KONFLIK POLITIK MASYARKAT TAMANSARI DENGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA Studi Kasus Penutupan Akses Jalan Menuju TPSA Ciangir Oleh:Dicky Darmawan NPM:093507007 Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi no.24 Tasikmalaya 46115 ABSTRAK Penelitian ini berjudul ”KONFLIK MASYARAKAT TAMANSARI DENGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA (Studi Kasus Penutupan Akses Jalan Menuju Tempat Pembuangan Sampah Akhir Ciangir)” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti dan mengkaji secara lebih mendalam mengenai konflik politik yang terjadi, dan memahami, apa saja yang menjadi faktor penyebab konflik politik, proses penyelesain konflik politik dan dampak dari konflik politik tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif Kualitatif, dengan teknik pemilihan informan menggunakan Purposive sampling. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Model analisis yang digunakan adalah Analisis Interaktif dari Milis dan Huberman dengan pengujian keabsahan data dengan Trianggulasi sumber, teknik dan waktu Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi konflik politik antara Masyarakat Tamansari yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tamansari dan Mugarsari dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya. Tuntutan masyarakat terhadap tiga hal, yaitu perbaikan jalan menuju TPSA Ciangir, pembenahan sistem buka tutup TPSA Ciangir dan Pengadaan sarana air bersih di lingkungan TPSA Cingir. Konflik politik ini memuncak hingga terjadi aksi massa dengan jumlah massa sekitar 1000 orang yang memblokir jalan menuju TPSA Ciangir, berdemonstrasi ke kantor Kecamatan Tamansari, Bale Wiwitan dan pemkot Tasikmalaya. Serta terjadi perusakan terhadap sejumlah truk sampah. Aksi ini menjadi semakin panas akibat komunikasi yang buruk, tidak teralisasinya janji pemerintah atas surat perjanjian realisasi tuntutan dengan pihak ALMATAMU. Penyelesaian konflik politik ini dilakukan dengan proses diskusi, negosiasi dan mediasi yang cukup panjang, dengan janji bahwa keesokan hari setelah diskusi tersebut pembangunan jalan sudah dilakukan. Maka Masyarakat kemudian membuka blokir jalan menuju TPSA Ciangir. Kata Kunci: Konflik Politik, TPSA Ciangir, ALMATAMU ABSTRACT This title’s research is ”KONFLIK MASYARAKAT TAMANSARI DENGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA (Studi Kasus Penutupan Akses Jalan Menuju Tempat Pembuangan Sampah Akhir Ciangir)”. The aims of this research is to examine and investigate deeply about the political conflict happened, and understand the factors causing the political conflict, the process of solving the political conflict and also the effects of the political conflict. The research methodology used in the research is qualitative descriptive method, and the technique of choosing informant by using Purposive Sampling. The technique of collecting the data are interview, observation and documentation study. The analysis model of the research is Miles and Huberman’s analysis by using the data validity of triangulation of the resource, technique and time. The research result shows that there is the political conflict between the society of Tamansari attached to Aliansi Masyarakat Tamamsari dan Murgasari (ALMAMATU) and the government of Tasikmalaya City. The society’s demand is toward 3 points, those are the reparation of the road to TPSA Ciangir, the reparation of open-close system of TPSA Ciangir and the provision of clean water facility around TPSA Ciangir. The political conflict was at the fever pitch until the demonstration conducted by people with a big amount abount 1000 people who blocked the road to TPSA Ciangir, they conducted the demonstration in Tamansari Substrict office, Bale Wiwitan and Government of Tasikmalaya City. There was also the impairment toward some trash trucks. This action was being worse because of the bad communication, unrealized government’s promise toward the letter of engagement about ALMAMATU’s demand. The problem solving was conducted by the process of discussion, negotiation and mediation that took long time enough, and produced the result of the agreement that after the discussion the
reparation of the road would be started. So that the people then opened the blockade of the road to TPSA Ciangir. Key Words : Konflik Politik, TPSA Ciangir, ALMAMATU
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konflik merupakan sesuatu yang menjadi keniscayaan di dalam kehidupan masyarakat. Apapun bentuk dan latar belakangnya, konflik akan selalu terjadi dalam ruang interaksi masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan pribadi, kelompok dan kepentingan publik. Adanya sebuah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, membuat masyarakat secara pribadi ataupun kelompok berusaha untuk dapat menyelesaikan kesenjangan tersebut, dan salah satu prosesnya adalah melalui konflik, yang akan menyebabkan integrasi baik yang disadari ataupun tidak disadari oleh masyarakat. Pada Kenyataannya, konflik akan selalu berkaitan dengan masalah pribadi individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok dan kelompok dengan pemerintah. Perspektif kebijakan publik, konflik politik, timbul dikarenakan adanya sebuah permasalahan yang berkaitan dengan publik, menurut Budi Winarno masalah publik adalah masalah-masalah yang mempunyai dampak luas dan mencakup konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang yang tidak secara langsung terlibat1. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami2. “Konflik politik merupakan konflik yang disebabkan karena adanya tindakan pemerintah dan Negara dalam upaya menjalankan sistem pemerintahan. Konflik politik didefinisikan sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanankan oleh pemerintah”3. Seperti pada konflik yang terjadi di tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) Ciangir Kelurahan Tamansari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya, termasuk kedalam konflik politik karena adanya keterlibatan dari pemerintah. Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Kota Tasikmalaya yang terletak di Kampung Ciangir, Kelurahan Tamansari Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, merupakan TPSA terbesar di Kota Tasikmalaya yang menampung seluruh sampah dari berbagai sudut Kota Tasikmalaya. Sesuai dengan Peraturan Daerah No 29 Tahun 2003 tentang Kebersihan, Keindahan dan Kelestarian Lingkungan, dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012, RT/RW yang mengatur mengenai penempatan 1
Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hal 70. Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 34. 3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Wisiasarana Indonesia, 1992), hal 2
191.
