KONSEP BELAJAR JARAK JAUH DAN APLIKASINYA*) Dr. Mohammad Imam farisi, M.Pd. ( FKIP-UT, UPBJJ Surabaya ) Disajikan dalam Orientasi Pengelola Program Pengayaan Pembelajaran Bagi Murid SD Sistem Jarak Jauh di Hotel Royal Tretes View Pasuruan, tanggal 29 Mei 2012 Dewasa ini, sistem PJJ/BJJ sudah menjadi keniscayaan di dunia, bahkan telah diakui sebagai ’disiplin ilmiah’ dengan landasan filosofi, teori, dan praktik yang sudah mapan (Holmberg, 1986; Keegan, 1990). Di Indonesia, secara yuridis-formal PJJ/BJJ telah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional, melalui UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Salah satu faktor terpenting tingginya tingkat keberterimaan PJJ/BJJ di dunia, termasuk Indonesia, adalah karena fleksibilitasnya yang tinggi dalam mengeliminasi berbagai keterbatasan yang selama ini dihadapi oleh pendidikan tatap muka untuk menyediakan akses pendidikan bagi semua orang, seperti usia, lokasi geografis, keterbatasan waktu, dan situasi ekonomi (Gunawardena & McIsaac, 2001; Baggaley, Belawati, dan Malik, 2010). Adopsi PJJ/BJJ di Indonesia pertama kali dilaksanakan tahun 1997 untuk jenjang pendidikan dasar, melalui projek SMP Terbuka (open junior high school). Pada tahap awal ditetapkan 59 lokasi dengan jumlah peserta program sekitar 10.000 peserta didik (usia 12-17 tahun). Pada tahun 2.000, diperluas lagi ke 3.000 lokasi dengan jumlah peserta mencapai 500.000 peserta didik (Miarso, 1997). Pada tahun 1984 PJJ/BJJ dikembangkan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan mendirikan Universitas Terbuka (UT). Hingga akhir tahun 1990an, UT merupakan satusatunya perguruan tinggi negeri di Indonesia yang menerapkan sistem PJJ. Sejalan dengan meningkatkan kebutuhan akan PJJ/BJJ di Indonesia, sistem ini kemudian diperluas penggunaannya pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi tatap muka, sesuai dengan Kepmendiknas No. 107/U/2001 dan kemudian Permendiknas Nomor 24/2012. Pada lembaga-lembaga pendidikan tersebut, implementasi PJJ dikembangkan melalui sistem ”dual mode” yang memadukan antara sistem tatap muka dan sistem jarak jauh. Pada tahun 2002, PJJ/BJJ dikembangkan pada jenjang pendidikan menengah, melalui SMU Terbuka. Untuk tahap awal ditetapkan 6 (enam) propinsi sebagai lokasi perintisan SMU Terbuka, yaitu: (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (5) Riau, (6) Kalimantan Timur, dan (7) Sulawesi Selatan (Siahaan & Simanjuntak, 2004). Makalah ini akan mendeskripsikan tentang konsep, evolusi, dan aplikasi PJJ/BJJ, sebagai bahan orientasi bagi para pengelola program pengayaan pembelajaran bagi murid SD sistem jarak jauh. A. Konsep PJJ/BJJ *)
Bahan Orientasi Pengelola Program Pengayaan Pembelajaran Bagi Murid SD Sistem Jarak Jauh di Hotel Royal Tretes View Pasuruan, tanggal 29 Mei 2012
Mohammad Imam Farisi
Dalam kepustakaan, istilah BJJ/Belajar Jarak Jauh (distance learning) kerap digunakan secara “bertukar pakai” dengan istilah PJJ (distance education) dalam pengertian yang sama. Hal yang sama juga akan digunakan di dalam makalah ini. Secara konseptual, BJJ/PJJ dilihat dari dua aspek, yaitu aspek institusional dan aspek personal. Aspek institusional, berkenaan dengan tugas dan kewenangan institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ untuk mengembangkan sistem, desain, mekanisme atau proses yang dibutuhkan oleh peserta didik agar komunikasi dan interaksi pembelajaran terjadi. Dari aspek ini, BJJ/PJJ dapat dimaknai sebagai “sebuah sistem dan proses pendidikan yang antara pendidik peserta didik terpisahkan oleh ruang dan/atau waktu, dan pembelajarannya menggunakan multi-media dan multi-sumber (Permendiknas No. 24/2012; Wikipedia, 2012). Dengan kata lain, secara institusional PJJ/BJJ merupakan bidang pendidikan yang memfokuskan pada peran institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ dalam memilih dan pemanfaatan metode dan teknologi pembelajaran yang dapat memfasilitasi “ketakhadiran atau keterpisahan