ade saptomo
Awal Memahami
HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM
2015 1
Prof. Dr. Ade Saptomo, SH., M.Si selain menulis buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum & Filsafat Hukum ini, juga menulis buku Hukum dan Kearifan Lokal (2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris (2009), dan Budaya Hukum dan Kearian Lokal (2014). Buku ini semata merupakan gambaran perjalanan studi hukum penulis dalam upaya mengetahui, mengerti, dan memahami hukum. Awalnya, memahami dalam tataran idealis, merambah ketataran positivistik dan kemudian hukum dalam tataran sosiologis. Teori hukum dalam buku ini tidak dimaknai sebagai seperangkat ilmu dan pengetahuan hukum saja tetapi juga dimaknai sebagai alat untuk menjawab permasalahan hukum teoretis maupun praksis, bahkan dalam konteks metodologi dapat digunakan sebagai alat menggali data hukum, dan menganalisis data hukum. Pemahaman yang baik atas teori hukum diharapkan setiap karya ilmiah menghasilkan teori hukum baru, konsep hukum baru, setidaknya sintesa hukum baru. Pemahaman hukum dan teori hukum tersebut memudahkan jalan untuk membedakan antara teori hukum dan filsafat hukum. Setidaknya, keduanya memiliki metodologi dan metode berfikir berbeda dan tataran abstraksinya pun berbeda ketinggiannya. Untuk mengetahui hal itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca mahasiswa dan semua penstudi hukum. 2
ade saptomo
Awal Memahami
HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM
2015 3
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Hukum,Teori Hukum & Filsafat Hukum vii, 162 hlm
hukum, teori hukum, ilmu hukum, filsafat hukum, ISBN 978-602-18880-0-1
diterbitkan FHUP Press, editor I Putranto, lay out Ades email:
[email protected] Jakarta, 2015
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Dilarang mengutip atau memperbanyak dengan cara apapun seluruh atau sebagian dari isi buku ini tanpa seizin penulis dan penerbit. ade saptomo
4
PENGANTAR
Buku diberi judul Awal Memahami Hukum, Teori Hukum & Filsafat Hukum ini semula merupakan bahan perkuliahan yang terdiri dari sekumpulan pandanganpandangan sarjana ternama termasuk pandangan penulis sendiri dan beberapa penjelasan dari sarjana manca negara yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Sementara tujuan dibukukannya bahan perkuliahan tersebut adalah agar mahasiswa dan pembaca umumnya dapat memahami dengan mudah tidak saja pengertian hukum dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga hukum dalam pengertian kaidah dan bagaimana kaidah dimaksud menjadi hukum tertulis sehingga mempunyai kewibawaan yang harus dipedomani. Untuk memudahkan langkah pemahaman dimaksud, isi buku ini dipilah-pilah kedalam rangkuman kecil yang terdiri dari serangkaian bab. Diawali Bab I tentang Apakah Hukum Itu, yang mencakup pengertian hukum dalam definisi Idealis, Positivistik, dan Sosiologis; Bab II tentang ApakahTeori Hukum Itu, yang mencakup Pengertian Teori Hukum, Jenis Teori Hukum, Fungsi Teori Hukum, Konsepsi dan Jenis Hukum. Kemudian disusul Bab III tentang Ilmu Hukum Positif, yang mencakup Pengertian Ilmu, Ilmu Hukum, Ilmu Hukum Positif, Obyek Ilmu Hukum Positif. 5
Bab IV tentang Legalistik dan Penemuan Hukum, yang mencakup Pengertian umum, Pendekatan Legalisitk, Penemuan Hukum, Metode Interpretasi dan Metode Konstruksi Hukum. Bab V tentang Teori Hukum dan Filsafat Hukum, yang mencakup Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis, serta kajian Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Hukum, dan diakhiri dengan Bab VI Teori Hukum sebagai Asumsi yang mencakup. Teori-Teori Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum, Teori Ekonomi. Terhadap penulis yang nama dan bukunya keliru sebut maupun belum disebut disebabkan karena kurang teliti dan cermat pribadi penulis. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Jika ada satu kata, dua kata, tiga kata, dan seterusnya masih salah, sekali lagi mohon maaf. Namun demikian, keseluruhan tulisan dimaksud telah dijadikan bahan ajar dimana penulis mengajar di berbagai program studi doktoral dan magister ilmu hukum pada universitas ternama di Indonesia.
Jakarta,
2015
6
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................... iii DAFTAR ISI.......................................................................v BAB I APAKAH HUKUM ITU......................................1 I.1 Pengertian Hukum .................................................1 I.2 Definisi Hukum .....................................................7 I.2.1 Definisi Idealis ....................................................9 I.2.2 Definisi Positivistik ..........................................15 I.2.3 Definisi Sosiologis ............................................19 BAB II APAKAH TEORI HUKUM ..............................22 II.1 Pengertian Teori Hukum ....................................22 II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum ....................................27 II.3 Fungsi Teori Hukum ..........................................30 II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum ................................36 BAB III ILMU HUKUM POSITIF ................................44 III.1 Pengertian Ilmu ................................................44 III.2 Ilmu Hukum ......................................................54 III.3 Ilmu Hukum Positif...........................................58 III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif ...............................61 BAB IV LEGALISTIK DAN PENEMUAN HUKUM ...................................................................67 IV.1 Pengertian Umum .............................................67 IV.2 Pendekatan Legalistik .......................................71 IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum .........................77 IV.3.1 Metode Interpretasi ........................................82 IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum............................85 7
BAB V TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM . 90 V.1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum......... 90 V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis ..... 103 V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan .......... 109 BAB VI TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI ........ 117 VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara ................... 117 VI.2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum ................ 132 VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum ............................. 132 VI.2.2 Dalam Antroplogi Hukum .......................... 144 VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat............................ 148 VI.2.4 Dalam Ilmu Ekonomi .................................. 150 DAFTAR PUSTAKA .................................................... 159
8
BAB I APAKAH HUKUM ITU I.1 Pengertian Hukum Tampaknya, menjelaskan tentang sesuatu lebih mudah daripada memberi definisi tentang sesuatu dimaksud. Namun tidak lazim untuk menjelaskan sesuatu atau mengkaji sesuatu subyek tertentu tetapi definisinya sendiri belum jelas. Pada awal mengkaji sesuatu subyek dengan tanpa pembatasan (definisi) akan beresiko belakangan karena diskusinya pun tidak akan terarah dengan baik. Untuk itu, definisi tentang sesuatu yang menjadi subyek kajian menjadi sangat perlu karena selain sebagai pembatasan, pengarahan, juga sebagai awal dan akhir dari kajian sebuah subyek. Dengan demikian, definisi tetap perlu dan penting untuk dirumuskan. Namun, untuk memberikan definisi hukum secara pasti memang sulit karena banyak alasan. Pertama, dalam semua tingkat perkembangan masyarakat baik dari masyarakat dengan peradaban rendah hingga peradaban tinggi masing-masing masyarakat dimaksud memiliki hukum. Perbedaan terletak antara hukum dari dua masyarakat tidak hanya dalam satu bentuk saja tetapi ada tahapan perkembangan yang masing-masing memiliki karekteristik berbeda sehingga terminologi hukum berarti dan mencakup hal-hal yang berbeda dalam setiap masyarakat. Kata-kata terkait law dalam bahasa Inggris, dalam sistem hindu disebut dharma, dalam sistem 9
Islam disebut hukum, dalam bahasa Romawi disebut jus, dalam bahasa Perancis disebut Droit, dan dalam bahasa Jerman disebut Richt. Makna dan gagasan yang ada dalam kata-kata tersebut berbeda-beda satu sama lain sehingga suatu definisi hukum yang gagal mencakup semua makna dimaksud tidak akan menjadi definisi baik. Kedua, defnisi berbeda padahal yang didefinisikan dari hal yang sama, mungkin ini terjadi karena definisi diberikan dari sudut pandang berbeda dan satu sudut tidak mengambil pertimbangan dari sudut pandang yang lain. Dengan demikian definisi yang diberikan oleh lawyer, filosof dan theologian semakin menjadi besar perbedaan. Aliran beragam yang dianut penekun hukum telah mendefinisikan hukum dari sudut berbeda-beda pula. Beberapa ahli hukum telah mendefinisikannya dengan mendasarkan pada siapa, dan beberapa ahli hukum menekankan pada sumbernya, sementara beberapa ahli hukum yang lain berkenaan dengan pengaruh masyarakat, sementara beberapa ahli hukum lain berkaitan dengan akhir atau tujuan. Sebuah definisi yang tidak mencakup semua ini akan menjadi definisi yang tidak sempurna. Ketiga, demikian juga dalam tataran ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu sosial. Ilmu sosial yang dimaksud adalah sebuah ilmu yang tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Perkembangan masyarakat mulai dari masyarakat sederhana hingga modern, terutama era modern yang penuh kemajuan ilmu dan teknologi tinggi, telah menciptakan problem baru. 10
Hukum dituntut mencakup bidang-bidang baru dan bergerak ke arah baru agar mampu menjaga ruangan, fungsi, dan skope hukum yang selalu berubah. Oleh sebab itu, sulit untuk memberikan sebuah definisi hukum dalam pengertian tertentu untuk tetap valid untuk sepanjang waktu. Sebuah definisi yang tetap dan baku sudah tidak memungkinkan lagi mengingat definisi yang paling memuaskan saat ini bisa mempersempit dan tidak lengkap untuk masa yang akan datang. Oleh karena kesulitan itu, Hart pernah mengatakan bahwa sejak zaman kuno kebutuhan akan definisi apa hukum itu telah dibuat dan jawaban berbeda telah diberikan, diantaranya “Few questions concerning human society have been asked with such persistence and answered by serious thinkers in so many diverse, strange, and even paradoxical ways as the question What Law is.1 Jawaban atas pertanyaan “apa hukum itu” itu tidak gampang. Jawaban yang paling baik mendekati persoalan itu dengan mengemukakan sejumlah ciri dan sifat dari hukum secara singkat dan mencoba menjelaskannya sampai pada suatu “pengertian dari hukum itu sendiri. Ketidakgampangan dimaksud karena suatu analisis hingga pada perumusan jawaban tidak bebas nilai dan netral, tetapi terkait pada orientasi kefilsafatan hukum yang melandasi. Pada umumnya, setiap kali “hukum” dibicarakan, yang dimaksud adalah hukum yang berlaku 1
Hart H.L.A., 1961. The Concept of Law. hlm. 1 11
atau biasa disebut hukum positif. Jadi, hukum yang berlaku diartikan sebagai undang-undang atau keputusankeputusan hakim dan tidak tentang salah satu hukum kodrat atau sistem-sistem hukum ideal lain yang mungkin memang juga berlaku. Hukum yang dibicarakan di sini adalah hukum pada umumnya yang setiap hari banyak orang berurusan dengannya. Ada beberapa ciri objektif untuk sampai pada apa yang disebut hukum:2 a. Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. Ini hampir selalu berupa perlengkapan penguasa (overheads-organ) dari suatu tatanan hukum dan tatanan negara yang konkret. b. Hukum memiliki suatu sifat lugas dan objektif. Itu berarti bahwa ia secara jelas dapat dikenali dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang subjektif. Kita juga dapat mengatakan bahwa hukum positif modern itu rasional. Dengan itu Koesnoe maksudkan bahwa hukum itu tidak timbul dari pewartaan religius (wahyu), juga tidak lagi memiliki suatu bobot mistik atau yang irasional, tetapi bahwa ia hampir selalu merupakan resultat dari suatu prosedur yang diatur secara cermat. Bila suatu undang-undang dibentuk atau bila suatu proses di hadapan hakim dijalankan, maka berbagai argumentasi dihadapkan yang satu terhadap
2
Meuwissen dan K. Larenz, 1979. Richtiges Recht. 12
yang lain dan dipertimbangkan dengan membandingbandingkan yang satu terhadap yang lain. “Rasionalitas dari hukum” terutama mengandung arti bahwa orangorang berupa untuk saling meyakinkan berdasarkan argument-argumen yang masuk akal. Hal menetapkan hukum adalah bukan begitu saja suatu keputusan dari otoritas, tetapi membutuhkan suatu motivasi lebih jauh. c. Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati. Ia primer tidak berminat pada pertimbangan-pertimbangan atau perasaan-perasaan subjektif, meskipun hal itu juga khususnya dalam hukum pidana kadang-kadang penting. Dalam segi ini, hukum itu dibedakan dari etika. Untuk etika, suatu pertimbangan pribadi yang murni, intensi (niat) atau sikap memang penting. Untuk hukum hal ini baru terjadi (menjadi penting), bila disposisi yang demikian itu diwujudkan dalam suatu perilaku (atau pola perilaku) konkret. Jadi hukum itu mengatur hubungan-hubungan lahiriah antar manusia. Ia tidak berkaitan dengan hubungan-hubungan atau kontak-kontak pribadi yang murni. d. Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu, yang kita namakan keberlakuan (berlaku, gelding). Sebagaimana yang akan kita lihat keberlakuan ini mengenal (memiliki) tiga aspek, yakni aspek moral aspek sosial, dan aspek yuridis. e. Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal. Kita membedakan kaedah-kaedah 13
hukum, figur-figur hukum dan lembaga-lembaga hukum (pranata hukum). Termasuk ke dalam kaedahkaedah hukum adalah aturan-aturan umum (misalnya undang-undang) keputusan-keputusan konkret (misalnya vonis, keputusan-keputusan pemerintah atau ketetapan) dan asas-asas hukum (misalnya itikad baik, tuntutan kecermatan kemasyarakatan, pacta sunt servanda, asas persamaan). Sementara itu, perbedaan asasi antara aturan-aturan hukum dan asas-asas hukum tidak ada. Asas itu seperti aturan memiliki suatu sifat umum, dengan catatan bahwa isinya kadang-kadang dirumuskan kurang tajam ketimbang yang terjadi pada aturan. Selanjutnya misalnya dalam pengertian “aturan” masih dapat dibedakan berbagai struktur, misalnya keharusankeharusan (perintah-perintah), larang-larangan, pemberian kewenangan-kewenangan. Struktur-struktur demikian oleh banyak filsuf hukum analitik dijadikan objek penelitian. Figur-figur hukum memiliki suatu sifat yang lebih majemuk. Mereka adalah perangkat-perangkat aturanaturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu substrat ideal aturan-aturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu substrat ideal atau kemasyarakatan spesifik (misalnya hak milik, kontrak, perbuatan melanggar hukum, hak-hak dasar). Lembaga hukum jauh lebih majemuk lagi : dalam banyak hal ia mengenal suatu pengaturan kewenangan-kewenangan 14
yang terjabar masing-masing dengan organ tersendiri. Contoh, di antaranya, perkumpulan-perkumpulan, perusahaan-perusahaan, perseroan-perseroan. Lembaga hukum yang terpenting adalah negara. f. Ciri yang terakhir dan terpenting dari hukum menyangkut objek dan isi dari hukum. Hukum itu memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi tujuan tertentu. Dalam arti yang sangat formal, kita menunjuk tujuan ini sebagai idea-hukum (cita-hukum). Tentang isi dari idea hukum itu di dalam filsafat hukum terdapat perbedaan pemahaman yang besar. Sebagai tujuan dari hukum sering dirujuk adalah ketertiban, perdamaian, harmoni, prediktabilitas, hal dapat diperhitungkan, kepastian hukum. Oleh yang lain persamaan dan keadilan juga dipandang penting. Sebagaimana yang akan diuraikan, menurut pandangan Koesnoe, dalam hubungan ini kebebasan memiliki arti penting secara primer. Sementara itu Koesnoe berpendapat bahwa di sini persoalannya berkenaan dengan pretensi yang dijalankan oleh hukum. Hukum selalu menginginkan sekurang-kurangnya prima facie untuk mewujudkan suatu idea-hukum tertentu. Penetapan tujuan ini terletak dalam lingkungan normatif. Apakah penetapan tujuan ini atau perwujudannya juga secara faktual atau sungguhsungguh ada, adalah suatu persoalan yang sama sekali lain tatanannya. Untuk sebagian ia hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian empiris. Koesnoe 15
masih menambahkan padanya bahwa, menurut pemahaman Koesnoe, hukum itu selalu memiliki perkaitan dengan hubungan-hubungan lahiriah antarmanusia bertalian dengan penentuan atas bendabenda langka. Justru dalam hubungan-hubungan intersubjektif untuk sebagian tentu saja hukum bertujuan untuk merealisasikan kebebasan. Setelah masuk pada kajian ciri-ciri hukum, kembali ke belakang sejenak untuk mengingatkan betapa penting definisi hukum yang telah berkembang hingga saat ini. Definisi hukum dimaksud dapat ditemui dalam beberapa literatur yang terkait dengan Ilmu Hukum, disana akan ditemukan beberapa definisi tentang “hukum”, hal itu dapat pula ditemukan dalam kamus, ensiklopedi ataupun dari suatu aturan perundang-undangan. Untuk melihat apa yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu hukum, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya. I.2 Definisi Hukum Mengerti definisi menjadi penting dan perlu karena mengawali dan mengakhiri kajian suatu bidang ilmu lazim dengan pengertian definisi bidang ilmu dimaksud. Untuk memberikan definisi hukum secara perbandingan merupakan perkerjaan sulit karena banyak alasan, pertama, dalam semua masyarkat dari bentuk primitif hingga masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, maju, 16
dan modern masing-masing memiliki apa yang disebut hukum. Itu satu hal, hal lain hampir setiap penekun hukum baik itu akademisi, praktisi, bahkan pengamat hukum sekalipun telah berusaha untuk mendefinisikan hukum dengan sudut pandang berbeda. Bahkan telah banyak definisi dengan beragam sudut telah mereka berikan sehingga banyak pilihan definisi untuk didiskusikan. Oleh karena terdapat banyak definisi, maka dengan tujuan mengklarifikasi definisi-definisi hukum tersebut, di bawah ini diklasifikasikan definisidefinisi dimaksud ke dalam tiga kelompok definisi, yaitu definisi idealis (idealisitic definition), definisi positivistis (positivistical definition), dan definisi sosiologis (sociological definition). I.2.1 Definisi Idealis Definisi idiealis dimaksud pada umumnya diberikan pada zaman Romawi dan ahli-ahli hukum masa silam. Di antaranya definisi yang diberikan oleh Justinian‟ s Digest bahwa hukum didefinisikan sebagai the standard of what is just and unjust. Ulpian mendefinisikan hukum sebagai the art or science of what is equitable and good. Cicero mengatakan bahwa hukum law is the highest reason implanted in nature. Pendek kata keadilan sebagai elemen utama hukum, merupakan satu hal yang harus ditekankan dalam semua upaya pengungkapan semua definisi hukum. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat bahwa apa saja pandangan teoretis ahli hukum Romawi saat itu 17
mereka miliki, dalam praktik tidak pernah kebingungan dalam memisahkan antara hukum dan keadilan. Pada era Hindu Kuno juga memiliki pandangan bahwa hukum adalah perintah Tuhan dan bukan perintah dari kekuatan politik. Pembuatan peraturan itu sendiri juga terikat pada dan patuh pada hukum, bahkan memiliki kewajiban untuk melaksanakan hukum tersebut. Jadi hukum dipandang sebagai dharma. Ini merupakan pandangan tentang hukum yang ditemukan moral dan religious injunction mingled up with legal precept. Artinya, ide keadilan selalu dihadirkan konsep hukum dalam masyarakat Hindu. Hukum alam (natural law atau lex naturalis) pun merupakan idealis karena pada dasarnya merupakan hukum yang tidak dibuat oleh manusia dan oleh karenanya berlaku universal (International Encyclopedia of the Social Sciences). Pemahaman hukum alam ini sering diasosiasikan bertentangan atau merupakan lawan dari pemahaman hukum positif, masyarakat, dan pemerintahan negara. Pemahaman tentang teori hukum alam tidak terlepas dari pemikiran Aristotle (384 SM-322 SM) yang menggali filsafat Yunani dengan membedakan antara “hukum” dan “alam.” Hukum bisa berbeda dari satu tempat dengan lainnya, sedangkan alam bersifat universal. Kebutuhan, perilaku, dan hak-hak manusia, pada prinsipnya bersifat alami atau sesuai dengan hukum alam. Oleh karena itu, Aristotle mengemukakan faktor terpenting yaitu aspek keadilan yang bersifat alami atau 18
universal (ius naturalis). Atas dasar pemikiran dan kontribusinya dalam perkembangan ilmu hukum, Aristotle dinobatkan sebagai “bapak hukum alam.” Pandangan Aristotle tersebut sering dikaitkan dengan sebuah ungkapan “an unjust law is not a true law” (hukum yang tidak berkeadilan bukan hukum sebenarnya). Prinsipprinsip dari pemikiran Aristoteles tersebut kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam pengembangan ilmu hukum oleh Thomas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya Treaties on Law3, sehingga menjadi dasar-dasar pengembangan ilmu hukum pada abad-abad berikutnya. Menurut pandangan Thomas Aquinas, dalam konteks hukum, aturan-aturan moralitas pada hakekatnya bersifat alami dan mengikat bagi seluruh umat manusia. Untuk itu, Thomas Aquinas mengembangkan teori hukum alam yang didasari oleh tiga doktrin yaitu:4 (1) Semua hukum yang berkeadilan dapat ditemukan secara alami; (2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai konflik; dan (3) Hukum hanya dapat dipahami dan dimengerti apabila didasari oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada dan bersifat alami.
