KONSEP ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh: ARIF SUSANTO
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H
KONSEP ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh: ARIF SUSANTO NIM. 101046222413
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Anwar Abbas, MM., M.Ag
AM. Hasan Ali, MA
NIP. 131 273 007
NIP. 150 370 226
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Oktober 2008
Arif Susanto
ABSTRAKSI KONSEP ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD DITNJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Oleh Arif Susanto
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep yang utuh tentang asuransi hasil pertanian di Indonesia yang sesuai dengan syariat Islam, maka perlu membandingkan konsep asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD Indonesia dengan konsep asuransi dalam ekonomi Islam. Pada penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research), selanjutnya dalam pengolahan data menggunakan metode deskriptif-komparatifanalitis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan yang ada, kemudian membandingkan dan dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu kesimpulan. Setelah membandingkan antara konsep asuransi dalam KUHD dengan konsep asuransi Islam, diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan sistem dan mekanisme. Persamaan antara asuransi hasil pertanian dalam KUHD dengan asuransi Islam dapat dilihat pada tujuan yang diinginkan dalam penerapan prinsip-prinsip dasar. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat antara lain pada akad yang digunakan, kepemilikan dan pengelolaan dana premi, serta sumber dana pembayaran klaim.
Dengan kesimpulan perbandingan antara konsep asuransi hasil pertanian dalam KUHD dengan asuransi syariah masih terdapat perbedaan, berarti konsep asuransi hasil pertanian dalam KUHD masih belum sejalan dan sesuai dengan syariat Islam itu sendiri. Dan saran penulis, bahwa perlu adanya kelembagaan khusus yang berfungsi sebagai forum koordinasi dalam merumuskan, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan aspek-aspek penting dalam asuransi hasil pertanian syariah. Selanjutnya, perlu juga dibuat peraturan tentang asuransi hasil pertanian syariah yang jelas mengatur pelaksanaan asuransi hasil pertanian syariah, agar lebih memadai dengan kebutuhan dan perkembangan sektor pertanian saat ini.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur serta rangkaian puji senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Penguasa, Pengatur, dan Pemelihara Alam Semesta, Allah SWT. Atas kehendak dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri tauladan manusia dalam menjalankan setiap aktivitas kehidupan, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar,doa dan tawakal. Alhamdulillah atas rahmat Allah SWT, serta berkat doa dan dukungan dari berbagai pihak, yang bersifat moril dan materiil akhirnya penulisan skripai ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya : 1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. 2. Ketua Program Studi Muamalat, Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., dan Sekretaris Program Studi Muamalat, Bapak Ah. Azharuddin Lathif, MA., dan seluruh dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan. 3. Bapak Drs. H. Anwar Abbas, MM., M.Ag., Pembimbing Skripsi I dan Bapak
AM. Hasan Ali, MA., Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan waktu luang, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan, masukan dan bimbingan kepada penulis selam penyusunan skripsi ini. 4. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum Daerah Provinsi DKI Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi sumber pustaka. 5. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Nasir dan Ibunda Nur Asiah, adik-adikku Yudhis, Muchlis, dan Putri. Serta keluarga besar Mbah Kaliri atas doa dan motivasi secara moril dan materiil yang tak terhingga dan tiada pernah henti kepada penulis selama masa studi hingga selesai penyusunan skripsi ini. 6. Orang terdekat penulis, De_Za yang selalu setia menemani dan memberikan banyak bantuan, doa, pikiran dan motivasi yang tiada henti, I Love U. Semoga cita-cita kita cepat menjadi kenyataan,amin. 7. Rekan-rekan seluruh Mahasiswa Asuransi Syariah UIN Jakarta dan PB. SIAP yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas semua kenangan yang mengisi kehidupan penulis, semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu-persatu atas semua bantuan dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penusunan skripsi ini. Lebih dari ucapan terima kasih kapada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah SWT, semoga senantiasa memberika sinar terang kepada
seluruh hambanya, dan semoga aktivitas kita semua selalu diberkahi-Nya serta selalu diberikan hidayah-Nya. Akhir kata, penulisan skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Jakarta, 3 Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI…………….……….…………………………………………..... i . KATA PENGANTAR………….…………………………………………...... iii DAFTAR ISI………………..…..…………………………………………….. PENDAHULUAN
vi
BAB I
A. Latar Belakang Permasalahan…………………………..……… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.……………..…………...
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…..….…..……….……………..
6
D. Kajian
7
Pustaka………….………..….………………………….. E. Metode Penelitian dan Penulisan……………………………….
8
F. Sistematika
9
Penulisan…………………………………………... ASURANSI DALAM ISLAM
BAB II
A.
P 11 engertian Asuransi Syariah……………………………………
P 13
B. rinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah……………………..... C.
A 19
kad Asuransi Syariah …..…………………………………….. D.
K 21 epemilikan Dana Premi………………………………………..
E.
P
22
engelolaan Dana Premi………………………………………... F.
P
23
embayaran Klaim……………………………………………… G.
P
24
engawasan................................................................................... ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD
BAB III
A. Konsep Asuransi Hasil Pertanian.....…………………………… 26 B. Prinsip-prinsipDasar
28
Asuransi..……………………………........ C. Jenis-jenis Risiko Yang Ditanggung
35
D. Perjanjian (Kontrak) Asuransi Hasil Pertanian.………………...
34
E. Kepemilikan Dana Premi ………………………………………
37
F. Pengelolaan Dana Premi……..…………………………………
39
G. Pembayaran Klaim……………………………………………...
40
H. Pengawasan..................................................................................
41
.
PERBANDINGAN
ASURANSI
HASIL
PERTANIAN
BAB IV
DALAM KUHD DENGAN ASURANSI SYARIAH A. Persamaan....................................………………………………
43
B. Perbedaan...........………………..........................………………
48
PENUTUP
BAB V
A. Kesimpulan.....................................................................
57
.............. B. Saran-saran...................................................................................
61 62
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia bukan saja merupakan masalah bagi masyarakat miskin saja, tetapi merupakan masalah ekonomi secara keseluruhan. Kemiskinan sendiri identik dengan masyarakat daerah tertinggal dan masyarakat desa umumnya. Upaya pemberantasan kemiskinan dan masyarakat daerah tertinggal telah diupayakan oleh pemerintah melalui beberapa kabinet pembangunan. Tetapi, sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Kenyataan ini dibuktikan dan diperburuk oleh terjadinya “krisis moneter” berkepanjangan yang menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian Indonesia, dimana kesenjangan ekonomi semakin tinggi, meningkatnya jumlah masyarakat miskin dan pengangguran, serta harga-harga kebutuhan pokok yang semakin sulit dijangkau oleh masyarakat. Dalam serangkaian kajian dan pengamatan yang dilakukan para pakar di bidang ilmu-ilmu sosial, ternyata kemiskinan absolut terbanyak pada sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan. Kemiskinan itu sendiri merupakan resultan interaksi antara teknologi sumber daya alam (SDA), kapital, sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Masalah yang dihadapi adalah masih rendahnya kemampuan SDM dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang pertanian, kepemilikan lahan garapan yang kian mengecil, biaya yang terus
melambung, serta kelembagaan ekonomi yang tidak memihak kepada para petani.1 Kemiskinan yang diidentikkan dengan pertanian serta tidak adanya proteksi terhadap usaha pertanian di Indonesia, menyebabkan kredibilitas yang rendah dari sektor perbankan terhadap para petani Indonesia selama ini. Sehingga dengan modal yang minim, petani tidak akan mampu meningkatkan produksinya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, yang selanjutnya dapat dipastikan bahwa petani tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ketidakmampuan petani dalam membentuk tabungan guna menanggulangi akibat dari bencana yang menimpa usaha mereka dan bahkan untuk mempersiapkan masa depan mereka, merupakan alasan penting kenapa kehidupan mereka mesti dilukiskan dengan istilah kemiskinan. Penduduk yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian ini jumlahnya tidak sedikit, sehingga apabila terjadi bencana yang menimpa hasil pertanian akan menimbulkan masalah sosial. Hal itu disebabkan keadaan keuangan para petani Indonesia yang masih relatif lemah, serta masih banyak yang tidak berkedudukan sebagai pemilik tanah tetapi hanya sebagai petani penggarap. Padahal sudah dimaklumi dalam menggarap tanahnya diperlukan banyak biaya agar diperoleh hasil yang baik. Oleh karena itu, mereka akan mengalami kesulitan untuk mengatasi kerugian besar yang menimpa usahanya. Berkaitan dengan hal di atas, yang perlu mendapatkan perhatian adalah salah satu hal yang dapat mengganggu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian dalam
1
Moehar Daniel, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta, Bumi Aksara, 2002), cet. ke I, h. 24-25
rangka meningkatkan tingkat kesejahteraan petani, yaitu kemungkinan terjadi peristiwa yang menimbulkan risiko kerugian. Peristiwa-peristiwa dimaksud dapat menimbulkan kerugian yang besar (total lost) kepada petani dan mereka sulit untuk mengatasinya. Terjadinya peristiwa tersebut, di samping merugikan produksi pertanian,
juga
menimbulkan
gangguan
kepada
kehidupan
petani
beserta
keluarganya, terutama dalam segi finansial. Setiap permasalahan pasti memiliki jalan keluar, begitu juga dalam menghadapi risiko yang akan menimpa usahanya. Dengan berbekal akal sebagai salah satu nikmat pemberian Allah Yang Maha Pemurah, manusia selalu berusaha mengatasi tantangan dalam hidupnya, termasuk mengatasi risiko yang dihadapinya dalam rangka memperbaiki kehidupannya sehingga terhindar dari kerugian yang tidak diharapkan. Seperti halnya petani, dalam menjalankan usahanya juga menghadapi banyak risiko, antara lain adalah terjadinya peristiwa yang menimpa hasil pertanian yang digarapnya, yang berarti telah menghilangkan kesempatan petani untuk mendapatkan penghasilan. Islam menganjurkan kepada seluruh umat manusia agar selalu berusaha mempersiapkan masa depan terbaiknya. Dengan persiapan dimasa sekarang, diharapkan kekhawatiran terhadap risiko kerugian yang mungkin terjadi dimasa depan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Salah satu upaya untuk mengatasi kemungkinan menderita kerugian yang besar, yang tidak dapat ditanggung sendiri adalah dengan berbagi risiko tersebut kepada pihak lain yang menghadapi risiko serupa melalui asuransi, dalam hal ini adalah
asuransi hasil pertanian. Dimana para petani yang tergabung dalam asuransi tersebut diharapkan akan saling membantu dalam mengatasi kerugian akibat suatu peristiwa yang mungkin akan menimpa salah satu dari mereka. Pemikiran untuk melakukan manajemen terhadap risiko-risiko yang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia bukan hal yang baru, namun sudah ada satu setengah abad lampau sehingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang berlaku di Indonesia tanggal 1 Mei 1848 telah mengatur asuransi terhadap bahayabahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni dalam Buku 1 Bab ke-10 pada Pasal 299-301 KUHD2. Akan tetapi di Indonesia sampai saat ini untuk menerapkan sistem asuransi pertanian masih sebatas wacana. Karena disadari untuk membangun sebuah sistem pertanian perlu didasarkan atas hasil penelitian secara ilmiah dan komprehensif di lapangan. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang seperti Filipina, Thailand, India, dan Srilanka, crop insurance telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan panen.3 Di Filipina misalnya, ada empat jenis asuransi pertanian yang dikelola oleh The Philippine Crop Insurance Corporation yaitu; Palay Crop Insurance (PCI), Corn Crop Insurance (CCI), High Value Crops Insurance (HVCI),
2
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi, Dan Surat Berharga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), Cet. I, h. 213 3 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Laporan Hasil Penelitian Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2000), h. 23 The Philippine Crop Insurance Corporation, PCIC’s Products, diakses pada 5 Desember 2008 dari http://pcic.da.gov.ph/2007/07/crop-insurance.
