KONSEP KALEPASAN DALAM LONTAR GANAPATI TATTWA Oleh: Poniman*) Abstract Recognizing God as the origin of all reality, the man also comes from the Lord, by every human being is born then he would return to the origin of birth. Both men are aware of or do not have awareness of life, that death is in fact true for all. If death is an eternity, it is also a fact of life eternal. Death, birth, life is a reality. Achieve moksa is not a thing that no concept or mechanism, but there are many concepts that must be passed in order to achieve it. Kalepasan is part of the sradha or faith is to know and, if need be run so as to answer why there Punarbhawa and Moksa. Tattwa Ganapati is one Tattwa palm, palm Shiva philosophy that is presented with question and answer method that consists of two figures, one of them as students and the other as a teacher. A concept to Kalepasan contained in the text contained in the Lontar Tattwa Ganapati. To achieve kalepasan when death will come; Eliminate clutter your mind with mind fixed on self-awareness, full concentration without a shadow of the world around him, without considering the child, the wife of property and so on, heart full of joy with no attention to other elements except the unit to concentrate on the breath, Lead Spirit's journey through the end of the sound (word) to leave the self through the crevices of the mind (the mind focused on the single-character designation symbol Om as God to turn the chaos of mind), Unleash the departure of the Spirit through the crevices of sound with no more thought to the , between the full happiness mantra to the accompaniment of Am-Um-Mam Keywords: Kalepasan, Ganapati, Tattwa I. PENDAHULUAN Jagad raya ini ada karena diadakan oleh yang memberi ada. Yang memberi ada kemudian mengadakan segala isi alam semesta baik tata surya maupun planet-planet yang memenuhi ruang angkasa raya. Bumi sebagai planet yang dihuni oleh berbagai kehidupan dan air serta daratan dengan segala bentuknya. Semua itu ada yang meng-ada-kan-nya. Keadaan yang diadakan oleh sumber pengada kemudian diamati oleh manusia sebagai mahkluk yang diadakan yang memiliki kelebihan akal dan budhinya untuk mencari sumber pengada tersebut. Di dalam keterbatasannya untuk mendefinisikan sumber pengada itu, menusia memberikan nama kepada
sumber pengada dengan sebutan Tuhan (God). Tuhan adalah „ada‟ dan „tiada‟ itu sendiri. Tuhan bersifat fisik dan metafisik. Tuhan atau Brahman maupun Maya adalah penyebab dari dunia ini (Sankara dalam Viresvarananda, 2002: 23), segalanya didunia ini eksis dan sifat ini diperoleh dari Brahman. Semua ini juga disinari oleh kecerdasan yang merupakan Brahman. Brahman sebagai awal, pertengahan dan akhir dari semua yang ada di dunia ini. Semua yang ada ini karena kuasa Brahman. Pandangan lain menyebutkan bahwa Tuhan adalah asal/sumber segala sesuatu (realitas), tetapi Tuhan bukanlah semata-mata ”sebab pertama” *) Poniman, S.Ag., M.Fil.H, adalah dosen Fakultas Brahma W
1
causa prima (Purwadi, 2002: 147). Terlebih dari itu, karena Tuhan bersifat Maha, maka Tuhan akan menjadi apa saja seperti yang Tuhan kehendaki, sehingga dengan demikian Tuhan bukan merupakan wujud satu aspek saja yang harus disembah tetapi dalam karakter apa beliau disembah. Sebagai pencipta alam semesta, Tuhan tidak lagi punya pekerjaan lagi setelah alam yang diciptakan-Nya ini berada secara teratur berdasarkan hukum sebabakibat yang ada pada alam itu sendiri. Pandangan tersebut justru mengorbankan sifat aksiologi Tuhan, yakni pengabaian dari sifat metafisik Tuhan yang berupa memelihara, memerintah dan melebur alam semesta. Sifat aksiologis menjadi dasar nilai pengetahuan, yang mengikat semua mata rantai tujuan-tujuan dikembangkannya ilmu pengetahuan. Adanya tujuan tersebut, akhirnya bermuara pada tujuan akhir (ultimate goal), yakni Tuhan. Sebab Tuhan adalah sangkan paraning dumadi atau asal segala realitas. Sifat aksiologis inilah yang diabaikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Barat (Purwadi, 2002: 148). Menyadari Tuhan sebagai asal segala realitas, maka manusia juga berasal dari Tuhan, oleh itu setiap manusia yang dilahirkan maka dia juga akan kembali kepada asal dari kelahiran itu. Baik manusia yang sadar maupun belum memiliki kesadaran hidup, bahwa kematian pada hakikatnya berlaku bagi semua. Jika kematian merupakan suatu keabadian, maka kehidupan sesungguhnya juga suatu keabadian. Kematian, kelahiran, kehidupan adalah realitas. Jika bayi lahir dari perut ibunya ia tidak mampu menolaknya, maka ketika orang yang
menghadapi sekaratul maut (kematian sedang menjemputnya) ia juga tidak kuasa menolaknya. Orang yang tidak takut ketika kematian menjemputnya, sesungguhnya orang yang beruntung dalam hidup didunia, tetapi orang yang menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari sebenarnya mengetahui hakikat hidup sejati. Bagi yang belum memahami kematian, maka kematian menjadi momok baginya. Banyak orang enggan membicarakan topik ini, menutup mata, telinga dan pikiran tentang kematian, tetapi disisi lain kita mendengar ungkapan yang halus terhadap orang yang sudah meninggal dengan sebutan amor ring acintya, mantuk ring ayunaning Gusti, tilar donyo, wangsul ing kasidan jati, telah berpulang kerahmatullah, almarhumah atau bahasa indah yang menyenangkan hati guna melawan pandangan rasa yang menyedihkan karena ditinggal mati. Itu semua diperkuat oleh Banjiri bahwa hal itu untuk menghilangkan dinding pembatas antara orang yang mendengarkanya dengan maut itu sendiri (Al-Banjari, 2007: 69) Kematian berlaku bagi semua orang, secara realitas banyak orang yang tidak menginginkan kematian terlebih kematian dini, akan tetapi realitasnya bahwa kematian tiada mengenal kompromi. Kematian lekat sekali dengan kehidupan. Jika memang sudah waktunya tiba, maka kematian tidak bisa dihindari. Kematian sendiri ada berbagai macamnya baik yang sempurna maupun yang tidak sempurna. Kematian yang sempurna didalam ajaran Hindu akan mengantar kelahiran yang sempurna pula dan terlebih jika tepat sasaranya akan mencapai moksa. Hal ini sesuai dengan konsep Panca Srada yang menjadi
2
dasar keimanan bagi masyarakat Hindu. Moksa merupakan pencapaian tertinggi dari segala mahkluk terutama mahkluk manusia, sebagai suatu jenjang yang memungkinkan untuk itu, oleh karenanya manusia mengharapkan kematian yang sempurna (Maswinara, 1996: xi). Mencapai Moksa bukanlah suatu hal yang tanpa konsep atau mekanisme, tetapi ada berbagai konsep yang harus dilalui agar tercapai hal itu. Sesungguhnya jalan untuk menuju itu sudah banyak ditulis, baik itu dalam Sruti maupun Smerti, namun kenyataannya sungguh jarang orang yang memahami dan mempraktekan ajaran Weda. Hal ini beralasan mengingat Weda merupakan suatu ajaran rahasia hidup yang tidak bisa dianggap remeh. Titib menjelaskan bahwa untuk memahami Weda, diperlukan pemahaman yang berjenjang dan komprehensip, bahwa setiap orang yang ingin memahaminya, sebaiknya memiliki referensi yang luas dari pengetahuan sederhana sampai yang lebih dalam dan luas. Untuk itu, kita diharapkan memiliki pengetahuan agama terutama Susastra Weda sebagai kronologis dari kitab-kitab Agama, Tantra, Dharmasastra, Itihasa, Purana, Darsana atau Tattva-tattva di Indonesia (Titib, 1999: 5). Melepaskan karma, menjalani hidup sesuai hukum Tuhan akan membawa kepada kejernihan pikiran. Kejernihan pikiran bukan jaminan bahwa seseorang akan siap menghadapi kematian. Seseorang akan siap menghadapi kematian jika ia sudah memiliki beberapa konsep serta mengetahui gejala-gejala kematian akan menjemputnya. Selain daripada itu bukan kematian yang menjadi bahan pemikiran tatkala masih hidup,
