KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Andini Hafizhotin Nida NIM : 107044102645
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H /2011 M
KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Andini Hafizhotin Nida NIM : 107044102645
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H /2011 M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris
:
Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing :
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 195505051982031012
4. Penguji I
: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA NIP. 19760807200312001
5. Penguji II
: Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag NIP. 197308022003121001
ii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,1 Juni 2011
Andini Hafizhotin Nida NIM: 107044102645
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep
Pemikiran
Idah
Bagi
Laki-Laki
Serta
Relevansinya
dengan
Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia ". Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah membimbing pada jalan kebenaran. Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekaligus sebagai dosen penasehat Akademis. 3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
iv
5. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya. 6. Orang tua tercinta Bapak H. Hifzy Anshori dan ibu Lastini Kunyadi yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan, membantu penulis baik moril maupun materil, adik dan kakak tercinta Noviyan Fajri dan Andika Irhamy, S.sos.I. 7. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada penulis Wa Titi, Wa Mpi yang tulus telah mendukung dengan segenap kasih sayang dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini, kakek tercinta Kunyadi, Seluruh sepupu penulis Mba Erlyn, Mas Ari, Mas Erwyn, Mas Deny, Mba Nur, Ka Ipu, dan seluruh keponakan-keponakanku yang telah menghibur dengan senyuman manis dan canda tawanya. 8. Sahabat-sahabat penulis, Nurul Hikmah alias Ocet, Yossi Febrina (tante mo’moi), teteh Ade Uswatul Jamiliyah, juga Sari Eka Lestari Putri (Tamara) dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi. 9. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A, dan juga kelas B. 10. Anih Robbani, kekasih hati pelipur lara, ia selalalu ku cinta, motivasi dan kasih yang terpancar bak cahaya, keindahan cintamu ku percaya, terima kasih sayang, kau anugerah terindah dalam hidup.
v
Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlamapau jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan besar hati. Harapan penulis semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pihak dan penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin. Billahi taufik wal hidayah Wallahu a’lam bish-shawwab
Jakarta, 1 Juni 2011 Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ......... vii BAB I
: PENDAHULUAN.................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10 D. Metode Penelitian ............................................................................. 10 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II
: TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH ............................................. 14 A. Pengertian Idah ................................................................................. 14 B. Dasar Hukum Idah ............................................................................ 16 C. Macam-macam Idah ......................................................................... 22 D. Tujuan dan Hikmah Idah .................................................................. 28
BAB III : BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH BAGI LAKI-LAKI ............................................................................... 32 A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah.............................. 32 B. Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki ....................................................... 48 C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Reformasi Perkembangan Hukum Keluarga di Indonesia ..................................................................... 55 D. Penolakan Terhadap Gagasan Idah Bagi Laki-Laki ........................ 69 vii
BAB IV : PENUTUP ............................................................................................ 76 A. Kesimpulan ..................................................................................... 76 B. Saran ................................................................................................ 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 79
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan perangkat aturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan dengan Allah. Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai ikatan kekeluargaan dari awal terbentuknya sampai kepada tujuan ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka lahir sampai tahap kedewasaan akan muncul untuk menjalin ikatan dengan lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 2 menyatakan
bahwa
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,1 dan tujuan pernikahan tertuang dalam pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. UU perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
1
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan), Pasal 2 Pengertian Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 2.
1
2
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan melihat maksud utama dari pernikahan itu sendiri, maka haruslah ada aturan main yang harus dijaga dan difahami akan makna dari pernikahan dan menjaga suatu hubungan yang dapat berimbas dan berpengaruh pada suatu hubungan yang telah dijaga atas nama cinta. Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari pihak manapun, maka perlu ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Dengan demikian, kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata atau aturan-aturan yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.2 Adapun yang termasuk macam-macam norma ialah norma agama, hukum dan kesusilaan. Norma yang dimaksud dalam hal ini adalah norma hukum yang bersumber kepada: a). Undang-undang, b). Kebiasaan (custom), c). Keputusankeputusan (yurisprudensi), d) Traktat (treaty).3 Dalam hal perkawinan, seorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syarak yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan 2
Mufti Wiriadihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.Pertama, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1972), h. 6. 3 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 44.
3
dibolehkan.
Pernikahan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya dilakukan
untuk selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau istri, namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya pernikahan itu dalam arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini, Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan atau perceraian dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.4 Ajaran agama Islam mengajarkan bahwa ikatan perkawinan harus dipertahankan dan segala usaha harus dilakukan untuk menjaga agar keutuhan rumah tangga dapat dipertahankan. Namun, apabila semua harapan kasih sayang telah musnah, perkawinan menjadi suatu yang membahayakan sehingga timbul saling membenci, saling tidak mempercayai, dan saling tidak menyukai, maka untuk kepentingan kemaslahatan5 suami istri dan masyarakat disyariatkan adanya perceraian.
Allah
mengantisipasi
kemungkinan
terjadinya
perceraian
dan
menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.6 Konsekuensi dari putusnya suatu hubungan perkawinan tentunya mempunyai ketentuan yang berlaku bagi kedua pasangan tersebut, dalam hal ini, konsekuensi yang berlaku bagi seorang istri berupa idah, istilah idah itu sendiri berasal dari kata 4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190. 5 Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 190.
4
kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.7 Dari sudut bahasa, kata idah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Perempuan yang beridah dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, perempuan yang beridah karena ditinggal mati oleh suaminya. Kedua, perempuan yang beridah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya, untuk lebih jelas dan terperinci, pembahasan mengenai hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya dalam penulisan skripsi ini. Mengenai idah, aturan tersebut telah diatur dalam Alquran. Idah merupakan suatu perbuatan yang wajib di jalani oleh seorang istri ketika telah putus hubungan pernikahannya, baik di sebabkan perceraian ataupun kematian.8 Ketentuan Alquran tentang idah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat diubah. Praktek idah yang diatur dalam Islam sebenarnya dilakukan dan dikenal sejak masa jahiliah, pada saat itu, mereka hampir tidak pernah meninggalkannya, lalu
7
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, jilid.VII (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), h. 624. 8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.304.
5
ketika Islam datang, Islam mengakui dan menerapkan idah ini, melihat banyaknya maslahat yang tesimpan dalam pensyariatan idah itu sendiri.9 Mengenai idah yang berarti waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena talak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain,10 idah merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub pada pasal 153 yaitu “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa idah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.11 Dalam
perkembangan
zaman
yang
terus
berkembang
dan
ilmu
pengetahuanpun begitu pesat perkembangannya, ternyata dewasa ini timbul suatu pemikiran yang dapat dikatakan baru, yaitu perlunya ada idah bagi laki-laki, hal ini lahir karena tujuan demi keadilan. Bukti nyata dari pemikiran tersebut yaitu dengan lahirnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang merupakan tandingan Kompilasi Hukum Islam (KHI), di dalamnya membahas tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan.
9
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah dan M thohir Makmun. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 7. 10 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.III (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), h. 125. 11 Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan ), Pasal 153, hal. 47.
6
Perkembangan pemikiran tersebut tentunya hal yang wajar mengingat Indonesia yang merupakan negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, tentu harus memiliki suatu peraturan yang dapat memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, oleh karena itu, maka tidak salah perkembangan pemikiran tentang hukum berkembang pesat sehingga terjadi suatu reformasi hukum dari masa ke masa, hal ini dapat dilihat dari upaya pembaharuan hukum keluarga yang sudah dimulai sejak 1950-an. Namun upaya kongkrit pembaharuan hukum keluarga di Indonesia dimulai kembali pada tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, inilah UU pertama yang mengatur tentang perkawinan secara nasional. Pembaharuan hukum tentang keluarga kemudian mengalami perubahan dengan disahkannya KHI yang menjadi pedoman bagi umat Islam di Indonesia yang materinya mencakup perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Hal tersebut sesuai dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dan digunakan sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.12 Ada beberapa faktor yang mengakibatkan timbulnya pembaharuan hukum di Indonesia, antara lain: 1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk diterapkan. 12
141.
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h.
7
2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. 3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang pada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. 4. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh para mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat Internasional.13 Perlu diingat bahwa perubahan hukum itu sendiri tidak terlepas dari adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu, perubahan ini sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul jadid yang dibuat oleh Imam Syafi’i. Dari hal ini, maka tidak heran belakangan ini reformasi hukum di Indonesia sesuai dengan waktu dan keadaan dapat berubah, tentunya pandangan tersebut dikuatkan dengan faktor sosial yang membutuhkan perubahan tersebut, maka tak heran berkembang pemikir-pemikir baru saat ini yang berusaha untuk mengamandemen KHI karena dalam KHI secara eksplisit menempatkan perempuan hanya objek seksual dan meneguhkan subortasi perempuan.14 Terjadinya pemikiran seperti itu mengakibatkan lahirnya suatu pemikiran yang baru dengan ditandai lahirnya gagasan untuk mengamandemen KHI sampai akhirnya lahirlah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai bentuk pembaharuan hukum keluarga yang mengangkat hak dan martabat kaum
13
Ibid., h. 155. Siti Musdah Mulia. Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiawati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 132. 14
8
perempuan. Dengan lahirnya CLD-KHI, maka hal tersebut menjadi satu titik perubahan hukum dalam tatanan hukum keluarga Islam yang kemudian pengaruh dari hal tersebut menjadi cita-cita untuk bisa dijadikan Undang-undang yang digunakan. Di Indonesia sendiri tercatat salah satu ilmuan yang mengharapkan perubahan tatanan hukum keluarga, dalam hal ini adalah Siti Musdah Mulia yang berperan aktif memperjuangkan pembenahan hukum keluarga itu sendiri, hal ini terlihat dari usahanya membuat peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam CLD-KHI, tentu banyak tawaran dalam aturan tersebut, namun dalam skripsi ini hanya membahas yang berkaitan dengan idah bagi laki-laki yang dalam CLD-KHI diatur dalam pasal 88 yang dalam peraturan mengenai idah dijelaskan bahwasanya (1) bagi suami atau istri yang yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh pengadilan agama berlaku masa transisi atau idah.15 Dari penjelasan di atas, maka penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai pemikiran idah bagi laki-laki serta apakah pemikiran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan hukum
yang semakin mengalami
kemajuan,
khususnya hukum keluarga yang berlaku bagi setiap masyarakat muslim di Indonesia yang merupakan penduduk mayoritas di negara ini. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tuangkan pembahasan tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul “Konsep Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Serta
15
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistiawati Irianto Ed, Sulistiawati Irianto, Perempuan Dan Hukum. Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. h. 170.
