuk persambungan dengan cara diathafkan surat al-Isra’ 22-23 dengan menggunakan huruf athaf, yaitu wawu ()و. Kemudian ayat 24-25 disambungkan dengan lafadz rabbukum ( )ربكمyang merupakan bentuk jawaban dari ayat sebelumnya (22-24).
3-4.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 8, hlm.
5
Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 542. Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 542.
6
46
Kesesuaian isi dan kandungan dari keempat ayat tersebut adalah ayat 22 menjelaskan tentang dilarang mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Ayat 23-24 menerangkan mengenai keputusan dan perintah untuk tidak menyembah Tuhan selain Allah dan berbuat baik dari segi perkataan maupun perbuatan terhadap orang tua. menjelaskan
tentang
keikhlasan
dan
niat
baik
7
Ayat 25
manusia
untuk
menghambakan diri kepada Allah dan berusaha patuh dan hormat secara tulus kepada orang tua, karena Allah mengetahui apa yang terbetik di hati manusia. D. Pendapat Para Mufassir Dalam mengkaji ayat al-Qur’an, pendapat para mufassir berperan penting sebagai acuan dalam mengetahui dan memahami masalah yang dibahas dalam ayat yang dikaji. Berikut ini pendapat beberapa mufassir mengenai surat al-Isra’ ayat 23-24: 1. Ahmad Musthofa al-Maraghi a. , yaitu
Artinya: Dan berbuat baiklah kepada orang tua supaya Allah bersamamu.
b. , yaitu
7
Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Abdullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar, (Surabaya:
Yayasan Latimojong, 1981), Juz XV, hlm. 40-41. 8
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Musthofa al-Halbi wa Auladih, t.
th), juz 13, hlm. 33. 9
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 35.
47
Janganlah kamu berkata uffin dari apa yang kamu lihat dari salah satu orang tuamu atau keduanya yang menyebabkan secara umumnya manusia merasa sakit, bersabarlah dari apa yang dilakukan keduanya, sebagaimana mereka sabar terhadap kamu di waktu kamu masih kecil janganlah kamu menyusahkan keduanya dengan kata-kata yang bersifat mencela mereka, Oleh karena itu dilarang memperlihatkan perbedaan kedua orang tua dengan ucapan atas penolakan dan menganggap bohong kepada mereka, dan hendaknya kamu mengatakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang baik yang disertai memuliakan dan mengagungkan. c. , yaitu
Artinya:
Bertawadhu’lah kepada kedua orang tua dan merendahkan hati, dan menaati dalam semua perintah yang tidak mengakibatkan maksi’at kepada Allah karena rahmat dan kasih sayangmu kepada kedua orang tua
d. , yaitu
Artinya:
2.
Berdo’a kepada Allah supaya kedua orang tua diberi rahmat, sebagaimana memberikan kasih sayangnya di waktu kecilmu dan bagusnya ketulusan kepadamu
Imam Fakhruddin a. , yaitu
Artinya:
148.
Sebuah isyarah untuk keagungan karena perintah Allah dan isyarah untuk kasih sayang kepada makhluknya Allah
10
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 35.
11
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 36.
12
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, ( Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, t.th), Jilid 10, hlm.
48
b. , yaitu,
Artinya:
Sesungguhnya kedua orang tua telah mencapai kelemahan, maka jadikanlah pemeliharaanmu keduanya dalam akhir umurnya seperti halnya kamu dalam pemeliharaan mereka pada awal umur
c. , yaitu
Artinya: Dilarang memperlihatkan penyesalan sedikit maupun banyak dan dilarang memperlihatkan perbedaan dan berbohong dalam menolak suatu perkataan, adapun perkataan yang diperintahkan adalah perkataan yang baik, artinya berbicara kepada orang tua dengan kalam yang disertai dengan rasa perhormatan dan kemuliaan d. , yaitu
Artinya: Maksudnya adalah bersungguh-sungguh dalam bertawadhu’ karena kesungguhan kasih sayangmu kepada kedua orang tua dan rendahkanlah dirimu kepada kedua orang tua karena tua dan lemahnya mereka. e. , yaitu
13
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 150. Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 152 15 Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 152. 16 Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 153. 14
49
Artinya: Sesungguhnya belajar berbuat baik kepada orang tua tidak hanya dari ucapan saja, tetapi juga harus perilaku yaitu mendo’akan orang tua agar mendapatkan rahmat, dan jenis ini merupakan suatu kebaikan sebagaimana kebaikan orang tua kepada anak dalam mendidiknya. 3. Wahbah az-Zuhaili a. , yaitu
Artinya: Berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaikbaiknya karena keduanya adalah sebab adanya yang nampak untuk wujud dan hidup b. , yaitu
Artinya: Jangan katakan kepada kedua orang tua dengan kata-kata uf, adapun uf adalah kata yang menunjukkan kebosanan dan kejengkelan c. , yaitu
Artinya: Bersikaplah lemah lembut kepada kedua orang tua (tawadhu’ dan merasa rendah dihadapan keduanya) dan baik pemeliharaannya dan juga bersunggh-sungguh, rendah itu disamakan dengan burung yang mempunyai sayap, hal ini adalah isti’arah dalam hal kasih sayang kepada kedua orang tua
17
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 50. Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50. 19 Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50. 18
50
d. , yaitu
Artinya: Kasih sayang anak seperti kasih sayangnya kedua orang tua terhadap anaknya 4. Imam Jalil al-Hafidh a. , yaitu
Artinya: Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua b. , yaitu
Artinya: Janganlah kamu memperdengarkan kepadanya kata-kata yang jelek apalagi kata-kata uff karena kata-kata tersebut serendahrendahnya kata yang jelek dan janganlah kamu memperlihatkan perilaku yang jelek kepadanya, dan janganlah kamu membiarkan keduanya dan hendaklah kamu katakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang baik dan lemah lembut dengan beradab dan mengagungkannya c. , yaitu
Artinya: Bertawadhu’ kepada kedua orang tua dengan perbuatanmu
20
21
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50.
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,(Suriah: Daru bil Qalam al-Arabi, t.th) hlm. 373. 22 Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373. 23 Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373.
51
d. , yaitu
Artinya: Mendo’akan kedua orang tua kepada Allah pada saat tua dan telah meninggal dunia 5. Imam Abi Su’ud a. , yaitu
Artinya: Berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaikbaiknya karena merekalah menjadi sebab untuk wujud dan hidup b. , yaitu
Artinya: Setiap seseorang dilarang untuk mengucapkan kata uf kepada kedua orang tua dan membentak baik tingal seorang diri atau masih ada keduanya dengan suara yang menimbulkan kesal maksudnya janganlah kamu membuat kesal kepada kedua orang tua karena kamu merasa jijik kepada keduanya dan merasa berat untuk membiayainya dan janganlah kamu mencela keduanya dari apa yang tidak mengherankanmu dengan menyalahkannya dan tetapi hendaknya seseorang berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang bagus yang dapat menimbulkan adab yang baik
24
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373. Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, (Beirut: Daru Ihya’ at-Tarku al-Arabi, t.th), Juz 5, hlm. 166. 26 Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 166. 25
52
c. , yaitu
Artinya: Suatu ibarat tentang tawadhu’ dan merasa rendah kepada kedua orang tua karena memuliakan kedua orang tua itu tidak ada kecuali dengan tawadhu’ dan rendah hati yang disertai dengan kasih sayang dan memaafkan terhadap mereka. d. , yaitu
Artinya: Berdo’a kepada Allah untuk kedua orang tua agar mendapatkan rahmat-Nya baik di dunia maupun di akhirat, dari sebagian rahmat adalah hidayah menuju Islam dan rahmat seperti mendidiknya orang tua terhadap anak di waktu kecil 6. Abi al-Hasan a. , yaitu
Artinya: Maknanya adalah Allah berwasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. b. , yaitu,
Artinya: Ketika sudah mencapai dewasa dan sempurna akalmu dan ketika pula orang tua sudah mencapai lemah dan pikun
27
28
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 166.
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 167. Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz 3, hlm. 238. 30 Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238. 29
53
c. , yaitu
Artinya: Dalam penjelasan kata uffin ada 3 macam, yaitu: 1) Sesungguhnya kata uffin itu adalah setiap perkataan yang dirasa berat dan dirasa jelek. 2) Sesungguhnya kata uffin menganggap jeleknya sesuatu. 3) Sesungguhnya uffin adalah kalimat yang menunjukkan kejenuhan dan kekesalan d. , yaitu
Artinya: Perkataan mulia mengandung dua hal: 1) Lemah lembut, 2) Kebaikan 7. Imam Abi Muhammad al-Husain a. , yaitu
Artinya: Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya dan kasih sayang terhadap mereka b.
