Ultimart, Desember 2011, hal 146-154 ISSN 1979-0716
Vol. IV, Nomor 2
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media R. MASRI SAREB PUTRA Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard, Gading Serpong Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail:
[email protected] Diterima: 23 November 2011 Disetujui: 21 Desember 2011
Abstract: Comics, in addition to pop novel, proved to be a genre of books, which until now remains a good sale in Indonesia. Not just persistent, comics have been growing as an a ractive industry. Not surprisingly, many investors published comics. In the hope that this product line defined as “picture-story” can give a big turnover in the midst of book industry turmoil buffeted by the global crisis and exacerbated by a very reckless government regulation. The problem is: how Indonesia comics market is in the middle of the vortex of new media? Keywords: komik, persistent, berkanjang, pasar, penjualan, the new media
Pendahuluan Beberapa pengamat media memandang bahwa buku komik memberikan efek negatif, terutama kepada kaum muda (Wertham dalam Spark, 2006: 57-58). Menurut penelitian Wertham atas beberapa komik yang diseleksi, bukan random, ”Terpaan buku komik dapat merusak perilaku anak muda dan dapat mempengaruhi dan akhirnya menyeret mereka ke tindak kriminal dan penyalahgunaan.” Hasil studi tentang efek media (media cetak) yang negatif ini terutama didasarkan atas komik Batman dan Superman. Penulis tidak memandang komik sematamata dari kacamata hitam sebagaimana Wertham. Mengapa? Berbagai studi ilmiah sampai pada simpulan bahwa membaca komik dapat menjadi jembatan menuju kegemaran membaca (Mary Leonhardt, 1993: 72-74). Dengan demikian, komik juga mengandung sisi-sisi positif. Karena itu, amat gegabahlah apabila pada hari-hari belakangan ini kita terus-menerus
06-komik.indd 146
mencaci-maki komik-komik Jepang, terutama serial Crayon Shincan. Sebagaimana dimaklumi bahwa tokoh komik tersebut, Shinnosuke Nohara adalah murid TK berusia 5 tahun. Ia gemar menirukan tingkah laku orang dewasa, menyukai berbagai serial anak-anak di televisi. Yang dianggap konyol ialah ia sering merayu wanita dewasa yang cantik, dan juga sering membuat ulah dan bikin repot sekelilingnya. Tingkah lakunya konyol dan menggelitik, membuat siapa saja tertawa. Ketika artikel ini dibuat, Crayon Shinchan memasuki serial ke-59 dan volume ke-18. Tidak mengherankan jika kemudian berbagai media cetak menerima surat pembaca yang isinya mengomentari komik Shincan sebagai ”tidak mendidik dan tidak cocok dengan budaya Indonesia”. Cukupkah kita hanya memaki, tanpa melihat duduk perkaranya? Sebagai bangsa pembelajar yang mau belajar dari pengalaman dan sejarah, kita justru ingin menggali lebih dalam fenomena di balik kesuksesan Crayon Shinchan.
2/29/2012 8:36:02 PM
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
Pertama, mengapa Crayon Shinchan laku keras di Indonesia? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya? Kedua, mengapa komik Indonesia belum menjadi tuan di negeri sendiri? Ketika industri kreatif, termasuk industri komik dan produk ikutannya tengah digalakkan di Indonesia, kita menginginkan komik produksi dalam negeri menjadi salah satu industri kreatif andalan. Komik dalam negeri diharapkan sanggup bersaing dan menggeser posisi komik impor seperti kaset dan CD lagu pop Indonesia yang kini sanggup menggeser dominasi lagu-lagu barat (Pangestu, 2011). Ironisnya, dalam upaya mengembangkan dan mendongkrak industri kreatif dimaksud, komik versi cetak (book print/p-book) yang berbasis analog berhadapan dengan komik elektronik (e-book) yang berbasis digital. Sanggupkah komik versi analog bertahan di tengah pusaran arus the new media?
Di zaman teknologi media berbasis analog, kita menghadapi kenyataan terjadi persaingan antara komik impor versus komik dalam negeri.
06-komik.indd 147
R. MASRI SAREB PUTRA
147
Kini, memasuki era the new media, baik komik impor maupun komik dalam negeri menghadapi tantangan yang sama: bagaimana bersaing dengan mengandalkan kelebihan dan keterbatasan media masing-masing. Untuk itu, dibutuhkan kreativitas yang luar biasa baik dari segi kemasan maupun pemasarannya.