9
Relevansinya
Dengan
Perkembangan
Reformasi
Hukum
Keluarga
Di
Indonesia”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembahasan tentang idah sangatlah luas, oleh karena itu pembahasan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini terfokus hanya dalam pembahasan idah bagi laki-laki. 2. Rumusan Masalah Idah yang di tetapkan bagi wanita tentunya telah diatur dalam undang-undang yang berlaku, khususnya di Indonesia yang termaktub dalam KHI, namun perkembangan pemikir dan ilmuan-ilmuan yang eksis di bidang hukum mengalami pergeseran pemikiran. Dalam hal ini, pemikiran tentang kewajiban idah bagi laki-laki tentunya merupakan pemikiran yang baru dan sangat menarik untuk dibahas, oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mengangkat hal tersebut dan menggali lebih dalam akan permasalahan tersebut. Untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah konsep idah bagi laki-laki? b. Apakah konsep idah tersebut relevan dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia?
10
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain: a. Untuk mendeskripsikan konsep idah bagi laki-laki b. Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran idah bagi laki-laki dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Menambah wawasan keilmuan dan lebih kritis dalam menerima ide-ide baru. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca, terutama para ahli hukum, terutama hukum Islam. D. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan dalam penulisan skripsi ini
11
diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.16 2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan referensi terkait dengan pembahasan, yaitu Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indoneis. Dalam Sulistyowati Irianto (ed) Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berpersfektif kesetaraan dan keadilan.. Penulis juga mendapatkan data melalui studi kepustakaan dengan cara membaca kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan terakhir penulis juga menggunakan data tersier, yaitu pengumpulan data yang didapat dari internet. 3. Teknik Pengumpulan Data Agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research (penelitian pustaka). Data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini didapat dari sumber-sumber yang terdapat di perpustakaan, penulis juga memperolehnya melalui data-data di internet, serta jurnal yang membahas penelitian terkait. 4. Pedoman Penelitian
16
Lexy Maelong J, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.Pertama (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), h. 3.
12
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2008”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut: a. Dalam daftar pustaka, Alquran ditempatkan pada urutan pertama b. Terjemahan Alquran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari enam baris. E. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah pembahasan skripsi dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB
Pertama
Berisi
pendahuluan sebagai
pengantar
yang mengarahkan
pembahasan. Memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB Kedua
Berisi arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang pengertian idah, dasar hukum idah, macammacam idah serta hikmah dari idah itu sendiri.
BAB Ketiga
Berisi
pembahasan
mengenai
beberapa
pandangan
tentang
kemungkinan idah bagi laki-laki, dalam bab ini dibahas mengenai pendapat para ulama tafsir dan fikih mengenai idah, dilanjutkan
13
dengan membahas mengenai pemikiran idah bagi laki-laki, relevansi idah bagi laki-laki dengan reformasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia dan diakhiri dengan penolakan terhadap gagasan idah bagi laki-laki. BAB Keempat Berisi penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran serta kritik yang mungkin dapat berguna bagi perkembangan hukum Islam di masa depan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH A. Pengertian Idah Idah merupakan keharusan menunggu bagi seorang istri yang diakibatkan oleh putusnya suatu hubungan perkawinan dengan suaminya atau karena ditalak dan karena ditinggal mati oleh suaminya. Keharusan idah bagi wanita yang telah ditalak atau ditinggal mati oleh suami merupakan perintah Allah yang wajib dijalani oleh para wanita. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian idah ini, maka penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi, yaitu segi bahasa dan segi istilah. 1. Dari Segi Bahasa Sebelum membahas lebih jauh mengenai idah tersebut, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian idah ditinjau dari segi bahasa, secara bahasa idah merupakan jamak dari (ٌ )عَدَدyang mempunyai arti jumlah atau sejumlah.1
1
Ahmad Warson Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, cet.XXV (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 903.
14
15
Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, idah berasal dari kata (ّ )عدyang berarti menghitung.2 Dengan demikian, jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata idah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.3 2. Dari Segi Istilah Mengenai pengertian idah dari segi istilah, para ulama telah mendefinisikan hal tersebut ke dalam beberapa definisi, antara lain: Menurut Utsman bin Muhammad Satta dalam kitabnya Hasiyat i’anat altalibin mendefinisikan pengertian idah secara istilah sebagai berikut:
“ Idah menurut istilah ialah sesuatu yang maknanya tidak bisa di logikakan, apakah sebagai ibadah atau yang lain dan karena kedukacitaan istri atas suami yang meninggal” Sayyid Sabiq mendefinisikan idah secara istilah dalam kitab Fiqh Sunnah, sebagai berikut: 5
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzuriyah,1989), h.
256. 3
Chuzaemah Tahido Yanggo, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.Pertama (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 149. 4 Utsman bin Muhammad Satta, Hasiyat I’anat al-Thalibin, cet.III (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2007), h. 60. 5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet.Pertama, (Mesir, Dar al-Fath lil i’lam al-Arabi, jilid III, 2000), h. 209.
16
“ Nama untuk masa wanita untuk menunggu dan terlarang untuk menikah setelah suaminya meninggal atau bercerai” B. Dasar Hukum Idah Setelah membahas masalah idah dari segi pengertian, maka di bawah ini penulis akan membahas dasar hukum idah yang mengacu pada dalil naqli guna memperjelas tentang idah itu sendiri. 1. Dasar dari Al Qur'an
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah (2): 228) 2. Dasar dari Hadis Kewajiban beridah selain telah diatur dalam Alquran, dalam hadis Nabi juga mengatur dan memperjelas permasalahan tersebut, berikut adalah beberapa hadis Nabi yang menjelaskan tentang kewajiban bagi istri untuk beridah.
17
Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Saibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haid kemudian Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda “Perintahkan kepadanya (Ibnu Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haid kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya, maka hendaklah bersamanya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah”. (HR Ibn Majah). Dasar hukum yang bersumber dari hadis Rasul saw. tentang idah bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya yaitu:
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata : aku membacakan hadis dihadapan Malik dari Abdullah bin Abi bakr dari Humaid bin Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah bahwa Zainab telah meriwayatkan hadis ini. Humaid bin Nafi’ berkata bahwa Zainab pernah berkata “aku bertemu dengan Umi 6
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 651. 7 Nawawi, Shahih Muslim, juz.V, (Kairo: Daar al-Hadist, 2005), h. 368.
18
Haibah isteri Nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (Abu Tsufyan)dst. Kemudian Umi Habibah berkata “aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar “tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. (HR Muslim)
8
Artinya : Telah bercerita kepada kami Yahya ibn Khaza’ah: telah bercerita kepada kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra. melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (HR. Bukhari). Dari beberapa dasar diwajibkannya idah di atas menjadi suatu pijakan dalam memahami dan menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia sendiri aturan mengenai idah tersebut telah diatur dalam suatu peraturan formal yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan tentunya aturan tersebut bersumber dari dalildalil Alquran ataupun Hadis, peraturan tersebut penulis akan bahas lebih lanjut pada bahasan di bawah ini. 3. Dasar Hukum Positif Perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah 8
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah alBukhoriyyu al-Zu’fiyyu. Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h. 1000.
19
memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.9 Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut: Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.10 Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah kecuali qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), h.
20. 10
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta. PT Pradya Paramita,1987), h. 10.
20
Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara itu, apabila perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau li’an11, maka waktu tunggu seperti idah talak. Sedangkan apabila seorang istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai penghitungannya pada pada saat matinya mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung pada saat kematian. Karena hal tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa idah. Karakteristik masa idah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa idah dalam hukum perkawinan Islam.12 4. Keharaman Untuk Melakukan Perkawinan Selama Masa Idah Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa idah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak. Hukum syarak yang dimaksud disini adalah pengertian hukum syarak menurut istilah fuqaha, yaitu:
11
Khulu adalah cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri. Sedangkan fasakh adalah putus karena salah satu dari salah satu istri atau suami murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin dan li’an yaitu menuduh istri melakukan perzinaan. 12 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.Pertama (Jakarta: Sinar Grafika 2006), h. 89.
21
13
.
Artinya: Adapun hukum syarak menurut istilah fuqaha ialah pengaruh yang dikehendaki oleh kitab Syari' (Tuhan) terhadap suatu perbuatan seperti kewajiban, larangan dan kebolehan. Bertolak dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan bahwa idah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai nilai ibadah kepada Allah swt. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu idah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas. Idah yang berarti tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi
13
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.VIIII (Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), h. 100.
22
suami bila talak itu berupa talak raj’i.14 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah idah itu sendiri, yaitu pasal 11 Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian, pengertian idah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu idah itu, bekas suami diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah istri tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.15 C. Macam-macam Idah Mengenai macam-macam idah atau waktu tunggu secara spesifikasi, maka macam-macam idah itu antara lain ialah : 1. Idah Perempuan yang Haid Jika perempuannya bisa haid, maka idahnya tiga kali quru. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 228. Secara zahir, ayat tersebut dengan tegas mengatur tentang idah bagi istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan bagi istri yang belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi istri tersebut tidak mempunyai masa idah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beridah seperti idah orang yang disetubuhi, hal ini berdasar firman Allah swt. yang berbunyi sebagai berikut :
14
Arso Sostroatmodjo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang 1981), h. 80. 15 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet.Pertama (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 120.
23
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah (2): 234)
Wajib idah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri yang ditinggal karena kematian suaminya wajib idah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia.16 Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani idah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila di harikan minimal 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975. 2. Idah istri yang tidak berhaid Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suaminya, maka mereka (istri) beridah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku bagi perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid
16
h. 80.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah dan M thohir Makmun,
24
akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istriistrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu juga perempuan-perempuan yang tidak haid.(QS:at-Talaq (45): 4) Sedangkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, aturan idah bagi wanita yang tidak haid, maka idah yang harus dijalani bagi wanita tersebut (istri) masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam bagian kedua mengenai pengaturan masa tunggu ayat (2) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan tiga (3) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh) hari, dan bagi yang tidak haid di tetapkan 90 (sembilanpuluh) hari ”.17
3. Idah istri yang telah disetubuhi Idah istri yang telah disetubuhi masih haid dan ada kalanya tidak berhaid lagi. Masa idah yang masih haid adalah selama 3 kali quru sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 228 yang telah disebutkan di atas.
17
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 47.
25
4. Idah perempuan hamil Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil, idahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Talaq ayat 4 sebagaimana yang telah ditulis di atas. Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”.18 5. Idah perempuan yang suaminya meninggal dunia Idah wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil, maka lama idahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 234 yang telah disebutkan di atas. 6. Idah Perempuan Yang Suaminya Hilang Jika seorang istri yang ditinggal pergi oleh suaminya dan tidak pernah kembali serta tidak pula ada kabar yang jelas mengenai keberadaan suaminya, maka wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai wanita tersebut benarbenar meyakini kematian suaminya tersebut, atau meyakini bahwa talak telah dijatuhkan oleh suaminya.19 Mengenai pembahasan tentang masalah ini, para ulama mazhab berbeda pendapat. Berikut penulis uraikan beberapa perbedaan mengenai penjelasan tentang suami hilang yang dalam istilah fikih disebut dengan suami mafqud. 18 19
Ibid., h. 47. Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, cet.V (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 435.
