KONSEP MUDHARABAH DAN PENERAPANNYA PADA LEMBAGA KEUANGAN ISLAM Azka Amalia Jihad Mahasiswa Konsentrasi Keuangan Perbankan Syari’ah, Prodi Hukum Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected] Abstract Mudharaba is an agreement of cooperation in the activities of Islamic Financial Institutions, which occurred between the two sides that is the owner 100% of capital called shahibul maal and who manage capital called mudharib. Talking about mudaraba can be an interesting thing because the causes of the birth of Islamic Financial Institutions, particularly islamic banking is driven by mudharaba's akad. Islamic banking with the principle of mudaraba considered as a solution to the conventional banking (with interest principle). Although mudharaba better known in Islamic banking, but in practice mudharaba also be applied to other Islamic Financial Institutions such as shari’ah insurance, Islamic capital market, Islamic mutual funds and Islamic bonds. In practice, mudharaba contract different between the theories in fiqh, especially fiqh mu'amalah, and practice. Keywords: Mudharabah, Islamic Finance.
PENDAHULUAN Lembaga keuangan Islam saat ini terus berkembang dan senantiasa melakukan inovasi terhadap produk-produknya dengan akad-akad yang tetap berdasarkan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah. Lembaga keuangan Islam diidentifikasikan sebagai lembaga yang bebas bunga. Instrumen bunga tersebut dihilangkan dari lembaga keuangan Islam karena mengandung riba dan diharamkan dalam Islam. Pada lembaga keuangan ini diperkenalkan berbagai instrumen keuangan sebagai pengganti instrumen bunga. Instrumen tersebut adalah sebuah instrumen yang lebih mementingkan prinsip bagi hasil (profit loss 143
sharing). Keuntungan dan kerugian yang diperoleh dibagi dan ditanggung bersama oleh pihak yang melakukan transaksi, sehingga kedua belah pihak yang bertransaksi akan saling memperhatikan akan kemajuan dan kemunduran usaha yang dijalankan. Diantara prinsip bagi hasil yang paling populer tersebut adalah mudharabah. Mudharabah merupakan suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis, dan karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola (mudharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil atau bangkrut maka kerugian materi sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu (Muhammad, 2005). Mudharabah adalah mode yang penting untuk pembentukan dan beroperasinya lembaga keuangan Islam. Mudharabah dapat dijadikan sebagai dasar bisnis yang dilakukan dengan menggabungkan dana dan keahlian dari kelompok orang yang berbeda-beda. Mudharabah dianggap sangat berisiko tinggi terutama karena risiko moral, seleksi yang merugikan, dan kurangnya keahlian bank dalam penilaian proyek serta permasalahan teknis terkait lainnya (Ayub, 2007). Penerapan akad mudharabah pada bank Islam masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan kontrak mudharabah yang sangat rentan dengan risiko. Mudharabah lebih banyak digunakan dalam bisnis komersil jangka pendek sehingga bank dapat mengurangi risiko sampai ke level terendah dan pengembaliannya benar-benar terjamin (Rivai, Veithzal, Abdul Hadi Sirat, Tatik 144
Mariyanti, 2014). Oleh karena itu, eksistensi mudharabah di lembaga keuangan syari’ah,
khususnya
bank syari’ah, menjadi semakin berkurang. Akad
mudharabah ini menjadi kalah “pamor-nya” jika dibandingkan dengan akad yang lainnya. Contohnya adalah akad murabahah, yang saat ini telah menjadi “primadona” lembaga keuangan syari’ah karena risikonya yang lebih rendah. Secara garis besar, paper ini membahas mengenai mudharabah, baik pengertian, landasan hukum, syarat dan rukun, penerapannya pada keuangan Islam, permasalahan mengenai mudharabah, dan hal lainnya yang berhubungan dengan mudharabah. Penulisan paper dengan jenis penelitian kualitatif ini dilakukan dengan cara deskriptif analisis, yakni menjelaskan dan mendeskripsikan permasalahan berdasarkan beberapa literatur dan penelitian-penelitian terdahulu. Tujuan penulisan paper adalah untuk membahas dan menganalisis mudharabah sebagai mode keuangan Islam serta penerapan dan implementasinya bagi keberlangsungan ekonomi Islam sebagai ekonomi seluruh umat, khususnya keuangan Islam sendiri. A. TRANSAKSI MUDHARABAH Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerja sama usaha dimana satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan shahibul maal dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha yang disebut dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan akan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak tersebut (Ismail, 2011). Mudharabah juga disebut sebagai kemitraan laba antara modal dan usaha (Kettel, 2011). 145
