PROFIL PENDIDIKAN SENI RUPA SEKOLAH DASAR: KAJIAN TANGGAPAN GURU SD DI JAWA TENGAH Syafii * Abstrak Pendidikan Seni Rupa di SD merupakan submata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian, dan tergolong bukan pelajaran inti. Oleh karena itu informasi perlakuan guru terhadapnya sangat diperlukan. Informasi tersebut khususnya berkenaan dengan tanggapan guru pada tataran realitas dan idealitas pendidikan seni rupa di SD. Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pijakan atau bahan pertimbangan dalam rangka membangun model pendidikan seni rupa di SD yang tepat. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitaif, dengan responden dan informan guru-guru SD di Jawa Tengah yang ditentukan secara purposive. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket, wawancara, dan pengumpulan dokumen, sementara analisis data digunakan model alir yang mengikuti langkah reduksi dan penyajian data, serta verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tataran realitas baik berkenaan dengan fungsi, materi, strategi, dan kondisi pembelajaran seni rupa SD di Jawa Tengah dalam kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi dalam tataran idealitas berkenaan dengan hal-hal tersebut sesungguhnya para guru SD di Jawa Tengah dapat dikatakan positif, artinya memiliki pemahaman yang memadai. Berdasarkan hasil penelitian dikemukakan saran penerapan guru mata pelajaran seni rupa, kegiatan penataran yang intensif bagi guru kelas, dan pemenuhan sarana pembelajaran seni rupa. Kata Kunci: Pendidikan Seni Rupa; fungsi pembelajaran, materi pembelajaran, strategi pembelajaran; kondisi pembelajaran.
Pendahuluan Pembahasan dalam dunia pendidikan tampaknya tidak mengenal surut sepanjang kehidupan manusia. Problem-poblem pendidikan senantiasa muncul silih berganti berkaitan dengan suasana maupun kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tuntutan dan perwujudan pendidikan masa lalu berbeda dengan masa sekarang ini. Demikian juga dalam hal kebijakan, aturan-aturan pendidikan yang berlaku sekarang ini sudah barang tentu berbeda dengan masa silam. Tegasnya dunia pendidikan senantiasa berubah dan berkembang dan memilki hubungan yang reciprocal dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Perubahan dan pengembangan dunia pendidikan itu senantiasa dilakukan oleh penyelenggara pendidikan --khususnya pemerintah—adalah guna menjawab tantangan pembangunan yang berlangsung. Perubahan dan pengembangan yang dimaksud bertolak dari pemikiran bahwa produk pendidikan tampaknya selalu ketinggalan dengan kebutuhan di lapangan (lihat : Depdiknas, 1993, 2001a). Di sisi lain, tampaknya belum pernah dilakukan perubahan dan pengembangan pendidikan dengan berorientasi pada rekonstruksi masyarakat masa depan, yang menurut Buchori (2001) disebut sebagai model pendidikan antisipatoris.
*
Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa FBS UNNES, seorang Magister Pendidikan
100
Upaya perubahan dan pengembangan dunia pendidikan di Indonesia
yang paling tampak
menonjol adalah dengan revisi kurikulum. Hal tersebut dapat dipahami, oleh karena kurikulum dalam arti sempit sesungguhnya merupakan blue-print dunia pendidikan. Kurikulum seringkali dipandang sebagai program pendidikan, dengan kata lain disebut sebagai plan for learning. Kurikulum menjadi perangkat pendidikan yang pada umumnya berupa dokumen tertulis yang berupa ketentuan-ketentuan pokok (Landasan, Program, dan Pengembangan), Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), dan berbagai petunjuk pelaksanaan. Saat ini di tingkat pendidikan dasar dan menengah dicobakembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai upaya pengganti Kurikulum 1994 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu penetahuan, teknologi, dan seni. Beberapa hal yang dilakukan antara lain penggantian beberapa nama mata pelajaran, menggabungkan mata pelajaran yang serumpun, dan yang paling menonjol jika dibedakan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya adalah dikenalnya standar-standar kompetensi –mulai standar lintas kurikulum sampai dengan kompetensi dasar. Dalam konteks ideal perubahan kurikulum diharapkan akan membawa perbaikan nuansa proses dan kualitas produk pendidikan. Akan tetapi, beberapa penelitian mengindikasikasikan, khususnya di tingkat SD, perubahan atas Kurikulum 1984 menjadi 1994 tidak menggambarkan kondisi sebagaimana yang diharapkan. Kurikulum dapat berubah, tetapi suasana dan hasil pembelajaran tetap berjalan seperti biasa (Ismiyanto, dkk, 