31
, yaitu
Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238. Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238. 33 Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t,th), Juz 3, hlm. 91. 34 Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, hlm. 91. 32
54
Artinya: Makna uffin itu adalah kalimat yang bersifat benci dan janganlah kamu mencela keduanya tetapi berkatalah dengan perkataan yang baik dan lemah lembut dan ketika mereka sudah mencapaiusia lanjut kemudian kencing dalam pemeliharaanmu maka jangan kamu merasa jijik terhadapnya dan janganlah katakan kepada kedua orang tua dengan perkataan uffin ketika kamu memindahkan mereka dari tempat buang air besar maupun buang air kecil sebagaimana mereka memindahkan kamu dari tempat buang air besar maupun buang air kecil di waktu kamu kecil. c. , yaitu
Artinya: Bersikaplah lemah lembut kepada kedua orang tua dan tunduklah kepada mereka atau bersikaplah lemah lembut dengan penuh kasih sayang kepadanya sehingga kamu tidak mencegah dari apa yang mereka sukai 8. M. Quraish Shihab Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Kata احساناmengandung dua hal, pertama memberi nikmat kepada orang lain dan kedua perbuatan baik, oleh karena itu kata “ ihsan” lebih luas maknanya tidak hanya memberi nikmat atau nafkah. Dalam surat al-Isra’ وبا نىاندين احسانا, menggunakan kata penghubung huruf ( )بba ketika menjelaskan tentang berbakti kepada kedua orang tua. Akan tetapi dalam bahasa membenarkan penggunaan li yang berarti untuk dan ila yang berarti kepada. Penggunaan kata penghubung ila menurut ahli pakar bahasa mengandung makna jarak, sedangkan Allah tidak menghendaki adanya jarak, meskipun sedikit hubungan antara anak dan orang tua. Anak selalu harus mendekat dan merasa dekat kepada kedua orang tua, bahkan
35
Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, hlm. 92.
55
diperintahkan untuk melekat kepada mereka. Hal ini mengandung arti ( )انصاقilshaq, yang berarti kelekatan. Dengan kelekatan ini, maka bakti diperintahkan kepada anak kepada orang tuanya dan pada hakikatnya untuk kebaikan sang anak sendiri.36 Bentuk ihsan (bakti) kepada orang tua yang diperintahkan agama Islam adalah bersikap sopan dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga terciptanya keharmonisan dan terpenuhi segala kebutuhan kedua orang tua. Kata ) ) اما يبهغن عندك انكبزااحدهما او كالهماmenekankan bahwa keadaan apapun orang tua, masih lengkap dengan ibu bapak atau tinggal satu harus mendapatkan perhatian dari anak. Kebiasaan orang tua yang sudah mencapai usia lanjut meniru seperti anak kecil, dengan ini anak lebih memperhatikannya dengan baik tidak menghina atau mengeluarkan katakata yang tidak sopan tetapi bersikap lemah lembut kepada orang tua. ( )كزيماkariman diartikan sebagai mulia. Maksudnya adalah apa yang disampaikan kepada orang tua tidak hanya benar dan tepat atau yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi harus yang terbaik dan termulia.37 nupadA جنا ح, yang berarti sayap. Artinya diibaratkan dengan burung ketika mendekat dan bercumbu kepada pasangannya, sayapnya merendah dan merangkulnya, dengan tujuan terhindarnya suatu bahaya yang akan menimpanya. Kata () انذل, yang berarti kerendahan. Hal ini burung mengembangkan sayapnya untuk melindungi dari sebuah ancaman. Dalam lingkungan anak diperintahkan untuk merendah diri kepada orang tua dengan didorong penghormatan dan rasa takut melakukan hal yang tidak sesuai dengan kedudukan kedua orang tua. Sedangkan () كما ربيانى صغيزا, menuntun anak agar supaya mendo’akan kepada kedua orang tua. Dalam hal ini keadaan orang tua masih hidup atau telah meninggal dunia. Dan orang tua menganut agama 36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 7, hlm. 444. 37 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, hlm. 445.
56
Islam dan tidak mempersekutukan Allah. Meskipun dari pihak anak terkadang masih sulit untuk menerima larangan tersebut, tetapi al-Qur’an tidak membolehkan dari orang tua yang meninggal dalam keadaan musyrik mendapatkan do’a dari anak.38 9. Prof. DR. H. Abdul Malik bin Abul Karim Amrullah ( HAMKA) Berkhidmat dan bersikap baik, berbudi mulia kepada ibu bapak merupakan suatu kewajiban bagi anak. Dikarenakan apabila manusia telah berumah tangga tidak sering lagi untuk memperhatikan khidmat kepada ibu bapak. Harta benda anak keturunan sering menjadi fitnah dan ujian dalam mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. (Jika kiranya salah seorang mereka atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu, maka janganlah katakan perkataan uffin kepada keduanya) Maksud dari terjemahan di atas adalah apabila kedua orang tua telah berusia lanjut, dari salah seorang atau keduanya bahkan tidak kuasa untuk hidup sendiri dan sangat tergantung kepada belas kasihan dari anaknya, maka ayat tersebut memerintahkan untuk sabar memelihara orang tua. Dikarenakan bertambahnya tua, sering memunculkan sifat kekanak-kanakan.39 Perkataan uffin menurut Abu Raja’ at-Atharidi merupakan katakata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak keras diucapkan. Selain larangan dalam mengeluarkan kata uff , yaitu mengeluh mengerutkan kening, membentak atau menghardik. Hal ini dilihat dari perasaan orang tua yang telah berjuang untuk anak dari diasuh, dididik dengan penuh kasih sayang, kelak menjadi manusia yang berarti, tetapi kedua orang tua telah berusia lanjut diperlakukan tidak baik. Dan sikap ini Allah tidak meridhoi perilaku anak terhadap orang tua.40 (Dan rendahkanlah kepada keduanya sayap merendah diri, karena sayang) 38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, hlm. 446. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 4031. 40 Hamka, Tafsir al-Azhar, hlm. 4032. 39
57
Ayat di atas menjelaskan mengenai sikap anak terhadap kedua orang tua yang diperintahkan untuk merendah diri, meskipun anak telah menjadi orang besar, mempunyai pakaian kebesaran dan pangkat. Akan tetapi anak harus merasa kecil dihadapan kedua orang tua, artinya tetap mempunyai sikap yang luhur. (Dan ucapkanlah: Ya Tuhan! Kasihinilah keduanya sebagaimana keduanya memelihara aku di kala kecil) Ayat di atas mengajarkan kepada anak untuk mendo’akan kepada orang tua, semoga Allah mengasihi sebagai kasihnya di kala anak masih kecil dalam pemeliharaan mereka. Hal ini dijelaskan susah payah ibu bapak dalam mendidik dan merawat di waktu anak masih kecil hingga tumbuh besar. Kelemahan orang tua sejak masih mengandung, menyusukan dan sampai mengasuh. Di mana sari tulang belulangnya dibagikan untuk menyuburkan badan sang anak yang masih lemah. Dan anak hanya diperintahkan untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang tua, dan tidak lebih dari itu, sehingga derajat sang anak menjadi anak yang sholeh dengan sebab mendo’akan kepada orang tua. 10. Menurut Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy , Sebuah perintah untuk berbuat ihsan (kebajikan) kepada ibu bapak dan berbakti kepadanya. Dikarenakan mereka yang pertama menyayangi dengan tabiat kasih sayang yang ditanamkan oleh Allah kepada setiap orang tua. Hal ini menyatakan bahwa suatu nikmat kasih sayang orang tua terhadap anaknya, sehingga mensyukuri apa yang telah diberikan oleh orang tua.41
41
Muhammad Hasbi as-Shiddiey, Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 2317.