3
Lihat McInerny, R. 1996. Thomas Aquinas: Treatise on law (Summa Theologica, Quesions 90-97). Regnery Publishing Inc, Washington, D.C. 4 Ibid 19
Oleh karena sifatnya yang universal, pemikiran Thomas Aquinas banyak mempengaruhi pengembangan sistem hukum di dunia, terutama di Inggris dan negaranegara Anglo-Saxon yang menganut sistem common law. Definisi tersebut diatas diberikan pada saat ketika belum ada pembedaan secara jelas antara hukum, moral, dan agama sehingga seolah ketiganya menyatu ke dalam satu definisi. Sementara pada saat zaman sudah modern demikian, hukum pada umumnya telah disekulerisasi dan telah tumbuh berkembang ke dalam satu cabang yang independen dalam ilmu sosial. Untuk itu, definisi hukum diberikan dari sudut teologis. Namun unsur keadilan masih menjadi elemen penting dalam beberapa definisi yang diberikan oleh ahli-ahli hukum modern. Mereka telah mendefinisikan hukum berkaitan dengan keadilan tetapi konsep keadilan tidak sama persis seperti keadilan pada zaman kuno. Keadilan, dalam definisi modern berarti keadilan hukum dan bukan sebuah keadilan abstrak. Keadilan dapat diperoleh melalui proses hukum formal, yatu melalui praktik peradilan. Pandangan demikian telah diklasifikasikan oleh ahli hukum masih sebagai idealistis meskipun mereka sebenarnya positivistik. Definisi yang demikian ini adalah definisi yang dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum merupakan prinsip-prinsip yang diakui dan diterapkan oleh negara sebagaimana tampak dalam administrasi peradilan. Dengan kata lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui, 20
dijalankan oleh pengadilan. Ada dua implikasi penting berkenaan dengan definisi yang demikian ini. Pertama, bahwa untuk memahami hukum orang harus mengetahui tujuannya, kedua bahwa untuk mengetahui ciri utama hukum orang harus masuk ke pengadilan dan tidak ke lembaga legislasi. Definisi Salmond demikian ini menuai kritik dari para ahli hukum lain. Di antaranya, Vinogradoff menyampaikan kritik terhadap definisi Salmond karena definisi tersebut didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa hukum berlangsung dari tindakan hakim. Kritik utama terhadap definisi Salmond adalah bahwa ia merancukan antara keadilan dengan hukum sementara hukum dan keadilan bukan satu hal sama karena hukum diterapkan hingga memperoleh kesimpulan apakah baik atau buruk. Sementara, keadilan merupakan idealisme yang ditemukan dalam moral manusia. Salmon itu tidak pernah membicarakan keadilan, tetapi ia mengatakan bahwa dengan hukum keadilan itu dapat diperoleh. Dengan demikian, hukum telah didefinisikan oleh Salmond berkenaan dengan tujuan. Memang mendefinisikan hukum yang dikaitkan dengan tujuan mungkin membantu namun ketika hukum dimaknai untuk melayani banyak tujuan, tentu definisi demikian itu akan memperoleh kesulitan sendiri. Misalnya saja, jika tujuan hukum adalah keadilan maka Salmond dianggap telah mempersempit wilayah kajian hukum. Kedua, untuk mengerti hukum orang harus pergi ke pengadilan dan bukan ke lembaga legislasi. Pandangan 21
demikian ini telah dikritik dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, menurut definisi ini berarti konvensikonvensi yang seharusnya dikeluarkan dari hukum karena konvensi tidak dijalankan pengadilan. Kedua, definisi Salmon demikian itu telah memunculkan kontroversi tentang makna pengadilan. Misalnya, apakah peradilan administrasi yang dalam beberapa kasus telah menetapkan hak dan tanggung jawab hendak dipertimbangkan sebagai pengadilan atau bukan. Pada titik ini jelas definisi Salmond kurang memadai sehingga hal itu merupakan kesulitan tersendiri bagi Salmond untuk menjawabnya. Ketiga, pranata-pranata hukum tidak dipertimbangkan sebagai hukum menurut definisi Salmond karena pranata-pranata itu tidak lahir di depan pangadilan, demikian pula hukum internasional, hukum adat, dan seterusnya yang kesemuanya tidak lahir dan tidak dijalankan oleh pengadilan, pada hal keseluruhannya menjadi rujukan bertindak dalam kehidupan sehari-hari . Dalam aliran Sejarah, Karl Von Savigny mengatakan bahwa: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people‟s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara. 22
Selain itu, masih terdapat lagi aliran hukum lain, yaitu aliran hukum alam yang diteorikan oleh Aristoteles. Menurut aliran hukum alam, hukum didefinisikan sebagai sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar. Selain Aristoteles, Jhon Locke juga berpendapat bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan jujur dan mana yang merupakan perbuatan curang. I.2.2 Definisi Positivistis Selain itu, masih ada di dalam hukum terdapat pandangan dari aliran Positivistis. Definisi positivistis sebenarnya juga telah lama muncul, misalnya saja pernyataan para ahli filsafat hukum yang mengembangkan teori positivisme hukum (legal positivist theory),5 terutama Jeremy Bentham (1748-1832), John Austin (1790-1859), Hans Kelsen (1881-1973), H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph Raz (1939-sekarang). Teori ini didasari oleh 3 prinsip pokok yaitu: 5
Jeremy Bentham (1748-1832) dikenal sebagai tokoh individualis, utilitarian, John Austin (1790-1859) dikenal sebagai tokoh aliran analistis dan bapak Jurisprudence Inggris, Hans Kelsen (1881-1973) dikenal sebagai tokoh positivis, H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph Raz (1939-sekarang). 23
(1) Tidak ada kaitan langsung antara hukum dan etika atau moralitas; (2) Hukum adalah aturan yang dibuat oleh manusia, disengaja atau tidak; (3) Hukum harus memberikan kepastian dan menggunakan ukuran-ukuran pasti, yaitu sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan praktik dalam kehidupan sosial masyarakat yang memberlakukan norma sebagai hukum. Perdebatan antara penganut paham hukum alam (natural-made) dan positivisme hukum (man-made) selalu menarik perhatian diantara para ahli filsafat hukum. Para penganut paham positivisme berpendapat bahwa hukum didasarkan oleh suatu tindakan, praktik, atau permasalahan yang di masa lampau tidak bisa dipecahkan; masa yang akan datang ditentukan oleh suatu tindakan dan keputusan masa lampau dan masa kini. Teori Bentham yang dielaborasi lebih tegas oleh salah seorang muridnya yakni John Austin dalam bukunya The province of jurisprudence determined (1832), mengemukakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa (kedaulatan) yang dilengkapi dengan ancaman dan harus dipatuhi oleh banyak orang atau masyarakat umum. Menurut John Austin bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas 24
tertinggi. Dengan kata lain, hukum merupakan komando, perintah dari yang berdaulat. Hukum mewajibkan serangkaian tindakan atau mendorong suatu kewajiban dan diikuti sebuah sanksi. Dengan demikian, perintah, kewajiban, dan sanksi merupaka tiga unsur penting dalam mendefinisikan hukum. Artinya, hukum yang mencirikan atau meliputi tiga elemen penting ini disebut hukum positif. Sehubungan dengan itu, definisi John Austin setidaknya menggambarkan paham positivisme dimaksud. John Austin membedakan antara hukum positif, moralitas positif dan jenis-jenis lain aturan yang disebut hukum. Memang definisi Austin demikian juga tidak luput dari kritikan dengan alasan-alasan sebagai berikut: pertama, tidak semua hukum adalah perintah, kedua kebanyakan hukum memberikan kesempatan daripada pembatasan (ini berarti bukan sebuah kewajiban). Ketiga, hukum bukan sanksi semata yang membuat patuh hukum tetapi juga ada faktor lain. Kelemahan lainnya bahwa definisi John Austin demikian ini tidak mencakup kebiasaan dan hukum internasional karena keduanya ini tidak mempunyai esensi hukum sebagaimana menurut definisi John Austin. Secara lengkap, Austin mengabaikan aspek sosial dan faktor psikologis yang memang menjamin ketaatan seseorang terhadap hukum. Kemudian Hans Kelsen yang menggunakan pendekatan the pure theory of law, dapat juga dikategorikan sebagai positivis. Meskipun ia menganut aliran positivisme hukum, namun agak berbeda pendapat 25
dengan sarjana sebelumnya karena ingin memberikan jalan tengah antara hukum alam dan positivisme hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral seperti yang dianut dalam mazhab hukum alam.6 Menurut A.P. d‟Entreves,7 teori positivisme hukum dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu: (i) imperativisme, yaitu hukum merupakan perintah kekuasaan yang didukung oleh suatu kebiasaan; (ii) normativisme, yaitu hukum merupakan kumpulan normanorma; dan (iii) realisme (realism), yaitu hukum merupakan produk manusia yang selalu berkaitan dengan dunia nyata. Dari ketiga jenis teori tersebut, yang paling mendapat perhatian besar adalah realisme hukum. Jika dalam teori hukum positif, pengertian positif bersifat “tekstual,” maka dalam teori realisme hukum, pengertian positif bersifat “kontekstual.” Lain lagi menurut Oliver Wendell Holmes, Jr. (1841-1935) yang dalam bukunya The common law (1881), dikatakan hukum bukan semata teks dan kontekstual tetapi hukum lebih mudah dimengerti dalam praktik sebagaimana yang dijalankan oleh institusi peradilan, kantor pengacara, dan
6
Asshiddiqie, J dan Safa‟at, a., 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. sekretariat jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I. Jakarta. 7 Lihat A.P. d‟Entreves, 1951. Natural law: An introduction of legal philosophy 26
kantor polisi daripada mempelajari rangkaian aturan yang tertera dalam dokumen. I.2.3 Definisi Sosiologis Sarjana yang pandangannya dapat diklasifikasikan ke dalam definisi sosiologis adalah Nathan Roscoe Pound (1870-1964). Ia berpandangan bahwa hukum berasal dari negara/pemerintah sebagai penguasa karena negara/pemerintah perlu mengatur berbagai kepentingan, baik kepentingan publik maupun kepentingan privat. Meskipun demikian, Pound yang merupakan pioner dalam gerakan pembangunan hukum untuk tujuan sosial (sociological jurisprudence), mengemukakan teorinya bahwa hukum mencerminkan kemauan negara/pemerintah untuk mengatur masyarakat dalam rangka melakukan perubahan sosial (social engineering) dan pengendalian sosial (social control). Lebih jauh dikatakan bahwa berbagai perubahan sosial masyarakat harus dikendalikan agar perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih baik. Dikaitkan dengan perkembangan hukum, pemikiran Pound mempengaruhi praktik kenegaraan yang misalnya dalam pembuatan peraturan perundang - undangan tidak mengakomodasikan hukum asli masyarakat setempat atau dikenal adat. Selain itu, dalam praktik kenegaraan, pemikiran Pound juga berpengaruh kuat karena hanya sedikit inisiatif pembentukan undang-undang yang berasal dari lembaga legislatif. Pandangan Pound tersebut yang juga menganut paham realisme hukum, sangat berpengaruh 27
terhadap perkembangan sistem hukum dan sistem peradilan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Salah satu bentuk penerapan dari pemikiran Pound yaitu di Amerika Serikat dengan pengembangan Criminal Justice System (CJS) yang mutlak berasal dari keinginan pemerintah untuk menciptakan keadilan dengan mengintegrasikan sistem peradilan. Menurut aliran sosiologis, Nathan Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:8 1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi). 2. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka). Hukum bagi Rouscoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya. Sedangkan menurut Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the
8
Ilmu hukum76.wordpress.com/2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/ 28
widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui sarana paksaan yang bersifat eksternal). Sedangkan Bellefroid berpendapat bahwa: “Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu”. Dalam aliran Realis, Holmes berpendapat bahwa The prophecies of what the court will do are what I mean by the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang penulis artikan sebagai hukum). Sedangkan menurut Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan. Selain aliran sosiologis dan Realis, dari segi Antropologis, melalui Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan). Sedangkankan menurut Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
29
BAB II APAKAH TEORI HUKUM ITU II.1 Pengertian Teori Hukum Apakah Teori? Penulis sering mengatakan di berbagai tempat dan kesempatan ketika ada diskusi yang menyangkut Teori. Pertanyaan awal yang juga sering dikemukakan dalam diskusi itu adalah apa teori itu. Untuk mejelaskannya, tentu perlu disinggung lebih dahulu tentang makna kata teori yang kadangkala secara tidak sengaja terdengar atau mendengar dari pernyataan orang, misalnya ”Itu hanya teori saja, praktiknya berbeda”. Dalam percakapan sehari-hari demikian, orang cenderung menggunakan kata teori untuk mengartikan sebagai pengetahuan umum, ada juga diartikan sebagai sesuatu yang masih spekulatif, misalnya orang mengatakan ”penulis mempunyai sebuah teori tentang sesuatu”. Teori dimaksud pertama tentu bukan teori yang sedang dibahas dalam tulisan ini mengingat teori dalam bahasan ini adalah teori ilmiah sebagai disebut kedua sehingga perlu dibuktikan atau didukung data mutakhir. Dalam konteks ilmiah, ilmuwan menggunakan istilah teori untuk mengartikan sebuah pernyataan dari hubungan antara dua atau lebih fenomena atau variabel yang dapat diuji kebenarannya. Artinya, sebelum sampai pada teori berarti telah ada proses verifikasi yang memungkinkan untuk menemukan penjelasan tentang hubungan-hubungan dua atau lebih fenomena tertentu dimaksud, dan melalui 30
pengujian berulang-ulang menunjukka bahwa hubungan dimaksud teruji hingga pada kesimpulan yang dinyatakan dengan sebuah pernyataan. Pernyataan dimaksud merupakan penjelasan padat yang harus dikatakan, meskipun pernyataan itu masih terbuka dan dapat diverikasi atau dinegasikan. Dengan demikian, untuk pada sampai pada teori tertentu, maka teori itu sebenarnya mempunyai komponen atau bagian-bagian yang terbuka untuk pengujian, falsifikasi, dan verifikasi. Komponen dimaksud adalah proposisi, konsep-konsep, definisidefinisi, dan hipotesa. Proposisi merupakan pernyataan-pernyataan tentang ciri kenyataan dimana ciri dimaksud menggambarkan hubungan antara dua atau lebih fenomena atau peristiwa. Misalnya, manusia adalah suatu makhluk dan harus makan jika ingin hidup”. Ini merupakan pernyataan yang amat proposional dan dengan amat mudah untuk diuji kebenarannya. Pada tataran yang lebih tinggi, sosiolog mungkin mengatakan bahwa” Perubahan dalam struktur ekonomi akan menghasilkan perubahan-perubahan aspek nonmaterial dalam mayarakat”. Kebenaran pernyataan demikian ini juga mudah untuk dilakukan pengujian. Konsep merupakan sebutan-sebutan yang diberikan atau ditujukan pada peristiwa-peristiwa, fenomena, dan proses-proses tertentu. Dengan demikian, konsep-konsep dimaksud merupakan simbol-simbol dan biasa digunakan ilmuwan sebagai bentuk singkat yang menggambarkan suatu proses, fenomena, atau perisitiwa. Masing-masing31
masing konsep mengkomunikasikan sebuah rangkaian pengalaman yang telah diabstraksi dan diklarifikasikan bagi mereka yang memahami istilah itu sendiri. Misalnya, status. Status ini merupakan sebuah konsep yang merujuk pada posisi seseorang dalam masyarakat, ada kemungkinan ia berada pada tataran tinggi, tengah, rendah. Tataran demikian ini oleh Max Weber dimaknai sebagai tiga skala, skala ekonomi, politik, dan prestise. Jadi, konsep dapat diartikan lebih dari tataran rangking. Definisi dapat dipandang sebagai turunan teori. Jika diperhatikan, teori yang dipandang sebagai alat jawab sementara terhadap permasalahan, juga penuntun dalam mengklasisifikasi informasi ke dalam data, serta sebagai alat analisis terhadap data yang terkumpul, maka definisi merupakan batasan dari suatu pengertian tentang sesuatu sehingga sesuatu yang dimaksud dapat dimasukkan ke dalam data. Ada dua tipe definisi yang umum didiskusikan, pertama, definisi nominal. Definisi nominal merupakan pengganti dari beberapa obyek kongkrit. Misal kata-kata mobil sport, dalam faktualnya didefinisikan sebagai sebuah mobil yang memiliki bentuk langsing, ramping, roda karet radial dengan kecepatan tinggi. Kedua, definisi riil. Sementara definisi riil merupakan fenomena yang dapat diamati, kasad inderawi, dan mempunyai implikasi riil, dapat diuji, empiris, nyata. Misalnya, presiden mempunyai status tinggi. Status tinggi ini secara inderawi dapat diamati, misalnya kemewahan kantornya, mobil dinasnya, dan dapat diuji pula bagaimana ia mempunyai kekuasaan 32
ekonomi dan politik mengatur rakyat. Artinya, definisi riil merupakan gambaran yang terikat pada dunia nyata. Hipotesa merupakan pernyataan yang merangkai hubungan antara dua atau lebih faktor-faktor atau peristiwa-peristiwa, misalnya hujan turun menyebabkan jalan basah. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah hipotesa merupakan turunan atau diturunkan dari teori dan mencoba membuat pernyataan umum dan spesifik. Dari uraian tersebut di atas, konstruksi teori dapat dilakukan melalui empat tahap. Pertama; penyebutan suatu fenomena sebagai konsep; kedua, mendefinisikan konsep ke dalam istilah yang lebih kongkrit dan dapat diamati; ketiga, menyatakan asumsi tentang hubungan antara konsepkonsep; keempat, diturunkan secara logis ke dalam sebuah hipotesa dan mengujinya. Namun sebelumnya, perlu dikemukakan definisi tentang "teori" itu sendiri yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana, diantaranya sebagai berikut:9 1. Fred N. Kerlinger. Teori adalah sekumpulan konstruksi (konsep, definisi, dan dalil) yang saling terkait yang menghadirkan suatu pandangan secara sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan di antara beberapa variabel, dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena.
9
Pandangan tersebut dapat dibaca pada James A. Black dan Dean J. Champion ( 1992). Sementara pandangan Nasution dapat dibaca pada . S. Nasution (1995) dan Kartini Kartono pada Kartini Kartono (1990). 33
2. Braithwaite. Teori adalah sekumpulan hipotesis yang membentuk suatu sistem deduktif, yaitu yang disusun sedemikian rupa, sehingga dari beberapa hipotesis yang menjadi dasar pikiran beberapa hipotesis semua hipotesis lain secara logis mengikutinya. 3. Jack Gibbs. Teori adalah sekumpulan pernyataan yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelaskelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau benda. 4. S. Nasution. Teori adalah susunan fakta-fakta yang saling berhubungan dalam bentuk sistematis sehingga dapat dipahami. Fungsi dan peranan teori dalam penelitian ilmiah, mengarahkan, merangkum pengetahuan dalam sistem tertentu, serta meramalkan fakta. 5. Kartini Kartono. Teori adalah suatu prinsip umum yang dirumuskan atau diformulasikan untuk menerangkan sekelompok gejala gejala yang saling berkaitan. Kemudian, setelah mencoba mengerti teori, pertanyaan berikutnya adalah Apakah Teori Hukum Itu? Pertanyaan tersebut hingga kini masih terdapat perbedaan pandangan di antara para pengemban teori hukum. Hal ini hampir selalu berkaitan dengan titik tolak filsafat (hukum) yang dipilih. Dengan sedikit berlebihan dapat dikatakan bahwa tiap filsafat hukum memiliki pandangan sendiri 34
tentang teori hukum. Di lain pihak beberapa teori hukum juga memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan (hukum). Hal ini tampak jelas misalnya pada apa yang dinamakan teori hukum empirik, yang sangat berorientasi pada aliranaliran tertentu dari filsafat ilmu modern. Menurut pandangan hukum empirik ini ilmu hukum harus diemban dengan bantuan metode-metode empirik.10 Definisi berbeda tersebut menggambarkan bahwa sangat sukar untuk memberikan suatu definisi dari teori hukum yang dapat mencakup semua makna diterima oleh semua pihak. Perbedaan ini terjadi karena secara umum berkaitan dengan berbagai aliran dalam teori hukum yang menganut pandangan yang berbeda tentang teori hukum. Namun penulis berpendapat teori hukum itu dapat dikategorikan secara singkat menjadi dua, yaitu teori hukum diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan hukum dan kedua teori hukum sebagai pernyataan ilmiah, yag uraiannya dapat disimak pada subbab-subbab di bawah. II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum Secara umum, banyak aliran dalam teori hukum diantaranya: 1) Teori hukum empirik yang membicarakan pengembanan ilmu hukum (pembentukan dan penemuan hukum), 2) Teori hukum fungsional, misalnya dari gurubesar Rotterdam, J. ter Heide, Ajaran teori itu
10
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Hukum Empiris Murni.Jakarta: Usakti Press. 35
berintikan pandangan bahwa berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai pengartikulasian suatu hubungan yang ajeg di antara sejumlah variable. Ter Heide menyatakan hubungan tersebut dalam rumus (formula) “B=fPE”, yang berarti perilaku para yuris, hakim, pembentuk undangundang, warga masyarakat (B) berada dalam suatu hubungan yang ajeg (f) terhadap di satu pihak berbagai kaedah hukum (P) dan di lain pihak lingkunganlingkungan konkret (E). Dengan cara ini diperoleh suatu pemahaman (insight) tentang berfungsinya hukum, dalam arti bahwa ia dipahami sebagai suatu “data” (keterberian). Dalam suatu konteks kemasyarakatan, yang di dalamnya tidak hanya keadaankeadaan (lingkungan) faktual, tetapi juga kaedah-kaedah, harapan-harapan, asas-asas mempunyai arti penting. Dengan latar belakang tersebut, Ter Heide menunjukkan bahwa tindakan yuridis (perbuatan hukum) itu tidak hanya menerapkan kaedah-kaedah tetapi juga menetapkan kaedah-kaedah, ia menciptakan harapan-harapan, ia megartikulasi “makna” yang terkandung dalam suatu cakrawala pengalaman tertentu. Selanjutnya, misal Teori Sistem, di Jerman teori sistem ini dikembangkan oleh yuris-sosiolog Nikolas Luhmann dan di Belanda dipropagandakan oleh guru besar Hukum Tata Negara dari Utrecht, yakni M.C. Burkens. Menurut teori sistem ini, hukum harus dipahami dengan latar belakang masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Manusia-manusia hidup dalam berbagai hubungan antara 36
yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapanharapan tentang perilaku masing-masing dan tentang reaksi-reaksi masing-masing terhadapnya. Menurut pandangannya, fungsi dari sistem itu adalah mereduksi kompleksitas (kemajemukan) ini menjadi struktur-struktur yang kurang-lebih jelas kerangka umumnya (overzichtelijk). Dengan cara itu kehidupan menjadi tertata dan kepastian di dalam masyarakat dapat diciptakan. Sistem itu memperlihatkan sejumlah besar bentuk-bentuk, misalnya politik, ekonomi, ilmu, hukum. Daya jangkau dari hukum adalah secara umum untuk memungkinkan berfungsinya semua sistem (yang lain). Untuk itu maka hukum harus mengupayakan bahwa di dalam masyarakat tersedia keputusan-keputusan (hukum) yang mengikat. Hukum mengambil dari masyarakat pada satu pihak berbagai keterberian atau data (“input”) dan mengolahnya menjadi keputusan-keputusan (“output”) pada pihak lain. Dalam arti demikian, maka harapan-harapan yang kompleks direduksi menjadi aturan-aturan hukum yang dapat diperhitungkan (dipredik) dan berkerangka umum. Sementara itu, kita tidak boleh mengacaukan pengertian “sistem” dalam teori hukum ini dengan pengertian “sistem hukum”. Dengan yang terakhir ini Koesnoe maksudkan adalah suatu konstruksi (teoretikal), yang di dalamnya berbagai kaedah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logik-konsisten menjadi suatu kesatuan tertentu. Dalam model Luhmann dinyatakan suatu interprestasi tertentu 37
tentang kenyataan empirical dari hukum. Karena itu, teorinya juga mempunyai arti penting untuk sosiologi hukum. Dalam suatu sistem hukum, persoalannya sesungguhnya lebih untuk merumuskan suatu “pengertian hukum” tertentu. Contoh dari teori yang demikian itu kita temukan dalam Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen. Menurut pandangan ini, hukum dipahami sebagai sejenis “Stufenordnung”, sebagai suatu kesatuan yang konsisten. Teori hukum politik dari R. Wietholter, guru besar dari Frankrut, di Belanda meskipun tidak banyak menemukan gemanya namun tujuannya adalah untuk membebaskan hukum dari keabstrakannya dan menonjolkan implikasi-implikasi politik dari hukum itu. Hukum dipandang sebagai kategori politik, sebagai suatu sarana untuk mewujudkan suatu pergaulan hidup yang baik dan adil. Di sini diungkapkan bahwa hukum itu bukan gejala bebas nilai yang netral, tetapi bahwa di dalamnya diyatakan perkaitan immanen dengan politik. Hukum itu selalu merupakan resultat (produk) dari proses politik. Teori hukum politik menginginkan antara lain memantapkan perhatian pada hal tersebut. II.3 Fungsi Teori Hukum Setelah sampai pada pemahaman apa teori hukum itu, tampaknya pelu juga disampaikan lebih dahulu fungsi teori secara umum dan teori hukum pada khususnya mengingat ada kemungkinan sebagian dari kita belum memahami dengan baik posisi teori dalam karya ilmiah atau pada penerapan kasus kongkrit sehingga sering pada tulisan 38
lainnya yang diharapkan ilmiah tetapi justru kurang ilmiah gara-gara pemahaman teori itu sendiri. Sehubungan dengan itu, perlu diketahui bahwa dalam karya ilmiah lebih-lebih penelitian keberadan teori menjadi penting. Sebenarnya tanpa teori hanya ada seperangkat pengetahuan tentang fakta-fakta saja yang tentu tidak akan menghasilkan pengetahuan baru. Lebih-lebih teori dalam kegiatan penelitian empiris karena teori-teori itu mempunyai fungsi penting. Fungsi penting teori dimaksud11, pertama, teori berfungi sebagai alat penggeneralisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, dalam konteks ini teori menyimpulkan hubungan korelai antara fakta-fakta secara induktif. Kedua, teori sebagai kerangka penelitian, dalam konteks ini teori yang sudah mapan dapat berfungsi sebagai pendorong proses berfikir yang bergerak dari alam abstrak ke alam fakta-fakta kongkrit. Artinya, teori berfungsi sebagai kerangka orientasi analisa dan klasifikasi atas fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian. Dengan demikian, teori dipakai sebagai kerangka yang memberi pembatasan-pembatasan terhadap fakta-fakta kongkrit yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat, yang harus diperhatikan. Ketiga, teori secara deduktif berfungsi sebagai alat untuk memprediksi atau meramal mengenai fakta-fakta
11
Lihat Hassan dan Koentjaraningrat, 1989. “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah” dalam Koentjarangrat (ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, hlm.1-13 39
yang akan terjadi, mengingat sebenarnya teori merupakan generalisasi abstrak dari fakta-fakta kongkrit sebelumnya sehingga apabila terjadi fakta-fakta sejenis maka teori dimaksud dapat digunakan sebagai alat prediksi. Artinya, teori memberi prediksi terhadap gejala baru yang akan terjadi. Keempat, teori juga berfungsi sebagai alat untuk mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Secara deduktif, fungsi teori demikian ini tidak jauh berbeda dengan ilmu sejarah, bahkan pada dasarnya fungsi teori demikian ini juga sama dengan teori untuk meramalkan akan timbulnya gejala-gejala baru. Di dalam struktur ilmu pengetahuan, teori dipandang sebagai alat penjelas mengenai suatu fenomena tertentu dari dari sudut pandang sebuah disiplin keilmuan tertentu pula. Menusut penulis, dalam konteks proposal, teori digunakan sebagai alat jawab sementara terhadap tesis atau research question, dalam dalam konteks penelitian sebagai penuntun dan penyaring informasi menjadi data, dan terakhir sebagai alat analisa. Dalam konteks disiplin ilmu hukum, terutama perkembangan teori argumentasi hukum misalnya, sejak tiga puluh tahun lalu studi argumentasi telah menjadi bagian penting dalam penelitian hukum. Teori argumentasi hukum ini biasa digunakan pada putusan-putusan huum hakim dimana sebelumnya, peneliti dari beragam tradisi sedang berusaha menjelaskan ciri-ciri struktural tentang pembuatan putusan hukum dan justifikasi dari sudat 40
pandang berbeda. Penekun-penekun tradisi logis tertarik pada masalah-masalah mengenai validitas legal reasoning. Penekun-penekun dalam tradisi retorika menganalisa pembuatan putusan hukum sebagai proses persuasi dan pendekatannya didasarkan pada teori argumentasi dari Van Eemeren dan Grootendorst, dimana legal argumentation dianalisa sebagai bagian dari diskusi kritis. Dalam diskusi kritis itu, salah satu topik sentralnya adalah perkembangan instrument untuk merekonstruksi argumentasi dalam putusan hukum. Untuk itu, kajiannya difokuskan pada rekonstruksi tipe-tipe argumentasi, misalnya agumentasi interpretasi yang digunakan untuk menyelesaikan problem-problem interpretasi berkenaan dengan hukum. Persoalan sentralnya adalah bagaimana seseorang dapat mencapai analisis dan evaluasi argumentasi interpretasi. Penulis akan membawa audiens pada teori interpretasi dan argumentasi, terutama ketika seorang hakim menyelesaikan suatu problem interpretasi dalam upaya memutus suatu kasus hukum kongkrit. Sebenarnya, hakim dapat memilih argumentasi interpretasi yang berbeda untuk membenarkan putusannya. Idealnya, argumentasi-argumentasi dimaksud dapat diakui dalam pemebenaran terhadap putusan hukum. Bagi para hakim bukan hanya diwajibkan untuk menyelesaikan problem interpretasi, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk menyatakan alasan-alasan terhadap persoalan-persoalan interpretasional. 41
Namun dalam praktik, alasan-alasan dimaksud tidak selalu dipresentasikan secara eksplisit, dan tidak dalam bentuk yang terstruktur. Kadang-kadang, hakim tidak menyatakan semuanya bahwa itu sebenarnya perlu untuk menjustifikasi putusannya, dan pada saat lain hakim justru membangun argumentasi yang berlebihan untuk menjustifikasi putusannya. Bagi pengamat kritis yang berkeinginan untuk mengevaluasi alasan-alasan dimaksud justru harus menyelesaikan sejumlah rekonstruksi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kasus hukum kongkrit dimaksud. Misalnya, Pertama, ia harus mengidentfikasi argumentasi-argumentasi sebanyak mungkin. Ini berarti bahwa ia harus menetapkan hasil identifikasi jika pada titik tertentu dalam argumentasi putusan dianggap sebagai bukti, maka fungsi argumentasi hukum terpenuhi. Kedua, ia harus menginterpretasi argumentasi-argumentasi hukum. Ini berarti bahwa ia harus menentukan propisisi yang harus dipertahankan sebagai titik bahasan yang ditujukan sebagai argumentasi secara eksplisit. Ketiga, ia harus menganalisis argumentasi, yang berarti bahwa ia harus menguji apa yang terungkap dalam argumentasi tersebut. Satu hal yang penting dalam diskusi sekarang ini adalah poblem kritis berikutnya, yaitu bagaimana penekun atau pengamat hukum menemukan kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi justifikasi intepretasi putusan hakim. Misalnya, apa saja yang menjadi kebiasaan argumentasi interpretasi itu digunakan dan kapan 42
argumentasi interpretasi dapat diterapkan secara benar. Dalam tulisan ini, untuk menjawab itu sebenarnya penulis memperkenalkan sebuah teori yang dapat dikatakan mutakhir dalam kajian hukum. Teori dimaksud dimaksudkan sebagai alat untuk menganalisis dan mengevaluasi argumentasi interpretasi dalam putusan hukum. Teori dimaksud dikenal dengan Teori Argumentasi Hukum Dialektika Pragma.12 Teori dialektikal pragma merupakan studi argumentasi yang menggunakan pendekatan empat premis utama, dimana masing-masing pendekatan berangkat dari perspektif argumentasi. Sedangkan ciri-ciri argumentasi teori dimaksud adalah sosialisasi, fungsionalisasi, eksternalisasi, dan dialektika. Pertama, sosialisasi dalam konteks ini adalah bahwa argumentasi diambil dalam konteks sosial ketika ada proses penyelesaian masalah. Argumentasi ini merupakan bagian dari proses interaksi antara dua atau lebih pengguna bahasa. Dalam analisa interpretasi argumentasi, perhatiannya ditekankan pada klaim (claim) dan klaim balik (counter claim) pihak-pihak yang berbeda dalam diskusi hukum. Perhatiannya, khususnya dapat diarahkan pada apa yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya mengingat dalam diskusi yuridis, tugas hakim adalah menggunakan hukum sebagai sebuah sistem aturan. 12
Teori ini diperkenalkan oleh Harm Kloosterhuis, 2006. Reconstructing Interpretative Argumentation in Legal Decisions A pragma-dialectical Approac. Amsterdam: Rozenberg. 43
Kedua, fungsionalisasi dimana deskripsi yang memadai dan evaluasi argumentasi hanya dapat diberikan jika ada interaksi. Artinya, teori ini mengonsentrasikan pada fungsi dalam upaya mengelola penyelesaian ketidaksetujuan-ketidaksetujuan argumentasi dimaksud. Dalam penyelesaian problem interpretasi, seorang hakim menggunakan argumentasi fungsional pada saat ada interaksi antara argumentasi hukum satu dan yang lain. Ketiga, eksternalisasi, pada poin ketiga ini kita harus memfokuskan pada posisi para pihak sekaligus posisi hakim, apakah posisi hakim telah diungkapkan secara eksplisit dalam putusan hukumnya. Keempat, dialektifikasi. Dalam point ini yang dimaksud adalah rasionalitas dimana suatu argumentasi merupakan kemampuan mengakomodasi reaksi kritis yang berkembang. Untuk menegaskan apakah argumentasi dalam putusan hukum suatu kasus dapat dipandang sebagai bagian dari diskusi yang dilakukan sesuai dengan kriteria diskusi kritis. Tentu, selain persoalan substansi akseptabilitas premis dan persoalan formal tentang validitas logis dalam membangun interpretasi, juga yang perlu diperhatikan adalah apakah dalam kasus kongkrit argumentasi interpretatif merupakan cara paling baik untuk menyelesaikan problem interpretasi. II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum Satu hal yang perlu dipahami, apakah perbedaan antara teori dan konsep? Sebelum sampai pada tataran ini penulis bermaksud menampilkan konsep-konsep hukum yang 44
berkembang. Konsep-konsep dimaksud dapat dipetakan secara lengkap seperti pada tabel berikut di bawah ini. Pada peta konsep hukum di bawah dapat dibaca bahwa, pertama, hukum dipandang sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan kodrati dan berlaku universal yang berada dalam kajian filsafat hukum. Sementara, logika yang digunakan dalam penelitian adalah logika-deduksi yang berpangkal pada premis normatif, penekunnya dapat dikategorikan sebagai pemikir mengingat berorientasi ke filsafat. Artinya, hukum merupakan azas moralitas atau azas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam, atau bahkan tak jarang dipandang sebagai bagian dari kaedah-kaedah supranatural. Kedua, hukum dipandang sebagai norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, tipe kajian diarahkan pada ajaran hukum murni yaitu hukum sebagaimana tertulis dalam buku (law as it is written in the books).
