KOMITMEN ORGANISASI DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP EMPATI ATASAN PADA KANTOR NOTARIS KOTA SEMARANG
Zulham Munif Fakultas Psikologi Universitas Semarang ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organsiasi pada karyawan kantor notaris di kota Semarang. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara komitmen terhadap persepsi empati atasan. Penelitian ini melibatkan 60 karyawan dengan karakteristik yaitu karyawan kantor notaris kota Semarang dengan usia minimal 21 tahun. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala Komitmen Organisasi dan Skala Persepsi terhadap Empati Atasan. Analisis data dilakukan dengan metode analisis Korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara komitmen organisasi dengan persepsi terhadap empati atasan yang ditunjukkan dengan nilai r xy = 0,672 dengan p = 0,000 (p<0,01) sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima. Kata Kunci : Komitmen Organisasi, Persepsi terhadap Empati Atasan. ABSTRACT ORGANIZATIONAL COMMITMENT IN TERMS OF THE PERCEPTION OF EMPATHY LEADERS AT THE NOTARY'S OFFICE SEMARANG
This study aim to determine empirically the relationship between perceptions of empathy with the leader on employee commitment organsiasi notary office in the city of Semarang. The hypothesis of this study is that there is a positive relationship between commitment to the supervisor empathy perception. The study involved 60 employees with the characteristics of Semarang city notary office employees with at least 21 years of age. The research data was collected using two scales, namely Organizational Commitment Scale and Scale Perceptions of Empathy Leader. Data analysis was performed with the Product Moment Correlation analysis method. The results showed that there was a significant positive relationship between organizational commitment and supervisor perceptions of empathy shown by the value of rxy = 0.672 with p = 0.000 (p <0.01) so that this hypothesis is accepted. Keywords: Organizational Commitment, Perceptions of Empathy Leader.
49
PENDAHULUAN Karyawan merupakan tulang punggung perusahaan, ungkapan itu banyak terdengar dan memiliki makna yang dalam. Keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak terlepas dari peran karyawan, karena karyawan bukan semata menjadi obyek dalam mencapai tujuan perusahaan tetapi juga sebagai subyek atau pelaku. Karyawan dapat menjadi perencana, pelaksana, pengendali yang selalu berperan aktif dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Triharso (2012: 84) mengungkapkan bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan untuk mengungkapkan diri, ingin diterima sebagai bagian dari “anggota keluarga” perusahaan, ingin dipercaya dan didengar kata-katanya, dihargai manajemen, dan bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Melalui komunikasi dua arah (termasuk rapat/meeting), pihak manajemen dapat mengindentifikasi halhal tersebut sekaligus menginformasikan tentang tujuan-tujuan perusahaan, target market dan rencana masa depan, dan mendorong karyawan memberikan feed back. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah karyawan perlu mengetahui bahwa pihak manajemen mengakui kehadiran dan menyadari arti penting karyawan bagi perusahaan. Samsudin (2006: 286) mengatakan bahwa para manager dapat memperoleh loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya jika manager memperlakukan bawahannya sebagai “mitra kerja”, menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau mendengarkan saran dan keluhan, dan mau saling berbagi pengalaman. Perusahaan merekrut para karyawan untuk bekerja di perusahaannya secara optimal. Kesungguhan para karyawan tampak dalam komitmen mereka terhadap perusahaan. Lebih jauh, komitmen karyawan terhadap perusahaan ditunjukan