58
, Menurut Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, bahwasanya ketika orang tua keadaan dalam pemeliharaan sang anak, maka wajib untuk mencurahkan
belas
kasih
dan
perhatian
kepada
mereka
dan
memperlakukan dengan cara baik dan sopan. Adapun hal itu dapat dilakukan dengan cara42: 1. Tidak
mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hatinya, apabila
terdapat sesuatu yang tidak disenangi, maka dianjurkan untuk bersabar dan berharap pahala dari Allah. 2. Tidak membentak-bentak atau mengeruhkan perasaan dengan ucapanucapan yang tidak baik dan tidak memperlihatkan rasa tidak senang karena perbuatan orang tua yang tidak menyenangkan kepada anak. 3. Berbicara bersama kedua orang tua dengan kata-kata atau ucapan yang baik dengan disertai penghormatan yang sesuai dengan adab (akhlak) dan etika. 4. Bertawadhu’ dan menaatinya dalam semua perintah yang tidak mengakibatkan kedurhakaan kepada Allah, dan melaksanakan perintah tersebut semata-mata kasih sayang anak terhadap orang tua bukan menurut suatu perintah. 5. Mendo’akan kepada orang tua agar diberi rahmat oleh Allah sebagai imbangan rahmat bapak ibu kepada anak semasa masih kecil. E. Telaah Isi kandungan surat al-Isra’ ayat 23-24 menurut para mufassir Dari beberapa pendapat mufassir di atas sepakat bahwasanya penghormatan anak terhadap kedua orang tua ditampilkan anak dalam komunikasi dengan baik yang dilahirkan dalam sikap dan perilakunya. 42
Muhammad Hasbi as-Shiddiey, Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nur, hlm. 2318.
59
Komunikasi dan interaksi dengan orang tua tidak hanya di batasi dengan kata sapaan yang sopan, melainkan mendo’akan mereka berdua. Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk berbuat baik terhadap kedua orang tua, dalam keadaan bagaimanapun karena kedua orang tua adalah perantara seorang anak lahir ke dunia, merawat dan mendidiknya sampai ia dewasa dan mandiri. Etika seorang anak kepada kedua orang tua tidak hanya mereka masih hidup akan tetapi sudah meninggal dunia pun masih dianjurkan untuk berbuat baik dengan cara mendo’akan serta memohonkan ampun atas dosa-dosa kedua orang tua selama hidup di dunia. Hal itu menunjukkan sebuah pendidikan bagi anak untuk menghargai serta menghormati kedua orang tua. Dengan tujuan pendidikan tersebut bahwa untuk menciptakan karakter anak yang baik dan mempunyai etika yang benar terhadap kedua orang tua serta menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Salah satu karakteristik utama dari seorang muslim sejati adalah perlakuannya yang bijak dan baik kepada orang tuanya, sebab memperlakukan orang tua dengan hormat dan baik merupakan salah satu ajaran teragung Islam. Islam mengangkat derajat orang tua pada tingkat yang tidak dikenal dalam agama lain.43 Islam menempatkan kebaikan dan sikap hormat kepada orang tua berada hanya satu tingkat di bawah keimanan kepada Allah dan ibadah yang benar kepada-Nya.44 Banyak ayat al-Qur’an telah menjelaskan mengenai pendidikan etika dari anak maupun kedua orang tua. Di mana dari anak mempunyai hak serta kewajibannya dan orang tua mempunyai kedudukan masing-masing. Hal ini karena anak bisa memiliki etika yang benar dalam kehidupannya disebabkan di mulai dari pendidikan orang tua dalam keluarga. Dikarenakan sangat jelas bahwa interaksi dalam keluarga antara anak dan orang tua sangat menentukan hak dan kewajibannya masing-masing menjadi keluarga yang bisa menjaga dari api neraka. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat 6 yaitu: 43
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001),
hlm. 71.
44
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 72.
60
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. (Q.S. at-Tahrim/66: 6)45 Sangat penting peranan kedua orang tua dalam menentukan sifat dan sikap anak dalam dirinya. Tidak terlepas dari pendidikan yang telah diberikan serta perhatian yang cukup untuk menciptakan anak yang mempunyai akhlakul mahmudah (akhlak yang baik) dan karena semua itu adalah yang diharapkan al-Qur’an. Dalam hal ini, anak memiliki kepribadian yang baik berawal dari rasa tanggung jawab kedua orang tua. Orang tua harus memberikan teladan serta pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya.
45
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 560.
PBAB IV ANALISIS KONSEP TENTANG PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA A. Pendidikan Etika Bagi Anak Pendidikan
etika
merupakan
sistem
pendidikan
yang
dapat
memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin suatu kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku serta keinginan yang kuat dalam cita-citanya.1 Dalam pendidikan dan pengajaran Islam tidak hanya memenuhi otak seorang anak, akan tetapi mendidik akhlak, jiwa, dan membiasakan dengan kesopanan tinggi. Adapun tujuan dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Hal ini nilai-nilai Islam akan berpengaruh dalam menjiwai dan mewarnai corak kepribadian seorang muslim.2 Adapun untuk mencapai seorang muslim yang sebenarnya tentunya harus menjadi penganut agama yang baik dengan mempelajari serta mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan, agar rahmat Allah tetap tercurahkan kepadanya. Namun dalam mengamalkan ajaran Islam harus didorong oleh iman sesuai dengan akidah islamiyah, sehingga menciptakan tatanan suatu kehidupan yang saling menghormati dan menghargai. Dikarenakan dalam pergaulan yang baik adalah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟, serta memenuhi segala hak yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya. 3 Seorang anak memiliki kepribadian yang baik karena terdapat pondasi yang kuat dalam pendidikan dirinya, dalam hal ini pendidikan agama yang
1
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Pendidikan Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 57. 2
Muhammad „Athiyah al-Abrasyi, Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 15. 3
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 2001), hlm.
383.
61
62
kuat sehingga bisa mengendalikan diri dengan baik. Dalam pendidikan anak sangat diperhatikan untuk menciptakan karakter yang baik. Jasa yang besar dalam kehidupan sang anak adalah orang tua dimana masih dalam kandungan hingga dewasa yang dibekali dengan pendidikan bagi dirinya, maka dari itu anak memiliki rasa tanggung jawab untuk berbuat baik, memelihara serta merawatnya kepada orang tua Tindakan anak terhadap orang tua dalam
berkomunikasi maupun
berbuat terhadap orang tua harus memiliki etika yang benar dalam pergaulan yaitu menghormati serta menghargainya. Maka sesuai dengan konsep pendidikan etika yang perlu diperhatikan bagi anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 23-24, adalah sebagai berikut: 1. Berbuat baik kepada orang tua dikenal dengan sebutan birrul walidain.
Istilah
“al-barr”
meliputi
aspek
kemanusiaan
dan
pertanggungjawaban ibadah kepada Allah. Dalam jalur hubungan kemanusiaan dan tata hubungan hidup keluarga serta lingkungan masyarakat wajib dipahami bahwa kedua orang tua yaitu ayah dan ibu menduduki posisi yang paling utama. Namun demikian kewajiban ibadah kepada Allah dan taat kepada Rasul tetap berada di atas hubungan horizontal kemanusiaan. 4 Hal ini memberikan pengertian bahwa kewajiban berbakti, mengabdi dan menghormati kedua orang tua (ayah dan ibu) setelah beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Dalam etika Islam, dorongan untuk berbuat baik kepada orang tua telah menjadi salah satu akhlak yang mulia (mahmudah). Dorongan dan kehendak tersebut harus tertanam sedemikian rupa, sebab pada hakikatnya hanya ayah dan ibu yang paling besar dan terbanyak berjasa kepada setiap anak-anaknya.
4
hlm. 45.
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005),
63
Nabi saw mengangkat ajaran-ajarannya ke puncak ketika beliau menasihati para pengikutnya untuk memperlakukan dengan baik dan bersikap hormat kepada orang tua meskipun mereka mengikuti agama selain Islam. Seorang muslim sejati yang memahami makna bimbingan alQur‟an dan ajaran Nabi saw tidak bisa kecuali menjadi yang terbaik dan berbuat yang terbaik kepada orang tua. 5 Seorang anak wajib taat dan patuh kepada orang tua namun bila orang tua mengajak ke arah kemusyrikan, maka anak tidak ada kewajiban untuk mentaatinya. Hanya saja sebagai anak tetap menggauli mereka dengan baik senantiasa ditunjukkan. Hal ini merupakan bentuk dari sikap anak dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Seperti yang terungkap dalam al-Qur‟an surat al-Ankabut ayat 8, yaitu:
“Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibubapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”.(Q.S. alAnkabut/29 : 8)6 Islam telah menggariskan kepada pemeluknya untuk berlaku adil dan menghormati hak-hak orang lain sepanjang bukan menyangkut masalah syirik, sekalipun orang tua yang musyrik, tidak boleh memutus hubungan silaturrahim dan kekeluargaan. Ini menggambarkan pentingnya ajaran Islam dalam menjaga keharmonisan keluarga. Karena dalam suka duka orang tua tetap berusaha dengan segala kemampuan memelihara, mendidik dan menyayanginya sejak kecil hingga dewasa.