45
No 1.
2.
3.
Konsep Hukum sebagai kebenaran, prinsip, dan nilai universal sebagai apa yang tertulis dalam buku, undangundang. sebagai apa yang diputuskan oleh hakim lewat proses peradilan
Tipe Kajian
Logika
Penekun
Kebenaran
Filsafat Hukum Legal Philosophy
Deduksi, etik
Kontemplator
Phenomeno logy personal
Hukum murni Pure of law, Doctrinal
Deduksi, etik
Ahli Hukum, Kontinental
Positivism documenta tion
Hukum terapan ke dalam, Doctrinal
Deduksi, Ahli Hukum, Induksi, Etik, Anglo-Saxon Internal Emik
Positivism Application Internal
46
4.
sebagai apa Hukum terapan Deduksi, yang berlaku ke luar, Induksi, dalam Doctrinal-Non Etikkehidupan Doctrinal Eksternal sosial Emik 5. sebagai apa Sosiologi Hukum, Induksi, yang ada Non Doctrinal Emik dalam masyarakat secara terlembaga 6. sebagai apa Antropologi Induksi, yang ada Hukum, Non Emik dalam Doctrinal Grounded interaksi Sumber: dikembangkan dari Wignyosoebroto, 1992.
Ahli Hukum, Pengamat dalam Ilmu Hukum
Positivism Application external
Ilmuwan, sosiolog Hukum,
Positivism
Ilmuwan, Antropolog Hukum
Phenomeno logy
47
Tentu, pengkajiannya menggunakan metode penelitian doktrinal dengan logika deduktif mengingat kajian dimaksud bertujuan untuk membangun sistem hukum positif. Para penekunnya adalah para ahli hukum kontinental. Ini berarti bahwa hukum merupakan kaedah positif yang berlaku umum pada suatu waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu dan menjadi sumber suatu kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi atau lebih dikenal dengan hukum nasional atau hukum negara yang berorientasi filsafat posivistis. Ketiga, hukum dipandang sebagai apa yang diputuskan oleh hakim in cincreto (judge-made-law). Arah kajian menuju kepada American Sociological Jurisprudence atau mengkaji law as it is decided by judges through judicial prosess dengan metode kajian doktrinal. Namun demikian, juga non-doktrinal bersaranakan logika induktif untuk mengkaji court behaviours, penelitinya american lawyer dan orientasinya behaviour sociopsichologik. Ini berarti bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan yang diciptakan oleh hakim in concreto. Hal ini dapat dilihat dalam proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim untuk menyelesaikan perkara mengingat keputusan dimaksud mempunyai kemungkinan dijadikan sebagai preseden bagi perkaraperkara berikutnya. Keempat, hukum merupakan pola-pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial 48
empiris, tipe kajiannya sosiologi hukum mangkaji “law as it is in society” dengan menggunakam metode kajian nondoktrinal dengan pendekatan yang terkuantifikasi. Peneliti demikian ini biasa disebut sosiolog hukum. Artinya, hukum merupakan institusi sosial riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baik. Kelima, hukum merupakan manifestasi maknamakna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka, tipe kajiannya sosiologi dan/atau antropologi dengan menggunakan kajian non-doktrinal. Analisis yang digunakan adalah kualitatif mengingat orientasinya kepada simbolik interaksional. Artinya, hukum merupakan makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dalam dan dari interaksi warga masyarakat. Konsep pertama, kedua dan ketiga dalam literatur hukum disebut sebagai konsep-konsep normatif. Dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya. Selain itu, juga berupa norma-norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgment) pada waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan 49
kemaslahatan bagi para pihak yang berpekara. Karena setiap norma baik yang berupa asas moral keadilan, ataupun yang telah dipositifkan sebagai hukum perundangundangan maupun yang judgmade selalu eksis sebagai bagian dari suatau sistem doktrin atau ajaran (ajaran menyelesaikan perkara), maka setiap penelitian hukum yang mendasarkan hukum sebagai norma ini dapat disebut sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan metodenya disebut sebagai metode doktrinal. Konsep keempat, kelima, dan keenam bukan merupakan konsep normatif melainkan sesuatu yang normologik dimana hukum di sini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai keteraturan (regularities) yang terjadi dalam kehidupan segari-hari atau dalam alam pengalaman. Di sini hukum berupa tingkah laku atau aksiaksi dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realitasosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja dan bukan hendak mengerjakan sesuatu doktrin sehingga metodenya disebut sebagai metode non-doktrinal. Untuk menguraikan dan menjelaskan masing-masing metode yang doktrinal maupun yang non-doktrinal pada 50
setiap tipe kajian yang berjumlah lima disejajarkan dengan lima konsep hukum yang telah dikemukakan di muka, maka kelima tipe kajian tersebut ialah tipe-tipe kajian yang (1) berupaya menemukan ius constituendum, (2) berupaya menemukan ius cinstitutum, (3) berupaya menemukan hukum yang judge made, (4) berupaya menemukan hukum yang termanifestasi secara empiris sebagai suatu pola perilaku dan yang mungkin telah terinstitusionalisasi, (5) berupaya menemukan hukum sebagai fenomena simbolik sebagaimana terwujud dalam aksi-aksi atau interaksi antar manusia dalam masyarakat. Dengan keanekaragaman konsep hukum tersebut di atas selain menyebabkan juga keragaman tipe kajian, juga berimplikasi pada metodologinya sehingga metode penelitian hukum itu pun menjadi beragam. Hal ini akan dapat dijumpai dalam praktek pelaksanaannya. Namun demikian, pada dasarnya metode dalam penelitian hukum itu dapat dibedakan secara umum ke dalam dua kategori penelitian, yaitu penelitian doktrinal dan non-doktrinal, tetapi penulis membedakan antara penelitian hukum murni (legal research, doctrinal), penelitian hukum sosiologis (socio-legal research, non doktrnal), juga penelitian hukum empiris murni (legal anthro research).13
13
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press 51
BAB III ILMU HUKUM POSITIF III.1. Pengetian Ilmu Dalam mengawali penelusuran apa itu ilmu, perlu ditampilkan lebih dahulu peta pengertian-pengertian ilmu yang pernah disebutkan sejumlah sarjana, setidak-tidaknya yang pernah penulis singgung dalam buku Pokok Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni 14 sebelumnya . Di dalam Kata Pengantar buku itu juga disebutkan bahwa ada perbedaan antara terminologi metode dan metodologi. Perbedaan terminologi ini juga penting untuk mengawali pembahasan apakah ilmu itu mengingat disana telah tergambar implikasi perbedaan kedua terminologi tersebut. Namun dalam awal tulisan ini juga perlu dikemukakan pandangan sarjana lain tentang perbedaan makna yang membawa implikasi metodologis tertentu. Noeng Muhadjir, misalnya, menyebutkan bahwa sering dicampuradukkan antara metodologi dan metode sehingga dalam buku tertentu berjudul metodologi namun isinya metode, yang langsung berisi pembahasan tentang populasi, teknik sampling dan seterusnya15,.
14
Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press. 15 Lihat Noeng Muhadjir, 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 24 52
Tentu, itu menjadi kerisihan sendiri bagi penstudi filsafat ilmu yang hampir selalu menempatkan landasan filsafat ilmu sebagai landasan standar metodologi yang digunakan dalam penelitian. Jika tidak demikian, dimungkinkan peneliti dimaksud akan menerapkan saja pola penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh sarjana sebelumnya, baik itu dalam skripsi, tesis, dan disertasi atau laporan-laporan penelitian lainnya. Kelemahan akan segera tampak ketika ada perubahanperubahan data lapangan dan yang membutuhkan perubahan metodologi. Atau mungkin, ia juga tidak mampu membangun argumentasi logis dan nalar jika ada pertanyaan mengapa harus ada atau tidak ada judul, mengapa harus ada permasalahan, mengapa permasalahan dibentuk dalam kalimat pertanyaan, mengapa harus ada kerangka teori, lokasi, dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan mengapa demikian itu yang membedakan antara metode dan metodologi. Pertanyaan metode tidak memerlukan ilmu, sementara metodologi menampilkan ilmu. Sehubungan dengan itu, tentu, satu pertanyaan mendasar dalam konteks epistemologi adalah apakah yang dimaksud ilmu itu. Sebelum menemukan jawaban ini, ada beberapa kamus yang menyebutkan padanan arti seperti dalam bahasa Inggris ditemukan terminologi science (ilmu), dalam bahasa Latin ditemukan terminologi scientie (pengetahuan), scire (mengetahui). Sementara dalam kamus bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun 53
secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.16 Selain itu, berbagai pengertian tentang ilmu juga dapat dijumpai, misalnya dari pandangan sejumlah sarjana sebagai berikut17: 1. Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut bangunannya dari dalam. 2. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengatakan bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum, dan sistematik dan keempatnya serentak. 3. Karl Pearson mengatakan bahwa ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. 4. Asley Montaqu, Guru Besar Antropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakekat dan prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
16
Wihadi Admojo, 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 324 17 Pandangan sarjana demikian ini dapat dijumpai pula pada Amsal Bakhtiar, 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 15-16 54
5. Harsoyo, Guru Besar Antropologi di Universitas Pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalalah akumulasi pengetahuan yang disistematikan, suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu. Ia pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia, suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk Jika…, maka….; 6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis. 7. Amsal Bachtiar menarik kesimpulan dari penjelasan sarjana di atas bahwa yang dimaksud ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri dan syarat tertentu, yaitu sistematik rasional, empiris, universal, obyektif, dapat diukur, terbuka, dan komulatif. Sementara dalam bidang kajian Filsafat Ilmu atau biasa disebut sebagai ajaran tentang metode keilmuan atau teori keilmuan (wissenschaftheorie) mengandung ajaran meta ilmu berupa hakekat (ontologi), cara memperoleh hakekat (epistemologi), dan kemanfaatannya (aksiologi). Sehubungan dengan kandungan makna yang demikian itu, selain pertanyaan apakah ilmu itu, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah hakekat ilmu itu, bagaimana 55
ilmu dimaksud dikonstruksi berikut batasan-batasannya, dan bagaimana ilmu itu harus dipertanggungjawabkan. Jika demikian halnya, dapat dikatakan bahwa ilmu pada dasarnya merupakan refleksi mendasar tentang hakekat yang di dalamnya termuat pengetahuan tentang ilmu, wujud ilmu, dan kedudukan ilmu dimaksud di antara ilmu-ilmu lain, cara menarik kesimpulan, dan sarana yang diperlukan dengan cara dan alur berfikir ilmiah, serta jangan lupa generalisasinya. Pandangan-pandangan di atas dapat digolongkan ke dalam pandangan statis, sementara pandangan yang dinamis menyebutkan sebagaimana disampaikan oleh Paul Friedmand dalam buku The Principles of Scientific Research bahwa ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan tentang alam di masa lampau, kini dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.18 Demikian pula pandangan Carles Siregar bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.19 Ini berarti ia menekankan pada sebuah proses bukan pada produk. Sarjana lain yang senada dengan pandangan demikian adalah Suryasumantri yang mengatakan bahwa ilmu lebih
18
The Liang Gie, 1977. Pekerjaan Umum, Keinsinyuran, dan Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Karya Kencana, hlm. 163164 19 Ibid., hlm. 45 56
bersifat kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan.20 Sementara penulis sendiri menyebutkan bahwa ilmu adalah proses penalaran yang bergerak menurut alur dialog fikir tesis, anti tesis, dan sintesa.21 Dialog tesis dan antitesis merupakan proses berfikir sementara sintesa adalah produk sehingga ilmu mencakup proses berfikir sejak tesis, antitesis hingga sintesis. Paradigma dinamis yang mendasari pengertian terakhir ini yang digunakan untuk mewarnai uraian tulisan dalam buku ini mengingat dengan cara demikian ini pula sebenarnya dapat dibedakan antara ilmu dan pengetahuan bukan ilmu pengetahuan. Mari kembali ke alur untuk mengawali pemahaman apa itu Ilmu, untuk itu di bawah ini diantarkan ke awal pemahaman filsafat ilmu dari tiga konsepsi ilmu alam (natural science), yaitu positivisme, realisme, dan konvensionalisme. Analisis terhadap posisi ketiga konsep ini perlu dilakukan dengan merujuk pada pandanganpandangan para penekun filsafat ilmu dari Anglo-America yang memang telah mengembangkan dan mempertahankan posisi keilmuan mereka dalam era abad keduapuluh. Posisi-posisi yang mereka pertahankan dimaksud mempunyai hubungan penting dengan pandangan sejarah
20
Lihat Jujun S. Suriasumantri, 1981. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 9 21 Lihat Saptomo, 2005 “Menunggu Kematian Ilmu Hukum” dalam Pidato Ilmiah Dies Natalis ke 56, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. 57
dan filsafat ilmu, demikian juga dengan pergerakan intelektual dan pemikiran filosofis pada umumnya. Namun, dalam konteks filsafat ilmu dicoba memberi uraian ringan posisi ketiga konsep tersebut. Pertama, Positivisme. Kaum positivis memandang bahwa ilmu merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan prediktif dan eksplanatoris mengenai dunia eksternal, sebuah dunia yang berada di luar dirinya. Dunia luar dipandang sebagai sumber kebenaran sehingga ia menuntun arah pikiran orang dimaksud. Untuk melakukan ini, orang harus mengkonstruksi teori, yang terdiri dari pernyataan-pernyataan umum, yang mengungkapkan keteraturan hubungan yang didapatkan, memang ada, di dunia ini. Pernyataan-pernyataan umum seperti misalnya hukum, memberikan pemahaman kepada kita bahwa untuk memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena yang kita temukan dapat digunakan suatu sarana pengamatan sistematis dan eksperimen-eksperimen laboratoris secara teratur. Artinya, untuk menjelaskan sesuatu, seseorang harus menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan peristiwa yang berada dalam keteraturan atau keajegan, dan kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi sebelumnya atas dasar landasan atau pijakan yang sama. Pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan keteraturan merupakan sebuah kebenaran yang memang harus ada, jadi bukan sekedar persoalan logika dan bukan pula diketahui dengan sarana apriori, tetapi pernyataanpernyataan itu kebenarannya diuji secara obyektif dengan 58
sarana eksperimen laboratoris dan pengamatan inderawi. Langkah demikian ini merupakan sarana untuk memperoleh kebenaran yang sumbernya berasal dari kepastian, keteraturan, dan pengetahuan empiris. Oleh sebab itu, tujuan ilmu sebagaimana apa yang dilakukan positivis bukan ingin memperoleh apa yang ada di belakang atau di luar fenomena yang terungkap melalui pengalaman, dan bukan pula bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang memiliki sifat yang tidak dapat diamati, atau esensi-esensi yang some how necessitate fenomena demikian ini. Bagi positivis, yang penting adalah keteraturan, dan keteraturan itu dapat ditampilkan secara sistematis ke dalam hukum universal sehingga proses keteraturan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menjelaskan suatu fenomena dan keberhasilan penjelasan itu akan menghasilkan teori ilmiah. Kedua, Realisme. Kaum realis memandang bahwa ilmu merupakan proses bekerjanya sebuah struktur dan mekanismenya suatu fenomena yang dikaji. Realis berbeda dengan positivis mengingat ia amat membedakan antara prediksi dan penjelasan sebagaimana rujukan kaum positivis dalam mengejar kebenaran. Penjelasan, bagi realis, merupakan unsur utama dalam ilmu, dan untuk menjelaskan fenomena bukan dengan menunjukkan keteraturan-keteraturan yang amat mapan (well-established regulerities) sebagaimana positivis lakukan, tetapi dengan mengkaji secara teliti hubungan antar fenomena ketika
59
struktur dan mekanismenya bekerja. Dengan melakukan kajian demikian ini akan diperoleh pengetahuan esensi. Artinya, dengan kerja seperti ini berarti perumusan asumsi keberadaan entitas oleh realis, adalah bukan yang teramati (observasi) dan prosesnya memang tidak biasa bagi positivis yang mengandalkan eksperimen untuk menemukan keteraturan. Dengan kata lain, realis dalam upaya mencapai esensi melakukan apa yang diperoleh bukan dari penampilan luar suatu fenomena atau benda yang menjadi kajian tetapi esensi dari hubungan antar fenomena. Dengan demikian, realis berpandangan bahwa suatu pernyataan disebut sebagai suatu teori ilmiah apabila ia merupakan gambaran hubungan esensi antara fenomena satu dan yang lain. Dengan kata lain, teori ilmiah merupakan suatu deskripsi struktur dan mekanisme yang secara kausalitas mengeneralisasi fenomena-fenomena yang teramati. Ilmu, bagi realis, adalah sebuah deskripsi yang memberikan kesempatan pada kita untuk menjelaskan. Untuk itu, realis mampu menjawab pertanyaan mengapa (why) suatu peristiwa dapat terjadi. Pertanyaan mengapa ini jelas tidak dapat dijawab oleh positivis karena argumentsi positivis hanya menekankan kekuatan prediksi terjadinya suatu peristiwa tertentu dan pengetahuan prediktif ini mengabaikan pentingya eksplanasi esensi mengapa terjadi suatu peristiwa. Ketiga, Konvensionalisme. Pemahaman positivis dan realis di atas memang menggambarkan perbedaan 60
posisi yang jelas meskipun keduanya sama-sama berada pada wilayah empiris yang sama mengingat keduanya memiliki ciri-ciri sama dan telah dikembangkan dalam tradisi filsafat empiris pula. Kegagalan membedakan posisi keduanya tentu amat riskan dalam dunia ilmiah mengingat dalam empirisme telah ada perkembangan yang membedakan, positivisme dan realisme. Positivisme, misalnya, sering digunakan sebagai sinonim dari naturalisme, pada hal tidak demikian persis dan bahkan sering pula diterapkan pada tradisi intelektual pada umumnya. Kini, positivisme memang telah lazim menjadi tradisi keilmuan, yang tidak saja mengadopsi ilmu alam, tetapi juga sebagai pelegitimasian bentuk-bentuk pengetahuan humaniora, termasuk hukum. Bagi konvensionalis, apa yang dikemukakan oleh positivis dan realis dengan beragam perbedaan tipis tersebut bukan merupakan alat ukur untuk menentukan kebenaran ilmu karena ilmu dipandang hanya sebagai konvensi semata. Konvensionalis memandang bahwa ilmu tidak lebih dari instrumen, suatu alat pembenar yang kebenarannya amat tergantung pada kepentingan pragmatis semata-mata. Berkenaan dengan ini, instrumentalisme biasa merujuk pada suatu pandangan tentang tujuan umum, yang bertujuan untuk memberikan kekuatan manipulatif dan prediktif terhadap lingkungan pisik yang mengelilinginya. Artinya, justifikasi aktivitas ilmiah terletak pada hasil praktis dan teori dikatakan ilmiah apabila kemanfaatannya betul-betul dapat diakses. 61
Jadi, bukan persoalan kebenaran dan kesalahan yang dikontrol oleh hasil pengamatan dan keteraturan sebagaimana positivis lakukan dan bukan esensi dari hubungan antar fenomena seperti realis lakukan, tetapi adakah kepentingan praktis dari teori yang dimaksud. Prinsipnya, konvensionalis menekankan pada ada tidaknya kepentingan kolektif praktis, kepentingan kolektif praktis ini menjadi sebuah kriteria bagi diterima atau tidak diterimanya suatu teori. Dengan demikian, ilmu, bagi konvensionalis, adalah ada atau tidak kemanfaatan dari suatu teori, dengan kata lain kepentingan praktis III.2 Ilmu Hukum Pengalaman menunjukkan bahwa masih banyak penekun Ilmu Hukum yang belum mampu menjelaskan secara jernih tentang jawaban atas pertanyaan apakah ilmu hukum itu sama dengan teori hukum, apakah keduanya berbeda dengan filsafat hukum. Jika jawabannya mengatakan bahwa ilmu hukum dan teori hukum dikatakan sama atau identik, maka pernyataan demikian perlu dikaji ulang, direnung ulang. Sebagaimana disebut di atas bahwa Ilmu merupakan proses dialog antara tesis dan anti tesis yang menghasilkan sintesa. Dengan demikian, jawabannya adalah Ilmu merupakan proses sementara teori merupakan salah satu produk dari proses itu sendiri. Artinya, ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum jelas berbeda posisinya. Di negara yang menganut sistem hukum Anglo Sakson, ilmu hukum dikenal dengan istilah jurisprudence 62
yang berarti ilmu hukum, tetapi pada sisi lain juga dikenal istilah legal theory yang di Indonesia diistilahkan dengan teori hukum. Membicarakan hukum sebagai ilmu (ilmu hukum), secara umum terfokus pada tiga bidang atau objek kajian, yaitu: Ilmu tentang kaedah hukum (normwissenschaft) atau ilmu hukum normatif, mempelajari dan menganalisis peraturan hukum (UU) secara "das sollen" atau apa yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan sebagainya. Ilmu tentang sosiologi hukum atau kenyataan hukum empiris (tatsachenwissenschaft), mempelajari dan menganalisis hukum dalam kenyataan (law of fact) atau "sein", dan apakah hukum mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian tentang benar-salahnya suatu peristiwa atau gejala hukum yang terjadi, dan hanya menggambarkannya sebagai mana kenyataannya. Ilmu tentang pengertian-pengertian pokok hukum (begriffenwissenchaft), mempelajari, menganalisis pengertian pengertian dasar hukum, asas hukum, sistem hukum, dan sebagainya. Sebagaimana dikemukakan, bahwa objek ilmu hukum itu cukup luas cakupannya dan bukan hanya hukum normatif atau hukum tertulis saja, sehingga akan lebih eksis apabila melihat dan memamahi pengertian ilmu hukum oleh beberapa juris. Memang, dalam kepustakaan hukum, bahwa "ilmu hukum" itu dikenal dengan sebutan 63
dalam bahasa Inggris jurisprudence. Berasal dari kata Jus atau Juris yang artinya “hukum atau hak, kata prudence berarti "melihat ke depan atau mempunyai keahlian". Arti harfiah secara umum dari kata jurisprudence adalah "ilmu yang mempelajari hukum". Untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang arti sesungguhnya dari ilmu hukum, di bawah ini sejumlah juris mengemukakan pendapatnya,22 sebagai berikut: 1. Ulpian menyebutnya sebagai pengetahuan mengenai masalah yang berifat surgawi dan manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar. Stone mengatakan ilmu hukum merupakan penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-teknik hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir. 2. Fitsgerald mengatakan nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teoritis, yang berusaha untuk mengungkapkan asasasas yang pokok dari hukum dan sistem hukum. 3. E. Bodenheimer menjelaskan ilmu yang membahas objeknya secara luas sekali, meliputi hal-hal yang
22
Lihat Satjipto Rahardjo, 1986, hlm.11-12 64
filsafati, sosiologis, historis, maupun komponenkomponen analitis dari teori hukum. 4. Llewellyn menyebut ilmu hukum adalah pemikiran yang diteliti dan bobotmengenai semua tingkat kehidupan hukum, dan pemikiran itu menjangkau ke luar batas pemecahan terhadap suatu problem yang konkrit. Jadi ilmu hukum itu meliputi semua macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum. 5. Jolowic mengartikan ilmu hukum adalah suatu diskusi teoretis yang umum mengenai hukum dan asas-asasnya, sebagai lawan dari studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang konkret. Sementara John Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) dalam tiga aspek,23 yaitu: 1. Ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencakupi dirinya sendiri. 2. Ilmu hukum tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas diterima, tanpa memperhatikan kebaikan atau pun kejelekannya. 3. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsurunsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur
23
Op.Cit hlm. 238-239 65
yang bersifat historis di dalamnya tetapi unsurunsur tersebut tidak diperhatikan. III.3 Ilmu Hukum Positif Dalam subbab ini ada dua terminologi, ilmu hukum dan positif. Ilmu hukum dimaksud merupakan Ilmu Hukum yang sesungguhnya, yaitu Ilmu Hukum yang mengkaji suatu peraturan perundang-undangan. Mengapa perlu disebut ilmu hukum yang sesungguhnya? Pertanyaan ini berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum itu sendiri. Secara historis, ilmu hukum ini sudah ada dan diterima sejak zaman Romawi Kuno yang pada saat itu Ilmu Hukum yang sesungguhnya dimaksud disebut sebagai jus. Tentu, jus dalam pengertian sempit dan tidak termasuk dalam pengertian luas yang mencakup pengertianpengertian yang dilihat dari ilmu sosial. Dalam lingkungan Ilmu Hukum di Eropa Barat bagian Kontinen Ilmu Hukum dimaksud diberi sebutan selain Ilmu Hukum dalam Arti Sempit, juga "Ilmu Hukum yang sesungguhnya, atau "Ilmu Hukum Sistematis" atau "Ilmu Hukum Dogmatis, atau Ilmu Hukum Positif". Sementara istilah positip di sini dapat diterjemahkan ke dalam pengertian berlaku (validity-english, geltunggerman, geldang-netherland) di sini dan waktu ini. Ketika positif diartikan sebagai berlaku atau yang berlaku, maka sasaran ilmu hukum yang berlaku adalah terciptanya tertib secara sosial, ekonomi, politik, dan tentu tertib hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artinya, sasaran Ilmu Hukum Positip adalah 66
Tertib Hukum Positip atau Tertib Hukum yang berlaku di sini dan waktu ini.24 Untuk mengetahui tertib hukum dimaksud, salah satu caranya adalah dengan mengamati pelaksanaan suatu peraturan tertentu dalam suatu masyarakat tertentu pula. Dalam pelaksanaan secara nyata itu akan dapat diketahui secara persis apakah peraturan tertentu dapat atau tidak diterima oleh masyarakat. Artinya, ukurannya datang dari masyarakat dimana peraturan itu dilaksanakan. Jika masyarakat itu tertib berarti menerima, maka ilmu hukum sesungguhnya itu atau peraturan itu positif. Dengan kata lain, berlaku. Namun demikian perlu diperhatikan perbedaan antara diberlakukan dan berlaku. Terminologi disebut pertama mengandung makna bahwa suatu peraturan dilakukan atau diharuskan berlaku atau wajib diberlakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan secara sepihak. Dengan pengertian demikian ini lahir terminologi penegakan hukum (law enforcement). Sementara terminologi kedua mengandung makna bahwa masyarakat telah menerima dan berinteraksi dengan peraturan dimaksud.
