KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI DESA MUNTEI KECAMATAN SIBERUT SELATAN KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI Oleh: Noviana Tatebburuk1, Henny Herwina2, Armein Lusi Z.1 Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat1 Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas Padang 2 Email:
[email protected]
ABSTRACT A study about composition of ants in cacao plantation (Theobroma cacao L.) and forest edge was conducted from August until Septembert 2014 in Muntei Village, South Siberut, Mentawai Island. The ant was collected by using hand collecting method. A total of 17 species of ant that belonging to 14 genera, 8 tribe, and 5 subfamilies of ants was collected. Formicinae was found as the subfamily with the highest number of species (6 species) followed by Ponerinae (5 species) and Dolichoderinae (4 species), meanwhile Myrmicinae and Ectatomminae were found one species respectively. The highest of relative density was showed by Dolichoderus thoracicus (63,32%) at cacao plantation and the lowest relative density was found in Polyrachis abdominalis (0,07%) at forest edge. Key Words: Ants; Composition; Cacao Plantation
PENDAHULUAN Semut (Hymenoptera: Formicidae) merupakan golongan insekta yang kelimpahannya tergolong tinggi di dalam tanah. Semua semut adalah serangga eusosial dengan koloni yang memiliki paling tidak tiga kasta yaitu ratu, jantan, dan pekerja (Borror, et. al., 1992). Perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap kehadiran dan kepadatan populasi semut. Suin (2006) menyatakan bahwa kehidupan hewan tanah sangat tergantung pada habitatnya karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah pada suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu baik dilihat dari segi lingkungan abiotik maupun lingkungan biotiknya. Berdasarkan observasi dan pengalaman langsung yang telah dilakukan di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, ditemukan adanya perubahan kondisi hutan pada daerah tersebut. Dimana dahulu daerah tersebut merupakan hutan primer tetapi sekitar 6 tahun terakhir sampai sekarang sudah menjadi kawasan pertanaman kakao milik masyarakat setempat. Adanya perubahan tersebut, secara tidak langsung akan merubah kondisi vegetasi dan hewan permukaan tanah yang ada. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah hilangnya keanekaragaman hayati termasuk semut. Selain masalah di atas, keberadaan semut pada pertanaman kakao sangat berperan penting. Semut berperan sebagai pengendali hayati (predator) bagi hama PBK (Conopomorpha
cramerella) dan kepik penghisap buah (Hellopeltis spp.), misalnya semut rangrang (Oecophylla smaragdigna) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010; Putra dkk., 2011). Namun, keberadaan semut ini juga dapat menjadi vektor dalam penyebaran spora jamur busuk buah kakao (Phytophthora palmivora) yang berasal dari tanah (Putra dkk., 2011), salah satunya adalah semut Iridomirmex cordatus (Rosmana dkk., 2010). Penelitian tentang semut pernah dilakukan oleh Karnela dkk. (2012) pada pertanaman mentimun di Kelurahan Lubuk Minturun Koto Tangah Padang yang mendapatkan 7 spesies semut. Selanjutnya Herwina dkk. (2013) mendapatkan 24 spesies yang termasuk ke dalam 16 genera pada perkebunan pisang yang terserang BBTV di Sumatera Barat, Indonesia. Informasi komposisi semut (Hymenoptera: Formicidae) pada pertanaman kakao di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai masih sangat terbatas. Berdasarkan masalah serta adanya hubungan antara semut dengan tanaman kakao tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi semut (Hymenoptera: Formicidae) pada pertanaman kakao (Theobroma cacao L.) maupun pada pinggir hutan yang ada di sekitar pertanaman tersebut.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus s/d September 2014 pada pertanaman kakao dan pinggir hutan yang ada disekitarnya dan
identifikasi sampel semut dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan FMIPA Universitas Andalas Padang. Pengukuran kadar organik tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. Pengambilan sampel semut dilakukan dengan menggunakan metode hand collecting (HC) pada kedua stasiun penelitian (pertanaman kakao dan pinggir hutan yang berbatasan dengan pertanaman kakao). Pada tiap stasiun dibuat transek sepanjang 180 m yang dibagi kedalam tiga subtransek dengan panjang 60 m. Setiap subtransek dilakukan pengoleksian sampel dengan menggunakan metode tersebut. Pengambilan sampel semut dengan metode hand collecting adalah pengoleksian yang dilakukan secara langsung di sepanjang subtransek dengan menggunakan pinset, dimana untuk di pertanaman kakao lebih diutamakan pengoleksian pada pohon kakao. Pada pinggir hutan, pengoleksian ini juga dilakukan di pohon (sampai ketinggian ±1,5 m), batu-batuan, dan permukaan
tanah. Koleksi ini dilakukan selama 30 menit pada masing-masing subtransek. Selain pengambilan sampel semut, juga dilakukan pengukuran faktor fisika kimia yang meliputi suhu udara, suhu tanah, pH tanah, dan pengambilan sampel tanah untuk pengukuran kadar air tanah dan kadar organik tanah. Semua sampel semut dan juga tanah yang didapatkan dari kedua lokasi penelitian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Analisis data untuk menghitung komposisi semut dilakukan dengan menghitung kepadatan (K), kepadatan relatif (KR), frekuensi (F), dan frekuensi relatif (FR). Kepadatan adalah jumlah individu suatu jenis per waktu penangkapan pada ketiga subtransek (90 menit). Kepadatan relatif adalah persentase kepadatan suatu spesies per jumlah kepadatan seluruh spesies. Frekuensi adalah jumlah subtransek ditemukannya suatu spesies per jumlah seluruh subtransek (3 subtransek). Frekuensi relatif adalah persentase frekuensi suatu spesies per jumlah frekuensi seluruh spesies.
