KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H. MASLOW DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN (ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)
Skripsi Disusun Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata 1 (S1) dalam Ilmu Dakwah Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI)
Oleh: Oktaful Ghofur 1100046
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2006
KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H. MASLOW DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN (ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM) Disusun Oleh: Oktaful Ghofur 1100046 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 30 Januari 2006 dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat Susunan Dewan Penguji Ketua Dewan Penguji/ Dekan/ Pembantu Dekan
Sekretaris Dewan Penguji/
Drs Sugiarso. NIP. 150223795
Abdul Satar, M. Ag. NIP. 150290160
Penguji I
Penguji II
Drs. Ali Murtadho, M. Pd. NIP. 150274618
Drs. H. Nurbini. NIP. 150261768
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Hj. Ismawati, M. Ag. NIP. 150094093
Abdul Satar, M. Ag. NIP. 150290160
ABSTRAKSI Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang sebaik-baiknya dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah dan tercipta dalam keadaan suci, apabila pada akhirnya manusia itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi maka itu adalah tanggung jawab dari orang tuanya. Manusia diciptakan oleh Allah terbagi menjadi dua unsur yaitu jasmani dan rohani serta membawa sifat-sifat yang spesifik yang membedakan antara dirinya dengan manusia yang lain yang pada akhirnya ketika dia tumbuh dan berkembang hal ini menjadi identitas bagi dirinya sekaligus untuk melakukan proses aktuialisasi diri. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia terbagi atas lima hal yang tersusun secara piramidal yang berguna untuk membentuk kepribadian. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah, kebutuhan faali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Hampir semua manusia menurut Maslow mampu memenuhi kebutuhan faali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, tetapi tidak semua manusia dapat memenuhi kebutuhan akan akatualisasi diri. Hal ini tentu saja akan menghambat pembentukan kepribadian individu tersebut, apabila kebutuhan ini terhambat dapat mengakibatkan adanya metapatologi, dimana seseorang dapat mengalami penyimpangan-penyimpangan kepribadian. Aktualisasi diri tidak dapat tercapai oleh semua orang dikarenakan biasanya individu tersebut mengalami ketakutan, keraguan yang berasal dari dalam dirinya, bisa juga akibat dari kebutuhan rasa aman yang kuat dari dalam individu itu sendiri dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Kemudian permasalahan yang ada adalah bagaimana konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dalam membentuk kepribadian, serta bagaimana jika dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam? Tujuan yang hendak dicapai penulis adalah mendiskripsikan pembentukan kepribadian Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam Metode yang penulis gunakan adalah mendeskripsikan pemecahan masalah dengan menggambarkan objek penelitian saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak. Berdasarkan paparan di atas maka bimbingan dan konseling islam diharapkan mampu mendorong atau menciptakan klien untuk menuju pada taraf pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri, sehingga segala potensi yang ada pada individu atau klien dapat terungkap dan tersusun secara sempurna sehingga tercipta suatu kondisi kepribadian yang efektif dan sempurna (kaffah). Berdasarkan pada hasil paparan data-data yang telah dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam terlihat bahwa konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dapat digunakan dalam membentuk kepribadian secara islami, sehingga terbentuk kepribadian yang sempurna yang efektif dalam memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai tuntunan ajaran agama islam.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul Konsep Aktualisasi Diri Abraham. H. Maslow dan Korelasinya dalam Membentuk Kepribadian (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam). Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan mencapai derajat kesarjanaan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuangannya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik, dan karena itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik. 2. Bapak Drs. H. Aminuddin Sanwar, MM., selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Ibu Dr. Hj. Ismawati M.Ag dan Bapak Abdus Satar M.Ag selaku pembimbing skripsi yang dengan segala kebaikannya, kesabarannya telah membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademika Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi ilmu, pelayanan dan pengalaman selama dalam kuliah. 5. Ayah, Ibunda tercinta serta adik-adikku yang telah memberi dorongan baik materiil maupun moral dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Semua pihak, terutama sahabat-sahabatku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Semoga kebaikan dan keikhlasan mereka yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang setimpal dan berlipat ganda dari Allah SWT, jazakumullah khairan katsira. Meskipun
penulis
telah
berusaha
semaksimal
mungkin
dalam
penyusunan skripsi ini, akan tetapi sudah barang tentu dalam penulisannya masih banyak kekurangan mengingat kemampuan dan keterbatasan penulis. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, penulis senantiasa mengharap kritik kontruktif dan saran inovatif demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca. Amin ya Rabbal 'ALamin.
Semarang, 30 Januari 2006
Penulis
Motto
Persembahan
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Abahe 2. Bapak dan Ibu yang selalu mendidik dan memberi dorongan sehibngga selesainya skripsi ini 3. Kepada adik-adik penulis yang selalu membantu sehingga terselesainya skripsi ini. 4. Den I U
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iv HALAMAN ABSTRAKSI ............................................................................... v HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi MOTTO
..................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. ix HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... x BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1 B. Permasalahan ....................................................................... 6 C. Tujuan Dan Signifikansi Penelitian ........................................ 6 D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7 E. Kerangka Teori ....................................................................... 9 F. Metodologi Penelitian.. ........................................................... 14 G. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II
: AKTUALISASI DIRI,
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN,
SERTA , DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM A. Pengertian Aktualisasi Diri................................................... 18 B. Pengertian Pembentukan Kepribadian ................................ 19 B.1 Pembentukan dan Perkembangan Kepribadian .............. 22 B.2 Kepribadian Muslim ....................................................... 24 B.3 Proses Pembentukan Kepribadian Muslim ..................... 28 C. Bimbingan dan Konseling Islam............................................. 30 a. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling Islam .................... 31 b. Fungsi dan Tujuan Konseling Islam................................. 34 D. Dakwah .................................................................................. 35 a. Unsur-unsur Dakwah ....................................................... 36
BAB III : KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW A. Biogarafi Abraham Maslow ................................................. 40 B. Hambatan-Hambatan dalam Aktualisasi Diri Abraham Maslow ................................................................. 44 C. Pembentukan Kepribadian Menurut Abraham Maslow ......... 46 BAB IV
: ANALISIS Aktualisasi Diri Maslow dan Pembentukan Kepribadian Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam................................... 54
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 60 B. Saran-saran ............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. (Depag, 1989 : 1076). Manusia dilahirkan dalam keadaan ”fitrah” (suci) seperti kertas kosong. Siapapun yang mau membentuk atau menggambar dalam kertas kosong itu, maka dia akan membuat manusia itu seperti yang diinginkannya. Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:
ﻦ ﺎ ِﻣ ﻣ: ﻢ ﺳﹶﻠ ﻭ ﻋﻠﹶﻴ ِﻪ ﺻﻠﹶﺊ ﺍﷲ ﻧِﺒﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﺙ ﺪ ﹸ ﳛَ ﺮ ﹶﺓ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻳ ﺮ ﻲ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ ﻭ ﺮ َ ﺍ ِﻧ ِﻪ ﹶﺍﻨﺼﻳ ﻭ ﺩ ﺍ ِﻧِﻪ ﹶﺍ ﻬﻮ ﻳ ﻩ ﺍﺑﻮ ﺮ ِﺓ ﹶﻓﹶﺎ ﻰ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﹾﻄ ﻠ ﻋﻮ ﹶﻟﺪﻮ ٍﺩ ﺍﹶﻻ ﻳ ﻮ ﹸﻟ ﻣ ﺤ ِ ﻫ ﹾﻞ ﺗ ,ﺎ ًﺀﻤﻌ ﺟ ﻤ ﹰﺔ ﻴﻬ ﻤﺔﹸ ِﺑ ﻴﺒ ِﻬ ﺍﻟﺘﺞﻨﺎ ِﻧ ِﻪ ﻛﹶﻤﹶﺎ ﺗﺠﺴ ﺪ ﺟ ﻦ ﺎ ِﻣﻴﻬﻮ ﹶﻥ ِﻓ ﺴﻨ ﻤ ﻳ (ﺎ ًﺀ )ﺭ ﻭ ﺍ ﻩ ﻣﺴﻠﻢﻋ Artinya: “Tiada manusia dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah( suci ), maka kedua orang tuanyalah yang memepengaruhi anak itu untuk menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, tentu dalam keadaan utuh, maka apakah kamu merasa adanya cacat pada tubuhnya? HR.Muslim" (Hamid, Zainudin, 1966:102). Manusia itu diciptakan oleh Allah dalam struktur jasmani dan rohani. Dia pada saat diciptakan telah membawa sifat-sifat yang sangat spesifik yang membedakan dirinya dengan orang lain, yang nantinya dia akan tumbuh dan
berkembang menjadi identitas bagi dirinya. Sekaligus berguna untuk melakukan proses aktualisasi pada dirinya di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya manusia memerlukan makan,
minum dan lainnya
agar jasmani tumbuh dan berkembang. Pada bagian rohani, manusia sering mengisinya dengan sifat-sifat yang berguna baik kehidupannya baik saat ini atau kelak. Para intelektual muslim sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi ganda (double dimension) yakni rohani dan jasmani yang lahir dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud fitrah disini bukan sekedar bersih dari noda namun dilengkapi dengan seperangkat potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan potensi ini manusia diberi kepercayaan untuk menjadi “kholifah fil ardl”, yang menekankan fungsi-fungsi ke-Tuhanan dimuka bumi (Hasyim, 2002 : vii ). Dalam memerankan fungsi ke-Tuhanan-Nya dibumi, manusia tidak mungkin bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia memerlukan bantuan orang lain. Oleh karenanya selain dia sebagai makhluk individu dia juga hidup sebagai makhluk sosial sehingga kehidupannya berjalan selaras dan serasi sesuai dengan norma yang ada. Manusia yang mampu menjalin hubungan dengan manusia lain adalah manusia yang memiliki kepribadian yang baik, sebab dalam diri manusia itu terdapat sifat-sifat keluhuran, kebaikan yang berguna didalam kehidupannya. Pribadi yang baik lebih mudah diterima di masyarakat daripada pribadi yang kurang baik. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih cenderung
berhati-hati terhadap kedatangan anggota masyarakat lain sebab masyarakat khawatir bila anggota masyarakat itu datang dengan kepribadian yang kurang baik dan orang itu dapat membawa dampak yang ditanggung oleh seluruh anggota masyarakat lainnya. ( Kartono 2001 ; 229 ). Pada hakikatnya manusia memiliki nilai intrinsik yaitu potensi kebaikan yang membuat keberadaanya dihargai ditengah-tengah masyarakat. Menurut Maslow manusia didalam kehidupannya memiliki kebutuhankebutuhan yang bertingkat-tingkat dari mulai kebutuhan fa’ali, kebutuhan akan rasa aman, rasa cinta dan memiliki, harga diri dan
aktualisasi diri
sebagai kebutuhan paling puncak yang dimiliki manusia. (Hasyim, 2002 : 70, 71).
Kebutuhan yang pertama yaitu kebutuhan fa’ali (fisiologis) dalam
memenuhi kebutuhan ini sering manusia membutuhkan makan, minum, berkembang dan lain sebagainya. (Craps, 1993 : 160). Kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan akan rasa aman dari rasa cemas, takut, teror, kekalutan mental dan lain-lain. Dalam memenuhi kebutuhan ini biasanya manusia sering memenuhinya dengan menyewa securities atau untuk menghindari kekalutan mental terkadang manusia sering berwisata dan sebagainya. (Poduska, 1997 : 132). Kebutuhan selanjutnya, kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan adanya rasa cinta dan memiliki. Setelah kebutuhan ketiga tersebut terpenuhi, kebutuhan yang keempat adalah kebutuhan akan harga diri, dimana manusia cenderung ingin nama baik, ketenaran dan kemuliaan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut didasari atas motivasi yang ada pada dirinya. (Najati, 1982 : 10).