24
Dalam lingkungan ilmu sosial, yang mendasarkan diri pada fakta empiris yang terdapat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat seharihari, istilah "berlaku" diberi arti dalam hubungannya dengan apa yang sering terlaksana dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Di satu ilmu sosial mengikatkan isi pengertian berlaku pada penerimaan dan pelaksanaannya sesuatu di dalam praktek kehidupan. 67
Dalam konteks penegakan hukum, ketika seorang Sarjana Hukum melihat suatu peristiwa hukum, maka pertanyaan yang timbul adalah pertanyaan preskriptif, yaitu bagaimana itu hukumnya suatu peristiwa hukum. Artinya bagaimana bunyi ketentuan Hukum yang dapat diterapkan pada suatu peristiwa hukum yang bersangkutan. Dalam konteks, peradilan, yang diperhatikan sesara khusus ialah bagaimana menemukan unsur-unsur hukum atau "menghukumi" peristiwa hukum dimaksud; artinya dipertanyakan "normativitas" peristiwa yang bersangkutan. Untuk itu dicarinya kaitan logisnya unsur-unsur peristiwa yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam alam kaedah Hukum yang dimaksudkannya. Dia mencari dari fakta yang bersangkutan segala unsur-unsur yang ada relevansinya dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh ketentuan-ketentuan normatip yang terdapat dalam Tata Hukum masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ditemukan unsur-unsur peristiwa yang dapat memenuhi tuntutan persyaratan sesuatu ketentuan normatip dari suatu kaedah Tata Hukum yang bersangkutan maka dikatakan bahwa kaedah atau peraturan Hukum tertentu itu kena atau “berlaku" bagi peristiwa (Hukum) yang bersangkutan. Peristiwa itu menjadi dikuasai oleh kaedah Hukum tersebut. Dari itu " berlaku " dalam Ilmu Hukum yang sesungguhnya berarti berkaitan secara logis dengan suatu persyaratan yang ditetapkan oleh suatu kaedah Hukum dengan sesuatu ketentuan yang lebih 68
konkrit. "Berlaku” dalam Hukum, berarti tidak cukup hanya dengan sudah dipenuhinya persyaratan yang dituntut oleh sesuatu kaedah yang konkrit. Kaedah konkrit itu juga seterusnya harus berkait logis dengan ketentuan yang lebih umum dan begitu seterusnya. Persoalan "berlaku" dalam Ilmu Hukum, menurut Koesnoe, merupakan persoalan tentang dasar pembenarannya yang logis. Dengan lain perkataan merupakan persoalan "legitimasi ". Untuk itu, berlaku berarti bagaimana dasar pembenarannya. Bagaimana legitimasinya sesuatu perhubungan konkrit dalam masyarakat. Bagaimana tempatnya dan kesesuaiannya dalam tatanan keseluruhan ketentuan dalam tata hukum yang sifatnya normatif. III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif Obyek Ilmu Hukum Positip adalah Hukum Positip. Sehubungan dengan itu, jika mempelajari Hukum Positip, maka yang mendapat tekanan adalah istilah Hukum yang dimaksud perlu mendapat perhatian khusus terlebih dahulu. Ini perlu mengingat dalam masyarakat suatu istilah hukum dapat diberi arti berbeda-beda. Di antaranya ada pengertian yang tidak ada urusannya dengan isi yang dipelajari oleh Ilmu Hukum Positip. Ilmu Hukum Positif berobyekkan peraturan (peraturan tertulis sebagai tesis, pelaksanaan peraturan (proses sebagai anti tesis), dan tertib hukum (produk sebagai sintesa). Sekedar sebagai contoh dapat disebut di sini mengenai arti yang diberikan oleh masyarakat kita tentang istilah Hukum. 69
Pertama. Hukum dihubungkan dengan soal sifat yang "ajeg" (regulerities, tetap terus-menerus sama) yang ada pada suatu peristiwa atau benda. Misalnya dalam persoalan Ilmu Alam seperti halnya dengan Hukum Boyle, Hukum Newton. Arti Hukum yang diberikan dalam hubungannya dengan soal soal sifat benda atau peristiwa alam seperti itu tidak sama dengan arti Hukum yang dimaksud dalam lingkungan Ilmu Hukum Positip. Pengertian arti Hukum di dalam mana disyaratkan ada unsur "ajeg" mempunyai kemiripan saja dengan arti pengertian Hukum yang diterima oleh Ilmu Hukum Positip. Artinya, hukum dalam pengertian Ilmu ini juga menuntut terpenuhinya kontinuitas dalam aturannya. Kedua. Istilah-istilah Hukum diterima sebagai pendapat dari seorang yang memegang kekuasaan yang kemudian melahirkan keputusan (hukum yang diputus oleh Pemegang Otoritas formal). Dalam hal ini kita ingatkan kepada hal-hal sebagai berikut: Pemegang kekuasaan resmi seperti Hakim, Polisi, Jaksa, Gubernur, Bupati, Carik, Lurah dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa terhadap sesuatu peristiwa, oleh pejabat tersebut telah dihukumi demikian. Di sini penggunaan istilah "Dihukum" disamakan dengan pendapat dari pejabat yang bersangkutan dalam persoalan yang dihadapi, yang sudah tidak dapat ditawar tawar lagi. 70
Ketiga. Istilah Hukum sering dihubungkan dengan keputusan Hakim (jugde made law). Hal ini terlihat dalam penggunaan istilah "dihukum" yang terdapat dalam setiap isi keputusan Pengadilan. Dalam arti yang ketiga ini terlihat adanya satu Pengertian arti Hukum yang sudah lebih dekat pada apa yang menjadi sasaran studi para sarjana Hukum yaitu bahwa disamping kesimpulan yang dinyatakan oleh Hakim, di dalamnya juga terkandung unsur memaksa yaitu yang oleh yang terkena keputusan itu dituntut untuk melaksanakan atau dipaksa untuk melaksanakan bilamana tidak dikerjakan. Keempat. Hukum juga sering dikaitkan dengan peraturan tertulis (law in the book) yang ditetapkan oleh kekuasaan resmi yang ditugaskan untuk itu yaitu yang memang berwenang membuat peraturan tertulis berupa Undang-Undang; dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Terhadap Undang-Undang, masyarakat melihat itu sebagai Hukum, karena didasarkan kepada aturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Di sini Hukum identik dengan Undang-Undang.5) Kelima. Ada lagi yang memberi arti Hukum dalam hubungannya dengan yang lebih abstrak misalnya Hukum Alam. Dalam hal ini arti yang terkandung di dalamnya memuat tentang bekerjanya hubungan kausal dalam kejadian fisik dalam 71
alam. Misalnya dalam konteks orang Jawa, seorang yang salah pasti seleh. Penggunaan istilah Hukum alam arti ini sangat dekat dengan arti yang dipakai kalangan ajaran Budha yaitu Hukum Karma. Keenam. Lebih abstrak lagi ialah pemakaian istilah Hukum dengan arti sebagai kehendak Tuhan yang sudah pasti dalam soal hidup manusia. Di dalam lingkungan ajaran Islam Hukum dalam arti ini disebut dengan istilah syariat. Ketujuh. Ada lagi dalam masyarakat yang memberi arti hukum sebagai ketentuan-ketentuan tingkah laku obyektip yang bekerja dan dipertahankan dalam masyarakat. Sebagai ketentuan tingkah laku yang obyektip di dalammya mengandung keharusan, artinya tuntutan untuk dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari oleh semua anggauta masyarakat yang bersangkutan, sebagai kewajiban. Menjalankan kewajiban, tidak mungkin dapat terlaksana bilamana yang terkena kewajiban tidak mempunyai sarana untuk melaksanakan itu. Bilamana ada sarana padanya, dia masih perlu kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya. Segala sarana yang disediakan semacam itu bagi anggota masyarakat dan juga kekuasaan yang diberikan dinamakan sebagai hak. Hukum dalam hubungannya dengan arti ini merupakan suatu keseluruhan hak dan kewajiban yang diterima dan dipertahankan oleh sesuatu masyarakat secara menyeluruh atas dasar keyakinan yang dianut masyarakat itu. 72
Kedelapan. Ada lagi satu pengertian yang diberikan oleh masyarakat mengenai istilah Hukum. Dalam hal ini, ingat pada kebiasaan yaitu bahwa apa yang terjadi di dalam masyarakat berbentuk perbuatan sebagai bentuk pelaksanaan sesuatu hak dan kewajiban itu yang dilakukan berulangkali. Kebiasaan itu adalah nyata, dapat dilihat dalam wujud perbuatan dalam pergaulan masyarakat. Perbuatan tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan motif yang menggerakkannya yaitu yang merupakan kesadaran hak-kewajiban yang bersangkutan. Perbuatan semacam itu juga dinamakan Hukum pula. Di sini Hukum dilihat sebagai Gejala yang terjadi dalam masyarakat, ringkasnya gejala sosial. Misalnya, di dalam sesuatu masyarakat di Indonesia (di Madura) kalau orang melepaskan sapinya untuk diserahkan sepenuhnya kepada orang lain singkatnya: menjual sapi, maka bilamana telah disepakati harganya oleh masing-masing fihak (penjual-pembeli), dalam menyerahkan uang, si pembeli menepuk ditanah terlebih dahulu tumpukan uangnya dan kemudian diserahkan kepada fihak penjual-nya. Kemudian kedua-duanya menyatakan secara lisan dan dapat didengar orang lain yang ada di satu "uang penulis serahkan" sedang fihak lain menyatakan "uangnya penulis terima". Demikian juga dalam hal menyerahkan sapinya. Itu semua adalah merupakan apa yang dinamakan "ijab-kabul" nya dalam jual beli. Perbuatan: menepukkan 73
uang yang dipakai sebagai pembeliannya dan tingkah laku berjasatun tangan dengan ucapan seperti itu adalah kebiasaan; artinya dalam setiap dual beli sapi perbuatanperbuatan tersebut dapat dilihat berulangnya. Dan itu semua dapat dijangkau oleh penglihatan dan pendengaran, dapat diobservasi. Perbuatan itu sering pula dimaksudkan sebagai Hukum-nya jual beli dalam arti yang kedelapan. Aliran ini tidak begitu memperhatikan motif-motif yang abstrak, yang tidak terlihat. Hukum dalam artinya seperti ini, dapat menjadi perhatian khusus dari Para sarjana hukum, tetapi dalam kasus-kasus tertentu.
74
BAB IV LEGALISTIK DAN PENEMUAN HUKUM \ IV.1 Pengertian Umum Sering dipermasalahkan mengenai istilah “penemuan hukum” apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau pencitaan hukum. Pelaksanaan hukum dapat bearti mejalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum dari setiap warga negara dan juga oleh aparat setiap hari yang tidak disadarinya dan juga oleh aparat negara, misalnya seorang polisi yang berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas (law enforcement). Disamping itu pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum. Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Di waktu lampau dikatakan bahwa hakim adalah corong undang-undang, karena kewajibannya hanyalah menerapkan Undang-undang. Lain lagi dengan penemuan hukum, penciptaan hukum, pembentukan hukum, yag disebut terakhir ini adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya 75
pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undangundang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum. Kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim, maka ia merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang di rumuskan dalam peristiwa konkrit, dan memperoleh kekuasaan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat sekaligus mengandung dua unsur yaitu satu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkrit dan di lain pihak merupakan peraturan hukum umum waktu mendatang. Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang tepat karena memberi kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada kemudian diciptakan, dari tidak ada menjadi ada. Hukum bukan selalu berupa kaedah baik tertulis, maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah harus ditemukan atau digali hukumnya. Maka kiranya penemuan hukumlah yang tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo penemuan hukum adalah „proses pembentukan hukum hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Mencermati terdapatnya fenomena ditengah-tengah masyarakat yang menyatakan putusan hakim tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, pendapat demikian tidak dapat diabaikan karena yang menjadi salah 76
satu sasaran dari vonis hakim adalah masyarakat, terutama pencari keadilan. Setiap orang ingin melihat hakim-hakim bertindak benar (properly) menurut undang-undang dan mempertimbangkan keadilan masyarakat sehingga menghasilkan putusan adil. Meskipun demikian, tidak jarang putusan hakim, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung seringkali dirasakan kurang adil atau tidak adil oleh pihak yang berperkara. Persoalan seperti yang diuraikan di atas merupakan permasalahan signifikan disebabkan karena pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan (the last fortress) kurang memiliki wibawa karena vonis yang dijatuhkan dirasakan oleh masyarakat tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Tulisan ini terinspirasi secara normatif oleh makna Undang-Undang Nomer 14 tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman Pasal (27) sebagaimana diperbaiki oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjadi Pasal 28 Ayat (1), dikatakan bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa kadilan yang hidup dalam masyarakat”25 Oleh sebab itu, tulisan ini akan lebih menitikberatkan tugas-tugas hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum dibanding penegak hukum lainnya.