26
Ada dua macam hilangnya suami. Pertama, ketidak beradaannya tidak terputus (hubungan dengan istri) sama sekali, artinya suami tersebut diketahui tempatnya dan masih diketahui kabar beritanya. Dalam hal ini, seluruh ulama mazhab sepakat bagi wanita tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Kedua, suami tidak diketahui kabar beritanya dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Mengenai pendapat yang kedua, para ulama berbeda pendapat dalam kaitannya dengan istri, pendapatpendapat para Imam Mazhab mengenai hal tersebut antara lain:
Imam Abu Hanifah mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai ia melewati waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin masih hidup yang dibatasi dengan waktu seratus dua puluh tahun lagi. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinannya dengan suami yang kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama.
Imam Malik mengatakan wanita itu harus menahan diri selama empat tahun, kemudian beridah selama empat bulan sepuluh hari, dan sesudah itu dia halal kawin dengan laki-laki lain. Apabila suami yang pertama datang sebelum suami yang kedua mencampurinya, maka wanita tersebut (tetap) istri suaminya yang pertama. Sedangkan bila sudah dicampuri, maka tetaplah dia menjadi istri suami yang kedua, tapi suami yang kedua ini wajib membayar
27
mahar pada suami pertama. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik yaitu:
20
Artinya: “Dari Umar r.a. tentang seorang istri yang kehilangan suaminya “ia harus menunggu selama empat tahun, kemudian ia menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari.” (HR.Malik dan asy-Syafi’i)
Sementara itu menurut Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya mengatakan, istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati
waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin
masih hidup, dalam hal ini Imam Syafi’i membatasi dalam hitungan waktu sepuluh tahun. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinan dengan suami yang kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama. Pendapat Imam Syafi’i ini sesuai dengan sabda Rasullulluah saw. sebagai berikut: 21
.
Artinya: “Istri orang yang hilang adalah istrinya sehingga datang penjelasan tentangnya”. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati waktu yang 20
Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram, cet.Pertama. Penerjemah: Abdul Rosyad Siddiq (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007), h. 511. 21 Hadis dari Mughirah bin Syu’bah r.a. hadist ini diriwayatkan oleh ad-Daruqutnhni dengan sanad yang dhaif. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram,h.511.
28
lazim yang dinyatakan suaminya masih hidup, Imam Ahmad bin Hambal memberikan batasan waktu sepuluh tahun. Apabila wanita itu belum dicampuri oleh suami barunya, maka ia masih tetap istri suaminya yang pertama, tapi apabila sudah dicampuri maka persoalannya berada ditangan suaminya. Bila suami pertama mau dia dapat
mengambilnya dari suami
barunya, tapi dia dapat mengambil mahar dari suami baru itu.22 Berdasarkan penjelasan di atas mengenai suami mafkud atau hilang, hal tersebut diatur pula dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur dan menjelaskan apabila hal tersebut terjadi, maka wanita dapat menggugat cerai suaminya, sebagaimana yang tertera dalam pasal 116 huruf (b) yaitu: “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.”23 D. TUJUAN DAN HIKMAH IDAH
Dalam menetapkan suatu aturan bagi manusia, Allah menciptakan segala sesuatu tentu ada manfaat dan ada hikmah dibalik aturan tersebut, begitu juga dengan idah, kewajiban bagi wanita (istri) untuk beridah didalamnya terkandung manfaat dan hikmah bagi wanita tersebut, berikut adalah manfaat dan hikmah idah:
22
Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. XV (Jakarta: Lentera, 2005), h.
23
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 36.
474.
29
Salah satu tujuan dalam beridah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suamiya. Pendapat ini telah disepakati oleh para ulama. Para ulama berpendapat demikian berdasarkan dua alur pikir yaiyu:
1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan tentang anak yang akan dikandung oleh wanita tersebut (istri), untuk menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan suaminya. 2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.24
Tujuan idah yang kedua yaitu memberikan kesempatan kepada kedua suami istri untuk membangun rumah tangga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu lebih baik.25
Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya 24
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 305. 25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, juz. III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, dkk, h. 79.
30
seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.
Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri terhadap adanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, handai-taulan, dan lain-lain. Dampak negatif tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.
Hikmah dari adanya idah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya. Di samping tujuan idah untuk memastikan kekosongan rahim dan untuk membuka peluang agar dapat rujuk kembali, lebih dari itu idah mempunyai tujuan yang bernilai ibadah26 Pelaksanaan beridah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya, yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.
Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Di sana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi 26
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 305.
31
dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beridah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beridah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilanggar dari Allah swt.
BAB III BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH BAGI LAKI-LAKI A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa pandangan mufasirin dalam menafsirkan ayat tentang idah, hal ini bertujuan untuk memahami lebih dalam apakah konsep idah bagi laki-laki menjadi suatu yang dibolehkan atau sesuatu yang tidak dibenarkan atau bertentangan dengan nash, berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan memaparkan padangan mufasir dengan merujuk dan memahami penafsiran ayat tersebut, untuk lebih lanjut penulis akan mengemukakan beberapa pandangan mufasirin dalam menafsirkan ayat tentang idah. Sebelum membahas pandangan mufasir dalam menafsirkan ayat tentang idah, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan asbabun nuzul surat al-Baqarah, hal ini dinilai penting, seperti halnya pendapat Manna Khalil al-Qattan, bahwa untuk menafsirkan Alquran, ilmu asbabun nuzul di perlukan sekali. Baginya, asbabun nuzul merupakan sebab diturunkannya Alquran.1 Termasuk juga Hasbi Ashiddieqy, ia secara terminologis mengartikan asbabun nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alquran untuk menerangkan hukum-hukumnya di hari munculnya
1
Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi „Ulum al-Qur‟an (Riyad: Mansurat al-„Asr al-Hadis,
t.th), h.75.
32
33
kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Alquran diturunkan serta membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau kemudian, lantaran suatu hikmah.2 Bahkan, Al-Wahidi memandang bahwa memahami ayat tanpa asbabun nuzul adalah tidak mungkin.3 Berdasarkan pendapat dari beberapa ulama tersebut, maka penulis akan membahas asbabun nuzul surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menjadi dalil akan keharusan beridah bagi wanita. Ayat tersebut turun bahwasanya Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnu Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, “Saya dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan idah untuk para wanita yang dicerai”. Maka Allah menurunkan idah untuk wanita-wanita yang dicerai, yaitu firman-Nya,“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru”. Ats-Tsa‟labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah, Ismail bin Abdullah al-Ghifari menceraikan istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantara Ilmu Al-Qur‟an Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 69. 3 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1987), h. 93.
34
meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah, “dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.”4 Penafsiran ayat 228 surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan ayat ini Al-Imam Muhammad Usman Abdullah Al-Mirgani dalam bukunya yang berjudul Tajut Tafasir menafsirkan ( والمطلقتWanita-wanita yang ditalak) yang telah disetubuhi sebelumnya dari kalangan wanita yang berhaid, ( يتر بصن بانفسهنhendaklah menahan diri) menunggu dan tidak boleh bersetubuh ( ثلثة قروءtiga kali quru‟) yang dijalaninya sejak talak dijatuhkan atas dirinya. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka tidak ada mada idah baginya karena Allah swt. Telah berfirman dalam ayat lainnya:
Artinya:“wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuanperempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Al-Ahzab (33): 49) Dan masa idah bagi wanita yang tidak berhaid lagi dan wanita yang belum baligh adalah tiga bulan, karena ada firman Allah swt. dalam surat at-Thalaq (65) ayat 4 yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
4
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 9.
35
Sebelum ayat ini diturunkan ) QS.At-Talaq (65): 4), idah bagi semua wanita yang diceraikan oleh suaminya adalah tiga kali quru‟, termasuk di dalamnya idah bagi wanita hamil mutlak atau wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi setelah turunnya ayat ini, maka ditentukan bahwa wanita yang tidak mengalami haid lagi baik karena tua (menopouse) atau wanita yang belum berhaid adalah tiga bulan sedang bagi wanita hamil iddahnya adalah setelah melahirkan .5 Kembali pada pembahasan surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan surah alBaqoroh (2) ayat 228, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan kalimat “quru”, dalam menafsirkan kalimat quru tersebut para ulama ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama beridah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa idah lebih pendek dari quru dengan pengertian haid. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan membahas mengenai hal tersebut dengan pendekatan tafsir ayat dan merujuk kepada beberapa pendapat tentang perbedaan tersebut.
Pendapat para ulama yang mengartikan kata quru dengan makana haid, pendapat tersebut bersumber pada sabda Nabi Muhammad saw.
5
Usia menopause menurut al-Maraghi adalah 55 tahun (al-khamisah wa al-khamsin), Lihat Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974), Juz 28, h. 142-143.
36
Artinya: Tinggalkan salat di hari engkau quru yaitu diwaktu engkau haid.
6
Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Talak sahaya perempuan (amah) adalah duakali dan idahnya adalah dua kali.
Golongan yang kedua yang mengartikan kata quru dengan arti suci, pendapat tersebut berdasarkan firman Allah,
Artinya: …Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu merka dapat (menghadapi) idahnya yang wajar….”
Sekalian ulama telah sepakat menerangkan bahwa mentalak perempuan itu hendaklah di waktu sucinya. Lagi pula Nabi Muhammad telah berkata kepada Umar bin Khattab:
6
Hadis dari ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemah Lengkap Bhulugul Maram, (Jakarta: Akbar, 2007). h. 510.
37
7
Maksudnya ialah supaya perempuan itu ditalak ketika ia suci. Jangan ketika sedang membawa kotoran. Abu Bakar bin Abd. Rahman menjelaskan, “tidak kami dapatkan seorangpun dari fukaha kami, melainkan semuanya berkata bahwa quru‟ itu bermakana suci.” Selain hadis di atas sebagai alasan terkuat, mereka juga mengatakan bahwa quru‟ adalah bentuk jama‟ khusus untuk kata qur‟un yang berarti suci karena kata qur‟un yang berarti haid dijama‟kan menjadi aqra‟, bentuk jama‟ ini diriwayatkan oleh Ibnu al Anbari.
Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya di waktu perempuan itu suci dan belum lagi di campurinya pada waktu sucinya itu, maka terhitunglah itu satu kali suci, walaupun waktu suci itu hanya sesaat atau sekejap saja. Kemudian datang suci yang kedua sesudah ia membawa haid. Apabila ia melihat darah pada haidnya yang ketiga, maka keluarlah ia dari masa idah.
Di antara sahabat yang menyebutkan quru itu dengan makna haid ialah, Umar, Ali, Ibnu Mas‟ud, Abu Musa, Ubidah bin Shamir dan Abu Darda. Sedangkan dari kalangan tabiin ialah Ikrimah, Dhahhaq, Suddi, Auza‟i, Sufyan Tsauri dan Abu Hanifah. Ahmad bin Hambal berkata, “pada mulanya kusebutkan quru dengan makna
7
Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah alBukhoriyyu al-Zu‟fiyyu, Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h. 1000.
38
suci, dan hari ini kusebutkan dengan makna haid.”8 Alasan yang paling kuat bagi golongan ini adalah bahwa idah di adakan untuk mengetahui kosongnya rahim wanita, sedang kosongnya rahim ini hanya dapat diketahui dengan haid bukan dengan masa suci.