fisikal” peserta didik di dalam kelas seperti lazimnya di dalam latar pendidikan konvensional (PTT). Oleh sebab itu, institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ harus senantiasa update terhadap perkembangan teknologi dan kemungkinan pemanfaatannya untuk pembelajaran. Fokus kajian PJJ/BJJ dalam hal ini adalah pada berbagai dimensi pemanfaatan medium teknologi, seperti media cetak, dan televisi, video, komputer, internet, dll untuk mendukung implementasi PJJ (Keegan, 1990; Gunawardena, & McIsaac, 2004). Aspek personal, Dari aspek ini, BJJ/PJJ dapat dimaknai sebagai “sebuah sistem dan proses pendidikan yang menekankan pada proses belajar mandiri (independent learning), yaitu proses atau aktivitas belajar secara individual (individual learning) dan/atau berkelompok (cooperative learning). Belajar mandiri ini didasarkan pada kemauan, kesiapan dan kemampuan peserta didik untuk belajar secara terkontrol, terarah/terbimbing (self-directed learning), serta atas inisiatif dan prakarsa sendiri (Wedemeyer & Childs, 1961; Moore, 1972; Kadarko, 1999; Sugilar, 2000). Dalam BJJ/PJJ, kemandirian belajar ini masih problematik, dan sejumlah studi menunjukkan bahwa kemandirian belajar merupakan variabel terpenting bagi kesuksesan peserta didik dalam BJJ/PJJ (Kadarko, 1999; Sugilar, 2000; Puspitasari & Islam, 2003). Pembentukannya banyak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: konsep diri (self concept); daya tahan belajar (learning resistance); kesiapan belajar (learning readiness); kendali belajar (learning control); atensi belajar (learning attention) atau derajat kepentingan peserta didik atas komponen kegiatan belajarnya; kemampuan melakukan kontrak belajar (learning contract) sesuai dengan kapasitas, sasaran, dan cara belajarnya. Semua aspek kemandirian belajar tersebut tidak berada di dalam kewenangan dan kontrol institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ, melainkan dari, oleh, dan untuk peserta didik sendiri. Tugas dan kewajiban institusi adalah bagaimana menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif bagi kesuksesan belajar mandiri peserta didik. Keegan (1990) telah mengidentifikasi 5 (lima) karakteristik utama di dalam BJJ/PJJ, yaitu:
Konsep BJJ dan aplikasinya
1
Mohammad Imam Farisi
(1) Keterpisahan secara “quasi-permanent“ antara pembelajar (teacher, tutor) dengan pebelajar (learner, tutee) selama proses belajar berlangsung (2) Terdapat pengaruh organisasi/institusi/lembaga pendidikan dalam perencanaan dan penyiapan bahan ajar, serta penyediaan layanan bantuan belajar (3) Penggunaan media untuk mempersatukan antara pembelajar (teacher, tutor) dengan pebelajar (learner, tutee) untuk membawa isi atau konten belajar (4) Penyediaan komunikasi dua arah sehingga learner dapat menarik keuntungan darinya atau bahkan mengambil prakarsa untuk berdialog, dan (5) Ketidakhadiran kelompok belajar sepanjang proses belajar, sehingga learner atau tutee belajar secara individual dengan kemungkinan sekali-sekali ada pertemuan untuk tujuan pengajaran dan bersosialisasi (tutorial).
Gambar 1: Aspek institusional dan personal dalam PJJ/BJJ
B. Evolusi PJJ/BJJ Berge dan Collins (1995) menyatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia pendidikan terkait erat dengan upaya manusia untuk membuka sekat-sekat ruang dan waktu pada akses peserta didik terhadap produksi dan distribusi materi pembelajaran melalui pemanfaatan kemajuan teknologi. Dalam konteks historis inilah perubahan dari paradigma Pendidikan Tatap Muka (PTT) ke paradigma Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) terjadi. Hingga saat ini, PJJ/BJJ di dunia telah mengalami 8 (delapan) kali perubahan paradigma atau generasi. Semua perubahan paradigma atau generasi tersebut selalu berkaitan dengan perubahan teknologi dan pemanfaatannya dalam PJJ/BJJ (Garrison, 1985; Nipper, 1989; Bates, 1995; Taylor, 1999; Keegan, 2002; Peters, 2004; Willems, 2005; Zawacki-Richter, Brown, & Delport, 2008).