25
UU RI No. 4 Tahun 2004 Tenlang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor S, Pasal 28 ayat (1). Lihat juga Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5. 77
Kini pertanyaannya, mengapa hakim mempunyai kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara normatif pula, jawabannya merujuk pada pengertian Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) disebutkan : “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.” Maknanya adalah hakim memang wajib memeriksa dan mengadili perkara perdata/perdata adat yang diajukan kepadanya. Prinsip demikian ini yang dipegang teguh oleh hakim sehingga hakim dianggap tahu hukumnya atas kasus hukum kongkrit yang diajukan kepadanya. Prinsip ini di dalam ajaran asas biasa dikenal dengan asas Ius Curia Novit yang biasa diartikan hakim diangap tahu hukum. Namun dalam kenyataannya, amat dimungkinkan bahwa hukum yang terdiri seperangkat aturan normatif itu tidak lengkap atau bahwa hukum belum mengatur. Jika hal ini yang terjadi, maka pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan hakim dalam mengadili kasus hukum kongkrit. Dalam mengadili perkara-perkara hukum kongkrit dimaksud, maka hakim akan melakukan tiga langkah alternatif pendekatan, sebagai berikut: 1. Pendekatan legalistik, jika dalam kasus hukum kongkrit yang dihadapi hukumnya atau undang78
undangnya sudah ada dan jelas, maka hakim secara preskriptif tinggal menerapkan saja hukum yang dimaksud; 2. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya tidak atau kurang jelas, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan cara menafsirkan hukum atau undang-undang yang masih samar-samar dimaksud melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum; 3. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya belum ada atau undang-undang belum mengatur, maka hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti, dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. IV.2 Pendekatan Legalistik Pendekatan legalistik di atas biasa disebut pula pendekatan yuridis normatif formal sebagaimana tampak dominan dalam penyelesaian kasus hukum kongkrit. Bahkan sejak awal pendidikan hukum di perguruan tinggi. pengamatan terhadap kelulusan pendidikan hukum menunjukkan kesan kuat bahwa masyarakat luas masih mengharapkan agar fakultas-fakultas hukum di lingkungan universitas dan sekolah tinggi ilmu hukum memproduksi sarjana hukum yang mempunyai ketrampilan dalam menggarap persoalanpersoalan hukum kongkrit. Artinya, pendidikan hukum diharap menghasilkan sarjana hukum yang keilmuannya dapat digunakan untuk mengelola fenomena hukum kongkrit atau hukum untuk 79
hukum, bukan hukum untuk fenomena lain. Sehubungan dengan itu, studi dan pengajaran yang berlangsung di perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum dan sekolah tinggi ilmu hukum, masih didominasi oleh pengajaran ilmu hukum positif preskriptif. Jika demikian halnya, maka ini berarti pengajaran ilmu hukum positif preskritif di Indonesia ke depan masih terus dominan. Kondisi demikian, tentu, membawa konsekuensi logis pada ajaran ilmu hukum yang diberikan kepada mahasiswa dimana pada proses pengajaran ditekankan pada aspek preskriptif, yaitu memberikan seperangkat pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu peristiwa hukum kongkrit serta bagaimanakah mengoperasionalkan hukum dimaksud. Salah satu contoh praktis bagaimanakah mengoperasionalkan sperangkat peraturan perundang-undangan dimaksud dalam suatu kasus kongkrit tertentu adalah praktik hakim dalam mengadili suatu perkara di pengadilan. Di pengadilan, hakim menghadapi suatu persoalan konkrit individual dengan mempraktikkan pendekatan yuridis-normatif. Di sinilah letak kegiatan ilmu hukum positif dimaksud. Hasil kegiatan ilmu hukum positif tersebut bilamana diperhatikan, maka ada kemungkinan bahwa dalam menjalankan tugas untuk menemukan putusan obyektif terhadap perkara kongkrit yang dihadapkan kepadanya, mindset hakim dapat terpengaruh ukuran hukum dalam tata hukum Indonesia. Di antara praktik-praktik hakim yang dapat dikategorikan ke dalam upaya penyelesaian suatu 80
perkara hukum konkrit menurut pendekatan yuridisnormatif yang menurut penulis yuridis normatif formal, pernah disampaikan Koesnoe adalah berikut. Pengertian Hukum Normatif dapat ditelusuri sebelum seseorang diangkat menjadi hakim atau seorang hakim ditunjuk untuk menangani suatu perkara konkrit, pertamatama, yang bersangkutan harus sudah memiliki, menguasai, dan menghayati dengan baik hukum positif atau seperangkat peraturan, ilmu hukum, serta serangkaian konsep dan teori hukum. Dalam hal ini, satu hal yang perlu diperhatikan dengan baik adalah apa yang dimakdud dengan hukum. Hukum harus diartikan secara yuridis, yaitu seperangkat kaedah hukum positif dalam sistem tata hukum suatu negara. Seperangkat kaedah inilah yang harus digunakan sebagai landasan dasar dan rujukan hakim dalam menangani perkara yang dihadapkan kepadanya. Sehubungan dengan itu, satu hal pokok yang harus dilakukan hakim lebih lanjut adalah mempelajari dan menguasai hukum positif yang relevan. Misalnya, mempelajari bahan hukum tertulis, baik berupa buku berisi tentang undang-undang yang berlaku, putusan-putusan pengadilan terkait, dan buku-buku ilmiah tentang pemikiran-pemikiran hukum yang tersebar di kalangan sarjana berilmu pengetahuan hukum, baik kalangan ilmu hukum positif maupun kalangan teori, dan filsafat hukum. Dengan penguasaan dan penghayatan bahan-bahan pengetahuan hukum dimaksud, selain hakim akan dapat melakukan pendekatan terhadap sesuatu persoalan konkrik 81
secara yuridis normatif, juga dimungkinkan untuk menghadapi suatu persoalan konkrit dengan tolok ukur jelas yang mengacu pada realisasi kaedah hukum positif bersangkutan. Di dalam melaksanakan tugas mengadili perkara konkrit misalnya, hakim selalu bergerak dari kegiatan mencari, memilah, memilih, dan kemudian menemukan unsur-unsur peristiwa hukum. Hasilnya dirumuskan sedemikian rupa sehingga mampu menjawab pertanyaan bagaimana kasus tertentu yang dihadapi dapat diukur dengan kaedah hukum positif dimaksud. Dalam keseluruhan kegiatan itu, aspek penting yang harus dilakukan hakim adalah selain aspek ketelitian, terutama ditujukan kepada terpenuhinya keseluruhan unsur peristiwa berupa fakta-fakta, juga aspek kegiatan interpretatif. Dengan tindakan interpretasi, suatu “peristiwa hukum” yaitu peristiwa yang akibat-akibatnya diatur oleh hukum positif yang bersangkutan, dapat ditetapkan. Ketelitian untuk melengkapi segala unsur-unsur berupa fakta-fakta dari peristiwa hukum menjadi perhatian utama dari hakim dalam persidangan. Ketelitian demikian ini tidak sama dengan ketelitian dan kelengkapan dari peristiwa menurut ukuran pengertian umum. Peristiwa lengkap sampai sekecil-kecilnya untuk ukuran umum yang dalam teori hukum Jerman biasa disebut Rumphtatbestand tidak diperlukan oleh hakim. Bagi hakim, dari peristiwa sederhana itu hanya dipilih unsur-unsur perbuatan yang
82
ditentukan di dalam kaedah hukum positif yang digunakan sebagai dasar rujukan dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam pendekatan legalistik atau yuridis normatif formalpun sebenarnya dilakukan kegiatan interpretasi hukum. Di sini diberikan contoh bagaimana pemikiran hakim yang seringkali melakukan interpretasi hukum. Pemikiran yuridis normatif atas fakta-fakta yang dihadapi oleh hakim akan dapat ditemukan ketika fakta-fakta yang dihadapi dikumpulkan, dan disusun ke dalam suatu kesatuan peristiwa hukum dengan memperhatikan apa yang ditentukan oleh kaedah hukum yang bersangkutan. Hal ini dilakukan agar suatu peristiwa dapat dikualifikasikan sebagai suatu peristiwa hukum yang dimaksud oleh kaedah hukum bersangkutan. Caranya, fakta-fakta tersebut diteliti dengan cermat tentang wujud dan isi unsur-unsurnya. Hasil pemeriksaan dari setiap fakta tersebut dinilai dan diseleksi. Kemudian, hasilnya disatukan ke dalam suatu kesatuan sehingga menimbulkan ide-ide yang menggambarkan berbagai macam peristiwa yang relevan dengan kaedah-kaedah hukum positif. Mengkaitkan hubungan logis antara peristiwa dan kaedah hukum positif tersebut merupakan kegiatan interpretasi. Hasil akhirnya adalah sebuah peristiwa dimaksud dapat ditetapkan sebagai wujud peristiwa hukum. Bilamana peristiwa itu sudah dikualifikasikan sebagai wujud peristiwa hukum dengan baik, sekali lagi menurut ukuran kaedah hukum bersangkutan, maka hakim segera menanjak satu tahap lagi kepada upaya memahami 83
arti dari segala unsur peristiwa yang bersangkutan. Dalam kegiatan interpretatif tersebut, hakim akan dihadapkan kepada berbagai kemungkinan dalam melihat dan menafsirkan setiap unsur yang berupa fakta yang telah didapatkan. Setelah itu, hakim sampai kepada usaha menghubungkan segala unsur peristiwa yang berupa fakta itu. Dalam usahanya tersebut, hakim dibimbing oleh penilaiannya terhadap setiap unsur peristiwa berupa fakta untuk mendapatkan ide-ide yang mungkin memberikan gambaran tentang unsur-unsur itu. Ide berupa gambaran terhadap kesatuan unsur-unsur yang berupa fakta-fakta itu, tidak hanya akan terdiri dari satu gambaran, tetapi berbagai variasi gambaran. Berlandaskan pada sejumlah variasi tersebut, alur pikiran hakim dibimbing oleh suatu keyakinan yang apabila diukur dari kebiasaan-kebiasaan mapan, diterima, dan diikuti oleh kalangan akademisi dan praktisi pengadilan. Kemudian, hakim mulai melangkah kepada pemikiran yang mendasarkan diri dan mengacu pada realisasi kaedah dalam sistem hukum yang berlaku. Dengan jalan demikan, akhirnya hakim akan sampai kepada pandangan tentang kualitas peristiwa yang dihadapi menurut ukuran kaedah hukum yang bersangkutan sebagai peristiwa hukum. Hakim selain menentukan suatu peristiwa hukum dengan kualifikasinya itu, juga dapat mencari kaedah mana dan bagaimana konsekuensi hukum yang harus diikatkan pada peristiwa dimaksud. 84
Tahap berikutnya, dilakukan pemilihan dan pemilahan dari berbagai ide itu tentang kualitasnya yang dapat dikategorikan sebagai peristiwa hukum. Penentuan kualitas demikian itu juga harus memperhatikan, mendasarkan, dan mengacu pada realisasi ketentuan kaedah yang ada di dalam tata hukum negara. Kualifikasi tersebut dilakukan dengan memperhatikan bagaimana hubungan antara unsur satu dan yang lain. Selain itu, bagaimana kemungkinan lain yang dapat memenuhi persyaratan untuk dinyatakan dalam suatu pengertian hukum yang yuridis relevan (juridis relevante rechtsbegrippen). IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum Sementara nomer dua dan tiga diatas merupakan pendekatan penemuan hukum yang dilandasai asumsi bahwa dalam kenyataan yang ada Undang-Undang tidak ada yang sempurna dan lengkap untuk mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).26 Dengan demikian, hakim mempunyai kewenangan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) dan bahkan menciptakan hukum (judge made law), terutama terhadap kasus-kasus hukum kongkrit yang hukumnya masih samar26
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Lihat Sudikno Martokusumo, Op.cit. hlm. 32 85
samar atau bahkan yang sama sekali belum ada hukumnnya, tetapi telah masuk ke pengadilan. Jika nilai hukum yang dimaksud telah ditemukan dan dirumuskan sedemikian rupa maka selanjutnya dituangkan sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan putusan untuk menyelesaikan perkara yang sedang diadilinya. Nilai hukum itu diposisikan sebagai sebagai hukum (premis mayor) untuk menyelesaikan suatu kasus hukum kongkrit atau pokok perkara (premis minor) dan dituangkan dalam amar putusan sebagai klonklusi.27 Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus hukum kongkrit yang belum ada aturan hukumnya, hakim wajib mengali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik ditengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup itu antara lain: nilai-nilai ajaran agama, nilai-nilai adat istiadat yang masih terpelihara baik, budaya dan tingkat kecerdasan masyarakat, keadan sosial dan ekonomi masyarakat. Hakim juga mempunyai kewenangan untuk menyimpang selain dari hukum yang hidup juga ketentuan hukum tertulis atau jika aturan hukum yang tertulis telah telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara ini disebut "contra legem”. Hakim dalam menggunakan lembaga
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2003: hlm.62 86
contra legem, harus mencukupi pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum. Keputusan hakim yang berisikan suatu pertimbangan-pertimbangan sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 22 AB, yang kemudian menjadi dasar putusan hakim lainnya di kemudian hari untuk mungadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang sama dan selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan. Putusan hakim demikian disebut "Hukum Yurisprudensi". Tujuannya adalah untuk menghindari "Disparitas" putusan hakim dalam perkara yang sama.28 Persoalan yang dihadapi berkaitan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah dimana hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat bersifat lokal, berbeda daerah atau masyarakat yang satu dengan lainnya. Pepatah mengatakan “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang”. Ada sifat-sifat spesifik dari nilai-nilai yang dianut dan hidup di tengah masyarakat. Sebagian hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri datang dari berbagai kultur yang melatar belakangi
28
H. Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-Kaedah Hukum Yurisprudensi. Prenada Media, Jakarta. hlm. 8-9 87
kehidupannya, kemudian bertugas selaku hakim didaerah yang sebelumnya hukum adatnya belum mereka kenal secara mendalam, mereka harus memutus perkara berdasarkan perintah Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomo 4 tahun 2004. Dalam tulisan ini, diuraikan tentang apa yang dimaksud nilai hukum dimaksud dan bagaimana cara menggali, mengikuti, memahami nilai hukum dimaksud. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Dalam melakukan penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.9 Menurut Achmad Ali, ada perbedaan pandangan tentang metode dan cara penemuan hukum oleh hakim yaitu menurut Yuris yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental dan yuris dari Anglo Saxon. Pada umumnya para Yuris dari kalangan penganut sistem Eropa kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi. Sedangkan Yuris yang berasal dari Anglo Saxon membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi.10
9
Jhon J. Loudoe, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 66 10 Jazim Hamidi, 1993. Hermenutika. Hukum Teori Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14 – 19 88
Dasar pemikiran bagi kelompok yang memisahkan secara tegas dalam teori penemuan hukum, antara metode interpretasi dengan metode konstruksi adalah, metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit. Interpretasi terhadap teks peraturanya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya memang tidak ada. Jadi terdapat kekosongan hukum (rechtsvacum). Untuk mengisi kekosongan undangundang, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya yang berupa metode analogi, metode argumentum acontrario metode pengkonkritan hukum dan fiksi hukum.11 IV.3.1 Metode Interpretasi Adapun yang termasuk metode interpretasi (penafsiran) hukum adalah:12 1. Interpretasi Gramatikal. Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaedah bahasa dan kaedah hukum tata bahasa. Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengatur makna yang terkandung di dalam pasal undang-undang. 2. Interpretasi Historis. Interpretasi historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Jadi
11
Ibid. hlm. 54 Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14-19 89 12
undang-undang ditafsirkan dengan cara sejarah terjadinya, karena setiap ketentuan perundangundangan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena itu bagi hakim yang bermaksud mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang dia harus menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu dirumuskan. Ada dua macam interpretasi historis, yaitu: pertama, interpretasi memuat sejarah pengaturannya atau sejarah undang-undangnya. Jadi dalam interpretasi ini kehendak pembentuk undang-undang sangat menentukan. Kedua, interpretasi yang memuat sejarah hukumnya yaitu metode interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait dengan kelembagaan hukumnya. 3. Interpretasi sistematis. Interpretasi sistimatis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sisten perundang-undangan. Artinya tidak satupun dari peraturan perundangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri. Tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lain. 4. Interpretasi sosiologis atau teleologis. Intepretasi sosiologis artinya apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatanya. Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan
90
5.
6.
7.
8.
adanya perbedaan hukum (rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) Interpretasi Komparatif. Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. Karena dengan pelaksanaan yang seimbang atau seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau sebagai kaedah hukum umum untuk beberapa Negara Interpretasi Futuristik. Intepretasi Futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuasan hukum. Seperti suatu rancangan undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa Rancangan Undang -Undang itu akan diundangkan. Interpretasi Restriktif. Interpretasi Restrktif adalah metode interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya menurut interpretasi Gramatikal kata “tetangga” dalam Pasal 666 KUHPerdata, dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya,ini berarti hakim telah melakukan interpretasi restriktif. Interpretasi Ekstensif. Interpretasi Ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. 91
Contoh, perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH Perdata ditafsirkan secara luas yaitu bukan sematamata hanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak 9. Interpretasi Otentik atau Resmi. Pada Interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan, pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. Contoh, pasal “X” yang ada dalam suatu undang-undang sudah sangat jelas, tegas, definitif maksud yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya. 10. Interpretasi interdisipliner. Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Contoh yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum Pidana, Administrasi negara dan Perdata. 11. Interpretasi Multidisipliner. Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
92
IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum. Metode konstruksi hukum digunakan oleh hakim pada saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya, hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya.13 Menurut Rudolph Von Jhering sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum yaitu.14 1. Konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang hukum positif. 2. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri. 3. Konstruksi mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal. Ada 4 metode konstruksi hukum yang biasa digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum yaitu : 15 a. Metode Argumentum Peranalogium (analogi) Analogi ini merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari 13
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 8 14 Jazim Hamidi, Op.Cit, hlm. 59 15 Ibid, hlm. 59 93
sebuah peristiwa hukum atau pembuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. Contoh pasal 1576 KUHPerdata hanya mengatur bahwa “jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. “ Dalam Praktek hakim dihadapkan kasus lain, yaitu hibah. Pertanyaannya apakah ia tidak memutuskan sewa menyewa. Dalam hal ini hakim wajib melakukan penemuan hukum, karena peraturannya tidak mengatur masalah hibah. Supaya ada putusan yang dapat dikeluarkan oleh hakim langkah yang ditempuh hakim ialah mencari esensi dari jual beli itu apa, ternyata esensinya adalah “peralihan hak.” Kemudian apa yang menjadi esensi dari hibah. Ternyata juga “peralihan hak” jadi ditemukan jawabannya bahwa peralihan hukum merupakan “genus” (peristiwa umum). Sedangkan jual beli dan hibah masing-masing sebagai “spesiesnya” (peristiwa khusus) kesimpulannya, hibah juga tidak memutuskan sewa menyewa. b. Metode Argumentum a Contrario Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk menemukan hukum dengan petimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Jadi esensinya mengedepankan cara penafsiran yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Pada metode 94
argumentum a cantrario ini titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Contoh : masa tunggu (masa iddah) bagi janda yang hendak kawin lagi karena perceraian dengan suaminya. Menurut pasal 39 PP No. 9 tahun 1975, masa tunggu bagi janda di tetapkan 130 hari. Bagaimana halnya dengan duda yang hendak kawin lagi setelah bercerai dengan istrinya. Solusinya, hakim dapat menerapkan metode argumentum a contrario, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu (masa iddah) untuk menikah lagi. c. Metode Penyempitan/Pengkonkritan hukum (rechtvervinding) Metode ini bertujuan untuk mengkonkritkan/ menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa. d. Fiksi Hukum Menurut Paton sebagaimana dikutip Achmad Ali, metode penemuan hukum melalui fiksi hukum bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif esensi dari fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan faktafakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum. Juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Dengan kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi 95
konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.
96
BAB V TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM V. 1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum Apa hubungan antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum? Apakah Filsafat Hukum itu? Pertanyaan yang seolah bersifat peringatan itu sering didengar dan terdengar dalam wacana komunitas yang mencoba memasuki kajian filosofis atas suatu obyek ilmu. Apa benar sedemikian sulit untuk menjawabnya? Mungkin jawabannya tidak selalu demikian mengingat Filsafat dapat dipelajari, dimengerti, dipahami dengan baik, dan yang paling penting secara substansial pernah dialami oleh setiap orang. Pengertian, pemahaman, pengalaman dimaksud sebenarnya dapat dimulai dari apa itu filsafat dan hal ini dapat diketahui dari makna terminologinya. Kemudian dalam konteks Filsafat Hukum, maka yang perlu diketahui lebih dahulu adalah filsafat dalam arti umum, baru memasuki wilayah Filsafat Hukum karena Filsafat Hukum dapat diartikan sebagai filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau fenomena hukum. Secara umum, pertanyaan-pertanyaan paling dalam yang biasa dibahas dalam filsafat adalah hubungan antara kenyataan dengan makna yang ada di balik kenyataan itu sendiri, landasan atau sesuatu yang mendasari suatu kenyataan, struktur atau inti, hakehat suatu kenyataan, dan sejenisnya. Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan demikian ini difokuskan pada pemaparan-pemaparan yuridis atas suatu 97
hukum. Jika hukum (peraturan perundang-undangan) yang dipaparkan, maka yang perlu dimunculkan adalah apa makna yang ada di baik peraturan dimaksud. Dari sini, dapat diketahui bahwa ada dua hal penting. Pertama, proses, dan, kedua, hasil. Proses yang dimaksud adalah kegiatan berfikir, yang mencakup dialog antara tesis–antitesis, yang memproduksi sintesa (konsep baru, teori kecil). Selanjutnya, sintesa ini menjadi tesis yang akan dipertemukan lagi dengan antitesa, dan menghasilkan sintesa. Inilah kegiatan berfikir yang dimaksud di atas. Memang dalam kepustakaan, masih terdapat beragam pengertian filsafat hukum. Misalnya Filsafat Hukum yang didefinisikan oleh beberapa sarjana, sebagai berikut: Sebagai sebuah disiplin yang berkenaan dengan penalaran-penalaran yang bersifat spekulatif dan yang menyibukkan diri dengan upaya pencarian latar belakang dari suatu pemikiran Untuk itu, penalaranpenalaran spekulatif dimaksud tidak selalu harus diuji secara rasional (I. Tammelo); Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang “benar”, hukum yang adil (J.Schnidt, H.Kelsen); Sebagai sebuah refleksi mendasar dari suatu kenyataan yuridis. Refleksi dimaksud merupakan suatu bentuk berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari pemikiran. Artinya, filsafat merupakan kegiatan berfikir yang mencari suatu hubungan teoretis antara gejala satu dan yan lain 98
sehingga gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen); Sebagai diisplin ilmu yang mencari pengetahuan tentang hakekat dari keadilan, tentang bentuk keber-ada-an, transenden dan immanen dari hukum, tentang nilai-nilai yang di dalamnya hukum berperan, dan tentang hubungan antara hukum dan keadilan, tentang struktur dari pengetahuan, tentang moral dan ilmu hukum, dan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbelly). Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa pemahaman terhadap Filsafat Hukum cukup beragam. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat hukum merupakan sebuah disiplin yang berupaya untuk menjawab pertanyaan mendalam yang berkaitan dengan hukum dan kenyataan-kenyataan hukum. Pengertian filsafat hukum demikian ini sesungguhnya juga masih kabur dan terlalu luas mengingat belum jelas apa yang diartikan dengan “pertanyaan mendalam” itu. Untuk dapat membatasi pengertian Filsafat Hukum, maka diperlukan didudukkan terlebih dahulu tentang wilayah ajaran apa sajakah yang seharusnya ditelaah dalam filsafat hukum. Wilayah ajaran filsafat hukum dapat dibagi ke dalam sejumlah wilayah sebagai berikut: a. Ontologi hukum, yaitu ajaran tentang ada (zijnsleer). Ajaran ini menekankan pada upaya untuk menemukan “hakekat”, misalnya hakekat dari hukum, hakekat demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral.