Gambar 1. Lokasi Penelitian pada Pertanaman Kakao dan Pinggir Hutan di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai
a b Keterangan: (a) Pertanaman Kakao dan (b) Pinggir Hutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada pertanaman kakao dan pinggir hutan di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan menggunakan metode hand collecting didapatkan sebanyak 17 spesies semut yang tergolong kedalam 14 genus 8 tribe 5 subfamili dan 2262 individu (Tabel 1). Jumlah spesies lebih banyak ditemukan pada pinggir hutan (16 spesies) sedangkan pada pertanaman kakao hanya 5 spesies. Banyaknya jumlah spesies yang ditemukan pada habitat pinggir hutan daripada pertanaman kakao kemungkinan disebabkan adanya perbedaan kondisi vegetasi antara kedua stasiun, dimana hutan lebih didominasi oleh vegetasi yang sangat rapat dan bervariasi, sehingga sumber makanan lebih banyak tersedia serta kadar
organik tanahnya lebih tinggi (Tabel 2). Lapisan serasah di permukaan tanah yang merupakan tempat yang sangat disukai semut untuk bersarang dan mencari makan diperkirakan juga menjadi salah satu alasan lebih banyaknya spesies semut yang ditemukan pada stasiun ini. Jaitrong (2012) melaporkan bahwa semut dari genus Ochetellus, Gamptogenys, Anoplolepis, Pheidologeton, Leptogenys, Pachycondyla, Odontomachus, Anochetus, dan Myopias lebih dominan hidup di tanah, daun dan kayu yang telah membusuk. Semut genus Dolichoderus, Philidris, Camponotus, Polyrachis, dan Oechophylla lebih banyak hidup di sepanjang batang pohon dan juga di bawah kanopi. Walaupun jumlah spesies semut di pinggir hutan lebih tinggi dibandingkan dengan di pertanaman kakao, namun jumlah spesies yang ditemukan di pinggir hutan pada penelitian ini lebih sedikit jika
dibandingkan dengan penelitian Herwina, dkk (2011) pada tiga tipe habitat di Pulau Marak Sumatera Barat yang mendapatkan semut pada pinggir hutan sebanyak 27 spesies. Pada perkebunan kakao didapatkan kepadatan relatif tertinggi pada spesies Dolichoderus thoracicus (KR 63,32%) dan yang terendah pada Polyrachis abdominalis (KR 0,07%). Tingginya kepadatan relatif semut Dolichoderus thoracicus pada pertanaman kakao karena semut ini memang ditemukan dalam jumlah individu yang tinggi pada hampir semua pohon kakao yang diamati. Semut D. Thoracicus ini banyak ditemukan pada batang, ranting, dan juga buah kakao. Jumlahnya yang berlimpah diperkirakan membuat jumlah individu semut lain menjadi lebih sedikit. Kehadiran semut Dolichoderus thoracicus pada pohon kakao berpotensi sebagai pengendali hama yang menyerang buah kakao seperti hama
PBK dan kepik penghisap buah (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010; Herwina dan Yaherwandi, 2012). Sedangkan rendahnya kepadatan relatif semut Polyrachis abdominalis disebabkan karena pengaruh cara hidupnya yang bersifat soliter dan aboreal. Dari kedua stasiun didapatkan frekuensi relatif tertinggi pada semut Dolichoderus thoracicus dan Philidris sp. (FR 33,44%) dan yang terendah ditemukan pada semut Ochetellus sp., Dolichoderus affinis, Philidris sp, Componotus festinus, Polyrachis abdominalis, Anoplolepis gracilipes, Polyrachis sp., Pachycondyla tridentata sp. 6, Odontomachus simillimus, Anochetus rugosus, dan Myopias sp. (FR 4,51%). Suin (2006) menjelaskan bahwa dari frekuensi kehadiran itu tergambar penyebaran jenis di habitat itu. Bila frekuensi kehadirannya tinggi berarti jenis itu sering ditemukan di habitat itu.