5
Achmad Sunarto, Diterjemahkan dari kitab aslinya Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm.325. 6
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul ART, 2005), hlm. 397.
64
Orang tua adalah kerabat yang paling dekat dan paling dicintai. Akan tetapi dalam akidah terdapat perbedaan dengan ajaran Islam dan menimbulkan
kemusyrikan,
anak
tidak
mengikuti
mereka
atas
membangkangnya kepada Allah. Hal ini dikarenakan imani manusia menjadi prioritas utama dalam hubungan kemanusiaan. Namun demikian anak masih mempunyai kewajiban untuk memperlakukan orang tuanya dengan baik dan hormat serta memelihara mereka.7 Seorang muslim yang dibentuk oleh ajaran Islam benar-benar berbuat baik kepada orang tuanya. Dia menunjukkan kepada sikap hormat sepenuhnya, berdiri untuk menghormati mereka ketika mereka masuk rumah sementara mereka tengah duduk, mencium tangan mereka, merendahkan suara ketika berbicara kepada mereka, rendah hati, berbicara dengan nada yang lemah lembut, tidak pernah memakai kata-kata yang kasar atau melukai, tidak memperlakukan mereka dengan cara-cara yang tidak hormat, apapun keadaannya.8 Karena hal ini merupakan tujuan keagamaan bahwa setiap pribadi muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang bersih dan suci. Pandangan pendidikan Islam dan para pendidik muslim mengandung esensi yang amat penting dalam kaitannya dengan pembinaan individual, diibaratkan sebagai anggota masyarakat yang harus hidup di dalamnya dengan banyak berbuat dan bekerja untuk membina sebuah gedung yang kokoh dan kuat.9
7
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 86. 8 9
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 85.
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 36.
65
“Sungguh Allah telah perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebab-sebab di bawah ini: 1. Karena orang tua itulah yang belas kasih kepada anaknya, dan telah bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepada-Nya dan menghindarkan bahaya. 2. Bahwa anak merupakan belahan jiwa dari orang tua 3. Orang tua telah memberi kenikmatan kepada anak, baik anak sedang dalam keadaan lemah atau tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu wajib bersyukur telah memiliki orang tua yang telah memberikan apapun demi kebaikan sang anak, di mana orang tua dalam keadaan sudah berusia lanjut”. 10 2. Perkataan uffin biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan hus atau ah. Akan tetapi hus menurut rasa bahasa orang Jawa lebih tidak
sopan
mengandung
penghinaan
dan
mempunyai
maksud
membungkam orang yang dibentak dengan kata-kata hus, ah adalah sebagian lambang kekesalan hati bagi orang yang berkata. Adapun yang menyebabkan anak mengatakan dengan perkataan tersebut adalah orang tua yang sudah terlalu tua, loyo dan jompo. Dan kebiasaan yang sering dilakukannya kencing dan berak ditempat yang disukai atau sudah makan tetapi mengatakan belum. Semakin tua, orang tua selalu sulit diatur dan cerewet serta minta dilayani dengan layanan yang sempurna seperti halnya anak kecil. Hal ini anak harus mempunyai rasa tanggung jawab merawat dan mempersiapkan semua kebutuhan sehari-hari. Ini terkadang anak merasa jengkel, bosan, dan kesal terhadap orang tua atas perbuatan orang tua yang semakin tua dan pikun. Perasaan jengkel dan lain sebagainya tidak boleh terjadi pada
10
Ahmad Mustofa al-Maraghi, Terjemah. Tafsir al-Maraghi, terj. Hery Noer Aly, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 59.
66
seorang anak, apalagi sampai mengeluarkan perkataan ah dan hus kepada kedua orang tua.11 Selain anak tidak boleh jengkel dan kesal terhadap kedua orang tua, meskipun tidak dalam bentuk perkataan seperti muka cemberut, mengerutkan pening dan mencibirkan bibir. Dan itu semua tergolong perkataan uffin. Akan tetapi anak sudah berusaha dalam berbakti dan berkhidmat kepada kedua orang tua, tetapi orang tua masih sulit untuk diatur yang baik, merengek, bawel dan sang anak apabila terdapat rasa jengkel maka disimpan dalam hati serta tidak dinyatakan dalam bentuk ucapan atau sikap kerut muka dan keningnya. 3.
Konsep ini memberikan pendidikan kepada anak untuk bersikap tidak membentak, hormat, lemah lembut dan merendahkan suara dihadapan orang tua merupakan perintah Allah dalam al-Qur‟an maupun dalam hadis. Hal itu akan menimbulkan kesukaan hati kedua orang tua dan terjadi suasana harmonis serta kesejukan hubungan dalam keluarga, yakni antara anak dan orang tua. Orang tua dapat meridhai tingkah laku anak, karena sang anak
memang mendasarkan tingkah lakunya kepada
keridhaan orang tua. Maka sang anak dapat menjaga perasaan dan kehendak serta cita-cita orang tua dapat menanamkan pendidikan mulia terhadap anak. Hal itu tidak akan terjadi tanpa kewibawaan orang tua dan tanpa pengakuan kewibawaan orang tua oleh anaknya. Maka orang anak akan menghormati orang tua dan orang tua mengasihi anaknya. Menjadi seorang muslim yang sejati memperlakukan orang tuanya dengan baik dan hormat dalam segala keadaan. Tidak ada keterbatasan untuk membahagiakan kedua orang tua selama masih dalam koridor yang wajar dan tidak berlebihan yang bisa menjauhkan kepada Allah. Menjadi seorang anak harus menunjukkan sikap hormat, menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal yang baik berdasarkan status dan lingkungan 11
Umar Hasyim, Anak sholeh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm. 4.
67
sosial dalam standar Islam. Selain itu harus memperlihatkan dengan bermuka ramah, murah senyum, menunjukkan rasa cinta, kelembutan, kepercayaan dan rasa syukur kepada orang tua yang telah memberikan perlakuan baik terhadap anak.12 Keadaan yang demikian Allah sangat menyukai dan sebaliknya bila yang terjadi dalam keluarga selalu tegang, maka Tuhan juga tidak akan memberkahi keluarga tersebut. Anak selalu bertindak melanggar sopan santun keluarga dan berbuat durhaka kepada orang tua, hal ini karena anak tidak mau menaati orang tua, maka Tuhan bisa murka karena tingkah laku perbuatan anak membuat orang tua marah. Artinya bukan berarti Tuhan mengikuti kehendak orang tua, akan tetapi Allah tidak rela bila ada anak yang durhaka kepada orang tuanya. Orang tua marah karena anak melanggar akhlak mulia, melanggar etika keluarga dan berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajaran yang benar dalam keluarga. 4.
Merendahkan diri dan mendo‟akan serta memohonkan ampun kepada orang tua baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal Anak mempunyai kewajiban untuk bertawadhu‟ kepada orang tua melalui tindakan serta mendo‟akan atas limpahan rahmat Allah pada saat keduanya masih hidup maupun telah meninggal dunia. 13 Mendo‟akan orang tua merupakan suatu kewajiban bagi anak. Berdo‟a untuk mereka bukan hanya ketika sudah meninggal, akan tetapi orang tua yang masih hidup dido‟akan. Adapun waktunya lebih utama ketika selesai shalat fardhu. Tujuan anak mendo‟akan orang tua adalah supaya Allah memberikan rahmat kepada orang tua, dengan memanjatkan do‟a, maka cinta kepada orang tua akan tetap tumbuh di dalam hati seorang anak. Mendo‟akan orang tua boleh menggunakan bahasa Arab atau dengan bahasa apa saja yang bisa dipahami.
12 13
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 87.
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I . Penj. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 46.