Konsep BJJ dan aplikasinya
2
Mohammad Imam Farisi
Gambar 2: Perubahan paradima dalam Pendidikan (Farisi, 2010:4)
Generasi pertama adalah “correspondence model” yang mulai diperkenalkan oleh Isaac Pitman pertama kali di Inggris pada tahun abad k-19, sejalan dengan terjadinya revolusi teknologi percetakan dan jasa layanan pos. Model ini dicirikan oleh kombinasi penggunaan media cetak dan layanan pos, yaitu mengirimkan bahan-bahan belajar tercetak kepada siswanya secara berkala dengan bantuan jasa layanan pos pada abad ke19. Generasi kedua adalah “multi-media model”, yang mengintegrasikan penggunaan berbagai media pembelajaran yaitu surat-menyurat atau korespondensi; buku teks standar yang secara khusus didesain untuk kepentingan PJJ/BJJ; koleksi bahan-bahan bacaan seperti jurnal; dan didukung oleh penggunaan televisi; radio; media-rekam seperti kasetvideo; dan pembelajaran berbasis komputer. Generasi ketiga adalah “tele-learning model”, dicirikan oleh pembelajaran secara “synchronous”, yaitu pembelajaran seperti pada model PTT tetapi dilakukan melalui penggunaan teknologi interaktif seperti komputer, internet (instant messaging atau live chat, webinar) dan video conference, yang memungkinkan pembelajar dan pebelajar dapat berkolaborasi dan belajar secara real time (seakan-akan antara keduanya belajar hal yang sama, pada saat yang sama, dan di tempat yang sama pula). Generasi keempat adalah “flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan komunikasi secara “asynchronous”, yaitu pembelajaran secara jarak jauh menggunakan sumber belajar online (internet atau website), atau menggunakan komputer via sistem jawab otomatis (automated-response system), korespondensi via e-mail, konferensi via komputer, layanan online dengan sistem bulletin board (BBS), atau multimedia interaktif lainnya. Di dalam model ini, pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pebelajar (learner).
Konsep BJJ dan aplikasinya
3
Mohammad Imam Farisi
Generasi kelima adalah “intelligent flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan komunikasi secara “asynchronous”, melalui pemanfaatan internet/website, media jejaring sosial, dan perangkat multimedia seperti YouTube. Seperti pada generasi ke-4, di dalam model ini, pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pebelajar (learner). Generasi keenam adalah “electronic learning atau e-learning” yang diperkenalkan oleh Keegan (2002). Model ini dicirikan oleh pembelajaran secara o nline (online learning) melalui pemanfaatan penuh teknologi Internet (website) untuk memperoleh sumber-sumber belajar, komunikasi, maupun berbagai model pembelajaran. Generasi ketujuh adalah “mobile learning atau m-learning” yang diperkenalkan oleh Zawacki-Richter, Brown, & Delport (2008). Model ini dicirikan oleh pe nggunaan teknologi digital berperangkat wireless (hand phone, personal digital assistants (PDAs), Pocket PC, atau laptop computers, smartphones, WAP, GPRS, dan UMTS telephones) untuk memperoleh sumber-sumber belajar, komunikasi, maupun berbagai model pembelajaran. Generasi kedelapan adalah “multi-generational model” yang diperkenalkan oleh Willems (2005). Model ini dicirikan oleh penggunaan secara terintegrasi teknologi pembelajaran dari generasi pertama hingga ketujuh. Model ini dalam beberapa hal menerapkan metodologi “blended learning”, “hybrid learning” atau “mixed-mode”, yaitu pembelajaran yang mengintegrasikan antara model pembelajaran “synchronous” (PTT) dan “asynchronous” (online) (Buzetto-More &Sweat-Guy, 2006). Tentang keunggulan dan kelemahan dari masing-masing penggunaan teknologi pembelajaran (dari generasi ke-1 s.d. generasi ke-5), Taylor (1991:3) membuat perbandingan dilihat dari aspek-aspek: fleksibilitas (waktu, tempat, akses); kemudahan memperoleh bahan ajar; keunggulan teknologi pembelajaran; dan efisiensi biaya (mendekati nol) seperti berikut.