Asal istilah Mudharabah adalah berasal dari bahasa penduduk Irak yakni qiradh atau muqaradhah adalah bahasa dari penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh dan mudharabah adalah sama (Suhendi, 2013). Mudharabah biasa disebut dengan qiradh yang berarti al-qath, yakni potongan. Kata mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharbfi al-ardh, yakni bepergian untuk urusan dagang. Menurut bahasa, Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikannya sebagai berikut: Mudharabah berarti ungkapan terhadap pemberian harta dari seorang kepada orang lain sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi diantara mereka berdua, dan bila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal (H. Karim, 1997). Mudharabah adalah mode yang penting untuk pembentukan dan pengoperasian institusi keuangan Islam serta berfungsi sebagai dasar bisnis yang dilakukan dengan menggabungkan dana dan keahlian dari kelompok orang yang berbeda-beda. Mudharabah ini dianggap sebagai aktivitas pembiayaan yang beresiko sangat tinggi terutama risiko moral, seleksi yang merugikan, dan kurangnya keahlian bank dalam penilaian proyek serta permasalahan teknis terkait. Bank syari’ah dapat menggunakan mudharabah walaupun dengan perhatian dan pengelolaan risiko yang tepat (Ayub, 2007). Rukun mudharabah terdiri dari pemodal, pengelola, modal, keuntungan, dan ijab qabul. Mudharabah merupakan salah satu metode transaksi keuangan yang beresiko tinggi. Dikarenakan sangat beisiko, bank konvensional saja tidak pernah berpikir untuk menetapkan metode seperti ini. Dalam prosesnya,
146
diperlukan modal, pengelola, kemampuan pengelolaan serta manajemen yang baik untuk menjalankannya (Kettel, 2011). B. JENIS TRANSAKSI MUDHARABAH Investasi dana di bank syari’ah menggunakan prinsip mudharabah. Jenis investasi dengan menggunakan skim mudharabah ini di bank syari’ah terbagi menjadi dua, yakni (Aziz, 2010): 1. Mudharabah Mutlaqah (General Investment) Pada prinsipnya, mudharabah bersifat mutlak, dimana shahibul maal tidak menetapkan syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Bentuk ini sering disebut dengan mudharabah muthlaqah, atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan URIA (Unrestricted Invesment Account) (A. A. Karim, 2010). Mudharabah Muthlaqah merupakan kerjasama antara dua pihak yang modalnya disediakan oleh shahibul maal (pemilik dana) dan kemudian dana tersebut dikelola penuh oleh mudharib (pihak yang menjalankan usaha). Keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan di awal akad. Skim ini umumnya digunakan untuk deposito atau tabungan berjangka. Ciri khusus dari mudharabah jenis ini adalah nasabah tidak perlu menentukan kemana dananya akan diinvestasikan oleh bank syari’ah. 2. Mudharabah Muqayyadah (Special Investment) Merupakan kerjasama antara dua pihak yang shahibul maal menyediakan dana dengan memberikan kewenangan yang terbatas kepada pengelola usaha (mudharib). Skim ini biasanya digunakan untuk memfasilitasi 147
kebutuhan nasabah yang pada umumnya adalah nasabah besar seperti perusahaan dan pemerintah untuk menggunakan bank syari’ah sebagai perpanjangan tangannya untuk berinvestasi pada sektor bisnis tertentu. Pada bank syari’ah, dana ini dikelola terpisah dari dana lainnya. Jenis mudharabah muqayyadah ini terbagi menjadi dua jenis lagi, yakni (Ismail, 2011): a. Mudharabah muqayyadah on balance sheet Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mudharibnya ikut menanggung risiko atas kerugian dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal. Dalam akad ini shahibul maal memberikan batasan secara umum, misalnya batasan tentang jenis usaha, jangka waktu pembayarannya, dan sektor usahanya. b. Mudharabah muqayyadah off balance sheet Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang pihak shahibul maalnya memberikan batasan yang jelas, baik batasan tentang usaha yang diperbolehkan, jangka waktu, serta pihak pelaksana pekerjaan. Bank syari’ah berperan sebagai pihak perantara antara shahibul maal dan mudharib serta memperoleh fee khusus atas jasa tersebut. C. PENERAPAN MUDHARABAH PADA KEUANGAN ISLAM Ada beberapa tahapan dari kontrak mudharabah yang harus dilakukan, yakni (Kettel, 2011): 1. Pembentukan kerjasama mudharabah.
