Subagya-Komitmen Guru
KOMITMEN GURU TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011
Oleh: Subagya, dkk *
ABSTRACT Subagya, et al, Teacher Commitment for Implementation of Inclusive Education in Primary Schools of Central Java Province 2011. The purpose of this study is to reveal the level of teacher commitment to the implementation of inclusive elementary schools in the province of Central Java. The subject of this study were 48 elementary school teachers in Inclusive Education Provider Provinis Central Java. Data collection techniques in this study is a questionnaire in the form of the commitment scale. Data analysis technique used is qualitative - comparative. This study proves that the elementary school teacher in Central Java has a high commitment in the implementation of inclusive education. The largest components of commitment have disproportionately high percentage of affective commitment is 39.58%, 54.17% higher, meaning that compared with the other components of commitment, affective commitment as a component of the best .. This means most of the teachers do inclusive education services based on the value of virtue, glory. Keywords: Commitment, Inclusive Education
tahun 2015 di semua Negara (termasuk
A. PENDAHULUAN Pendidikan adalah salah satu hak dasar
Indonesia)
yang
menandatangani
“Dakar
dari serangkaian hak asasi setiap warganegara
Frame Work for Action” (2000) harus sudah
tanpa kecuali (termasuk para difabel), oleh
tidak ada anak usia sekolah yang tidak
sebab itu adalah kewajiban bagi pemerintah
mendapatkan layanan pendidikan setidaknya
untuk
layanan pendidikan dasar. Biwako Milenium
memenuhi,
melindungi,
dan
menghormatinya.
Frame Work (2002) yang juga disepakati oleh
Terkait dengan hal di atas, maka telah
pemerintah kita disebutkan bahwa target
menjadi kesepakatan internasional bahwa pada
pembangunan pendidikan harus menetapkan
*) Subagya, Maryadi, Priyono, Gunarhadi, Prodi PLB, Jurusan Ilmu Pendidikan, FKIP, UNS Surakarta
58
JRR Tahun 23 No.1 Juni 2014 58-68 bahwa pada tahun 2011 setidaknya 75% anak
disepakati oleh pemerintah kita. Bahkan
berkebutuhan khusus harus telah mendapatkan
komitmen
layanan
layanan
mentasikan pendidikan inklusi sebagai strategi
pendidikan dasar.Hasil survey Bakor PLB
pemenuhan hak asasi bidang pendidikan bagi
Jawa Tengah bekerjasama dengan Dinas
anak difabel juga dinyatakan dalam Deklarasi
Pendidikan Provinsi Jawa Tengah ternyata
Bandung (2004) dan Deklarasi Bukit Tinggi
masih terdapat 26.568 anak berkebutuhan
(2005).
pendidikan
setidaknya
khusus di Jawa Tengah belum sekolah.
pemerintah
Ujung
untuk
tombak
mengimple-
penyelenggaraan
Mereka tersebar di daerah-daerah yang jauh
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar adalah
dari SLB. Penyelenggaraan SLB memerlukan
komitmen para guru kelas dalam melakukan
biaya tinggi, sehingga keberadaannya hanya
berbagai
terbatas di beberapa tempat, jadi tak dapat
sebagai guru. Komitmen guru tersebut terbagi
menjangkau tempat tinggal semua anak difabel
dalam tiga komponen yaitu komitmen afektif,
yang
itu
berkelanjutan dan normative. Tiga komponen
pembelajaran dengan sistem segregasi di SLB
komitmen tersebut melandasi guru dalam
tidak
melaksanakan tugas.
lokasinya
menyebar.
banyak
Kecuali
memberi
kesempatan
fleksibilitas
tanggung
jawabnya
pengembangan sosialitas pada siswa difabel,
Memperhatikan latar belakang di atas,
sehingga mereka yang telah tamat pun tetap
maka untuk mengimplementasikan sistem
tidak mudah diterima oleh masyarakat. Untuk
pendidikan
itu
dan
beberapa permasalahan yang lebih dahulu
perlindungan hak asasi di bidang perolehan
mesti dikaji. Permasalahan tersebut adalah
layanan pendidikan bagi setiap warganegara
“komponen komitmen apakah yang melandasi
tanpa kecuali (termasuk anak difabel) yang
para guru menerima pendidikan inklusif di
sampai saat ini masih dipinggirkan.