68
Arti kata do‟a adalah memohon atau meminta, yakni memohonkan kepada Allah. Dalam hal ini anak mendo‟akan kepada orang tuanya. Mendo‟akan orang tua kepada Allah adalah berisi permohonan agar amal perbuatan orang tua diterima Allah dan dibalas berlipat ganda, juga mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Adapun berdo‟a memintakan ampun dosa-dosa orang tua kepada Allah agar Allah memberikan ampunan-Nya. Yang demikian anak yang mau mendo‟akan orang tua tergolong anak yang sholeh.14 Pada akhir ayat 24 dalam surat al-Isra‟ merupakan salah contoh do‟a kepada orang tua yang berbunyi: “Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (Q.S. alIsra‟/17: 24)15 Ada beberapa contoh dalam al-Qur‟an tentang do‟a Nabi mengenai orang tua, di antaranya: a. Do‟a Nabi Ibrahim yang terdapat dalam surat Ibrahim ayat 40-41:
“Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (Q.S. Ibrahim/14 : 4041)16
14
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 73.
15
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 284.
16
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 260.
69
b. Do‟a Nabi Sulaiman yang terdapat surat an-Naml ayat 19:
“Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS. an-Naml/27 : 19)17 c. Do‟a Nabi Nuh yang terdapat dalam surat Nuh ayat 28:
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS. Nuh/71 : 28)18 Anak mempunyai kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang sudah meninggal dunia. Adapun caranya sebagai berikut: 1. Mendo‟akan kedua orang tua dan memintakan ampun kepada Allah Ini termasuk berbakti kepada kedua orang tua yang telah meninggal dunia ikut serta dalam menshalati jenazahnya. Dengan tujuan semua bentuk amal kebaikan bisa diterima di sisi Allah. Dan tidak hanya berdo‟a saat berada di atas batu nisan orang tua, akan tetapi mendo‟akan kedua orang tua yang telah meninggal dunia tidak
17
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 387.
18
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 571.
70
terpancang oleh waktu dan keadaan, di mana saja berada ada kesempatan diperbolehkan untuk berdo‟a.19 2.
Menyalati dan memohonkan ampun bagi dosa-dosa orang tua Agama Islam menganjurkan untuk menziarahi kubur orang tua yang sudah meninggal setelah prosesi menyalati, pemakaman telah usai. Dengan tujuan benar-benar menjadi manusia yang berbakti kepada kedua orang tua secara sempurna, dalam keadaan masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.20 Namun dalam ketentuan bahwa tidak boleh mendo‟akan atau memohonkan ampun serta menyalati orang-orang kafir atau meninggal dunia dalam keadaan tidak Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur‟an surat at-Taubah ayat 80, yaitu:
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik, (Q.S. At-Taubah/9 : 80).21 Hal ini bukan disebut anak yang sholeh dikarenakan tidak mendo‟akan orang tua yang telah meninggal dunia, akan tetapi disebabkan karena kemusyrikan atau kekafiran mereka yang tidak boleh mendo‟akan orang tua.
19
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 66.
20
Labib, Etika Mendidik Anak Menjadi Sholeh (Surabaya: Putra Jaya, 2007), hlm. 76.
21
Al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 200.
71
3. Memenuhi segala pesan, wasiat dan menjunjung tinggi nama baik orang tua Di antara cara berbakti kepada kedua orang tua adalah memenuhi segala pesan dan wasit orang tua setelah meninggal dunia. Namun pesan dan wasiat yang baik, tidak melanggar ajaran Islam. Memenuhi pesan dan wasiat serta menjunjung tinggi nama baik orang tua meninggal dunia adalah sama halnya dengan memenuhi pesan dan menjunjung tinggi nama baik orang tua ketika masih hidup. Orang tua telah berpesan hal yang baik dan berwasiat kebaikan anak harus memenuhi pesan tersebut, karena itu merupakan tanda anak masih mencintai dan berbakti kepada kedua orang tua meskipun telah meninggal dunia.22 4.
Menghubungkan silaturrahim Kata silah adalah sebuah perkataan dari berbahasa Arab shilah, yang artinya hubungan, dan rahmi atau rahim adalah ruhum tempat anak atau asal kejadian manusia dalam perut ibunya. Adapun ruhum berarti kasih sayang atau rahmat antara sesama manusia. Anak mempunyai silah atau hubungan yang erat dengan ibu bapaknya, dan kepada kerabat lainnya. Dan memutuskan hubungan silaturrahim merupakan perbuatan dosa yang besar dan mendapatkan siksa dari Allah. Karena hal ini sesuatu yang sangat penting dan harus mendapat perhatian dari umat Islam secara keseluruhan. Meskipun orang tua sebenarnya termasuk kerabat, tetapi dalam agama Islam kerabat dibedakan menjadi dua (2), yaitu: pertama, kerabat yang ada hubungannya dengan kelahiran seperti ibu, bapak dan saudara. Kedua, keluarga atau kerabat yang berhubungan dengan rahim, seperti paman, bibi dan lain sebagainya.23
22
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 77.
23
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 78.
72
B. Pendidikan Etika Bagi Orang Tua Pendidikan etika bagi orang tua merupakan dari peranan serta tanggung jawab kedua orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak. 1.
Kedudukan Orang Tua Dalam sebuah rumah tangga, orang tua mempunyai kedudukan yang sangat menentukan. Dari kedudukan tersebut melahirkan suatu kewajiban dan tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta hak bagi anggota keluarga yang lain. Ibu bapak mempunyai posisi sebagai tempat rujukan bagi anaknya baik dalam soal moral maupun untuk memperoleh informasi. Peran ini harus disadari seseorang semenjak dia menjadi Ibu atau Bapak dari anak-anak yang menjadi amanahnya. Adapun kedudukan orang tua adalah sebagai berikut : a) Sebagai Pelindung dan Pemelihara Suatu kenyataan bahwa anak lahir sebagai seseorang individu yang lemah yang memerlukan bantuan orang lain untuk menjaga kelangsungan hidupnya. “ Potensi-potensi yang dibawa sejak lahir itu justru akan berkembang dalam pergaulan hidup sesama manusia maka anak manusia yang baru dilahirkan itu tidak akan menjadi manusia sebenarnya.” 24 Maka
menjadi
kewajiban
orangtualah
untuk
membimbing,
mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, sehingga anak dapat tumbuh menjadi individu yang berdaya guna yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani maupun rohani) dan dapat melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Kewajiban orang tua sebagai pelindung dan pemelihara keluarga meliputi pemeliharaan segi moral maupun material. Adapun bagi anak intinya membantu
anak memenuhi
kebutuhannya
demi
menjaga
kelangsungan hidupnya. Kebutuhan tersebut antara lain :
24
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), hlm.192.
73
1. Kebutuhan Jasmani/biologis, yang merupakan kebutuhan hidup primer seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. 2. Kebutuhan Psikis, “Kebutuhan ini meliputi kebutuhan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa kebebasan sukses dan kebutuhan rasa tahu/mengenal.” 25 3. Kebutuhan sosial, yaitu untuk dapat bergaul dan berinteraksi dengan lingkungannya, karena manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai pembawaan untuk hidup bermasyarakat. 4. Kebutuhan Agama sebagaimana firman Allah :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Q.S.ar-Ruum/30 : 30). 26 5. Kebutuhan Paedagogis. Kebutuhan pendidikan ini merupakan inti dari semua kebutuhan anak, dalam arti semua kebutuhan anak tersebut diatas akan dapat terpenuhi melalui bantuan dari orang lain berupa pendidikan. Sehingga dalam perkembangannya anak akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bekal pendidikan yang telah diterimanya. b) Sebagai Pendidik Kedudukan orang tua sebagai pendidik merupakan tanggung jawab kodrati. Karena anak dilahirkan dengan membawa sejumlah 25
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung,1986), hlm.76.
26
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 408.
74
potensi dimana potensi itu tidak akan berkembang dengan sendirinya melainkan
memerlukan
bantuan
dari
orang
lain
untuk
mengembangkannya. “Ayah dan ibu merupakan dwitunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga yang dijalin dengan kerjasama dan saling pengertian sebaik-baiknya, agar timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat paedagogis ataupun psikologis dalam pembentukan dan pengembangan watak/sikap anak”.27 c) Sebagai Peletak Dasar Pendidikan. Manusia adalah makhluk yang harus dididik, agar fungsi hidupnya dapat berfungsi dengan baik dan sempurna, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak tahu apa-apa. Allah berfirman : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (Q.S. an-Nisaa‟/4 : 28)28 Dan pada ayat lain Allah juga berfirman :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamiu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. An Nahl/16 : 78) 29 Berdasarkan pada kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa yang lemah pada diri manusia itu adalah jasmaninya dan yang tidak tahu apaapa adalah rohaninya. Karena itu pendidikan bagi manusia adalah meliputi pendidikan jasmani dan rohani. Pendidikan jasmani yang utama adalah 27
HM. Arifin, Hubungan Timbal balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang , 1978), hlm.88. 28
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 83.