ruang dan tata kota4. Pada bulan Januari 2012, Pemerintah Kota Tasikmalaya melalui Dinas Bina Marga, menjanjikan adanya perbaikan jalan menuju TPSA, karena jalan yang ada dianggap sudah tidak layak pakai dan tidak dapat menunjang kegiatan ekonomi warga sekitar kelurahan Tamansari5. Kerusakan tersebut, menurut salah satu sumber dari dinas Cipta Karya terjadi akibat volume kendaraan truk yang mencapai 30 truk sehari yang membawa rata-rata 800 kubik sampah setiap harinya, sedangkan tipe jalan adalah hotmix aspal jenis HRS6, sehingga menyebabkan jalan cepat rusak7. Itu pula yang membuat masyarakat kemudian menuntut perbaikan jalan kepada pemerintah. Namun realisasi dari program pemerintah untuk memperbaiki jalan tidak kunjung dilakukan, sehingga terjadi aksi massa pada tanggal 31 Januari 2012. Massa melakukan demonstrasi ke halaman gedung pemerintah Kota Tasikmalaya dan sebagian lagi memblokir jalan menuju TPSA Ciangir. Dalam aksi massa tersebut, warga menuntut mengenai tiga poin penting yaitu perbaikan akses jalan, pembenahan sistem buka tutup TPSA, dan penyediaan sarana air bersih di lingkungan TPSA Ciangir8. Tidak lama setelah terjadinya aksi massa tersebut, Pemerintah Kota Tasikmalaya melalui sekretaris daerah Kota Tasikmalaya Tio Indra Setiadi, kepala Dinas Cipta Karya Tarlan dan Kepala Dinas Bina Marga Endang Nurzaman, melakukan perjanjian dengan masyarakat Tamansari, yang berisi secara umum, jika Pemerintah Kota Tasikmalaya akan memperbaiki akses jalan dan memenuhi segala tuntutan warga paling lambat sebelum 15 Mei 2012. Hasil konsensus yang berupa perjanjian tersebut, ternyata tidak direalisasikan oleh pemerintah. Hingga tanggal 16 Mei 2012, tiga tuntutan warga Ciangir Tamansari tidak dilaksanakan. Alasan mengapa janji dari Pemerintah Kota Tasikmalaya tersebut tidak direalisasikan menurut pihak pemkot adalah, proses lelang yang cukup lama dan isu kenaikan BBM yang belum stabil9. Kemudian dibentuklah Aliansi Masyarakat Tamansari Mugarsari (ALMATAMU) yang merupakan kelompok masyarakat yang tergabung dari masyarakat sekitar kelurahan Tamansari dan Mugarsari dan memiliki tujuan untuk menuntut pemerintah dalam perealisasian tuntutan masyarakat terhadap TPSA Ciangir10.
4 Perda nomor 4 tahun 2012, Penetapan Tata Ruang, (Bagian hukum Pemerintah Kota Tasikmalaya, 3 Oktober 2012). 5 ”Jalan Ke TPSA di Blokir Karena Pemkot Tasik Ingkar Janji”, Kabar Priangan, 18 Mei, 2012, hal 1.
6
” Pengertian dan Jenis Aspal”, http://civil-in-us.blogspot.com/2011/02/aspal.html. Hot Rolled Sheet adalah salah satu jenis campuran aspal panas yang terdiri dari campuran agregat halus, agregat kasar, filler dan aspal yang membentuk mortar atau spesi dengan aspal sebagai pengikat. Susunan agregatnya bergradasi terbuka atau senjang dimana ada satu bagian fraksi yang tidak terdapat dalam campuran. 7 Budi, Wawancara 4 Oktober 2012. 8 Asep Dian, Wawancara 10 September 2012. 9 “8.000 Kubik Sampah di Kota Tasik Tak Bisa dibuang”, Bisnis Jabar.com, (diakses tanggal 23 September 2012). 10 Asep Dian.,Lok.Cit.
Kemudian terjadi Aksi Massa II. Menutup jalan menuju TPSA Ciangir selama 7 hari, dan demonstrasi di depan kantor Pemerintah Kota Tasikmalaya, Polresta Kota Tasikmalaya dan Balai Wiwitan Kota Tasikmalaya. Aksi massa yang terjadi pada tanggal 16 Mei 2012 didepan Bale Wiwitan Kota Tasikmalaya berujung bentrok, dan massa merusak beberapa truk sampah yang ada di lokasi tersebut11. Atas kejadian ini konflik kekerasan yang dilakukan oleh massa tidak terhindarkan. Akibat dari pemblokiran jalan dan penutupan TPSA Ciangir oleh warga Kecamatan Tamansari, menurut harian Kabar Priangan sekitar 3000 kubik sampah diseluruh Kota Tasikmalaya menumpuk dan tak dapat diproses untuk didaur ulang atau dimusnahkan. Terlihat selama beberapa hari terakhir di beberapa ruas jalan utama Kota Tasikmalaya dan daerah di sudut Kota Tasikmalaya, seperti perumahan Bumi Resik Panglayungan (BRP), Pasar Cikurubuk, HZ Musthofa, terjadi penumpukan sampah yang sangat mengganggu aktivitas masyarakat12. Para sopir truk sampah tidak berani untuk mengantarkan sampah ke TPSA karena khawatir timbul bentrok yang dipicu oleh aksi warga tersebut13. Pada 17 Mei 2012 terjadi peristiwa cukup mencekam, ketika 6 buah mobil truk pengangkut sampah, dipaksa untuk masuk ke lokasi TPSA, dan dikawal oleh TNI AD, bersenjata lengkap, dengan maksud agar blokir warga dibuka, namun upaya tersebut tidak ada hasilnya dan berakhir dalam perundingan antara pihak warga Ciangir dengan Dandim, dan pihak Kapolres Tasikmalaya. Perundingan pun tidak menghasilkan solusi, warga tetap meminta tiga tuntutan mereka terealisasi. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2012 sekretaris daerah Kota Tasikmalaya melakukan perundingan akhir di bale wiwitan Kota Tasikmalaya bersama masyarakat14. Penulis menilai konflik politik ini sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, mengenai pengaruhnya yang sangat luas terhadap Kota Tasikmalaya. Penulis bermaksud menggali dan mengkaji penyebab paling krusialnya, penyelesaiannya, dan mengharapkan adanya bentuk ideal baru yang dapat membuat pengelolaan sampah menjadi lebih maksimal dan berbasis pada keramahan lingkungan hidup. Sehingga diharapkan menjadi sebuah bahan rekomendasi bagi pihak-pihak terkait. Dari latar belakang konflik yang ada, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini diantaranya adalah Bagaimana konflik politik antara warga Ciangir Kelurahan Tamansari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya berkaitan dengan penutupan akses jalan menuju Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Ciangir?