implementasikan di SD se-Provinsi Jawa
diperlukan
strategi
pemenuhan
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang
menyertakan
diperhatikan
Tengah?” Meyer dan Allen (1991) merumuskan
membedakan latar belakang status sosial,
suatu definisi mengenai komitmen dalam
ekonomi,
bersekolah sebagai suatu konstruk psikologis
politik,
religius/kepercayaan,
jenis
anak
perlu
tanpa
afiliasi
semua
inklusi,
kultur, kelamin,
etnik, dan
yang
merupakan
karakteristik
hubungan
perbedaan kondisi baik fisik maupun mental
anggota sekolah dengan sekolahnya dan
dalam suatu proses pembelajaran bersama,
memiliki
dengan mendapatkan layanan yang sesuai
individu untuk melanjutkan ke anggotaannya
dengan yang mereka butuhkan. Desakan untuk
dalam
mengimplementasikan
pendidikan
tersebut anggota yang memiliki komitmen
inklusi disebutkan dalam Salamanca Steatment
terhadap sekolahnya akan lebih dapat bertahan
(1994), E-9 Meeting (2000), dan Biwako
sebagai bagian dari sekolah dibandingkan
sistem
implikasi
bersekolah.
terhadap
Berdasarkan
keputusan
definisi
Milenium Frame Work (2002) yang semuanya 59
Subagya-Komitmen Guru anggota
yang tidak
memiliki
komitmen
terhadap sekolah.
yang
sungguh-sungguh guna
profesi,
Penelitian dari Baron dan Greenberg
(3)
sebuah
kepentingan
keinginan
untuk
memelihara ke anggotaan dalam profesi.
(1990) menyatakan bahwa komitmen memiliki
Meyer dan Allen (1991) merumuskan
arti penerimaan yang kuat individu terhadap
tiga dimensi komitmen dalam organisasi,
tujuan dan nilai-nilai sekolah, di mana
yaitu: affective, continuance, dan normative.
individu akan berusaha dan berkarya serta
Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai
memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan
komponen
di sekolah tersebut.
berorganisasi, daripada jenis-jenis komitmen
Behavioral commitment
beranggapan
atau
anggota
berkomitmen kepada tingkah laku tertentu,
mencerminkan
daripada pada suatu entitas saja. Sikap atau
dimensi tersebut.
laku
yang
berkembang
adalah
dari
komitmen
berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan
bahwa anggota dipandang dapat menjadi
tingkah
dimensi
organisasi
dengan
perbedaan
Demensi/komponen
lembaga
derajat
ketiga
komitmen
yang
konsekuensi komitmen terhadap suatu tingkah
dirumuskan oleh Meyer dan Allen di atas
laku.
dimodifikasi
Contohnya
anggota
sekolah
yang
ke
guru
sekolah
organisasi
saja mengembangkan pola pandang yang lebih
anggotanya,
positif terhadap sekolahnya, konsisten dengan
tersebut
tingkah lakunya untuk menghindari disonansi
terhadap
kognitif atau untuk mengembangkan self-
komponen komitmen yaitu komitmen afektif,
perception yang positif. Tujuan dari penelitian
berkelanjutan dan normative.
maka
analog
adalah
sebagai
berkomitmen terhadap sekolahnya, mungkin
ini adalah untuk menentukan kondisi yang
dan
dalam
komponen
dengan
lembaga/sekolah.
salah
satu
komitmen
komitmen
guru
Terdapat
tiga
Affective commitment berkaitan dengan
seperti apa yang membuat individu memiliki
hubungan
komitmen terhadap sekolahnya (Kiesler &
sekolahnya, identifikasi dengan sekolah, dan
Salancik dalam Meyer & Allen, 1997)
keterlibatan guru dengan kegiatan di sekolah.