29
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 285.
75
agar dia menjadi kuat dan cekatan, sedangkan pendidikan rohani itu meliputi berbagai segi, sebab rohani manusia itu terdiri dari berbagai aspek. Para ahli jiwa mengatakan bahwa di dalam jiwa atau rohani manusia terdapat enam rasa, yaitu rasa intelek, rasa susila, rasa seni, rasa harga diri, rasa agama, dan rasa sosial. Apabila rasa intelek dididik, maka manusia akan menjadi pintar, apabila rasa susila dididik, maka manusia akan menjadi bermoral, begitu seterusnya. Untuk memenuhi pendidikan anak yang demikian, maka orangtualah yang pertama kali memberikannya. Jelaslah bahwa orang tua yang bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi yang dimiliki seorang anak sebelum potensi itu dikembangkan oleh pendidik yang lain. Menurut Zakiah Derajat, “Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan.”30 Jadi sebelum anak mengenal lembaga lain seperti sekolah dan lembaga lainnya, maka yang pertama kali yang dikenal oleh adalah lingkungan keluarga dan orang tua sebagai pemimpin sekaligus gurunya, sehingga anak-anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang akan dikembangkan lebih lanjut melalui lembaga-lembaga pendidikan lain. 2.
Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak Islam telah memberikan pernyataan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan lemah tidak berdaya, sehingga memerlukan uluran tangan untuk meyentuhnya, dalam arti mengajar, membimbing dan mengarahkannya. Maka fase pertama, orangtualah yang paling dominan dalam merubah sikap dan karakter anak. Pendidikan merupakan faktor penting yang harus diberikan kepada anak, mengingat anak-anak merupakan calon pemimpin, tiang dan penentu masyarakat di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan yang menjadi hak anak adalah menjadi kewajiban orang tua yang didalamnya termasuk
30
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 35.
76
pendidikan. Misal shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka dari itu dalam keluarga kedua orang tua mempunyai tanggung jawab untuk perintah mendirikan shalat kepada anaknya, Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw:
) “Perintahlah kepada anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika sudah berusia tujuh tahun dan pukulah ketika meninggalkan shalat dalam usia sepuluh tahun dan pisahlah mereka dalam tempat tidur”. (H.R. Abu Daud)31 Orang tua mempunyai peranan penting terhadap pendidikan anak. Hal ini merupakan ciri-ciri dan watak rasa tanggung jawab setiap orang tua عatas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan masa mendatang. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar terpikul pada orang tua. Orang tua merupakan orang dewasa pertama yang memikul tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak berada ditengahtengah ibu dan ayahnya pada masa-masa awal kehidupannya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikan. Dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada ditengah-tengah orang tuanya. Mereka dapat mengenalkan kepada anak segala hal yang ingin beritahukan kepada anak atau anak sendiri ingin mengetahuinya.32 Adapun pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua, menurut Zakiah Daradjat dan kawan-kawan, adalah sebagai berikut : 1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari
tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan
dorongan alami untuk kelangsungan hidup manusia.
31
Imam al-Hafidh Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1996), Juz I, hlm. 173. 32
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hlm.87.
77
2. Melindungi dan menjamin keselamatan baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan, dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya. 3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya. 4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.33 Melihat kenyataan sekarang, bahwa tidak mungkin para orang tua dapat memikul tanggung jawab itu sendiri secara sempurna, lebih-lebih dalam masyarakat yang lebih maju. Hal ini wajar saja, karena hal itu tidaklah sepenuhnya dipikul orang tua secara sendiri-sendiri, sebab mereka sebagai
manusia
mempunyai
keterbatasan-keterbatasan.
Meskipun
demikian perlu diingat bahwa orang tua tidak dapat mengelakkan tanggung jawab itu. Anak adalah amanat Allah. Kalau orang tua tidak dapat menunaikan amanat Allah dalam hal membimbing dan memelihara anak tersebut, maka bukan tidak mungkin suatu dosa telah menjadi beban orang tua sehingga membawa derita di akhirat.34 karena itulah maka orang tua harus menjaga dan memelihara serta menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerima. Akibat salah didik terhadap anak, bisa berakibat sang anak akan menjadi pemberang yang nakal terhadap orang tua. Salah didik atau menelantarkan pendidikan anak adalah salah satu bentuk dari menyianyiakan amanat Allah. Maka sebagai orang tua harus melaksanakan amanat Allah sebaik-baiknya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti di atas.
.21.
33
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, hlm.38.
34
Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1983), hlm
78
Dalam kefitriannya, anak membawa potensi yang siap dikembangkan, baik melalui tangan orang tuanya, pendidik maupun masyarakat sekitarnya. Akan tetapi yang lebih utama dalam mengembangkan potensi tersebut adalah orang tua. Karenanya orang tua harus pandai dan bijak dalam memberikan arahan, bimbingan dan pendidikan bagi anak-anaknya. Sebagai perwujudan dari keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua, yaitu : 1. Pendidikan Ibadah 2. Pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al Qur‟an 3. Pendidikan Akhlakul Karimah 4. Pendidikan Aqidah Islamiyah Keempat aspek pendidikan tersebut mencakup dalam pengertian yang terkandung dalam surat Lukman ayat 12-19.35 Jadi jelaslah kiranya pembahasan mengenai peranan orang tua terhadap pendidikan anak, dan selanjutnya akan dibahas mengenai konsep-konsep pendidikan Islam yang meliputi beberapa hal yang akan diuraikan kemudian. Orang tua sedikit demi sedikit membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku anak sesuai dengan ukuran pada orang tua, dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang diyakininya yakni agama Islam. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-baqarah : 132
“… Hai anak-anakku ! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka jangan kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Q.S. al-Baqarah/2 : 132)36 Dalam keluarga orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak berdasarkan nilai-nilai akhlak yang luhur. Pembentukan pribadi yang mempunyai budi pekerti merupakan tujuan 35
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 1996), hlm.105. 36
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 20.
79
utama dalam pendidikan Islam, karena akan tercermin pribadi yang mulia. Adapun pribadi yang mulia adalah pribadi yang hendak ingin dicapai dalam mendidik anak dalam keluarga. Perhatian dan pengamatan sangat diperlukan terhadap anak, realitas yang ada lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Sebagai orang tua harus mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang dianggap baik di mata anak, sehingga rangsangan ke arah buruk anak bisa mengendalikan.
) “Kewajiban orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik dan tata krama ”. (H.R. Ibn Nujjar)37 Secara garis besar terdapat beberapa tanggung jawab orang tua terhadap anak, di antaranya: bergembira menyambut kelahiran anak, memberi nama yang baik, memperlakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, menanamkan rasa cinta terhadap keluarga, memberikan
pendidikan
akhlak,
menanamkan
akidah
tauhid,
menempatkan dalam lingkungan yang baik. Orang tua sebagai model bagi anak, dikarenakan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan merupakan pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sebagaimana model harus mencerminkan yang terbaik dalam berbagai macam aspek penampilan maupun gerakannya. Hal ini orang tua mengajarkan yang baik terhadap anak.
C. Pendidikan Etika Bagi Keduanya Manusia merupakan makhluk yang memerlukan pendidikan atau “homo educandum”, karena dipandang sebagai “animal educabil” yang artinya binatang yang dapat dididik dan harus dididik.
38
Hal ini
37
‘Alauddin Ali al-Muttaqi, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, (t. Muassasah ar-Risalah), Juz 16, hlm. 461. 38
6.
Ramayulis dkk., Pendidikan Islam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm.