melalui kesetiaan atau loyalitas. Seperti diungkapkan Mowday dan Steers (dalam Istijanto, 2008: 205), Komitmen merupakan loyalitas karyawan terhadap suatu unit sosial yang bisa berupa loyalitas karyawan terhadap perusahaan, departemen, atau terhadap pekerjaan mereka. Tanuwidjaja (2010: 139) mengungkapkan bahwa loyalitas sangat penting bagi perusahaan. Karyawan yang loyal adalah karyawan yang senantiasa berpikir dan bertindak untuk kemajuan perusahaannya. Triharso (2012: 93) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah keadaan ketika seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuantujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Porter dan lawler (dalam Mardatillah, 2010: 150) menyebutkan bahwa dorongan atau motivasi kerja tidak langsung mengarah ke prestasi kerja, sehingga yang terjadi setelah prestasi kerja perlunya suatu penghargaan baik secara intrinsik maupun ekstrinsik sehingga tidak hanya memotivasi atau sebagai pendorong untuk berprestasi lebih baik lagi namun juga sebagai perangsang untuk melakukan prestasi kerja. Komitmen dianggap sebagai psycological state, namun hal ini dapat berkembang secara retrospektif (sebagai justifikasi terhadap tingkah laku yang sedang berlangsung) sebagai mana diajukan pendekatan behavioral, sama seperti secara prospektif (berdasarkan persepsi dari kondisi saat ini atau di masa depan di dalam oranisasi) sebagai mana dinyatakan dalam pendekatan attitudinal (Meyer & Allen dalam Umam, 2010: 258). Dalam pendekatan attitudinal tersebut menunjukkan bahwa persepsi karyawan terhadap kondisi saat ini atau kondisi di masa depan memengaruhi komitmennya terhadap organisasi. 50
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap empati atasan pada kantor Notaris di Kota Semarang terhadap komitmen karyawan. TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi Robbins & Judge (2009: 100) mengemukakan bahwa komitmen organisasional (organizational commitment), yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuantujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Triharso (2012: 93) Komitmen organisasi adalah keadaan ketika seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Selanjutnya Triharso (2012: 95) mengungkapkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dari proses berkelanjutan ketika anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuannya yang berkelanjutan. Istijanto (2010: 244) berpendapat bahwa komitmen merupakan dedikasi atau pengabdian seseorang terhadap pekerjaannya dan ia memandangnya sebagai kebutuhan dan sangat penting dalam hidupnya. Lebih lanjut Istijanto (2008: 205) mengatakan bahwa komitmen karyawan terhadap perusahaan ditunjukan melalui kesetiaan atau loyalitas. Seperti diungkapkan Mowday dan Steers (dalam Istijanto 2008: 205), komitmen merupakan loyalitas karyawan terhadap suatu unit sosial yang bisa berupa loyalitas karyawan terhadap perusahaan, departemen, atau terhadap pekerjaan mereka. Sebagai sikap,
komitmen organisasi sering didefinisikan sebagai sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatianya terhadap oragnisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans dalam Kaswan, 2009: 293). Sopiah (2008: 157) mengungkapkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi. Becker (dalam Darmawan, 2013: 168) menyatakan komitmen sebagai kecenderungan untuk terikat dalam garis kegiatan yang konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain. Meyer dan Allen (dalam Umam, 2010: 258) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Jewell & Siegall (1998: 518) mengungkapkan bahwa keadaan psikologis yang diyakini berkaitan dengan tinggal di dalam pekerjaan adalah komitmen kerja. Komitmen kerja adalah variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu itu sendiri dengan pekerjaan tertentu dalam organisasi tertentu. Aspek-Aspek Komitmen Organisasi Meyer dan Allen (dalam Umam, 2010: 259) merumuskan tiga dimensi komitmen, yaitu: a. Affective commitment, berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. b. Continuance commitment, berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi sehingga akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. 51
c. Normative commitment, menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Robbins & Judge (2009:101) mengemukakan bahwa tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah : a. Komitmen afektif (affective commitment) perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai– nilainya. b. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. c. Komitmen normatif (normative commitment) kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Spencer dan Spencer (dalam Kaswan 2012:293) mengatakan ada empat indikator perilaku umum dari komitmen organisasi, yaitu (1) ada kerelaan untuk membantu kolega menyelesaikan tugas-tugas organisasi, (2) menyatukan aktivitas dan prioritas yang dimiliki untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang lebih besar, dan (4) memilih kebutuhan-kebutuhan organisasi yang pantas dari pada mengikuti beberapa minat profesional. Sopiah (2008: 157) mengemukakan bahwa komitmen organisasional ditandai dengan adanya : a. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi. b. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, dan c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi. Mowday (dalam Sopiah, 2008: 165) mengungkapkan untuk mengukur komitmen karyawan terhadap organisasi, yang merupakan penjabaran dari tiga aspek komitmen, yaitu a) Penerimaan terhadap tujuan organisasi, b) Keinginan untuk