Tinjauan Pustaka Kata ”komik” berasal dari bahasa Inggris ”comic”, kōmikos (Yunani) yang berarti: lucu. Istilah ini sudah muncul sekitar abad ke-16. Pada awalnya, komik ialah gambar-gambar yang ”berbicara” tentang hal-hal yang lucu. Pada awalnya, komik justru dimulai dengan comic strip yang dimuat di majalah atau koran. Seiring perkembangannya, komik tidak lagi dibuat secara comic strip. Sementara temanya sudah tidak melulu tentang ha-hal yang lucu saja, tetapi meluas juga ke tema lain, dari aksi, horor, sejarah, legenda, hingga fiksi ilmiah. Di Indonesia, orang tidak mempermasalahkan komik secara teoretis, tetapi pengertian atau esensi bahwa komik adalah ”sastra gambar”, tidak menimbulkan kekaburan makna (Bonneff, 1988: 9). Sebagai medium, komik adalah perpanjangan manusia (McLuhan, 1964) yang memenuhi unsur-unsur komunikasi. Komunikasi ialah proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan channel atau media tertentu dengan maksud tertentu dan efek tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lima elemen pokok komunikasi berikut ini: 1) harus ada komunikator (orang yang menyampaikan pesan), 2) harus ada komunikan atau orang yang menerima pesan komunikator, 3) terdapat message (pesan) yang hendak disampaikan, 4) ada channel (media) sebagai kendaraan di dalam berkomunikasi, dan 5) komunikasi punya objective atau tujuan tertentu. Komik, sebagai media, bukan semata-mata kertas yang ditintai. Komik ternyata mempunyai dampak yang luar biasa terhadap kehidupan dan budaya manusia (Duncan dan Smith, 2009). De-
2/29/2012 8:36:02 PM
148
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
ngan format yang lazim, yaitu ukuran saku (11 x 17 cm), komik sebagai media ternyata mempengaruhi khayalak, bukan saja pada aras kognitif, melainkan juga sampai pada aras perasaan dan tindakan. Era 1970-an hingga 2000-an, teknologi belum berkembang seperti halnya saat ini yang berbasiskan teknologi digital. Pada era itu, sebagai saluran komik adalah media cetak yang berbasiskan teknologi analog. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Fidler bahwa manusia dan teknologi koevolusi dan koeksistensi yang disebutnya sebagai ”mediamorfosis” (Fidler, 1997).
Pembahasan Komik di Indonesia, sesudah sempat koma sejak 1997, memasuki alaf ketiga bangun kembali dari tidur panjangnya. Krisis moneter, terutama berkaitan langsung dengan bahan baku produksi komik (kertas) yang untuk sebagian besar bahannya masih diimpor, sempat memukul industri komik. Ketika masa-masa awal krisis moneter, tidak ada jalan lain bagi penerbit untuk tidak menaikkan harga jual komik, sesuai dengan kenaikan harga kertas. Pada waktu itu muncul kekhawatiran, industri buku di Indonesia, termasuk komik, akan morat-marit. Namun, yang kemudian tidak disangka-sangka adalah terjadi paradoksal: industri buku tetap bergairah, bahkan dilihat dari omzet penjualan dibandingkan tahun-tahun sebelum krisis, sangat fantastis. Memang banyak penerbit kecil gulung tikar. Penerbit papan tengah masih bisa bertahan karena dibantu oleh program Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), yang beranggotakan 250 penerbit, bekerja sama dengan The Ford Foundation untuk menanggung biaya produksi 8-12 buku per tahun. Hal yang mengherankan ialah industri buku tetap bergairah meski Indonesia dilanda kriris moneter. Seiring dengan makin meningkatnya taraf pendidikan masyarakat dan mengecilnya jumlah buta huruf di Indonesia dari semula seki-
06-komik.indd 148
VOL IV, 2011