148
Bank menyediakan modal sebagai pemilik modal. Mudharib melakukan usaha dengan keahliannya terhadap modal yang telah diinvestasikan serta membagi keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama. 2. Hasil mudharabah Kedua pihak menghitung pendapatan dan membagi keuntungan pada akhir kontrak mudharabah. Hal ini dapat dilakukan secara periodik berdasarkan kesepakatan bersama dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah. Usmani telah menetapkan ketentuan syari’ah yang khusus dalam transaksi mudharabah, antara lain (Kettel, 2011): 1. Modal mudharabah harus jelas dan spesifik. 2. Modal tersebut harus menjadi mata uang yang beredar normal seperti biasanya. 3. Diperbolehkan bagi mudharib untuk mencampurkan modal pribadinya dengan modal mudharabah. 4. Keuntungan yang didapatkan harus jelas. 5. Keuntungan pada mudharabah dibagi berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang berakad. Akad mudharabah tidak hanya dapat diterapkan pada perbankan syari’ah saja, melainkan juga pada lembaga keuangan syari’ah lainnya, seperti asuransi syari’ah, pegadaian, syari’ah, dan pasar modal syari’ah. Berikut merupakan penjelasan singkat mengenai penerapan akad mudharabah pada beberapa lembaga keuangan Islam: 149
a. Mudharabah pada Perbankan Syari’ah dan BMT Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 tentang Perbankan Syari’ah, Perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut bank syari’ah dan unit usaha syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Umam, 2013). BMT merupakan kepanjangan dari Baitul Maal wat Tamwil, yang merupakan balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa altamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, BMT juga menerima titipan zakat, infak, dan sedekah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya (Soemitra, 2009). Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi pendanaan, mudharabah diterapkan pada produk tabungan dan deposito. Dalam produk simpanan tersebut, penyimpan dana atau deposan bertindak sebagai shahibul maal dan bank syari’ah sebagai mudharib. Dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan kepada pihak lain dengan bentuk transaksi seperti prinsip jual beli, sewa, dan pembiayaan (Djamil, 2012). Jika bank melakukan mudharabah kedua (two-tier-mudharabah), maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi terhadap dana tersebut. Dengan kewenangan yang diberikan oleh penyimpan dana, bank dapat menerapkan prinsip mudharabah tersebut dalam bentuk mudharabah mutlaqah 150
ataupun mudharabah muqayyadah. Prinsip mudharabah mutlaqah diterapkan dalam produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana,
yakni tabungan dan deposito mudharabah.
Prinsip mudharabah
muqayyadah dapat diterapkan dalam bentuk pembiayaan khusus on balance sheet dan off balance sheet (Djamil, 2012). Pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk pembiayaan modal kerja seperti modal perdagangan dan jasa atau investasi yang khusus, yang disebut dengan mudharabah muqayyadah. Kekhususan tersebut berasal dari sumber dana khusus dengan penyaluran khusus yang syaratnya ditetapkan oleh shahibul maal (Djamil, 2012). Beberapa contoh dari investasi dengan menggunakan akad mudharabah, antara lain sebagai berikut (Ismail, 2011): 1. Tabungan Mudharabah Tabungan mudharabah merupakan produk penghimpunan dana oleh bank syari’ah dengan menggunakan akad mudharabah muthlaqah. Dalam hal ini bank syari’ah bertindak sebagai mudharib dan nasabah bertindak sebagai shahibul maal. Nasabah menyerahkan modalnya kepada bank syari’ah tanpa ada batasan pengelolaan dan bank syari’ah akan membayar bagi hasil kepada nasabah setiap akhir bulan, yang besarnya sesuai dengan nisbah yang telah disepakati diawal akad. Bagi hasil ini akan berubah setiap bulannya. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: -
Pendapatan bank syari’ah
-
Total investasi mudharabah muthlaqah
-
Total investasi produk tabungan mudharabah 151
-
Rata-rata saldo tabungan mudharabah
-
Nisbah tabungan mudharabah yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian
-
Metode perhitungan bagi hasil yang diberlakukan
-
Total pembiayaan bank syari’ah
2. Deposito Mudharabah Deposito mudharabah merupakan dana investasi yang ditempatkan oleh nasabah yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan penarikannya dapat dilakukan pada waktu tertentu, sesuai dengan akad perjanjian yang dilakukan antara bank dan nasabah investor. Penarikan pada deposito hanya dapat dilakukan sesuai dengan jangka waktunya, sehingga pada umumnya balas jasa yang berupa nisbah bagi hasil yang diberikan oleh bank untuk deposito akan lebih tinggi dibandingkan dengan tabungan mudharabah. 3. Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan mudharabah pada perbankan syari’ah diatur dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah (qiradh). Pembiayaan mudharabah sering disebut dengan trust financing atau trust investment. Dalam pembiayaan mudharabah ini modal investasinya disediakan oleh bank sebagai shahibul maal sebesar 100%. Peran nasabah
adalah
sebagai
mudharib
(yang
menjalankan
usaha).