Non Crop Agricultural Assets Insurance (NCAAI), dan Livestock Insurance. PCI melindungi petani padi dari kerugian akibat bencana alam, serangan hama, dan penayakit tanaman. CCI melindungi petani jagung dari kerugian akibat bencana alam, serangan hama, dan penyakit tanaman. HVCI melindungi petani pada pertanian bernilai tinggi seperti kopi, pisang, asparagus, bawang merah, bawang putih, wortel, tebu, kelapa, kacang, gingseng, kentang, kapas, nanas, tembakau dan tanaman komersial lainnya dari kerugian akibat bencana alam, serangan hama, dan penyakit tanaman. NCAAI melindungi aset-aset para petani seperti gudang, lumbung padi, atau fasilitas irigasi dari bahaya kebakaran, pencurian, petir, dan gempa bumi. Sedangkan Livestock Insuransce memproteksi hewan-hewan peliharaan petani dari kematian dan penyakit.4 Untuk menemukan konsep yang utuh tentang asuransi hasil pertanian di Indonesia yang sesuai dengan syariat Islam, maka perlu membandingkan antara konsep asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD Indonesia dengan konsep asuransi syariah, hal ini mengingat ketentuan tentang asuransi hasil pertanian yang terdapat dalam KUHD tersebut merupakan salah satu warisan dari kolonial Belanda dan sudah berumur satu setengah abad. Atas permasalahan tersebut di atas, penulis tertarik untuk lebih mengetahui dan memahami permasalahan tersebut, serta sekaligus ingin menyumbangkan pemikiran, maka penulis dalam skripsinya memilih judul :
4
The Philippine Crop Insurance Corporation, PCIC’s Products, diakses pada 5 Desember 2008 dari http://pcic.da.gov.ph/2007/07/crop-insurance.
“KONSEP ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman terhadap persepsi masalah yang ingin ditulis serta meluasnya cakupan masalah dalam pembahasannya, maka penulis membatasi masalah dengan lebih memfokuskan analisis terhadap ketentuan mengenai asuransi hasil pertanian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang berlaku di Indonesia ditinjau dari sudut pandang Ekonomi Islam atau Asuransi Islam. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep asuransi syariah? 2. Bagaimana konsep asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD Indonesia? 3. Sejauh mana persamaan dan perbedaan antara konsep asuransi hasil pertanian dalam KUHD dan asuransi syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan-tujuan utama yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui konsep yang utuh tentang asuransi secara umum menurut ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui konsep asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD Indonesia. 3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan sistem Asuransi Islam dengan konsep asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain: 1. Bagi penulis, skripsi ini merupakan sebuah media untuk menuangkan gagasan dan aktualisasi keilmuan serta sarana menambah pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas tentang konsep dan operasional asuransi Islam pada umumnya dan asuransi hasil pertanian yang sesuai syariah pada khususnya. 2. Bagi akademisi, skripsi dapat menambah literatur riset dan penelitian serta referensi perpustakaan dalam rangka mengembangkan khazanah keilmuan Ekonomi Islam mengenai lembaga keuangan syariah. 3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai asuransi hasil pertanian yang sesuai syariah.
D. Kajian Pustaka Penelitian sebelumnya mengenai konsep asuransi hasil pertanian syariah dilakukan oleh Fitri Handayani pada tahun 2005 dengan judul “Konsep Asuransi Syari’ah Terhadap Resiko Usaha Industri Pertanian”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana asuransi syariah dapat menerapkan konsep perlindungan
terhadap risiko yang dihadapi usaha pertanian dengan sistem asuransi pertanian syariah. Sedangkan dalam penelitian kali ini, penulis mencoba untuk membandingkan asuransi hasil pertanian yang terdapat dalam KUHD Indonesia dengan asuransi Islam, guna mencari konsep yang utuh tentang asuransi hasil pertanian yang sesuai dengan syariat Islam.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Pada penelitian ini akan digunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu data dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan tidak dinyatakan dengan angka. Karena dalam penelitian ini akan menemukan sebuah konsep, yaitu bagaimana konsep asuransi hasil pertanian menurut asuransi Islam. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu suatu teknik penelitian untuk memperoleh data dari buku, majalah, artikel, hasil-hasil seminar dan lain-lain yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas. Selanjutnya dalam pengolahan data menggunakan metode deskriptif-komparatif-analitis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan yang ada, kemudian membandingkan dan dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu kesimpulan. Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” cetakan tahun 2005. Sedangkan untuk
sumber data yang berasal dari al-Qur’an dan
terjemahannya tidak menggunakan footnote dan diletakkan pada urutan pertama dalam daftar pustaka.
F. Sistematika Penulisan Secara sistematis, penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu : Bab I
: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumuasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan penulisan, serta sistematika penulisan. Asuransi Dalam Islam, bab ini membahas tentang pengertian :
Bab II
asuransi Islam, prinsip-prinsip dasar asuransi Islam, serta sistem operasional asuransi Islam yang menyangkut akad, kepemilikan premi, pengelolaan premi, dan pembayaran klaim.
Asuransi Hasil Pertanian Dalam KUHD, bab ini membahas tentang :
Bab III
konsep asuransi hasil pertanian menurut KUHD dan sistem operasional asuransi hasil pertanian yang menyangkut kontrak, kepemilikan premi, pengelolaan premi, dan pembayaran klaim. : Persamaan Dan Perbedaan Asuransi Hasil Pertanian Dalam KUHD Dengan Asuransi Islam, bab ini membahas tentang sudut pandang asuransi Islam mengenai asuransi hasil pertanian yang diatur di dalam KUHD.
Bab IV
Penutup, dalam bab ini penulis mencoba mengambil kesimpulan dari : pembahasan-pembahasan yang telah terurai dalam skripsi ini, serta saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya.
Bab V
BAB II ASURANSI DALAM ISLAM
Sebagai ajaran, Islam punya semangat transendensi (hubungan manusia dengan Tuhan) dan humanisasi (hubungan antarmanusia). Kedua semangat itu dapat ditafsirkan lagi secara terbuka dalam kerangka memberikan manfaat bagi kepentingan umum (rahmatan lil ‘alamin). Dengan begitu, ekspresi keislaman dalam perekonomian tumbuh dalam spektrum yang lebih terbuka. Penggalian tata nilai keislaman merupakan sebuah aktivitas yang didasari oleh pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam. Islam sebagai tata nilai yang telah sempurna, penuh dengan aturan dan norma dalam membina dan mengatur kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya bidang asuransi. Maka dari itu merupakan sebuah kewajaran jika umat Islam menyusun sebuah format asuransi yang betul-betul digarap atas ajaran Islam5.
A. Pengertian Asuransi Syariah Istilah asuransi merupakan terjemahan insurance atau assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut verzekering yang artinya pertanggungan. 6 Sedangkan
5
AM Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis, Historis, Teoritis, & Praktis, (Jakarta, Prenada Media, 2004), Ed.ke I, h. 10. 6 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, (Bandung, Penerbit Alumni, 1997), cet.ke I, h. 1.
asuransi dalam bahasa Arab disebut at-Ta’min yang berasal dari kata ”amana” yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut.7 Konsep dasar asuransi adalah untuk memberikan ketenangan pada seseorang dari bahaya yang mungkin terjadi dan menyebabkan kerugian materiil maupun immaterial. Dengan kata lain, asuransi bertujuan untuk meminimalisir ketakutan akan kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan dapat membawa dampak yang tidak disukai. Target asuransi dengan demikian adalah menghilangkan atau meminimalisir ketakutan dan kehkawatiran. Hal ini menurut syara’ sah-sah saja, atau diterima (maqbul).8 Dalam pandangan Islam, konsep asuransi (at-Ta’min) yang sesuai dengan tujuantujuan umum syariah adalah pertanggungan yang dibentuk atas dasar saling tolongmenolong. Seperti dikutip Muhammad Syakir Sula dari buku Hukmu asy-Syarii’ah al-Islamiyyah Fii ‘Uquudi at-Ta’miin karya Husain Hamid Hisan yang mengatakan bahwa “asuransi (at-Ta’min) adalah sikap ta’awun (tolong-menolong) yang telah diatur dengan sistem yang rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian dari mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang
7
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah (Keberadaan dan Kelebihannya Ditengah Asuransi Konvensional), (Jakarta. PT Elex Media Komputindo, 2006), cet. keI, h. 2-3. 8 Husain Husain Syahatah, Asuransi Dalam Perspektif Syariah, (Jakarta, Amzah, 2006), cet.ke I, h. 49.
dialami oleh peserta yang tertimpa musibah”. 9 Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Tentang
Pedoman
Umum
Asuransi
Syariah
No.