tetapi kemana jalan yang akan dituju setelah kematian, moksa atau punarbhawa, kesemuanya ini harus dipahami sehingga segala petunjuk kearah itu akan dipersiapkan terlebih dini. Untuk memiliki dan memahami gejala-gejala kematian serta tujuan kematian itulah peneliti berusaha ingin mengetahui dan mengupas secara tuntas tentang konsep kalepasan yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa. Lontar Ganapati Tattwa adalah sebagian dari beberapa lontar yang memuat ajaran kalepasan. Selain Ganapati tattwa yang memuat kalepasan, diantaranya adalah; Jnana Tattwa, Jnana Siddhanta, Wrehaspati Tattwa, Bhuwana Sang Ksepa, Bhuwana Kosa, Siwa Banda Sakoti, Maha Jnana, Puspa tan Alum, Jnana Siddhanta, Siwa Tattwa dan lainnya, tetapi pada penelitian ini yang menjadi sumber utamanya adalah Kalepasan yang terdapat dalam Ganapati Tattwa. Dengan demikian ruang lingkup penelitian ini sudah jelas yaitu Lontar Ganapati Tattwa. Kalepasan merupakan sebagian dari adanya sradha atau keimanan yang perlu diketahui dan bila perlu dijalankan sehingga dapat jawaban mengapa ada Punarbhawa dan Moksa. Bagaimana seseorang mengetahui sebab ia dilahirkan jika ia tidak memahami Tattwa tentang kehidupan, asal mula kehidupan serta kemana arah dan tujuan manusia itu dihidupkan, oleh karena itu menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian dalam kaitannya dengan tattwa kalepasan, yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa. 1.1 Konsep Kalepasan
3
Konsep merupakan bentuk paling sederhana dari pikiran yang berbeda dengan putusan dan penalaran. Putusan dan penalaran merupakan pola-pola pemikiran yang tersusun dari sejumlah konsep. Sementara suatu putusan menyatakan suatu realitas tertentu sebagaimana ada, konsep merupakan ungkapan pikiran atau ungkapan abstrak-rohani tentang suatu keapaan (whatness), karena konsep menangkap suatu obyek, serta menyajikan kembali apa adanya tanpa membuat suatu pernyataan tentangnya. Salah satu dari fungsi logis konsep adalah memunculkan dalam pikiran, dengan atribut-atribut tertentu, objek-objek yang menarik perhatian kita dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan. Berkat fungsi ini, konsep-konsep menggabungkan katakata dengan objek tertentu. Penggabungan ini memungkinkan kita menentukan arti-arti kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran (Bagus, 1996: 480-483). Kalepasan mengandung arti kamuksan, kabucalan (Ronggowarsito, 2003: 96). Jika kalepasan berasal dari kata lepas dan mendapat imbuhan pean, maka kata lepas mengandung arti; ical, bablas, nglepasaken, lumepas, putus, ucul, budhal, ambucal, kesah, tebih, labuh, oncat. Selain itu menurut Mulder (1995: 589) kalepasan adalah kebebasan dari ikatan keduniawian dan kelahiran kembali. Konsep kalepasan pada penelitian ini adalah kombinasi katakata atau simbol-simbol yang bukan pernyataan, merupakan suatu abstraksi dari hasil pengideraan sehingga tersusun suatu langkah atau tahapantahapan guna mencapai suatu jalan untuk melepaskan atma dari raga sehingga tercapai suatu keadaan sesuai
dengan kesadaran pikiran disaat kematian menjemput. Menurut Sura dalam Kinten (2005: 119-120) bahwa untuk mencapai kalepasan tidak dapat dilakukan seketika, namun melalui tahapan seperti orang mendaki gunung yang pertama harus menginjakkan kakinya pada kaki gunung, kemudian pada lambung dan terakhir dipuncaknya. Tidak ada orang yang langsung sampai ke puncak sebelum menginjakkan kakinya pada kaki gunung itu. Selanjutnya disebutkan dalam Tesis Kinten bahwa ada beberapa ilmu tentang pelepasan atma yang terdapat dalam beberapa lontar diantaranya: Aji Pakekesing Pati, Aji Tengeraning Pati, Aji Wekasing Bhuwana, Aji Patyaning Tiga-Aji Patitisan, Aji Pakeber, dan Aji Pamecutan. Kesemuanya itu digunakan untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu Moksa. 1.2 Lontar Ganapati Tattwa Lontar Ganapati Tattwa adalah salah satu lontar Tattwa, lontar Filsafat Siwa yang disajikan dengan metode Tanya-jawab yang terdiri dua tokoh, salah satunya sebagai murid dan satunya lagi sebagai gurunya. Ganapati adalah nama peran sipenanya sedang sebagai pemaparan atas pertanyaan Ganapati adalah Siwa yang tak lain adalah Maheswara. Maheswara menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana atau Ilmu Kautaman. Secara ringkas sudah ditulis oleh tim penterjemah tentang ganapati tattwa beserta isinya dalam naskah terjemahan yang diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Budaya (1994) yang selanjutnya menjadi sebagai data primer dalam penelitian ini, dalam Ganapati Tattwa disebutkan;
4
“Ganapati Tattwa adalah salah satu lontar tattwa, lontar filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya-jawab, disebutkan bahwa Ganapati adalah Dewa Penanya yang cerdas dan Siwa sebagai Maheswara yang menjabarkan ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan misteri alam semesta, beserta isinya. Terutama tentang hakikat manusia; darimana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kalepasan”. 1.3 Sinopsis Diceritakan dalam Lontar Ganapati Tattwa bahwa pada awalnya atas keadaan yang ada di jagad raya ini, adalah tidak ada apa-apa selain Pangeran sendiri yang berbadan kesenangan atau sukha acintya. Hal itu berarti pada mulanya bahwa yang menghuni keadaan ruang hampa ini adalah Tuhan sendiri dalam keadaan metafisik atau Nirguna. Sanghyang Sukha Acintya (sebutan pada keadaan alam bahagia yang abstrak) kemudian berubah wujudnya menjadi Sanghyang Jnana Wisesa atau disebut juga Sanghyang Jagad Karana. Setelah mewujudkan dirinya, Sanghyang Jagad karana berkeinginan menyaksikan Dirinya sendiri yang bersifat nyata dan tidak nyata, kemudian menciptakan ruangan sunia sebagai tempatnya bersemadi yang bersifat gaib dan rahasia. Selanjutnya dari tempat itu terciptalah Ongkarasuddha serta suara. Dari Omkarasuddha terciptalah Bindu Prana Suci dan Nada Prana yang terlihat seperti kumpulan cahaya, bulan dan bintang yang memenuhi ruang angkasa. Selanjutnya dari Bindu Prana Suci terciptalah Pancadewata yaitu
