KOMUNIKASI, KOHESIVITAS DAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API (Kasus: Kereta Api Patas Purwakarta)
SITI KHADIJAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Kelompok, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter” adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Nopember 2015 Siti Khadijah NRP I352120101
RINGKASAN Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter Berkereta Api. Dibimbing oleh DJUARA P LUBIS dan RILUS KINSENG. Kereta Api Patas Purwakarta merupakan moda transportasi andalan pekerja di Jakarta yang berdomisili di Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang hingga Tambun. Umumnya penumpang yang berada disetiap gerbong selalu sama. Kondisi gerbong yang padat, latar belakang beragam serta wajah penumpang kereta yang selalu sama setiap harinya menciptakan kedekatan di antara sesama penumpang melalui komunikasi. Melalui komunikasi yang intensif setiap hari akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial dalam gerbong kereta karena memiliki tujuan sama yaitu keamanan dan kenyamanan selama dalam perjalanan. Penelitian ini menghasilkan (1) deskripsi proses komunikasi kelompok dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas Purwakarta, (2) analisis hubungan proses komunikasi kelompok dengan karakteristik individu dan akses informasi, (3) analisis hubungan kohesivitas dengan karakteristik individu dan akses informasi, (4) analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas (5) analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok. Penelitian ini dilaksanakan di gerbong empat KA. Patas Purwakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 86 responden. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan accidental sampling, sedangkan untuk informan berjumlah 7 orang yang dipilih dengan menggunakan teknik snowball sampling. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap anggota kelompok terlibat aktif dalam proses komunikasi sebesar 82.6 %, sehingga proses komunikasi yang berjalan bersifat dinamis dan terbuka. Setiap anggota kelompok mengerti terhadap pesan yang disampaikan dalam kelompok sebesar 91.9 %. Pesan-pesan yang disampaikan dalam kelompok adalah informasi seputar keluarga, pekerjaan dan gaya hidup. Setiap individu memiliki pengetahuan dan ketaatan yang tinggi terhadap norma sebesar 86 %. Norma dan sanksi hanya untuk mengatur partisipasi anggota dalam proses komunikasi dan berlaku efektif walaupun tidak tertulis. Kohesivitas terbentuk di antara anggota kelompok melalui perasaan saling sebesar 84.0%, keterbukaan sebesar 66.3%, kebersamaan dalam kelompok sebesar 72.1% dan kebersamaan diluar kelompok sebesar 50%. Umur memiliki hubungan nyata negatif dengan dengan tingkat pengetahuan dan ketaatan terhadap norma kelompok. Artinya semakin bertambah usia anggota kelompok maka semakin rendah tingkat pengetahuan dan ketaatan anggota terhadap norma kelompok. Posisi pekerjaan memiliki hubungan negatif dengan peran dalam komunikasi, semakin baik posisi pekerjaan anggota kelompok maka semakin rendah perannya dalam proses komunikasi. Jenis kelamin memiliki perbedaan nyata dengan proses komunikasi kelompok. Posisi pekerjaan yang memiliki hubungan negatif dengan dengan kebersamaan di luar gerbong. Terdapat perbedaan nyata antara jenis kelamin dengan kebersamaan di luar gerbong. Kebersamaan memiliki hubungan yang sangat nyata dengan akses informasi. Pembentukan identitas berhubungan dengan proses komunikasi dan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok yang dapat dilihat dari semakin tinggi keterlibatan anggota kelompok dalam proses komunikasi maka semakin tinggi pula pembentukkan identitas kelompok. Semakin tinggi perasaan saling memiliki antar sesama anggota kelompok maka semakin tinggi pembentukkan identitas. Pembentukkan identitas kelompok berhubungan sangat nyata dengan manfaat yang diterima oleh anggota dan keluarga anggota kelompok. Kata Kunci: Komunikasi, kohesivitas, pembentukkan identitas.
SUMMARY SITI KHADIJAH. Communication, Cohesiveness and Identity Among Commuters Buggy Fire. Supervised by DJUARA P LUBIS and RILUS KINSENG. Railway Patas Purwakarta is the only mode of transportation of workers who live in Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang until Tambun. Generally, passengers are always the same in every carriage. Conditions of carriage of solid, diverse backgrounds and train passengers face is always the same every day creates closeness among fellow passengers through communication. Through intensive communication every day eventually forming social groups in the train because it has the same purpose, namely security and comfort during the trip. This study aimed to (1) description the process of group communication and cohesiveness railway Patas Purwakarta, (2) analysis of relationship communication process group with individual characteristics and access to information, (3) analysis of the relationship cohesiveness with individual characteristics and access to information, (4) analysis of the relationship formation of group identity with the group communication and cohesiveness (5) analysis of the relationship formation of group identity with group benefits. The study was conducted to 86 members of the group in KA.Patas Purwakarta with quantitative methods using questionnaires as research instruments. Sampling technique using accidental sampling, while the informant amounted to 7 people were selected using snowball sampling technique. Test analysis using Spearman rank statistic and chi Square to analyze the relationship between the characteristics of the group members, with the communication process and individual attitudes towards cohesiveness among commuters. The study states that each member of the group is actively involved in the communication process amounted to 82.6%, so the communication process runs is dynamic and open. Each member of the group understand the message conveyed in the group amounted to 91.9%. The messages conveyed in the group is information about family, work and lifestyle. Every individual has the knowledge and observance of high against the norm of 86%. Norms and sanctions just to organize members' participation in the communication process and is effective even if unwritten. Cohesiveness is formed between the group members through mutual feelings of 84.0%, amounting to 66.3% of openness, togetherness in the group amounted to 72.1% and togetherness outside the group by 50%. Age has a real negative correlation with the level of knowledge and adherence to group norms. It means increasing the age of members of the group, the lower the level of knowledge and adherence to the norms of the group members. The position of the work has a negative relationship with a role in the communication, the better the job position of the group, the lower its role in the communication process. Gender has a significant difference with the group communication process. Job positions have a negative relationship with the togetherness outside the carriage. There is a real difference between the sexes with togetherness outside the carriage. Togetherness have a very real connection with access to information. The formation of identity associated with the process of communication and individual attitudes toward group cohesiveness that can be seen from the higher involvement of members of the group in the communication process, the higher the formation of group identity. The higher the feeling of belonging among fellow members of the group, the higher the formation of identity. The formation of a very real group identity associated with the benefits received by members and family members of the group. Keywords: Communication, cohesiveness, identity formation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI, KOHESIVITAS DAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API (Studi Kasus: KA. Patas Purwakarta)
SITI KHADIJAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Judul Tesis : Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter Berkereta Api Nama : Siti Khadijah NRP : I352120101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua
Dr Ir Rilus A Kinseng, MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Nopember 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa apa yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini dengan judul “Komunikasi Kelompok, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter” yang mana penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Komunikasi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manumur, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kerpada Dr Ir Djuara Lubis, MS dan Dr Ir Rilus Kinseng MA selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran, dan bimbingannya. Penulis sampaikan penghargaan kepada penumpang kereta api Patas Purwakarta, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan ananda tercinta atas segala doa dan dukungannya, serta kepada seluruh teman-teman KMP angkatan 2012 atas segala motivasi dan semangat yang diberikan. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Nopember 2015 Siti Khadijah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
Halaman xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1
2
3
4
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Commuting (Nglaju) Kelompok Sosial Komunikasi Kelompok Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasi Model Komunikasi Kelompok Kohesivitas Kelompok Pembentukkan Identitas Kelompok Karakteristik Individu Hasil Studi Komunikasi Kelompok, Kohesivitas, Pembentukkan Identitas Kelompok dan Kebaruan Penelitian Perumusan Kerangka Berfikir Hipotesis
2 4 5 5 6 8 10 10 12 13 15 18 19 21 22
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Sumber Data Penelitian Instrumen Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional Uji Validitas dan Reliabilitas Analisa Data
24 24 24 24 25 25 26 28 30
GAMBARAN UMUM KA. PATAS PURWAKARTA Pola Operasi Kereta Api Ptas Purwakarta Karakteristik Komuter Proses Komunikasi Terbentuknya Kelompok “Gerbong Setan” Peran dan Partisipasi Anggota Kelompok Pengetahuan dan Ketaatan terhadap Norma Kohesivitas Kelompok Gerbong Empat
31 33 36 39 41 41
5
6
7
8
PROSES KOMUNIKASI KELOMPOK DAN KOHESIVITAS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA GERBONG EMPAT Proses Komunikasi Kelompok Kohesivitas Kelompok Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Karakteristik Anggota dan Akses Informasi Hubungan Kohesivitas Kelompok dengan Karakteristik Anggota dan Akses Informasi PEMBENTUKKAN IDENTITAS KELOMPOK DAN HUBUNGANNYA DENGAN PROSES KOMUNIKASI KELOMPOK DAN KOHESIVITAS Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Pelembagaan Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Internalisasi Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Pembentukkan Identitas Kelompok Hubungan Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas Kelompok MANFAAT KELOMPOK Manfaat Kelompok Bagi Diri Anggota Kelompok Manfaat Kelompok Bagi Keluarga Anggota Kelompok Hubungan Pembentukkan Identitas Kelompok dengan Kelompok SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
44 47 50 52
54 56 59 60
62 66 Manfaat 68
69 70
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
77
RIWAYAT HIDUP
82
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Halaman 28 29 35
Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian Nilai uji koefisien cronbach alpha Jumlah dan presentase responden menurut karakteristik anggota kelompok KA.Patas Purwakarta tahun 2014 Jumlah dan Persentase Proses Komunikasi dalam Kelompok tahun 2014 s Purwakarta Jumlah dan persentase kohesivitas kelompok tahun 2014 Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan proses komunikasi tahun 2014 .Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dengan proses komunikasi tahun 2014 Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014 Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014 Jumlah dan persentase pembentukkan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta melalui proses pelembagaan tahun 2014 Jumlah dan persentase pembentukan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta melalui proses internalisasi tahun 2014 Hasil uji korelasi antara proses komunikasi dengan pembentukkan identitas tahun 2014 Hasil uji korelasi antara kohesivitas dengan pembentukkan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta tahun 2014 . Jumlah dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta bagi diri Jumlah dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta bagi keluarga Hasil uji korelasi antara pembentukkan identitas kelompok .