21/DSN-MUI/IX/2001
mendefinisikan asuransi syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa asuransi syariah merupakan pengalihan risiko pribadi menjadi risiko bersama (collective), melalui kesepakatan bersama antara sejumlah besar individu yang menghadapi resiko yang sama untuk saling menanggung dan tolong-menolong dengan cara mengumpulkan dana bersama (tabarru’) yang dipersiapkan untuk dimanfaatkan pada saat risiko tersebut menimpa salah satu atau sebagian dari mereka10.
B. Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah Asuransi syariah merupakan lembaga derivatif dari ekonomi Islam. Semua produk-produk dalam ekonomi Islam dipastikan memiliki sifat-sifat yang sama dan sudah tentu asuransi syariah memiliki sifat yang sama seperti yang terdapat pada
9
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta, Gema Insani, 2004), cet.ke I, h. 29. 10 Tim Penulis Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta, Intermasa, 2003), cet.ke II, h. 136.
semua produk ekonomi Islam. Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syariah mengacu pada prinsip yang sudah ada dalam ekonomi Islam. Prinsip-prinsip ini wajib ada dan harus dipenuhi. Prinsip-prinsip dasar tersebut yaitu :11 1. Tauhid Prinsip tauhid (unity) adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadid (57): 4
(٤ : ٥٧ / )ا....ُُْْوَهَُ ََُْ أَ َْ َ آ.... Artinya : “ ....Dan Dia selalu bersamamu dimana pun kamu berada.....”. Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semcam keyakinan dalam hati bahwa Allah swt selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita. 2. Keadilan Prinsip kedua adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat oleh akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya
11
AM. Hasan Ali, MA., Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam., Ibid., h. 125-136.
dalam menempatkan hak dan kewajiban antara peserta dan perusahaan asuransi. Peserta harus memposisikan pada kondisi yang mewajibkan untuk selalu membayar premi kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. sedangkan, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim kepada peserta. Di sisi lain, keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dari hasil investasi dana nasabah harus dilakukan bagi hasil antara peserta dan perusahaan asuransi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. 3. Tolong menolong (Ta’awun) Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari oleh semangat tolong menolong (ta’awun) di antara sesama peserta asuransi. Praktik tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk bisnis asuransi. Tanpa adanya unsur ini, atau hanya semata-mata untuk mengejar keuntungan bisnis (profit oriented), berarti perusahaan asuransi itu sudah kehilangan karakter utamanya. 4. Kerjasama (Cooperation) Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat terwujud dalam bentuk akad yang menjadi acuan kedua belah pihak yang terlibat, yaitu
antara nasabah dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai adalah mudharabah dan musyarakah. 5. Amanah Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Prinsip amanah juga berlaku pada diri nasabah asuransi. Seorang nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan obyek yang dipertanggungkan, pembayaran dana premi dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya. 6. Kerelaan Prinsip kerelaan (al-ridha) dalam ekonomi Islam berdasar pada firman Allah swt dalam QS. An-Nisa’ (4): 29
(٢٩: ٤ \ ء$ )ا...ُِْْ ٍ"َْ ﺕَ َاض... Artinya :
"...kerelaan diantara kamu sekalian..." Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan ridha dalam setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang terikat oleh perjanjian akad.
Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap peserta asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’) yang diperuntukkan membantu peserta lain yang mengalami kerugian. 7. Larangan Riba Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Dalam mengeliminir riba, asuransi Islam menerapkan sistem bagi hasil (mudharabah) dalam menginvestasikan dana peserta pada jalan yang halal, dimana peserta berkedudukan sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan perusahaan asuransi berfungsi sebagai pemegang amanah (mudharib). Kemudian, keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana peserta dilakukan bagi hasil sesuai dengan ketentuan (nisbah) yang telah disepakati di awal akad.
8. Larangan Maisir (Judi) Allah swt telah memberi penegasan tentang keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsur maisir. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5):
90
ُ'ُ(َِْ)َ* َِن,ْ-./ِ ا0َ1َ" ِْ ٌ3ْ)َِزَْمُ ر7َْبُ وَا9َْﻥ7ِْ ُ وَا$ْ-َ1ْْ ُ وَا1َ;َْ ا1.=ِ َ ءَا َُا إِﻥ. َأَ ?>َ ا (٩٠ : ٥ \ ةD1 ) ا.َْ@ُِنAُُْ ﺕ.@ََ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah pebutatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Menurut Syafi’i Antonio seperti dikutip oleh AM. Hasan Ali, bahwa unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebabsebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. 9. Larangan Gharar (Ketidakpastian) Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. M. Anwar Ibrahim seperti yang dikuti oleh AM. Hasan Ali mengatakan bahwa ahli fiqh hampir dikatakan sepakat mengenai definisi gharar, yaitu untung-untungan yang sama kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang mungkin terwujud dan
tidak mungkin terwujud. Rasulullah saw bersabda tentang gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut :
َْ"ََةِ و9َِْ اNْ-ََ "َْ ﺏ.@َِ وَﺱFْ-َ@َ" ُG ا.H@َِ ﺹG رَﺱُْلُ اHَ>ََلَ ﻥK ِْ هُ َ ْ َةLِ"َْ اَﺏ (@$ )روا' ا(;رى و.َ َا ِرOِْ اNْ-َﺏ Artinya : “Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli hashah dan jual beli gharar”. (HR. Bukhari dan Muslim) Kerancuan (gharar) dalam asuransi jiwa dikarenakan akad yang digunakan adalah aqad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Dimana peserta mengetahui berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah seluruh premi). Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima.
C. Akad (Kontrak) Asuransi Syariah Kejelasan akad dalam praktik muamalah penting dan menjadi prinsip karena akan menentukan sah tidaknya muamalah tersebut secara syar’i. demikian pula halnya dalam asuransi, dalam melaksanakan perjanjian antara perusahaan asuransi dengan peserta harus dilandasi dengan akad yang tepat, sehingga dapat terhindar dari unsur gharar, maisir, dan riba.
Akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, wadiah, wakalah, dan sebagainya. Sedangkan, akad tabarru’ adalah bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. 12 Akad tabarru’ dalam asuransi syariah bermisi menjalin solidaritas dan kesetiakawanan dalam hal berbagi beban dan memikul tanggungjawab terjadinya bencana melalui sumbangan dana (derma) yang dialokasikan untuk memberikan santunan atau ganti rugi pada anggota yang tertimpa musibah. 13 Sedangkan akad tijarah digunakan ketika perusahaan asuransi yang bertindak sebagai mudharib melakukan investasi dari dana premi yang terkumpul dari para peserta asuransi yang berkedudukan sebagai shahibul mal. Unsur terpenting dalam kontrak asuransi syariah adalah harus adanya objek yang menjadi kesepahaman dalam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak, dimulai dengan adanya proposal atau ijab dan akseptasi atau qabul.14 Selain itu, dalam kesepakatan yang dibuat harus didasarkan atas rasa bebas, baik secara fisik maupun rohani sehingga terbebas dari pengaruh, tekanan maupun paksaan pihak tertentu.
D. Kepemilikan Dana Premi 12
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, Ibid., h. 301. Husain Husain Syahatah, Asuransi Dalam Perspektif Syariah, Ibid., h. 66. 14 Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2005), cet.ke I, h. 29. 13
Setiap pembayaran premi dari peserta sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis (peserta) dan yang satu lagi akan dimasukkan ke rekening khusus peserta yang telah diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain jika ada yang mendapat musibah. 15 Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mal). Perusahaan asuransi Islam hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola. Dana tersebut, kecuali tabarru’, dapat diambil kapan saja, dan selama belum dikembalikan tidak terkena bunga atau biaya apapun. 16 Dana yang berada dalam rekening tabungan peserta yang merupakan milik peserta pada asuransi jiwa akan tetap menjadi milik peserta dan akan dibayarkan oleh perusahaan kepada peserta bila peserta meninggal dunia (pada asuransi jiwa), mengundurkan diri dan perjanjian asuransi berakhir, baik karena terjadi klaim ataupun masa perjanjian asuransinya telah habis. Peserta dalam asuransi Islam juga berhak terhadap hasil investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi Islam terhadap kumpulan dana premi yang dibayarkan peserta. Keuntungan hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi reasuransi) akan dibagi antara perusahaan dan peserta menurut prinsip alMudharabah.17
E. Pengelolaan Dana Premi 15
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, Ibid., h. 175. Ibid., h. 309. 17 Ibid., h. 175 16
Unsur premi pada asuransi syariah terdiri dari unsur tabarru’ dan tabungan (untuk asuransi jiwa), dan unsur tabarru’ saja (untuk asuransi kerugian dan term insurance pada life). Unsur tabarru’ pada jiwa, perhitungannya diambil dari tabel mortalitas (harapan hidup), yang besarnya tergantung usia dan masa perjanjian. Semakin tinggi usia dan semakin lama masa perjanjian, maka semakin besar pula nilai tabarru’-nya. Sedangkan, besarnya tabarru’ pada asuransi kerugian merujuk ke rate standard yang dibuat oleh DAI (Dewan Asuransi Indonesia).18 Mekanisme pengelolaan dana pada asuransi syariah (life insurance), untuk produk-produk yang mengandung unsur tabungan (saving), dana yang dibayarkan peserta langsung dibagi dalam dua rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’. Kemudian total dana diinvestasikan, dan hasil investasi dibagi secara proporsional antara peserta dengan perusahaan (pengelola) berdasarkan skim bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.19 Sedangkan, pada asuransi kerugian dan atau produk asuransi jiwa yang tidak mengandung unsur saving, terjadi akad mudharabah antara peserta dan perusahaan asuransi (pengelola). Kemudian total kontribusi dana yang dibayarkan peserta diinvestasikan, dan hasil investasi (surplus operasi) setelah dikurangi beban asuransi terjadi bagi hasil antara peserta dengan pengelola sesuai skim bagi hasil yang telah ditetapkan di awal akad. 20
18
Ibid., h. 311 Ibid., h. 304-305 20 Ibid. 19
Selain untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan, tujuan utama dari investasi adalah untuk memperkuat cadangan premi. Kedua alasan ini tetap relevan dalam asuransi syariah. Namun ada alasan lain yang tidak kalah penting, yakni untuk memperoleh nilai tambah yang hasilnya akan dibagi antara perusahaan dengan pemegang polis. Yang sangat prinsip dari asuransi syariah dalam menginvestasikan dana-dana yang terkumpul dari peserta asuransi hanya dibenarkan melalui instrumen yang menggunakan akad yang sesuai dengan syariat Islam.