Brahma, Visnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sadasiva. Dari Pancadewatalah merupakan sumber panca tanmatra yaitu ganda, rasa, rupa, sparsa, sabda ( unsur suara), yang kesemuanya sebagai sumber munculnya Pancamahabhuta (akasa, eter; bayu, angin; teja, sinar; apah , zat cair; dan prethiwi, zat padat. Dari Pancamahabhuta terciptalah alam semesta beserta isinya, dan Sanghyang Siwatma sebagai sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaanya. Manusia diidentikkan dengan alam semesta sehingga yang menjadikan badan manusia adalah karena Pancadewata dan Pancamahabhuta. Brahma sebagai simbol arah selatan dan menempati bumi jika dalam tubuh manusia bertempat di muladhara dan berfungsi menghidupkan indra/jasmaniah, Wisnu berstatus diutara dan memelihara air, jika dibadan manusia berstana di pusat /nawe sebagai unsur rasa, Iswara berstatus ditimur dengan mengatur angin jika dibadan manusia berstana dikerongkongan, mengendalikan tidur dan sebagai unsur suara, Rudra menjaga arah barat sebagai symbol matahari jika ditubuh manusia berstana dihati dan mengatur kesadaran, mata dan pikiran, Sadasiwa yang menempati ruang tengah jika ditubuh manusia berstana diujung lidah, menguasai segala pengetahuan yang berhubungan dengan telinga dan suara. Selanjutnya diceritakan tentang hakikat muladhara, pusar/nabi beserta letaknya didalam tubuh disertai dengan penempatan panca warna. Disamping itu juga dijelaskan bagaimana terjadinya perpaduan manusia sehingga melahirkan manusia, mulai proses pembuahan sampai terbentuk janin dan proses kelahiran dengan detail sampai
5
mengapa terjadi kelahiran laki, perempuan dan banci. Dijelaskan pula sebagai sumber yang menghidupkan bayi setelah umur 10 bulan adalah sunya, pada waktu lahir Nirmana, saat sudah bisa menyebut bapa-ibu Jiwa namanya, setelah tua dan jiwa hilang bersaman badan kemudian Atma yang muncul. Selanjutnya diceritakan pula tentang perjalanan Atma sampai menuju intisarinya kegaiban atau niskala. Diceritakan pula tentang hakikat terbentuknya aksara Om (Omkara) dan selanjutnya dinyatakan bahwa stana Bhatara Siwa dihati manusia, untuk memujanya dipakailah sarana mantra caturdasaksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang: Om) dengan tekun maka tercapailah tujuannya yang tiada rasa sukha dan duka pusat segalanya/penuh kedamaian. Selanjutnya dinyatakan tentang asal diri manusia adalah dewa sarira yang selalu menjaga Sang Diri yang merupakan pengetahuan utama tentang hakikat hidup dan dibutuhkan iman yang kuat untuk dapat menerima ajaran ini. Ada tiga prilaku orang yang ingin mencapai kebebasan yaitu sakala (berbadan Triguna; satwa, rajas dan tamas) kewala suddha (melepaskan diri dari kebahagiaan duniawi), dan malinatwa (tak ternoda oleh keterikatan duniawi di anggap Siwa Suci). Selanjutnya ada tiga sarana agar orang mencapai kebahagiaan bathin yaitu Wairagyaditraya (memiliki pengetahuan tinggi), Pararogya (meninggalkan keterikatan duniawi), Dhyanaditraya (pemusatan pikiran/samadi dengan melakukan pranayama secara teratur). Selanjutnya jalan kalepasan terdiri dari sembilan
dan kesepuluh, jika melalui kesembilan jalan maka akan terlahir lagi kedunia dan jika melalui jalan kesepuluh akan manunggal atau bersatu dengan Paramasiwa dan tidak kembali lagi kedunia. Pada bagian ini lebih menekankan agar diketahui akibat adanya berbagai macam kelahiran mahkluk di dunia ini, baik tumbuhan, hewan dan terlebih manusia. Dengan demikian sudah dapat memberikan jawaban adanya reinkarnasi/punarbhawa. II. PEMBAHASAN 2.1. Konsep Kalepasan dalam Lontar Ganapati Tattwa Kalepasan yang sempurna menurut Lontar Ganapati Tattwa dapa dicapai dengan melaksanakan beberapa tahapan-tahapan yang penting untuk dilakukan. Adapun tahapan-tahapan agar tercapainya suatu kalepasan yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa, dapat disajikan seperti berikut. 2.1.1. Syarat Utama sebelum Mempelajari Ilmu Kalepasan Konsep kalepasan secara terinci diuraikan dimulai pada sloka ke 40, tetapi sebelum tahapan sloka ini hendaknya seseorang memahami tentang berbagai pengetahuan yang sempurna, menguasai pengetahuan sempurna artinya seseorang sudah tidak dipusingkan lagi tentang asal-mula adanya dunia dan asal mula dilahirkan, serta kemana arah tujuan hidup sesungguhnya seperti diuraikan pada sloka sebelumnya yang menceritakan tentang proses terciptanya dunia alam semesta (makrokosmos) dan dunia manusia (mikrokosmos). Sebelum mempelajari konsep kalepasan hendaknya seseorang memiliki sradha atau keyakinan yang
6
penuh kesadaran, bahwa dalam menumbuhkan kesadaran tidak cukup dengan mempelajari kitab-kitab suci, melainkan dengan praktek langsung dengan selalu mengutamakan sikap penyerahan Diri kepada Tuhan yaitu serlalu ingat dan Bhakti setiap saat dalam keadaan apapun kepada Tuhan. Terkait dengan hal itu, kesadaran yang dimaksud dalam Lontar Ganapati Tattwa, hendaknya seseorang sudah memiliki kemantapan didalam diri bahwa hakikat sesunguhnya bukan materi, kebahagiaan ataupun keinginan akan tetapi segala arah tujuan hidupnya adalah bersatu atau manunggal dengan Siwa sebagai asal mula segalanya. Ciriciri orang yang memiliki sradha ini diantaranya seperti disebutkan pada sloka berikut: Labha bhedajnana sisyah sraddhadano jotendriyah, dharmatma vratasampanno gurubhaktir visevacah. Kunang ikang sisya wenang warahaken ri sanghyang bhedajnana, sisya sraddha ring dhana, jitendriya, tuwi mahun ta ya kagawayan ing dharma kinahan dening brata, mwang bhakti maguru kunang, nahan luwirnya, ikang yoga pajaraken ri sanghyang bhedajnana, ndya ta (Ganapati Tattwa. Sloka. 42 halaman.15) Terjemahan; Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sanghyang Bhedajnana adalah murid yang punya iman terhadap dana (sedekah), orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak
melaksanakan Dharma, melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid yang bhakti berguru. Apa umpamanya? Adalah Yoga yang diajarkan oleh Sanghyang Bhedajnana (Ganapati Tattwa . Sloka 42 halaman. 42) Murid yang iman terhadap dana diartikan adalah yang murah hati, selalu bersedekah baik materi maupun non materi, tidak pelit terhadap apapun, tidak boleh merasa memiliki atas segala yang ada pada dirinya tetapi jika dibutuhkan orang lain seraya dengan senang hati akan membantunya. Bersungguh-sungguh melaksanakan Dharma adalah murid yang tahu akan kwajiban dan selalu mengutamakannya, bukan kepentingan pribadi yang dipakai dasar, tetapi segalanya karena petunjuk kebenaran dengan selalu berpikiran benar, berperilaku benar, berkata benar sesuai petunjuk kebenaran dalam kitab suci. Melaksanakan Brata yang dimaksud adalah berbagai aturan berata seperti yama dan niyama dilaksanakan dengan sungguhsungguh. Bhakti terhadap guru yang dimaksud adalah murid yang selalu memperhatikan, mendengarkan dan melaksanakan segala petunjuk dan arahan dari seorang guru dengan tanpa memandang bagaimana dan siapa guru itu, yang dipandang adalah guru sebagai perwujudan dari Tuhan didunia, sehingga tiada membedakan Tuhan dan Guru. Melayani guru dengan tulus ikhlas dan penuh kesadaran akan menghantarkan pada pencapaian spiritual tingkat tinggi, sehingga siap untuk menerima segala
7
