KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI DESA ABBOKONGENG KABUPATEN SIDRAP PROVINSI SULAWESI SELATAN
KARMILA MUCHTAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Karmila Muchtar I352120031
RINGKASAN KARMILA MUCHTAR. 2014. Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH dan DJOKO SUSANTO. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan inovasi peningkatan produksi padi dengan pendekatan bottom up. SL-PTT adalah wadah pembelajaran di mana petani dituntut melakukan proses belajar untuk memecahkan masalah dan menemukan solusi bersama terkait pengelolaan tanaman padi. SL-PTT memberikan ruang bagi petani untuk saling bertukar informasi dan pengetahuan. Penerapan komunikasi partisipatif melalui prinsip dialogis dilakukan dalam SL-PTT. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT dan menganalisis keputusan petani dalam penerapan teknologi usaha tani padi. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani di Desa Abbokongeng. Sampel penelitian sebanyak 80 yang tercatat sebagai peserta program SL-PTT. Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret-April 2014. Pengujian hipotesis menggunakan uji regresi linear berganda. Komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT telah dilakukan pada tahap pertemuan rutin dan diskusi harian sebesar 78,7% dan 96,3%. Pada tahap ini, penyuluh juga aktif dalam proses komunikasi partisipatif. Pada tahap PRA dan tahap temu lapang, proses komunikasi partisipatif tergolong rendah yakni 5% dan 12,5%. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif adalah karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan saluran komunikasi. Tingkat adopsi teknologi petani pada program SL-PTT sebesar 91,3% yakni petani menerapkan seluruh teknologi, seperti penggunaan benih unggul, penanaman sistem jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), panen dan pasca panen. Sebagian kecil petani belum mengadopsi benih unggul dan sistem tanam jejer legowo. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mendapatkan benih unggul dan persepsi petani bahwa jarak tanam mengurangi jumlah produksi. Untuk meningkatkan proses komunikasi partisipatif perlu pendekatan yang lebih intensif oleh penyuluh dan melibatkan tutor sebaya untuk menggerakkan petani mengadopsi teknologi secara luas. Komunikasi partisipatif perlu dipertahankan dan ditingkatkan dalam program SL-PTT sehingga peningkatan produksi padi tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan.
Kata kunci: Bottom-up, Komunikasi, Partisipatif, SL-PTT
SUMMARY KARMILA MUCHTAR. 2014. Participative Communication in Field School of Integrated Crop Management (SL-PTT) at Village of Abbokongeng, Sub District of Kulo, District of Sidrap, South Sulawesi. Supervised by NINUK PURNANINGSIH and DJOKO SUSANTO. Field School of Integrated Crop Management (SL-PTT) is an agricultural innovation system directed mainly to improve production of rice applying bottomup and participative communication approach of the farmers. The study aims to get descriptions on how participative communication can be applied on the SLPTT program and to analyze decision making process by the farmers to adopt and utilize the technology of rice innovation in their land-use. The study has been done using survey about variables. Population of the study was all farmers in village of Abbokongeng. Sample of this study was 80 farmers as respondents who involved in SL-PTT program. The study was done on March-April 2014. Data and hypothesis were analyzed and tested using multiple linear regression. The evidence showed that participative communication of the farmers toward SL-PTT program was considerable in the steps in the routine meeting and daily discussion i.e 78,7% and 96,3%. On the steps, the interaction of the extension worker and the farmers is considerable active. The respect of the extension worker was also supporting. While in the PRA and field meeting, activation of farmers in participative communication is grouped to low by 5% and 12,5%. Factors which have significant effect on applying participative communication are: farmer’s characteristics, characteristics of the extension worker and forum of communication between the extension worker and the farmers. Level of technology adoption of farmers by 91,25%. The farmers applied all innovations, such as: using high qualified seeds, planting system, using appropriate fertilizer and water irrigarion, controlling pests, harvest and pastharvest management. Small proportion of farmers have not using high qualified seeds and planting system because difficult of getting high qualified seeds and perception of the farmers about planting system can reduce the production level of rice. To increase partisipative communication process, extension worker should carry out more intensive approach and to involve those farmers who considered as leaders of the farmers group, i.e to adopt innovation of technology to increase rice production. Partisipative communication should be maintained through the SLPTT program in such that the rice production can be maintained and increased.
Keywords: Bottom-up, Communication, Participative, SL-PTT
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI DESA ABBOKONGENG KABUPATEN SIDRAP PROVINSI SULAWESI SELATAN
KARMILA MUCHTAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Djuara P Lubis MS
iii
Judul Tesis : Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Karmila Muchtar NIM : I352120031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi Ketua
Prof (Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P. Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Juli 2014
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah komunikasi partisipatif yang berlangsung di Desa Abbokongeng, sebagai salah satu penyangga pangan di Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi dan Prof Dr Ign Djoko Susanto, SKM sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan 2012) dan angkatan 2011. Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Unggulan (BU-Dikti) untuk membiayai kuliah penulis. Terima kasih kepada orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada para sahabat di Makassar dan di Kemuning 25. Penulis dengan terbuka mengaharapkan masukan, koreksi dan saran untuk melengkapi karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2014 Karmila Muchtar
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Singkat SL-PTT Peran Penyuluh Pertanian Komunikasi Partisipatif Komunikasi Partisipatif di Ruang Publik Penelitian Terdahulu
1 2 2 4 4 4 4 9 11 18 19
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Hipotesis
22 22 24
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Data dan Instrumen Penelitian Definisi Operasional Validitas dan Reliabilitas Analisis Data
24 24 24 24 25 27 29 30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Karakteristik Responden Karakteristik Penyuluh Saluran Komunikasi Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif Keputusan Penerapan Teknologi Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Komunikasi Partisipatif Pengaruh Karakteristik Penyuluh terhadap Komunikasi Partisipatif Pengaruh Saluran Komunikasi terhadap Komunikasi Partisipatif Pengaruh Komunikasi Partisipatif terhadap Penerapan Teknologi
31 31 34 40 42 43 61 63 65 66 68
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
69 69 69 69
RIWAYAT HIDUP
88
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
29
Pemetaan tahapan program SL-PTT dari segi komunikasi Penelitian terdahulu terkait SL-PTT dan komunikasi partisipatif Jumlah populasi program SL-PTT di Desa Abbokongeng Data, sumber data, dan metode Peubah, definisi operasional dan kategori karakteristik petani Peubah, definisi operasional dan kategori karakteristik penyuluh Peubah, definisi operasional dan kategori saluran komunikasi Peubah, definisi operasional dan kategori proses penerapan komunikasi partisipatif Peubah, definisi operasional dan kategori proses pengambilan keputusan penerapan teknologi Nilai koefisien korelasi product moment Hasil uji kuesioner koefisien Cronbach’s Alpha Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Jumlah sarana, prasarana, dan kelembagaan Tingkat pendidikan penduduk di Desa Abbokongeng Potensi Desa Abbokongeng Persentase responden menurut umur Persentase responden menurut tingkat pendidikan Persentase responden menurut pengalaman berusahatani, luas lahan, dan status sosial Analisis usahatani responden Sebaran responden berdasarkan penguasaan materi penyuluh Sebaran responden berdasarkan keterampilan berkomunikasi penyuluh Sebaran responden berdasarkan saluran komunikasi dalam SL-PTT Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap PRA Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap pertemuan Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap diskusi harian Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap temu lapang Sebaran responden berdasarkan keputusan penerapan teknologi Pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan saluran komunikasi terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif di Desa Abbokongeng Pengaruh proses penerapan komunikasi partisipatif terhadap keputusan penerapan teknologi di Desa Abbokongeng
7 19 25 26 27 27 28 28 28 29 30 31 32 33 33 34 35 36 38 40 42 43 48 54 58 60 61
63 68
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran operasional komunikasi partisipatif 2 Jumlah produksi padi di Kecamatan Kulo 3 Jumlah produksi padi di Kabupaten Sidrap
23 39 40
vii
DAFTAR KOTAK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambaran pemilihan ketua kelompok tani Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani Gambaran pengalaman berusahatani petani Gambaran motivasi belajar petani Gambaran motivasi belajar petani Gambaran luas dan status sosial petani Gambaran Kondisi Pengelolaan Usahatani Petani Gambaran kepercayaan dan interaksi petani dengan penyuluh Gambaran persepsi petani tentang penyuluh Gambaran persepsi petani tentang kinerja penyuluh Gambaran keaktifan petani pada program SL-PTT Gambaran persepsi penyuluh tentang bantuan benih Gambaran pertanyaan petani perempuan Gambaran tanggapan penyuluh Gambaran persepsi petani tentang kesempatan berdialog Gambaran persepsi penyuluh tentang posisinya Gambaran pertanyaan petani tentang benih lokal Gambaran keinginan petani untuk adopsi Gambaran kepercayaan petani terhadap penyuluh
35 36 36 37 37 37 38 39 41 41 42 42 48 52 52 54 55 57 57 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi Penelitian 2 Kuesioner Penelitian
75 77
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan inovasi program peningkatan produksi padi dengan pendekatan bottom up. Produksi padi yang selama ini masih mengandalkan sawah irigasi mengalami banyak kendala, misalnya banyaknya lahan sawah irigasi beralih fungsi menjadi lahan non pertanian dan berkurangnya debit air. Salah satu strategi untuk menanggulangi kondisi tersebut adalah penerapan berbagai teknologi dengan input produksi yang efisien sesuai kondisi spesifik lokasi untuk menunjang peningkatan produksi padi secara berkelanjutan. SL-PTT adalah wadah bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usaha tani melalui pembelajaran untuk memecahkan masalah-masalah dan menemukan solusi secara bersama-sama. SL-PTT memberikan kesempatan bagi petani bertukar informasi, pengetahuan dan prioritas masalah berasal dari petani, dan petani merupakan pelaku utama (Lubis 2007). Sama halnya dengan yang terjadi di Sub-Sahara Afrika, farmer field schools juga memberikan kesempatan bagi petani untuk mendiagnosis sendiri masalah yang dihadapinya sampai menemukan solusi. Pendekatan yang dipakai menggunakan metode partisipatif sehingga petani mengalami pemberdayaan sebagai ahli teknis sendiri dalam pengelolaan usaha taninya (Davis 2008). Kabupaten Sidrap dikenal sebagai salah satu lumbung padi utama di Provinsi Sulawesi Selatan dengan ciri petani aktif. SL-PTT yang sedang berlangsung di Kabupaten Sidrap turut memberikan sumbangsih peningkatan produksi padi yang mampu melampaui target, yakni sebesar 206.194 ton pada tahun 2012. Namun di tempat lain, seperti Karawang dan Cianjur yang juga sebagai sentra produksi beras di Provinsi Jawa Barat ditemukan bahwa petani yang tergabung dalam SL-PTT masih termasuk kategori yang kurang berdaya dengan ciri kurang mampu menghadapi tantangan-tantangan masa kini dalam mengelola usaha taninya (Sadono 2012). Tahapan identifikasi masalah, menetapkan tujuan, dan mencari solusi bersama seperti yang dijelaskan di atas merupakan salah satu wujud komunikasi partisipatif. Komunikasi partisipatif merupakan salah satu pendekatan bottom up untuk menjawab kegagalan pembangunan terdahulu dengan sejauh mungkin menempuh cara-cara dialog. Komunikasi partisipatif penting diupayakan untuk mendorong keputusan dalam penerapan tindakan dalam pembangunan (Msibi & Penzhorn 2010). Dialog sebagai prinsip berlangsungnya komunikasi partisipatif dilakukan dengan tujuan merangkum solusi yang ada untuk penyelesaian bersama. Dalam dialog, setiap petani memiliki hak sama untuk bicara atau didengar (Tufte, 2009). Proses komunikasi partisipatif dengan menempuh cara dialog dipengaruhi oleh beberapa stakeholders (aktor komunikasi) yakni penyuluh pertanian, petani dan pemangku kepentingan. Keterampilan berkomunikasi yang dimiliki oleh penyuluh pertanian merupakan salah satu hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan program pemberdayaan. Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K)
2
juga membahas kompetensi komunikasi inovasi penyuluh yang dicirikan oleh kemampuan penyuluh mencari informasi inovasi melalui berbagai saluran komunikasi, memahami jenis inovasi yang dibutuhkan petani, memiliki kemampuan komunikasi inovasi dalam bahasa yang mudah dipahami petani, memiliki kemampuan dalam berkomunikasi secara dialogis, dan berempati terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Kompetensi penyuluh juga terlihat dari kemampuan mengkomunikasikan materi penyuluhan dengan pesan yang bersifat inovatif yang mampu mengubah atau mendorong perubahan, sehingga terwujud perbaikan-perbaikan mutu hidup petani. Penelitian Wahyuni, dkk (2006) tentang peran pendamping dalam proses komunikasi program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea menyimpulkan bahwa metode dalam proses komunikasi yang cenderung top down dan searah menyebabkan partisipasi masyarakat kurang efektif, intensitas komunikasi yang rendah menghasilkan lemahnya pemahaman anggota dan pengurus tentang pelaksanaan program serta konvergensi komunikasi yang rendah cenderung kurang berhasil meningkatkan motivasi anggota. Penelitian lain tentang kepuasan petani kedelei pada bimbingan penyuluhan pertanian di Kabupaten Lahat menyimpulkan bahwa penyuluh yang telah membangun kepercayaan (trust) sebagai sumber informasi atau komunikator dianggap telah memberikan informasi sesuai kebutuhan petani dan cukup mudah dipahami (Andawan 2007). Keterlibatan petani dalam program pemberdayaan seperti penyusunan rencana penyuluhan penting diupayakan, sehingga penyuluh tidak hanya melakukan sesuatu untuk petani, tetapi melakukan sesuatu bersama. Petani dilibatkan dalam memberikan masukan dan penyusunan rencana program penyuluhan seperti kebutuhan, keinginan, harapan, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan usaha taninya. Hal ini akan berdampak pada munculnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap program penyuluhan yang dilakukan (Herawati dan Pulungan 2006). Penelitian ini berusaha mengkaji sejauh mana penerapan komunikasi partisipatif untuk membuktikan bottom up dalam SL-PTT. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran keputusan petani untuk menerapkan teknologi. Komunikasi partisipatif sebagai peubah terikat diduga dipengaruhi oleh peubah bebas seperti karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran komunikasi. Penelitian ini mengambil kasus pelaksanaan program SL-PTT di Desa Abbokongeng Kecamatan Kulo Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan. Masalah Penelitian Berbagai program pemberdayaan masyarakat telah dibuat dalam rangka mengembangkan kemandirian masyarakat, khususnya bagi petani di wilayah pedesaan. Salah satunya adalah SL-PTT dengan tujuan untuk peningkatan produksi padi. Kabupaten Sidrap merupakan penghasil padi terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun 2011 lalu, Kabupaten Sidrap mampu melampaui target yakni 499.125 ton beras dari target prognosa gabah kering giling (GKG) sebesar 417.600 ton. Pada tahun 2012, Kabupaten Sidrap kembali memenuhi kebutuhan pangan dari target pengadaan beras GKG yang diberikan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yakni sebesar 206.194 ton (BPKP 2012).
3
Program SL-PTT dalam beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatkan produksi padi. Penelitian Nurawan (2007) menemukan bahwa melalui pendekatan model PTT dengan introduksi varietas unggul dapat meningkatkan produksi padi dan meningkatkan efisiensi usaha tani. Sejalan dengan penelitian Marsudi (2009) bahwa ada perbedaan tingkat efisiensi usaha tani sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi. Penerapan model PTT juga mampu menjaga kelestarian lingkungan (Nurbaeti,dkk 2010). Pendampingan SL-PTT di Bangka Belitung juga dinilai efektif dalam meningkatkan produktivitas dan pendampingan sehingga mampu memenuhi harapan petani (Fachrista & Risfaheri 2013). Nurhayati (2011) mengkaji komunikasi dari sisi karakteristik pemandu lapangan, jenis inovasi, karakteristik petani, dan saluran komunikasi menyebabkan terjadinya perubahan pengetahuan dan sikap peserta SL-PTT. Namun, perubahan tersebut tidak sampai pada tindakan dalam menerapkan teknologi pada lahan usaha tani. Salah satu penyebabnya adalah PRA (Participatory Rural Appraisal) yang tidak dilaksanakan sehingga tidak diketahui secara menyeluruh keadaan setempat mulai dari kekurangan-kekurangan dan hambatan-hambatan. Petani juga tidak memiliki kekuatan dalam menentukan pilihan dalam menerapkan teknologi tersebut karena status mereka sebagai petani penggarap dan petani umumnya masih dibayangi resiko kegagalan apabila mengubah cara-cara berusaha tani mereka. Fakta di atas menjadi dasar dalam penelitian ini untuk mengkaji lebih lanjut proses komunikasi partisipatif yang terjadi dalam SL-PTT sehingga diketahui proses keputusan petani dalam penerapan teknologi. Sisi lain ditunjukkan dari hasil penelitian Sadono (2012) bahwa petani dalam sekolah lapangan di Kabupaten Karawang dan Cianjur masih termasuk kategori kurang berdaya, yang menunjukkan bahwa petani kurang mampu menghadapi tantangan-tantangan pada masa kini yang ada di sekitarnya dalam mengelola usaha taninya. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keberdayaan petani adalah rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok, pola pemberdayaan yang kurang sesuai, kurangnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, rendahnya ciri kepribadian petani pada aspek pengambilan resiko dan kreativitas, dan kurang tersedianya informasi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani padi. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah penelitian ini secara umum bermaksud mengkaji sejauh mana komunikasi partisipatif berperan sebagai kekuatan dalam penerapan teknologi SL-PTT dan menentukan keputusan petani dalam penerapan teknologi di Desa Abbokongeng. Secara rinci masalah penelitian ini adalah : 1. Sejauh mana proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SLPTT ? 2. Bagaimana pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran komunikasi terhadap penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT ? 3. Bagaimana keputusan petani dalam penerapan teknologi PTT ?
4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis proses komunikasi partisipatif petani dalam program SL-PTT di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. 2. Menganalisis pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran komunikasi terhadap tingkat penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. 3. Menganalisis keputusan petani dalam penerapan teknologi PTT di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi untuk: 1. Para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah Kabupaten Sidrap dalam evaluasi sistem penyuluhan pertanian sebagai langkah menuju petani berkualitas dan kesejahteraan yang merata. 2. Para penyuluh pertanian yang melakukan pendampingan kepada petani untuk membantu menyukseskan berbagai program pemberdayaan sehingga tujuan ideal pemberdayaan dapat terwujud serta membantu petani dalam meningkatkan proses belajar sehingga mandiri dalam keputusan terkait pengelolaan usaha tani. 3. Kalangan akademisi, diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penerapan komunikasi partisipatif.
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Singkat SL-PTT Upaya peningkatan produksi padi di Indonesia telah banyak dikembangkan, salah satunya melalui penerapan berbagai macam teknologi. Pada tahun 1950-an hingga 1980-an dikenal konsep revolusi hijau melalui gerakan bimbingan masyarakat (Bimas) dengan tujuan meningkatkan produksi beras. Komponen gerakan Bimas salah satunya adalah penggunaan teknologi yang disebut Panca Usaha Tani, yang terdiri dari penggunaan bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama dan pengairan, kemudian berkembang menjadi Sapta Usahatani yakni penanganan panen dan pasca panen. Gerakan Bimas mampu mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984. Di sisi lain, konsep revolusi hijau memiliki dampak negatif, seperti penurunan kualitas lingkungan karena penggunaan pupuk yang terus menerus dan munculnya jenis hama baru yang resisten. Pada tahun 1990, diperkenalkan bentuk lain dalam sistem penyuluhan pertanian untuk menunjang peningkatan produksi padi yang dikenal sekolah lapangan. Tujuannya adalah mengendalikan hama dengan konsep pengendalian hama terpadu. Tahun 1994, program ini dilaksanakan di lebih dari 10.000 desa dengan nama Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Teknologi PHT
5
mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian yang baik. Prinsipnya adalah budidaya tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pengamatan berkala yang berkesinambungan dan menjadikan petani ahli PHT. SL-PHT adalah suatu metode pendidikan dan partisipasi bagi petani dengan pendekatan partisipatoris, dengan harapan petani lebih mandiri, percaya diri, dan lebih bermartabat sebagai manusia bebas. Fokus kegiatan SL-PHT adalah pengamatan keadaan tanaman, keadaan cuaca, keadaan gulma, umur tanaman, varietas, musuh alami yang ditemukan, populasi organisme pengganggu tanaman (OPT), intensitas serangan OPT maupun serangga lain (Pedoman Teknis Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu, 2007). Pada tahun 2009, Kementerian Pertanian kembali memperkenalkan inovasi sekolah lapangan dalam skala lebih luas, yakni Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dengan tujuan yang sama untuk peningkatan produksi padi. Komponen teknologi PTT sama halnya dengan Panca Usahatani yang sedikit revolusi seperti penggunaan benih unggul, penanaman dengan sistem jajar legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, perlindungan tanaman, dan penanganan panen dan pasca panen. Tujuan SL-PTT adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usaha tani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat. Melalui SL-PTT petani dibimbing secara terpadu dan kerja magang dalam pengelolaan tanaman yang baik dan benar. Komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) adalah: 1. Penggunaan Benih : varietas unggul bermutu (VUB) yang ditanam secara bergantian akan memutus siklus hidup hama dan penyakit. Beberapa jenis varietas unggul padi sawah antara lain IR-64, Ciherang, Ciliwung, Mekongga, Sarinah, Cigeulis, Bondoyudo, dan Batang Piaman. Keuntungannya adalah benih tumbuh cepat dan serempak, jika disemaikan akan menghasilkan bibit yang tegar dan sehat, pada saat ditanam pindah, bibit tumbuh lebih cepat, dan jumlah tanaman optimum sehingga akan memberikan hasil yang tinggi. 2. Penanaman : tepat waktu, serentak dalam populasi optimal. Penanaman yang disarankan menggunakan sistem jajar legowo 2:1 atau 4:1 karena populasi lebih banyak dan produksinya lebih tinggi. Keuntungan cara tanam ini adalah rumpun tanaman yang berada pada bagian pinggir lebih banyak, terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong mas atau untuk mina padi, pengendalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah, pada tahap awal areal penanaman lebih terang sehingga kurang disenangi tikus, dan penggunaan pupuk lebih berdaya guna. 3. Pemupukan : berimbang sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara tanah. Kebutuhan tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). 4. Pengairan Berselang : merupakan pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Tujuannya adalah memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam. Selain itu, pengairan berselang juga memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran
6
hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus. 5. Perlindungan tanaman : menggunakan prinsip dan strategi pengendalian hama terpadu (PHT) dengan paduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit, di antaranya melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat lebih tepat. 6. Panen dan Pascapanen : pada umur dan cara yang tepat, secara kelompok menggunakan mesin yang cocok, hasilnya dikemas dalam wadah dan disimpan di tempat yang aman. Prinsip-prinsip pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yakni terpadu dalam mengelola sumber daya (tanaman, tanah, dan air), sinergis dalam memperhatikan keterkaitan komponen teknologi, spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, partisipatif yakni petani turut berperan serta memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran. Penyuluh lapangan berperan sebagai fasilitator, dinamisator, motivator dan konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkahlangkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya. Selanjutnya, monitoring dan evaluasi oleh penyuluh lapangan yang ditujukan untuk mengikuti, mengetahui kemajuan, pencapaian tujuan ataupun sasaran serta memberikan umpan balik upaya-upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa pertemuan kelompok dalam program SL-PTT yang waktu pelaksanaannya dirundingkan bersama petani peserta sehingga tidak mengganggu atau merugikan waktu petani. Pertemuan tersebut dilakukan oleh pelaksana SLPTT, tempat pertemuan di lokasi pelaksana SL-PTT dan peserta pertemuan adalah petani peserta dipandu oleh penyuluh lapangan. Pertemuan tersebut antara lain PRA (Participatory Rural Appraisal), pertemuan, diskusi, dan temu lapang. Tabel 1 menyajikan pemetaan tahapan pertemuan dalam program SL-PTT. PRA merupakan pendekatan dengan menggunakan metode partisipatif dengan menekankan pengetahuan lokal dan kemampuan masyarakat. PRA memfasilitasi proses saling berbagi informasi, analisis, dan aktifitas antar stakeholders. Faktor lingkungan, ekonomi, sosial, serta budaya pada suatu masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Ada lima kunci utama dalam mengimplementasikan PRA yakni partisipasi, teamwork, fleksibel, efisiensi dalam konteks anggaran dan waktu, serta tim PRA setidaknya menggunakan tiga sumber atau metode (triangulasi) dalam membahas satu topik (Syahyuti 2006). PRA dalam program SL-PTT merupakan pertemuan periodik dimulai beberapa minggu sebelum tanam untuk melihat potensi, kendala, dan peluang. Kabupaten Sidrap sebagai lumbung beras di Sulawesi Selatan mendapat jatah peningkatan produksi sebesar 553 ribu ton pada tahun 2014 dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang telah mencanangkan peningkatan produksi sebanyak 2 juta ton beras. Untuk merealisasikan target tersebut langkah-langkah yang dilakukan adalah semakin mengefektifkan program SL-PTT yang telah berlangsung sejak tahun 2010 hingga saat ini, misalnya antisipasi khususnya terhadap pengendalian hama dan penyakit tanaman padi.
7
Tabel 1. Pemetaan tahapan program SL-PTT di atas ditinjau dari segi komunikasi: No.
Jenis Kegiatan
Bentuk Kegiatan Proses sosialisasi program SL-PTT secara interpersonal atau secara langsung kepada masyarakat di pedesaan atau kepada petani secara khusus melalui kegiatan penyuluhan (bersifat top down).
Pelaku Komunikasi Pihak Kementerian Pertanian diwakili oleh Dinas Pertanian, BPKP, Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat provinsi dan kabupaten, penyuluh pertanian setempat, dan petani.
Materi Komunikasi Membahas program SL-PTT terkait visi dan misi program, bentuk program, tujuan program, peserta program, mekanisme pelaksanaan program, dan peran penyuluh pertanian.
1.
Sosialisasi
2.
PRA
Kegiatan PRA meliputi identifikasi masalah, pemilihan komponen teknologi, dan keputusan teknologi yang dipakai sesuai kondisi wilayah. dan tokoh masyarakat. kepada petani.
Petani, Penyuluh Pertanian, dan Stakeholder lain (Dinas Pertanian, BPKP, dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat kabupaten).
Mengidentifikasi kendala dan masalah yang dihadapi petani sebelum proses tanam dimulai. Serta membahas potensi wilayah dalam menunjang keberhasilan pengelolaan usaha tani padi.
3.
Pertemuan
Pertemuan periodik dilakukan pada saat pengolahan tanah, pembuatan persemaian, pemupukan, pengairan, dan pada saat tanam padi dalam fase anakan maksimum, primordial, bunting, berbunga, pengisian bulir, panen, dan pasca panen.
Pertemuan dihadiri oleh petani, perangkat desa, tokoh masyarakat, penyuluh pertanian, POPT, ketua Gapoktan, ketua kelompok tani, ketua P3K, dan tokoh wanita.