F. Pembayaran Klaim Klaim adalah aplikasi oleh peserta untuk memperoleh pertanggungan atas kerugiannya yang tersedia berdasarkan perjanjian. Secara umum, prosedur klaim pada asuransi kerugian baik pada asuransi syariah maupun asuransi konvensional hampir sama, mulai dari kegiatan yang menyangkut penyelidikan, penilaian, dan penyelesaian tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Pada asuransi syariah, cara penggantian mengacu pada kondisi dan kesepakatan yang tertulis dalam polis. Yaitu, pemilihan cara penggantian yang ada pada penanggung apakah akan mengganti dengan uang tunai, memperbaiki, atau membangun ulang obyek yang mengalami kerusakan. 21 Pada asuransi syariah sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru’. dari seluruh peserta, yang sejak awal sudah diakadkan dengan ikhlas oleh peserta 21
Ibid., h. 261
untuk keperluan saling tanggung-menanggung bila terjadi musibah diantara peserta asuransi tersebut.22
G. Pengawasan Sebagai bagian dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), perusahaan asuransi syariah di Indonesia harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) didalamnya. DPS yang terdiri dari ulama-ulama faqih dalam fiqh muamalat, mengawasi jalannya operasional sehari-hari perusahaan asuransi syariah tersebut agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Fungsi DPS adalah: (1) melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya, (2) berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan Dewan Syariah Nasional (DSN), (3) melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran, (4) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.23 Setelah keluarnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang baru, selain telah diatur tentang perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, juga menempatkan posisi DPS pada posisi yang sangat menentukan. Karena, Departemen Keuangan sebagai pihak regulator benar-benar mempercayakan
22 23
Ibid., h. 315 Ibid., h. 543
sepenuhnya kepada DPS/ DSN-MUI tentang pengawasan dalam kaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. 24
24
Ibid., h. 544
BAB III ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD
A. Konsep Asuransi Hasil Pertanian Para petani dalam menjalankan usahanya menghadapi banyak risiko yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri, keluarga, dan harta bendanya. Risiko yang dimaksud antara lain adalah peristiwa yang menimpa hasil pertanian atau lahan pertanian yang digarapnya. Salah satu usaha untuk mengatasi kemungkinan menderita kerugian tersebut adalah melalui asuransi hasil pertanian. Asuransi sebagai salah satu teknik manajemen risiko, termasuk manajemen terhadap risiko-risiko dalam bidang pertanian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang berlaku di Indonesia mengatur Asuransi terhadap bahayabahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni dalam Buku I Bab Kesepuluh pada Pasal 299 sampai dengan Pasal 301 KUHD. Asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD merupakan asuransi sukarela (voluntary insurance). Oleh karena itu, ditutupnya asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipaneni bergantung kepada kehendak petani yang
bersangkutan.
Penyelenggaraan
asuransi sukarela
semata-mata
didasarkan kehendak bebas atau asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) dari
para pihak yang berkepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata25. Apabila dihubungkan dengan penggolongan asuransi secara yuridis, maka dapat disimpulkan bahwa asuransi hasil pertanian termasuk golongan asuransi kerugian (schade verzekering). Adapun yang dimaksud dengan asuransi kerugian adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi berupa pemberian ganti kerugian yang dideritanya. Pada dasarnya, kepentingan dalam asuransi kerugian dapat dinilai dengan uang (materieel belang) serta berlaku prinsip indemnitas. 26 Asuransi hasil pertanian merupakan asuransi kerugian tampak juga dalam penentuan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 301 KUHD. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa pada waktu penghitungan kerugian, dihitung berapa harga hasil-hasil itu dengan tidak terjadinya bencana, pada waktu panen atau pemanfaatannya, dan harga setelah terjadinya bencana. Penanggung membayar selisihnya sebagai ganti kerugian. Dengan demikian, apa yang dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung merupakan suatu jumlah yang sungguh-sungguh diderita oleh pihak tertanggung. Dalam hal ini, jumlah ganti kerugian yang dibayarkan oleh penanggung adalah selisih antara harga hasil panen setelah ditimpa bencana.27
25
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, (Bandung, Alumni, 1997), cet.ke I, h. 214 26 Ibid., h. 83 27 Ibid, h. 221
Mengingat ketentuan tentang Asuransi Hasil pertanian yang terdapat dalam KUHD tersebut sudah berusia sekitar satu setangah abad (WvK Nederland mulai berlaku 1 Oktober 1838), dapat dimaklumi apabila ketentuan asuransi dimaksud dianggap sudah tidak memadai lagi. Hal itu mengingat perkembangan teknologi pertanian sudah sangat jauh berbeda dengan satu setengah abad yang lalu. Walaupun demikian, dasar pemikirannya sebagai manajemen resiko terhadap hasil pertanian perlu mendapat perhatian.
B. Prinsip-prinsip Dasar Asuransi 1. Prinsip Insurable Interest Menurut ketentuan Pasal 268 KUHD, asuransi dapat mengenai segala macam kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, diancam oleh bahaya, dan tidak dikecualikan oleh Undang-undang. Tidak dikecualikan oleh Undang-undang artinya tidak dilarang undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. 28 Oleh karena itu dalam hukum asuransi, ditentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap obyek yang diasuransikannya. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 250 KUHD yang berbunyi: 29
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), cet. I, h.85-86 29 Ibid, h. 65
“Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu asuransi, pada saat diadakannya asuransi tersebut tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian.” atas menjelaskan bahwa apabila tidak ada kepentingan, maka tidak Pasal di pula ada asuransi. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, tidak ada klaim ganti rugi bagi tertanggung yang tidak berkepentingan. Jadi, kepentingan itu merupakan syarat mutlak dalam setiap asuransi. Syarat ini sangat penting untuk mencegah terjadi: 30 a. Tertanggung mengajukan suatu tuntutan ganti rugi kepada perusahaan asuransi padahal dia tidak menderita kerugian apapun. b. Asuransi berubah menjadi kontrak perjudian. c. Tindakan melawan hukum untuk kepentingan mendapatkan ganti rugi. 2. Prinsip Utmost Good Faith Kedua belah pihak yang melakukan kontrak asuransi, baik pihak yang mengajukan objek untuk dipertanggungkan maupun penanggung, harus menerapkan prinsip itikad baik yang dipresentasikan dengan keterbukaan atas semua informasi mengenai pertanggungan. 31
30
Seisno Djojosoedarso, Prinsip-prinsip Manajemen Resiko dan Asuransi, (Jakarta, Salemba Empat, 1999), cet. I, h. 105 31 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Live and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta, Gema Insani Press, 2004), cet. I, h.238
Maksudnya adalah itikad baik atas dasar saling mempercayai antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung dalam melaksanakan kontrak penutupan asuransi, yaitu: 32 a. Pihak penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luas syarat atau kondisi dari asuransi yang bersangkutan dan menyelesaikan tuntutan ganti rugi sesuai dengan syarat dan kondisi pertanggungan. b. Sebaliknya, pihak tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas objek atau kepentingan yang dipertanggungkan, artinya tertanggung tidak boleh menyembunyikan keterangan yang diketahuinya dan harus memberikan keterangan yang benar tentang sebabmusabab terjadinya kerugian. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, setiap pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau penyembunyian hal-hal yang diketahui oleh tertanggung walaupun dengan itikad baik, sehingga seandainya penanggung setelah mengetahui keadaan sebenarnya tidak akan mengadakan asuransi itu, atau dengan syarat-syarat yang demikian itu, mengakibatkan asuransi itu batal. 33 3. Prinsip Indemnity Inti dari prinsip indemnitas adalah keseimbangan antara besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung dengan kerugian yang dideritanya. Untuk dapat
32 33
Seisno Djojosoedarso, Prinsip-prinsip Manajemen Resiko dan Asuransi, h. 109 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h.72
mengadakan keseimbangan antara kerugian yang diderita tertanggung dengan ganti rugi yang diberikan oleh penanggung, harus diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan. Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip indemnitas hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian (schade verzekering).34 Oleh karena itu, mekanisme penanggung untuk mengkompensasi risiko yang menimpa tertanggung dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pembayaran tunai, penggantian, perbaikan dan pembangunan kembali. 35 Dalam kaitannya untuk mempertahankan prinsip indemnitas dalam asuransi berganda, menurut ketentuan dalam Pasal 252 KUHD yang menyatakan: “Kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan Undang-undang, maka tidak boleh diadakan suatu asuransi kedua, untuk jangka waktu yang sudah diasuransikan, untuk harganya penuh, dan demikian itu atas ancaman batalnya asuransi kedua tersebut.” Tetapi ada asuransi rangkap yang tidak dilarang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 277 KUHD. Menurut ketentuan Pasal tersebut:36 “Apabila beberapa asuransi dengan itikad baik diadakan untuk benda yang sama, sedangkan asuransi pertama diadakan dengan nilai penuh, maka asuransi-
