KLASIFIKASI MANGROVE BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL DI SUNGAI KEMBUNG, BENGKALIS, PROVINSI RIAU
ROMIE JHONNERIE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Romie Jhonnerie NIM C562100041
RINGKASAN ROMIE JHONNERIE. Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO, SAM WOUTHUYZEN dan BISMAN NABABAN. Mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi seperti (1) proteksi pantai dari gangguan badai, tsunami, angin, dan gelombang; (2) tempat pemijahan ikan dan organisme lainnya, (3) tempat rekreasi, (4) sumber nutrisi bagi organisme, dan (5) sumber bahan kayu. Status ekosistem mangrove di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis Provinsi Riau saat ini berada pada kondisi cenderung mendapatkan tekanan dari manusia. Upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove perlu menjadi perhatian serius dari berbagai pihak dan memerlukan teknik perolehan data dan informasi mangrove secara spasial secara tepat dan akurat. Pengambilan data lapangan dilakukan bulan Juni dan Desember 2012. Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+, Landsat 8 OLI, SPOT 6 multispektral, SPOT 6 pankromatik, ALOS PALSAR, dan SENTINEL-1. Pra-pengolahan data satelit terdiri dari koreksi atmosferik, kalibrasi radiometrik, koreksi geometrik, dan transformasi spektral. Data lapangan berupa pengamatan vegetasi mangrove dan penutup lahan. Pengembangan skema klasifikasi menggunakan analisis gerombol dan similarity percentage (SIMPER) selanjutnya untuk mengetahui karakteristik reflektansi spektral data digunakan analisis spektral. Pengelompokkan data citra satelit menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan menerapkan algoritma random forest (RF). Hasil klasifikasi berbasis objek dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma maximum likelihood. Keberhasilan klasifikasi berbasis objek diterapkan dalam pendeteksian perubahan mangrove di lokasi studi. Komunitas mangrove di Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove ikutan. Xylocarpus granamun, Rhizophora apiculata, Lumnitzera. Racemosa, dan Scyphiphora hidrophyllaceae merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya (semua strata). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove yang diputuskan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, mangrove Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat. Skema klasifikasi komunitas mangrove dibangun berdasarkan data struktur komunitas mangrove. Satu tingkatan skema komunitas mangrove berhasil dibangun. Skema tersebut terdiri terdiri dari 12 kelas komunitas mangrove namun keterbatasan sampel pada sebagian besar kelas komunitas maka ditetapkan dua komunitas utama (1) Rhizophora apiculata (Ra) terdiri dari 33 sampel dan komunitas (2) Xylocarpus granatum (Xg) terdiri dari 93 sampel. Kelas komunitas lainnya yang memiliki jumlah sampel yang terbatas (gabungan 10 kelas) menjadi kelas Lainnya (La) dan terdiri dari 28 sampel.
iii
Kedua teknik klasifikasi mampu mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove. Masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper pada kedua klasifikasi namun algoritma random forest (RF) mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan algoritma maximum likelihood. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi berbasis objek dan piksel diperoleh melalui input image layer (IIL) M6. Klasifikasi berbasis objek mampu meningkatkan hasil klasifikasi dari 1-24.5%. Analisis perubahan penutup lahan menyatakan bahwa luas mangrove di Sungai Kembung relatif stabil dalam jangka waktu pengamatan tersebut, mangrove yang berubah menjadi penutup lahan lainnya sebesar 197.2 hektar, bertambah seluas 251.1 hektar dan yang tidak mengalami perubahan seluas 2904.9 hektar. Perubahan mangrove umumnya diakibatkan oleh faktor antropogenik seperti penanaman mangrove, penebangan, perubahan alih fungsi mangrove menjadi jalan, tanggul, permukiman, tambak udang serta pertumbuhan alami. Diperlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Kata kunci: berbasis objek, berbasis piksel, klasifikasi, mangrove, Sungai Kembung
SUMMARY ROMIE JHONNERIE. Object and Pixel-based Mangrove Classification Using Multispectral Satellite Imageries at Kembung River, Bengkalis, Riau Province. Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO, SAM WOUTHUYZEN and BISMAN NABABAN. Mangrove that generally found in coastal regions plays important roles such as (1) coastal protection from hurricane, tsunami, wind and wave, (2) spawning ground for many fishes and other faunas, (3) a place for recreational, (4) source of nutrients for organisms, and (5) source of wood. Recently, mangrove ecosystems in Kembung River, Bengkalis Island Riau Province tend to get pressure from antrophogenic. Protection and management of mangrove ecosystems needs to be a serious concern of various parties. Such efforts require data acquisition techniques and information mangrove spatially and accurately. Field data were collected in June and December 2012. Satellite imageries were used in this study consisted of Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM +, Landsat 8 OLI, SPOT 6 multispectral, SPOT 6 panchromatic, ALOS PALSAR and SENTINEL-1. Pre-processing in the satellite imageries were applied including atmospheric correction, radiometric calibration, geometric correction, and spectral transformation. Field data observations and measurements were conducted on mangrove vegetation and land cover. Scheme development of mangrove community classification was conducted by using clusters and similarity percentage (SIMPER) analyses. Furthermore, the scheme was used to charactirized satellite images spectral reflectance by using spectral analysis. Satellite data were classified by using object-based approach which applied random forest algorithm. Objectbased classification results was then compared to pixel-based classification technique which used maximum likelihood algorithm. The succesfull object-based classification then applied on magrove change detection in the study area. Kembung River mangrove community was assembled by 69 mangroves species which consists of 22 true mangrove species and 47 species of associate mangrove. Xylocarpus granamun, Rhizophora. apiculata, Lumnitzera. racemosa and Scyphiphora hidrophyllaceae were dominant species and always found in the study area compared with other species, for all strata. Based on standard criterias and guidelines for the determination of mangrove destruction which issued by the Minister of the Environment No. 201 of 2004, Mangrove at Kembung River was categorized as good and very dense mangrove ecosystem. Based on the composition of mangrove species, one level classification scheme was succesfully developed. The scheme consisted of 12 mangrove community classes, however most of the mangrove species belong to the two main classes of Rhizophora apiculata (Ra) composed of 33 samples and Xylocarpus granatum (Xg) composed of 93 samples Other 10 classes had limited sample number, therefore the 10 other classes were groupped into one class (La) that composed of 28 samples. Both classification techniques were able to identify all land cover classes and mangrove communities. Some misclassifications were still found to produce salt and pepper effects on both classifications, however, the random forest algorithm
v
could reduced such errors than the maximum likelihood algorithm. The best result of land cover classification using object-based and pixel-based classifications was obtained through input image layer M6. The object-based classification approach was better than pixel-based and it can improved the classification results by 124.5%. Change detection analyses showed that the mangrove area in Kembung River was relatively stable. For nearly two decades, we found mangrove loss about 197.2 ha, gain of 251.1 ha, and unchanged of 2904.9 ha. Changes in mangrove covers were generally caused by anthropogenic factors such as mangrove replanting, logging, changes over the function of mangrove regions into the road, embankment, settlement, shrimp farms, and natural growth. Serious attention from various parties are needed to maintain the existence and sustainablility of mangrove ecosystems in Kembung River.
Keywords: classification, Kembung River, mangrove, object-based, pixel-based
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KLASIFIKASI MANGROVE BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL DI SUNGAI KEMBUNG, BENGKALIS, PROVINSI RIAU
ROMIE JHONNERIE
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
viii
Ujian Tertutup Penguji luar komisi: 1 Dr Ir M Buce Saleh, MS 2 Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Ujian Terbuka Penguji luar komisi: 1 Dr Ir M Buce Saleh, MS 2 Dr Bidawi Hasyim, MSi
Judul Disertasi : Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau Nama : Romie Jhonnerie NIM : C562100041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA Ketua
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Anggota
Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU Anggota
Dr Ir Bisman Nababan, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Tanggal Ujian Tertutup: 24 Juni 2015 Tanggal Sidang Promosi Terbuka: 10 Juli 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah klasifikasi mangrove, dengan judul Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc, Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU, dan Dr Ir Bisman Nababan, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS, Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Bidawi Hasyim, MSi yang telah banyak memberi saran pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka. Ungkapan terima kasih disampaikan terutama kepada orang tua, Rahieman bin Djisat dan Ibunda Wirdaty Ilyas binti Ilyas, Baras bin Jalik dan Yuslina binti Muhammad Wasyid atas segala limpahan kasih sayang dan doa serta siraman iman yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Istri tercinta, Yossi Oktorini, ananda Muhammad El-Idrisi dan Hasnia Syakira Nisa yang selalu memberikan dukungan dan doa serta pengertiannya selama penulis menuntut ilmu, serta seluruh keluarga besar, hasil yang telah dicapai ini, ku persembahkan untuk kalian. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan disertasi ini, seluruh dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa studi lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor. Ketua Jurusan Penangkapan Sumberdaya Perairan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Rektor Universitas Riau, yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan doktor. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada kelompok pengelola mangrove Belukap dan anggota yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data lapangan. Rekan-rekan semasa pendidikan, Dr Nurhalis Wahidin, Dr M. Syahdan, Dr Domei L. Moniharapon, Dr Gentio Harsono, Dr Muhamad Sulaiman, Dr Ihsan, Dr Didik Santoso, Dr Dion Bawole, Dr Ismawan, Dr Chaliluddin, Dr Amirul Karman, Dr Rozirwan, Dr Eko Prianto, Dr Irda Mirdayanti, Jurianto M Nur, MSi, Elis Nurjuliasti Ningsih, MSi, Widya Kusumaningrum, MSi, Aisyah, MSi, yang banyak membantu selama menempuh pendidikan, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015
Romie Jhonnerie
xii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISTILAH 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Kerangka Teori Kebaruan (Novelty) 2 METODOLOGI UMUM Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Penelitian 3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK PEMETAAN KOMUNITAS MANGROVE Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN BERBASIS PIKSEL DENGAN ALGORITMA RANDOM FOREST UNTUK PEMETAAN MANGROVE Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 6 PEMBAHASAN UMUM Ketidakpastian Penelitian 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv xv xvi 1 1 5 5 5 6 7 8 8 8 12 19 19 19 21 29
30 30 31 37 57 59 59 60 62 67 68 70 73 73 73 74 86
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18
19 20 21 22 23 24 25 26
Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan Peralatan lapangan dan kegunaannya Data vektor yang digunakan dalam penelitian Karakteristik sensor yang digunakan Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer Skema dan deskripsi penutup lahan Perhitungan matematis matrik kesalahan Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove Kerapatan (ind/ha) strata vegetasi mangrove Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari seluruh plot transek Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai parameter terbaik Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan Model IIL dalam klasifikasi berbasis objek dan piksel Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove. Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M antara pasangan komunitas mangrove. Hasil uji akurasi (%) pemetaan kelas mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek terhadap berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan mengindikasikan perbedaan signifikan Luas (hektar) dan selisih perhitungan luas mangrove berdasarkan teknik klasifikasi Hasil perhitungan uji akurasi (%) klasifikasi komunitas mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel Luas (hektar) kelas komunitas mangrove berdasarkan teknik klasifikasi Seri citra Landsat yang digunakan Hasil uji akurasi 4 seri citra Landsat Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak. Estimasi luas penutup lahan (hektar) Persentase perubahan penutup lahan dari tahun 1996-2002, 20022010 dan 2010-2013
9 10 10 11 13 16 17 22 24 25 33 34 35 35 42
43 51
53 53 56 57 60 63 64 64 65
xv
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23
24
25
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Lokasi penelitian Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321, dengan tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432 dan Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH Hasil kalibrasi radiometrik citra SENTINEL-1. a. VH dan b. VV Sebaran lokasi pengamatan lapangan Teknis pengukuran diameter batang mangrove (Dahdouh-Guebas dan Koedam 2006) X. granatum memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif. Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek Dendogram skema komunitas mangrove. Jumlah anggota kelas komunitas mangrove. Persentase kontribusi spesies mangrove dalam menyusun kelas komunitas mangrove. Pohon proses yang berfungsi mengelola aturan klasifikasi berbasis objek Kurva reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan a. Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM. Kurva reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung a.Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM Hasil uji coba dengan beberapa kombinasi parameter segmentasi Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1 Hasil optimisasi parameter RF Perbandingan hasil klasifikasi penutup lahan berbasis objek dan berbasis piksel Perbandingan hasil klasifikasi komunitas mangrove. a. Dua kelas komunitas b. Tiga kelas komunitas Hasil klasifikasi komunitas mangrove Peta hasil klasifikasi penutup lahan Peta perubahan mangrove (1996-2013), warna merah mengindikasikan pengurangan mangrove, orange mengindikasikan penambahan mangrove, warna hijau mengindikasikan mangrove yang tidak berubah dan dan cyan merupakan objek vegetasi lainnya Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air, b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol. Distribusi titik-titik multipath (berwarna merah) GPS (ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda.
7 8
14 15 15 17 20 23 26 26 27 29 36 38 40 43
45 46 47 54 54 63
66
71
72
DAFTAR ISTILAH Aperture Band spektral
C-band
Ground control point
Hambur balik (backscatter)
Kalibrasi Klasifikasi Koreksi geometrik Level-1
Multispektral
Ortorektifikasi
: Bukaan yang menangkap radiasi elektromagnetik untuk detektor atau film. Contohnya bukaan diafragma lensa : Interval dalam spektrum elektromanetik yang didefinisikan oleh dua panjang gelombang, frekuensi atau bilangan gelombang (misalnya SPOT 6 band biru meliputi panjang gelombang 450-520 nm) : Sebuah rentang frekuensi nominal 8-4 GHz (3.75-7.5 cm panjang gelombang) dari bagian spektrum gelombang pendek (microwave) elektromagnetik. Citra Radar C-band umumnya tidak terhalang oleh efek atmosfer dan mampu menembus awan. Kemampuan penetrasi berkaitan dengan kanopi vegetasi atau tanah terbatas pada bagian atas. : Sebuah fitur lokasi geografis lokasi (misalnya sudut bangunan, persimpangan jalan, dan lain-lain) yang dikenali pada gambar dan dapat digunakan untuk menentukan koreksi geometrik guna meningkatkan akurasi geolokasi citra : Bagian dari sinyal yang dipantulkan kembali oleh target ke antena radar. Hamburan cross section menuju sensor dinamakan hambur balik cross section, dan disimbolkan oleh sigma (σ). Hambur balik merupakan kekuatan rerflektif dari target sensor dan terkadang dinyatakan juga sebagai koefisien backscatter, atau sigma nought dan didefenisikan sebagai per satuan luas di permukaan : Proses kuantitatif mendeskripsikan respon sistem untuk input sinyal yang terkontrol : Pengelompokan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kemiripan atribut yang dimiliki secara sistematis : Transformasi citra untuk mencocokkan hubungan spasialnya dengan permukaan bumi. : Data direkontruksi pada resolusi penuh dan dijelaskan dengan informasi tambahan, termasuk koefisien kalibrasi radiometrik dan geometrik dan parameter geo-referensi. Data mungkin telah dikoreksi radiometrik dan dikalibrasi dalam unit fisik pada resolusi penuh instrumen, ortorektifikasi dan dicuplik pada ukuran piksel tertentu : Data penginderaan jauh dalam dua atau lebih band spektral, seperti band tampak dan inframerah. Kapasitas multispektral memungkinkan sensor untuk memberikan citra berwarna : Menjelaskan sebuah citra yang telah dikoreksi geometrik khususnya kesalahan posisi (displacement) karena
xvii
Pankromatik
:
Pan-sharpening
:
Penajaman citra
:
Penutup lahan
:
Piksel Polarisasi
: :
Radiansi
:
Radiasi tampak
:
Random forest
:
Rational Polynomial Coefficient
:
Reflektansi
:
kemiringan dan ketinggiannya telah dihilangkan. Hasilnya berupa citra yang dapat ditumpangsusunkan pada sebuah peta Detektor yang sensitif terhadap spektrum cahaya tampak. Pada SPOT 6, pankromatik memiliki panjang gelombang 450-750 nm Praktek menggunakan meningkatkan resolusi spasial data multispektral menggunakan resolusi tinggi band pankromatik Operasi yang meningkatkan interpretabilitas citra atau kemampuan deteksi target atau objek pada citra. Termasuk operasi penajaman kontras, penajaman tepi, filter spasial, penghalusan (smoothing) citra dan penajaman (sharpening) citra Istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu kenampakan lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia Elemen citra yang disediakan oleh sebuah detektor Proses membatasi getaran magnetik atau medan listrik, vektor cahaya atau radiasi lain pada suatu bidang. Orientasi medan listrik relatif terhadap permukaan bumi Ukuran intensitas cahaya per unit area per satuan sudut ruang. Sensor merekam dalam satuan Watt (W) per meter persegi per steradian (sudut ruang/solid angle dari titik permukaan bumi ke sensor), per unit panjang gelombang yang diukur) Radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang yang sensitif terhadap mata manusia, dengan panjang gelombang antara 400-700 nm Sebuah metode pembelajaran ensemble untuk klasifikasi dan regresi yang beroperasi dengan membangun banyak pohon keputusan. Algoritma random forest dikembangkan oleh Leo Breiman. Metode ini menggunakan teknik bagging untuk pemilihan fitur secara acak. Sebuah model matematika geometri dan bentuk satu set koefisien polinomial rasional, yang dapat digunakan untuk ortorektifikasi citra. Prosedur ini membutuhkan model ketinggian digital (digital elevation model). Model ini dapat meningkatkan akurasi dari model polinomial rasional citra tertentu dengan melakukan koreksi geometrik ulang menggunakan titik kontrol 3D yang akurat Perbandingan radiansi yang dipantulkan oleh permukaan dibagi dengan irradiansi yang diterima permukaan tersebut.