Persiapan petani dalam proses tanam, pelaksanaan, sampai panen dan pasca panen.
8
No 4.
5.
Jenis Kegiatan Diskusi
Bentuk Kegiatan Diskusi dilakukan setiap hari terhadap hasil pengamatan lapangan terkait kondisi padi. Pengamatan dilakukan sendiri oleh petani baik kondisi lahan maupun pertumbuhan kemudian didiskusikan dengan petani lainnya.
Pelaku Komunikasi Diskusi dilakukan antara sesama petani, namun terkadang didampingi oleh penyuluh lapangan.
Materi Komunikasi Mengamati sebanyakbanyaknya perubahan pertumbuhan yang terjadi misalnya: populasi hama dan musuh alaminya, kerusakan tanaman, tingkat hijauan warna daun padi, tinggi tanaman, jumlah rumpun yang diamati.
Temu Lapang
Dilakukan diskusi tentang pelaksanaan SLPTT secara keseluruhan, hasil kajian, dan analisis agroekosistem. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan di lahan percontohan. Temu lapang juga mendiskusikan keberhasilan yang dicapai selama mengikuti program.
Merupakan media komunikasi yang dihadiri oleh petani, penyuluh, petani non SL-PTT dan masyarakat tani pada umumnya.
Untuk memperkenalkan PTT dan alih teknologi kepada masyarakat di sekitas lokasi percontohan. Melalui temu lapang ini, petani peserta juga berbagi informasi tentang dampak yang dirasakan baik sebelum maupun sesudah penerapan teknologi PTT.
Sumber : Adaptasi dari Pedoman Teknis SL-PTT Padi dan Jagung (2013)
Hama pada tanaman padi umumnya adalah serangan hama tikus, penggerek batang, wereng coklat, dan sejumlah jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) lainnya yang selama ini menjadi musuh utama petani. Selain itu, pihak petani juga mendapatkan sejumlah kemudahan yang diberikan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat. Misalnya, sebagai langkah antisipasi pengembangbiakan hama tikus, telah dilakukan gerakan Spot Stop yang sangat ampuh untuk mengendalikan hewan pengerat ini hingga ke bibit-bibitnya. Data riil menyatakan bahwa melalui penerepan teknologi sistem tanam jajar legowo mampu menghasilkan produksi hingga 8,7 juta ton/ha Gabah Kering Panen (GKP) pada tahun 2011 lalu (BPKP, 2011). Lebih khusus, harapan besar disandarkan kepada para penyuluh pertanian sebagai ujung tombak sekaligus jembatan informasi dan teknologi yang dibutuhkan oleh petani, dengan harapan bisa memberikan kontribusi bagi surplus Cadangan Beras Nasional 2014 yakni 10 Juta Ton (Ajatappareng News, 2013).
9
Peran Penyuluh Pertanian Penyuluh pertanian adalah perorangan yang melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, yang menurut UU No. 16 tahun 2006 terbagi menjadi tiga. Pertama, penyuluh pegawai negeri sipil (PNS) merupakan PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Kedua, penyuluh swasta merupakan penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Ketiga, penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya dengan kesadaran sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Tugas pokok penyuluh pertanian menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 meliputi: 1. Melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, meliputi: identifikasi potensi wilayah, memandu penyusunan rencana usaha petani, penyusunan program penyuluhan pertanian, dan penyusunan rencana kerja tahunan penyuluh pertanian. 2. Melaksanakan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan materi, perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian, dan menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani. 3. Evaluasi dan pelaporan, meliputi: evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian, dan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian. 4. Pengembangan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan pedoman/ juklak/juknis penyuluhan pertanian, kajian kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian, dan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian. 5. Pengembangan profesi, meliputi: pembuatan karya tulis ilmiah di bidang pertanian, penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan lain di bidang pertanian, dan pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat konsep kepada institusi dan/atau perorangan. 6. Penunjang tugas Penyuluh Pertanian, meliputi: peran serta dalam seminar/ lokakarya/konferensi, keanggotaan dalam Tim Penilai Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, keanggotaan dalam dewan redaksi penerbitan di bidang pertanian, perolehan penghargaan/tanda jasa, pengajaran/pelatihan pada pendidikan dan pelatihan, keanggotaan dalam organisasi profesi, dan perolehan gelar kesarjanaan lainnya. Sumardjo (2008) menjelaskan bahwa sistem penyuluhan pertanian mengandalkan penyuluh yang berkompeten untuk mewujudkan fungsi sistem penyuluhan sesuai amanat UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Penyuluh pertanian dikatakan berkompeten apabila mampu : 1. Mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan penyuluhan dengan terampil untuk memberdayaan orang-orang dalam upaya meraih kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya. 2. Mengorganisasikan sistem penyuluhan sehingga efektif memfasilitasi masyarakat dengan cermat agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
10
3. Melakukan tindakan yang tepat bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana penyuluhan semula. 4. Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh meski dengan kondisi yang berbeda (lokal spesifik). 5. Mampu mensinergikan kepentingan lokal dengan kepentingan yang lebih luas. Untuk menjalankan peran penyuluh pertanian tersebut, seorang penyuluh harus memiliki karakteristik personal yang mampu meningkatkan partisipasi petani dalam program SL-PTT. Anwas (2009) menyatakan bahwa kompetensi penyuluh mempengaruhi perubahan persepsi dan sikap petani. Kompetensi penyuluh dipengaruhi oleh faktor lingkungan dengan menciptakan suasana yang mendorong penyuluh melakukan proses belajar. Beberapa karakteristik penyuluh yang diduga mempengaruhi komunikasi partisipatif petani dalam program SLPTT sebagai berikut : Pengalaman Penyuluh Ketepatan komunikasi yang tinggi dapat dicapai jika sumber komunikasi memiliki kepercayaan diri dan faktor-faktor kepribadian individu (seperti motivasi, aspirasi) yang tinggi. Selain itu pengalaman menjalani profesi sebagai penyuluh juga menjadi indikator penting dalam keberhasilan proses komunikasi. Pengalaman atau masa kerja merupakan jumlah tahun yang telah dilalui seorang penyuluh dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai penyuluh pertanian, diukur menggunakan skala rasio dalam tahun. Pengalaman akan mempengaruhi perilaku seseorang dan produktivitas kerja. Penelitian Narso (2012) menemukan bahwa masa kerja atau pengalaman berhubungan nyata terhadap persepsinya terkait peran yang dijalankan. Penguasaan Materi Proses komunikasi yang efektif dapat terjadi jika penyuluh memahami materi yang disampaikan. Selain itu, mereka juga dituntut memiliki pengetahuan tentang karakteristik petani, menguasai cara-cara menghasilkan dan memperlakukan pesan-pesan, serta mampu membuat pilihan-pilihan dalam menentukan saluran komunikasi yang tepat untuk berkomunikasi sesuai dengan karakteristik petani. Materi yang disampaikan dalam SL-PTT adalah pengetahuan teknologi PTT yang ditawarkan meliputi penggunaan bibit unggul, penanaman dengan sistem jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, pengendalian hama terpadu, panen dan penanganan pasca panen. Kemampuan Berkomunikasi Yamin (2004) menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan dasar yang dapat dilakukan seseorang pada tahap kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan dasar ini akan dijadikan landasan melakukan proses pembelajaran dan penilaian seseorang. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang penyuluh pertanian adalah kemampuan berkomunikasi, meliputi penggunaan metode dan strategi komunikasi. Misalnya, pada komunitas adat di Teluk Bintuni ditempuh dengan strategi komunikasi melalui peningkatan partisipasi sehingga berani mengeluarkan pendapat, menggunakan pendekatan persuasif yang melibatkan peran serta tokoh adat dan mengembangkan komunikasi partisipatoris dalam komunikasi kelompok (Tahoba 2011).
11
Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan Sejarah Komunikasi Partisipatif Komunikasi pembangunan partisipatif pertama kali digunakan secara resmi dalam sebuah seminar di Amerika Latin pada tahun 1978 yang disponsori oleh Center for Advanced Studies and Research for Latin America (Huesca 2002). Komunikasi partisipatif pertama kali dicetuskan oleh intelektual dari Amerika bernama Paulo Freire yang mengaskan bahwa secara individual atau bersamasama menyuarakan kata-katanya adalah hak semua orang, bukan untuk beberapa orang saja (Freire 1972). Masyarakat dahulu yang termasuk kaum marjinal tidak mampu menyuarakan aspirasinya, kehendak, dan permasalahannya sendiri. Mefalopulos (2003) mengkaji secara mendalam dan membandingkan komunikasi partisipatif secara teoritis dalam literatur dan praktis dalam proyek “Communication in Southren Africa” di Harare, Zimbabwe pada tahun 1994 menemukan bahwa komunikasi partisipatif merupakan pendekatan yang mampu memfasilitasi masyarakat terlibat dalam keputusan tentang isu yang berdampak pada hidup mereka, sebuah proses yang mampu menangani kebutuhan dan akan membantu meningkatkan keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat akar rumput sangat penting untuk meningkatkan kesadaran terkait masalah dan keakraban dengan pemangku kepentingan. Sifat komunikatif yang dimaksud digunakan untuk membangun kepercayaan, pertukaran pengetahuan dan persepsi tentang masalah serta peluang sehingga tercapai konsensus dalam pemecahan masalah dengan semua pemangku kepentingan. Sejalan dengan hasil penelitian Msibi & Penzhorn (2010) tentang komunikasi partisipatif pada pemerintah daerah di Afrika Selatan dengan studi kasus kota Kungwini menemukan bahwa komunikasi partisipatif memegang peranan penting dalam pembangunan daerah. Afrika Selatan mengakui pentingnya pendekatan komunikasi partisipatif dalam pembangunan dengan fokus keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Hal ini karena komunikasi partisipatif memastikan masyarakat adalah bagian dari proses pembangunan. Bessette 2006:13 dalam Msibi & Penzhorn (2010) menambahkan bahwa prinsip pemberdayaan dalam komunikasi partisipatif memungkinkan masyarakat terlibat dalam mengidentifikasi masalah mereka, mencari solusi, dan mengambil keputusan untuk penerapan tindakan dalam pembangunan. Pembangunan di Indonesia sejak terlepas dari belenggu penjajahan dipandang sebagai strategi investasi yang identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuannya adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ini mendapat banyak kritikan karena menimbulkan kerusakan alam, kesenjangan sosial, dan ketergantungan. Dalam paradigma pembangunan ini masyarakat dijadikan sebagai obyek pembangunan. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam paradigma ini kerapkali dilakukan secara topdown. Program yang dicanangkan sering tidak berhasil karena kurang melibatkan masyarakat dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sejak saat itu, komunikasi dikerahkan sebagai saluran informasi dari pemerintah kepada masyarakat untuk menyukseskan tujuan pembangunan. Komunikasi dipandang sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang pembangunan nasional kepada masyarakat agar memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan, dan cara mengadakan perubahan
12
(Nasution 1996). Komunikasi pembangunan adalah proses interaksi seluruh masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi mereka. Dalam hal ini, partisipasi tercipta melalui komunikasi dan dengan komunikasi, pesan-pesan pembangunan dapat disampaikan. Belajar dari kesalahan pembangunan masa lalu, maka diperlukan sebuah strategi komunikasi dalam pembangunan, di antaranya melalui pendekatan pembangunan bottom-up yaitu pendekatan pembangunan dengan ciri keputusan yang berorientasi pada rakyat. Pendekatan ini menuntut adanya partisipasi masyarakat dan diskusi (dialog) yang bersifat terbuka dengan menekankan upaya pemberdayaan (empowerment). Pendekatan semacam ini dapat juga disebut model komunikasi partisipatif. Habermas (1984, 1989 dalam Melkote 2006) menyatakan bahwa model komunikasi partisipatif telah melengkapi kekurangan dari teori partisipasi dengan menggunakan acuan teori tindakan komunikatif untuk memberikan pendekatan analitis terhadap masalah definisi dan skala kegiatan partisipasi termasuk komunikasi (Jacobson, 2003). Di Indonesia, telah ditemukan bahwa pengembangan komunikasi partisipatif dalam komunikasi kelompok di Teluk Bintuni dapat menciptakan iklim komunikasi yang merangsang para partisipan berani mengeluarkan pendapat atau ide pembangunan (Tahoba 2011). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Satriani dan Muljono (2011) tentang komunikasi partisipatif pada program pos pemberdayaan keluarga di kota Bogor yang mengatakan bahwa komunikasi partisipatif dalam Posdaya Kenanga memiliki dampak positif yakni saling berbagai informasi dan pengetahuan, menyelesaikan permasalahan secara bersama dan terjalinnya keakraban sesama kader. Pengertian Komunikasi Partisipatif Komunikasi partisipatif merupakan pendekatan dalam pembangunan yang menggunakan perpaduan model komunikasi satu arah dan dua arah. Komunikasi pembangunan partisipatif diyakni sebagai sebuah pendekatan yang paling menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan, membangun rasa percaya diri dan kemampuan sendiri masyarakat (Rajasunderam 1996 dalam Hadiyanto 2008). Ukuran pembangunan dalam paradigma ini pun lebih menekankan pada pembangunan manusia. Pergeseran atau perubahan paradigma ini lebih memandang komunikasi sebagai proses-proses yang memungkinkan masyarakat lebih aktif dan proses pembangunan itu sendiri dimulai dari rakyat sebagai spirit utamanya (Hadiyanto 2008). Makna komunikasi dalam paradigma komunikasi pembangunan partisipatif adalah pergeseran pesan dengan fokus menginformasikan dan membujuk untuk perubahan perilaku kepada penyediaan fasilitas untuk masyarakat dan pemerintah untuk menentukan masalah bersama. Dalam hal ini terjadi perubahan pendekatan top down, linear dan searah menuju pendekatan horisontal, interaktif dan dialogis. Komunikasi lebih dimanfaatkan untuk membantu proses balajar melalui pertukaran informasi secara transaksional. Masyarakat diharapkan mampu mengidentifikasi kebutuhan akan informasi dan komunikasi sehingga memungkinkan untuk mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok, komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya.
13
Beberapa perbedaan komunikasi pembangunan partisipatif dengan strategi komunikasi lainnya menurut Dagron (2001) antara lain : 1. Komunikasi Horizontal vs Vertikal. Setiap manusia dipandang sebagai individu yang aktif merespon stimulus dalam lingkungan sehingga menjadi subjek yang dinamis bukan pribadi yang pasif dan orang lain yang membuat keputusan kehidupan mereka. 2. Proses vs Kampanye. Masa depan masyarakat berada di tangan mereka yang ditempuh dengan cara dialog dan partisipasi bukan kampanye dari atas yang kurang membangun masyarakat bawah. 3. Jangka Panjang vs Jangka Pendek. Komunikasi dan pembangunan dipandang sebagai proses jangka panjang yang butuh waktu untuk diterima oleh rakyat, bukan jangka pendek yang kurang sensitif terhadap budaya setempat. 4. Kolektif vs Individual. Komunitas desa bertindak secara kolektif untuk memenuhi kepentingan mayoritas, dibandingkan rakyat yang menjadi target secara individual. 5. Dengan vs Untuk. Meneliti, merencanakan dan mendiseminasikan pesan dengan melibatkan rakyat, bukan sekedar untuk rakyat. 6. Spesifik vs Masif. Proses komunikasi disesuaikan dengan komunitas tertentu, seperti bahasa, isi, budaya, dan media yang digunakan, bukan menggunakan teknik, media, dan pesan untuk kelompok yang memiliki budaya dan kondisi sosial yang berbeda. 7. Kebutuhan Rakyat vs Keharusan Pemerintah. Dialog berbasis komunitas dan cara-cara komunikasi untuk membantu mengidentifikasi antara kebutuhan yang dirasakan dengan kebutuhan yang dibutuhkan, bukan atas kehendak dan kepentingan golongan tertentu. 8. Kepemilikan vs Akses. Proses komunikasi merupakan hak setiap rakyat dan memberikan kesempatan yang sama kepada komunitas lain, bukan sekedar memberikan akses yang dikondisikan oleh faktor sosial, politik, atau agama. 9. Penyadaran vs Persuasi. Proses untuk mencapai penyadaran dan pemahaman yang mendalam tentang realitas sosial, masalah, dan solusi, bukan persuasi untuk mengubah perilaku jangka pendek. Sejalan dengan hal yang dikemukakan di atas, Rahim (2004) menyatakan bahwa komunikasi partisipatif dapat diwujudkan dalam bentuk dialog. Esensi dari sebuah dialog adalah pengakuan dan penghormatan terhadap pembicara lain. Setiap pembicara merupakan subjek yang otonom, bukan sebagai obyek komunikasi serta memiliki hak yang sama untuk berbicara dan untuk didengar, mengharapkan suara mereka tidak ditekan atau digabung dengan suara lain. Hal tersebut adalah bentuk ideal komunikasi partisipatif di mana didapatkan benang merah dari kesatuan dan keragaman suara yang menghubungkan kepentingan umum masyarakat. Dialog merupakan prinsip berlangsungnya proses komunikasi partisipatif di mana setiap peserta memberikan usulan dalam bentuk komunikasi horizontal dengan tujuan untuk mendapatkan strategi komunikasi dalam menghadapi kesenjangan yang ada dan merangkum solusi yang ada. Bahasan dalam dialog tidak hanya bersifat informatif namun lebih luas pada tataran yang mengidentifikasi masalah, menganalisisnya, serta menemukan solusi atas
14
permasalahan yang terjadi dengan mengedepankan kearifan lokal masyarakat setempat. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain (Tufte 2009). Pendekatan model komunikasi partisipatif menempatkan martabat petani secara lebih layak. Keberadaan petani dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi yang tinggi (Sumardjo 2007). Pendekatan ini merupakan partisipasi baik vertikal maupun horizontal. Artinya, keputusan di tingkat perencana program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah (sasaran pembangunan) tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak manusia. Hadiyanto (2008) menyatakan pendekatan komunikasi partisipatif akan mengalami kegagalan jika tidak memenuhi prasyarat sebagai berikut : 1. Perlunya ditumbuhkan keyakinan bahwa setiap individu atau kelompok memiliki hak untuk berpartisipasi secara penuh dalam membuat keputusan. Masyarakat bukan sebagai obyek pembangunan tetapi sebagai subyek yang aktif dalam seluruh proses pembangunan. Selain itu, diperlukan kerelaan dari pihak pemerintah, lembaga masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan dalam kegiatan pembangunan untuk berbagi kekuasaan. 2. Komunikasi pembangunan partisipatif harus menjamin terwujudnya kerjasama timbal balik pada setiap tingkatan partisipan. Artinya, setiap pihak harus berusaha manghargai dan menghormati pendapat dan sikap orang lain, serta memiliki rasa saling percaya. Komunikasi partisipatif lebih berpusat pada penciptaan makna bersama yang menitikberatkan pada tercapainya konsensus atau kesepakatan. 3. Komunikasi pembangunan partisipatif harus mampu menempatkan semua pihak sebagai partisipan yang setara sehingga tidak ada dominasi dalam arus informasi dari salah satu pihak. Setiap pihak seperti pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat sama-sama memposisikan dirinya sebagai aktor komunikasi. Setiap pihak adalah mitra sejajar yang memiliki semangat saling berbagi. 4. Komunikasi pembangunan partisipatif menghasilkan keputusan secara demokratis melalui proses interaksi dan transaksi secara terus-menerus sehingga konsensus dapat dipertahankan. Komunikasi harus berlangsung dalam suasana dialogis dan terbuka, bebas dari tekanan, dan setiap yang terlibat mengambil manfaat sesuai kontribusinya secara adil. 5. Komunikasi pembangunan partisipatif harus mampu membuka akses dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan semua media komunikasi yang tersedia. Berdasarkan kajian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi partisipatif memiliki unsur-unsur berupa kebebasan, kesamaan hak, dan kesamaan akses. Setiap individu berhak mengeluarkan pendapat, didengarkan pendapatnya, dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk berpendapat tanpa harus ditekan atau disatukan dengan suara orang lain. Komunikasi partisipatif yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada sejauh mana penerapan komunikasi partisipatif berupa dialog antara petani dan penyuluh
15
sebagai pendamping dalam setiap tahapan program SL-PTT untuk keputusan menerapkan teknologi. Diduga bahwa keberhasilan dalam melakukan proses dialog SL-PTT terjadi apabila penyuluh dan petani memiliki kedudukan dan kekuatan (power) yang sama. Petani maupun penyuluh dituntut memiliki pengetahuan diantaranya terdiri dari prinsip-prinsip (Havelock 1971): 1. Keterkaitan (linkage) yakni jumlah, variasi dan interaksi sistem sumber dan pengguna, tingkat interelasi dan hubungan dalam pemecahan masalah. 2. Struktur yakni derajat sistematika organisasi dan koordinasi antara sistem, sumber, sistem pengguna, dan strategi penyebaran dan penggunaan informasi. 3. Keterbukaan yakni keyakinan bahwa perubahan memang dikehendaki dan dimungkinkan, kesediaan dan kesiapan menerima bantuan pihak lain, kesediaan dan kesiapan mendengarkan kebutuhan pihak lain dan memberi bantuan dan suasana sosial yang kondusif untuk perubahan. 4. Kapasitas yakni kemampuan untuk mengerahkan dan menginvestasikan berbagai sumberdaya: modal, kekuasaan, ukuran perhatian, intelegensi, pendidikan, dan pengalaman. 5. Imbalan (reward) yang diterima misalnya dari segi kekerapannya, kesegarannya, jumlahnya, kemanfaatnya, dan karirnya. 6. Kedekatan yakni keakraban, keserupaan dari segi waktu, tempat dan konteks. Hughes et al. (2009) menyebutkan beberapa sumber kekuasaan yang mampu mempengaruhi orang lain, seperti kekuasaan memaksa (Coercive Power), kekuasaan memberi imbalan (Reward Power), kekuasaan resmi (Legitimate Power), kekuasaan karena ahli (Expert Power), dan kekuasaan karena pantas dijadikan contoh (Referent Power). Berdasarkan hal tersebut, penyuluh pertanian setidaknya memiliki kekuasaan karena ahli dan kekuasaan karena pantas dijadikan contoh sehingga mampu mempengaruhi petani ikut berpartisipasi aktif dalam proses dialog. Kekuasaan karena ahli timbul pada diri penyuluh karena ia memiliki keahlian, keterampilan atau pengetahuan khusus dalam bidang pertanian. Sedangkan kekuasaan karena pantas dijadikan contoh timbul karena ia memiliki sumber daya, kepribadian yang menarik, atau karisma tertentu. Kekuasaan ini diduga dapat menimbulkan kekaguman pada petani. Misalnya seorang penyuluh dengan kepribadian menarik dan bersifat baik membuat petani enggan menolak ajakan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan dalam SL-PTT. Proses Komunikasi Partisipatif Berlo (1960) memberikan definisi proses sebagai gejala atau fenomena yang berhubungan dengan peristiwa dan hubungan yang bersifat dinamis dalam interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur meliputi sumber komunikasi, pesan, saluran, dan penerima pesan. Dalam komunikasi partisipatif, tidak ada yang berperan sebagai sumber komunikasi maupun penerima pesan, namun keduanya bertindak sebagai partisipan. Berikut unsur-unsur tersebut :
16
1. Partisipan komunikasi Partisipan komunikasi dalam penelitian ini meliputi petani, penyuluh pertanian, dan pemerintah Kabupaten Sidrap. Beberapa karakteristik petani yang diduga mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam penelitian ini antara lain : a. Umur. Umur petani berkaitan erat dengan tingkat perkembangannya dalam berpikir sehingga turut mempengaruhi mekanisme belajar dan kematangan otak. Data P3PK (1998 dalam Purnaningsih 2006) menyebutkan bahwa sebagian besar petani Indonesia sekitar 76,2% berusia 25 sampai 54 tahun, dan sebagian kecil sekitar 21,46% berusia di atas 55 tahun. Penelitian Aminah (2013) menemukan bahwa umur produktif memungkinkan petani ikut serta dan terlibat aktif dalam program pemberdayaan, memiliki kemampuan menyerap berbagai informasi dan inovasi untuk diterapkan ketika berusaha tani. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, diduga bahwa petani yang berusia lebih tua akan memiliki perbedaan perilaku dalam dialog untuk keputusan dengan petani yang berusia lebih muda. b. Tingkat Pendidikan Formal. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan dapat membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan cara berpikir ilmiah sehingga diharapkan petani dapat melakukan proses belajar mengambil keputusan. Tingkat pendidikan diduga mempengaruhi kemampuan menyatakan pendapat. Penelitian Aminah (2013) menemukan bahwa pendidikan formal petani yang rendah menyebabkan wawasan yang terbatas dan kreatifitas yang menurunkan produktivitas padi. c. Pengalaman Berusaha tani. Pengalaman merupakan pengetahuan yang diperoleh petani selama proses belajar dalam mengelola usaha taninya. Pengalaman akan mempengaruhi perilaku seseorang. Penelitian Sadono (2012) menemukan bahwa petani dengan pengalaman berusaha tani rata-rata 25 tahun memiliki perilaku dan kemampuan petani dalam mengelola usaha taninya. d. Luas Lahan. Lahan pertanian merupakan aset dan sumberdaya alam di mana petani menggantungkan kehidupan mereka. Lahan pertanian yang digarap oleh petani mempengaruhi konsep diri, terutama dalam menentukan jenis produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usaha pertanian. Tingkat penguasaan lahan petani merupakan faktor produksi yang memegang peran penting dalam meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan keberdayaan petani. e. Status Sosial, merupakan derajat yang dimiliki petani dalam sistem sosial. Status sosial petani dalam hal kepemilikan lahan diduga akan mempengaruhi partisipasi petani dalam proses penerapan dialog dalam program SL-PTT. Lahan pertanian merupakan aset dan sumberdaya alam di mana petani menggantungkan kehidupan mereka. Lahan pertanian yang digarap oleh petani juga akan mempengaruhi konsep diri, terutama dalam menentukan jenis produksi dan pendapatan yang diperoleh dari usaha pertanian.