99
b. Epistemologi Hukum, ajaran tentang pengetahuan (kennileer). Ajaran ini berupaya menjawab pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum atau masalah-masalah lain didapat. Artinya, bagaimanakah sesuatu itu menjadi mungkin. Jadi, ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat. c. Aksiologi Hukum, ajaran tentang nilai (waardenleer). Ajaran ini menekankan pada upaya penentuan tentang isi dan nilai-nilai, seperti kekayaan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak. d. Ideologi Hukum (harafiah: ajaran idea, ideeenleer): pengolahaan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian sistem tersebut (misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum marxistik). e. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer): hal menentukan makna dan tujuan dari hukum. f. Ajaran ilmu (wetenschapsleer) dari hukum: ini adalah meta-teori dari ilmu hukum, yang di dalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan kriteria bagi keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu dimungkinkan?) dan dalam hubungan dengan klasifikasi Ilmu Hukum (bukan klasifikasi hukumnya itu sendiri). Juga metodologi dari Filsafat Hukum 100
sendiri (dengan mengecualikan metodologi dair cabang-cabangIlmu Hukum lain) dapat dimasukkan ke dalamnya. g. Logika Hukum (rechtslogika): penelitian tentang aturan-aturan berfikir hukum dan argumentasi yuridis, bangunan logikal serta struktur hukum sistem hukum. Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah cabang Filsafat Hukum mandiri dan bahkan menjadi sebuah disiplin snediri dalam ilmu hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat sendiri disamping Filsafat Hukum. Logika hukum lebih jauh akan dibicarakan tersendiri dan untuk selebihnya di sini tidak akan dibahas. Satu hal yang mencolok pada Filsafat Hukum adalah bahwa hasil dari penalarannya tidak dapat diuji, secara empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk sebagian. Penalaran-penalaran filosofikal sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan terbuka bagi diskusi rasional. Syarat pertama, yaitu berkaitan dengan keberlakuan logikal dari penalaran filsafat hukum, tidak memerlukan komentar lebih jauh mengingat aturan-aturan logika berlaku untuk semua penalaran dan dengan demikian pasti untuk penalaran-penalaran yang mengklaim keilmiahan, atau yang sekurang-kurangnya harus berfungsi sebagai landasan bagi penalaran-penalaran ilmiah. Demikianlah, filsafat lazimnya tidak dikualifikasi sebagai sebuah “ilmu”, 101
melainkan lebih sebagai sebuah “meta-disiplin”, yang antara lain menjadikan ilmu-ilmu ini sendiri sebagai obyeknya, namun secara umum disyaratkan bahwa filsafat harus mematuhi suatu metode ilmiah. Memang dapat ditetapkan sejumlah syarat-syarat minimal pada tataran argumentasi, dengan kata lain, pada tataran logika. Jika dalam filsafat tidak pernah dapat dijamin konsensus atas dasar landasan rasional semata-mata berkenaan dengan hasil-hasil dari penalaran-penalaran, maka suatu konsensus rasional yang demikian pada asasnya dimungkinkan jika ihwalnya berkenaan dengan metode-metode dan argumenargumen yang digunakan. Syarat kedua, yang berkenaan dengan keberadaan dari kemungkinan untuk menjalankan suatu diskusi rasional berkaitan dengan penalaran kefilsafatan tentang hukum, dapat dipandang sebagai pasangan dari tuntutan dapat diuji (secara empirikal) hasil-hasil dalam ilmu-ilmu yang menjelaskan (ilmu eksplanatif). Ketidakmungkinan untuk memverifikasi atau memfalsifikasi dalil-dalil dan teori-teori Filsafat Hukum tidak boleh menyebabkan bahwa dalil-dalil dan teori-teori ini menjadi imun (kebal) terhadap kritik rasional. Sama seperti tiap ilmu yang berkembang dalam dan oleh suatu diskusi permanen diantara para ilmuwan berkenaan dengan teori-teori yang ada, maka suatu perkembangan maju dari filsafat hukum dan suatu perluasan dari pemahaman-pemahaman kefilsafatan tentang hukum hanya mungkin terjadi jika teori-teori kefilsafatan tentang hukum membuka ruang 102
bagi suatu diskusi rasional tentang titik-titik tolak, isi, pengolahan/penjabaran dari teori-teori ini, yang berlandaskannya dapat dikembangkan lagi gagasangagasan kefilsafatan tentang hukum yang baru. Suatu diskusi rasional dan terbuka yang demikian itu adalah syarat yang mutlak perlu untuk mencapai suatu konsensus intersubyektif yang demikian adalah alternatif yang mutlak perlu untuk suatu pengujian ilmiah, dalam hal-hal yang di dalamnya pengujian ilmiah yang demikian itu tertutup. Itu terutama berlaku jika ihwalnya berkenaan dengan pengandaian nilai-nilai kaedah-kaedah dan ideologi-ideologi. Untuk memungkinkan diskusi rasional mengenai teori-teori kefilsafatan tentang hukum, juga mutlak diperlukan bahwa teori ini (misalnya yang berkaitan dengan “hakekat” dari hukum) sesuai dengan pengetahuan ilmiah yang berlaku pada saat itu. Jika ihwalnya tidak demikian, maka diskusi rasional memang akan tidak mungkin dijalankan. Di luar dua syarat rasionalitas ini, maka teori-teori dalam filsafat hukum tidak dapat dikontrol. Hal ini kurang lebih tampak jelas berkenaan dengan Aksiologi Hukum, Ideologi hukum dan Teologi Hukum. Sebab pada bidangbidang bagian dari Filsafat Hukum ini tidak dibuat putusan-putusan tentang kenyataan, melainkan diolah nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah tertentu, yang diterima terlebih dahulu sebagai landasan untuk aturan-aturan hukum positif dan sistem-sisten hukum. Ihwalnya jelas bahwa nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada dirinya sendiri 103
tidak terbuka bagi pengujian empirikal dan rasional. Hanya rasionalitas, ini adalah konsistensi internal, dari sebuah ideologi atau koherensi diantara berbagai nilai dan kaedah yang bersama-sama dipandang sebagai berlaku yang dapat dikritik berdasarkan kriteria obyektif. Dalam optik yang sama orang juga dapat menguji rasionalitas dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada tataran hubungan dengan “sarana-tujuan”: nilai-nilai dan kaedahkaedah selalu terhubung dengan penetapan tujuan (orang memandang misalnya suatu persamaan maksimal antarmanusia, diantaranya pada bidang pendapatan, sebagai nilai dan/atau kaedah karena orang berpendapat bahwa dengan itu maka kehidupan orang rata-rata (doorsneemens) akan menjadi lebih nyaman dan lebih bahagia. Demikianlah nilai-nilai dan kaedah-kaedah sebagai demikian tidak dapat “diuji”, namun orang dapat menelaah sejauh mana (dalam derajat apa) nilai-nilai dan kaedahkaedah ini relevan, dapat digunakan, berguna atau mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu (diandaikan). Antara lain demi relasi dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah dengan penetapan tujuan tertentu ini, yang sering diterima secara umum, maka pilihan pada nilai-nilai dan kaedah-kaedah tertentu atau pada ideologi tertentu untuk sebagian dapat diargumentasi secara rasional. Argumentasi rasional ini juga untuk keseluruhan atau untuk sebagian akan sudah bertumpu pada putusan-putusan nilai atau butir-butir keyakinan yang lain. 104
Jika orang, misalnya mengopsi (memilih) suatu ideologi hukum sosialistik maka orang lain bertumpu pada putusan nilai bahwa adalah hal yang dikehendaki bahwa semua orang sebanyak mungkin sama, sementara manusia juga, terutama dalam suatu optik marxistik, betolak dari keyakinan bahwa di dalam sejarah terdapat (berlangsung) suatu perkembangan positif menuju pada suatu masyarakat yang demikian. Karakter filsafat hukum yang sebagian besar bersifat spekulatif dengan merenung ini juga sama kurang bukti nyata pada bidang Ontologi Hukum, dan pada bidang ajaran pengetahuan (epsistemologi) serta Ajaran Ilmu dari Hukum. Karena itu, tiap aspek-bagian dari filsafat hukum ini akan dibahas secara sama singkatnya. Ajaran tentang hal ada (zijnsleer) atau Ontologi dari hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang “hakekat” dari hukum, tentang isi pokok (basisinhoud) dari pengertian hukum, tentang “cita-hukum”. Isi pokok ini misalnya dicari dalam nilai-nilai fundamental seperti kebebasan, keadilan dan kepastian hukum. Jadi, di sini ihwalnya tidak terutama berkenaan dengan upaya mencari pengetahuan tentang hukum ketimbang berkenan dengan hal menetapkan suatu nilai dasar atau sebuah kaedah dasar (basisnorm), yang demikian berfungsi sebagai titik tolak untuk menentukan nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang lainnya dan untuk membangun (onderbouw) bagi legitimasi dari aturan-aturan hukum, pranata-pranata hukum dan sistem-sistem hukum yang ada atau yang dipropagandakan. 105
Ketika orang tampaknya mencari apa yang menjadi (merupakan, yang adalah) inti dari apa yang yuridisial, dalam kenyataan sesungguhnya orang menunjukkan apa yang seharusnya dipandang sebagai nilai yang paling esensial dari hukum. Orang mengklaim hanya melakukan sekedar suatu refleksi merenung, tentang hakekat dari hukum, namun dalam kenyataannya orang dengan ini menyatakan putusan-putusan normatif yang terselubung. Orang berkata: “hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan” padahal yang paling sesungguhnya dinyatakan: “hukum (se)harusnya(nya) memperjuangkan keadilan”. Dengan begitu maka Ontologi Hukum memperlihatkan ciri-ciri yang sama seperti aksiologi, ideologi dan ajaran finalitas dari hukum, sehingga pengujian obyektif terhadap hasil-hasilnya menjadi tertutup dan paling jauh hanya dapat dicoba untuk mencapai konsensus intersubyektif. Dalam perspektif Epistemologi Hukum atau Ajaran Pengetahuan dari hukum ditelaah sejauh mana dimungkinkan pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum atau tentang masalah-masalah kefilsafatan tentang hukum lainnya. Di sini dengan demikian kita berhadapan dengan meta-filsafat dari filsafat hukum. Jika misalnya Ontologi Hukum mengajukan pertanyaan tentang “hakekat” dari hukum maka Epistemologi Hukum meneliti kemungkinankemungkinan untuk dapat menjawab pertanyaan yang demikian itu. Jadi di sini jelas ihwalnya tidak berkenaan dengan pengandaian nilai-nilai dan kaedah-kaedah tertentu, melainkan dengan upaya menemukan batas-batas 106
dari pengetahuan (yang mungkin) tentang kenyataan (yuridisal). Jadi, pada pandangan pertama seolah-olah di sini suatu pengujian empirikal akan harus dimungkinkan. Ini untuk sebagian juga memang benar. Jika seseorang mengajukan bahwa hal memperoleh pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum, adalah sepenuhnya tertutup, maka pernyataan ini adalah sebuah dalil yang secara prinsipiil terbuka bagi falsifikasi. Dalam kenyataan, hal ini juga akan tidak mungkin, karena aturan dasar pengetahuan dari setiap “pengetahuan” tentang “hakekat” dari hukum yang diajukan akan selalu dapat diragukan. Misalkan, orang menerima bahwa, seperti dikemukakan diatas, Ontologi hukum tidak bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tetapi mengejar suatu pilihan nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah yuridis fundamental, maka akan selalu dapat disangkal (geloochend) bahwa hasil-hasil penelitian dari Ontologi Hukum mempunyai hubungan dengan pengetahuan tentang hukum. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tentang batasbatas dari pengetahuan kita (yang mungkin) tentang kenyataan (yuridisal) juga secara esensial akan selalu menyandang sifat spekulatif. Sebagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum yang terakhir kini masih akan dibahas Ajaran Ilmu. Ketika di atas pada pengurutan wilayah-wilayah bagian dari Fisalfat Hukum sebagai wilayah keenam disebut “Ajaran Ilmu dari Hukum”, maka sesungguhnya perlu disinggung bahwa uraian ini sedikit banyak dapat menyesatkan. Dipandang 107
secara historikal ihwalnya memang demikian bahwa ajaran ilmu dari hukum secara integral dipandang sebagai obyek studi khas dari Filsafat Hukum. Namun kini ajaran ilmu ini untuk sebagian dapat dimasukkan ke dalam wilayah dari Teori Hukum, khusus ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum. Pertanyaan krusialnya, yang dalam perjalanan dua abad terakhir selalu tampil kembali untuk didiskusikan, yakni tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum, dewasa ini secara umum dipandang sebagai sebuah tema penelitian dari Teori Hukum dan tidak (lagi) dari Filsafat Hukum. Bukankah Teori Hukum itu adalah meta-teori terhadap Dogmatika Hukum. Karena itu, yang termasuk ke dalam wilayah dari Filsafat Hukum itu bukanlah ajaran ilmu dari hukum, dipandang dalam arti luas, melainkan hanya ajaran ilmu dari Teori Hukum. Mengingat Filsafat Hukum itu sendiri tidak mempunyai meta-disiplin di atasnya, maka ia juga harus melakukan penelitian sendiri terhadap masalahmasalah yang berkaitan dengan karakter keilmuan dan metodologi dari filsafat Hukum. Jadi, di sini Filsafat Hukum harus melakukan perenungan diri (zelfreflektie). Pada medan berkiprah dari Filsafat Hukum ini, pemikiran spekulatif tidak dipandang sebagai ciri utama dari pendekatan kefilsafatan tentang hukum. Pemikiran tentang keilmuan dan tentang metodologi tidak dapat (sulit untuk diterima) bersifat spekulatif murni. Namun unsur spekulatif di sini juga akan memainkan peranan penting, khususnya karena pertanyaan-pertanyaan yang 108
terhadapnya oleh ilmu sendiri secara a priori tidak dapat diberikan jawaban, digeser ke Filsafat Hukum. Sebuah masalah inti dalam Ajaran Ilmu adalah misalnya, pertanyaan sejauh mana berbagai ilmu dapat bebas-nilai. Ini antara lain telah manimbulkan “perjuangan metode” (methodenstrijd) dalam Sosiologi yang terkenal ini. Dalam Teori Hukum juga mulai berkembang perjuangan metode yang demikian itu. Tentang hal ini akan dibahas dalam bab berikutnya, yang di dalamnya antara lain akan ditampilkan pertentangan antara apa yang dinamakan Teoti Hukum “Empirikal” dan Teori Hukum “Normatif”. Pilihan berkenaan dengan masalah ini, harus dilakukan atas dasar suatu pilihan antara nilai-nilai, kaedah-kaedah, ideologi-ideologi dan bukan putusanputusan tentang kenyataan yang sudah terbukti (dan untuk sementara tidak dapat dibuktikan). Dengan demikian, juga pada tataran Ajaran Ilmu, pemikiran spekulatif dalam Filsafat Hukum akan memainkan peranan penting lagi. Sebagai penutup dari paragraf ini yang di dalamnya telah diberikan ikhtisar dari wilayah Filsafat Hukum, dapat ditetapkan bahwa Filsafat Hukum dalam hakekatnya dicirikhaskan (ditengarai) dengan karakter spekulatif dari pemikiran kefilsafatan tentang hukum, dan ini pada semua wilayah-bagian dari Filsafat Hukum.
109
V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis29 Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa positivis juga sudah merambah pada pengetahuan humaniora. Ketika positivis memasuki wilayah ini sebenarnya yang dikaji sudah berbeda mengingat humaniora dekat dengan perilaku manusia yang sumber kebenarannya ada dalam diri manusia yang menekankan pada faktor internal yang penulis sebut sebagai fenomenologis. Untuk memasuki wilayah kedua paham ini, ditampilkan ledih dahulu wantiwanti yang pernah disampaikan Amselek bahwa “legal science must seek to observe, objectively, the “intersubjectivity” of juridical norms instead of being content like classical technological theory, with “prediction” or “certainty”. Di balik pesan dimaksud Amselek tampak telah risau dengan kerangka berfikir ilmu hukum yang terjebak pada kegiatan ramal meramal dan mengejar kepastian.30 29
Dalam pemahaman kalangan komunitas filsafat, filsafat hukum positivistis ini mendasarkan pada filsafat analitis (ought, is atau das sollen-das sein) dan fungsionalis sebagaimana dianut oleh filsafat yang bersumber dari Amerika Serikat (Roscoe Pound, Hart, Fuller). Ini berbeda dengan filsafat yang dianut di daratan Eropa Barat yang biasa disebut filsafat metafisis, fenomenologis atau hermenetis. Lihat Koesnoe, 1997. Pengantar Kerah Pemikiran Filsafat Hukum. Surabaya: Ubhara Press, hlm 1. Review atas dua aliran ini telah pernah dilakukan oleh Saptomo, 2002. Jamin: Konstruksi Sosial Integrasi Sukubangsa Jawa dengan Minangkabau, Disertasi. Yogyakarta: PPS UGM, hlm. 10-25 30 Kepastian dalam perspektif posivistik diartikan sebagai keajegan, keteraturan, predictable, namun dalam perspektif sosio-kultural justru sebaliknya bahwa apa yang dikatakan sebelumnya itu ketidakajegan, 110
Kemapanan apa yang dirisaukan ini menjadikan hampir dapat dipastikan bilamana seseorang berlatarbelakang pendidikan formal hukum, segala aspek kehidupan sosial yang dihadapi akan selalu dilihat dan dimasukkan ke dalam kerangka berpikir normatif formal. Kerangka berpikir demikian memang mudah terbawa kemana saja pergi meskipun yang bersangkutan telah memasuki wilayah sosial. Bahkan, setelah sekian lama hidup dalam habitat sosial, semua pengalaman dan pengetahuan berspektif ilmu sosial yang baru saja dimiliki belum tentu mampu menempatkan posisi paradigma dirinya secara tepat sebagai sosok sosiatif sebagaimana ilmuwan sosial yang sejak semula telah lahir dan berada di wilayah sosial. Kekaburan penempatan posisi paradigmatik demikian ini akan semakin menjadikan yang bersangkutan sebagai sosok yang sedang berada dalam alam kebingungan, terutama di saat-saat dihadapkan pada satu pilihan sehingga yang ada dalam dirinya sebuah kecamuk dialog ke dalam dengan selalu menanyakan kepada diri sendiri, manakah yang harus dipilih kembali ke normatif atau ke sosiatif. Di tengah kebingungan antara dua pilihan itu tentu segera dicari jalan pikir untuk memutus jaring-jaring semrawut dimaksud mengingat keburaman penentuan titik pijak arah berpikir akan tidak menguntungkan. Ketika ketidakaturan, unpredictable, sehingga sulit mengontrol. Mengenai hal ini lihat Saptomo, 2006 “Potensi Lokal dalam Pengelolalaan Sumber Daya Alam” dalam Tanah Masih Di Langit. Jakarta: Yayasan Kemala. 111
pilihan jatuh pada perspektif sosiatif, maka yang segera diputuskan selanjutnya adalah sebuah keharusan pembalikan paradigma agar dapat melihat bangunan rumah normatifnya sendiri dari luar pagar normatif. Tentu, pembalikan paradigma dimaksud tidak semudah membalik dua buah telapak tangan bagaikan sulapan dan beli cabe di pasar. Pembalikan paradigma berpikir dari angle yuridis normatif, deduktif, etik, kuantitatif, dan positivistik ke paradigma sosiatif, induktif, emik, kualitatif, dan fenomenologis, membutuhkan waktu panjang dan ini merupakan persoalan yang amat mendasar tersendiri. Mengapa amat mendasar demikian tentu mengingat hal ini menyangkut penggantian roh akademik sang intelektual. Proses penggantian roh akademis dimaksud harus dilalui dengan sabar, tekun, teliti, tegas dan tentu tidak menunjukkan rasa kelelahan dalam mengukir, melukis, memoles, membersihkan, dan mewarnai alam pikiran dari roh akademik yuridis positivistis ke roh sosiatif fenomenologis. Proses pembalikan paradigma dimaksud merupakan konstruksi alam pikiran normatif positvistis menjadi sebuah alam pikiran sosiatif fenomenologis. Dari titik yang disebut terakhir ini mulai terlihat bahwa di sana ilmu hukum31 nyaris selalu dilihat dari angle
31
Ilmu hukum dianggap sebagai terjemahan dari jurisprudence, yang berasal dari paduan dua kata jus, juris (hukum atau hak), prudence (melihat ke depan atau mempunyai keahlian). Dengan demikian jurisprudence diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari 112
epistemologi positivistik, sebuah epistemologi yang berpandangan bahwa kapan saja orang berinteraksi akan menghasilkan suatu realitas hukum, sebuah dunia fakta hukum yang dipahami sebagai kenyataan obyektif. Pandangan demikian ini menjadi kurang bermakna mengingat ia tidak mengungkap isi pengetahuan hukum subyek yang diteliti, yang berarti tidak diketahui logika hukum yang ada di dalam kepala pelaku hukum. Dalam konteks penelitian, meskipun ia sebenarnya telah berada pada posisi analisis, namun ia masih berada pada posisi analitical positivism sehingga kelemahan kerangka berfikir positivistis lainnya pun lahir mengingat hasil penelitiannya tidak dapat menjelaskan dengan baik pola perilaku
hukum. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan hukum yang menurut Rahardjo, 1982, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 3, ia mencakup sepuluh bidang yang pengklasifikasiannya berdasarkan atas tujuan dari ilmu itu sendiri. Demikian pula gambaran dan batasannya tidak begitu jelas sebagaimana disampaikan Curzon yang dikutip Raharjo (Ibid:11) bahwa berbagai sarjana telah berpandangan yang satu sama lain berbeda penekannannya. Namun pertanyaan yang menarik adalah sebagaimana disampaikan oleh Bruggink, Apakah Ilmu Hukum itu Ilmu? Untuk menjawabnya diajukan dua pendekatan, positivistik dan normatif. Masing-masing pendekatan ini berpijak pada teori kebenaran berbeda, korespondensi dan pragmatik. Selanjutnya mengenai hal ini lihat Bruggink, 1999 dalam Refleksi tentang Hukum (alih bahasa-Arief Sidharta). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 183-199. Sementara Ilmu dalam Ilmu Hukum yang dimaksud di sini adalah pengetahuan baru tentang hakekat hukum yang diperoleh melalui proses interpretatif atas interpretasi dengan cara dialog logis. Bandingkan pula apa yang dimaksud ilmu dengan berbagai definisi tentang ilmu dari sarjana-sarjana dikemukakan oleh Bakhtiar, 2004, dalam Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 12-20 113
manusia; kurang informatif karena pandangan orang yang diteliti tidak diketahui; penelitian semacam ini beranggapan bahwa manusia tidak berbeda dengan hewan, padahal ada sebuah premis penting bahwa manusia adalah animal symbolicum atau binatang yang mampu menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan memberikan makna hukum pada lingkungan dan perilakunya. Ketika hukum dipahami lewat epistemologi positivisme demikian, hukum dipandang sebagai taken for granted social world.32 Tentu ini berbeda dengan ketika hukum dipahami dari angle epistemologi fenomenologi dimana hukum dibangun oleh interaksi antarpelaku hukum sendiri. Jika pilihan terakhir demikian yang dipilih, maka pengetahuan normatif yang ada di dalam kepala orang sebagai pelaku hukum menjadi penting untuk digali. Dengan demikian, fenomenologi memandang bahwa hukum dibentuk oleh pikiran-pikiran normatif lewat proses interaksi dalam berbagai tempat dan kesempatan. Konsekuensi metodologisnya, apa yang dilihat dalam interaksi dimaksud bukan proses pendangkalan horisontal dengan cara data dicocok-cocokkan dengan kategorikategori teoretis seperti dalam paradigma positivisme, tetapi dilihat dengan cara mengacu kepada makna di balik
32
Artinya, positivisme berpandangan bahwa kapan saja orang berinteraksi akan menghasilkan suatu realitas, sebuah dunia fakta sosial dan merupakan kenyataan obyektif. Lihat Walsh, 1972. Positivism. Amsterdam: Rouldge. 114
aktivitas aktual dinamis warga masyarakat sebagai pelaku hukum itu sendiri. Dengan cara ini, tentu mereka membangun sebuah dunia hukum, yaitu dunia yang isinya subjektivikasi hukum.33 Sehubungan dengan pandangan terurai di atas, jika kajian hukum yang dilakukan didasarkan pada paradigma yuridis normatif positivistis maka ia tidak mampu menggali pengetahuan normatif dalam diri kepala orang atau sekelompok orang yang terlibat, juga tidak menjawab hakekat hukum di balik interaksi itu sendiri.34 Oleh sebab kelemahan demikian ini, kajian hukum dengan perspektif fenomenologis mendesak dan penting dilakukan jika tidak ingin melihat perkembangan ilmu hukum berada pada titik nadir. Selain itu, dengan perspektif epistemologi ini 33
Dalam perspektif kebudayaan, hukum merupakan bagian dari kebudayaan mengingat pemahaman konsep kebudayaan seperti ini membedakan dengan konsep kebudayaan dalam perspektif positivisme. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, misalnya, diartikan sebagai suatu gagasan yang harus diikuti suatu aktivitas sosial, dan hasil karya. Artinya, dalam perpektif positivisme kebudayaan dipandang sebagai given, barang jadi, dan selesai yang sudah seharusnya dipedomani. 34 Di sini subyek penelitian disebut sebagai orang, bukan sebagai manusia. Manusia dikatakan orang di saat secara sosial ia dikenal atau mengenal lingkungan sosialnya sehingga dalam dirinya terikat hak dan kewajiban sosial. Praktek pemenuhan sebagian hak dan kewajiban sosial tersebut melahirkan aksi dan reaksi dari orang yang berada di dalam lingkungan sosial bersangkutan. Di dalam proses interaksi sosial tersebut, manusia telah beridentitas sehingga ia disebut orang. Istilah manusia telah biasa digunakan dalam wacana antropologi forensik dan biologi, sementara dalam komunitas sosial istilah orang terasa lebih bersifat sosial daripada istilah manusia. 115
hakekat interaksi dapat dipahami dengan baik sehingga kelahiran ilmu hukum baru dapat diharapkan.35 Namun demikian, paradigma filosofis adalah persoalan pilihan dan pertanggungjawaban apa yang telah dipilih merupakan hal yang ditunggu-tunggu. V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan. Dalam kehidupan sehari-hari, jikalau orang berbicara hukum, lebih-lebih yang sedang mengalami atau ketimpa persoalan hukum, umumnya yang dipikirkan adalah keadilan apa yang akan dirumuskan oleh hakim ke dalam putusan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum sebelum menjatuhkan putusan memperhitungkan setidaktidaknya tiga unsur, yaitu adanya unsur kepastian hukum (Rechtszekerheit). Artinya, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan diterapkan hukum yang tepat dalam hal terjadi peristiwa hukum konkrit. Dengan demikian, dalam konteks peradilan hakim dan aparat penegak hukum lainnya hanya memainkan peran sebatas sebagai hamba udang-undang yang bertugas untuk melaksanakan undang-udang dimaksud. Ada pandangan dari Michel Steven Green bahwa “Decisions can not be all there is to the law, for courts deciding cases are guided by the law-by the legal rules that can be found in constitutions, statues, 35
Dengan model dialektika seperti ini tentu mendatangkan atau menghasilkan pengetahuan berabstrak tinggi. Mengenai pengertian dialektika itu sendiri dapat dibaca pada Lorens Bagus 2006, Kamus Filsafat, hlm. 162-164 116
regulations and past judicial opinions. The philosophical community agreed. The realists‟ theory of law was, in the philosophers‟ words, „deeply implausible,‟ open to easy refutation, and a jurisprudential joke”.36 Apa hukum yang harus diterapkan tidak boleh menyimpang dari aturan hukum yang mengaturnya sehingga semboyan Fiat Justitia et Pereat Mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan) betul-betul diwujudkan. Pandangan positivistik demikian ini memang amat popular mengingat masyarakat amat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan berada dalam keadaan tertib. Meskipun demikian, apakah sebuah produk hukum seperti putusan hakim dalam proses peradilan juga serta merta memenuhi rasa keadilan bagi pesengketa khususnya dan umumnya masyarakat. Untuk itu pertanyaannya, keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh hakim dalam putusannya? Keadilan itu hendaknya dikaitkan dengan fakta bahwa orang yang mengajukan perkara hukum kongkrit ke pengadilan selain bertujuan untuk mengembalikan hak-haknya yang untuk sementara dirampas atau terampas oleh pihak lain. Jika tidak, ia merasa keadilannya terampas. Dengan kata lain, ia bisa 36
Pandangan sarjana ini dimuat dalam bukunya Michael Steven Green, 2005. Legal Realism as Theory of Law. Williamsburg: William & Mary Law Review, Vol. 46. 117
disebut sebagai pencari keadilan. Harapan pencari keadilan yang mengajukan perkara ke pengadilan adalah hasil penyelesaian perkara yang adil seperti keadaan semula.37 Di sini mulai muncul permasalahan tentang apa yang dimaksud keadilan itu, dan apa ada alat ukurnya untuk mengatakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan. Di bawah ini disebutkan beberapa sarjana yang mencoba mendefinisikan keadilan. Secara akademik, perbedaan dan perdebatan memang menarik mengingat perdebatan itu justru sering menghasilkan sintesa sebagai calon tesis kecil baru. Dalam perspektif Hegelisme ilmu itu bisa cepat berkembang jika proses dialog tersebut terjadi. Adil dan Keadilan. Guna memahami nilai-nilai keadilan dalam hukum dimulai dari memahami apa arti adil dan keadilan itu sendiri. Menurut Kahar Masyhur apa yang dinamakan adil tersebut adalah: 1. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya. 2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang. 3. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan yang sama, dan penghukuman
37
Lihat J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Gramedia, hlm. 42 118
orang jahat atau melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.18 Seorang tokoh filsafat hukum alam, Thomas Aquinas, mengelompokan keadilan menjadi dua, yaitu :19 1. Keadilan umum yaitu keadilan menurut kehendak Undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. 2. Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Keadilan distributif (justitia distributiva) Adalah keadilan yang secara proposional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum contoh, negara hanya akan mengangkat seseorang menjadi hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim. b. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi c. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukum atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tidak pidana yang dilakukannya.
19.Kahar Masyur, 2004. “Membina moral dan Akhlak, Hukum”, M.Muchsin. 2004. Ikhtisar Materi Pokok Hukum. Jakarta: STIH IBLAM, hlm. 83 119
Menurut Aristoteles keadilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:20 1. Keadilan korektif, keadilan dengan menyamakan antara prestasi dan kontra prestasi, keadilan ini didasarkan pada prestasi baik yang sukarela maupun tidak, misalnya dalam perjanjian tukar menukar. 2. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang membutuhkan distribusi atas penghargaan Menurut Tasrif sebagaimana dikutip oleh Lili Rasyidi dan Arief Sidharta ada empat syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya yaitu : 21 1. Yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan; 2. Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai dua ujung dan diantara dua ujung itu ia berada; 3. Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan itu harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding, kesebandingan itu harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding dari apa yang dibagi; 4. Dalam sifatnya yang adil harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu adil. Sebetulnya yang dibicarakan di masyarakat adalah keadilan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
20
Ibid, hlm. 85 Lili Rasjidi dan B. Arief sidarta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya dalam.M. Muchsin, 2004. Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum. Jakareta: STIH IBLAM, hlm. 87 120 21
Misalnya tidak ada keadilan bagi rakyat kecil pencari keadilan atau tidak ada keadilan bagi wanita dan anakanak, tidak ada keadilan bagi pegawai negeri karena gajinya kecil. Keadilan seperti ini oleh Lawrance Friedman disebut sebagai Total Justice yakni Justice Without Response. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam menjatuhkan putusan harus memperhitungkan Tiga unsur. 1. Pertama, unsur kepastian hukum (Rechtszekerheid). Artinya hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya inilah yang harus berlaku. Pada dasarnya tidak boleh menyimpang, Fiat Justitia et Pereat Mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadilan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib. 2. Kedua, kemanfaatan (Zweckmassigheit). Artinya dalam pelaksanaan penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Sampai di sini, sering putusan pengadilan yang dianggap sebagai track 121
kepastian hukum menemukan persolan tersedniri karena masyarakat memandang bahwa hukum Negara bukan hukum masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat memiliki hukum yang disebut hukum adat sehingga hukum yang menghadirkan kemanfaatan tentu hukum mereka sendiri yang biasa disebut hukum adat. 3. Unsur ketiga adalah keadilan (rechtvaardigheid). Artinya bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan masyarakat diperhatikan. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan dan menyeragamkan. Dalam menegakkan hukum harus kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur itu.38 Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam membuat putusan harus memperhatikan konsep keadilan seperti yang telah diuraikan. Meskipun demikian, keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh hakim dalam putusannya? Masyarakat seringkali menghubungkan antara keadilan dengan moral. Artinya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memberikan
38
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 1-2 122
keadilan moral justice. Meskipun dalam praktek, hakim melihat keadilan dari sisi legal justice system.