Berdasarkan
uraian
di
atas
komitmen dapat didefinisikan sebagai secara
implisit
berkesinambungan
dan
eksplisit
keinginan
untuk
terhadap
Anggota sekolah dengan affective commitment
janji
yang tinggi akan terus menjadi guru dalam
secara
sekolah karena memang memiliki keinginan
dalam bentuk hubungan
abadi
guru
maka
kemitraan. Hubungan komitmen itu sebagai suatu
emosional
menjaga
untuk itu. Komitmen yang berpengaruh (affective commitment) meliputi keadaan emosional dari
hubungan yang bernilai. Komitmen profesi
karyawan
untuk
guru dapat disimpulkan sebagai (1) Sebuah
menyesuaikan diri, dan berbaur langsung
kepercayaan pada dan penerimaan terhadap
dalam organisasi. Dengan kata lain seseorang
tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, (2)
menjadi
Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha
menginginkannya (want to).
anggota
menggabungkan
organisasi
sebab
diri,
ia
60
JRR Tahun 23, No. 1, Juni 2014 58-68 Continuance
commitment
berkaitan
Normative commitment menggambarkan
dengan kesadaran guru di sekolah akan
perasaan keterikatan untuk terus berada dalam
mengalami
meninggalkan
sekolah. Guru dengan normative commitment
sekolah. Guru di sekolah dengan continuance
yang tinggi akan terus menjadi guru dalam
commitment yang tinggi akan terus menjadi
sekolah karena merasa dirinya harus berada
guru dalam sekolah karena mereka memiliki
dalam sekolah tersebut.
kerugian
jika
kebutuhan untuk menjadi guru tersebut. Komitmen
ini
berkaitan
erat
dengan
Komponen komitmen ini terdiri dari pengalaman individu sebelum masuk ke dalam
karakteristik pribadi, karakteristik jabatan,
organisasi
pengalaman
keluarga
kerja,
serta
karakteristik
sekolah atau
(pengalaman
sosialisasi
dalam
budaya)
serta
struktural. Karakteristik struktural meliputi
pengalaman sosialisasi selama berada dalam
besarnya
asosiasi
organisasi. Komitmen normatif guru/karyawan
profesi, luasnya kontrol, dan sentralisasi
dapat tinggi jika sebelum masuk ke dalam
otoritas.
organisasi, orang tua karyawan yang juga
organisasi,
kehadiran
Komponen komitmen ini terdiri dari besarnya dan/atau jumlah investasi
atau
bekerja dalam organisasi tersebut menekankan pentingnya
kesetiaan
pada
organisasi.
taruhan sampingan individu, dan persepsi atas
Sementara itu, jika organisasi menanamkan
kurangnya alternatif pekerjaan lain. Guru/
kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi
karyawan
mengharapkan
yang
merasa
telah
berkorban
loyalitas
karyawan
maka
ataupun mengeluarkan investasi yang besar
karyawan juga akan menunjukkan komitmen
terhadap organisasi/sekolah akan merasa rugi
normatif yang tinggi.
jika meninggalkan organisasi karena akan
Komitmen
normatif
(normative
kehilangan apa yang telah diberikan selama
commitment) meliputi perasaan karyawan
ini. Sebaliknya, guru/karyawan yang merasa
terhadap kewajiban untuk tetap tinggal dalam
tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih
organisasi.
menarik akan merasa rugi jika meninggalkan
organisasi sebab ia merasa harus melakukan
organisasi karena belum tentu memperoleh
sesuatu (ought to do).
sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah diperolehnya selama ini.
Seseorang
menjadi
anggota
Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan
Komitmen berkelanjutan (continuance
tahun disemangati oleh seruan Internasional
commitment) meliputi komitmen yang di
Education
dasarkan pada penghargaan yang diharapkan
dikumandangkan
karyawan untuk dapat tetap berada dalam
kesepakatan global hasil World Education
organisasi.
Forum
Dengan
kata
lain
seseorang
di
For
Dakar,
ALL
(EFA)
UNESCO.
Sinegal
tahun
yang Sebagai
2000,
menjadi anggota organisasi sebab ia merasa
penuntasan EFA diharapkan tercapai pada
membutuhkannya (need to).
tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan
semangat dan jiwa Pasal
31 UUD 1945 61
Subagya-Komitmen Guru tentang hak setiap warga negara untuk
anak
memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UUSPN
berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar
no. 20 tahun 2003 tentang pendidikan khusus
yang bermakna dalam hidupnya, dan (4)
dan pendidikan layanan khusus.