17
Partisipan harus memiliki keterampilan berkomunikasi, khususnya komunikasi berbicara, mendengarkan dan berpikir. Keterampilan berpikir menjadi penting karena menentukan kemampuan individu atau partisipan dalam melakukan interpretasi terhadap informasi yang akan menghasilkan makna. Keterampilan berkomunikasi ditunjukkan dengan penggunaan metode dan strategi komunikasi yang tepat. Penelitian Tahoba (2011) tentang strategi komunikasi pada komunitas adat di Teluk Bintuni adalah melalui peningkatan kesadaran partisipasi pembangunan dengan cara melakukan pendekatan persuasif yang melibatkan peran serta tokoh adat, menciptakan iklim komunikasi yang dapat merangsang partisipan berani mengeluarkan pendapat serta mengembangkan komunikasi partisipatoris dalam komunikasi kelompok. 2. Pesan atau materi Keberhasilan sebuah pembangunan ditunjang oleh proses komunikasi yang efektif. Komunikasi harus didesain sedemikian rupa agar pesan yang ingin disampaikan kepada petani dapat dimaknai. Salah satu kesalahan pembangunan pada masa lalu adalah penggunaan model pembangunan di mana proses perencanaan dan keputusan secara top-down. Diperlukan sebuah strategi komunikasi dalam pembangunan, di antaranya melalui pendekatan pembangunan bottom-up yang menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menekankan upaya pemberdayaan. Penelitian Kifli (2007) tentang strategi komunikasi pembangunan pada komunitas dayak di Kalimantan Barat menemukan bahwa berbagai bentuk materi komunikasi yang selama ini tersedia, ternyata belum dapat dipahami atau diakses dengan optimal oleh orang Dayak. Materi komunikasi dari dari media cetak atau bahkan elektronik (seperti brosur, leaflet, majalah, radio, dan televisi) tidak dapat diakses karena keterisoliran geografis dan kendala. 3. Saluran komunikasi Berlo (1960) membedakan saluran komunikasi untuk komunikasi antarpribadi dan komunikasi bermedia. Penelitian ini berfokus pada komunikasi antarpribadi tatap muka atau face to face antara penyuluh pertanian dan petani. Saluran komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah media lain selain kegiatan dalam tahapan program. Hal ini bertujuan untuk melihat tingkat keakraban penyuluh pertanian dan petani dalam melakukan dialog yang tidak hanya berlangsung pada pertemuan yang digelar. Keakraban lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya tarik penyuluh pertanian berdasarkan penilaian petani terkait kemampuan menjalin hubungan akrab. Hal tersebut ditunjukkan dengan sikap petani yang tidak segan dalam mengemukakan pendapat, saran, ide, maupun pertanyaan di berbagai lokasi, tidak hanya pada pertemuan yang direncanakan. Hasil penelitian Susanty (2013) fasilitator yang memiliki kemampuan menjalin keakraban menyebabkan responden tidak merasa segan dalam mengemukakan pendapat, mudah diajak bekerja sama, dan tercipta suasana yang santai.
18
Komunikasi Partisipatif di Ruang Publik Proses komunikasi dengan prinsip demokrasi tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara dengan kesempatan yang sama tentang masalah pribadi ataupun kelompok, keinginan dan keyakinannya (Habermas, 1984). Namun, proses komunikasi yang ideal akan dicapai dari pendapat pribadi atau kelompok yang berkembang dalam debat rasional kritis dalam sebuah ruang publik. Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang yang berusaha mewujudkan keseimbangan terhadap kekuasaan politik dan ekonomi. Ruang publik juga sebagai jembatan antara penguasa dan masyarakat, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialig dalam ruang publik. Hanya melalui ruang publik, masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya dengan harapan akan diakomodir oleh penguasa atau pemerintah. Ruang publik hanya dapat mencapai fungsinya jika tercipta situasi yang ideal untuk berdialog, yakni keadaan di mana masalah/topik yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Situasi yang ideal yakni kebenaran tidak menjadi obyek dari kepentingan tersembunyi, melainkan muncul lewat argumentasi. Masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Pertama, kepentingan teknis yakni kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Kedua, kepentingan interaksi yakni kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup. Habermas menamakannya kepentingan “praktis”, mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Ketiga, kepentingan kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”. Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep ruang publik di atas. Hardiman (1993) menambahkan bahwa hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi.
19
Penelitian Terdahulu terkait Sekolah Lapangan dan Komunikasi Partisipatif Tabel 2. Penelitian terdahulu tentang sekolah lapangan dan komunikasi partisipatif Peneliti/Tahun/Judul
Temuan Penting
1. Fachrista, dkk/ 2013/ Strategi Pengembangan Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Bangka Belitung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produktivitas mencapai 1,13 t/ha (tahun 2010). Komponen PTT yang diadopsi seperti penggunaan varietas unggul, bibit muda, tanam 1-3 bibit per rumpun, pengolahan lahan, penggunaan mesin pertanian serta panen tepat waktu. Alternatif strategi pengembangan SL-PTT adalah peningkatan kualitas pendamping, peningkatan sarana dan prasarana pendamping, reorientasi dan restruktisasi pelaksana pendamping, serta meningkatkan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait. Penerapan komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan petani dan proses pembelajaran petani tergolong rendah. Komunikasi partisipatif atau dialog rendah pada tahap pelaksanaan, perencanaan, monitoring dan evaluasi dan kesetaraan dalam dialog. Hal tersebut dipengaruhi oleh kualitas program, intensitas peran pendamping dan karakteristik petani. Untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran petani maka perlu dilakukan penyuluhan partisipatif dengan dialog sebagai sarana utama berbagi informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan antara petani dan stakeholders. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengetahuan petani meningkat, terjadi perubahan sikap dan tindakan dalam menerapkan semua komponen program (kecuali sistem tanam jejer legowo karena jarak tanam tersebut bisa mengurangi jumlah produksi padi), keterampilan juga meningkat yakni petani mampu memilih dan mengusahakan bibit unggul bermutu, penanaman, penanganan panen dan pasca panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi petani dalam kegiatan kelompok rendah karena kelompok kurang melibatkan anggota dalam kegiatan (kurang partisipatif), kurang tepatnya pola pemberdayaan dan lemahnya ciri kepribadian petani, rendahnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi serta kurang tersedianya informasi pertanian. Kurang berdayanya petani berdampak pada lemahnya keberlanjutan usaha.
2. Aminah/ 2013/ Model Komunikasi Partisipatif untuk Keberdayaan Petani Kecil dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Halmahera Barat.
3. Lestari, dkk/ 2012/ Respon petani terhadap program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) Padi Sawah di Desa Pulau Birandnag, Kampar Timur.
4. Sadono/ 2012/ Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
20
Peneliti/Tahun/Judul 5. Nurhayati/ 2011/ FaktorFaktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi dalam Sekolah Lapang Padi di Cikarawang, Bogor Barat.
6. Nurbaeti, dkk/ 2010/ Penerapan Model Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi diSumendang.
7. Hadiyanto/ 2009/ Desain Pendekatan Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Peternak Domba Rakyat.
8. Marsudi/ 2009/ Petani Peserta Sekolah Pengelolaan Terpadu (SL-PTT) Kabupaten Ngawi.
Evaluasi Program Lapangan Tanaman Padi di
Temuan Penting Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan pengetahuan (kognitif) dan perubahan sikap peserta SL-PTT namun tidak sampai pada perubahan tindakan dalam menerapkan teknologi pada lahan usahatanonya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh PRA yang tidak dilaksanakan sehingga tidak diketahui secara menyeluruh keadaan setempat mulai dari kekurangan dan hambatan yang dirasakan. Hasil yang dicapai adalah: 1) sebagian petani belum melaksanakan PTT sesuai anjuran karena petani masih ragu untuk menerima teknologi baru, terutama dalam cara tanam legowo, 2) penerapan PTT dapat meningkatkan hasil panen (GKP) 15 % dan efisiensi masukan produksi terutama dalam penggunaan benih dan pupuk, 3) peluang penerapan ditingkat pengguna dapat ditingkatkan melalui perbaikan aspek teknologi pengaturan air, penggunaan jerami padi atau bahan organik lain dan penggunaan alat perontok gabah, dan 4) strategi pengembangan model PTT adalah melaksanakan unit-unit percontohan di wilayah kerja PPL bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan komunikasi langsung melalui pertemuan kelompok masih efektif yang didukung dengan pemberian media cetak leaflet untuk meningkatkan pengetahuan. Leaflet dirancang dengan kombinasi foto dan teks ringkas dengan perlakuan sebabakibat dan format pesan informasional, argumentatif, dan memotivasi peternak. Peternak yang memperoleh leaflet lebih fokus pada pesan yang tertulis dengan ilustrasi foto yang membantu daya ingat sehingga peningkatan pengetahuan lebih nyata. Terdapat perbedaan tingkat efisiensi usahatani sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi terlihat dari perbandingan R/C sebelum SLPTT adalah sebesar 1,56, sedangkan setelah SLPTT adalah sebesar 1,88. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah penggunaan benih unggul, keikutsertaan petani, penggunaan pupuk, biaya (sewa lahan, pengairan, pajak dan iuran) sudah tidak efisien lagi.
21
Peneliti/Tahun/Judul 9. Nurawan/ 2007/ Peningkatan Produksi Padi dengan Pendekatan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu, Analisis Usahatani dan Respons Petani terhadap Komponen Teknologi PTT Padi.
Temuan Penting Penerapan teknologi PTT dapat meningkatkan produksi padi, diperoleh keuntungan sebesar Rp 5.432.200 dan non PTT Rp 2.316.200, dan petani di dea Clulu (Kab. Ciamis) sangat respon terhadap komponen teknologi dengan model PTT terutama komponen cara tanam jajar legowo dan varietas Ciherang, umur bibit 20 hari, dan penggunaan Bwd, terbukti dengan bertambahnya luas lahan yang menggunakan teknologi tersebut.
10. Mefalopulos, P/ 2003/ Theory and Practice of Participatory Communication (The case of the FAO Project “Communication for Devolopment in Southern Africa”)
Komunikasi partisipatif merupakan pendekatan yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebuah proses yang mampu menangani kebutuhan dan akan membantu meningkatkan keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat akar rumput sangat penting untuk meningkatkan kesadaran terkait masalah dan keakraban dengan pemangku kepentingan.
Berdasarkan review beberapa hasil penelitian di atas, belum ditemukan penelitian yang mengkaji komunikasi partisipatif dari sudut pandang pelaksanaan dan penguatan dialog sebagai ciri komunikasi partisispatif pada program sekolah lapangan tahap PRA, pertemuan, diskusi, dan temu lapang untuk mewujudkan tujuan program yang bersifat bottom up. Program SL-PTT dirancang untuk meningkatkan produktivitas padi dan kemandirian petani dalam menganalisis masalah dan mencari solusi sendiri untuk peningkatan usaha tani. Dengan demikian, penelitian ini memiliki kebaruan dalam hal fokus dan lokasi penelitian.
22
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Penelitian ini menganalisis keputusan petani dalam adopsi (penerapan) teknologi pada program SL-PTT di mana pengambilan keputusan merujuk pada proses penerapan komunikasi partisipatif. Komunikasi partisipatif merujuk pada konsep komunikasi pembangunan bersifat partisipatif yang tidak hanya sebatas hadir dalam berbagai pertemuan, tetapi lebih kepada menempuh cara-cara dialog dalam keputusan (Rahim 2004). Komunikasi partisipatif mengarahkan petani sebagai sasaran dalam menganalisis sendiri masalahnya, menetapkan tujuan, menemukan solusi, dan mengambil keputusan (tindakan). Tujuan utama pelaksanaan komunikasi partisipatif adalah sejauh mungkin menempuh cara-cara dialog dalam mengidentifikasi masalah dan menemukan solusi untuk keputusan pengelolaan usaha tani. Upaya tersebut melalui proses belajar yang mengedepankan dialog antara penyuluh pertanian dan petani. Adapun tujuan program SL-PTT adalah percepatan adopsi teknologi untuk peningkatan produksi padi. Letak penelitian ini adalah melihat dan menganalisis penerapan komunikasi partisipatif dalam setiap tahapan SL-PTT untuk mencapai keputusan petani untuk menerapkan teknologi. Komunikasi partisipatif merupakan peubah tidak bebas yang dipengaruhi oleh peubah karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran komunikasi dalam program SL-PTT. Petani dan penyuluh pertanian dalam tataran komunikasi partisipatif bertindak sebagai partisipan, keduanya harus mempunyai keterampilan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, dan memperhatikan kondisi sosial budaya. Seorang penyuluh pertanian berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2006 dalam menjalankan perannya harus memahami cara atau metode dalam penyampaian pesan, menguasai materi yang diberikan, dan memberikan materi sesuai dengan kebutuhan petani, mencari informasi inovasi melalui berbagai saluran komunikasi serta memiliki kemampuan berkomunikasi secara dialogis. Selain itu, penyuluh pertanian bersama-sama dengan petani diharapkan mampu membuat perencanaan yang baik terkait kegiatan penyuluhan dalam mencapai ketepatan komunikasi. SL-PTT merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memberdayakan petani dalam menunjang produktivitas usaha tani. Kabupaten Sidrap yang juga melaksanakan program SL-PTT sejak tahun 2010 sampai saat ini menunjukkan peningkatan produksi padi. Pada tahun 2012 lalu, Kabupaten Sidrap memenuhi kebutuhan pangan dari target pengadaan beras GKG yang diberikan pemerintah provinsi sebesar 206,194 ton (BPKP 2012). Sama halnya dengan sekolah lapangan sejenis SL-PTT di Sub-Sahara Afrika menunjukkan dampak dalam hal pengurangan pestisida, peningkatan produktivitas, peningkatan pengetahuan petani dan pemberdayaan petani. Sekolah lapangan (farmer field schools) mampu memberdayakan petani sebagai ahli teknis sendiri dalam pengelolaan usaha taninya. Petani dapat mendiagnosa sendiri masalah yang dihadapi sampai menemukan solusi sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk eksplorasi dan belajar dalam kelompok (Davis 2008).
23
Lokasi berbeda di Kabupaten Karawang dan Cianjur menunjukkan bahwa sekolah lapangan kurang mampu memberdayakan petani dalam mengelola usaha taninya. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok, pola pemberdayaan yang kurang sesuai, kurangnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, rendahnya ciri kepribadian petani, dan kurang tersedianya informasi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani padi (Sadono 2012). Peubah dalam penelitian ini meliputi karakteristik petani (X1) meliputi umur, tingkat pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, luas lahan garapan, dan status sosial. Peubah lain yang dianggap mempengaruhi adalah karakteristik penyuluh (X2) meliputi penguasaan materi komunikasi dan keterampilan berkomunikasi penyuluh. Serta peubah saluran komunikasi (X3) yakni media atau saluran lain yang dipakai selain tahapan SL-PTT. Adapun peubah terikat dalam penelitian ini adalah proses penerapan komunikasi partisipatif (dialog) pada tahapan SL-PTT meliputi tahap PRA, pertemuan, diskusi, dan temu lapang. Peubah komunikasi partisipatif (Y1) diukur dengan kesempatan berdialog, keaktifan petani bertanya/memberi saran, tanggapan penyuluh, dan keterlibatan petani dalam proses pengambilan keputusan. Peubah terikat (Y2) adalah keputusan petani dalam menerapkan teknologi yang diukur dengan indikator tidak menerapkan, menerapkan sebagian, dan menerapkan sepenuhnya. Hubungan antar peubah yang menjadi kerangka pemikiran penelitian ini selengkapnya dijelaskan dalam Gambar 1. Karakteristik Petani (X1) : (X1.1) Umur (X1.2) Tingkat Pendidikan (X1.3) Pengalaman Berusaha tani (X1.4) Luas Lahan (X1.5) Status Sosial Karakteristik Penyuluh (X2) : (X2.1) Penguasaan Materi PTT (X2.2) Kemampuan berkomunikasi
Saluran Komunikasi (X3) : (X3.1) Media lain selain Tahapan SL-PTT
Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif (Dialog) dalam SL-PTT (Y1) (Y1.1) Kesempatan berdialog (Y1.2) Keaktifan petani bertanya/ memberi saran (Y1.3) Tanggapan penyuluh (Y1.4) Keterlibatan petani dalam proses pengambilan keputusan
Keputusan Penerapan Teknologi (Y2)
Peningkatan Produksi Padi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Komunikasi Partisipatif dalam Program SL-PTT.
24
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian berikut : 1. Proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran Komunikasi. 2. Keputusan petani dalam penerapan teknologi PTT dipengaruhi secara nyata oleh proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SLPTT.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini didesain dengan metode survei yang bertujuan untuk menganalisis dan menerangkan sejauh mana proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT. Berdasarkan tujuan penelitian maka penelitian ini berbentuk deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik petani, karakteristik penyuluh, saluran komunikasi, proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT, dan keputusan petani terkait penerapan teknologi. Penelitian survei dibatasi pada sampel yang mewakili populasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menelaah pengaruh antar peubah bebas terhadap peubah terikat yang dijelaskan dalam kerangka pemikiran. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mencari keakuratan fakta di lapangan dengan interpretasi yang tepat. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Maret-April 2014. Kabupaten Sidrap merupakan penghasil padi terbesar di Sulawesi Selatan sehingga mendapatkan predikat sebagai penyangga pangan untuk Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih karena : 1. Informasi dari Balai Penyuluhan Pertanian Kota Sidrap bahwa Desa Abbokongeng merupakan salah satu desa yang memiliki petani dan kelompok tani yang aktif dan ulet. 2. Desa Abbokongeng merupakan pusat pemberdayaan program SL-PTT dengan peluang pengembangan usaha tani padi yang besar. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah anggota kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan) Abbokongeng yang ada di lokasi penelitian dan mengikuti kegiatan SL-PTT secara rutin. Ada beberapa kelompok tani yang mengikuti kegiatan SL-PTT di lokasi penelitian yakni kelompok tani Sibali
25
Resoe, kelompok tani Massimpuloloe, kelompok tani Rijang Ledeng, dan kelompok tani Salo Inru. Semua anggota kelompok tani tersebut terlibat dalam kegiatan SL-PTT. Berikut tabel jumlah keseluruhan populasi dalam penelitian: Tabel 3. Jumlah populasi yang mengikuti program SL-PTT di Desa Abbokongeng tahun 2014 Nama Kelompok Tani Jumlah Anggota (orang) Sibali Resoe Massimpuloloe Rijang Ledeng Salo Inru JUMLAH
30 17 16 17 80
Sumber : Data PPL Desa Abbokongeng, 2013
Adapun sampel dalam penelitian dipilih secara sensus yakni semua anggota kelompok tani yang mengikuti kegiatan SL-PTT diambil sebagai sampel yakni sebanyak 80 responden. Alasan pengambilan sampel dengan sensus adalah untuk mengumpulkan data yang representatif dari populasi. Selain itu, kepercayaan bahwa dengan mengambil keseluruahan anggota populasi maka akan diperoleh kualitas data yang baik. Data dan Instrumen Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data yang dikumpulkan terkait dengan peubah dalam penelitian yakni adalah karakteristik personal petani (X1), karakteristik penyuluh (X2), saluran komunikasi petani (X3), proses penerapan komunikasi partisipatif dalam setiap tahapan program(Y1) dan keputusan petani dalam penerapan teknologi (Y2). Data primer dihimpun dari data yang diperoleh melalui kuesioner, FGD, observasi, wawancara langsung baik kepada responden maupun informan. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi setempat, yaitu dari kantor Desa Abbokongeng berupa data keadaan umum, Balai penyuluhan pertanian kota Sidrap, dan Dinas Pertanian Kota Sidrap. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu karakteristik personal petani (diukur melalui umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, luas lahan garapan, dan status sosial). Karakteristik penyuluh (diukur melalui penguasaan materi komunikasi dan kemampuan berkomunikasi penyuluh). Saluran komunikasi (diukur melalui media lain untuk berkomunikasi selain tahapan program). Komunikasi partisipatif petani dalam program SL-PTT (diukur melalui kesempatan berdialog, keaktifan petani bertanya/memberi saran, tanggapan penyuluh, dan keterlibatan petani dalam proses pengambilan keputusan dalam tahapan program seperti PRA, pertemuan kelompok, diskusi, dan temu lapang) dan keputusan petani dalam penerapan teknologi. Secara umum gambaran data dan metode pengumpulan data penelitian dapat dipetakan dalam tabel berikut ini.
26
Tabel 4. Data, Sumber Data, dan Metode Jenis Data/Informasi Sumber Data 1. Profil Desa : Kepala Desa Kondisi umum desa, geografis dan letak wilayah desa, kependudukan, mata pencaharian, kelembagaan, sarana dan prasarana. 2. Karakteristik Petani : Petani yang mengikuti a. Umur kegiatan SL-PTT dengan b. Tingkat Pendidikan jenis sawah irigasi sebagai c. Pengalaman Berusahatani responden d. Luas Lahan e. Status Sosial 3. Karakteristik Penyuluh : • Data penguasaan materi a. Penguasaan Materi dan kemampuan b. Kemampuan berkomunikasi berkomunikasi penyuluh didapatkan dari petani responden • Data Masa Kerja Penyuluh didapatkan dari Penyuluh 4. Saluran komunikasi Petani Responden dan Penyuluh yang bertugas di Desa Abbokongeng 5. Proses Penerapan Komunikasi Petani Responden dan Partisipatif : Penyuluh Pertanian yang a. Kesempatan Berdialog bertugas di Desa b. Keaktifan bertanya Abbokongeng c. Tanggapan penyuluh d. Keterlibatan petani dalam pengambilan keputusan 6. Keputusan Penerapan teknologi Petani Responden
7. Data Sekunder Pelaksanaan SLPTT di Kabupaten Sidrap dan Efisiensi Usahatani Sebelum dan Sesudah SL-PTT 8. Data Sekunder Pelaksanaan SLPTT di Desa Abbokongeng 9. Data Sekunder riwayat dan kredibilitas penyuluh pertanian yang bertugas di Desa Abbokongeng
Dinas Pertanian, Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Sidrap Laporan Penyuluh yang bertugas, Kantor Kecamatan Kulo, Tokoh Adat Desa, Petani Secara umum, Kepala Desa, Kepala BPKP Kabupaten Sidrap
Metode • Wawancara • StudiDokumentasi
• Kuesioner • Wawancara • Observasi
• Kuesioner • Wawancara • Observasi
• Kuesioner • Wawancara • • • •
Kuesioner Wawancara Observasi FGD
• • • • • •
Kuesioner Wawancara Observasi FGD Studi Dokumentasi Wawancara
• • • • • •
Studi Dokumentasi Wawancara FGD Wawancara Studi Dokumentasi FGD
27
Definisi Operasional Definisi operasional dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengumpulan data dan memberikan pengertian yang sama terhadap pemahaman peubah dan indikator yang diteliti. Definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5. Peubah, Definisi Operasional dan Kategori Pengukuran Karakteristik Petani Peubah/Indikator Definisi Operasional Kategori Umur (X1.1)
Umur adalah usia responden saat penelitian dilakukan.
18-29 tahun (Muda) 30-49 tahun (Dewasa) ≥ 50 tahun (Tua)
Tingkat Pendidikan (X1.2)
Tingkat pendidikan adalah proses belajar formal yang dimiliki responden menurut jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SMA.
0-6 tahun (Rendah) 7-12 tahun (Sedang) >12 tahun (Tinggi)
Pengalaman Berusaha tani (X1.3)
Pengalaman berusatani adalah lamanya (tahun) responden terlibat dalam pengelolaan usaha tani padi sawah sampai saat penelitian dilakukan.
< 20 tahun (Baru) 20-40 tahun (Sedang) > 40 tahun (Lama)
Luas Lahan Garapan (X1.4)
Luas lahan yang diusahakan untuk bertani padi sawah dalam ukuran ha.
< 1 ha (Sempit) 1 ha – 2 ha (Sedang) > 2 ha (Luas)
Status Sosial (X1.5)
Status kepemilikan lahan responden yang dijadikan lahan pengelolaan usaha tani.
Penggarap Bagi Hasil Milik Sendiri
Tabel 6. Peubah, Definisi Operasional dan Kategori Pengukuran Karakteristik Penyuluh Peubah/Indikator Definisi Operasional Kategori Penguasaan Materi (X2.1)
Kemampuan berkomunikasi (X2.2)
Penilaian petani terhadap kemampuan penyuluh dalam menyampaikan materi komunikasi dengan baik dalam tahapan program. Diukur dari persepsi petani. Penilaian petani terhadap kemampuan penyuluh dalam membangkitkan partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan. Diukur dari persepsi petani.
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Sedang Tinggi
28
Tabel 7. Peubah, Definisi Operasional dan Kategori Pengukuran Saluran Komunikasi Peubah/Indikator Definisi Operasional Kategori Media Lain (X3.1)
Jenis media yang digunakan dalam berkomunikasi selain melalui tahapan program, baik antar petani maupun antar petani-penyuluh.
Tidak sesuai Sesuai Sangat Sesuai
Tabel 8. Peubah, Definisi Operasional dan Kategori Pengukuran Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif dalam SL-PTT Peubah/Indikator Definisi Operasional Kategori Kesempatan Berdialog (Y1.1)
Keaktifan Petani bertanya dan atau memberi saran (Y1.2) Tanggapan Penyuluh (Y1.3)
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan (Y1.4)
Penilaian petani terhadap waktu yang disediakan oleh penyuluh pertanian dan stakeholder lain kepada petani untuk berdialog. Diukur pada setiap kegiatan PRA, Pertemuan, Diskusi, dan Temu Lapang. Penilaian petani terhadap seberapa sering petani bertanya, memberi saran berupa pengetahuan maupun pengalaman, menyampaikan masalah, kendala. Diukur pada setiap kegiatan PRA, Pertemuan, Diskusi, dan Temu Lapang. Penilaian petani terhadap respons yang diberikan penyuluh dalam menanggapi pertanyaan, keluhan, saran, dan hasil pengamatan petani. Diukur pada setiap kegiatan PRA, Pertemuan, Diskusi, dan Temu Lapang. Penilaian petani terhadap sejauh mana petani ikut di dalam proses pengambilan keputusan. Diukur pada setiap kegiatan PRA, Pertemuan, Diskusi, dan Temu Lapang.
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Sedang Tinggi
Tabel 9. Peubah, Definisi Operasional dan Kategori Pengukuran Proses Pengambilan Keputusan Penerapan Teknologi Peubah/Indikator Definisi Operasional Kategori Keputusan Penerapan teknologi PTT (Y2)
Penerapan teknologi PTT oleh petani Tidak Menerapkan meliputi : Menerapkan Sebagian 1. Penggunaan bibit unggul MenerapkanSepenuhnya 2. Penanaman jajar legowo 3. Pemupukan 4. Pengairan berselang 5. Pengendalian OPT 6. Panen dan penanganan pasca panen
29
Validitas dan Reliabilitas Validitas merupakan tingkatan suatu alat pengukur dalam mengukur sesuatu yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi 2008). Validitas dalam penelitian ini meliputi: Pertama, validitas isi berdasarkan konsep, teori atau kajian pustaka dari ahli sesuai tujuan penelitian. Kedua, validitas konstruk yakni evaluasi instrumen dalam mengukur konstruk untuk menerangkan pengaruh antar peubah dalam penelitian. Langkah pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan konsep secara operasional melalui kajian pustaka dan diskusi dengan ahli. 2. Membuat pertanyaan instrumen dan skor nilai untuk setiap alternatif jawaban. 3. Membuat tabulasi skor untuk setiap item pertanyaan untuk masing-masing responden. 4. Pengujian validitas dengan menggunakan software SPSS versi 19 dengan rumus korelasi product moment dan membandingkan dengan nilai r tabel Apabila nilai yang didapatkan lebih besar dari r-product moment, maka alat ukur dinyatakan valid. Rumus korelasi product moment adalah : rxy =
n∑ XY − (∑ X )(∑ Y ) {n∑ X 2 − (∑ X ) 2 }{n∑ Y 2 − (∑ Y ) 2 }
Instrumen penelitian diuji coba terhadap 30 responden yang berasal dari Desa Kulo, Kecamatan Kulo. Kisaran nilai validitas untuk masing-masing peubah adalah sebagai berikut : Tabel 10. Nilai koefisien korelasi product moment Peubah 1. Karakteristik Penyuluh (X2) a. Penguasaan Materi b. Keterampilan Berkomunikasi 2. Saluran komunikasi (X3) 3. Penerapan komunikasi partisipatif (Y1) a. Tahap PRA b. Tahap Pertemuan c. Tahap Diskusi d. Temu Lapang 4. Keputusan Penerapan Teknologi (Y2) Keterangan: * nyata pada taraf α 0.05 ** sangat nyata pada taraf α 0.01
Kisaran Koefisien Korelasi 0.382* s/d 0.777** 0.336* s/d 0.835** 0.699** s/d 0.822** 0.704** s/d 0.963** 0.481** s/d 0.943** 0.391* s/d 0.954** 0.726** s/d 0.943** 0.503** s/d 0.906**
Hasil uji di atas menunjukkan seluruh item pertanyaan berkorelasi nyata dan sangat nyata sehingga item pertanyaan dinyatakan valid. Hal ini karena nilai r hitung lebih besar dari r product moment (>0.329). Selanjutnya, untuk uji reliabilitas instrumen digunakan rumus Cronbach’s Alpha. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995) angka korelasi yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian dibandingkan dengan tabel korelasi nilai r. Jika nilai korelasi dan reliabilitas hasil perhitungan lebih besar dari nilai r tabel maka instrumen dianggap valid dan reliabel.
30
Berikut rumus Cronbach’s Alpha : 2 k ∑ σ b r11 = 1 − k − 1 σ t2
Tabel 11. Hasil uji kuesioner koefisien Cronbach’s Alpha Peubah Cronbach’s Alpha 1. Karakteristik Penyuluh (X2) a. Penguasaan materi 0.619 b. Keterampilan berkomunikasi 0.677 2. Saluran komunikasi (X3) 0.784 3. Penerapan komunikasi partisipatif (Y1) a. Tahap PRA 0.911 b. Tahap Pertemuan 0.820 c. Tahap Diskusi 0.620 d. Tahap temu lapang 0.601 0.760 4. Keputusan Penerapan Teknologi (Y2)
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai reliabilitas lebih besar dari r tabel (> 0.6) sehingga kuesioner yang digunakan dinyatakan layak dan reliabel. Hal ini sejalaan dengan Arikunto (2005) bahwa nilai alpha cronbach antara 0.61 sampai 0.80 dinyatakan reliabel sedangkan nilai antara 0.81 sampai 1.00 dinyatakan sangat reliabel. Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik regresi linear berganda. Analisis secara deskriptif dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi dan persentase data primer yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara. Sedangkan analisis regresi linear berganda dilakukan untuk menganalisis pengaruh peubah bebas seperti karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan media lain selain tahapan program terhadap penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT sebagai peubah terikat. Nasution & Barizi (1990) menyatakan peubah acak yang tidak menyebar normal atau sebarannya tidak diketahui dianalisis dengan statistik non parameterik. Rumus analisis Regresi Linear Berganda adalah: Rumus: Y = a + b1X1 + b2X2+ ... + bnXn Keterangan, Y: proses penerapan komunikasi partisipatif setiap tahapan SL-PTT a : konstanta b1,b2 : koefisien regresi X1, X2 : peubah bebas karakteristik petani, penyuluh dan saluran komunikasi
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Abbokongeng adalah salah satu desa di Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten. Berikut batas wilayah desa : Sebelah Utara : Desa kulo Sebelah Selatan : Desa Tonrong Rijang Kecamatan Baranti Sebelah Barat : Kabupaten Pinrang Sebelah Timur : Desa Rijang Panua Desa Abbokongeng merupakan salah satu desa penghasil beras di Sulawesi Selatan. Hal ini terutama didukung oleh jaringan irigasi teknis yang mampu mengairi sawah sepanjang tahun. Desa ini memiliki ciri khas yakni rumah dengan bentuk khas bugis yang dilengkapi dengan peralatan pertanian, kadang terlihat sawah yang terdapat di belakang rumah penduduk. Ketinggian wilayah sekitar 500-600 meter dpl dengan suhu rata-rata 280C dengan curah hujan rata-rata 142 mm/tahun dengan rata-rata hujan 82 hari/tahun. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk di Desa Abbokongeng adalah 1.557 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebesar 606 jiwa dan perempuan sebesar 851 jiwa. Berdasarkan golongan umur jumlah penduduk di Desa Abbokongeng umur 0 – 15 tahun terdiri dari 435 jiwa, umur 16 – 45 tahun terdiri dari 859 jiwa (tenaga produktif), dan umur ≥ 46 tahun terdiri dari 265 jiwa. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya pada pertanian. Berikut jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Abbokongeng : Tabel 12. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Abbokongen tahun 2014
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Mata Pencaharian Petani Tanaman Pangan (Padi) Petani Jagung Petani Kacang-kacangan Perkebunan Peternakan Perikanan Pengusaha PNS/Polri/TNI Pertukangan (jasa) : Tukang Batu Tukang Kayu Penjahit JUMLAH
Jumlah (jiwa) 637 69 4 29 30 10 5 30
Sumber: Data Sekunder Desa Abbokongeng, 2014
10 10 39 873
% 73,0 8,0 0,5 3,3 3,4 1,1 0,6 3,4 1,1 1,1 4,5 100,0
32
Jenis dan Penggunaan Tanah Desa Abbokongeng memiliki jenis tanah sebagian besar alluvial cokelat tua sehingga sangat cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan sawah di desa ini sebesar 830,97 Ha yang terdiri dari pengairan teknis sebesar 533,14 Ha dan tadah hujan sebesar 297,83 Ha. Penggunaan tanah berdasarkan musim yakni pada musim hujan semua lahan sawah ditanami padi dan pada musim kemarau hanya lahan sawah berpengairan teknis yang ditanami padi sedangkan sawah tadah hujan ditanami palawija, hortikultura dan sayur-sayuran. Sarana, Prasarana, dan Kelembagaan Dukungan sarana, prasarana, dan kelembagaan di Desa Abbokongeng mempermudah pemasaran hasil pertanian di mana dilakukan transaksi langsung dengan sistem petani langsung menjual ke pedagang pengumpul, pedagang antar desa, kecamatan, bahkan antar kabupaten. Tabel 13. Jumlah sarana, prasarana, dan kelembagaan di Desa Abbokongeng tahun 2014
No. Jenis Prasarana/Sarana/Kelembagaan 1. Jalan Aspal 2. Jalan Tanah 3. Jembatan Beton Jembatan Kayu 4. JUMLAH 5. Saluran Pengairan Sekunder 6. Saluran Pengairan Sekunder JUMLAH Pintu Sadap 7. 8. Pintu Pembagi Air Hand Traktor 9. 10. Power Threser Padi 11. Penggilingan Padi Hand Sprayer 12. 13. Pompa Air 14. Bengkel Alsintan 15. Trealer 16. Sepeda Taxi Motor Taxi 17. 18. Alat Tabela JUMLAH 19. Kelompok Tani Tanaman Pangan 20. Kelompok Tani Peternakan 21. Kelompok Tani Pemuda Tani Kelompok Tani Wanita Tani 22. 23. Kelompok P3A 24. Gapoktan Karang Taruna 25. JUMLAH Sumber: Data Sekunder Desa Abbokongeng, 2014
Satuan 9,5 Km 5,5 Km 8,0 Km 2,0 Km 25,0 Km 4.750 m 16.084 m 20.834 m 3 unit 5 unit 115 unit 10 unit 1 unit 112 unit 10 unit 2 unit 8 unit 26 unit 189 unit 152 unit 633 unit 15 klp 2 klp 1 klp 1 klp 8 klp 1 klp 1 klp 29 klp
% 38,0 22,0 32,0 8,0 100,0 22,8 77,2 100,0 0,5 0,8 18,1 1,6 0,2 17,7 1,6 0,3 1,3 4,1 29,8 24,0 100,0 51,7 7,0 3,4 3,4 27,7 3,4 3,4 100,0
33
Tingkat Pendidikan Penduduk Pendidikan masyarakat Desa Abbokongeng berdasarkan data monografi masih tergolong rendah. Berikut gambaran tingkat pendidikan Desa Abbokongeng: Tabel 14.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Abbokongeng tahun 2014
Tingkat Pendidikan Belum Sekolah Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD/sederajat SLTP/sederajat SLTP/sederajat D-2 D-3 Sarjana (S-1) JUMLAH
Jumlah (jiwa) 282 86 462 240 267 197 3 3 17 1.557
% 18,1 5,52 29,7 15,4 17,1 12,7 0,2 0,2 1,1 100,0
Sumber: Data Sekunder Desa Abbokongeng, 2014 Data di atas menunjukkan masyarakat di Desa Abbokongeng sekitar 29, % tidak tamat SD. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani yang diwariskan secara turun temurun.
Potensi Desa Desa Abbokongeng dengan luas 1.811 ha memiliki potensi sumber daya alam yang memadai, mulai dari pertanian, peternakan, dan perikanan. Potensi pertanian menjadikan desa ini selalu hijau dengan hamparan sawah yang tersebar berdampingan dengan pemukiman penduduk. Petani Desa Abbokongeng memiliki aset berharga pada kepemilikan saluran irigasi sehingga petani tidak pernah mengeluh karena kekurangan air irigasi. Selain itu, masyarakat Desa Abbokongeng juga dikenal sebagai pengahasil berbagai jenis buah, diantaranya jeruk, mangga, rambutan, salak, pepaya, belimbing, nenas, jambu, dan semangka. Tabel 15. Luas dan persentase potensi Desa Abbokongeng tahun 2014
No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Potensi Sawah Irigasi Teknis Sawah Irigasi Setengah Teknis Sawah Tadah Hujan Kolam Ikan Lele JUMLAH
Luas (ha) 533,14 76 297,76 4,5 911,4
% 58,5 8,3 32,7 0,5 100,0
Sumber: Data Sekunder Desa Abbokongeng, 2014
Sektor peternakan juga memberikan sumbangsih terhadap perekonomian masyarakat. Berbagai jenis hewan ternak diusahakan masyarakar, seperti sapi, kerbau, ayam, bebek, kuda, kambing, dan ayam ras. Sama halnya dengan sektor pertanian dan peternakan, potensi perikanan juga telah dikembangkan, budidaya ikan lele dalam kolam mampu menghasilkan produksi sekitar 1,4 ton/ha. Beberapa potensi desa tersebut didukung oleh kelembagaan desa yang kuat,
34
seperti pemberdayaan organisasi perempuan dan PKK, organisasi pemuda, dan LKMD. Keseluruhan kelembagaan tersebut dipayungi oleh motto masyarakat Desa Abbokongeng yang masih sangat kental, yakni “Bersama Lebih Mudah dan lebih Baik”. Desa Abbokongeng adalah satu wilayah yang utuh, yang menyediakan banyak fasilitas untuk masyarakatnya, sehingga banyak masyarakat yang tidak perlu keluar desa untuk memenuhi kebutuhannya. Desa Abbokongeng memiliki satu unit koperasi, industri kerajinan, industri makanan, industri alat rumah tangga, industri alat pertanian, rumah makan, warung kelontong, usaha peternakan, usaha perikanan, dan kelompok simpan pinjam. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diamati meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan garapan, dan status sosial. Sebaran respoden berdasarkan karakteristik sebagai berikut. Umur Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan petani dalam berusahatani. Umur mempengaruhi fisik dan pola pikir petani. Pada umumnya petani yang berusia muda memiliki kemampuan fisik yang lebih baik dibanding dengan petani yang berusia relatif tua. Seseorang yang masih muda relatif lebih cepat menerima hal-hal baru, lebih berani mengambil resiko dan lebih dinamis. Sedangkan seseorang yang relatif tua mempunyai kapasitas pengelolaan yang matang dan memiliki banyak pengalaman dalam mengelola usahataninya, sehingga sangat berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan. Pengelompokan umur dalam penelitian ini mengacu pada Havighurst (1972) yang trediri dari kelompok umur dewasa awal usia 18-29 tahun, usia pertengahan 30-50 tahun, dan masa tua di atas 50 tahun. Tabel 16. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menurut umur tahun 2014 No. Umur Kategori Jumlah (tahun) N % 1. Muda 18-29 9 11,2 2. Dewasa 30-49 45 56,3 3. Tua ≥50 26 32,5 Jumlah 80 100,0
Tabel 16 menunjukkan bahwa kelompok umur responden yang mengikuti program sekolah lapangan 56,3 % berusia dewasa (30-49) tahun. Mengacu pada Rusli (1995) bahwa usia produktif berkisar antara 15-65 tahun, maka 99 % responden tergolong produktif. Hal ini berarti individu yang berada pada umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aminah (2013) menemukan bahwa umur produktif memungkinkan petani ikut serta dan terlibat aktif dalam program pemberdayaan, memiliki kemampuan menyerap berbagai informasi dan inovasi untuk diterapkan dalam berusahatani.
35
Pengurus kelompok tani di Desa Abbokongeng umumnya dipegang oleh petani yang berada di kategori usia dewasa. Seperti kelompok tani Rijang Ledeng, ketua kelompok berumur 33 tahun, bendahara kelompok 37 tahun, ketua kelompok tani Salo Inru berumur 45 tahun, bendahara berumur 30 tahun, sekretaris berada di kelompok umur muda yakni 22 tahun, kelompok tani Massimpuloloe memiliki sekretaris yang berumur 30 tahun, bendahara 37 tahun, dan ketua kelompok tani Sibali Resoe berada pada kategori umur muda yakni 29 tahun. Wawancara dengan salah satu petani yang berada pada kategori umur tua pada kelompok tani Sibali Resoe menyatakan bahwa: Kotak 1. Gambaran pemilihan ketua kelompok tani : Pak L.C (70 tahun): Pemilihan ketua kelompok dilakukan berdasarkan musyawarah, ketua kelompok yang dipilih masih muda karena masih aktif dan kuat untuk mengurus anggotanya, kalau kita yang sudah tua tidak bisa lagi bolak balik mengurus surat dan keperluan kelompok. Namun demikian, petani yang tergolong muda dan dewasa mengaku tetap membutuhkan petani yang sudah berpengalaman dalam berusahatani padi. Pengalaman merupakan guru yang paling berharga. Itulah yang diungkapkan seorang petani muda ketika menanggapi peran petani yang berumur tua terhadap keterampilannya berusahatani. Petani dengan kelompok umur muda dan dewasa berdasarkan penelitian di lapangan memang aktif dalam setiap kegiatan program SL-PTT. Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting yang berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia karena pendidikan menentukan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Petani yang berpendidikan mampu memahami potensi yang ada di sekitarnya dan melihat masalah serta berani untuk mengeluarkan pendapat dan aspirasinya. Petani yang berpendidikan juga mampu mengembangkan pikiran, ide, dan memiliki kepercayaan diri untuk berbicara di depan publik (Aminah, 2013). Tabel 17. Jumlah dan persentase pendidikan tahun 2014 No. Tingkat Pendidikan Formal 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Jumlah
responden di Desa Abbokongeng menurut tingkat Kategori (tahun) 0-6 7-12 >12
Jumlah n 35 43 2 80
% 43,7 53,7 2,6 100,0
Tingkat pendidikan responden beragam dari yang tidak sekolah sampai ke perguruan tinggi. Mayoritas petani responden yang mengikuti program sekolah lapangan di Desa Abbokongeng berada pada kategori pendidikan sedang, yakni yang lulus pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan sedang, responden berpartisipasi aktif dalam berbagai tahapan program SL-PTT. Petani tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena kebutuhan tenaga kerja untuk menggarap sawah yang dimiliki keluarga secara temurun dan sawah garapan orang tua harus dipertahankan sehingga tidak digarap orang lain.
36
Kotak 2. Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani : Pak C (70 tahun) yang tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah mengakui senang menjadi petani melanjutkan aset keluarga. Saya tidak pernah sekolah karena waktu itu kondisi negara dalam masa penjajahan sehingga akses untuk sekolah sangat susah. Namun, saya tidak melakukan hal itu kepada anak-anak, saya menyekolahkan sampai perguruan tinggi. Selain itu, masyarakat Desa Abbokongeng khususnya yang berprofesi sebagai petani sejak kecil belum menyadari pentingnya pendidikan sehingga membantu orang tua di sawah adalah pilihan yang tepat. Berprofesi sebagai petani menurut sebagian petani memiliki keuntungan yakni dapat menghemat biaya pendidikan dan biaya tenaga kerja di sawah karena tidak perlu menyewa tenaga penggarap lagi. Kotak 3. Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani : Pak M (53 tahun) adalah seseorang yang berprofesi sebagai petani sejak kecil, selama 36 tahun beliau hidup dari pertanian. Beliau hanya menamatkan pendidikan sampai kelas 3 sekolah dasar. Alasan beliau tidak lagi melanjutkan pendidikan adalah membantu orang tua di sawah dan menurut beliau untuk menjadi petani tidak perlu pendidikan, kita hanya perlu belajar dari orang tua dan melakukan sesuai yang dilakukan orang tua. Pengalaman Berusahatani, Luas Lahan, dan Status Sosial Responden Pengalaman berusahtani dapat membentuk perilaku dan kemampuan petani dalam pengelolaan usahatani. Semakin petani memiliki pengalaman dalam berusahatani, mereka semakin tahu, cermat, dan memahami berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani. Pengetahuan dan keterampilan petani didapatkan dari proses belajar yang lama, baik secara turun temurun dari orang tua maupun dari sesama petani. Tabel 18. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menurut pengalaman berusahatani, luas lahan, dan status sosial tahun 2014 No. Karakteristik Kategori Jumlah Responden (tahun) n % 1. Pengalaman < 20 tahun (Baru) 34 42,5 Berusahatani 20-40 tahun (Sedang) 38 47,5 > 40 tahun (Lama) 8 10,0 Jumlah 80 100,0 2. Luas Lahan < 1 ha (Sempit) 13 16,3 1 ha – 2 ha (Sedang) 59 73,7 > 2 ha (Luas) 8 10,0 Jumlah 80 100,0 3. Status Sosial Milik Sendiri 28 35,0 Penggarap 21 26,3 Bagi Hasil 31 38,7 Jumlah 80 100,0
37
Pengalaman berusahatani responden tergolong sedang, yakni 47,5% telah berusahatani antara 20-40 tahun. Pengalaman yang tergolong sedang tersebut membuat petani aktif dalam berbagi informasi dan pengetahuan baik sesama petani maupun dengan penyuluh. Namun, menurut sebagaian petani, pengalaman yang lama saja tidak menjanjikan untuk produksi yang terus menerus bertambah. Kondisi pertanian semakin lama semakin maju, banyak perubahan dan teknologi yang ditawarkan. Kotak 4. Gambaran pengalamanan berusahatani petani : Pak N (60 tahun): Dulu saya tanam padi tidak ada jarak seperti sekarang, ditanam begitu saja supaya banyak hasilnya, ternyata malah banyak hama dan penyakit. Sekarang, ada sistem jejer legowo, untuk mengurangi hama tikus. Pandangan petani yang berpengalaman lama dalam berusahatani mengalami perubahan untuk mempelajari inovasi pertanian saat ini. Hal itu menjadi salah satu alasan petani yang berusia tua dengan pengalaman yang lama untuk aktif dalam diskusi SL-PTT. Menurut salah satu petani kalau tetap pada cara berusahatani tidak akan maju, produksi malah akan mengalami penurunan,“Pak N menambahkan pernyataannya kalau beliau tidak mau kalah dengan anak muda (petani muda dan dewasa), intinya kita sama-sama belajarlah, mungkin kami punya sedikit pengalaman, anak muda juga punya informasi”. Petani di Desa Abbokongeng mempunyai ikatan kekeluargaan yang kuat, berdasarkan sebuah informan yang tidak berprofesi sebagai petani menyatakan bahwa penduduk di desa ini umumnya masih keluarga, penduduk di desa ini jarang berasal dari luar. Wawancara dengan salah satu petani yang mempunyai pengalaman di bawah 5 tahun (baru) menyatakan bahwa : Kotak 5. Gambaran motivasi belajar petani : Pak P.S (28 tahun): Saya masih baru dalam bertani, untuk itu saya terbuka untuk informasi dan pengetahuan demi peningkatan produksi, saya senang belajar dari yang sudah lama bertani atau dari penyuluh. Luas lahan petani di Desa Abbokongeng tergolong sedang yakni antara 1ha–2ha sekitar 73,7%. Kepemilikan lahan bagi petani di desa ini sangat bermakna walaupun hanya digarap. Hal ini disebabkan oleh profesi sebagai petani yang sudah tertanam sejak dini menjadi sempurna apabila memiliki lahan. Petani merasa kehilangan sesuatu jika tidak berkarya di sawah. Seorang petani yang menggarap lahan seluas 1 ha mengaku tetap senang bertani. Kotak 6. Gambaran motivasi belajar petani : Pak H (43 tahun): Saya belum bisa membeli sawah sendiri, walaupun hanya digarap namun saya tetap belajar di SL. Kalau saya berhasil kan saya juga yang menikmati. Petani yang menggantungkan hidupnya pada sawah merasa bangga hidup dan menghidupi masyarakat Kabupaten Sidrap. Sebagai kota lumbung padi, peran petani sangat penting untuk menunjang kemajuan Kabupaten Sidrap. Sebagian petani menyatakan bahwa pekerjaan sebagai petani tidak membutuhkan pemikiran
38
yang rumit dan tidak harus punya lahan sendiri. Banyak penduduk di kota yang memiliki sawah di desa sehingga kami tetap dapat bekerja di sawah. Status sosial responden beragam dengan status kepemilikan lahan milik sendiri, petani penggarap, dan sistem bagi hasil. Petani di Desa Abbokongen senang melakukan usahatani sistem bagi hasil dengan aturan 2:1. Kotak 7. Gambaran luas dan status sosial petani : “Pak A (29 tahun) memiliki sawah milik sendiri seluas 3 hektar yang didapatkan dengan membeli dan ditanami dengan komoditi utama padi” “Pak Y (22 tahun) melakukan sistem bagi hasil dengan menggarap lahan seluas 3 hektar. Pemilik lahan adalah keluarga sendiri yang berdomisili di Kota Makassar”
Analisis Usahatani Responden Petani di Desa Abbokongeng aktif mengikuti kegiatan SL-PTT sejak program ini diluncurkan Kementerian Pertanian pada tahun 2009. Pengamatan di lapangan menunjukkan 52,5% petani telah bergabung dalam program SL-PTT sejak tahun 2009. Salah satu keuntungan menjadi peserta SL-PTT secara ekonomi adalah memperoleh bantuan berupa benih unggul, pupuk (kompos, urea, pelangi, pitrobio), pestisida, dan alat tabela (tanam benih langsung). Petani yang tergabung dalam program SL-PTT menyatakan mengalami peningkatan produksi gabah lebih dari 6.000 kg/ha dengan keuntungan usahatani rata-rata Rp 18.969.950 per hektar. Penjualan gabah hasil panen tidak susah karena langsung dijual kepada pedagang/pengumpul dengan harga bervariasi mulai dari Rp 3.300/kg-Rp 3.500/kg. Berikut analisis usahatani petani peserta program SL-PTT di Desa Abbokongeng. Tabel 19. Jumlah dan persentase analisis usahatani responden di Desa Abbokongeng tahun 2014 No. Analisis Kategori Jumlah Usahatani (kg/rp) n % 1. Produksi < 3.000 kg/ha 5 6,3 3.000 kg/ha – 6.000 kg/ha 18 22,5 > 6.000 kg/ha 57 71,2 Jumlah 80 100,0 2. Keuntungan < Rp 8 jt 6 7,5 Usahatani Rp 8 jt – Rp 18 jt 11 13,8 > Rp 18 jt 63 78,7 Jumlah 80 100,0 Rata-Rata Rp18.969.950
Hasil produksi yang cukup tinggi di Desa Abbokongen masih menyisakan beberapa permasalahan produksi seperti : 1. Bantuan benih dari pemerintah terkadang tidak cukup dan sering terlambat sehingga petani terpaksa membeli benih lokal dengan harga mahal (Rp 3.500/kg).
39
2. Ketersediaan pupuk, sama halnya dengan benih, pupuk dari pemerintah tidak cukup dan sering terlambat sehingga petani menutupi kekurangan dengan membeli sendiri. Biaya yang dikeluarkan pun beragam karena petani membayar bunga pinjaman dari pupuk dan pestisida yang dibayar setelah panen. 3. Air irigasi yang digunakan petani tergolong sangat lancar, bahkan terkadang masalah muncul karena kelebihan air/irigasi sehingga pintu sekunder irigasi sulit tertutup dan membajiri sawah yang dekat dengan saluran irigasi. 4. Serangan hama dan penyakit merupakan masalah utama petani, hama yang sering muncul adalah tikus dan penggerek batang. Kotak 8. Gambaran Kondisi Pengelolaan Usahatani Petani : Pak M (53 tahun) mengalami peningkatan produksi setelah mengikuti kegiatan SL-PTT dari 5 ton/hektar menjadi 7 ton/hektar dengan keuntungan bisa mencapai Rp 21.210.000. Peningkatan produksi tersebut berhubungan dengan SL-PTT karena adanya bantuan pupuk dan benih. Pak A (29 tahun) adalah ketua kelompok tani Sibali Resoe telah meninggalkan cara berusahatani secara turun temurun karena banyak belajar cara bertani melalui SL-PTT. Peningkatan produksi yang dicapai karena adanya bantuan teknologi berupa alat tabela (tabur benih langsung). Keuntungan produksi yang dicapai Pak A sebesar Rp 23.220.000. Desa Abbokongeng adalah salah satu desa yang turut menyumbang produksi padi di Kecamatan Kulo secara khusus dan Kabupaten Sidrap secara umum. Produksi padi rata-rata petani di Desa Abbokongeng adalah 6-7 ton per hektar. Berikut gambar peningkatan produksi padi di Kecamatan Kulo. Gambar 2. Jumlah Produksi Padi di Kecamatan Kulo Jumlah Produksi (ton)
Jumlah Produksi
Tahun
Kabupaten Sidrap merupakan penghasil padi terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan, bahkan bapak Presiden RI baru-baru ini, tepatnya bulan Februari 2014 turut melakukan panen raya di kota lumbung padi ini. Pemerintah Kabupaten Sidrap banyak melakukan kajian dan pembenahan terhadap bidang pertanian sehingga mampu mencapai swasembada beras di Sulawesi Selatan. Hal ini sesuai dengan visi Kabupaten Sidrap yakni mewujudkan Sidrap sebagai pusat agribisnis modern dan lima terbaik di Sulawesi dalam pembangunan manusia dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah agrobisnis-agroindustri.
40
Gambar 3. Jumlah Produksi Padi di Kabupaten Sidrap Jumlah Produksi (ton)
Jumlah Produksi
Tahun
Karakteristik Penyuluh Penguasaan Materi Penyuluh Materi penyuluhan berkaitan dengan teknologi yang diperkenalkan dalam SL-PTT meliputi materi penggunaan benih unggul, sistem tanam jejer legowo pemupukan berimbang, pengairan berselang, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), panen dan penanganan pasca panen. Penyuluh sebagai agen pembangunan pertanian dituntut menguasai materi penyuluhan sehingga proses transfer inovasi cepat penyebarannya. Tjitropranoto (2003) menyatakan materi penyuluhan selama tiga dekade lebih didominasi aspek penggunaan teknologi dan berorientasi pada kepentingan untuk mencapai target produksi. Hal itu sesuai dengan tujuan pertanian di Desa Abbokongeng untuk mencapai swasembada beras. Tabel 20. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng berdasarkan penguasaan materi penyuluh tahun 2014
No. 1. 2. 3.