xviii
Resolusi spasial
Segmentasi
Shapefile (shp)
Synthetic Aperture Radar (SAR) Transformasi citra
: Ukuran terkecil untuk memisahkan dua objek yang dapat dibedakan oleh sensor. Hubungan antara ukuran objek yang diindra dan resolusi spasial pada sistem optik. Umumnya dinyatakan dalam meter : Proses membagi citra menjadi beberapa segmen dengan tujuan menyederhanakan dan atau mengubah representasi dari suatu citra menjadi objek yang lebih berarti dan lebih mudah dianalisis. : Sebuah format data vektor geospasial yang populer dan digunakan oleh perangkat lunak sistem informasi geografis. Dikembangkan oleh ESRI dan merupakan spesifikasi spesifikasi interoperabilitas terbuka antara produksi ESRI dengan perangkat lunak lainnya. Shapefile secara spasial menjelaskan bentuk geometri vektor, yaitu: titik, garis dan poligon dan setiap fitur memiliki atribut yang dapat menjelaskannya : Sebuah sistem radar koheren yang menghasilkan citra penginderaan jauh resolusi tinggi. Pemrosesan sinyal menggunakan magnitud dan fase dari sinyal yang diterima : Sebuah fungsi operator yang menempatkan sebuah citra sebagai input dan menghasilkan citra baru sebagai hasil. Tergantung transformasi yang dipilih, citra masukan dan luaran dapat berbeda secara keseluruhan dan memiliki interpretasi yang berbeda
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan tumbuhan (pohon, palma, semak, tumbuhan merambat dan pakis-pakisan) (Giesen et al. 2006), baik secara individu maupun komunitas di daerah yang dipengaruhi pasang surut (Tomlinson 1986), dapat dijumpai disepanjang garis pantai (Saenger 2002) hingga menyebar ke pinggiran sungai pada daerah tropis dan sub tropis (Kathiresan dan Bingham 2001). Sebagai bagian dari eksosistem pesisir (Kusmana 1996), mangrove berfungsi sebagai: (i) pelindung pantai dari erosi (Thampanya et al. 2006), tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat dan tsunami (Ostling et al. 2009; Zhang et al. 2012) , (ii) habitat berbagai jenis ikan dan udang (mencari makan, memijah, bertelur dan berlindung) (Manson et al. 2005; Carrasquilla-Henao et al. 2013; Abu El-Regal dan Ibrahim 2014), (iii) habitat berbagai jenis fauna (Cannicci et al. 2008; Nagelkerken et al. 2008), (iv) penghasil kayu dan non-kayu (Illukpitiya dan Yanagida 2010), (v) berpotensi untuk fungsi pendidikan (Sarkar dan Bhattacharya 2003) dan rekreasi (Ahmad 2009; Datta et al. 2012), (vi) menyerap karbon dalam perubahan iklim (Gilman et al. 2006; Donato et al. 2011). Degradasi mangrove secara global mencapai 25%, dari tahun 1980-2000 (FAO 2007; Giri et al. 2011). Data tahun 2009 memperkirakan luas mangrove di Indonesia sebesar 3.2 juta hektar dan sekitar 6.4% berada pada wilayah administrasi Provinsi Riau (Hartini et al. 2010). Kecenderungan luas tersebut menurun setiap tahunnya. Selama 25 tahun (1980-2005) Indonesia telah kehilangan 30.1% atau 1.3 juta hektar mangrove (FAO 2007). Dilaporkan pula bahwa 11 dari 70 (16%) spesies mangrove yang telah diketahui meningkat statusnya menjadi terancam punah (Polidoro et al. 2010). Penyebab kehilangan tersebut diakibatkan oleh (i) pemanfaatan mangrove secara langsung sebagai sumber kayu dan non-kayu (Walters 2005), (ii) alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang, tambak garam, lahan pertanian, permukiman dan pariwisata (Jhonnerie et al. 2007; Thu dan Populus 2007), dan (iii) kurangnya pasokan air tawar akibat pembangunan bendungan. Sungai Kembung merupakan salah satu habitat mangrove di Pulau Bengkalis, Provinsi Riau dan merupakan habitat yang unik. Mangrove dapat dijumpai di sepanjang Sungai Kembung dan anak-anak sungai yang membelah kawasan tersebut. Mangrove pantainya langsung berhadapan dengan Selat Malaka. Ekosistem mangrove di Sungai Kembung menjadi salah satu tumpuan hidup bagi masyarakat di sekitarnya khususnya bagi Suku Asli, salah satu suku pedalaman (indigenous people) yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove. Jhonnerie et al. (2014 ) menyatakan tidak terjadi perubahan luas penutup lahan mangrove yang signifikan, namun tekanan terhadap mangrove telah berlangsung lama di kawasan ini. Kusmana (2012) menambahkan, mangrove di Kabupaten Bengkalis telah mendapatkan tekanan semenjak beroperasinya panglong (dapur) arang, hingga saat ini tekanan terhadap mangrove cenderung bertambah di antaranya akibat pembangunan jalan dan permukiman, perubahan penutup lahan mangrove menjadi tambak udang dan penebangan liar. Di sisi lain, keberadaan data pendukung pengelolaan mangrove di Sungai Kembung masih minim dijumpai. Sebagian besar
2
penelitian mangrove di Sungai Kembung hanya bersifat atribut, sporadis dan minim publikasi. Penginderaan jauh merupakan teknologi penting dalam inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam secara spasial, dan penggunaannya terus meningkat untuk pemanfaatan sumber informasi dalam berbagai bidang (Rikimaru et al. 2002). Secara umum penginderaan jauh digunakan untuk menghubungkan pengukuran radiasi matahari yang dipantukan oleh objek di permukaan bumi (direpresentasikan oleh nilai digital) terhadap kondisi bio-fisik di lapangan. Setidaknya terdapat 11 peranan penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menggali informasi mangrove (Kuenzer et al. 2011), termasuk kedalamnya adalah: inventarisasi (Knight et al. 2009; Heumann 2011b), penentuan kawasan (Cardoso et al. 2014), komposisi dan spesies (Koedsin dan Vaiphasa 2013; Kumar dan Patnaik 2013), status kesehatan (Kovacs et al. 2009; Kovacs et al. 2013) serta deteksi perubahan dan pengawasan (Misra et al. 2013; Rahman et al. 2013). Umumnya teknik klasifikasi berperan besar dalam penggalian informasi tersebut. Klasifikasi data penginderaan jauh umumnya menggunakan metode spektral (Godinho et al. 2014), spasial (Zhao et al. 2011) dan tekstural (Szantoi et al. 2013) baik secara individu atau kombinasi telah mampu meningkatkan ektraksi fitur dan pemetaan. Kajian-kajian penginderaan jauh yang berfokus pada klasifikasi citra telah lama menjadi perhatian dan menarik peneliti penginderaan jauh, karena hasil klasifikasi menjadi dasar bagi berbagai aplikasi lingkungan dan sosial ekonomi (Lu dan Weng 2007). Berbagai upaya peningkatan akurasi klasifikasi telah diusahakan oleh banyak peneliti (Alesheikh dan Sadeghi Naeeni Fard 2007; Quintano dan Cuesta 2010; Mitraka et al. 2012; Yan et al. 2012). Meskipun demikian, hingga saat ini kajian data penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik masih menjadi tantangan karena beberapa faktor seperti kompleksitas penutup lahan suatu lokasi, data penginderaan jauh tertentu, pengolahan data penginderaan jauh dan pendekatan klasifikasi, dapat mempengaruhi kesuksesan klasifikasi (Lu dan Weng 2007). Pemilihan citra satelit yang sesuai merupakan tahapan penting dalam kesuksesan klasifikasi untuk tujuan tertentu (Phinn et al. 2000). Pemetaan mangrove umumnya menggunakan sensor seri Landsat (Rahman et al. 2013), Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) (Jean-Baptiste dan Jensen 2006), Satellite Pour l’Observation de la Terre (SPOT) (Santos et al. 2014), IKONOS (Chadwick 2011), QuickBird (Wang et al. 2004b), WorldView-2 (Kamal et al. 2014). Pemilihan citra yang digunakan dipengaruhi oleh kebutuhan pengguna, skala dan karateristik lokasi penelitian, ketersediaan berbagai jenis data dan karakteristiknya, biaya dan waktu serta pengalaman menganalisis citra yang digunakan. Umumnya data citra satelit tersebut diterapkan dalam pemetaan mangrove semi detail dan detail. Tingkat ke-detail-an hasil klasifikasi mengacu kepada skema klasifikasi yang digunakan atau dikembangkan. Skema klasifikasi merupakan sebuah sistem terstruktur dari beberapa kelas dan umumnya diatur berdasarkan tingkatan (hirarki). Dalam kegiatan pemetaan diperlukan pemahaman bagaimana sebuah skema klasifikasi terstruktur dibangun. Hingga saat ini skema klasifikasi mangrove untuk tingkatan yang lebih detail dan terstruktur di Indonesia telah disediakan oleh beberapa institusi, seperti: Badan Standar Nasional melalui standarisasi penutup lahan tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup melalui kriteria baku dan
3
pedoman penentuan kerusakan mangrove tahun 2004. Danoedoro (2012) mengembangkan skema klasifikasi penutup lahan serbaguna yang dapat diterapkan melalui interpretasi citra satelit, namun skema klasifikasi yang disediakan untuk kelas mangrove pada tingkatan detail tidak dilengkapi dengan dokumentasi teknis pengembangan yang terstruktur dan dapat direpetisi dengan baik bagi peneliti mangrove. Permasalahan tersebut menjadi catatan tersendiri oleh Cingolani et al. (2004) dan Kuenzer et al. (2011). Pemahaman skema klasifikasi lebih mendalam dapat mengacu kepada pustaka Green et al. (2000) dan Auster et al. (2009). Penentuan variabel (input image layer/IIL) klasifikasi yang sesuai merupakan langkah penting menuju kesuksesan pengelompokan citra penginderaan jauh. Banyak IIL yang potensial digunakan dalam klasifikasi citra termasuk indeks vegetasi (Díaz dan Blackburn 2003), tekstur (Huang et al. 2009), data multitemporal (Rokni et al. 2014), multisensor (Nascimento Jr et al. 2013) serta penggunaan data tambahan lainnya (ancillary) (Vaiphasa et al. 2006). Selain itu informasi mengenai pemilihan band optimal dan karakteristik spektral melalui pendekatan analisis grafik, metode statistik (menggunakan algoritma separabilitas) telah digunakan untuk menentukan jumlah band optimal (Vaiphasa et al. 2005; Wang dan Sousa 2009). Dalam prakteknya, perbandingan kombinasi yang berbeda dari input image layer (IIL) yang dipilih sering dilakukan, dan dataset referensi yang baik sangat penting. Secara khusus, dataset perwakilan yang baik untuk masing-masing kelas adalah kunci dalam menerapkan klasifikasi terbimbing. Algoritma separabilitas sering digunakan untuk mengevaluasi keterpisahan kelas serta memperbaiki training area masing-masing kelas (Lu dan Weng 2007). Klasifikasi berbasis piksel mengidentifikasi kelas dari masing-masing piksel dalam sebuah citra kemudian membandingkan data vektor berdimensi untuk setiap piksel dengan vektor prototipe pada masing-masing kelas. Data vektor biasanya terdiri dari nilai-nilai piksel keabuan dari saluran multispektral dan atau penilaian tekstur dan kontekstual yang dihitung dari berbagai band (Rabe et al. 2014; Rastner et al. 2014). Menghasilkan peta tematik penutup lahan yang akurat merupakan tugas yang sulit karena beragamnya penutup lahan terkait komposisi alam yang komplek. Metode klasifikasi konvensional berbasis piksel seperti maximum likelihood (ML) hanya memanfaatkan informasi spektral dan keberhasilan terbatas dalam mengklasifikasikan citra multispektral (Rabe et al. 2014). Hasil klasifikasi berbasis piksel cenderung menghasilkan efek salt and pepper, dimana satu piksel yang terkelaskan berbeda dengan kelas yang ada di sekitarnya. Efek tersebut disebabkan kompleksitas lingkungan biofisik, yang mengakibatkan kemiripan spektral di antara kelas penutup lahan atau skema klasifikasi yang digunakan (Lu dan Weng 2007; Whiteside et al. 2011). Maximum likelihood (ML) merupakan algoritma yang teruji dan telah sering diterapkan dalam klasifikasi berbasis piksel untuk berbagai aplikasi pemetaan, termasuk mangrove (Kuenzer et al. 2011), selain itu algoritma ML banyak tersedia di berbagai aplikasi pengolahan citra dan sistem informasi geografis. Algoritma ini mengelompokan piksel berdasarkan probabilitas kepemilikan suatu kelas dengan nilai rata-rata dan kovarian dimodelkan dalam bentuk distribusi normal (parametrik) dalam ruang fitur multispektral (Sisodia et al. 2014). Namun, asumsi distribusi spektral yang normal sering dilanggar, terutama di lanskap kompleks (heterogenitas spektral yang tinggi). Selain itu, distribusi sampel (training area) yang tidak cukup dan tidak representatif menambah ketidakpastian dalam prosedur
4
klasifikasi. Kelemahan lain dari klasifikasi parametrik terletak pada sulitnya mengintegrasikan data spektral dengan data tambahan lainnya (Lu dan Weng 2007). Algoritma klasifikasi non-parametrik tidak memerlukan asumsi distribusi normal. Parameter statistik tidak diperlukan untuk memisahkan citra berdasarkan skema klasifikasi. Algoritma non-parametrik sesuai diterapkan pada data tambahan (ancillary) pada prosedur klasifikasi (Lu dan Weng 2007). Telah banyak laporan yang menyatakan bahwa algoritma berbasis non parametrik lebih baik dari klasifikasi berbasis parametrik. Algoritma klasifikasi non-parametrik yang sering digunakan dalam pemetaan mangrove di antaranya jaringan syaraf tiruan (neural network) (Wang et al. 2008), support vector machine (Heumann 2011a), pohon keputusan (decision tree) (Zhang 2011) serta random forest (RF) (Jhonnerie et al. 2015b). Dalam perkembangan terakhir, algoritma machine learning telah diadopsi oleh berbagai aplikasi penginderaan jauh komersial berbasis piksel seperti ENVI EXELIS, ERDAS INTEGRAPH, PCI Geomatic, berbasis objek seperti eCognition dan opensource seperti EnMAP-Box. Pendekatan klasifikasi berbasis objek tidak beroperasi secara langsung pada piksel individu tetapi pada objek yang terdiri dari banyak piksel yang telah dikelompokkan bersama melalui proses segmentasi citra. Selain informasi spektral dan tekstur yang digunakan dalam metode klasifikasi berbasis piksel, karakteristik bentuk dan hubungan lingkungan dapat juga digunakan dalam klasifikasi berbasis objek. Namun, keberhasilan pendekatan klasifikasi berbasis objek sangat tergantung pada kualitas segmentasi citra (Rabe et al. 2014). Berbagai teknik segmentasi telah diterapkan pada citra penginderaan jauh dengan berbagai tingkat keberhasilan. Segmentasi citra penginderaan jauh merupakan masalah sulit karena piksel campuran, kesamaan spektral, dan penampilan bertekstur dari berbagai jenis penutup lahan. Pendekatan segementasi region growing, piksel secara berulang dikelompokkan menjadi suatu region berdasarkan kriteria kemiripan yang telah ditetapkan (Blaschke 2010). Pemetaan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek telah dilakukan banyak peneliti, di antaranya: Wang et al. (2004a) memetakan mangrove dengan menggabungkan algoritma maximum likelihood dan tetangga terdekat (nearest neighbour) pada citra QuickBird. Penggabungan tersebut memperoleh hasil akurasi keseluruhan terbaik yaitu 91.4%. Conchedda et al. (2008) mendeteksi perubahan mangrove menggunakan citra SPOT XS, pendekatan supervisi melalui algoritma tetangga terdekat (nearest neighbour) yang digunakan untuk memetakan penutup lahan, menghasilkan akurasi sebesar 86%. Heumann (2011a) menerapkan teknik hibrida dalam memetakan penutup lahan mangrove. Klasifikasi menggunakan algoritma pohon keputusan (decision tree) dan memanfaatkan dua citra yaitu QuickBird dan WorldView 2 untuk memetakan kelas mangrove sejati dan asosiasi digunakan algoritma SVM yang diterapkan pada teknik klasifikasi berbasis piksel, akurasi kelas mangrove mencapai 94%. Kamal dan Phinn (2011) memetakan spesies mangrove menggunakan skema hirarki dan menerapkan algoritma tetangga terdekat pada citra hiperspektral CASI-2, dengan akurasi keseluruhan sebesar 76%. Flores De Santiago et al. (2012) menerapkan klasifikasi berbasis objek pada data SAR (ALOS PALSAR) untuk memetakan kondisi spesies mangrove, klasifikasi menerapkan algoritma kontektual pada setiap kelas yang dipetakan. Kemampuan data SAR secara keseluruhan memetakan spesies mangrove sebesar 64.9%. Vo et al. (2013) memetakan persentase tutupan
5
mangrove menggunakan kontektual editing dengan menggabungkan citra SPOT 5 dan TerraSAR-X, akurasi yang dicapai melalui teknik tersebut sebesar 75%. Nascimento Jr et al. (2013) menggunakan multisensor yang terdiri dari ALOS PALSAR, JER-1, Landsat 5 TM dan SRTM. Teknik klasifikasi menggunakan klasifikasi kontektual dan membangun aturan berdasarkan keunggulan dari masingmasing sensor, melalui metode tersebut dihasilkan akurasi pemetaan penutup lahan sebesar 96%. Son et al. (2015) menggunakan seri citra Landsat untuk mendeteksi perubahan mangrove,klasifikasi menggunakan algoritma tetangga terdekat (nearest neighbour). Hasil akurasi klasifikasi keseluruhan mencapai 82%. Penerapan klasifikasi berbasis objek di Indonesia belum banyak dikaji lebih jauh, khususnya penerapan algoritma klasifikasi non parametrik, mengingat adopsi algoritma machine learning pada aplikasi yang digunakan dalam penelitian ini baru dimulai tahun 2011. Pemetaan mangrove dan komunitasnya dengan menerapkan klasifikasi berbasis objek yang berbasis algoritma random forest (RF) serta menggunakan citra satelit multispektral memerlukan kajian yang intensif dan komprehensif.
Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan yang dinyatakan pada latar belakang, hingga tulisan ini dikembangkan metode yang diterapkan dalam penelitian belum pernah diterapkan sebelumnya. Pertanyaan ilmiah yang mendasari penelitian ini adalah: 1) Komponen apa saja yang membangun komunitas mangrove di Sungai Kembung dan bagaimana pengembangan komunitas mangrove sehingga dapat diterapkan penggunannya dalam teknik pemetaan mangrove yang lebih detail menggunakan citra satelit multispektral? 2) Bagaimana teknik pemetaan mangrove yang lebih baik menggunakan citra satelit multispektral? Apakah dengan menggunakan teknik tersebut mampu meningkatkan akurasi pemetaan? 3) Bagaimana status mangrove di Sungai Kembung berdasarkan data temporal?
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengembangkan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat diterapkan dalam klasifikasi data penginderaan jauh 2) Memetakan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan penerapan algoritma random forest (RF) 3) Mengetahui status mangrove melalui teknik deteksi perubahan mangrove
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memetakan mangrove dengan efektif, efisien dan lebih akurat serta dapat menjadi acuan atau referensi dalam pemetaan,
6
monitoring dan pengelolaan ekosistem mangrove melalui teknologi penginderaan jauh.
Kerangka Teori Skema klasifikasi sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam klasifikasi hingga saat ini masih menjadi permasalahan. Banyak penelitian yang hanya menyatakan skema klasifikasi yang digunakan saja namun secara objektif metode pengembangan skema tersebut tidak dilaporkan, sehingga pengulangan (repetisi) metode sangat susah diterapkan, atau umumnya hanya bersifat ad hoc sehingga hanya berlaku pada saat penelitian berlangsung. Diperlukan suatu tahapan pengembangan skema klasifikasi yang sistematis sehingga kelas yang dihasilkan tidak memiliki pemahaman yang ambigu serta mampu menampung kebutuhan tingkat kedetailan (bersifat hirarki) dari ragam jenis citra satelit yang tersedia. Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove menggunakan analisis gerombol dan persentase kemiripan. Penerapan dan pengembangan metode klasifikasi alternatif diperlukan untuk mengatasi permasalahan sebelumnya, minimal mereduksi kelemahan tersebut. Penelitian ini menerapkan teknik pemetaan alternatif, menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan penerapan algoritma klasifikasi yang lebih maju, dalam hal ini random forest (RF). Teknik klasifikasi berbasis objek diyakini dapat mereduksi nilai varian dan mengelompokkan piksel citra satelit berdasarkan nilai ambang batas tertentu, sementara algoritma RF merupakan sebuah algoritma yang terdiri dari sekumpulan algoritma yang bekerja sama (ensembler) dan diyakini juga mampu meningkatkan hasil pemetaan mangrove. Aplikasi yang digunakan mampu mengelola data spasial baik raster maupun vektor dengan baik dalam pemetaan. Tahapan akhir penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan penutup lahan di sekitar mangrove untuk mengetahui laju perubahan luas mangrove menggunakan citra satelit Landsat. Keseluruhan metode yang digunakan dalam penelitian ini disarikan oleh sebuah diagram alir (Gambar 1).
