KONSELING PADA ANAK YANG MENGALAMI STRESS PASCA TRAUMA BENCANA MERAPI MELALUI PLAY THERAPY Riana Mashar Mahasiswa Pascasarjana Program Doktoral Universitas Pendidikan Indonesia Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Magelang Abstraksi
Penerapan konseling pada anak yang memiliki karkateristik perkembangan baik kognitif, emosi, sosial, dan perilaku yang berbeda dengan orang dewasa, menuntut perlunya pemberian layanan yang sesuai dengan karakteristik tersebut. Tulisan ini mengangkat kelebihan penerapan Play therapy sebagai salah satu teknik konseling bagi anak korban bencana, yaitu play therapy sesuai dengan tahap perkembangan anak sebagai masa bermain pasca terjadi bencana (PTSD). Terdapat beberapa hambatan yang mungkin terjadi dengan adanya kultur masyarakat pedesaan di lereng Merapi, diantaranya, yaitu: anak Merapi belum terbiasa mengekspresikan emosi mereka secara verbal, faktor kultur yang kedua terkait dengan budaya petani yang sangat kental pada masyarakat korban bencana, dimana orangtua jarang mengisi waktunya bermain bersama anak, karena lebih banyak menghabiskan waktu di sawah sehingga kemungkinan menerapkan Filial therapy cenderung sulit. Namun, karena masyarakat desa sangat terikat dengan lingkungan sekitar terutama teman sebayanya, maka alternatif permainan kelompok teman sebaya dapat dioptimalkan. Kata Kunci: PTSD, play therapi
kehidupannya
PENDAHULUAN
secara
normal.
Saat
Bencana Merapi yang terjadi
bencana alam terjadi, banyak faktor
tanggal 26 Oktober sampai bulan
yang harus diwaspadai, bukan hanya
November 2010 telah berlalu. Meski
kerugian material (fisik) dari bencana
demikian, berbagai program recovery
tersebut
masih
nonmaterial
terus
dilakukan
guna
namun
juga
(psikis)
yang
kerugian dapat
memberikan kesiapan bagi korban
menimpa para korban bencana. Kondisi
bencana untuk kembali melanjutkan
psikis
1
atau
mental
para
korban
terutama anak-anak harus mendapat
kondisi yang sama dengan pengungsi
perhatian khusus agar tidak terganggu.
dewasa lainnya. Keadaan defisiensi,
Berbagai
dapat
rasa cemas dan tidak aman tersebut jika
mengakibatkan
ketidakseimbangan
dibiarkan berlarut-larut akan dapat
psikologis
dikaji
mengganggu
kondisi
dapat
yang
dari teori
perkembangan
psikis
Maslow mengenai hirarki kebutuhan.
anak-anak. Oleh karena itu, secepat
Maslow
meyakini
mungkin anak-anak perlu diajak untuk
individu
yang
kebutuhan
fisik
bahwa
dapat dan
setiap
memenuhi
melupakan
bahkan
menghilangkan
psikologinya
pengaruh negatif yang ada, baik karena
dengan baik, ia akan berkembang
bencana alam merapi maupun karena
menjadi individu yang sehat. Namun
kondisi barak dan tempat tinggal yang
jika individu tidak mampu memenuhi
saat ini tidak memadai untuk anak
kebutuhan dasar atau deficiency needs
tumbuh
(fisik, rasa aman, kasih sayang, dan
optimal.
harga diri), maka ia juga belum dapat
dan
berkembang
dengan
Khusus
mengenai
ganguan
terjadi
bencana,
memenuhi kebutuhan untuk tumbuh
kejiwaan
atau growth needs (aktualisasi diri dan
secara teori usaha-usaha yang harus
transenden). Kondisi korban bencana di
dilakukan dalam kaitannya dengan
pengungsian
setelah
kesehatan jiwa pada saat terjadinya
kembali ke desa masing-masing, masih
bencana maupun sesudah terjadinya
belum
bencana
dan
saat
mendukung
ini
para
korban
setelah
telah
banyak
dibicarakan
bencana untuk memenuhi kebutuhan
dalam literatur medis maupun dimedia
dasar
cetak ataupun elektronik. Pemerintah
maupun
kebutuhan
untuk
tumbuh. Ancaman lahar dingin dan
bersama
kehilangan mata pencaharian, dapat
tanggungjawab dalam penanggulangan
menimbulkan rasa tidak aman dan
bencana dan terhadap masyarakat yang
kecemasan pada korban karena mereka
tertimpa bencana terutama pada pasca
harus keluar dari kehidupan sehari-hari
bencana.
mereka dan menyesuaikan dengan
Penelitian dan Pengembangan Jawa
lingkungan yang baru. Anak sebagai
Tengah
(2008),
dinyatakan
bahwa
korban pengungsi juga mengalami
korban
bencana
seringkali
secara
2
masyarakat
Dalam
mempunyai
Laporan
Badan
psikologis terjangkit gangguan stres
pula mengalami PTSD, perlu mendapat
pasca
pada
penanganan yang serius agar akibat
kesehatan
yang ditimbulkan tidak berkepanjangan
disebut post traumatic stress disorder
dan menghambat perkembangannya.
(PTSD).
Anak-anak korban bencana memiliki
trauma/bencana
umumnya
dalam
yang
dunia
PTSD pada umumnya dapat disembuhkan apabila
yang
khas,
sehingga
dapat
memerlukan bentuk-bentuk intervensi
mendapatkan
yang sesuai dengan karakteristik dan
penanganan yang tepat. Apabila tidak
tahap perkembangannya agar gangguan
terdeteksi
terdeteksi
segera
karakteristik
dan
dan
dibiarkan
tanpa
stress pasca trauma yang dialami dapat
maka
dapat
menurun. Salah satu intervensi efektif
medis
yang dapat diterapkan adalah konseling
maupun psikologis yang serius yang
melalui terapi bermain (play therapy).
bersifat permanen yang akhirnya akan
Dengan
mengganggu kehidupan sosial maupun
kesempatan
pekerjaan penderita. (Flannery, 1999).