Nisbah
keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan pada saat akad. Pembiayaan mudharabah dapat diaplikasikan untuk pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa untuk investasi khusus. Bank dapat memberikan persyaratan khusus yang akan diproyeksikan oleh mudharib (Dahlan, 2012). 152
Syarat-syarat operasional yang diperlukan dalam pelaksanaan pembiayaan mudharabah antara lain sebagai berikut (Ismaniyati, 2013): a. Jumlah modal harus jelas. b. Jika modal berbentuk barang maka harus ditaksir dengan rupiah. c. Modal yang diberikan oleh bank harus berbentuk tunai dan diserahkan kepada nasabah. d. Keuntungan dibagi setelah seluruh atau sebagian modal dikembalikan. b. Mudharabah pada Asuransi Syari’ah Asuransi syari’ah menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah (S., 2010). Akad Mudharabah juga dipraktikkan di asuransi syari’ah, yang diimplementasikan dalam dua tahapan, yakni tahapan masuknya premi dari nasabah ke perusahaan asuransi dan investasi dana oleh perusahaan asuransi kepada para pengusaha. Pada saat nasabah menyerahkan premi kepada perusahaan asuransi maka akad yang digunakan adalah akad mudharabah. Dalam konteks ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal dan perusahaan asuransi sebagai mudharib. Sementara maal dalam asuransi syari’ah ini diwujudkan dalam bentuk premi yang disetor oleh nasabah kepada perusahaan asuransi (Janwari, 2015). Premi pada asuransi syari’ah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan dan tabarru’. Dana tabungan adalah dana 153
titipan dari peserta asuransi syari’ah dan akan mendapatkan alokasi dana bagi hasil (mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan tabarru’ adalah derma ataupun dana kebjikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktuwaktu akan dipergunakan untuk membayar klaim manfaat asuransi (Sula, 2004). Pada akhir akad mudharabah, nasabah dalam kapasitasnya sebagai shahibul maal akan mendapatkan dananya sendiri ditambah dengan bagian keuntungan dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. Sementara pada saat investasi dana oleh perusahaan asuransi kepada para pengusaha, perusahaan asuransi akan bertindak sebagai shahibul maal dan pengusaha sebagai mudharib. Keuntungan yang diperoleh pengusaha akan dibagi dengan perusahaan asuransi, dengan posri bagi hasil yang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (Janwari, 2015). Asuransi syari’ah yang dipraktikkan dengan mode mudharabah telah diaplikasikan di negara-negara bagian Asia Pasifik. Peserta dan penyelenggara menggunakan akad mudharabah untuk pembagian kooperatif atas kerugian dan pembagian keuntungan jika ada. Keuntungan adalah pengembalian atas investasi ditambah surplus pertanggungan seperti halnya asuransi konvensional, yang didistribusikan berdasarkan rasio yang disetujui bersama, seperti: 50:50, 60:40, dan lain sebagainya. Komite syari’ah dan perusahaan Takaful menyetujui rasio pembagian untuk setiap tahun di awal, sebagian besar biaya dikenakan pada 154
pemegang saham. Permasalahan dalam model ini adalah jumlah yang disumbangkan sebagai tabarru’ tidak dapat secara bersamaan menjadi modal untuk hubungan mudharabah (Ayub, 2007). c. Mudharabah pada Reksa Dana Syari’ah Pengertian reksadana syari’ah, menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelalsanaan investasi untuk reksadana syari’ah, adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik dana dan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi (Alma, Buchari, 2009). Pada umumnya, reksadana syari’ah dikelola berdasarkan prinsip mudharabah. Manajer investasi dan Bank Kustodian bertindak sebagai pengelola (mudharib) dan investor sebagai pemilik dana (shahibul maal). Pemiliki aset dalam portofolio reksadana syari’ah dilakukan melalui proses penyaringan yang ketat berdasarkan prinsip syari’ah. Jika reksadana membeli saham, maka saham yang dibeli haruslah saham perusahaan yang sudah dinyatakan sesuai syari’ah. Sama halnya dengan obligasi, obligasi yang boleh dibeli hanyalah obligasi syari’ah (Aziz, 2010). Reksadana syari’ah merupakan reksa dana yang mengalokasikan seluruh dana atau portofolionya ke dalam instrumen syari’ah, seperti saham-saham yang tergabung dalam Jakarta Islamic Indeks (JII), obligasi syari’ah, dan instrumen keuangan syari’ah lainnya (Sutedi, 2011).