Sedangkan pendapat yang mengartikan quru sebagai masa suci (tidak haid) mereka adalah Syafi‟i, Maliki dan Imamiyah menginterpretasikan quru dengan masa suci, sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang kemudian disempurnakan dua masa suci sesudahnya.9
Dari kedua perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa menurut golongan yang memaknai quru adalah masa suci, maka suami tidak boleh merujuk istrinya pada haid yang ketiga dan istri halal bagi lelaki lain. Sedangkan golongan yang memaknai quru‟ adalah haid, maka istri baru menjadi halal bagi pria lain setelah lewat masa haid yang ketiga. Kemudian penjelasan lain mengenai idah yang termaktub dalam surah alBaqoroh (2) ayat 234 secara zahir ayat, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban idah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan menjalankan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Dalam menafsirka ayat tersebut, Sayyid Quthb
8
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, cet. Pertama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107. Muhammad Jawd Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XV (Jakarta: Penerbit Lentera, 2005), h.466. 9
39
dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, sebelum Islam datang, tradisi bangsa Arab dalam memperlakukan wanita yang ditinggal mati suaminya, wanita tersebut harus masuk pada tempat yang hina, harus menggunakan pakaian yang sangat buruk, tidak boleh memakai parfum dan sebagainya selama satu tahun. Setelah itu ia boleh keluar dengan menggunakan lambang-lambang jahiliah yang hina sesuai denga kerendahan jahiliah, seperti mengambil dan membuang kotoran binatang, serta naik keledai atau kambing. Ketika Islam datang diringankanlah penderitaan itu, bahkan dihilangkan dari pundaknya. Tidak boleh dilipatgandakan kesusahannya yang berupa kehilangan (kematian) suami dengan kesewenang-wenangan keluarga, sesudah itu dan ditutupnya semua jalan baginya untuk hidup yang terhormat dan kehidupan keluarga yang tentram. Islam menetapkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya menjalankan idah selama empat bulan sepuluh hari, kecuali idah wanita yang hamil yang idahnya sampai melahirkan yang lebih panjang daripada idah wanita yang ditalak. Dalam masa idah ini, dia membersihkan rahimnya. Keluarga suami tidak boleh menyakiti perasaannya dan mengusirnya. Dalam menafsirkan surat al-Baqarah (2) ayat 234 yang artinya “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.”( QS. alBaqarah (2) :234) dan surat at-Thalaq (65) ayat 4 yang artinya “perempuanperempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai ia melahirkan
40
kandungannya.”(QS.Ath-Thalaq (65): 4). Dua ayat tersebut termasuk ke dalam pembahasan ta‟arudh al a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori usul fikih harus dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang rajih (yang kuat) adalah yang bersifat khusus diantara keduanya, sedangkan yang keduanya itu marjuh (dikalahkan). Berdasarkan hadist Nabi saw. yang shahih, bahwa firman Allah, “ Dan perempuan-perempuan yang hamil.” (QS.Ath-Thalaq (65): 4) mengkhususkan (takhshish) firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu).”( QS. al-Baqoroh (2): 234). Hal ini diperkuat dengan pendapat ulama usul fikih yang berpendapat bahwa jama yang nakirah seperti al-ahmaal tidak bersifat umum.10 Dalam menetapakan idah bagi wanita yang di tinggal mati oleh suaminya menurut Ibnu Abbas apabila seorang wanita yang berada dalam posisi demikian, hendaknya ia memilih antara dua waktu yang paling lama antara sampai melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mensinkronkan dua ayat di atas.11
10
Syaikh Asy-Syanqithti, Adhwaul Bayan, cet.Pertama. Penerjemah Fathurazi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.439. 11 Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, cet.Pertama. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 204.
41
Setelah menelusuri beberapa referensi dari berbagai tafsir, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ketentuan idah yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani oleh wanita. Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum, pertama, sumber hukum yang bersifat “naqli” dan sumber hukum yang bersifat “aqli”. Sumber hukum naqli ialah Alquran dan sunah, sedangkan sumber hukum aqli ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam metodenya.12 Fikih merupakan hasil olah pikir (ijtihad) ulama dengan menggali lebih dalam tentang hukum Islam (syariah) dalam memahami teks-teks keagamaan (nash) untuk menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Yang dimaksud dengan syariah secara harfiah berarti jalan, maksudnya yaitu suatu norma yang di syariatkan oleh Allah agar manusia mendapatkan kebaikan dalam hubungan dirinya dengan Allah, hubungan dengan sesama muslim, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan kehidupan.13 Fikih dan syariah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat, syariah merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di Akhirat. Semua tindakan manusia di dunia harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul, sementara itu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah tentang tingkah 12
Abdu Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, cet.Pertama (Jakarta: Kencana, 2010), h.34. 13 Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar Ramadan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 3.
42
laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tentang tingkah laku manusia atau mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.14 Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap syariah, selain dimaksudkan agar setiap muslim dapat membangun pribadi dan prilakunya berdasarkan akidah, syariah dan akhlak, juga dalam kehidupan sosial dengan dimotori oleh pemimpin (imamah) dapat mewujudkan suatu kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan, persamaan dan kemitraan. Maka, dalam pembidangan fikih pun, terbagi menjadi kedalam beberapa disiplin pembahasan mengenai ketentuan hukum. Pembidangan itu seperti Fikih Ibadah, Fikih Muamalah, Fikih Siyasah, Fikih Jinayah, Fikih Dauliyah, Fikih Munakahat, dan lain-lain. Yang menjadi persoalan disini adalah artikulasi dan aplikasi fikih tersebut ketika berhadapan dengan sistem hukum yang beragam di Indonesia, hukum Barat dan hukum adat, rambu-rambu fikih mengalami marginalisasi. Selain itu, disatu sisi, adanya sikap yang cenderung apriori dari sebagian masyarakat terhadap fikih yang dianggap selalu ketinggalan zaman yang menjadi kendala tersendiri.15
14 15
Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, jilid I, Cet.III (Jakarta: Kencana, 2008), h.5. Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, h.5.
43
Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa salah satu disiplin kajian fikih adalah tentang munakahat, oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini akan membahas tentang pandangan ulama fikih klasik dan kontemporer tentang bidang munakahat, pembahasan difokuskan mengenai idah. Pembahasan mengenai idah, umumnya ulama-ulama terdahulu (klasik) lebih mewajibkan pelaksanaan mengenai hal itu kepada wanita baik yang ditinggal mati oleh suaminya, karena talak, fasakh (pembatalan nikah), pisah setelah pernikahan yang rusak atau setelah terjadi hubungan badan secara syubhat.16 dalam penentuan idah, para ulama berlandaskan pada dalil al-Quran seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Tak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam penetapan tentang pelaksanaan idah, mayoritas ulama menetapkannya pada wanita. Dalam kaitannya dengan ketentuan idah bagi wanita, salah satu dalil yang menunjukan kewajiban idah tersebut yaitu ketetapan yang telah diatur dalam hadist Nabi saw. yaitu:
17
Artinya: Itulah idah yang diperintahkan Allah kepada perempuan-perempuan Redaksi hadis ini memberikan gambaran bahwa ketentuan idah diwajibkan pada wanita, adapun idah bagi laki-laki pembahasan mengenai hal tersebut memang 16
Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 126. Hadis dari Nafi, lihat Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-Bukhoriyyu al-Zu‟fiyyu. Shahih al-Bukhori, Cet.IV (Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h. 1001. 17
44
sempat menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik waktu itu, sekalipun hanya terbatas pada dua kondisi. Pertama, jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan talak raj‟i. Kemudian dia ingin menikahi seorang yang tidak boleh dikumpulinya, seperti saudara perempuan, maka dia tidak diperkenankan sehingga idah istri pertama yang termasuk dalam ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai. Kondisi kedua, jika seorang suami mempunyai empat istri, dan dia mentalak raj‟i salah satunya untuk menikah yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan yang kelima sehingga idah istri yang ditalak selesai.18 Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masa penantian yang harus dijalani seorang laki-laki dalam dua kondisi di atas. Ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatakan idah secara syar‟i, 19 pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu bahwasanya seorang laki-laki tidak mempunyai masa idah, penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui di sebabkan ada mani‟ syar‟i.20 Dua pendapat ini senada dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih bahwa idah adalah masa sebagai indikator terhadap bersihnya rahim.21 Ini dapat
18
Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, I‟anah al-Tholibin, juz IV ( Libanon: Darul Ihya al-Turas al-Arabi, t. th), h. 59. 19 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV(Libanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, 2003), h. 452. 20 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Libanon: Darl Fikr, 2006), h. 71. Maksud dari mani‟ syar‟i tersebut karena ada ketetapan hukum yang melarang menikahi saudara atau mahram dan juga tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat, sebagaimana surat an-Nisa ayat 3, 22, dan 23. 21 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 453.
45
difahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada idah baginya. Sedangkan sebagian ulama kalangan Malikiyah yang lain, sebagaimana dikutip oleh al-Jaziri, bahwa penantian seorang laki-laki tersebut dikatakan idah. Ini senada dengan pendapat yang dikeluarkan al-Syafi‟iyah yang dikutip oleh al-Dimyati dalam “I‟anatu al-Thalibin”. Argumentasi pengakuan idah bagi suami yang diungkapkan al-Dimyati dengan memakai kalimat eksepsi )(اال. 22 Wahbah Zuhaili menambahkan satu kondisi seorang laki-laki tidak boleh langsung menikahi perempuan yaitu perempuan yang tertalak tiga kali sebelum adanya tahlil23 atau sebelum adanya laki-laki lain yang menikahinya yang dikenal dengan sebutan muhalllil.24 Terlepas dari pendapat kontradiktif di kalangan ulama mengenai masa penantian laki-laki dikatakan idah atau-pun tidak, setidaknya ini sebagai pijakan awal yang membuka cakrawala berpikir hadirnya penerapan idah bagi laki-laki. Idah bagi laki-laki yang diperkenalkan oleh ulama-ulama salaf adalah sebagai bentuk kemajuan dan elastisitas
hukum
Islam.
Padahal
secara terminologis,
definisi
yang
dikembangkan oleh mereka bahwa idah hanya berlaku untuk perempuan. Alasan pemberlakuan idah bagi laki-laki tersebut yang dikemukakan oleh para pemikir salaf
22
Mengenai masalah idah yang harus dijalani oleh seorang laki-laki dianggap idah wajib atau tidak, ini masih terjadi khilaf, secara pasti ia harus menunggu sampai masa penantian yang dilakukan oleh istri selesai: Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati. I‟anah al-Tholibin, juz IV, h. 45. 23 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 68. 24 Imam Shihabuddin al-Qatalani, Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, juz XII, (Libanon: Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 93.
