KLAUS WYRTKI: MERAJUT OSEANOGRAFI NUSANTARA
J
erman, tahun 1945. Perang Dunia II yang dahsyat baru saja usai di panggung Eropa. Suasana porak poranda di negeri yang baru saja dilanda perang itu masih belum juga pulih sepenuhnya. Seorang anak muda berusia 20 tahun berkeliling di
Jerman. Dorongan kuat untuk menuntut ilmu membuatnya mendatangi berbagai perguruan tinggi untuk mencoba peluangnya untuk bisa diterima. Akhirnya ia terdampar di University of Marburg. Ketika ditanya bidang apa yang ingin dipelajarinya, ia pun sempat bingung. Semula bidang yang dicita-citakannya adalah perkapalan. Tetapi ternyata pada saat itu teknik perkapalan tidak
lagi
diajarkan di situ. Sebagai alternatifnya
ia lalu
memutuskan
Gambar 1. Kiri: Klaus Wyrtki di tahun 1953, kurang lebih setahun sebelum mulai bertugas di Lembaga Penelitian Laut, Jakarta. Kanan: Wyrtki di tahun 1999. untuk mengambil bidang matematika dan fisika, dan segera mengajukan lamarannya. Ia pun mulai banyak membaca buku tentang kedua bidang itu, dan mempelajari nilai-nilai aplikasinya dalam bidang meteorologi. Dalam penulusurannya inilah ia baru menyadari adanya bidang 1
ilmu pengetahuan yang namanya oseanografi. Segera saja bidang yang baru dikenalnya itu menarik perhatiannya dan langsung jauh cinta. Itulah awal perkenalan pemuda itu pada salah satu bidang ilmu pengetahuan yang kelak akan mengantarkannya menjadi ilmuwan yang sangat tersohor dalam kancah oseanografi dunia. Pemuda itu adalah Klaus Wyrtki, yang lahir di Tarnowitz, Jerman, pada tanggal 7 Februari 1925.
Gambar 2. Klaus Wyrtki di kapal riset Samudera di tahun 1955. (Wyrtki, 2005) Dua tahun di University of Marburg membuatnya makin gelisah saja, dan akhirnya ia mendatangi seorang professor geografi dan menanyakan dimana ia bisa belajar oseanografi. Sang professor mengatakan bahwa ada satu lembaga terkenal di Berlin, tetapi sudah hancur dibom dalam perang yang lalu. Kemungkinan orang-orangnya sudah pindah ke Kiel. Pada musim panas 1947, Wyrtki pun datang ke Kiel, ke Institut für Meereskunde (Institute for Oceanography). Disana ia menemui seorang tokoh oseanografi, Professor George Wüst, dan mengutarakan segala kisahnya dan hasratnya yang kuat untuk belajar oseanografi. Begitu 2
Wyrtki selesai bertutur, Prof. Wüst pun menukas dengan gembira: “Baiklah, kalau begitu saya sudah punya murid baru”. Professor itu pun mengatur kepindahan mahasiswa Wyrtki ke Kiel, yang saat itu masih diperkenankan. Musim panas tahun berikutnya, 1948, Wyrtki pun sudah berada di Kiel. Dua tahun kemudian, 20 Mei 1950, ia lulus dari University of Kiel dalam promosi Doctor of Natural Sciences dengan predikat summa cum laude dengan disertasi mengenai turbiditas (kekeruhan) air di Laut Baltik dan kaitannya dengan faktor-faktor hidrografi. Ketika ditanya pelajaran apa yang terpenting yang diperolehnya dari Professor Wüst, ia mengatakan bahwa yang paling mendasar adalah general overview, melihat bagaimana keterkaitan-keterkaitan peristiwa terjadi dalam skala besar, bukan dalam detail, tetapi mengintegrasikan segalanya untuk dapat melihat gambaran besarnya. Setamat dari University of Kiel ia sempat berada di Hamburg selama enam bulan, menimba pengalaman di German Hydrographc Institute. Tetapi ia kemudian kembali lagi ke Kiel karena mendapat beasiswa post-doctoral dari University of Kiel, yang dijalaninya selama tiga tahun (19511954), dengan mempelajari pertukaran massa air antara Laut Baltik dan Laut Utara. Ketika tugasnya di University of Kiel berakhir,
ia
kemudian
mencoba
mencari
pekerjaan. Ternyata para seniornya tak ada yang dapat membantu mencarikan lowongan pekerjaan. Pada saat yang hampa itu, tiba-tiba seorang kawannya,
Willi
Brogmus,
menceritakannya
bahwa ia (Willi Brogmus) baru mendapat surat dari Indonesia yang memintanya datang sebagai
Gambar 3. Karya Wyrtki yang terkenal: Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters (1961)
seorang scientist. Tetapi Willi tidak berminat ke daerah tropis, ia lebih suka tantangan ke Kutub Utara. Surat itu diberikannya kepada Wyrtki, dan Wyrtki pun segera menyurat ke Indonesia. Ia sama sekali tak menduga bahwa pihak Indonesia memberikan respon positif yang begitu cepat. Tak lama kemudian ia pun menuju Indonesia di bulan November 1954. “Tampaknya semua berjalan begitu mudah dan lancar”, ujarnya dalam suatu wawancara.