80
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi akal oleh Allah untuk menggunakan dalam kehidupannya.39 Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga. Anak mendapatkan norma-norma pada anggota keluarga, baik ayah, ibu maupun kakak bahkan di lingkungan sekitar. Artinya orang tua dalam mendidik dan memelihara anak merupakan tugas secara kodrati sebagai manusiawi sebagai orang tua.40 Sebagai orang tua mempunyai cita-cita yang tinggi bahwa anak-anaknya kedepan memiliki kepribadian yang baik dan bisa berbakti kepadanya. Berbakti terhadap orang tua dalam ajaran Islam merupakan kewajiban bagi seorang anak. Orang tua merupakan orang yang pertama dalam keluarga yang selalu erat hubungannya dengan anak-anaknya, maka orang tua mempunyai pengaruh yang sangat besar baik pengaruh negatif ataupun pengaruh positif terhadap anak-anaknya. Dalam keluarga anak dan orang tua mempunyai kewajiban masing-masing, dan semuanya berawal dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Oleh karena itu orang tua harus hati-hati dan banyak perhitungan di dalam menanamkan pengaruhnya ke arah cita-cita yang diidam-idamkan anaknya. Adapun hubungan antara orang tua dengan anaknya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Hubungan Biologis Anak merupakan amanat dari Allah yang diberikan kepada orang tua yang harus dididik dan diasuh agar nantinya dapat meneruskan dan melanggengkan garis keturunannya. Anak tercipta lantaran adanya hubungan yang harmonis antara suami istri setelah melalui proses pernikahan menurut syariat yang telah ditentukan. 2. Hubungan Psikologis Pada usia dini anak sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Perkembangan kejiwaannya belum stabil, masih mengalami
39
M. Sholeh Noor, Pendidikan Islam, (Semarang: IAIN “Walisongo”, 1987), hlm. 63.
40
M. Sholeh Noor, Pendidikan Islam, hlm. 63.
81
kegoncangan-kegoncangan. Oleh sebab itu diperlukan pengarahan dari orang tua untuk membimbingnya. 3. Hubungan Sosiologis Antara orang tua dan anak-anaknya dapat mengembangkan hubungan yang hangat dan akrab yang didasarkan atas saling mengasihi dan saling menghargai 4. Hubungan Religius Kehidupan keagamaan anak secara umum akan meniru keagamaan orang tuanya, atau dengan kata lain orangtualah yang akan membentuk keagamaan anak, yaitu melalui latihan dan bimbingan. Agar nantinya mempunyai keagamaan yang baik, dianjurkan kepada orang tua untuk mempersiapkan diri sedini mungkin, yaitu sejak mulai mencari pendamping hidup.41 Anak dilahirkan dengan perantara bapak dan ibu yang dipenuhi rasa kasih sayang serta tanggung jawab untuk mendidiknya. Dengan demikian hal yang wajar bahwa berbakti dan berlaku yang benar kepada orang tua merupakan suatu keharusan, baik dilihat dari sisi agama maupun kemanusiaan. Anak diciptakan memiliki suatu potensi yang positif untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi tergantung dalam pendidikan yang diberikannya.42 Untuk mengenalkan, mendidik dan menanamkan akhlak yang terpuji kepada anaknya, orang tua harus memberikan contoh kepadanya. Karena jika kedua orang tua mendidiknya dengan akhlak yang terpuji, sedangkan mereka tidak memberikan contoh atau tidak melakukannya, maka si anak akan memprotesnya. Atau bahkan anak akan membalikkan kepada orang tuanya apabila si anak melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Di sinilah kedua orang tua harus berhati-hati dalam berperilaku
41
Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Mandar Maju,1992),
hlm. 116. 42 Labib, Etika Mendidika Anak Menjadi Sholeh, hlm. 45.
82
baik tingkah laku maupun bahasa dalam kehidupan sehari-hari di depan anak-anaknya. Peran dan tanggung jawab kedua orang tua dalam mengenalkan, mengajarkan dan menanamkan akhlak terhadap anak-anaknya sangat penting. Hal ini karena si anak telah mengetahui dan memahami mana perbuatan yang termasuk akhlak mahmudah dan mana perbuatan yang termasuk akhlak madzmumah. Di sisi lain, si anak akan terbiasa melakukan perbuatan yang terpuji dan terbiasa meninggalkan akhlak yang tercela. Sehingga ia memiliki fondasi yang sangat kuat akan sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari bila ia dewasa kelak. Orang tua sebagai kepala atau pemimpin keluarga mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup seluruh anggotanya, baik dalam membimbing, melindungi atau mendidik anak. Sebab anak merupakan amanat Allah yang diberikan kepada orang tua untuk dididik agar nantinya mendapatkan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Di dalam kehidupan sehari-hari, orang tua merupakan cermin masa depan anak-anaknya. Apabila di dalam rumah tangga tercipta hubungan yang harmonis antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya, saling memenuhi hak masing-masing serta saling menghormati, maka sudah tentu anak-anak pada masa yang akan datang akan selalu menjunjung tinggi perintah orang tuanya, memelihara dan menjaganya ketika usia lanjut. Sebab pada awal mulanya orang tua tersebut memberikan contoh langsung dalam bentuk perbuatan berbakti kepada orang tua.43 Tujuan dalam pemeliharaan dan pendidikan anak adalah untuk menciptakan suatu karakter yang baik dan mempunyai pola pikir yang berdasarkan tatanan kehidupan, baik secara umum maupun agama. Ajaran Islam
43
mengajarkan hak anak kepada orang tua maupun sebaliknya.
Labib, Etika Mendidika Anak Menjadi Sholeh, hlm. 49.
83
Mengingat pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, maka orang tua harus melaksanakan tugas dan fungsi edukatif dengan sebaik-baiknya. Maka tidak ada alternatif lain bagi orang tua kecuali untuk mendidik anak dan membimbingnya dan ini mutlak diperlukan oleh anak. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknnya kepribadian yang utama. Anak sholeh merupakan dambaan setiap orang tua, selain mempunyai sikap yang baik akan tetapi juga terdapat nilai bahwasanya anak sholeh yang mendo‟akan kepada orang tuanya merupakan salah amal yang tidak akan terputus, meskipun telah meninggal dunia.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari permasalahan yang penulis paparkan dalam skripsi ini, maka penulis dapat menarik simpulan adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan etika merupakan tentang perbuatan mendidik etika, ilmu-ilmu mendidik, pengetahuan tentang pendidikan etika dan pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk pembelajaran. Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari aturan yang ada, baik dalam lingkungan maupun agama. Dalam interaksi antara anak dan orang tua harus mempunyai tanggung jawab yang benar dalam perbuatan. Dikarenakan keluarga merupakan pendidikan awal untuk mendidik anak. Dari sinilah anak akan mempunyai sikap terhadap orang tua yang diperoleh dari pendidikannya terutama dalam keluarga sendiri. Keluarga atau orang tua merupakan lembaga yang pertama dan utama dalam memberikan dasar-dasar pendidikan anaknya. Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan kepribadian anak di masa depan, baik dari segi pengetahuan dan tingkah lakunya. Dan ini harus dimulai dan dikembangkan sejak dini karena akan sangat membekas pada diri anak dan merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju terbentuknya pribadi muslim yang seutuhnya. Anak mempunyai kewajiban terhadap kedua orang tua adalah berbakti, menghormati dan menghargainya baik dalam hal perkataan maupun perbuatan. Baik keadaan kedua orang masih hidup atau telah meninggal dunia bahkan telah mencapai usia lanjut. 2. Al-Qur’an telah menjelaskan mengenai pendidikan etika seorang anak dan orang tua di dalam keluarga. Hal ini dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 2324, surat tersebut mengandung perintah untuk berbuat baik kepada kedua
84
85
orang tua. Keterangan para muffasir dalam menafsirkan surat al-Isra’ tersebut bahwa birrul walidain (berbuat baik kedua orang tua) mempunyai kesimpulan singkat adalah dari tidak boleh mengeluarkan perkataan yang bisa menimbulkan kesal kepada orang tua, membentak, namun merawatnya meskipun sudah berusia lanjut. Dan merendah di hadapan orang tua meskipun anak lebih pandai serta sikap yang harus dimiliki anak adalah tawadhu’ dan mendo’akan mereka. 3. Konsep pendidikan etika bagi anak merupakan kewajiban anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tua baik masih hidup keduanya atau telah meninggal dunia. Dikarenakan hal itu sebuah perintah serta bentuk ibadah kepada Allah sesama makhluk-Nya. Dan juga keridhoan Allah terletak dalam keridhoan kedua orang tua. Dan patuh semua perintah dari kedua orang tua selama tidak mengakibatkan kemusyrikan kepada Allah atau dalam bentuk maksiat. Dilarang seorang anak untuk mengatakan perkataan uf yang berarti ah, hus, kesal, bosan atau yang mengandung penghinaan dan mempunyai maksud menyakitkan kedua orang tua. Meskipun kedua orang tua sudah mencapai usia lanjut tetap diperlakukan dengan sebaik mungkin dan menyinggung perasaan mereka berdua dengan perkataan yang tidak sopan. Tidak boleh pula membentak kedua orang tua melainkan bersikap yang baik dan mengatakan setiap sesuatu dengan perkataan yang mulia dan lemah lembut. Anak mempunyai kewajiban untuk bertawadhu’ dan merasa rendah dihadapan kedua orang tua serta mendo’akan kepada Allah semoga rahmat dan ampuan-Nya tetap terlimpahkan kepada kedua orang tua. Atau menziarahi kuburan orang tua yang sudah meninggal dunia dengan mengirimkan do’a buat mereka agar supaya semua amal kebaikan diterima di sisi Allah. Pendidikan etika bagi orang tua merupakan dari peranan serta tanggung jawab kedua orang tua kepada anak. Kedudukan orang tua