155
Prinsip mudharabah pada reksadana syari’ah memiliki beberapa karakteristik, yakni (Janwari, 2015): 1. Pemodal sebagai shahibul maal ikut menanggung risiko kerugian yang dialami oleh manajer investasi sebagai mudharib; 2. Manajer investasi sebagai mudharib tidak menanggung risiko kerugian atas
investasi
jika
kerugian
tersebut
bukan
disebabkan
karena
kelalaiannya; 3. Keuntungan dibagi diantara pemodal dengan manajer investasi sesuai dengan proporsi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. d. Mudharabah pada Pasar Modal Syari’ah Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan ekonominya dan seluruh mekanismenya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanismenya perdagangan yang terlepas dari hal-hal yang dilarang oleh syari’at, seperti riba, perjudian, spekulasi, dan lain sebagainya (Al Arif, 2012). Penerapan mudharabah pada pasar modal syari’ah tidak berbeda dengan penerapan pada reksadana syari’ah karena reksadana sendiri merupakan bagian dari pasar modal. Implementasi mudharabah pada pasar modal syari’ah lebih umum dibandingkan dengan mudharabah pada reksadana syari’ah. Pihak-pihak yang terlibat dalan implementasi mudharabah di pasar modal syari’ah, antara lain adalah emiten (perusahaan publik), penjamin emisi efek, Manajer Investasi, Perantara Perdagangan Efek, dan investor. Perjanjian mudharabah terjadi antara emiten sebagai mudharib dan investor sebagai shahibul maal. Namun demikian, akad mudharabah diitermediasi terlebih dahulu oleh manajer investasi sebagai pengelola bursa efek. Oleh karena itu akad 156
mudharabah diimplementasikan di pasar modal syari’ah dalam dua tahapan. Tahap pertama berlangsung antara investor dan manajer investasi, dan tahap kedua berlangsung antara manajer investasi dan emiten (Janwari, 2015). e. Mudharabah pada Obligasi Syari’ah Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 33/DSN-MUI/IX/2002, obligasi syari’ah mudharabah adalah obligasi syari’ah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 7/ DSN-MUI/IV/2000, tentang pembiayaan mudharabah. Mudharabah merupakan investasi bagi hasil (Profit Loss Sharing). Pada obligasi syari’ah mudharabah, emiten adalah mudharib dan pemegang obligasi syari’ah adalah shahibul maal. Besarnya keuntungan yang diperoleh tidak dapat diketahui pada awal akad (Yuliana, 2010). Sukuk mudharabah merupakan sertifikat yang mewakili proyek atau aktivitas yang dikelola dengan prinsip mudharabah yang menunjuk salah satu rekan atau orang lain sebagai mudharib untuk pengelolaan bisnis. Dana yang dihasilkan dari bisnis tersebut merupakan modal mudharabah. Pemegang sertifikat memiliki aset dari mudharabah dan bagian keuntungan yang telah disetujui menjadi hak pemilik modal dan kerugian juga akan ditanggung bersama (Ayub, 2007). Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syari’ah sejatinya tetaplah surat utang, 157
hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syari’ah mudharabah adalah investment, bukan utang piutang. Hal ini dikarenakan investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjual kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah (Rivai, Veithzal, Abdul Hadi Sirat, Tatik Mariyanti, 2014). Sukuk mudharabah juga dapat diterbitkan untuk memobilisasi dana dan memperkuat aktivitas perdagangan serta perindustrian. Perusahaan pengelolaan aset dapat mengelola kumpulan dana untuk melakukan bisnis dan menikmati manfaatnya serta juga manfaat untuk para pemegang sukuk. Hal ini dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi bagi investor jika dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang dapat diwujudkan dalam investasi berbasis bunga mana pun (Ayub, 2007). D. METODE
PERHITUNGAN
BAGI
HASIL
PADA
AKAD