34
Man Suparman Sastrawidjaja, Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 70-71 35 Seisno Djojosoedarso, Prinsip-prinsip Manajemen Resiko dan Asuransi, h. 107 36 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h.129
asuransi berikutnya hanya mengikat untuk nilai sisanya menurut urutan waktu asuransi itu diadakan.” 4. Prinsip Subrogasi Pengertian subrogasi menurut Pasal 284 KUHD adalah:37 “Penanggung yang telah membayar ganti rugi atas benda yang diasuransikan menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga itu.” Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui supaya ada subrogasi dalam asuransi diperlukan dua syarat, yaitu: 38 a. Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga. b. Adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan pihak ketiga. Dalam hukum asuransi, apabila tertanggung telah mendapatkan hak ganti kerugian dari penanggung, dia tidak boleh lagi mendapatkan hak dari pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian itu. Hak terhadap pihak ketiga itu beralih kepada penanggung yang telah memenuhi ganti kerugian kepada tertanggung. 39
37
Ibid., h. 121 Ibid. 39 Ibid. 38
Subrogasi secara penuh meurut Pasal 284 KUHD hanya berlaku jika penanggung telah membayar semua kerugian yang diderita tertanggung. Apabila penggantian kerurgian hanya sebagian saja diberikan oleh tertanaggung, maka hanya dapat di subrogasikan untuk sejumlah kerugian yang telah dibayarnya. Hak-hak selebihnya dari tertanggung terhadap pihak ketiga masih tetap dipegang tertanggung sendiri. 40 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip subrogasi bagi penanggung diadakan dalam usaha mempertahankan prinsip indemnitas. Di sisi lain, pihak ketiga yang menimbulkan kerugian tidak akan bebas dari tanggung jawabnya. 5. Prinsip Sebab Akibat41 Dengan ditutupnya perjanjian asuransi, maka menimbulkan kewajiban kepada penanggung untuk memberikan ganti kerugian karena tertanggung menderita kerugian. Kemungkinan yang akan terjadi, kerugian yang timbul disebabkan oleh serangkaian peristiwa. Untuk itu harus dapat ditentukan apakah peristiwa yang menjadi penyebab kerugian berada dalam tanggungan penanggung. Dengan perkataan lain, harus ditelaah kaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan kerugian yang terjadi. Dalam prinsip sebab akibat, dikehendaki bahwa akibat kerugian yang terjadi memang oleh suatu sebab yang merupakan tanggungan penanggung. Apabila tidak, penanggung dibebaskan dari kewajibannya.
40 41
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 75-76 Ibid., h. 77
C. Jenis-jenis Risiko Yang Ditanggung Risiko selalu diindentikkan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu yang merugikan yang tidak diinginkan. Jadi dapat dikatakan bahwa risiko mempunyai karakteristik :42 1. Merupakan ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa. 2. Merupakan ketidakpastian yang bila terjadi akan menimbulkan kerudian. Dalam KUHD sendiri tidak mengatur tentang jenis-jenis risiko yang dapat ditutup dalam asuransi hasil pertanian. Oleh karena itu, mengenai jenis risiko yang dipertanggungkan ini bergantung kepada kesepakatan para pihak (Pasal 1338 KUHP). Mengingat
keadaan
musim
yang
ada
di
Indonesia,
maka
dapat
dipertimbangkan jenis-jenis risiko seperti :43 1. Bencana alam yang antara lain dapat berupa gunung meletus; gempa bumi, berbagai macam angin yang keras (topan, bahorok, dll); musim kering atau musim hujan yang berkepanjangan; hujan es; dan banjir. 2. Risiko kebakaran yang dapat meliputi kebakaran di sawah/ ladang/ kebun; kebakaran dalam pengangkutan; dan kebakaran di gudang. 3. Serangan hama dan penyakit tanaman.
42 43
Seisno Djojosoedarso, Prinsip-prinsip Manajemen Resiko dan Asuransi, h. 2 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 222-224
D. Perjanjian (Kontrak) Asuransi Hasil Pertanian Asuransi atau pertanggungan dalam pengertian hukum mengandung suatu arti yang pasti ialah sebagai suatu jenis perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 44 Pasal pertama yang mengatur asuransi dalam KUHD dimulai pada Pasal 246 yang memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut:45 “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian.” Hubungan hukum asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara bertimbal balik). Artinya sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi kepada penanggung, dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko.46 Dengan demikian, dasar ikatan yang terjadi pada perjanjian asuransi adalah pertukaran antara pembayaran premi asuransi oleh tertanggung dengan uang
44
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta, Liberty, 1986), h. 96 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h. 8 46 Ibid., h. 9 45
pertanggungan yang akan dibayarkan oleh pihak penanggung apabila peristiwa yang dipertanggungkan tersebut benar-benar terjadi pada saat asuransi masih berjalan. Akad pertukaran sebagaimana dimaksud diatas dapat dikategorikan sebagai akad mu’awadah. Disebut sebagai akad mu’awadah karena masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad, penanggung dan tertanggung memperoleh penggantian dari apa yang telah diberikannya. Penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang pertanggungan jika terjadi peristiwa atau bencana, sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya.47 Perjanjian asuransi dapat menjadi batal apabila tertanggung melalaikan kewajiban melakukan pemberitahuan kepada penanggung mengenai keadaan benda (objek) yang diasuransikan. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, setiap pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau penyembunyian hal-hal yang diketahui oleh tertanggung walaupun dengan itikad baik, sehingga seandainya penanggung setelah mengetahui keadaan sebenarnya tidak akan mengadakan asuransi tersebut, atau dengan syaratsyarat yang demikian itu, mengakibatkan asuransi tersebut batal.48 Dalam asuransi hasil pertanian, hal-hal yang wajib diberitahukan tertanggung kepada penanggung diatur dalam Pasal 299 KUHD, yaitu:49 1. Letak dan pembatasan lahan yang penghasilannya telah diasuransikan
47
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Live and General), h.301 Ibid., h. 72 49 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 218-219 48
Uraian mengenai letak dan pembatasan tanah yang diasuransikan ini perlu disebutkan sebab penanggung mempunyai kepentingan untuk mengetahui risiko yang dihadapinya. Dengan mengetahui letak dan pembatasan tanah dimaksud, penanggung dapat melakukan penilaian terhadap permohonan penutupan asuransi yang diajukan kepadanya. Atau apabila permohonan penutupan asuransi hasil pertanian tersebut diterima akan berpengaruh terhadap penentuan besarnya premi. 2. Pemakaian lahan. Pengertian pemakaian dalam hal ini diartikan dengan penggunaan dari tanah tersebut untuk pertanian jenis apa serta cara pemeliharaannya. Mengenai hal yang terakhir ini untuk saat sekarang dapat dihubungkan dengan teknologi pertanian yang semakin modern.
E. Kepemilikan Dana Premi Dalam mekanisme pertanggungan di industri asuransi, hubungan antara peserta dan perusahaan terjadi hubungan yang dinamakan tertanggung dan penanggung. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaannya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi musibah atau risiko, maka yang menanggung adalah perusahaan asuransi. Karena, risiko telah berpindah dari peserta ke perusahaan sebagai konsekuensi dari pembayaran premi. Disini benar-benar terjadi
transfer of fund, sehingga kepemilikan danapun berpindah dari peserta ke perusahaan asuransi. 50 Asuransi biasanya diadakan untuk jangka waktu tertentu, dalam Pasal 300 KUHD disebutkan bahwa asuransi hasil pertanian dapat diadakan untuk jangka waktu minimal satu tahun, artinya suatu hasil pertanian tidak dapat diasuransikan untuk kurang dari satu tahun. Hal demikian dipertegas lagi oleh Pasal 300 KUHD ayat (2) KUHD yang menyebutkan bahwa apabila tidak ada suatu ketetapan waktu maka dianggap asuransi tersebut telah diadakan selama satu tahun.51 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pertanggungan”, sebagaimana dikutip oleh Man Suparman bahwa jangka waktu minimal satu tahun tersebut kemungkinan berdasarkan suatu pemikiran dengan teknologi pertanian pada saat itu, hasil pertanian baru dapat dipanen setelah satu tahun. Atau mungkin juga disebabkan risiko-risiko yang dilakukan penutupan asuransinya akan mengancam atau menimpa hasil pertanian baru dapat diperkirakan akan menimbulkan kerugian apabila telah menjalani tenggang waktu satu tahun.52 Dewasa ini, tanaman jenis padi sendiri memiliki satu kali masa tanam selama kurang lebih empat bulan.53 Oleh karena itu, mengingat teknologi pertanian dalam pengelolaan pertanian saat ini sudah jauh lebih maju, anggapan bahwa hasil pertanian baru dapat dipanen setelah satu tahun perlu dipertimbangkan lagi. 50
Ibid., h. 304 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 219 52 Ibid., h. 219-220 53 Direktorat Penbiayaan, Pedoman Penerapan Asuransi Pertanian, (Jakarta, Dir. Jen. Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian, 1996), h.18 51
Karena status dana premi yang dibayarkan tertanggung telah menjadi milik penanggung, maka jika sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan sesuai yang telah diperjanjikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung, atau sering disebut dengan dana hangus.