bekerja keras, dan c) Hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi. Lincoln (dalam Darmawan, 2013: 171) memberikan tiga indikator untuk konsep komitmen, yaitu: a. Kemauan karyawan Suatu upaya niat baik karyawan untuk berinisiatif dalam menekuni bidang pekerjaannya. b. Kesetiaan karyawan Bentuk dari loyalitas karyawan guna menunjukkan jati dirinya dalam upaya turut mengembangkan organisasi dimana karyawan bekerja. c. Kebanggaan karyawan Suatu bentuk totalitas kerja atau prestasi secara maksimal dalam upaya menunjukkan bahwa hasil kerjanya sudah mencapai kualitas yang baik atau optimal. Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi Steer (dalam Sopiah, 2010: 163) mengidentifikasi ada tiga faktor yang memengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: a) Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatan dalam organisasi, dan variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan. b) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja. c) Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi. Stum (dalam Sopiah, 2010: 164) mengemukakan ada lima faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasional: a) budaya keterbukaan, b) kepuasan kerja, c) kesempatan personal untuk berkembang, d) arah organisasi, dan e) penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Allen & Meyer (dalam Umam, 2010: 261) mengemukakan bahwa faktor-faktor 52
yang memengaruhi komitmen dalam berorganisasi adalah a) karakteristik pribadi individu, karakteristik pribadi ini terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya sesorang bekerja pada suatu organisasi. Adapun disposisional mencakup kepribadian nilai yang dimiliki anggota organisasi. b) karakteristik organisasi, hal yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan cara menyosialisasikan kebijaksanaan organisasi tersebut. c) pengalaman selama berorganisasi. Pengalaman kerja individu yang memengaruhi antara lain job scope yaitu beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu. Komitmen kerja adalah variabel dan terdapat dalam berbagai derajat yang berbeda-beda. Pada sisi ekstrim yang satu ialah merasa asing (alienation), suatu keadaan yang menunjukkan tidak adanya rasa hubungan dengan pekerjaan dan organisasi. Pada sisi ekstrim yang lain adalah identifikasi, yaitu persepsi individu terhadap itu demikian kuatnya sehingga jati dirinya cenderung berkaitan dengan peran kerjadalam organisasi tertentu (Guion dalam Jewell & Siegall, 1998: 518). Chusmir (dalam Jewell & Siegall, 1998: 519) mengungkapkan bahwa komitmen kerja adalah produk dari tiga kelompok pengaruh, yaitu pribadi, eksternal atau situasional, dan persepsual. Variabel individual dan situasional mempunyai pengaruh langsung pada derajat komitmen kerja. Mereka juga berinterakasi untuk menghasilkan persepsi
individu terhadap diri sendiri yang moderat dan mengacu pada kerja dan jabatan. 2. Persepsi Terhadap Empati Atasan Walgito (2004: 88) mengemukakan bahwa persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang di inderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated (menyatu-padukan) dalam diri individu. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaluddin, 2011: 50). Lebih lanjut Desiderato, (dalam Jalaluddin, 2011: 50) berpendapat persepsi ialah pemberian makna pada stimulus inderawi (sensory stimuli). Dalam menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Robbins dan Judge (2009: 175) mengemukakan bahwa persepsi (perception) adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesankesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokan, memfokuskan dan sebagainya itu, yang selanjutnya diinterpretasikan disebut persepsi (Sarwono, 2010: 86). Darmawan (2013: 95) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan kita menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar. Slameto (2010: 102) berpendapat bahwa persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Persepsi dapat diartikan sebagai daya pikir dan daya pemahaman individu terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Daya tafsir dan daya tafkir berada didalam otak, dan diolah sedemikian rupa dalam merespons berbagai stimulus (Marliani, 2010: 187). 53