MUDHARABAH Metode perhitungan bagi hasil terbagi menjadi dua, yakni (Ismaniyati, 2013): a) Bagi hasil dengan menggunakan revenue sharing Dasar perhitungan bagi hasil dengan menggunakan revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan atas penjualan dan/atau pendapatan kotor atas usaha sebelum dikurangi dengan biaya. Bagi hasil dengan revenue sharing dihitungkan dengan mengalikan nisbah yang telah disetujui dengan pendapatan bruto. b) Bagi hasil dengan menggunakan profit and loss sharing 158
Dasar perhitungan bagi hasil dengan menggunakan profit and loss sharing adalah bagi hasil yang dihitung dari laba/ rugi usaha. Bank syari’ah maupun nasabah akan memperoleh keuntungan atas hasil usaha mudharib dan ikut menanggung kerugian bila usahanya mengalami kerugian. Prinsip dasar dari profit and loss sharing adalah para bankir membentuk sebuah hubungan dengan debitur, yakni dengan cara membagi keuntungan dan kerugian usaha dari meminjamkan uang dengan tarif return yang tetap. Hubungan tersebut terbagi menjadi dua tipe, yakni: mudharabah dan musyarakah. Pada kedua tipe tersebut bank menerima pembagian keuntungan-keuntungan yang dihasilkan oleh usaha bisnis dengan sebuah kesepakatan tertulis (Warde, 2000). Seorang pemodal biasanya menghadapi dua pilihan dalam menyepakati model transaksi, yakni melalui profit loss sharing (PLS) atau revenue sharing (RS). Dengan menggunakan sistem PLS, shahibul maal akan membiayai semua kebutuhan tersebut dengan menyepakati pembagian hasil pada persentase tertentu dan merealisasikan pembagiannya pada akhir masa kontrak. Pengangsuran modal pinjaman dilakukan setiap bulan atau modal dapat dibayarkan pada akhir masa kontrak. Sementara revenue sharing (RS) adalah bagi penerimaan. Dalam sistem ini pihak mudharib yang menanggung biaya operasional (Muhammad, 2008: 31). Seseorang akan berpikir dua kali untuk menggunakan metode PLS dikarenakan beberapa hal, yakni (Ismail, 2011): a. Biaya administrasi pada sistem PLS sama dengan bunga karena bunga pun pada prinsipnya untuk membiayai kegiatan administrasi dan operasional shahibul maal (bank). 159
b. Pada akhir masa kontrak, sistem RS tidak lagi memungut biaya apapun, sementara dalam PLS hasil atau keuntungan yang diperoleh mudharib harus dibagi oleh dua pihak. c. Sistem PLS tidak praktis karena menuntut adanya kehati-hatian dari mudharib dan dituntut untuk selalu membuata catatan neraca laba-rugi pada setiap bulannya. Sementara pada sistem RS sangat praktis, efektif, dan efisien. d. Jika dilihat dari perolehan keuntungan mudharib, maka yang paling banyak memberikan keuntungan adalah sistem RS karena keuntungan tersebut akan menjadi milik mudharib sepenuhnya. Sementara dalam PLS, mudharib akan mendapatkan sedikit keuntungan karena selain adanya pemungutan biaya administrasi juga ada pembagian hasil kerja mudharib. Berdasarkan beberapa alasan yang tersebut diatas maka bentuk yang sesuai dengan pola pemikiran masyarakat modern saat ini adalah sistem revenue sharing (RS) karena selain praktis, efektif, dan efisiensi juga kebebasan individual dalam berusaha untuk tidak menuntut jaminan atas kejujuran yang dikehendaki oleh bank. Kecenderungan atas pilihan ini akan semakin kuat jika pada dataran realistik praktik sistem PLS atau mudharabah pada perbankan syari’ah tidak jauh berbeda dengan sistem revenue sharing (konvensional), sebagaimana yang terjadi pada praktik-praktik perbankan syari’ah saat ini (Muhammad, 2005). KESIMPULAN Pembahasan mengenai mudharabah menjadi hal yang menarik karena penyebab lahirnya lembaga keuangan syari’ah, khususnya perbankan syari’ah adalah karena dimotori oleh akad mudharabah. Bank dengan prinsip mudharabah 160
