Kerangka Acuan
KONFERENSI FILSAFAT HUKUM IV ASOSIASI FILSAFAT HUKUM INDONESIA Jakarta, 2-4 September 2014
KEADILAN EKO-SOSIAL “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Sila V Pancasila) “[P]alu keadilan menghancurkanmu – mengalahkan – dengan kesombongan – memanfaatkan supremasi kuasa mereka aku tidak percaya hal-hal yang anda katakan - aku tidak bisa percaya harga yang kamu bayar – tidak ada yang bisa menyelamatkanmu – keadilan hilang – keadilan pergi – dan Dewi Keadilan pun telah diperkosa ...” (Metallica 1988, ‘Justice for All’) Nalar Munir kembalikan peniti emas! Begitu berita yang muncul di sejumlah media terkait penghargaan alumni terbaik dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang tak lama berselang di sekitar tahun 2002, ia terpaksa mengembalikannya. Pasalnya, ribuan petani-petani miskin yang berjuang hak-hak tanah di Malang selatan dibuat terkejut dengan hadirnya Tim Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang bukan membela petani yang tanahnya dirampas perusahaan, melainkan justru membela dan menjadi pengacara perusahaan perkebunan negara. Desakan kembalikan peniti emas itu muncul dari internal institusi pendidikan itu, pula desakan organisasi non-pemerintah dan bantuan hukum untuk sekadar mengingatkan soal prinsip Keadilan Sosial dan integritas keberpihakan pendidikan universiter. Peristiwa lebih dari satu dasawarsa tersebut penting untuk menjelaskan bagaimana menjaga keberpihakan dan integritas seorang aktifis Munir di tengah situasi meluasnya ketidakadilan sosial. Dua contoh kasus berikut dinukil dari cerita di negeri sendiri dan negeri seberang. Di Papua, masyarakat suku Yerisiam, Kampung Sima, Kabupaten Nabire, mempersoalkan keberadaan sekaligus kompensasi atas pengelolaan perkebunan kelapa sawit seluas 32.000 hektar yang dikuasai PT Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri. Lahan seluas itu berada di atas tanah adat dengan penguasaan yang tidak jelas proses AMDALnya. Tidak jauh berbeda, di Kalimantan, sekitar 14.000 hektar konsesi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Embalau Hulu Kabupaten Kapuas Hulu, juga dipersoalkan masyarakat adat setempat. Lokasi yang terletak di perhuluan Sungai Kapuas itu sebagian warganya bekerja sebagai petani dan nelayan. Namun ketregantungan warga atas hutan adat mengusik kehidupan warga dengan masuknya perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut. Menurut Nelson Benyu, “Masyarakat resah, bukan hanya karena kawasan hutan saja yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit, tetapi rumah dan lahan pertanian kami masuk kawasan perkebunan”. Penolakan masyarakat terpaksa dilakukan karena mereka meyakini bahwa perkebunan kelapa sawit hutan merupakan sumber kehidupan warga, sekaligus memungkinkan budaya masyarakat akan tercabut dari akarnya, serta ancaman hilangnya sumber mata air, hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan lain yang terdapat di hutan sebagai mata pencarian warga (diolah dari Tabloid Jubi Papua dan Borneoclimatechange.org, 31/12/2013). Ketidakadilan ekososial mereka yakini terjadi tatkala legitimasi hukum negara yang menghadirkan perkebunan kelapa sawit di kampung. Ketidakadilan hukum dan sosial pula mencampakkan warga Indonesia di negeri seberang. Dalam suatu laporan tahunan, Migrant Care (2013), mengungkap pelanggaran hak asasi buruh migran sepanjang tahun 2013 merupakan pengulangan pelanggaran HAM pada tahun-tahun sebelumnya, tercatat setidaknya ada 398.270 kasus yang menimpa buruh migran di berbagai negara tujuan. Pemerintah Indonesia dinilai mempertahankan pola konservatif dalam penyelesaian masalah buruh migran, yakni ad hoc dan reaktif
1