1998). Suasana dan hasil pembelajaran tetap terfokus pada mata pelajaran yang tergolong inti atau core subject. Mata pelajaran inti ini di SD, ketika itu, digunakan sebagai mata uji dalam evaluasi hasil belajar tahap akhir nasional (ebtanas). Ebtanas pada saat itu memang merupakan alat ukur yang digunakan oleh pemerintah dan masyarakat guna menjamin sekaligus memonitor kualitas pendidikan. Akan tetapi demi kepentingan mengejar keberhasilan ebtanas itu, guru-guru di sekolah dalam pembelajarannya senantiasa mengutamakan mata-mata pelajaran yang di-ebtanas-kan, disajikan secara maksimal bahkan diberi tambahan waktu di luar jam intra kurikuler, dan perlakuan-perlakuan istimewa lainnya. Di lain pihak, adanya ebtanas tersebut, terjadi korban mata pelajaran yang tidak diebtanaskan, satu di antaranya adalah Pendidikan Seni Rupa. Walaupun menurut struktur kurikulum dan jadwal pelajaran Pendidikan Seni Rupa itu harus diajarkan dalam setiap minggu oleh guru, namun amat sedikit (nyaris tidak ada) guru yang melaksanakannya. Alasan yang dinyatakan guru mengapa tidak dilaksanakan pembelajaran seni rupa di kelas adalah karena aktivitas seni rupa menggambar amat memerlukan bakat dan kemampuan memberikan contoh kepada anak di depan kelas (Syafii, 1992; 1993). Kenyataan tersebut menunjukkan betapa sangat besar peran guru dalam upaya operasionalisasi kurikulum. Sering kali apa yang diidealkan dalam kurikulum tidak dioperasionalkan oleh guru karena disebabkan ketidakmampuan dan kemauannya. Hal tersebut diduga karena kurangnya keterlibatan guru
101
dalam penyusunan kurikulum (lihat: Depdiknas. 2001b: 4). Kurikulum sekolah umumnya tampak seperti datang dari “atas”.
Kurikulum disusun oleh orang yang dianggap ahli, guru sebagai pelaksana
menunggunya disosialisasi dalam kegiatan penataran. Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini diarahkan untuk mengumpulkan informasi dari guru berkenaan dengan profil pendidikan seni rupa di sekolah dasar. Profil yang dimaksud berkaitan dengan kondisi realitas atau pendidikan seni rupa dalam tataran operasional, dan kondisi idealitas artinya pendidikan seni rupa dalam tataran harapan guru. Informasi guru tentang realitas pendidikan seni rupa akan memberkikan gambaran kondisi empirik penyelenggaraannya di sekolah, baik berkenaan dengan fungsi, materi, strategi dan kondisi pembelajarannya. Sebaliknya, informasi idealitas pada aspek-aspek yang sama akan memberikan gambaran sejauhmana pemahaman guru tentang pendidikan seni rupa di sekolah. Dua hal inilah yang dijadikan fokus penelitian ini. Pada gilirannya, atas informasi idealitas dan realitas profil pendidikan seni rupa akan dapat dibangun suatu kerangka pemahaman dan upaya penanggulangan yang mungkin terjadi,
termasuk pemikiran implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang saat ini
berlangsung. Tinjauan Pustaka Kajian seni rupa dalam konteks pendidikan, secara umum dapat dikelompokkan atas dua pandangan yang akhirnya melahirkan dua pendekatan. Pertama adalah pandangan yang meletakkan posisi seni rupa sebagai materi belajar dalam pendidikan, seni rupa dalam pendidikan (art in education), dan kedua, adalah pandangan yang memposisikan seni rupa sebagai alat atau sarana pendidikan, pendidikan melalui seni (education through art). Seni rupa dalam pendidikan ini awalnya digagas oleh kalangan esensialis yang berpandangan bahwa secara hakiki materi seni rupa itu penting diberikan kepada anak (Eisner, 1972: 2). Keahlian melukis, menggambar, mematung, dan keterampilan seni rupa lain perlu dilakukan pengkajian dan pengembangan dan juga pelestarian. Oleh karena itu pendidikan keahlian kesenirupaan merupakan keniscayaan. Siswa perlu belajar tentang seni. Pendidikan melalui seni, di lain pihak, didasari oleh pandangan kalangan kontekstualis, yang pada intinya memposisikan seni rupa sebagai fungsi pada bidang tertentu (Eisner, 1972: 2). Dalam bidang pendidikan pandangan ini melahirkan pemikiran bahwa seni rupa dapat digunakan sebagai alat/media atau sarana pendidikan, sebagaimana pendapat Read (1970) “education through art”. Melalui pembelajaran seni rupa dapat membawa siswa ke arah ketercapaian tujuan pendidikan secara umum, dapat ditanamkan perilaku yang kreatif, imajinatif, terampil, dan memiliki kepekaan estetis yang tinggi. Tujan pendidikan melalui seni
yang penting adalah mengekspresikan perasaan dan membangun komunikasi, serta
mengembangkan dorongan spontanitas dan kekuatan kreatif siswa (Salam, 2001: 22). Siswa dapat belajar melalui seni atau belajar dengan seni.