naturalnya
Pada
(Sukmaningrum, 2001), sehingga anak
penanganan, mengakibatkan
komplikasi
umumnya
PTSD
dapat
bermain berada
diberi
dalam
dunia
sebagai
anak
disembuhkan dan prinsip pertolongan
akan
pada korban bencana yang mengalami
mengekpresikan
PTSD adalah berupa pendampingan
eksplorasi terhadap diri mereka baik
pada korban untuk mengembalikan
perasaan, pikiran, pengalaman, maupun
kondisi seperti sediakala.(NICE, 2005)
tingkah
Berdasarkan hasil prasurvei di Dinas
berhadapan langsung dengan kondisi
Kesehatan di daerah pasca bencana
yang mengingatkan pada trauma yang
secara
bahwa
dialami namun hanya menggunakan
pengelolaan kesehatan jiwa masyarakat
materi-materi yang bersifat simbolik
pasca bencana termasuk di dalamnya
(Landreth, 2001). Dengan demikian,
PTSD
terapi bermain yang diterapkan pada
umum
belum
didapati
menjadi
prioritas
penanganan.
merasa
anak
laku,
aman dan
karena
dalam melakukan
anak
tidak
anak yang mengalami gangguan stress
Berdasar uraian di atas, anak
pasca trauma gempa bertujuan untuk
sebagai korban bencana yang rentan
menurunkan gangguan tersebut dengan
3
membantu anak belajar menerima diri
bertahan, mengatasi atau menghindar
sendiri dan belajar mengembalikan
(Roan, 2003).
kontrol
diri
serta
merasakan
belajar
kebebasan
untuk
PTSD
dalam
dapat
menyebabkan
masalah yang berat di rumah ataupun
berekspresi.
di tempat kerja. Semua orang dapat mengalami
PTSD
baik
laki-laki,
PTSD (POST TRAUMATIC STRESS
wanita, anak-anak, tua maupun muda.
DISORDER)
Namun demikian, PTSD dapat sembuh
PTSD sangat penting untuk diketahui,
dengan pengobatan. Pada mulanya
selain
kejadian
PTSD dianggap hanya terbatas pada
“bencana” yang terjadi di Indonesia,
korban langsung dari suatu kejadian
PTSD juga dapat menyerang siapapun
traumatik. Saat ini diketahui bahwa
yang
kejadian
orang yang menyaksikan terjadinya
traumatik dengan tidak memandang
peristiwa traumatik pada orang lainpun
usia dan jenis kelamin. Terdapat
dapat menderita PTSD (Flanery, 1999
banyak pengertian PTSD, menurut
). Tidak semua orang yang mengalami
Kaplan (1998), PTSD adalah sindrom
suatu
kecemasan,
autonomik,
menderita PTSD. Perbedaan dalam
ketidakrentanan emosional, dan kilas
bereaksi terhadap sesuatu tergantung
balik dari pengalaman yang amat pedih
dari kemampuan seseorang tersebut
itu setelah stress fisik maupun emosi
untuk mengatasi kejadian traumatik
yang melampaui batas ketahanan orang
tersebut. Sebagai konsekuensi dari hal
biasa.
ini maka setiap orang akan berbeda-
karena
telah
banyaknya
mengalami
labilitas
Roan
sebagai
psikiater
kejadian
beda
kerusakan jaringan, luka atau shock.
traumatik. Beberapa orang akan terlihat
Sementara
dalam
tidak terpengaruh dengan peristiwa
psikologi diartikan sebagai kecemasan
traumatik tersebut atau tidak terlihat
hebat dan mendadak akibat peristiwa
dampak dari peristiwa itu sementara
dilingkungan
yang
orang lainnya akan muncul berbagai
melampaui batas kemampuannya untuk
gejala adanya PTSD. Banyak korban
psikis
seseorang
mengatasi
akan
menyatakan trauma sebagai cidera,
trauma
dalam
traumatik
kejadian
menunjukkan gejala terjadinya PTSD
4
segera sesudah terjadinya bencana,
mengakibatkan
sementara
antar
sebagian
lainnya
baru
manusia,
buruknya
hubungan
prestasi
pekerjaan.
berkembang gejala PTSD beberapa
Penderita PTSD sering berusaha untuk
bulan
tahun
mengatasi konflik batinnya dengan
kemudian. Pada sebagian kecil orang,
menyendiri atau bisa juga menjadi
PTSD dapat menjadi suatu gangguan
pemarah. Hal ini akan mengganggu
kejiwaan yang kronis dan menetap
hubungannya dengan sesama. Secara
beberapa puluh tahun bahkan seumur
umum Grinage (2003) mengungkapkan
hidup.
bahwa PTSD ditandai oleh beberapa
ataupun
beberapa
Diagnosis
PTSD
biasanya
gangguan,
yaitu:
(1)
Gangguan
terbatas pada mereka yang pernah
fisik/perilaku. Gangguan fisik/perilaku
mengalami
ditandai: sulit tidur, terbangun pagi
pengalaman
traumatik.
Kriteria
diagnosis
PTSD
meliputi:
(1).
Kenangan
lainnya
sekali;
(2)
Gangguan
kemampuan
yang
berpikir; (3) Gangguan emosi; (3)
tentang
Tidur terganggu sepanjang malam dan
kejadian pengalaman traumatik yang
gelisah; (4) Terbangun dengan keringat
berulang-ulang (2). Adanya perilaku
dingin;
menghindar (3). Timbulnya gejala-
walaupun tidur sepanjang malam; (6)
gejala berlebihan terhadap sesuatu yang
Mimpi buruk dan berulang; (7) Sakit
mirip saat kejadian traumatik dan (4)
kepala; (8) Gemetar dan; (9) Mual.
mengganggu
atau
ingatan
Tetap adanya gejala tersebut minimal
(5)
Selalu
Berikut
merasa
adalah
lelah
simptom
satu bulan. Pada umumnya penderita
gangguan kemampuan berpikir, seperti
PTSD menderita insomnia dan mudah
:
tersinggung
terkejut.
mengambil keputusan untuk masalah
Penderita PTSD sering menunjukkan
sehari-hari (2) sulit berkonsentrasi (3)
reaksi yang berlebihan yang merupakan
sulit membuat rencana tentang hal-hal
akibat adanya perubahan neurobiologis
yang sederhana (4) banyak memikirkan
pada sistem syarafnya (Grinage, 2003).
masalah-masalah
Penderita
curiga
serta
PTSD
mudah
juga
mengalami
(1)
sulit
dan
atau
lambat
kecil
perasaan
dalam
(5)
mudah
selalu
takut
gangguan konsentrasi atau gangguan
disakiti (6) adanya ide bunuh diri (7)
mengingat,
Teringat
sehingga
sering
5
kembali
pada
kajadian
traumatis
hanya
dengan
melihat,mencium,atau
adalah faktor-faktor yang ada saat
mendengar
terjadinya
sesuatu ( Grinage, 2003 ).