dalam menangani masalah, hampir tidak ada upaya pencegahan yang signifikan yang dibangun untuk mencegah berulangnya pelanggaran hak asasi manusia. Dan, tiadanya komitmen politik hukum itu, para buruh migran yang mayoritas perempuan dan bekerja di sektor rumah tangga, mengalami siksaan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya mereka yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan, “.... hampir setiap hari ada 3 atau 4 buruh migran Indonesia yang meninggal di luar negeri.” Kisah-kisah ini begitu dekat dengan konteks masalah hukum di negeri Indonesia, negara yang telah setengah abad merdeka ini tak kunjung lepas dari problem mendasarnya: ketidakadilan sosial! Hukum (janji-janji doktrinalnya) seakan tak mampu menjawab persoalan mendasar itu. Bukankah kita telah memiliki ‘keadilan sosial’ sebagai pilar bernegara dan berbangsa, termaterikan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (sebagaimana dikutip dalam pengawal teks ini). Keadilan hukum ditantang oleh situasi nyata dan meluasnya ketidakadilan sosial. Sayangnya, dalam dunia pendidikan tinggi hukum, kerap diskusi atau perkuliahan terbatas dalam mendalami isu-isu keadilan. Praktis hingga saat ini, tidak ada mata kuliah khusus dalam menjelaskan makna keadilan itu sendiri, sekalipun ada pula yang berapologi dengan argumentasi kajian keadilan masuk dalam seluruh mata kuliah, atau filsafat hukum, atau pula hak asasi manusia. Tentu silang pendapat itu terjadi, karena kerap kata keadilan memanglah begitu dekat dengan studi-studi hukum, sehingga tak mengherankan studi itupun melekatinya lebih pada wajahnya yang bersubstansi ‘keadilan hukum’, dibanding ‘keadilan sosial’. Apakah yang disebut dengan keadilan sosial? Benarkah ia terpisah dengan keadilan hukum? Ataukah, sebenarnya jadi satu, hanya tujuan hukum untuk masyarakat (sosial) yang kerap dicampakkan? Benarkah bicara keadilan hukum tak akan pernah bisa menjangkau keadilan sosial? Di level apakah perbincangan makna ‘hukum’ dan ‘sosial’ mendapati jangkauan keadilannya? Benarkah dikotomi keduanya sebatas soal semantik/terminologi? Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang menjadi poin penting dalam filsafat hukum, dan elaborasi terhadap konsep itu menjadi sangat relevan tatkala begitu banyak rasa haus masyarakat akan rasa keadilan itu sendiri. Seringkali, para ahli hukum ‘membumikan’ sekaligus ‘menyederhanakan’ pembedaan keadilan sosial dan keadilan hukum sebatas keadilan substantif dengan keadilan formal/prosedural. Ada pula yang memberikan makna secara lebih elaboratif atas pembedaan model itu, seperti apa yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto (27 Januari 2012), “Keadilan sosial yang sebagaimana yang mestinya bisa dirasakan di seluruh aspek kehidupan telah diciutkan maknanya oleh logika juridis dan oleh berbagai prosedur administratif yang formal. Reorientasi diperlukan untuk mengalihkan arah pandang tentang persoalan keadilan ini. Pemberian bantuan hukum secara konvensional - yang disebut legal aid dalam bahasa Inggris - tidaklah cukup. Pemberian bantuan secara struktural - yang disebut legal service di dalam peristilahan Inggris - pun belum tentu memadai pula, kecuali apabila pemberian bantuan itu berlangsung secara frontal ke dan di seluruh aspek kehidupan, melintasi batas-batas tembok gedung pengadilan ataupun parlemen. Bagaimanapun juga, berbeda dengan legal justice, apa yang disebut social justice ini utamanya hanya bisa dijumpai sebagai wujud materi yang belum berformat, yang di dalam terminologi ilmu hukum disebut ius atau ius constituendum.” Dalam Theory of Justice-nya John Rawls (1972: 86) menyatakan, ‘pure procedural justice’ (keadilan prosedural murni) jelaslah tidak ada prinsip keadilan sama sekali. Rawls menjelaskan bahwa prosedur yang adil-lah menerjemahkan keadilan untuk hasilnya. Ini yang dikembangkan lebih jauh oleh Wojciech Sadurski dalam Law and Philosophy Journal (3, 1984: 329-354). Menurutnya, “...[k]ita sebut ‘keadilan hukum’ adalah baik aplikasi dari gagasan yang lebih mendasar soal ‘keadilan sosial’ atas aturan-aturan dan keputusankeputusan hukum, atau bukan soal keadilan sama sekali. Dengan kata lain, satu-satunya penggunaan yang benar dari konsep keadilan hukum adalah turunan dari gagasan keadilan sosial dan, karenanya, dugaan konflik antara kriteria hasil keadilan sosial dan keadilan hukum dari kebingungan tentang hubungan yang tepat diantara kedua konsep tersebut. .... Argumen bahwa ‘keadilan hukum’ mungkin mengesampingkan pertimbangan keadilan sosial secara moral tidak tepat. Keadilan hukum dengan demikian, sebagaimana dulunya, ditempatkan semacam berkah dari keadilan sosial: yang tidak dapat melakukan fungsinya secara independen. Satu-satunya fungsi yang dapat dijalankannya agak sepele dan bersifat parasit: dapat