macam pengetahuan termasuk konsep kalepasan yang sangat diangap rahasia dan disucikan. Rahasia yang dimaksud karena menyangkut ajaran hakikat hidup dan jika tidak memiliki keimanan yang tebal akan tidak berguna ajaran itu, seperti seorang anak kecil yang tidak memiliki pengetahuan tentang emas (jika diibaratkan ajaran ini adalah emas), maka ketika diberikan emas oleh seseorang akan dipakai mainan dan tidak dirawatnya karena dia belum memiliki arti nilai dan fungsi emas. Begitu juga ajaran dalam Lontar Ganapati Tattwa ini, jika salah penerapannya akan menjadi sombong dan takabur sehingga menjadi manusia yang sesat bahkan sangat membahayakan kehidupan, karena segala rahasia sudah dipahami dan setelah dipahami hendaknya dirahasiakan lagi dan dijadikan sebagai tuntunan untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan bukan menjadi sebaliknya jika tidak memiliki sradha akan menjadi orang yang takabur, congkak dan semaunya sendiri. Seperti perilaku Ravana dalam cerita Ramayana yang penuh ambisi bahkan ingin menguasai dunia, sorga, neraka dan semua yang ada di semesta akan ditaklukkannya, karena Ravana sudah mamiliki segala rahasia hidup tetapi tidak memiliki dasar keyakinan dan bhakti. 2.1.2. Memiliki Kesucian Batin Kesucian batin adalah sarana berikutnya setelah yang diatas. Kesucian bathin sangat mendukung didalam proses mempelajari ilmu kalepasan. Dengan kesucian bathin maka akan didapatkan suatu keadaan pikiran yang cemerlang sehingga hendak memikirkan apapun akan bisa
diperoleh segala yang diangankan. Untuk mendapatkan kesucian bathin ini dalam Lontar Ganapati Tattwa dijelaskan dalam sloka sebagai berikut; kramanya nihan. Sakalah kevalasuddhas trayavasthah purusah smrtah, pralinatvac cittamoksah kathyate nirmalah Sivah. Katrini laksana ning sang Purusa ri klepasan, hanan sakala, hnan kewala suddha, hanan malinatwa, ya ta katuturakena siran mangkana. Sakala ngaranya makawak triguna sira. Kewalasuddha ngaranya matingal pamukti sira. Malinatwa ngaranya papasah mwang nira triguna. Manowijnanawak nira, suddha ngaranya. Patining manowijnana, sake sira mari mamikalpa, yoga ngaranya. Sunyakara kaiwalya, tanhana geleh-geleh niran pamukti, sira sinangguh nirmala Siwa (Ganapati Tattwa. Sloka. 43. halaman. 15). Terjemahan: Ada tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti: ada yang mengikuti prilaku Sakala, Kewala Sudha, dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala artinya berbadan triguna (satwam, rajas, tamas). Kewala Suddha artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (dunia). Malinatwa artinya bebas dari sifat Triguna. Manowijnana
8
badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan suci , dari sana menuju kesangsian, itulah Yoga namanya. Sunyakara Kaiwalya artinya (orang yang) tak ternoda oleh kebahagiaan(dunia) ialah yang dianggap Siwa Suci (Ganapati Tattwa. Sloka. 43.halaman. 43). Ada tiga jalan untuk mencapai kalepasan dalam Lontar Ganapati Tattwa dijelaskan seperti pada sloka di atas antara lain: 1) Sakala yaitu jalan mencapai moksa semasih memiliki ikatan triguna. 2) Kewala Suddha yaitu jalan mencapai kalepasan dengan meninggalkan kenikmatan duniawi. 3) Malinatwa yaitu jalan kalepasan dengan melepaskan diri dari triguna, Manowijnana (alam pikiran dan kebijaksanaan) tidak lagi terikat oleh waktu, hening sepi tidak ada lagi yang tidak suci yang dinikmati sehingga disebut Siwa Nirmala. Sesudah mantap keheningan Manowijnana, bebas dari nafsu, bersih tanpa halangan, pikiran menjadi sepi hening dan cemerlang, tidak ada yang menghalangi. Keadaan yang demikian disebut Paramasuddha. Adanya penjelasan sloka tersebut bahwa yang dimaksud dengan berbadan triguna (satwa, rajas dan tamas) artinya memiliki sarana tubuh atau hidup yaitu manusia saja yang punya sifat triguna, jika roh yang menempati badan triguna atau berwujud manusia sudah terbebas dari triguna yaitu memalingkan bahwa badan ini tiada berarti bagi hakikat diri, ini dilakukan didalam latihan dan praktik yoga setiap saat sehingga pikiran tiada dikacaukan lagi oleh
keadaan badan dan didapatkan suatu konsentrasi disetiap nafas kehidupannya dan dengan keadaan ini maka kesucian akan didapatkan. Orang yang sudah meninggalkan kepentingan keduniawianlah yang dianggap Siwa Suci. Menjadi suci bukan untuk mencari kehormatan melainkan untuk kerahayuan jagad dan itu saat ini amat jarang yang memahaminya. Dengan keadaan ini terciptalah kesucian bathin, sehingga akan mampu melaksanakan segala ajaran kalepasan dengan sempurna. Hal ini sesuai penjelasan Lontar Ganapat Tattwa dalam sloka berikut; Suddhah suksmas cayam yogi suddhajnanac ca moksanam, mano linam parisuddham mukta eva prakirtitah. Anantara sakerika, ri huwusnya enak hangenhangening I manowijnana nira, nirwisaya suddha tanwikalpa sunya rupa malilang tang manah, yeka parama suddha ngaranya, apan malilang teher suksma tanpahamengan, ndan prihawakta laksanakena, sangksepanya, ikang jnana suddha wimala, samsipta ning kamoksan, tanana lewih saking manah sunyakara, wekasan ri linenya, muktang kaiwalya sanghyang atma, ya ta sinangguh purwadhakoti ngarannya, apan tang pangrembha phalabhukti mwang karma, doning nirwana sira mukta ling sang pandita (Ganapati Tattwa, Sloka 44. halaman 16) Terjemahan:
9
Tak lama kemudian dari situ setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, suci terbebas dari nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud) lenyapnya segala keinginan. Itulah kesucian tertinggi (Pamarisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa raguragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya pengetahuan suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi dari keinginankeinginan yang tak ternodai oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pada saat mati Rohnya (Sang Roh Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah dikatakan Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan) namanya, karena tak terikat oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para pendeta (Ganapati Tattwa. Sloka 44 halaman. 43-44). 2.2. Sarana Agar Mencapai Moksa Dijaman sekarang amat jarang orang yang mampu mencapai kalepasan karena dipengaruhi oleh sad ripu serta godaan-godaan indria, hal demikian juga akibat keadaan jaman yang semakin berkembang dengan terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang sehingga semakin
banyak godaan yang muncul dalam menjalani olah spiritual, akan tetapi menunjuk pada penelitian ini bahwa dalam Lontar Ganapati Tattwa terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan agar dapat mencapai Moksa. Untuk mencapai keberhasilan dalam mengolah kebatinan, dalam Lontar Ganapati Tattwa menyebutkan ada beberapa bagian yang perlu diperhatikan. Mengolah batin sangat diperlukan dalam mendalami spiritual, karena dengan menguasai kebatinan, maka seseorang akan merasa tenang didalam melakoni hidup dan kehidupan. Keseimbangan dalam kebatinan sangat mutlak diperlukan didalam mendalami berbagai ilmu termasuk didalamnya ilmu-ilmu rahasia seperti yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa. Adapun sarana megolah kebatinan dalam Lontar Ganapati Tattwa antara lain seperti tertuang dalam sloka berikut: Ndya ta sadhana ning mamuktaken nihan, tiga wisesa sadhana sang purusa, moksacitta, prasiddha sadhana nira mukti, lwirnya, wiragyaditraya. Pararpgya. Dyanaditraya. Kunang ikang wairagyaditraya, angadakaken bahyawairagya, para wairagya, iswarapranidhana. Bahyawairagya nga kawiratin, kawiratin ngaran sang wiku widagda ring rat. Parawairagya nga sang wiku witaraga, witaraga ngaran sang wiku tiniggal kasukhan. Iswarapraniddhana nga ayogaprawrtti, ayogaprawrtti nga sang wiku lenggang ajapa.