Tabel 1: Komposisi Spesies Semut dengan Menggunakan Metode Hand Collecting pada Pertanaman Kakao dan Pinggir Hutan di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai No 1
2
3
4
5
Subfamili Tribe Spesies Dolichoderinae Dolichoderini Ochetellus sp. of HH Leptomyrmecini Dolichoderus thoracicus (Smith F., 1860) Dolichoderus affinis (Emery, 1889) Philidris sp. of HH
Stasiun I (Pertanaman Kakao) N
K
631 9 302
7,01 0,1 3,36
KR
F
63,32 0,9 30,35
1 0,33 1
Stasiun II ( Pinggir Hutan) FR
33,44 11,04 33,44
Ectatomminae Ectatommini Gnamptogenys menadensis (Mayr, 1887) Formicinae Camponitini Camponotus festinus (Smith F., 1857) Camponotus arrogans (Smith F., 1858) Polyrachis abdominalis (Smith F., 1858) Polyrachis sp. of HH Oechophylini Oechophylla smaragdina (Fabricius, 1775) Lasiini Anoplolepis gracilipes (Smith F., 1857)
31
0,34
3,07
0,33
23
0,26
2,35
0,33
11,04
996
11,07
99,99 4 5
2,99
100
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil pengukuran faktor fisika kimia pada kedua stasiun penelitian. Suhu udara pada kedua stasiun relatif sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kehidupan semut. Harlan (2006) mengatakan bahwa pada kisaran suhu udara 23-300C, semut aktif dalam mencari sumber makanan. Suhu tanah pada pertanaman kakao (26,670C) lebih tinggi
K
KR
F
FR
17
0,19
1,35
0,33
4,51
145 52 145
1,61 0,58 1,61
11,45 4,13 11,45
1 0,33 0,33
13,68 4,51 4,51
64
0,71
5,05
0,67
9,17
89
0,99
7,04
0,33
4,51
1 22
0,01 0,24
0,07 1,71
0,33 0,33
4,51 4,51
267
2,97
21,12
0,67
9,17
47
0,52
3,7
0,33
4,51
67
0,74
5,26
0,67
9,17
133 12 156 16 33 1266
1,48 0,13 1,73 0,18 0,37 14,06
10,53 0,92 12,3 1,28 2,63 99,99 14 16
0,67 0,33 0,33 0,33 0,33 7,31
9,17 4,51 4,51 4,51 4,51 99,97
11,04
Myrmicinae Pheidologetonini Pheidologeton cf. affinis (Jerdon, 1851) Ponerinae Ponerini Leptogenys sp. 39 of SKY Pachycondyla tridentata (Smith F., 1858) Odontomachus simillimus (Smith F., 1858) Anochetus rugosus Myopias sp. of HH ∑ Keseluruhan Total Genus Total Spesies
N
daripada suhu tanah di pinggir hutan (23,33 0C). Suhu tanah berkemungkinan menjadi penyebab tingginya jumlah spesies semut di pinggir hutan, karena diperkirakan semut lebih menyukai suhu tanah yang rendah dibandingkan suhu tanah yang tinggi. Suin (2006) menyatakan bahwa suhu tanah sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Faktor Fisika-Kimia pada Pertanaman kakao dan Pinggir Hutan di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Parameter Suhu Udara (0C) Suhu Tanah (0C) pH Tanah Kadar Air Tanah (%) Kadar Organik Tanah (%)
Stasiun I (Pertanaman Kakao) 28,67 26,67 6,73 29,95 3,11
. Derajat keasaman (pH) tanah pada stasiun I (6,73) dan stasiun II (6,8), memperlihatkan bahwa pH tanah pada kedua stasiun ini bersifat asam. Hewan tanah ada yang memilih hidup pada tanah yang pHnya asam dan adapula hidup pada tanah yang basa (Suin, 2006). Kadar air tanah pada stasiun I (29,95%) lebih rendah daripada stasiun II (43,05%). Hal ini disebabkan karena pada stasiun I (kakao), cahaya matahari langsung menembus tanah karena vegetasinya jarang, sedangkan pada hutan vegetasinya sangat rapat dengan kanopi yang tinggi sehingga tanah tidak mendapatkan cahaya matahari secara langsung. Tingginya kadar air di hutan diperkirakan menjadi penyebab bervariasinya spesies semut yang ditemukan pada area ini. Kadar organik tanah yang rendah di pertanaman kakao (3,11%) dan tinggi di hutan (20,55%) yang diperkirakan ikut mempengaruhi tingginya jumlah spesies semut yang ditemukan. Tingginya kadar organik tanah pada hutan disebabkan karena dekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan. Sehingga hal ini juga menentukan kepadatan dan jenis hewan yang ada (Suin, 2006). Semut sangat menyukai bahan organik tinggi daripada bahan organik rendah (Handayanto dan Hairiah, 2007).