102
Apabila dikaitkan dengan tujuan asasi pendidikan (Wilber, 1962: 3) maka pendidikan seni rupa dapat dikatakan sebagai upaya dan kegiatan pendidikan dalam rangka melestarikan, meningkatkan dan memanfaatkan, serta memenuhi kebutuhan individu peserta didik akan nilai estetik yang kasat mata (yang antara lain meliputi seni lukis, patung, grafis, ilustrasi dan dekorasi). Oleh karena itu dalam tataran operasional, lembaga pendidikan dapat menerapkan pendekatan belajar tentang seni dalam rangka melestarikan dan mengembangkan berbagai keragaman karya seni rupa, yakni pendekatan belajar melalui atau dengan seni rupa yang lebih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan peserta didik. Pendekatan belajar tentang seni, belajar melalui seni dan belajar dengan seni ini digagas dan dicobaterapkan untuk Kurikulum Berbasis Kompetensi di berbagai jenjang pendidikan sekolah umum saat ini. Linderman dan Linderman (1984: 4-9) berpendapat bahwa pendidikan seni rupa pada dasarnya bertujuan menanamkan nilai estetik pada siswa dengan jalan memberikan pengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Pengalaman perseptual ditanamkan melalui berbagai kegiatan yang memungkinkan untuk menggunakan inderanya. Pengalaman kultural dapat diperoleh siswa melalui kegiatan mempelajari dan memahami bentuk-bentuk seni dari kebudayaan lampau maupun saat ini, yang dihasilkan masyarakat manca atau sendiri. Sementara pengalaman artistik dikembangkan melalui pemahaman dan keterampilan siswa dalam menggunakan media seni dan menghargai (mengapresiasi) karya seni. Pendidikan seni rupa menuntut adanya bagaimana peserta didik belajar untuk berkreasi untuk membuat bentuk-bentuk visual yang estetik dan ekspresif, bagaimana peserta didik belajar untuk melihat bentuk-bentuk visual dalam seni dan alam, serta memahami bagaimana proses kejadian atau penciptaan seni (Eisner, 1972: 65). Berbagai harapan kemampuan anak dalam bidang seni rupa yang secara konseptual dinyatakan di atas dalam operasionalnya tercermin dalam struktur program pengajaran sebagai materi belajar yang tersistem. Menurut Eisner (1972: 71-81) setidak-tidaknya materi pendidikan seni rupa di sekolah meliputi segi ekspresi dan produksi. Segi ekspresi menekankan pada aspek estetik dan kekuatan ekspresi anak, sementara aspek produksi menekankan pada aspek keterampilan dan proses pembuatan karya. Penyampaian materi belajar kepada siswa sudah barang tentu banyak variabel yang terlibat. Persoalan intinya adalah dalam penyampaian materi belajar diperlukan strategi pembelajaran yang tepat. Apabila meminjam model yang dikembangkan oleh Davies (1981: 12-13) maka strategi pembelajaran itu berkenaan dengan persoalan perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang dilakukan oleh guru. Kontribusi yang sangat besar dalam persoalan strategi pembelajaran adalah aspek iklim atau kondisi sekolah. Iklim atau kondisi pembelajaran di sekolah menurut Anderson (1982: 388-406) ditentukan oleh faktor ekologi, milieu, sistem sosial, dan kultur. Dalam proses pembelajaran guru mempunyai peran penting. Guru sebagai manusia sesuai kodratnya memiliki beberapa aspek psikologis yang berbeda. Satu di antara sekian aspek psikologis itu adalah tanggapan. Tanggapan dapat muncul ketika seseorang melakukan penginderaan, apakah dengan
103
mata, telinga, hidung ataupun kulit. Oleh karena itu Bigot, dkk dalam Suryabrata (1990: 36) menegaskan bahwa tanggapan adalah bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah seseorang melakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan demikian, akan menggambarkan dimensi realitas. Pengamatan realitas merupakan penggambaran kondisi yang sebenarnya. Dalam istilah lain tanggapan atas pengamatan sering disebut sebagai persepsi, suatu proses untuk menemukan dan menginterpretasi informasi (Zanden, 1984: 33). Dalam pengamatan realitas, seseorang seringkali membandingkan dengan kondisi yang diharapkan, atau tanggapan antisipasi (Suryabrata, 1990: 36-37). Dengan perkataan lain seseorang dapat melakukan tanggapan idealitas, artinya apa yang diharap atau dicitakan. Berdasarkan paparan di atas, tanggapan realitas yang dimaksud adalah persepsi atas kondisi faktual yang dihadapi oleh guru berkenaan dengan fungsi, materi, strategi dan kondisi pembelajaran seni rupa. Sementara tanggapan idealitas adalah harapan atau gagasan yang dicitakan oleh guru atas fungsi, materi, strategi dan kondisi pembelajaran seni rupa. Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang dipilih adalah kualitatif yang diharapkan dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran secara relatif mendalam tentang tanggapan guru berkenaan dengan kondisi ideal dan realitas profil pendidikan seni rupa di SD. Untuk kepentingan tersebut, secara khusus responden dan informan penelitian dalam hal ini guru, dipilih dan ditentukan secara purposive; yakni guru yang terlibat dalam program penyetaraan D2 Pendidikan Guru Kelas Sekolah Dasar (PGKSD) UNNES yang tersebar di sebagian wilayah Jawa Tengah pantai utara. Di samping itu sebagai pemerkaya data digunakan juga informan guru peserta penataran di LPMP Jawa Tengah, serta guru-guru yang mengikuti program tutorial Universitas Terbuka UPBJJ Semarang, yang secara umum tersebar di Jawa Tengah. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua langkah. Langkah pertama adalah dengan alat angket yang mengungkap tanggapan guru tentang fungsi, materi, strategi, dan kondisi pembelajaran pendidikan seni rupa. Angket dibuat dalam bentuk terbuka agar responden dapat secara luas dan mendalam dapat menyampaikan informasi. Langkah kedua adalah wawancara mendalam terhadap informan terpilih (guru yang dalam menyampaikan informasi dalam angket dipandang lebih mengetahui, dan dapat memberikan penjelasan memadai) dan wawancara sambil lalu (casual interview) terhadap guru yang tanpa diduga dalam berbagai kesempatan (penataran dan tutorial) dapat memberikan informasi. Di samping melalui angket dan wawancara, penelitian ini juga berusaha mengumpulkan dokumen yang berkenaan dengan sasaran penelitian, khususnya dokumen kurikulum, laporan administratif guru dan sekolah yang berkenaan dengan proses pembelajaran seni rupa, serta laporan-laporan penelitian sejenis yang mendahului.
104
Sejalan dengan pendekatan yang digunakan, maka analisis data penelitian adalah kualitatif. Analisis data yang dimaksud mengikuti model alir (flow model) sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman (1984) dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tanggapan Guru SD atas Realitas Pendidikan Seni Rupa di Jawa Tengah Pendidikan seni rupa di SD merupakan submata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian atau sering disingkat oleh para guru dengan KTK atau Ketangkes. Pengenalan pendidikan seni rupa sebagai mata pelajaran KTK ini sejak berlakunya Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Sebelumnya dalam kurikulum SD 1994 pendidikan seni rupa berumpun pada mata pelajaran kesenian yang terpisah dengan pendidikan keterampilan. Bagi anak-anak atau siswa, pendidikan seni rupa lebih dikenali dengan pelajaran menggambar. Hal ini barangkali karena perlakuan guru yang setiap saat pembelajaran seni rupa diisi dengan kegiatan menggambar, walaupun dalam kurikulum terdapat beberapa aktivitas yang beragam. Sejak berlakunya ketentuan ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang mengukur kemampuan dasar akademik siswa, di SD terjadi pengelompokan mata pelajaran ebtanas dan non ebtanas, core subject dan bukan core subject , inti dan bukan inti. Sejak ketentuan ebtanas diberlakukan ada lima mata pelajaran yang diebtanaskan yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selebihnya, mata pelajaran Pendidikan Agama, Olahraga, Muatan lokal, dan KerajinanTangan dan Kesenian dilakukan dengan ebta (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) atau ujian sekolah. Perlakuan atas sekelompok mata pelajaran yang diebtanaskan dan yang tidak ini menyebabkan perlakuan sekolah (guru) berkonsentrasi hanya kepada mata pelajaran ebtanas saja, sementara mata pelajaran yang non ebtanas dikesampingkan. Hal tersebut dilakukan oleh karena dengan keberhasilan ebtanas status sekolah akan meningkat. Sebaliknya dengan hasil ebtanas yang rendah status sekolah merosot, dicap sebagai SD yang tidak bermutu dan tidak favorit. Akhirnya, guru dengan ringan saja mengatakan ada dikotomi mata pelajaran, penting dan tidak penting. Pendidikan seni rupa merupakan pelajaran yang tidak penting bagi guru. Pendidikan seni rupa di SD menjadi pelajaran peripheral atau marginal, pelajaran yang terpinggirkan. Saat ini ebtanas di SD sudah dihapus diganti dengan ujian sekolah. Namun demikian, suasana dan perlakuan pembelajaran seni rupa dapat dikatakan tidak berubah, masih seperti yang dulu. Ebtanas yang diubah menjadi Ujian Akhir Sekolah (UAS) tidak dapat mengubah persepsi dan perlakuan guru atas pembelajaran seni rupa.