tar 40 juta di tahun 1980-an menjadi ”hanya” 20 juta pada penghujung dekade 1990-an, konsumsi akan buku, termasuk komik, pun meningkat. Berdasarkan data penjualan di toko buku, lima besar genre buku yang laris di Indonesia sebagai berikut: buku pelajaran, bacaan anak, keagamaan, ekonomi/manajemen, dan novel. Buku bacaan anak di Indonesia oleh para ahli (Bunanta, 1998) dibagi dalam sembilan kelompok: 1) buku bacaan bergambar (picture book), 2) komik, 3) sastra tradisional, 4) fantasi modern, 5) fiksi realistis, 6) fiksi sejarah, 7) puisi, 8) buku informasi, dan 9) buku biografi. Dari sembilan kategori itu, komik penting dibuat catatan khusus, setidaknya karena tiga sebab. Pertama, komik merupakan bacaan anak Indonesia yang terbukti mampu bertahan selama empat dekade sejak 1967. Kedua, sebagai salah satu genre dalam khazanah bacaan anak, komik mampu membangun citra sebagai bacaan ringan, sekaligus hiburan, dan rekreasi bagi anak-anak. Ketiga, ditinjau dari segi fisik dan penampilan luar, terdapat keseragaman komik, yaitu formatnya yang menjadi lebih seragam menjadi 13 x 18 cm. Format ini yang mencirikan komik dari buku-buku bacaan populer lain, dengan ketebalan rata-rata 64-96 halaman. Tahun 1967 dapat dikatakan menjadi tonggak populernya komik di Indonesia. Saat itu, komik-komik impor dari luar negeri, baik dari Eropa maupun dari Jepang, belum dikenal luas. Masih sangat kuat mendominasi cerita-cerita dalam negeri, terutama cerita epos yang diangkat dari dunia pewayangan Jawa, seperti cerita Mahabarata dan Ramayana. Kemudian, pada 1970-an, beredar komikkomik remaja-dewasa yang baik gambar maupun isinya mengeksploitasi seks. Sebagai contoh, komik berjudul Achir Suatu Kemesraan yang sangat digandrungi dan dicari-cari anak remaja meskipun segmen komik ini sebenarnya adalah orang dewasa. Di kalangan orang tua, pendidik, dan komunitas pendidikan saat itu, komik dikhawatirkan
2/29/2012 8:36:02 PM
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
dapat menggiring anak-anak ”meniru” adegan, pesan, maupun cerita yang tersaji di dalam komik-komik. Kekhawatiran itu wajar. Tidak pelak lagi bahwa benar komik pada saat itu sering menampilkan adegan kekerasan, penyiksaan, dan pertumpahan darah. Tidak jarang, gambar yang ditampilkan nyaris tanpa busana dengan katakata yang vulgar. Karena itu, di sekolah-sekolah, para guru melarang siswa membaca komik. Komik dianggap identik dengan bacaan tidak sehat. Untuk membantu upaya menjauhkan anakanak dari pengaruh komik, di luar sekolah, polisi turut mengamankannya. Polisi turut mengawasi peredaran komik. Di halaman terakhir buku komik di tahun 1970-an, hampir selalu dapat ditemukan stempel/cap sebagai tanda bukti bahwa ada izin percetakan dan peredarannya. Stempel ini memuat tanggal dan tempat pemeriksaan komik sebelum beredar. Stempel itu juga merupakan keterangan yang berguna untuk mengawasi produksi dan distribusi komik karena nama penerbit tidak selalu dicantumkan, tetapi nama penulis hampir selalu tertera dengan jelas. Memang sulit untuk menarik garis lurus yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara komik yang dibaca anak-anak dengan perilaku mereka sehari-hari karena belum ada penelitian yang khusus untuk itu. Akan tetapi, cukup banyak kasus yang terjadi tahun 1970-1980 remaja-remaja SMA hamil di luar nikah. Apakah ini akibat pengaruh komik yang mereka baca, ataukah karena pengaruh lingkungan? Memang belum ada studi ilmiah tentang hal itu. Namun, larangan sekolah (guru) dan orang tua agar siswa tidak membaca komik cukup untuk menyimpulkan bahwa komik dianggap berpengaruh terhadap perilaku pembacanya. Dari 1966-1971, tercatat tidak kurang dari 876 judul komik beredar di Indonesia. Kebanyakan adalah jenis silat (48,75%) dan roman remaja (36,75%). Komik ini kebanyakan ditulis pengarang Indonesia (199 pengarang). Komik saduran hanya sedikit, seperti Dongeng-Dongeng H.C. Andersen dan Mickey Mouse.