Pendidikan Inklusif diperuntukan utamanya
Pemerataan kesempatan belajar bagi anak
berkebutuhan
pernyataan
khusus
Salamanca
Pernyataan
dilandasi
tahun
Salamanca
ini
1994.
merupakan
kecil
yang
hadir
(di
sekolah),
bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. Akses
pendidikan
perluasan tujuan Education Fol All dengan
memperhatikan
mempertimbangkan
dalam makna inklusif masih sangat sulit
mendasar
pergeseran
yang
menggalakkan
kebijakan
diperlukan
pendekatan
untuk
pendidikan
dipenuhi.
kriteria
Oleh
pemerintah
yang
dengan
karena
dalam
terkandung
itu
kebijakan
melaksanakan
usaha
inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini
pemerataan kesempatan belajar bagi anak
diharapkan sekolah-sekolah reguler
berkebutuhan khusus baru rintisan awal
dapat
melayani semua anak, terutama mereka yang
menuju
memiliki kebutuhan pendidikan
pendekatan
Indonesia
melalui
Sistem
diharapkan
dapat
menjangkau semua anak yang tersebar di
pengembangan
seluruh nusantara. Untuk itu, maka kebijakan
sekolah reguler yang melayani penuntasan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Wajib Belajar bagi berkebutuhan khusus.
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
telah
Mendiknas
yang
inklusif.
No.
002/U/1986
SK
khusus. Di
pendidikan
dirintis
Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan
Nasional dalam penuntasan Wajib Belajar
menuju pendidikan inklusi
Pendidikan Dasar bagi anak yang memerlukan
sebagai wadah yang ideal yang diharapkan
pelayanan pendidikan khusus diakomodasi
dapat mengakomodasikan pendidikan bagi
melalui pendekatan ”Pendidikan Inklusif”.
semua terutama anak-anak yang memiliki
Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajib
kebutuhan pendidikan khusus yang selama ini
Belajar
masih
untuk
berpedoman pada azas pemerataan serta
memperoleh pendidikan layaknya anak-anak
peningkatan kepedulian terhadap penanganan
lain. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan
anak yang memerlukan pelayanan pendidikan.
belum
terpenuhi
haknya
dapat
diakselerasikan
dengan
inklusif memiliki empat karakteristik makna
Sebagai embrio, pendidikan terpadu
yaitu: (1) Pendidikan Inklusif adalah proses
menuju pendidikan inklusif telah tumbuh
yang
diberbagai kalangan masyarakat. Ini berarti
berjalan
terus
dalam
usahanya
menemukan cara-cara merespon keragaman
bahwa
tanggungjawab
penuntasan
wajib
individu anak, (2) Pendidikan inklusif berarti
belajar utamanya
memperoleh cara-cara untuk meruntuhkan
kebutuhan pendidikan khusus telah menjadi
hambatan–hambatan anak dalam belajar, (3)
kepedulian bagi berbagai pihak sehingga dapat
Pendidikan Inklusif membawa makna bahwa
membantu
bagi anak yang memiliki
anak-anak
yang
memiliki 62
JRR Tahun 23, No. 1, Juni 2014 58-68 kebutuhan
pendidikan
dalam
pilot projek pendidikan inklusif Provinsi Jawa
”belajar
Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah
bersama untuk selanjutnya dapat hidup
para guru Sekolah Dasar se Jawa Tengah.
bersama dalam masyarakat yang inklusif”.
Adapun sampel diambil dengan purposive
mengakses
pendidikan
Simmi
Chabra
bahwa di 14
khusus lewat
(2010)
melaporkan
negara (Mesir, Yordania,
sampling yaitu keterwakilan setiap wilayah dan jumlah
Sekolah Dasar
penyelenggara
Columbia, Meksiko, Venezuela, Botswana,
pendidikan inklusif pada tiap Kabupaten/Kota.
Senegal,
Thailand,
Yang dijadikan sample dalam penelitian ini
Cekoslovakia, Italia, Norwegia, dan Portugal),
adalah 50 orang guru, namun yang memiliki
sekitar seperempat dari guru percaya bahwa
kesediaan mengembalikan angket sebanyak 48
anak-anak
orang.
Zambia,
Australia,
dengan gangguan sensorik bisa
diajarkan di dalam kelas terpadu, sedangkan
Metode pengumpulan data adalah alat
kurang dari 10% dimiliki pandangan untuk
atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
anak-anak dengan gangguan mental yang berat
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya
dan kelainan ganda. Bowman mencatat bahwa
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
di negara-negara yang memiliki hukum yang
arti lebih cermat, dan sistematis sehingga lebih
membutuhkan integrasi, guru mengungkapkan
mudah diolah (Arikunto Suharsimi, 2002:
pandangan
136).
yang
lebih
menguntungkan.