3
Gambar 4. Pola arus di perairan Nusantara di musim barat dan musim timur menurut Wyrtki (1961). Setibanya di tempat tugasnya yang baru di Lembaga Penyelidikan Laut (LPL) di Pasar Ikan, Jakarta, ia terkejut karena ternyata lembaga ini hampir tak ada apa-apanya. Karena sengketa politik Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda, semua oceanographer Belanda telah diusir dari Indonesia. Kehadiran Wyrtki sebagai seorang dari Jerman, negara yang tidak pernah bersengketa dengan Indonesia, membuatnya disambut dengan baik disini. Tetapi ia tak menyangka menemukan kenyataan tak ada seorang pun oceanographer di lembaga ini. Jadilah ia sebagai oceanographer tunggal di lembaga ini, lembaga yang statusnya berada di bawah Kebun Raya Bogor. Ia lebih terkejut lagi menghadapi kenyataan bahwa ia akhirnya ditugasi pula sekali gus sebagai Direktur lembaga ini yang dijabatnya selama tiga tahun (1954-1957). Dengan demikian ia mulai menjadi direktur lembaga oseanografi dalam usia yang masih sangat muda, belum lagi 30 tahun. Mungkin di dunia, hanya Klaus Wyrtki yang pernah menjadi direktur pada suatu lembaga oseanografi dalam usia yang semuda itu. Namun Wyrtki tidak berkecil hati dengan segala keterbatasan itu, bahkan menerimanya sebagai tantangan. Ia masih bersyukur karena lembaga itu masih mempunyai satu kapal riset 4
kecil yang masih baik yakni KM Samudera, dengan peralatan yang sederhana yang hanya bisa mengambil sampel air laut hingga kedalaman beberapa ratus meter saja. Panjang kabel untuk menurunkan peralatan oseanografi dari kapal itu memang sangat terbatas, tidak untuk penelitian laut-dalam.
Gambar 5. Model aliran massa air di perairan Laut Banda menunjukkan pola hubungan Air Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia melalui proses pengenggelaman (sinking) dan penaikan air (upwelling). (Digambar kembali dari Wyrtki, 1958). Dalam waktu tak begitu lama Wyrtki pun menyadari bahwa sebetulnya telah banyak informasi mengenai oseanografi di Nusantara ini tetapi bertebaran dimana-mana, hingga sulit mendapatkan gambaran umum yang utuh. Mungkin masih di bawah pengaruh mantan mentornya yang mengajarkannya untuk melihat sesuatu masalah dalam gambaran besar yang utuh menyeluruh (general overview) dengan melihat keterkaitan-keterkaitannya dalam skala besar yang kemudian mendorongnya memutuskan untuk menggarap penulisan buku yang akan merajut, mengintegrasikan semua informasi yang available sampai saat itu mengenai oseanografi Nusantara. Ia menulis buku itu antara lain di sela-sela kesibukannya dalam banyak pelayaran panjang yang dilaksanakannya di perairan Nusantara. Buku monografi itu akhirnya terbit tahun 1961 dengan judul “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters”, sebagai bagian dari NAGA Report yang diterbitkan oleh University of California. Adapun yang dimaksud dengan Southeast Asian Waters adalah perairan laut Nusantara dan sekitarnya. 5
Segera saja buku itu, yang lebih dikenal sebagai NAGA Report, menjadi hit di dunia dan banyak dijadikan sebagai referensi penting sampai beberapa dekade sesudahnya. Bahkan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Buku itu mencakup berbagai aspek antara lain konfigurasi dasar laut, sistem angin dan sirkulasi di permukaan, ciri-ciri laut di lapisan permukaan, presipitasi dan evaporasi, massa air di lapisan dalam, dinamika sirkulasi dan pasang surut. Bagi siapapun yang akan mempelajari oseanografi Nusantara, buku ini merupakan pengantar yang penting untuk mendapatkan overview tentang laut Nusanatara, khususnya untuk aspek oseanografi fisika (physical oceanography).