2
menerjemahkan dalil-dalil keadilan sosial ke dalam bahasa aturan-aturan hukum dan putusan-putusan pengadilan.” Pendapat yang demikian, barangkali mengecilkan makna hukum yang berada dalam konteks tertentu, atau bahkan keadilan dan mendapatkan akses keadilan merupakan soal kontestasi, bisa secara politik, sosial dan budaya. Misalnya, bila isu keadilan ditarik dalam sebuah konteks globalisasi, barangkali anasir Gunther Teubner (2008) menjadi niscaya, “Dalam kondisi globalisasi polisentris, konsep positif keadilan sangatlah mustahil.... Bagaimana bisa masyarakat pernah ‘melakukan keadilan’ kepada orang-orang nyata jika ia tidak menjadi bagian atau berdiri di luar komunikasi (dengan institusi atau bahkan dirinya sendiri). Karena tiadanya jangkaun mereka, maka globalisasi (berikut konsep keadilan) justru mengganggu atau menghancurkan mereka. Keadilan HAM adalah masalah yang panas, yang tidak memiliki prospek resolusi.” Barangkali, kutipan syair musik cadas Metallica di awal merepresentasikan relevansi kefrustasian soal keadilan (hukum/sosial) yang tak kunjung didapati. Mengingat betapa luasnya arena sekaligus panjangnya perdebatan soal keadilan hukum dan keadilan sosial, Konferensi Filsafat Hukum ke-4 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, mengambil tema yang lebih dari sekadar isu ‘manusia dengan masyarakatnya’, tetapi menghubungkannya ‘dengan alam atau lingkungan’nya. Istilah yang hendak dikemukakan, lebih abstrak dan terbatas dalam ruang perdebatan scholar, lebihlebih dalam pendidikan tinggi hukum, yakni: “Keadilan Eko-Sosial”. Tujuan Konferensi 1. 2. 3.
Untuk membuka ruang debat lebih luas dan tajam soal regangan isu keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan eko-sosial. Untuk memperluas dan memperdalam materi mata kuliah Filsafat Hukum maupun kuliah lainnya yang memasukkan berbagai pemikiran hukum soal keadilan eko-sosial sehingga menjadi lebih memadai untuk menelaah hukum. Untuk merawat tradisi dialog sesama peminat filsafat hukum yang mampu menghadirkan pemikiran kritis tentang hukum.
Agenda Penyelenggaraan Penyelenggaraan Konferensi terdiri atas dua kegiatan: 1. Konferensi Internasional (International Conference) Hari/Tanggal Tempat
: Selasa, 2 September 2014 : Auditorium Lt. 4 Kampus Anggrek, Univesitas Bina Nusantara, Jalan Kebon Jeruk Raya No. 27, Jakarta Barat 11530
2. Temu Ilmiah Tahunan (Anual Scientific Meeting) Hari/Tanggal Tempat
: Rabu-Kamis, 3-4 September 2014 : Auditorium Lt. 4 Kampus Anggrek, Univesitas Bina Nusantara, Jalan Kebon Jeruk Raya No. 27, Jakarta Barat 11530
Konferensi Internasional Seminar 1: "Eco-social justice v. legal justice: Philosophical debates and its application at law schools" (organized by Unair and Epistema) Prof. Augusto Zimmermann, LL.B., LL.M., Ph.D. (President of WALTA, Murdoch University, School of Law, Australia) Dr. Derk Venema
3
(The Netherlands Journal of Legal Philosophy (NJLP), Radboud University of Nijmegen, The Netherlands) Seminar 2: "Eco-social justice: Dissecting Law and Its Practices" (organized by Univ. Atmadjaya and Univ. Binus) Patrick Burgess (Human rights lawyer, President of Asia Justice and Rights (AJAR), Senior Advisor on Legal Aid di Australia Indonesia Partnership for Justice, Senior Advisor on Rule of Law and Legal Aid. di Pyoe Pin (DIFID) Yangon, Myanmar) Prof. Dr. Alois A. Nugroho (Center of Ethics and School of Business Administration, Atma Jaya Catholic University, Jakarta) Panel-Panel untuk Konferensi Internasional 1. 2. 3. 4. 5.