Sebagian kecil bersedia untuk melaksanakan
Adapun metode yang digunakan dalam
integrasi praktek di kelas mereka sendiri,
penelitian ini adalah skala komitmen dari
tetapi tanggapan lagi muncul bervariasi sesuai
Allen & Meyer. Skala komitmen digunakan
dengan kondisi berkelainan. Selain itu, hanya
untuk mengungkap variabel komitmen guru
sepertiga atau kurang dari guru percaya bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
mereka
memiliki
keterampilan
pelatihan
Komitmen guru diukur menggunakan
cukup waktu dan sumber daya diperlukan
skala komitmen organisasi dari Allen dan
untuk integrasi.
Meyer (1991) yang diadaptasi peneliti ke
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengungkap
komitmen
guru
terhadap
dalam skala komitmen guru terhadap adaptasi pembelajaran anak berkebutuhan khusus pada
penyelenggaraan Sekolah Dasar inklusif di
SD
Provinsi
komponen
dikembangkan Allen dan Meyer dikenal
komitmen yang paling dominan terhadap
dengan Thee Component Model yang terdiri
Sekolah Dasar inklusif di Provinsi Jawa
dari 24 item yang menilai tingkat komitmen
Tengah.
guru dalam tiga komponen yaitu afektif,
Jawa
Tengah,
serta
Inklusif.
berkelanjutan B. METODE PENELITIAN
Skala
dan
komitmen
normative.
yang
Komitmen
afektif: terdiri dari enam item, masing-masing
Setting penelitian ini adalah 50 dari 160
tiga item pernyataan bersifat favorable dan
sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai
unfavorable. Pada penelitian Allen dan Meyer 63
Subagya-Komitmen Guru (1991) telah diperoleh koefisin alpha skala ini
tidak mengembalikan instrumen, sehingga
sebesar 0,87. Komitmen berkelanjutan: terdiri
subjek dalam penelitian ini berjumlah 48
dari enam item pernyataan berkesinambungan.
orang.
Keseluruhan item bersifat favorable. Pada
mengajar subjek adalah sebagai berikut.
Adapun
berdasarkan
pengalaman
penelitian Allen dan Meyer (1991) telah diperoleh koefisin alpha skala ini sebesar 0,75. Komitmen normative: terdiri dari enam
Tabel 4.1 Daftar Subjek Berdasarkan Masa kerja NO
MASA KERJA
JML
PERSEN
bersifat favorable dan satu pernyataan bersifat
1
Kurang 5 tahun
8
16.67
unfavorable. Pada penelitian Allen dan Meyer
2
5 s.d 10 tahun
12
25.00
(1991) telah diperoleh koefisin alpha skala ini
3
Lebih 10 s.d 20 tahun
6
12.50
4
lebih 20 s.d 30 tahun
16
33.33
5
Lebih 30 tahun
6
12.50
JUMLAH
48
100.00
item pernyataan. Lima pernyataan normative
sebesar 0,79. Data
kuantitatif
dianalisis
dengan
menghitung skor tiap komponen dan total skor komitmen yang dikonversi dalam skala 100. Analisis data tidak digunakan pendekatan statistik, namun digunakan analisis deskriptif – kuantitatif.
Sebagian besar subjek adalah guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) (83,33%) dan selebihnya (16,77%) adalah guru non PNS.
C. HASIL
PENELITIAN
DAN
golongan ruang sebagai PNS yaitu golongan II
PEMBAHASAN
(10,41%),
1. Hasil Penelitian Subjek terdiri dari 50 guru yang tersebar di seluruh Sekolah Dasar se Jawa Tengah. Repsonden
adalah
guru ataupun Kepala
Sekolah dan mengajar pada kelas-kelas yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Ke lima puluh
Subjek penelitian ini jika dihitung persentase
responden
yang
mengembalikan
instrumen sebanyak 48 orang dan dua orang
golongan
III
(21,91%)
dan
golongan IV (52,08%). Adapun keadaan subjek jika dilihat dari jenis kelamin 18 (37,5%) adalah laki-laki dan 30 (62,5%) adalah perempuan Komitmen guru diungkap dengan skala komitmen Allen Mayer,dengan deskripsi data sebagai berikut.