06-komik.indd 149
R. MASRI SAREB PUTRA
149
Seiring dengan menjamurnya komik-komik impor terutama dari Amerika, yang diterbitkan oleh Marvel dan DC Comics serta komik impor dari Jepang, komik dalam negeri pun tumbuh meski tidak sesubur komik impor. Ada beberapa komik dari Indonesia yang sudah sangat dikenal anak anak Indonesia saat itu, seperti Gundala Putra Petir, Panji Tengkorak, dan juga ada kisah rakyat yang diadaptasi dari India, yaitu Mahabharata dan Ramayana. Memasuki dekade 1980-an, terjadi perubahan pandangan komunitas pendidikan di dalam melihat komik, seiring dengan perubahan zaman dan kemajuan masyarakat. Seorang sarjana pendidikan, dan juga inspektur polisi di Bandung--salah satu kota besar di Indonesia setelah Jakarta--bahkan mengatakan, karena Indonesia sudah berkembang dan semakin menuju masyarakat yang terbuka maka pandangan dan penilaian terhadap isi cerita dan gambar komik pun semestinya berubah. Hal yang dulu dianggap porno dan vulgar, sekarang sudah tidak demikian. Tak dapat dipungkiri, masyarakat Indonesia sedang berubah. Karena itu, nilai-nilai tradisional cenderung ditinggalkan, digantikan dengan nilainilai liberal dan individual. Pergeseran paradigma tersebut ternyata cukup besar pengaruhnya bagi bacaan anak. Komunitas pendidikan yang dahulu diliputi rasa was-was terhadap keberadaan dan dampak negatif komik, mulai melihat peluang bahwa untuk meningkatkan minat baca anak-anak sebenarnya dapat dimulai dari komik. Berkaitan dengan itu, sejak 1980-an, muncul bagai jamur di musim hujan komik di Indonesia. Bukan saja komik karya pengarang dalam negeri, melainkan juga komik-komik impor, terutama komik dari Jepang. Yang menarik ialah komik anak-anak tidak hanya berisi hiburan dan petualangan, tetapi juga banyak di antaranya yang mendidik. Sebagai contoh, komik Dulken karya salah satu pengarang bacaan anak terkemuka Indonesia, Dwianto Setyawan, tidak hanya lucu dan menghibur, tetapi juga mendidik. Dulken, yang sebelum dibukukan, dimuat secara bersambung
2/29/2012 8:36:03 PM
150
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
di salah satu harian yang terbit di Surabaya ini, boleh disebut laris, meski tidak selaris dibanding komik impor dari Jepang. Serial komik Candy-Candy yang diimpor dari Jepang sangat laku keras di Indonesia. Oplahnya ratusan ribu eksemplar terjual dalam waktu singkat, suatu bukti bahwa komik hiburan dan petualangan sangat digemari anak-anak Indonesia. Demikian pula serial komik Kungfu Boy dan Doraemon sangat populer di kalangan anak Indonesia. Faktor apa yang membuat Doraemon populer di kalangan anak Indonesia? Terdapat dua faktor penyebab. Pertama, promosinya. Sebelum dibukukan, Doraemon ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Doraemon ditayangkan TV setiap hari Minggu pagi, ketika anak-anak punya waktu luang untuk menonton. Episode yang ditayangkan sering membuat anak penasaran, dan tidak jarang menimbulkan rasa ingin tahu mereka (curiosity). Mereka yang merasa penasaran dan ingin memiliki cerita Doraemon secara lengkap, langsung mencari komik itu ke toko buku. Kedua, perilaku tokoh dalam film Doraemon sangat cocok untuk anak Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota. Anak-anak Indonesia di kota menyukai kisah petualangan, suka akan tantangan, dan menanamkan sikap tidak mudah menyerah, serta banyak menanamkan sikap untuk berprestasi (the need for achievement). Orang tua yang mengerti bahwa Doraemon mendidik, menganjurkan anak-anaknya nonton (dan kemudian) membaca komik Doraemon. Tidak dapat dipungkiri bahwa multimedia sangat mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak-anak Indonesia. Ketika multimedia mulai memasuki kehidupan anak Indonesia, sekitar awal dekade 1990-an, seperti videogames, komputer, dan kini VCD, memang ada kekhawatiran saat itu multimedia akan menggeser posisi buku, termasuk komik. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti. Buku-buku bacaan anak di Indonesia tetap berjaya, bahkan komik boleh dikatakan men-
06-komik.indd 150
VOL IV, 2011
duduki ranking teratas di antara buku bacaan anak yang disukai. Ini membuktikan bahwa multimedia tidak kanibal dengan buku, tetapi saling melengkapi (komplementer). Jenis multimedia (VCD) yang diminati anak-anak Indonesia ialah yang diimpor, seperti Mr. Bean dan The Beauty and the Beast. Terhadap Mr. Bean, anakanak menyukainya karena lucu, sedangkan The Beauty and The Beast, anak-anak menyukainya karena ceritanya yang menarik dan dapat dipetik pesan-pesan moral dari cerita itu. Mengapa antara multimedia dan buku komplementer, tampaknya berkaitan dengan sifat media itu sendiri. Sesuai dengan karakternya, multimedia (yang elektronik) itu statis, tidak bisa dibawa ke mana-mana. Anak-anak yang memainkannya terikat oleh waktu dan tempat. Setiap media memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing (Biagi, 2007). Kelebihan buku terletak pada unsur mobile-nya. Buku dapat dibawa ke mana pun pergi, dibawa kapan saja ada waktu, tanpa kehilangan momentum. Lalu, setelah dibaca, buku dapat disimpan di perpustakaan keluarga. Adik-adiknya masih bisa memanfaatkan bacaan itu lagi. Itu sebabnya, buku disebut sebagai salah satu sarana pendidikan yang ampuh. Seperti dicatat Ensiklopedi Indonesia: ”Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Dalam buku dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi yang lain. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik daripada sarana-sarana lainnya” (Ensiklopedi Indonesia, hlm. 538-539). Komik impor, tampaknya mendominasi pasar komik di Indonesia, fenomena yang terjadi sejak dekade 1980-an. Setelah sukses dengan Candy-Candy dan Doraemon, muncul lagi Kobochan, Sweet Fuku-Fuku, Kung Fu Tao, Hakke Yoi, Kotaro, Ashura, Shaolin, dan Izumo--semuanya komik petualangan impor dari Jepang. Sebagaimana serial komik sebelumnya, komikkomik dari Jepang ini pun sukses besar. Komik
2/29/2012 8:36:03 PM
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
yang terbit dengan 37 jilid ini berkisah tentang seorang jagoan kungfu penerus generasi Kuil Dairin di Negeri Cina, setelah 100 tahun kuil itu berdiri. Jagoan itu bernama Chinmi yang jenius dan bermata elang, tangannya sekeras baja dan kakinya menghancurkan batu. Segera anak-anak Indonesia menjadikan Kungfu Boy sebagai idola. Yang dicemaskan orang tua dan pendidik ialah perilaku tokoh (unsur who yang menjadi karakter dalam cerita) ditiru anak-anak. Jangan sampai, usai nonton tayangan TV melakukan hal seperti itu beralasan, ”Saya ingin seperti jagoan yang ada di TV.” Jangan sampai terjadi, anak-anak meniru apa yang dilihat dan dibacanya. Dalam komik Pedang Bintang misalnya, jelas-jelas di sana dilukiskan bahwa balas dendam itu boleh, bahkan wajib. Komik ini berkisah ikhwal balas dendam seorang samurai di medan pertempuran. Dia mencari musuh yang sangat dibencinya, yaitu seorang panglima perang yang memiliki bekas luka di pipinya. Ia harus mengadakan revenge sebab orang itu telah membunuh keluarganya dengan menggunakan ”Pedang Bintang” buatan ayahnya sendiri. Melihat fenomena itu, banyak kalangan mulai mencemaskan pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui komik. Balas dendam misalnya, dikatakan bukan budaya warisan nenek moyang Indonesia. Orang Indonesia pemaaf dan suka hidup harmonis. Komik seperti Pedang Bintang atau Shinchan disebut-sebut dapat mengancam budaya Indonesia. Kecemasan tersebut, antara lain didengungdengungkan oleh para pendidik, orang tua, maupun Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional). Bahkan, dalam setiap kali simposium mengenai pendidikan dan perbukuan, gejala membanjirnya komik asing masuk ke Indonesia ini sering digugat. Sedemikian mendominasinya komik asing, muncul sindiran (julukan) yang mengatakan, ”Buku produksi dalam negeri belum menjadi tuan di negerinya sendiri”. Bertahun-tahun komunitas pendidikan dan insan perbukuan coba menghadang dominasi komik asing. Dalam tataran tertentu, mungkin