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang komposisi semut (Hymenoptera: Formicidae) pada pertanaman kakao (Theobroma cacao L.) di Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan menggunakan metode hand collecting telah ditemukan sebanyak 17 spesies semut yang tergolong ke dalam 14 genus, 8 tribe, dan 5 Subfamily dengan total 2262 individu. Jumlah spesies semut pada pinggir hutan lebih tinggi (16 spesies) dibandingkan pada pertanaman kakao (5 spesies). Semut D. thoracicus ditemukan sebagai spesies yang memiliki kepadatan relatif tertinggi (KR 63,32%) dan semut dengan kepadatan relatif terendah ditemukan pada Polyrachis abdominalis (KR 0,07%).
II (Pinggir Hutan) 28,33 23,33 6,8 43,05 20,55
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di lapangan, dan kepada petani kakao Desa Muntei atas bantuannya selama pengoleksian sampel. Selanjutnya kepada Dyona Putri S.Si. dan rekanrekan yang ikut membantu dalam pengidentifikasian semut di Laboratorium Taksonomi Hewan FMIPA Universitas Andalas Padang
DAFTAR PUSTAKA Borror, D. J., C. A. Triplehorn, dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pembelajaran Serangga. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press. . Handayanto dan Hairiah. 2007. Biologi Tanah (LandasanPengelolaan Tanah Sehat). Yogyakarta: Pustaka Adipura. Hashimoto, Y., Seiki, Y., and Maryati, M. 2001. How to Design an Inventory Method for Ground-Level Ants in Tropical Forests. Article Nature and Human Activities (No.6). Page 25-30. Harlan, I. 2006. Aktivitas Pencarian Makan dan Pemindahan Larva Semut Rangrang Oechophylla smaragdina (Hymenoptera: Formicidae). Skripsi Departemen Biologi FMIPA IPB. Herwina, H., S. Salmah, R. Satria, dan Yaherwandi. 2011. Komposisi dan Kepadatan Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) yang Dikoleksi dengan Beberapa Metoda pada Tiga Tipe Habitat di Pulau Marak Sumatera Barat. Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia. Hlm 803-810.
Herwina, H., dan Yaherwandi. 2012. Study of Ants (Hymenoptera: Formicidae) in Solok District Cacao Plantation, West Sumatera. Prosiding Semirata BKS-PTN B MIPA 2012-Biologi. Hlm 580-587. Herwina, H., N. Nasir, Jumjunidang, and Yaherwandi. 2013. The Composition of Ants Banana Plants with Banana Bunchy-Top Virus (BBTV) Symptoms in West Sumatera Indonesia. Journal Asian Myrmecology (Volume 5). Page 151-161. Jaitrong, W. 2012. A list of Know Ant Species of Thailand (Formicidae: Hymenoptera). National Science Museum: Thailand. Karnela, D. L., H. Herwina, dan A. Lusi. 2012. Komposisi Hymenoptera Permukaan Tanah pada Pertanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) di Kelurahan lubuk Minturun Sungai Lareh Kecamatan Koto Tangah Padang. E-Jurnal Prodi Pendidikan Biologi (Vol. 1 No. 1). Hlm 1-6. .
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2010. Budidaya Kakao. Jakarta: Agromedia Pustaka. Putra, I. G. A. P., N. L. Watiniasih, dan N. M. Suartini. 2011. Inventarisasai Serangga pada Perkebunan Kakao (Theobroma cacao) Laboratorium Pusat Perlindungan Tanaman Desa Bedulu Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianjar, Bali. Jurnal Biologi (Nomor 1 Juni 2011). Hlm 19-34. Rosmana, A., C. Waniada, M. Junaid, dan A. Gassa. 2010. Peranan Semut Iridomirmex cordatus (Hyminoptera: Formicidae) dalam Menularkan Patogen Busuk Buah Phytophthora palmivora. Jurnal Pelita Perkebunan. 26(3). Hlm 169-176.. Suin, N. M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara