KONDISI GEOGRAFI DAERAH PENELITLAN
IKLIM Iklim daerah penelitian dipengaruhi oleh berhembusnya angin muson yang datang dari arah barat daya maupun tenggara. Angin muson tersebut membawa udara panas dan lembab dengan suhu udara rerata di atas 25 "C. Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu udara dan curah hujan. Untuk pengamatan iklim diambil data selama sepuluh tahun (1989 - 1998) dari dua stasiun, yaitu stasiun Tambak dan Galur (Tabel 1.).
Tabel 1. Suhu udara rerata tahunan (1989 - 1998) Tahun
Rerata UGM
Tambak (16 m
Galur (8m dpl)
Rata - rata
(137 m dpl)
dpl)
1989
25.9
26.7
26.7
26.7
1990
26.7
27.4
27.4
27.4
1991
26.5
27.2
27.3
27.3
1992
26.6
27.3
27.3
27.3
1993
26.7
27.4
27.4
27.4
1994
26.1
26.8
26.8
26.8
1995
26.5
27.2
27.2
27.2
1996
26.6
27.3
27.4
27.3
1997
26.7
27.4
27.5
27.5
1998
26.3
27.1
27.1
27.1
Sumber: - Lab Hidrometeorologi, Fakultas Geografi, UGM, 1999 - Wahyudi Ardhyanto, Skripsi, 200 1
CURAH HUJAN Data curah hujan yang digunakan berasal dari dua stasiun hujan yaitu Tambak yang memiliki ketinggian 16 m dpl dan Galur 8 m dpl (Tabel 2). Rerata curah hujan di stasiun Tambak 2035 mm dan di stasiun Galur 1892 mm.
Tabel 2. Data curah hujan rerata tahunan 1989 - 1998 Tahun
I
I
I
Tambak (mm) 16 mldpal
I
Galur (mm) 8 rnldpal
I
Sumber : Dinas Pertanian, Kabupaten Kulon Progo, 1999
TIPE IKLIM Tipe iklim di daerah penelitian dihitung menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson dan Koppen. Schmidt-Ferguson menentukan tipe iklim berdasarkan sifat basah dan keringnya bulan, yang dinyatakan dengan nilai quotient (Q). Bulan basah adalah suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 100 mm, dan bulan kering adalah suatu bulan dimana curah hujannya lebih kecil dari 60 mm. Q = Jumlah rata-rata bulan kering 1 Jumlah rata-rata bulan basah
Nilai perhitungan Q dimasukkan ke dalam diagram penentuan tipe hujan yang dikemukakan oleh Schmidt-Ferguson (Lihat Garnbar 7). Semakin kecil nilai Q makin basah suatu tempat dan makin besar nilai Q makin kering suatu tempat (Lihat Tabel 3). Hasil akhir menunjukkan bahwa Stasiun Tarnbak dan Galur mempunyai tipe hujan D, yaitu memiliki tipe hujan sedang.
Stasiun Tarnbak
0
Stasiun Galur
Jumlah Bulan Basah
Gambar 7. Pembagian tipe Iklim menurut Schmidt - Ferguson
Tabel 3. Tipe hujan di Indonesia menurut Schmidt-Ferguson
1
Tipe hujan
I
Nilai Q
A
I
I
Sedang
0.6001Q< 1.OOO I
I
E
Agak basah
0.3331Q<0.600
D
Kriteria Sangat basah
0.0001Q<0.143
C
I
I I
I
Agak kering
1.0001Q< 1.670 I
F
1.6705Qc3.000
Kering
G
3.OOO
Sangat kering
H
7.0001Q
Luar biasa kering
Sumber : Schmidt-Ferguson (1 95 1) Sementara itu Koppen, membagi iklim berdasarkan kombinasi antara curah hujan dan suhu udara. Iklim di daerah penelitian termasuk tipe A menurut hasii perhitungan menggunakan klasifikasi Koppen. Iklim tipe A ini dibedakan kedalam subtipe Af, Am dan Aw. Iklim Af atau yang lebih dikenal ikim hujan tropika basah dipakai untuk kondisi dimana tidak memiliki musim kering, semua bulan mempunyai curah hujan >60 mm. iklim Am dikenal dengan iklim hutan hujan musiman yang dicirikan dengan terdapatnya hujan lebat yang mengimbangi musim kering. Tipe iklim Aw dicirikan dengan musim kering yang lebih panjang dan lebih tegas, sehingga hujan dalam periode basah tidak cukup mengimbangi kekeringan. Pembagian tipe iklim A diketahui dengan memasukkan data hujan bulan terkering dan jumlah hujan tahunan ke dalam diagram pembagian tipe iklim A menurut Koppen pada Gambar 8.