10
Mwah dhyanaditraya nga apranayama, adharana, asamadhi. Apranayama kunji rahasya nga ngulahaken niswasa. Dharana nga pranawajnanaikata, pranawa jnanaikata nga panunggalan ing citta, Samadhi nga nirwyaparajnana, nirwyaparajnana nga mengati tutur tang kawaranan. Nahan ta sadhananung kapanggiha sanghyang bhedajnana (Ganapati Tattwa. Sloka 44. halaman 16) Terjemahan: Ada Tiga Sarana Utama bagi orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar kepada sesuatu keberhasilan. Ketiga sarana dimaksud adalah; Wairagyaditraya, Pararogya, dan Dhyanaditraya. Wairagyaditraya adalah mengadakan bahyawairagya parawairagya, Iswarapranidhana. Bahyawairagya artinya Kawiratin. Kawiratin artinya Pendeta yang berilmu tinggi dimasyarakat. Parawairagya adalah Pendeta witaraga. Pendeta Witaraga adalah pendeta yang meninggalkan kesenangan hidup (keduniawian). Iswarapranidhana artinya Sang pendeta yang taat yogaprawrtti. Yogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada Tuhan. Dhyanaditraya artinya melakukan
pranayama, dharana dan Samadhi. Pranayama artinya pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana adalah pranawajnana artinya pemusatan batin. Samadhi adalah nirhyaparajnana yang artinya ingat pada tuntunan yang tampak. Itulah sarana untuk menemukan Sanghyang Bhedajnana (Ganapati Tattwa. Sloka. 44 halaman 43-44) Sloka diatas dapat dipahami bahwa agar mendapatkan Nirwana terlebih dahulu memiliki kebebasan bathin. Kebebasan batin terutama bagi pendeta agar mencapai hasil yang baik melalui tiga tahapan. Tahapan itu diantaranya 1) hendaknya seseorang memiliki pengetahuan yang luas/tinggi (Wairagyaditraya). 2) hendaknya orang meninggalkan kesenangan hidup dalam arti materi dinomor duakan tetapi spiritual diutamakan (Parawairagya). 3) seseorang hendaknya selalu mengingat Tuhan atau tansah eling marang Gustine rino klawan wengi (ingat pada Tuhan siang dan malam), sarananya agar melakukan yoga selalu dengan baik (Iswarapranidhana) dengan demikian maka kebebasan batin akan didapatkannya sebagai sarana untuk mendapatkan kalepasan. 2.3 Kesucian Pikiran sebagai Kunci Keberhasilan Selain kebebasan batin, untuk mencapai suatu keberhasilan dalam mempelajari kalepasan, maka sebagai dasarnya adalah kesucian pikiran. Dalam melatih agar pikiran menjadi suci tidaklah sulit, sebab sudah banyak aturan yang dituliskan dalam ajaran seperti pengendalian diri dengan
11
mengekang hawa nafsu diantaranya dengan menganggap bahwa bukan materiil sebagai dasar memperoleh kepuasan, tetapi selalu berbuat kebajikan demi mendapatkan tujuan hidup sesungguhnya yaitu bersatunya Atman dengan Brahman. Hal demikian jika dipraktekkan maka pikiran akan selalu tersucikan karena tidak dibebani oleh benda-benda materi. Semua materi dianggap hiasan hidup bukan tujuan hidup. Setelah berpandangan demikian maka pikiran mantap untuk menghadapi segala bentuk kehidupan termasuk menghadapi kematian dengan rasa bangga sehingga sikap konsentrasi akan terjadi dan membuahkan keberhasilan diharapkan seperti pada sloka berikut ini: vimuktas tyaktasamsvano na tiryagurdhvagamanah, nadhastadgamanc capi viphalah sunya kevalah. Kunang ikang sandhi kasikepana kunci rahasya, saha pranayama, makawasanang kadhirajnanan, haywa wyapara, apa matangnyan mangkana, apan ring wawangis ala nira sanghyang urip sakeng sarira, tan dadi tanpawan, hidep nirmala tan siddha phalanya. Terjemahan: Penutupan terhadap segala hubungan adalah kunci rahasia dari pemusatan dan pengaturan nafas, sebagai akhir pengetahuan yang abadi, janganlah berbuat sesuatu. Mengapa demikian? Karena dengan demikian Sang Roh Yang Mempribadi akan segera keluar dari badan. Sang Roh Yang
Mempribadi tidak akan bisa keluar apabila tiada jalan (kesucian), karena itu sucikanlah pikiran, apabila tak tersucikan maka tidak akan tercapai akibatnya (Ganapati Tattwa. Sloka . 49 halaman. 17) 2.4 Cara Mendapatkan Kesucian Diri Kesucian diri sangat diperlukan dalam mendapatkan kalepasan dengan baik. Dalam Lontar Ganapati Tattwa yang menjadi panutan untuk penyucian diri adalah perilaku Sang Sadaka. Adapun perilaku Sang Sadaka didalam kehidupan sehari-harinya selalu melakukan pemujaan kepada para dewa-dewa seperti surya sevana, tetapi selain itu Sang Sadaka juga melakukan praktik-praktik Yoga. Yoga yang dijalankan oleh Sang Sadaka ialah selalu setia menjalankan titah Widhi dengan sikap dan prilaku yang disandarkan pada kebenaran sesana, selalu konsentrasi dengan penuh kesadaran dalam setiap detak jantungnya diserahkan kepada kaki padma Tuhan. Perilaku inilah yang perlu dijadikan teladan didalam mencapai kalepasan seperti dijelaskan pada sloka berikut: Nihan waneh ulahakena sang sadhaka, yapwan apuja asila sopacara umarep wetan, ateher agranasika ta siwakarana, apranayama rumuhun, numeleng ri agra ning irung, mahawan grana kanan, terusakena tekeng hati, hidepan Bhatara Brahma Caturmukha, trinayana, caturbhuja,
12
raktawarna, hidep prathista ring hati, ma Om Am Brahmane Namah, recaka ngaranya. Mwah wijilaken wayunta suddha, mahawenang ghrana kiri, haneng hampru hidep Bhatara Wisnu caturbhuja, trinayana, krsna warna, hidep pratistha, ring hampru, Om Um Wesnawe Ya Namah, puraka ngaranya. Mwah isepwayunta haneng ghrana kalih, pegeng de asuwe, tekakena ring pusuhpusuh, hidep Bhatara Iswara trinayana caturbhuja, swetawarna, ma, Om Mam Iswara Ya Namah, kumbhaka ngaranya, ring telasnyan mangkana, unyaken tang mantra caturdasaksara, Pranawa. Om, sam, bam, tam, am, im, nam, mam, sim, wam, yam, am, um mam, Om. Haywa humung koccaranya, ri telas ing mangkana, laju sira abhasmabija, cendana, iti pranayama samsipta puja nga. Mwah tingkah ing wiphala, catur pwa ya kwehnya, ndya ta lwirnya nihan, nihsprha, nirwana, niskala, nirasraya. Kunang lwir ning pratyekanya, nihsprha nga tan ana kasadhya nira, nirwana tanpa sarira, tan ana kaadhya. Niskala nga pasamuhan ing sarwa taya, tan katuduhan, tanparupawarna,, tanpahamengan, ngkanonggwan ing ekatwa Bhatara mwang atma, teher misra ring awak Bhatara.
Nirasraya nga sira luput ing sarwajnana mangalpana, apan sira sari nikang niskala. Marya nga sanghyang atma, apan sira tanpa wastu, luput ing sarwa bhawa, nirlaksana, sira ta paramalauikika. Mangke wruh pwa sira sang sadhaka yan mangkana, apan sira angambekaken tingkah I wang sumanggraheng laukika, rikala ning hurip nira, marapwan kapanggiha sarananing laksana, ring wiphalaning laksana (Ganapati Tattwa. Sloka 49 hal. 17-18) Terjemahan: Adapun hal lain yang perlu dilakukan oleh para Sadaka (Pendeta), yaitu duduk menghadap ke timur memuja dengan segala upacara lalu pengaturan nafas dengan melihat ujung hidung. Dengan melalui lubang hidung kanan (udara diisap) terus menuju kehati, (saat itu) anggap Bhatara Brahma berkepala empat, bermata tiga, bertangan empat, berwarna merah, bersthana dihati dengan mengucapkan mantra; Om Am Brahmana nama. Inilah yang disebut Recaka. Kemudian hembuskanlah nafas sucimu melalui lubang hidung kiri. Anggaplah Bhatara Wisnu bertahta pada empedu bertangan empat, bermata tiga, warnanya hitam, anggaplah Ia bersthana di emperu dengan mengucapkan mantra: Om Um Wisnawe Nama. Inilah yang disebut Puraka.