123
BAB VI TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara39 Teori sebagai asumsi adalah jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan dalam sebuah karya ilmiah. Misalnya dalam hukum tata negara, ada permasalahan kekuasaan legisilatif umumnya dan pemegang kekuasaan negara khususnya yang setelah reformasi ini sering dipertanyakan keabsahannya. Dalam konteks akademis, dapat dijelaskan dengan beberapa teori. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian, yaitu (a) siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi itu.40 Dalam konteks negara Indonesia, pemikiran tentang Kekuasaan di bidang legislasi menurut UUD 1945 dapat dibahas berdasarkan teori kedaulatan rakyat (demokrasi) sebagai teori utamanya (grand theory). Selanjutnya untuk memperkuat teori tersebut digunakan teori sistem pemerintahan sebagai teori pendukung (middle range theory). Kemudian berdasarkan kedua teori tersebut di atas, digunakan teori aplikatif (applied theory) yaitu teori legislasi.
39
Disarikan dari proposal Disertasi Dr. Pataniari Jimly Asshiddiqie, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 9. 124 40
Namun sebelum sampai pembahasan, dibawah ini diperkenalkan lebih dahulu beberpa teori terkait. Diantranya adalah: 1. Teori Kedaulatan Istilah kedaulatan, menurut Sri Soemantri Martosuwignjo adalah sesuatu yang tertinggi di dalam negara. Jadi kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak di bawah kekuasaan yang lain.41 Dalam ilmu hukum tata negara dikenal ada 5 (lima) teori kedaulatan yang menjelaskan mengenai hal tersebut. Kelima teori itu adalah: (a) Kedaulatan Tuhan; (b) Kedaulatan Raja; (c) Kedaulatan Negara; (d) Kedaulatan Rakyat; dan (e) Kedaulatan Hukum.42 Mengenai tata urutan kelima teori kedaulatan tersebut, antara para sarjana hukum di Indonesia mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih misalkan, mereka membagi dan mengurutkan kelima teori tersebut dengan urutan sebagai berikut (a) Kedaulatan Tuhan; (b) Kedaulatan Raja; (c) Kedaulatan Rakyat; (d) Kedaulatan Negara; dan (e) Kedaulatan Hukum.43
41
Eddy Purnama, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain Jakarta: Nusamedia, hlm. 9. 42 Ibid. 43 Mohammad Koesnardi & Bintan R. Saragih, 1988. Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 118. 125
Sedangkan menurut Hamid Attamimi, ia membagi dan mengurutkan teori kedaulatan menjadi 5 (lima) kelompok tetapi untuk Kedaulatan Tuhan tidak ia sebut, sebagai gantinya ia menggunakan istilah ajaran kedaulatan dalam lingkup sendiri.44 Adapun menurut Wirjono Prodjodikoro, kedaulatan terdiri dari (a) Kedaulatan Negara; (b) Kedaulatan Tuhan; (c) Kedaulatan Rakyat; dan (4) Kedaulatan Hukum.45 Dalam perkembangan saat ini, berkaitan dengan teori-teori kedaulatan tersebut dapat dikatakan bahwa 90% (sembilan puluh persen) negara di dunia dengan tegas telah mencantumkan dalam konstitusinya masingmasing bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah bersumber kepada kehendak rakyat. Inilah prinsip dasar yang kemudian dikenal dengan konsep demokrasi.46
44
Hamid S. Attamimi, 1991. ”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” Disertasi, Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, hlm. 129-130. 45 Wirjono Prodjodikoro, 1989. Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat, hlm.5-6. 46 Masykuri Abdillah, 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm. 73, yang menyatakan bahwa ”demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan mayoritas, suara rakyat dan pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab.” 126
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ”demokrasi” diartikan sebagai pemerintahan rakyat.47 Pada awalnya pelaksanaan konsep gagasan tersebut dilakukan secara langsung khususnya ketika pada masa pemerintahan Yunani ketika pada waktu itu bentuk negara masih berwujud polis. Artinya, rakyat terlibat langsung dalam proses pemerintahan. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan luasnya suatu negara, maka hal itu menjadi sulit untuk dilakukan. Dari sinilah kemudian muncul konsep yang dinamakan demokrasi tidak langung atau perwakilan. Artinya, rakyat tidak lagi terlibat langsung dalam proses pemerintahan. Dalam konsep tersebut, rakyat diharuskan menentukan atau memilih para wakilwakilnya untuk menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan. 2. Teori Perwakilan Berdasarkan hal itu kemudian berkembang beberapa teori yang menjelaskan mengenai hubungan antara si wakil dengan para orang yang diwakilinya. Menurut Gilbert Abcarian, ia membagi keberadaan wakil rakyat ke dalam empat perspektif, yaitu:
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III, Cetakan Ke-. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 249. 127
(1) wakil rakyat bertindak sebagai wali (trustee), di sini ia bebas bertindak untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa berkonsultasi dengan yang wakilinya; (2) wakil rakyat bertindak sebagai utusan (delegate), di sini wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari wakilnya, di wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya; (3) wakil rakyat bertindak sebagai politico, di sini si wakil kadang bertindak sebagai wali dan ada kalanya bertindak sebagai utusan yang tergantung isu; dan (4) wakil rakyat bertindak sebagai partisan, di sini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai si wakil. Setelah si wakil terpilih maka lepaslah hubungan dengan pemilih/rakyat dan mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam Pemilu tersebut. Selanjutnya ada beberapa teori yang menyangkut hubungan si wakil dengan yang diwakilinya yang antara lain dikemukakan oleh Bintan Saragih. 1. Teori mandat, dimana si wakil yang duduk di lembaga perwakilan karena mandat dari rakyat sehingga di sebut mandataris. 2. Teori organ, yang menyatakan bahwa negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alatalat kelengkapan seperti eksekutif, parlemen, dan 128
mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling tergantung sama lain. Setelah rakyat memilih wakilnya, tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga itu bebas melakukan fungsinya menurut undang-undang dasar. 3. Teori sosiologi Rieker yang menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar membela kepentingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan. 4. Teori hukum obyektif dari Duguit yang menyatakan bahwa pada dasarnya hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Jadi ada pembagian kerja.48 Berdasarkan teori-teori sebagaimana tersebut di atas, terdapat satu hal pokok yaitu bahwa seorang wakil rakyat bertindak mewakili dan mengikuti atau mewujudkan aspirasi rakyat dalam sebuah lembaga
48
Bintan R. Saragih, 1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 82-86. 129
perwakilan yang merupakan bangunan masyarakat yang memiliki keahlian dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang tertentu sebagaimana layaknya tugas pokok lembaga perwakilan di dalam bangunan negara demokrasi.49 Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan pemerintahan oleh rakyat mengalami berbagai penyempurnaan. Dalam tahap perkembangan tersebut, mulai dikenal ada teori pendistribusian kekuasaan. Salah satu teori yang monumental mengenai hal itu adalah teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu, perlu ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kalaupun tidak bisa, maka setidaknya mempertahankan agar kekuasaan yudikatif tetap independen.50 Menurut Ismail Sunny, teori trias politica yang digagas oleh Montesquieu merupakan perkembangan ajaran bentuk negara dari monarki-tirani ke bentuk negara demokrasi. Dalam negara modern, hubungan antara ketiga macam kekuasaan tersebut sering merupakan hubungan yang kompleks. Trias politica atau biasa disebut Trichotomy sudah merupakan kebiasaan, kendati batas pembagian
49
DPR RI, 2006. Hasil Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI. Jakarta: Sekjen DPR RI, hlm. 7-9. 50 Montesquieu, 2007. Kontrak Sosial. Jakarta: Nusamedia, hlm. 187. 130
itu tidak selalu 51 mempengaruhi.
sempurna
bahkan
saling
3. Teori Sistem Pemerintahan Sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, perkembangan pemerintahan oleh rakyat telah melahirkan teori trias politica yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Berkaitan dengan hal tersebut, selanjutnya berkembang berbagai teori yang menjelaskan mengenai sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan merupakan sistem yang berkaitan dengan regeringsdaad penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu: a) sistem pemerintahan presidensil (presidential system); b) sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system); dan c) sistem campuran (mixed system atau hybrid system). Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of goverment) sekaligus sebagai kepala negara (head of state). Dalam sistem parlementer, jabatan kepala negara (head of state) dan
51
Ismail Suny, 1981. Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 15. 131
kepala pemerintahan (head of goverment) itu dibedakan atau dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan tersebut, pada hakekatnya merupakan sama-sama cabang dari kekuasaan eksekutif. Oleh sebab itu menurut C.F. Strong, kedua jabatan eksekutif itu dibedakan antara pengertian nominal executive dan real executive. Istilah nominal executive ditujukan untuk jabatan kepala negara. Sedangkan istilah real executive ditujukan untuk jabatan kepala pemerintahan.52 Adapun dalam sistem campuran, unsurunsur dari kedua sistem itu tercampur dan sama-sama dianut. Banyak studi telah yang dilakukan untuk membedakan antara sistem presidensil, sistem parlementer, dan sistem campuran. Menurut Douglas V. Verney, dari ketiga sistem tersebut, sistem parlemenlah yang banyak dianut oleh berbagai negara, sehingga timbul banyak ragam corak parlementarisme yang dipratikkan di dunia. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 9 (sembilan) prinsip pokok yang menjadi ciri dari sistem presidensil. Kesembilan prinsip pokok itu adalah: a) terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; b) presiden merupakan eksekutif tunggal; c) kepala pemerintahan sekaligus bertindak selaku kepala negara atau sebaliknya;
52
C.F. Strong, 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Jakarta: Nusamedia, hlm. 100. 132
d) presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; e) anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya; f) presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen; g) jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Sebab itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi; h) eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; dan i) kekuasaan tersebar secara tidak terpusat, tidak seperti dalam sistem parlemen yang terpusat pada parlemen. Amerika Serikat merupakan salah satu contoh negara yang menganut sistem presidensil. Bahkan Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu contoh ideal sistem presidensil di dunia. Namun demikian, Charles O. Jones mengkritik pemberian istilah ”presidensil” untuk sistem yang dipratikkan di Amerika Serikat. Menurutnya, sebutan yang lebih tepat bagi sistem tersebut adalah a sparated system of goverment dan bukan a presidential system of government. Sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip checks and balances itulah 133
yang menurut Charles O. Jones lebih menggambarkan kenyataan. Setiap kekuasaan saling mengkontrol dan mengimbangi satu sama lain.53 Lebih lanjut dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa untuk sistem pemerintahan parlementer terdapat sejumlah prinsip pokok, yaitu: a) hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisah; b) fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu sebagai kepala pemerintahan (the real executive) dan kepala negara (the nominal executive); c) kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara; d) kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif; e) menteri biasanya merupakan anggota parlemen; f) pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, tidak kepada rakyat pemilih; g) kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen;
53
Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, hlm. 316-317.
134
h) dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan; dan i) sistem kekuasaan terpusat pada parlemen.54 Terkait dengan negara Indoneia, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensil. Sebab, kesembilan prinsip yang ada pada sistem pemerintahan presidensil tersebut, ada pada sistem pemerintahan di Indonesia sebagaimana ternyata dalam UUD 1945. Bahkan, jika dibandingkan dengan sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan, maka sistem presidensil yang dianut sekarang (setelah perubahan UUD 1945) dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing menurut UUD 1945. Sebab itu, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu dibedakan atau dipisahkan.55
4. Teori Legislasi Teori legislasi atau lazim dikenal dengan sebutan teori perundang-undangan menunjuk kepada cabang,
54 55
Ibid., hlm. 315-316. Ibid., hlm. 317. 135
bagian, segi atau sisi dari ilmu perundang-undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi pada mengusahakan kejelasan atau memberi pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat mendasar di bidang perundang-undangan, yaitu antara lain pemahaman mengenai undang-undang, pembentukan undang-undang, perundang-undangan dan lain sebagainya. Sebab itu, karakter teori perundangundangan suatu negara sangat terkait sekali dengan sistem pemerintahan negara dari negara itu. Fungsi perundang-undangan bukan hanya memberi bentuk nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan juga bukan hanya sekadar produk fungsi negara di bidang pengaturan. Kekuasaan pembentuk undang-undang, hendaknya berusaha memberi bentuk terhadap pengubahan moral masyarakat dan watak bangsa sesuai dengan yang di cita-citakan. Kekuasaan pembentuk undang-undang kini tidak lagi ”berjalan di belakang” mengikuti atau membuntuti perkembangan masyarakat tetapi ”berjalan di depan” membimbing dan memimpin perkembangan masyarakat. Pembentukan undangundang tidak lagi mengarah kepada upaya melakukan ”kodifikasi” melainkan ”modifikasi”.56 Dalam
56
Hamid S. Attamimi, 1992. ”Teori Perundang-undangan Indonesia: Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjermihkan Pemahaman,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Jakarta: FHUI,hlm. 116-117. 136
melakukan ”modifikasi” terhadap masyarakat, pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan hirarki perundang-undangan dan karakter produk hukum yang dibentuknya (responsif, otonom, atau represif). Kerangka teori tersebut di atas, digambarkan dalam ragaan sebagai berikut:
137
Kedaulatan Rakyat/ Demokrasi
Grand Theory
Langsung
Tidak Langsung
Sistem Pemerintahan
Middle Range Theory
Presidensil
Applied Theory
Analisis dan Sintesa
Parlementer
Hybrid
Legislasi Kekuasaan Membentuk UU menurut UUD 1945
138
VI. 2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum Dalam subab ini dikemukakan teori-teori klasik ilmu sosial terhadap hukum baik dalam kajian sosiologi hukum seperti dalam pandangan Max Weber, Emille Durkheim, dan Karl Marx, maupun dalam kajian Antropologi Hukum dan Ilmu Hukum Adat. Pengemukaan teori-teori dari tokoh-tokoh tersebut dilakukan mengingat peran sebagian pandangannya ditujukan pada hukum menjadi basis perkembangan hukum ditilik dari perspektif ilmu sosial. Selain itu, pandangan-pandangannya juga bermuatan erat dan konsen dengan perkembangan masyarakat, bentuk hukum, pemikiran-pemikiran hukum, dan subyek juridis lainnya. Pemahaman teori klasik tersebut di bawah ini diharapkan akan memberi basis kuat kepada peminat hukum untuk mengerti munculnya perspektif sosiologi terhadap hukum. VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum VI.2.1.1 Dalam Pandangan Max Weber Salah satu tokoh klasik yang tidak dapat ditinggalkan ketika seseorang mencoba mempelajari ilmu sosial, terutama sosiologi hukum, adalah Max Weber (18641920). Ia dilahirkan di negeri Jerman yang keseluruhan hidupnya dimanfaatkan untuk menekuni segenap karya intelektual dan politik. Ia memperoleh pendidikan ketika aliran jurisprudence menjadi populer di Jerman. Dalam perjalanan pendidikan itu, ia belajar hukum Roman, Hukum Hindu, Hukum Inggris, dan Hukum Eropa. Serangkaian hukum tersebut menjadikan ia 139
berpengetahuan tidak saja hukum normatif, tetapi juga mencakup sistem hukum yang berkembang dalam peradaban kuno. Selain kelengkapan pengetahuan yang mendalam dan luas menjadikan dirinya mampu menaklukan pertanyaan-pertanyaan hasil dialog internal yang diangkat sendiri. Keintelektualannya selain dipengaruhi oleh ajaran sejarah juga terpengaruh oleh ajaran Karl Max yang berkembang di Jerman saat itu, dan bahkan ia juga menerapkan pemahaman bahwa struktur ekonomi ikut serta berperan dalam menentukan politik, seni, hukum, filsafat. Teori Weber yang berkenaan dengan hukum adalah ketika ia berpandangan bahwa perkembangan masyarakat senantiasa selaras dengan perkembangan hukumnya. Pandangan demikian ini memperlihatkan bahwa teorinya diwarnai oleh pengalaman empirisnya di negeri Jerman, ketika di sana masyarakatnya tidak pernah mengalami perubahan yang sifatnya revolusioner. Weber menguji proposisinya melalui tulisan-tulisan khususnya yang termuat dalam buku yang ia sebut sebagai economic and society. Dalam buku ini ia tidak setuju dengan pandangan Karl Marx tentang determinasi ekonomi, tetapi ia juga berpendapat bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling penting di antara faktor-faktor politik, agama dsb. Oleh karena pandangan demikian ini, ia menganggap dirinya sebagai seorang liberal namun tetap sadar akan
140
kataristik kontradiktori dan destruktif. Akibatnya, ia diidentifikasikan sebagai Marxis borjuis. Di dalam bidang hukum, ada dua aktifitas dasar yang menciptakan hukum dan menemukan hukum. Artinya, ia membedakan pendekatan legal terhadap hukum dan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Pendekatan pertama peduli dengan cara dimana perilaku aktual hakim, pengacara, penjahat, dan penduduk mengukur normanorma ideal sistem hukum. Mereka menggunakan hukum sebagai standar nilai untuk mengukur perilaku orang, sementara pendekatan sosiologis memandang aturan hukum sebagai komponen kenyataan dan peduli dengan bagaimana hukum sebagai motif orang untuk melaksanakan dan sebagai faktor motif bagi orang yang mentaatinya. Hukum menurutnya didefinisikan sebagai suatu tatanan, tatanan akan di sebut hukum jika secara eksternal dijamin oleh kemungkinan paksaan fisik dan psikologis untuk menghasilkan kenyamanan yang akan diterapkan oleh orang yang secara khusus dipersiapkan untuk tujuan itu. Weber menyajikan suatu pendekatan hukum dan masyarakat dimana hukum didefinisikan berkenaan dengan norma-norma hukum dan pranata-pranata hukum yang mengatur tingkah laku bagi para pelaku hukum, baik itu individu-individu maupun asosiasi-asosiasi. Satu hal penting dari pemikiran Weber adalah hukum dipandang sebagai kumpulan norma atau aturan yang dikombinasikan dengan konsensus dan penerapan paksaan. Dua unsur 141
tersebut merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam hukum. Dengan demikian, hukum merupakan kombinasi antara beberapa langkah kesepakatan, suatu persetujuan tentang prosedur-prosedur, proses-proses melalui apa hukum dibuat, dan pelaksanaan melalui organisasi kekuasaan negara. VI.2.1.2 Teori Solidaritas Dalam Pandangan Emille Durkheim Tokoh ilmu sosial lain yang memiliki konsen terhadap hukum adalah Emile Durkheim (1858-1917). Ia seorang Perancis yang menulis buku The Rules of Sociological Method (1895). Dalam tulisannya, ia memberikan perhatian lebih pada masyarakat daripada individu, mengingat manusia dipandang hanya semata-mata sebagai individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan dasar yang ia gunakan dalam mengkaji segala sesuatu adalah menemukan fakta sosial dan pandangan yang ada dalam fakta sosial. Perhatian utama Durkheim demikian dapat diketahui dalam tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan apa yang dimaksud masyarakat itu sendiri. Artinya, pendekatan yang digunakan adalah anti individualistik. Dalam konteks hukum, pandangannya dapat di baca ketika ia mengawali studi tentang hukum dan masyarakat dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan sosiologis penting seperti berikut. 142
What is about human society whit its over more complex interrelationship, structures and institutions which ensures not only its continuity an cohesion but also its transformation? (Apakah sesungguhnya yang terdapat di dalam masyarakat yang sedemikian rumit hudungan-hubungannya, struktur-struktur dan pranata-pranatanya yang menjamin tidak hanya kontinuitas sebuah kohesi tetapi juga tranformasinya) Durkheim kemudian mempertanyakan What holds society together? (Apa sebenarnya yang menyebabkan masyarakat terikat menjadi satu kesatuan). Kemudian ia menjawab sendiri The primary of the social collective life is not born from individual life, but it is no the contrary the second which is born what of the first (Penyebab terpokok adalah sosial. Kehidupan kolektif tidak lahir dari kehidupan individual, melainkan sebaliknya kehidupan individual lahir dari kehidupan kolektif). Menurutnya, social life, especially where it exists durably, tend inevitably to assume a define form and to organize itself an law is nothing also than this very organization in so far it has greater stability and precision (kehidupan sosial, khususnya dimana hukum dapat bertahan terus menerus cenderung untuk mengasumsikan sebuah bentuk terbatas dan masyarakat mampu mengorganisir dirinya sendiri dimana hukum merupakan salah satu sarana pengorganisasian dan karena ada hukum, masyarakat dapat stabil).
143
Di dalam karyanya tentang metodologi dan melalui studi tentang hubungan antara hukum dan masyarakat, ia menganalisis faktor-faktor sosial yang menentukan polapola hukum yang berbeda-beda dan cara-cara menfungsikan hukum untuk mempertahankan tipe-tipe masyarakat berbeda-beda. Dalam konteks ini, ia berpandangan bahwa hukum menjadi lebih independen dari kondisi-kondisi sosialnya dan juga menjadi lebih berbeda mengingat masyarakat senantiasa berubah-ubah dari organisasi dan asosiasi yang relatif berbentuk sederhana menjadi organisasi dan asosiasi yang memiliki pola-pola kompleks. Dalam perkembangan dari masyarakat sederhana ke kompleks tersebut, perkembangan hukum juga berubah dari masyarakat sederhana ke kompleks. Dalam konteks ini Durkheim memberi konsep perubahan hukum dan masyarakat. Teori Perubahan Hukum dan Masyarakat. Durkheim dalam karya bukunya De la Division dan Les Regles memberi perhatian besar pada persoalan pembagian kerja dalam perubahan sosial. Durkheim melihat bahwa dalam peningkatan jumlah penduduk harus serentak dengan peningkatan kepadatan materi, derajad konsentrasi penduduk pada wilayah tertentu, dan terutama pada persoalan moral atau kepadatan dinamis. Artinya, menurut Durkheim, jumlah individu yang memelihara hubungan satu sama lain bukan saja bersifat lugas, melainkan juga bersifat moral, yaitu melayani kehidupan bersama.