Selain kebutuhan diatas, menurut Maslow manusia belum merasa puas bila kebutuhan akan adanya dirinya belum diakui oleh masyarakat. Oleh karena itu manusia memerlukan kebutuhan yang terakhir atau yang kelima yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, diakui oleh masyarakat dimana dia tumbuh. Bila keempat kebutuhan-kebutuhan diatas didasari akan motivasi kebutuhan-kebutuhan dasar, maka kebutuhan yang ke-lima ini yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri dimotivasi oleh kebutuhan yang bernilai tinggi yang dikenal dengan istilah metamotivasi1 atau b-values (being values). (Hasyim, 2002 : 169 ). Orang yang telah tumbuh dewasa dan masak secara penuh adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu dengan konsentrasi penuh dan mencapai apa yang disebut sebagai manusia yang sempurna (insan kamil)2. (Hidayanti, 2004 : 81 ). Kebutuhan akan aktualisasi diri ini didorong motif perkembangan yang tidak bersifat hierarkis sebagaimana kebutuhan dasar manusia, meskipun
1
Terdiri dari dua kata yaitu meta dan motive. Menurut Sudarsono kata meta bisa berarti kajian tentang karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh obyek yang dikaji. Sedang motive menurut Caplin memiliki empat pengertian yaitu; a.suatu variabel penyelang yang ikut campur tangan yang digunakan untuk menimbulkan factor-faktor tertentu didalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan menuju kepada suatu sasaran. b.suatu keadaan ketegangan didalam individu yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada sasaran atau yang dituju. c.alasan yang disadari atau yang tidak disadari yang diberikan individu bagi tingkah lakunya. d.dorongan( drive ) perangsang, rangsangan. 2 Menurut Amin Syukur insan kamil diartikan sebagai manusia yang sempurna, bukan saja memiliki ketaatan pada Allah tetapi juga mengenal dirinya sendiri dan membuat relasi yang baik antar sesamanya dan lingkungannya, dia mengerti antara yang hak dan yang batil, sehingga perbuatannya selalu terarah untuk mencapai keridhan Allah meski dalam kondisi kehidupan seperti apapun.
demikian bila kebutuhan ini terhambat atau tidak terpenuhi akan mengakibatkan metaphatologi3. (Hasyim, 2002 : 80 ). Meskipun manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara sehat namun tidak semua dapat mencapai aktualisasi diri. Mengapa demikian? Karena sebagian manusia ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada mereka terlihat takut terhadap persaingan, mereka khawatir kalau persaingan itu dapat merugikan diri mereka sendiri. Adapula yang takut melangkah untuk mengaktualisasikan segala yang ada pada diri mereka karena adanya pengalaman masa lampau yang mungkin membuat mereka trauma disinilah Bimbingan dan Konseling Islam berperan sebagai mana fungsi dari bimbingan konseling yaitu fungsi preventif, kuratif, dan development. Dengan ketiga fungsi ini konselor mampu membina klien sehingga klien mampu sembuh dari rasa trauma yang pernah terjadi pada mereka
sehingga
klien
mampu
mengaktualisasikan
dirinya
dan
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya sesuai dengan Al Quran dan sunah Rasul serta mencegah klien dari prasangka buruk pada sesana manusia dan Tuhannya. Untuk kajian tentang tahapan kebutuhan manusia Abraham Maslow adalah tokoh filsafat yang sangat populer. Bahkan secara tegas, dia menyatakan bahwa manusia dianggap sempurna bila telah mencapai tahapan kelima, aktualisasi diri.
3
Menurut Sudarsono,pathologi adalah istilah dari cabang-cabanhg ilmu biologi yang mengangkut penyimpangan-penyimpangan dari suatu penyakit yang bersifat anatomis, fisiologis, psikologis, menyangkut studi yang bersifat tidak normal.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membahas lebih lanjut tentang konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya dalam membentuk
kepribadian.
Penulis
mencoba
melakukan
penelitian
menggunakan tema tersebut dengan berupaya melakukannya dalam perpektif Bimbingan Konseling Islam . B. PERMASALAHAN Pokok permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya dalam membentuk kepribadian? 2. Bagaimana pula artikulasinya bila dianalisis dengan perpektif Bimbingan dan Konseling Islam? C. TUJUAN DAN SIGNIFIKASI PENELITIAN 1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: b. Untuk mendeskripsikan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dalam membentuk kepribadian. c. Untuk mendeskripsikan pembentukan kepribadian ala Abraham Malow dalam perpektif Bimbingan dan Konseling Islam. 2. Signifikansi yang akan dicapai adalah: a. Secara teoritis mampu menambah hasanah ilmu yang berkaitan dengan Bimbingan dan Konseliung Islam dan untuk memperluas cakrawala pengetahuan tentang konseling bagi peneliti dan mahasiswa Fakultas Dakwah pada umumnya.
b. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan peneliti dan mahasiswa di dalam memahami pembentukan kepribadian manusia berdasarkan Bimbingan dan Konseling Islam. D. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan eksplorasi yang penulis lakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan antara lain kesehatan mental dan urgensinya bagi integritas kepribadian (kajian pemikiran prof. Dr. Abdul Aziz Al - Qudsi) yang dilakukan oleh Barokah. (Arbaiati, 2000 : 65). Penelitian ini berisi tentang ilmu kesehatan mental. Di dalamnya dijelaskan bahwa kepribadian akan dianggap kuat apabila unsurunsurnya mengarah pada satu tujuan dalam hidup yang muaranya adalah integritas kepribadian. Karya lain mengenai pembentukan kepribadian muslim seperti yang dikemukakan oleh Handayani. (2004 : 66) yang berjudul: Konsep fitrah AlGhazali dan implikasinya dalam pembentukan kepribadian muslim. Tulisan ini membahas tentang sifat fitrah manusia yang dianggap sebagai sifat bawaan atau potensi dasar yang melekat pada diri manusia tersebut, kadang disebut juga fitrah Ke-Tuhanan. Konsep fitrah tersebut memiliki beberapa susunan sifat manusia antara lain sifat-sifat binatang liar (sabu’iyahi), sifat binatang (bahimiyah), sifat-sifat syaithoniyah dan sifat-sifat rabaniyah. Implikasi konsep fitrah menurut Al-Ghazali terhadap pembentukan kepribadian muslim adalah fitrah tentang Ke-Tuhanan (Rabbaniyah) yang mampu mendominasi
dibanding
dengan
konsep
fitrah-fitrah
lainnya.
Sehingga
terbentuk
kepribadian yang selaras dengan enam potensi keimanan dan lima potensi keIslaman. Ajijah (2002 : 25)
dalam penelitiannya yang berjudul: konsep
humanisme dalam da’wah dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik antar umat beragama menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kepribadian yang sangat komplek. Manusia dianggap sebagai mahluk tertinggi, independen, sadar dan mampu menyadari dirinya, bermoral serta kreatif. Hanya cara humanislah yang dapat merubah manusia menjadi lebih baik. Sementara itu Munandziroh (2002 : 68-71) dalam skripsi yang berjudul: prinsip pendidikan akhlak dan aktualisasinya dalam pembinaan kepribadian: kajian surah Al-hujurah ayat 1 – 13 menyatakan bahwa aktualisasi ini dapat ditunjukkan dengan perwujudan taqwa pada Allah, taat pada rasulnya, membina ukhuwah Islamiyah dan melakukan perbuatan yang mengandung akhlak terpuji. Demikian pula Muhammad (2002 : 13) dalam: dialog antara tasawuf dan psikologi menyatakan bahwa manusia dalam pandangan tasawuf dan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow adalah sama. Artinya ketika manusia sudah
mendekati
(selfactualization),
atau
memenuhi
manusia
kebutuhan
mencapai
eksperience) yang merupakan puncak
akan
pengalaman
aktualisasi puncak
diri
(peak-
teori Abraham Maslow. Ini hanya
dapat terjadi ketika manusia sedang mengalami ekstase, perasaan bersatunya
diri seseorang selaku mikro kosmos dengan alam raya(makro kosmos). Dalam terminology tasawuf ini merupakan tujuan akhir dari pencarian kebenaran, yaitu penyatuan antara tiga realitas kosmos (mikro kosmos, makrokosmos dan metakosmos) yang diistilahkan dengan tauhid Sedang Heraty (2004) dalam psikologi sains dalam memahami individu seseorang akan terasa lebih mudah apabila semua itu dilihat dari pandangan sains, Sebab sains, tambahnya adalah dasar segalanya dalam memahami segala sesuatu termasuk tentang kepribadian. Menurut Iman dalam bukunya yang berjudul: Motivasi Dan Kepribadian. Buku ini terdiri dari dua seri. Pada seri satu ia menjelasakan bahwa motivasi yang dibentuk berdasarkan teori Abraham Maslow bisa terjadi bila menggunakan pendekatan-pendekatan tentang teori herarkis kebutuhan secara bertingkat. Sedang pada buku seri kedua ia menyatakan motivasi dan kepribadian bisa terbentuk bila orang itu mampu mewujudkan diri. Sedangkan yang membedakan antara penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian yang sudah penulis cantumkan diatas adalah bahwa penelitian yang penulis lakukan mencoba melihat konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam. Sejauh ini penelitian serupa belum pernah dilakukan. E. KERANGKA TEORI Menurut asal katanya aktualisasi diri terdiri dari kata aktualisasi dan kata diri. Menurut Purwodarminto (1976 : 253), aktualisasi adalah munculnya
atau terungkapnya suatu keadaan terselubung, sedangkan menurut Sudarsono (1993 : 81) yang disebut diri adalah seseorang atau orang (terasing dari yang lain). Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161). Menurut Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan aktualisasi diri adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna dengan cara yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk kepribadian yang memiliki karakteristik yang unik. Sigmund freud menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri atas dua bagian yang pertama, yaitu internalisasi yang terdiri atas tiga bagian yaitu, id,ego dan super ego. Bagian kedua adalah yang disebut sebagai identifikasi dimana melalui proses identifikasi ini manusia dapat melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. (Nugroho, 2002 ; 33). Secara historis etimologi perkataan persona berarti topeng yang dipakai dalam sandiwara yunani yang digunakan oleh pemain-pemain drama bangsa romawi 100 tahun sebelum masehi. Secara teologis kepribadian itu menjelaskan tentang sesuatu yang lahiriah menjadi sesuatu yang ruhaniyyah, substansial, essensial dan inner nature. Kepribadian itu menerangkan masing-
masing aspek dari pada kepribadian, dimana Tuhan (a deity)
4
sebagai causa
prima dan causa finalis (sebab utama dan sebab terakrir) dari pribadi manusia. (Patty et.al, 1982 143, 146). Menurut Allport kepribadian adalah organisasi dinamis dari pada sistem-sistem rohani dan jasmani (psycophysical )yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya. (Purwanto, 1993 : 140). Adler menyatakan dalam kepribadian yang sehat terdapat tiga fokus kegiatan yang utama yaitu; masyarakat, kerja dan seksualitas dengan dua tantangan hidup lainnya yaitu spiritualitas dan bagaimana menangani ego. (Nugroho, 2002 ; 33). Menurut aliran psikologi kognitif yang dimaksud kepribadian adalah interaksi silih berganti antara determinan kognitif, prilaku, dan lingkungan. (Wilcox, 2003:206). Menurut Darojat (1982 : 16) kepribadian bersifat abstrak, yang dapat diketahui adalah penampilannya atau bekasnya dalam kehidupan misalnya dalam tindakan, ucapan, cara bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan baik ringan maupun berat. Karena pada dasarnya kepribadian adalah perhelatan antara fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk karakter yang unik dalam penyesuaian dengan lingkungannnya. (Najati, 1985 : 240 ). Manusia dalam meraih keluhuran pribadinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang melingkupinya termasuk agama. (Purwanto, 1993 : 156 ). 4
Menurut Jhon Echol dalam kamus bahasa inggris - indonesia, 1996, p – 172 berarti dewata, dewa.