National Law and Customary Land Rights: Recent Development in Asia (Epistema) Human Rights and Social Justice in Clinical Legal Education (Universitas Airlangga) Business Crimes and Ethics: Contemporary Issues (Binus University) Social Justice Theories and Concepts (Universitas Atmadjaya) Access to Justice and Law Reform in Asia
Panel-panel untuk Konferensi Nasional Panel 1 - Keadilan Eko-Sosial: Dimensi Filsafat, Teori dan Konsep Koordinator panel: Dr. Max Boli (Fakultas Hukum Universitas Atmadjaya)
Panel 2 - Keadilan Sosial: Metode dan Pembelajaran dalam Pendidikan Tinggi Hukum Koordinator panel: Yamin, M.Hum, MH. (Fakultas Hukum, Universitas Pancasila)
Sub Panel* 1a. Keadilan Hukum v Keadilan Eko-Sosial: Dimensi Filsafat
Pengelola Panel STF Driyarkara
1b. Teori dan Konsep Keadilan Sosial 1c. Pergulatan Etis dalam Hukum dan Perilaku Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Atmadjaya Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara
1d. Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia 2a. Keadilan Sosial dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Airlanga Fakultas Hukum, Universitas Pancasila
2b. Pendekatan dan Keadilan Sosial dalam Ajaran Hukum Progresif Panel 3 - Keadilan Eko-Sosial: 3a: Gerakan Masyarakat Adat Realitas Hukum dan Gerakan dan Implikasinya pada Legislasi Sosial di Indonesia dan Putusan Pengadilan Koordinator panel: Myrna A Safitri, PhD (Epistema)
Konsorsium Hukum Progresif Epistema Institute
4
3b. Victim based Justice
KontraS
3c. Keadilan Sosial di Ruang Pengadilan 3d. Hukum Rakyat dan Keadilan Eko-sosial
LEIP HuMa
Pengiriman Abstrak Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia maksimal 300 kata. Satu orang boleh mengirimkan lebih dari satu abstrak sepanjang mengenai topik berbeda. Abstrak diawali dengan judul, nama penulis, dan asal perguruan tinggi/lembaga, dan kata-kata kunci. Format abstrak dapat diunduh, diisi, dan dikirim langsung pada alamat situs: www.afhi.epistema.or.id Tanggal Penting
Penerimaan abstrak: 1 Februari 2014-25 Mei 2014 Pengumuman penerimaan abstrak: 30 Mei 2014 Batas akhir penerimaan makalah lengkap: 30 Juli 2014 Registrasi awal (early bird registration): 1 Juni 2014 – 15 Juli 2014 Registrasi periode II: 16 Juli – 31 Agustus 2014 Pelaksanaan Konferensi: 2-4 September 2014 Pertemuan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: 4 September 2014 Tempat Pelaksanaan: Auditorium Lt. 4 Kampus Anggrek, Univesitas Bina Nusantara, Jalan Kebon Jeruk Raya No. 27, Jakarta Barat 11530
Pendaftaran dan Biaya Konferensi Pendaftaran peserta pemakalah maupun bukan pemakalah dilakukan secara on-line melalui website http://afhi.epistema.or.id/ atau dengan mengirimkan formulir yang tersedia melalui faksimile ke: 021 – 7823957. Peserta membayar kontribusi sesuai dengan pilihan jenis kepesertaanya, dengan rincian sebagai berikut: Kategori Presenter Konferensi Internasional Presenter Temu Ilmiah Peserta
Anggota AFHI 1.000.000 750.000 500.000
Non-Anggota AFHI 1.500.000 1.000.000 500.000
Early Bird 15% -
Fasilitas: Kumpulan makalah, sertifikat, seminar kit, buku-buku terbitan Epistema, konsumsi selama Konferensi.
Biaya kepesertaan ditransfer ke: Bank BRI Kantor Kas Ragunan a/n: Yayasan Epistema No. Rek: 1428-01-000015-309 Bukti transfer harap dikirim melalui fax ke: 021 – 7823957 dan e-mail ke:
[email protected] Bukti transfer harap dikirim tidak lewat dari tanggal 16 Juli 2014 untuk peserta early bird dan tanggal 31 Agustus 2014 untuk peserta periode II.
5
Tata Tulis Makalah 1. 2. 3. 4.