dan
putus
asa
antara
lain
dalamnya rasa duka selama terjadinya
Gangguan emosi ditandai (1) sedih
bencana
(2)
bencana, melihat dirinya atau keluarga
mudah
yang
cedera,
merasakan
ancaman
tersinggung dan cemas (3) kemarahan
terhadap hidunya, rasa panik selama
dan rasa bersalah (4) perasaan orang
bencana terjadi, ketakutan yang amat
lain
sangat, terpisah dari anggota keluarga,
tidak
akan
penderitaannya
(5)
dapat
mengerti
perasaan
takut
kehilangan
anggota
keluarga,
mengalami kembali kejadian traumatis
kehilangan harta yang besar, dipindah
tersebut (6) perasaan kehilangan dan
dari rumah / daerah asal. Secara singkat
kebingungan (7) perasaan ditinggalkan
korban
(8) emosi yang naik turun (9) mudah
beberapa kondisi sebagai berikut:
bencana
akan
mengalami
mengalami kecelakaan dan penyakit (10)
meningkatnya
masalah
SEBELUM
SESUDAH
BENCANA
perkawinan dan pergaulan dan (11)
BENCANA
BENCANA
ADAPTASI
perasaan seakan-akan bencana tersebut
_ Kehidupan _ Kehidupan - depression,
tidak terjadi (Grinage, 2003).
rutin
tidak
- anxiety,
_ Bertujuan
menentu
- flashbacks,
terjadinya PTSD pasca bencana dapat
_Dapat
_
dibagi
direncanakan bertujuan
Beberapa
menjadi
faktor
beberapa
risiko
kategori.
Tidak - recurrent
Kategori pertama adalah faktor-faktor
_Sepertinya
sebelum terjadinya bencana antara lain:
tidak
jenis
direncanakan
kelamin,
umur,
pengalaman
- Nightmarer - avoidance
dapat
of reminders of the event
terhadap bencana sebelumnya, budaya, Sumber; Merriam- Webster’s Medical Dictionary
ras, status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan,penghasilan),
status
pernikahan, status di dalam keluarga
PENANGANAN PTSD
(Ayah, Ibu, anak), kepribadian dan riwayat
kesehatan
jiwa
Ada
sebelum
pengobatan
terjadinya bencana. Kategori kedua
penderita
6
dua yang PTSD,
macam dapat yaitu
terapi
dilakukan dengan
menggunakan
farmakoterapi
dan
pikiran negatif dan mengganti dengan
psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi
pikiran positif ketika menghadapi hal–
dapat berupa terapi obat hanya dalam
hal yang membuat stress (stresor), 4)
hal kelanjutan pengobatan pasien yang
assertiveness training, yaitu belajar
sudah dikenal. Terapi anti depresiva
bagaimana mengekspresikan harapan,
pada gangguan stres pasca traumatik
opini dan emosi tanpa menyalahkan
ini masih kontroversial.
atau menyakiti orang lain, 5) thought
Penanganan melalui konseling
stopping,
yaitu
belajar
bagaimana
atau psikoterapi. Para terapis yang
mengalihkan pikiran ketika kita sedang
berkonsentrasi pada masalah PTSD
memikirkan hal-hal yang membuat kita
percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi
stress (Anonim, 2005b).
yang dapat digunakan dan e fektif
Dalam
cognitive
untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety
terapis
management,
kepercayaan yang tidak rasional yang
exposure
cognitive
therapy
.
Pada
therapy, anxiety
membantu
mengganggu
untuk
therapy,
emosi
dan
merubah
kegiatan
management, terapis akan mengajarkan
sehari-hari klien.
beberapa ketrampilan untuk membantu
korban
mengatasi gejala PTSD dengan lebih
menyalahkan diri sendiri karena tidak
baik melalui: 1) relaxation training,
hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah
yaitu belajar mengontrol ketakutan dan
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang
kecemasan
dan
tidak rasional, mengumpulkan bukti
merelaksasikan kelompok otot -otot
bahwa pikiran tersebut tidak rasional
utama, 2) breathing retraining, yaitu
untuk melawan pikiran tersebut yang
belajar bernafas dengan perut secara
kemudian mengadopsi pikiran yang
perlahan
lebih
secara
-lahan,
sistematis
santai
dan
Misalnya seorang
kejahatan
realistik
untuk
mungkin
membantu
menghindari bernafas dengan tergesa -
mencapai emosi yang lebih seimbang
gesa yang menimbulkan perasaan tidak
(Anonim, 2005b).
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
Sementara itu, dalam exposure
baik seperti jantung berdebar dan sakit
therapy
kepala, 3) positive thinking dan self-
menghadapi situasi yang khusus, orang
talk, yaitu belajar untuk menghilangkan
lain, obyek, memori atau emosi yang
7
para
terapis
membantu
mengingatkan
pada
trauma
dan
Hal ini dapat membantu anak lebih
menimbulkan ketakutan yang tidak
merasa
realistik dalam kehidupannya. Terapi
dengan
dapat berjalan dengan cara: exposure in
(Anonim, 2005b).
the imagination, yaitu bertanya pada penderita
untuk
mengulang
nyaman
dalam
pengalaman
berproses
traumatiknya
Selain itu, didapatkan pula
cerita
support group therapy dan terapi
secara detail sampai tidak mengalami
bicara. Dalam support group therapy
hambatan menceritakan; atau exposure
seluruh peserta merupakan penderita
in reality, yaitu membantu menghadapi
PTSD yang mempunyai pengalaman
situasi yang sekarang aman tetapi ingin
serupa
dihindari
menyebabkan
tsunami, korban gempa bumi) dimana
ketakutan yang sangat kuat (misal:
dalam proses terapi mereka saling
kembali ke rumah setelah terjadi
menceritakan
perampokan di rumah). Ketakutan
traumatis mereka, kemdian mereka sa
bertambah kuat jika kita ber -usaha
ling memberi penguatan satu sama lain
mengingat situasi tersebut dibanding
(Swalm, 2005). Sementara itu dalam
berusaha melupakannya. Pengulangan
terapi bicara memperlihatkan bahwa
situasi
dalam sejumlah studi penelitian dapat
karena
disertai
penyadaran
yang
(misalnya
korban
tentang
pengalaman
berulang akan membantu menyadari
membuktikan
situasi lampau yang menakutkan tidak
berbagi
lagi
mampu memperbaiki
kondisi
jiwa
penderita. Den
gan
berbagi,
bisa
beban
pikiran
dan
berbahaya
dan
dapat
diatasi
(Anonim, 2005b). Selain
teknik-teknik
yang
bahwa
bencana
cerita
memperingan
terapi
mengenai
saling trauma,
telah dijelaskan tersebut, didapatkan
kejiwaan yang dipendam. Bertukar
pula terapi bermain ( play therapy)
cerita membuat merasa mereka senasib,
yang biasa
bahkan merasa dirinya lebih baik dari
penanganan
diterapkan dalam upaya anak
PTSD.