Penguasaan Materi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kategori (Skor) 1-7 8-14 15-21
n 0 4 76 80
Jumlah % 0 5,0 95,0 100,0
Penyuluh pertanian dalam menyampaikan materi harus memahami dan mengerti dengan baik teknologi yang ditawarkan sehingga petani dapat mengambil manfaat dari materi tersebut. Secara umum, petani di Desa Abbokongeng menilai penyuluh lapangan yang bertugas menguasai materi SLPTT dengan baik, materi penyuluhan yang diberikan sesuai dengan permintaan dan harapan petani. Hal ini menjadi alasan, setiap pertemuan yang dilakukan selalu dihadiri semua anggota sekolah lapangan.
41
Kotak 9. Gambaran kepercayaan dan interaksi petani dengan penyuluh : Pak M (37 tahun) sebagai bendahara kelompok tani Massimpuloloe memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap penyuluh sebagai sumber informasi, penyuluh juga aktif berdiskusi dan membagi informasi dengan sesama petani. Seluruh anggota kelompok tani beliau selalu hadir dalam sekolah lapangan. Pak S (33 tahun) sebagai ketua kelompok tani Rijang Ledeng mengaku senang bekerja sama dengan penyuluh karena mempermudah dalam pengurusan halhal yang berhubungan dengan SL-PTT. Pak H.M (58 tahun) yang tidak pernah duduk di bangku sekolah tidak kesulitan belajar dalam sekolah lapangan karena penyuluh dalam interaksi sehari-hari menggunakan bahasa setempat. Pengalaman Penyuluh Penyuluh lapangan yang bertugas di Desa Abbokongeng berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan masa kerja selama 3 (tiga) tahun. Masa kerja atau pengalaman yang tergolong baru tersebut tidak menghambat proses komunikasi yang terjadi antara petani responden dan penyuluh pertanian. Hal ini terlihat dari hubungan akrab yang dibangun melalui kunjungan rutin penyuluh ke Desa Abbokongeng dengan rata-rata kunjungan 7-8 jam/hari. Hubungan akrab tersebut menyebabkan beberapa dampak positif yakni memperluas proses dialog antara petani responden dan penyuluh pertanian, percakapan dialogis atau komunikasi dua arah mengalir dengan lancar, petani tidak memiliki rasa canggung untuk bertukar pikiran. Motto mereka adalah “kita sama-sama belajar”. Berikut kutipan wawancara salah satu responden : Kotak 10. Gambaran persepsi petani tentang penyuluh : Ibu M itu tiap hari masuk di sini, anjangsana terus, gesit orangnya, sudah akrab sekali dengan petani di sini, jadi kalo cerita padi jalan saja, tidak ada rasa takut-takut. Salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan akrab yang terjalin cepat antara petani responden dan penyuluh adalah penyuluh pertanian adalah penduduk setempat dengan budaya dan bahasa yang sama, sehingga petani responden dapat leluasa berdialog dengan bahasa daerah setempat (bahasa bugis). Penyuluh pertanian juga berperan penting sebagai jembatan antara kepentingan pemerintah daerah dengan petani. Beberapa pertemuan rutin dalam SL-PTT menghadirkan pejabat pemerintah sehingga petani responden memiliki kesempatan berdialog langsung dengan pemerintah, menyampaikan kendala, dan kebutuhan. Berikut kutipan wawancara salah satu responden : “Pertemuan pernah dihadiri oleh kepala balai penyuluhan pertanian dan baru-baru ini, dihadiri wakil bupati”. Pertemuan rutin yang difasilitasi penyuluh pertanian yang bertugas mampu menghadirkan beberapa aparat pemerintah, seperti Kepala Badan Penyuluhan Pertanian, Kepala Dinas Pertanian, dan Wakil Bupati Kabupaten Sidrap yang berlatar belakang pendidikan pertanian.
42
Keterampilan Berkomunikasi Penyuluh Penilaian petani tentang keterampilan berkomunikasi penyuluh termasuk kategori tinggi. Sesuai hasil wawancara, mayoritas petani (93,7%) menyatakan penyuluh yang bertugas di Desa Abbokongeng memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap masalah dan kebutuhan petani. Penyuluh pertanian bersama-sama dengan petani terlibat langsung dalam pengelolaan padi sesuai anjuran SL-PTT di lahan percontohan. Tabel 21.
No. 1. 2. 3.
Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng berdasarkan keterampilan berkomunikasi penyuluh tahun 2014
Keterampilan Berkomunikasi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kategori (Skor) 1-8 9-16 17-24
Jumlah N 0 5 75 80
% 0 6,3 93,7 100,0
Penyuluh dan petani di Desa Abbokongeng memiliki hubungan yang akrab, layaknya sebagai keluarga sendiri. Penyuluh memiliki kemampuan menciptakan suasana dialogis sehingga petani tidak segan dalam menyampaikan permasalahanpermasalahan, pertanyaan, dan kebutuhan petani. Sebaliknya, penyuluh memberikan respon yang baik, bahkan melibatkan penyuluh dari desa lain untuk membantu proses dialog. Penyuluh yang berasal dari daerah yang sama sehingga menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini memudahkan pemahaman dan saling pengertian. Kotak 11. Gambaran persepsi petani tentang kinerja penyuluh : Pak S (30 tahun) telah meninggalkan budaya turun-temurun dalam menentukan waktu panen karena ada penyuluh yang selalu diajak berdiskusi, penyuluh selalu siap membantu apabila diminta. Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan hubungan akrab antara petani dan penyuluh karena penyuluh sering mengajak bercanda. Penyuluh memiliki kemampuan secara pribadi dalam mengajak anggota kelompok tani untuk ikut dalam setiap tahap SL-PTT mulai dari PRA, diskusi harian, pertemuan rutin, dan temu lapang. Kotak 12. Gambaran keaktifan petani pada program SL-PTT : Pak H.S (45 tahun) sebagai ketua kelompok tani Salo Inru menyatakan setiap pertemuan sekolah lapangan, anggotanya selalu aktif, selalu hadir. Kalaupun ada yang berhalangan hadir karena ada kegiatan penting lainnya. Saluran Komunikasi Penggunaan saluran komunikasi dalam sekolah lapangan selain pertemuan rutin dan terjadwal, juga menggunakan media komunikasi lain, seperti pertemuan di sawah petani masing-masing, telepon seluler, dan penyuluh berkunjung langsung ke rumah petani. Namun, untuk media komunikasi telepon seluler tidak semua petani menggunakan media tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa media telepon seluler hanya digunakan oleh pengurus kelompok tani, seperti ketua, sekretaris, dan bendahara kelompok tani.
43
Tabel 22. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng berdasarkan saluran komunikasi tahun 2014
No. 1. 2. 3.
Saluran Komunikasi Tidak Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Jumlah
Kategori (Skor) 1-3 4-6 7-9
Jumlah n 0 25 55 80
% 0 31,3 68,7 100,0
Secara umum, petani dan penyuluh menggunakan saluran komunikasi tatap muka (face to face) yakni proses dialog (diskusi) pada pertemuan langsung di sawah masing-masing dan di rumah petani masing-masing. Proses komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Komunikasi ini memiliki fungsi dalam penyampaian arus informasi terkait materi dan teknologi dalam SL-PTT, petani memiliki kesempatan yang lebih luas dalam menyampaikan kendala, masalah, dan kebutuhan petani. Penerapan model komunikasi dua arah atau mengedepankan proses dialog antara petani dan penyuluh, baik dalam pertemuan formal maupun non formal telah berlangsung di Desa Abbokongeng walaupun belum optimal. Hal ini adalah satu langkah maju untuk memperbaiki proses pembelajaran petani yang selama ini bersifat satu arah (linear) berupa ceramah dengan tujuan transfer informasi dari penyuluh kepada petani. Petani adalah subjek pembangunan yang aktif dalam menangkap informasi dan bersama-sama dengan penyuluh belajar dalam pengelolaan usahatani. Penyuluh dapat menjalankan perannya sebagai motivator dan fasilitator yang membangkitkan minat belajar dan menggali pengetahuan dan pengalaman petani itu sendiri (Aminah, 2013). Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif pada Program SL-PTT Budaya Suku Bugis dalam Penerapan Program SL-PTT Suku Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Suku ini merupakan suku yang yang tergolong ke dalam suku Melayu. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat. Diperkirakan populasi orang Bugis mencapai angka enam juta jiwa. Kata “bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu diri atau lebih dikenal dengan budaya siri masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi. Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam. Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai Bahasa Ugi dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang disebut Aksara Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
44
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang taat beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dalam pengambilan keputusan, budaya masyarakat yang sampai saat ini masih dijalankan adalah musyawarah yang disebut Tudang Sipulung (tudang berarti duduk dan sipulung berarti berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu musyawarah besar). Musyawarah ini mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua sebelum tahun 1980 yang menunjukkan keberhasilan dan telah menjadi budaya sehingga saat ini masih terus dilakukan untuk memecahkan masalah bersama. Budaya dalam Bidang Pertanian Budaya dalam pertanian yang dilakukan oleh suku bugis sangat beragam mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktu panen. Budaya tersebut meliputi upacara appalili sebelum pembajakan tanah, appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ketika panen tiba waktu digelar katto boko yakni ritual panen raya. Setelah melalui rangkaian ritual tersebut barulah dilakukan mapadendang. Ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari di mana padi bukan hanya sumber kehidupan tetapi juga sebagai makhluk manusia yang berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Hal ini sama dengan mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati. Tapi itu dulu, ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional. Program pemerintah dalam bidang pertanian Awal tahun 1970-an, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program tersebut populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Orientasinya adalah mencapai swasembada pangan sehingga nyaris tak ada lahan pertanian yang bisa menghindar dari proyek tersebut. Berbagai cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan sampai pada pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai bibit unggul yang wajib ditanam. Sejak saat itu bibit lokal yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Digantikan dengan varietas unggul padi sawah. Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau. Modernisasi sistem pertanian pada peningkatan produksi nasional menyebabkan ritual-ritual bercocok tanam mulai memudar. Ritual memanen dengan ani-ani, ritual katto boko, kelong pare dan mappadendang hilang seiring dengan meningkatkan penggunaan teknologi. Namun demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan. Di Sidrap, misalnya, puluhan petani enggan beralih bibit padi baru dengan alasan varietas bibit baru unggulan itu hanya unggul sekali panen dua kali panen. Tahun 1990-an, petani kembali diperkenalkan program sekolah lapangan. Di Kabupaten Sidrap, termasuk di Desa Abbokongeng juga gencar melakukan usaha pertanian dengan prinsip terpadu, yakni memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang dan tepat sasaran. Teknologi modern merupakan bagian dari
45
program ini. Petani mengikuti dan mendaftarkan diri untuk mengikuti program sekolah lapangan atau lebih dikenal dengan nama SL-PTT. Keuntungan dari program ini adalah petani mendapatkan subsidi benih dan pupuk. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk aktif dalam program SL-PTT. Harapan peningkatan produksi yang disampaikan dalam program SL-PTT menjadi alasan lain bagi petani untuk mengikuti arahan dan mengadopsi teknologi yang ditawarkan. Mata pencaharian utama masyarakat di Desa Abbokongeng sebagai petani menjadi keharusan untuk memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar dalam peningkatan produksi secara berkelanjutan. SL-PTT selain menawarkan bantuan bersubsidi kepada petani juga menawarkan ruang untuk berdialog dan menjadi jembatan bagi petani dan pemerintah. Budaya di Kabupaten Sidrap yang dikenal dengan nama tudang sipulung cocok dengan paradigma dalam SL-PTT yakni sebagai wadah bertukar informasi dan pengetahuan. Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk mencapai peningkatan produksi secara berkelanjutan dimaknai oleh petani sebagai dukungan terhadap pertanian dan petani padi di Kabupaten Sidrap, termasuk petani di Desa Abbokongeng. Tahap PRA (Participatory Rural Appraisal) PRA merupakan tahap persiapan dalam program SL-PTT sebelum proses penanaman. Tahap PRA berdasarkan pedoman pelaksanaan SL-PTT dilakukan dengan tujuan agar komponen teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat. Proses pemilihan didasarkan pada analisis potensi, kendala, dan kebutuhan petani. Hasil PRA adalah teridentifikasinya masalah yang dihadapi petani dalam upaya peningkatan produksi. Alur pelaksanaan PRA adalah :
PRA
Identifikasi masalah
Pemilihan komponen teknologi
Rakitan teknologi spesifik lokasi
Tahap PRA berdasarkan petunjuk teknis melibatkan petani, penyuluh pertanian, Dinas Pertanian, Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BPKP) dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat kabupaten dan provinsi. Pihak-pihak yang terlibat diharapkan memfasilitasi kebutuhan petani sehingga tujuan pembangunan pertanian bisa dicapai. Di Desa Abbokongeng, tahap PRA tidak terlaksana sesuai pedoman pelaksanaan program SL-PTT tersebut. Berikut kutipan wawancara dengan penyuluh pertanian. “Ibu M (penyuluh pertanian di Desa Abbokongeng): Kami tidak melaksanakan PRA karena tidak ada dananya. Saya hanya mendata dan membuat laporan potensi dan kebutuhan petani dengan anggota kelompok tani, kemudian melaporkan ke BPKP. Kalau direspon ya syukur, kalau tidak, petani membeli benih lokal.
46
1.
2.
3.
4.
Gambaran pelakasanaan PRA di Desa Abbokongeng sebagai berikut : Penyuluh pertanian membuat janji melalui saluran komunikasi berupa telepon seluler dengan ketua kelompok tani Sibali Resoe, Massimpuloloe, Rijang Ledeng, dan Salo Inru. Waktu dan tempat pelaksanaan PRA disepakati bersama dengan petani. Kegiatan PRA dilakukan pukul 09.00 WITA dengan pertimbangan petani telah selesai mengunjungi sawah masing-masing, pertemuan dilakukan di rumah ketua kelompok tani Sibali Resoe dengan alasan mudah terjangkau. Pelaku komunikasi yang hadir dalam diskusi PRA antara lain: Penyuluh pertanian Desa Abbokongeng, ketua masing-masing kelompok tani (4 orang), bendahara masing-masing kelompok tani (3 orang), sekretaris masing-masing kelompok tani (4 orang), petani pengamat (1 orang), dan beberapa anggota kelompok tani (5 orang). Kegiatan PRA dilakukan melalui dialog terbuka terkait persiapan petani menghadapi musim tanam. Kegiatan ini dibuka oleh Penyuluh Pertanian: “Ibu M (Penyuluh Pertanian) menyampaikan permohonan maaf karena berkumpulnya hari ini (03 November 2013) tidak menggunakan fasilitas yang memadai. Kegiatan dibuka oleh Ibu M agar petani menyampaikan persiapannya sebelum penanaman”.
5. Selanjutnya penyuluh pertanian yang juga berperan sebagai moderator memberikan kesempatan kepada petani untuk memulai dialog. “Pak H.M (58 tahun) membuka diskusi dengan mempertanyakan jenis dan jumlah bantuan yang diterima untuk periode tanam kali ini (OktoberMaret). Apakah kita akan menunggu benih unggul atau melakukan persemaian?” 6. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang ada di benak semua petani, sama halnya dengan musim-musim tanam yang lalu, respon yang diberikan oleh penyuluh pertanian tetap sama. “Ibu M (Penyuluh Pertanian): Kita tidak bisa memastikan jenis dan jumlah benih unggul yang akan kita tanam. Kita harus mengecek dulu ketersediaan benih di PT. SHS. Tapi kemungkinan sama saja dengan musim tanam sebelumnya. Jumlahnya juga tidak akan mencukupi jadi kita harus siap-siap menggunakan benih lokal lagi”. 7. Petani pengamat juga menyampaikan pendapatnya terkait pembagian benih unggul. “Pak C (40 tahun): Saya juga berharap kalau benih unggul itu tiba, dibagi rata. Walaupun sebenarnya kami lebih suka membeli benih lokal yang disukai masyarakat”. 8. Penyuluh pertanian langsung menanggapi pernyataan tersebut. “Ibu M (Penyuluh Pertanian): Untuk pembagian jatah benih dan pupuk saya selalu mempercayakan kepada masing-masing ketua kelompok. Jadi, keputusan kita hari ini adalah : kita tetap mengecek ketersediaan benih dulu, tetap sediakan dana untuk membeli benih lokal. Saya ada saran, ada benih yang bernama Bunda Sari, kualitasnya tidak kalah. Kalau ada yang
47
berminat, saya akan bawa contohnya. Namun, untuk benih ini perlu pemupukan yang banyak di awal penanaman. Saya mendapatkan contohnya dari panen raya di Baranti kemarin”. 9. Ketua kelompok tani Sibali Resoe menanggapi pernyataan tersebut. “Pak A (29 tahun): Saya pernah mendengar bunda sari itu, di mana kita bisa beli itu Ibu M? Kalau Ibu tau saya mau pesan?” 10. Tanggapan Penyuluh Pertanian. “Ibu M (Penyuluh Pertanian): Nanti akan saya cari tau, saya kenal dengan salah satu orang yang menanam bunda sari. Mungkin masih menyimpan beberapa karung untuk persemaian. Saya data dulu siapa yang mau beli”. 11. Petani menanggapi dengan baik saran penyuluh pertanian. Petani yang hadir umumnya memesan dengan rata-rata pesanan 20-25 kg. Keuntungan jenis benih ini adalah memiliki jumlah anakan dan bulir banyak Kekurangannya adalah jenis ini membutuhkan jumlah pemupukan dua kali lebih banyak di awal penanaman. 12. Kegiatan diskusi ini ditutup dengan kesepakatan : a. Penyuluh melaporkan kegiatan ini ke Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kulo. b. Penyuluh akan mengecek ketersediaan benih di PT. SHS. c. Petani akan menanam benih lokal dengan varietas Bunda Sari dan varietas lain sesuai selera. Berdasarkan gambaran pelaksanaan tahap PRA di Desa Abbokongeng di atas dapat disimpulkan bahwa tahap tersebut menggunakan pola komunikasi dua arah berupa dialog antara petani dan penyuluh dengan topik bahasan tentang kebutuhan benih bagi petani. Komunikasi dua arah berlangsung apabila terdapat umpan balik dari setiap partisipan baik secara verbal maupun non verbal. Tahap PRA yang dilakukan oleh petani dan penyuluh di Desa Abbokongeng tidak berlangsung sesuai standar pelaksanaan PRA. Syahyuti (2006) menyatakan bahwa ada dua kunci utama PRA yakni analisis secara kolektif dan pendekatan yang baik. Metode lapangan dilakukan secara bertahap mulai dari tim atau pihak luar menginap di lokasi untuk melakukan diskusi malam dan brainstorming pagi, penulisan laporan kasar secara cepat di lapangan, presentasi bersama, pembuatan peta sosial, wawancara berantai, pembuatan peta dan model secara partisipatif. Dalam hal keorganisasian, kegiatan PRA harus melibatkan suatu tim yang bekerja 2 sampai 3 minggu, mulai dari diskusi, menganalisis, dan bekerja di lapangan. Tim yang dimaksud melibatkan pihak luar yang berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pengontrol kegiatan. Tahap PRA yang berlangsung di Desa Abbokongeng tidak ada bedanya dengan diskusi atau dialog yang dilakukan setiap harinya dengan penyuluh pertanian. Tahap PRA juga tidak melibatkan pihak pemerintah pusat sesuai dengan petunjuk teknis program SL-PTT. Beberapa pihak pemerintah yang diharapkan hadir adalah Dinas Pertanian, Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten, dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) Tingkat Kabupaten. Alasan tidak terlaksananya kegiatan PRA secara formal adalah tidak adanya ketersediaan dana. Kegiatan PRA menghasilkan laporan berisi analisis
48
kebutuhan benih petani, frekuensi kunjungan lapangan, dan materi kunjungan. Laporan tersebut akan diteruskan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti. Kegiatan PRA juga tidak melibatkan keseluruhan anggota kelompok tani sehingga aspirasi setiap individu (petani) tidak tersalurkan. Namun, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa rasa kebersamaan petani di Desa Abbokongeng masih kuat sehingga apabila ada pertemuan kecil dengan penyuluh pertanian, petani lain akan datang dengan sendirinya. Petani lebih aktif mengutarakan kebutuhan sebelum proses tanam dimulai. Jenis komoditi yang ditanam tidak perlu didiskusikan, karena komoditi utama petani adalah padi. Kegiatan PRA lebih banyak membahas identifikasi masalah petani terkait ketersediaan benih. Jalan keluar satu satunya adalah mensubtitusi benih unggul dari pemerintah dengan benih lokal yang berkualitas. Petani umumnya membeli dengan harga Rp 3.500/kg. Kotak 13. Gambaran persepsi penyuluh tentang bantuan benih : Ibu M (penyuluh pertanian di Desa Abbokongeng) menyatakan jatah benih unggul dari pemerintah memang tidak pernah cukup, jenis dan kualitas benihnya juga tidak sesuai harapan petani sehingga petani lebih senang membeli benih yang sesuai selera masyarakat. Proses komunikasi partisipatif atau dialog pada program SL-PTT di Desa Abbokongeng dalam penelitian ini dianalisis melalui kesempatan berdialog, keaktifan petani bertanya, berbagi pengalaman, menyampaikan kebutuhan, tanggapan penyuluh, dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Tabel 23. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menuurt proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap PRA tahun 2014
No. Proses Komunikasi Partisipatif 1. Kesempatan Berdialog
2.
3.
4.
Kategori (Skor)
Rendah (1-5) Sedang (6-10) Tinggi (11-15) Jumlah Keaktifan Rendah (1-5) bertanya/berbagi Sedang (6-10) pengalaman Tinggi (11-15) Jumlah Tanggapan Rendah (1-5) Penyuluh Sedang (6-10) Tinggi (11-15) Jumlah Keterlibatan Rendah (1-2) dalam proses Sedang (3-4) pengambilan Tinggi (5-6) keputusan Jumlah
Jumlah n 63 0 17 80 76 0 4 80 76 0 4 80 63 0 17 80
% 78,8 0 21,2 100,0 95,0 0 5,0 100,0 95,0 0 5,0 100,0 78,8 0 21,2 100,0
49
Proses penerapan komunikasi partisipatif petani di Desa Abbokongeng pada tahap PRA melalui pembuatan laporan potensi desa sampai analisis kebutuhan petani tergolong rendah atau belum optimal karena tidak melibatkan seluruh anggota kelompok tani. Petani di Desa Abbokongeng yang mengikuti tahap PRA tergolong rendah karena hanya 21,2% yang mengikuti tahap PRA sehingga banyak petani yang tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan keluhan atau menyampaikan kebutuhan. Kegiatan ini tidak melibatkan seluruh anggota karena keterbatasan dana dan sarana. Beberapa anggota kelompok tani yang tidak menghadiri tahapan PRA menyatakan bahwa : “Pak D. A (59 tahun): Saya dapat informasi dari ketua Sibali Resoe untuk berkumpul membahas ketersediaan benih, tapi menurut saya buat apa berkumpul, jatah benih selalu sama dari musim sebelumnya. kalau tidak terlambat ya tidak cukup. Saya sudah sediakan uang buat beli benih lokal”. Ketua kelompok tani pada umumnya menginformasikan setiap pertemuan kepada seluruh anggotanya, jadi ketidakhadiran anggota kelompok tani merupakan keputusan pribadi masing-masing petani. Petani yang menghadiri tahap PRA menyampaikan kendala dan kebutuhan sebesar 5%. Hal ini karena setiap musim tanam, permasalahan benih selalu menjadi kendala. Petani tidak mempunyai harapan besar terhadap benih bersubsidi karena jumlahnya yang tidak memadai. Namun demikian, penyuluh selalu membuka ruang publik untuk berdiskusi dengan petani sehingga petani dapat mengeluarkan aspirasinya. Penyuluh juga aktif menanggapi pertanyaan, keluhan atau masalah petani. Petani terlibat sebesar 21,2% dalam penyusunan materi atau bahasan dalam tahap PRA serta terlibat dalam proses pengambilan keputusan jenis teknologi yang akan digunakan. Dalam hal ini, teknologi yang digunakan adalah benih lokal, bukan benih unggul sesuai dengan teknologi PTT yang disarankan. Alasannya adalah bukan karena benih unggul tidak sesuai dengan kondisi setempat tetapi benih unggul tersebut tidak tersedia dan kurang diminati masyarakat. Petani diberikan kesempatan untuk bertanya, memberikan usulan, dan mengutarakan kebutuhan benih walaupun tidak semua petani yang tergabung dalam program SL-PTT terlibat dan aktif berbicara karena masih didominasi oleh pengurus kelompok tani, seperti ketua, sekretaris, maupun bendahara kelompok tani. Petani perempuan juga lebih aktif dalam mengutarakan keinginan dan kebutuhan terkait pengelolaan usahatani. Selain kebutuhan benih, petani juga mengaku membutuhkan pompa air untuk mengatur irigasi. Keinginan tersebut telah disampaikan kepada pemerintah daerah setempat pada tahap PRA walaupun belum terealisasi sampai sekarang. Sebagai kesimpulan, komunikasi partisipatif pada tahap PRA di Desa Abbokongeng masih tergolong rendah. Petani memberikan usulan dan menyampaikan keluhan kepada penyuluh pada tahap PRA karena mengharapkan manfaat untuk : 1. Membantu petani mengurangi biaya-biaya penanaman padi, misalnya biaya untuk membeli benih lokal bisa dipangkas. 2. Permintaan pompa untuk membantu petani dalam pengaturan air. Sawah yang dekat dengan irigasi tidak kebanjiran dan sawah yang jauh dari irigasi bisa memperoleh pengairan yang cukup.
50
3. Petani mengharapkan program SL-PTT mampu mewujudkan peningkatan produksi sesuai harapan pemerintah sehingga sudah selayaknya kebutuhan petani dipenuhi. Tahap Pertemuan Pertemuan rutin dalam program SL-PTT menurut petunjuk teknis dilakukan sebanyak 6 (enam) kali. Namun, dalam pelaksanaannya hanya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali secara formal. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan bahwa sulit mengumpulkan petani dengan kapasitas besar berkali-kali, dana yang tidak mencukupi jika pertemuan dilakukan enam kali, dan pihak pemerintah yang diundang memiliki keterbatasan waktu. Adapun sisa pertemuan rutin berikutnya dilakukan secara non formal dan pertemuan langsung di lahan percontohan. Pertemuan pertama beragendakan teknik pengolahan tanah secara sempurna, melakukan pengelolaan padi secara terpadu, dan pengendalian hama dan penyakit. Pelaku komunikasi yang hadir adalah Wakil Bupati Kabupaten Sidrap, Kepala BPP Kecamatan Kulo, penyuluh lapangan Desa Abbokongeng, dan penyuluh lapangan Desa Rijang Baking, kelompok tani Sibali Resoe (32 orang), Massimpuloloe (20 orang), Rijang Ledeng (18 orang), Salo Inru (17 orang). Kegiatan dibuka oleh penyuluh pertanian Desa Abbokongeng sebagai moderator : “Ibu M (Penyuluh Pertanian): Baiklah, pada kesempatan ini kita kedatangan banyak tamu untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman, kita akan sama-sama belajar tentang teknologi dalam pengelolaan padi secara terpadu”. Kegiatan dilanjutkan dengan sambutan oleh Kepala BPP Kecamatan Kulo dan diteruskan oleh pemaparan materi penyuluh pertanian Desa Rijang Baking selama 15 menit dan dilanjutkan dengan diskusi atau tanya jawab antara petani dan penyuluh. Di awal materinya, penyuluh mengharapkan keterbukaan petani untuk saling berbagi informasi. Menurut penyuluh, petani jauh lebih pandai dalam berusahatani karena petani mengelola sawah yang sama selama bertahun-tahun sedangkan penyuluh hanya mengetahui kulit luar sawah tersebut. “Pak T (Penyuluh Desa Rijang Baking): Saya berharap petani di sini aktif dalam bertanya dan bercengkrama sehingga menghasilkan penyelesaian atas permasalahan yang dihadapi”. Tujuan perkumpulan petani adalah saling berbagi informasi dan petani lebih terbuka untuk proses belajar. Tujuan SL-PTT adalah menggali masalah untuk menyelesaikan masalah dengan harapan mampu meningkatkan produksi minimal 5%. Setelah pemaparan materi dari penyuluh pertanian Desa Rijang Baking selesai, Wakil Bupati Kabupaten Sidrap yang terlambat datang langsung memberikan pemaparan tentang penggunaan benih hybrida. Wakil Bupati menghimbau petani untuk menggunakan benih hybrida. Di sinilah kesempatan petani untuk menyampaikan kendala yang selama ini dihadapi. Petani memiliki tingkat kepercayaan terhadap pemerintah daerah yang senantiasa membantu dalam peningkatan produksi padi. Salah satu keuntungan lain adalah Wakil Bupati Kabupaten Sidrap merupakan sarjana pertanian sehingga sedikit banyak mengerti tentang pengelolaan tanaman padi.
51
Setelah pemaparan selesai, bagian diskusi dibuka oleh moderator. Petani diharapkan berpartisipasi aktif untuk mengutarakan permasalahan yang dihadapi karena kehadiran pemangku kepentingan. Diskusi diawali oleh pernyataan petani pengamat. “Pak C (40 tahun): Berhubung di tengah-tengah kita hadir pak Wakil Bupati di mana beliau menyinggung tentang benih hybrida, kami hendak menyampaikan kondisi yang kami alami pada musim tanam sekarang dan yang lalu-lalu. Jumlah benih hybrida tidak pernah memadai dan tidak cukup sehingga kami mengganti dengan benih lokal. Kami berharap akan ada penyelesaian tentang benih ini pak”. Permasalahan yang disampaikan petani pengamat merupakan masalah setiap petani di Desa Abbokongeng. Benih hybrida yang terlambat hanya ditanam di laboratorium lapangan (LL) sehingga petani tidak dapat menikmati keuntungan benih tersebut. Pernyataan petani pengamat pun ditanggapi oleh Wakil Bupati. “Pak D.M (Wakil Bupati Kabupaten Sidrap): Saya sudah mendapatkan laporan tentang ketersediaan benih yang selalu bermasalah. Kami bersama dengan Pak Bupati juga sudah membahas masalah ini, laporan sudah kami tindak lanjuti, jika belum mendapat respon dari provinsi, kami sepakat untuk mengucurkan dana untuk benih tersebut. Kami mohon petani untuk bersabar”. Pernyataan Wakil Bupati tersebut merupakan angin segar bagi petani di Desa Abbokongeng pada khususnya dan petani di seluruh Kabupaten Sidrap pada umumnya. Petani berharap pernyataan Wakil Bupati segera terealisasi. Selanjutnya, ketua kelompok tani Rijang Ledeng juga menyampaikan aspirasinya. “Pak S (33 tahun): Saya secara pribadi menyampaikan terima kasih karena bapak penyuluh dan bapak wakil menyempatkan hadir di pertemuan ini. Saya mewakili anggota Rijang Ledeng ingin menanyakan tentang cara pengendalian penyakit penggerek batang? Kemudian membahas tentang banyak sawah yang kebanjiran, kami juga mengalami masalah tersebut, karena saluran irigasi yang terlalu lancar menyebabkan sawah yang dekat dengan saluran irigasi sering kebanjiran. Kalau boleh ini pak, kami meminta bantuan pompa untuk mengatur aliran irigasi. Terima kasih pak”. Pertanyaan tersebut mendapatkan tanggapan dari penyuluh pertanian Desa Rijang Baking dan Wakil Bupati sendiri. Khusus untuk permintaan pompa dari petani mendapatkan tanggapan sebagai berikut. “Pak D.M (Wakil Bupati Kabupaten Sidrap): Setelah kegiatan pertemuan ini berakhir, saya akan mengunjungi sawah yang dekat dengan saluran irigasi. Jika memungkinkan saya sendiri yang akan mengeluarkan dana untuk pembelian pompa tersebut”.
52
Demikian pernyataan Wakil Bupati Kabupaten Sidrap untuk memenuhi kebutuhan petani. Pemerintah mengajukan syarat kepada petani untuk membantu pemerintah daerah memenuhi misi peningkatan produksi padi pada tahun 2014. Berdasarkan pengamatan di lapangan, petani hanya menyampaikan kebutuhan kepada wakil bupati, petani sepertinya lupa untuk melakukan proses belajar terkait pengelolaan tanaman padi. Berdasarkan beberapa kutipan wawancara di atas terlihat bahwa proses komunikasi partisipatif pada tahap pertemuan telah berlangsung namun belum optimal. Hal ini ditandai oleh komunikasi dua arah antara petani dan pemerintah. Namun, karena keterbatasan waktu Wakil Bupati menyebabkan dialog tidak berlangsung lama. Wakil Bupati setelah menutup pertemuan langsung meninggalkan lokasi karena masih akan menghadiri pertemuan dengan petani di desa lain. Moderator melanjutkan kegiatan dengan diskusi khusus antara petani dan penyuluh Desa Rijang Baking. Moderator berharap dalam pertemuan ini banyak terjadi pertukaran informasi dan pengalaman khususnya tentang pengendalian hama dan penyakit. Kotak 14. Gambaran pertanyaan petani perempuan : Ibu Hj. S (40 tahun) sebagai petani perempuan yang membantu suaminya di sawah memberikan pernyataan bahwa sistem tanam jarak 2:1 membantu dalam mengurangi hama tikus, tapi musim tanam ini, saya lihat hama ini terus menjadi masalah. Bagaimana cara mengatasinya? Ada beberapa petani perempuan di Desa Abbokongeng yang ikut membantu suaminya di sawah. Terdapat pembagian kerja antara suami dan isteri dalam pengelolaan usaha tani. Isteri bertugas untuk melakukan persemaian, membeli pupuk, pestisida sedangkan untuk tugas yang membutuhkan tenaga besar di serahkan kepada suami, namun terkadang isteri juga ikut membantu, seperti ikut dalam pengolahan tanah dan pemupukan. Pertanyaan di atas mendapatkan tanggapan dari penyuluh sebagai berikut. Kotak 15. Gambaran tanggapan penyuluh : Pak T (Penyuluh Desa Rijang Baking): Sawah orang tua di Baranti juga sering terserang hama tikus. Pengalaman saya, lubang persembunyian tikus yang saya seprotkan racun tikus. Pertemuan kedua, digelar secara non formal yakni pertemuan antara penyuluh dan anggota kelompok tani. Berdasarkan catatan di lapangan, jumlah petani yang hadir pada pertemuan kedua sebanyak 20 orang. Pertemuan dilakukan atas permintaan petani tentang cara pembuatan pupuk kompos. Penyuluh sebagai fasilitator menjembatani permintaan tersebut. Pembuatan pupuk kompos tersebut sebagai alternatif pemecahan masalah bantuan kompos yang tidak tersedia. Pertemuan ini diharapkan memberikan keterampilan kepada petani untuk membuat kompos sendiri sehingga kompos dapat digunakan pada areal persawahan masing-masing. Bapak H.U (55 tahun) menyatakan bahwa :
53
“Saya senang pada musim tanam ini ada pertemuan demo pembuatan pupuk, saya sudah 40 tahun bertani tapi selama ini selalu membeli pupuk, kalau ada pertemuan begini kan jadi pintar buat pupuk sendiri walaupun sebenarnya harus diuji coba dulu”. Pertemuan kedua ini dibantu oleh pihak luar yang bekerja sama dalam hal pupuk. Kegiatan ini diimplementasikan sebagai upaya memberikan pengetahuan dan penambahan wawasan tentang kompos. Secara umum, fungsi pupuk organik adalah kesuburan tanah bertambah yang berpengaruh jangka panjang, sifat fisik dan kimia tanah dapat diperbaiki, sifat biologi tanah dapat diperbaiki, dan pupuk organik tidak akan merugikan kesehatan atau mencemari lingkungan. Wawancara dengan pihak yang membantu menyatakan bahwa : “Desa Abbokongeng merupakan rekomendasi dari kepala BPP Kecamatan Kulo, menurut beliau petani di desa ini aktif dan terbuka terhadap pengetahuan dan inovasi”. Petani di Desa Abbokongeng dikenal sebagai petani ulet dan memiliki ikatan kerja sama yang kuat. Penduduk yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian memiliki prinsip kuat untuk maju dan mencapai peningkatan produksi setiap tahunnya. Selanjutnya, untuk menutupi beberapa kekurangan pertemuan rutin, penyuluh pertanian Desa Abbokongeng melakukan kunjungan langsung ke rumah petani atau lebih dikenal dengan istilah anjangsana. Beberapa anjangsana yang dilakukan menurut pengamatan di lapangan adalah : 1. Anjangsana tentang pembuatan pupuk kompos 2. Anjangsana tentang pengolahan tanah sempurna 3. Anjangsana untuk memfasilitasi kelompok tani untuk memperoleh benih di PT. SHS. Jika benih yang dibutuhkan masing kosong biasanya petani diminta bersabar menunggu varietas yang diinginkan. Keluhan lain petani adalah benih yang diperoleh dari PT. SHS mempunyai daya tumbuh yang rendah. 4. Anjangsana mengecek ketersediaan pupuk bersubsidi. Solusi yang ditawarkan jika pupuk bersubsidi datang terlambat atau stok habis adalah menggunakan pupuk lain (urea) sebagai alternatif penggunaan pupuk pada awal penanaman padi. Komunikasi partisipatif dalam penelitian ini diukur melalui kesempatan petani berdialog, keaktifan petani bertanya atau memberi saran, tanggapan penyuluh, dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan petani. Pertemuan formal maupun non formal dimanfaatkan petani untuk aktif mempertanyakan jenis benih unggul yang akan ditanam, ketersediaan pupuk, dan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Berikut gambaran komunikasi partisipatif di Desa Abbokongeng pada tahap pertemuan.
54
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menuurt proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap pertemuan tahun 2014 No. Proses Kategori Jumlah Komunikasi (Skor) n % Partisipatif 1. Kesempatan Rendah (1-5) 3 3,7 Berdialog Sedang (6-10) 0 0 Tinggi (11-15) 77 96,3 Jumlah 80 100,0 2. Keaktifan Rendah (1-5) 3 3,8 bertanya/berbagi Sedang (6-10) 14 17,5 pengalaman Tinggi (11-15) 63 78,7 100,0 Jumlah 80 3. Tanggapan Rendah (1-5) 3 3,7 Penyuluh Sedang (6-10) 12 15,0 Tinggi (11-15) 65 81,3 Jumlah 80 100,0 4. Keterlibatan Rendah (1-2) 3 3,8 dalam proses Sedang (3-4) 6 7,5 pengambilan Tinggi (5-6) 71 88,7 keputusan Jumlah 80 100,0
Proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap pertemuan telah berlangsung secara optimal karena intensitas pertemuan lebih banyak baik secara formal dan non formal. Petani mempunyai kesempatan berdialog yang tinggi sebesar 96,3%. Artinya, sebanyak 77 petani menghadiri pertemuan pertama, kedua, maupun anjangsana. Wawancara dengan salah satu petani menyatakan: Kotak 16. Gambaran persepsi petani tentang kesempatan berdialog : Pak A (58 tahun): penyuluh dan pak wakil yang hadir pada waktu pertemuan memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan kendala yang kami hadapi dan memberikan respon yang baik. Petani yang menghadiri tahap pertemuan secara formal secara adil diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan baik tentang penggunaan benih ungggul, pengendalian hama, pengaturan irigasi dan menyampaikan kebutuhan. Kesempatan berdialog tersebut digunakan oleh petani sebesar 78,7% untuk menyampaikan kendala dan kebutuhan tersebut. Komunikasi partisipatif pun berlangsung dalam tahap ini karena umpan balik ditunjukkan oleh penyuluh dan pihak pemerintah yang hadir. Penyuluh menanggapi pertanyaan petani sebesar 81,3%. Pertanyaan petani pada umumnya seputar tiga topik yakni benih, pengendalian hama, dan pengaturan irigasi. Pihak pemerintah yang hadir juga memberikan umpan balik terhadap permintaan kebutuhan petani di Desa Abbokongeng. Wawancara dengan Kepala BPP menyatakan bahwa “Pak S menyatakan bahwa permintaan pompa dari petani sudah dipenuhi oleh pak Wakil Bupati”.
55
Pemerintah daerah Kabupaten Sidrap mempunyai komitmen yang besar untuk mencapai misi dalam membentuk pusat agrobisnis. Proses dialog banyak terjadi pada kegiatan berbagi pengalaman baik antara petani yang lebih lama berusahatani dengan petani yang baru maupun dengan peyuluh pertanian. Tanggapan penyuluh dalam hal ini adalah saling berbagi informasi dan pengetahuan. Kotak 17. Gambaran persepsi penyuluh tentang posisinya : Saya (Ibu M, penyuluh pertanian) dan petani sama-sama belajar, walaupun saya penyuluh di sini tapi saya tidak lebih pintar dari mereka, bahkan saya harus banyak belajar dari petani. Mereka sudah berpuluh-puluh tahun bertani. Keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan juga termasuk kategori tinggi sebesar 88,7 %. Dalam hal ini petani ikut mengambil keputusan terkait jenis pupuk yang digunakan, pengaturan dan jadwal menutup pintu sekunder irigasi, dan teknik pengendalian hama. Petani di Desa Abbokongeng menggunakan jenis pupuk yang sama, seperti kompos, urea, dan pelangi. Apabila pupuk bersubsidi tidak cukup untuk seluruh anggota kelompok tani maka, petani sepakat menutupi kekurangan dengan membeli pupuk secara pribadi. Untuk pengaturan dan jadwal bergilir menutup pintu irigasi melibatkan seluruh anggota kelompok tani. Jadwal tersebut ditetapkan melalui musrenbag tingkat desa sehingga tidak merugikan pihak lain. Sama halnya dengan pupuk, penggunaan jenis pestisida di Desa Abbokongeng selalu sama. Hal ini mengingat jenis hama yang dihadapi umumnya homogen, seperti hama tikus dan penggerek batang. Setiap petani terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam menetapkan jenis pupuk dan pestisida yang digunakan dalam pengelolaan padi melalui dialog formal maupun anjangsana. Secara umum, penerapan komunikasi partisipatif di Desa Abbokongeng pada tahap pertemuan tergolong tinggi. Tahap Diskusi Harian Setiap hari kerja penyuluh pertanian berkunjung ke Desa Abbokongeng untuk melihat aktivitas petani pada saat penanaman sampai panen. Diskusi biasanya berlangsung di lahan percontohan, di sawah, maupun di pekarangan rumah petani. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa diskusi tentang kondisi padi, seperti pertumbuhan dan gangguan hama menjadi topik menarik di kalangan petani karena mayoritas penduduk Desa Abbokongeng bermata pencaharian sebagai petani. Diskusi harian jika mengacu pada pedoman teknis pelaksanaan program SLPTT menuntut peran aktif antara sesama petani untuk melakukan proses belajar setiap harinya. Diskusi ini bisa juga didampingi oleh penyuluh pertanian. Pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh peneliti selama satu hari mengikuti kegiatan petani dan penyuluh di Desa Abbokongeng digambarkan sebagai berikut: Penyuluh pertanian menjadikan rumah ketua kelompok tani Sibali Resoe sebagai pusat mengumpulkan petani. Hal ini karena rumah tersebut berada di tengah-tengah desa sehingga mudah terjangkau. Jika penyuluh pertanian telah hadir di rumah tersebut maka anggota kelompok tani Sibali Resoe yang lain juga menyempatkan hadir. Jumlah petani yang hadir pada saat itu adalah lima orang. Topik pembicaraan mereka adalah perkembangan pengelolaan padi dan kesiapan menghadapi panen. Diskusi ini berlangsung sekitar 45 menit. Seorang petani memulai proses diskusi dengan mengeluarkan pernyataan :
56
“Hasil panen bulan depan saya perkirakan mencapai 7 ton lagi, subursubur padi musim ini, kata pak H.M (58 tahun)”. Sikap optimis pak H.M terbilang wajar karena kelompok tani Sibali Resoe mendapatkan bantuan dari program SL-PTT yang cukup memadai, yakni bantuan urea 2 ton, pupuk pelangi 8 ton, dan pestisida jenis pitrobio 10 kotak. Penyuluh pertanian kembali menanyakan kepada petani yang hadir apakah memiliki sikap optimis yang sama dengan pak H.M. Petani lain, Pak C (40 tahun) sekaligus sebagai petani pengamat juga menyampaikan sikap optimisnya, “Minimal samalah dengan hasil panen sebelumnya, tidak akan turun”. Penyuluh menanggapi dengan baik sikap optimis petani tersebut. Apabila petani mencapai keberhasilan panen, maka bisa dibilang pemerintah juga berhasil. Penyuluh pertanian juga menanyakan bagaimana kualitas varietas Bunda Sari yang mereka tanam pada musim ini. Petani yang hadir secara keseluruhan mengaku bersemangat lagi untuk menanam jenis ini pada musim tanam berikutnya. “Pak H.D (56 tahun): Bagus sekali ini bunda sari, banyak sekali anakannya, bercabang di mana-mana, semoga besar juga biji berasnya. Sepertinya saya simpan satu karung ini untuk musim tanam selanjutnya”. Selanjutnya, penyuluh pertanian melakukan kunjungan atau anjangsana ke rumah ketua kelompok tani Massimpuloloe. Petani yang berkumpul sebanyak delapan orang. Rumah ketua kelompok tani ini juga sebagai bengkel alat-alat pertanian, seperti traktor dan motor taxi petani sebagai sarana pengangkutan. Penyuluh pertanian yang datang berkunjung mendapat sambutan yang hangat dari anggota kelompok tani. Berikut kutipan percakapan antara petani dengan penyuluh : Pak B (31 tahun) : jadi hari ini apa yang kita bahas bu. Penyuluh pertanian :Terserah bapak-bapak sekalian, kita bahas apa sekarang, ini kan sudah hampir memasuki musim panen, bagaimana persiapannya? Pak P.T (50 tahun) : Aman, Ibu M tunggu saja undangan makan-makan setelah panen, InsyaAllah berhasil lagi. Penyuluh pertanian: Alhamdulillah. Nada semangat dari kedua kelompok tani menjadi kebanggan tersendiri bagi penyuluh pertanian. Wawancara di sela-sela diskusi antara petani dan penyuluh menyatakan bahwa: “Ibu M (Penyuluh Pertanian): Secara pribadi, saya turut senang apabila terjadi peningkatan produksi lagi. Saya tidak mengharapkan imbalan apaapa. Ini sudah menjadi tugas sebagai fasilitator”. Saat jam makan siang tiba, penyuluh pertanian kembali ke Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Kulo untuk makan siang bersama dengan penyuluh lain. Penyuluh menyatakan kesulitan memperoleh warung makan di desa ini sehingga harus keluar desa untuk membeli makanan. Setelah makan dan beristirahat sejenak, penyuluh melanjutkan anjangsana ke rumah ketua kelompok tani Rijang Ledeng. Kelompok tani merupakan kelompok yang sulit dijangkau
57
karena keterbatasan akses. Rumah antar kelompok pun berjauhan sehingga sulit mengumpulkan petani jika tidak dikonformasi sebelumnya. Pengamatan menunjukkan diskusi harian hanya dihadiri oleh ketua kelompok tani. Diskusi pun tidak berlangsung lama karena tidak ada anggota. Penyuluh pertanian hanya menanyakan persiapan memasuki panen dan bagaimana kualitas bunda sari yang ditanam saat ini. Kotak 18. Gambaran pertanyaan petani tentang benih lokal : Pak S (33 tahun): Tidak ada masalah, bisa diatasi, cuma kemarin saya cerita dengan pak A (58 tahun) kalau jumlah pupuk yang dipakai masih kurang sehingga kondisi padinya tidak sebagus punya yang lain. Pak A pikir sudah banyak, dua kali dari pemupukan jenis biasa tetapi masih begitu hasilnya. Beliau titip pertanyaan itu kenapa? Penyuluh pertanian kemudian menanggapi pertanyaan tersebut dengan memberikan informasi bahwa untuk jenis ini, pemupukan sebanyak-banyaknya di awal penanaman. Sepertinya penyuluh pertanian kurang puas hanya menyampaikan informasi tersebut kepada ketua kelompok tani sehingga penyuluh pertanian langsung melakukan komunikasi dan diskusi kecil via telepon seluler kepada yang bersangkutan. Selanjutnya, anjangsana terahir di rumah kelompok tani Salo Inru. Petani yang berkumpul pada saat itu ada tujuh petani. Topik pembahasan tetap sama yakni kesiapan petani memasuki musim tanam. Persoalan yang dihadapi dalam kelompok ini adalah alur informasi yang tidak merata sehingga ada beberapa petani yang tidak mengetahui dan cara mendapatkan benih varietas bunda sari. Kotak 19. Gambaran keinginan petani untuk adopsi : Ibu T (35 tahun): Saya tidak tahu bunda sari itu Ibu M. Subur semua saya lihat padi yang lain. Terlambat saya pesan, waktu saya hubungi ketua sudah habis. Penyuluh menanggapi pernyataan tersebut dengan tenang. Beliau menyampaikan bahwa varietas tersebut masih percobaan. Jika hasilnya memuaskan akan melanjutkan menanam varietas tersebut pada musim tanam berikutnya. Berdasarkan gambaran pengamatan di atas menunjukkan bahwa petani dan penyuluh pertanian melakukan diskusi menggunakan pola komunikasi dua arah. Berdasarkan informasi didapatkan data bahwa diskusi harian juga membahas perkembangan pertumbuhan padi, pengendalian hama tikus dan penggerek batang. Output yang diperoleh adalah keterampilan petani mengendalikan hama dan penyakit. Petani di Desa Abbokongeng memiliki lahan persawahan yang umumnya masih berada di sekitar wilayah perumahan sehingga akses untuk bertemu dengan sesama petani cukup mudah. Fenomena di lapangan menemukan bahwa petani yang sedang bekerja di sawah juga aktif berdiskusi dengan petani lain. Diskusi yang dilakukan merupakan proses pembelajaran dalam berbagi informasi dan pengalaman.
58
Proses pembelajaran pada saat kunjungan atau anjangsana berdasarkan data informan tidak berlangsung setiap hari dengan alasan petani dan penyuluh tidak memiliki waktu setiap harinya. Namun, hal tersebut tidak membuat petani raguragu untuk mengaplikasikan teknologi dalam SL-PTT ke lahan masing-masing. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan berikut ini : 1. Tingkat kepercayaan petani terhadap penyuluh lapangan yang bertugas di Desa Abbokongeng tinggi. Kerjasama petani dengan penyuluh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pertanian sangat erat. Sebagai contoh, pihak swasta yang ingin mengadakan demplot pembuatan pupuk organik di desa Abbokongeng, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari penyuluh pertanian. Petani sangat tergantung kepada penyuluh pertanian sebagai fasilitator yang menghubungkan kepentingan petani dan pemerintah. Kotak 20. Gambaran kepercayaan petani terhadap penyuluh : Pak M (57 tahun) sebagai petani dan PNS mengaku percaya dengan Ibu M (penyuluh pertanian) benar-benar mengabdi untuk petani di Desa Abbokongeng, jadi, setiap ada agen pupuk yang mau mengadakan demplot dengan petani, kami tidak mau kalau tidak ada surat pemberitahuan ke Ibu M. 2. Petani dan penyuluh lapangan yang bertugas menjalin hubungan akrab selayaknya keluarga sendiri. Hal ini salah satunya disebabkan kepribadian penyuluh yang ramah dan kemampuan berkomunikasi yang mampu menciptakan suasana santai, terbuka, dan nyaman untuk berdialog. Rincian alur diskusi harian yang dilakukan petani dan penyuluh pertanian mengindikasikan terwujudnya komunikasi partisipatif. Hal ini ditandai dengan umpan balik antar masing-masing pelaku komunikasi. Proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap diskusi harian ditandai oleh kesempatan berdialog petani, keaktifan petani bertanya, dan tanggapan penyuluh. Berikut ini gambaran proses penerapan komunikasi partisipatif di Desa Abbokongeng : Tabel 25. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menuurt proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap diskusi harian tahun 2014
No. Proses Komunikasi Partisipatif 1. Kesempatan Berdialog
2.
3.
Kategori (Skor)
Rendah (1-5) Sedang (6-10) Tinggi (11-15) Jumlah Keaktifan Rendah (1-3) bertanya/berbagi Sedang (4-6) pengalaman Tinggi (7-9) Jumlah Tanggapan Rendah (1-3) Penyuluh Sedang (4-6) Tinggi (7-9) Jumlah
Jumlah n 0 4 76 80 0 3 77 80 1 2 77 80
% 0 5,0 95,0 100,0 0 3,7 96,3 100,0 1,3 2,5 96,3 100,0
59
Proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap diskusi harian program SL-PTT di Desa Abbokongeng telah berlangsung walapun belum optimal karena tidak dilakukan secara formal. Proses dialog terjadi tanpa perencanaan sehingga output diskusi tidak terorganisir. Petani diberikan kesempatan sebesar 95% untuk berdiskusi, bertanya, dan berbagi pengalaman dengan sesama petani maupun penyuluh. Kegiatan diskusi ini dilakukan dengan suasana nyaman dan santai sehingga petani lebih terbuka untuk mengeluarkan aspirasinya. Persoalannya adalah waktu diskusi yang tidak menentu menyebabkan banyak petani yang tidak sempat hadir sehingga kehilangan kesempatan untuk berdialog. Petani yang meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan petani lain dan penyuluh memanfaatkan kesempatan tersebut untuk saling berbagai pengalaman, informasi dan cerita selama proses penanaman. Keaktifan petani tergolong tinggi sebesar 96,3%. Keaktifan petani berdialog ditunjukkan dengan kesediaan petani meluangkan waktu untuk mampir di rumah petani maupun di areal persawahan. Begitu juga dengan penyuluh pertanian, setelah mengecek kondisi padi di lahan percontohan akan melakukan kunjungan (anjangsana) ke rumah kelompok tani untuk mendiskusikan hasil pengamatan. Tanggapan petani terhadap pertanyaan, pengalaman dan cerita petani tergolong tinggi yakni sebesar 96,3%. Sebagai kesimpulan, proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap diskusi harian program SL-PTT di Desa Abbokongeng termasuk kategori tinggi. Temu Lapang Temu lapang pada program SL-PTT di Desa Abbokongeng berlangsung secara non formal di LL (laboratorium Lapang). LL merupakan lahan seluas 1 Ha yang terletak di belakang rumah petani, lahan tersebut sebagai wadah penelitian dan percontohan. LL adalah wadah pembelajaran bagi petani untuk mengamati sendiri kondisi padi, seperti jumlah anakan, pengisian bulir, sampai melakukan panen secara bersama, dan membuat persemaian hasil panen. Namun, jumlah pertemuan di LL tidak menentu dalam satu periode tanam. Hal ini karena, petani tidak memiliki banyak waktu untuk mengamati kondisi padi di LL, petani dengan tujuan utama peningkatan produksi memilih meluangkan waktu di lahan masingmasing. Berdasarkan informasi dari ketua kelompok tani Sibali Resoe bahwa temu lapang kurang diminati petani di desa ini. Petani yang aktif berkunjung di temu lapang adalah ketua masing-masing kelompok tani, petani pengamat dan penyuluh pertanian. Temu lapang dilakukan untuk mengamati kondisi padi, terkait pemupukan, pengairan, pengendalian hama, pengamatan bulir padi, dan panen. Kondisi padi merupakan percontohan untuk petani melihat hasil perpaduan teknologi PTT. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani tidak perlu menunggu hasil panen di LL untuk menerapkan teknologi tersebut di lahan masing-masing. Berikut kutipan wawancara dengan petani pengamat: “Pak C (40 tahun) sebagai petani pengamat menyatakan bahwa petani di Desa Abbokongeng langsung mengadopsi teknologi PTT tanpa menunggu hasil di LL. Hasil panen di sawah bisa bersamaan hasilnya di LL” Temu lapang menurut petunjuk teknis program SL-PTT merupakan wadah pembelajaran bagi petani untuk melihat hasil penerapan teknologi. Namun, berbeda bagi petani di Desa Abbokongeng, petani menerapkan teknologi SL-PTT berbarengan dengan penerapan teknologi di lahan persawahan masing-masing.
60
Hal positif dari LL adalah masyarakat tani yang tidak tergabung dalam program SL-PTT melakukan proses belajar terkait hasil penerapan teknologi SL-PTT. Penyuluh pertanian bersama-sama dengan ketua kelompok tani membuat kesepakatan melakukan temu lapang, penyuluh pertanian juga menghimbau agar ketua kelompok menyampaikan informasi jadwal berkumpul kepada anggota kelompok tani. Namun, karena keterbatasan waktu banyak petani tidak melakukan pertemuan di LL. Wawancara dengan salah satu anggota kelompok tani Rijang Ledeng menyatakan: “Pak A (58 tahun): Lokasi LL agak jauh dari sawah jadi saya agak kerepotan untuk bertemu di LL. Saya hanya hadir pada waktu menanam” Pernyataan tersebut didukung oleh penyuluh pertanian bahwa petani umumnya hanya meluangkan waktu pada saat tabur benih di LL, selebihnya petani lebih konsen pada sawah masing-masing. Kondisi ini tentu tidak memungkinkan proses penerapan komunikasi partisipatif yang efektif pada tahap temu lapang. Tujuan utama LL juga tidak tercapai sebagaimana harusnya karena proses adopsi petani terbilang cepat. Berdasarkan pengamatan, hubungan komunikasi antara petani dan penyuluh pertanian sudah terbentuk sejak awal sehingga petani tidak butuh waktu lama untuk perubahan. Selain itu, motivasi petani akan peningkatan dan perbaikan kehidupan sangat kuat sehingga petani terbuka terhadap informasi, inovasi, dan proses belajar yang berkelanjutan. Proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap temu lapang di Desa Abbokongeng diukur melalui kesempatan petani berdialog, keaktifan dalam bertanya atau memberi saran, tanggapan penyuluh, dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Berikut gambaran penerapan komunikasi partisipatif tersebut. Tabel 26. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menuurt proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap temu lapang tahun 2014 No. Proses Kategori Jumlah Komunikasi (Skor) n % Partisipatif 1. Kesempatan Rendah (1-3) 62 77,5 Berdialog Sedang (4-6) 0 0 Tinggi (7-9) 18 22,5 Jumlah 80 100,0 77,5 2. Keaktifan Rendah (1-3) 62 bertanya/berbagi Sedang (4-6) 0 0 12,5 pengalaman Tinggi (7-9) 10 100,0 Jumlah 80 3. Tanggapan Rendah (1) 62 77,5 Penyuluh Sedang (2) 0 0 Tinggi (3) 10 12,5 Jumlah 80 100,0
Proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap temu lapang telah berlangsung walaupun belum optimal karena intensitas pertemuan yang tidak memadai. Dialog yang dilakukan masih termasuk kategori rendah. Petani yang meluangkan waktu untuk mengahdiri temu lapang hanya sebesar 22,5%. Motivasi yang tinggi petani di Desa Abbokongeng untuk mencapai peningkatan produksi sepertinya mengaburkan keinginan untuk menghadiri temu lapang sebagai wadah
61
transfer teknologi. Ketua kelompok tani, petani pengamat, dan beberapa anggota lain yang hadir memanfaatkan pertemuan di LL untuk berdialog dan melakukan proses belajar hanya sebesar 12,5 %. Tanggapan penyuluh dalam proses belajar dan penelitian di LL sebesar 12,5%. Temu lapang adalah media komunikasi antara petani peserta SL-PTT dan petani non SL-PTT untuk mempercepat alih teknologi kepada masyarakat di sekitar lokasi LL. Temu lapang diharapkan menjadi wadah untuk bertukar informasi tentang manfaat SL-PTT kepada sesama petani. Petani pengamat menyatakan bahwa “Saya berperan dalam mengamati dan melaporkan hasil pangamatan di lahan percontohan dan membantu difusi inovasi teknologi kepada petani pada umumnya. Teknologi yang umumnya diperkenalkan adalah sistem jejer legowo karena masih terdapat petani yang tidak menerapkan sistem jejer legowo. Hasil panen LL membuktikan kepada petani bahwa sistem jejer legowo menambah jumlah produksi”. Petani yang sebelumnya tidak menggunakan sistem tanam jejer legowo kemudian mengadopsi sistem tanam tersebut karena telah memberikan bukti nyata terhadap peningkatan produksi padi. Wawancara dengan salah satu petani menyatakan bahwa “Mulai musim tanam berikutnya, saya akan memakai sistem tanam jejer legowo”. Sebagai kesimpulan, proses penerapan komunikasi partisipatif pada tahap temu lapang tergolong rendah. Keputusan Penerapan Teknologi Responden Petani di Desa Abbokongeng yang tergabung dalam program SL-PTT secara keseluruhan mengadopsi teknologi yang ditawarkan. Berdasarkan pengamatan di lapangan petani yang menerapakan sebagian teknologi sebesar 8,7%. Artinya, petani belum mengadopsi keenam komponen teknologi dalam SLPTT. Teknologi tersebut antara lain penggunaan benih unggul maupun penanaman dengan sistem jejer legowo. Alasan petani belum menerapkan benih unggul adalah sulitnya mendapatkan benih bersubsidi dan jumlahnya yang kurang memadai. Sedangkan untuk penanaman sistem jejer legowo sebagian petani masih memiliki persepsi bahwa jarak tanam mengurangi jumlah produksi. Tabel 27. Jumlah dan persentase responden di Desa Abbokongeng menuurt keputusan penerapan teknologi tahun 2014 No. Keputusan Kategori Jumlah (Skor) N % 1. Tidak 1-6 0 0 Menerapkan 2. Menerapkan 7-12 7 8,7 sebagian 3. Menerapkan 13-18 73 91,3 sepenuhnya JUMLAH 80 100,0
62
Alasan utama petani di Desa Abbokongeng menerapkan sepenuhnya teknologi tersebut karena mampu meningkatkan produksi gabah mencapai 7 ton/hektar. Rogers (2003) menyatakan bahwa petani umumnya mengadopsi teknologi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1. Keuntungan relatif (relative advantage) yaitu teknologi tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknologi lain. Petani menyadari bahwa teknologi menggunakan benih unggul, tanam jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, pengendalian hama, dan panen merupakan teknologi yang menguntungkan dibandingkan dengan teknologi lain. Sistem tanam jejer legowo terbukti mampu meningkatkan produksi petani di Desa Abbokongeng. 2. Kesesuaian (compatability) yaitu teknologi tersebut masih konsisten dengan nilai-nilai budaya yang ada. Teknologi yang ditawarkan dalam SL-PTT menurut petani di Desa Abbokongeng telah sesuai dengan budaya masyarakat bugis. Status kepemilikan lahan petani sebagai penggarap tetap memberikan keuntungan karena sistem tanam jejer legowo. Budaya ritual yang dilakukan petani terdahulu sudah ditinggalkan petani sekarang, dengan alasan telah banyak ilmu yang diperoleh dari sekolah lapangan, termasuk penentuan jadwal tanam. 3. Kerumitan (complexity) yaitu teknologi tersebut mempunyai sifat-sifat yang rumit, sulit dipahami dan diikuti. Teknologi dalam SL-PTT tidak rumit sehingga lebih mudah diterapkan. Khusus untuk sistem tanam jejer legowo, petani di Desa Abbokongeng dibantu dengan alat tabela sebagai bantuan dari pemerintah. Alat tabela tersebut juga memangkas biaya penggunaan tenaga kerja untuk penanaman. Hal yang menarik di Desa Abbokongeng adalah sikap kerja sama yang sangat kental, petani bersama-sama membantu proses penaburan benih. 4. Dapat dicoba (trialability) yaitu ketika teknologi tersebut dapat diuji coba dengan mudah sesuai situasi dan kondisi setempat. Teknologi SL-PTT secara keseluruhan dicoba atau dipraktekkan ke lahan percontohan seluas 1 Ha. Di lahan ini petani melihat hasil penerapan teknologi dengan harapan petani menerapkan ke lahan masing-masing. 5. Mudah diamati (observability) yaitu ketika suatu teknologi segera dapat dilihat dan dirasakan hasilnya. Petani dalam hal ini mudah mengamati hasilhasil, keuntungan-keuntungan dan kelebihan dari teknologi SL-PTT dibandingkan dengan teknologi lain. Hasil wawancara menunjukkan petani yang telah lama bertani mengaku senang menggunakan teknologi sekarang dibandingkan cara bertani terdahulu karena melihat jumlah produksi yang bertambah dan tingkat kesuburan tanaman meningkat. Pengaruh Karakteristik Petani, Karakteristik Penyuluh, dan Saluran Komunikasi terhadap Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif dalam Program SL-PTT Proses penerapan komunikasi partisipatif dalam pengujian ini menggunakan total skor dari empat indikator meliputi kesempatan berdialog, keaktifan petani bertanya atau memberi saran, penilaian petani terhadap tanggapan penyuluh, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan usahatani.
63
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan saluran komunikasi berpengaruh nyata terhadap keaktifan petani dalam proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT. Berikut persamaan regresinya : Y1 = 7.986 + 0.619X1.1 + 0.722 X1.2 + 0.933 X1.3 + 0.391 X1.4 + 0.510 X1.5 + 0.313X2.1 + 0.710 X2.2 + 0.420X3.1 + 0.829X3.2 + 0.747 X3.3 Tabel 28.Pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan saluran komunikasi terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif pada program SL-PTT di Desa Abbokongeng tahun 2014 Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif Karakteristik/Saluran Komunikasi Koefisien regresi Signifikan Constant 7.986 0.000 Umur 0.619 0.007** Tingkat pendidikan 0.722 0.021** Pengalaman berusahatani 0.933 0.019** Luas lahan 0.391 0.035* Status sosial 0.510 0.047* Penguasaan materi penyuluh 0.313 0.001** Keterampilan berkomunikasi 0.710 0.038** penyuluh Telepon seluler 0.420 0.291 Pertemuan langsung 0.829 0.007** Kunjungan rumah penyuluh 0.747 0.043** Keterangan : ** sangat nyata pada taraf α 0.01 * nyata pada taraf α 0.05
Pengaruh karakteristik petani terhadap penerapan komunikasi partisipatif Peubah umur dengan nilai signifikan sebesar 0,007 menunjukkan bahwa umur berpengaruh sangat nyata dan berkontribusi positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif. Artinya, semakin tua petani semakin aktif dalam proses komunikasi partisipatif (berdialog) pada berbagai tahapan program SL-PTT. Nilai koefisien regresi sebesar 0,619 berarti setiap penambahan satu tahun umur petani akan mengakibatkan bertambahnya tingkat keaktifan petani dalam proses komunikasi partisipatif sebesar 0,619 kali. Petani di Desa Abbokongeng yang berada pada kategori dewasa antara 30-49 tahun merupakan kategori umur yang masih produktif. Prinsip petani di Desa Abbokongeng menjadi salah satu faktor pendukung lain, prinsip tersebut adalah jika ingin mencapai peningkatan produksi dibutuhkan keaktifan dalam proses belajar, keaktifan untuk mencari informasi, dan banyak bertukar informasi dengan petani. Petani yang berada di kategori tua yakni di atas 50 tahun juga aktif berpartisipasi dalam program SL-PTT, petani dengan kategori ini aktif berbagi pengalaman dan saran baik kepada penyuluh pertanian maupun sesama petani. Peubah pendidikan berpengaruh sangat nyata terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif dan berkontribusi secara positif dengan nilai signifikan sebesar 0,021, hal ini berarti tinggi rendahnya tingkat pendidikan petani mengakibatkan tingginya proses komunikasi partisipatif (dialog). Koefisien regresi peubah pendidikan sebesar 0,722 yang berarti bahwa setiap penambahan satu tahun pendidikan petani memberikan kontribusi terhadap peningkatan proses
64
komunikasi partisipatif petani sebesar 0,722 kali. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang berpendidikan pada kategori sedang dan tinggi memiliki kepercayaan diri dalam berdialog jika terdapat pertemuan formal dengan menggunakan bahasa indonesia, sedangakan petani pada kategori pendidikan rendah, menggunakan bahasa daerah (bugis) untuk berkomunikasi sehingga penyuluh maupun pihak pemerintah juga menggunakan bahasa setempat untuk mencapai saling pengertian. Peubah pengalaman berusahatani juga berpengaruh sangat nyata dengan arah hubungan positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif. Nilai koefisien regresi sebesar 0,933 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu tahun pengalaman berusahatani petani akan berkontribusi terhadap peningkatan proses komunikasi partisipatif (berdialog) sebesar 0,933 kali. Petani di Desa Abbokongeng memiliki pemikiran yang terbuka untuk perbaikan kehidupan masa depan dengan meningkatkan pengetahuan dan teknologi bertani. Mata pencaharian utama masyarakat di desa ini adalah bertani sehingga petani tertarik dan berkeinginan belajar untuk terus menerus belajar. Luas lahan yang dikelola petani baik lahan milik sendiri maupun lahan garapan menentukan besar kecilnya produksi padi yang dihasilkan. Peubah luas lahan berpengaruh nyata dengan arah hubungan positif dengan nilai signifikan sebesar 0,035 terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif pada program SL-PTT. Nilai koefisien regresi sebesar 0,391 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu hektar lahan petani akan meningkatkan proses komunikasi partisipatif sebesar 0,391 kali. Hal ini sejalan dengan pengamatan di lapangan bahwa petani yang memiliki lahan luas akan lebih aktif dalam setiap pertemuan dalam program SL-PTT disebabkan oleh kebutuhan terhadap bantuan dalam program itu sendiri seperti benih dan pupuk bersubsidi. Lahan yang diusahakan secara turun temurun menurut salah satu responden harus dipertahankan. Salah satu responden mengatakan bahwa: “Sawah ini sudah menghasilkan padi selama 47 tahun, saya belajar di SL tanah seperti ini akan mengalami penurunan kualitas sehingga saya perlu belajar teknik pemupukan untuk mempertahankan kesuburan tanah, kata Pak L (60 tahun)”. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki luas lahan sebesar 3 ha dengan status kepemilikan milik sendiri sangat aktif dan selalu hadir dalam kegiatan SL-PTT. Responden tersebut banyak berbagai pengalaman, informasi, dan selalu mempertanyakan kapan bantuan tiba. Status sosial petani sebagai petani yang memiliki lahan sendiri, penggarap, dan bagi hasil berpengaruh secara nyata dan arah hubungan positif dengan nilai signifikan sebesar 0,047. Nilai koefisien regresi sebesar 0,510 menunjukkan bahwa setiap penambahan status petani akan meningkatkan proses komunikasi partisipatif pada program SL-PTT sebesar 0,510 kali. Nilai ini tidak terlalu besar dalam mempengaruhi petani berdialog, hal ini disebabkan oleh petani di Desa Abbokongeng memiliki persepsi lahan milik sendiri ataupun garapan tetap saja memerlukan pengelolaan yang baik untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal. Menurut petani, mengelola dengan baik lahan yang sudah ada adalah pilihan yang sangat bijak, yang harus dilakukan adalah mensyukuri apa yang ada, tidak perlu berkecil hati untuk tidak aktif belajar dalam SL-PTT.
65
Proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT di Desa Abbokongeng dapat terlaksana dukungan dan kerjasama yang kuat antara penyuluh pertanian dan petani. Sejalan dengan Havelock (1971) menyatakan bahwa keberhasilan proses dialog didukung oleh kedudukan dan kekuatan yang setara antar partisipan. Berikut gambaran keberhasilan dialog di Desa Abbokongeng : 1. Petani dan penyuluh pertanian memiliki sikap keterbukaan, mereka berkeyakinan bahwa perubahan memang diperlukan, petani bersedia dan siap menerima bantuan dari orang lain, bersedia mendengarkan kebutuhan orang lain serta bersedia memberikan bantuan kapan saja. 2. Petani dan penyuluh pertanian memiliki kapasitas (kemampuan) seperti pendidikan dan pengalaman untuk berbagi informasi, pengetahuan, dan saran. 3. Petani menerima imbalan seperti bantuan benih dan pupuk apabila aktif dalam mendukung tujuan peningkatan produksi dalam program SL-PTT. 4. Petani dan penyuluh pertanian memiliki kedekatan seperti keakraban dan kesamaan budaya sehingga mendukung keberhasilan proses komunikasi partisipatif. Pengaruh karakteristik partisipatif
penyuluh
terhadap
penerapan
komunikasi
Karakteristik penyuluh di Desa Abbokongeng seperti penguasaan materi dan keterampilan berkomunikasi berdasarkan uji statistik menunjukkan pengaruh secara nyata terhadap peubah proses penerapan komunikasi partisipatif. Peubah penguasaan materi penyuluh dengan nilai signifikan sebesar 0,001 menunjukkan bahwa penguasaan materi penyuluh berpengaruh sangat nyata dan berkontribusi positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif. Artinya, penyuluh yang semakin menguasai materi SL-PTT maka petani akan semakin termotivasi proses komunikasi partisipatif (berdialog). Nilai koefisien regresi sebesar 0,313 berarti setiap penambahan kualitas dan jenis materi penyuluh pertanian akan mengakibatkan bertambahnya keaktifan petani dalam proses komunikasi partisipatif sebesar 0,313 kali. Semakin baik penguasaan materi dan semakin tinggi keterampilan berkomunikasi penyuluh maka akan semakin aktif petani dalam berdialog. Peubah penguasaan materi penyuluh akan berdampak pada adopsi teknologi petani sehingga diperlukan peningkatan penguasaan materi penyuluh secara berkelanjutan sehingga teknologi yang ditawarkan dalam SLPTT dapat dipahami secara baik oleh petani. Penyuluh yang aktif berdiskusi mengenai materi SL-PTT dengan petani mendorong petani untuk aktif dalam proses belajar SL-PTT. Materi SL-PTT diperoleh penyuluh lapangan melalui pelatihan di Kota Makassar dan di Kota Malang. Selain itu, penyuluh lapangan yang bertugas di Kecamatan Kulo aktif berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan penyuluh yang berasal dari kecamatan Lain. Peubah keterampilan berkomunikasi penyuluh dengan nilai signifikan sebesar 0,038 menunjukkan bahwa keterampilan berkomunikasi penyuluh berpengaruh sangat nyata dan berkontribusi positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif. Artinya, semakin tinggi keterampilan berkomunikasi penyuluh akan semakin aktif petani dalam proses komunikasi partisipatif
66
(berdialog) program SL-PTT. Nilai koefisien regresi sebesar 0,710 berarti setiap penambahan keterampilan berkomunikasi penyuluh akan mengakibatkan bertambahnya proses komunikasi partisipatif petani sebesar 0,710 kali. Penyuluh pertanian lapangan di Desa Abbokongeng selalu mengedepankan prinsip saling berbagi pengetahuan dan informasi dengan petani. Penyuluh memerlukan pertukaran informasi dengan petani untuk mewujudkan tujuan yang sama, yakni peningkatan produksi padi. Hal ini mengindikasikan bahwa penyuluh pertanian berusaha mensejajarkan posisi denga petani sebagai pelaku utama. Sumardjo (2007) menyatakan bahwa keberadaan dan kemampuan petani yang dikenali, dihargai atau menempatkan martabat petani secara lebih layak akan mendorong komunikasi partisipatif petani yang tinggi. Penyuluh pertanian yang bertugas di Desa Abbokongeng mendampingi petani selama 3 (tiga) tahun telah mampu menjalin kedekatan atau hubungan individu yang kuat, hal ini tidak saja dengan petani yang terlibat dalam SL-PTT tetapi dengan petani lain di luar SL-PTT. Kondisi ini menjadi indikator penting yang menumbuhkan dan membangkitkan semangat berkomunikasi petani. Analisis gambaran fenomena komunikasi partisipatif dalam program SLPTT di Desa Abbokongeng berdasarkan pendapat Hadiyanto (2008) tentang prasyarat komunikasi partisipatif disimpulkan bahwa : 1. Pemangku kepentingan, seperti penyuluh pertanian, dinas pertanian, badan penyuluhan dan ketahanan pangan, bupati dan wakil bupati Kabupaten Sidrap ikut berpartisipasi langsung dalam proses belajar petani. Hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah dengan tujuan yang sama rela berbagi kepentingan untuk kesejahteraan petani. 2. Penyuluh lapangan menjamin terwujudnya kerjasama tibal balik. Artinya, penyuluh menghargai dan menghormati pendapat, saran, dan kebutuhan petani. Sebaliknya, petani juga menghargai dan menghormati pekerjaan dan tanggung jawab penyuluh sebagai agen pembangunan. Petani dan penyuluh pertanian menanamkan rasa saling percaya yang kuat. 3. Komunikasi antara penyuluh pertanian dan petani selalu tercipta secara terbuka dan dialogis, bebas dari tekanan, dan setiap petani mendapatkan haknya secara adil. 4. Penyuluh pertanian membuka akses dan memberikan kesempatan kepada petani untuk memanfaatkan semua media komunikasi yang tersedia. Penyuluh pertanian memajang nomor telepon seluler dan alamat rumah pada papan pengumuman kelompok tani masing-masing. Pengaruh Saluran Komunikasi terhadap Penerapan Komunikasi Partisipatif Saluran komunikasi yang digunakan petani program SL-PTT meliputi telepon seluler, pertemuan langsung, dan kunjungan penyuluh pertanian ke rumah petani. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa penggunaan telepon seluler untuk berdialog tidak berpengaruh nyata sedangkan pertemuan langsung dan kunjungan ke rumah berpengaruh nyata. Saluran komunikasi seperti telepon seluler tidak berpengaruh nyata akan tetapi berkontribusi positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif pada program SL-PTT. Nilai koefisien regresi sebesar 0,420 berarti setiap penggunaan telepon seluler untuk berkomunikasi mengakibatkan bertambahnya keaktifan petani dalam proses komunikasi partisipatif sebesar 0,420 kali. Telepon
67
seluler tidak berpengaruh secara nyata terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif petani karena telepon seluler umumnya hanya digunakan untuk pengurus kelompok tani, seperti ketua, sekretaris, bendahara, dan petani pengamat. Saluran komunikasi seperti pertemuan langsung di sawah berpengaruh sangat nyata dengan proses penerapan komunikasi partisipatif petani dalam program SL-PTT. Koefisien regresi sebesar 0,829 berarti setiap tatap muka yang dilakukan petani dengan penyuluh berkontribusi terhadap peningkatan proses komunikasi partisipatif (berdialog) sebesar 0,829 kali. Sama halnya dengan saluran komunikasi kunjungan penyuluh ke rumah petani berpengaruh sangat nyata dengan arah hubungan positif terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif petani pada program SL-PTT. Artinya, semakin sering penyuluh melakukan komunikasi tatap muka maka akan semakin aktif proses dialog dilakukan. Koefisien regresi sebesar 0,747 menunjukkan bahwa setiap kunjungan rumah yang dilakukan penyuluh ke rumah petani berkontribusi terhadap peningkatan proses komunikasi partisipatif sebesar 0,747 kali. Petani lebih leluasa dalam berdialog dengan petani terkait perkembangan dan pengelolaan usahatani. Komunikasi tatap muka atau face to face menjadi alternatif utama dan efektif yang dirasakan petani dan penyuluh pertanian. Petani dan penyuluh pertanian biasanya duduk berdiskusi di rumah petani untuk membahas kendala dan kebutuhan untuk mencapai kesepakatan bersama. Penyuluh pertanian dan petani berdialog di rumah petani tanpa perencanaan sebelumnya. Waktu pelaksanaan komunikasi biasanya dimulai pada pukul 09.00 WITA sampai sore hari. Hal ini adalah waktu yang sangat efektif mengingat petani di Desa Abbokongeng bertani pada pagi hari. Topik pembicaraan seputar pengelolaan usahatani mengalir begitu saja sehingga petani tidak terbebani dan merasa nyaman dalam berdiskusi. Penyuluh juga tidak memberatkan petani yang rumahnya menjadi tempat berdialog karena tiba jam makan siang, penyuluh akan kembali ke kantor balai penyuluhan pertanian untuk beristirahat sejenak. Jarak antara persawahan dengan rumah petani tidak menjadi hambatan untuk berpartisipasi dalam setiap dialog SL-PTT. Hal ini karena sawah petani terletak di areal pemukiman penduduk dan disertai prasarana jalan yang memadai. Gambaran komunikasi partisipatif yang terjadi di Desa Abbokongen telah memenuhi strategi komunikasi menurut Dragon (2001) bahwa dialog yang terjadi berbasis komunitas petani dan cara-cara komunikasi merupakan jalan utama untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan petani, bukan berdasarkan kehendak dan kepentingan golongan tertentu. Selain itu, penyuluh pertanian berusaha melakukan proses penyadaran dan pemahaman kepada petani tentang masalah dan pencarian solusi, bukan secara persuasi yang hanya berdampak mengubah perilaku jangka pendek.