F. Pengelolaan Dana Premi Besarnya jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung ditentukan berdasarkan penilaian risiko yang dipikul oleh penanggung. Dalam praktiknya penetepan besarnya jumlah premi itu diperjanjikan oleh tertanggung dan penanggung secara layak dan dicantumkan dalam polis. Besarnya jumlah premi dihitung sedemikian rupa, sehingga dengan penerimaan premi dari beberapa tertanggung, penanggung berkemampuan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung yang terkena peristiwa yang menimbulkan kerugian.54 Perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan, mengumpulkan dana berupa premi dari para peserta (tertanggung) melalui adanya pengalihan risiko dari peserta tersebut kepada perusahaan asuransi. Dana premi yang terkumpul tersebut harus dalam jenis-jenis investasi yang aman, likuid, dan menguntungkan. didayagunakan ke Artinya, perusahaan asuransi harus berusaha untuk selalu dapat memenuhi
54
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h. 102
kewajibannya apabila timbul kerugian disamping harus selalu berusaha mendapatkan laba yang optimum. 55 Dalam hal investasi, selain mengacu pada Peraturan Pemerintah, perusahaan asuransi juga harus memperhatikan ketentuan investasi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada pemegang saham secara proporsional pada akhir tahun atau dikembalikan lagi kepada perusahaan dalam bentuk penyertaan modal. Selain itu, pada tahun-tahun sulit dimana rasio klaim yang telah ditentukan oleh underwriter berada di luar rasio normal, perusahaan asuransi dapat menutupi biaya operasional dari keuntungan hasil investasi.
G. Pembayaran Klaim Klaim adalah kegiatan yang
menyangkut penyelidikan, penilaian, dan
penyelesaian tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Penanggung akan menyelidiki apakah tertanggung benar memiliki kepentingan atas benda yang diasuransikan tersebut. Selain itu, apakah kerugian yang terjadi benar bukan karena kesalahan tertanggung dan memang dijamin dalam polis. Jika benar, maka dilakukan penyelesaian berdasarkan klaim tertanggung.56
55
Salusra Satria, Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian Di Indonesia Dengan Analisis Rasio Keuangan “Early Warning System”, (Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI, 1994), cet. I, h. 21-22 56 Ibid., h. 21
Pembayaran ganti rugi pada asuransi hasil pertanian diatur dalam Pasal 301 KUHD yang menyatakan bahwa pada waktu penghitungan kerugian, dihitung berapa harga hasil-hasil itu dengan tidak terjadinya bencana, pada waktu panen atau pemanfaatannya, dan harga setelah terjadinya bencana. Penanggung membayar selisihnya sebagai ganti kerugian. Dengan demikian, apa yang dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung merupakan suatu jumlah yang sungguh-sungguh diderita oleh pihak tertanggung. Dalam hal ini, jumlah ganti kerugian yang dibayarkan oleh penanggung adalah selisih antara harga hasil panen setelah ditimpa bencana.57 Sumber pembayaran klaim sendiri adalah dari rekening perusahaan yang berasal dari penerimaan premi yang dibayarkan oleh beberapa tertanggung. Klaim yang dibayarkan penanggung merupakan bagian dari kewajiban timbal balik yang diatur dalam perjanjian asuransi.
H. Pengawasan Pengawasan terhadap perusahaan perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan. Setiap perusahaan perasuransian wajib memelihara kesehatan keuangan serta melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, Menteri Keuangan melakukan pengawasan secara berkala atau setiap waktu apabila diperlukan terhadap usaha perasuransian. Setiap perusahaan perasuransian wajib memperlihatkan buku, catatan, 57
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, h. 220
dokumen, dan laporan-laporan serta memberikan keterangan yang diperlukan (Pasal 15 UU No.2 Tahun 1992). Pemerikasaan dimaksud untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktik penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan undang-undang.58 Setiap perusahaan perasuransian juga harus memiliki Dewan Auditor Internal yang berfungsi mengawasi manajemen perusahaan agar memperoleh keuntungan maksimum sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
58
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h. 42
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ASURANSI HASIL PERTANIAN DALAM KUHD DENGAN ASURANSI SYARIAH
A. Persamaan 1. Prinsip Dasar a. Insurable Interest (Prinsip Kepentingan Terasuransikan) Dalam hukum asuransi, ditentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap obyek yang diasuransikannya. Hal itu disebabkan apabila tidak terdapat ketentuan demikian, seseorang yang tidak mempunyai kepentingan terhadap suatu objek asuransi, akan dapat menutup asuransi terhadap objek tersebut. Akibatnya, tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti rugi apabila terjadi peristiwa yang menimpa objek dimaksud. Singkatnya, dasar pemikiran perlunya prinsip Insurable Interest dalam perjanjian asuransi, adalah untuk menghindarkan lembaga asuransi dijadikan sarana permainan perjudian. Tujuan dari penerapan prinsip insurable interest adalah untuk mencegah asuransi berubah menjadi kontrak perjudian. Hal ini sejalan dengan penerapan prinsip larangan maisir dalam asuransi syariah. Karena syariat Islam dengan tegas mengharamkan segala macam aktivitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur maisir.
b. Utmost Good Faith (Prinsip Itikad Baik) Pihak penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luas syarat atau kondisi dari asuransi yang bersangkutan dan menyelesaikan tuntutan ganti rugi sesuai dengan syarat dan kondisi pertanggungan. Sebaliknya, pihak tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas objek atau kepentingan yang dipertanggungkan,
artinya
tertanggung
tidak
boleh
menyembunyikan
keterangan yang diketahuinya dan harus memberikan keterangan yang benar tentang sebab terjadinya kerugian. Penerapan prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam asuransi hasil pertanian dalam KUHD memiliki tujuan yang sama dengan prinsip amanah dalam asuransi syariah, dimana kedua belah pihak yang terikat harus samasama memberikan informasi yang benar, tidak mengandung unsur kebohongan, penipuan dan kecurangan. Dalam transaksi muamalah, adanya salah satu pihak yang mengingkari perjanjian dapat mengakibatkan batalnya kontrak tersebut. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 1
(١ : ٥ \ ةD1 ) ا...ُِدRُِْ=ِ َ ءَا َُا أَوْ*ُا ﺏ. َأَ ?>َ ا Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian itu...”
c. Indemnity (Prinsip Ganti Rugi) Mekanisme ganti rugi yang diatur dalam prinsip indemnity yaitu penanggung akan memberikan ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung seperti pada saat sebelum terjadi peristiwa yang diperjanjikan. Sehingga tertanggung tidak dimungkinkan untuk mendapat posisi keuangan yang lebih baik setelah mendapat penggantian dari penanggung. Karena dalam prinsip indemnity, penanggung akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung sesuai atau seimbang dengan kerugian yang terjadi pada objek yang diasuransikan. Keseimbangan antara besarnya pergantian yang diberikan penanggung dengan kerugian yang diderita tertanggung merupakan inti dari prinsip indemnity. Hal ini juga yang merupakan tujuan dari penerapan prinsip keadilan dalam asuransi syariah. d. Subrogasi Subrogasi adalah
penggantian
kedudukan
tertanggung
oleh
penanggung yang telah membayar ganti kerugian dalam melaksanakan hakhak tertanggung kepada pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian. Dengan beralihnya hak untuk mendapatkan ganti rugi dari pihak ketiga, maka dalam hal ini telah terpenuhi nilai-nilai keadilan antara para pihak yang terkait dalam kontrak asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya menempatkan hak dan kewajiban antara penanggung dan tertanggung.
Subrogasi memiliki tujuan mencegah tertanggung mendapat ganti rugi yang melebihi kerugian yang dideritanya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
prinsip
subrogasi
bagi
penanggung
diadakan
dalam
usaha
mempertahankan prinsip indemnity. Di sisi lain, pihak ketiga yang menimbulkan kerugian tidak akan bebas dari tanggung jawabnya. Dari tujuan-tujuan prinsip subrogasi di atas, dapat terlihat adanya nilainilai keadilan yang diterapkan diantara semua pihak yang terkait. Hal ini sejalan dengan tujuan prinsip keadilan dalam asuransi Islam, karena Islam sendiri secara tegas melarang adanya satu pihak menzalimi pihak lain dalam muamalat. e. Prinsip Sebab Akibat Kerugian yang timbul disebabkan oleh serangkaian peristiwa. Untuk itu harus dapat ditentukan apakah peristiwa yang menjadi penyebab kerugian berada dalam tanggungan penanggung. Menurut ketentuan prinsip sebab akibat harus ditelaah kaitan antara peristiwa-peristiwa dengan kerugian yang terjadi dalam serangkaian peristiwa. Prinsip sebab akibat menuntut keadilan dan kearifan dalam melihat duduk persoalan suatu peristiwa. Sehingga baik tertanggung maupun penanggung tidak akan saling mendzalimi satu sama lain, sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah (2): 279.
ََُنَ و1ِ@ْSَِ وَإِنْ ﺕُ(ُْْ *َ@َُْ رُءُوسُ أَ َْاُِْ َ ﺕFُِِ وَرَﺱF.@ْذَﻥُا ﺏَِ ْبٍ َِ ا7َ* َْ@ُاAَِنْ َْ ﺕVَ* (٢٧٩ : ةR( )ا.َُن1َ@ْSُﺕ Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 2. Investasi Perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan, mengumpulkan dana berupa premi dari para paserta (tertanggung) melalui adanya pengalihan risiko dari peserta kepada perusahaan asuransi. Dana premi yang terkumpul tersebut harus didayagunakan ke dalam jenis-jenis investasi yang aman, likuid, dan menguntungkan. Artinya, perusahaan asuransi harus berusaha untuk selalu dapat memenuhi kewajibannya apabila timbul kerugian di samping harus selalu berusaha untuk mendapatkan laba yang optimum. Tujuan utama dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi adalah untuk memperkuat cadangan premi, selain untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan. Kedua alasan ini tetap relevan baik dalam asuransi hasil pertanian dalam KUHD maupun asuransi syariah.