45 48 51 79 53 79 55 57 60 61 63 67 69
i
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk 2 Kerangka berfikir 3 Jalur KA.Patas Purwakarta 4 Aktivitas komunikasi dalam gerbong kereta 5 Partisipasi Anggota Kelompok dengan Memberi Sumbangan Sukarela 6 Ekspresi bahagia anggota kelompok yang dapat arisan 7 Aktivitas bermain kartu gaple
7 22 33 46 47 64 65
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tabel Chi Square 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 3 Pola Operasi KA.Patas Purwakarta tahun 2014 4 Informan Penelitian 5 Dokumentasi Penelitian 6 Website Informasi Kereta Api
79 80 81 82 83 84
ii
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah komuter di Indonesia mencapai 6,9 juta orang. Dari total komuter tersebut 3,6 juta orang berada di wilayah Jabodetabeka (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang) (Laporan Deputi Gubernur bidang Perindustrian, Perdagangan dan Transportasi 2014). Tingginya tingkat mobilitas komuter menuju kota Jakarta karena aktivitas industri dan perdagangan di perkotaan dan semakin sulit kesempatan bekerja di pedesaan. Goldthorpe (1992) dan Almeida (2005) mengatakan bahwa komuter yang berdatangan dari desa ke kota, disebabkan karena areal pertanian yang menjadi mata pencaharian berkurang signifikan. Akibatnya muncul ekspansi kegiatan perkotaan (komuter). Setiap hari, mobilitas komuter mengalir deras dari berbagai daerah pinggiran kota menuju pusat kota (Surya 2006). Sebagian besar komuter melakukan mobilitas untuk bekerja (Abdillah 2014). Jakarta menjadi tujuan komuter karena percepatan pembangunan dan pertumbuhan industri terus meningkat. Friedman mengidentifikasi kota sebagai wilayah inti yang berperan sebagai pusat pelayanan dan sebagai pusat pembangunan dan dapat memberikan peluang ekonomi (Adisasmita 2006). Di Indonesia, umumnya para komuter memilih tempat tinggal di daerah pinggiran karena kemampuan yang terbatas untuk membeli atau menyewa lahan sebagai tempat tinggal. Komuter yang memilih tempat tinggal di daerah pinggiran memberikan dampak positif bagi pusat kota, yaitu mengurangi kepadatan penduduk dan semakin berkembangnya daerah pinggiran sebagai tempat tinggal para komuter (Badan Pusat Statistik 2014). Menurut Marbun (1979) mobilitas komuter yang tinggi harus diimbangi dengan ketersediaan dan kemudahan sarana transportasi dan pendukungnya. Ketersediaan dan kemudahan sarana transportasi seperti kereta api, APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway), omprengan (mobil pribadi yang membawa penumpang orang kantoran dengan memungut biaya kepada penumpang) menyebabkan komuter memilih tempat tinggal di daerah pinggiran sementara wilayah bekerja berada di pusat kota. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh mobilitas komuter juga tidak sedikit, yaitu kemacetan yang tidak bisa dihindari setiap harinya, polusi, dan peningkatan stres. Transportasi massal seperti bis, omprengan dan kereta api menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan, polusi dan stress. Jasa transportasi omprengan menjadi sarana transportasi alternatif yang berkembang pesat sejak kenaikan BBM.. Para pekerja kantoran yang biasa pulang pergi membawa kendaraan pribadi beralih dengan memilih mobil omprengan. Hal ini dilakukan untuk menghemat pengeluaran setiap bulan. Namun demikian jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta api lebih banyak daripada mobil omprengan dan bis. Hal ini dikarenakan komuter yang menggunakan mobil akan mengalami stres yang lebih karena macet dibandingkan dengan komuter yang menggunakan kereta api (Wener dan Evans 2011). Kereta api sebagai salah satu moda transportasi publik menjadi alternatif untuk mengatasi kemacetan menuju pusat kota karena dapat mengangkut penumpang sebanyak 1500 orang setiap satu kali perjalanan (Wiloyonoyudho
2 2015). Selain itu kereta api memiliki keunggulan seperti tarif yang terjangkau bagi kalangan menengah bawah, waktu perjalanan relatif cepat, bebas dari kemacetan jalan raya dan stress (Wener dan Evans 2011) serta sesuai untuk daerah yang memiliki kepadatan penduduk dengan lahan terbatas dan kegiatan ekonomi tinggi (Munawar 2005). Jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta setiap harinya kian bertambah 800.000-an orang sebagai imbas dari kenaikan BBM (Julianery 2015). Perjalanan menggunakan kereta api diminati sebagian besar komuter yang bekerja di kota Jakarta tetapi memiliki tempat tinggal di daerah pinggiran. Sejarah mencatat, dari masa kolonial kereta api berperan menghubungkan kota-kota besar hingga daerah pedesaan (Ilmanda 2013). Jumlah penumpang akan meningkat saat jam sibuk baik pagi dan sore hari. Hal ini menyebabkan setiap gerbong kereta api selalu penuh dan padat, namun penumpang yang memenuhi gerbong tersebut selalu sama orangnya setiap hari. Penumpang-penumpang yang selalu bertemu setiap hari di dalam gerbong saling berinteraksi dan berkomunikasi. Menurut McFarlane (2010) komunikasi sebagai jalan untuk mengelola hubungan dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Perjalanan dengan menggunakan kereta api menjadi ruang bagi individu-individu dalam gerbong kereta untuk saling mengenal dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi setiap harinya sebagai solusi untuk mengusir rasa jenuh dan stress selama dalam perjalanan menuju tempat masing-masing. Interaksi dan komunikasi setiap hari secara intensif baik pada saat berangkat bekerja dan pulang bekerja menciptakan kedekatan antara satu penumpang dengan penumpang lainnya dalam kereta. Komunikasi dan interaksi yang intensif setiap harinya akhirnya membentuk kelompok dalam gerbong kereta. Kelompok menurut Adler, terdiri dari “a small collection of people who interact each other, usually face to face, over time in order to reach goals” (2009). Kelompok setidaknya harus terdiri dari tiga atau lebih individu yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Telah terjadi pergeseran nilai sangat mendasar pada masyarakat industri. Kelompok terbentuk berdasarkan pilihan sukarela dan kesamaan profesi ataupun hobi yang umumnya selalu berorientasi ekonomi (Hidayat 2015). Menurut Gerhard Lenski (Macionis 2012) perubahan masyarakat terjadi salah satunya karena dampak sosial teknologi transportasi. Teknologi transportasi bagi masyarakat urban berpengaruh terhadap intensitas interaksi sosial, membuat orang yang tinggal bersebelahan dalam satu wilayah tidak mengenal satu sama lain dan interaksi intensif berpindah pada ruang perjalanan (transportasi). Kelompokkelompok sosial nonkeluarga seperti teman selama perjalanan mulai mengambil peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu serta membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan melalui komunikasi. Komunikasi ini lalu mendorong perubahan sosial (social change) dengan terbentuknya komunitas baru seperti komunitas nebeng (nebengers), dan komunitas kereta api Patas Purwakarta. Komunitas nebeng (nebengers) awalnya terbentuk berdasarkan kebutuhan informasi komuter untuk mengetahui titik-titik berkumpul para pemberi tumpangan sesuai dengan daerah tujuan. Kebutuhan pendataan para nebengers membuat para anggota berinisiatif untuk melakukan pertemuan sekaligus mengakrabkan anggota.. Pertemuan ternyata tidak hanya mengakrabkan anggota komunitas nebengers saja melainkan juga membangun kepercayaan dan relasi
3 dengan sesama para anggota. Selain pada komunitas nebengers, komunitas berkereta api juga terbentuk dari para komuter berkereta api. Pertemuan setiap hari para komuter di dalam gerbong kereta, membentuk kelompok pada KA. Patas Purwakarta. Kelompok pada KA. Patas Purwakarta terbentuk di latar belakangi oleh kepentingan serta tujuan yang sama yaitu memperoleh rasa aman dan nyaman selama dalam perjalanan. Menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penumpang harusnya menjadi tanggung jawab PT. KAI (Persero) sesuai dengan UU No .23 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional” (Departemen Perhubungan 2007). Kelompok sosial komuter pada KA. Patas Purwakarta merupakan kelompok yang anggotanya berasal dari semua golongan masyarakat dengan suku, agama dan latar belakang yang berbeda. Komunikasi verbal dan non verbal yang kerap dilakukan oleh anggota kelompok memunculkan julukan khusus kepada kelompok yang terbentuk. Bentuk komunikasi non verbal yang diperlihatkan begitu unik dan khas. Prilaku komunikasi muncul sebagai bentuk perlindungan kepada anggota kelompok apabila ada penumpang “asing” atau di luar anggota gerbong mengancam kenyamanan dan keamanan anggota kelompok. Prilaku komunikasi ini merupakan proses kognitif sosial terkait dengan kelompok dalam menghasilkan identitas sosial dan perilaku kelompok (Hogg 2006). Di dalam kelompok sosial ini, terdapat beberapa hal menarik ditemukan, misalnya dalam hal perilaku-perilaku komunikasi komuter secara individu maupun secara berkelompok yang disebabkan interaksi antar anggotanya yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Misalnya saja ada anggota kelompok yang masih single mendapatkan jodohnya pada kelompok sosial ini juga. Dengan bergabungnya penumpang kereta ke dalam kelompok sosial ini, mereka mendapatkan beberapa hal positif bagi dirinya. Kesan positif yang tertanam pada anggota kelompok membentuk rasa saling percaya serta tolong menolong antara satu dengan yang lainnya bahkan lingkungan disekitar mereka. Individu-individu yang berinteraksi di dalam kereta memiliki berbagai macam aktivitas di dalam dan di luar kereta sebagai bentuk kohesivitas kelompok. Beal, Cohen, Burke, and McLendon (2003) berpendapat bahwa kohesivitas kelompok terdiri dari interaksi interpersonal, komitmen tugas, dan kebanggaan kelompok. Komitmen yang diberikan oleh individu yang bergabung dalam kelompok diantaranya adalah mengikuti kegiatan bersama diluar gerbong seperti berkunjung ke rumah anggota dengan momentum arisan, menghadiri undangan perkawinan, mengunjungi anggota yang sakit dan lain-lain. Kebersamaan anggota tidak hanya sekedar di dalam gerbong kereta atau selama dalam perjalanan saja, melainkan juga dilakukan di luar gerbong kereta sebagai wujud kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok sejatinya mampu mempengaruhi suasana kelompok dalam merealisasikan tujuan-tujuan kelompok. Kohesivitas yang telah terbentuk tentunya tidak begitu saja tercipta dan mudah dipertahankan, ada proses. Perbedaan latar belakang etnis, sosial ekonomi anggota dan komunikasi terus menerus terkadang menjadi permasalahan yang kerap muncul diantara sesama anggota komuter maupun di luar anggota kelompok dan ini dapat
4 mengganggu komunikasi anggota kelompok dan kohesivitas kelompok sosial komuter. Mobilitas komuter merupakan aktivitas yang selalu ada pada masyarakat industri. Teknologi transportasi kereta api bagi masyarakat urban berpengaruh terhadap interaksi sosial yang pendorong perubahan sosial (social change) dengan terbentuknya komunitas-komunitas nonkeluarga melalui hubungan pertemanan selama dalam perjalanan. Aktivitas interaksi dan komunikasi komuter selama dalam perjalanan akan berpengaruh terhadap sosialisasi budaya, pendidikan, pekerjaan individu dan membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar ide dan gagasan melalui komunikasi. Hal ini tentunya tidak hanya berpengaruh pada pembentukan kelompok sosial komuter saja, tetapi juga berkorelasi terhadap manfaat yang diterima oleh individu anggota dan keluarga masing-masing anggota. Sosialisasi dan pertukaran informasi dari proses komunikasi mampu membangun budaya, pengetahuan anggota dan menularkannya kepada keluarga masing-masing. Melihat pentingnya proses komunikasi dan interaksi komuter selama dalam perjalanan sebagai pendorong perubahan sosial, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukan Identitas di Kalangan Berkereta Api”. Perumusan Masalah Peningkatan mobilitas komuter menyebabkan kemacetan tidak bisa dihindari setiap harinya. Kereta api sebagai moda transportasi komuter mengambil peran sebagai moda transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan menuju Jakarta. Namun segala sesuatu ada sisi positif dan negatifnya. Di samping sebagai moda transportasi yang murah dan cepat, ternyata kereta juga memiliki kelemahan dari sisi keamanan dan kenyamanan, khususnya KA. Patas Purwakarta. Kondisi gerbong yang padat, dengan wajah penumpang yang selalu sama setiap harinya akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial di gerbong kereta. Perbedaan latar belakang dan karakter antar penumpang yang beragam seperti suku, etnis, agama dan status sosial ekonomi tidak menjadi halangan dalam membentuk kelompok. Kelompok sosial yang terbentuk berawal dari komunikasi. Proses komunikasi yang terjadi mampu membentuk kelompok-kelompok sosial dalam gerbong kereta. Melalui komunikasi secara individu maupun kelompok terjadi pertukaran informasi, gagasan, dan pengalaman, sekaligus menjadi bagian dari proses perubahan sosial. Kohesivitas kelompok sebagai salah satu upaya dalam merekatkan jalinan komunikasi para anggotanya. Namun kenyataannya dalam menyampaikan informasi dan menerima informasi merupakan hal yang tidak mudah, dan menjadi tantangan dalam proses komunikasinya. Belum lagi perbedaan latar belakang anggota dan komunikasi terus menerus terkadang menjadi permasalahan yang kerap muncul diantara sesama anggota maupun di luar anggota kelompok dan ini dapat mengganggu komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial komuter baik yang dilakukan di internal kelompok maupun eksternal kelompok. Aktivitas komuter selama dalam perjalanan tidak hanya berpengaruh pada terbentuknya kelompok sosial sesama komuter saja, tetapi juga berkorelasi terhadap interaksi mereka di tempat tinggal mereka. Pengetahuan dan informasi
5 yang diperoleh dari perkotaan diharapkan mampu membangun pengetahuan anggota dan bermanfaat bagi keluarga mereka. Hal-hal ini menarik untuk eksplorasi lebih lanjut dengan berfokus pada isu-isu dan tantangan yang ada dalam kelompok sosial komuter. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses komunikasi dan kohesivitas dalam kelompok gerbong empat KA. Patas Purwakarta? 2. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan proses komunikasi? 3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan kohesivitas kelompok? 4. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi dan kohesivitas? 5. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian utama dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas pada gerbong empat KA.Patas Purwakarta. Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah menghasilkan : 1. Deskripsi proses komunikasi dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas Purwakarta. 2. Analisis hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan proses komunikasi. 3. Analisis hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan kohesivitas kelompok. 4. Analisis hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas. 5. Analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok. Manfaat Penelitian 1.