Terapi
orang
lain.
Kondisi
ini
memicu
bermain dipakai untuk menerapi anak
seseorang untuk bangkit dari trauma
dengan
memakai
yang diderita dan melawan kecemasan
permainan untuk memulai topik yang
(A nonim, 2005b). Pendidikan dan
tidak dapat dimulai secara langsung.
supportive konseling juga merupakan
PTSD.
Terapis
8
upaya lain untuk mengobati PTSD.
atau mengajak dialog dengan mereka
Konselor
sehingga tercipta perasaan yang lebih
ahli
pentingnya
mempertimbangkan
penderita
PTSD
(dan
baik dan mengembangkan kemampuan
keluarganya) untuk mempelajari gejala
untuk
PTSD dan bermacam treatment (terapi
bermain merupakan terapi yang dalam
dan pengobatan) yang cocok untuk
pelaksanaan
PTSD.
media Walaupun
masalah.
terapi
alat-alat
Terapi
menggunakan
bermain.
Setiap
mem-
permainan memiliki makna simbolis
punyai gejala PTSD dalam waktu lama,
yang dapat membantu terapis untuk
langkah pertama yang pada akhirnya
mendeteksi sumber permasalahan anak
dapat
(Sukmaningrum, 2001).
ditempuh
seseorang
mengatasi
adalah
mengenali
gejala dan permasalahannya sehingga
B. Konsep Dasar
dia mengerti apa yang dapat dilakukan
Landert
untuk mengatasinya (Anonim, 2005b).
(1991)
menyatakan
bahwa dalam Play therapy dikenal tiga pendekatan, yaitu non-directive atau
KONSELING MELALUI TEKNIK
humanis,
PLAY THERAPY
Pendekatan non-directive dipelopori
A. Definisi
oleh Williamson dengan karakteristik
Bermain
digunakan
sebagai
directive,
dan
eclectic.
sebagai berikut: pendekatan langsung
terapi untuk anak-anak sebagaimana
(therapist-centered
konseling digunakan sebagai terapi
pendekatan untuk segera melakukan
untuk
tindakan (action approach), dan lebih
therapy
orang-orang merupakan
dewasa. suatu
Play teknik
bersifat
approach),
behavioristik.
Terdapat
konseling yang diberikan orang dewasa
beberapa langkah dalam pendekatan
kepada anak-anak dengan didasari oleh
ini, yaitu :
konsep bermain sebagai suatu cara 1) Analisis : Mengumpulkan data
komunikasi anak-anak dengan orang dewasa
untuk
dan
mengungkapkan
dewasa
sumber
secara
autoanamnesa (yang dikemukakan
ekspresinya yang sifatnya alami, maka orang
semua
oleh
menggunakan
klien
sendiri)
maupun
alloanamnesa (yang dikemukakan
pendekatan ini untuk mengintervensi
9
oleh
teman-teman,
orang-orang
terapis, hal ini dapat diatasi dengan
disekitar klien) 2) Sintesis
tidak
: Menghubungkan dan
Mengidentifikasi Dalam pendekatan ini, anak
4) Prognosa :
Antisipasi
diberi
apakah
:
diri
seoptimal
"Apa yang hendak ia mainkan, ia
Membantu
sendiri yang menentukan, sedangkan
menyelesaiakan masalah klien
terapisnya hanya mengikutinya sambil
6) Follow up : Tindak lanjut untuk apakah
memberikan
yang
Tahap
ini
umpan
balik.
Selama
mengikuti permainan, terapis akan
diberikan dalam terapi dilakukan klien.
untuk
mungkin dan bebas di ruang bermain.
dengan mudah.
mengevaluasi
kesempatan
mengekspresikan
permasalahan dapat diselesaikan
oleh
kecuali
menetap.
masalah
5) Terapi
nasehat
nasehat tersebut sudah teruji secara
merangkum data 3) Diagnosis :
memberikan
mengamati perilaku anak dan mimik
perlu
wajahnya.
dilakukan terus-menerus.
Berdasarkan
pengamatan
itu, terapis akan memberikan umpan Pendekatan non-directive ini
balik yang sesuai. Misal, si anak
memiliki beberapa keuntungan, karena
melempar-lempar mainannya dengan
waktu yang dibutuhkan relatif singkat
ekspresi wajah yang kesal, maka
(hanya 3-4 kali pertemuan), pendapat
terapis akan menanyakan padanya apa
dan pengalaman dari konselor dapat
yang membuatnya merasa jengkel. Di
digunakan sebagai dasar pikiran klien
sini
dan banyak diterapkan, karena tidak
dipahami, dan seiring dengan proses
perlu memberikan penjelasan panjang
tersebut
lebar. Meski demikian, pendekatan ini
memahami dirinya.
akhirnya
ia
anak
akan
akhirnya
akan
merasa
lebih
juga memiliki kelemahan, yaitu: ada kemungkinan
klien
Pendekatan
mengutarakan
pendekatan
masalah sederhana yang bukan menjadi masalah terjadi
sebenarnya ketergantungan
dan
centered
biasanya
klien
kedua
directive play
atau
therapy
adalah child yang
dikembangkan oleh Carl R.Rogers.
pada
Child-centered
10
play
therapy
lebih
memfokuskan masalah
pada
yang
seringkali
anak
muncul.
terapis
daripada
e
Meskipun
yang
Klien dibantu agar makin mengenal dirinya
sedang
f
Ciri-ciri :
melakukan diagnosis dan asesmen
Personal
daripada
masalah
menjadi kehilangan cara pandang ini,
Saat ini
daripada
masa lalu
tetapi simptom/gejala dianggap tidak
Perasaan
drpd
sepenting
Pengertian
daripada
penjelasan
Penerimaan
daripada
mengoreksi
Arah anak
drpd
anak.