Konsep BJJ dan aplikasinya
4
Mohammad Imam Farisi
C. Aplikasi PJJ/BJJ Ada enam komponen utama yang perlu diperhatikan dalam aplikasi BJJ/PJJ yang tidak semuanya terdapat dalam PTT. Keenam komponen itu adalah registrasi, bahan ajar (mencakup pengembangan program, kurikulum, produksi dan distribusi), unit sumber belajar, bantuan belajar, evaluasi, dan kendali mutu. 1. Registrasi merupakan rangkaian pendaftaran peserta didik mulai dari penyediaan formulir hingga pengembaliannya ke institusi/lembaga (secara langsung, melalui jasa pengiriman, atau online). Hal penting dalam registrasi adalah penentuan kompetensi awal dan karakteritik calon peserta didik. 2. Bahan Ajar merupakan media pembelajaran merupakan komponen strategis dalam konteks BJJ/PJJ. Melalui bahan ajar peserta didik belajar, berinteraksi, berefleksi, dan mengevaluasi diri. Bahan ajar dalam BJJ/PJJ dikembangkan secara multi-media, yaitu media cetak (modul/paket belajar) dan non-cetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi). Bahan ajar dalam BJJ/PJJ berbeda dengan bahan ajar dalam PTT. Dalam BJJ/PJJ bahan ajar dikembangkan sebagai “pengganti pebelajar” dan didesain didesain khusus sesuai dengan keperluan BJJ/PJJ. Karena itu bahan ajar dalam BJJ/PJJ tidak hanya bermuatan materi ajar, tetapi juga strategi belajar, pengalaman belajar, evaluasi belajar, serta perangkat pembelajaran lainnya, sesuai kurikulum atau garis-garis besar program pembelajaran atau silabus, melibatkan para pakar atau
Konsep BJJ dan aplikasinya
5
Mohammad Imam Farisi
ahli masing-masing bidang keilmuan/keahlian dari berbagai institusi/lembaga pendidikan. Selain itu, oleh karena dalam BJJ/PJJ terjadi “minimalisasi” pertemuan tatap muka, maka bahan ajar dikembangkan dengan mempertimbangkan beban belajar untuk setiap bidang studi/mata pelajaran, dan kapasitas peserta didik untuk menuntaskannya. Di UT misalnya, 1 sks = 3 modul/paket belajar dengan 3 subpokok bahasan/kegiatan belajar (@40-50 halaman), sehingga untuk mata kuliah yang memiliki beban belajar 4 SKS, maka jumlah modul/paket belajar sebanyak 12 modul/paket belajar, dengan 36 sub-pokok bahasan/kegiatan belajar (480— 600 halaman). Namun demikian, berapa jumlah modul/paket belajar dan halaman juga perlu mempertimbangkan kapasitas belajar peserta didik.