2.
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : Kegunaan Akademis Memperkaya khasanah penelitian komunikasi dengan bidang kajian komunikasi pembangunan, kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial dalam bidang kajian komunikasi pembangunan. Kegunaan Praktis Bagi peneliti, hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pemahaman lebih mengenai komunikasi kelompok commuter, khususnya kohesivitas kelompok sosial. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan yang berguna bagi mahasiswa sebagai referensi, pemerintah dalam kebijkan pembangunan di desa dan di kota, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Commuting (Nglaju) Penglaju berasal dari kata “nglaju” (Jawa) yang berarti pergi ke tempat lain umumnya mengerjakan suatu pekerjaan dan tidak punya rencana untuk menginap di tempat tujuan. Menurut Mantra (2000), mobilitas harian (nglaju) atau komuter adalah jika seseorang yang bekerja dalam satu hari, yaitu pergi pada pagi hari dan kembali sore hari atau di hari yang sama, dilakukan secara terus menerus setiap harinya. Salah satu alasan mobilitas penduduk dari desa ke kota adalah pekerjaan. Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan bahwa komuter adalah seseorang yang melakukan suatu kegiatan bekerja/sekolah/kursus di luar Kabupaten/Kota tempat tinggal dan secara rutin pergi dan pulang (PP) ke tempat tinggal pada hari yang sama. “Nglaju” tidak mempunyai batasan yang jelas. Lee (1966) mengungkapkan bahwa tidak ada pembatasan jarak perpindahan penglaju sehingga peneliti dapat mempergunakan batas administrasi seperti Negara, propinsi, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan atau dukuh. Semua itu tergantung pada tujuan penelitian. Oleh karena itu, definisi umum komuter atau penglaju adalah orang yang keluar dari batas wilayah tertentu dalam waktu yang tertentu pula. Kemudahan komuter untuk melakukan mobilitas di dukung oleh teknologi transportasi dan pendukungnya. Menurut Suparlan teknologi adalah alat yang efektif untuk mengubah suatu kebudayaan, termasuk kereta api yang membawa komuter dari wilayah pinggiran ke wilayah perkotaan atau sebaliknya (Syafri 2010) Mantra (2000) menyebutkan bahwa mobilitas penduduk dapat dibedakan menjadi dua, pertama mobilitas penduduk permanen yaitu gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lainnya dengan niatan menetap di daerah tujuan, kedua mobilitas penduduk non permanen yaitu gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Jadi seberapapun lamanya seorang telah bertempat tinggal di suatu daerah tujuan selama tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan maka orang tersebut disebut migran non permanen. Mobilitas penduduk non permanen dapat pula dibedakan menjadi dua, yang pertama mobilitas penduduk ulak-alik (nglaju/commuting) yaitu gerak penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan kembali ke daerah asal pada hari itu juga, kedua adalah gerak penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan lebih dari satu hari dan kurang dari enam bulan (migrasi sirkuler). Jadi secara keseluruhan pengklasifikasian mobilitas penduduk dapat digambarkan sebagai berikut:
7
Mobilitas Penduduk Vertikal (Perubahan Status)
Mobilitas Penduduk (MP)
Mobilitas Penduduk Permanen (Migrasi) Mobilitas Penduduk Horisontal Geografis)
(MP
Mobilitas Penduduk Vertikal (Perubahan Status)
Ulang Alik (Commuting)
Menginap
Gambar 1. Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk Sumber : Mantra (2000) Menurut Hartshorn (1980), arus perjalanan menuju tempat kerja pada kota modern dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu: 1. Kota ke kota Perjalanan jenis ini termasuk arus dalam sentral kota major work centre, yang dimaksud di sini adalah Central Business District (CBD). Mobil merupakan moda yang penting dalam perjalanan ini. Suburb ke city 2. Pergerakan ini dimulai dari suburb dan berakhir di pusat kota terutama di CBD dan disekitar daerah kerja. Pergerakan ini biasanya memakai mobil pada jalan bebas hambatan atau arteri. Pada kota yang sedang dan kota yang besar, bus ekspres merupakan pilihan utama atau transit kereta api ulang alik melengkapi perjalanan dengan mobil. 3. Suburb ke suburb Pergerakan ini tipenya adalah perjalanan dari area residen yang jauh ke pusat suburb yang dekat. Ciri pergerakan ini memakai mobil dan melalui jalan bebas hambatan dan arteri utama. Faktor-faktor penyebab munculnya komuter (penglaju) dibagi menjadi dua yaitu: 1. Faktor internal Faktor internal adalah factor yang mendorong seseorang untuk ngalaju yang berasal dari dalam dirinya yaitu harapan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Timbulnya niat untuk melakukan mobilitas didorong oleh keinginan manumur sebagai makhluk yang paling rasional yang mampu memilih yang terbaik diantara alternatif-alternatif yang ada
8
2.
dengan membandingkan penghasilan dari pekerjaan yang ada disekitar tempat tinggalnya dan penghasilan dari pekerjaan tempat lain yang dituju berdasarkan pertimbangan untung rugi (Keban 1994). Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang mendorong seseorang untuk nglaju yang berasal dari luar dirinya yaitu transportasi. Transportasi merupakan sarana yang penting bagi seorang penglaju seperti yang dikemukakan oleh Hugo (1981) bahwa nglaju dibatasi oleh jarak dan jaringan transportasi yang tersedia di suatu daerah tempat tinggal dan dapat terjadi bila lokasi tempat kerja dapat dicapai dengan mudah serta ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang sudah banyak menjangkau daerah tempat tinggal sehingga meningkatkan integrasi antara tempat asal dan tempat tujuan. Kelompok Sosial
Menurut Adler (2009), kelompok terdiri dari “a small collection of people who interact eachother, usually face to face, over time in order to reach goals”. Di dalam beberapa definisi tentang kelompok menyatakan bahwa agar dianggap sebagai sebuah kelompok, maka setidaknya harus terdiri dari tiga atau lebih individu yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekumpulan orang yang berada di dalam satu waktu dan tempat yang sama belum dapat dikatakan sebuah kelompok karena di antara sekumpulan orang tersebut belum tentu berinteraksi secara intensif dan memiliki tujuan bersama. Ada dua hal yang membuat sekumpulan orang dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, yakni interaksi dan saling ketergantungan. Sedangkan menurut Bimo (2010), kelompok dapat dianggap kelompok apabila dikategorikan sebagai berikut: 1. Besar kecilnya kelompok atau ukuran kelompok, ada kelompok kecil dengan beranggotakan kurang dari 20 orang dan kelompok besar beranggotakan lebih dari 20 orang. 2. Tujuan, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan anggota yang memiliki tujuan yang sama, misalnya kelompok belajar. 3. Value (nilai), merupakan kelompok yang terbentuk atas dasar orang- orang yang memiliki kesamaan nilai, misalnya kelompok agama. 4. Duratioin (waktu lamanya), ada kelompok yang jangka waktunya pendek dan juga ada kelompok dengan jangka waktunya lama. 5. Scope of activities, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan jumlah aktivitasnya. 6. Minat, merupakan kelompok yang beranggotakan orang-orang memiliki minat yang sama, misalnya kelompok pemancing. 7. Daerah asal, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan kesamaan daerah asal, misalnya ikatan mahasiswa berasal dari daerah Yogyakarta. 8. Formalitas, ada kelompok formal dan ada juga kelompok informal. Kelompok formal misalnya kelompok profesi pembimbing, sementara kelompok informal misalnya kelompok orang-orang yang sedang jalan pagi.
9 Interaksi merupakan syarat utama dari sebuah kelompok sosial. Di dalam komunikasi sebuah kelompok, interaksi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yakni interaksi secara verbal dan non-verbal. Interaksi secara verbal memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi menggunakan bahasa dan kata-kata secara lisan maupun tulisan. Sedangkan interaksi non-verbal memungkinkan anggota kelompok sosial untuk berbagi ide dan makna dengan menggunakan bahasa tubuh dan mimik wajah. Komunikasi verbal dan non-verbal ini pada akhirnya dapat memperkuat ikatan dan mendukung keberlangsungan kelompok sosial. Faktor lain yang menjadikan sekumpulan orang sebagai sebuah kelompok sosial adalah saling ketergantungan. Anggota kelompok memiliki “behavioral and goal interdependence.” (Barge in Eadie 2009). Behavioral interdependence mengacu pada bagaimana pesan anggota kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pesan dari kelompok lain. Sedangkan goal interdependence merupakan tujuan utama bersama yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Penelitian terkini yang dilakukan oleh Stohl dan Putnam (2003) menemukan faktor lain yang mencirikan sebuah kelompok sosial, yakni bahwa kelompok sosial terikat dalam sebuah konteks (context) yang disebut sebagai bonafide group perspective (Barge in Eadie 2009). Setidaknya ada tiga faktor yang membuat kelompok sosial terikat dalam konteks: Anggota kelompok dan regu membawa latar belakang perilaku, profesi dan 1. budaya yang berbeda-beda ke dalam pengalaman berkelompok. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan seorang individu untuk bergabung di dalam kelompok sosial secara tabula rasa atau tanpa referensi apapun. Individu mendasarkan interaksi mereka pada identitas dan pengalaman dengan kelompok sebelumnya. 2. Kelompok memiliki eksistensi. Kelompok ada dalam kurun waktu tertentu yang berhubungan dengan ide dan aspirasi yang dibawa oleh setiap anggota kelompok dan menjadikan ide serta aspirasi tersebut menjadi bagian dari pengalaman kelompok yang mempengaruhi tingkah laku dari para anggota kelompok tersebut. Hal ini membuat kehidupan berkelompok tidak statis, melainkan dinamis dengan berbagai tantangan, permasalahan dan konflik yang pernah dilalui. Kelompok dan regu terikat dan berinteraksi dengan kelompok dan regu 3. lain. Pada level individu, keterikatan bisa berupa keanggotaan gsaya dan keterikatan dengan kelompok dan regu lain dengan konteks yang berbeda. Sedangkan pada level kelompok, kelompok dan regu saling terhubung dan berinteraksi dengan kelompok dan regu lain dengan cara yang unik dan memiliki tujuan tertentu. Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa dalam memenuhi kebutuhan individu dalam sebuah kelompok seperti diungkapkan oleh Greenberg dan Baron (1993). Greenberg dan Baron mengidentifikasi lima kebutuhan umum ketika individu memutuskan untuk menjadi anggota kelompok sosial, yakni: kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan identitas sosial, kebutuhan akan pencapaian tujuan tertentu, kebutuhan akan pengetahuan dan informasi, serta kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang (Hill 2007). Dengan adanya pemenuhan kebutuhan ini,
10 seorang individu enggan berperilaku di luar etika dan norma kelompok karena dapat menyebabkan keluarnya individu tersebut dari keanggotaan kelompok. Komunikasi dalam Kelompok Emanuel (2007) menjelaskan komunikasi memainkan peran penting dalam merubah hidup kita, kebanyakan orang dilahirkan dengan kemampuan fisik untuk mendapatkan media komunikasi yang diperlukan, namun potensi tersebut tidak menjamin bahwa mereka akan belajar untuk berkomunikasi secara efektif (Mc Farlane, 2010). Mc Farlane (2010), mengatakan bahwa “Communication is the vehicle that allows us to recall the past, think in the present, and plan for the future. It enables us to manage our relationship with others, and to interpret and interact with aou envirotment”. Dengan berkomunikasi kita mampu memaknai orang lain dan berinteraksi. Dengan berinteraksi manumur mampu berpikir dan memaknai suatu simbol serta menghasilkan makna yang dipahami secara bersama. Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion hange), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Sesuai dengan pendapat Carl Hovland (Effendy 2005). Kelompok terdiri dari beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Arifin 2008). Menurut Shaw (1976) mendefinisikan komunikasi kelompok adalah kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu komponen ini hilang individu yang terlibat tidaklah berkomunikai dalam kelompok.. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan menganggap mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Mulyana 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasi Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan sosiologi, namun dalam kesempatan ini disampaikan hanya tiga klasifikasi kelompok (Soekanto 2006). Kelompok primer dan sekunder 1. Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Soekanto 2006) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah
11
2.