dianggap sebagai solusi bank dengan prinsip bunga (konvensional). Namun pada kenyataannya saat ini mudharabah sedikit kehilangan “pamor-nya” dan bukan lagi sebagai “primadona” bagi lembaga keuangan syari’ah karena digantikan oleh akad lain seperti murabahah yang lebih menguntungkan para pihak dengan risiko yang lebih rendah. Akad mudharabah merupakan akad kerjasama yang salah satu pihak bertindak sebagai pemilik modal sepenuhnya (shahibul maal) dan pihak yang lainnya sebagai pengelola modal (mudharib), dengan keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan pada saat akad. Akad mudharabah tidak hanya digunakan pada perbankan syari’ah saja, melainkan juga pada lembaga keuangan syari’ah lainnya seperti asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah, dan obligasi syari’ah. Pada akad mudharabah juga ditemukan adanya beberapa permasalah yang dapat juga disebut dengan hal yang harus diperhatikan, yakni seperti penentuan nisbah bagi hasil, pengelolaan usaha mudharib, jaminan, penetapan masa kontrak, dan lain sebagainya. Kita sebagai generasi penerus ekonomi Islam bertugas untuk terus “mengibarkan” dan mempertahankan akad mudharabah ini. Akad mudharabah sangat bermanfaat bagi kegiatan bisnis jika dapat dikelola dan dijalankan dengan baik, serta ditambah dengan pengelolaan risiko yang tepat. Sehingga akan sangat disayangkan jika pada akhirnya akad mudharabah ini harus “lenyap” dari lembaga keuangan Islam, yang tentunya sangat tidak diharapkan oleh kita semua.
161
DAFTAR PUSTAKA Al Arif, M. N. R. (2012). Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis. Bandung: CV Pustaka setia. Alma, Buchari, D. J. P. (2009). Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: Alfabeta. Ayub, M. (2007). Understanding Islamic Finance: A-Z Keuangan Islam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Aziz, A. (2010). Manajemen Investasi Syariah. Bandung: Alfabeta. Aziz, Abdul, M. U. (2010). Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Dahlan, A. (2012). Bank Syari’ah: Teori, Praktik, dan Kritik. Yogyakarta: TERAS. Djamil, F. (2012). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. E, V. F. dan S. L. H. (2007). Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusamedia. Ismail. (2011). Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana. Ismaniyati, N. S. (2013). Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Bandung: CV Mandar Maju. Janwari, Y. (2015). Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Karim, A. A. (2010). Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Kencana. Karim, H. (1997). Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kettel, B. (2011). Introduction to Islamic Banking and Finance. United Kingdom: Printhause Northamton. Muhammad. (2005). Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Muhammad. (2008). Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah: Strategi Memaksimalkan Return dan Meminimalkan Return Pembiayaan di 162
Bank Syariah sebagai Akibat Masalah Agency. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nurhayati, S. (2011). Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Rivai, Veithzal, Abdul Hadi Sirat, Tatik Mariyanti, & H. W. (2014). Principle of Islamic Finance (Dasar-Dasar Keuangan Islam). Yogyakarta: BPFEYogyakarta. S., B. (2009). Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. S., B. (2010). Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siamat, D. (2005). Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soemitra, A. (2009). Bank & Lembaga Keuangan Islam (1st ed.). Jakarta: Kencana. Suhendi, H. (2013). Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana. Sula, M. S. (2004). Asuransi Syari’ah: Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. Sutedi, A. (2011). Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. Umam, K. (2013). Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV Pustaka setia. Warde, I. (2000). Islamic Finance: Keuangan Islam dan Perekonomian Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuliana, I. (2010). Investasi Produk Keuangan Syariah. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
163