Gambar 6: Komponen utama dalam aplikasi BJJ/PJJ
3. Unit Sumber Belajar (USB) adalah unit-unit pendukung penyelenggaraan BJJ/PJJ yang didirikan oleh institusi/lembaga/organisasi penyelenggara BJJ/PJJ atau melalui kerjasama dengan institusi/lembaga/organisasi lain. Secara historis, aplikasi PJJ di dunia, juga di Indonesia, didasarkan pada kebutuhan untuk memperluas dan meningkatkan keterbatasan akses dan daya tampung dan daya jangkau publik pada PTT. Oleh sebab itu, pada dasarnya implementasi PJJ/BJJ dikembangkan atau didesain sebagai suatu “networking institution”, sebuah sistem kelembagaan/organisasi/institusi pendidikan yang
Konsep BJJ dan aplikasinya
6
Mohammad Imam Farisi
didukung penuh oleh suatu jaringan kerja sama yang bersifat kelembagaan/organisasional/institusional yang cakupannya mencapai seluruh negeri bahkan juga ke seluruh dunia. 4. Bantuan belajar adalah aktivitas pemberian bantuan belajar kepada peserta didik menggunakan berbagai modus BJJ/PJJ (dari generasi ke-1 hingga ke-8), meliputi kegiatan perencanaan (learning plan), proses pembelajaran, pemberian tugas, dll. Dalam konteks BJJ/PJJ, pemberian bantuan belajar tidak dilakukan sepanjang proses belajar, dan lebih menekankan pada proses belajar mandiri (independent learning) yang menghendaki setiap peserta didik memiliki inisiatif atau prakarsa sendiri untuk belajar secara individual atau dalam kelompok (kelompok belajar atau tutorial). Pemberian bantuan belajar juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh institusi/lembaga/organisasi penyelenggara BJJ/PJJ, tetapi juga perlu menjalin kerja sama kemitraan dengan institusi/lembaga/organisasi, khususnya dalam rekrutmen tenaga pendidik (tutor, supervisor, instruktur). 5. Evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengukur keberhasilan studi atau ketercapaian kompetensi kurikuler tertentu oleh setiap peserta didik. Evaluasi dilakukan secara reguler dan/atau online menggunakan instrumen evaluasi yang valid. Untuk mendukung penyediaan dan produksi instrumen evaluasi, institusi dapat mengembangkan “Bank Soal”. Kegiatan evaluasi hasil belajar terdiri dari serangkaian aktivitas mulai dari pengembangan bahan evaluasi, pemrosesan dan penggandaan bahan evaluasi, pelaksanaan evaluasi, pengolahan dan pengumuman hasil evaluasi. 6. Kendali Mutu dilakukan untuk keperluan standarisasi kualitas setiap proses dan produksi layanan/bantuan pendidikan/pembelajaran kepada peserta didik. Kendali mutu mencakup kendali dalam registrasi, bahan ajar, bantuan belajar, dan evaluasi hasil belajar. Belakangan ini, kendali dan jaminan mutu (quality control and assurance) atas berbagai aspek dalam BJJ/PJJ semakin mendapatkan perhatian dari para pakar/ahli. Aspek kendali dan jaminan mutu ini merupakan salah satu dari “eternal vectors triangle” dalam BJJ/PJJ, selain akses dan biaya (Daniel, 1995, 1998, 2003), dan belakangan menjadi isu kunci dan sentral yang sangat dibutuhkan tidak hanya bagi peserta didik melainkan juga bagi kepentingan kerjasana dan implementasi BJJ/PJJ dalam konteks global (Jung, 2007). Daftar Pustaka Baggaley, J., Belawati, T., dan Malik, N. (2010). Distance education in Asia Pacific: diunduh 24 Agustus 2011 dari http://web.idrc.ca/en/ev-140836-201-1-DO_TOPIC.html Bates, T. (1995, 20-24 Juni). Technology, open learning and distance education. Proceedings of the 19th ICDE World Conference on Open Learning and Distance education, Vienna, Austria. Diunduh dari www.tonybates.ca/ 2008/07/21/distance-education-the-fifthgeneration Berge, Z., & Collins, M. (1995). Computer-mediated communication and the online classroom in distance learning. Computer-Mediated Communication Magazine, 2(4). Diunduh dari http://www.ibiblio.org/cmc/mag/1995/apr/berge.html Buzetto-More, N.A. & Sweat-Guy, R. (2006). Incorporating the hybrid learning model into minority education at a historically black university. Journal of Information Technology Education, 5, h. 153-164.