3.
kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita. Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (stsayard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif Cragan dan Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.
Karakteristik K omunikasi dalam K elompok Fungsi kelompok dalam individu ada dua alasan seseorang bergabung dalam kelompok. Pertama, untuk mencapai tujuan yang bila dilakukan sendiri tujuan itu tidak tercapai. Kedua, dalam kelompok seseorang dapat tepuaskan kebutuhannya dan mendapatkan reward sosial seperti rasa bangga, rasa dimiliki, cinta, pertemanan, dan sebagainya. Besarnya anggota kelompok akan mempengaruhi interaksi dan keputusan yang dibuatnya. Brainstorming dalam mengambil keputusan kelompok akan efektif bila anggota kelompoknya 5-10 orang (Griffin 2003). Kelompok memiliki pengetahuan yang luas dan probabilitas yang lebih besar bahwa seseorang dalam kelompok akan memiliki pengetahuan khusus yang relevan dengan persoalan kelompok. Namun demikian, kelompok juga tidak selalu menghasilkan keputusan yang lebih baik. Individu dalam kelompok harus menunggu gilirannya dalam memberikan kontribusi kepada kelompok. Akibat giliran dalam mengungkapkan pendapat ini, di antara anggota kelompok seringkali mengalami production blocking, terganggu pikirannya, atau kehilangan motivasi untuk berpartisipasi (malas). Individu kadang tidak mau berbagi (sharing) dalam memberikan informasinya. Meskipun performance kelompok seringkali lebih baik daripada performance rata-rata individu, seringkali performance itu dibawah stsayar individu, terutama bila anggota kelompoknya umumnya relatif lemah kemampuannya. Di dalam kelompok juga bisa terjadi social impact (Latane & Nida 1981), yaitu suatu penggolongan anggota dalam suatu kelompok. Bila kelompoknya mayoritas maka pengambilan keputusannya akan sangat efektif, sebaliknya bila kelompoknya minoritas, maka sering kali orang mengalami kekecewaan, karena merasa tidak diperhatikan (Griffin, 2003). Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kelompok (Griffin 2003). 1. Komposisi kelompok. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun komposisi kelompok, y a i t u a ) Penerimaan tujuan umum; kerjasama dan tukar informasi. b) Pembagian mempengaruhi (divisibilitas) tugas kelompok; tidak semua tugas dapat dibagi. c) Komunikasi dan status struktur; biasanya yang posisinya tertinggi dalam kelompok. d) Ukuran kelompok; semakin besar kelompok semakin
12
2. 3.
menyebar opini, konsekuensinya adalah semakin lemah partisipasi individu dalam kelompok tersebut. Kesamaan anggota kelompok keputusan kelompok akan cepat dan mudah dibuat bila anggota kelompok sama satu dengan yang lain. Pengaruh (pengkutuban) polarisasi kelompok. Seringkali keputusan yang dibuat kelompok lebih ekstrim dibandingkan keputusan individu. Hal itu disebabkan karena adanya perbadingan sosial. Tidak semua orang berada di atas rata-rata. Oleh karena itu untuk mengimbanginya perlu dibuat keputusan yang jauh dari pendapat orang tersebut.
Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan: a. melaksanakan tugas kelompok, tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok- disebut prestasi (performance), b. memelihara moral anggotaanggotanya, tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok. Faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu (Rakhmat 2 0 0 1 ): 1. Ukuran kelompok. 2. Jaringan komunikasi. 3. Kohesi kelompok. 4. Kepemimpinan. Groupthink menurut Janis (1972) (Turner 2007) adalah, “Istilah untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki nilai moral”. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional, tetapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Janis berpendapat bahwa anggota – anggota kelompok sering kali terlibat di dalam sebuah gaya pertimbangan dimana pencarian konsensus lebih berat. Partisipasi di dalam kelompok dimana keinginan untuk mencapai suatu tujuan atau tugas lebih penting dari pada menghasilkan solusi pemecahan masalah yang masuk akal. Janis yakin bahwa apabila kelompok yang kemiripan antaranggotanya tinggi dan memiliki hubungan baik satu sama lain gagal untuk menyadari sepenuhnya akan adanya pendapat yang berlawanan, ketika mereka menekan konflik hanya agar mereka dapat bergaul dengan baik, atau ketika anggota kelompok tidak secara penuh mempertimbangkan semua solusi yang ada, mereka rentan terhadap groupthink. Kelompok melakukan devensive avoidance, yaitu mencoba menghindari informasi yang mungkin menyebabkan kecemasan. Janis (1982) menulis bahwa group thinking terjadi karena pembuat keputusan itu adalah kelompok yang kohesif. Kohesivitas kelompok sudah sangat tinggi sehingga menganggap bahwa kelompoknya-lah yang paling benar dan mengacuhkan pendapat kelompok lain. Serta suara mayoritas tidak lagi menjadi pertimbangan untuk membuat keputusan
13 kelompok. Kelompok yang kohesif jauh lebih mungkin untuk terlibat dalam groupthink . Groupthink akan terjadi apabila kohesivitas tinggi dan kecenderungan untuk mencari konsensus dalam kelompok-kelompok yang memiliki ikatan erat akan mengakibatkan mereka mengambil keputusankeputusan yang inferior. Kelompok-kelompok sering sekali tidak mendiskusikan semua pilihan yang sebenarnya dapat dipertimbangkan. Serta kelompok sangat selektif dalam menangani informasi. Gejala Groupthink dapat digambarkan dari 3 tipe: yaitu: over-estimasi terhadap kelompoknya, kedekatan berpikir, dan tekanan untuk menjadi sama (seragam). Kelompok dapat menghindari Groupthink dengan dua tahap: discouraging leader, dan menghindari isolasi kelompok. Kelompok jangan sampai dominan, dan memberikan kepada anggota untuk mengkritik. Untuk menghindari isolasi kelompok, rencana kebijakan kelompok dapat dibagi ke dalam sub grup dan dan sub grup ini bertemu untuk membahas tujuan kelompok secara terpisah, dengan pemimpin masing-masing sub group yang berbeda dengan pemimpin semula. Kohesivitas Kelompok Kohesivitas kelompok merupakan derajat dimana anggota kelompok saling menyukai, memiliki tujuan yang sama, dan ingin selalu mendambakan kehadiran anggota lainnya. Kohesivitas kelompok adalah suatu tingkat daya tarik dan bagaimana suatu perasaan anggota terhadap anggota lain, dan hal ini akan tertampilkan dalam perasaan "ke-kita-an" (groupness). Mcshane dan Glinow (2003) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Anggota kelompok merasa kompak adalah ketika mereka percaya kelompok mereka akan membantu mereka menyelesaikan tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan sosial selama krisis. Robbins (2001) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Misalnya, kelompok yang kompak karena menghabiskan banyak waktu bersama, atau kelompok yang berukuran kecil menyediakan sarana interaksi yang lebih intensif, atau kelompok yang telah berpengalaman dalam menghadapi ancaman dari luar menyebabkan anggotanya lebih dekat satu sama lain. Gibson (2003) mengungkapkan bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya dari pada terhadap kelompok lain. Mengikuti kelompok akan memberikan rasa kebersamaan dan semangat dalam menjalani aktivitas menuju tempat masing-masing. Forsyth (1999) dalam Walgito (2010) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan didalamnya terdapat kekompakkan dan saling tolong menolong yang tinggi. Kohesivitas kelompok adalah hasil dari interaksi sejumlah variabel yang dapat dilihat dengan beberapa indikator yaitu, komposisi kelompok, keuntungan
14 yang diperoleh anggota dari kelompok, efektiivitas tugas, bagaimana proses dipentingkannya seorang anggota, serta komunikasi. Komunikasi sebagai indikator disini dapat dilihat dari kuantitasnya, yaitu jumlah dan frekuensinya, serta dapat dilihat dari kualitasnya, yaitu tingkat kebebasan dan keterbukaan (free and openess) dalam berkomunikasi (Beebe dan Materson, 1994). Bormann (1990) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan komposisi kelompok merupakan kondisi karakteristik dari para anggota yang dapat terdiri dari umur, jenis kelamin, kompetensi, kebutuhan sosial dan psikologis. Dahnke dan Clatterbuck (1990) menyatakan istilah komposisi kelompok merujuk pada cara berprilaku, keahlian, latar belakang, karakteristik personal (seperti umur, gender, kemampuan, dan atribut berupa kepribadian, idiosyncratic, dan karakteristik bagaimana antar yang satu berelasi dengan yang lain. Prosesnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu karakteristik anggota dan bagaimana mereka bereaksi terhadap yang lain, dan kombinasi dari anggota ini akan mempengaruhi kemampuan performansi kemampuan performasi kelompok sebagai sebuah keseluruhan unit. Lebih lanjut dijelaskan ukuran kelompok berpengaruhi terhadap kedekatan, dan bentuk hubungan, pengambilan keputusan. Disamping itu secara umum anggota yang lebih heterogen akan memberikan keuntungan terhadap peningkatan/ sumbangan karena kemampuan, keahlian, pengetahuan yang dibawanya, bila dibandingkan kelompok yang sangat homogen. Tingginya kohesivitas kelompok mempengaruhi terjadinya umpan balik yang maksimal dan mendorong komunikasi yang lebih efektif dan efisien (Bormann 1990). Perilaku dalam kelompok “dua kepala lebih baik daripada yang dikerjakan oleh seorang individu”. Interaksi dalam kelompok bisa menghasilkan ide dan solusi baru .Disamping itu kohesivitas kelompok akan secara khusus menjadi produktif jika semua anggota kelompok termotivasi untuk melalukan ini pekerjaan atau tugas secara baik (Hare 1962). Biasanya kohesivitas dikaitkan dengan produktivitas kelompok. Namun tidak semua bentuk kohesivitas kelompok ini berdampak positif, karena anggota bisa merasa tertekan untuk selalu konform terhadap norma kelompok. Dalam kenyataanya kohesivitas yang rendah berkorelasi dengan efektivitas kelompok yang rendah, yang berhubungan dengan motivasi setiap anggota sehingga pada akhirnya berhubungan dengan produktivitas kelompok. Ketika komunikasi dapat dilakukan secara bebas dan terbuka, dan etika setiap orang berpartisipasi, setiap orang akan merasa lebih tertarik terhadap kelompok dan konsekuensinya menerima tingkat kepuasan yang lebih besar secara personal. karena kelompok yang kohesif memiliki ikatan sosial yang cukup untuk mentoleransi konflik yang terjadi, ini disebabkan karena anggota telah memiliki ketergantungan pada kelompok. Ketergantungan akan meningkatkan kekuatan kelompok yang melingkupi dan mengatasi anggota kelompok (Beebe dan Materson 1994).