11
”3000 Kubik Sampah Numpuk di Dinas Cipta Karya”, Kabar Priangan, 18 Mei, 2012, hal 1. ”Bau tak Sedap Mulai Sergap Kota Tasikmalaya”, Kabar Priangan, 21 Mei, 2012, hal 1. 13 “Pemkot Tasikmalaya Bahas Penumpukan Sampah”, Metrotvnews.com, (diakses tanggal 4 September 2012). 14 Asep Dian. Lok.Cit. 12
1.2
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran tentang suatu kelompok tertentu atau suatu gejala atau hubungan dua gejala atau lebih15. Penelitian kualitatif menghasilkan data berupa ucapan, tulisan dan perilaku serta penekanan pada aspek subjektif yang dapat diamati dari orangorang (subjek) itu sendiri. Metode ini langsung menunjuk setting dan individuindividu dalam seting itu secara keseluruhan materi16. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai orang yang paling menguasai sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti17, dampaknya adalah data yang dihasilkan sangat berkualitas. Kemudian ketika data yang didapatkan kurang dapat memenuhi kapasitas, dalam penelitian ini juga menggunakan teknik snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit kemudian menjadi semakin membesar, hal ini dikarenakan sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan maka mencari orang lain yang digunakan sebagai sumber data.18 Menurut Riduwan data adalah bahan mentah yang harus diolah sehingga menghasilkan informasi atau keterangan yang utuh, baik kualitatif maupun kuantitatif yang menunjukan fakta yang terjadi terhadap situasi sosial19. Menurut Nazir pengumpulan data adalah t a h a p a n prosedur yang sistematis dan terperinci untuk memperoleh data yang diperlukan20. Ada beberapa teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi. Metode analisa yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan model analisa interaktif (interactive of model analysis). Proses analisis ini dilakukan selama proses penelitian dan berlangsung secara terus menerus hingga tuntas. Dalam teknik ini ada tiga langkah analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan yang kesemuanya itu difokuskan pada tujuan penelitian.21 Cara yang digunakan untuk menguji validitas data adalah teknik trianggulasi. Trianggulasi dalam pengujian validitas data diartikan sebagai proses pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu di yang lain di luar data 15
hal 35.
16
Soehartono, Irawan, Metodelogi Penelitian Sosial. (Bandung: Remaja Rosdakarya,2008).
Ibid., hal 36. Sugiyono, Op.Cit,. hal 219. 18 Ibid., 19 Riduwan, ”Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian”, B a n d u n g : Alfabeta, 2002), hal 5. 20 Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal 174 21 Sugiyono. Ibid., hal 246. 17
untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut22. Dengan demikian terdapat trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data, dan waktu untuk mengecek validitas data yang ada 2. PEMBAHASAN 2.1 Latar Belakang dan Fakltor Penyebab Konflik Politik Konflik politik antara Pemerintah Kota Tasikmalaya dan Masyarakat Tamansari, diawali dengan adanya perbedaan pandangan, perbedaan persepsi, dan perbedaan situasi sosial yang diinginkan diantara kedua belah pihak, disatu sisi, pemerintah ingin melakukan perbaikan akses jalan menuju TPSA Ciangir sesuai dengan mekanisme yang ada, menjalankan sistem pembangunan dengan efektif merujuk kepada petunjuk pelaksanaan yang sudah tertuang didalam pengaturan pembangunan jalan, tidak bisa dipaksakan dikarenakan harus sesuai dengan prosedur. Namun, masyarakat menganggap, karena pemerintah sudah memberikan janji ketika akhir tahun 2011, sementara itu hingga awal tahun 2012 tidak pula terealisasikan, ditambah dengan kondisi TPSA, dengan sistem pengelolaan buka tutup hingga malam hari, menyebabkan masyarakat memiliki pandangan, pemerintah harus segera melakukan perbaikan terhadap kedua faktor tersebut. Dalam hal ini terlihat, jika masyarakat belum memahami, akan kondisi prosedur yang mesti ditempuh dalam pembangunan jalan tersbut. karena memang, kesalahan persepsi dan komunikasi membuat konflik politik ini muncul menjadi semakin memanas. Adanya benturan persepsi, antara masyarakat yang menganggap pemerintah telah ingkar janji terhadap sosialiasi akan diperbaikinya jalan pada akhir tahun 2011, dengan pemerintah Kota Tasikmalaya yang ingin mengikuti prosedur, sementara masyarakat kurang mengetahui prosedur tersbut akibat komunikasi yang kurang baik, membuat gejala konflik politik tersebut diyakini, sebagai dua aspirasi yang tidak dapat diwujudkan bersama-sama, karena kurangnya kedekatan dalam menyamakan persepsi atau pendapat tersebut, akan tujuan yang sama. sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa benar terjadinya konflik politik di Tamansari, akibat adanya perbedaan pandangan dari kedua belah pihak tersebut. Setiap anggota masyarakat ternyata digerakan oleh beberapa pemikiran dari Leader masyarakat setempat, baik secara struktural atau emosional. Dalam hal ini secara terbatas misalnya anggota amsyarakat mengikuti aksi massa I dan II, digerakan oleh beberapa gelintir orang yang mengetahui akan proses konflik politik ini, misalnya Koordinator ALMATAMU, dan tokoh-tokoh lain. Sehingga kondisi tersebut memang sangat terimplementasi dengan realitas situasi sosial dilapangan. Kondisi konflik politik antara pemkot Tasikmalaya dan masyarakat Tamansari, akan terlihat konflik subtantif dan konflik emosiaonal menjadi 22
Moleong, J.Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers. 2006), hal 43.