105
Sesungguhnya di mata siswa pendidikan seni rupa adalah pelajaran yang menyenangkan. Para guru pun mengetahui hal tersebut. Tidak ada guru yang memberi informasi dalam penelitian ini yang para siswanya tidak senang dalam proses pembelajaran seni rupa. Setiap pembelajaran seni rupa diselenggarakan, siswa menyambut dengan gembira, mereka dengan antusias dan berasyik-ria melakukan aktivitas kreatif. Dengan situasi yang dinyatakan di atas, pembelajaran seni rupa bukannya dioptimalkan penyelenggaraannya oleh para guru, malah sebaliknya dimanfaatkan sebagai pelajaran pengisi waktu luang atau pelepas lelah. Ketika terjadi kelas kosong ditinggal guru, maka penanggulangan yang dilakukan adalah pelajaran seni rupa dengan aktivitas menggambar bebas. Ketika guru sudah lelah mengajar seharian, tibalah saatnya pelajaran seni rupa sebagai pengendor suasana. Hal yang dinyatakan di atas tampaknya masih dalam fungsi yang positif, dengan kata lain cukup lumayan. Walaupun pendidikan seni rupa hanya diberikan ketika terjadi kelas kosong atau pelepas lelah guru, eksistensinya masih berjalan. Yang memprihatinkan adalah pendidikan seni rupa secara formal hanya digunakan oleh guru untuk pengisian rapor. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh para guru dengan menyelenggarakan pembelajaran satu kali dalam bentuk latihan sebelum tes caturwulan atau semester, selanjutnya materi yang telah dilatihkan tersebut digunakan sebagai materi tes akhir caturwulan atau semester. Garis-garis Besar Program Pengajaran yang berisi sejumlah pokok bahasan/kegiatan yang semestinya dapat dikembangkan para guru, akhirnya hanya menjadi barang dokumen beku. Sebagian besar guru memperlakukan pembelajaran seni rupa hanya sebagai mata pelajaran menggambar –itu pun dipersempit menjadi menggambar bebas— terkadang disebut juga melukis. Materi menggambar/melukis ini pun tidak dikelola dengan baik, dalam arti tidak dirancang, dan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menurut bahasa di antara para guru pembelajaran seni rupa berjalan acak-acakan. Materi menggambar/melukis menjadi menggambar/melukis bebas sebebas-bebasnya. Siswa beraktivitas tanpa bimbingan dan arahan guru. Materi menggambar/melukis bebas menjadi pilihan guru, dengan demikian, strategi pembelajaran yang digunakan guru adalah ekspresi bebas. Artinya guru memberikan kebebasan dan keluasan yang sebesar-besarnya kepada siswa untuk menuangkan gagasannya ke dalam gambar/lukisan. Sesungguhnya, jika penggunaan strategi pembelajaran ekspresi bebas ini dikelola secara tepat, artinya dirancang dengan berbagai pertimbangan dan persiapan yang memadai, akan memberikan kontribusi yang besar pada perkembangan kreativitas, imajinasi, dan daya temu siswa (Lowenfeld dan Brittain, 1984). Akan tetapi, sebagaimana yang telah dikemukakan, pendidikan seni rupa dilaksanakan oleh para guru dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga nilai-nilai positif tersebut lepas dari gapaian.