15 Pembentukkan Identitas Kelompok Identitas didefinisikan sebagai “the cultural, societal, relational, and individual images of self-conception, and this composite identity has group membership, interpersonal, and individual self-reflective implications.” (Littlejohn 2009) Konsep identitas berasal dari kata kerja to identify yang melibatkan proses pendeskripsian, penamaan, dan pengklasifikasian (Barker, 2004). Pembentukan identitas tidak terjadi secara instan, tetapi dibangun melalui interaksi dan komunikasi antara dua atau lebih individu. Identitas terbagi ke dalam beberapa kategori, yakni identitas diri, identitas sosial, dan identitas budaya. Giddens (1991) mengungkapkan bahwa identitas diri melibatkan kesadaran kognitif diri untuk menjadi “seseorang”, bukan hanya sekedar aktor tetapi memiliki konsep diri (Hill, Watson et al 2007). Identitas diri menurut Stella Ting Toomey (1999) dibentuk melalui interaksi, sehingga tidak ada seorang pun yang membentuk konsep diri dalam keadaan vakum (Hill, Watson et al 2007). Brown (2000) berargumen bahwa “our social identity – our sense of who we are and what we are worth –is intimately bound up with our group memberships” (Hill, Watson et al 2007). Maka, dapat dikatakan bahwa identitas sosial individu berubah-ubah mengikuti status keanggotan individu tersebut di dalam kelompok sosial. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sudah menikah, di dalam kelompok sosial keluarga berperan sebagai seorang ayah yang memegang kendali dan memimpin, namun identitasnya sebagai ayah berubah ketika individu tersebut berada di dalam kelompok sosial di kantornya. Identitas kultural oleh Kim dikonseptualisasikan sebagai klasifikasi sosiologis (atau demografis) dan atribut psikologis individu dengan kelompok tertentu (Littlejohn 2009). Lebih lanjut Kim mengungkapkan lima cara untuk mempelajari permasalahan-permasalahan seputar identitas kultural, diantaranya proses intrapersonal, kompetensi komunikasi antarbudaya, adaptasi terhadap budaya baru, identitas budaya dalam konteks antarbudaya, dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam lingkungan yang berbeda budaya. Menurut teori kategorisasi diri yang dirumuskan oleh Turner, Hogg, Oakes, Reicher, dan Wetherell (1987) menunjukan bahwa individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial, maka individu tersebut mengalami proses yang disebut depersonalisasi. Secara khusus, individu tersebut menganggap bahwa setiap anggota kelompok, memiliki nilai-nilai dan paham yang sama. Dengan demikian, orang-orang cenderung untuk mematuhi normanorma kelompok. Identitas diri seseorang merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif karena kita menggambarkan kelompok sendiri memiliki norma yang baik. Norma dalam sebuah kelompok disepakati secara bersama oleh anggota kelompok untuk memperkuat integrasi kelompok tersebut. Teori identitas sosial berguna untuk menjelaskan perubahan sosial pada tingkat makro-sosial. Menurut teori ini ada dua kemungkinan perubahan sosial, yaitu (1) mobilitas sosial dan (2) perubahan sosial itu sendiri (Sarwono 2009).
16 Swann, Gamez, Seyle, Morales, dan Huici menunjukkan bahwa beberapa orang menunjukkan identitas yang menyatu dengan kelompoknya, di mana individu merasa identitas diri pribadi dan identitas sosial saling tumpang tindih (Hogg 2006). Hal ini terjadi ketika individu menerima umpan balik mengenai harapan yang menyimpang dari dirinya maka akan terjadi sebuah manipulasi identitas pribadi untuk menguatkan diri dengan kelompok yang mereka ikuti. Ketika individu menyadari identitas sosial telah melekat dengan identitas pribadinya maka mereka akan sadar betapa pentingnya keberadaan kelompokkelompok yang diikuti, kemudian hal ini akan mengubah perilaku individu secara dramatis. Pertama, mereka akan menjadi lebih cenderung menunjukkan nilai-nilai yang melambangkan kelompok mereka). Kedua, mereka akan berprasangka bahwa individu dari kelompok lain (di luar kelompok yang diikuti) juga akan menunjukan kualitas individu yang melambangkan anggota dari kelompok sosial lainnya (Hogg 2001. Sebagai contoh, jika mereka melihat suatu kelompok sebagai kelompok komuter “gerbong setan”, maka individu di luar kelompok tersebut akan cenderung menafsirkan perilaku anggota kelompok tersebut sebagai individu yang memiliki perilaku brutal. Biasanya kelompok sosial membangun identitasnya secara positif. Muncullah ide dari sebuah kelompok untuk membandingkan aspek positif dengan kelompok lain. Identitas sosial merupakan kesadaran diri secara khusus diberikan kepada hubungan antar kelompok dan hubungan antar individu dalam kelompok. Individu sebagai anggota sebuah kelompok dalam proses pembentukan identitas sosial kelompok tersebut mengalami depersonalisasi. Depersonalisasi adalah proses dimana individu menginternalisasikan bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya atau dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik (Baron dan Byrne 2003). Identitas sebuah kelompok dibentuk oleh proses-proses sosial. Prosesproses sosial yang membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebuah kelompok tidak bisa dipahami secara langsung oleh masyarakat bahwa kelompok tersebut memiliki identitas. Perlu adanya pembentukkan identitas sebuah kelompok kepada masyarakat agar kelompok tersebut dipahami sebagai sebuah kelompok yang memiliki identitas. Pembentukkan identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara pelembagaan internalisasi. Proses pelembagaan ditandai dengan semua tindakan dan anggota kelompok akan mengalami proses pembiasaan. Tindakan tersebut akan dilakukan secara berulang-ulang dalam kehidupannya, pada akhirnya pelakunya akan memahami sebagai pola yang dimaksudkan. Tindakan-tindakan anggota kelompok dalam proses pelembagaan ini kemudian akan dilegitimasikan. Fungsi legitimasi tersebut adalah untuk membuat obyektivitas tindakan- tindakan anggota kelompok yang telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif (Berger dan Luckmann 2012). Proses pembentukkan identitas yang kedua adalah internalisasi yaitu melalui sosialisasi. Terdapat dua proses dalam sosialisasi, yaitu proses sosialisasi primer dan proses sosialisasi sekunder. Proses sosialisasi primer dalam individu merupakan proses sosialisasi yang pertama dimulai dari lingkup keluarga ketika masa kanak-kanak untuk menjadi anggota masyarakat.
17 Proses sosialisasi primer dalam sebuah kelompok sosial lingkupnya tidak berbeda dengan keluarga, yaitu lingkupnya di dalam kelompok sosial itu sendiri. Proses sosialisasi sekunder pada individu merupakan proses sosialisasi lanjutan dari proses sosialisasi primer yang lingkupnya tidak hanya lingkup keluarga. Proses sosialisasi sekunder dalam sebuah kelompok sosial lingkupnya bukan hanya dalam sebuah kelompok sosial itu sendiri, melainkan cakupannya luas di luar kelompok sosial tersebut (Berger dan Luckmann 2012). Identitas dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, dan prinsip moral atau gaya sosial (Kellner, 2010). Identitas tidak terbentuk secara sendiri, namun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya identitas. Faktor-faktor pembentuk identitas tersebut antara lain (Lisnia 2011): (1) Kreativitas Merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk tampil beda terhadap individu lainnya. (2) Ideologi Kelompok Ideologi kelompok merupakan faktor pendorong terbentuknya identitas bedasarkan tekanan kelompok atau dapat digunakan untuk mengelompokkan individu dengan identitas tertentu. Kehidupan berkelompok menawarkan kenyamanan dalam individu berinteraksi dengan individu lainnya. Kenyamanan berinteraksi antar individu dalam sebuah kelompok mendorong terbentuknya identitas karena dengan berinteraksi dalam suatu kelompok juga terdapat interaksi yang saling mempengaruhi. (3) Status Sosial Analisis mengenai identitas dan gaya hidup selalu dikaitkan dengan status sosial. Karena status sosial berpengaruh terhadap terbentuknya identitas. Kelompok sosial memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya pekerja urban ulang alik untuk bergabung dengan kelompok tersebut. (4) Media Massa Media massa dalam pembentukan identitas membantu membentuk kerangka pemikiran individu dalam menentukan selera. Media massa menawarkan berbagai bentuk keelokan dan keindahan yang mempengaruhi kondisi psikososial individu untuk mengikuti media massa. (5) Kesenangan (Pleasure and Fun) Kesenangan menjadi faktor pendorong dalam pembentukan identitas manumur melalui gaya hidup manumur tersebut. Gaya hidup manumur tercipta melalui kesenangan dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa identitas sosial merupakan ciri khas dari sebuah kelompok yang dapat membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lain. Identitas sosial sebuah kelompok bisa saja terbentuk melalui sebuah benda yang membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lain. Seperti pada kelompok sosial, sebagai identitas kelompok mereka dan membedakan kelompoknya dengan kelompok-kelompok yang lain. Identitas tidak selalu memiliki hal-hal positif. Identitas juga memiliki hal-hal negatif. Di antaranya adalah prasangka, stereotip, rasisme, dan diskriminasi.
18 Karakteristik Individu Kepribadian merupakan kesatuan organisasi, seluruh isi sifat-sifat dari seseorang individu yang dinyatakan dalam bentuk yang berbeda dengan yang lain (Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokat diantaranya adalah peubah karakteristik individu. Dari beberapa pendapat mengenai karakteristik individu, diduga karakteristik individu masyarakat penerima bedah rumah dan sertifikat tanah gratis memiliki hubungan yang signifikan dengan proses komunikasi serta partisipasi, yaitu meliputi : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan, luas lahan dan pengalaman mendapat bantuan, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Umur Umur individu akan dipengaruhi pertumbuhan baik aspek biologis maupun psikis. Pertumbuhan psikis akan tampak pada aspek kejiwaan (kedewasaan). Berdasarkan hasil penelitian Kurniawati (2010) umur berhubungan negatif dengan partisipasi dalam bidang ekonomi artinya umur sebagian responden masuk kategori sedang maka partisipasinya dalam bidang ekonomi posdaya rendah baik dalam perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan mengevaluasi kegiatan. Sedangkan menurut Akbar (2013) pada petani yang lebih tua memiliki tingkat pengalaman lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berumur lebih muda. 2. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah jenis kelamin seorang individu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian Rizal (2006) menyatakan bahwa sebagian besar para migrasi sirkuler adalah laki-laki. Data tersebut juga sesuai dengan data dari Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) pada tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sebagian besar tenaga kerja komuter di Indonesia adalah laki-laki yang jumlahnya mencapai sekitar 70 persen (4,95 juta orang). 3. Jenis Pekerjaan Pekerjaan secara umum didefinisikan sebagai pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan atau sesuatu yangg dilakukan untuk mendapat nafkah (Podo et al 2013). Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan sebuah karya bernilai imbalan dalam bentukuang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah pekerjaan dianggap sama dengan profesi. 4. Tingkat Pendidikan Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk mengahsilkan perubahan-perubahan pada perilaku manumur. Pendidikan memberikan nilainilai tertentu bagi manumur terutama dalam membukan cakrawala/pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berfikir secara ilmiah. Berdasarkan penyeleanggaraan pendidikan dibedakan nmenjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. 5. Tingkat Pendapatan Tahitu (2007) menyatakan bahwa salah satu faktor penarik terjadinya migrasi sirkuler adalah penghasilan didaerah tujuan lebih besar karena itu penting untuk mengetahui berapa pendapatan yang dihasilkan oleh komuter. Pendapatan