Menurut Arifin (1987 : 173 ) kepribadian samawi atau Islami adalah suatu prilaku lahiriah dan batiniah manusia yang berbeda dalam nilai keTuhanan yang positif yang berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup didunia dan akherat. Sedang menurut Anshari (1993 : 88) kepribadian muslim adalah manusia yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah, beramal sholeh dan berakhlakul karimah. Dengan demikian seseorang bisa dikatakan memiliki kepribadian muslim, apabila seseorang tersebut dalam kehidupannya selalu mengerjakan perbuatan–perbuatan yang terpuji yang didasari dengan nilai-nilai iman pada Allah dan dalam kehidupannya selalu berorientasi kepada kebahagiaaan dunia dan akhirat. Bimbingan dan konseling merupakan perubahan bahasa dari inggris guidance and counseling. Pertama-tama di indonesia counseling dianggap sebagai penyuluhan sehingga sering terdengar adanya bimbingan dan penyuluhan. Beberapa tahun kemudian pengertian ini sering menimbulkan kerancuan dan tidak bisa dibedakan antar penyuluhan yang berbentuk konseling dengan penyuluhan pertanian, kesehatan, keluarga berencana dan lain-lain, Sehingga untuk menghindari kerancuan tersebut counseling kemudian dikenal dengan istilah konseling. (Musnamar, 1992 : 3). Kegiatan bimbingan
pada dasarnya adalah merupakan pemberian
bantuan yang diberikan seseorang ahli kepada individu atau beberapa individu (klien) degan memanfaatkan kekuatan dan sarana yang ada
dan dapat
dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. (Erman Amti, 1999 : 99). Sedang yang disebut sebagai konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui proses wawancara konseling oleh seorang ahli (Konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien. Tujuannya agar klien dapat mengembangkan diri yang mengacu pada perubahan kearah yang lebih positif. (Prayitno dan Erman Amti , 1999 : 105,113). Prinsip sebenarnya dari konseling adalah pengentasan masalah yang diderita klien dengan cara cepat, cermat dan tepat. (Prayitno dan Erman Amti, 1999 : 214). Menurut Adz-Dzaki (2002:180) konseling adalah aktifitas pemberian nasehat yang berupa anjuran–anjuran dan saran-saran dalam bentuk pembicaraan yang komunikatif antar konselor dan klien (konseli). Jadi konseling sifatnya hanyalah pemberian nasehat-nasehat kepada klien yang diberikan oleh konselor
yang data-data dari pemberian nasehat tersebut
berasal dari masalah klien yang diperoleh melalui proses wawancara konseling. Yang dimaksud dengan Bimbingan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan kepada klien agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah sehiungga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi dari Bimbingan dan Konseling Islam yaitu kuratif, preventif,
preventif dan
development. Secara kuratif Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan mampu memecahkan masalah yang dihadapi klien sesuai dengan Al - Quran
dan sunah Rasul. Secara preventif diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam mampu mencegah timbulnya masalah pada klien sesuai dengan Al - Quran dan sunah Rasul, sedangkan secara preventif dan development diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam mampu memelihara supaya keadaaan yang sudah baik yang ada pada diri kien tidak kembali pada keadaan yang kurang baik seperti sebelumnya. (Rakhim, 2001 : 3, 4). Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis dan metode penelitian Ada beberapa jenis pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: filosofis, sosiologis dan psikologis. Pendekatan Filosofis, digunakan dalam konteks filsafat yang mengacu pada hakikat manusia dengan landasan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitroh, memiliki kebutuhan naluri keagamaan. Sehingga manusia dipandang sebagai makhluk yang biopsikososioreligius. Selain itu Abraham Maslow juga seorang tokoh filsafat. Jadi, untuk memahami konsep-konsepnya pendekatan ini diperlukan.
Pendekatan Sosiologis pada dasarnya digunakan dengan pertimbanagn bahwa manusia adalah makhluk hidup yang hidup pada masyarakat tertentu. Untuk memahami dan memenuhi kebutuhannya maka pendekatan ini diperlukan untuk mengetahui permasalahan yang ada dan mencari solusinya. Sementara pendekatan Psikologis digunkan karena kepribadian pastilah dimiliki setiap manusia segala potensinya. Dengan pendekatan ini dapat diketahui keadaan psikologi manusia sehingga diharapkan dia dapat hidup sebagaimana mestinya. Selain itu pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan suatu keadan psikologis manusia yang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dan juga dampak yang harus ia terima serta untuk mengetahui yang menjadi penyebab mengapa dirinya tidak mampu mengaktualisasikan dirinya. 2. Sumber dan jenis data Sumber dan jenis data yang penulis dapatkan dalam penelitian ini sepenuhnya berasal dari data-data tertulis yang secara klasifikatif ada dua jenis yaitu sumber primer dan sekunder yaitu: Sumber dan jenis data primer didapat dari pendapat Abraham Maslow tentang aktualisasi diri yang ada dalam buku-bukunya dan karya-karya ilmiah lainnya. Buku-buku yang pernah dibuatnya diantaranya adalah Toward a Psychology of Being (1962), Religius and Peack Experiences (1964), Eupsychian management; a jurnal (1965), The Psychology of Science; a reconnaissance (1966), Motivasion Personality (1970), The Father reaches of human nature.
Karena kurangnya penguasaan penulis terhadap bahasa
Inggris maka penulis hanya dapat menggunakan sumber buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk mengungkap pemikiran tentang aktualisasi diri Abraham Maslow sebagai sumber data primer. Sementara sumber dan jnis sekunder diperoleh dari berbagai tulisan seseorang mengenai Maslow dan pemikiran-pemikirannya. 3. Tekhnik pengumpulan data Dalam
mengumpulkan
data-data
yang
diperlukan
penulis
menggunakan teknik kepustakaan yaitu penelusuran data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis. (Hadi, 1983 : 9). 4. Analisis data Dalam penelitian ini teknik analis data yang di gunakan oleh penulis adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Consuelo dan Sevilla : 1993 : 71). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Nawawi (1996 : 73) bahwa "metodologi deskriptif "merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak. dalam hal ini tidak hanya penyajian data secara diskriptif tetapi data tersebut dikumpulkan, diolah, dan ditafsirkan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam melakukan penelitian penulis memerlukan tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karena itu penulis menyertakan sistematika dalam penyusunan penelitian, sehingga lebih memudahkan penulis dalam mencapai hasil yang hendak dicapai. Sistematika yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut; BAB. I. Pendahuluan terdiri atas latar belakang, masalah, tujuan dan signifikansi yang penelitian, telaah pustaka terhadap penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan sehingga diketahui perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan, metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian, dan sistematika penulisan laporan. BAB. II. Landasan teori, berisi diskursus tentang obyek penelitian yakni, tentang aktualisasi diri dan kepribadian. Bab ini membahas tentang pengertian aktualisasi diri dan kepribadian serta pengertian tentang Bimbingan dan Konseling Islam dari berbagi ahli dalam membentuk kepribadian. BAB. III. Berisi paparan data dan hasil-hasil eksplorasi kepustakaan yang terdiri atas riwayat hidup Abraham Maslow dan konsep aktualisasi diri menurut Maslow. BAB. IV. Berisi obyek yang menjadi kajian pokok penelitian. Bab ini berisi analisis Bimbingan dan Konseling Islam tentang konsep aktualisasi diri Abaraham Maslow dan korelasinya dalam membentuk kepribadian. BAB. V. Berisi kesimpulan dari hasil-hasil penelitian, saran-saran dari penulis dan kata penutup.
BAB II
AKTUALISASI DIRI, KEPRIBADIAN SERTA BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
A. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI Menurut Goldstein, salah satu pengembang teori organismik menyatakan bahwa aktualisasi diri adalah motivasi utama (dorongan utama individu) yang berarti bahwa manusia terus menerus berusaha merealisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya, dalam setiap kesempatan yang terbuka bagi dirinya. Berdasarkan pada tujuan utama inilah yang nantinya mampu memberikan arah dan kesatuan pada kehidupan seseorang. (Hall: 1993, 74). Menurut Rogers, organisme mempunyai suatu kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mempertahankan dan mengembangkan organisme yang ada disekitarnya. Kecenderungan untuk mengaktualisassikan dirinya ini sangat bersifat selektif, hanya menaruh pada aspek pemenuhan kebutuhan pada lingkungan yang memungkinkan organisme bergerak secara konstruktif. Disuatu fihak terdapat kekuatan yang mengikat dan memotivasikan yakni dorongan untuk mengaktualisasikan diri, sementara di pihak lain hanya ada satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang utuh atau teraktualisasikan dirinya secara penuh. (Hall:2001, 136). Yang menjadi tendensi dasar ini tampak jelas bila individu diamati dalam jangka panjang. Seseorang tidak mungkin dapat mengaktualisasiskan dirinya kalau dia tidak dapat membedakan antara cara-cara progressif dan cara-cara regresif.
Dengan kata lain yang disebut sebagai aktualisasi diri adalah terungkapnya suatu keadan seseorang yang selama ini terselubung atau tersembunyi yang mana suatu saat pasti terungkap dengan sendirinya sebagai tanda atau ciri khas yang membedakan dirinya dengan orang lain. B. PENGERTIAN KEPRIBADIAN Istilah yang dikenal dalam kepribadian diantaranya: 1. Mentality yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental atau intelektual. 2. Individuality yaitu khas seseorang yang menyebabkan seseorang itu berbeda dengan orang lain. 3. Idendity yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat yang mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar. (Purwanto: 1993, 150). Berikut akan dikemukakan beberapa anasir kepribadian antara lain: 1. Menurut Mark Away yang dimaksud dengan kepribadian adalah menilai perangsang sosial seseorang. 2. Menurut Gustav Jung kepribadian manusia dibentuk dan dicetak oleh pengalaman-pengalaman komulatif dari generasi sebelumnya. 3.
Menurut psikologi transpersonal yang dimaksud dengan kepribadian adalah keadaan terhipnotis.