106
Metode mencontoh dan memola juga sering menjadi pilihan di antara para guru. Kedua metode ini dipilih oleh para guru dengan harapan siswa tidak lagi banyak bertanya, karena apa yang digambar sudah ada di hadapan siswa. Pada sisi ketepatan objek yang digambar kedua metode tersebut memang positif, akan tetapi dalam hal pengembangan kreativitas, imajinasi dan daya temu, metode mencontoh dan memola tidak dapat mengakomodasi. Dalam hal sasaran yang diharapkan melatih keterampilan teknis siswa (misalnya menggambar orang, binatang, pohon atau ornamen) metode mencontoh dan memola juga positif. Akan tetapi, tampaknya, para guru belum dapat menentukan jenis metode atau strategi pembelajaran yang tepat atas materi yang disajikan. Menggambar bentuk yang mestinya dilakukan siswa dengan mengamati langsung objek yang digambar, diubah oleh guru dengan meniru gambar buatannya di papan tulis (Syafii, 1992). Menggambar ekspresi yang mestinya tepat digunakan dengan metode ekspresi bebas juga digunakan metode mencontoh dan memola agar para siswa tidak ribut dan banyak bertanya. Realitas pendidikan seni rupa SD di Jawa Tengah berdasarkan tanggapan guru, dalam kondisi yang memprihatinkan. Fungsi pendidikan seni rupa sebagaimana dinyatakan oleh para guru tidak atau belum memenuhi fungsi yang diharapkan. Pendidikan seni rupa di sekolah sekedar sebagai “pajangan” kurikulum, sebagai mata pelajaran “formalitas”, pengisi waktu luang, dan pelepas lelah guru. Pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum sebagian besar
tidak dilaksanakannya. Hanya sebagian kecil guru
menyajikan materi pembelajaran sesuai kurikulum, dan sebagian lagi sesuai kurikulum dengan pengembangan atau perubahan. Strategi pembelajaran amat bergantung kepada kemampuan dan kemauan guru, yang umumnya cenderung pada penggunaan satu metode saja, yakni mencontoh atau ekspresi bebas. Pembelajaran seni rupa di SD kurang mendapat perhatian guru. Guru umumnya menerapkan prinsip pembelajaran “asal jalan”. Tanggapan Guru SD atas Idealitas Pendidikan Seni Rupa di Jawa Tengah Pada tataran ideal, sesungguhnya pendidikan seni rupa di SD dapat dikatakan telah dipahami oleh para guru, baik berkenaan dengan fungsi, materi, strategi, maupun kondisi pembelajarannya. Bagi guru, persoalan seni yang di dalamnya termasuk seni rupa berkaitan dengan bakat, oleh karena itu respons terbanyak tentang fungsi pembelajaran seni rupa di SD adalah sebagai pengembangan bakat anak. Di samping itu pembelajaran seni rupa juga dapat digunakan sebagai pengembang kreativitas, sensitivitas (kepekaan cita rasa) estetik, komunikasi, apresiasi, bermain/rekreatif, serta pembinaan dan pembentukan kepribadian dan juga sebagai pendidikan keterampilan. Bagi guru, fungsi ideal pendidikan seni rupa, secara singkat mereka nyatakan sebagaimana amanat atau harapan kurikulum. Ada juga sementara guru yang berpendapat bahwa pendidikan di SD sebagai “pendidikan terminal”. Artinya, siswa setelah lulus memiliki bekal keterampilan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Salah satu bekal yang dapat diharapkan untuk kepentingan tersebut adalah keterampilan dalam bidang seni
107
rupa. Melalui pendidikan seni rupa diharapkan dapat membekali siswa dengan berbagai macam keterampilan yang bermanfaat. Pendidikan seni rupa dapat memberi bekal anak untuk berkarya atau menciptakan lapangan kerja sebagai wiraswasta untuk bekal hidup, sebagaimana pernyataan seorang informan. Dalam hal materi yang diidealkan oleh para guru berdasarkan analisis data terdapat dua kelompok tanggapan. Pertama, adalah kelompok guru yang menginginkan materi pembelajaran disajikan sesuai dengan GBPP. Dengan kata lain sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kelompok kedua adalah guru yang tidak secara eksplisit menggunakan GBPP akan tetapi secara umum mereka menyatakan perlunya penyesuaian materi dengan perkembangan dan bakat anak, serta pemanfaatan lingkungan. Materi pembelajaran seni rupa agar disusun secara lebih sederhana, terstruktur secara lebih rinci, dengan penggunaan bahan