19 adalah keseluruhan penerimaan berupa uang yang dihasilkan tiap individu yang telah bekerja. Pendapatan dapat dilihat dari penerimaan rata-rata setiap bulan dalam satuan rupiah (Rp). Hasil Studi Komunikasi Kelompok, Kohesivitas, Pembentukan Identitas Kelompok l dan Kebaruan Penelitian Berdasarkan kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini, baik berdasarkan objek kajian (identitas kelompok sosial) maupun pendekatan teori yang digunakan (komunikasi kelompok, dan kohesivitas), berikut disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini. Sejauh penelusuran yang sudah dilakukan, penelitian mengenai identitas pernah dilakukan olehMirra Noor Milla dan Faturrochman yang berjudul “Pembentukan Identitas Mujahid Global pada Terpidana Kasus Terorisme di Indonesia”. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis yang berbasis naratif-etnografi. Lima terpidana kasus terorisme dipilih sebagai informan utama berdasarkan variasi subjek dari eksplorasi awal yang ditemukan di lapangan. Mereka terdiri dari terpidana kasus Bom Bali, tiga dari mereka telah dieksekusi mati. Analisis naratif dilakukan pada hasil wawancara, dokumentasi (naskah, surat pribadi, merekam audio, audio-visual merekam dan otobiografi dipublikasikan) serta catatan riset pada pengamatan di lapangan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa teroris melakukan subordinasi identitas pribadi mereka ke dalam identitas kelompok. pembentukan identitas dari mulai dari identitas muslim kaffah (integralistik), identitas seorang muslim sejati dilakukan dengan membangun identitas diri mereka sebagai mujahidin. Proses penguatan identitas terjadi ketika ada ancaman terhadap kelompok mereka. Penanaman ideologi jihad terjadi dalam kelompok, jihad kolektif dianggap sebagai kewajiban untuk semua muslim. Proses mobilitas yang terjadi di dalam kelompok membedakan teroris yang memilih cara-cara konvensional atau jalan teror untuk mencapai tujuan jihad fi sabilillah mereka. Penelitian mengenai identitas juga dilakukan Dominikus Isak Petrus Berek yang berjudul “Fashion Sebagai Komunikasi Identitas Sub Budaya (Kajian Fenomenologi terhadap Komunitas Street Punk Semarang”. Penelitian ini menggunakan kajian fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Melalui kontak dengan komunitas Punk yang berkelanjutan, maka diperoleh informasi tentang ritual-ritual, perayaan-perayaan, dan permasalahan yang dimiliki para anak Punk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap individu dalam komunitas Street Punk Semarang berinteraksi satu sama lain membentuk identitas dalam konteks tertentu. Kegagalan dalam memperoleh kebebasan dari kelompok yang berkuasa, mendorong tiap individu untuk lebih menambah intensitas pergerakan pemberontakan atau mencari jalan lain akan tetapi tetap dalam koridor yang mereka yakini sebagai „anti kemapanan‟ dan „anti penindasan‟. Penguatan identitas dilakukan melalui aktifitas putaran melodi lagu (musikalitas), aktifitas politik individu maupun kolektif yang divisualisasikan lewat tubuh dan diklaimnya sebagai „anti kemapanan‟ dan „anti penindasan‟. Komunitas Punk dalam fragmen yang terpengaruh pada kapitalisme terjebak dalam situasi yang
20 apolitis dan semangat Punk yang ada pada periode sebelumnya diserukan seolah melekat dengan Street Punk yang ada di Semarang saat ini. Penelitian mengenai identitas dari masing-masing peneliti melihat proses pembentukan identitas sosial yang dimulai dari identitas individu melebur ke dalam identitas kelompok dengan menggunakan kajian fenomenologi. Mirra Noor Milla dan Faturrochman menekankan proses pembentukan identitas diri menjadi subordinasi identitas kelompok melalui psikologi kelompok. Identitas kelompok keagamaan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi identitas individu. Penguatan identitas kelompok terjadi ketika ada ancaman terhadap kelompok mereka. Sedangkan Dominikus Isak Petrus Berek meneliti proses pembentukan identitas Komunitas Street Punk Semarang berdasarkan proses interaksi dan komunikasi individu yang tergabung dalam komunitas Street Punk dengan menggunakan kajian fenomenologi. Wujud identitas melekat pada setiap aktifitas Komunitas Street Punk Semarang melalui musik dan politik individu maupun kelompok yang divisualisasikan lewat tubuh. Proses pembentukan identitas sesuai dengan pendapat Swann, Gamez, Seyle, Morales, dan Huici menunjukkan bahwa identitas menyatu dengan kelompoknya, di mana individu merasa identitas diri pribadi dan identitas sosial saling tumpang tindih. Stone (Hogg 2006) menekankan bahwa identitas adalah lokasi sosial dan individu akan selalu menjawab pertanyaan “Siapa saya?” dengan mengidentifikasi diri mereka sendiri dalam sebuah kelompok sosial. Seperti contohnya pernyataan “Saya adalah seorang Wanita” merupakan penegasan kategori sosial yang mengacu pada tindakan bahwa wanita merupakan bagian penting dalam sebuah kelompok ketimbang hubungan antar individu. Hal ini terjadi ketika individu menerima umpan balik mengenai harapan yang menyimpang dari dirinya maka akan terjadi sebuah manipulasi identitas pribadi untuk menguatkan diri dengan kelompok yang mereka ikuti. Ketika individu menyadari identitas kelompok telah melekat dengan identitas pribadinya maka mereka akan sadar betapa pentingnya keberadaan kelompok-kelompok yang diikuti, kemudian hal ini akan mengubah perilaku individu secara dramatis. Pertama, mereka akan menjadi lebih cenderung menunjukkan nilai-nilai yang melambangkan kelompok mereka. Kedua, mereka akan beranggapan bahwa individu dari kelompok lain (di luar kelompok yang diikuti) juga akan menunjukan kualitas individu yang melambangkan anggota dari kelompok sosial lainnya (Hogg 2001). Sementara penelitian ini melihat proses pembentukan identitas dari dua hal, yaitu identitas diri yang menyatu dengan kelompoknya, kelompok juga memiliki keterkaitan yang erat dalam proses pembentukan identitas diri. Pembentukan identitas tidak terlepas dari proses komunikasi yang terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal. Selain itu metodologi penelitian yang digunakan adalah mixed method. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan fenomenologi kualitatif dan naratif etnografi. Pada penelitian ini mencoba mengkaji pada kelompok sosial “komuter” yang memiliki peran dalam pembangunan nasional. Sedangkan untuk penelitian mengenai komunikasi kelompok dan kohesivitas adalah tesis Muksin, “Jaringan Komunikasi dan Kohesivitas: Kajian Iklim Kelompok dan Aplikasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Ramah Lingkungan di Desa Purwasari Bogor, Jawa Barat”. Penelitian
21 menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara jaringan komunikasi dan kohesivitas dengan iklim kelompok. Nilai-nilai lokal yang masih hidup di kelompok adalah salah satu faktor kunci dan berperan dalam implementasi aplikasi pengendalian OPT ramah lingkungan. Penelitian komunikasi kelompok selanjutnya adalah Fina Pratiwi Gurning dengan judul “Komunikasi Kelompok pada Komunitas Kompas MuDa”. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan penelitian lapangan (field research). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa yang menjadi komunikator dalam komunitas adalah ketua masing-masing batch dan ketua batch berfungsi sebagai penyambung lidah Marketing Communication PT. Kompas Media Nusantara. Isi pesan yang disampaikan berupa informasi seputar event organizer, dunia jurnalistik. Kohesivitas terbentuk diantara volunteer melalui intensitas interaksi. Penelitian mengenai komunikasi kelompok bisa dilakukan dengan penelitian pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Seperti terlihat dari sebelumnya, kedua penelitian menggunakan kedua pendekatan yaitu kualitatif deskriptif dan kuantitatif deskriptif. Sementara penelitian ini lebih fokus pada keinginan untuk melihat proses komunikasi kelompok yang terjadi dalam kelompok sosial komuter sehingga suatu perubahan dan pembentukan identitas dapat terjadi. Penelitian dengan pendekatan komunikasi kelompok ini diharapkan bisa memperkaya jenis penelitian komunikasi yang membahas soal komunikasi kelompok sosial dan kohesivitas, dan identitas sosial. Berdasarkan penelitian terdahulu yang ditelusuri peneliti, belum ada yang mengaitkan secara langsung antara komunikasi kelompok dan kohesivitas dalam pembentukan identitas kelompok sosial komuter yang menggunakan moda transportasi kereta api. Perumusan Kerangka Berfikir Kelompok sosial gerbong kereta merupakan wadah tempat bergabungnya para komuter selama menempuh perjalanan dari desa asal masing-masing menuju tempat kerja atau sebaliknya. Kelompok sosial terbentuk melalui proses komunikasi yang intens antar sesama anggota, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki tujuan dan kebutuhan yakni rasa nyaman dan aman selama menempuh perjalanan hingga sampai ke tempat tujuan masing-masing. Pembentukan kelompok sosial ini mampu menghasilkan identitas sosial bagi individu-individu di dalamnya dan perilaku komunikasi kelompok. Individuindividu ini membentuk rasa saling percaya serta tolong menolong antara satu dengan yang lainnya bahkan lingkungan disekitar mereka sehingga perubahan sosial, dan status sosial terjadi didalamnya. McFarlane (2010) mengatakan bahwa komunikasi adalah kendaraan yang memungkinkan kita untuk mengelola hubungan kita dengan orang lain. Melalui komunikasi terjadi pertukaran informasi, gagasan, dan pengalaman, sekaligus menjadi bagian dari proses perubahan sosial. Kohesivitas kelompok sebagai salah satu upaya dalam merekatkan jalinan komunikasi para anggotanya dalam menghasilkan identitas sosial kelompok.
22 Identitas dibangun melalui interaksi dan komunikasi antara dua atau lebih individu. Pembentukkan identitas dapat dilakukan dengan cara pelembagaan dan internalisasi. Proses pelembagaan ditsayai dengan semua tindakan manumur akan mengalami proses pembiasaan. Tindakan tersebut akan dilakukan secara berulang-ulang dalam kehidupannya, pada akhirnya pelakunya akan memahami sebagai pola yang dimaksudkan. Tindakan-tindakan manumur manumur dalam proses pelembagaan ini kemudian akan dilegitimasikan. Identitas terbagi ke dalam beberapa kategori, yakni identitas diri, identitas sosial, dan identitas budaya. Giddens (1991). Bagaimana identitas yang telah terbentuk melalui proses pelembagaan dan internalisasi dapat bermanfaat tidak hanya bagi diri individu komuter tetapi juga bagi kelompok dalam mencapai tujuannya dan juga tentunya bermanfaat bagi desa tempat tinggal komuter.
Karakteristik Individu: 1. Umur 2. Domisili 3. Jenis Kelamin 4. Tingkat Pendidikan 5. Jenis Pekerjaan 6. Posisi Pekerjaan 7. Tingkat Pendapatan
Proses Komunikasi: 1. Isi pesan 2. Peran dalam komunikasi 3. Pengetahuan dan ketaatan terhadap Norma
Pembentukkan Identitas Kelompok : 1. Pelembagaan 2. Internalisasi 3. Internalisa si
Akses informasi Commuter
Kohesivitas Kelompok : 1. Perasaan saling memiliki 2. Keterbukaan 3. Kebersamaan dalam gerbong kereta 4. Kebersamaan di luar gerbong kereta Gambar 2. Kerangka Berfikir
Manfaat Kelompok : 1. Diri 2. Keluarga
Hipotesis Penelitian Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa bahwa proses komunikasi dan kohesivitas berhubungan dengan karakteristik individu dan akses informasi komuter. Penelitian ini melihat pembentukkan identitas kelompok dan manfaat adanya kelompok sebagai dampak adanya proses komunikasi dan kohesivitas pada kelompok sosial gerbong empat KA.Patas Purwakarta. Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu , akses informasi, dengan proses komunikasi di gerbong empat.
23 2. 3. 4.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu, akses informasi dengan kohesivitas pada gerbong empat. Terdapat hubungan nyata antara proses komunikasi dan kohesivitas dengan pembentukkan identitas pada gerbong empat. Terdapat hubungan nyata antara pembentukkan identitas dengan manfaat yang dirasakan oleh anggota kelompok pada gerbong empat.
24
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif korelasional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (Sudjana dan Ibrahim 2007). Pemilihan metode deskriptif korelasional dalam penelitian ini didasarkan dari penelitian yang ingin mengkaji dan melihat proses komunikasi dan kohesivitas komuter serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Data kualitatif dan kuantitatif didapatkan melalui wawancara dengan partisipasi. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai prilaku komuter yang dapat membentuk identitas sosial komuter melalui proses komunikasi. Selain itu, metode ini juga untuk mengetahui manfaat yang diperoleh anggota kelompok komuter dalam proses komunikasi sesama anggota, maka untuk itu metode kualitatif dan kuantitatif saling mendukung yang dapat digunakan untuk menemukan apakah proses komunikasi komuter memberikan kontribusi terhadap diri dan keluarga. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di gerbong ke empat atau yang disebut “gerbong setan” Kereta Api Patas Purwakarta-Kota. Gerbong ke empat dipilih karena komunikasi yang dilakukan oleh anggota kelompok komuter tergolong berbeda dari komunikasi kelompok pada gerbong yang lain. Studi penjajagan lokasi penelitian dilakukan pada tanggal 23 Januari 2014. Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan, yakni mulai bulan April sampai dengan Juni 2014. Populasi dan Sampel penelitian Populasi penelitian adalah seluruh anggota komuter pada gerbong ke empat Kereta Api Patas Purwakarta – Kota. Pengambilan sampel kualitatif menggunakan teknik snowball sampling dan data kuantitatif dengan menggunakan accidental sampling. Teknik ini digunakan dalam memilih sampel secara khusus berdasarkan tujuan penelitian (Sukamdinata, 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah anggota kelompok sosial gerbong ke empat Kereta Api Patas Purwakarta – Kota berjumlah 86 orang. Jumlah ini diambil berdasarkan pertimbangan biaya dan waktu Sumber Data Penelitian
1.
Sumber data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Data Primer, yang meliputi: 1) Data atau informasi yang diperoleh dari responden yang tergabung dalam kelompok sosial di gerbong ke empat Kereta Api Patas Purwakarta – Kota.
25 2.
2) Hasil observasi di lapangan. Data sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh langsung dari website kereta api. Insrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, yaitu pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden yang tergabung dalam kelompok sosial di gerbong ke empat Kereta Api Patas Purwakarta – Kota dan juga pihak terkait yang berhubungan dengan penelitian. Tujuan pokok pembuatan kuesioner adalah untuk: (1) memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan, (2) memperoleh data dengan validitas dan reliabilitas setinggi mungkin. Definisi Konseptual
1.
2. 3.
4.
5.
6.
Adapun definisi konseptual yang dapat diuraikan adalah : Komunikasi adalah setiap bentuk komunikasi yang berlangsung antara para komuter baik verbal dan non verbal, dimana pesan-pesan yang dipertukarkan dapat mempengaruhi satu dengan yang lainnya, memperoleh kepuasan antara satu dengan yang lainnya, berinteraksi untuk mencapai tujuan seperti rasa aman dan nyaman selama dalam perjalanan, memiliki ikatan satu sama lain seperti keluarga kedua dan berkomunikasi secara tatap muka. Kohesivitas kelompok komuter adalah tingkat keeratan hubungan antar komuter. Kelompok Sosial Komuter adalah sebuah kelompok yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam kategori, dalam hal ini adalah status sebagai pekerja yang menggunakan transportasi kereta api menuju tempat kerja masingmasing (Jakarta). Kelompok komuter ini terbentuk untuk mencapai satu tujuan bersama yang dikomunikasikan melalui interaksi. Kelompok menjadi peneguhan atau memperkuat pemaknaan identitas individu mapun kelompok yang berada didalamnya. Komuter adalah penumpang Kereta Api Patas Purwakarta yang tinggal di luar Purwakarta, Cikampek, Cikarang Tambun, dan Bekasi setiap hari biasanya berangkat Subuh atau pagi untuk bekerja dan pulang pada sore hari. Identitas adalah kondisi yang melekat pada diri komuter dan kelompok sosial dengan mempromosikan berbagai perilaku kelompok komuter, misalnya, perilaku brutal dansadis, kerjasama dalam menyelesaikan masalah, perubahan sosial, dan status sosial. Penekanan ditempatkan pada kompetisi antar kelompok atas status dan prestis, dan peran motivasi peningkatan diri melalui identitas sosial yang positif . Teori identitas sosial memperlihatkan bahwa individu menggunakan kelompok sosial untuk mempertahankan dan mendukung identitas komuter secara pribadi. Pembentukan identitas komuter tidak terjadi secara instan, seperti identitas komuter “gerbong setan” yang telah terbentuk lebih lebih kurang 20 tahun. Pembentukan identitas ini dibangun melalui interaksi dan perilaku komunikasi individu yang tergabung didalamnya dan kelompok sosial komuter.
26 Definisi Operasional Definisi operasional peubah adalah penjelasan pengertian mengenai beberapa peubah yang diukur. Peubah tersebut diukur dengan cara meminta pendapat dan respon dari para responden tentang beberapa hal yang berhubungan dengan peubah tersebut. Peubah yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi dengan menggunakan definisi operasional sebagai berikut. Peubah Karakteristik Individu Kelompok Sosial Komuter Kereta Api Patas Purwakarta Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada pribadi responden yang ada sejak lahir dan berkembang sesuai perkembangan lingkungan yang meliputi : 1. Umur, yaitu umur responden pada waktu penelitian dilaksanakan yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke ulang tahun terdekat. Dikategorikan muda, dewasa, tua. 2. Domisili, yaitu wilayah tempat tinggal responden berserta keluarga yang dikategorikan Bekasi dan luar Bekasi 3. Jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki 4. Tingkat Pendidikan, yaitu tingkat pembelajaran tertinggi yang pernah dicapai responden, dikategorikan dalam SD atau Madrasah Ibtidaiyah, SMP atau Madrasah Tsanawiyah, SLTA atau Madrasah Aliyah, dan Sarjana. 5. Pekerjaan adalah pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan atau sesuatu yangg dilakukan untuk mendapat nafkah oleh responden. Dikategorikan sebagai PNS , pegawai swasta, , pedagang dan buruha. 6. Posisi dalam Pekerjaan, yaitu jabatan yang diperoleh responden di tempat pekerjaan utama pada saat menjadi responden. Dikategorikan karyawan biasa, pemilik dan supervisor 7. Tingkat pendapatan, yaitu penghasilan responden tiap bulan dengan satuan rupiah (dalam satu tahun terakhir). Kategorinya adalah Akses Informasi Komuter Akses informasi, yaitu informasi yang diperoleh responden tanpa perantara (langsung) maupun denngan perantara seperti media elektronik dan media cetak. Indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk parameter. Penilaian dilakukan dengan skala ordinal di mana nilai pertanyaan-pertanyaan mempunyai empat kemungkinan jawaban, yaitu : Sangat setuju dengan skor = 4, Setuju dengan skor = 3, Tidak setuju dengan skor = 2, Sangat tidak setuju dengan skor = 1. Peubah Proses Komunikasi pada Kelompok Sosial Komuter Peubah proses komunikasi kelompok pada kelompok sosial komuter meliputi : 1. Isi pesan adalah informasi yang disampaikan oleh anggota komuter yang bersifat informatif, persuasif dan sugesti. Commter menyampaikan isi pesan sesuai dengan kepentingan. Isi pesan mudah dipahami responden. Isi pesan mudah dimengerti dan diterima oleh responden.
27 Peran pelaku komunikasi adalah siapa yang berperan sebagai sumber atau penyampai informasi kepada anggota kelompok komuter. 3. Norma dan sanksi adalah pedoman yang digunakan untuk mengatur pola perilaku dan tata kelakuan yang disepakati bersama oleh anggota kelompok komuter. Indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk parameter. Penilaian dilakukan dengan skala ordinal di mana nilai-nilai pertanyaan mempunyai empat kemungkinan jawaban, yaitu : Sangat setuju dengan skor = 4, Setuju dengan skor = 3, Tidak setuju dengan skor = 2, Sangat tidak setuju dengan skor = 1.
2.
Peubah Kohesivitas Peubah kohesivitas pada kelompok gerbong empat meliputi : 1. Perasaan saling memiliki yaitu, kondisi yang ditandai dengan adanya sikap membutuhkan anggota lain baik dalam suka maupun duka. 2. Keterbukaan adalah kondisi yang ditanai dengan adanya sikap mau berbagi peraaan dengan anggota kelompok lainnya. 3. Kebersamaan adalah kondisi yang ditandai dengan adanya sikap senasib dan sepenanggungan. 4. Aktivitas kelompok yaitu kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok selama dalam gerbong maupun di luar gerbong kereta. Indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk parameter. Penilaian dilakukan dengan skala ordinal di mana nilai-nilai pertanyaan mempunyai empat kemungkinan jawaban, yaitu : Sangat setuju dengan skor = 4, Setuju dengan skor = 3, Tidak setuju dengan skor = 2, Sangat tidak setuju dengan skor = 1.
Peubah Pembentukkan Identitas Kelompok Peubah pembentukkan identitas kelompok sosial komuter meliputi : 1. Pelembagaan adalah tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kehidupannya komuter. Tindakan-tindakan manumur dalam proses pelembagaan ini kemudian akan dilegitimasikan. 2. Internalisasi yaitu melalui sosialisasi, proses sosialisasi primer dan proses sosialisasi sekunder. Indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk parameter. Penilaian dilakukan dengan skala ordinal di mana nilai-nilai pertanyaan mempunyai dua kemungkinan jawaban, yaitu : Sangat setuju dengan skor = 4, Setuju dengan skor = 3, Tidak setuju dengan skor = 2, Sangat tidak setuju dengan skor = 1.
Peubah Manfaat Komunikasi Kelompok dan Pembentukkan Identitas Peubah manfaat komunikasi kelompok dan pembentukkan identitas adalah manfaat yang diperoleh responden dalam pembentukkan identitas dan proses komunikasi kelompok , di mana setiap responden diharapkan memperoleh manfaat bagi dirinya, dan keluarganya yang dapat dijabarkan sebagai merikut : 1. Diri, adalah manfaat yang diterima oleh individu responden selama bergabung menjadi anggota kelompok sosial pada gerbong ke empat.
28 Keluarga, yaitu manfaat yang diterima oleh individu di tularkan kepada keluarga masing-masing didesa tempat tinggal mereka. Indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk parameter. Penilaian dilakukan dengan skala ordinal di mana nilai-nilai pertanyaan mempunyai dua kemungkinan jawaban, yaitu : Sangat setuju dengan skor = 4, Setuju dengan skor = 3, Tidak setuju dengan skor = 2, Sangat tidak setuju dengan skor = 1. 2.
Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas Instrumentasi Nawawi dan Hadari (1995) menyatakan bahwa validitas atau tingkat ketepatan adalah kemampuan instrumen penelitian untuk mengungkapkan datasesuai dengan masalah yang hendak diungkapkannya. Menurut Rakhmat (2009), bila seorang peneliti mulai mengukur gejala yang ditelitinya, maka reliabilitas dan validitas merupakan syarat ukur karena tanpa keduanya penelitian tidak lagi ilmiah. Sedangkan menurut Muljono (2012) reliabilitas dapat dikatakan suatu hasil pengukuran yang dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terdapat kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh validitas instrumen yang baik dilakukan dengan konsultasi dengan ahli yang menguasai materi pertanyaan yang ditanyakan, konsultasi dengan dengan dosen pembimbing dan pertanyaan diuji coba dengan peserta yang memiliki karakteristik yang sama. Tabel 1 Nilai uji reliabilitas instrumen penelitian Peubah
Akses Informasi Isi Pesan Peran dalam Komunikasi Pengetahuan dan Ketaatan terhadap Norma Perasaan Saling Memiliki Keterbukaan Kebersamaan dalam Gerbong Kebersamaan di luar Gerbong Pelembagaan Internalisasi Manfaat bagi Diri Manfaat bagi Keluarga
Nilai koefisien reliabilitas .720 .589 .533 .519 .487 .676 .589 .490 .471 .576 .480 .540
Keterangan
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan SPSS 21 pada tabel 1 terdapat hasil Corrected Item –Total Correlation dari seluruh variabel bernilai antara 0,471 hingga 0, 758. Jika dibandingkan dengan r-Tabel (n = 20, α = 5 %) sebesar 0,468, maka r-hitung > r-tabel. Dengan demikian seluruh variabel bernilai valid.