Tabel 4.2 Deskripsi Data Komponen Komitmen afektif Komitmen berkelanjutan Komitmen normatif Valid N (listwise)
N Rentang Minimum Maksimum 48 19.00 37.00 56.00 48 24.00 26.00 50.00 48 40.00 14.00 54.00 48
Jumlah 2270.00 1768.00 1803.00
Rerata Simpangan baku 47.2917 4.19198 36.8333 5.51336 37.5625 6.67452
64
JRR Tahun 23, No. 1, Juni 2014 58-68 Terbukti bahwa dengan jumlah subjek
dalam
rentang
100
untuk
memperoleh
48 orang, untuk setiap komponen komitmen
peringkat komitmen. Adapun kaidah yang
memiliki nilai minimum yang berbeda-beda,
ditetapkan adalah sebagai berikut:
skor terendah untuk komponen komitmen
a. Skor lebih besar atau sama dengan 86
afektif 37, komitmen berkelanjutan 26 dan
sampai dengan 100 (86≤ SKOR≤100) =
komitmen normatif 14. Demikian pula skor
amat tinggi.
maksimum untuk komponen komitmen afektif
b. Skor
sampai dengan 85 (71≤ SKOR ≤85)= tinggi
mencapai skor maksimal yaitu 56, komitmen berkelanjutan 50, dan komitmen normatif 54. Data
dianalisis
statistik,
tanpa
namun
c. Skor lebih besar atau sama dengan 56 sampai dengan 70 (56≤ SKOR ≤70)=
perhitungan
dianalisis
dengan
cukup
mengkonversikan pernyataan-pernyataan skala komitmen
dengan data
d. Skor lebih besar atau sama dengan 41 sampai dengan 55 (41≤ SKOR ≤55).=
kuantitatif. Data
kuantitatif tersebut dijumlah berdasarkan tiga
kurang
komponen komitmen yaitu komitmen afektif, komitmen
berkelanjutan
normatif.
Kemudian
komponen
dijumlah
skor
dan
e. Skor kurang dari 41 (SKOR < 40) = rendah
komitmen
masing-masing
menjadi
lebih besar atau sama dengan 71
skor
Berdasarkan perhitungan tersebut
total.
memperoleh hasil sebagai berikut.
Masing-masing skor tersebut dikonversikan ke
Tabel 4.3. Tingkat Komitmen Guru NO
KOMPONEN
HASIL
1
Komitmen afektif
2 3
TINGGI
SKOR %
AMAT TINGGI 19.00 39.58
26.00 54.17
3.00 6.25
Komitmen berkelanjutan
SKOR
1.00
17.00
21.00
9.00
48
%
2.08
35.42
43.75
18.75
100
Komitmen normative
SKOR
2.00
16.00
22.00
7.00
1.00
48
%
4.17
33.33
45.83
14.58
2.08
100
Total
SKOR
2.00
26.00
19.00
1.00
48
%
4.17
54.17
39.58
2.08
100
Komitmen total berturut-turut (4,17%)
CUKUP
Komitmen
KURANG
RENDAH
JML 48 100
berkelanjutan
yang
memiliki
amat tinggi, (54,17%) tinggi, cukup 39,58%
peringkat amat tinggi 2,08%, tinggi 35,42%,
dan rendah 2,08%, sedangkan jika dilihat tiap
cukup 43,75%, kurang 18,75%. Komitmen
komponen komitmen bervariasi. Komitmen
normatif yang memiliki komitmen amat tinggi
afektif yang memiliki peringkat amat tinggi
4,17%, tinggi 33,33%, cukup 45,58%, kurang
39,58%,
14,58% dan rendah 2,08.
tinggi
54,17%,
cukup
6,25%.
65
Subagya-Komitmen Guru Berdasarkan
analisis
data
tersebut
bahwa jika dilihat dari lama bekerja, maka
terbukti bahwa para guru Sekolah Dasar di
para guru tersebut tidak diragukan lagi tingkat
Jawa Tengah memiliki komitmen yang tinggi
profesionalismenya.