Konsep BJJ dan aplikasinya
7
Mohammad Imam Farisi
Daniel, J.S. (1995). The mega-universities and the knowledge media: Implications of new technologies for large distance teaching universities. A Thesis in the Department of Education. Canada: Concordia University. Retrieved from http://spectrum.library. concordia.ca/132/ Daniel, J.S. (1998). Knowledge media for mega-universities: Scaling up new technology at the open university. A paper presented at Shanghai Open and Distance Education Symposium. Retrieved from http://www.open.ac.uk/johndanielspeeches/chinatlk.html/ Daniel, J.S. (2003, November 7-9). Mega-universities = Mega-impact on access, cost and quality. Keynote address, First Summit of Mega-universities, Shanghai, China. Retrieved from http://portal.unesco.org/education/en/ev.php-URL_ID=26277&URL_DO... Daniel, S.J. (2011). Transforming Asia through open and distance learning. Keynote address on Asian Association of Open Universities 25th Annual Conference, Penang, Malaysia, 28-30 September 2011. Farisi, M.I. (2010). The paradigm shifts in integrating technology at distance education and the structure of teacher’s competencies in the field of educational technology. Prosiding International Seminar on Integrating Technology into Education. Jakarta: IPTPI. Garrison, G. R. (1985). Three generations of technological innovation in distance education. Distance Education, 6(2), h. 235-241. Diunduh dari http://www.c3l.unioldenburg.de/cde/media/readings/garrison85.pdf Gunawardena, C.N., & McIsaac, M.S. (2004). Distance education. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook of research on educational communications and technology (2nd ed., pp. 355– 395). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Holmberg, B. (1986). A discipline of distance education. Journal of Distance Education, 1(1), 25–40. Jung, I. (2007). Quality assurance survey of mega universities, in McIntosh, Ch. Ed. Perspectives on distance education: Lifelong learning & distance higher education. Canada-France: Commonwealth of Learning/UNESCO Publishing. Kadarko, W. (1999). Kemampuan belajar mandiri dan faktor-faktor psikososial yang mempengaruhinya: Kasus universitas terbuka. Jurnal Pendidikan Tinggi Jarak Jauh. Volume 1(1). Keegan, D. (1990). Foundations of distance education. 2nd ed. London: Routledge. Keegan, D. (2002). ZIFF PAPIERE 119. The future of learning: From eLearning to mLearning. Hagen: FernUniversitat. Diunduh dari www.fernuni-hagen.de/ZIFF/ZP_119.pdf Keegan, D. (2002). ZIFF PAPIERE 119. The future of learning: From eLearning to mLearning. Hagen: FernUniversitat. Diunduh dari www.fernuni-hagen.de/ZIFF/ZP_119.pdf Miarso, Y.H. (1997). Educational technology and systemic change in education. Makalah pada Third International Symposium on Open and Distance Learning, Bali, November. Moore, M.G. (1972). Learner autonomy: The second dimension of independent learning. Convergence 5(2), 76-88. Nipper, S. (1989). Third generation distance learning and computer conferencing. In R. Mason & A. Kaye (Eds.), Mindweaves: Communication, computers and distance education (h. http://www63.73). Oxford: Pergamon Press. Diunduh dari icdl.open.as.uk/mindweave/chap5.html Peters, O. (2004). The educational paradigm shifts. In O. Peters (Ed.), Distance education in transition - new trends and challenges (4th ed., h. 25-35). Oldenburg: BIS. Ratnawati, L. & Andriyani, D. (2011). Sistem belajar jarak jauh: penerapannya di Universitas Terbuka. Bahan Pelatihan Pembentukan Tutor Inti Universitas Terbuka. Jakarta: UT. Siahaan, S., & Simanjuntak, WBP. (2004). Studi tentang pengelolaan sekolah menengah umum terbuka (SMU terbuka). Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 5(1), h. 59-82. Sugilar (2000). Kesiapan belajar mandiri peserta pendidikan jarak jauh. Jurnal Pendidikan Tinggi Jarak Jauh. Volume 1(2).
Konsep BJJ dan aplikasinya
8
Mohammad Imam Farisi
Suparman, A. (2011). Sistem belajar jarak jauh. Bahan presentasi Power Point pada Pelatihan Pembentukan Tutor Inti Universitas Terbuka. Jakarta: Universitas terbuka. Taylor, J.C. (1999, 20-24 Juni). Distance education: The fifth generation. Proceeding of the 19th World Conference on Open Learning and Distance Education, Vienna, Austria. Wedemeyer, C. A., & Childs, G.B. (1961). New Perspectives in University Correspondence Study. Chicago: Center for the Study of Liberal Education for Adults. Wikipedia (2012a). Distance education. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/ wiki/Distance_education Wikipedia (2012b). Blended Learning. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/ wiki/Blended_learning Willems, J. (2005). Spanning the generations: Reflections on twenty years of maintaining momentum. Proceeding of the Australasian society for computers in learning in tertiary education (ascilite) Conference, Brisbane, Australia. Diunduh dari http://www.ascilite.org.au/ conferences/brisbane05/blogs/ proceedings/ Zawacki-Richter, O., Brown, T., & Delport, R. (2008). Mobile Learning: From single project status into the mainstream? Diunduh dari http://www.eurodl.org/?article=357
Konsep BJJ dan aplikasinya
9