46
adalah adanya mani‟ syar‟i, yaitu tidak boleh menikahi mahram dan memberi batasan menikahi perempuan dengan empat orang saja, sebagaimana disebut dalam Q.S. alNisa (4): 22-23 dan 3). Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh kalangan Hanafiyah yang dikutip oleh al-Jaziri mengenai wajibnya menunggu bagi suami yang ingin menikahi saudara perempuan yang tertalak adalah untuk menenangkan gejolak cemburu yang dialaminya.25 Pembahasan mengenai idah bagi laki-laki tidak hanya terjadi pada masa ulama salaf, dewasa ini pemikiran tersebut hadir kembali, ketentuan idah dibebankan tidak hanya kepada perempuan saja, bagi sekelompok ilmuan muslim berpendapat bahwa ketentuan mengenai idah harus dibebankan pada laki-laki juga, sebagaimana pendapat Muhammad Zain dan Mukhtar al-Shodiq26 yang termasuk dalam kalangan yang menghendaki idah bagi laki-laki, mengatakan bahwa idah adalah masa transisi bagi mantan suami dan mantan istri akibat perceraian, baik cerai mati maupun talak dan telah mempunyai kekuatan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Gagasan ini tidak hanya terbatas pada tiga ketentuan yang telah diwacanakan oleh ulama-ulama salaf, akan tetapi juga ada wacana pemberlakuan idah bagi suami secara general. Gagasan semacam ini tidak lepas dari konteks sosial yang telah berubah. Perubahan
25
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 452. Muhammad Zain dan Mukhtar Al-Shadiq, Membangun Keluarga Humanis, CLD Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, (Jakarta: Graha cipta, 2005), h. 67. 26
47
ini juga berimbas pada perubahan tatanan hukum semisal hadis yang berbunyi
Mengenai idah bagi laki-laki, Siti Musdah Mulia berpendapat idah sejatinya mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan selain seksualitas dan kehamilan, juga mempertimbangkan soal psikologis, tenggang rasa, solidaritas pada anak dan keluarga pasangan. Lebih lanjut menurutnya, idah merupakan masa transisi di mana salah satu pasangan (idah karena cerai mati) atau kedua pasangan (idah karena cerai hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut suami pun harus mempunyai masa idah.28 Dalam kajian ilmu fikih, idah ditetapkan bagi perempuan salah satunya yaitu untuk mengetahui apakah dalam janin si istri terdapat bibit bayi yang dikandungnya untuk itu dalam fikih idah bertujuan untuk menentukan bersih atau tidaknya janin tersebut. Alasan seperti ini memang untuk masa sekarang yang diiringi oleh kemajuan teknologi yang semakin modern tentunya hal tersebut dapat ditentukan dalam waktu beberapa jam saja atau mungkin dalam hitungan menit kondisi janin si
27
Derajat hadis ini marfu‟ bunyi hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Amirul Mu‟minin Ali radiya alllah anhu. Lihat Muhammad bin Ali Assaukani, Nailu al-Awthar Jilid IV, (Libanon: Darl al- Fikr, 2000), h. 87. 28 Siti Musdah Mulia, Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 170.
48
istri dapat diketahui bersih atau tidaknya maka dengan adanya teknologi seperti ini idah tidak berlaku lagi.29 Penetapan mengenai idah bagi laki-laki yang tidak ada landasan hukum secara jelas yang termaktub dalam Alquran atau hadis, sehingga konsep tersebut tidak sedikit yang menentangnya dari umat Islam dan ilmuan muslim Indonesia. Berdasarkan hal itu, maka pendapat yang dikeluarkan oleh kalangan yang membenarkan idah bagi laki-laki mereka beralasan bahwa dalam upaya
untuk
memahami konsep tersebut tidak hanya menggunakan pendekatan teologis dan yuridis formal saja, tetapi harus juga dengan pendekatan filosofis dengan melakukan pengkajian lebih dalam tentang maqasid syariah dari adanya masa idah.30 B. Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Latar belakang terjadinya pemikiran idah bagi laki-laki tidak terlepas dari maraknya kritikan tentang Kompilasi Hukum Islam, sejak dikeluarkan pada tahun 1991, kritik terhadap isi dan status Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dibendung. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama pada 19 September 2002 membentuk sebuah lembaga bernama Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Islam (BPPHI) untuk melaksanakan agenda yang bertujuan untuk meningkatkan status KHI menjadi Undang-undang. Untuk mengembangkan Kompilasi, BPPHI membuat
29 30
Isna Wahyudi, Fiqih Idah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 141. Ibid., h. 183.
49
Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Perubahan ini ternyata tidak mampu memuaskan sejumlah intelektual Muslim. Sebuah kelompok mengatasnamakan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender akhirnya membuat draf tandingan, yang disebut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Pokja ini adalah kelompok kerja yang terdiri dari pakar hukum Islam dan bekerja untuk membuat draf hukum alternatif sebagai pertimbangan legislatif. Draf tersebut, sebagaimana klaim mereka, dipersiapkan di bawah otoritas Menteri Agama. Pokja ini terdiri dari 10 anggota, yaitu Marzuki Wahid yang merupakan lulusan pesantren al-Munawwir, Krapyak, kemudian Abdul Moqsith Ghazali, Anik Farida, Saleh Partaonan, Ahmad Suaedy, Marzani Anwar, Abdurrahman Abdullah, K.H. Ahmad Mubarok, Amirsyah Tambunan dan Asep Taufik Akbar. Sebagian besar anggota Pokja ini adalah intelektual muda lulusan pesantren. Dalam pembentukan CLD-KHI sebagai tandingan KHI, hal ini di sebabkan aturan yang terdapat dalam KHI tidak relevan lagi untuk digunakan, menurut Musdah, perlunya revisi terhadap KHI setidaknya ada tujuh alasan untuk pembaruan aturan tersebut. Pertama, sebahagian besar isinya tidak sesuai dengan sebagian besar isinya tidak mengakomodasikan kepentingan publik untuk membangun tatanan masyarakat yang egaliter, pluralis dan demokratis. Kedua, KHI tidak sepenuhnya digali dari
50
kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif dari tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi kemaslahatan umat Islam di Indonesia. Ketiga, sejumlah pasal KHI bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain prinsip keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kebijaksanaan,dan kesetaraan. Keempat, sebagian pasal-pasal dalam KHI bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti amandemen Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU RI No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap hak asasi perempuan. Tak hanya dalam hal yang telah disebutkan di atas, KHI menurut Musdah bersebrangan dengan UU RI No 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat dengan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, lebih khusus lagi bertentangan dengan UU RI No 23 Tahun 2004 tentang KDRT. Kelima, sebagian isinya bersebrangan dengan instrumen hukum Internasional bagi penegakan dan perlindungan HAM, antara lain deklarasi universal HAM (1948), konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966), konvenan Intenasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (1966), CEDAW (The Convention on the Elemation of all from of Discrimination Againts Women) (1979), Deklarasi Kairo (1990), dan Deklarasi Program Aksi Wina (1993). KHI harus menyelaraskan diri dengan berbagai ketentuan Internasional tersebut jika akan bertahan lama. Keenam,sebagian besar isinya tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang
51
ada, kenyataan budaya masyarakat Indonesia, dan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berdasarkan berkeadaban (civil society). Ketujuh, sebagai hukum Islam adalah perlunya membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang ada diberbagai Negara muslim yang lain. Seperti Tunisia, Suriah, Yordania, Mesir dan Irak.31 Menurut Siti Musdah Mulia, CLD-KHI ini dirumuskan dalam dua situasi. Pertama adalah kebijakan zero tolerance (tak menerima) terhadap kekerasan perempuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan di tahun 2001. Kebijakan ini menekankan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
pada
level
sosio-kultural.
Kedua
adalah
rencana
pemerintah
meningkatkan status Kompilasi yang sejumlah ketentuannya masih mengukuhkan sikap sosial yang mendukung ketidakadilan gender.32 Di samping itu, CLD-KHI dimaksudkan untuk menjadi rujukan alternatif yang dapat merespon kebijakan otonomi daerah, khususnya fenomena formalisasi syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Cianjur,Madura.upaya Pormalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Dengan dibuatnya CLD-KHI dimaksudkan sebagai hukum baru yang disesuaikan dengan karakter masyarakat
31
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), h. 383-384. 32 Muhammad Latif Fauzi, “ Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada 10 Februari 2011 dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
52
Indonesia dan sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menegakkan nilai demokrasi dan pluralisme di Indonesia.33 Pokja percaya bahwa terdapat sejumlah artikel dalam Kompilasi yang tidak adil gender. Satu contoh, menurut Musdah Mulia, adalah terkait dengan posisi suami dan istri, sebagaimana pasal 79 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga. Pasal ini telah membentuk norma sosial yang melegitimasi peran domestik seorang istri dalam keluarga. Musdah Mulia menganjurkan pasal seperti ini dihapus sehingga segala bentuk aktifitas yang mengarah kepada peminggiran dan diskriminasi perempuan tidak terinstitusionalisasi oleh peraturan hukum.34 Mengutip dari jurnal Counter Legal Draft, juru bicara Pokja, Abdul Moqsith Ghazali, menjelaskan bahwa sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi ketidakrelevanan fikih klasik karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya. Misalnya, fikih selalu dipahami sebagai mengetahui hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil Alquran dan sunah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek perujukannya pada aksara Alquran dan sunah. 33
Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h.148. 34 Muhammad Latif Fauzi, “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal Februari 2011 dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
53
Pandangan semacam ini yang dihindarkan oleh tim kelompok penggagas CLD KHI, oleh karena itu untuk menghindari itu, CLD-KHI bergerak dalam kerangka metodologi, yaitu mengungkap dan merevitalisasi kaidah usul yang tidak tersentuh dan jarang digunakan. Kendati kerap muncul dalam kitab-kitab usul fikih, kaidah tersebut belum digunakan secara optimal, seperti kaidah:
Tidak hanya kaidah diatas yang jarang digunakan kaidah lain yang jarang sekali digunakan secara optimal diantaranya yaitu kaidah,.
Lebih jauh lagi, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma usul fikih lama.35 Selain mengkaji laporan penelitian dan kajian ilmiah tentang Kompilasi, Pokja ini juga mengundang sejumlah pakar hukum Islam (seperti tersebut di atas) untuk menyusun argumen dalam beberapa aspek, yakni aspek teologis, sosiologis dan politis. Rangkaian diskusi yang diselenggarakan merekomendasikan bahwa perubahan terhadap Kompilasi tidak hanya diperlukan tetapi sangat mendesak. Selain studi literatur, Pokja juga mengadakan penelitian lapangan. Penelitian ini berguna untuk melihat tradisi-tradisi lokal yang belum diatur dalam Kompilasi. Pokja juga mewawancarai para hakim dan pemuka agama di beberapa provinsi, seperti Sumatra
35
Tim Pengarusutamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam, h. 23.