144
Kepadatan itu ditingkatkan oleh adanya konsentrasi penduduk dalam wilayah tertentu, oleh pembentukan kuota-kuota dan oleh peningkatan jumlah dan kesepakatan sarana-sarana komunikasi. Akhirnya, Durkheim melihat bahwa pertumbuham volume dan kepadatan dimaksud melakukan pembagian kerja. Artinya, ia mempertajam perjuangan hidup dan konflik-konflik sosial hanya mungkin diletakkan, paling tidak dikurangi jika orang melakukan spesialisasi. Jadi, Durkheim melihat peningkatan pembagian kerja sebagai daya penggerak kemajuan dan yang kesemuanya berproses secara mekanis dan berlangsung terlepas dari kemauan individu. Kemudian, Durkheim membedakan dua tipe solidaritas sosial. Pertama, solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis merupakan ciri masyarakat dimana taraf pembagian kerjanya masih rendah dan sifat masyarakatnya relatif masih utuh. Di sini hukum bersifat refresif. Di dalam tipe ini, di antara warga masyarakat memiliki keterikatan besar dan keterikatan ini menjadi dasar berdirinya masyarakat sederhana. Di dalam masyarakat jenis ini tidak bisa ditolerir timbulnya perbedaan sehingga hubungan-hubungan di dalamnya bersifat mekanis. Seandainya terjadi penyimpangan atau kelalaian, maka cara berfikir mereka menyebabkan kelumpuhan keseluruhan sendi masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang dapat menjamin kelangsungan tipe masyarakat seperti ini adalah hukum represif dengan sanksi yang bersifat pidana. 145
Kedua, solidaritas organis. Solidaritas organis merupakan ciri masyarakat kompleks dengan taraf pembagian kerja tinggi. Dalam masyarakat kompleks, penggunaan sanksi restitutif sangat dominan. Selain itu, masyarakat kompleks memperlihatkan sebuah struktur sosial yang terdiri atas unsur-unsur yang interdependen, dimana masing-masing unsur memberikan budaya-budaya khusus (subculture). Di dalam masyarakat kompleks ini pula diferensiasi kepentingan warga masyarakat tampak lebih tegas dan sangat spesialis dibanding masyarakat sederhana. Masyarakat seperti ini mengandalkan pada kebebasan dan kemerdekaan, yang sekaligus menjadi dasar berdirinya masyarakat kompleks. Durkheim melihat hukum yang cocok dalam masyarakat kompleks adalah hukum restitutif. Jadi, hukum bukan bekerja dengan cara menindak, tetapi hukum bekerja dengan mengembalikan pada keadaan semula. Pandangan Durkheim lebih lanjut adalah bahwa apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tergantung pada tertib sosial. Artinya, kebebasan itu tidak ada dalam individu, tetapi kebebasan itu berada dalam kerangka masyarakat. Jika dilihat dari teori Durkheim, maka bentuk masyarakat Indonesia sudah benar, dan justru bentuk masyarakat individualistik ala barat salah.57 Meskipun demikian, teori Durkheim dalam konteks sosiologi hukum
57
Lihat Ahmad ,1993. Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: PT. Yarsif, hlm 299 146
menjadi penting karena ia termasuk tokoh awal yang melihat peranan hukum dalam membentuk masyarakat. Hanya saja tiada gading yang tak retak, teori Dukheim pun di alam kenyataan kevaliditasannya diragukan karena pada masyarakat sederhana jenis hukumnya bersifat represif, dan pada masyarakat sederhana umumnya didominasi oleh hukum restitutif karena di dalam masyarakat demikian ini cenderung mengutamakan keharmonisan. Dalam buku The rules of sociological Method (1895), ia lebih menekankan perhatian masyarakat daripada individu karena manusia hanya semata-mata sebagai individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan yang ia gunakan adalah menemukan fakta sosial dan pandangan yang ada dalam fakta sosial. Perhatian utama Durkheim dapat diketahui lewat tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan apa yang dimaksud nasyarakat itu sendiri. Pendekatannya adalah anti individualistik dan menyarankan adanya penjelasan-penjelasan psikologis. Dalam konteks hukum, pandangannya dapat dibaca ketika perhatian utamanya adalah sosiologi murni dimana disana diberi contoh pernyataan bahwa manusia ada semata-mata karena dia hidup di dalam masyarakat. Kehidupan kolektif tidak lahir dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya kehidupan individual lahir dari kehidupan kelektif. Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya 147
fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Faktor sosial tersebut dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan perubahan. Mereka mempunyai kualitas paksaan dan pelanggaran-pelanggaran. Hukum dipandang sebagai fakta sosial namun hukum juga sebagai simbol yang tampak merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan dengan itu, cara baik untuk mempelajari masyarakat adalah dengan mempelajari hukum karena ia merupakan indikator solidaritas obyektif. VI.2.1.3 Teori Kelas Pendekatan Marxis terhadap sosiologi hukum datang dari dua bentuk. Hukum dan pikiran hukum berasal atau sebagai produk dari pemegang kelas. Selain itu, dia berargumentasi bahwa bentuk hukum relatif otonom dari harapan kapitalisme. Sementara pada saat yang sama ia menyediakan sebuah lingkungan bagi eksploitasi bagi pekerja. Hukum dipandang selain sebagai alat yang digunakan untuk memaksimalkan kepentingan kelas penguasa dalam masyarakat, juga mengontrol kelas pekerja. Dalam pernyataan klasiknya, disebutkan bahwa manusia adalah manusia semata-mata yang hidup di dalam masyarakat. Kehidupan kolektif tidak lahir dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya kehidupan individual lahir dari kehidupan kolektif. Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Fakta sosial tersebut dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan 148
perubahan. Dalam konteks hukum, hukum dipandang sebagai fakta sosial, namun hukum juga sebagai simbol yang merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan dengan itu, hukum dipelajari karena ia merupakan indikator solidaritas obyektif. Pendekatan kedua, pendekatan struktural. Pendekatan yang dimaksud menyebutkan bahwa hukum bukan merupakan sebuah instrumen kelas penguasa namun hukum mempunyai derajad ketertidakgantungan terhadap elit-elit tertentu. Pandangan ini dikenal sebagai otonom relatif. Dengan kata lain, ada sejumlah kekuatan yang menghasilkan efek-efek tertentu di dalam masyarakat. Kini, Kedua pendekatan pertama disebut sebagai commodity exchange perspective dan kedua disebut sebagai structural interpolation perspective.
149
Teori Perubahan Hukum dan Sosial No. Theory 1. Evolution of Law
Key figure N Luhmann
2.
Living Law
Eugen Erhlich
3.
Social Engineering Functional Law Structural Functionalism
4. 5.
6.
Behavior of law
Thesis three stages: archaic law, pre-modern high culture, positivisation of law a set of knowledge which is referred to guide behaviorism balancing of interests in a society, law can be a tool of social engineering of social reality influences law
Roscoue Pond Dean Pound
law is a normative behavior expectation, social N Luhmann system needs a form of law that reflects its degree of complexity law related to socio-political stratification Donald Black
150
VI.2.2 Dalam Antropologi Hukum VI.2.2.1 Teori Evolusionistik Pendiskusian antropologi hukum modern biasa dikaitkan dengan awal karya Maine yang dikenal dengan Ancient Law (1861) dan Bachofens dalam Das Mutterrecht (1861). Pengkaitan dimaksud berawal dari pandangan kedua sarjana tersebut tentang teori-teori evolusionistik tentang masyarakat dan hukum dalam masyarakat itu sendiri. Tentu, dapat dibayangkan bahwa hukum yang dianut saat itu oleh masyarakat tribal adalah hukum sederhana. Sementara, penekun hukum Eropa tidak menemukan hukum dimaksud dalam sejarah hukum pada awal atau permulaan masyarakat mereka dalam rentangan evolusi panjang. Bahkan, lebih panjang dari waktu yang dikenal orang Eropa itu sendiri, misalnya hukum Romawi dan Yunani. Bahkan, hukum yang lebih tua seperti hukum yang dikenal oleh orang Mesir dalam teks Bibel sekalipun. Hukum pada masyarakat permulaan merupakan pusat perhatian munculnya kajian antropologi hukum. Setidaktidaknya, fokus teoretikus adalah bagaimanakah mereka menyelidiki dengan tepat ke dalam rentangan waktu dimaksud, misalnya bentuk organisasi sosial dan hukum yang ada pada saat itu. Hanya pada saat itu, metodologi dominan yang dilakukan adalah armchair anthropology. Artinya, suatu karya dikerjakan di atas meja dengan duduk di depan meja dimana semua bahan didasarkan atas sumber-sumber tertulis, seperti laporan tertulis yang diperoleh dari eksplorer, traveller, missionaris dan pejabat 151
sipil dan tentara. Namun demikian, ternyata apa yang dilakukan mereka berimplikasi pada pemahaman tentang imperalisme, kolonialisme, etnosentrisme, superiotas peradaban masyarakat satu terhadap yang lain. Berangkat dari pemahaman demikian, meskipun kajian sejenis telah dapat disebut antropologi hukum, namun demikian ia disebut sebagai antropologi kontemporer. Sebutan demikian muncul mengingat fokus kajiannya pada proses perubahan dalam rentangan waktu panjang sehingga sistem hukum tetap merupakan topik penelitian menarik. Oleh sebab itu, pertanyaan tentang hukum pada ratusan tahun lalu tetap menarik, namun demikian ia berbeda dengan karya antropologi hukum pada masa kekinian. Perbedaan demikian juga menarik, terutama dimanakah letak perbedaannya. VI.2.2.2 Teori Fungsionalisme Perbedaan dimaksud semakin tampak ketika terjadi perubahan radikal, terutama munculnya penelitian lapangan oleh antropolog di tengah-tengah masyarakat yang mereka kaji. Di antara peneliti demikian ini adalah Malinowski dan Thurnwald. Mereka, hingga saat ini, barang kali merupakan sarjana besar yang profesional dalam penelitian lapangan. Perubahan radikal itu berkaitan dengan metode dan tentu diikuti dengan teori-teori relevan. Dengan perubahan dimaksud, ambisi kajian evolusionistik dan universalistik dikesampingkan, kajian mulai bergeser kepada fokus masyarakat tunggal atau desa tunggal tertentu. 152
Deskripsi dan penjelasan tentang masyarakat tunggal dimaksud menjadi lebih utama. Teori-teori baru dikembangkan lewat pemilahan-pemilahan masyarakat menjadi bagian-bagian lebih kecil dan kemudian dianalisis, terutama fungsi bagian-bagian dimaksud terhadap bagian lain dalam konteks keseluruhan bagian suatu masyarakat. Bertitik tolak dari kajian demikian ini, lahir teori fungsionalisme dan bersamaan dengan itu pula kajiankajian komparatif dan sejarah mulai berkurang pelanpelan. Semenjak itu, salah satu karakter baru dalam kajian antropologi pada pengkhususan pada bidang hukum. Hal terjadi mengingat kaum fungsionalis mulai memilah-milah bidang kajian, salah bidang kajian dimaksud adalah hukum sehingga mucul kajian antropologi hukum. Hanya saja saat itu, kajian masih mengarah pada wilayah proses sengketa, penyelesaian konflik, ajukasi, dan sejenisnya. Dengan demikian, antropologi hukum saat itu menjadi antropologi penyelesaian sengketa. VI.2.2.3 Teori Realisme Dalam perkembangan waktu berikutnya, sebuah era monografi klasik dimulai, terutama setelah muncul karya Max Gluckmann tentang masyarakat Barotse atau Lozi, Bohannan tentang masyarakat Tiv, Gulliver tentang masyarakat Arusha dan Ngendeuli, Faller tentang masyarakat Soga, Pospisil tentang masyarakat Kapauku Papuan. Sejumlah monografi karya sarjana-sarjana tersebut mulai memperdebatkan tentang konsep hukum, dimana 153
hukum difokuskan tidak saja pada proses-proses sebagaimana disebut sarjana-sarjana sebelumnya, tetapi mereka mulai mengartikan lain. Oleh mereka hukum diartikan sebagai aturan-aturan yang diberi sanksi dalam sebuah prosedur yang terorganisasi rapi. Perkembangan dimaksud telah memperoleh masukan-masukan baru dari berbagai pemerhati hukum lain. Masukan dimaksud menjadikan sarjana-sarjana di atas merasa perlu membedakan hukum dari tujuan-tujuan deskriptif dan analitik sebagaimana dilakukan ilmuwan dengan hukum untuk tujuan-tujuan pragmatis. Hal ini semakin menjadi perlu ketika segenap pemerhati hukum pragmatis seperti mereka yang berprofesi sebagai pengacara, hakim, dan administrator di daerah-daerah Koloni. Mereka di daerah-daerah dimaksud dihadapkan pada persoalan keberlakuan nilai-nilai tradisionalitas atau hukum adat masyarakat sederhana setempat dan komunitas-komunitas desa. Di sana, mereka diberi tugas untuk menerapkan hukum kebiasasan-kebiasaan masyarakat tempatan. Oleh sebab tugas itu, saat itu mereka dihadapkan pada upaya pendefinisian hukum kebiasaan dan bagaimana metode tepat untuk menemukannya. Berkaitan dengan tugas itu pula, mereka berupaya keras memadankan definisi-definisi yang tentu dipengaruhi oleh teori-teori yang berkembang di Amerika. Misalnya, teori realisme hukum yang ditokohi oleh pemikir seperti Holmes, Gray, Llewellyn. Tentu, teori-teori dimaksud mempunyai pengaruh kuat pada 154
Antropologi Hukum Anglo-Amerika dan Ilmu Hukum Adat di Negeri Hindia Belanda. VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat VI.2.3.1 Teori Hukum Tidak Tertulis Ketika antropologi hukum mulai berkembang di Indonesia 1990-an tidak sedikit sarjana hukum Indonesia yang memberi komentar bahwa antropologi hukum bukan hukum, selain itu dikatakan pula bahwa antropologi hukum sama dengan ilmu hukum adat. Komentar itu tentu tidak benar seluruhnya dan sebaliknya sebagian menunjukkan kesamaan. Betapa tidak, ilmu hukum adat lahir dari ilmu hukum pada awal abad ke-20. Ia terbit berkaitan dengan beberapa tulisan seperti tulisan C. Snouck Hurgronje dan Cornellis van Vollenhoven yang berisi kritikan terhadap kebijakan pemerintahan jajahan Belanda di Indonesia. Pada awalnya, kritik itu ditujukan kepada mereka selama membina hukum di negeri jajahan dimaksud mengira bahwa hukum adat Indonesia adalah sama dengan hukum Islam ditambah beberapa adat. Ilmu hukum adat Indonesia mula bergerak mantap ketika setelah perang Dunia I terbit tiga buku karya van Vollenhoven berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (1918-23). Pada umumnya, hukum adat tidak ditulis kalaupun tertulis berupa deskripsi tentang hukum adat berbagai masyarakat etnik Indonesia. Deskripsi itu mirip dengan etnografi dalam antropologi sehingga batas-batas hukum adat dengan adat begitu tipis. 155
VI.2.3.2Teori Keputusan Menurut cacatan, dalam dasawarsa 1930-an mulai ada pendekatan baru terhadap metode deskripsi suatu sisitem hukum adat, khususnya hukum perdata tak tertulis. Pendekatan baru dimaksud dimulai oleh B. Ter Haar sebagaimana tampak pada karangannya yang mendeskripsikan hukum adat dalam kebudayaan tertentu. Dengan mengambil keputusan-keputusan hakim atau tokoh pemimpin adat yang berkuasa dalam pengadilan adat sebagai sumber pokok deskripsi sistem hukum adat dalam suatu masyarakat Indonesia. Pendekatan Ter Haar terhadap deskripsi hukum adat di Indonesia dimaksud merupakan awal upaya ahli hukum untuk menentukan secara tajam norma-norma tata kehidupan sosial yang disebut hukum adat dan yang mempunyai perasaan hukum (rechtsgevolgen), akibatakibat hukum dari tata hukum kehidupan sosial berupa adat istiadat. Dalam kaitan ini, Ter Haar mencari perbedaan hukum dari adat-istiadat di Pengadilan Adat, berupa keputusan-keputusan hakim atau para tokoh pemimpin adat yang kemudian lahir apa yang disebut teori keputusan. Ia mencari apa yang disebut wibawa (gezag), wewenang, dan kekuasaan. Ketiga hal tersebut merupakan ciri paling menonjol dari norma-norma atau hukum kehidupan sosial yang disebut hukum.
156
VI.3 Dalam Ilmu Ekonomi (Teori Investasi) VI.3.1 Teori Kindleberger Sebagaimana disebut oleh Pramono58 bahwa Kindleberger menyebutkan bahwa aspek yang paling sensitif dalam perekonomian internasional kini adalah aspek investasi langsung atau direct investment. Amerika Serikat dan Inggris berusaha membatasi investasi langsung oleh perusahaan-perusahaan yang berdomisili di dalam batasbatas kedua negara ini untuk membatasi tekanan pada neraca pembayaran mereka. Larangan-larangan dan pembatasan-pembatasan ditentukan terhadap investasi dalam garis-garis kegiatan tertentu yang dianggap memboroskan, seperti sumber-sumber daya alam, perbankan, surat-surat kabar, perdagangan eceran, dan minuman ringan. Ditentukan persyaratan-persyaratan bahwa harus ada partisipasi dari pihak dalam negeri, valuta asing harus dibawa masuk, latihan harus diberikan, suku cadang harus dibeli setempat, riset dalam negeri, ekspor, dan sebaginya. Di samping itu, masih saja terdapat kecenderungan untuk internasionalisasi perusahaan. Teori mengenai investasi langsung mempunyai banyak implikasi, yaitu:
58
Seperti diketahui bahwa prasyarat investasi adalah security, kepastian hukum, kelancaran birokrasi, one stop service, insentif pajak, repatriasi, transfer pricing, dan sebagainya serta adanya UndangUndang Investasi yang baik. Lihat, Nindyo Pramono, 2006. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual. FHUGM:. hlm. 190. 157
a. Investasi langsung tidak akan terjadi dalam industri di mana ada persaingan murni. b. Perusahaan penanam modal tidak berkepentingan untuk mengadakan usaha bersama atau joint venture dengan pengusaha setempat karena akan berusaha untuk memiliki sendiri selruh keuntungan dan pada saat bersamaan para penanam modal setempat tentu tidak akan mau membeli saham-saham dari perusahaan induk serta penghasilan atas keseluruhan penanam modal menjadi kabur atau samar-samar dibandingkan dengan keadaan setempat yang dapat membawa banyak keuntungan, sebagaimana mereka lihat. c. Investasi langsung terjadi menurut dua arah industri yang sama. Hal ini tidak akan terjadi apabila kegiatan didasarkan atas tingkat-tingkat laba umum. Hal ini untuk sebagian merupakan kejadian yang khas dalam persaingan oligopoli, yaitu setiap perusahaan harus bertindak seperti dilakukan perusahaan-perusahaan yang lain untuk menghindarkan agar perusahaan lain tidak mendapatkan laba secara tidak terduga. VI.3.2 The Product Cycle Theory atau Teori Siklus Produk Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing secara langsung (foreign-direct investment) dalam bidang manufacturing. Biasanya merupakan usaha ekspansi awal dari perusahaan-perusahaan negara maju seperti Amerika dengan mendirikan pabrik-pabrik untuk membuat barangbarang yang sama atau sejenis di negara lain termasuk 158
negara-negara berkembang. Hubungan antara induk perusahaan dan pabrik-pabrik sejenisnya di negara lain tersebut disebut “hirozontaly integrated”. Teori ini mengatakan bahwa setiap teknologi atau proses produksi biasanya dikerjakan melalui tiga fase: Pertama, fase permulaan atau inovasi; Kedua, fase perkembangan proses; dan Ketiga, fase pematangan atau fase standardisasi. Dalam setiap fase tersebut, berbagai tipe perekonomian negara mempunyai keunggulan komparatif atau a comparative advantage di dalam memproduksi barangbarang atau komponen-komponen produksinya. Fase pertama cenderung bertempat di negara atau negara-negara industri paling maju, seperti Inggris pada abad ke-19, Amerika Serikat pada awal pasca perang dunia sekitar tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20. sekitar tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20.Perusahaanperusahaan tersebut biasanya memagang posisi oligopoli di negaranya masing-masing yang mengakibatkan mempunyai keunggulan komparatif di dalam mengembangkan produk-produk baru dan proses-proses industrinya karena adanya permintaan pasar dalam negeri yang besar dan banyaknya persediaan sumber produksi sampai diperolehnya hasil produksi yang layak untuk dipasarkan. Biasanya negara-negara majulah yang mempunyai cukup dana dalam fase inovasi ini. Pada fase awal ini, perusahaan-perusahaan di negara maju seperti Amerika Serikat mempunyai suatu posisi 159
monopoli karena kemampuan teknologi yang belum tersaingi. Oleh karena permintaan pasar dari luar negeri terhadap produk mereka meningkat, perusahaanperusahaan itu kemudian meningkatkan ekspor produknya ke pasar luar negeri. Dampak dari penyebaran produk tersebut di luar negeri, sudah barang tentu akan terjadi penyebaran teknologi ke negara-negara lain termasuk negara berkembang. Akibatnya, lama-kelamaan muncul pesaing-pesaing luar negeri yang cukup potensial. Pesaingpesaing ini kemudian mampu membuat rintanganrintangan dagang atau trade barrier yang kemudian dapat ”memaksa” perusahaan negara-negara maju tersebut memproduksi barang-barang yang sama di luar negeri. Berarti mereka mau tidak mau harus mendirikan pabrik atau cabang perusahaan di negara lain atau di luar negeri termasuk di negara-negara berkembang. Akibat selanjutnya, proses manufacturing dan tempat produksi cenderung berkembang di luar negeri yang semula kemasukan aliran modal asing tersebut. Akhirnya, dalam fase ketiga, dibuatlah standardisasi proses manufacturing yang memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke negara-negara yang sedang berkembang, terutama negaranegara industri baru (Newly Industrializing Countries), yang mempunyai keunggulan komparatif berupa tingkat upah yang rendah. Produk-produk dari negara-negara berkembang ini pun kemudian diekspor ke pasaran global. Singkatnya, the product cycle theory ingin membantu menjelaskan bahwa 160
perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli, perkembangan, dan penyebaran teknologi industri merupakan unsur-unsur penentu utama terjadinya perdagangan dan penempatan lokasi-lokasi aktivitas ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya strategi perusahaan yang mengimplementasikan perdagangan dan produksi di luar negeri.
161
Keluar an 0
0 0
MODEL SIKLUS PRODUK (VERNON, 1966) PRODUK YG PRODUK PRODUK BARU MENJADI DEWASA DISTANDARDISASI MEMPRODUKSI DI LUAR NEGERI MEMPRODUKSI DI DLM NEGERI a. Oleh cabang (FDI) b. Dengan perlisensian EKSPOR Tahap 1
IMPOR Tahap 2
Kelua ran
Berdasarkan INOVASI 0
Tahap 3
MODEL BARU (VERNON, 1977) OLIGOPOLI OLIGOPOLI DEWASA MENUA
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
162
VI.3.3The Industrial Organization Theory Vertical Integration atau Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal Teori ini banyak diterapkan pada new multinationalism country atau negara multinasionalisme baru dan pada investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni produksi barang-barang di beberapa pabrik menjadi input bagi pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan yang sejenis. Teori ini berawal dari pemahaman bahwa biaya-biaya untuk melakukan bisnis di luar negeri dengan investasi, baik direct maupun indirect harus memperhitungkan mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan itu harus memiliki beberapa ”keunggulan kompensasi” atau ”compensating advantages” atau ”keunggulan yang spesifik bagi perusahaan”, seperti keahlian teknis manajerial, keadaan perekonomian yang memungkinkan perolehan sewa secara monopoli untuk operasi perusahaannya di negara-negara lain. Menurut teori ini, investasi dapat dilakukan dengan cara integrasi secara vertikal, yaitu dengan menempatkan beberapa tahapan produksi di beberapa lokasi yang berbeda di seluruh dunia. Motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang rendah, memanfaatkan kebijaksanaan pajak lokal juga untuk membuat ”rintangan perdagangan” bagi perusahaan yang lain.
163
Banyak faktor yang menentukan tingkat aliran modal, skill, teknologi, dan keahlian negara maju atau pemodal asing ke negara penerima modal atau negara berkembang, antara lain: Iklim penanaman modal di negara penerima modal; Prospek perkembangan usaha di negara penerima modal; Tingkat perkembangan ekonomi di negara penerima modal; Stabilitas politik di negara penerima modal; Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan oleh si pemodal; Aliran modal cenderung mengalir kepada negara dengan tingkat pendapatan nasional per kapita yang tinggi; Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relatif murah dan potensi pasar dalam negara penerima modal tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Menimbang: c. bahwa agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan; 164
Pasal 4 Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Bapepam dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
165
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, 1998. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. _______, 1990. Mengembara di Beberapa Hukum. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Bambang Sutiyoso dkk, 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UTJ Press. Bambang Waluyo. 1996. Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Black, Donald. 1976. The Behaviour of Law. New York: Academic Press. Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation. Friedmann, Wolfgang. 1967. Legal Theory. New York: Columbia University Press. H.Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-kaedah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media. Hari Chand, 1994. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur: International Law Book Services. 166
J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Gramedia. Jan Gijsels mark van Hoeke, 1982. Wat is rechsteorie (terjemahan B. Arief Sidharta) Bandung: Universitas katolik Parahyangan. Tripati, Bijai Narain Mani, 1984. Jurisprudence (legal Theory). Delhi: Allahabad Law Agency. Jazim Haimidi, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Intreprestasi Teks. Yogyakarta: UII Press. John Z. LODGE, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta. Jakarta: Bina Aksara. Kelsen, Hans, 2008. Dasar- Dasar Hukum Normatif (terjemahan: Nurulita Yusron). Bandung: Nusamedia. Kelsen, Hans, 2008. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (terjemahan: Raisul Muttaqien). Bandung: Nusamedia. Koesnoe, Moch. 2006. Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif. Surabaya: Ubhara. Meuwissen, 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum (terjemahan: B. Arief Sidharta). Bandung: Refika Aditama Moh. Taufik Makarao, 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta. 167
Munir Fuady, 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. R.Subekti, 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramitha. Riduan Syahrani, 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditiya Bakti. Satjipto Raharjo, 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni Soejono dkk, 1997. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Soerjono Soekanto, 2001. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Sudikno, Mertokusumo dan Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. ______, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni.
168
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor 157
169
Penulis lahir di Klaten, 02/12/1957, Pendidikan Sarjana Hukum 1984 dari Universitas Gadjah Mada, Magister legal Anthropology 1995 Sandwich Program Universiteit te Leiden dan Universitas Indonesia, dan Doktor Ilmu Budaya 2002 diperoleh dari Fakultas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Guru Besar Ilmu Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 1 Maret 2006, sejak 2012 sebagai Staf Ahli Hukum Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, selain itu mengajar dan sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. Dengan bekal pengalaman transendensialisasi ilmu dan pengetahuan secara lintas bidang ilmu menjadikan penulis amat mengetahui, mengerti, dan memahami dan menghayati secara mendalam tentang hukum baik dari sudut ilmu sosial, budaya, filsafat maupun ilmu hukum sendiri. Oleh sebab ini pula, penulis dipercaya memegang mata kuliah Perbandingan Budaya Hukum, Filsafat Hukum, Metodologi Penelitian Hukum, Hukum dan Kearifan Lokal oleh Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Universitas Pancasila Jakarta, Universitas Andalas Padang, dan Program Pascasarjana Universitas ternama lainnya. Selain buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum & Filsafat Hukum ini, penulis juga menulis buku: Hukum dan Kearifan Lokal (2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni (2009), dan Budaya Hukum (2012). Penulis juga aktif sebagai nara sumber seminar nasional dan internasional, sebagai nara sumber dialog-dialog aktual stasiun televisi nasional,
memiliki pengalaman sebagai saksi ahli dalam perkara tindak kejahatan Sumber Daya Alam, sebagai asesor BAN-PT sejak 2004, pernah sebagai detaser Pengelolaan Perguruan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI 20072008.