dan alat yang mudah didapat, murah dan jika mungkin siswa tidak perlu membeli. Dalam hal penggunaan strategi pembelajaran seni rupa di SD yang ideal, guru mengusulkan beragam strategi. Strategi yang seyogyanya digunakan adalah pembelajaran terpadu, bimbingan guru, pemberian latihan/tugas disertai dengan demonstrasi dan contoh, ekspresi bebas dan terarah, belajar sambil bermain, dan motivasi dengan nyanyian atau ceritera. Pemanfaatan strategi pembelajaran terpadu dalam pendidikan seni rupa diharapkan oleh para guru guna menunjang mata pelajaran lain, dengan kata lain dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan konsep-konsep dalam bidang IPA, IPS, atau lainnya. Strategi bimbingan dinyatakan oleh sebagian guru sebagai jawaban atas keterlantaran pembelajaran seni rupa selama ini. Dengan bimbingan guru anak-anak akan menjadi anak yang terampil dan kreatif. Pembelajaran seni rupa harus banyak kegiatan praktik, demikian usulan salah seorang informan. Kegiatan praktik ini harus disertai demonstrasi guru dan penggunaan berbagai contoh karya. Dengan contoh yang ditampilkan guru, siswa akan tergugah atau terbangun motivasinya, timbul minatnya untuk berkarya seni rupa, demikian informan lain menambahkan. Pemanfaatan ekspresi bebas selama ini yang oleh para guru dirasa tidak memberikan kontribusi yang positif bagi siswa, membuat tanggapan ideal guru perlunya pemanfaatan strategi yang lebih terkendali. Oleh karena itu diusulkan penggunaan strategi yang tidak hanya ekspresi bebas akan tetapi juga terarah. Menurut bahasa di antara informan, penggunaan ekspresi bebas dapat memberi kebebasan anak untuk memilih alat, bahan, dan tema yang digunakan. Sementara dengan ekspresi terarah adalah adanya pengendalian yang berupa usaha guru dalam rangka memberikan arahan dalam berbagai aspek yang diperlukan, baik dalam hal alat, bahan, teknik, atau tema. Melalui belajar sambil bermain, sebagaimana tanggapan guru, akan dapat tercipta suasana santai, sehingga anak leluasa dalam mengembangkan ide atau gagasannya. Dengan belajar sambil bermain akan tercipta suasana rileks, kebebasan suasana kejiwaan yang akan merangsang berkembangnya daya fantasi,
108
imajinasi, dan kreativitas anak. Terciptanya suasana belajar yang menyenangkan dan bangkitnya motivasi anak dapat juga diawali dengan kegiatan menyanyi atau ceritera. Demikian antara lain gagasan guru untuk menciptakan pembelajaran seni rupa yang rekreatif. Guna menunjang semua gagasan tersebut, informan penelitian mengusulkan agar diterapkan guru mata pelajaran pendidikan seni rupa, mendapat penataran yang intensif, dan memperoleh sarana yang memadai. Guru SD yang bertindak sebagai guru kelas merasa terbebani, karena di samping konsentrasi pembelajarannya terarah pada mata pelajaran inti, juga mereka merasa tidak memiliki kemampuan di bidang seni rupa. Oleh karena itu perlu “guru mata pelajaran”. Jika guru mata pelajaran ini tidak segera terpenuhi, mereka mengusulkan penataran yang intensif, artinya kegiatan penataran dengan nara sumber di bidangnya. Di samping pemenuhan ruang belajar, bahan dan alat (jika mungkin disediakan sekolah atas bantuan pemerintah), buku-buku pegangan guru yang baku, serta papan pajangan atau tempat pameran untuk memajang karya sebagai sarana apresiasi. Guna merangsang iklim kompetisi, para guru mengusulkan adanya lomba di bidang kesenirupaan agar frekuensinya ditambah. Artinya tidak hanya pada saat lomba bidang studi, akan tetapi ditambah dengan memanfaatkan event-event tertentu. Penutup Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, realitas pendidikan seni rupa SD di Jawa Tengah dalam kondisi yang memprihatinkan. Pendidikan seni rupa tidak atau belum memenuhi fungsi yang diharapkan, hanya sekadar sebagai pajangan kurikulum, pengisi waktu luang, dan pelepas lelah guru. Sebagian besar guru menyajikan materi tidak sesuai dengan kurikulum, sebagian lainnya sesuai, dan sebagian lagi dengan pengembangan atau perubahan. Strategi pembelajaran amat bergantung pada kemauan dan kemampuan guru, yang umumnya