Hasil pengeplotan menunjukkan bahwa stasiun Tarnbak dan Galur mempunyai tipe iklim Aw. Untuk daerah yang mempunyai ketinggian c750 dpal dan suhu udara terdingin > 22
O C
Koppen menambahkan notasi "a" dibelakangnya,
sehingga tipe iklim di daerah penelitian adalah Awa.
1 000
1 500
2000
2500
Curah Hujan setahun (mm) Gambar 8. Diagram pembagian tipe iklim a menurut Koppen
KEPENDUDUKAN Desa yang termasuk di dalam wilayah penelitian adalah Desa Karangwuni, dengan jumlah penduduk 2799 yang terdiri dari 1439 laki-laki dan 1358 perempuan. Luas wilayah Desa Karangwuni 722 Ha dengan kepadatan penduduk 400 jiwalkm. Data Kepemilikan ternak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kepemilikan ternak desa Karangwuni No
Status
I
Jumlah (orang)
Jumlah Pemilik Ternak Sapi
587
1 2 1 Jumlah Pernilik Temak Karnbing I 1 Jumlah Pemilik Temak Ayam 3 4 1 Jumlah Pemilik Temak Itik 5 1 Jumlah Pemilik Ternak Domba I
I
I
I
I
I
I
I
6
Jumlah Buruh Petemak
34
I
387
7 18
45
Sumber: Buku Induk Registrasi Desa, 2001
GUMUK PASIR Gumuk pasir di wilayah penelitian perkembangannya cukup luas, tersebar merata dan mengalami perkembangan oleh aktivitas angin yang cukup kuat dari laut selatan. Gumuk pasir adalah bentukan topografis yang terdiri dari pasir dan diendapkan oleh tiupan angin (Sunarto, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya gumuk pasir pantai adalah pasokan pasir, kecepatan angin dan kerapatan vegetasi. Keberadaan bentuk lahan ini inenumpang pada beting gisik. Satuan bentuk iahan ini mempunyai niorfologi bergelombang dengan kemiringan lereng yang agak curam. Sebagian besar daerah penelitian berupa gumuk pasir yang tersebar merata
SWALE (CEKUNGAN) Bentuk lahan swale mempunyai topografi cekungan yang memungkinkan pergerakan material dari bagian atasnya, sehingga terjadi akumulasi antara bahan
padat dan cair. Air yang mempakan salah satu pembentuk tanah banyak tertahan pada lingkungan ini. Berlimpahnya ketersediaan air menyebabkan terganggunya perkembangan tanah. Bentuk lahan swale di lapangan ditandai oleh kenampakan topografi yang berupa cekungan hingga datar yang terletak diantara dua banjar gumuk pasir yang meninggi dengan pola sejajar dengan garis pantai. Muka airtanah yang dangkal sering dimanfaatkan oleh penduduk untuk mengairi lahan tegalan. Bentuk lahan swale sebenarnya mempakan satu kesatuan ranzkaian kenampakan beting gisik
secara keseluruhan karena sifat dan karakteristik bahan induknya adalah sama, tetapi dalam perkembangannya telah mengalami perubahan clan perbedaan faktor bentuk lahan.
JENIS TANAH Menurut Sunarto (1982), tanah yang terbentuk pada satuan beting gisik muda masih sangat muda, dan harnpir tanpa memperlihatkan perkembangan karena terganggu oleh aktivitas angin. Kondisi ini tidak dijumpai adanya horison diagnostik atau disertai horison A okrik yang baru mengalami proses perkembangannya. Bahan penyusunnya berupa bahan lepas-lepas (pasiran), tanpa atau dengan perkembangan yang sangat lemah. Tanah di beting gisik ini mempunyai tekstur pasir hingga pasir bergeluh, struktur berbutir tunggal, konsistensi lepas-lepas. Tanah tersebut mempunyai daya menahan air sangat lemah karena susunan agregat yang saling tidak mengikat satu sama lainnya sehingga menimbulkan tingkat kelolosan air (permeabilitas) yang besar. Kandungan bahan organiknya rendah karena proses dekomposisi material organik
yang belum aktif, serta sedikitnya material yang berukuran koloidal. Tanah yang demikian ini dikenal dengan narna regosol Tanah pada satuan beting gisik dewasa telah memperlihatkan bentuk perkembangan dibandingkan pada beting gisik muda. Tekstur geluh berpasir pada lapisan atas beralih menjadi geluh lempung berpasir di bagian bawahnya yang ditandai dengan bercak-bercak karat (motling)sebagai hasil reduksi yang ringan. Tanah tersebut memiliki struktur remah hingga gumpal dengan konsistensi gembur hingga agak teguh dan bila basah agak lekat.