dua latar belakang yang muncul dalam konflik politik tersebut. Dikuatkan dengan adanya ketidaksesuaian persepsi antara masyarakat Tamansari dengan Pemkot Tasikmalaya yang meliputi tujuan perbaikan jalan dan pembenahan sistem buka tutup, tujuannya mungkin sama namun salah satu dari bagian tertentu berbeda cara untuk menmpuhnya, cara sesuai prosedur dan pihak yang lain seakan menyalahkan, dan menuding ketidaksungguhan pemkot karena ingkar janji terhadap apa yang sudah direncankan, sehingga cara untuk melakukannya bukan menurut pada prosedur tapi menekan dengan aksi massa, keduanya ingin memberdayakan sumberdaya yang ada, yaitu anggaran untuk pembangunan jalan, dan sumber daya berbentuk kebijakan, yang mana mereka yakini ketika perbaikan jalan, dan kebijakan pemerintah terhadap pembenahan sistem buka tutup dilakukan, akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Realita kemunculan konflik TPSA Ciangir ini, terjadi atas krisis kepercayaan terhadap pemerintah, yang muncul, akibat pemerintah tidak melakukan komitmennya terhadap konsensus politik yang telah dibuat sebelumnya. sehingga memicu kemarahan, ketidak senangan, dan akhirnya bentrokan lewat aksi massa yang dilakukan masyarakat yang berlangsung 2 kali, pada bulan januari dan mei 2012. Jika kita ingin membuktikan apakah Konflik ini termasuk kedalam kategori konflik politik atau tidak, sehingga kemudian layak dianalisis dan diteliti sesuai dengan disiplin ilmu sosial dan politik, maka, pada Konflik TPSA Ciangir, kita dapat langsung sebut jenis konflik tersebut merupakan konflik politik, dikarenakan, didalamnya terdapat keterlibatan lembaga politik/pemerintah didalam sebuah negara. Lembaga pemerintah/politik disini adalah lembaga-lembaga yang termasuk perangkat negara yang melaksanakan tugas pembangunan. Lembaga pemerintah yang berkaitan secara lansung pada konflik TPSA Ciangir, diantaranya adalah pihak pemerintah Kota Tasikmalaya dalam hal ini Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya, Pihak Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Kota Tasikmalaya. Melihat keterlibatan secara lansung, sebagai pelaku utama dalam konfliuk TPSA Ciangir, maka, ini menguatkan teori dari Ramlan Surbakti. Lebih menguatkan pula, adanya peran dari lembaga pemerintah lain, seperti pihak Kecamtan yang berada langsung dalam lingkup sosial masyarakat sebagai mediator konflik, dan pihak dari Polsek Tamansari, yang muncul sebagai pelerai dalam konflik politik, keduanya sebagai mediator dan terlibat secara langsung pula, sebagai lembaga Pemerintah/Lembaga negara. Sehingga teori dari Surbakti terimplementasikan dalam Konflik TPSA Ciangir tersebut. Ciri-ciri lain dalam konflik politik adalah adanya pertentangan kelompok tertentu yang menekan pemerintah, atas perebutan sumberdaya yang ada. Mengenai konten tersebut sudah amat jelas dipaparkan sebelumnya bahwa konflik TPSA Ciangir, merupakan bentuk dari kekecewaan masyarakat yang dilakukan melalui tekanan aksi massa pada pemerintah, yang menginginkan kebijakan berupa sumber daya perbaikan jalan menuju TPSA Ciangir dan pembenahan TPSA. ini menunjukan betapa akan selalu hadir
masalah publik, terlebih dalau, yang akan berkaitan dengan konflik politik kemudian. Tidak semua masalah dikategorikan dalam masalah publik, hanya masalah yang berdampak luas saja, ketika masyarakat yang tidak terlibat langsung juga terkena dampak dari masalah tersebut, barulah hal tersebut dikategorikan sebagai masalaha publik. Ketika masalah publik terjadi, pasti tahapan penyelesaiaannya didominasi oleh lembaga pemerintah, atau adanya keterkaitan yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga masalah publik tersebut erat kaitannya dengan konflik politik. Pada konflik TPSA Ciangir pula, masalah yang timbul bukan lagi masalah pribadi, atau sekelompok orang yang dampaknya hanya mereka rasakan sendiri sebagai pelaku konflik, namun, dampak dari konflik etrsebut sangat luas. Dampak yang dirasakan, merupakan dampak yang mengenai seseorang yang tidak secara langsung terlibat didalamnya. Dalam hal ini, kita melihat bahwa pihak yang bertikai pada konflik TPSA Ciangir, hanya Sekda, Dinas terkait, dan polsek, namun dampaknya bisa dirasakan oleh semuan orang yang berada di Kota Tasikmalaya. Akibat dari pemblokadean jalan yang terjadi selama hampir sepekan, dampak bau tidak sedap, sampah yang tidak terbawa, menimbulkan berbagai kekhawatiran akan penyakit, mengganggu aktifitas, turut dirasakan oleh orang-orang yang bahkan tinggal jauh dari lokasi konflik tersebut. Bahkan orang-orang tersebut tidak mengetahui akan adanya konflik TPSA Ciangir, dan mereka hanya merasakan dampak buruk saja dari konflik tersebut. Maka dari itu fakta tersebut menguatkan tentang adanya masalah publik, bahwa masalah publik merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah secara langsung akrena dampaknya tidak hanya masyarakat yang terlibat dalam konflik saja, namun berdampak luas hingga pada orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam konflik tersebuut. Masalah publik etrsebut tidak akan terlepas dari sumber konflik politik yang terjadi, sehingga menimbulkan masalah publik. Sementara itu konflik politik dikelompokan menjadi dua tipe. Kedua konflik ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Tipe konflik TPSA Ciangir, jika melihat kepada dua jenis tipe konflik tersbut adalah termasuk jenis tipe konflik poitif, karena, ketika keberlangsungan konflik TPSA Ciangir, tidak terjadi proses kudeta, separatism, maupun kekerasan HAM. Pada konflik TPSA Ciangir, kekerasan yang terjadi hanya adu mulut, dan emosi namun tetap mengedepankan metode diskusi, negosiasi dan konsiliasi sebagai jembatan penghubung dalam penyelesaian konflik tersebut. Penyelesaian konflik TPSA Ciangir berlangsung dengan negosiasi yang cukup panjang, dibicarakan sesuai dengan nilai-nilai mekanisme yang terdapat didalam negara Indonesia, atau lebih khusus lagi nilai yang diambil adalah nilai yang ada pada masyarakat. Secara umum penyelesaian tersebut berada pada jalur konstitusi dibawah sistem politik dan negara yang sedang berjalan, tanpa adanya ancaman pembubaran negara, atau hal-hal lain yang mengancam