4. Menurut psikosintesis kepribadian terdiri dari sub-sub kepribadian yang berkembang sejak usia dini. (Willcox: 2003, 112). 5. Wetheington menyatakan ciri-ciri kepribadian sebagai berikut:
a. Kepribadian seseorang berubah karena faktor pengaruh lingkungan sosial dan cara belajarnya. b. Kepribadian adalah istilah untuk menyebut tingkah laku seseorang secara terintegrasi dan bukan hanya beberapa aspek dari keseluruhan itu. c. Kepribadian tidak berkembang secara pasif. Setiap orang menggunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. d. Kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang statis, contohnya bentuk badan, ras, tetapi menyatakan keseluruhan kegiatan dari tingkah laku seseorang. e. Kepribadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pikiran orang lain dan fungsi pikiran tersebut ditentukan oleh nilai perangsang seseorang. (Willcox: 2003, 120). 6. Menurut Hall dan Lindzey tidak ada definisi yang pasti tentang kepribadian yang bisa digunakan secara umum. Sebab semua teoritikus melihat kepribadian secara berbeda-beda. Berdasarkan pada nilai-nilai dan gagasan-gagasan mereka sendiri. (Hall: 1993, 202). Menurut Maslow Kepribadian berkembang melalui kematangan dalam lingkungan yang ditunjang oleh usaha-usaha yang aktif pada pihak pribadi yang merealisasikan kodratnya, maka daya-daya kreatif dalam manusia secara lebih jelas. Apabila manusia menderita atau neorotik maka hal itu disebabkan
oleh
lingkungan melalui ketidaktahuan dan patologi sosial atau karena
mereka telah mendistorsikan pikiran mereka. (Willcox: 2003, 109). Maslow melihat pribadi yang sepenuhnya manusiawi adalah orang yang memiliki apa yang ia namakan nilai-nilai ”B atau being (wujud)”; didalamnya termasuk berisi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, keutuhan, transedensi polaritas, kegairahan, keunikan, kesempurnaan, kebutuhan,
perampungan,
keadilan,
keteraturan,
kesederhanaan,
kesemerataan, keagungan, suka bercanda, dan kecukupan diri. Konsep being sangat bertentangan dengan konsep defisiensi yang dialami oleh sebagian besar orang. Dalam konsep defisiensi, organisme bertindak untuk memenuhi kekurangannya agar dapat tehindar dari rasa sakit, sedangkan dalam being sebagian besar kebutuhan organisme dipenuhi dan organisme bertindak untuk menghasilkan kesehatan yang positif. Perspektif defisiensi diwarnai dengan keinginan atau hasrat, sedang being jernih, tak terlibat dan tanpa hasrat. Sebagai contoh kebutuhan akan cinta menjadi kebutuhan defisiensi yang melibatkan cinta yang tamak pada mereka yang tidak memperoleh cinta semasa kanak-kanak. Kekurangan ini merupakan kekosongan yang harus diisi. Bagi orang yang sehat cinta tidak bersifat tidak membutuhkan, tidak egois dan tidak mengekang. (Wilcox: 2003, 219). Sedangkan menurut Murray sangat setuju dengan Freud yang memandang struktur kepribadian tersusun atas tiga hal yaitu: Id, Ego, dan Super ego. Selain itu Muray menambahkan bahwa Id berisi tentang impuls
yang diterima oleh diri maupun masyarakat, semua tergantung pada individu dalam mengontrol Id yang mereka miliki. Super ego menurut Murray bukan hanya faktor penghambat atau penindas tetapi bertujuan untuk memudahkan atau meningkatkan penyaluran impuls tertentu dari Id. Kekuatan dan keberhatian ego merupakan faktor penentu bagi penyesuaian diri sub sistem yang diinternalisasiakan dalam individu yang berlaku sebagai pengatur tingkah laku seperti yang dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. (Hall: 1993, 29). 1. Perkembangan Kepribadian Pembentukan kepribadian merupakan susunan faktor biologis, psikologis dan sosial. Keseimbangan kepribadian sangat ditentukan oleh kemampuan mengintegrasikan ketiga faktor tersebut menjadi bagian integral dari kehidupan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian adalah heredity atau pembawaan, pengalamanpengalaman yang aktual bagi individu dan kebudayaan. Secara heredity dapat dilihat pada anak kembar yang identik dimana faktor hereditas memiliki pengaruh yang signifikan bagi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian. Dengan kata lain lingkungan yang berbeda tidak akan mempengaruhi pada perkembangan kepribadian anak kembar tersebut. Selanjutnya faktor yang berpengaruh pada kepribadian adalah pengalaman dan lingkungan keluarga. Kepribadian pada masa anak-anak sangat dipengaruhi oleh keluarga terutama pada masa bayi (antara usia 0-2 tahun) bahkan pada usia 2-6 tahun inilah disebut-sebut sebagai masa paling
baik untuk membentuk kepribadian. Meski nantinya pada akhir ketika anak sudah tumbuh menjadi remaja kepribadian selalu bereaksi terhadap pengalaman-pengalaman baru menurut pihak kematangan atau kecerdasan tempramennya, tetapi meski demikian reaksi tersebut akan berubah oleh interaksinya dengan orang tua dan lingkungan keluarganya. Faktor ketiga yang sangat mempengaruhi pada pembentukan dan perkembangan kepribadian adalah faktor kebudayaan. Pada umumnya anak memiliki kecenderungan untuk meniru orang tuanya. Melalui peniruan ini anak menyerap sifat-sifat kepribadian dan tidak sedikit menjadi model yang ditiru secara utuh. Inilah awal dari kebudayaan mempengaruhi kepribadian. Kebudayaan dipandang sebagai hal yang dapat mempengaruhi kepribadian selama kebudayaan itu berlangsung secara terus-menerus dalam waktu lama. (Azhari: 2000, 167,169). Sementara itu kepribadian yang sehat menurut Maslow dalam Kartono et al. (1989, 8-10) menyatakan bahwa: a. Memiliki rasa aman yang tepat: mampu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, di tengah pergaulan dan dalam lingkungan keluarga. b. Memiliki penilaian diri dan wawasan yang rasional, dengan rasa harga diri yang cukup dan tidak berlebihan. c. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat. d. Mempuinyai kontak degngan realitas secara efsien, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan.
e. Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan mampu memuaskan dengan cara yang sehat, teapi dia tidak bisa diperbudak oleh nafsunya. f.
Mempnyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaraan yang tinggi.
g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri. h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya. i.
Ada kesanggupan untukl memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan kelompoknya.
j.
Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya, tetapi dia memiliki individualitas yang khas.
k. Ada integrasi dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan, unsur jasmani dan rohaninya. 2. Kepribadian Muslim Dalam Al-Qur’an manusia secara akidah terbagi menjadi tiga golongan yaitu mu’min (beriman), kafir, dan munafik. Antara ketiga golongan ini manusia memiliki sifat utama yang membedakan antara golongan satu dengan golongan yang lainnya. Pembagian ini sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian manusia, membentuk sifat-sifat yang khas dengan mengarahkan tingkah laku kepada suatu arah tertentu. Dalam Al-Qur’an diuraikan faktor utama dalam menilai kepribadian adalah dengan melihat
akidahnya. Dalam hal ini penulis membatasi penjelasan hanya pada orangorang yang beriman. Orang-orang yang beriman (muslim) banyak disebut Allah dalam banyak ayat dalam sebagian besar Al-Qur’an sebagai orang yang senang beribadah baik hubungan dengan keluarga, masyarakat, cinta pada ilmu pengetahuan, dalam mencari rizki. Sifat orang beriman menurut Najati (1985, 255-260) menyatakan bahwa kepribadian orang-orang yang berkepribadian muslim dapat diklasifikasikan dalam bidang perilaku yang pokok: a. Sifat yang berkenaan dengan akidah yaitu beriman pada Allah, para Rasul, Kitab, Malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surga dan neraka, hal yang gaib, dan qadar. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 285:
Artinya: ” Rasul telah beriman pada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya(mereka mengatakan) ”kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun(dengan yang lain) dari Rasul-rasul-nya” ampunilah kami ya Tuhan dan kepada engkau kami kembali”. (Depag: 1989, 72). b. Sifat
yang
berkenaan
dengan
ibadah
yaitu
menyembah
Allah,
melaksanakan kewajiban-kewajiban sholat, berpuasa, zakat, haji, berjihad
di jalan Allah, memohon ampun kepada-Nya, berserah diri, dan membaca al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Bayyinah ayat 5:
Artinya: ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan demikian itulah agama yang lurus”. (Depag: 1989, 1084). c. Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang lain, dermawan dan suka berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lainlain. d. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu: berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan isteri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Bani isra’il ayat 23:
Artinya: ”Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan Tuhanmu memerintahkan hendaklah kau berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu dari keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”. Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang baik”. (Depag:1989, 427). e. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka memiliki sifat sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati
janji, merendahkan diri, menjauhi dosa, teguh dalam melaksanakan kebenaran, dan mengendalikan hawa nafsu. f. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa cinta pada Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan kepada sesama. g. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam semesta, memikirkan
ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak
mengikuti sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas, bebas dalam berfikir dan berakidah. h. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam upaya memperoleh rizki. i. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki fisik kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis. Kepribadian muslim tidak terlepas dari sifat-sifat tersebut. Tetapi, sifat-sifat tersebut saling berinteraksi dan saling menyempurnakan. Oleh karena itu tingkah laku seorang muslim selalu tampak bersih, serasi baik dalam hubungan dengan Tuhannya ataupun dengan orang lain. Sifat-sifat yang berkenaan dengan akidah mempunyai peran utama dalam mengarahkan tingkah laku seseorang dalam kehidupannya. Seorang mu’min yang kuat, bertaqwa kepada Tuhannya, maka hubungan antara dirinya sendiri dan orang
lain ia selalu akan mencari ridho Allah dan mengharapkan pahalanya, takut akan amarah dan azabnya. Sehingga pengendalian dirinya sikapnya yang baik pada orang lain dan kecintaannya, berbuat kebajikan kepada mereka semua dan ketulusannya dalam bekerja semuanya merupakan ibadah bagi-Nya. (Najati: 1985, 260). 3. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim Menurut Marimba (1989, 77-80) bahwa proses terbentuknya kepribadian muslim terdiri atas tiga tahapan tersebut penulis jabarkan sebagai berikut: a. Pembiasaan. Pembiasaan ini sesuai dengan salah satu dasar perkembangan manusia. Pembinaan yang lebih banyak memerlukan tenaga kepribadian yang lebih rendah (jasmaniah) akan lebih mudah dan lebih dahulu dapat mulai dilaksanakan daripada tenaga-tenaga yang lebih tinggi (rohaniah). Tujuannya terutama membentuk aspek jasmaniah dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat mempergunakan
dan mengucapkan sesuatu dengan mengontrol dan
tenaga-tenaga
jasmaniah
dan
dibantu
tenaga-tenaga
kejiwaan. b.
Pembentukan pengertian, sikap dan minat. Pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan
dalam taraf ini perlu ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat hubungannya dengan kepercayaan. Hal ini perlu mempergunakan tenaga-
tenaga kejiwaan: karsa, rasa, dan cipta, dimana dasar-dasar tersebut dalam pembinaan Islam meliputi: 1).
Mencintai Allah.
2).
Mencintai dan membenci karena Allah.
3).
Mencintai Rasul.
4).
Ikhlas dan benar.
5).
Taubat dan sabar.
6).
Takut akan Allah.
7).
Berharap pada Allah.
8).
Bersyukur dan menepati janji.
9).
Tawakal dan ridho pada qadla.
10). Menjauhi ’ujub dan takabur. 11). Mengharap rahmat dan syafaat. 12). Menjauhkan dendam, dengki, marah, tipuan. 13). Suka memberi maaf. c. Pembentukan kerohanian yang luhur. Dalam taraf ketiga ini dengan cara menanamkan kepercayaan yang tercakup dalam rukun iman. Dalam pembentukan ini tenaga budi dan tenaga kejiwaan sebagai pencapaiannya bisa terjadi setelah kedewasaan rohaniah tercapai.