7
Permasalahan pemetaan mangrove
Skema klasifikasi yang belum jelas
Efek salt and pepper hasil klasifikasi
Akurasi relatif masih rendah
Efektif dan efisien dalam teknis pengerjaan
Metode pemetaan mangrove alternatif
Algoritma random forest
Klasifikasi berbasis obyek
Uji akurasi
Pengembangan skema klasifikasi
Analisis gerombol
Analisis SIMPER
Deteksi perubahan mangrove
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dalam penelitian ini adalah: (i) penerapan algoritma random forest (RF) pada teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan penutup lahan dan komunitas mangrove, (ii) rule sets yang digunakan dalam teknik klasifikasi berbasis objek.
2 METODOLOGI UMUM Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di ekosistem mangrove Sungai Kembung, Pulau Bengkalis, Provinsi Riau. Pengamatan lapangan dilakukan pada Bulan Juni dan Desember 2012. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 102o21’47.96”102o29’38,6” BT dan 1o31’25,34”-1o26’28,18” LU. Sungai Kembung bermuara ke Selat Malaka, di sepanjang sungai tersebut dari hulu hingga ke hilir dan anak-anak sungai merupakan habitat mangrove (Gambar 2). Sebagian wilayah pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka tengah mengalami proses abrasi dan telah mengikis sebagian mangrove zona depan (fringing mangrove) khususnya jenis Avecennia alba dan Sonneratia alba.
Gambar 2 Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada pada ketinggian 2-5 meter dari permukaan laut. Seperti daerah iklim tropis lainnya, lokasi penelitian memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), jumlah frekuensi hujan 3-20 hari, dengan curah hujan per bulan 5.4-378.9 mm dan suhu berkisar antara 21-34 oC.
Alat dan Bahan Peralatan dalam penelitian penelitian ini dapat dikategorikan menjadi dua peruntukan: (i) Pengolahan data, terdiri dari: seperangkat komputer dengan spesifikasi: Intel Core i7-4700HQ 2.40 Hz dengan delapan inti prosesor, Random Access Memory (RAM) 16 GB, media penyimpanan optik dengan kapasitas 1 TB,
9
kartu Video NVDIA GeForce GT 750 M, 2 GB. Perangkat komputer yang digunakan didukung oleh beberapa piranti lunak dan disarikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan No Piranti lunak Peranan Sumber 1 Microsoft Sistem operasi http://windows.microsoft.com/enWindows 8.1 us/windows-8/meet Pro 2 Microsoft Office Tabulasi data dan http://www.microsoftstore.com/st Excel 2013 penyajian grafik ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate goryID.67644800 3 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st Word 2013 laporan ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate goryID.67644800 4 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st Visio 2013 diagram alir ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate goryID.67644800 5 Microsoft Office Tabulasi data http://www.microsoftstore.com/st Access 2013 ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate goryID.67644800 6 Primer 6.0 Analisis statistik http://www.primere.com/primer.htm 7 XLSTAT 2014 Analisis statistik http://www.xlstat.com/en/downlo ad.html 8 ArcGIS Desktop 10.1 - ArcMap Analisis spasial http://www.esri.com/software/arc gis/arcgis-for-desktop - ArcCatalog Manajemen data http://www.esri.com/software/arc spasial gis/arcgis-for-desktop 9 ArcPAD Pemetaan http://www.esri.com/software/arc lapangan dan gis/arcpad pengumpul data 10 EXELIS ENVI Pengolahan citra http://download.intergraph.com/d satelit ownloadportal?ProductName=336677bcd93b-6e30-89b7-ff00003c6ea8 11 ASF MAPReady Pengolahan citra https://www.asf.alaska.edu/datasatelit tools/mapready/ 12 SENTINEL-1 Pengolahan citra https://sentinel.esa.int/web/sentine Toolboxes satelit l/toolboxes 13 eCognition Analisis citra http://www.ecognition.com/produ Developer 9.0 berbasis objek cts/ecognition-developer ii) Peralatan lapangan, terdiri dari: perangkat navigasi berupa Global Positioning System (GPS), kompas, peralatan transek, dokumentasi, dan alat tulis. Secara lengkap peralatan lapangan disarikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Peralatan lapangan dan kegunaannya No Jenis Peralatan Peranan 1 Navigasi GPS TRIMBEL JUNO Merekam posisi dan navigasi lapangan SB Merekam posisi dan navigasi lapangan GPS Garmin 76 CSx Kompas SUUNTO KB14 Navigasi lapangan Orientasi lapangan Peta kerja 2 Transek Menghitung jumlah vegetasi Alat hitung (counter) Membantu dalam pembuatan plot transek Meteran panjang (50 m) Mengukur diameter batang vegetasi Pita diameter Memotong spesimen vegetasi Gunting stek Penanda batas plot transek Patok kayu Penanda batang yang telah diukur Cat Alat tulis dan lembar Mencatat dan merekam data lapangan pencatatan Buku panduan floristik Membantu dalam menentukan spesies mangrove mangrove Kamera DSLR Canon Merekam gambar diam yang berkaitan dengan penelitian 40D Data yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, (i) data spasial yang terdiri dari data vektor dan raster (ii) data atribut merupakan data hasil pengolahan data lapangan yang telah ditabulasikan, data tersebut dapat berdiri sendiri dan atau dihubungkan dengan data vektor (Tabel 3). Tabel 3 Data vektor yang digunakan dalam penelitian No Tema Skala Sistem Proyeksi 1 Draf RTRW 1:500.000 Geografis Provinsi Riau
2
Rupa Bumi Indonesia, Pulau Bengkalis
1:50.000
Geografis
Datum
Sumber
World Geodetic System 1984 (WGS 84) WGS 84
Bappeda Provinsi Riau
Bappeda Kabupaten Bengkalis
Data raster yang digunakan terdiri dari beberapa sensor yaitu: Landsat 5 TM (Thematic Mapper) 5, Landsat 7 TM, Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper), Landsat 8 OLI (Operational Land Imager), SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre) 6 multispektral dan pankromatik, ALOS PALSAR (Advanced Land Observation Satellite Phase Array Synthetic Aperture Radar) FBD (Fine Beam Double Polarisation) HH (Horizontal-Horizontal) dan HV (Horizontal-Vertical). Karakteristik masing-masing sensor disajikan pada Tabel 4.
- Multispektral - Pankromatik Radiometrik (bit) Level Format Proyeksi Akuisisi - Tanggal - Jam
Spasial (m)
Ketinggian (km) Temporal (hari) Spektral (nm) - Biru Pantai - Biru - Hijau - Merah - Inframedah dekat - Inframerah tengah - Inframerah jauh - Pankromatik - Cirrus
Parameter
30 15 8 1T Geo-TIFF UTM 19 Juni 1996 2:35:50
27 Januari 2013 3:14:20
n/a 450 - 520 520 - 600 630 - 690 760 - 900 1550 - 1750 2080 - 2350 n/a n/a
n/a 450 - 520 530 - 590 625 - 695 760 - 890 n/a n/a 450 - 745 n/a
6 1.5 12 3A DIMAP V2 format Geografi
Landsat 5 TM 705 16
Sensor SPOT 6 694 26
Tabel 4 Karakteristik sensor yang digunakan
14 Juli 2002 3:45:58
30 15 8 1T Geo-TIFF UTM
n/a 450 – 520 520 – 600 630 – 690 760 – 900 1550 – 1750 2080 – 2350 500 – 900 n/a
Landsat 7 ETM+ 705 16
15 Januari 2015 1:07:12
30 15 8 1T Geo-TIFF UTM
433 - 453 450 - 520 520 - 600 630 - 690 760 - 900 1550 - 1750 2080 - 2350 500 - 900 1360 - 1390
Landsat 8 OLI 705 16
1.1 CEOS format ITRF97 Datum GRS80
1 Ground Range Detected SAFE format Geografi
18 September 2010 15:55:37.277
12.5x12.5
Interferometric Wide Swath 250 km 10x10
28 Nopember 2014 22:55:37
38.788
HH+HV
ALOS PALSAR 702 26
VV+VH 5.405 GHz Incident angle 29.1 - 46.0
SENTINEL-1 693 12
11
12
Metode Penelitian Pengerjaan disertasi secara keseluruhan diringkas pada delapan tahapan yaitu: (i) persiapan data, (ii) pra pengolahan data penginderaan jauh, (iii) rancangan pengambilan data lapangan, (iv) survei lapangan, (v) pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove, (vi) analisis spektral reflektansi, (vii) pemetaan mangrove, (viii) deteksi perubahan mangrove. Tahapan penelitian ini hanya membahas mulai dari persiapan data hingga survei lapangan, sementara analisis data lebih rinci dijelaskan pada sub bab lainnya. Persiapan data Tahapan ini mempersiapkan peralatan yang terdiri dari perangkat keras dan lunak serta data yang digunakan, untuk mendukung kegiatan lapangan dan pengolahan data lebih lanjut. Pra-pengelohan citra Proses pra pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas data melalui koreksi atmosferik (data optik), kalibrasi radiometrik (data SAR) menjadi koefisien hambur balik (backscattering coefisient), dan koreksi geometrik untuk data yang belum memiliki acuan sistem koordinat. Koreksi atmosferik Meminimalisir pengaruh atmosfer merupakan hal yang penting untuk mendapatkan reflektansi spektral permukaan suatu citra satelit. Data pendukung seperti uap air, distribusi aerosol dan jarak pandang harus diketahui dan kemudian digunakan bersama model transfer radiasi atmoferik untuk menghasilkan perkiraan reflektansi permukaan yang sebenarnya. Koreksi atmosferik menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode MODTRAN4 (Moderate Resolution Atmospheric Transmission). FLAASH dapat menganalisis dari gelombang tampak hingga inframerah rendah dari citra multispektral dan hiperspektral (Felde et al. 2003). Parameter FLAASH yang digunakan hanya dua kategori yaitu: (i) parameter umum, terdiri dari file input dan output FLAASH, karakteristik sensor yang digunakan dan model atmosfer. (ii) parameter FLAASH lanjutan, terdiri dari karakteristik aerosol lanjutan, kondisi geometris dan radiometrik FLAASH yang akan dihasilkan (Tabel 5). Koreksi geometrik Koreksi geometrik adalah sebuah proses penyesuaian posisi citra satelit sehingga sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Kesalahan posisi citra dapat diakibatkan oleh orbit satelit, rotasi bumi gerakan cermin pada sensor penyiam dan juga kelengkungan bumi. Koreksi geometri citra satelit telah dilakukan secara sistematis untuk kesalahan geometri yang sudah diperkirakan sebelumnya, seperti: pengaruh pergerakan cermin pemindai, kecepatan lintasan satelit dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap selanjutnya adalah menggunakan titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra dan lapangan dan melalui pasangan titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi dan sistem koordinat referensi.
13
Tabel 5 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer Parameter FLAASH
Citra Landsat 5 TM
Citra SPOT 6
(1) Parameter umum Citra radian
L5_radiance
spot6_ radiance.dat
File reflektansi
L5_radiance_FLAASH
spot6_ radiance_FLAASH
Lintang
1.45098611
1.45098611
Bujur
102.4347222
102.4347222
Jenis sensor
Landsat 5 TM
SPOT6
Pusat lokasi
Ketinggian sensor (km)
700.23
Elevasi (km)
0.1
0.1
Ukuran piksel (m)
30
6
Waktu Perekaman
2 Feburari 2010 03:
27 Januari 2013 03:14:20
Model atmosfer
Tropical
Tropical
Model aerosol
Rural
Rural
Aerosol retrieval
None
None
Jarak pandang
40
40
Aerosol scale height (km)
1.5
1.5
CO2 Mixing ratio (ppm)
390
390
Use square slit function
No
No
Use adjacency correction
Yes
Yes
Resuse MODTRAN calculation
No
No
Resolusi MODTRAN
15 cm^-1
15 cm^-1
Modtran multiscatter model
Scaled DISORT
Scaled DISORT
Number of DISORT stream
8
8
Sudut Zenit
180
180
Sudut Azimut
0
0
Use tiled processing
No
No
Radiance image
Full scene
Full scene
Faktor skala reflektansi
10000
10000
(2) Parameter lanjut
Koreksi geometrik citra SPOT 6 menggunakan model koefisien rasional polinomial (Rational Polynomial Coefficient/RPC). Grodecki dan Dial (2003) menyatakan bahwa RPC adalah salah satu model matematis yang mendefinisikan hubungan koordinat objek-angkasa (ϕ,λ,h), ϕ adalah lintang geografis, λ adalah bujur geografis dan h adalah ketinggian di atas elipsoid terhadap koordinat citraangkasa (Line, Sample). Model fungsi RPC adalah rasio dari dua koordinat polynomial kubik objek-angkasa. Fungsi rasional digunakan untuk menyatakan bahwa hubungan antara objek-angkasa terhadap koordinat line dan objek-angkasa terhadap koordinat sample. Penjelasan mengenai RPC dapat mengacu pada tulisan Grodecki (2001) dan Grodecki dan Dial (2003). Tidak ada perbedaan yang mencolok setelah penerapan RPC pada Citra SPOT 6, RPC hanya menerapkan
14
posisi piksel citra (baris dan kolom) pada koordinat bumi. Pada aplikasi yang mendukung pembacaan RPC (seperti EXELIS ENVI) sistem proyeksi yang digunakan oleh data citra SPOT 6 adalah geografi dan datum World Geodetic System (WGS) 84, selanjutnya penarapan RPC mentransformasi sistem tersebut menjadi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 48 dan datum WGS 84. Hasil koreksi RPC disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321, dengan tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432 dan Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452 Penerapan koreksi RPC cukup memuaskan, hal tersebut didukung oleh penampalan citra satelit RapidEye Level 3 terkoreksi ortofoto dan Citra Landsat 5 TM Level 1T persis pada posisi dan objek yang sama pada Citra SPOT 6. Penerapan RPC tidak dilanjutkan koreksi geometrik menggunakan Ground Control Point (GCP) mengingat pengkuran GCP hanya mengandalkan pengukuran posisi absolut. Pengukuran GCP menggunakan GPS TRIMBEL JUNO SB, sebanyak 26 pengamatan GCP dilakukan dan setiap GCP diamati selama + 30 menit. Rata-rata pengukuran GCP terdistribusi dari 2 hingga 4 piksel dengan rata-rata 2.67 (SD+ 0.78) piksel. Kalibrasi radiometrik Tujuan kalibrasi adalah menyediakan data SAR dengan nilai piksel yang berhubungan dengan hambur balik (backscatter) yang dipantulkan oleh permukaan dan data yang telah dikalibrasi dapat digunakan pada analisis kuantitatif. Proses kalibrasi radiometrik menghasilkan data citra SAR dengan nilai sigma nought (σ0). Kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR Data ALOS PALSAR dikalibrasi ASF (Alaska Satellite Facility) MapReady 2.3. Aplikasi ini dikembangkan dan dikelola oleh European Space Agency (ESA). Data disimpan dalam format geotiff (.tiff), diproyeksi menjadi UTM Zona 48 Utara, Datum WGS 84. Ukuran piksel dicuplik dengan ukuran 12.5 meter dengan teknik resample bilinear. Nilai radiometri data dikalibrasi menjadi koefisien hambur balik (backscattering coefficient) mengacu Shimada et al. (2009). Kalibrasi σ0 menggunakan persamaan 1. 𝜎0 = 𝑎2 (𝐷𝑁 2 − 𝑎1 𝑁𝑟 )
(1)
15 σ0 adalah koefisien hambur balik, DN adalah nilai digital, Nr adalah fungsi jarak, a1 adalah faktor skala derau dan a2 adalah faktor konversi linier. Nilai yang dihasilkan oleh persamaan (1) adalah dalam skala power. Merubah nilai power menjadi nilai dB digunakan persamaan (2) karena umumnya image yang telah terkalibrasi menggunakan skala logaritma dB (Shimada et al. 2009). 𝜎 0 = 10. 𝑙𝑜𝑔10 〈𝐼 2 + 𝑄 2 〉 + 𝐶𝐹 − 𝐴 (2) I dan Q merupakan bilangan real dan imaginer bagian dari produk Single Look Complex (SLC), CF merupakan calibration faktor adalah -83 dB dan A merupakan faktor konversi yaitu 32. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada Gambar 4.
a
b Gambar 4 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH
Kalibrasi data SENTINEL-1 Level-1 dengan tipe produk GRD dapat dilakukan melalui persamaan: 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖(𝑖) =
|𝐷𝑁𝑖 |2
(3)
𝐴𝑖 2
nilai(i) adalah salah satu dari 𝛽 0 𝑖 atau 𝜎 0 𝑖 , atau 𝛾𝑖 , atau DNi orisinal, Ai adalah salah dari betaNought(i), sigmaNought(i), gamma(i) atau dn(i). Mode IMS sigma nought dapat dihitung melalui persamaan: 0 𝜎𝑖,𝑗 =
2 𝐷𝑁𝑖,𝑗
𝐾
𝑅
1 𝐺(𝜃𝑖,𝑗 )
2
3
(𝑅 𝑖,𝑗 ) 𝑠𝑖𝑛(𝛼𝑖,𝑗 )
(4)
𝑟𝑒𝑓
DNi,j2 adalah intensitas piksel i,j, K adalah konstanta kalibrasi absolut, 𝛼𝑖,𝑗 adalah sudut datang (incident angle), Ri,j adalah jarak miring (slant range distance), Rref adalah referensi jarak miring (reference slant range distance), 𝜃𝑖,𝑗 adalah look angle dan G adalah antenna pattern gain. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada Gambar 5.
a.
b.
Gambar 5 Hasil kalibrasi radiometrik citra SENTINEL-1. a. VH dan b. VV
16
Rancangan Survei Lapangan Rancangan ini bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan. Pengukuran lapangan dilakukan terhadap: (1) Kelas penutup lahan, mengacu BSN (2010). Pengamatan lapangan dilakukan terhadap penutup lahan di sekitar mangrove dan struktur vegetasi mangrove. Terdapat 8 kelas penutup lahan (Tabel 6) yang diamati dengan luasan pengamatan 30 m x 30 m. Kawasan-kawasan yang tidak diamati secara langsung dibantu dengan interpretasi visual Citra SPOT 6 multispektral yang telah difusi dengan dengan pankromatik berdasarkan kunci-kunci interpretasi (Lillesand et al. 2008). (2) Spesies penyusun komunitas mangrove di Sungai Kembung. Penentuan lokasi stasiun pengamatan berdasarkan stratified random sampling (Congalton dan Green 2009), menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Tabel 6 Skema dan deskripsi penutup lahan No Kelas penutup lahan 1 Badan Air (BA)
Deksripsi Semua kenampakan perairan Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami kelapa
2
Kebun kelapa (KA)
3
Kebun karet (KT)
Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami karet
4
Lahan terbuka (LA)
Lahan tanpa penutup lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah amupun artifisial
5
Lahan terbangun (LN)
6
Mangrove (ME)
7
Semak belukar (SE)
8
Vegetasi mangrove (TI)
transisi
Area yang telah mengalami substitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semi alami oleh penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen Merupakan tumbuhan baik secara individu maupun komunitas di daerah yang dipengaruhi pasang surut dijumpai disepanjang garis pantai terlindung hingga menyebar ke pinggiran sungai pada daerah tropis dan sub tropis. Lahan yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi alamiah heterogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi oleh vegetasi rendah Merupakan vegetasi yang berada antara batas mangrove dan bukan merupakan semak dan belukar, kebun kelapa dan karet
Metode stratifikasi menjamin distribusi data yang baik pada kawasan mangrove (Vaiphasa et al. 2006). Ukuran setiap sampel pengamatan vegetasi mangrove 10 m x 10 m. Jumlah kelas stratifikasi sebanyak 25 kelas. Jumlah tersebut mengacu pada jumlah spesies mangrove yang berhasilkan diidentifikasi oleh Kartaharja (2010) sebanyak 20 spesies dan ditambah 5 kelas agar mencakup kehadiran spesies lainnya pada lokasi studi. Setiap kelas akan dipilih secara acak sebanyak 6 sampel, total sampel pengamatan adalah 150. Saat pengamatan lapangan dilakukan penambahan sampel sebanyak 7 pengamatan terhadap mangrove pantai dan kawasan kelola kelompok pengelola mangrove di lokasi penelitian, sehingga total keseluruhan pengamatan adalah 157 pengamatan
17
(Gambar 6). Selanjutnya rancangan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kerja dan disimpan dalam perangkat GPS. Peta kerja dan GPS berperan besar dalam navigasi menuju lokasi-lokasi pengamatan lapangan.