06-komik.indd 151
R. MASRI SAREB PUTRA
151
ada benarnya komik-komik impor merusak budaya bangsa, tetapi jelas tidak semua. Cukup banyak di antaranya bagus dan mendidik. Lalu, apa motivasi di balik tindakan menghadang dominasi komik impor? Mungkin faktor bisnis menjadi pertimbangan. Dalam konteks bersaing dengan komik impor, penerbit dan komikus dalam negeri bahu-membahu meningkatkan kualitas dan tampilan komik. Seperti diungkapkan komikus senior Dwi Koendoro, komik-komik baru Indonesia berupaya mengungkapkan kekuatan visual yang bertumpu pada kekuatan gambar, seperti tampak dalam komik Ayam Majapahit pemenang utama lomba komik Indonesia tahun 1995/1996. Ilustrasi dipercantik, meniru gaya komik impor Jepang. Demikian pula isi cerita semakin disesuaikan dengan selera pembaca (anak). Meskipun masih mengedepankan nama Kerajaan Nusantara masa lalu (Majapahit), Ayam Majapahit adalah komik yang mengisahkan seorang mahasiswa yang kemasukan roh ayam yang menjadi piaraan putra mahkota Kerajaan Majapahit. Tubuh ayam muncul abad ini di rumah kos mahasiswa, dengan pikiran dan perasaan mahasiswa itu sendiri. Jika dicermati dengan saksama, sebenarnya sudah ada usaha komikus mengambil cerita yang dekat dengan pembacanya. Jadi, tidak lagi murni kisah epos seperti komik Indonesia tahun 1970-an. Unsur kedekatan dengan pembaca merupakan satu faktor penentu komik Indonesia berterima di negerinya. Dalam Ayam Majapahit misalnya. Tokohnya adalah mahasiswa. Bukankah semua orang tahu, sejak 1997 mahasiswa selalu menjadi sorotan dan buah bibir masyarakat Indonesia karena menjadi pelopor yang menentang rezim diktator Soeharto untuk kemudian menjatuhkan presiden yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya itu. Formula buku anak Indonesia sebenarnya telah ditemukan. Ketika serial film anak Saras 008 muncul dua kali semiggu di TV swasta beberapa waktu lalu prime-time pukul 19.30-20.00, komik dan buku bacaan dengan tema cerita yang sama, juga laku. Ini mengafirmasi bahwa antara
2/29/2012 8:36:03 PM
152
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
content (isi) dan tools (media, bahasa, gambar) saling melengkapi, bukan saling memakan. Film Saras 008 murni buatan lokal isi maupun se ing ceritanya. Tidak mengandung cerita epos masa lalu, tetapi cerita epos yang visioner, jauh ke depan. Bahkan, dilukiskan Saras 008 dapat berubah ujud, mengeluarkan sinar laser dari bola matanya untuk menghancurkan musuh. Seperti mo onya, Saras 008 adalah ”pahlawan kebajikan, pembela kebenaran, teman semua orang yang cinta kedamaian.” Siapa saja yang meminta bantuan, Saras siap datang. Asalkan memencet nomor sandinya ”008” dalam sekejap Saras datang menolong. Saras membuktikan, asal penggarapannya serius, tokoh idola anak Indonesia tidak hanya dari komik Jepang, tetapi juga bisa datang dari komik dalam negeri. Sebagai contoh, Saras 008 dapat dijumpai komiknya di toko-toko buku, selain berbentuk novel anak usia akil balig. Pada masa jayanya di televisi, tokoh Saras 008 sangat digandrungi anak-anak karena karakternya yang kuat. Setiap waktu tayang, anakanak siap di depan TV. Jika ditelisik, salah satu keberhasilan Saras 008 adalah ceritanya tidak abstrak meski kadang menonjol sebagai science fiction. Peristiwannya mengambil se ing di Indonesia, seperti di Ancol atau Mall Ambasador, Jakarta. Lagi-lagi, faktor kedekatan dengan audiens (psychographic and demographic proximity) menjadi kunci sukses film dan buku anak. Faktor kedekatan dipertahankan dalam komik Saras 008, selain coretan-coretan gambar maupun motion-nya yang tetap ”meniru” gaya komik Jepang yang sebelumnya sudah populer di kalangan anak Indonesia.