berkecenderungan pada penggunaan satu metode saja, yakni mencontoh atau ekspresi bebas. Kondisi pembelajaran kurang mendapat perhatian guru dengan prinsip asal jalan. Kedua, pada tataran ideal pendidikan seni rupa telah dipahami oleh guru SD di Jawa Tengah. Fungsi pendidikan seni rupa yang diharapkan guru adalah sebagaimana yang tertuang dalam kurikulum. Fungsi tersebut antara lain sebagai pengembang bakat, kreativitas, sensitivitas, media komunikasi, apresiasi, dan bermain/rekreatif, serta pembinaan/pembentukan kepribadian dan pendidikan keterampilan. Materi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum merupakan hal yang diidealkan oleh para guru, di samping ada yang mengharapkan untuk lebih disederhanakan dengan memanfaatkan potensi lingkungan secara optimal. Strategi pembelajaran yang diharapkan adalah digunakannya berbagai metode yang bervariasi. Sementara kondisi pembelajaran yang diharapkan adalah adanya guru mata pelajaran seni rupa. Jika mempertahankan guru kelas untuk mengajar pendidikan seni rupa maka perlu dilakukan kegiatan
109
penataran secara intensif. Pemenuhan fasilitas pembelajaran juga merupakan hal yang amat diharapkan oleh guru terutama ruang belajar, buku teks yang baku, serta bahan dan alat. Saran Saran yang dapat dikemukakan berkenaan dengan kesenjangan kondisi realitas dan idealitas sebagaimana tanggapan guru SD di Jawa Tengah adalah: Pertama, dalam rangka menanggulangi pelaksanaan pembelajaran seni rupa
yang
memprihatinkan oleh karena amat bergantung kepada kemauan dan kemampuan guru perlu kiranya dipikirkan penerapan guru mata pelajaran. Dengan upaya ini secara substansial pendidikan seni rupa dapat berjalan sebagaimana mestinya dan secara aktual tidak lagi menjadi mata pelajaran yang termarjinalkan. Kedua, jika penerapan guru mata pelajaran sebagaimana yang diinginkan para guru tidak terpenuhi, tampaknya memang perlu dilakukan kegiatan penataran yang intensif bagi guru kelas. Penguasan atas konsep-konsep dan keterampilan kesenirupaan sebagaimana yang tercantum pada kurikulum yang berlaku merupakan materi yang perlu dilatihkan. Ketiga, keluhan guru tentang kelangkaan sarana pembelajaran perlu pemenuhan. Sarana yang dimaksud meliputi ruang belajar, buku teks, serta bahan dan alat yang disediakan oleh sekolah. Sudah barang tentu, semua itu atas bantuan pemerintah dan masyarakat. Daftar Pustaka Anderson, C.S. 1982. “The Search for School climate: A review of the Research”. Dalam Review of Educational Research. 57 hal. 368-420. Buchori, M. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. Davies, I.K. 1981. Instructional Technique. New York: McGraw-Hill. Depdiknas. 1993. Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum 1984. Jakarta: Depdiknas. ______ . 2001a. KBK: Kebijaksanaan Umum-Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Puskur Balibang Depdiknas. ______ . 2001b. KBK: Pendidikan Seni SD. Jakarta: Puskur Balibang Depdiknas. Eisner, E.W. 1972. Educating Artistic Vision. New York: Macmillan. Ismiyanto, dkk. 1998. Ekspresi Gambar Anak-anak SD: Studi Kasus di Daerah Pedesaan Dati II Semarang. Laporan Penelitian, Lemlit IKIP Semrang. Linderman, V. dan Linderman, M.M. 1984. Arts & Crafts for Classroom. New York: Macmillan. Lowenfeld, V. dam Brittain, W.L. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1984.The Qualitative Data Analysis. New York: Sage.
110
Read, H. 1970. Education through Art. London: Faber & Faber. Salam, S. 2001. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar. Makassar: UNM. Suryabrata, S. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Syafii, 1992. Penanaman Nilai Estetik: Pendidikan Seni Rupa di SD Simpang Baru dan Karang Blukang Kotamadia Semarang. Tesis, tidak dipublikasikan, IKIP Jakarta. ______. 1993. Enkulturasi Nilai Estetik: Proses Pendidikan Seni Rupa SD di Kotamadia Semarang. Laporan Penelitian, Pulit IKIP Semarang. Wilber, G.O. 1962. Industrial Arts in General Eduction. Pennsylvania: Haddon Craftman. Zanden, J.W.V. 1984. Social Psychology. New York: Random House.
111