Gambar 6 Sebaran lokasi pengamatan lapangan Pengamatan kelas penutup lahan dilakukan seiring dengan pengamatan vegetasi mangrove. Perjalanan menuju lokasi pengamatan vegetasi mangrove ditempuh dengan berjalan kaki, menggunakan kenderaan roda dua dan speedboat. Data yang direkam berupa data struktur komunitas mangrove (diameter batang, tinggi pohon, jenis dan jumlah vegetasi), serta foto-foto dokumentasi lapangan. Uji akurasi Hasil klasifikasi data penginderaan jauh divalidasi menggunakan sebuah matrik kesalahan (error matrix) (Tabel 7). Hal ini dilakukan dengan membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas yang sebenarnya. Kelas yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Uji akurasi mengacu kepada Congalton dan Green (2009). Tabel 7 Perhitungan matematis matrik kesalahan j = kolom (referensi) i =baris 1 2 1 n11 n12 2 n21 n22 K n31 n22 Jumlah kolom n+j n+1 n+2
k n1k n2k n2k n+k
Jumlah baris nj+ nj+ n1n2nkn
𝑛 = ∑𝑘𝑗=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sample hasil klasifikasi terhadap kelas i dalam klasifikasi penginderaan jauh, dan 𝑛+𝑗 = ∑𝑘𝑖=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sampel yang diklasifikasikan ke kelas j pada data referensi. Akurasi keseluruhan (overall accuracy) antara data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan data referensi dapat dihitung sebagai berikut:
18
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 =
∑𝑘 𝑖=1 𝑛𝑖𝑖
(5)
𝑛 𝑛
𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑗 = 𝑛 𝑗𝑗
+𝑗
𝑛
𝑈𝑠𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑖 = 𝑛 𝑖𝑖
𝑖+
(6) (7)
Sebuah uji-Z berbasiskan KHAT atau statistik K (Kappa) akan digunakan untuk menilai akurasi klasifikasi dari sebuah matrik kesalahan. Nilai koefisien Kappa (KHAT statistik) berada pada rentang 0 hingga 1 dan biasanya akan lebih kecil dari nilai akusari keseluruhan, dan dapat dihitung melalui: 𝐾=
𝑁 ∑𝑟𝑖=1 𝑥𝑖𝑖 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 ) 𝑁 2 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 )
(8)
r adalah jumlah baris pada matrik, xii adalah jumlah pengamatan pada baris i dan kolom i, xi+ dan x+i adalah total margin baris i dan kolom i, N adalah jumlah pengamatan. K menyatakan pengurangan dalam kesalahan yang keseluruhan merupakan klasifikasi acak. Misalnya nilai K adalah 0.80 maka proses klasifikasi yang dilakukan menghindari 80% kesalahan klasifikasi acak. Akurasi tematik hanya berdasarkan referensi berbasis titik pengamatan. Uji akurasi tidak berbasiskan objek atau uji akurasi yang berkaitan terhadap akurasi geometri objek (seperti lokasi dan bentuk) (Whiteside et al., 2011). Penentuan dua nilai Kappa independen dan untuk dua matrik kesalahan yang secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan perbandingan secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu berbeda, dua algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan akurasi lebih baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matrik kesalahan diuji tingkat kepercayaan signifikan pada standar deviasi normal sebagai berikut: ̂1 dan 𝐾 ̂2 merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing matrik Jika 𝐾 ̂1 ) dan 𝑣𝑎𝑟 ̂2 ) adalah estimasi varian sebagai hasil kesalahan #1 dan #2, 𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾 ̂ (𝐾 dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik menggunakan persamaan: 𝑍=
̂1 𝐾 ̂1 ) √𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾
(9)
Z adalah standarisasi dan distribusi normal (standar deviasi) dengan hipotesis 𝐻0 : 𝐾1 = 0 dan 𝐻1 : 𝐾1 ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 , dimana α/2 adalah tingkat kepercayaan uji Z dan derajat bebas diasumsikan tidak terhingga (∞). Uji statistik untuk menguji jika dua error matriks independen berbeda secara signifikan menggunakan persamaan: 𝑍=
̂1 −𝐾 ̂2 | |𝐾 ̂1 )+𝑣𝑎𝑟 ̂2 ) √𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾 ̂ (𝐾
(10)
Z adalah standarisasi distribusi normal nilai Kappa dengan hipotesis 𝐻0 : (𝐾1 − 𝐾2 ) = 0, alternative 𝐻1 : (𝐾1 − 𝐾2 ) ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 .
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK PEMETAAN KOMUNITAS MANGROVE Pendahuluan Penerapan penginderaan jauh dalam berbagai bidang telah dilakukan sejak beberapa dekade lalu, secara teoritis telah teruji dan ekonomis (Tang dan Li 2010). Kerr dan Ostrovsky (2003) menjelaskan dengan gamblang pemanfaatan penginderaan jauh dan hubungannya dengan data yang dikumpulkan di lapangan, hal tersebut membawa pendekatan baru dalam penelitian ekologi dan biologi. Mangrove merupakan salah satu ekosistem unik di wilayah pesisir. Kajian-kajian ekobiologi mangrove menggunakan data penginderaan jauh telah banyak dihasilkan. Referensi lebih detail mengenai hal tersebut bisa diacu pada Kuenzer et al. (2011) dan Heumann (2011b). Jensen (2005) dan Gao (2010) menyatakan terdapat beberapa tahapan dalam klasifikasi terbimbing (supervised). Tahapan awal adalah mengembangkan skema klasifikasi. Skema klasifikasi sangat krusial dalam tahapan tersebut karena dapat mempengaruhi data diskrit yang dihasilkan. Skema klasifikasi yang baik menurut Prenzel dan Treitz (2005) adalah skema yang mampu menyediakan hasil klasifikasi yang standar dan dapat diulang. Mumby dan Harborne (1999) menegaskan, penggunaan skema klasifikasi yang tidak sistematik serta dokumentasi yang ambigu menciptakan masalah dalam interpretasi skema klasifikasi dan penggabungan beberapa peta mengingat sedikit atau tidak adanya standarisasi dalam terminologi yang digunakan. Beragamnya tujuan penelitian pemetaan habitat di wilayah pesisir berdampak terhadap beragamnya skema dan kriteria digunakan untuk menentukan skema klasifikasi mangrove. Permasalahan yang hadir tidak hanya terjadi pada dua istilah yang identik tetapi kurang detailnya kuantitatif juga mengaburkan perbedaaan yang ada sehingga mengurangi kemungkinan bahwa objek akan dibedakan dengan benar. Selain itu tidak banyak tulisan secara spesifik yang membahas tentang skema klasifikasi mangrove. Penelitian ini bertujuan: (i) mengidentifikasi ragam dan jenis vegetasi mangrove di Sungai Kembung sehingga dapat diketahui komposisi vegetasi penyusun ekosistem (ii) mengembangkan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat diterapkan pada berbagai tingkatan resolusi spasial citra satelit.
Metode Pengumpulan Data Pengukuran data vegetasi mangrove Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap stasiun pengamatan (plot). Data yang diamati adalah strata pohon (mature), anakan (sapling) dan semai (seedling). Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan tanah) ≥ 4 cm atau lingkar batang 12,5 cm (English et al. 1997). Setiap pohon di
20
dalam plot pengamatan diukur diameter batangnya dan kemudian diidentifikasi sampai pada tingkat spesies dengan mengacu pada buku panduan identifikasi vegetasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006). Ketentuan pengukuran diameter batang dan perhitungan jumlah pohon adalah sebagai berikut: (i) Pengukuran dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas permukaan tanah), (ii) Pengukuran pohon yang memiliki akar lebih dari 130 cm dari permukaan tanah dilakukan 30 cm di atas akar, (iii) Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka pengukuran dilakukan setinggi 130 cm (pohon dianggap satu), apabila percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah maka pengukuran dilakukan terhadap kedua cabang (pohon dianggap dua), (iv) Apabila setengah atau lebih dari garis menengah suatu pohon masuk ke dalam plot, maka pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun sebaliknya tidak dilakukan (Gambar 7).
Gambar 7 Teknis pengukuran diameter batang mangrove (Dahdouh-Guebas dan Koedam 2006) Komposisi mangrove Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat pada saat pengamatan lapangan. Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Pendokumentasian daun, bunga, kulit, buah, batang serta akar dilakukan jika nama spesies tumbuhan tidak diketahui. Proses yang dilakukan dalam kajian komposisi vegetasi adalah: menggunakan buku identifikasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006) untuk mengetahui karakteristik bentuk batang, daun, bunga dan buah. Kelimpahan spesies penyusun mangrove Perhitungan kelimpahan spesies di lokasi penelitian berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang menyusun vegetasi, melalui perhitungan diameter pohon, basal area, kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, dominansi mutlak, dominansi relatif serta indeks nilai penting (INP). Pengolahan Data Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove Aspek penting dari skema klasifikasi adalah pendekatan kuantitas parameter ekologi untuk mendefinisikan kelas komunitas mangrove. Variabel kuantitas parameter ekologi yang digunakan adalah nilai INP. Namun tidak seluruh spesies pembangun komunitas mangrove dapat diikutsertakan dalam pengelompokan data, mengingat keterbatasan kehadiran (frekuensi) spesies mangrove pada seluruh plot transek. Spesies mangrove yang memiliki persentase kehadiran kurang dari 4% dieliminir keberadaannya sebagai penyusun komunitas mangrove (Green et al. 2000). Selanjutnya spesies-spesies mangrove tersebut dikelompokkan menggunakan analisis gerombol (cluster analysis). Kemiripan/ketidakmiripan penyusun komunitas diukur menggunakan koefisien Bray-Curtis, koefisien tersebut telah
21
terbukti menjadi ukuran yang memadai dalam penentuan jarak ekologi (Faith et al. 1987). Persamaan Bray-Curtis dinyatakan sebagai berikut: 𝑝
∑𝑖=1|𝑥𝑖𝑗 −𝑥𝑖𝑘 |
𝑆𝑗𝑘 = [∑𝑃
𝑖=1(𝑥𝑖𝑗 +𝑥𝑖𝑘 )
]
(11)
xij adalah kelimpahan spesies ke-i pada sample ke-j dan p adalah spesies keseluruhan. Penentuan kelas komunitas mangrove ditetapkan dari jarak kemiripan dengan nilai kemiripan 0.5. Dendogram jarak koefisien Bray-Curtis dibangun menggunakan metode average group (Mumby dan Harborne 1999; Green et al. 2000). Karakteristik komunitas mangrove ditentukan oleh persentase kontribusi komponen penyusunnya menggunakan analisis persentase kemiripan (Similarity Percentage/SIMPER) (Clarke 1993). SIMPER dianalisi menggunakan aplikasi PRIMER 6.0. SIMPER menghitung nilai rata-rata ketidakmiripan Bray-Curtis antara pasangan kelompok dalam sampel. Rata-rata ketidakmiripan antara sampel pada dua klaster dapat dinyatakan sebagai rata-rata kontribusi dari setiap variabel penyusunnya. Sebuah variabel penciri memiliki kontribusi besar dalam membedakan komunitas. Pemberian nama kelas komunitas mengacu pada penamaan komunitas berdasarkan karakteritik ekologi, atau dapat juga menggabungkan nama spesies yang memiliki persentase komposisi terbesar pada komunitas tersebut (Green et al. 2000; Phinn et al. 2012).
Hasil dan Pembahasan Struktur Komunitas Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove ikutan. Penelitian ini hanya mengamati enam kelompok dari tujuh pengelompokan lifeform oleh Giesen et al. (2006) yaitu: (i) pakis/ferns (14 jenis), (ii) epifit/epiphyetes (4 spesies), (iii) pemanjat/climbers (7 spesies), (iv) herba tanah/other ground herbs sebanyak (2 spesies), (v) palma tumbuhan seperti palma/palm and palm-like plants (6 spesies), (vi) pohon dan dan semak/trees and shrubs (36 spesies). Khusus mangrove sejati Sungai Kembung terdiri dari 11 famili yaitu Avicenniaceae (2 spesies), Combretaceae (2 spesies), Euphorbiceae (1 spesies), Lythraceae (3 spesies), Meliaceae (2 spesies), Myristicaceae (1 spesies), Arecaceae (1 spesies), Pteridaceae (2 spesies), Rhizophoraceae (6 spesies), Rubiceae (1 spesies) dan Sterculiaceae (1 spesies). Empat dari sebelas famili tersebut merupakan komponen utama penyusun mangrove yaitu Combretaceae, Arecaceae, Rhizophoraceae dan Lythraceae sedangkan yang lain merupakan komponen minor (Tomlinson 1986). Penelitian ini lebih mengayakan informasi keanekaragaman hayati vegetasi mangrove di Sungai Kembung. Kartaharja (2010) melaporkan 20 spesies mangrove sejati dan 12 mangrove ikutan di lokasi penelitian. Keanekaragaman hayati vegetasi mangrove di Sungai Kembung lebih banyak jika dibandingkan dengan laporan Nursal et al. (2005) yang mengamati mangrove di pesisir Tanjungsekodi, Pulau Bengkalis, yaitu hanya 5 spesies mangrove sejati, Prianto et al. (2006) mengamati struktur komunitas mangrove dewasa di sepanjang garis pantai Kota Dumai,
22
menyatakan bahwa jumlah mangrove sejati yang dijumpai sebanyak 17 spesies dan 18 spesies mangrove ikutan. Beberapa spesies mangrove di lokasi penelitian merupakan spesies endemik Asia Tenggara, yaitu A. lanata, O. tigillarium, I. cymosa, P. coronarium, D. aloefolium. Dua spesies yang secara lokal umum dijumpai tapi langka dalam skala global, yaitu S. hydrophyllacea dan S. ovata (Giesen et al. 2006). Berdasarkan daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature (IUCN), empat spesies belum termasuk ke dalam daftar tersebut yaitu, B. gymnorrhiza, B. hasselsi. C. tagal dan S. hydrophyllaceae. Satu spesies masuk ke dalam kategori rentan (vulnerable B1+2c) yaitu A. lanata, satu spesies dalam status hampir terancam (near threatened) yaitu S. ovata, dan sisanya berada pada kategori sedikit perhatian (least concerns). Jenis X. granamun, R. apiculata, L. racemosa dan S. hidrophyllaceae merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya pada semua strata. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya nilai penting baik strata dewasa, anakan maupun semai (Tabel 8) Tabel 8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove Strata Mangrove No Nama Botani Dewasa Anakan 1 Aegiceras corniculatum 0.3 2.8 2 Avicennia alba 0.4 3 Avicennia lanata 1.5 4 Bruguiera cylindrica 6.3 2.9 5 Bruguiera gymnorhiza 6.0 5.6 6 Bruguiera hainesii 9.0 8.8 7 Ceriops tagal 6.2 9.4 8 Excoecaria agallocha 7.1 7.9 9 Heritiera littoralis 0.9 10 Lumnitzera littorea 11 Lumnitzera racemosa 11.9 2.2 12 Nypa fruticans 2.6 13 Rhizophora apiculata 55.6 41.2 14 Rhizophora mucronata 7.1 6.9 Scyphiphora 15 10.8 25.2 hidrophyllacea 16 Sonneratia alba 1.7 17 Sonneratia ovata 1.2 0.7 18 Xylocarpus granatum 161.8 84.6
Semai 1.4 4.9 2.0 3.9 7.8 3.3 12.3 3.7 1.0 7.8 2.3 6.9 135.9
Tingginya nilai INP X. granatum diindikasikan oleh kemampuannya melakukan perkembangbiakan secara vegetatif, dibuktikan dengan dijumpainya tunas-tunas muda pada batang bekas tebangan. Pada pengamatan lapangan dijumpai dua spesies yang mampu melakukan hal tersebut yaitu X. granatum dan S.ovata (Gambar 8) sedangkan jenis lainnya yang menjadi komoditas kayu, seperti famili Rhizophoracea dan Combretaceae tidak ditemukan tunas yang tumbuh, umumnya batang yang telah ditebang akan mengalami pembusukan dan akhirnya mati.
23
Gambar 8 X. granatum memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif. Tunas muda dapat tumbuh setelah mengalami gangguan berupa pemotongan pada batang. b dan c tunas yang tumbuh menjadi ukuran dewasa dan anakan, d. hal yang sama juga terjadi pada jenis S. ovata Kerapatan mangrove strata semai dan anakan di Sungai Kembung adalah sangat melimpah (semai > 7000 ind/ha dan anakan > 2000 ind/ha) dan strata pohon berada pada angka >2000 ind/ha (Tabel 9). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, mangrove Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.
24
Tabel 9 Kerapatan (ind/ha) strata vegetasi mangrove No
Nama Botani
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Aegiceras corniculatum Avicennia alba Avicennia lanata Bruguiera cylindrica Bruguiera gymnorhiza Bruguiera hainesii Ceriops tagal Excoecaria agallocha Heritiera littoralis Lumnitzera littorea Lumnitzera racemosa Nypa fruticans Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Scyphiphora hidrophyllacea Sonneratia alba Sonneratia ovata Xylocarpus granatum Kerapatan
15 16 17 18
Dewasa 0.6 5.1 14.0 73.2 33.8 65.0 28.7 69.4 4.5 120.4 34.4 622.9 75.8
Strata Mangrove Anakan 22.9 25.5 30.6 89.2 61.1 68.8 22.9 438.2 61.1
Semai 47.8 127.4 95.5 111.5 222.9 63.7 525.5 95.5 15.9 222.9 47.8
96.8
389.8
222.9
11.5 7.0 1,114.0 2,377.1
2.5 1,019.1 2,231.8
6,019.1 7,818.5
Skema Komunitas Mangrove Hasil inventaris lapangan terhadap jenis pohon dan semak, dijumpai sebanyak 32 spesies, 15 di antaranya merupakan mangrove ikutan dan 17 spesies merupakan mangrove sejati, 6 spesies pohon hanya teridentifikasi nama lokal dan satu spesies tidak teridentifikasi (Tabel 10). Spesies-spesies mangrove ikutan memiliki tingkat kehadiran rendah karena terbatasnya jumlah plot transek yang ditempatkan di daerah transisi. O. tigillarium dan Setuak merupakan spesies pohon mangrove ikutan yang sering dijumpai di daerah transisi dengan tingkat kehadiran 4 plot. X. granatum merupakan spesies yang memiliki kehadiran tertinggi, sebanyak 117 plot diikuti oleh R. apiculata (93 plot) dan S. hidrophyllacea (29 plot). Berdasarkan perhitungan tingkat kehadiran, spesies mangrove yang layak digunakan dalam analisis gerombol hanya 10 spesies yaitu: B. cylindrical, E. agallocha, R. mucronata, B. gymnorhiza, C. tagal, B. hainesii, L. racemosa, S. hidrophyllacea, R. apiculata, dan X. granatum. Spesiesspesies tersebut memiliki memiliki tingkat kehadiran >4% (8.9% - 74.5%), sedangkan spesies lainnya memiliki kehadiran kurang dari 4%. Proses eliminasi spesies mangrove tersebut menyebabkan tiga plot transek tidak dapat digunakan, karena tidak dijumpai spesies mangrove penyusun komunitas pada plot tersebut.