Komik di Era the New Media Masihkah komik bertahan di era the new media? Seperti diketahui bahwa the new media ialah era digitalisasi. Menurut Manovich (2001) bahwa ”…many new media objects are converted from various forms of old media…. Converting continuous data into a numerical representation is called digi-
06-komik.indd 152
VOL IV, 2011
talization” (hlm. 28). Yang termasuk media baru adalah Internet, Web sites, computer multimedia, computer games, CD-Roms dan DVD, serta virtual reality yang menggunakan komputer untuk distribusi dan eksibisinya (hlm. 19). Media baru setidaknya mempunyai tiga fungsi penting, yaitu 1) menghubungkan khalayak dengan informasi dan layanan, 2) memungkinkan kerja sama dengan orang lain, dan 3) membuat konten baru, layanan, komunitas, dan saluran komunikasi yang membantu siapa saja menyampaikan informasi dan jasa. Buku elektronik (e-book) menurut Oxford English Dictionary ialah ”an electronic adaptation of a published book which can be read on a PC or handheld device configured specifically for this function”. Biasanya, e-book dibaca lewat media perangkat keras seperti komputer pribadi (PC), notebook/ laptop, dan beberapa telepon seluler (handphone) juga dapat digunakan untuk membaca e-book. Seiring perkembangan teknologi komunikasi, pada 1990-an, ketersediaan internet membuat orang gampang mentransfer file elektronik, termasuk e-book menandai datangnya era digital yang oleh Fidler disebut sebagai ”age of digital communication” (Fiedler, 1997: 219). Seiring dengan itu, berbagai format e-book muncul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan so ware besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer independen dan open source. Banyak orang dapat mengikuti perubahan format buku secara adaptif. Namun, tidak sedikit yang mengkhususkan diri pada satu format sehingga mendorong fragmenting pasar e-book makin meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar kemasan, berikut bagaimana harus memasarkan e-book. Kendati demikian, e-book terus berkembang dan bahkan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku yang semula segmentasinya terbatas, perlahan-lahan masuk ranah publik. Pada saat yang sama, penulis yang naskahnya ditampik penerbit menawarkan karyanya secara
2/29/2012 8:36:03 PM
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
online sehingga dapat diketahui oleh orang lain. Secara tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang ebook untuk konsumsi umum. Pada 2009, model pemasaran baru e-book berbasis hardware mulai dikembangkan. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi global seperti halnya p-book yang merasuk hingga ke desa-desa terpencil sekalipun. Omzet penjualannya bisa menembus jutaan eksemplar. Untuk mendukung promosi dan penjualan e-book, di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Sementara itu, Barnes & Noble, Inc., retailer buku terbesar di AS, terus mengembangkan e-book dan coba membangun jaringan pemasaran di dunia maya. Tidak ingin kalah dalam persaingan, Apple Inc. perangkat multifungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple mendistribusikan e-book. Namun, banyak penerbit dan penulis belum sepenuhnya didukung konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pelanggan maupun administrasi keuangan (Viney, 2005). Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan Kindle kalah jumlah penjualan buku hardcover untuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010. Dilaporkan bahwa mereka berhasil menjual 140 e-book untuk setiap 100 buku hardcover, termasuk hardcover untuk yang tidak ada edisi digitalnya. Pada bulan Juli, jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books. Sementara itu, data American Association menunjukkan bahwa penerbitan e-book baru sekitar 8,5% dari penjualan buku di Amerika pada pertengahan 2010. Dengan demikian, di Amerika yang notabene negara maju yang masyarakatnya melek teknologi (media) dan sudah lama berkomunikasi dan bertransaksi secara digital, keberadaan p-book masih sangat dominan. Sebagaimana halnya setiap media yang mengandung keunggulan dan kekurangan, e-
06-komik.indd 153
R. MASRI SAREB PUTRA
153
book juga demikian. Terdapat tujuh keunggulan e-book, yaitu 1) mengklik (membukanya) lebih mudah dibandingkan p-book, 2) pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, memodifikasi kontras layar), 3) apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (misalnya, istilah khusus, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks, 4) potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke informasi lain, termasuk bahan referensi, 5) pembaca mudah mendapatkan judul hampir seketika melalui internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik, 6) usai dibaca mudah disimpan, dan 7) dapat dibaca dalam gelap. Meski demikian, e-book juga ada kekurangannya, antara lain 1) tergantung alat (komputer, laptop, jaringan Internet), 2) cenderung menjadi milik personal, 3) tidak mudah dibawa ke manamana, misalnya ke pantai dan kolam renang, 4) melelahkan mata, dan 5) kurang prestisius karena tidak dapat dipajang dan dilihat orang. Kebanyakan orang membaca e-book pada komputer pribadi. Akan tetapi, beberapa orang menggunakannya melalui ponsel. Hal ini terutama dilakukan pembaca yang ingin mendapatkan informasi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik). Jika buku yang berbasiskan teknologi analog terdiri atas kumpulan kertas yang dapat berisikan teks atau gambar maka buku elektronik berisikan informasi digital yang juga dapat berwujud teks atau gambar. Dewasa ini, buku elektronik diminati karena ukurannya yang kecil bila dibandingkan dengan buku cetak, dan juga umumnya memiliki fitur pencarian sehingga kata-kata dalam buku elektronik dapat dengan cepat dicari dan ditemukan. Tersedia berbagai format buku elektronik yang populer, antara lain teks polos, pdf, jpeg, lit, dan html. Setiap format memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan juga bergantung dari alat yang digunakan untuk membaca buku elektronik tersebut.