C. Bimbingan Dan Konseling Islam Bimbingan dan konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu hidup selaras dengan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kehidupan dunia dan akhirat (Rakhim: 2001, 4). Sedangkan menurut Hallen (2002, 23) bimbingan dan konseling Islam adalah usaha membantu indiividu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari perannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk mengubah atau mengabdi kepada Allah yang pada akhirnya tercipta hubungan yang baik dengan Allah, manusia dan alam semesta. Menurut Hasanah (2004, 48) bimbingan dan konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan kepada individu baik yang sedang mengalami masalah dengan cara yang mandiri, individu mampu dan memiliki, agar supaya senantiasa selaras dengan petunjuk Allah, sehingga dengan cara yang mandiri individu mampu memecahkan masalahnya serta mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
1. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam. Menurut Hallen (2002, 63-74) menyatkan bahwa asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam terdiri atas: a. Asas kerahasiaan. Apapun yang terjadi pembicaraan antara konselor dan klien yang terjadi dalam proses wawancara konseling kerahasiaannya perlu dijaga dan dihargai. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu maupun sesudah wawancara konseling perlu disimpan dengan baik dan dijaga kerahasiaannya. Hal ini sebagai firman Allah alam surat Al-Mu’minun ayat 8:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat(yang dipikulnya) dan janjinya. (Depag: 1989, 527). b. Asas kesukarelaan. Dalam proses konseling tidak pernah ada keterpaksaan baik yang dialami oleh klien maupun konselor oleh karena itu perlu diadakannya kerja sama antara konselor dan klien sehingga tercipta suasana yang sukarela bukan keterpaksaan. c. Asas keterbukaan. Antara konselor dan klien harus ada sikap saling membuka diri, tidak dibuat-buat sehingga apa yang menjadi proses bimbingan dan konseling dapat tercapai dengan baik. d. Asas kekinian. Masalah yang dihadapi oleh klien bisa terjadi pada masa lalu sekarang dan masa yang akan datang sehingga ia lupa apa yang harus ia kerjakan
dengan hal ini maka konselor diharapkan mampu mmemecahkan masalah yang dihadapi oleh klien pada saat sekarang. e. Asas kemandirian. Pada tahap awal konseling, biasanya klien lebih tampak tergantung kepada konselor hal ini karena konselor selalu menanggapi dan merespon apapun yang terjadi pada klien. Oleh karena itu konselor harus menumbuhkan sikap kemandirian yang ada pada diri klien. f. Asas kegiatan. Dalam proses kegiatan ini konselor diharapkan mampu memberikan tugas-tugas kepada klien yang tugas-tugas tersebut oleh klien harus diselesaikan demi terciptanya tujuan bimbingan dan konseling yang telah ditetapkan. g. Asas kedinamisan. Keberhasilan usaha pelayanan dan bimbingan konseling ditandai dengan perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik, oleh karena itu perlu adanya kerja sama antara konselor dan klien secara dinamis sehingga dapat menimbulkan sikap yang lebih baik pada diri klien h. Asas keterpaduan. Konselor harus pandai menjalin kerjasama dan saling mengerti serta saling membantu demi terbentuknya penyelesaian masalah klien. i. Asas kenormatifan. Disadari atau tidak bahwa konselor dalam proses bimbingan dan konseling akan menyertakan norma-norma yang dianutnya dalam hubungan
konseling, baik secara langsung atau tidak. Tetapi harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai atau norma-norma yang ia anut pada klien. j. Asas keahlian. Untuk menjamin keberhasilan usaha bimbingan dan konseling maka para konselor harus medapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadahi. Pengetahuan, keterampilan, sikap dan kepribadian yang ditampilkan oleh konselor akan menunjang hasil konseling. k. Asas alih tangan. Berhubung masalah yang dihadapi klien adalah unik disamping pengetahuan dan keterampilan yang dimilki oleh konselor juga terbatas ada kemungkinan bahwa masalah yang dihadapi oleh konselor belum dapat diatasi oleh konselor tersebut oleh karena itu dalam hal ini konselor perlu mengalih tangankan klien kepada konselor yang lain yang lebih ahli sehingga masalah klien bisa terpecahkan. Bahkan menurut Prayitno seperti yang dikutip oleh Hallen (2002) menyatakan bahwa pengalihtanganan seperti ini adalah wajib artinya masalah klien tidak boleh terkatung-katung oleh konselor yang terdahulu. l. Asas tut wuri handayani. Sebagai mana diketahui bahwa proses bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematika dan berencana, sengaja, terus-menerus dan terarah kepada satu tujuan. Oleh karena itu pelayanan dan bimbingan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada saat
klien mengalami masalah dan dihadapkan pada konselor saja. Kegiatan bimbingan dan konseling harus senantiasa diikuti terus-menerus dan aktif sampai sejauh mana klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan. 2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam Secara umum bimbingan dan konseling memiliki tiga fungsi yaitu fungsi preventif, kuratif, dan developmental. Fungsi preventif bimbingan dan konseling dapat menghasilkan atau terhindarnya klien dari berbagai macam permasalahan yang mungkin timbul yang dapat mengganggu, menghambat atau menimbulkan kesulitan, kerugian-kerugian tertentu dalam proses perkembangan yang sedang atau sudah dialami oleh klien. (Hallen: 2002, 60). Fungsi kuratif atau teraputik, maksudnya melalui pelayanan secara kuratif ini bimbingan dan konseling diharapkan akan menghasilkan teratasinya masalah yang dialami oleh klien, dalam usahanya membantu memecahkan berbagai masalah klien. Baik secara sifat atau bentuknya (Rakhim: 2001, 6). Fungsi developmental atau pengembangan atau pemeliharaan, dengan fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya dan terbentuknya berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih baik. Klien dalam rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik dan dimantapkan sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan secara optimal (Hallen: 2001, 63).
Sedangkan tujuan dari bimbingan dan konseling Islam adalah terwujudnya diri sebagai manusia yang utuh sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. (Musnamar: 1992, 33). D. Dakwah Pengertian, fungsi dan tujuan dakwah Menurut Sanwar (1984, 3) menyatakan bahwa dakwah adalah suatu usaha dalam proses islamisasi manusia agar taat dan tetap menaati ajaran islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Fungsi dari dakwah adalah menyampaikan ajaran islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasululah bagi umat manusia, seluruh alam, memelihara ajaran tersebut dan mempertahankannya. Sedangkan menurut Tasmara (1997, 38) menyatakan bahwa dakwah adalah suatu proses penyampaian pesan-pesan berupa ajaran islam secara persuasif dengan harapan agar komunikan dapat bersikap dan berbuat amal sholeh sesuai dengan ajaran islam. Sementara menurut Sulthon (2003, 16) menyatakan bahwa dakwah adalah usaha aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Berdasar pada pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa dakwah adalah aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat islam yang disampaikan melalui pesan-pesan berupa ajaran islam yang secara persuasif supaya manusia itu taat dan tetap menaati ajaran islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesanpesan dakwah yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras dengan Al-Qur’an dan Sunah. Unsur-unsur dakwah a. Dai atau subyek dakwah Adalah pelaksana dari kegiatan dakwah baik secara perseorangan atau individu secara bersama-sama terorganisasikan. Dai adalah juru dakwah yang menjadi dai adalah setiap muslim laki-laki, wanita yang baligh, berakal, ulama, atau bukan ulama (Sanwar: 1984, 40-44). Sifat-sifat kesempurnaan dai: 1). Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang menimbulkan prasangka. 2). Cinta perdamaian yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan dan memerangi bidh’ah serta kemungkaran dengan hikmah kebijaksanaan serta nasihat yang baik. 3). Berbudi pekerti dengan sifat-sifat yang terpuji. 4). Mencintai tugas dan kewajibannya serta melaksanakannya dengan penuh ketaatan pada Allah. 5). Selalu mendekatkan diri pada Allah. b. Mad’u (penerima dakwah) Adalah seluruh umat manusia tanpa terkecuali, pria, wanita, beragama atau belum beragama bail pemimpin maupun rakyat biasa. Sanwar (1987, 66).
Menurut Solahudin Sanusi dalam Sanwar (1987, 72-73) membagi mad’u menjadi beberapa golongan diantaranya : 1). Secara biologis melihat struktur masyarakat terdiri atas jenis kelamin dan umur manusia. 2). Secara geografis yaitu melihat masyarakat bedasarkan pada daerah. 3). Secara ekonomi terbagi atas tingkat kekayaan dan pendapatan. 4). Secara agama terdiri atas agama islam, non islam atau yang belum beragama. 5). Berdasarkan pendidikan yaitu pendidikan tinggi, menengah atau rendah. 6). Berdasarkan pada pekerjaan yaitu buruh, petani, pegawai, seniman dan militer. 7). Secara kelompok terdiri atas: a). Secara
primer yaitu keluarga, tetangga, dan juga teman
sepermainan. b). Secara sekunder terjadi karena bersamaan tujuan atau kepentingan yaitu petani, buruh dan pengusaha. c). Secara tersier terjadi karena kebetulan dan bersifat sementara misalnya tim sepakbola. c. Materi dan metode dakwah Materi yang digunakan dalam dakwah adlah al-islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang melipuri akidah, sari’ah, akhlak dan berbagai macam ilmu yang diperoleh darinya. (Bachtiar: 1997, 33-34).
Metode yang digunakan dai dalam menyampaikan dakwah guna mencapai tujuan dakwah berdasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 maka dapat dibagi menjadi berikut: 1. Al-Hikmah Yaitu metode dakwah yang pada intinya merupakan penyeruan atau ajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif, dilakukan dengan adil dan penuh kesadaran serta ketabhana sesuai dengan Al-Qur’an. 2. Mauidzah Al-Hasanah Metode ini diarahkan terhadap mad’u yang kapasitas intelektualnya tergolong awam. Dalam hal ini peran dai adalah sebagai pembimbing, teman dekat yang memberikan segala hal yang bermanfaat serta membahagiakan mad’u. 3. Wajadilhum bi-al lati hiya ahsan Metode ini digunakan dalam upaya dakwah melalui bantahan, diskusi dengan cara terbaik, sopan santun, saling menghargai dan tidak arogan. Metode ini ditujukan sebagai reaksi alternatif dalam menjawab tantangan dan respon negatif dari mad’u khususbnya sebagai sasaran yang menolak, tidak perduli atau bahkan melecehkan seruan (Mukhidin et al.:2002, 80-82). Berdasarkan pada ketiga metode di atas maka timbul metode-metode operasionalisasinya, yang menurut Bachtiar (1997, 34-45) yang terdiri atas beberapa hal diantaranya: 1). Secara lisan yang termasuk dalam hal ini adalah ceramah, seminar, simposium, diskusi, khutbah dan lain-lain.
2). Secara tulisan yang termasuk dalam hal ini adalah buku-buku, majalah, surat kabar lukisan dan lain-lain. 3). Bil hal yang termasuk dalam hal ini adalah perilaku dai yang ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari yang sesuai dengan ajaran islam. 4). Secara seni yang termasuk dalam hal ini meliputi seni lukis, tari, suara dan lain-lain.
BAB III
KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
A. BIOGRAFI ABRAHAM MASLOW Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New york, pada tanggal 1 april 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan tujuan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagai anak tertua dari 7 bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal ini menjadikan Maslow kesepian pada masa kanak-kanak dan remaja. Tentang perlakuan orang tuanya berikut akibatnya Maslow menulis: ” jika mengingat masa kanak-kanak saya, cukup menggirangkan bahwa saya tidak menjadi psikotik. Saya adalah anak yahudi ditengah-tengah anak non yahudi. Di sekolah saya diberlakukan sama dengan perlakuan yang diperoleh anak-anak negro, terisolasi dan tidak bahagia. Pendek kata saya tumbuh di perpustakaan diantara buku-buku, tanpa teman”. Diduga bahwa hasrat Maslow untuk menolong orang lain agar bisa hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) berasal dari hasratnya untuk memperoleh kehidupan yang kaya yang tidak ia peroleh pada masa mudanya. Karena desakan ayahnya, Maslow pada mulanya memilih hukum sebagai bidang studinya di City College, New York. Tetapi baru 2 minggu kuliah Maslow pindah ke Universitas Cornell, dan tak lama kemudian pindah
ke Universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai pilihannya, disini ia memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh pada tahun 1931 dan meraih doktor pada tahun 1934. pada waktu masih kuliah Maslow menikah dengan Bertha Goodman. Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik, dan dengan mengikuti program-program yang diadakan oleh Watson, Maslow berharap bisa mengubah dunia. Disamping Watson tokoh yang dikagumi dan diikuti Maslow adalah Koffka, tokoh psikologi gestalt; Dreisch, tokoh terkemuka dalam bidang biologi; Moklejohn seorang tokoh ahli filsafat. Tetapi ketiga orang tersebut tidak ia jumpai, karena mereka hanya guru besar tamu. Untuk mengobati kekecewaannya Maslow menyusun disertasi dibawah bimbingan Harry F. Harlow. Maslow mengawali karier akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin (1930-1934), sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian Maslow menjadi staf peneliti di universitas Columbia sampai tahun 1937 disana ia bekerja sebagai asisten Edward L. Thorndike, salah satu tokoh behaviorisme, setelah itu Maslow menjadi guru besar pembantu di Brooklyn College, New York sampai tahun 1951. Maslow menyebut New York pada akhir 1930 an dan awal tahun 1940an ketika ia mengajar disana sebagai pusat psikologi. Disini ia bertemu dengan tokoh intelektual eropa yang melarikan
diri ke Amerika serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya. Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan Max Wetheimer. Pada tahun 1951 Maslow menjadi kepala Departemen Psikologi Universitas Brandeis yang dipegang tahun 1961 dalam periode ini Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di Amerika serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menko Park California. Maslow menggabungkan diri denghan sejumlah perhimpunan profesional. Ia menjadi anggota dewan studi psikologi bagi masalah-maslah sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi negara bagian Massachusetts, sebagai kepala divisi kepribadian dan psikologi sosial pada perhimpunan psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika, dan akhirnya memegang jabatan sebagai presiden perhimpunan psikologi Amerika pada tahun 19671968. selain jabatan-jabatan tersebut Maslow menjadi editor pada beberapa jurnalis psikologi diantaranya, psikologi humanistik dan humanistik transperonal, serta menjadi editor ahli dalam beberapa penerbitan berkala. Maslow tertarik pada sikologi pertumbuhan, dan sampai akhir hayatnya (1970) ia mendukung Essalen Institut di California dan keompok-kelompok lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia. (Koeswara: 1991, 109-115). Sebagian besar buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya yaitu: Toward a Psychology of Being (1962), Religius and Peack Experiences (1964), Eupsychian management; a jurnal (1965), The
Psychology of Science; a reconnaissance (1966), Motivasion Personality (1970), The Father reaches of human nature. B. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI MENURUT MASLOW Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161). Menurut Maslow, orang yang mengaktualisasikan dirinya terbagi atas dua hal yakni antara yang sehat tetapi tidak memiliki pengalaman transedensi dan orang yang berpendapat bahwa transedensi sangat penting bagi orang yang ingin mengaktualisasikan diri. Dalam hal ini Maslow memberikan gambaran para transeder diantaranya adalah: 1. Pengalaman
puncak
maupun
pengalaman-pengalaman
datar
yang
merupkan aspek kehidupan yang paling penting dan berharga. 2. Mereka berbicara dengan bahasa penyair, mistikus dan lebih baik dalam mencerna seni, musik, paradok, parabel, dan lain-lain. 3. Mereka terlihat kesakralan dalam semua hal pada tataran praktis seharihari. 4. Mereka cepat akrab dan saling memahami serta mengenal satu dengan yang lain. 5. Mereka lebih tanggap terhadap penampilan diri.
6. Mereka berpandangan holistik, melampaui perbedaan budaya dan geografis. 7. Mereka sinergis terhadap apa yang mereka berikan, sehingga apa yang mereka lakukan bermanfaat untuk diri mereka dan orang lain. 8. Mereka berpenampilan memikat, mengundang kekaguman, sholeh dan sangat mudah dihormati orang lain. 9. Mereka cenderung sebagai penemu. 10. Mereka melihat kesakralan pada benda hidup. 11. Mereka memiliki rasa kagum dan misteri yang sangat kuat. 12. Mereka cenderung berdamai dengan kesehatan, hal tersebut mereka lakukan karena mereka memahami bahwa hal tersebut tidak dapat dihindari dan karena terpaksa. 13. Mereka cenderung memandang diri mereka sebagai penghantar. 14. Mereka tidak mementingkan diri sendiri dan lebih mudah melampaui ego. (Willcox: 2003, 219, 220). B. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM AKUALISASI DIRI ABRAHAM MASLOW Dalam teori Maslow kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi. Kebutuhan ini muncul dengan sendirinya apabila kebutuhannya yang lain sudah terpenuhi dengan baik. Kebutuhan akan aktualisasi diri adalah tanda (hasrat) dari individu untuk menyempurnakan dirinya dan menjadi seseorang dengan keinginan dan potensi yang ada pada dirinya.
Maslow
menyatakan
bahwa
aktualisasi
diri
bukan
hanya
pengungkapan kreasi atau karya atau kemampuan khusus, dengan kata lain setiap orang mampu mengaktualisasikan dirinya dengan cara melakukan hal yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masingmasing tidak terlepas apakah dia itu orang tua, buruh, mahasiswa ataupun dosen bahkan sekretaris. Oleh karena itu bentuk dari aktualisasi diri pada tiaptiap individu berbeda-beda. Lebih lanjut Maslow menyatakan bahwa untuk mencapai taraf aktualisasi diri tidaklah mudah seperti dalam pencapaian kebutuhan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena upaya dalam pencapaian aktualisasi diri banyak dipenuhi oleh hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: 1. Berasal dari individu itu sendiri yakni berupa ketidak tahuan, keraguan bahkan bisa karena ketakutan yang dialami oleh individu itu sendiri. 2. Berasal dari luar atau masyarakat, biasanya berupa kecenderungan untuk mendispersonalisasikan individu, kerepresian sifat-sifat, bakat, potensi. Dengan kata lain aktualisasi diri hanya mungkin terjadi apabila kondisi lingkungan amat mendukung. Tetapi kenyataannya tidak ada satu pun lingkungan yang menunjang anggota masyarakatnya untuk melakukan aktualisasi diri walaupun ada anggota masyarakat yang mampu melakukan aktualisasi diri. 3. Berasal dari pengaruh yang dihasilkan dari kebutuhan yang kuat akan rasa aman. Maslow menyatakan jika masyarakat mengharapkan lebih banyak
orang yang mampu mengaktualisasikan diri maka haruslah ada perubahan pada dataran dunia sehingga tercipta kesempatan yang luas bagi orang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Yang dimaksud perubahan disini menurut Maslow adalah perubahan struktur politk, ketentuan-ketentuan sosial. (Koeswara: 1991, 125-126). C. PEMBENTUKAN KEPRIIBADIAN MENURUT ABRAHAM MASLOW Maslow menguji teorinya tentang aktualisasi diri pada 49 orang yang menurut teori psikologi mereka adalah orang-orang yang ideal. Individuindividu yang dipelajari oleh Maslow diambil dan diseleksi dari orang-orang yang terkemuka baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, juga dari mahasiswa. Menurut Maslow mereka adalah orang-orang yang dalam hidupnya penuh dalam arti merealisasikan seluruh potensi-potensi yang ada pada dirinya, dan karenanya mereka mampu mencapai kematangan sejati. Orang-orang yang menjadi subyek penelitian adalah mereka yang tidak menunjukkan kecenderungan ke arah neurotik, psikotik, dan gangguan jiwa lainnya. Maslow membagi subyek-subyek yang telah dipelajari ke dalam ketiga kategori diantaranya: 1. Fairyly sure cases, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah orangorang yang pasti dan sungguh-sunguh telah mencapai taraf aktualisasi diri diantaranya adalah Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Einstein, dan Eleamor Roosevelt. 2. Partial cases terdiri atas lima orang kontemporer yang oleh Maslow tidak disebutkan namanya tetapi patut dipelajari.
3. Potential or possible cases, mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang menunjukkan hasrat aktualisaasi diri yang kuat tetapi belum sungguh-sungguh mencapainya, mereka adalah Franklin, Whitment, G.W. Carver, Renoir, Pablo Casals dan Adlai Stevenson. Setelah mereka diteliti secara klinis dan dicari kepribadian yang membedakan antara mereka dengan orang-orang biasa, kemudian kepribadian itu dijadikan sebagai ciri-ciri atau tolak ukur orang-orang yang telah mencapai taraf aktualisasi diri. (Hall: 1993, 110 - 111). Inilah ciri-ciri khas mereka: 1. Mengamati Realitas Secara Efisien Dengan
sifat
ini
menurut
Maslow
orang
yang
telah
mengaktualisasikan diri mereka lebih mudah bisa menemukan kebahagiaan sebab pandangan mereka tidak dicampuri oleh keinginan-keinginan atau harapan-harapan sehingga mereka bisa cermat dan efsien. Kemampuan seperti ini meliputi pengamatan pada bidang seni, musik, ilmu pengetahuan, politik, filsafat dan bidang kehidupan lainnya mereka mampu meramalkan kejadiankejadian yang akan datang dengan tepat. Mereka juga tidak dipengaruhi oleh kecenmasan-kecemasan, prasangka-prasangka atau optimisme dan pesimisme yang keliru. (Hall: 1993, 111). 2. Penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat. Orang yang mengaktualisasikan dirinya menaruh hormat pada dirinya sendiri dan orang lain, mampu menerima kodrat dengan segala kekurangan dan kelemahannya secara tawakal. Mereka bebas dari perasaan berdosa yang berlebihan, malu yang tidak beralasan dan cemas yang melemahkan. Maslow
menyatakan hal ni seperti anak-anak yang melihat dunia luas, polos, tanpa kritik dan tanpa tuntutan-tuntutan. Mereka cenderung melihat kodrat manusia sebagai mana yang mereka temukan dalam dirinya dan dalam diri orang lain apa adanya. (Koeswara: 1991, 139). 3. Spontan, sederhana dan wajar. Tingkah laku orang-orang yang mengaktualisasikan diri adalah spontan, sederhana dan tidak dibuat-buat serta tidak terikat. Spontanitas, kesederhanaan, dan sangat wajar itu terjadi sebab tindakan mereka dalam mengaktualisasikan dirinya memiliki kode etik yang relatif otonom dan individual. Meski
demikian, mereka juga berusaha mengikuti upacara-
upacara adat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat selama tidak mengganggu tugas-tugas penting mereka. Selain itu mereka juga mengikuti aturan-aturan yang ada yang menurut mereka dengan aturan itu mereka merasa terlindungi. (Koeswara: 1991, 140). 4. Terpusat pada masalah. Orang yang mengaktualisasikan diri mereka berorientasi pada masalah-masalah yang melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka. Dedikasi terhadap tugas-tugas atau pekerjaan merupakan bagian dari misi hidup mereka. Mereka hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup. Pekerjaan mereka bersifat alami secara subjektif dan bersifat non personal. (Koeswara: 1991, 141). 5. Pemisahan diri dan privasi.
Kebutuhan privasi orang-orang yang teraktualisasikan dirinya melebihi kebutuhan privasi orang biasa (kebanyakan orang) dalam pergaulan sosial mereka dianggap memisahkan diri, hati-hati, sombong dan dingin. Hal ini disebabkan mereka tidak membutuhkan orang lain dalam pergaulan biasa, sehingga mereka sepenuhnya percaya pada potensi-potensi yang mereka miliki. Selain itu, orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya mereka mempunyai kemampuan konsentrasi yang kuat dari kebanyakan orang (Koeswara: 1991, 139). 6. Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan. Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menjadikan mereka memiliki kadar arah yang tinggi. Mereka memandang diri mereka sebagai agen yang merdeka, aktif, bertanggung jawab, dan agen yang mendisiplinkan diri dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka cenderung menghindarkan diri dari penghormatan status, prestice, dan popularitas. Kepuasan yang berasal dari luar diri itu mereka anggap kurang penting ketimbang pertumbuhan diri. (Hasyim: 2002, 92). 7. Kesegaran dan apresiasi. Menurut Maslow, mereka yang menghargai hal-hal yang pokok dalam kehidupanya dengan rasa kagum, gembira bahkan heran, walaupun hal-hal tersebut bagi orang lain terasa membosankan. Dengan kata lain orang yang mengaktualisasikan diri dalam kehidupanya rutin
akan tetap merasakan
fenomena yang baru dengan penuh keharuan dan kesegaran apresiasi. (Hasyim: 2002, 93).
Meski demikian, menurut Maslow terdapat perbedaan antara subyeksubyek yang menjadi penelitian Maslow dalam menyangkut obyek-obyek yang mereka pandang indah dan mengharukan serta menggembirakan. Misalnya salah satu obyek tertarik pada anak-anak sedang yang lainnya memandang alam dan karya seni sebagai penimbul pesona. Walaupun demikian antara obyek-obyek yang berbeda itu para subyek yang memperoleh berkah yang sama yakni ilham dan kekuatan. (Hasyim: 2002, 93). 8. Pengalaman puncak atau pengalaman mistis. Menurut Maslow, orang yang mengalami aktualisasi diri pada umumnya mengalami apa yang disebut sebagai pengalaman puncak atau pengalaman mistis. Menurut Maslow pengalaman puncak tidak perlu berupa pengalaman keagamaan atau spiritual, sebab hal itu bisa saja dialami melalui buku-buku,
musik
dan
kegiatan-kegiatan
aktual.