25
Tabel 10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari seluruh plot transek No Nama Spesies Kode Kategori Jumlah Kehadiran 1 Ardisia elliptica Ae Ikutan 2 2 Buah Gurah Bg Ikutan 1 3 Cimpo Co Ikutan 2 4 Dendan Laut Dl Ikutan 1 5 Fiscus sp Fs Ikutan 2 6 Flocourtia rukam Fr Ikutan 4 7 Hibiscus tilaceus Ht Ikutan 2 8 Ilex cymosa Ic Ikutan 2 9 Kelat Putih Kp Ikutan 2 10 Oncosperma tigillarium Ot Ikutan 4 11 Pokok Miang Pm Ikutan 1 12 Pouteria obovata Po Ikutan 2 13 Setuak Sak Ikutan 4 14 Terminalia catappa Tc Ikutan 1 15 X XX Ikutan 1 16 Aegiceras corniculatum Ac Sejati 1 17 Avicennia alba Aa Sejati 1 18 Avicennia lanata Al Sejati 4 19 Bruguiera cylindrical Bc Sejati 14 20 Bruguiera gymnorhiza Bg Sejati 20 21 Bruguiera hainesii Bh Sejati 27 22 Ceriops tagal Ct Sejati 22 23 Excoecaria agallocha Ea Sejati 17 24 Heritiera littoralis Hl Sejati 3 25 Lumnitzera racemosa Lr Sejati 27 26 Nypa fruticans Nf Sejati 3 27 Rhizophora apiculata Ra Sejati 93 28 Rhizophora mucronata Rm Sejati 17 29 Scyphiphora hidrophyllacea Sh Sejati 29 30 Sonneratia alba Sa Sejati 5 31 Sonneratia ovate So Sejati 4 32 Xylocarpus granatum Xg Sejati 117 Komposisi INP menujukkan bahwa jumlah spesies penyusun komunitas mangrove di Sungai Kembung terdiri dari 1-6 spesies pohon mangrove (Gambar 9). Umumnya plot transek terdiri dari dua spesies (52 plot), kemudian diikuti oleh komposisi 3 spesies pohon (41 plot) dan konsosiasi atau tegakan tunggal (33 plot). Komposisi tunggal dapat diartikan: i) konsosiasi dengan nilai INP = 300 terdiri dari 25 plot transek, yaitu jenis L. racemosa (2 plot), R. apiculata (13 plot), dan X. granatum (10 plot), sementara 8 plot lainnya memiliki nilai INP kurang dari 300 (8 plot), hal tersebut terjadi akibat proses eliminasi sebelumnya.
26
Gambar 9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek Ilustrasi skema komunitas mangrove di Sungai Kembung disajikan melalui dendogram (Gambar 10). Dendogram adalah diagram pohon yang digunakan untuk menggambarkan susunan klaster dan dihasilkan oleh gerombol hirarki. Sebuah rincian hirarki berdasarkan dendogram suatu komunitas berguna untuk mendefinisikan tingkatan deskriptif yang berbeda. Jarak Bray-Curtis yang digunakan adalah 50%, artinya setiap komunitas mangrove yang dibangun memiliki kemiripan komponen penyusun minimal 50%. Jarak kemiripan yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan Mumby dan Harborne (1999) dan Green et al. (2000) yang menggunakan nilai jarak kemiripan sebesar 60% – 65% dalam mengembangkan habitat lamun, terumbu karang dan mangrove. Green et al. (2000) menambahkan bahwa tidak ada metode pengelompokkan yang sempurna, mengingat ragam metode analisis gerombol cukup banyak dan lokasi pengamatan bervariasi dan keputusan yang dibuat terkadang subjektif terhadap pengelompokkan lokasi pengamatan.
Gambar 10 Dendogram skema komunitas mangrove. Angka pada dendogram menunjukan kelas komunitas mangrove
27
Kemiripan 50% hanya mampu memfasilitasi satu tingkatan skema komunitas mangrove dengan 12 kelas komunitas mangrove. Kelas dengan jumlah anggota terbanyak adalah kelas 1 dan diikuti oleh kelas 2. Empat kelas memiliki satu anggota (kelas 6, 7, 10 dan 11), sedangkan kelas lainnya memiliki jumlah anggota lebih dari dua dan kurang dari tujuh anggota (Gambar 11).
Gambar 11 Jumlah anggota kelas komunitas mangrove. Angka di atas diagram batang merupakan jumlah anggota Pendefenisian Komunitas Mangrove Penelitian ini menggunakan parameter ekologi yaitu indeks nilai penting (INP) dalam membangun komunitas mangrove. Sementara itu peneliti lain menerapkan beberapa data struktur vegetasi berupa: tinggi dan kondisi (Kovacs et al. 2011; Kamal et al. 2014), tinggi dan jenis mangrove (Pellegrini et al. 2009), skema kerapatan (Nayak dan Bahuguna 2001). Penggunaan parameter ekologi dalam pengembangan skema klasifikasi diistilahkan dengan skema struktur. Skema ini menggunakan atribut struktural yang mencirikan jumlah jaringan fotosintesis dan biomasa. Klasifikasi struktural akan lebih mudah digabungkan dengan interpretasi foto udara dan berbagai macam sensor penginderaan jauh (Saenger 2002). Umumnya atribut yang digunakan diperoleh dari hasil pengukuran transek (transek plot dan plotless), pengukuran dilakukan terhadap diameter batang setinggi dada (DBH), tinggi pohon, basal area, kondisi pohon (hidup atau mati) dan informasi lainnya yang dihasilkan dari pengumpulan data lapangan seperti rata-rata ketinggian, rata-rata DBH, kerapatan serta dominansi. Tidak dijumpai standarisasi penamaan kelas komunitas mangrove yang baku dan hal tersebut memberikan peluang bagi para peneliti mengadaptasikan penamaan sesuai dengan kondisi lapangan. Beberapa penamaan yang telah digunakan sebelumnya: menggunakan nama spesies dominan yang dijumpai dari hasil pengamatan lapangan (Lucas et al. 2003; Vaiphasa et al. 2006; Ajithkumar et al. 2008; Neukermans et al. 2008; Chakravortty dan Choudhury 2012; Koedsin dan Vaiphasa 2013) atau penggunaan nama umum (common name) khususnya di
28
daerah Panama, Ekuador (Wang et al. 2004b; Wang dan Sousa 2009; Heumann 2011a) mencantumkan nama ilmiah, seperti: red mangrove (Rhizophora mangle), black mangrove (Avicennia germinan) dan white mangrove (Luguncularia racemosa), penamaan kelas di Malaysia memberikan nama kelas berdasarkan nama lokal seperti: bakau kurap (Rhizophora apiculata), bakau minyak (Rhizophora mucronata) dan kelas lainnya (Kanniah et al. 2007). Penamaan kelas juga menggabungkan satu atau lebih nama genus mangrove (Kasawani et al. 2010), seperti Acanthus-Sonneratia, Avicennia-Sonneratia, Avicennia, Sonneratia campuran dan campuran. Penamaan kelas komunitas mangrove dalam penelitian mengunakan nama spesies yang berkontribusi besar dalam penyusun komunitas mangrove. Kelas skema klasifikasi yang dapat diterapkan pada cita satelit adalah kelas yang memiliki jumlah anggota kelas minimal 4% dari total jumlah sampel. Hanya 2 kelas saja yang mampu memenuhi jumlah minimal tersebut, yaitu kelas 1 (33 anggota) dan 2 (93 anggota). Kelas 3 (6 anggota) memiliki anggota lebih dari 4% namun jumlah tersebut tidak layak diterapkan seluruhnya pengelompokan citra satelit. Jika hanya 2 kelas yang digunakan, 28 anggota tersisa dan tidak dapat digunakan, maka kelas-kelas tersebut digabungkan menjadi satu kelas tersendiri, meskipun konsekuensi nilai kemiripan anggota kelas lebih rendah. Pada akhirnya terdapat 3 kelas komunitas mangrove di Sungai Kembung, kelas 1 adalah komunitas Rhizopora apiculata (Ra), kelas 2 adalah komunitas Xylocarpus granatum (Xg) dan kelas 3 adalah komunitas lainnya (La) (Gambar 12). Kelas komunitas 1 (Ra) dibangun oleh enam spesies mangrove yaitu R. apiculata, X. granatum, L. racemosa, S. hidrophyllacea, B. haenesii, B gymnorhiza. R. apiculata memiliki kontribusi paling besar (97.81%) dalam membangun komunitas, dan sisanya merupakan kontribusi komponen lainnya. Kemiripan plot penyusun komunitas ini adalah 72.28%. Kelas 2 (Xg), dibangun oleh seluruh spesies komunitas. X. granatum merupakan kontributor terbesar dalam membangun komunitas ini (89.11%) dan sisanya merupakan kontribusi dari 9 spesies lainnya. Kemiripan plot penyusun kelas ini lebih rendah dibandingkan kelas 1, yaitu 68.93%. Kelas 3 (La) dibangun oleh hampir seluruh spesies mangrove kecuali B. gymnorhiza. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh keberadaan L. racemosa (36.57%), X. granatum (25.68%), B. haenesii (11.68%) dan sisanya dibangun oleh spesies lainnya. Kemiripan antar plot penyusun paling rendah yaitu 20.60%, karena komunitas ini dibangun dari gabungan 10 kelas komunitas mangrove. Keberadaan spesies-spesies yang memiliki kontribusi terbesar dalam setiap komunitas yang dibangun dapat menjadi penciri pada komunitas tersebut. Secara deskriptif skema klasifikasi hirarki mampu memfasilitasi penerapan penginderaan jauh, namun keterbatasan data penginderaan jauh mempengaruhi penyerapan skema tersebut (Mumby dan Harborne 1999). Beberapa keterbatasan itu di antaranya: i) Kemampuan resolusi spektral yang terbatas, umumnya kemampuan resolusi data multispektral terbatas pada panjang gelombang biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Meskipun beberapa sensor telah memiliki lebih dari itu (Landsat 8 OLI dan WorldView-2). Mumby dan Harborne (1999) menyatakan data multispektral memiliki kemampuan memisahkan habitat dengan baik pada tingkatan kasar, ii) Biaya yang mahal dalam penggunaan data dengan resolusi (spektral, spasial dan temporal) yang lebih baik, untuk memetakan habitat yang lebih detail. Skema klasifikasi yang dijelaskan dalam tulisan ini, diyakini telah
29
mewakili semua komunitas mangrove di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis. Namun skema ini tidak dapat diterapkan pada kawasan lainnya, mengingat komunitas mangrove dipengaruhi banyak faktor seperti yang dijelaskan dengan rinci oleh Kathiresan dan Bingham (2001); Saenger (2002); dan Tomlinson (1986).
Gambar 12 Persentase kontribusi spesies mangrove dalam menyusun kelas komunitas mangrove. Angka pada sumbu X merupakan urutan kelas. Bc= Bruguiera cylindrical, Bg= Bruguiera gymnorhiza, Bh= Bruguiera hainesii, Ct= Ceriops tagal, Ea= Excoecaria agallocha, Lr= Lumnitzera racemosa, Ra= Rhizophora apiculata, Rm= Rhizophora mucronata, Sh= Scyphiphora hidrophyllacea, Xg=Xylocarpus granatum
Simpulan Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove ikutan. Xylocapus granatum dan Rhizophora apiculata merupakan spesies penting penyusun komunitas mangrove. Mangrove di Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat. Berdasarkan hirarki, hanya satu tingkatan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat dikembangkan. Skema tersebut terdiri dari 12 kelas komunitas dan hanya tiga kelas dominan yang dapat diterapkan pada pemetaan komunitas mangrove, yaitu: (1) komunitas Rhizophora apiculata (Ra), 33 sampel (2) komunitas Xylocarpus granatum (Xg), 93 sampel dan (3) komunitas Lainnya (La), 28 sampel.
30
4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN BERBASIS PIKSEL DENGAN ALGORITMA RANDOM FOREST UNTUK PEMETAAN MANGROVE Pendahuluan Heumann (2011b) dan Kuenzer et al. (2011) menyimpulkan bahwa teknik pemetaan mangrove menggunakan aturan/algoritma klasifikasi berbasis piksel merupakan teknik yang paling sering diterapkan. Wang et al. (2008) memetakan spesies mangrove berdasarkan tutupan kanopi yang berasasal dari Citra IKONOS dengan beberapa teknik klasifikasi berbasis piksel seperti back-propagation neural network classifier, clustering-based neural network classifier dan maximum likelihood (ML). Nandy dan Kushwaha (2011) memetakan empat kelas mangrove (Avicennia, Phoenix, mangrove campuran dan mangrove pendek) di Cagar Biosphere Sunderban menggunakan Citra IRS 1D LISS-III dengan teknik klasifikasi terbimbing (maximum likelihood), tidak terbimbing (ISODATA) dan interpretasi visual. Algoritam ML juga diterapkan oleh Alsaaideh et al. (2013) dalam memetakan mangrove di bagian selatan Jepang menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ dan data digital elevation model (DEM). Berbagai penelitian melaporkan akurasi pemetaan berbasis piksel berkisar 75%-90% (Heumann 2011a), namun teknik tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan misalnya kemiripan spekral antara mangrove dengan vegetasi lain yang berada di sekitarnya dan dapat menghadirkan efek salt and pepper (Whiteside dan Ahmad 2005). Benfield et al. (2005) melaporkan bahwa daerah intertidal masih susah dipisahkan dengan mangrove dan mengakibatkan rendahnya akurasi produser mangrove. Al Habshi et al. (2007) menyatakan bahwa spektral citra yang digunakan tidak mampu memisahkan mangrove dari vegetasi lainnya, masih dijumpai kumpulan kecil tanaman di sekitar permukiman dikelompokkan menjadi mangrove. Hadirnya metode klasifikasi berbasis objek yang merupakan pendekatan alternatif terhadap metode berbasis piksel yang selama ini digunakan. Klasifikasi berbasis objek berupaya membangun objek yang “memiliki arti” melalui proses segmentasi citra berdasakan kelompok piksel dengan karakteristik yang serupa sesuai sifat spektral dan spasial (Liu et al. 2006). Unit analisis klasifikasi ini adalah objek hasil segmentasi, setiap objek memiliki fitur atribut yang berasal dari statistik spektral seperti rata-rata band spektral dan deviasi, informasi spasial seperti tekstur citra yang dapat digunakan pada analisis lebih lanjut termasuk klasifikasi citra (de Santiagoa et al. 2013). Metode klasifikasi berbasis objek telah diterapkan pada kajian-kajian pemetaan mangrove, Wang et al. (2004a) menggunakan metode klasifikasi hibrid berbasis piksel dan berbasis objek memetakan mangrove dengan Citra IKONOS. Heumann (2011a) memetakan mangrove secara hibrid menggunakan teknik segmentasi dan aturan klasifikasi support vector machine (SVM). Vo et al. (2013) menggunakan teknis kontektual dalam klasifikasi berbasis objek memetakan mangrove Ca Mau, Vietnam. Sejumlah penelitian lainnya membuktikan bahwa metode klasifikasi berbasis objek lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel (Ali et al. 2009; Whiteside et al. 2011; Duro et al. 2012).
31
Algoritma pengelompokkan data yang dikembangkan untuk penginderaan jauh mulai dari algoritma klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) seperti ISODATA, K-mean, algoritma parametrik seperti ML hingga algoritma machine learning seperti artificial neural network, decision tree, support vector machine dan algoritma yang bersifat ensembles (Rodriguez-Galiano et al. 2012b). Teknik klasifikasi ensambles memberikan hasil akurasi yang lebih baik dibandingkan teknik klasifikasi machine learning lainnya karena merupakan aksi sekumpulan algoritma klasifikasi (Ghimire et al. 2010). Salah satu teknik klasifikasi ensemble adalah random forest (RF), penerapannya dalam bidang penginderaan jauh untuk memetakan penutup lahan mulai banyak diterapkan (Rodriguez-Galiano et al. 2012a; Ghosh et al. 2014; Van Beijma et al. 2014). Namun penerapan algoritma RF dalam memetakan penutup lahan mangrove khusunya komunitas mangrove masih minim dilakukan, selain itu kajian-kajian menggunakan algoritma RF umumnya menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel dan menggabungkannya dengan aplikasi statistik seperti R (Rodriguez-Galiano et al. 2012b; Ghosh et al. 2014). Penerapan RF menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek masih jarang dikaji dalam pemetaan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan komunitas mangrove dengan berbagai input image layer (IIL) menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek (algoritma RF) dan membandingkannya dengan metode klasifikasi berbasis piksel (algoritma ML).
Metode Pengumpulan Data Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari: (i) Landsat 5 TM, (ii) SPOT 6 multispektral, (iii) SPOT 6 pankromatik, (iv) ALOS PALSAR dan (v) SENTINEL-1. Skema klasifikasi penutup lahan mengacu BSN (2010), yaitu kebun kelapa (KA), kebun karet (KT), semak belukar (SB), vegetasi transisi mangrove (TO), mangrove (ME), lahan terbuka (LT), lahan terbangun (LN), badan air (BA). Pengamatan lapangan kelas penutup lahan dibantu menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang merupakan fusi citra (Aiazzi et al. 2006) multispektral SPOT 6 (6 meter) dan pankromatik SPOT 6 (1.5 meter). Penentuan posisi sampel menggunakan alat penentu posisi (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan aplikasi ArcPAD versi 10. Mengingat akses yang terbatas, maka pengamatan penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove. Sebanyak 469 titik pengamatan dibuat secara acak menggunakan ArcGIS Desktop. 176 di antaranya digunakan training area dan 293 digunakan untuk uji akurasi hasil pemetaan masing-masing penutup lahan. Pengolahan Citra Satelit Pengolahan data dalam penelitian terdiri dari: (i) pra pengolahan, (ii) karakterisasi spektral citra multispektral, (iii) optimasi parameter pembangkit objek, (iv) klasifikasi (berbasis objek dan piksel) dan (v) validasi hasil klasifikasi.
32
Karakterisasi Spektral Citra Multispektral Sebuah uji statistik digunakan untuk membedakan respon spektral dari penutup lahan dan komunitas mangrove di Sungai Kembung, dan diharapkan terdapat minimal satu pasangan di antaranya terdapat perbedaan secara statistik untuk setiap band, hipotesis nol (H0) µ1=µ2,... µ3 dan hipotesis alternatif (Ha): µ1≠ µ2,…µ3 merupakan reflektansi rata-rata dari komunitas ke-i (i=1,2,3). Hipotesis diuji menggunakan one way ANOVA (analysis of variace/analisis sidik ragam) pada setiap band dengan tingkat kepercayaan 95% dan 99% (α= 0.05 dan α= 0.01). Tujuan analisis sidik ragam adalah untuk memvisualisasikan perbedaan spektral antara kelas penutup lahan dan komunitas mangrove. Uji tersebut dilakukan sebagai pengganti penyajian grafik respon spektral, karena penyajian langsung secara grafis kurang efektif membandingkan antar kelas, dengan kata lain variasi spektral di antara komunitas yang disebabkan oleh tumpang tindih spektral susah dibedakan di antara komunitas tersebut. Penggunaan uji sidik ragam membantu untuk menentukan spektral yang tidak responsif dimana nilai-p lebih lesar dari α. Analisis ini merupakan cara cepat untuk mengetahui perbedaan sepktral (Vaiphasa et al. 2005), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncant new multiple range test (MRT) (Harter 1960), untuk menentukan nilai kritikal (signifikansi). Separabilitas spektral Uji ANOVA merupakan perangkat ekplorasi data, namun hasil uji tersebut sebaiknya diuji lanjut dengan perlakuan lain. Vaiphasa et al. (2005) menggunakan separabilitas spektral citra satelit yang digunakan untuk mengetahui indeks separabilitas setiap pasangan komunitas mangrove guna menjamin perbedaan aktual antara komunitas mangrove. Indeks separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarak Jeffries-Matusita (J-M). Jarak J-M menghasilkan nilai antara 0 dan 2 (Vaiphasa et al. 2005). Nilai lebih besar sama dengan 1.9 mengindikasikan apakah dua komunitas mangrove dapat dipisahkan secara spektral. Perhitungan jarak J-M berdasarkan persamaan: 𝐽 − 𝑀𝑖𝑗 = √2(1 − 𝑒 −a ) dimana 1
𝑇
𝐶𝑖 +𝐶𝑗 −1
𝑎 = 8 (𝜇𝑖 − 𝜇𝑗 ) (
2
)
(12) 1
1⁄ |𝐶 +𝐶 | 2 𝑖 𝑗
(𝜇𝑖 − 𝜇𝑗 ) + 2 𝑙𝑛 (
)
(13)
√|𝐶𝑖 |𝑥|𝐶𝑗 |
i dan j merupakan respon spektral dari dua kelas penutup lahan atau komunitas mangrove yang dibandingkan; C merupakan matrik kovarian dari respon spektral; µ merupakan vektor rata-rata respon spektral; ln merupakan fungsi logaritma natural; T merupakan fungsi transposisi; dan |C| adalah determinan dari C. Optimasi parameter pembangkit objek (segmentasi) Segmentasi citra merupakan fungsi prinsip yang memisahkan citra menjadi kawasan-kawasan terpisah atau objek berdasarkan parameter yang telah ditentukan, karena itu dapat meminimalkan variabilitas di antara objek. Segmentasi dapat dilakukan lebih dari satu jenis data (Nascimento Jr et al. 2013). Parameter segmentasi terdiri dari tiga parameter, yaitu: shape, compactness, dan scale. Nilai yang digunakan oleh parameter shape dan compactness berkisar 01. Faktor shape mengatur homogenitas spektral dan bentuk objek. Faktor compactness menyeimbangkan kekompakan dan kehalusan, menentukan bentuk
33
objek antara batas yang halus dan tepi yang kompak. Parameter scale mengatur ukuran objek yang sesuai dengan kebutuhan pengguna berdasarkan tingkat kedetailan dan merupakan parameter kunci dalam segmentasi citra. Keputusan nilai skala tergantung pada ukuran objek yang dibutuhkan. Pengguna juga diberikan kesempatan untuk memberikan bobot yang berbeda pada setiap layer input yang digunakan pada proses segmentasi (Myint et al. 2008). Secara prinsip, parameter scale tidak terbatas. Keputusan akhir dinyatakan oleh pengguna berdasarkan interpretasi visual terhadap citra dibandingkan kriteria kuantitatif. Penentuan nilai parameter skala maksimal merupakan suatu tantangan tersendiri, dalam kajian ini hanya digunakan beberapa kombinasi parameter pembangkit objek, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengujian seluruh nilai dalam memperoleh nilai optimum (Myint et al. 2008). Optimasi parameter pembangkit objek dilakukan terhadap beberapa kombinasi nilai parameter yang sering digunakan. Parameter yang diuji terdiri dari: i) multiresolution segmentation (MRS), terdiri dari scale (SC), shape (SH), compactness (CO) dan ii) spectral different algoritm (SDA), hanya menggunakan parameter scale (Tabel 11). Tabel 11 Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai parameter terbaik No Segmentasi Parameter Scale Shape Compactness 1 MRS 5 0.1 0.9 10 0.5 0.5 30 0.1 0.9 50 100 150 200 300 500 1000 2 SDA 5 10 30 50 75 Optimasi parameter RF RF merupakan kombinasi sejumlah k pohon keputusan (classification and regression tree/CART) non-parametrik. Pohon keputusan mirip dengan hirarki, yang terdiri dari simpul akar, termasuk seluruh contoh, simpul pemisah yang memiliki aturan keputusan dan simpul daun akhir, yang merepresentasikan kelas-kelas yang diinginkan. RF menggabungkan metode bagging (bootstrap aggregating) (Breiman 1996) dan pemilihan fitur secara acak (random feature selection) untuk membangun pohon keputusan dengan varian yang terkontrol. Pemilihan mayoritas mengkombinasikan hasil dari pohon keputusan k, dalam menghasilkan klasifikasi akhir. Setiap pohon pada RF dilatih menggunakan
34
subset data latihan yang dipilih secara acak (sekitar sepertiga dari jumlah data). Data latihan lainnya, dinamakan out-of-bag (OOB), mampu melakukan validasi silang seperti melakukan uji akurasi melalui estimasi kesalahan OOB. Aturan pemisahan RF berdasarkan sebuah subset m dari seluruh fitur n, nilai m ditentukan oleh pengguna m < n (Breiman 2001) Parameter RF yang diuji adalah jumlah maksimum kedalaman pohon (depth), jumlah minimum sampel setiap simpul (minimum number of sample per node/sample), dan jumlah maksimal pohon (max tree number/tree) (Tabel 12) Pengujian mengikutkan nilai parameter segmentasi terbaik. Sebelum teknik klasifikasi diterapkan, dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter pembangkit objek (segmentasi) dan parameter algoritma RF. Optimasi hanya dilakukan terhadap IIL M8 dan hasilnya diterapkan pada IIL M7, M8, M9 dan M10. Sementara IIL M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 parameter yang digunakan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015b). Tabel 12 Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Depth 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 50 100 200 500 1000
Parameter Node 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 50 100 200 500 1000
Tree 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Klasifikasi berbasis objek Input Image Layer (IIL) IIL merupakan sekumpulan data yang terdiri dari sejumlah band citra satelit yang digunakan. Penelitian ini menggunakan model IIL yang berasal dari Citra Landsat 5 TM (L5), SPOT 6 (S6), SPOT 6 yang telah difusi dengan pankromatik (S6+Pan), ALOS PALSAR (PALSAR) dan SENTINEL-1 (Tabel 13 ). IIL berperan sebagai sumber pembangkit objek dalam proses segmentasi dan sumber fitur atribut dalam implementasi algoritma klasifikasi RF. IIL dibangun melalui proses stacking (Tso dan Mather 2009), sebuah proses penumpukan sejumlah layer berdasarkan input (band) yang digunakan dan disimpan menjadi sebuah dataset baru.
35
Tabel 13 Model IIL dalam klasifikasi berbasis objek dan piksel Model
Komposisi layer/band
Res. spasial
M1
PALSAR
HH
HV
M2
SENTINEL-1
VV
VH
M3
L5
B
H
M
IMD
M4
L5 + PALSAR
B
H
M
IMD
HH
HV
M5
L5
B
H
M
IMD
IMM
IMJ
M6
L5 + PALSAR
B
H
M
IMD
IMM
IMJ
M7
S6
B
H
M
IMD
M8
S6 + SENTINEL-1
B
H
M
IMD
VV
VH
5; 10
M9
S6 + Pan
B
H
M
IMD
M10
S6 + Pan + SENTINEL-1
B
H
M
IMD
VV
VH
5; 10
12.5 10 30 30; 12.5 30 HH
HV
30; 12.5 5 5
Keterangan: B: Biru; H: Hijau; M: Merah; IMD: Inframerah dekat; IMM: Inframerah tengah; IMJ: Inframerah jauh; HH: Horisontal-horisontal; HV: Horisontal-vertikal; VV: Vertikal-vertikal; VH: Vertikal-horisontal. Res. Spasial: resolusi spasial citra yang digunakan
Fitur atribut Fitur atribut merupakan sekumpulan nilai yang berasal dari spektral segmentasi dari setiap IIL yang digunakan. Nilai tersebut dapat berupa nilai statistik dasar seperti rata-rata, minimum, maksimum, standar deviasi. Nilai fitur atribut dapat berasal dari fungsi customize. Penelitian ini menggunakan fitur customize NDVI dan NDWI dan beberapa fitur statistik lainnya (Tabel 14). Tabel 14 Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF Fitur atribut No
Input model
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
Customize NDVI NDWI + + + + + + + + + + + + + + + +
M
SD
MDN
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +
Keterangan: M: rata-rata, Sd: standar deviasi, MDN: mean different to neighbour; +: menggunakan; -: tidak menggunakan.
Pohon proses Klasifikasi berbasis objek diatur pada dua tingkatan (level). Tingkatan pertama diterapkan pada klasifikasi penutup lahan mangrove dan tingkatan kedua klasifikasi komunitas mangrove. Kedua tingkatan dihubungkan oleh sebuah hubungan ‘induk dan anak’ (parent child relationship). Hubungan tersebut membangun hirarki antara kelas mangrove terhadap komunitas mangrove. Seluruh perintah klasifikasi berbasis objek dikelola oleh sebuah modul dengan nama pohon proses (process tree) (Gambar 13). Pohon proses dapat terdiri dari satu
36
pohon atau lebih dari pohon induk (parent) dan setiap pohon induk dapat memiliki lebih dari satu anak (child) dan setiap child dapat memiliki child turunannya, begitu seterusnya. Parent dapat mengeksekusi proses yang ada di dalam atau di bawahnya, sementara kemampuan child hanya terbatas pada algoritma yang ada di dalamnya. Tidak ada ketentuan yang baku dalam pengembangan pohon proses ini, mengingat eCognition Developer memiliki banyak algoritma yang dapat dikombinasikan satu sama lainnya untuk mendapatkan objek yang diinginkan.
Gambar 13 Pohon proses yang berfungsi mengelola aturan klasifikasi berbasis objek Pohon proses yang dikembangkan, terdiri dari beberapa aturan utama (rules set) yaitu: i) segmentasi, terdiri dari algoritma multiresolution segmentation dan spectral different algorithm, chessboard segmentation ii) membangun skema kelas yang berasal dari data tematik (shapefile) dengan algoritma assign class from thematic layer dan iii) penerapan algoritma klasifikasi RF, algoritma yang digunakan adalah classifier. Algoritma tersebut melatih objek yang telah ditetapkan sebagai training area dan mengeksekusi aturan klasifikasi. Klasifikasi berbasis piksel Klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma maximum likelihood (ML). ML merupakan metode klasifikasi terbimbing berbasiskan teorema Bayes (objek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal). ML menggunakan fungsi diskriminan (kerapatan probabilitas/probability density). Pada saat klasifikasi, seluruh piksel yang belum
37
terkelaskan diatur menjadi anggota kelas yang telah ditentukan berdasarkan kemunculan probabilitas tertinggi pada setiap kelas. Jika nilai probabilitas suatu kelas lebih kecil dari nilai ambang batas yang ditentukan maka, piksel tersebut tidak dikelompokkan (Jensen 2005; Richards 2013). Fungsi diskriminan ML dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑔𝑖 = 𝑙𝑛 𝑝(𝜔𝑖 ) − 1⁄2 𝑙𝑛|∑𝑖
| − 1⁄2 (𝑥 − 𝑚𝑖 )𝑇 ∑−1 𝑖 (𝑥 − 𝑚𝑖 )
(14)
i adalah kelas, x adalah data dimensi-n (n adalah jumlah band), 𝑝(𝜔𝑖 ) adalah probabilitas kehadiran kelas 𝜔𝑖 ada pada seluruh data dan diasumsikan sama pada seluruh kelas, Σi matrik kovarian pada kelas 𝜔𝑖 , Σ𝑖 -1 adalah matrik invers dan mi adalah vektor rata-rata. Klasifikasi berbasis piksel pada tidak mengenal tingkatan (level), namun penelitian ini merujuk teknik klasifikasi berbasis objek, selanjutnya istilah level diganti dengan tahapan. Dua tahapan diterapkan, tahapan pertama adalah klasifikasi penutup lahan dan tahapan kedua adalah klasifikasi komunitas mangrove berdasarkan distribusi mangrove yang dihasilkan oleh tahapan pertama. IIL klasifikasi berbasis piksel menggunakan IIL klasifikasi berbasis objek. Agar perbandingan hasil klasifikasi lebih adil, maka training area algoritma ML berasal dari training algoritma RF.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Spektral Reflektansi spektral permukaan penutup lahan Reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM disajikan pada Gambar 14. Kelas penutup lahan yang merupakan kelompok vegetasi seperti kebun karet (KT), kebun kelapa (KA), mangrove (ME), semak (SK) dan vegetasi transisi (TI) memiliki pola yang sama dengan intensitas yang berbeda. Panjang gelombang biru memiliki nilai reflektansi paling rendah, selanjutnya reflektansi meningkat pada panjang gelombang hijau dan turun kembali pada panjang gelombang merah. Reflektansi meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada panjang gelombang inframerah dekat (IMD). Khusus citra Landsat 5 TM, fungsi reflektansi masih dapat divisualisasikan melalui panjang gelombang inframerah tengah (IMM) dan jauh (IMJ) yang cenderung menurun.
38
a
b Gambar 14 Kurva reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan a. Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM. BA: badan air, KA: kebun kelapa, KT: Kebun karet, LA: Lahan terbuka, LN: Lahan terbangun, SK: Semak belukar, dan TI: Vegetasi transisi Reflektansi kelas lahan dibangun (LN) dan lahan terbuka (LA) memiliki pola yang sama. Kecenderungan reflektansi meningkat seiring dengan bertambah panjangnya panjang gelombang dan menurun pada panjang gelombang IMM dan IMJ namun dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas penutup lahan KT, KA, ME SK dan TI. Reflektansi kelas badan air (BA) memiliki pola yang berbeda dengan kelas lainnya, nilai reflektansinya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelas penutup lahan lainnya. Panjang gelombang biru memiliki reflektansi air paling tinggi dibandingkan panjang gelombang lainnya. Kecenderungan reflektansi air menurun seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa reflektansi spektral Citra SPOT 6 merupakan faktor penentu kelas penutup lahan (r2=69.51%) sedangkan reflektansi spektral citra Landsat 5 TM lebih baik lagi (r2=77.97%). Berdasarkan tabel analisis
39
sidik ragam kedua citra diperoleh nilai F hitung SPOT 6 (4.7874); Landsat 5 TM (10.3242), keduanya lebih besar dari pada F tabel, maka hasil analisis ini menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif bahwa ada perbedaan reflektansi spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam analisis ini dapat dinyatakan terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05). Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok reflektansi spektral yaitu kelompok spektral tampak (Band 1, 2 dan 3) yang tidak berbeda nyata dan kelompok spektral beda nyata dengan spektral lainnya yaitu IMD. Spektral tersebut dapat dijadikan sebagai penciri Citra SPOT 6, sementara citra Landsat terdapat tiga kelompok spektral yaitu kelompok reflektansi spektral Band 1, 2, 3 dan 6 berbeda nyata terhadap Band 5 dan berbeda nyata terhadap Band 4. Reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan dari citra SPOT 6 dikelompokan menjadi tiga, yaitu kelompok lahan dibangun (LN), sementara kelas mangrove (ME) memiliki karakter reflektansi spektral yang sama dengan kelas penutup lahan kebun karet (KT), kebun kelapa (KA), vegetasi transisi (TI) dan lahan terbuka (LA), kelompok lainnya adalah badan air (BA) dan semak belukar (SK). Karakteristik spektral citra Landsat 5 TM sedikit berbeda, terdiri dari: kelompok lahan terbangun (LN), semak (SK), kebun karet (KT) dan lahan terbuka (LA), kelas mangrove memiliki karakteristik reflektansi spektral yang sama dengan vegetasi transisi (TI) dan kebun kelapa (KA), sedangkan badan air memiliki karakteristik yang berbeda dengan penutup lahan lainnya. Reflektansi spektral vegetasi merupakan fungsi optik jaringan (daun, batang kayu) atribut biofisik kanopi (daun, orientasi daun dan gerombolan daun), reflektansi daun, kondisi pencahayaan dan posisi geometri. Penginderaan jauh vegetasi tergantung dari ekosistem (padang rumput, semak belukar, hutan) yang diamati. Struktur atribut ekosistem menentukan kontribusi relatif reflektansi spektral, yaitu daun, kanopi dan penutup lahan (Asner 1998). Molekul yang menyerap panjang gelombang tampak (350-700 nm) dinamakan pigmen. Puncak reflektansi pada gelombang tampak berada pada panjang gelombang hijau biasanya 10-20 %, sementara reflektansi rendah berada spektrum gelombang biru dan merah sekitar 2-5 %. Daun hijau yang sehat, reflektansi inframerah dekat bertambah secara dramatis pada spektrum 700-1200 nm. Reflektansi dapat mencapai 76% dan menyerap panjang gelombang biru dan merah secara efisien, karena digunakan untuk fotosintesis. Komponen yang mengatur jumlah reflektansi inframerah dekat adalah lapisan spongi mesofil, layer ini berada di bawah layer palaside. Reflektansi inframerah dekat dapat mencapai 40-60 % dan penyerapan hanya sekitar 5-10% (Jensen 2007). Reflektansi spektral permukaan komunitas mangrove Reflektansi spektral komunitas mangrove disajikan pada Gambar 15. Pola reflektansi komunitas mangrove mirip dengan pola reflektansi spektral vegetasi yang telah dijelaskan pada reflektansi vegetasi penutup lahan. Kurva reflektansi spektral menyajikan seluruh kelas yang dihasilkan dari pengembangan skema klasifikasi. Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara reflektansi spektral terhadap kelas komunitas mangrove. Citra SPOT 6 dapat menentukan hubungan tersebut sebesar 99.81% sementara Citra Landsat 5 TM sebesar 99.65%. Berdasarkan tabel analisis sidik ragam diperoleh nilai F hitung lebih besar (629.18 (SPOT 6) dan 404.72 (Landsat 5 TM) dari pada F tabel
40
(0.0001), maka hasil analisis ini menolak hipotesis awal dan menerima hipotesis bahwa ada perbedaan reflektansi spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam analisis ini dapat dinyatakan terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05).
a
b Gambar 15 Kurva reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung. a.Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM Uji Duncan menyatakan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata reflektansi spektral citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM. Citra SPOT 6 menyatakan bahwa setiap spektral band Citra SPOT 6 berbeda nyata satu sama lainnya, sementara pada citra Landsat 5 TM terdapat empat kelompok pembeda yaitu band IMD; IMM; kelompok band hijau, merah, biru; dan kelompok IMJ, sementara tidak ada perbedaan nyata respon reflektansi spektral permukaan di antara tiga kelas komunitas mangrove pada kedua citra satelit yang digunakan. Vaiphasa et al. (2005), menyatakan bahwa pigmen daun (klorofil dan karotenoid) mangrove yang berinteraksi pada panjang gelombang tampak (380-759 nm) kurang memberikan pengaruh terhadap diskriminasi spesies mangrove
41
dibandingkan dengan respon spektral komponen daun lainnya (garam, gula, air, protein, lignin, selulosa dan struktur daun) yang berinteraksi dengan energi elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih panjang. Wang dan Sousa (2009) menambahkan bahwa panjang gelombang yang paling penting dalam mendiskriminasi spesies mangrove berada pada panjang gelombang inframerah dekat plateau dari 780-810 nm dan perbandingan panjang gelombang shortwave infrared (SWIR) yaitu pada panjang gelombang 1490, 1560 dan 1580 nm, juga mampu meningkatkan pemisahan spesies mangrove, khususnya spesies A. germinans, L. racemosa dan R. mangle. Separabilitas Uji separabilitas dilakukan terhadap penggunaan seluruh band SPOT 6 dan Landsat 5 TM dan harus memisahkan sebanyak 28 pasangan kelas penutup lahan (Tabel 15). Hasil seperabilitas citra SPOT 6 mampu memisahkan 21 pasang kelas penutup lahan. Tujuh pasang kelas yang tidak bisa dipisahkan terdiri dari KA-KT, KA-ME, KA-TI, KT-TI, LA-LN serta ME-TI. Spektral kelas mangrove masih dipengaruhi oleh dua kelas lainnya yaitu KA dan TI. Sementara citra Landsat TM tidak mampu memisahkan 6 pasangan kelas yaitu BA-KA, KAKT, KA-SK, KA-TI, LA-LN, ME-TI serta SK-TI. Kelas mangrove hanya dipengaruhi oleh kelas vegetasi transisi saja. Pemisahan kelas mangrove citra Landsat 5 TM lebih baik dibandingkan citra SPOT 6. Pasangan kelas yang memiliki keterpisahan paling rendah oleh kedua citra adalah kelas lahan terbuka dan lahan dibangun. Beberapa lahan terbuka di lokasi penelitian berupa tanggul yang telah lama mengering dan tidak ditumbuhi lagi oleh vegetasi dan beberapa objek lahan dibangun, khususnya jalan (dibangun oleh beton) telah mengalami kerusakan sehingga memungkinkan terjadi kemiripan spektral permukaan pada kedua kelas tersebut. Secara umum separabilitas Citra Landsat 5 TM lebih baik dibandingkan Citra SPOT 6. Nilai rata-rata separabilitas citra SPOT 6 berada pada status tidak dapat dipisahkan (1.856) dan Citra Landsat 5 TM dengan status dapat dipisahkan (1.922). Perbedaan jumlah spektral yang dimiliki Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM, berpengaruh terhadap pemisahan kelas komunitas mangrove terutama pada spektrum inframerah. Spektrum inframerah sangat berperan dalam mendiskriminasi objek vegetasi pada permukaan citra (Jensen 2005; Richards 2013). Selain itu dinyatakan juga bahwa penggunaan lebar spektrum yang berbeda pada panjang gelombang elektromagnetik yang sama juga akan menghasilkan akurasi yang berbeda. Mengingat sensitifitas objek permukaan terhadap panjang gelombang juga berbeda (Gao 1999; Wang et al. 2004b). Kemiripan spektral mangrove dengan kebun kelapa dan vegetasi transisi sangat mungkin terjadi, ketiga kelas tersebut berada pada daerah yang berdekatan, berdasarkan topologi spasial maka ketiga kelas tersebut berbatasan (adjacent). Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dibeberapa lokasi tumbuhnya mangrove yang dijumpai di lapangan merupakan bekas kebun kelapa dan kemiripan pengaruh ekologi seperti pasang surut memberikan kesempatan kemiripan spektral di antara kedua kelas penutup lahan tersebut. Begitu juga halnya dengan kelas vegetasi transisi, selain itu kelas vegetasi transisi dibangun oleh vegetasi mangrove ikutan.
42
Tabel 15 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Kelas BA KA SPOT 6 BA 2.000 KA KT LA LN ME SK TI Landsat 5 TM BA 2.000 KA KT LA LN ME SK TI
KT
LA
LN
ME
SK
TI
2.000 1.518
1.899 1.942 1.998
1.972 1.971 1.989 1.488
2.000 1.684 1.968 1.997 1.992
2.000 1.951 1.994 2.000 1.999 1.999
2.000 0.949 1.761 1.995 1.986 0.976 1.952
2.000 1.899
1.995 1.935 2.000
1.996 1.955 1.986 1.180
2.000 1.973 2.000 1.999 1.999
2.000 1.820 1.910 2.000 1.982 1.993
2.000 1.547 1.997 1.997 1.992 1.892 1.772
Hasil separabilitas antar kelas komunitas mangrove disarikan pada Tabel 16 Kedua citra satelit yang digunakan tidak mampu memisahkan tiga pasangan kelas komunitas mangrove. Citra SPOT 6 memiliki kemampuan separabilitas komunitas mangrove yang lebih rendah dibandingkan Citra Landsat 5 TM. Nilai rata-rata separabilitas Citra SPOT 6 dalam memisahkan tiga pasang kelas komunitas mangrove adalah 0.681 dan Citra Landsat 5 TM 0.781. Kedua citra mampu memisahkan lebih baik kelas Ra-Xg kemudian diikuti oleh Xg-La dan paling rendah adalah Ra-Xg. Nilai spektral La dipengaruhi oleh semua jenis mangrove dengan heterogenitas kemiripan pembangun komunitas yang tinggi. Beberapa komponen penyusun kelas komunitas Ra dan La menurut Vaiphasa et al. (2005) tidak mampu dipisahkan di laboratorium, berdasarkan pengukuran spektrometer dan menggunakan algoritma jarak pemisah yang sama dalam penelitian ini.
43
Tabel 16 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove. Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M antara pasangan komunitas mangrove. Ra SPOT 6 Ra Xg La Landsat 5 TM Ra Xg La
Xg
LA
0.915
0.518 0.607
1.011
0.517 0.814
Optimasi Parameter Segmentasi Pengaruh parameter segmentasi dapat terlihat secara jelas terhadap objek yang dihasilkan. Semakin besar nilai scale, objek yang dihasilkan lebih besar, sementara pengaruh shape dan compactness pada nilai scale yang sama menghasilkan ukuran dan jumlah objek yang berbeda. Terbukti bahwa parameter segmentasi mempengaruhi bentuk, ukuran dan jumlah objek yang dihasilkan (Gambar 16).
Gambar 16 Hasil uji coba dengan beberapa kombinasi parameter segmentasi. Parameter segementasi disimbolkan oleh: SC: scale, SH: shape CO: compactness, SDA: scale pada algoritma spectral different algorithm. Angka disamping simbol merupakan nilai yang digunakan oleh masing-masing parameter. Objek disimbolkan oleh garis-garis berwarna kuning Algoritma segmentasi MRS sudah terbukti sebagai salah satu solusi dalam membangkitkan objek dalam kerangka analisis citra berbasis objek. Algoritma ini
44
relatif komplek dan subyektif, penilaian akhir dilakukan oleh pengguna berdasarkan kriteria homogenitas/heterogenitas yang digunakan untuk mengatur algoritma tersebut (Witharana dan Civco 2014). Parameter pengatur homogenitas terdiri dari scale, shape dan compactness. Scale merupakan abstraksi nilai maksimum heterogenitas dalam membangkitkan objek. Shape merupakan homogenitas tektur IIL, shape juga berkaitan dengan nilai digital IIL dimana pengaruh color dapat dihitung dari satu dikurangi shape, dan compactness berperan dalam mengoptimalkan kekompakan objek yang berasal dari shape (Trimble, 2014). Hubungan antara parameter scale terhadap akurasi dan jumlah objek yang dihasilkan disajikan pada Gambar 17. Nilai parameter scale dipengaruhi oleh nilai parameter shape dan compactness. Pengaruh nilai scale terhadap jumlah objek terhadap shape dan compactness adalah sama, yaitu semakin besar nilai scale yang digunakan semakin sedikit jumlah objek yang dihasilkan. Sementara akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma RF dipengaruhi oleh parameter segmentasi. Semakin besar nilai parameter scale semakin besar pula akurasi yang dicapai (Gambar 17.a). Akurasi optimum (74%). diperoleh melalui nilai scale 200, nilai akurasi mulai turun ketika nilai scale mencapai 300 hingga 500, nilai scale selanjutnya tidak dapat dilanjutkan karena luasan objek mempengaruhi nilai fitur objek yang dihitung oleh algoritma klasifikasi RF. Optimalisasi masih dilanjutkan dengan menggunakan algoritma SDA dengan peningkatan akurasi mencapai 75%. Pola kenaikan akurasi klasifikasi yang dihasilkan berbeda dengan dua pola lainnya (Gambar 17.b). Nilai optimum akurasi (76%) diperoleh melalui nilai scale 150 dan nilai optimum tersebut lebih baik dibandingkan nilai optimum sebelumnya. Proses segmentasi berhenti pada nilai scale 300 karena permasalahan yang sama dengan proses sebelumnya. Nilai optimum pada nilai scale yang lebih rendah lagi, yaitu 100. Nilai akurasi optimum yang dapat dicapai adalah 75% (Gambar 17.c). Secara umum segmentasi tidak dapat menghasilkan partisi objek yang sempurna (Burnett dan Blaschke 2003), teknik uji coba diperlukan untuk memperoleh hasil optimum. Schiewe (2002) menambahkan bahwa dalam proses segmentasi sering dihasilkan over-segmentation (objek terlalu banyak dan kecil) serta undersegmentation (objek terlalu sedikit dan besar). Hal tersebut hadir dipicu oleh penentuan heterogenitas/homogenitas objek.
45
a
b
c Gambar 17 Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1
46
Optimasi Parameter RF Pengaruh parameter algoritma RF terhadap akurasi disajikan oleh Gambar 18. Penggunaan nilai parameter dengan nilai default (0, 0 dan 50 untuk depth, sample dan tree) menghasilkan nilai akurasi sebesar 75.2%. Nilai akurasi turun drastis menjadi 15.5%, ketika parameter depth menggunakan nilai 1, dan naik kembali seiring dengan bertambahnya nilai depth. Nilai akurasi mencapai kestabilan pada nilai depth, 20-1000. Penggunaan nilai sample 1-10 menghasilkan nilai akurasi yang berfluktuasi rendah antara 0.1-2.8% dengan Nilai akurasi berkisar 75.280.0%. Penggunaan nilai sample yang lebih besar dari 10 cenderung menurunkan nilai akurasi. Peningkatan jumlah pohon yang digunakan relatif tidak meningkatkan akurasi klasifikasi. Akurasi tertinggi diperoleh melalui 100 pohon klasifikasi, nilai lainnya menghasilkan akurasi dengan flktuasi yang kecil dan cenderung stabil. Meskipun pernah dilaporkan oleh Clifton (2005) bahwa kestabilan hasil dapat diperoleh melalui 50-100 jumlah pohon, namun dalam penelitian nilai stabil diperoleh 200 pohon.
Gambar 18 Hasil optimisasi parameter RF Penerapan algoritma klasifikasi dalam klasifikasi berbasis objek sangat direkomendasikan untuk melakukan uji optimasi terhadap parameter segmentasi dalam menentukan objek (bentuk, ukuran dan jumlah) yang lebih baik dalam proses klasifikasi. Penggunaan objek yang terlalu banyak, berakibat terhadap lamanya waktu yang diperlukan dalam kalkulasi klasifikasi, sedangkan ukuran objek yang lebih besar juga mempengaruhi representasi objek lapangan. Bentuk objek yang dihasilkan berpengaruh terhadap detail objek citra permukaan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengujian optimasi nilai optimum parameter segmentasi dan algoritma RF nilai yang digunakan adalah 50, 0.1, 0.9 dan 5 untuk scale, shape, compactness, scale pada algoritma SDA dan parameter algoritma RF yang digunakan adalah 20, 3 dan 500 untuk depth, sample dan tree.
47
Klasifikasi Penutup Lahan (Level 1) Hasil klasifikasi penutup lahan menggunakan pendekatan berbasis objek dan berbasis piksel disajikan pada Gambar 19. Kedua teknik klasifikasi mampu mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan, dengan hasil pemetaan yang berbeda-beda. Hasil akurasi keseluruhan penutup lahan yang terbaik menggunakan klasifikasi berbasis objek diperoleh IIL M6, sebesar 81.6%, dengan akurasi produser 96.5% dan akurasi pengguna sebesar 91.7%. Akurasi klasifikasi berbasis piksel terbaik juga diperoleh IIL M6, dengan nilai akurasi keseluruhan lebih rendah 80.2%, produser sebesar 98.2% dan akurasi pengguna 88.4%. Pendekatan penggunaan data optik dan SAR mengurangi resiko dalam pendeteksian penutup lahan dibandingkan hanya menggunakan salah satu data saja (McNairn et al. 2009). Moghaddam et al. (2002) menambahkan, penambahan IIL yang berbeda dari spektrum elektromagnetik memperluas dimensi dari ruang data, maka berpotensi meningkatkan akurasi dan meningkatkan jangkauan validitas data produk. Oleh karena itu, kombinasi data Landsat 5 TM dan ALOS PALSAR dalam algoritma klasifikasi mampu meningkatkan hasil klasifikasi dan mengurangi ketidakpastian tentang perkiraan dari citra tersebut. Berbasis objek
Berbasis Piksel
M1
M2 Keterangan
Gambar 19 Perbandingan hasil klasifikasi penutup lahan berbasis objek dan berbasis piksel
48
Berbasis objek
Berbasis Piksel
M3
M4
M5
M6 Keterangan
Gambar 19 Lanjutan
49
Berbasis objek
Berbasis Piksel
M7
M8
M9
M10 Keterangan Gambar 19 Lanjutan Klasifikasi berbasis objek memetakan penutup lahan lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, untuk seluruh IIL kecuali M2. Peningkatan akurasi keseluruhan dijumpai dari 1% hingga 24.5%. Khusus kelas mangrove, IIL SAR menggunakan klasifikasi berbasis objek menghasilkan akurasi pengguna <85%, sementara IIL lainnya >85%. Berbeda dengan klasifikasi berbasis piksel hanya satu IIL yang mampu menghasilkan akurasi IIL > 85% yaitu M6, sebesar 88.4%. IIL lainnya menghasilkan akurasi pengguna <85%. Merujuk Congalton dan Green
50
(2009) pemetaaan penutup lahan melalui kedua klasifikasi yang tidak mencapai tingkat memuaskan (>85%). IIL tersebut tidak dilanjutkan pada pemetaan komunitas mangrove (Level 2) pada kedua teknik klasifikasi. Kemiripan spektral antara kelas penutupan lahan tidak dapat dihindari oleh kedua teknik klasifikasi, khususnya pada kelas-kelas penutup lahan yang memiliki heterogenitas tinggi. Masih ditemukan tumpang tindih spektral antar kelas. Penambahan data SAR pada IIL M4 mampu mengurangi kesalahan klasifikasi pada kedua teknik klasifikasi. Peningkatan jumlah resolusi spasial pada M5 dan M6 menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek mampu mengurangi jumlah kesalahan klasifikasi dan kehadiran efek salt and pepper dibandingkan teknik klasifikasi berbasis piksel, hal yang sama juga dilaporkan oleh Whiteside et al. (2011). Jhonnerie et al. (2015a) menambahkan bahwa algoritma RF yang diterapkan pada klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu menekan kehadiran efek tersebut dibandingkan algoritma ML yang diterapkan pada klasifikasi berbasis piksel. Penggunaan data SAR (M1 dan M2) sebagai IIL dalam klasifikasi penutup lahan menghasilkan distribusi kelas penutup lahan acak dan hampir tidak berpola, selain kelas badan air. Hambur balik badan air dikenali dengan nilai yang lebih rendah dibandingkan kelas penutup lainnya. Hal tersebut karena pengaruh pantulan spekular permukaan air. Kesalahan klasifikasi (misclassification) menggunakan input SAR menghadirkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Efek tersebut hadir pada perekaman data SAR yang diakibatkan oleh pengaruh banyak pantulan (multiple bounce scattering) akibat variasi kekasaran permukaan objek dan perbedaan jarak perjalanan kembali gelombang dari berbagai target ke sensor (Qiu et al. 2004), meskipun filter lokal adaptif telah diterapkan namun pengaruh derau (noise) masih mempengaruhi hasil klasifikasi, walaupun telah menggunakan algoritma klasifikasi RF. Data SAR sebagai IIL menghasilkan akurasi lebih rendah dibandingkan IIL lainnya. Akurasi keseluruhan dan akurasi pemetaan kelas mangrove (Tabel 17) terendah dihasilkan oleh M2 pada kedua klasifikasi, 26.3% berbasis objek dan 29.0% berbasis piksel, 28.8% dan 35.8% untuk akurasi pengguna kelas mangrove. Pemetaan mangrove menggunakan IIL SAR umumnya menghasilkan akurasi yang lebih rendah dibandingkan dengan IIL lainnya (Held et al. 2003). Kemampuan ALOS PALSAR (M1) lebih baik memetakan penutup lahan dibandingkan SENTINEL-1 (M2). Menurut Takeuchi dan Ohuro (2003) band-C SAR (Earth Resource Satellite/ERS) memiliki akurasi produser (PA) dan pengguna (UA) lebih rendah dalam memetakan hutan lahan basah dibandingkan hutan kelas penutup lahan lainnya, sementara band-L SAR (Japan Earth Resource Satellite -1/JERS) menghasilkan klasifikasi lebih baik. Perbedaan tersebut diakibatkan bedanya panjang gelombang dan kemampuan panjang gelombang berinteraksi terhadap vegetasi (Rosen et al. 1996). Proisy et al. (2000) menambahkan bahwa parameter polarimetrik Band-L memiliki korelasi linear lebih baik terhadap parameter mangrove (kerapatan pohon, basal area, tinggi pohon dan dBH), koefisien hambur balik Band-L terhadap biomasa mangrove, dibandingkan dengan Band-C. Penambahan data SAR (ALOS PALSAR dan SENTINEL-1) telah banyak diterapkan di berbagai aplikasi penginderaan jauh dengan tujuan untuk meningkatkan akurasi klasifikasi. Penambahan data SAR secara umum meningkatkan akurasi klasifikasi. Kecuali pada penambahan data SENTINEL-1.