54
Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Hasil wawancara menemukan bahwa mereka sepakat dengan perubahan Kompilasi. Para responden juga merasa bahwa substansi dalam Kompilasi selayaknya diuji ulang agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Di antara tiga bidang dalam Kompilasi yang ditelaah, hukum perkawinan mendapat porsi revisi paling besar. CLD-KHI menawarkan idah berlaku baik untuk suami maupun istri. Artinya, kedua pihak tidak boleh melangsungkan perkawinan selama masa menunggu. Di dalam Kompilasi, hanya suami yang berhak merujuk mantan istri yang masih berada pada masa idah, sedangkan menurut CLD-KHI, hak melakukan rujuk berlaku bagi kedua pihak.36 Konsep mengenai idah bagi laki-laki termaktub dalam pasal 88 Conter Legal Draft yang isinya yaitu: Pasal 88: (1) bagi suami dan istri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau idah. (2) selama dalam masa transisi mantan suami atau mantan istri dibolehkan rujuk. Penjelasan mengenai lamanya masa tunggu bagi suami, dalam CLD-KHI termaktub pada pasal 88 ayat 7 yang isi dari pasal tersebut adalah: Pasal 88: (7) masa idah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut a. apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan
36
Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 146-147.
55
seratus tigapuluh hari. b. apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi istrinya. 37 Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya pemikiran idah bagi laki-laki merupakan suatu bukti akan tidak puasnya suatu kelompok terhadap aturan yang berlaku di Indonesia, dengan alasan ketidakadilan pada wanita, aturan tersebut dituntut untuk direvisi sesuai dengan kondisi dan perkembangan hukum Internasional. C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia Sebelum membahas lebih jauh mengenai penjelasan ini, perlu kiranya penulis kemukakan makna dari istilah reformasi terlebih dahulu. Istilah atau kata reformasi berasal dari bahasa Inggris yaitu reformation (merupakan kata kerja to reform) yang berarti membentuk kembali, dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah reformasi diartikan dengan perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama) dari suatu masyarakat atau negara.38 Jika dikaitkan dengan hukum menurut Thompson yang dikutip oleh Jaenal Aripin, reformasi hukum berarti proses perubahan tatanan hukum (contitutisional reform).39
37
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, cet. pertama (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005), h. 182-183. 38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 735. 39 Jaenal Aripin, Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, h. 3. Artikel diakses dalam http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01.pdf. tanggal 27 Maret 2011
56
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai sekarang ini. Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN Tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN Tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.40 Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang, yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan.41 Semenjak berlangsungnya reformasi, sampai saat ini perkembangan mengenai hukum keluarga tidak begitu signifikan, akan tetapi akibat dari reformasi menjadikan posisi Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjadi peradilan yang berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung RI, hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999. Dengan adanya ketentuan ini,
40
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, cet. II (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004), h.169. 41 Ibid, h. 172.
57
posisi Pengadilan Agama semakin kuat, sebab telah ditetapkan dalam UndangUndang Dasar sejajar dengan peradilan yang lain.42 Untuk merealisasikan tujuan reformasi di bidang hukum, maka lembagalembaga yang memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur segala ketentuan mengenai hal ikhwal penegakan hukum harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan menyesuaikan diri dengan segala perkembangan yang terjadi. Tak terkecuali lembaga peradilan agama sebagai pengadilan khusus yang dapat mengadili perkara-perkara tertentu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.43 Reformasi yang berlangsung selama kurun waktu 1998-2010 tidak memberikan suatu gebrakan khusus dalam hukum materil mengenai perkawinan dalam lingkungan peradilan agama. aturan mengenai perkawinan No 1 Tahun 1974 pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan aturan pertama mengenai perkawinan yang berlaku secara nasional, isi dari UndangUndang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, sementara peraturan pelaksanaannya terdiri dari 10 bab dalam 49 pasal.44 Mayoritas masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam tentunya mereka membutuhkan peraturan yang berdasarkan ajaran
42
Abdul Manan, Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan (Suatu Sistem dalam Kajian Peradilan Islam), cet. I (Jakarta: Kencana, 2007), h. 226. 43 H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),cet. I (Jakarta: Rajawali Pers,1997), h. 223. 44 Ibid, h. 25.
58
agama, hal ini tentu tidak bersifat hanya pada satu aturan saja, akan tetapi dalam segala bidang. Hukum Islam yang universal dapat sesuai dengan konteks perubahan dan kemajuan zaman, Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari, Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara sahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lanjutnya kehidupan,tugas agama adalah mengawali perubahan secara benar untuk kemaslahatan manusia.45 Untuk konteks ke Indonesiaan, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam sistem hukum Indonesia. 2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru. 3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan efektif.46 Sementara itu, di sisi lain upaya pembangunan hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, komponenkomponen itu biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen
45
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam,h.101. 46 Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1985), h. 2.
59
perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.47 Perkembangan hukum Islam tidak terlepas dari perubahan dalam dasar-dasar kemasyarakatan,
baik
bersifat
struktural
maupun
kultural.
Dasar-dasar
kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,48 paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi. Abu A‟la al-Maududi berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhammad Fauzi bahwa manusia dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikathakikat
ilmiah,
menyebabkan
bertambah
dalam
pemahamannya
tentang
menginterpretasikan makna-makna agama.49 Ciri khas dari hukum Islam itu sendiri harus menjunjung tinggi kemaslahatan. Menurut Wahbah Zuhaili, jika hukum tidak sejalan dengan kemaslahatan manusia, niscaya mereka akan mengalami kemelaratan dan ini juga berimbas ketidakefektifan hukum dalam perbedaan situasi dan kondisi. Jika sedemikian, maka bertentangan dengan maksud diterapkannya hukum itu, karena salah satu tujuan diterapkannya hukum Islam adalah menjaga kemaslahatan manusia dan mewujudkannya.50
47 48
Ibid. h.2.
Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV (1983), h. 37. 49 Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 84. 50 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Libanon: Darl al-Fikr, 1995), h. 94.
60
Berbicara mengenai perkembangan hukum, terlebih berbicara perkembangan hukum keluarga Islam, dalam kaitannya dengan hal ini tidak terlepas dari semangat ijtihad para ulama, para ulama mujtahid telah berhasil memahami dan merumuskan hukum syarak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan di dunia, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya, yang kemudian disebut dengan fikih, fikih yang telah dihasilkan oleh mujtahid pada masa itu merupakan suatu karya agung yang dapat memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya, fikih lama secara tekstual sulit dijadikan panduan kehidupan beragama secara utuh pada saat ini, karenanya fikih lama sulit diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.51 Pada dasarnya, tujuan diberlakukannya suatu hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kerusakan baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam Alquran dan hadis, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara pada upaya penemuan maslahat.52 Upaya penemuan maslahat ini juga yang dikehendaki oleh maqasid syariah (tujuan penetapan hukum). Maqasid syariah perlu difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat
51
Abdul Halim, ed., Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, cet.II (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 76. 52 Ibid., h 47-48.
61
diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak lagi dapat diterapkan. Perkembangan mengenai hukum Islam di Indonesia dalam konteks sejarah perjalanannya, dapat dilihat dari dua periode, yaitu: (a) Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya; (b) Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.53 Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hukum Islam telah diakui semenjak kedatangan Islam. Penyebaran Islam yang berlangsung selama kedatangannya membawa misi untuk menegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri. Penyebaran Islam yang disampaikan dengan penuh kearifan dan memberikan nilai-nilai Islam pada kebiasaan atau adat yang dianut oleh masyarakat menjadikan ajaran Islam mudah diterima. Sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung, bahkan menjadi sangat terorganisir dan tersusun dengan cukup rapi. Dalam menegakkan hukum-hukum Islam, langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam memberikan aturan khusus bagi masyarakat muslim yaitu dengan dirancangnya aturan mengenai perkawinan yang bersumber pada ajaran agama Islam, realisasi pemerintah tersebut ditandai dengan dibuatnya Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan disebarluaskan melalui
53
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Pertama (Jakarta: Penamadani, 2004) h. 11.
62
Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991,54 yang isinya meliputi berbagai aturan yang dikhususkan bagi umat muslim Indonesia hemat penulis ini merupakan titik awal diakui syariat Islam di Indonesia secara menyeluruh oleh umat Islam, aturan dalam KHI menjadi bagian penting bagi kesuksesan para ilmuan muslim untuk memberlakukan aturan secara islami walau hanya sebatas mengenai urusan muamalah. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.55 Perlu dicatat, bahwa berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini dilandasi oleh nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup, dan karakter semua bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.56
54 55
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26.
A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, cet. Pertama ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 103-104. 56 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, cet. Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.160.
63
Reformasi hukum keluarga dalam catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku selama ini khususnya mengenai hukum keluarga Islam, segala ketentuan yang termaktub di dalamnya merupakan hasil ijtihad yang dilakukan oleh kalangan ilmuan muslim Indonesia, maka tidak berlebihan jika KHI dapat disebut juga dengan Fikih Indonesia. Dalam merumuskan aturan KHI, para ahli hukum Islam menggali lebih dalam mengenai dalil-dalil yang terdapat dalam hukum Islam, dalil hukum Islam yang telah disepakati oleh jumhur ulama antara lain Alquran, sunah Rasul, ijma dan qiyas, kemudian para ulama menyepakati bahwa penggunaan dalil tersebut harus berurutan. Dengan diakuinya Peradilan Agama berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung RI tentunya menjadikan KHI sebagai hukum meteril yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat lagi meskipun KHI hanya sebatas Inpres, kendati demikian, KHI dapat menjawab segala permasalahan hukum keluarga dan masih relevan jika KHI masih berlaku secara nasional. Menghadapi tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk konteks era reformasi, tidak
64
sedikit dari para ilmuan muslim yang mengkritik KHI sudah tidak relevan lagi, wajar saja bila kritikan itu dilontarkan untuk merevisi KHI karena kebutuhan masyarakatpun semakin berbeda sesuai dengan perkembangan saat ini. Perkembangan
yang
marak
diteriakkan
pada
era
reformasi
yaitu
perkembangan mengenai kesetaraan gender, paham yang diangkat yaitu wanita menjadi korban dalam segala bidang termasuk di dalamnya diskriminasi dalam hukum. Imbas dari paham ini mengakibatkan kritikan terhadap hukum keluarga yang berlaku di Indonesia, mereka beranggapan bahwa KHI tidak memberikan keadilan pada perempuan dan isi dalam KHI tidak sesuai dengan kearifan lokal Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya penulis utarakan makna dari gender. Gender yang berarti suatu konsep yang kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.57 Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan “jender”, diartikan dengan interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.58 Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun
57
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, cet.II (Jakarta: Kibar Press, 2007), h. 55. 58 Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 1992), h. 2.
65
pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.59 Paham mengenai kesetaraan gender yang awal mulanya berkembang di daerah Eropa dan Amerika, paham tersebut lahir karena adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dibedakan dalam sistem yang patriarkhi. Paham tersebut tentu bersebrangan jauh dengan paham kesetaraan dalam ajaran Islam yang secara idealnormatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan, atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender. Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan lil„alamin) menempatkan derajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.60 Wanita sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah concren yang ingin dibela Alquran, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin, anak-anak miskin, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan Alquran secara khusus mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa„.61 Aturan yang berlaku saat ini dalam menjalankan idah, segala ketentuannya diwajibkan bagi wanita yang putus perkawinannya dari suaminya, baik yang putus karena kematian, perceraian maupun yang putus karena keputusan pengadilan dan masa idah tersebut berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri, 59
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 265. 60 Masdar F. Mas„udi, Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari„ah,Ulumul Qur„an, Vol. 4, (1995), h. 94. 61 Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet. Pertama (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 5.