3. Klaim Klaim adalah mekanisme aplikasi oleh peserta untuk memperoleh pertanggungan atas kerugiannya yang tersedia berdasarkan perjanjian. Secara umum, prosedur klaim pada asuransi hasil pertanian maupun pada asuransi syariah adalah sama, mulai dari kegiatan yang menyangkut penyelidikan, penilaian, dan penyelesaian tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung. Cara penggantian mengacu pada kondisi dan kesepakatan yang tertulis dalam polis. Yaitu, pemilihan cara penggantian yang ada pada penanggung apakah dengan uang tunai, memperbaiki, atau membangun ulang objek yang mengalami kerusakan. Pembayaran ganti rugi yang dibayarkan penanggung kepada tertanggung mengacu pada Pasal 301 KUHD, dimana ganti rugi yang dibayarkan penanggung merupakan jumlah yang sungguh-sungguh diderita oleh tertanggung. Dalam hal ini, jumlah ganti rugi adalah selisih antara harga hasil panen setelah ditimpa bencana.
Perbedaan 1. Prinsip Dasar a. Tauhid Allah SWT meletakkan prinsip tauhid (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam muamalah. Oleh karena itu, segala aktifitas dalam muamalah harus
senantiasa mengarahkan pelakunya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dalam asuransi hasil pertanian, tujuan para peserta yang menutup asuransi ini hanya sebatas usaha untuk mengatasi kemungkinan menderita kerugian dalam usahanya saja. Hal ini dapat terlihat dalam kontrak (akad) yang terjadi antara peserta dengan perusahaan asuransi. Dimana sebagai timbal balik dari pembayaran premi, maka peserta berhak menerima ganti rugi dari perusahaan asuransi apabila peristiwa yang menimbulkan kerugian yang diperjanjikan benar-benar terjadi. Sedangkan penerapan prinsip tauhid dalam asuransi syariah dapat terlihat jelas pada akad tabarru’ yang digunakan dalam penutupannya. Para peserta yang
melakukan
penutupan
asuransi,
selain
sebagai
upaya
untuk
mengantisipasi risiko akibat suatu peristiwa, peserta juga diarahkan untuk saling tolong-menolong diantara mereka dengan memberikan dana tabarru’ (kebajikan) dari masing-masing peserta yang akan digunakan untuk membantu apabila ada salah satu atau sebagian dari peserta yang menderita kerugian akibat suatu musibah yang menimpanya. b. Kerelaan Meskipun dalam asuransi syariah dan asuransi hasil pertanian dalam KUHD sama-sama menerapkan prinsip kerelaan dalam melakukan akad, dimana diharuskan untuk bersikap rela dan ridha’, serta tidak ada paksaan
antara pihak-pihak yang terikat dalam kontrak tersebut. Namun dalam konteks lain terdapat perbedaan dalam penerapan prinsip kerelaan. Dalam asuransi syariah, sejak awal peserta memberikan dana tabarru’ (kebajikan) sudah diniatkan dengan ikhlas untuk tujuan saling membantu diantara sesama peserta asuransi syariah tanpa ada keinginan untuk menerima apapun dari orang yang menerima, kecuali kebaikan dari Allah SWT. Hal ini berbeda dengan akad asuransi hasil pertanian dimana peserta berhak menerima penggantian dari perusahaan asuransi karena telah membayar premi. c. Larangan gharar dan riba Gharar yang terjadi dalam asuransi hasil pertanian dalam KUHD adalah dimana tidak diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad pada waktu melangsungkan akad, berapa yang akan diterima dan berapa yang yang akan dibayarkan kelak bagi penanggung. Begitu pula bagi tertanggung tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan dan berapa uang pertanggungan yang akan diterima. Ketidakjelasan seperti yang dimaksud di atas dikarenakan bergantung kepada terjadi atau tidaknya peristiwa yang diasuransikan, sedangkan hal itu hanya Allah saja yang mengetahui dengan pasti. Selanjutnya unsur riba terdapat dalam asuransi hasil pertanian ketika perusahaan asuransi yang bertindak sebagai penanggung melakukan investasi dana premi yang terkumpul dari para peserta kedalam semua jenis investasi tanpa ada pembatasan halal atau haram menurut syariat syariah.
Asuransi syariah harus terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syara’, yaitu bersih dari adanya unsur gharar, maisir, dan riba. Hal ini dapat dilihat dalam sistem operasional yang dilakukan, dimana dalam mekanisme pengelolaan dananya dapat memisahkan antara rekening dana peserta dan rekening tabarru’. Tujuan dari pemisahan ini untuk menghindarkan adanya pencampuran dana. Sehingga, asuransi Islam dapat terhindar dari maisir dan gharar. Adapun masalah riba dapat dieliminir dengan menggunakan instrumen syariah sebagai pengganti sistem riba, misalnya mudharabah, wadi’ah, wakalah, dan sebagainya. 59 2. Akad Akad yang digunakan dalam asuransi hasil pertanian yang diatur dalam KUHD adalah akad pertukaran yang dapat dikategorikan sebagai akad mu’awadah. Disebut sebagai akad mu’awadah karena masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad, penanggung dan tertanggung memperoleh penggantian dari apa yang telah diberikannya. Penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang pertanggungan jika terjadi peristiwa atau bencana, sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya. Sedangkan, akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, wadiah, wakalah, dan 59
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Live and General), Ibid., h.298
sebagainya. Sedangkan, akad tabarru’ adalah bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. 60 3. Kepemilikan Dana Premi Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi musibah atau risiko, maka yang menanggung adalah perusahaan asuransi. Karena, risiko telah berpindah dari peserta ke perusahaan sebagai konsekuensi dari pembayaran premi. Disini benar-benar terjadi transfer of fund, sehingga kepemilikan dana pun berpindah dari peserta ke perusahaan asuransi. 61 Dalam asuransi syariah, setiap pembayaran premi dari peserta sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis (peserta) dan yang satu lagi akan dimasukkan ke rekening khusus peserta yang telah diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain jika ada yang mendapat musibah.62 Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mal). Perusahaan asuransi Islam hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola. Dana tersebut, kecuali tabarru’, dapat diambil kapan saja, dan selama belum dikembalikan tidak terkena bunga atau biaya apapun.63
60
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah , (Live and General), h. 301 Ibid., h. 304 62 Ibid., h. 175 63 Ibid., h. 309 61
4. Pengelolaan Dana Premi Dalam asuransi hasil pertanian tidak terjadi pemisahan dana premi yang diterima dari peserta. Dana premi yang terkumpul tersebut didayagunakan ke dalam jenis-jenis investasi yang aman, likuid, dan menguntungkan. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada pemegang saham secara proporsional pada akhir tahun atau dikembalikan lagi kepada perusahaan dalam bentuk penyertaan modal. Selain itu, pada tahun-tahun sulit dimana rasio klaim yang telah ditentukan oleh underwriter berada di luar rasio normal, perusahaan asuransi dapat menutupi biaya operasional dari keuntungan hasil investasi. Sedangkan, pada asuransi syariah terjadi akad mudharabah antara peserta dan perusahaan asuransi (pengelola). Kemudian total kontribusi dana yang dibayarkan peserta diinvestasikan, dan hasil investasi (surplus operasi) setelah dikurangi beban asuransi terjadi bagi hasil antara peserta dengan pengelola sesuai skim bagi hasil yang telah ditetapkan di awal akad.64 5. Sumber Pembayaran Klaim Sumber pembayaran klaim dalam asuransi hasil pertanian sendiri adalah dari rekening perusahaan yang berasal dari penerimaan premi yang dibayarkan oleh beberapa tertanggung. Klaim yang dibayarkan penanggung merupakan bagian dari kewajiban timbal balik yang diatur dalam perjanjian asuransi. Pada asuransi syariah sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru’ dari seluruh peserta, yang sejak awal sudah diakadkan dengan ikhlas 64
Ibid.
oleh peserta untuk keperluan saling tanggung-menanggung bila terjadi musibah diantara peserta asuransi tersebut.65 6. Dewan Pengawas Syariah Seperti asuransi konvensional lain, asuransi hasil pertanian tidak memiliki DPS. Pengawasan perusahaan asuransi dalam memelihara kesehatan keuangan serta melakukan usaha agar sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat dilakukan langsung oleh Menteri Keuangan. Untuk mengawasi manajemen perusahaan agar memperoleh keuntungan maksimum sesuai dengan kaidahkaidah hukum yang berlaku, fungsi tersebut dipegang oleh Dewan Auditor Internal. Sedangkan setiap perusahaan asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) didalamnya. DPS yang terdiri dari ulama-ulama faqih dalam fiqh muamalat, mengawasi jalannya operasional sehari-hari perusahaan asuransi syariah tersebut agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. 7. Mekanisme Asuransi Hasil Pertanian Asuransi hasil pertanian mulai berlaku sejak akad (kontrak) ditandatangani oleh petani dan premi awal dibayarkan kepada perusahaan asuransi. Premi ini selanjutnya dibayar tiap bulan berdasarkan akad yang telah disepakati dan telah disesuaikan dengan tingkat probabilitas risiko didaerah yang bersangkutan. Dalam
menetapkan
besarnya
premi,
perusahaan
asuransi
pertanian
konvensional akan berbagi risiko yang sama dengan individu-individu petani 65
Ibid., h. 315
dengan perilaku risiko yang berbeda-beda (risk spreading). Sedangkan perusahaan asuransi pertanian syariah akan melakukan penggabungan risiko (risk pooling) antar individu-individu petani yang mempunyai risiko yang berbeda menggabungkan risikonya kedalam satu wadah bersama (common pool), dengan memfokuskan keseimbangan dalam ketidakpastian. Melalui penggabungan ini, risiko dapat diprediksi secara statistik dan kerugian yang ditanggung oleh individu petani menjadi lebih kecil dibandingkan tanpa penggabungan. 66 Para petani dapat memilih jenis perlindungan yang ditetapkan oleh perusahaan penyelenggara asuransi hasil pertanian, yaitu:67 a. All Risk /Full Coverage, meliputi perlindungan terhadap hama, penyakit, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan bencana alam. b. Serangan hama, penyakit dan OPT. c. Bencana alam (banjir dan kekeringan). Premi yang diterima oleh perusahaan asuransi syariah akan langsung dibagi dalam dua rekening; rekening peserta yang akan tetap menjadi milik peserta dan rekening tabarru’ yang sejak awal akad diniatkan dengan ikhlas oleh peserta sebagai sumber pembayaran klaim kepada peserta jika terjadi musibah. Pemisahan premi tidak ditemukan pada perusahaan asuransi konvensional, karena prem-premi yang dibayarkan peserta akan menjadi milik perusahaan, sebagai 66
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Laporan Hasil Penelitian Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat, (Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2000), h. 5 67 Direktorat Penbiayaan, Pedoman Penerapan Asuransi Pertanian, (Jakarta, Dir. Jen. Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian, 1996), h.11
timbal balik karena perusahaan asuransi telah menanggung risiko peserta. Oleh karena itu, sumber pembayaran klaim berasal dari rekening perusahaan penyelenggara asuransi. Untuk perhitungan klaim persatu masa tanam (kurang lebih empat bulan) adalah sebagai berikut:68 a. Jika terjadi total loss, atau tanaman tidak menghasilkan sama sekali karena risiko yang diasuransikan, maka penggantian kerugian sebesar pertanggungan yang diasuransikan petani. b. 1) Jika terjadi pengurangan produksi karena serangan hama dan penyakit, akan diperhitungkan penggantiannya secara proporsional berdasarkan umur tanaman. Perhitungannya berpedoman pada formula sebagai berikut: (Produksi Rata-rata – Realisasi Produksi) * Nilai Pertanggungan Produksi Rata-rata 2) Jika terjadi pengurangan produksi karena musibah banjir dan atau kekeringan, maka petani hanya mendapat ganti kerugian kerusakan tanaman aktual atau hilangnya input.