13
Lagi isaplah udara melalui kedua lubang hidung, tahanlah beberapa lama, sehingga terasa sampai pada jantung, anggaplah Bhatara Iswara bermata tiga, bertangan empat, putih warnanya (untuk itu ucapkanlah) mantera Om Mam Iswara ya namah. Itulah yang disebut Kumbaka. Setelah demikian ucapkanlah mantera Caturdasaksara, Pranawa; Om, Sam, Bam, Tam, Am, Im, Nam, Mam, Sim, Wam,Yam, Am, Um, Mam, Om. Janganlah berisik, heran setelah melakukan hal itu, lalu abhasmabija, cendana. Itulah yang disebut pranayama, sebagai penghormatan singkat. Lagi kelakuan yang tak ada hasilnya ada empat banyaknya, seperti: Ninsprha, Nirwana, Niskala, dan Nirasraya. Adapun masingmasing berarti: Ninsprha artinya tidak ada yang diharapkan. Nirwana artinya tiada berwujud, tiada yang diharapkan. Niskala artinya tempat bertemunya segala yang tampak, tidak ada perintah, tak berwujud, tak berbadan, disitulah letak kesatuan Sang Roh Yang Maha Agung. Nirasyara artinya Ia terlepas dari segala pengetahuan segala jaman karena Ia adalah intinya Niskala (alam kosong). Marya adalah Sang Roh Yang Mempribadi, karena Ia tiada berwujud, bebas dari segala sifat, tiada perbuatan, Ia
Parama Laukika. Sekarang tahulah Sang Pendeta jika demikian, karena Ia ( Sang Pendeta) melaksanakan kebiasaan menyiapkan Laukika pada saat hidupnya sehingga menemukan segala arti dari perbuatan dan tiada berbuahnya perbuatan (Ganapati Tattwa. Sloka 49 halaman. 45-56). Jika dalam Lontar Ganapati Tattwa ada tekhnik yang sangat rahasia dan bahkan tidak boleh disebarkan karena sifatnya rahasia. Rahasia yang dimaksud bahwa apabila tekhnik ini disebarkan tanpa mengetahui tata caranya atau metodenya dengan benar akan menimbulkan kematian dengan segera. Hal ini beralasan karena mantra mengandung unsur-unsur magis, jika matra pelepasan dipakai tidak sesuai aturannya maka tidak menutup kemungkinan yang memantra akan terlepas rohnya dan tak dapat kembali, oleh karena jika ingin memantra hendaknya mencari seorang guru pembimbing seperti petikan lontar ini ‘yan hana wwang kengin weruhing Sang Aji Aksara, mewastu mijil saking aksara, tan pangupadyaya/maupacara muang tan katapak, tanpa guru, papa ikang wwang yang mangkana’ artinya apabila ada orang yang belajar sastra tidak memiliki seorang guru, tidak dianugerahi/katapak berdosalah seorang seperti itu. Tetapi kalau dilakukan dengan cara yang benar (sesusi dengan situasi dan hati nurani yang belajar mantra), hal tersebut diperbolehkan, walau belum memenuhi persyaratan tersebut diatas (Watra, 2006: 9).
14
2.5 Sebelum Memilih Jalan Kalepasan Sebelum memilih jalan kalepasan, seorang sadhaka terlebih dahulu agar mengetahui dasar-dasarnya sehingga pilihan itu merupakan kebutuhan bukan keharusan sehingga akan dilakukan dengan penuh kebahagiaan. Dengan dasar pengetahuan yang benar, maka dalam melakukan kalepasan akan membuahkan hasil yang sesuai dengan tujuan hidup yaitu moksa. Apabila salah didalam melakukan kalepasan, maka resikonya akan menjelma kembali atau reinkarnasi. Akibatakibat yang ditimbulkan karena kesalahan dalam melakukan kalepasan dalam kelahirannya didunia akan membawa pada posisi kelahiran sesuai jalan mana yang ditempuh disaat melepaskan atmanya. Keadaan ini dapat dilihat pada sloka berikut: Nihan sanghyang Paramopadesa, kalaning tan hana bhuwana, tan hana awang-awang uwung-uwung, tan ana sunya nirwana, tan ana jnana, tan ana wisesa, tan ana ika kabeh. Kang wenten semana pangeran, awak paramasukha, tan sukha dening sunya, tan awak sunya, tan sukha dening nirwana tan awak nirwana, tan sukha dening jnana, tan awak jnana, tan sukha dening wisesa, tan awak wisesa, kewala paramasukha awak nira, tan pantara, tan Madhya, tan parupa, tan pawarna, tan pasana, lengit tan kena winuwus, tan awak hidep, kewala sukha acintya sarira, sakeng sukha acintya mijil sanghyang jnana wisesa,
tan keneng sarahina, apan mawak jnana tan kawisesan, apan mawak wisesa tan keneng sunya, apan mawak sunya tan keneng nirwana, apan mawak nirwana tan keneng sarasaning bhuwana, apan mawak bhuwana tan keneng sarwa suksma, apan mawak suksma. Mangkana sanghyang Jnana wisesa, ingaran sanhyang Jagadkarana. Muwah sanghyang jiwa duk haneng sarira sukha, iku helingaken, lamun sira sah saking sarira, sarira denipun sukha, denipun padha sukha ning ipun, teka nira lawan lunga nira, nanging sampun wiweka denira ngulati, denira haince-hainceki, tegese noraning awak ira, iku kauncainana pawekas ingsun ri sira, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa. Siwatma matemahan mata kiwa, sadasiwa matemahan mata tengen. Paramasiwatma pandelengan kabeh. Terjemahan: Inilah Pengetahuan Utama, tatkala tak ada bumi, tak ada langit, sunyanirwana, tak ada pengetahuan, tak ada kekuasaan apapun. Pokoknya semua itu tak ada. Yang ada dahulu Pangeran, badan kesenangan yang utama, ketiada senangan oleh kekosongan, tetapi tiada badan kosong, ketiada senangan oleh sorga, tetapi tiada badan sorga, ketiada senangan oleh pengetahuan tetapi tiada badan
15
pengetahuan, ketiada senangan oleh kekuasaan sesuatu, tetapi tiada badan kekuasaan. Yang ada hanyalah kesenangan utama pada diri Nya sendiri, tiada berantara, tiada bentuk, tiada jenis, tiada bertempat, keadaannya susah untuk dikatakan, (Ia) tiada senang oleh suara, tiada badan suara, tiada senang oleh pikiran, (karena Ia) tiada badan pikiran, (Ia) adalah kesenangan yang berbadan tak terbayangkan.(Ganapati Tattwa sloka 51-53: 48-52) Dari kesenangan yang tak terbayangkan (suka cita) munculah ilmu pengetahuan utama, tak terkena oleh segala yang hina karena pengetahuan itu tak terkuasakan, karena pengetahuan itu berbadankan penguasa. Ia tak terkena oleh kosong karena ia berbadan kosong. Ia tak terkena oleh sorga karena ia berbadan sorga. Tak terkena oleh sifatsifat dunia karena ia berbadan dunia. Ia tak terkena oleh halhal yang gaib karena sesungguhnya ia berbadan gaib. Demikianlah pengetahuanku utama itu (Jnanawisesa) yang disebut Jagatkarana….. Ketika Sang Roh berada dalam Sang Diri Ia berkeadaan senang. Ingatlah keadaan itu. Apabila Sang Roh telah terpisah dari Sang Diri, Sang Diri olehnya berkeadaan senang, oleh karena keduanya berkeadaan senang, apakah pada saat
datangnya Sang Roh maupun pada saat kepergiannya Sang Roh dari Sang Diri. Tetapi lihatlah secara seksama olehmu, kesimpulannya ia tak ada pada Sang Diri. Itu pegang teguh. (ini ajaranku) terakhir padamu.; Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa. Siwatma menjadi mata kiri, Sadasiwa menjadi mata kanan, dan Paramasiwa adalah sorotan mata. Berawal dari tidak mengetahui apa-apa kemudian murid spiritual hendaknya mengetahui segala apa yang ada di dunia ini atas kehendak Tuhan. Pengetahuan ini perlu diketahui, mengingat pemantapan pada pengetahuan tentang keberadaan alam sangat mendukung didalam oleh kebathinan sehingga menjadikan diri mantap dan tidak dibingungkan lagi oleh keadaan materi. Reinkarnasi dalam Ganapati Tattwa sangat jelas digambarkan tentang bagaimana hal itu terjadi, seperti dalam sloka berikut: Mwah yan amarga ring lalata dadi bhujanggadi. Yan amarga ring soca dadi ksatrya, yan amarga ring irung dadi tumenggung. Yan amarga ring karma dadi sira Demang. Yan amarga ring tutuk dadi pacahtanda. Yan amarga ring pranawayu(…), yan amarga ring Siwadwara dadi ratu anyakrawrtti, juga sarining tiga rihanaking netra unggwanya. Ya urip ing wong sajagad ya sang manon, ya sarini tiga nga, sira angolah sajagat ri yawa mwang jero, ya sang manon