2/29/2012 8:36:03 PM
154
Komik Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Tetap Berkanjang di Era The New Media
Sama seperti penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di dunia maya World Wide Web (WWW). Banyak penulis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk dipublikasikan. Namun, ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya J.K. Rowling yang tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Po er.
Kesimpulan Komik sejak 1980-an hingga 2000 menjadi salah satu industri kreatif yang berkembang di Indonesia. Meski tetap eksis, dan tetap sanggup bersaing dengan multimedia lain yang menawarkan kecepatan dan juga keanekaragaman, di era the new media komik berbasis analog harus tetap menampilkan dan menyajikan apa yang tidak dapat dipenuhi media baru yang berbasiskan digital. Bukan hanya dibutuhkan kreativitas di bidang desain, kemasan, dan produksinya; sastra-gambar itu pun perlu memikirkan teknik baru di dalam memasarkannya. Komik dengan olah gerak dan gambar yang disajikan the new media, sesungguhnya dilihat dari sisi isi sama dengan versi analognya, yang membedakannya hanyalah media penyampaiannya. Karena dari sisi visual dan gerak lebih hidup, anak-anak generasi multimedia yang melek media (media literacy) lebih menyukai tayangan gambar daripada membaca buku. Namun, mengingat dari segi waktu, kenyamanan menikmati, serta fantasi lebih berkembang maka ada cukup banyak anak yang suka pada buku daripada menonton. Ini menunjukkan, film dan buku saling melengkapi, tidak kanibal. Yang penting ialah ketika saling berlomba mencari pengaruh (baca: pasar), baik media digital maupun media analog memperhatikan unsur indah dan berguna suatu sajian. Sebagai contoh, kasus film animasi ”Naruto” di Global TV yang dituduh telah memberikan inspirasi bagi se-
06-komik.indd 154
VOL IV, 2011
orang bocah bunuh diri karena meniru adegan film itu dan disebut-sebut sebagai dampak langsung (direct impact). Komik versi analog di era new media dari sisi produksi dan penjualan memang turun meski tidak akan mati sama sekali. Hal ini karena masing-masing media mempunyai keunggulan dan keterbatasan masing-masing. Meski generasi muda cenderung menggunakan dan mengonsumsi materi yang tersedia di media baru, dalam waktu dekat pasar komik cetak (print book) masih akan tetap berkanjang.
DaĞar Pustaka Biagi, Shirley. 2007. Media/Impact: An Introduction to Mass Media. South Melbourne, Australia: Cengage Learning. Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Duncan, Randy dan Ma hew J. Smith. 2009. The Power of Comics: History, Form, and Culture. New York: The Continuum International Publishing Group Ltd. Edward, Jim dan David Garfinkel. 2006. Ebook Secret Exposed. New York: Morgan James. Fidler, Roger. 1997. Mediamorphosis: Understanding New Media. California: Pine Forge Press. Leonhardt, Mary. 1993. Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t: How It Happens and What You Can Do About It. New York: Crown Trade Paperbacks. Manovich, Lev. 2001. The Language of New Media. Massachuse : MIT Press. Spark, Glenn G. 2006. Media Effect Research: A Basic Overview. Belmont, USA: Thomson Wadsworth. Viney, David. 2005. The eBook Self Publishing Guide. Desktop to Amazon in 10 Easy Steps. London: Mercury Web Publishing.
2/29/2012 8:36:03 PM