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Sebagian besar subjek adalah guru
Komponen komitmen yang paling besar
perempuan (62,5%)) yang berstatus Pegawai
memiliki persentase
adalah
Negeri Sipil (PNS) (83,33%) dengan pangkat
komitmen afektif 39,58%, tinggi 54,17%,
golongan IV (52,08%). Artinya sebagian besar
artinya
guru memiliki kesejahteraan yang baik dan
amat tinggi
dibanding
dengan
komponen
komitmen yang lain, komitmen afektif sebagai
tingkat sosial ekonomi yang mapan.
komponen yang yang terbaik.. Hal ini berarti
Sue Combs (2010) dalam penelitiannya
sebagian besar para guru melakukan layanan
menyatakan bahwa keyakinan bahwa sikap
pendidikan
guru dapat
inklusif
berdasarkan
nilai
keluhuran, kemuliaan.
terhadap
memiliki pengaruh langsung keberhasilan
inklusi
anak
berkebutuhan khusus. Analog dengan sikap guru adalah komitmen guru memiliki peran
2. Pembahasan Subagya, dkk (2010) dalam penelitian-
penting dalam keberhasilan penyelenggaraan
nya menjelaskan bahwa tingkat kesiapan
pendidikan inklusif. Sikap positif memiliki
sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di
kesetaraan dengan komitmen afektif dan
Provinsi Jawa Tengah secara umum baru
berkelanjutan yang perlu didorong untuk
mencapai 38,82%. Jika dikonsultasikan pada
menjadi bagian dari kepribadian guru. Jadi
tabel
melakukan
indikator
keberhasilan
sekolah
adaptasi
penyelenggaran pendidikan inklusif skor batas
sekedar
minimal 56, maka sekolah penyelenggara
pemerintah.
pendidikan inklusif
Provinsi Jawa Tengah
memenuhi
Tingkatan
bukan
tuntutan
kebijakan
komitmen
secara
pada tahun 2010 masih pada peringkat E atau
keseluruhan,
tidak
melaksanakan
komitmen yang tinggi (54.17%) terhadap
pendidikan inklusif. Lebih lanjut menjelaskan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di kelas
bahwa skor tertinggi dari skor keberhasilan
yang menjadi tanggung jawabnya. Para guru
berdasarkan delapan komponen berdasarkan
berdasarkan kualifikasi pendidikannya bukan
Standat Nasional Pendidikan, maka komponen
disiapkan
kurikulum dan pembelajaran telah mencapai
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus,
54%.
namun dengan komitmen yang tinggi dapat
siap/
belum
siap
para
pembelajaran
untuk
guru
menunjukkan
memberikan
layanan
Semakin lama profesi itu ditekuni, maka
mendorong para guru untuk melakukan kreasi,
semakin professional dalam tugasnya. Para
inovasi, segala upaya untuk mengakomodasi
guru ternyata telah memiliki masa kerja yang
kebutuhan semua anak dalam pembelajaran.
cukup lama yaitu antara 20 sampai dengan 30 tahun (33,33%). Hal ini mengindikasikan
Memperhatikan
ketiga
komponen
komitmen di atas ternyata komitmen afektif 66
JRR Tahun 23, No. 1, Juni 2014 58-68 yang mempunyai kontribusi cukup signifikan
kewajiban untuk tetap tinggal di sekolah.
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif
Kesadaran tentang komitmen dan kemampuan
di SD se Jawa Tengah, dibandingkan dengan
diri ini akan memberikan makna yang besar
kedua
bagi profesi yang implikasinya bagi anak didik
komponen
demikian
yang
lain.
Dikatakan
para
guru
memiliki
karena
dan masyarakat secara keseluruhan.
komitmen afektif yang tinggi akan mampu mendorong
dalam
pendidikan inklusif
penyelenggaraan semakin meningkat.
D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Artinya para guru menyelenggarakan layanan pendidikan
inklusif
hubungan
emosional
Upaya pemerintah baik Pemerintah
didasarkan
adanya
Pusat, Pemerintah Daerah/ Provinsi Jawa
guru
terhadap
Tengah mendorong implementasi pendidikan
sekolahnya, identifikasi dengan sekolah, dan
inklusif adalah agar semua anak memperoleh
keterlibatan guru dengan kegiatan di sekolah.
akses yang sama dalam bidang pendidikan.