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah kemampuan daya pikir dan daya pemahaman individu terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar, menyimpulkan informasi, menafsirkan pesan dan merespons berbagai stimulus guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Baron (dalam Mashudi, 2012: 98) menyatakan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk bereaksi terhadap emosi negatif atau positif orang lain, seolah-olah emosi tersebut dialami sendiri. Hatch (dalam Kaswan, 2012: 250) mengemukakan bahwa empati adalah memahami hati, pikiran, dan jiwa orang lain – termasuk motif, latar belakang, dan perasaan mereka. Taufik (2012: 41) mengemukakan bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan (observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan control dirinya. Kartono & Gulo (dalam Nashori, 2008: 11) mengartikan empati sebagai pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologis orang tersebut. Aspek-Aspek Persepsi Terhadap Empati Atasan Sarwono (2010: 86) mengemukakan bahwa persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk kedalam otak. Sebelum terjadi persepsi pada manusia, diperlukan sebuah stimuli yang harus ditangkap melalui organ tubuh yang bisa digunakan sebagai alat bantunya untuk memahami lingkungannya. Alat bantu ini dinamakan alat indera. Darmawan (2013: 95)
mengemukakan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan kita menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar. Robbins dan Judge (2009: 175) mengemukakan bahwa persepsi (perception) adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesankesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat diketahui bahwa aspek-aspek persepsi adalah a) adanya stimulus dari luar, b) alat indera, c) proses berpikir (kognitif), d) memahami dan meresponnya. Walgito (2004: 90) mengemukakan bahwa untuk mengadakan persepsi adanya beberapa faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu: a) objek atau stimulus yang dipersepsi, b) alat indera dan syaraf-syaraf serta pusat susunan syaraf yang merupakan syarat fisiologis, c) perhatian, yang merupakan syarat psikologis. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaluddin, 2011: 50). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa aspek persepsi, yaitu: a) pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan, b) menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek persepsi, yaitu: a) kognitif, b) konasi, c) afeksi. Taufik, (2012: 43) ada empat komponen dalam empati yaitu : a. Komponen Kognitif Komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions, seperti kemapuan sesorang dalam menjelaskan perilaku, kemampuan untuk mengingat jejakjejak intelektual dan verbal orang lain 54
dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan kondisi emosional dirinya dengan orang lain. b. Komponen Afektif Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. c. Komponen Kognitif dan Afektif Thornton & Thornton (dalam Taufik, 2012: 53) melaporkan bahwa suatu alat ukur akan lebih mendekati pengertian empati (yang disetujui oleh sebagian besar ahli) dan lebih akurat, apabila instrument tersebut mengombinasikan dua pendekatan, yaitu kognitif dan afektif. d. Komponen komunikatif Menurut Wang, dkk. (dalam Taufik, 2012: 53), komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran empatik (intellectual empathy) dan perasan-perasaan (empathic emotions) terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui katakata dan perbuatan. Davis (dalam Nashori, 2008: 12) menjelaskan empat aspek empati, yaitu : a. Perspective talking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. b. Fantasy, yaitu kemampuan sesorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau yang ditontonnya. c. Emphatic concern, perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. d. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal distress