GEOLOGI Berdasarkan fisiografi Jawa, daerah pesisir ini merupakan Zone Selatan Jawa Tengah yang mengalami penenggelaman di bawah permukaan laut yang disebabkan adanya proses tektonik yang cukup kuat pada masa Pratersier dan tergenang oleh pasiran laut dangkal (Panekoek 1949 dalarn Prasetyo, 1995). Penenggelaman yang semula menlpakan plateau tersebut diawali dari Pantai Parangtritis hingga Pantai Cilacap, tetapi tidak terjadi pada Pegunungan Karangbolong dan Bukit Selok. Menurut Bamelen (1980, dalam Ismidasi, (1989). Pegunungan Karangbolong dan Bukit Selok merupakan sisa-sisa pegunungan selatan Jawa Tengah dan sebagai tanda bahwa pantai selatan Jawa Tengah merupakan bagian dari rangkaian pegunungan selatan Jawa. Aktivitas teknonik di Pulau Jawa menurut Bemelen bergerak dari arah selatan menuju utara dengan menimbulkan tiga geoantiklinal. Geoantiklinal pertama terjadi pada kala Miosen Tengah, lebih kurang enam juta tahun yang lalu dan berlangsung selama setengah juta tahun. Kejadian tersebut ditandai oleh
terbentuknya Pegunungan Serayu Utara Jawa Tengah yang mengalami persesaran dan penenggelarnan di bawah perrnukaan laut. Geoantiklinal kedua terjadi pada awal Pliosen atau dua juta setelah geoantiklinal pertama. Hasil proses ini adalah terbentuknya rangkaian Pegunungan Serayu Selatan yang saat ini disertai denudasi besar-besaran pada igir pegunungan. Kejadian berikutnya yaitu pembentukan geoantiklinal ketiga yang dimulai pada akhir Pliosen hingga awal Plistosen. Proses geologis pada akhir periode tersebut menghasilkan pegunungan Serayu Utara, yang menurut Panekoek (1949, dalam Prasetyo, 1955), disebabkan oleh terbentuknya cekungan geoantiklinal. Cekungan yang terjadi berakibat pada dua kenampakan yaitu Lembah Serayu yang dikenal sekarang dan cekungan pada daerah pantai sehingga menaikkan muka air laut. Abdul Sobur (1982, dalam Ismidasi, 1989), menerangkan bahwa proses pengangkatan dataran aluvial pantai selatan Jawa Tengah, merupakan bagian dari pengangkatan seluruh dataran pantai selatan Pulau Jawa. Hal ini terbukti dari adanya anomali gaya berat positif yaitu lebih kurang 200 mgal pada Zone Selatan Jawa Tengah. Keadaan ini menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami proses pengangkatan terus menerus hingga sekarang. Kondisi daerah pada saat ini merupakan bagian dari proses geoantiklinal yang keempat. Perubahan proses morfodinamik Jawa Tengah pada masa Pleistosen merupakan gejala umum dari keadaan siklus daerah tropik basah (Verstapen, 1975, dalam Prasetyo, 1995). Bentuk-bentuk bentang dam khusus terjadi pada zaman itu akibat rendahnya temperatur dan kondisi yang kering. Keadaan beralih menjadi iklim yang sangat basah dan menyebabkan terjadinya aliran permukaan pada tanah kala Holosen. Kuatnya proses erosi dan denudasi pada jaman itu
menurut Panekoek (1949, dalarn Prasetyo, 1995), dapat diimbangi oleh gerakan orogenesa muda yang berlangsung hingga sekarang disertai aktivitas gunung berapi. Endapan Holosen yang berupa meterial aluvium hasil gerakan menuruni lereng, aliran permukaan, dan aliran sungai, yang menyatu dengan material pasir hasil kerja gelombang dan angin terdapat di bagian selatannya.
BETING GISIK Beting gisik (beach ridge) adalah gundukan pasirlkerikil yang memanjang sejajar
garis pantai yang terbentuk oleh aktivitas gelombang dan arus laut
(Whillow, 1984; Bates & Jackson, 1985 dalarn Sunarto, 1996). Akibat aktivitas marin tersebut terjadi akumulasi material lepas di sekitar batas terjadinya gelombang. Kawasan gisik mencapai kawasan batas akhir gelombang yang masih berpengaruh dan sebagai awal pergerakan material ke laut dalam. Tenaga geomorfik yang sangat berpengaruh adalah gelombang laut dan tenaga angin, yang dapat mengakibatkan terlihatnya karakteristik gisik secara keseluruhan. Kawasan beting gisik terletak pada wilayah belakang pantai (backshore) bersama dengan gumuk pasir pantai (coastal sand dunes), berbatasan dengan daerah rawa belakang. Apabila terdapat suatu cekunganlpalungan yang terletak di antara dua beting gisik dengan material penyusun yang sama maka dikenal dengan swale, sedangkan bila terletak di antara beting gisik dan daratan aluvial pantai dikenal sebagai laguna (lagoon).