66
aturan seperti ini sesuai dengan ayat Alquran yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika istri tersebut belum melakukan hubungan suami istri, maka baginya tidak diwajibkan beridah dengan berdasarkan firman Allah surat al-Ahzab (33) ayat 49 yang telah ditulis di atas. Ayat ini pula yang menjadi landasan hukum dalam Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 pasal 11 dan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Aturan dalam KHI mewajibkan beridah hanya bagi perempuan dan tidak ditetapkan bagi laki-laki, hal inilah yang oleh sebagian kalangan pemerhati gender dianggap tidak memberikan keadilan. Bentuk kongkrit dari usaha mereka dalam mengkritisi aturan-aturan yang mereka anggap diskriminatif yaitu dengan membuat suatu peraturan tandingan terhadap aturan-aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam menentukan dan menetapkan peraturan-peraturan yang mereka buat berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis.62 Peraturan-peraturan yang mereka buat dengan berdasarkan prinsip-prinsip di atas berlawanan dengan aturan-aturan yang berlaku dan bertentangan dengan Alquran dan sunah Nabi. Ketentuan idah yang telah jelas diatur dalam Alquran dan dijadikan 62
Siti Musdah Mulia, Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h.144.
67
rujukan hukum yang berlaku seharusnya tidak berlawanan dengan aturan yang telah ada nashnya. Aturan yang dibuat dalam merumuskan hukum Islam yang selama ini menjadi pedoman adalah Alquran, karena Alquran sebagai sumber utama dalam menentukan hukum, maka hal yang paling utama mencari jawabannya adalah dalam Alquran. Selama hukumnya dapat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Alquran, maka tidak boleh mencari jawabannya di tempat lain, namun apabila akan menggunakan sumber hukum Islam di luar Alquran, maka kaidah yang digunakan harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Alquran.63 Konsep mengenai idah telah ditentukan dalam Alquran, dengan adanya ketentuan tegas itu, maka konsep idah bagi laki-laki tidak sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam merumuskan suatu aturan mengenai hukum keluarga di Indonesia. Kalangan yang merumuskan idah bagi laki-laki menggunakan prinsip yang tidak sesuai dengan prinsip pembentukan hukum Islam, dalam merumuskan suatu aturan yang selama ini berlaku, peran aktif ahli hukum Islam dalam menentukan suatu ketentuan hukum, mereka menggunakan sunah Nabi sebagai sumber hukum yang kedua, hal ini berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 32 yang menyatakan: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kalian berpaling sesungguhnya Allah tidak menyukai…kemudian penegasan mengenai hal tersebut ditegaskan pula dalam surat An-Nisa ayat 80 yang arti dari ayat tersebut yaitu: Barang siapa yang mentaati Rasul 63
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.70.
68
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dari kedua ayat tersebut, jelas bahwa posisi sunah Nabi menjadi salah satu prinsip yang paling kuat dalam menentukan suatu hukum. Fungsi dari sunah Nabi itu sendiri untuk menjelaskan ayat Alquran yang masih bersifat global agar dapat dilaksanakan dengan kehidupan sehari-hari. Selain Alquran dan sunah yang menjadi sumber hukum sumber hukum yang dapat digunakan ketika tidak ditentukan dalam Alquran maupun sunah Nabi, metode lain yang dapat dipergunakan yaitu dengan menggunakan ijma para ulama. Apabila para ulama telah menetapkan keputusan secara kolektif berdasarkan ijma, maka keputusan tersebut adalah benar dan terpelihara dari kesalahan, oleh karena itu apabila hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma yang sharih, maka hukum tersebut dapat dijadikan hukum yang qat‟i, sedangkan apabila ditetapkan berdasarkan ijma sukuti, menurut sebagian ahli hukum Islam kekuatannya dhanni, sejajar dengan produk fatwa individual. Di samping hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan sunah, pertimbangan yang dapat digunakan dalam menggali hukum teori yang dapat dijadikan pegangan yaitu dengan cara qiyas (deduksi analogis), istihsan (pertimbangan suatu hukum yang baik), istishab (persangkaan hukum), sadz dzari‟ah (menutup jalan kerusakan), istishlah, dan urf (adat kebiasaan). Ketentuan-ketentuan di atas digunakan pula oleh para ahli hukum di Indonesia dalam menentukan dan merumuskan suatu peraturan. Jika melihat dari teori-teori tersebut, maka dapat disimpulkan konsep mengenai idah bagi laki-laki tidak relevan dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Hal ini di sebabkan teori yang
69
mereka gunakan bersebrangan dengan yang ditetapkan dalam Alquran yang menjadi sumber utama dalam menetapkan hukum Islam. Tentang prinsip demokrasi, pluralis, humanis dan kesetaraan gender, hal tersebut tidak benar, ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, ajaran Islam sangat memuliakan perempuan dan memberikan keadilan bagi semesta alam. Aturan yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan bentuk keadilan bagi manusia itu sendiri yang di dalamnya mempunyai nilai yang sangat mulia dan memberikan nilai kebaikan di dunia terlebih lagi di akhirat yang oleh seluruh umat Islam diyakini merupakan kehidupan yang kekal di mana amal-amal baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal-amal buruk dibalas dengan siksaan. Oleh karena itu, sepatutnya dalam membuat dan merancang suatu aturan seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam Islam. D. Penolakan Terhadap Konsep Idah Bagi Laki-Laki Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu sunatullah. Perubahan itu berimbas pada perkembangan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Ketika perubahan itu menawarkan suatu pemikiran yang berbeda dengan pemahaman umum masyarakat yang sudah mapan, pasti akan menuai suatu perdebatan yang kontroversial, ada yang mendukung, ada yang menolak, bahkan ada yang mendukung dengan revisi. Sebagai contoh mengenai perubahan terhadap hukum keluarga yang ditawarkan oleh sekelompok ilmuan muslim yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender, pembaharuan hukum Islam yang mereka tawarkan salah
70
satunya mengenai keharusan idah bagi laki-laki (suami). Sejak konsep tersebut dipublikasikan pada tahun 2004, tidak sedikit dari pakar hukum Islam mengkritisi dan menolak konsep-konsep yang mereka tawarkan. Dalam Alquran surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menunjukan bahwa ketentuan idah diperuntukkan bagi wanita (istri), ayat ini juga yang dijadikan dasar bagi penetapan beridah dalam peraturan mengenai hukum keluarga yang berlaku di Indonesia. Dalil-dalil yang sudah ada dalam Alquran mengenai idah nampaknya tidak digunakan oleh kalangan pembaharu hukum Islam, sehingga konsep yang mereka tawarkan tidak berdasarkan ketentuan dalam Alquran. Penentuan segala aturan dalam CLD-KHI yang dijadikan pendekatan dalam merumuskan aturan-aturannya mengguanakan kaidah
“
(menganulir ketentuan-ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan), selain itu mereka menggunakan kaidah yang menyatakan bahwa,..”akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-perkara publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit,menyempurnakan dan memodifikasinya”. Modifikasi ini menurut tim perumus pembaharuan hukum keluarga sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat patrikuler seperti idah, poligami dan lain-lain. Oleh karena itu, menurut tim tersebut “mengubah gaya berfikir deduktif ke
71
induktif” merupakan hal penting bagi KHI untuk menimba sebanyak-banyaknya dari kearifan lokal. Dari beberapa kaidah dan alasan yang mereka kemukakan sangat jelas bahwa mereka menggunakan antroposentrisme dan mengutamakan asas kemanusiaan, menolak ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang dinilai tidak sesuai dengan akal dan ketentuan publik. Bila kita cermati dengan seksama, konsep tersebut merupakan buah dari pemikiran kalangan feminis yang memperjuangkan hak dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Rumusan dalam CLD-KHI yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pluralis, demokratis dan humanis sebagai prinsip dasar penetapan aturan-atuaran mngenai hukum keluarga, menjadi barometer dalam menentukan suatu hukum yang termaktub di dalam perumusan peraturan tersebut. Sekilas, ini adalah prinsip yang indah dan terkesan sangat sederhana. Tetapi pada dasarnya ini adalah suatu pengaburan belaka dari suatu yang sudah jelas. Apalagi jika melihat ukuran-ukuran HAM dan kesetaraan yang tidak tunggal, penulis menyebut prinsip ini sebagai “apologi dibawah alam sadar.” Hal lain yang dijadikan sebagai teori hukum dalam penetapan aturan CLDKHI yaitu kearifan lokal, hal ini menandakan bahwa teori yang mereka anut yaitu teori
receptie
yang terkandung di
dalamnya
penyimpangan (inkonsisten),
pembentukan suatu aturan yang berlandaskan teori hukum tersebut jelas sangat
72
menyimpang, selain berorientasi ke Barat dan dalam penetapan peraturannya mengingkari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang qat‟i sebagai hak Allah yang bertentangan dengan akal, terutama akal publik , juga menolak metode deduktif dan mengutamakan metode induktif. Prinsip yang mereka gunakan telah mengalami ketidak sinkronan akibatnya menjadi salah kaprah dan bertentangan dengan syariat. Mengutip dari kritik yang dilontarkan oleh Huzaemah Tahido Yanggo dalam Kontroversi Revisi Hukum Islam, menurutnya bahwa rumusan dalam CLD-KHI merupakan bid‟ah yang menyesatkan, penyimpangan, perusakan, dan perubahan dari hukum Islam yang asli dan hanya sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara dan kaidah-kaidah yang dicanangkan dalam penetapan hukum Islam, menurutnya penggagas pembaharuan hukum Islam merupakan orang-orang yang berpaham liberal yang berprinsip bukan untuk ketaatan pada Allah, tetapi hanya penghambaan terhadap demokrasi dan nilainilai sekular.64 Sementara itu, lebih tegas lagi Huzaemah menilai bahwa aturan dalam CLDKHI dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Alquran dan hadis serta fikih yang dianut mayoritas muslim. Berikut catatan Huzaemah atas CLD-KHI:
Sudut pandang yang digunakan subyektif, sesuai dengan karakter dan kecenderungan para penulisnya.
64
2.
Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Hukum Islam (Jakarta: Adelina, 2005), h. 1-
73
Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan sentimentil, sinis, menggugat, arogan, dan inkonsisten.
Sudut pandang visi dan misi yang dibawa adalah pluralisme, demokrasi, dan HAM, keseteraan gender, emansipatoris, humanis, inklusif, dan dekonstruksi syariat Islam, dan lain-lain. Pendekatan utama yang dilakukan oleh tim perumus CLD adalah gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi, tidak melakukan pendekatan metodologi istinbat hukum Islam, yang disebutkan sendiri oleh tim perumus CLD tersebut, yaitu berdasarkan maqashid syariah. Tetapi perumusan CLD-KHI justru bertentangan dengan maqashid syariah tersebut.