Pendekatan
ini
dikembangkan berdasar asumsi bahwa: 1) Orang yang datang pada terapis memiliki
kemampuan
sikap
tindakannya
serta
dasar
untuk
terapis Hubungan ini terbentuk selama
dan
terapis mengkomunikasikan pengertian
mengarahkan
dan
dirinya
penerimaan.
yang sensitif terhadap perasaan di dalam
Terapis
tanggungjawab atas penyelesaian Klien
pertanyaan
menerima
umumnya
cenderung
mengangkat
anak terfokus pada terapis daripada pada anak. Terapis bermain juga
pengetahuan,
menghindari berbagai bentuk evaluasi.
menjelaskan dan mengulang secara obyektif
bermain
pertanyaan membuat hubungan terapis-
untuk
mengekspresikan diri Terapis
cara
dunia afektif ke dunia kognitif, serta
penyelesaiannya
d
dengan
menghindari bertanya dengan alasan
diminta
membuat alternatif dan memutuskn
bebas
anak
verbal maupun nonverbal.
memimpin terapi dan memotivasi
masalahnya.
diri
merefleksikan perasaan, baik secara
Klien diberi kesempatan untuk
Klien
mulai
ketika terapis menunjukkan respon
tercipta suasana yang mendukung.
c
Anak
mengenali nilai-nilai dalam dirinya
2) Kemampuan ini dapat tergali, jika
b
instruksi terapis
Kearifan anak daripada pengetahuan
mengenali dirinya untuk mengubah konsep,
pikiran&tindakan
Anak didorong tetapi tidak diberi
pernyataan-pernyataan
hadiah, karena hadiah membentuk pola
klien
evaluatif.
11
Selain
itu
menghindari
terapis
bermain
intervensi
6. Mampu mengambil keputusan yang
seperti
sesuai tujuannya
menawarkan solusi atau nasihat, atau
7. Mengalami
membiarkan anak memanipulasi terapis
mengendalikan
untuk menjadi guru dan melakukan
8. Mengembangkan
sesuatu untuknya. Anak dianggap tidak belajar
untuk
evaluation, ketika
self-direction,
dan
terapis
self-
9. Menjadi lebih sensitive terhadap proses mengatasi masalah
dan
10. Menjadi lebih mempercayai diri
memberi solusi. Tujuan
sendiri child-centered
play Pendekatan
therapy sejalan dengan arah perjuangan
mengalami
proses
anak
directif dan non directif, digunakan bila
akan
dalam
menemukan
individu
dengan
untuk
satu
atas, maka child-centered play therapy
terapi
directive.
Terapis
kegiatan
terapi.
Klien
dapat
mengikuti program terapis dengan
ditujukan untuk membantu anak:
rileks
1. Mengembangkan konsep diri yang
karena
sehingga
positif
tidak
anak
ada
paksaan,
akan
merasa
membutuhkan terapis.
2. Meningkatkan rasa tanggung jawab terarah
anak
disesuaikan dengan kondisi klien dalam
akan datang. Untuk mencapai hasil di
lebih
directive
menggunakan cara yang dianggap tepat
mengatasi masalah sekarang dan yang
3. Menjadi
non
permainan, terapis dapat membantu
Memfasilitasi anak untuk menjadi lebih sebagai
terapi
kemudian diam tidak mau melanjutkan
kekuatan dalam diri (internal strength).
adekuat
adalah
merupakan gabungan dari pendekatan
menuju self actualization. Dengan diharapkan
ketiga
pendekatan eklektif, pendekatan ini
self directing dari dalam diri anak
demikian
kemampuan
internal untuk mengevaluasi
bertanggungjawab mengevaluasi
perasaan
(serf
C. Teknik-Teknik
directing)
Dan
Prosedur
Dalam Play therapy
4. Menjadi lebih menerima diri (self
Terdapat banyak teknik yang
acceptance)
dapat digunakan play therapy,
5. Menjadi lebih tangguh (self reliant)
diantaranya:
12
1. Symbolic play techniques
untuk
memunculkan
Merupakan permainan yang secara
menanamkan
simbolik
keterampilan
untuk
memungkinkan
mengeluarkan
anak
kehidupan
emosi mereka melalui permainan.
menyelesaikan
Cocok bagi anak pada masa laten untuk
Bender,
mengungkapkan
bahwa
Negara
mengembangkan
1954
achievement,
play
menguasai lingkungan, dan self-
therapy dapat dilakukan pada anak semua
kompetensi,
esteem.
dengan
6. Electronic techniques
menggunakan pasir, batu, daun
Permainan
palm, salju atau kristal es. Hal ini
menjadi
mengingat
mengembangkan
bahwa
dan
5. Board games
media
dari
nilai-nilai
masalah.
2. Play techniques using natural
Lauretta
insight,
bahan-bahan
elektronik alat
dapat untuk
kemampuan
alam memiliki arti/makna bagi anak
menyelesaikan
masalah,
dan memiliki nilai terapuetik
mengendalikan
agresi,
3. Drawing and art techniques Menurut
Shaw,
1938
meningkatkan melukis
berpikir, kerjasama dan nilai-nilai
dengan tangan memiliki fungsi terapuetik
dan
interpersonal
memunculkan
katarsis. Tahun 1946 Jacob Arlow
D. Prosedur Dalam Play therapy
dan Asja Kadis, melihat bahwa finger
painting
memproyeksikan mengekspresikan
fantasi
Dalam play therapy penerapan
dapat
konsep client-centered dapat dilakukan
dan
terhadap klien individual dan juga
dan
kelompok, sehingga dikenallah bentuk
asosiasi bebas. 4. Storytelling,
kemampuan
child-centered play therapy dan childrole
playing,
and
centered group play therapy. Selain itu
imagery techniques
dengan orientasi efisiensi waktu maka
Mengeluarkan konflik di dalam
dikembangkan play therapy dalam
diri, mengenalkan cara adaptasi
durasi short term, tetapi pada kasus
yang lebih sehat, dengan bertujuan
yang
13
kritis
atau
traumatic
membutuhkan frekuensi lebih banyak
jangka
maka dirancanglah bentuk intensive
therapy merupakan bentuk penanganan
short term (dalam Landreth, 2001).
yang terdiri dari kurang atau sama
Agar
pelaksanaan
panjang.
Short
term
play
terapi
dengan 12 sesi dengan durasi 30-45
bermain lebih efektif, filial therapy
menit per sesi, dan dilakukan seminggu
dikembangkan oleh Landreth (2001)
sekali.
untuk orang tua, selama 10 minggu
Selain itu berkembang pula
hubungan orang tua-anak diperkuat
Intensive short term play therapy, yaitu
melalui
komponen
penanganan
dinamis.
Orang
didaktik tua
keterampilan tentang
dan
mendapat
terhadap
child-centered
yang
lebih
kasus-kasus
traumatic,
intensif
kritis
misalnya
atau
kecelakaan,
play therapy seperti merefleksikan
kehilangan orang yang dicintai, korban
perasaan, menunjukkan penerimaan,
kekerasan, korban ledakan bom dll.
dan menentukan batasan yang tepat.
Dalam penanganan ini pertemuan tidak
Terapi
dukungan
dilakukan seminggu sekali tetapi bisa
tua
dan
sampai
keterampilan
pola
Pertimbangannya
ini
emosional
memberikan bagi
orang
mengembangkan
asuh yang lebih sehat. Dewasa dituntut
5
kali
per adalah
minggu. karena
efektifitas 10 sesi dalam 10 minggu
ini
play
untuk
therapy
sama dengan efektifitas dari 10 sesi
lebih
dalam 2 minggu,
maka dalam 8
mempertimbangkan efektifitas biaya,
minggu selanjutnya anak akan dapat
lebih berorientasi pada tujuan, dan
menyesuaikan diri dengan lebih baik
pembatasan
waktu
terapi.
Dengan
dan menjadi produktif lebih cepat.
demikian
terapis
play
terapi
penelitian
tentang
penanganan dengan frekuensi 2 kali per
short term play therapy agar mampu
hari setiap pagi dan sore, atau 3 sesi per
membuktikan efektifitas play therapy
hari dengan durasi 30 menit dan jeda
sebagai
istirahan diantaranya selama 30-45
mengembangkan
tritmen
terhadap
Model
anak
berdasarkan bukti empiris dan juga
intensif
yang
lain
adalah
menit.
untuk membantah anggapan bahwa
Model
play therapy membutuhkan komitmen
lainnya
lagi
adalah
penanganan dengan durasi 4-6 jam per
14
hari selama 4 hari berturut-turut yang
berresiko
tinggi
yang
dapat
pernah digunakan untuk anak-anak
menyakitkan secara emosional.
yang mengalami traumatik korban Beberapa gejala yang menonjol
gempa bumi. Penggunaan Short term
yang terjadi pada anak paska trauma
ini dapat dilakukan dengan play terapi
berdasar hasil pengamatan anak-anak
individual juga kelompok, sehingga
di kamp pengungsian menunjukkan
dikenal dengan sebutan short term
bahwa mereka takut berpisah dari
(individual) play therapy dan short
orang tua, berteriak-teriak, trembling,
term group play therapy.
whimpering,
excessive
mengalami
E. Penerapan Play Therapy pada
clinging,
gangguan
tidur,
nightmares, ketakutan yang irrasional,
Stress Pasca Trauma Bencana
dan sakit perut tanpa didasari kondisi
Merapi
medis (Strachan dan Bloem, 2005). Penerapan Play therapy dalam Symtomp
makalah ini akan difokuskan pada
mengacu pada peristiwa eksternal yang
anak yang selamat dari gempa Bencana
stressful dan tidak diharapkan. Trauma
Merapi mengalami peristiwa emosional
psikis akan menyebabkan individu
yang menyakitkan, dimana mereka
dihadapkan pada kondisi helplessness
harus kehilangan salah satu atau kedua
dalam menghadapi bahaya kecemasan
orangtuanya dan beberapa saudara atau
dan
anggota keluarga yang lain, tempat
perpindahan
yang
adanya
mendadak
1. Merasa
dari
peristiwa
rumah ke tempat pengungsian yang sangat berperan
crowded, sebagai
diyakini
dapat
kondisi
yang
instingtif.
adalah:
sekolah yang tidak mendukung. Shock tersebut,
dorongan-dorongan
Karakteristik symtomp yang terlihat
yang rusak, serta kondisi
peristiwa
atas
menyatakan bahwa peristiwa traumatik
pasca trauma bencana Merapi. Anak-
akibat
di
menguatkan pendapat Terr (1991) yang
kasus anak yang mengalami stress
tinggal
tersebut
nightmare
15
mengalami traumatik,
kembali seperti
2. Menghindari
yang
Menudurt Knudson (dalam Shaw, dkk,
diasosiasikan dengan situasi yang
1995) ketepatan dalam mendiagnosa
mengingatkan
dan memperlakukan anak-anak yang
3. Kehilangan
stimulus
trauma responsifitas
secara
mengalami
umum
gangguan
stress
pasca
trauma merupakan hal yang sangat
4. Meningkatnya árousal kewaspadaan,
irritabilitas,
seperti
penting karena jika perlakuannya tidak
dan
tepat dapat mempengaruhi aspek-aspek
susah tidur
perkembangan individu selanjutnya. Anak memiliki resiko terbesar untuk
Selanjutnya
Terr
(1991)
mengalami efek trauma sebab mereka
mengidentifikasi empat karakteristik anak
yang
mengalami
belum memiliki kematangan identitas
peristiwa
diri dan kemampuan mereka untuk
traumatik, yaitu:
melakukan koping terhadap stres masih
1. Recurrent dan intrusive
sangat terbatas, sehingga jika trauma
2. Perilaku yang diulang-ulang
psikis terjadi pada masa kanak-kanak,
3. Ketakutan yang spesifik terhadap
biasanya
trauma dan menghindari stimulus
akan
perkembangan
yang diasosiasikan dengan trauma
terjadi
penghentian
emosional.
(Kaplan,
dkk, 1997).
4. Sikap yang berubah-ubah terhadap orang-orang,
aspek-aspek
Gangguan stres pasca trauma
kehidupan dan masa depan
pada anak selain berpengaruh terhadap kondisi emosi, juga mengandung resiko
Anak-anak
yang
mengalami
yang berhubungan dengan masalah
peristiwa traumatik tidak saja menjadi
psikososial, gangguan belajar, dan
terganggu secara fisik dan psikis saat
hambatan perkembangan (Ammerman
kejadian, tetapi justru yang menjadi
& Hersen, 1997). Gejala-gejala yang
ancaman adalah gangguan tersebut
muncul antara lain kecemasan karena
termanifestasi dalam bentuk dan waktu
perpisahan dengan orangtua, penolakan
yang berbeda. Pengalaman yang tidak
untuk
menyenangkan akan tersimpan dalam alam
bawah
sadar
yang
sekolah,
sendirian,
dapat
menolak
gangguan
ditinggal perilaku,
gangguan tidur, mimpi buruk, sering
mempengaruhi dinamika kepribadian.