68
Ibid., h. 20
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep asuransi yang sesuai dengan tujuan-tujuan umum syariah adalah pertanggungan yang dibentuk atas dasar saling tolong-menolong. Oleh karena itu, maka akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, wadi’ah, wakalah, dan sebagainya. Sedangkan, akad tabarru’ adalah bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Pengelolaan dana pada asuransi syariah adalah pengelolaan dana yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dimana perusahaan asuransi Islam hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana dan peserta sebagai shahibul mal. Setiap pembayaran premi dari peserta sejak awal akan dibagi dua, yaitu Rekening Tabungan Peserta dan Rekening Tabarru’. Rekening tabungan peserta yang merupakan milik peserta, dan akan dikembalikan perusahaan asuransi apabila terjadi klaim maupun masa perjanjian asuransinya berakhir. Sedangkan Rekening Tabarru’ merupakan
sumber pembayaran klaim yang diperoleh dari kumpulan dana kebajikan (derma) seluruh peserta, yang sejak awal sudah diakadkan dengan ikhlas oleh peserta untuk keperluan saling tanggung-menanggung bila terjadi musibah diantara peserta asuransi tersebut. Kemudian, total dana tersebut diinvestasikan dan hasil investasi akan dibagi secara proporsional antara perusahaan dan peserta berdasarkan sistem bagi hasil (nudharabah) sesuai dengan kesepakatan awal antara kedua belah pihak. Selain untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan, tujuan utama dari investasi adalah untuk memperkuat cadangan premi. Kedua alasan ini tetap relevan dalam asuransi syariah. Akan tetapi yang sangat prinsip dari asuransi Islam dalam menginvestasikan dana-dana yang terkumpul dari peserta asuransi hanya dibenarkan melalui instrumen yang menggunakan akad yang sesuai dengan syariat Islam. 2. Asuransi hasil pertanian merupakan asuransi kerugian tampak dalam penentuan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 301 KUHD. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa pada waktu penghitungan kerugian, dihitung berapa harga hasil-hasil itu dengan tidak terjadinya bencana, pada waktu panen atau pemanfaatannya, dan harga setelah terjadinya bencana. Oleh karena itu, maka dasar ikatan yang terjadi pada perjanjian asuransi adalah pertukaran antara pembayaran premi asuransi oleh tertanggung dengan uang pertanggungan yang akan dibayarkan oleh pihak penanggung apabila
peristiwa yang dipertanggungkan tersebut benar-benar terjadi pada saat asuransi masih berjalan. Pengelolaan dana pada asuransi hasil pertanian dilakukan tanpa ada pemisahan antara dana peserta dengan dana tabarru’. Semua bercampur menjadi satu dan status dana tersebut adalah milik perusahaan. Sehingga perusahaan memiliki kebebasan untuk mengelola dana tersebut dan menginvestasikan kemana saja tanpa ada batasan halal atau haram. Sumber pembayaran klaim sendiri adalah dari rekening perusahaan yang berasal dari penerimaan premi yang dibayarkan oleh beberapa tertanggung. Klaim yang dibayarkan penanggung merupakan bagian dari kewajiban timbal balik yang diatur dalam perjanjian asuransi. 3. Dari uraian terdahulu diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan sistem dan mekanisme antara asuransi syariah dan asuransi hasil pertanian dalam KUHD. Diantara persamaan itu adalah: Pertama, prinsip-prinsip dasar yang diterapkan, baik dalam asuransi syariah maupun asuransi hasil pertanian dalam KUHD. Kedua, tujuan investasi untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Ketiga, prosedur klaim pada asuransi syariah dan asuransi hasil pertanian adalah sama. Adapun perbedaannya antara lain dapat dilihat dari segi penerapan prinsip dasar: Pertama, Prinsip dasar tauhid dan larangan maisir dan riba diterapkan dalam asuransi syariah .
Dari segi akad pada asuransi syariah menggunakan akad tijarah dan akad tabarru’, sedangkan asuransi hasil pertanian menggunakan akad mu’awadah atau akad pertukaran. Dari segi pengelolaan dana, yang pertama, premi pada asuransi syariah terdiri dari unsur tabungan dan tabarru’, sedangkan pada asuransi hasil pertanian tidak terjadi pemisahan dana, semua bercampur menjadi satu. Kedua, kepemilikan dana, pada asuransi syariah dana premi yang telah dibayar peserta merupakan milik peserta dan perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi hasil pertanian, premi yang telah dibayar peserta seluruhnya akan menjadi milik perusahaan. Ketiga, Investasi pada asuransi syariah dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan hasil investasi bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi akan dilakukan bagi hasil antara peserta dan perusahaan. Sedangkan pada asuransi hasil pertanian, investasi dilakukan hanya dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan dan tidak dibatasi pada halal dan haram obyek atau sistem investasi yang digunakan. Dari segi pengawasan, dalam asuransi syariah memilki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan. Sedangkan dalam asuransi hasil pertanian tidak memiliki DPS sehingga dalam prakteknya banyak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’.
B. Saran-saran 1. Perlu adanya kelembagaan khusus yang berfungsi sebagai forum koordinasi dalam merumuskan, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan aspek-aspek penting dalam asuransi hasil pertanian syariah. Selanjutnya, perlu juga dibuat peraturan tentang asuransi hasil pertanian syariah yang jelas mengatur pelaksanaan asuransi hasil pertanian syariah, agar lebih memadai dengan kebutuhan dan perkembangan sektor pertanian saat ini. 2. Perlu adanya penyuluhan yang terus-menerus kepada masyarakat dan petani pada khususnya mengenai pentingnya asuransi hasil pertanian, sehingga diharapkan akan tumbuh kesadaran tentang manfaat asuransi sebagai lembaga penyebaran risiko. Selain itu, perlu juga upaya-upaya untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani. 3. Sebaiknya dilakukan studi banding terlebih dahulu dengan beberapa negara yang telah berpengalaman dan berhasil dalam penyelenggaraan asuransi hasil pertanian, baik dalam segi organisasi maupun mekanismenya. Selanjutnya, perlu juga untuk diadakan uji coba terlebih dahulu sebelum pelaksanaan asuransi hasil pertanian secara menyeluruh agar dapat dirumuskan model asuransi yang sesuai dengan kondisi lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1987. Ali, AM Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis, Historis, Teoritis, & Praktis, Jakarta: Prenada Media, 2004, Edisi.I. Amrin, Abdullah. Asuransi Syariah (Keberadaan dan Kelebihannya Ditengah Asuransi Konvensional), Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006, Cet.I. Antonio, M. Syafi’I. Bank Syariah, Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta: Tazkia Institute- BI, 1999. Daniel, Moehar. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta : Bumi Aksara, 2002, Edisi.I. Djojosoedarso, Seisno. Prinsip-prinsip Manajemen Resiko dan Asuransi, Jakarta: Salemba Empat, 1999, Cet.I. Direktorat Penbiayaan, Pedoman Penerapan Asuransi Pertanian, Jakarta, Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian, 1996. Iqbal, Muhaimin Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik: Upaya Menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, Cet.I. Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Inonesia, 2002. Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet.4, 2000. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986. Muhamad. Lembaga Keuangan Kontemporer¸ Yogyakarta: UII Press, 2000. Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, Cet.I.
Muslehudin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Lentera, 1999. Nazir, M. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, Jakarta: Djambatan, 1996, Cet.IV. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Laporan Hasil Penelitian Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2000. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996, Jilid. 4. Salusra Satria, Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian Di Indonesia Dengan Analisis Rasio Keuangan “Early Warning System”, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1994. Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-aspek Hukum Asuransi, Dan Surat Berharga, Bandung: Penerbit Alumni, 1997, Cet.I Soekartawi, Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, Ed. 2, Cet.III Sula, M. Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) : Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Syahatah, Husain Husain. Asuransi Dalam Perspektif Syariah, Jakarta: Amzah, 2006, Cet.I. Tim Penulis Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: Intermasa, 2003, Cet.II.