bisa disebut sebagai empati negatif (negative emphatic). Kaswan (2012: 251) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki ketepatan empati biasanya memiliki kecakapan: a. Memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik. b. Menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain. c. Membantu berdasarkan pemahaman tersebut terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Duan (dalam Baron & Byrne, 2005: 111) mengemukakan empati meliputi komponen afektif maupun kognitif. Secara afektif orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Darley dalam Baron & Byrne, 2005: 111). Secara kognitif orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa (Azar, dalam Baron & Byrne, 2005: 111). 3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu ada hubungan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi. Semakin positif persepsi karyawan Notaris terhadap sikap empati atasannya maka semakin tinggi pula komitmennya terhadap atasan. Demikian pula sebaliknya. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Sugiyono, (2008: 38) merumuskan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel-variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Tergantung: Komitmen organisasi. 2. Varibel Bebas: Persepsi terhadap empati atasan. 55
B. Subyek Penelitian Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah Karyawan Kantor Notaris Kota Semarang dengan usia minimal 21 tahun. C. Teknik Pegambilan Sampel Cara pengambilan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara sampling insidental. D. Analisis Data Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh diketahui bahwa rxy = 0,672 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan sangat signifikan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi pada karyawan notaris kota Semarang. Hasil positif tersebut menunjukkan arti bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap empati atasan maka semakin tinggi pula komitmen karyawan tersebut terhadap organisasi tempat bekerja. Berdasarkan hasil data penelitian yang diperoleh variabel komitmen organisasi diperoleh mean Empirik sebesar 87.08. Mean Hipotetiknya sebesar 70 dan Standart Deviasi Hipotetiknya sebesar 14. Mean Empirik variabel komitmen organisasi pada area (+) 2SD. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen organisasi karyawan pada kategori tinggi. Bahwa persepsi terhadap empati atasan diperoleh mean Empirik sebesar 104.48. Mean Hipotetiknya sebesar 85 dan Standart Deviasi Hipotetiknya sebesar 17. Mean Empirik variabel komitmen organisasi pada area (+) 2SD. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi
terhadap empati atasan pada kategori tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi pada karyawan notaris kota Semarang. Korelasi yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 0,672. Angka tersebut tergolong tinggi, artinya persepsi terhadap empati atasan memiliki keterkaitan dengan komitmen organisasi. Semakin positif persepsi seorang karyawan terhadap empati atasan yang terbentuk di tempat kerjanya maka semakin tinggi komitmennya terhadap organisasi, dan sebaliknya. Steers dan Porter (dalam Sopiah, 2008: 164) mengemukakan bahwa faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika alternatif pekerjaan yang ditawarkan di pasar kerja terbatas, maka seorang pegawai cenderung untuk mempertahankan pekerjaan dan bahkan tidak memiliki keinginan untuk keluar dari organisasi. Hal ini yang menyebabkan komitmen organisasi yang dimiliki karyawan tinggi. Persepsi terhadap empati atasan yang positif terbukti dapat membantu meningkatkan komitmen organisasi pada karyawan. Persepsi karyawan yang positif terhadap empati atasannya ini kemungkinan disebabkan karena faktor struktur organisasi dan ukuran organisasi yang cenderung kecil. Hal ini mendukung teori David (dalam Sopiah, 2008: 163) mengemukakan empat faktor yang memengaruhi komitmen organisasi salah satunya adalah struktur organisasi.Struktur organisasi di kantor notaris cenderung tidak rumit dan tidak berlapis-lapis, sehingga karyawan yang paling bawah sekalipun memiliki akses yang cukup dekat dengan atasan. Demikian pula atasan dalam mendelegasikan tugas-tugas dapat 56