16
sira nga, suruping raditya ulan, ya sang manon urip ing dammar mwang aptining dammar, gingsire ring untek muwah ring sumsum. Ya ika teges I bubuksah mwang gagakaking ring raditya genahe. Yan ring sarira sang bubuksah ring mata kiwa, sang gagakaing ring mata tengen, ler siwa kang inintaraken prana, ikang inaran siwatma, sadasiwa inintaraken wayu, ikang inaran suddhatma, paramasiwa inintaraken hurip, ikang inaran jiwatma. Siwah mulih ring sadasiwa, paramasiwa mulih ring sadasiwa. Sira ta ingaranan parupawarna, ikang angilangaken ri sarira. Mwah yan katekan ing patita, aja lali samangkana. (Ganapati Tattwa. Sloka 5153 bagian. 6, 15, 16 halaman. 21-24) Terjemahan: Apabila saat Sang Roh meninggalkan Sang Diri melalui dahi (maka didalam penjelmaannya kemudian akan) menjadi Cendekiawan Utama. Apabila melalui mata akan lahir menjadi Ksatria. Apabila melalui hidung akan menjadi Demang. Apabila melalui mulut ia akan lahir sebagai Panca Tanda. Apabila lepas melalui aksara gaib (Om)…Dan apabila Sang Roh meninggalkan Sang Diri melalui Siwadwara maka akan lahir sebagai Raja Besar yang menguasai dunia. Inilah sarining tiga yang terletak pada orang-orangan mata
(hanaaking mata). Ia adalah jiwanya manusia sedunia. Jika orang dapat melihat, itu disebabkan karena saritiga namanya. Ia itulah yang mengatur seluruh dunia (badan=mikrokosmos) baik yang diluar maupun yang didalam. Ia lah yang disebut melihat, ia kembali pada Matahari dan Bulan. Ia adalah jiwanya pelita saat menyala dan padam. Bergsernya pada otak dan sumsum. Itulah makna Bubuksah dan Gagakaking yang berstana di Matahari. Jika dihubungkan dengan sang Diri, sang Bubuksah itu terletak pada mata kiri dan sang Gagakaking pada mata kanan dan yang mengerakkan prana adalah Siwa, itulah yang disebut Siwatma. Sadasiwa mengerakkan nafas (wayu), itulah yang disebut Suddhatma. Paramasiwa menggerakkan jiwa, itulah disebut Jiwatma. Siwa kembali pada Sadasiwa. Paramasiwa kembali pada Sadasiwa. Ia lah yang dikatakan tak berbentuk dan berwujud, Ia lah yang meniadakan diri-Nya sendiri. Jika kematianmua tiba janganlah dilupakan (Ganapati Tatwa. Sloka. 5153 bagian 6, 15, 16 halaman.48-52) Mengetahui keadaan hidup yang diakibatkan oleh kekeliruan didalam melepaskan atma akan membuat semakin mantapnya seseorang didalam mengikuti dan
17
memperhatikan konsep kalepasan, sehingga dengan demikian akan semakin berhati-hati didalam menjalani kehidupan ini, agar tidak menjelma seperti dijelaskan pada sloka diatas. 2.6 Tanda Datangnya Kematian dan Cara Melepaskan Atma Banyak tanda akan datangnya kematian seperti adanya umur tua, rambut yang sudah memutih, datangnya penyakit dan bahkan penyakit yang tak kunjung sembuh, berkurangnya gairah hidup dan sebagainya. Untuk mengetahui tanda datangnya kematian secara mendalam sungguh sulit tetapi dalam Lontar Ganapati Tattwa sebagai pertanda akan datangnya kematian dituliskan lebih spesifik pada penginderaan seperti datangnya suara Ardhacandra Bindu Nada atau bunyi Om pada diri seseorang, dan diharapkan apabila sudah mendengar suara itu hendaknya jangan dikacaukan keadaan pikiran, tetapi segera mengambil sikap konsentrasi dan memusatkan pikiran kepada Tuhan dengan perantara mantra Triaksara yaitu Mang-Ung-Ang secara perlahan kemudian pemusatan kepada aksara Tunggal Om. Cara melepaskan atma ketika kematian sedang menjemput dengan pertanda sudah terdengar bunyi ardhacandra bindu nada yaitu bunyi yang berdengung menguasai penginderaan, maka yang perlu dilakukan agar tercapai penyatuan dengan Paramasiwa menurut Lontar Ganapati Tattwa adalah ; 1. Hilangkan kekacauan atau kebinggunggan dengan tetap ingat pada kesadaran diri.
2. Ambil posisi yang enak kalau bisa duduk dengan sikap padmaasana 3. Konsentrasi penuh tanpa bayangan dunia sekelilingnya, tanpa mengingat anak, istri harta dan sebagainya. 4. Hati penuh kegembiraan dengan tidak memperhatikan unsur lain kecuali memusatkan pikiran pada kesatuan nafas. 5. Tuntun perjalanan sang Roh dengan melalui ujung suara (sabda) meninggalkan sang diri melalui celah-celah pikiran (pikiran dipusatkan kepada sebutan aksara tunggal Om sebagai simbol Tuhan untuk mengalihkan segala kekacauan pikiran) 6. Lepaskanlah kepergian sang Roh dengan tanpa pikiran lagi, antarlah roh itu dengan penuh kebahagiaan. Langkah-langkah itulah yang paling tepat seperti yang tertuang dalam sloka berikut ini: Mwah yan katekan ing kapatin, aja tan karasanana lunga nira, sanghyang Siwatma sah saking sarira, aja weha dalan ana babahan sanga, ndya ta ngaran babahan sanga; ring luhur 7, ring sor 2. kanistha dalan ika nga. Yan adalan ring siwadwara Madhya nga, kunang ikang marga uttama, dalan ira sanghyang Siwatma, ring tungtung ing sabda, selaning hidep nga ri kaketeg, yan teka ring kalepasan, aja ngangen sarira dewek, mwang anak
18
rabi mwah kasukhan, ikang tiga atemah siji, ya ta tutakena marga tungtung ning sabda, selaning hidep. Iti kalepasan sang bhujanggasiwa, haywa wera rahasya dahat, tan siddha phalanya (Ganapati Tattwa. Sloka. 51-53. bagian 5 halaman 20-21) Terjemahan: Jika tiba saatnya kematian, janganlah tiada dirasakan kepergian Sang Roh Yang Mempribradi tatkala terpisah dari Sang Diri. Janganlah Sang Roh diberi jalan keluar melalui 9 lubang. Mana yang disebut 9 lubang antara lain; diatas ada 7 jalan (mata = 2, telinga =2, hidung =2, mulut =1). Dibawah ada 2 jalan (kemaluan =1, dubur =1). Kesembilan jalan itu disebut nista. Apabila sang Roh meninggalkan Sang Diri melalui Siwadwara (ubunubun) disebut jalan menengah. Sedangkan jalan utama apabila Sang Roh melalui ujung suara (sabda) meninggalkan Sang Diri yaitu melalui celah-celah pikiran. Artinya pada denyutan jantung. Apabila saat terpisahnya Sang Roh dari Sang Diri janganlah pikirkan badanmu lagi, jangan ingat anak istri dan jangan pikirkan kemewahan dunia, ketiganya (Sanghyang Siwa, Sanghyang Pramana, dan Sanghyang Jnana) pusatkan jadikan satu arah, ikutilah jalan ujung suara yaitu celah-celah pikiran itu. Inilah kebebasan
Sang Roh Yang Mempribadi menuju Dia Sang Roh Yang Maha Agung Sang Bujangga dan Siwa. Janganlah hal ini disebarkan, karena sangat rahasia, karena tidak akan berhasil jadinya. (Ganapati Tattwa. Sloka. 51-53. bagian 5 halaman 20-21) Sebelum melakukan pelepaskan perlu juga diketahui mantra pemisahnya agar tidak keliru memilih jalan kalepasan dengan menghapal secara benar Triaksara (Am-UmMam), mantra Triaksara itu bukan mantra kalepasan, sebab jika mantra kalepasan itu ditulis dan dibaca oleh orang maka baik yang menulis maupun yang membaca akan mengalami kalepasan pula. Mantra triaksara itu banyak ragamnya tergantung memulainya, jika pengucapanya dimulai dengan MangUng-Ang itu artinya sebagai simbol adanya kelahiran, jika diucapkan AngUng-Mang sebagai simbol aktivitas kehidupan dan jika diucapkan UngMang-Ang maka mantra itu berguna sebagai stiti atau pemeliharaan. Terlepas dari hal itu jika Triaksara jika diucapkan secara bersama tanpa penggalan akan berbunyi AUM dan seterusnya menjadi OM, hal ini jika dikaitkan dengan pesan yang tertulis dalam Bhagavadgita sangat sesuai dengan sloka 13 adyaya VIII yaitu; Om ity ekaksaram brahma Vyaharam mam anusmaran Yah prayati tyajan deham Sa yati paramam gatim Terjemahan: Dengan mengucapkan aksara tunggal Om, yaitu Brahman, dan memikirkan selalu Aku sewaktu ajal tiba akan
19
meninggalkan badan jasmani, ia akan berangkat mencapai tujuan tertinggi. Sedangkan dalam Lontar Ganapati Tattwa Triaksara disebutkan sebagai mantra pemisah antara badan dan Atma seperti dipaparkan pada sloka berikut: nadi calana margas ca punarbhava iti smrtah, marga calana nadi muktah paramakewalah. Sina jnanatrayam jagrat tathaiva calana nadhi, Jnanatrayam susuptaye nadi calanam bhavet. Sadasivasya yo margah nadicalana-samsmrtam Marga-calana-nadi paramasya mi samsmrtah. Iti sanghyang sadubhranti kamoktan, sanghyang wyudbhranti kapunarbhawan, ndan hana ta mantra pamegat ri sira, tryaksara sahita krama nira, yapwan atejeg denta lumaksana ika, kapangguh sanghyang sadubhranti, yapwan singsal sanghyang wyudbhranti katemu. Kunang akweh paratengeranya, tunggal pradhanaken, ndya ta lwirnya, yan mangrenggo kita sabda ning ardhacandra bindunada, mangke tekaning patinta, haywa ta kapalan dentanggege, kanistrsnanta, saha sandhi sakramanya, kunci ri wit ning nadi ikang ineban mwang ikang sarwa dwara, saha wayu dharana, ya pranayama nga, sikep kanirjnananta, haywa wyapara, yapwan ahenak
denta, samangkana ta sanghyang atma mesat, maka marga sanghyang pranawa anerus tekeng dwadasangulasthana, sira ta sinangguh niskala, pada Bhatara Paramasiwa ika, mesat pwa sira sakeng rika, ya ta kamoksan nga (Ganapati Tattwa. Sloka. 45,46,47 halaman. 16-17) Terjemahan: Keberadaan Sanghyang Sadhubbranti Kalepasan, Sanghyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara (Mang-Ung-Ang) itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sanghyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sanhyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya umpamanya: apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu, lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila baik olehmu melaksanakan, maka Sang Roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan
20
badanmu. Sebagai jalan Sanghyang Pranawa (Sang Roh Yang Mempribadi=Atma) menuju Dwadasanggulasthana (tempat yang terletak jauh diatas 12 (jari) tingkatan, yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia Sang Roh Yang Mempribadi dari sana (Sang Diri) itulah yang disebut Moksa (Ganapati Tattwa. Sloka.45-47. halaman 44) Yang perlu diketahui selanjutnya bahwa perjalanan Roh setelah terlepas dari badan akan terbang dari sunia yang terletak duabelasjari diatas kepala menuju Paramasiwatattwa. Sehubungan dengan adanya alam sunia yang terletak duabelasjari diatas kepala, ada tradisi bahwa seseorang yang sudah melakukan pawintenan ataupun diksa tidak diperkenankan mesluluban atau berjalan dibawah benda atau rintangan yang jaraknya duabelas jari dari atas kepala sampai ke kepala, tetapi jika rintangan atau penghalang itu sudah berada diatas duabelas jari, maka seseorang bisa melewatinya dengan mengetahui benar penuh kesadaran, agar kesucian tetap terjaga, artinya hubungan sekala dan niskala selalu harmonis bagi orang yang sudah disucikan, karena selalu berhubungan antara badan dengan alamnya paramasiwa. Tempat paramasiwa dalam Lontar Ganapati Tattwa seperti dijelaskan pada sloka berikut: Dvadasangulasamsthanad vimuktah paramah Sivah, sunyam eva parm khyatam jnatavyo moksas ca tatah.
Anantara ri huwus niran mukta sakeng dwadasangulasthana, sayogya ta sanghyang atma matemahan Paramasiwatattwa, mari matemahan atma, apa ta lwir niran mangkana, sunya kawalya, ya malwi paramasunya, ya ta matangnyan kawruhakena kramanya de sang mahyun ing kamoksan, nahan sadhanung kapanggiha sanghyang Mahajnana. Terjemahan: Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari Dwadasanggulasthana, patutlah Sang Roh Yang Mempribadi menjadi Paramasiwatattwa, kembali sebagai Roh (Roh Yang Maha Agung), apa sebabnya demikian? Yang berasal dari Sunya akan kembali pada Paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh yang ingin mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk memperoleh pengetahuan Utama (Ganapati Tattwa. Sloka. 48 halaman. 44-45) Perjalanan Roh ketika keluar dari diri akan menuju alam sunia yang terletak duabelas jari diatas kepala dan selanjutnya akan terbang menuju Paramasiwa Tuhan yang tak berpribadi dari sunya kembali ke Paramasunya III. PENUTUP Lontar Ganapati Tattwa adalah salah satu lontar Tattwa, lontar Filsafat Siwa yang disajikan dengan
21
metode tanya-jawab antara dua tokoh, salah satunya sebagai murid (Ganapati) dan satunya lagi sebagai gurunya (Bhatara Maheswara). Maheswara menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana atau Ilmu Kautaman. dalam sinopsis bahwa awal dan akhirnya alam semestbaik makrokosmos maupun mikrokosmos berasal dari sunia atau Tuhan itu sendiri, latar pada Lontar Ganapati Tattwa adalah ketika munculnya rasa keingintahuan dari murid spiritual yaitu sang Ganapati terhadap berbagai permasalahan yang menjadikan 10 macam pertanyaan itu, sehingga terjadilah percakapan yang panjang dengan penjelasan yang mendetail oleh Bhatara Iswara. Kejadian yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa dimulai sejak keinginan Sang Jagad Karana, ingin menyaksikan dirinya dalam keadaan sekala dan niskala, selanjutnya sampai terciptalah paras keadaan nyata dan para keadaan tidak nyata, dengan Sunia sebagai bayangannya sendiri, amanat yang disampaikan adalah agar senantiasa pembaca memahami kesadaran spiritual. Kesadaran spiritual yang dimaksud bahwa kecenderungan meniru gaya hidup orang suci, yang senantiasa mengekang nafsu pribadinya dengan mengutamakan penyucian terhadap nilai diri pribadi sebelum menilai orang lain. Untuk mencapai kalepasan dengan sempura ditandai ketika mendengar tanda akan datangnya kematian seperti terdengar bunyi ardhacandra bindu nada segera ambil posisi untuk melepaskan Atma seperti berikut; 1. Hilangkan kekacauan atau kebinggunggan dengan tetap ingat pada kesadaran diri.
2. Konsentrasi penuh tanpa bayangan dunia sekelilingnya, tanpa mengingat anak, istri harta dan sebagainya. 3. Hati penuh kegembiraan dengan tidak memperhatikan unsur lain kecuali memusatkan pikiran pada kesatuan nafas. 4. Tuntun perjalanan sang Roh dengan melalui ujung suara (sabda) meninggalkan sang diri melalui celah-celah pikiran (pikiran dipusatkan kepada sebutan aksara tunggal Om sebagai symbol Tuhan untuk mengalihkan segala kekacauan pikiran) 5. Lepaskanlah kepergian sang Roh lewat celah-celah suara dengan tanpa pikiran lagi menuju, antar dengan penuh kebahagiaan dengan diiringi mantra Am-Um-Mam. DAFTAR PUSTAKA Al-Banjiri, Rahmat Ramadhana. 2007. Cara Terindah untuk Mati. Yogyakarta: DIVA Press. Bagus, L. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kinten, I Gede. 2005. Konsep Ketuhanan dalam Teks Ganapati Tattwa. Tesis Program Pasca Sarjana Institu Hindu Dharma Negeri Denpasar. Maswinara, I Wayan. 1996. Konsep Panca Sraddha. Surabaya: Paramita, Purwadi, Agus. 2002. Teologi Filsafat dan Sains. Malang: UMMPress. Titib, I Made. 2000. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
22
Viresvarananda. 2002. Brahma Sutra. Surabaya: Paramita. Watra, I Wayan. 2006. Mantra dan Belajar
Aneka
Mantra.
Surabaya: Paramita.
23