eksistensi sitem negara dan memecah belah kesatuan negara. Sehingga melalui fakta tersebut dapat menguatkan teori konflik tipe konflik positif. Memang tidak terjadi berbagai macam kejadian separatisme, pengkudetaan atau lebih jauh lagi revolusi. Walaupun adnya kekecewaan masyarakat sekitar terhadap janji pemerintah yang tidak teralisasi, namun segalanya kemudian diselesaikan bersama secara baik tanpa kekerasan HAM, dan tindakan-tindakan lain yang berwujud mengganggu eksistensi sistem negara yang sedang berjalan. Kesimpulannya teori tipe konflik negatif tidak terimplementasikan terhadap kejadian/peristiwa di TPSA Ciangir. Dua tipe konflik politik tersebut akan sangat berkaitan dengan bentuk konflik politik yang terjadi dilapangan, apakah berbentuk kekerasan ataupun tidak, maka dari itu perlu kitanya memahami teori dari Surbakti, menyimpulkan bahwa, setiap konflik politik yang terjadi dalam sebuah negara yang berhubungan dengan pemerintah, kebijakan pemerintah maupun dalam upaya pemerintah dalam mengelola masyarakat menuju kepentingan umum, ketika terjadi konflik selalu dilakukan dengan dua bentuk, yaitu : Pada konflik politik TPSA Ciangir Kota Tasikmalaya, memang terdapat bentuk kekerasan, seperti aksi massa yang disetai dengan pembakaran ban bekas, kemudian saling emosi antara aparat dengan masyarakat pada saat negoisasi, ataupun perusakan bebrapa truk saat terjadinya aksi massa yang dilakukan oleh masyarakat ketika melakukan aksi. Namun bentuk-bentuk kekerasan tersebut nayatnya tidak sesuai dengan teori bentuk konflik politik dari surbakti. Kalau diperhatikan konflik politik TPSA Ciangir ini tidak dtermasuk kedalam konflik kekerasan, dikarenakan terjadi dalam negara yang sudah memiliki konstitusi yang utuh. Konstitusi yang dimiliki Indonesia adalah pancasila, dan UUD 1945, didalamnya telah mengatur berbagai perlembagaan konflik beserta perangkatnya, seperti, kejaksaan, dan kepolisian yang memiliki tugas menjaga keamanan, dan menghakimi konflik yang terjadi atas pihak-pihak yang terkait. Sehingga dapat dibuktikan dnegan fakta bahwa: 1. Indonesia memiliki konstituasi UUD 1945 yang melembaga 2. Indonesia Telah memiliki aturan main atas penyelesaian konflik dengan perangkat-perangkat tertentu seperti kepolisian dan kejaksaan 3. Pada konflik TPSA Ciangir tidak disalurkan melalui peperangan, kudeta, namun disalurkan mengenai aksi massa dan demonstrasi yang diatur sedemikian rupa sebagai sarana penyalur aspirasi pihak yang berada pada konflik TPSA Ciangir Dapat disimpulkan, bahwa pada konflik TPSA Ciangir menguatkan teori bentuk konflik dari Ramlan Surbakti. Bahwa konflik politik TPSA Ciangir termasuk ekdalam konflik tanpa kekerasan, dikarenkan cirri-ciri konflik tersbut dikuatkan dnegan realitas dilapang Fakta mengenai, adanya sebuah ketidakselarasan dalam konflik TPSA Ciangir, antara unsur masyarakat, dalam hal ini pihak ALMATAMU, dengan pemerintah Tasikmalayadalam interaksi kekuasaan, membuktikan bahwa
dalam hal ini, sikap, komunikasi dan hubungan yang kurang baik menjadi fenomena sosial penyebab konflik, berdasarkan jenis dan subjeknya. Hubungan yang terjadi, adalah hubungan komunikasi yang miss, antara Pemkot Tasikmalaya dengan ALMATAMU, hubungan tersebut menyertakan perasaan yang saling tidak percaya dan akhirnya destruktif. Interaksi yang tidak terjaga tersbut akhirnya memanas, dan mnenjadi konflik politik yang merugikan banyak pihak, tentunya seisi kota Tasikmalaya. Sehingga dalam kategori tersebut konflik politik TPSA Ciangir masuk dalam kategori jenis konflik struktural. Pada situasi dilapangan, tidak ditemukan adanya benturan nilai dan budaya dalam masyarakat, atau berebut kepentingan antara 2 kelompok atau lebih. Karena yang terjadi adalah konflik vertikal, antara mpenguasa dan yang dikuasai. Fakta tersebut dapat dilihat dari teori berikut ini mengenai kategoriasi konflik politik berdasarkan latar belakang, jenis dan subjeknya Setelah bentuk konflik politik, Kemudian paling tidak dari jenisnya, latar belakangnya, dan subjeknya, terdapat beberapa tipe-tipe konflik diantaranya : Sementara itu, selain tergolong dalam konflik struktural, secara penyebab dan subjeknya, konflik TPSA iangir juga termasuk dalam konflik Data dan Informasi. Adanya kekurangan mengenai data dan informasi tentang waktu perbaikan jalan yang didapat oleh pihak ALMATAMU, membuat segalanya menjadi berbeda persepsi, dan berperasangka buruk. Mereka menganggap Pemkot Ingkar janji pada penetapan perbaikan jalan di bulan Januari 2012, sehingga muncul konflik politik. Serta dipihak pemerintah, kekurangan data dan informasi, mengenai kabar dari sikap masyarakat sebelum menutup jalan menuju TPSA Ciangir, harusnya sebelum itu ada materi-materi yang disampaikan oleh pemerintah Kota Tasikmalaya kepada ALMATAMU, dalam upaya memahamkan bahwa pada 15 Mei 2012, pembangunan jalan tidak dapat dilakukan karena, proses lelang dan isu Bahan Bakar Minyak yang mengalami kenaikan pada april, memperngaruhi kebijakan pemerintah terhadap segala macam pembangunan yang ada. Jika pemerintah mendapatkan informasi lebih awal tentang kebijakan tersebut dan menyampaikan kepada pihak ALMATAMU, sudah pasti tidak akan terjadi, konflik blokade menuju TPSA Ciangir yang sangat merugikan. Sehingga pelurusan antara data dan informasi, hartus dibangun melalui komunikasi politik yang baik antara kedua belah pihak dan menjadi dasar pada setiap penyelesaian konflik politik dimanapun. Dipicu oleh hubungan emosiaonal yang kurang baik antara kedua belah pihak, dari pihak pemerintah menyangka bahwa masyarakat tidak paham atas aturan yang ada dan terlihat menganggap segalanya mudah, menjadi dasar utama konflik emosiaonal antara hubungan dengan masyarakat ALMATAMU. Sementara tuduhan atas ketidakseriusan yang dilakukan pemerintah terhadap penyelesaian perbaikan jalan, yang keluar dari pihak ALMATAMU pun membuat konflik ini semakin memanas. Akhirnya seperti pada teori kategorisasi dan subjek konbflik politik maka konflik TPSA Ciangir tersebut layak dikelompokan dalam jenis konflik politik hubungan.
Terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dilapangan, penulis meyakini, bahwa teori tersebut relevan dengan konflik politik TPSA Ciangir pada bulan Januari hingga Mei 2012. Atas ulusan sebelumnya bahwa konflik politik TPSA Ciangir termasuk dalam jenis konflik Struktural, Hubungan, dan Data-Informasi. Sementara itu tidak terkategorikan dalam bentuk konflik politik nilai dan kepentingan. 2.2
Penyelesaian Konflik Politik a) Konsensus Dalam upaya penyelesaian konflik politik antara masyarakat Tamansari dengan pemerintah Kota Tasikmalaya, berkaitan dengan aksi massa dalam memblokade jalan menuju lokas TPSA Ciangir Kota Tasikmalaya, sudah dilakukan bverbagai cara, misalnya dengan melkaukan Konsensus yang berbentul tertulis. Ketika aksi massa I pada tanggal 31 Januari 2012, pada pukul 16.00, bertempat di kp.Cidolog, Kel. Tamansari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya, massa dari ALMATAMU memaksa, Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya Drs. Tio Indra Setiadi, Kepala Dinas Cipta Karya Tarlan dan Bina Marga Endang Suherman, untuk menandatangani sebuah kesepahaman diantara pihak tersebut, yang berisi bahwa mereka berjanji untuk melakukan kebijakn politik, yang berbtntuk implemntasi dari perbaikan jalan menuju TPSA Ciangir, selambat-lambatnya pada tanggal 15 Mei 2012. Konsensus tertulis tersbut kemudian disertai dengan isi, bahwa jika sampai tanggal 15 Mei Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak merealisasikan perbaikan jalan, pembenahan sistem buka tutup TPSA sampai pukul 16.00 dan pengadaan sarana air bersih dilingkungan TPSA Ciangir, maka Massa dari ALMATAMU berhak untuk menutup TPSA Ciangir. Konsensus yang ditulis dalam Surat Pernyataan berbentuk Spanduk besar berukuran 50cm x 100 cm, kemudian disepakati dan ditandatangani oleh pihak dari Pemerintah Kota Tasikmalaya. Konsensus tersebut merupakan bukti bahwa upaya penyelesaian konflik dilakukan dnegan penuh nilai kekeluargaan, dan tidak dilakukan dengan kekerasan. Upaya tersebut, menjadi semacam jaminan bagi masyarakat untuk bersikap tenang, lega dan tidak melakukan aksi massa kembali dikemudian hari. Sehingga, portal pada 31 Januari 2012, yang seharian diyuyup oleh massa kemudian dibuka, agar sampah dapat melalui jalan tersebut menuju lokasi TPSA Ciangir Kota Tasikmalaya. Fakta tersebut menguatkan teori mengenai konsensus politik, yang memiliki pengertian kesepahaman, lewat tindakan kebijakan politik. Kesepahaman disini erbangun diantara kedua belah pihak, yang berbentuk pihak Pemerintah Kota Tasikmalaya akan melakukan kebijakan publik, berupa pemenuhan seluruh tuntutan masyarajkat ALMATAMU. Sementara itu kesepahaman yang dibangun untuk pemerintah dari ALMATAMU adalah, pihak ALMATAMU, akan menutup TPSA Ciangir,
jika pelaksanaan pengerjaannya tidak dikunjung dilakukan hingga tanggal 15 Mei 2012. Kedua belah pihak, paham dan akan melakukan kesepahaman tersebut sesuai dengan hasil konsensus politik yang dilakukan pada 31 Januari 2012. b) Negosiasi, Mediasi dan Konsiliasi Setelah pada 15 Mei 2012, pihak dari Pemkot “Mengingkari” surat perjanjian antara mereka dengan ALMATAMU, kemudian, konflik politik ini maju kearah yang lebih serius. Kondisi sangat memanas, emosi memuncak, dan dampak dari itu pula, masyarakat kembali menggelar Alsi Massa ke II pada 16 Mei 2102 hingga 21 Mei 2012. Massa dari ALMATAMU, sekan mengamuk dengan melakukan aksi massa ke halaman gedung bale wiwitan, menaburkan sampah, menyandra truk sampah, menuju Pemkot Tasikmalaya, sambil menuntut Sekda Tasikmalaya mengundurkan diri dari jabatannya karena ingkar janji, ke polres Tasikmalaya melaporkan temuan akan tindak penipuan yang dilakukan oleh Pemkot Tasikmalaya. Ketika keadaan sudah dapat dikendalikan, karena target yang dicari, Sekda Tio Indra tidak ada di Pemkot karena sedang dalam perjalanan dinas, kemudian massa kembali menuju lokasi simpang Cidolog Ciangir, untuk memblokade jalan, supaya truk sampah tidak dapat memasuki lokasi TPSA Ciangir. Selama dua hari, tidak ada upaya apapun, yang ditempuh kedua belah pihak dalam menyelesaikan konflik politik tersbut. sementara itu kondisi sampah di Kota Tasikmalaya mulai mengkhawatirkan dengan bau menyengatnya. Sampai pada 18 Mei 2012, terjadi proses negoisasi antara kedua belah pihak. Jika kita perhatikan dalam tahap penyelesaian konflik TPSA Ciangir, tahap yang lebih banyak dilakukan adalah tahap Negosiasi. Berupa diskusi dan duduk bersama, saling menwarkan solusi akan permasalahan yang sedang terjadi, agar solusi tersebut menguntungkan bagi kedua belah pihak. Berikut fakta dilapangan, mengenai proses Negoisasi antara Pemkot Tasikmalaya dengan ALMATAMU. 1. Negoisasi pada tanggal 31 Januari 2012, menghasilkan konsensus tertulis berupa kesepahaman, tentang pengaspalan jalan oleh Pemkot Tasikmalaya. 2. Negoisasi pada tanggal 18 Mei 2012, ketika truk sampah mencoba masuk melalui jalan yang diblokade warga. dengan 3 penawaran dari pemerintah, yaitu memaksa masuk kemudian ditutup kembali, memohon masuk melalui jalan setiawargi, atau memohon masuk 6 truk saja. Semua tawaran ditolak oleh masyarakat, namun atas pertimbangan waktu yang sudah larut malam, maka dipersilahkan untuk masuk lewat jalan Setiawargi, tapi kondisi jalan tidak mengizinkan truk untuk masuk lokasi TPSA
3. 19 Mei 2012, Negoisasi di kantor Kecamatan Tamansari, namun pada saat itu yang hadir hanya Ir. Tarlan selaku Kadis Cipta Karya, akhirnya pihak ALMATAMU Walk Out. 4. 21 Mei 2012, pukul 11.00 Negosiasi akhir, dilakukan dengan mendengar penjelasan berupa kendala yang dilalui oleh Pemkot berkaitan tidak dapat menepati surat perjanjian tersebut. Kendala disampaikan oleh Drs. Tio, negosiasi berjalan baik, meminta maaf dan menjanjikan sudah pasti diperbaiki jalan terbut pada keesokan harinya. Sehingga konflik selesai dengan solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, karena pembangunan jalan selesai pada akhir Juli 2012. Fakta tersbut memperlihatkan relevansi teori penyelesaian konflik melalui negosiasi dalam segala kondisi, supaya solusi terbaik didapatkan dengan cara musyawarah, tawar menawar solusi, tidak dilakukan dengan kekerasan namun mengedepankan diskusi dengan kepala dingin, begitupula tentang adanya mediasi. Pihak yang memediasi penyelesaian konflik ini diantaranya adalah Kapolsek Tamansari, dan Camat Tamansari. Keduanya berperan aktif dalam menengahi konflik. Polsek memiliki tanggungjawab selaku penjaga kemanan diwilayah Tamansari, sementara itu Camat mengaku dirinya sebagai “Bapak” dari masyarakat akan sangat dilematis untuk memihak, dan karena itu keduanya merupakan sosok yang paling ideal sebagai mediator. Oleh karena itu situasi tersebut sesuai dengan teori mengenai Mediasi yang merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik persengketaan yang diselenggarakan di luar pengadilan, dimana pihak-pihak yang bersengketa meminta atau menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan pertikaian diantara mereka. Sehingga, dalam melakukan mediasi ini, pihak yang dijadikan mediator yaitu Camat dan Kapolsek, memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan keadaan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Ruang kerelaan dan kenetralan, membuat tanggung jawab ini harus dilakukan oleh orang yang tau persis mengenai permasalahan. Proses mediasi telah berlangsung selama dua kali, yaitu pada tanggal 31 Januari 2012, dan 18 Mei 2012, keduanya menwarkan solusi yang baik untuk kedua belah pihak, agar saling mengerti konteks yang sedang berjalan dalam konflik politik tersebut. Pada konflik TPSA Ciangir, sudah dapat dipastikan dengan data yang diperoleh dilapangan, bahwa lembaga yang terlibat adalah lembaga pemerintah. Dalam penyelesaiannyapun menggunakan mediator dari pemerintah, maka dari itu penyelesainnya menggunakan teknik konsiliasi dan itu semua sesuai dengan temuan dilapangan. yaitu berupa pengaturan konflik melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan proses pengambilan keputusan diantara para kontestan mengenai persoalan-persoalan yang dipertentangkan. Lembaga ini dalam politik misalnya badan perwakilan rakyat dimana dalam perwakilan kelompok yang
saling bertentangan bertemu untuk mewujudkan perdamaian dengan caracara berpola. Pengaturan konflik sudah dilakukan melalui lembaga pemerintah, yang netral yaitu kecamatan Tamansari, dengan pihak pengaman yang sudah pasti tugasnya untuk mengamankan konflik, yaitu kepolisian sektor Tamansari. Mereka berupaya mengatur konflik TPSA Ciangir supaya tidak memanjang dan menimbulkan hal yang destruktif untuk amsyarakat Tamansari. Dalam kriteria lembaga politik yang dapat melakukan cara konsiliasi, kriteria pertama lembaga tersebut bersifat otonom, alias berdiri sendiri, memiliki wilayah sendiri dan wewenang dalam mengurus rumah tangganya sendiri untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Kepolisian dan pihak kecamatan merupakan lembaga otonom, yang diberikan hak dan wewenang dalam mengurus daerahnya sendiri. Untuk kepolisian sektor Tamansari, keleluasaan untuk mengurus dan mempertahankan kestabilan keamanan adalah hal utama dari segenap tugasnya mengabdi pada negara. Artinya untuk kepolisian mewujudkan keamanan Tamansari bukan sekedar tugas sebagai perangkat otonomi yang diberikan keleluasaan, tapi juga kewajiban struktural dan moral yang harus senantiasa diwujudkan. Begitupula dengan kecamtan, walaupun bukan otonomi penuh, tapi diberikan eksempatan untuk emnjadi perpanjangan tangan dari daerah agar distribusi pembangunan dapat dilakukan secara merata. Kedudukan Polsek dan Camat tersebut juga terikat dengan masyarakat. Camat merupakan pemimpin Kecamatan Tamansari, pengelola pembangunan, dan bertanggungjawab penuh atas pembangunan tersebut, yang berkaitan langsung dnegan masyarakat. Sementara itu Polsek merupakan mitra yang bertanggung jawab atas keamanan warganya yang ada di Tamansari. Untuk ciri yang terakhir adalah, bersifat demokrasi. Tentu saja karena kita berada di negara demokrasi, kesemua lembaga tersebut yang terdiri dari Camat dan Polsek Tamansari merupakan lembaga negara, yang terikat dengan masyarakat, yang bersifat netral karena kedilematisan keadaan di TPSA Ciangir, serta tentu asasnya berpaham demokrasi. 2.3
Dampak Konflik Politik 1. Dampak Positif: a. Bidang Kebersihan: penulis menilai kesadaraan masyarakat akan kebersihan jadi semakin tinggi, membuang sampah pada tempatnya, melihat bagimana pentingnya lokasi TPSA sebagai sarana utama pengelolaan sampah, hingga masyarakat sadar terhadap kewajibannya membayar retribusi bagi jasa pengelolaan sampah. Lokasi Ciangir menjadi lokasi yang bersih, tanpa bau menyengat karena sepekan jalan diblokade massa, menurut warga itu bisa jadi hal yang positif. b. Bidang sosial: konflik Politik ini membuat terintegrasinya masyarakat, masyarakat jadi belajar untuk berani mengungkapkan pendapat, berani bernegoisasi, berani untuk dapat mengutarakan hal-hal yang mereka
anggap benar. dan masyarakat jadi bersatu, bekerjasama, untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini23. c. Bidang pemerintahan: masyarakat dapat belajar untuk mengontrol laju pemerintah, mereka menyadari bahwa dalam pelaksanaannya pemerintahan tidak selalu mulus dan akan melalui berbagai kendala. Khususnya dalam konflik politik ini, masyarakat lebih memahami proses pengaspalan jalan. Bagi pemerintah, juga merupakan masukan yang berharga, agar segala macam kebijakan publik yang dihasilkan, dapat ditepati sesuai apa yang sudah disosialisasikan. 2. Dampak Negatif a. Bidang Kebersihan: Tentu merupakan dampak utama dari terjadinya konflik politik antara masyarakat Tamansari dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sisi negatifnya, ribuan kubik sampah tercecer disudut kota Tasikmalaya, karena tidak dapat diangkut menuju TPSA Ciangir, menimbulkan bau menyengat yang luar biasa, bahkan salah satu media online menyebutkan dalam sepekan tersebut Tasikmalaya menjadi lautan sampah24. Tempat-tempat umum, seperti pasar, mall. sarana olahraga, perkantoran dll, dalam sepekan tersebut dikerumuni sampah-sampah yang dikhawatirkan tidak hanya menyebabkan bau menyengat saja, namun juga menyebabkan timbul penyakit dari bakteri atau virus yang terkandung didalamnya. b. Bidang Sosial: Beberapa narasumber menyatakan, bahwa, dampak dari konflik politik tersebut, khususnya untuk masyarakat Tamansari Kota Tasikmalaya, seperti dikemukakan bapak Rachman, selaku Camat Tamansari, dampak negatifnya adalah situasi sosial di Kecamatan Tamansari, panas, akibat konflik tersebut berbagai dinamika diskusi dengan pihak pemerintah menjadi semacam kejadian langka, ada yang merasa emosi, adapula yang menginginkan kekerasan seperti pada kejadian dengan aparat TNI, sementara itu pula pandangan sosial yang negatif dari masyarakat lain diluar Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya agak miring, nampaknya menganggap masyarakat Tamansari begitu pragmatis menginginkan perbaikan jalan tanpa memperhatikan kendala yang ada. c. Bidang pemerintahan Dampak negatif dari Konflik politik Antara Maasyarakat Tamansari dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya, dalam bidang pemerintahan ditandai dengan adanya krisis kepercayaan masyarakat tamansari terhadap Pemkot Tasikmalaya. Masyarakat menilai, pemerintah Kota Tasikmalaya 23
24
Rachman.,Loc.Cit
Bisnis jabar.com, “Tasik Lautan Sampah” dikutip dari http:///bisnis-jabar.com/tasik-lautansampah-./php/..pada tanggal 26 Nopember 2012.pkl.9.22.
telah melakukan pembohongan publik, dengan tidak menepati janji, serta menuntut pejabat terkait untuk mundur dari jabatannya. Kemudian, dalam sepekan tersebut, dinas-dinas terkait terganggu untuk melakukan tufoksinya, khususnya Kecamatan Tamansari, yang mengaku selama aksi Massa tersebut, pelayanan terhadap masyarakat terhambat dikarenakan konsentrasi yang tertuju pada konflik politik tersebut. 3.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul, Pengantar Ilmu Lingkungan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1990. Budiarjo, Meriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: pustaka pelajar. 2009. Hadi Sudharto. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000. Indiahono, Dwiyanto. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Yogyakarta: Gava media. 2009. Jonsons, Doyle Paul, 1990, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jamil, Mukhsin. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolisi Konflik. Semarang: WMC. 2007. Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. 2006. Maliki, Zainudin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hagemonik. Surabaya : LPAM, 2003. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Rauf, Mawasdi. Konsensus Politik Sebuah Penjajagan Politik, 2000. Riduwan, Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung : Alfabeta, 2002 Subarsono. Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Soehartono, Irawan. Metodelogi Penelitian Sosial. Banudng: Remaja Rosdakarya. 2008. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2011. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Wisiasarana Indonesia. 1992. Winardi. Manajemen Konflik, konflik Perubahan dan Pengembangan, Bandung: CV.Mandar Maju, 2007. Winarno, Budi. Kebijakan Publik Teori dan Proses.Yogyakarta: Media Pressindo, 2007.