berkomunikasi langsung dengan karyawan yang mendapat mandatnya. Allen & Meyer (dalam Umam, 2010:261) mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi salah satunya adalah pengalaman selama berorganisasi. Pengalaman berorganisasi dalamnya adanya hubungan yang antara anggota organisasi dengan supervisor atau pimpinannya. Kedekatan hubungan antara notaris dengan karyawan terjadi karena karyawan bisa langsung berhubungan atasannya. Hubungan yang dekat antara notaris dengan karyawan akan menyebabkan karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi. Hal ini dapat menjadi faktor lain yang dapat menjelaskan tingginya komitmen organisasi pada penelitian ini. Sumbangan efektif variabel persepsi terhadap empati atasan terhadap komitmen sebesar 45,2%. Sisanya sebesar 44,8% dari variabel lain seperti faktor ciri pribadi, yang meliputi usia, jenis kelamin, pengalaman, pendidikan, intelegensi,harga diri, iklim dan budaya organisasi. Kelemahan dalam penelitian ini adalah pada saat penyebaran skala subyek sedang menjalankan aktivitasnya, sehingga subyek mengisi skala sambil bekerja dan dalam pengisiannya tidak ditunggui oleh peneliti. Konsentrasi subyek yang terpecah dengan pekerjaan yang dilakukannya hal ini memiliki kelemahan karena dapat menyebabkan respon yang diberikan belum tentu respon sesungguhnya. Tidak diungkapnya informasi tentang keterlibatan subjek dalam peran lain di luar pekerjaan utama sehingga tidak dapat dilakukan pembahasan lebih mendalam tentang pengaruh peran di luar pekerjaan utama terhadap keterlibatan kerja karyawan. SIMPULAN Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat
signifikan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi karyawan kantor notaris di kota Semarang. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada hubungan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi pada karyawan notaris kota Semarang, dapat diterima. Arah hubungan antara persepsi terhadap empati atasan dengan komitmen organisasi bersifat positif, artinya semakin positif persepsi karyawan notaris terhadap empati atasan maka semakin tinggi komitmen karyawan terhadap organisasinya. Demikian pula sebaliknya. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I K., Mujiati, N. W., dan Utama I. W. M., 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Graha Ilmu : Yogyakarta. Azwar, S. 2013. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Baron, R. A., Byrne, D., 2005. Psikologi Sosial. Erlangga : Jakarta. Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Badan Penerbit Universitas Diponegoro : Semarang. Hadi, S. 2004. Statistik. Jilid 2. Andi Offset : Yogyakarta. Istijanto. 2008. Riset Sumber Daya Manusia. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Istijanto. 2010. Riset Sumber Daya Manusia. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. 57
Jewell, L.N., Siegall, M. 1998. Psikologi Industri / Organisasi Modern. Arcan : Jakarta.
Sarwono, S.W. 2010. Pengantar Psikologi Umum. PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Kaswan. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Keunggulan Bersaing Organisasi. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta : Jakarta.
Malayu, H. 2010. Organisasi & Motivasi. Bumi Aksara : Jakarta.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. CV. Andi Offset : Yogyakarta.
Mardatillah. 2010. Pengembangan Diri. STIE Madani Balikpapan : Balikpapan.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta : Bandung.
Marliani, R. 2010. Psikologi Umum. Pustaka Setia : Bandung.
Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta : Bandung.
Mashudi, F. 2012. Psikologi Konseling. Ircisod : Yogyakarta.
Sujarweni, V.W., Endrayanto. P. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Muhidin, S.A., Abdurrahman, M. 2011. Analisis Korelasi, Regresi, Dan Jalur Dalam Penelitian. CV. Pustaka Setia : Bandung.
Tanuwidjaja, W. 2010. 101 Tips Kilat Buka Usaha Langsung Meraih Laba. Jakarta : PT. Buku Kita.
Murtie, A. 2012. Omset Meroket Dengan Strategi MP Dan MSDM. Agogos Publishing : Jakarta Barat.
Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Nashori, F. 2008. Psikologi Sosial Islam. PT. Refika Aditama : Bandung.
Triharso, A. 2012. Talent Management: Mempertahankan Karyawan tanpa Menaikan Gaji. PT. Elex Media Komputindo : Jakarta.
Poniman, F., Nugroho, I., dan Jamil, A. 2011. Kubik Leadership. PT. Mizan Publika : Bandung.
Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Andi Offset : Yogyakarta.
Rakhmat, J. 2011. Psikologi Sosial. Remaja Rosdakarya : Bandung. Robbins, S.P., Judge, T.A. 2009. Perilaku Organisasi. Salemba Empat : Jakarta. Samsudin, S. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka setia : Bandung. 58