68
Pengaruh Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif terhadap Keputusan Penerapan Teknologi Keputusan penerapan teknologi dalam pengujian ini menggunakan total skor adopsi petani terhadap enam jenis teknologi dalam program SL-PTT meliputi penggunaan benih unggul, sistem tanam jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), dan penanganan panen dan pasca panen. Proses penerapan komunikasi partisipatif dalam tahapan program SL-PTT berpengaruh sangat nyata dengan keputusan petani dalam menerapkan teknologi budidaya padi sawah. Aktivitas komunikasi yang efektif dan hasil pertumbuhan padi di LL memberi bukti langsung kepada petani bahwa teknologi tersebut dapat meningkatkan produksi. Berdasarkan hasil uji statistik maka diperoleh persamaan regresinya sebagai berikut : Y2 = 16.930 + 0.591Y2.1 Tabel 29. Pengaruh proses penerapan komunikasi partisipatif terhadap keputusan penerapan teknologi. Penerapan Teknologi
Proses Penerapan Komunikasi Partisispatif
Koefisien regresi Constant 16.930 Penerapan Sepenuhnya 0.591 Keterangan : ** sangat nyata pada taraf α 0.01
Signifikan 0.000 0.049**
Komunikasi partisipatif yang berlangsung dalam program SL-PTT berpengaruh sangat nyata dengan arah hubungan positif terhadap penerapan teknologi SL-PTT di Desa Abbokongeng. Artinya, semakin aktif dan berkualitas penerapan komunikasi partisipatif, maka semakin tinggi pula adopsi teknologi petani dalam program SL-PTT. Koefisien regresi sebesar 0,591 menunjukkan bahwa setiap penambahan kuantitas dan kualitas proses penerapan komunikasi partisipatif (dialog) antara petani dan penyuluh akan berkontribusi terhadap adopsi teknologi petani sebesar 0,591 kali. Angka ini menjadi penting sebagai informasi untuk penyuluh agar lebih meningkatkan intensitas dialog atau pelaksanaan komunikasi partisipatif baik antara penyuluh dan pengambil kebijakan dengan petani sebagai pelaku utama pengelola usaha tani. Petani mengambil keputusan untuk menerapkan teknologi dalam SL-PTT diasumsikan disebabkan oleh hasil panen padi yang berhasil di LL dan faktor internal petani itu sendiri. Kemauan dan kemampuan petani untuk mengubah kuantitas dan kualitas panen sangat besar. Keaktifan petani di Desa Abbokongeng mendapat apresiasi dari pemangku kepentingan termasuk bupati Kabupaten Sidrap. Dalam hal ini petani merasakan dukungan yang kuat dari berbagai pihak. Hamijoyo (2005) menyatakan dialog secara substantif akan menumbuhkan komunikasi yang interaktif dan sekaligus menentukan derajat tinggi-rendahnya kemapanan suatu inovasi dalam sikap dan penilaian petani. Petani sebagai bagian dari masyarakat era informasi dituntut untuk memiliki kebiasaan belajar cepat dan bertindak cepat. Komunikasi partisipatif atau dua arah diperlukan untuk mempercepat dinamika pembangunan, khususnya untuk menghasilkan petani Indonesia yang berkualitas.
69
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan pada tahap pertemuan rutin dan diskusi harian tergolong tinggi sedangkan tahap PRA dan tahap temu lapang tergolong rendah. 2. Karakteristik petani: umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan, dan status sosial, karakteristik penyuluh: penguasaan materi dan keterampilan berkomunikasi, saluran komunikasi: pertemuan langsung dan kunjungan penyuluh ke rumah petani berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap. 3. Petani memutuskan menerapkan sepenuhnya teknologi SL-PTT. Hal ini disebabkan teknologi tersebut bermanfaat untuk mencapai tujuan utama yakni peningkatan produksi padi secara berkelanjutan. Proses penerapan komunikasi partisipatif berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani mengadopsi teknologi dalam SL-PTT. Saran 1. Pada tahap PRA dan tahap temu lapang partisipasi petani perlu ditingkatkan melalui pendekatan yang lebih intensif oleh penyuluh pertanian, misalnya membentuk kelompok kecil dengan petani yang tidak mengikuti tahap tersebut untuk diajak berdialog sedangkan untuk tahap pertemuan rutin dan diskusi harian perlu dipertahankan oleh penyuluh pertanian. 2. Proses penerapan komunikasi partisipatif petani dalam program SL-PTT hendaklah tetap dipertahankan melalui saluran komunikasi dan pengaruh penyuluh yang sudah terbentuk melalui peran penyuluh. 3. Diharapkan bahwa seluruh petani dapat menerapkan teknologi SL-PTT melalui peran aktif penyuluh dan komunikasi interaktif antar sesama petani. Penyuluh diharapkan dapat melibatkan tutor sebaya atau teman sesama petani untuk menggerakkan petani mengadopsi teknologi PTT secara luas.
DAFTAR PUSTAKA Aminah, S. 2013. Model Komunikasi Partisipatif untuk Keberdayaan Petani Kecil dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Halmahera Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ajatappareng News. 2013. Target Produksi Beras Capai 553 Ribu Ton. http://ajatapparengnews.com. Diakses pada tanggal 22 Februari 2014. Andawan, E. 2007. Hubungan Karakteristik Petani Kedelei dengan Kepuasan Mereka Pada Bimbingan Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
70
Anwas EOM. 2009. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut, Jawa Barat) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sidrap. 2011. Sidenreng Rappang Optimis Mewujudkan Target Surplus 10 Juta Ton Beras 2014 melalui Kegiatan Pengawalan di Lokasi SL-PTT. http://cybex.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 22 Februari 2014. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sidrap. 2012. Produksi Padi Sidrap Lampaui Target Sulsel. www.bpkp-sidrap.blogspot.com. Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication, USA (US): Hall Rinehart and Winston, Inc. Dagron, G.A. 2001. Making waves: stories of participatory communication for social change: Participatory Communication Case Studies. Rockefeller Foundation. Davis K E. 2008. Extension in Sub-Sahara Africa: Overview and Assessment of Post and Current Model, and Future Prospects. Journal of International Agricultural and Extension Education. Volume 15: Nomor 3, Fall 2008. Association of International Agricultural and Extension Education. Fachrista, I. Audiah & Risfaheri. 2013. Strategi Pengembangan Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi Sawah di Bangka Belitung. Jurnal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung. Volume 9: Nomor 2. Freire, P. 1972. Pedagogy of the Oppressed. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Utomo Dananjaya, Mansour Fakih, Roem Topatimasang & Jimly Assiddiqie. 1985. Jakarta (ID): LP3ES. Habermas J. 1984. Theory of Communicattive Action Boston: Beacon. Hadiyanto. 2008. Komunikasi Pembangunan Partisipatif: Sebuah Pendekatan Awal. Jurnal Komunikai Pembangunan. Volume 06: Nomor 2. Hadiyanto. 2009. Desain Pendekatan Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Peternak Domba Rakyat. Journal of Animal Science and Technology. Volume 32: Nomor 2. Hamijoyo, S. 2005. Komunikasi Partisipatoris. Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung (ID): Humaniora. Hardiman FB. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat Politik & Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta (ID): Kanisius. Havelock,G R. 1971. Planning for Innovation, Through Dissemination and Utilization of Knowledge. Center for Research on Utilization of Science Knowledge. Institut of Social Research. The University of Michigan, Ann Arbor Michigan.
71
Herawati dan Pulungan, I. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Partisipasi Kontak Tani Dalam Perencanaan Program Penyuluhan Pertanian (Kasus WKUPP Nyalindung Kabupaten Sukabumi). Jurnal Penyuluhan. Volume 2: Nomor 3. Huesca, R. 2002. Tracing the History of Participatory Communication Approaches to Development: A Critical Appraisal. dalam: Servaes, J. Ed. 2002. Approaches to Development Communication. UNESCO. Paris. Hughes, R. L., Ginnet, R. C., dan Curphy, G. J. 2009. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience, 6th Edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Jacobson, T.L. 2003. Participatory Communication for Social Change: The Relevance of the Theory of Communicative Action. In P.J. Kalbfleisch (ed.), Communication Yearbook (Vol.27). Mahwah, NJ: Lawrence, Erlbaum Associates/Publishers. Kifli GC. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan pada Komunitas Dayak di Kalimatan Barat. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 25: Nomor 2. Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung. http://pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/files/Pednis_SL-PTT2013. Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2007. Pedoman Teknis Pengelolaan Hama Terpadu (SL-HTT). http://pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/files/Pednis_SL-PTT2007. Lestari, W, Rabesdini, & Yusri. 2012. Respon Petani terhadap Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi Sawah di Desa Pulau Birandang, Kampar Timur. Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Lubis, D. 2007. Komunikasi menuju Komunitas Pembelajar. Editor : Adiwibowo, S. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor. Marsudi. 2009. Evaluasi Petani Peserta Program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kabupaten Ngawi. Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur. Mefalopulos, P. 2003. Theory and Practice of Participatory Communication (The case of the FAO Project “Communication for Devolopment in Southern Africa”) [disertation]. Texas at Austin. The University of Texas at Austin. Melkote, S.R. 2006. Everett M. Rogers and His Contributions to the Field of Communication and Social Change ini Developing Countries. Journal of Creative Communications 1:1. New Delhi: Sage Publications. Msibi, F & Penzhorn, C. 2010. Participatory Communication for Local Government in South Africa : A Study of the Kungwini Local Municipality. Article Information Development 26(3) 225-236. South Africa : Sage Publications. Narso. 2012. Persepsi Penyuluh Pertanian Lapang tentang Perannya dalam Penyuluhan Pertanian Padi di Provinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
72
Nasution AH & Barizi. 1990. Metode Statistika. Jakarta: Gramedia. Nasution, Z. 1996. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya, edisi revisi. Jakart (ID): Rajagrafindo Persada. Nurawan, A. 2007. Peningkatan Produksi Padi dengan Pendekatan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu, Analisis Usahtani dan Respons Petani terhadap Komponen Teknologi PTT Padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Nurbaeti, B. S.T. Muljanti dan T.Fahmi. 2010. Penerapan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu padi Sawah irigasi di Kabupaten Sumendang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Volume 11: Nomor 3. Nurhayati. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi dalam Sekolah Lapang Padi di Cikarawang, Bogor Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Purnaningsih, N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahim, SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process. In White SA, Nair KS. 2004. Participatory Communication: Working for Change and Development. New Delhi (IN): Sage Publications. Rusli, S. 1995. Pengantar Kependudukan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Rogers. 2003. Diffusion of Innovation. 4th ed. Free Press : A Division of Simon & Schuster, Inc. New York. Sadono,D. 2012. Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usaha tani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Satriani, I & Muljono, P. 2011. Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Volume 25: Nomor 2. Singarimbun M, Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. -----------------------------. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Ida Yustina & Ajat Sudradjat. Bogor (ID) : IPB Press. Sumardjo. 2007. Komunikasi dalam Perspektif Ekologi Manusia. Editor : Adiwibowo, S. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor. Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan: Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Penyunting: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: Sydex Plus.
73
Susanty, P. 2013. Komunikasi Partisipatif pada Pelaksanaan Program Pendidikan Lingkungan Hidup Green School di Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta Selatan (ID): PT. Bina Rena Pariwara. Tahoba, A. 2011. Strategi Komunikasi dalam Program Pengembangan Masyarakat (Community Development). Kasus Program Community Development pada Komunitas Adat Terkena Dampak Langsung Proyek LNG Tangguh di sekitar Teluk Bintuni, Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pulau-Pulau Kecil. Tjitropranoto. 2003. Penyuluh Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan. Di dalam: Ida Y dan Adjat S, Editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor (ID): IPB Press. Tufte T., Mefalopulos. 2009. Participatory Communication. Washington D.C (US): The World Bank. Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2006. www.feati.deptan.go.id/dokumen/uu_sp3k.pdf. Wahyuni. S., Sumardjo, & Hadiyanto. 2006. Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor). Jurnal Forum Pascasarjana. Volume 29: Nomor 3. Yamin, M. 2004. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta (ID): Gaung Persada Press.
74
75
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian
Peta Desa Abbokongeng
Suasana Pelaksanaan FGD
Keaktifan Petani Berdialog
76
Proses Belajar Petani di LL
Panen Raya bersama Presiden RI
77
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA SEKOLAH LAPANGAN (Kasus Petani di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan)
Petunjuk Pengisian : 1. Pilihlah jawaban menurut Bapak/Ibu yang dianggap benar dengan cara memberikan centang (√) jawaban yang telah disediakan. 2. Kami mohon semua pertanyaan dapat diisi, sehingga tidak ada yang terlewatkan. 3. Terima kasih saya ucapkan atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : ............................................................................................................ 2. Alamat : .......................................................................................................... .......................................................................................................... 3. Jenis Kelamin : (1) Laki-Laki
(2) Perempuan
4. Nama Kelompok Tani : .................................................................................. 5. Status dalam Kelompok : (1) Anggota : a. Aktif
b. Tidak Aktif
(2) Pengurus (3) Ketua 6. Bergabung Sejak Tahun : ...............................................................................
Tanggal Wawancara : Pewawancara :
78
Karakteristik Responden
Umur 1. Berapa umur Bapak/Ibu saat ini ? .................. tahun Tingkat Pendidikan 2. Pendidikan formal terakhir yang diikuti : 1) Tidak Pernah Sekolah 2) Lulus SD/ Sederajat atau tidak lulus s/d kelas ................................................ 3) Lulus SMP atau tidak lulus s/d kelas .............................................................. 4) Lulus SMA atau tidak lulus s/d kelas ............................................................ 5) Lulus Akademi/Universitas atau tidak lulus s/d tingkat ............................... Pengalaman Berusahatani 3. Sejak tahun berapa Bapak/Ibu mulai berusahatani : ............................................. 4. Sejak tahun berapa Bapak/Ibu mengikuti kegiatan SL-PTT :............................... Luas Lahan Garapan 5. Luas lahan sawah Bapak/Ibu .................................................................. ha 6. Status kepemilikan lahan untuk usahatani padi: (1) Milik Sendiri
(2) Menyewa
(3) Penggarap
(4) Bagi Hasil
7. Pekerjaan : 1) Utama : ................................................................. 2) Lainnya : .............................................................. 8. Jumlah anggota keluarga Bapak/Ibu ..........................................................orang Analisis Usahatani Responden satu tahun terakhir 9. Tanaman di usahakan : (1) Padi (2) Palawija (3) Hortikultura (4) Lainnya : .....................
79
10. Permasalahan produksi yang dihadapi : a. Ketersediaan benih : (1) Ya, alasan ............................................................................................... (2) Tidak, alasan .......................................................................................... b. Ketersediaan pupuk : (1) Ya, alasan ................................................................................................ (2) Tidak, alasan ........................................................................................... c. Ketersediaan air irigasi : (1) Ya, alasan ............................................................................................... (2) Tidak, alasan .......................................................................................... d. Serangan hama dan penyakit : (1) Ya, alasan ............................................................................................... (2) Tidak, alasan ........................................................................................... 11. Di mana biasanya Bapak/Ibu menjual hasil panen: (1) Pasar (3) Konsumsi Keluarga
(2) Tetangga
(4) Lainnya : ........................
12. Menurut Bapak/Ibu, apakah penjualan beras sulit dilakukan : (1) Ya, alasan ..................................................................................................... (2) Tidak, alasan ................................................................................................ No.
Jenis Biaya Variabel
1.
Benih
2.
Pupuk a. b. c.
3.
Pestisida
4.
Upah Tenaga Kerja
5.
Pengangkutan Total Biaya Produksi Harga Jual Penerimaan Keuntungan
Jumlah Fisik
Harga Per Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
80
Karakteristik Penyuluh Petunjuk : Mohon Bapak/Ibu memberikan Bapak/Ibu centang (√) pada pilihan jawaban yang disediakan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Keterangan : (B) : Baik (CB) : Cukup Baik (KB) : Kurang Baik Penguasaan Materi Penyuluh No. 13. 14.
15.
Pernyataan
B
Tanggapan CB KB
Ket.
Pengetahuan Penyuluh tentang SL-PTT Penguasaan materi Penyuluh tentang : a. Materi Varietas unggul b. Pengelolaan jarak tanam jajar legowo c. Pemupukan efisien d. Pengairan berselang e. Panen dan penanganan pasca panen Penyuluh mengenali wilayah kerjanya
Keterampilan Berkomunikasi Penyuluh Petunjuk : Mohon Bapak/Ibu memberikan Bapak/Ibu centang (√) pada pilihan jawaban yang disediakan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Keterangan : (T) : Tinggi (S) : Sedang (R) : Rendah No.
Pernyataan
16.
Kemampuan Penyuluh secara pribadi mengajak Bapak/Ibu ikut dalam program SL-PTT Kemampuan Penyuluh membangkitkan suasana komunikasi dalam kelompok Kemampuan penyuluh mendengarkan Bapak/Ibu dalam menceritakan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Kemampuan penyuluh menjawab permasalahan dan atau pertanyaan Bapak/Ibu Kemampuan penyuluh menggunakan bahasa setempat dalam berkomunikasi dengan masyarakat
17. 18.
19.
20.
Tanggapan T S R
Ket.
81
21. 22. 23.
Kemampuan penyuluh menjalin hubungan yang akrab dengan petani Penyuluh melibatkan tokoh adat dalam pelaksanaan SL-PTT Kemampuan penyuluh mencontohkan cara pengelolaan padi yang sesuai anjuran SL-PTT Saluran Komunikasi 24. Selain dalam pertemuan, apakah media berikut juga digunakan dalam berinteraksi membahas praktek SL-PTT ? Tanggapan Sangat Sesuai Tidak No. Pernyataan Ket. Sesuai Sesuai a.
Handphone
b.
Pertemuan di Sawah
c.
Penyuluh berkunjung ke rumah petani
Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif dalam SL-PTT Petunjuk : Mohon Bapak/Ibu memberikan Bapak/Ibu centang (√) pada pilihan jawaban yang disediakan sesuai dengan keadaan sebenarnya. PRA No.
Pernyataan
a. Kesempatan Berdialog 25. Apakah Bapak/Ibu ikut PRA 26.
27.
28.
29.
Apakah penyuluh memberikan waktu kepada Bapak/Ibu untuk bertanya Apakah penyuluh memberikan waktu kepada Bapak/Ibu untuk berbagi pengalaman Apakah penyuluh memberikan waktu kepada Bapak/Ibu untuk menyampaikan keluhan atau masalah Apakah penyuluh memberikan waktu kepada Bapak/Ibu menyampaikan kebutuhan
Ya
Tanggapan KadangTidak Kadang
Frekuensi Intensitas
82
Tanggapan No.
Pernyataan
Ya
KadangKadang
b. Keaktifan Petani Bertanya/memberi Saran 30. 31.
Apakah Bapak/Ibu bertanya Apakah Bapak/Ibu memberi saran dan berbagi pengalaman kepada sesama petani Apakah Bapak/Ibu berbagi 32. pengalaman kepada Penyuluh Apakah Bapak/Ibu 33. menyampaikan kendala pertanaman Apakah Bapak/Ibu 34. menyampaikan potensi desa c. Tanggapan Penyuluh Apakah penyuluh menanggapi 35. pertanyaan Bapak/Ibu Apakah penyuluh menanggapi 36. saran Bapak/Ibu Apakah penyuluh menanggapi 37. keluhan/masalah Bapak/Ibu Apakah pihak pemerintah yang 38. hadir menanggapi keluhan/masalah Bapak/Ibu Apakah pihak pemerintah yang 39. hadir menanggapi permintaan kebutuhan Bapak/Ibu d. Keterlibatan dalam Proses Pengambilan Keputusan 40. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam penyusunan rencana materi PRA Apakah Bapak/Ibu terlibat 41. dalam proses pengambilan keputusan jenis teknologi yang akan digunakan
Tidak
Frekuensi/ Intensitas
83
Pertemuan Rutin Pernyataan
No.
a. Kesempatan Berdialog Apakah Bapak/Ibu ikut dalam 42. pertemuan rutin Apakah Penyuluh memberikan waktu 43. kepada Bapak/Ibu untuk bertanya Apakah Penyuluh memberikan waktu 44. kepada Bapak/Ibu untuk menyampaikan saran Apakah Penyuluh memberikan waktu 45. kepada Bapak/Ibu untuk menyampaikan masalah pengendalian hama Apakah Penyuluh memberikan waktu 46. kepada Bapak/Ibu untuk menyampaikan masalah penanganan irigasi b. Keaktifan Petani Bertanya/memberi saran 47. Apakah Bapak/Ibu bertanya tentang : a. Penggunaan Benih Unggul b. Cara tanam jajar legowo c. Pengendalian hama d. Pemupukan e. Pengaturan irigasi f. Penanganan panen Apakah Bapak/Ibu berbagi pengalaman 48. pada pertemuan Apakah Bapak/Ibu menyampaikan 49. kendala yang dihadapi c. Tanggapan Penyuluh 50. Apakah Penyuluh menanggapi pertanyaan Bapak/Ibu tentang : a. Penggunaan Benih Unggul b. Cara tanam jajar legowo c. Pengendalian hama d. Pemupukan e. Pengaturan irigasi f. Penanganan panen
Ya
Tanggapan Kadang- Tidak Kadang
Intensitas
84
No.
Pernyataan
Ya
Tanggapan Kadang- Tidak Kadang
Frekuensi/ Intensitas
Apakah Penyuluh menanggapi keluhan/masalah Bapak/Ibu Apakah pihak pemerintah menanggapi 52. keluhan/masalah Bapak/Ibu Apakah pihak pemerintah menanggapi 53. pertanyaan Bapak/Ibu d. Keterlibatan dalam Proses Pengambilan Keputusan 54. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengendalian hama 55. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam proses pengambilan keputusan pemupukan 56. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengaturan irigasi 51.
Diskusi No.
Pernyataan
Ya
a. Kesempatan Berdialog 57. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam diskusi harian 58. Apakah Bapak/Ibu memiliki waktu untuk berdiskusi dengan petani lain 59. Apakah Bapak/Ibu memiliki waktu untuk berdiskusi dengan penyuluh 60. Apakah penyuluh meluangkan waktu untuk berdiskusi harian 61. Apakah penyuluh memberikan waktu untuk bertanya dan berbagi pengalaman b. Keaktifan Petani Bertanya/memberi Saran Apakah Bapak/Ibu bertanya dalam 62. setiap diskusi Apakah Bapak/Ibu berbagi pengalaman 63. kepada sesama petani 64. Apakah Bapak/Ibu berbagi pengalaman kepada penyuluh
Tanggapan Kadang- Tidak Kadang
Intensitas
85
Tanggapan No.
Pernyataan
Ya
KadangKadang
Tidak
Intensitas
c. Tanggapan Penyuluh 65. Apakah penyuluh menanggapi pertanyaan Bapak/Ibu dalam diskusi 66. Apakah penyuluh menanggapi saran dari pengalaman Bapak/Ibu dalam diskusi 67. Apakah petani lain menanggapi saran Bapak/Ibu Temu Lapang No.
Pernyataan
Ya
a. Kesempatan Berdialog Apakah Bapak/Ibu ikut dalam temu 68. lapang 69. Apakah Penyuluh memberikan waktu untuk menyampaikan hasil SL-PTT secara keseluruhan 70. Apakah Bapak/Ibu memperkenalkan SL-PTT kepada masyarakat tani secara umum b. Keaktifan Petani Bertanya/Memberi Saran Apakah Bapak/Ibu bertanya kepada penyuluh di lahan percontohan 72. Apakah Bapak/Ibu berbagi informasi tentang manfaat SL-PTT kepada penyuluh 73. Apakah Bapak/Ibu berbagi informasi tentang manfaat SL-PTT kepada petani yang tidak ikut SL-PTT c. Tanggapan Penyuluh 74. Apakah penyuluh menanggapi hasil pengamatan selama mengikuti SL-PTT 71.
Tanggapan Kadang- Tidak Kadang
Intensitas
86
Keputusan Penerapan Teknologi
No. 75.
Pernyataan
Menerapkan sepenuhnya
Tindakan Menerapkan sebagian
Tidak Menerapkan
Tingkat penerapan teknologi sesuai anjuran dalam SL-PTT Padi : a. Penggunaan bibit unggul b. Penanaman jejer legowo c. Pemupukan d. Pengairan berselang e. Pengendalian OPT f. Panen dan penanganan pasca panen
76. Alasan Bapak/Ibu menerapkan teknologi tersebut: ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... 77. Alasan Bapak/Ibu tidak menerapkan teknologi tersebut: ............................................................................................................................. .............................................................................................................................
Pertanyaan Terbuka (In Depth)
78. Masa Kerja Penyuluh .............. (Tahun) 79. Apakah penyuluh telah membantu Bapak/Ibu dengan baik? ............................................................................................................................. .......................................................................................................................... 80. Apakah Penyuluh meluangkan waktu dalam membantu pengelolaan usaha tani? 1) Ya
2) Tidak
81. Kendala-kendala apa yang Bapak/Ibu hadapi berkaitan dengan usahatani padi? ............................................................................................................................. ..........................................................................................................................
87
82. Waktu kunjungan penyuluh apakah tetap (pagi/sore)? 1) Pagi
2) Sore
3) Pagi dan Sore
83. Lamanya kunjungan penyuluh rata-rata berapa ................ jam 84. Apakah Bapak/Ibu masih berusahatani sendiri sesuai ajaran turun temurun? Ya, Mengapa ?.................................................................................................. Tidak, Mengapa ?.............................................................................................. 85. Berapa rata-rata produktivitas padi yang dihasilkan setahun terakhir ini dari lahan yang Bapak/Ibu garap? ............................................................................................................................. 86. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya apakah ada peningkatan produksi padi? Ya, Mengapa ?.................................................................................................. Tidak, Mengapa ? ............................................................................................ 87. Apakah perubahan produktivitas padi tersebut terkait atau berhubungan dengan program SL-PTT? 1) Ya
2) Tidak
88. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana tingkat kemudahan mendapatkan modal dari program SL-PTT ? 1) Sangat Sulit 2) Sulit
3) Mudah 4) Sangat Mudah
89. Apakah Bapak/Ibu mempunyai kepercayaan pada penyuluh sebagai sumber informasi ? Ya, mengapa ? ................................................................................................... Tidak, mengapa ? .............................................................................................. 90. Apakah materi dalam penyuluhan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti ? 1) Ya
2) Tidak
91. Apakah Bapak/Ibu senang bekerja sama dengan penyuluh pertanian yang mempekenalkan SL-PTT ? Ya, mengapa ? ................................................................................................... ................................................................................................... Tidak, mengapa ? .............................................................................................. ...................................................................................................
88
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rappang, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 30 Maret 1989 sebagai putri kedua dari pasangan Muchtar dan St. Raodah. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada tahun 2007 di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 2011. Lulus pada pendidikan sarjana, penulis bekerja sebagai asisten dosen pada program studi Agribisnis. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan rekomendasi dari rektor Universitas Hasanuddin untuk melanjutkan pendidikan. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan program Pascasarjana IPB yang disponsori oleh Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.