Gambar 6. Kiri: Klaus Wyrtki dalam persiapan penyusunan buku Oceanographic Atlas of the International Indian Ocean Expedition. Kanan: Tampilan kulit depan buku Oceanographic Atlas of the Indian Ocean Expedition (Wyrtki, 1971) Dalam masa kepemimpinannya di Lembaga Penelitian Laut, Jakarta, ia memprakarsai diterbitkannya jurnal oseanografi yang pertama di Indonesia yakni Marine Research in Indonesia, dengan edisi perdana tahun 1956, yang mempunyai sirkulasi internasional. Jurnal ini masih berlanjut hingga sekarang meskipun pernah tersendat bahkan sempat “mati suri” beberapa waktu lalu. Selama bertugas di Indonesia ia juga menerbitkan beberapa hasil penelitiannya mengenai oseanografi fisika di berbagai media, antara lain mengenai kaitan meteorologi dengan kondisi permukaan laut. Salah satu yang mempunyai dampak besar adalah temuannya mengenai dinamika pertukaran massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia lewat selatselat di perairan di perairan Nusantara yang merupakan awal dari kajian besar di kemudian hari mengenai Arlindo (Arus Lintas Indoesia, atau ITF = Indonesia Through Flow). Ia menemukan bahwa di Laut Banda terjadi silih berganti upwelling (penaikan air) dan sinking
6
(penenggelaman air) yang terkait dengan musim (monsoon) dan dengan aliran massa air dari Pasifik ke Samudra Hindia (Gambar 5). Klaus Wyrtki bekerja di Indonesia dalam rentang waktu yang relatif singkat, hanya sekitar tiga tahun (1954-1957). Setelah masa kontraknya habis tahun 1957, ia tidak lagi memperpanjangnya. Ia kemudian pindah ke CSIRO Australia dan bekerja disana selama tiga tahun, dan berikutnya di Scripps Institution of Oceanography di Amerika Serikat selama tiga tahun, dan berakhir di University of Hawaii hingga ia pensiun. Meskipun hanya tiga tahun bertugas di Indonesia tetapi apa yang dihasilkannya banyak mendapat perhatian dunia, dan karena itu boleh dikatakan menjadi modal baginya untuk kemudian terlibat dalam berbagai program internasional. Salah satu program besar yang dibanggakannya adalah penyusunan Oceanographic Atlas of the International Indian Ocean Expedition yang penerbitannya disponsori oleh National Science Foundation, terbit tahun 1971. Atlas itu merupakan atlas pertama di dunia mengenai satu samudra raya yang dibuat berdasarkan data-data yang dihimpun dari program International Indian Ocean Expedition (IIOE) yang dilaksanakan dalam kurun 1960-1965. IIOE adalah program internasional di bawah kordinasi IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission – UNESCO) yang diikuti oleh 18 negara dengan melibatkan 70 kapal. Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam IIOE dengan mengerahkan kapal riset Jalanidhi dalam tiga kali pelayaran. Proyek pemetaan Samudra Hindia ini sungguh luar biasa yang mengolah data dari sekitar 12.000 titik stasiun oseanografi. Program ini juga merupakan aplikasi komputer yang pertama untuk mengolah data oseanografi dengan volume sedemikian besarnya. Peta yang dihasilkan memberikan gambaran yang komprehensif tentang samudra raya ini, termasuk sebagian perairan Nusantara, yang menggambarkan distribusi horizontal dan vertikal berbagai parameter oseanografi secara detail, dan dalam dimensi waktu yang berbeda. Di samping itu, analisisnya mengenai sirkulasi di Samudra Hindia membawa Wyrtki pada penemuan adanya aliran yang kuat di sepanjang garis katulistiwa, yang kemudian dikenal sebagai Indian Ocean Equatorial Jet (kemudian lebih dikenal sebagai Wyrtki Jet) yang membentang dari Somalia di pantai timur Afrika sampai ke Sumatra. Selain itu Wyrtki juga pernah terlibat dalam kajian besar di perairan tropis Pasifik (1970-1973) yang mengungkapkan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari aspek dinamika oseanografi yang terkait dengan perubahan tinggi muka laut dan kedalaman termoklin. Kajiannya ini merupakan terobosan penting yang membuka peluang dilakukannya prakiraan datangnya El Nino.