Dengan huruf Times New Romans 12, Spasi 1,5 10-15 halaman di kertas kuarto (A4) Teknik mengutip: a. Kutipan pendek (tak lebih dari 3 baris): kutipan ini digabung dengan alinea dan menggunakan tanda petik. Contoh: Susilo mengatakan “………” (Susilo, 2010: 55) b. Kutipan panjang (lebih dari 3 baris): kutipan ini terpisah dari alinea dan tak menggunakan tanda petik. Kutipan ini ditulis dengan paragraf inden Kiri dan Kanan 4 spasi; huruf Times New Romans 11. Contoh: Kelly D. Weisberg menulis sebagai berikut: The primary antiessentialist critique is that feminists have taken the experiences of white middle-class women to be representative of the experiences of all women. In so doing, it may be argued, they obscure women’s diversity. […]. Antiessentialism captures a paradox at the heart of feminism: any attempt to talk about all women in terms of what women have in common undermines attempts to assess the significance of women’s differences. (Weisberg, 1993 : 336).
5. Catatan Kaki: hanya digunakan untuk informasi yang tak bisa dimuat di body text. Pustaka yang dirujuk tak dicantumkan di catatan kaki, tapi di body text. 6. Daftar Pustaka (alfabetis dan urut tahun penerbitan): Perhatikan teknik penulisan buku editorial yang terdiri dari beberapa artikel, buku single, journal, dan sumber bacaan dari internet Budianta, Melani, 2002, “Pendekatan Feminis terhdap Wacana: Sebuah Pengantar” dalam Kris Budiman (ed.), Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi, Yogyakarta, Penerbit Kanal. Budianta, Melani, 2005, “Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan Di Tengah-tengah Lalu Lintas Global-Lokal” dalam Edi Hayat dan Miftahus Surur (eds.), Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Jakarta, Desantara. Butler, Judith, 2006, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, New York, Routledge. Cain, Patricia, 1993, “Feminism and the Limits of Equality” dalam D. Kelly Weisberg (ed.), Feminist Legal Theory: Foundations, Philadelphia, Temple University Press. Dallmayr, Fred, 1996, “Democracy and Multiculturalism” dalam Seyla Benhabib (ed.), Democracy and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, Princeton, Princeton University Press. Denis, Ann B., 2001, “Multiple Identities, Multiple Marginalities: Franco Ontarian Feminism”, Gender & Society, Vol. 15, No. 3. Foucault, Michel, 2002, “Truth and Power” dalam Michel Foucault: Essential Works of Foucault 19541984, vol. 3, James D. Faubion (ed.), London, Penguin Books. Korets, Gene and Susan Gubar, 1997, “Economic Trends”, Business Week, 21 July, Electric Lib. Sam Barlow High School Lib., Gresham. http:/www.elibrary.com, diunduh 23 Februari 2011. 7. Kata-kata asing (Jawa, Inggris, dll) hendaknya dicetak miring. Kepanitiaan Penanggung Jawab Ketua Panitia Tim Kerja
: Ketua AFHI : Dr. Bambang Pratama (Universitas Bina Nusantara) : Dr. Max Boli (FH Universitas Atmadjaya) Dr. Yamin (FH Universitas Pancasila) Dr. Shidarta (FH Universitas Bina Nusantara)
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)
6
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) adalah perhimpunan para dosen dan peminat filsafat hukum yang didirikan tanggal 9 Maret 2011 di Bandung. Asosiasi ini digagas dengan tujuan untuk menjadi: (1) wahana pertukaran pemikiran yang sehat dan bernas bagi pengembanan filsafat hukum di Indonesia, (2) jaringan kerja yang singergis dan berkelanjutan bagi aktivitas pembelajaran filsafat hukum dperguruan tinggi dan forum imiah lainnya, (3) pusat informasi yang relatif lengkap terkait pemikiran-pemikiran mendasar tentang hukum, dan (4) pusat belajar yang berkontribusi aktif dan positif bagi kemajuan pengembanan hukum di Indonesia. Ketua dari Asosiasi ini adalah R. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A, sekretaris A. Widyanto, S.H., MA, bendahara Mumu Muhajir, SH. Alamat sekretariat: Jalan Jatimulya IV/23, Jakarta 12540, telp. 021-78832167, fax. 021-7823957. Epistema Institute Epistema Institute adalah sebuah lembaga kajian dan pengelolaan pengetahuan tentang hukum, masyarakat dan lingkungan hidup yang didirikan oleh Yayasan Epistema pada tanggal 1 September 2010. Yayasan Epistema dan juga Epistema Institute berdiri atas gagasan anggota Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa). Lembaga ini adalah pengembangan dari Learning Center HuMa. Program Epistema bertujuan untuk mendukung gerakan pembaruan hukum yang berbasis masyarakat, kelestarian ekosistem, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan keragaman budaya.
Bekerja sama dengan: Universitas Bina Nusantara Universitas Pancasila Universitas Atmadjaya KontraS LEIP STF Driyarkara HuMa
7