Sudut pandang masalah yang dibahas dan digugat adalah: 1. Alquran dan hadis di sesuaikan dengan rasio dan adat serta kondisi sosial di masyarakat, Alquran dan hadis harus dipahami dari sudut maqashidnya (tujuannya) untuk kemaslahatan, tidak hanya melihat
harfiyahnya; 2.
Karya para ulama klasik dituding sangat Arabis dan sudah purba, tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh sebab itu harus ditinggalkan; 3. Paradigma dan orientasi keberagamaan (dari teosentris ke antroposentris); 4. Problem kemanusiaan dan hubungan antar agama, antara lain nikah beda agama, nikah kontrak, waris beda agama, perwalian anak dari perkawinan beda agama.
74
Kaidah-kaidah yang digunakan: ”Yang menjadi perhatian mujtahid (dalam mengistinbatkan hukum dari Alquran dan hadis) adalah pada maqashid yang dikandung nash, bukan pada lafaz atau aksaranya.” ”Boleh menganulir ketentuan-ketentuan nash (ajaran agama Islam) dengan menggunakan logika kemaslahatan, serta “Mengamandemen nash-nash (sejumlah ketentuan dogmatika agama) dengan akal/rasio berkenaan dengan perkara-perkara publik.”65
Menurut penulis, rancangan dan aturan yang tertera di dalam CLD-KHI merupakan konsep yang dalam menetapkan aturan-aturannya tidak mengkaji lebih dalam tentang hukum Islam, yang bila dipahami dan dikaji lebih dalam, maka sebenarnya hukum Islam menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, dan terlebih lagi hukum Islam memberikan suatu keadilan yang sama, walau memang kadang manusia tidak memahami akan arti di balik ketentuan yang telah Allah tetapkan bagi kemaslahatan manusia itu sendiri. Konsep idah bagi laki-laki merupakan hal yang bertentangan dengan syariat yang seharusnya menjadi pedoman bagi setiap ahli hukum, khususnya hukum Islam. Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar karena hal yang demikian merupakan rahmat dari Allah selaku pembuat aturan bagi manusia. Dalam Alquran dengan tegas dijelaskan bahwa idah diwajibkan bagi perempuan, idah yang memiliki nilai luhur yaitu ketundukan seorang hamba pada
65
Ibid., h. 7-9.
75
penciptanya yang jika dijalankan merupakan ibadah, nilai ibadah ini tidak dianggap oleh penggagas konsep idah bagi laki-laki. Nash yang jelas dalam Alquran sudah tidak dapat dirubah lagi, kendati ilmu pengetahuan berkembang pesat sehingga menutup kemungkinan untuk menutup segala hikmah dalam beridah tidak lantas ketetapan dalam Alquran diselewengkan dan ditafsirkan secara liberal. Dalam suatu kaidah usul fikih dijelaskan:
Artinya: Tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya. Kaidah tersebut menunjukan bahwa konsep idah bagi laki-laki tidak benar, segala bentuk peraturan tentang idah telah ditetapkan dalam Alquran secara jelas dan tegas, pemahaman manusia yang terbatas mengharuskan tunduk pada aturan-aturan yang telah qat‟i yang ditetapkan oleh Allah. Segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah seharusnya diikuti oleh manusia selaku ciptaan-Nya, ketentuan dalam Alquran seharusnya disesuaikan dengan aturan dalam kehidupan manusia bukan Alquran disesuaikan dengan keinginannya, perintah Allah merupakan ketentuan yang dapat disesuaikan dengan segala waktu dan tempat hal yang demikian itu tidak lantas disalahgunakan dengan menentukan sesuatu sekehendak hati.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari beberapa penjelasan dan analisa di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain: 1. Idah merupakan masa tunggu yang wajib dijalani oleh wanita ketika ditinggal mati oleh suaminya atau ketika perkawinannya putus karena perceraian. Kewajiban menjalankan masa tunggu (idah) tersebut telah terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 228, kemudian telah diatur pula dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 11, serta Kompilasi Hukum Islam pasal 153. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, berkembangnya ilmu pengetahuan, dan semakin majunya teknologi, menyebabkan hadirnya konsep baru. Idah bagi laki-laki merupakan suatu jawaban dari perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan yang menuntut reformasi dalam bidang hukum keluarga. Aturan yang berlaku selama ini dianggap sudah tidak relevan lagi, oleh karena itu aturan yang berlaku harus direvisi dengan aturan baru berdasarkan Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralis dan kesetaraan gender. 2. Dalam proses membentuk hukum Islam di Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Pertama, harus ada penjabaran hukum Islam ke
76
77
dalam sistem hukum Indonesia. Kedua, harus mengupayakan bagaimana hukum baru tersebut dapat diterima dan dijalankan secara efektif oleh masyarakat. Ketiga, harus ada penciptaan dan penyusunan kembali lembagalembaga hukum baru. 3. Konsep idah bagi laki-laki tidak relevan dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia. Konsep idah bagi laki-laki bertentangan dengan Alquran. Selain itu, konsep tersebut tidak memperhatikan dan menggunakan prinsip-prinsip dalam membentuk hukum Islam di Indonesia serta tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam menetapkan hukum Islam. Konsep idah bagi laki-laki bertentangan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia sangat patuh dan tunduk pada aturan-aturan yang terdapat dalam Alquran. B.
Saran-saran Dari semua penjelasan yang telah penulis kemukakan, menurut penulis ada
beberapa hal yang pantas dijadikan saran konstruktif antara lain: 1. Di era globalisasi yang marak dengan paham mengenai kesetaraan gender, semua pihak terutama kaum intelektual hendaknya lebih selektif dan kritis dalam menerima setiap informasi. Sebab, globalisasi bukan hanya berdampak positif, tetapi dampak dari globalisasi merupakan gaya penjajahan baru bagi dunia ketiga, termasuk penjajahan melalui hegemoni cara pikir dan
78
paradigma. Oleh sebab itu, peran aktif para ahli ilmu dan ulama lebih ekstra dalam menyampaikan sesuatu yang dianggap menyimpang. 2. Ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, hendaknya dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia, karena Kompilasi Hukum Islam dapat dinyatakan sebagai ijma Ulama Indonesia. Tentunya para Ulama dalam menyusun Kompilasi Hukum Islam berpijak pada kemaslahatan umat. Demikianlah kesimpulan yang dapat dicapai dari studi ini. Penyusun sangat menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mempersilakan peneliti berikutnya untuk menfalsifikasi kesimpulan-kesimpulan yang telah penyusun peroleh saat ini. Karena, "kebenaran hari ini hanyalah sebuah kealpaan di hari esok".
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Rajawali Pers, 1997, Cet. Ke-I. .
Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Pustaka Pelajar, 1997, Cet. Ke-VI.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-I. Asqalani, Al, Ibnu Hajar. Terjemah Lengkap Bulugul Maram, Penerjemah Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007, Cet. Ke-I. Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. As-Suyuthi, Jalaluddin Al-Itqan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1987. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, penerjemah Tim Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani, 2008. Asy-Syanqithti, Syaikh. Adhwaul Bayan, penerjemah Fathurazi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Cet. Ke-I. Ayyub, Syekh Hasan. Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. Ke-V. Az-Zuhaily Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII. al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, Libanon: Darl al-Fikr, 1995. Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004, Cet. Ke- II. Barudi, Al, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004, Cet. Ke-I. Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I.
79
80
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjmemahannya. Dimyati, Al, Abu Bakar bin Muhammad, I’anah al-Tholibin, Libanon: Darul Ihyal alTuras al-Arabi, t. th, Juz IV. Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983, Cet. Ke-XII. Effendi, Deden, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, Jakarta : Departemen Agama RI, 1985. Fauzi, Muhammad Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Halim, Abdul, ed. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, Cet. Ke-II. Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-I. Jaziri, Al, Abd. Al-Rahman. al-Fiqh ala al-Mazahibal-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, al-Araby, 2004, Juz IV. J, Moleng Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Kompilasi Hukum Islam. Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, Bandung: Nuansa Aulia, 2008. Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan (Suatu Sistem dalam Kajian Peradilan Islam), Jakarta: Kencana, 2007, Cet. Ke-I. Manshur, Abd al-Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2009. Majah, Al-hafiz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu. Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar al-Fikr, t.th, Juz I.
81
Mirgani, Al, Al-Imam Muhammad Usman Abdullah. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974, Juz XXVIII. Tajut Tafasir, penerjemah Bahrun Abu Bakar. Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2009, Cet. Ke-I. Mughiyah, Muhammad Jawd, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Penerbit Lentera, 2005, Cet. Ke-XV. Mulia, Siti Musdah, Sulistiawati Irianto (ed). Perempuan dan Hukum. Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Jakarta: Kibar Press, 2007, Cet. Ke- II. Munawar, Al, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. Ke-I. Munawir, Ahmad Warson. Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002, Cet. Ke-XXV. Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Ke-I. Nawawi, Shahih Muslim, Kairo, Daar al-Hadits, 2005, Juz V. Qatalani, Al, Imam Shihabuddin. Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, Libanon: Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, Juz XII. Qattan, Al, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Mansurat al-‘Asr alHadis, t.th. Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta, PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005, Cet. Ke-I. Rofiq, Ahmad, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar Ramadan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
82
.
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Rosyadi, Rahmad dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, Cet. Ke-I. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Mesir, Dar al-Fath lil i’Lam al-Arabi, jilid 3, 2000, Cet. Ke-I. Saleh, K.Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978, Cet. Ke-IV. Satta, Utsman bin Muhammad. Hasiyat I’anat al-Thalibin, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2007. Cet. Ke-III. Shadiq, Al, Muhammad Zain dan Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis, CLD Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, Jakarta: Grahacipta: 2005. Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, Cet. Ke-I. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1982, Cet. Ke-I. Sostroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cet.Ke-III. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007. Usul Fiqh Jilid I, Jakarta: Kencana, 2008, Cet. Ke-III. Syatibi, Al, Abu Ishak. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at. Beirut, Dar al-Fikr, t.th. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Cet. Ke-II. Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 1992. Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta: PT. Pradya Paramita,1987.
83
Wahab, Khalaf Abdul. Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li alDakwah al-Islamiyah, 1972, Cet. Ke-IX. Wiriadihardja, Mufti. Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1972, Cet. Ke-I. Yanggo, Chuzaimah T. dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-I. Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1989. Zahrah, Muhammad Abu. Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 2002. Zu’fiyyu, Al, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-Bukhoriyyu. Shahih al-Bukhori. Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004, Cet. Ke-IV.
INTERNET & JURNAL Aripin, Jaenal. Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, artikel diakses dalam http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01.pdf. tanggal 27 Maret 2011. Latif Fauzi, Muhammad. Sharia di Ruang Publik Indonesia, Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.pada tanggal,10 Februari 2011. Mas’udi, Masdar F. Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari‘ah, Ulumul Qur‘an, Vol. IV, 1995. Soekanto, Soerjono. Ilmu-Ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-4 (1983).