Orang-orang
yang
mengalaminya merasakan diriya selaras dengan dunia, lupa akan dirinya dan bahkan melampauinya, juga merasakan silih berganti rasa kuat dan rasa lemah dari sebelumnya (Hasyim: 2002, 96). 9. Minat sosial. Menurut Maslow, orang-orang yang mangaktualisasikan dirinya mereka selalu simpatik pada orang lain walaupun bagaimana bodohnya seseorang itu. Walaupun orang-orang yang mengaktualisasikan diri kadang merasa terganggu, sedih, marah oleh kecacatan sesamanya. Maslow mencontohkan hal ini seperti hubungan saudara; meski saudaranya lemah,
bodoh atau jahat mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu memperbaiki sesamanya. (Iman: 1994, 96). 10. Hubungan antar pribadi. Menurut
Maslow,
orang-orang
yang
mengaktualisasikan
diri
cenderung memiliki hubungan antar pribadi dibanding kebanyakan orang. Mereka cenderung membangun hubungan yang dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan karakter, kesanggupan dan bakat yang biasanya dianggap persahabatan yang relatif kecil. (Iman: 1994, 96). Maslow menyatakan, subyeknya tabu untuk minta dikagumi, mencari pengikat, pengabdi, dan bila dipaksa masuk dalam pergaulan yang menyulitkan, mereka tetap tenang dan berusaha menghindari sebisanya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki diskriminasi sosial. Hal ini terbukti ketika mereka bisa menjadi kasar apabila berhadapan dengan orangorang sombong dan munafik. (Iman: 1994, 96). 11. Berkarakter demokratis. Menurut Maslow, orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki karakter demokrasi yang lebih baik. Mereka mampu belajar dari siapa saja yang bisa mengajar tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras atau keyakinan politik, bukan berarti orang yang mengaktualisasikan diri menyamaratakan semua orang. (Iman: 1994, 98). Orang yang mengaktualisasikan diri adalah mereka yang elit dan memilih persahabatan secara elit. Elit disini adalah elit dalam karakter, kesanggupan, bakat dan bukan elit dalam keturunan ras, darah, nama
keluarga, usia, kemasyuran atau jabatan. Mereka menaruh hormat kepada semua orang karena condong hormat semata-mata karena mereka adalah individu yang manusiawi. Mereka tidak pernah berusaha merendahkan, mengurangi arti atau merusak martabat orang lain meskipun mereka penjahat. (Iman: 1994, 98). 12. Perbedaan antara cara dan tujuan. Ciri lain yang terdapat pada orang-orang yang mengaktualisasikan diri menurut Maslow adalah orang yang mampu membedakan antara cara dan tujuan. Mereka biasanya terpusat pada tujuan mereka, sehingga dengan tindakan itu mereka sering dapat menikmati perjalanan ke suatu tujuan maupun
tibanya
di
tujuan
itu.
Dengan
kata
lain
orang
yang
mengaktualisasikan diri bisa menjadikan kegiatan yang paling kecil menjadi kegiatan yang menyenangkan. (Iman: 1994, 99). 13. Rasa humor yang filosofis. Ciri lain orang yang mengaktualisasikan diri menurut Maslow adalah mereka yang memiliki rasa humor yang filosofis. Kebanyakan orang menyukai humor yang bertolak dari kelemahan dan penderitaan orang lain dengan tujuan untuk mengejek atau menertawakan oarang lain. Dengan rasa humornya yang filosofis orang-orang yang mengaktualisasikan diri menyukai humor yang mengekspresikan kritik atas kebodohan, kelancangan atau kecurangan manusia. Rasa humor yang filosofis, memancing senyum daripada tertawa. (Hall: 2001, 111).
14. Kreatifitas. Menurut
Maslow,
kreatifitas
yang
dimiliki
orang
yang
mengaktualisasikan diri adalah bentuk tindakan asli, naïf dan spontan seperti yang dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan masih jujur. Bentuk kreatifitas ini umumnya digunakan dalam bentuk kegitan-kegiatan seni, dan ilmu pengetahuan. Kreatifitas tidak harus berupa penciptaan karya ilmiah yang berat dan serius tetapi bisa juga berupa penciptaan sesuatu yang sederhana. Pada dasarnya, kreatifitas berkisar pada daya temu dan penemuan hal-hal baru yang menyimpang dari gagasan lama. (Hall: 2001, 112). 15. Penolakan enkulturasi. Ciri terakhir dari orang yang mengakualisasikan diri menurut Maslow adalah mereka yang otonomi yang berani membuat keputusan sendiri, meskipun berbeda dengan pendapat umum. Hal ini bukan berarti mereka pembangkang tetapi ini adalah usaha untuk mempertahankan sesuatu dan tidak terlalu terpengaruh oleh keadaan masyarakat. Tetapi merekapun bisa meninggalkan kepatuhan mereka pada kebiasaan-kebiasaan yang ada pada lingkungan. Mereka akan dengan mudah meninggalkannya apabila dengan adanya kepatuhan itu mengganggu atau terlalu mahal untuk dipertahankan. (Koeswara: 1991, 146). Dengan demikian, apabila ciri-ciri tersebut dipenuhi oleh orang-orang yang mencapai taraf aktualisasi diri maka menurut para psikolog mereka adalah termasuk yang super dan ajaib. Tetapi hal ini oleh Maslow ditolak
dengan keras dengan menyataklan bahwa mereka bukan manusia sempurna, mereka bisa marah, tersinggung, keliru, dan tidak luput dari kebiasaankebiasaan buruk lainnya. Mereka juga mengalami kebekuan hati bila dihadapkan pada kesulitan pribadi. (Hall: 2001, 112).
BAB IV
AKTUALISASI DIRI MASLOW DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN: PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
Analisis yang akan penulis lakukan berikut ini secara sistematis tersusun berdasarkan urutan pandangan-pandangan Maslow mengenai ciri aktualisasi diri yang efektif. Kemudian ciri-ciri itu akan penulis lihat dari perspektif bimbingan dan konseling islam yang tujuan akhirnya adalah pembentukan kepribadian muslim yang efektif. Apabila dicermati konsep aktualisasi diri yang diungkapkan oleh Maslow memiliki kesamaan dengan konsep aktualisasi diri Goldstein. Menurut Maslow setiap orang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan jalan melakukan hal yang terbaik atau bekerja sebaik-baiknya menurut bidangnya masing-masing. Dengan kata lain yang disebut aktualisasi diri oleh Maslow bukan hanya pengungkapan kreasi atau karya-karya seseorang atau kemampuan khusus dari seseorang. Hal ini menurut Goldstein dicontohkan bahwa aktualisasi diri dari orang yang lapar adalah makan, apabila ia haus akan kekuasaan maka ia akan mengaktualisasikan dirinya dengan memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain bahwa aktualisasi diri adalah kecenderungan kreatif dari kodrat manusia. Hal ini merupakan prinsip dari kodrat manusia yang menjadi penyebab organisme dapat memiliki kepribadian berkembang secara sempurna. (Hall, 2001: 82).
Dengan demikian untuk mengetahui apakah seseorang itu telah mencapai aktualisasi maka harus diketahui apa yang disenangi dan apa yang mereka kerjakan serta bakat apa yang mereka senangi. Sedangkan hal ini tidak terlepas dari lingkungan apakah lingkungan itu mendukung atau tidak untuk proses aktualisasi diri. (Hall, 2001: 84). Selain Goldstein, Rogerspun sependapat dengan Maslow dimana seseorang atau organisme
dalam
mengaktualisasikan
dirinya sangat
dipengaruhi oleh garis-garis hereditas. Ketika organisme itu matang maka ia makin berdeferensiasi. Makin luas, makin otonom dan tersosalisasikan. Hal ini akan tampak jelas apabila diamati dalam jangka waktu yang lama. Seseorang menurut Rogers tidak dapat mnegaktualisasikan dirinya jika tidak dapat membedakan antara cara-cara progresif dan regresif. (Hall, 2001: 25). Hal ini senada dengan Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan aktualisasi diri adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna dengan cara yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk kepribadian yang memiliki karakteristik yang unik. Ciri-ciri kepribadian yang diungkapkan oleh Maslow merupakan ciriciri kepribadian yang sama seperti yang dikatakan oleh Murray (Hall, 2001: 25) dimana fungsi dari kepribadian tersebut adalah menata atau mengarahkan individu yaitu dari mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan yang dihadapi individu, memuaskan individu dan menyusun rencana-rencana untuk mencapai tujuan-tujuan dimasa mendatang.
Hal ini sejalan dengan prinsip developmental dari Bimbingan dan Konseling Islam dimana fungsi developmental atau pengembangan atau pemeliharaan, dengan fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya dan terbentuknya berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih baik. Klien dalam rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik dan dimantapkan sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan secara optimal (Hallen: 2001, 63). Berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang teraktualisasikan diri menurut Maslow maka jika dilihat dari tipe-tipe kepribadian menurut Spranger dalam Patty et al. (1981,166-171) maka tipe kepribadian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tipe kepribadian sosial dan ekonomi Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang memiliki ciri-ciri mampu mengamati realitas secara efisien, hidup secara spontan sederhana dan wajar, memiliki kemandirian dari lingkungan, mampu menerima diri sendiri dan orang lain serta kodratnya, seluruh hidupnya digunakan untuk membantu sesama dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat dengan Najati (1985, 260) dimana seseorang yang memiliki kepribadian muslim ditandai dengan sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang lain, dermawan dan suka berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lain-lain. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu: berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan isteri.
Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam semesta, memikirkan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti
sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas, bebas dalam berfikir dan berakidah. Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini maka dakwah yang paling cocok digunakan pada tipe kepribadian ini adalah dengan cara bil hal yaitu dengan ditunjukkan pada perilaku dai yang sopan dan sesuai dengan ajaran islam dan menolong sesama tanpa membedakan golongan, ras, kekayaan, sehingga dakwah dalam bentuk tersebut sangat bisa digunakan dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan upaya mewujudkan ralitas kehidupan umat islam. Seperti yang diungkapkan Sulhton (2003, 19) hal ini bisa dilakukan dengan cara jual beli, salam, masaqoh, muzaroah, zakat, infak dan sodaqoh dan lain-lain sehingga mad’u mampu terbebas dari rasa angan-angan yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan prinsip dari Bimbingan dan Konseling islam yang diungkapkan oleh Hallen (2002, 64) dimana dalam melayani klien konselor tidak boleh membeda-bedakan antara umur, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial dari klien. Hal ini senada dengan pendapat Rakhim (2001,29)yang menyatakan bahwa hal ini sesuai dengan salah satu asas dari Bimbingan dan Konselor Islam yaitu asas sosialitas manusia,yang menyatakan bahwa setiap manusia sangat dihargai hak-haknya sosialitasnya dengan tetap memperhatikan hakhaknya sebagai individu. 2. Tipe politik
Yang termasuk dalam golongan ini adlah mereka yang memiliki ciriciri kepribadian mampu melakukan penolakan terhadap enkulturasi, selalu terpusat pada masalah, memiliki karakter demokrasi, mampu membedakan cara dan tujuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Najati (1985: 259) bahwa seseorang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka memiliki sifat sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati janji, merendahkan diri,
menjauhi
dosa,
teguh
dalam
melaksanakan
kebenaran,
dan
mengendalikan hawa nafsu. Maka dakwah yang cocok untuk dilakukan terhadap orang-orang yang memiliki kepribnadian semacam ini adalah dengan cara bil lisan yaitu dengan jalan saresehan, diskusi, secara islami, maksudnya klien ditunjukkan untuk mencapi tujuan dalam berpolitik dalam islam dilarang menghalalkan bermacam cara agar tujuannya tercapai. Ajaran islam didakwahkan menjadi ideologi negara dalam bidang politik. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Sulhton (2003, 19) dakwah yang sesunguhnya adalah mewujudkan negara, bangsa yang berdasarkan atas nilai-nilai islam. Para pelaku polotik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman serta menegakkan ajaran-ajaran menjadi tanggung jawab negara dan kekuasaan. Dalam perspektif dakwah politik, negara adalah instrumen paling penting dalam mewujudkan ajaran islam.
Hal ini sesuai dengan asas dari Bimbingan dan Konseling islam yang diungkapkan oleh Hallen (2002, 70) dimana perubahan sikap yan terjadi pada klien bisa terjadi bila ada kerjasama yang dinamis antara konselor dan klien. Selain itu hal ini menurut Rakhim (2001,34) sejalan dengan asas musyawarah yang dianut oleh Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam asas ini antara konselor dan klien terjadi dialog yang baik
tanpa saling
mendikte. Sehingga perubahan yang diharapkan oleh klien dan konselor bisa terjadi dengan baik. 3. Tipe religi Orang-orang yang memiliki tipe religi semacam ini ditandai dengan pengalaman puncak dari klien (mad’u). Apabila ada mad’u yang semacam ini maka dakwah yang paling baik digunakan adalah dengan cara tulisan. Sebab seperti yang digambarkan oleh Maslow bahwa objeknya bisa mengalami pengalaman puncak bukan hanya dapat dilakukan dengan pengalaman keagamaan tetapi juga bisa melalui tulisan. Tetapi harus diingat sebab tulisan adalah konsumsi umum maka seyogyanya tulisan ini tidak menyinggung perasaan dari yang membaca bacaan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Najati (1985: 259) dimana orangorang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa cinta pada Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan kepada sesama. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan
menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam upaya memperoleh rizki. Hal ini oleh Rakhim (2001,24) dikatakan sejalan dengan asas fitrah dari Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam asas ini dikatakan bahwa manusia dibekali berbagai kemampuan bawaan dan kecenderungan sebagai muslim dalam hal ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat membantu klien untuk mengenal dan memahami fitrah-fitrah tersebut sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akherat. 4. Tipe estetika Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini mereka ditandai dengan dalam diri individu memiliki kreatifitas, kesegaran dan apresiasi serta memiliki rasa humor yang filosofis. Apabila ditemui mad’u yang semacam ini dawah yang paling cocok adalah dalam bidang seni, baik itu tari lukis maupun suara, sehingga hasil dari seni tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai islam. Hal ni pernah dicontohkan oleh nabi yang diriwayatkan oleh bukhori yang dikutip oleh Hasyimi (2001, 280) seorang sahabat berkata kepada kami: engkau bercanda kepada kami nabi berkata namun saya tidak pernah mengatakan selain kebenaran. Tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras dengan AlQur’an dan Sunah.
Tujuan
dari
aktualisasi
diri
adalah
peningkatan
atau
pengoptimalisasian segala potensi yang ada pada diri seseorang, tanpa dipengaruhi oleh keadaan yang ada pada sekelilingnya yang tujuannya untuk mencapai kebahagiaan. (Robert, 1993: 161). Hal ini senada dengan tujuan dari Bimbingan dan Konseling Islam yaitu terwujudnya manusia yang utuh, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. (Tohari: 1992, 33) Bila dilihat dari ketiga tujuan tersebut yaitu tujuan dakwah tujuan aktualisasi diri dan tujuan dan Bimbingan dan Konseling Islam adalah samasama membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna dalam memperoleh kebahagiaan di dalam hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan aktualisasi diri adalah sama dengan tujuan dari dakwah dan konseling islam yaitu membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna sesuai dengan ajaran islam. Untuk mencapai tujuan itu bagi orang-orang yang tidak bisa mengaktualisasiakn diri diberikan semacam terapi, sehingga yang tadinya tidak
bisa
mengaktualisasikan
diri,
mereka
dapat
dan
mampu
mengaktualisaasikan diri seperti orang lain, dengan cara mengetahui sebab dari tidak bisanya dia mengaktualisasikan diri dan menghilangkan penyebab dari tidak bisanya dia dalam mengaktualisasikan diri. Terapi-terapi tersebut menurut Bimbingan Konseling Islam dilakukan dengan cara teraputik, preventif dan development (Rakhim, 2001: 3-4) terapiterapi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Secara teraputik Dengan terapi ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat mengatasi masalah klien yang tidak bisa mengaktualisasikan diri dengan cara menghilangkan segala keraguan dan ketakutan dengan cara memotivasi klien agar tercipta rasa aman, sehingga tercipta kondisi lingkungan yang mendukung klien untuk mencapai taraf aktualisasi diri. 2. Secara preventif Dengan terapi ini diharapkan bimbingan dan konseling islam mampu mencegah timbulnya masalah pada klien dalam usahanya untuk mencapai taraf aktualisasi, sehingga yang tadinya klien takut dalam usahanya untuk mencapai aktualisasi diri, klien menjadi sadar dan tidak takut dalam usahanya dalam mengaktualisasikan diri. 3. Secara development Dengan melalui terapi ini diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam mampu menciptakan bekerja sama antara konselor dengan klien sehingga suasana dan perkembangan yang selama ini sudah tercipta dengan baik tetap menjadi baik dan lebih mantap sehingga terwujud seperti apa yang diharapkan yaitu pencapaian taraf aktualisasi diri. Berdasarkan pada paparan di atas tentang aktualisasi diri yang diungkapkan oleh Maslow tercapai dan dipakai untuk membentuk kepribadian muslim melalui dalam perspektif bimbingan dan konseling islam, maka penulis berpendapat bahwa aspek-aspek tersebut adalah bagian dari pembentukan pribadi muslim secara kaffah atau menyeluruh, hal ini seperti
pendapat dari Tasmara (1999, 108) yang menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki kepribadian yang kaffah mereka memiliki akhlak yang baik, hormat pada sesama, gagah da lam menghadapi berbagai macam cobaan. Seperti yang diharapkan dalam ajaran islam dimana seseorang masuk dalam agama islam secara kaffah (menyeluruh). Dengan demikian konsep kepribadian yang teraktualisasikan diri atau konsep aktualisasi diri menurut Maslow adalah konsep pembentukan kepribadian muslim secara sempurna (Kaffah) dan hal ini dapat tercapai.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat penulis ambil berdasarkan paparan yang disusun di atas antara lain: 1. Seseorang yang memiliki kepribadian yang teraktualisasi diri menurut Maslow adalah jika seseorang melakukan hal yang terbaik atau bekerja sebaik-baiknya menurut bidangnya masing-masing. Hal ini ditandai dengan seseorang itu memiliki sifat-sifat mengamati realitas secara efisien, penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat, spontan, sederhana dan wajar, terpusat pada masalah, pemisahan diri dan privasi, kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan, kesegaran dan apresiasi, pengalaman puncak atau pengalaman mistis, minat sosial, hubungan antar pribadi, berkarakter demokratis, perbedaan antara cara dan tujuan, rasa humor yang filosofis, kreatifitas, dan penolakan enkulturasi. 2. Orang-orang yang mengaktuaklisasikan diri mempunyai ciri-ciri yang sama dengan ciri-ciri yang ada pada fungsi asas dan tujuan dari bimbingan dan konseling islam
yaitu terciptanya pribadi yang mantap terarah,
berkelanjutan, mampu mengembangkan diri dan mencapai kebahagiaan secara optimal, sehingga tercipta manusia yang utuh. Ciri-ciri aktualisasi diri yang diungkapakan oleh Maslow jika diperhatikan dengan seksama jika dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam adalah merupakan
pembentukan kepribadian Islam secara optimal dan mantap untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. B. SARAN - SARAN Penelitian diatas belumlah sempurna karena baru ditinjau dari segi Bimbingan Konseling Islam hal ini masih sangat terbuka untuk diteliti melalui pendekatan lainnya. C. PENUTUP Demikian skripsi ini penulis susun, penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mengharapkan berbagai macam kritik demi sempurnanya skripsi ini.
Semarang, 30 Januari 2006 Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abdurrahman. Psychology Pendidikan. Nur Cahaya. Yogyakarta. 1989. Adz-Dzaky, Hamdani, Bakran. Konseling dan Psikoterapi Islam. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta 2002. Ajijah. Konsep Humanisme Dalam Da’wah dalam Kaitannya dengan Penyelesaian Konflik antar Umat Beragama. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang (Tidak Diterbitkan) (Tidak Dipublikasikan) Anshari, Hafi. Pemahaman dan Pengalaman Da’wah. Al-Ikhlas. Surabaya. 1993. Arbaiati, Barokah. Kesehatan Mental dan Urgensinya bagi Integritas Kepribadian. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2000 (Tidak Dipublikasikan). Arifin.
Filsafat
Pendidikan
Islam.
Bina
Aksara.
Jakarta.
1987.
. Azhari.
Kepribadian
Muslim.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
2000.
Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Logos. Jakarta. 1987. Caplin, James. Kamus Lengkap Psikologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. . Consuelo dan Sevilla G. Pengantar Metodologi Penelitian. Unuversitas Indonesia, Press. Jakarta. 1993. Darojat,
Zakiyah.
Kepribadian Guru.
Bulan
Bintang. Jakarta. 1982.
Departemen Agama. Al Quran dan Terjemah. Mahkota.
Surabaya. 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Hadari, Nawawi. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.1996. Hadi, Sutrisno. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1983. Hall, Liezzey. Teori-Teori Kepribadian. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993. .
Handayani, Umi, . Konsep Fitrah Menurut Al-Ghazali dan Implikasinya dalam Membentuk Kepribadian Muslim. Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan) Hasanah, Hasyim. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Pro Aktifitas Remaja di Kecamatan Banyumanik pada Tahun 2003-2004. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan) Hasyimi, Ali Muhammad. Menjadi Muslim Ideal. Mitra Pustaka. Yogyakarta. 2001. Hallen, A. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam.Ciputat Perss. Jakarta. 2002. . Heraty, Tuty. Psikologi Sains. Mizan. Jakarta. 2004. Hidayanti, Ema . Solusi Tasawuf Amin Syukur atas Problem Manusia Modern. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan). Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 1 . Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 1994. Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 2 . Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 1994. John, Echols. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta. 1996. Kartono, Kartini. Patologi Sosial III. Raja Grafindo Persada. Kartono. Andari.
Hyigiene
Mental. Mandar
Jakarta. 2001.
Maju. Bandung.
1989.
Mukhidin. Safii. Metodologi Pengembangan Dakwah. Pustaka Setia.Bandung. 2002. Munandziroh, Umi. Prinsip Pendidikan Akhlak dan Aktualisasinya dalam Pembentukan Kepribadian Muslim (Kajian Surat Al-Hujurat Ayat 1-13). Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan) Marinba, D. Pengantar Filsafat Islam. PT. AL – Ma’arif.
Bandung. 1989.
Muhammad, Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002. Muslim. Shahih Buchori. Terj. Hamid, Zainudin.
Widjaya.
Jakarta. 1966.
Najati, Ustman, . Al Quran dan Ilmu Jiwa.
Pustaka.
Bandung.
1985.
Nugroho, Heri. Konsep Pembentukan Kepribadian Menurut Sigmund Freud dalam Perspektif Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.2004. (Tidak Dipublikasikan) Patty. Woeryo. Noor Syam. I Wayan Darma. Pengantar Psikologi Umum. Usaha Nasional. Surabaya. 1982. Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1976. Poduska, Bernard. Empat Teori Kepribadian. Restu Prayitno dan Erman Amti.. Jakarta. 1999.
Agung. Jakarta. 1997.
Dasar-Dasar Konseling Islam. Rhineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosda Karya. Bandung. 1993. Rakhim, Aunur Faqih. Bimbingan dan Konseling Islam . Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 2001. Robert. W. Crapp. Dialog Psikologi Dan Agama. Kanisius. Yogyakarta.1993. (Diterjemahkan Oleh Hardjana) Sanwar, Aminudin. Pengantar Studi Ilmu Dakwah. Fakultas Dakwah. Institut Agama Negeri Walisongo Semarang. 1984. Sudarsono. Kamus Filsafat dan Psikologi. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993. Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. Pelajar Pustaka. Yogyakarta.
2003.
Tasmara, Toto. Dimensi Doa dan Dzikir, Menyelami Samudera Qalbu Mengisi Makna Hidup. Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. 1999. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah.
Gaya Media Pratama. Jakarta. 1997.
Tohari. Zuhad. Tatang. Muzhof. Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami. Universitas Islam Indonesia, Press. Yogyakarta. 1992. Wilcox, Lynn.
Imu Jiwa Berjumpa
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam.
Tasawuf. Serambi.
Bumi
Aksara.
Jakarta. 2003. Jakarta 1999.
BIODATA PENULIS
Nama
: Oktaful Ghofur
Nim
: 1100046
Jurusan / Fakultas
: Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Dakwah IAIN Walisongo Semarang
Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 30 Oktober 1980 Alamat
: Karang Gawang Rt O7 Rw 14, Tandang, Semarang
Jenjang Pendidikan
: SDN Sawi 01 Semarang Lulus Tahun 1993 SMPN 33 Semarang Lulus Tahun 1997 SMA Muhammadiyah 01 Semarang Lulus Tahun 2000 Lulus Strata 1 (S1) Fakultas Dakwah Iain Walisongo Semarang Lulus Tahun 2006