86
sebagai pendidik merupakan tanggung jawab kodrati dan
melahirkan
suatu kewajiban dan tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta hak bagi anggota keluarga yang lain. Ibu bapak mempunyai posisi sebagai tempat rujukan bagi anaknya baik dalam soal moral maupun untuk memperoleh informasi. Karena anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi dimana potensi itu tidak akan berkembang dengan sendirinya melainkan memerlukan bantuan dari orang lain untuk mengembangkannya. Di dalam kehidupan sehari-hari, orang tua merupakan cermin masa depan anak-anaknya. Jadi dalam keluarga orang tua dan anak mempunyai peranan masing-masing dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Anak yang mempunyai kewajiban untuk birrul walidain serta menghormati dan menghargai dalam hidupnya namun sebelumnya pendidikan dari kedua orang tua sangat mempengaruhi dalam diri anak. B. Saran-saran Sehubungan dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini, ada beberapa hal yang hendak perlu diperhatikan anak terhadap orang tua: 1. Hendaknya selalu menanamkan rasa syukur bahwa betapa mulianya jasa orang tua dengan penuh kasih sayangnya dari masih dalam kandungan hingga tumbuh besar 2. Hendaknya berusaha untuk berbuat baik kepada orang tua, meskipun mereka telah berusia lanjut. 3. Hendaknya bertawadhu’ dan menaatinya dalam semua perintah yang tidak mengakibatkan kedurhakaan kepada Allah dan berbicara dengan kata-kata atau ucapan yang baik serta mendo’akan kedua orang tua untuk memintakan ampunan kepada Allah. 4. Sebagai orang tua hendaknya memperhatikan dari pendidikan dan kebutuhannya
anak,
memaksimalkannya.
sehingga
potensi
yang
dimiliki
mampu
87
C. Penutup Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan yang menciptakan langit, bumi serta isinya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia, khususnya orang yang beriman, serta memberi kekuatan dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat kepada semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri dan mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo serta masyarakat pada umumnya. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Pendidikan Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. _________, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an ,Jakarta: Amzah, 2007. Achmad, Mudlor, Etika dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 2006. al-Abrasyi, Muhammad „Athiyah, Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. al-Farmawi, Abd. al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. al-Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 2001. al-Hafidh, Imam Jalil, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,Suriah: Daru bil Qalam alArabi, t.th . al-Hasan, Abi, an-Nuktu wal ‘Uyun Tafsir al-Mawardi, Beirut: Darul Kutub alIlmiyah, t.th, Juz 3. al-Hasyimi, Muhammad Ali, Menjadi Muslim Ideal Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001. al-Husain, Imam Abi Muhammad, Tafsir al-Baghowi, Beirut: Darul Kutub alIlmiyah, t,th, Juz 3. Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002,. al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi, Mesir: Musthofa al-Halbi wa Auladih, t. th, juz 13. al- Mas‟udi, Hafidh Hasan, Taisirul Akhlak Fi Ilmil Akhlak, Semarang: Maktabah al-Alawiyah _________, Terjemah. Tafsir al-Maraghi, terj. Hery Noer Aly, dkk., Semarang: Toha Putra, 1993. al-Muttaqi, Alauddin Ali, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, t. Muassasah ar-Risalah, Juz 16.
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998. Amin, Ahmad, Etika, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. an-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj. Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat Bandung: CV. Diponegoro, 1989. Arifin, HM., Hubungan Timbal balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang , 1978. Arifin, Zaenul, dkk., Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2002. Ar-Rifa‟i Muhammad Nasib,. Penj. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jakarta: Gema Insani, 1999, . 46. as-Shiddiey, Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007. az-Zuhaily, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Darul Fikr, t.th. Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. _________, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta : Ruhama, 1995, hal. 64. _________, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung,1986. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Al-Jumanatul „Ali, 2005. Djamarah, Syaiful Bahri, Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam Keluarga, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004. Djatnika, Rachmat, Sistem Etika Islam, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996. Fakhruddin, Imam,, Tafsir al-Kabir, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, t.th, Jilid 10. Fakhry, Majid, Etika dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001.
Halim, Nipan Abdul, Anak Saleh Dambaan Keluarga, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional, 1999. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Hasyim, Umar, Cara Mendidik Anak dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu,1983. Hasyim, Umar, Anak sholeh, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995 Husein, Ibnu, Pribadi Muslim Ideal, Semarang :Pustaka Nuun, 2004. Idris, Zahara, Dasar-dasar Kependidikan, Padang: Aksara Raya, 1987. Imam Abi al-Husain Muslim Ibnu al-Hajjaj Ibnu Muslim, Shahih Muslim Syarah al-Nawawiy, Juz IV Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th, hal. 2047. Kartono, Kartini, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, Mandar Maju, Bandung, 1992. Labib, Etika Mendidik Anak Menjadi Sholeh, Surabaya: Putra Jaya, 2007. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan Jakarta : al-Husna Zikra, 1995. Ma‟arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Mazhahiri, Husain, Surga Rumah Tangga Jakarta : Titian Cahya, 2001. Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Muhammad, Sayyid, at-Tahliyah wa Targhib Fi at-Tarbiyah Wat Tahdhib, Surabaya: al-Hidayah Nasution, Thamrin, Peranan Orang tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, Gunung Mulia, Jakarta, 1989. Noor, M. Sholeh, Pendidikan Islam, Semarang: IAIN “Walisongo”, 1987. Ramayulis dkk., Pendidikan Islam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005. Sapuri, Rafy, Psikologi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
_________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 7. Su‟ud, Imam, Abi Tafsir Abi Su’ud, Beirut: Daru Ihya‟ at-Tarku al-Arabi, t.th, Juz 5. Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Pers, 1997. Sulaiman, Imam al-Hafidh Abi Daud, Sunan Abi Daud, Beirut: Darul Kutub alIlmiah, 1996, Juz I.. Sunarto, Achmad, Diterjemahkan dari kitab aslinya Riyadhus Shalihin, Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Surackhmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1998. Syadzali Ahmad,dan Ahmad Rifa‟i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997. Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Abdullah HAMKA, Tafsir al-Azhar, Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981, Juz XV. Tahlan, Musthafa, Muhammad Muslim Ideal Masa Kini, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2000. Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Ya‟qub, Hamzah, Etika Islam, Bandung: Diponerogo, 1985. Yusuf, Syamsul, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap
: Khasan Farid
2. Tempat & Tgl. Lahir
: Semarang, 18 Desember 1987
3. NIM
: 063111029
4. Alamat Rumah
: Kp. Randusari Rt. 03 Rw. 02 Kec. Gunung Pati Semarang
HP
: 081390044298/085641197308
E-mail
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. MI Raudhatul Atfal Gunung Pati
Lulus tahun 2000
b. MTs Darul Ulum Suruh Kab.Semarang
Lulus tahun 2003
c. MAN Suruh Kab.Semarang
Lulus tahun 2006
d. IAIN Walisongo Semarang
Lulus tahun 2011
2. Pendidikan Non- Formal a. Pon-Pes an-Nibros al-Hasyim as-Salafy Suruh
Tahun 2003 - 2006
b. Pon-Pes Rahmatan Lil ‘Alamin Mijen
Tahun 2010 - sekarang
Semarang, 02 Juni 2011
Khasan Farid NIM: 063111029