7
Gambar 7. Arus ekuatorial di permukaan Samudra Hindia (Wyrtki jet) pada bulan April-Mei (spring Wyrtki Jet), dan bulan Oktober-November (fall Wyrtki Jet). (Mardiansyah & Iskandar, 2014) Dalam kariernya sebagai oceanographer, lebih 130 tulisannya yang telah diterbitkan baik dalam jurnal ilmiah maupun dalam bentuk buku. Kepakarannya dalam oseanografi juga telah mengantarkannya menduduki berbagai jabatan penting dalam banyak organisasi internasional yang berkaitan dengan masalah oseanografi. Demikian pula tidak sedikit penghargaan (award) yang pernah diterimanya dari berbagai organisasi internasional, beberapa diantaranya adalah Rosenthiel Award (dari University of Miami), Maurice Ewing Medal (dari American Geophysical Union), Sverdrup Gold Medal (dari Americal Meteorological Society), dan Prince Albert I Medal (dari IAPSO/ International Association for the Physical Sciences of the Ocean). Tulisannya yang terakhir terbit tahun 1993, tentang kenaikan muka laut global (global sea level rise) dan kemudian ia mengundurkan diri pada usia hampir 70 tahun. Wyrtki akhirnya menutup mata pada tanggal 5 Februaari 2013 pada usia 88 tahun, tetapi dunia tetap mengenangnya sebagai “the grand oldman of physical oceanography”, yang juga sangat berjasa memperkokoh pengetahuan oseanografi Nusantara.
PUSTAKA
Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow. Oceanography 18 (4): 14-27. Lukas, R., W. Patzert, G. Myers & W. Emery. 1990. Wyrtki’s 40 years of contribution to oceanography. Oceanography, 1990, Apr.: 36-38. Mardiansyah, W. & I. Iskandar. 2014. Variasi temporal Arus Wyrtki di Samudera Hindia dan hubungannya dengan fenomena Indian Ocean Dipole. J. Segara 10 (2): 98-105. 8
Nontji,
A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan keempat (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan, Jakarta: 372 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. von Storch, H., J. Sündermann & L. Magaard. 1999. Interview with Klaus Wyrtki, 25 February 1999. GKSS 99/E/74 Wyrtki, K. 1958. The water exchange between the Pacific and the Indian Ocean in relation to upwelling processes. Proceeding Ninth Pacific Science Congress 16: 61-66. Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters. NAGA Report vol. 2. The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, Clifornia: 195 pp. Wyrtki, K. 1971. Oceanographic atlas of the International Indian Ocean Expedition. National Science Foundation. Washington DC: 531 pp. Wyrtki, K. 1973. An equatorial jet in the Indian Ocean. Science 181: 262-264. Wyrtki, K. 2005. Discovering the Indonesia Through Flow. Oceanography 18 (4): 28-39.
-----
Anugerah Nontji 19/02/2017
:
9