29 Untuk mencapai reliabilitas alat ukur yang maksimal maka akan dilakukan penyempuraan instrumen melalui pengujian terhadap 20 responden dengan menggunakan rumus Cronbach Apha (Riduan 2004) sebagai berikut : r11 = ( k ) (1-∑Si) (k-1) St
Dimana: r11 = Nilai realibilitas k = Jumlah item ∑Si = Jumlah varian skor tiap-tiap item St = Varian total
Tabel 2 Nilai uji koefisien Cronbach Alpha Cronbach's Alpha .753
N of Items 12
Untuk melihat apakah instrumen yang digunakan reliabel atau tidak, maka niai r yang diperoleh dikonfirmasikan dengan nilai t tabel pada taraf signifikansi 0,5. Jika nilai r terhitung lebih besar dari t tabel, maka instrumen yang digunakan menyatakan reliabel, jika sebaliknya tidak reliabel. Uji coba kuesioner dilakukan pada 20 responden anggota kelompok sosial pada gerbong lain di Kereta Api Patas Purwakarta Kota. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 21 terhadap seluruh instrumen yaitu 20 responden mendapatkan angka 0,901 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengambil data di lapangan reliabel atau konsisten. Kuesioner yang diberikan pada 20 responden berisikan semua pertanyaan yang diharapkan dapat menggali informasi dari responden sesuai dengan tujuan Setelah mengadakan uji validitas terhadap masing- masing penelitian. pertanyaan dalam kuesioner, hasilnya adalah valid. P engujian reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach Alpha untuk menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak, yakni dengan skala 0 sampai dengan 1. Interpretasi reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai alpha Cronbach Nilai alpha Cronbach Nilai alpha Cronbach Nilai alpha Cronbach Nilai alpha Cronbach
0,00 – 0,20 = kurang reliabel/diabaikan 0,21 – 0,40 = agak reliabel 0,41 – 0,60 = cukup reliabel 0,61 – 0,80 = reliabel 0,81 – 1,00 = sangat reliabel (Arikunto 2005)
30 Dari hasil uji statistik dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh nilai Cronbach Alpha sebesar 0,753 yang nilainya lebih besar dari 0,60. Ini berarti bahwa semua variabel yang digunakan pada kuesioner reliabel. Analisis Data Data yang dikumpulkan diolah dengan bantuan Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 21 kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian serta untuk menguji hipotesis penelitian. Teknik pengolahan data digunakan analisis kuantitatif dan untuk mendukung serta mempertajam analisis kuantitatif dilengkapi dengan informasi berdasarkan data kualitatif. Analisis data pada pendekatan penelitian kuantitatif menggunakan: 1. Analisis korelasi rank Spearman Analisis korelasi dalam penelitian ini menggunakan analisis uji korelasi rank Spearman (rs). Korelasi rank Spearman digunakan untuk menguji hipotesis mengenai hubungan peubah bebas dengan peubah terikat. Rumus koefisien korelasi rank Spearman dirumuskan sebagai berikut (Riduwan dan Sunarto 2011):
Keterangan : rs = Koefisien korelasi rank Spearman d = Perbedaan antara pasangan jenjang = Jumlah peserta bedah rumah n 2.
Analisis korelasi Chi Square Analisis korelasi Chi Square digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang berskala nominal (Riduwan dan Sunarto 2011):
Keterangan : = Nilai chi-kuadrat X2 K = Jumlah sel atau kelas oi = Frekueansi amatan ei = Frekuensi harapan
31
4 GAMBARAN UMUM KERETA API PATAS PURWAKARTA Pola Operasi KA. Patas Purwakarta Kereta api merupakan salah satu transportasi publik yang banyak digunakan oleh masyarakat. Kereta api memegang peranan strategis karena keunggulan-keunggulannya. Menurut Munawar (2005) kereta api memiliki keunggulan diantaranya; (1) angkutan massal yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak, (2) angkutan yang tidak polutif, (3) tidak boros energi dan ruang, (4) lebih aman dan lancar karena memiliki jalur sendiri dan apabila terdapat persilangan dengan jalan raya, maka kereta api akan didahulukan, (5) efisien untuk lalu lintas kota yang padat penduduk. Keunggulan-keunggulan tersebut menjadikan kereta api sebagai moda transportasi strategis yang berperan dalam mobilitas komuter dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan termasuk kereta api Patas Purwakarta. Kereta api patas ekonomi Purwakarta atau lebih sering disebut Patas Purwakarta atau Patas PWK adalah kereta api kelas ekonomi (sekarang disamakan dengan kereta api lokal) yang melayani rute Purwakarta – Jakarta Kota pp. Kalangan komuter maupun masyarakat umum awam beranggapan bahwasannya Patas PWK sama saja dengan kereta api lokal ekonomi yang biasa disebut dengan odong-odong, mungkin karena lintasan yang dilalui sama atau tidak ada pembeda yang signifikan, bahkan dikarcisnya pun antara odong-odong dan patas disamakan, dengan bertulisan “Patas Ekonomi Purwakarta”, padahal di dalam grafik Perjalanan Kereta Api terlihat jelas perbedaan namanya. Sebelum adanya penamaan kereta api kelas ekonomi yang banyak seperti sekarang, tata penamaan kereta api kelas ekonomi banyak yang hanya memakai embel-embel “KA CEPAT, KA. PATTAS, dan KA. EKSPRES ”, contohnya : KA. CEPAT SLO-PSE, KA. PATTAS ML-SB. Nama-nama kereta tersebut diantaranya KA Patas Purwakarta. Patas Purwakarta sudah lahir sejak jaman PJKA yakni pada tahun 1971. Dahulu kereta api ini bernama KA. CEPAT. Pada awalnya kereta api ini berbagi rangkaian dengan KA Cepat Jakarta-Bandung PP. Karena KA. PARAHYANGAN laku keras maka KA. Cepat Jakarta-Bandung PP memanjang rutenya sampai stasiun Sidareja dan dikenal menjadi KA Patas/Cepat Sidareja (Muhammad 2005). Saat masih berbagi rangkaian dengan KA Cepat Sidareja, kereta api mempunyai pola operasi mulai dari stasiun Purwakarta berangkat pukul 05.20 WIB sampai Jakarta Kota sekitar pukul 07.59 WIB. Atau kalau yang ingin lebih pagi, maka berangkat dari Cikampek pukul 04.30 dan sampai ke stasiun Jakarta Kota pukul 06.47 WIB. Setelah stabling sebentar di DIPO DAO, siangnya sekitar pukul 12.00 diberangkatkan kembali menuju Sidareja dengan nama KA Patas Sidareja (https:// id.wikipedia.org/wiki/Kereta_api_lokal_Purwakarta).Dari stasiun Siareja kereta diberangkatkan pada subuh dini hari sekitar pukul 05.00 WIB dan sampai stasiun Jakarta Kota sekitar pukul 12.00 WIB kemudian stabling di DIPO DAO. Setelah pukul 17.00 WIB kereta diberangkatkan kembali dari stasiun Jakarta Kota menuju stasiun Purwakarta dengan nama KA Patas Purwakarta.
32 Setelah Patas Sidareja tidak beroperasi, KA Patas Puwakarta sering berbagi rangkaiannya dengan KA Patas Merak. Namun sejak tahun 2004-an sampai sekarang KA Patas Purwakarta memiliki rangkaian sendiri walaupun dalam seminggu terkadang sering bertukar rangkaian dengan KA Ekonomi Lokal yang memiliki rute yang sama dengan KA Patas Purwakarta. KA. Patas Purwakarta hanya berhenti di stasiun yang telah ditentukan oleh PJKA sedangkan halte dan pos pemberhentian berjalan langsung. Stasiun pemberhentian dimulai dari stasiun Purwakarta – Cibungur – Cikampek – Dawuan – Kosambi – Klari – Karawang – Kedung Gedeh - Lemahabang – Cikarang – Tambun – Bekasi – Cakung – Klender – Jatinegara – Pasar Senen – Kemayoran – Kampung Bandan – Jakarta Kota. Semenjak kebijakan - kebijakan baru tahun 2013, KA. Patas Purwakarta tidak berhenti lagi di stasiun Kranji, Cakung, Klender Baru, Buaran, Klender, Jatinegara, Kramat, Kramat Sentiong, dan Kampung Bandan (Pratiwi 2013). Sebelum ada kebijakan tahun 2013 terkadang KA. Patas Purwakarta berhenti di halte Cibitung dan Sadang (dalam T100 menyebutnya berhenti sebentar). berikut gambar pos-pos pemberhentian KA. Patas Purwakarta yang dilalui:
Gambar 3. Jalur KA. Patas Purwakarta Jumlah armada yang terbatas menyebabkan kereta api Patas Purwakarta selalu penuh dan padat saat jam-jam sibuk, baik pada pagi hari dan sore hari. Komuter yang menaiki kereta api Patas Purwakarta umumnya adalah pekerja dengan tujuan wilayah kota Jakarta. Para komuter ini lebih memilih menggunakan kereta api sebagai moda transportasinya menuju ke Jakarta dengan alasan lebih ekonomis dibandingkan dengan naik kendaraan lain seperti bus. Selain itu waktu tempuh menggunakan kereta api jauh lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan bus atau kendaraan pribadi. Komuter yang menaiki kereta api Patas Purwakarta setiap harinya pada jam-jam sibuk selalu sama orangnya pada setiap gerbong. Komunikasi pun tercipta diantara sesama komuter di gerbong dengan saling bertegur sapa dan mengenal satu sama lainnya. Komunikasi dan interaksi yang terjalin kian hari semakin intensif dan dekat. Komunikasi dan interaksi yang intensif di dalam gerbong kereta membentuk kelompok-kelompok sosial setiap gerbongnya yang memiliki berbagai macam aktivitas. Kelompok
33 sosial dalam kereta terbentuk pada awal tahun 1990-an. Terbentuknya kelompok sosial karena masing-masing penumpang “tetap” memiliki tujuan yang sama, yaitu rasa aman dan nyaman selama dalam perjalanan. Selain itu berbagai aktivitas yang dilakukan dalam gerbong menciptakan kohesivitas diantara sesama penumpang. Kohesivitas diantara sesama penumpang muncul dari adanya perasaan senasib dan sepenanggungan selama dalam perjalanan menggunakan kereta api dengan kondisi gerbong yang penuh dan padat. Namun dari delapan rangkaian gerbong KA. Patas Purwakarta, gerbong empat memiliki bentuk komunikasi yang berbeda dengan gerbong yang lainnya. Selain itu kebersamaan dalam kelompok tidak hanya sebatas dalam gerbong saja, tetapi juga di luar gerbong. Momentum pesta perkawinan, sunatan di rumah anggota kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta menjadi sarana berkumpul di luar gerbong kereta untuk menjalin keakraban dan kedekatan sesama penumpang kereta gerbong empat. Dari pertemuan yang tidak hanya sebatas dalam gerbong tetapi juga di luar gerbong menjadikan penumpang satu dengan penumpang lainnya di gerbong empat merasa dekat bagai keluarga kedua dan tercetus ide untuk membuat kelompok yang diberi nama gerbong empat. Anggota kelompok gerbong empat memperoleh manfaat dari adanya kelompok gerbong empat seperti pertemanan, kebersamaan, perlindungan. Bentuk perlindungan yang diberikan yaitu mendapat prioritas tempat duduk bagi anggota kelompok.
Karakteristik Komuter Komuter yang menjadi responden ataupun informan dalam penelitian ini adalah anggota kelompok gerbong empat yang menjadi penumpang pada KA. Patas Purwakarta. Jumlah anggota kelompok kurang lebih sebesar 100 orang, sementara total keseluruhan penumpang mencapai 120 orang. Karakteristik anggota kelompok gerbong empat meliputi umur, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran dan waktu tempuh. Kategori alamat dibagi atas dua, yaitu Bekasi dan luar Bekasi sesuai dengan alamat anggota kelompok gerbong empat yang menjadi penumpang gerbong ke empat KA. Patas Purwakarta. Untuk lebih jelasnya deskripsi mengenai karakteristik anggota kelompok gerbong empat terdapat pada Tabel 3.
34 Tabel 3 Jumlah dan persentase responden menurut karakteristik anggota kelompok KA.Patas Purwakarta tahun 2014 Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%) Umur (tahun) < 25 12 14 > 25-50 66 76.7 >50 8 9.3 Domisili Bekasi 65 75.6 Luar Bekasi 21 24.4 Jenis Kelamin Laki 44 51.2 Perempuan 42 48.8 Tingkat Pendidikan Tamat SD 1 1.2 Tamat SMP 1 1.2 Tamat SMA 66 76.7 Sarjana 18 20.9 Jenis Pekerjaan Pegawai Negeri 5 5.8 Pegawai Swasta 67 77.9 Lainnya 14 16.3 Tingkat Pendapatan