Para guru melakukan hal ini karena tuntutan
Pemerintah
intrinsik
diskriminasi layanan pendidikan termasuk
yaitu
melakukan
karena
ingin
melakukan untuk itu. Komitmen
menghindarkan
adanya
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan
berkelanjutan
mencapai
tingkatan cukup (43.75%), artinya
khusus.
43.75%
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada
guru melakukan layanan pendidikan inklusif
tahun 2010 telah melakukan rintisan 160
untuk
itu
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
disebabkan guru di sekolah akan mengalami
pada 35 kabupaten/ Kota se Jawa Tengah. Hal
kerugian
sekolah.
ini dimaksudkan agar anak berkebutuhan
dengan
khusus yang belum sekolah dapat ditampung/
karakteristik pribadi, karakteristik jabatan,
diterima pada sekolah terdekat dengan tempat
pengalaman
tinggalnya.
anak
Komitmen
berkebutuhan
jika ini
khusus
meninggalkan berkaitan
kerja,
serta
erat
karakteristik
struktural. Karakteristik struktural meliputi besarnya
organisasi,
kehadiran
asosiasi
Penelitian ini membuktikan bahwa para guru SD di Jawa Tengah memiliki komitmen
profesi, luasnya kontrol, dan sentralisasi
yang
otoritas.
pendidikan
Dengan
kata
lain
guru
tinggi
dalam
inklusif.
penyelenggaraan Ketiga
komponen
menyelenggarakan pendidikan inklusif, karena
komitmen itu terbukti bahwa komitmen afektif
telah menjadi kebutuhan dan mempertahankan
yang mempunyai kontribusi cukup signifikan
profesi yang saat ini telah ditekuni.
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif
Komitmen normatif para guru mencapai tingkatan cukup berkomitmen (45.83%). Hal ini amat berkaitan dengan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam sekolah. Komitmen
di SD se Jawa Tengah, dibandingkan dengan kedua komponen yang lain. Kesimpulan
penelitian
ini
bahwa
hipotesis yang diajukan terbukti/ diterima.
normatif meliputi perasaan karyawan terhadap 67
Subagya-Komitmen Guru ini dapat dijadikan acuan dalam pembinaan
Saran Diharapkan para peneliti yang berminat mendalami
pendidikan
inklusif,
tenaga
guru
dalam
penyelenggaraan
hasil
pendidikan inklusif. Hasil penelitian ini dapat
penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam
dijadikan acuan dalam pembinaan tenaga guru
penelitian selanjutnya. Peneliti lain juga dapat
dalam penyelenggaraan
melanjutkan penelitian ini dengan subjek dan
serta sebagai asumsi dasar dalam mengambil
populasi yang lebih luas.
kebijakan dalam pengembangan SPPI.
pendidikan inklusif
Di samping Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI): hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA Aiken, L.R. 1990. Psychological Testing and Assessment, 4th Edition, Allyn and Bacon, Inc., Boston. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur penelitian : Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas, 2009 , Permen No. 41/ 2007 dan No. 1/ 2008 tentang Standar Proses, Jakarta. O’Neil,j.1994/1995, Can inclusion work? A Conversation With James Kauffman and Mara SaponShevin. Educational Leadership.52(4)7-11 Permendiknas nomor 70 tahun 2009, 2009, Tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa, Dit.PSLB, Depdiknas, Jakarta Permendiknas nomor 1 tahun 2008, Standar Proses Pendidikan Khusus, Depdiknas, Jakarta PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Subagya, 2009, Laporan hasil validasi data ABK Provinsi Jawa Tengah 2008, Bakor PLB Jateng _______, 2009, Adaptasi kurikulum dan pembelajaran pada sekolah inklusif, Makalah disampaikan pada seminar pendidikan inklusif Fakultas Psikologi UMS _______, 2010, Need Assesment Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi Jawa Tengah, FKIP, UNS Surakarta. Sue Combs Elementary physical Education Teachers’ Attitudes Towards The Inclusion Of Children With Special Needs: A Qualitative Investigation Inclusive Education In Developing Countries In The Sub Saharan Africa : From Theory To Practice, International Journal Of Special Education Vol. 25 No. 1 2010 Susan J Peters, 2007, Education for All?": A Historical Analysis of International Inclusive Education Policy and Individuals With Disabilities, Journal of Disability Policy Studies. Austin: Fall 2007. Vol. 18, Iss. 2;
68