16
terjaga,
perilaku
ngompol),
regresif
hiperaktif,
konsentrasi,
dan
(misal:
dengan
memberikan
gangguan
fasilitas
bermain.
keluhan-keluhan
alat-alat Play
dan
therapy
memberikan relasi yang aman bagi
somatis (Kalayjian, dalam Azarian,
anak
untuk
mengekspresikan
dan
dkk, 1998).
melakukan eksplorasi terhadap diri mereka (perasaan, pikiran, pengalaman,
Berdasar tersebut,
kondisi
maka
perlu
mental
dan tingkah laku)
dilakukan
melalui
media
komunikasi natural anak yaitu bermain
intervensi dini guna menyelamatkan
(Landreth, 1991).
anak-anak dari penderitaan trauma yang dialami. Orangtua, guru, dan
Menurut Landreth (2001), play
profesional kesehatan mental perlu
therapy
direkomendasikan
sebagai
bekerja sama menangani kasus ini
media
terapi
bermain
sehingga anak dapat merasa terlindungi
merupakan ekspresi alamiah anak dan
dari stimulus yang menyakitkan.
play therapy tidak
karena
secara langsung
mengingatkan anak dengan peristiwa Intervensi yang tepat bagi anak
traumatik
diharapkan dapat diberikan sejalan
dilakukan
dengan karakteristik perkembangan,
dunia
dalam
bermain,
pada
pasca trauma dapat dilakukan dengan bermain
feeling
anak
pasca
traumatik
juga
dianggap memiliki kelebihan terkait
(play
dengan fleksibilitas yang tinggi yang
therapy).
diterapkan sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Play therapy merupakan suatu bentuk
innermost
dan
mereka. Play therapy yang diterapkan
penanganan anak yang mengalami stres
terapi
menggunakan
mengekspresikan
mengeksplorasi
sehingga intervensi yang tepat bagi
memberikan
dengan
karena
memungkinkan anak merasa aman
maupun psikomotorik anak. Dunia merupakan
dialami
materi-materi simbolik. Hal tersebut
baik aspek sosial, kognitif, emosi,
anak
yang
relasi
interpersonal
yang
Guna
dinamis antara anak dan terapis yang
memperoleh
atau
mencapai penguasaan dari peristiwa
dilakukan dalam prosedur bermain
masa lalu, anak perlu diberi media
17
yang dapat memberikan lingkungan
guna memperoleh kontrol diri atau
penuh dengan kreasi imajinasi sehingga
penguasaan
penyelesaian tugas dalam permainan
dimana sebelumnya mereka tidak
dengan
berdaya.
kemampuan
superhuman
kepada anak untuk menghadapi situasi
diri
dalam
situasi
Permainan sandiwara atau drama
sosial dan fisik dapat dilakukan dengan
dapat menggambarkan peran (role)
baik. Menurut Geldard & Geldard
yang sangat kuat.
(2001) dan Landreth (2001), media yang dapat digunakan untuk play
Buku cerita dan bercerita dapat mendorong atau membesarkan hati anak untuk merubah cerita. Anak
Bermain boneka (puppe/soft toys)
Bermain pasir
Senjata mainan
Bermain lilin Penerapan
dapat memproyeksikan jalan keluar
mengalami
sendiri bahkan karakter-karakter
prosedur
Menggambar dapat memberikan
gambar-gambar
anak,
yang
anak
permainan
terapuitik,
tahap
pikiran-pikiran
yang
diawali
eksplorasi
atau
anak,
tahap
perkembangan, dan terminasi atau
diri mereka. Dalam
pasca
sensitif dan perasaan-perasaan serta
dapat
melukiskan kekuatan dan kontrol
stress
penjelajahan permasalahan anak yang
berisi peristiwa traumatis yang alami,
gangguan
dengan membangun hubungan dengan
pengalaman kepada anak untuk
mereka
bermain
trauma perlu memperhatikan beberapa
dalam cerita.
membuat
terapi
sebagai intervensi bagi anak yang
yang sesuai dengan diri mereka
potongan-potongan
kertas menjadi suatu gambar.
therapy bagi anak pasca trauma berupa:
Menyusun
penghentian (Griffith, 1997). Berikut perjalanan
ini contoh materi yang dapat diterapkan
imajinasi (imaginary journey) anak
dalam terapi bermain bagi anak dengan
dapat menjelajahi situasi kehidupan
gangguan stress pasca trauma gempa
masa lalu mereka, sehingga anak
bumi:
dapat memasukkan perilaku baru MATERI
dalam imajinasi mereka sendiri,
18
TUJUAN
METODE
Ice Breaking
-
-
Mengetahui gambaran diri
-
Mengenal perasaan
-
Mengontrol emosi
Strategi pemecahan masalah
Penutup
Menciptakan keakraban antara anak dengan terapis, dan antar anak peserta terapi Mengajarkan kepada peserta cara memperkenalkan diri Peserta mengenalkandiri sendiri
Mengenal berbagai jenis perasaan diri dan orang lain - Mengenalkan situasi-situasi yang menumbuhkan emosi tertentu - Mengajarkan anak cara mengontrol perasaan - Mengajarkan anak cara mengekspresika n perasaan dengan cara yang tepat Mengajarkan anak cara memahami masalah dan memikirkan penyelesaian Melatih anak agar dapat menyimpulkan pengalaman yang telah dilalui dengan melihat manfaat positif yang dapat diperoleh
Materi-materi
tersebut
Permainan
Bercerita Menggambar
- Bermain lilin/malam - Bercerita - Diskusi
Menggambar Bermain lilin Diskusi
Sandiwara (bermain peran) Diskusi
METODE
WAKTU
45 menit
60 menit
3. Identifi kasi terhada p karakter dan kecema san (menge nali perasaa n)
Bercerita
60 menit
1.Menga mbar
60 menit
2. Bermain lilin
45 menit
4. Eksplor asi perasaa n
dijadikan
kegiatan yang akan dilakukan, contoh: Permainan
Bercerita
Tanya jawab
sebagai dasar dalam membuat program
SESI I. Ice Breakin g
2. Asesme n (menget ahui gambar an diri)
PROSEDUR - Perkenalan yang diawali oleh terapis dan coterapis
19
- Perkenalan dari peserta - Perkenalan dilakukan dengan berpasangpasangan seolah-olah peserta A menjadi B, dan sebaliknya Terapis membaca cerita Anak diminta menambah cerita sendiri sesuai pengalaman yang pernah dialami anak - Anak saling menyambung cerita Terapis membaca cerita Anak diminta menambah cerita sendiri sesuai pengalaman yang pernah dialami anak - Anak saling menyambung cerita Anak menggambar bebas namun harus ada unsur rumah, pohon, dan orang Anak diminta menceritakan hasil gambar Anak diminta membuat bentuk sesuai peran mereka dan orangorang dekatnya Anak diminta
5. Mengo ntrol Emosi
1. Ceramah dan tanya jawab
2. Bercerita
6. Strategi pemeca han masalah
Sandiwara
45 menit
45 menit
75 menit
bercerita tentang apa yang mereka buat Terapis menjelaskan contoh-contoh pentingnya mengontrol perasaan dan dampak yang terjadi ketika ekspresi perasaan tidak tepat Anak diminta membuat kelompok dan masingmasing kelompok menggambar ekspresi marah, sedih, takut Anak diminta menceritakan gambar dan cara mengatasi saat perasaan yang digambar terjadi pada diri mereka Anak diminta membuat setting tempat dengan menyusun meja kursi dan perabotan yang dibutuhkan Anak membentuk kelompok Anak diminta membuat cerita sesuai tema berupa pengalaman yang pernah dialami selama gempa Anak diminta memerankan
cerita yang telah dibuat - Diskusi
Penerapan
play
therapy
untuk
menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma Bencana Merapi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Dengan
terapi
bermain
kelompok diharapkan dapat menjadi media bagi anak dalam melatih dan mengembangkan kompetensi diri dan belajar
mekanisme
digunakan
anak
mengeksplorasi
koping
yang
lain
serta
kehilangan
dan
menormalkan reaksi anak dengan cara berbagi pengalaman.
SIMPULAN Penerapan anak
yang
konseling
memiliki
pada
karkateristik
perkembangan baik kognitif, emosi, sosial, dan perilaku yang berbeda dengan perlunya
orang
dewasa,
pemberian
menuntut
layanan
yang
sesuai dengan karakteristik tersebut. Terdapat beberapa kelebihan penerapan
20
Play therapy
salah satu teknik
dengan budaya petani yang sangat
konseling bagi anak korban bencana,
kental
yaitu play therapy sesuai dengan tahap
bencana, hal ini berpengaruh terhadap
perkembangan
pola hubungan orangtua dan anak,
bermain.
anak
Selain
sebagai
itu,
masa
penanganan
pada
dimana
masyarakat
orangtua
jarang
korban
mengisi
gangguan stress pasca trauma (PTSD)
waktunya
bermain
bersama
yang dialami anak korban bencana
mereka
akan
merapi dengan play therapy dapat
menghabiskan waktu mereka di sawah
melibatkan orang-orang dewasa yang
sehingga
berada di sekitar anak, dan tidak terlalu
menerapkan Filial therapy cenderung
membutuhkan media bermain yang
sulit. Namun, karena masyarakat desa
sulit. Media atau alat yang dibutuhkan
sangat
dalam terapi ini dapat dijumpai di
sekitar
lingkungan sekitar korban bencana.
maka alternatif permainan kelompok
Play therapy juga bersifat universal
teman sebaya dapat dioptimalkan.
lebih
anak, banyak
kemungkinan
terikat
dengan
untuk
lingkungan
terutama teman sebayanya,
sehingga akan mampu menjembatani bias budaya yang mungkin terjadi
DAFTAR PUSTAKA
antara terapis dengan anak.
Anonim, “319 Personel Perdamaian PBB Melakukan Pelecehan Seksual,” http://www.rileks.com/ragam/ detnews/1122006044249.html, diakses 05 Desember 2006a.
Meskipun
play
therapy
memiliki banyak kelebihan sebagai layanan konseling bagi anak yang mengalami PTSD, namun terdapat
Anonim, “Apa itu Gangguan Tekanan Lepas Kejadian Traumatik (PTSD)?,”http://www.cgh.co m.sg/health_public/pamphlet/ Malay/PTSD/PTSD_ main1_new.html, diakses 04 Mei2005d.
beberapa hambatan yang mungkin terjadi
dengan
adanya
kultur
masyarakat pedesaan di lereng Merapi, diantaranya, yaitu: anak Merapi belum terbiasa
mengekspresikan
emosi
mereka secara verbal, sehingga dalam beberapa
kegiatan
play
Anonim.
therapy
bimbingan terapis sangat diperlukan. Faktor
kultur
yang
kedua
terkait
21
2008. Laporan Hasil Penelitian PTSD di Jawa Tengah. Badan Litbang Propinsi Jawa Tengah.
American Psychiatric Association (APA). 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4 th ed) Washington, DC: Author. Fauzia, Y., Wardhani, & Lestari, W. 2010. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan, Surabay .journal.unair.ac.id/filerPDF/ Gangguan%20Stres%20Pasca %20Trauma%20pada%20Kor ban.pdf. Diakses 10 November 2010.
and Evidence (New York: Cambridge University Press, 2000). Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb (1997), Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, 2. Jakarta: Binarupa Aksara. Roan
Flannery, R.B. (1999) Psychological trauma and post traumatic stress Disorder: a.review, International Journal of Emergency Mental Health. 1 (2) p 77 – 82
,W., 2003. “Melupakan Kenangan Menghapus Trauma” dalam Intisari, Desember, http://www.jagajaga.com/anIjakTerkini. php? ida= 65234, diakses 4 Mei 2005.
Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, “Psychological Debriefing for Preventing Post Traumatic Stress
Geldard, K & Geldard, D. 2001. Counseling Children, A Practical Introduction. London: Sage Publications Ltd Landreth, G.L. 1991. Play therapy: TheArt of the Relationship. Indiana: Accelerated Development Inc Landreth, G.L. 2001.Innovations in Play therapy:Issues, Process, and Special Populations. BrunnerRoutledge: Taylor & Francis Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma Karena Kekerasan (Domestic Violence) Pada Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 8. No. 2, 14-23 Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice
22