51
Peningkatan akurasi keseluruhan menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek berkisar 1.4-2%, sementara klasifikasi berbasis piksel berkisar 4.4-13.6%. Jhonnerie et al. (2015a) melaporkan dalam pemetaan penutup lahan mangrove data SAR (ALOS PALSAR) berkontribusi dalam peningkatan akurasi klasifikasi. Ditambahkan oleh Held et al. (2003), penggabungan SAR dengan Compact Airborne Spectrographic Imager (CASI) dengan teknik klasifikasi yang berbeda dapat meningkatkan pemetaan mangrove dari 5.5-8.8%. Tabel 17 Hasil uji akurasi (%) pemetaan kelas mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel Berbasis Objek M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 Berbasis Piksel M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
PA
UA
OA
K
75.3 50.5 90.8 92.0 97.3 96.5 88.5 89.5 88.7 88.8
60.3 28.8 81.8 85.1 90.1 91.7 86.1 85.5 87.6 86.1
51.2 26.3 73.4 75.4 80.2 81.6 76.9 78.3 80.3 78.8
0.393 0.104 0.665 0.689 0.749 0.766 0.696 0.716 0.741 0.722
74.3 52.9 91.1 97.9 100 98.2 86.6 87.2 80.2 79.6
45.5 35.8 59.5 77.7 79.3 88.4 74.2 72.4 62.4 57.9
44.4 29.0 60.8 74.4 75.8 80.2 65.2 62.2 55.8 54.4
0.332 0.127 0.526 0.683 0.700 0.751 0.556 0.523 0.447 0.434
Keterangan: PA: akurasi produser; UA: akurasi pengguna; OA: akurasi keseluruhan; K: statistik Kappa
Peningkatan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 6 dan 1.5 meter tidak berperan sepenuhnya dalam peningkatan akurasi klasifikasi. Peningkatan tersebut meningkatkan nilai variasi data setiap kelas. Jika suatu sampel dengan ukuran 3x3 piksel citra Landsat 5 TM maka varian yang dimilikinya lebih rendah dibanding dengan sampel Citra SPOT 6, dengan ukuran sampel 15x15 piksel, begitu juga pada citra SPOT 6 yang telah ditingkatkan lagi resolusi spasialnya menjadi 1.5 m. Gao (1999) dan De Laet et al. (2009) menyatakan bahwa sensor dengan resolusi spektral yang lebih tinggi mampu memetakan mangrove lebih detail dibandingkan sensor yang memiliki resolusi spasial yang lebih baik. Meskipun Citra Landsat 5 TM dan
52
SPOT 6 multispektral memiliki perbandingan julat spektral yang kecil pada spektrum yang sama (band tampak dan IMD) namun perbedaan tersebut dapat memberikan hasil akurasi yang berbeda (Wang et al. 2004a). Lebih penting lagi, Landsat 5 TM merekam spektrum IMM dan IMJ (1550-1750 nm dan 2080-2350 nm) yang menyebabkan meningkatnya akurasi pemetaan kelas mangrove (Gao 1999). Ji et al. (2011) menambahkan bahwa spektral IMM dan IMJ sangat berpengaruh terhadap penginderaan vegetasi. Sebanyak 55 pasang nilai akurasi IIL diuji perbedaannya (Tabel 18). Penggunaan IIL SAR (M1 dan M2) pada kedua teknik klasifikasi berbeda signifikan terhadap IIL lainnya. Peningkatan resolusi spasial dengan jumlah resolusi spektral yang sama (M3), pada klasifikasi berbasis objek cenderung meningkatkan akurasi, perbedaan signifikan dijumpai pada M9. Hal tersebut tidak berlaku pada klasifikasi berbasis piksel, Baker et al. (2012) melaporkan hal yang sama terhadap teknik klasifikasi berbasis piksel. Perbedaan signifikan dijumpai pada M9 dan M10. Penambahan resolusi spektral (M5) pada klasifikasi berbasis objek meningkatkan akurasi klasifikasi namun tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara IIL, sementara klasifikasi berbasis piksel penambahan tersebut juga meningkatkan akurasi dan terdapat perbedaan signifikan pada citra yang memiliki resolusi spasial lebih tinggi (M7, M8, M9 dan M10). Peningkatan resolusi spasial pada Citra SPOT 6 melalui teknik fusi (M9) mampu meningkatkan akurasi namun tidak dijumpai perbedaan signifikan. Penambahan data SAR pada klasifikasi berbasis objek cenderung tidak menaikkan akurasi, kecuali pada M6 dan perbedaan signifikan hanya dijumpai pada M7, sementara pada klasifikasi berbasis piksel penambahan SAR cenderung meningkatkan akurasi klasifikasi. Perbandingan akurasi klasifikasi berbasis objek dan piksel menghasilkan 55 pasangan perbandingan (Tabel 18). Penggunaan ILL SAR (M1 dan M2) pada klasifikasi berbasis objek cenderung menghasilkan akurasi lebih rendah dibandingkan klasifikasi berbasis piksel (M3-M10). Perbandingan IIL M3-M10 yang menghasilkan 36 pasangan perbandingan 28 di antaranya menyatakan teknik klasifikasi berbasis objek berbeda signifikan dan menghasilkan akurasi yang lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel. Peningkatan akurasi berbasis objek juga dilaporkan oleh Myint et al. (2008), Ali et al. (2009), Whiteside et al. (2011). Kesalahan klasifikasi akibat kemiripan spektral dijumpai pada kelas mangrove menjadi semak belukar dan vegetasi transisi mangrove, badan air menjadi lahan terbuka dan mangrove formasi depan menjadi lahan terbuka. Kesalahan tersebut berpengaruh terhadap cakupan dan perhitungan luas kelas penutup lahan oleh kedua teknik klasifikasi (Tabel 19). M1 menghasilkan luas lebih kecil dibandingkan IIL lainnya. Perhitungan terlus diperoleh melalui M7 dan M9 pada klasifikasi berbasis objek dan piksel. Selisih luas terbesar antara klasifikasi berbasis objek dan piksel dijumpai pada IIL M3. Jhonnerie et al. (2014 ) menyatakan luas mangrove di Sungai Kembung cenderung stabil dari pengamatan tahun 1996-2013. Pada tahun 2010 luas mangrove di Sungai Kembung seluas 3074.5 hektar dan tahun 2013 seluas 3156.0 hektar. Perhitungan dalam penelitian ini menyatakan luas mangrove tahun 2010 seluas mangrove seluas 2990.40 dan 3025.50 hektar (M5 dan M6), terdapat selisih luas sebesar 84.1 dan 49 hektar. Hal ini disebabkan karena pengaruh IIL dan fitur atribut yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sementara perbedaan pada perhitungan luas tahun 2013, dengan selisih luas 388.2-
53
523.7 hektar (M8-M10) dipengaruhi oleh bedanya sensor, IIL dan fitur atribut yang digunakan. Tabel 18 Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek terhadap berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan mengindikasikan perbedaan signifikan Berbasis piksel
IIL M1 M2
Berbasis objek
M3 M4
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
M10
1.65
8.43
-3.55
-7.75
-8.19
-9.54
-5.15
-4.09
-1.71
-1.28
-0.85
-12.73
-17.46
-17.96
-19.48
-17.08
-15.81
-12.97
-12.46
3.70
-0.49
-0.94
-2.29
3.43
4.50
6.87
7.30
0.16
-0.29
-1.64
4.20
5.27
7.64
8.07
1.32
-0.03
6.11
7.17
9.55
9.97
0.41
6.62
7.69
10.07
10.49
5.69
7.06
10.13
10.68
7.90
10.97
11.52
11.97
12.52
M5 M6 M7 M8 M9 M10
11.77
Keterangan: Nilai positif menyatakan IIL baris berbeda signifikan terhadap IIL kolom, begitu juga sebaliknya
Selisih perhitungan luas mangrove tersebut dan kesalahan omisi, khususnya IIL yang memiliki kesalahan >10% dan <15% (IIL yang digunakan dalam pemetaan komunitas mangrove) berkontribusi terhadap pola distribusi spasial kelas penutup lahan mangrove. IIL tersebut memiliki sebaran mangrove yang berada diluar dari sebaran mangrove yang seharusnya. IIL dengan kesalahan omisi <10% merupakan IIL yang menghasilkan distribusi spasial terbaik. Kesalahan yang dimilikinya diperkirakan hanya berkontribusi kecil terhadap pengolahan data selanjutnya. Tabel 19 Luas (hektar) dan selisih perhitungan luas mangrove berdasarkan teknik klasifikasi IIL M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
Luas kelas mangrove
Berbasis objek 2642.80 1591.00 2926.20 2970.00 3025.50 2990.40 3625.60 3562.30 3679.70 3544.20
Berbasis piksel 1919.80 2157.10 2281.90 2610.60 2635.60 2892.90 3328.10 3299.30 3144.60 2929.30
Selisih 723.00 566.10 644.30 359.40 389.90 97.50 297.50 263.00 535.10 614.90
Klasifikasi Komunitas Mangrove (Level 2) Komunitas mangrove di Sungai Kembung merupakan komunitas yang cukup kompleks, dibangun oleh 22 spesies sejati dan 47 spesies ikutan dengan kombinasi
54
penyusun terdiri dari 1-6 spesies. Kompleksitas tersebut dapat disederhanakan melalui analisis sebelumnya dan menghasilkan tiga komunitas utama mangrove di Sungai Kembung, yaitu komunitas R. apiculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg) dan Lainnya (La). Dua skema klasifikasi diterapkan dalam pemetaan komunitas mangrove, skema pertama, dua kelas yaitu Ra dan Xg dan skema kedua menambahkan kelas La, dan diujikan pada IIL M6 (Gambar 20). Akurasi keseluruhan yang diperoleh skema pertama sebesar 78.6% dan skema kedua 57.5%. Begitu juga dengan akurasi produser dan pengguna, pemetaan kelas Ra dan Xg lebih baik menggunakan skema pertama. Penurunan jumlah kelas skema klasifikasi mampu meningkatkan akurasi keseluruhan sebesar 21.1%. Selanjutnya pemetaan komunitas mangrove di Sungai Kembung menggunakan skema klasifikasi dua kelas, Ra dan Xg.
Gambar 20 Perbandingan hasil klasifikasi komunitas mangrove. a. Dua kelas komunitas b. Tiga kelas komunitas Hasil klasifikasi komunitas mangrove disajikan pada Gambar 21. Distribusi spasial komunitas Ra hasil kedua klasifikasi umumnya terkonsentrasi pada pinggiran sungai, bagian hilir dan perbatasan mangrove dengan daratan. Komunitas Xg terdistribusi di seluruh kawasan penelitian dari mangrove pantai hingga ke hulu sungai dan distribusi tersebut sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian.
M4 (berbasis objek) Keterangan
M5 (berbasis objek)
Gambar 21 Hasil klasifikasi komunitas mangrove
55
M6 (berbasis objek)
M6 (berbasis piksel)
M7 (berbasis objek)
M8 (berbasis objek)
M10 (berbasis objek) Keterangan
M11 (berbasis objek)
Gambar 21 Lanjutan Komunitas Ra terdiri dari spesies penyusun yaitu Rhizophora apiculata dan Lumnitzera racemosa. Kontribusi R. apiculata dalam membangun komunitas sebesar 98.72% sedangkan sisanya berasal dari L. racemosa. Komunitas ini dijumpai pada 25 plot transek. R. apiculata dijumpai di belakang S. alba dan A. alba di daerah pantai sebagai bagian mangrove terbuka. R. apiculata dapat dijumpai di formasi belakang (daratan), yang berbatasan dengan tumbuhan daratan. Sementara L. racemosa dijumpai di daerah bagian belakang yang hampir berbatasan dengan vegetasi daratan (Noor et al. 2006). Komunitas Xg merupakan komunitas mangrove dominan di Sungai Kembung. Komunitas ini terdiri dari 10 spesies penyusun. X. granatum berkontribusi paling besar (86.75%), sementara 9 spesies lainnya yang berkontribusi adalah B. cylindrical, B. gymnorhiza, B. hainesii, C. tagal, E.
56
agollacha, L. racemosa, R. apiculata, R. mucronata, S. hidrophyllacea. Komunitas ini dijumpai pada 98 plot transek. X. granatum dapat dijumpai hampir di seluruh kawasan mangrove di Sungai Kembung dan beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan vegetasi daratan, dominasi komunitas ini juga terjadi di formasi bagian tengah (Noor et al. 2006). Terkadang B. gymnorhiza dan B. hainesii dijumpai berdampingan pada bagian tengah mangrove dan daerah berbatasan dengan vegetasi daratan. E. agollacha dijumpai di daerah yang memiliki pasokan air tawar tinggi, seperti di hulu sungai. S. hidrophyllacea memiliki tinggi lebih rendah dibandingkan spesies yang ada di sekitarnya, sehingga tidak jarang kanopinya ditutupi oleh spesies lainnya, misalnya B. hainesii dan X. granatum. Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek berkisar antara 69.6% (M4) 78.6% (M10), sementara klasifikasi berbasis piksel sebesar 72.0% (Tabel 20). Setiap IIL dari masing-masing teknik klasifikasi memetakan kelas Xg lebih baik dibandingkan kelas Ra. Pada teknik klasifikasi berbasis objek, IIL dengan resolusi yang lebih tinggi cenderung menghasilkan akurasi OA dan UA (kelas Xg) lebih baik, namun terjadi penurunan akurasi UA dan PA pada kelas Ra. Penurunan akurasi tersebut berdampak terhadap pola distribusi spasial dan estimasi luas masing-masing kelas (Tabel 20). Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri, bahwa IIL dengan resolusi spasial dan akurasi OA yang lebih tinggi merupakan IIL yang terbaik dalam memetakan komunitas mangrove. Jika dilihat dari nilai UA dan PA maka IIL M6 memiliki nilai akurasi yang lebih baik dibandingkan IIL lainnya. Hasil tersebut didukung oleh analisis separabilitas yang telah dilakukan sebelumnya. Tabel 20 Hasil perhitungan uji akurasi (%) klasifikasi komunitas mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel IIL Berbasis Objek M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 Berbasis piksel M6
PA Ra
UA Xg
Ra
Xg
OA
35.3 33.3 43.8 22.2 27.3 18.2 42.9
84.6 83.7 85.4 80.9 86.7 84.4 83.7
50.0 36.4 53.8 22.2 37.5 37.5 27.3
75.0 81.8 79.5 84.4 86.7 88.9 91.1
69.6 72.7 73.7 71.4 75.0 76.8 78.6
23.1
86.4
33.3
79.2
72.0
Rendahnya kemampuan pemetaan kelas Ra setiap IIL telah dilaporkan sebelumnya oleh Vaiphasa et al. (2005) dan Wang dan Sousa (2009) bahwa dalam lingkungan terkontrol masih dijumpai anggota famili Rhizophoracea yang memiliki kemiripan spektral dan sulit dipisahkan, sedangkan Koedsin dan Vaiphasa (2013) memperkuat pernyataan tersebut melalui penggunaan Citra EO-1 Hyperion juga mengalami permasalahan yang sama dalam mendiskriminasi anggota famili Rhizophoracea. Penelitian ini mampu menghasilkan akurasi keseluruhan yang lebih baik dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Kanniah et al. (2007), yang
57
memetakan tiga kelas spesies mangrove dominan menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma minimum distance (63.64%) dan ML yang ditambahkan data tekstur dengan jendela 21x21 (81.82%). Dijumpai peningkatan akurasi klasifikasi OA pada setiap IIL yang menggunakan tambahan input data SAR. Peningkatan tersebut berkisar antara 13.6%. Penelitian ini tidak dapat menyatakan bahwa peningkatan resolusi spasial mampu meningkatkan hasil akurasi pemetaan, meskipun nilai akurasi keseluruhan meningkat. Peningkatan resolusi spasial hanya mengindikasikan peningkatan kemampuan klasifikasi kelas komunitas paling dominan di Sungai Kembung. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa klasifikasi berbasis objek lebih baik dari pada klasifikasi berbasis piksel. Estimasi luas berbasis objek masing-masing IIL ditabulasikan pada Tabel 21. Klasifikasi berbasis objek memprediksi komunitas Ra terdistribusi lebih sedikit dibandingkan Xg. Komunitas Ra terluas diperoleh IIL M5 (1092.08 hektar) dan terkecil M10 (462.77 hektar), sementara komunitas Xg diperoleh melalui IIL M8 (3144.84 hektar) dan terkecil oleh M4 (1912.81 hektar). Klasifikasi berbasis piksel hanya menggunakan satu IIL (M6), dengan IIL yang sama Tabel 21 Luas (hektar) kelas komunitas mangrove berdasarkan teknik klasifikasi IIL M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
Ra 1057.19 1092.08 1006.55 726.76 417.46 552.78 462.77
Xg 1912.81 1933.42 1983.85 2898.84 3144.84 3126.92 3081.43
Ra n/a n/a 696.9 n/a n/a n/a n/a
Xg n/a n/a 2195.97 n/a n/a n/a n/a
Keterangan: n/a= tidak tersedia
Simpulan Spektral penciri pada Citra SPOT 6 adalah band IMD sedangkan pada Citra Landsat 5 TM adalah band IMD dan IMM. Karakteristik reflektansi mangrove memiliki kemiripan dengan beberapa kelas penutup lahan lainnya yaitu kebun kelapa (KA), vegetasi transisi (TI), kebun karet (KT) dan lahan terbuka (LA). Reflektansi spektral tiga kelas komunitas mangrove tidak memiliki repson spektral yang berbeda nyata. Kemampun pemisahan kelas melalui analisis separabilitas citra Landsat 5 lebih baik dibandingkan kemampuan Citra SPOT 6. Citra SPOT 6 tidak mampu memisahkan tujuh kelas pasangan penutup lahan sedangkan Citra Landsat 5 TM tidak mampu memisahkan enam kelas penutup lahan. Ketiga kelas komunitas mangrove tidak dapat dipisahkan oleh kedua citra satelit. Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang digunakan berkisar 51.2%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi
58
berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Peningkatan resolusi spektral lebih penting dari pada peningkatan resolusi spasial pada kasus pemetaan penutup lahan, meskipun peningkatannya tidak signifikan pada klasifikasi berbasis objek namun sebaliknya pada klasifikasi berbasis piksel. Penambahan data SAR sebagai IIL tidak seluruhnya meningkatkan hasil klasifikasi, khususnya pada penambahan data C-band. Sementara pada klasifikasi kelas komunitas mangrove peningkatan resolusi spasial meningkatkan akurasi keseluruhan namun peningkatan tersebut tidak mempengaruhi peningkatan akurasi PA dan UA kelas komunitas Ra. Penggunaan klasifikasi berbasis objek merupakan teknik alternatif dalam pemetaan penutup lahan dan komunitas mangrove, karena mampu meningkatkan hasil klasifikasi dan secara teknis lebih efektif dan efisien untuk diterapkan
5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT Pendahuluan Citra Landsat merupakan data yang paling banyak digunakan dalam pemetaan mangrove (Kuenzer et al. 2011). Hingga saat ini penggunaan citra Landsat serta penerapannya dalam menggali informasi mangrove masih merupakan isu yang menarik untuk dilakukan (Kasawani et al. 2010; Alatorre et al. 2011; Lyons et al. 2012; Kirui et al. 2013; Carney et al. 2014). Meskipun citra Landsat dikategorikan sebagai data penginderaan jauh yang beresolusi medium (Roy et al. 2014) namun banyak laporan yang menyatakan bahwa akurasi keseluruhan (overall accuracy) pemetaan mangrove cukup baik di antaranya Alatorre et al. (2011) sebesar 84%, Kirui et al. (2013) sebesar 87,5%, Long dan Giri (2011) mampu mencapai 96,6%. Berbagai metode deteksi perubahan penutup lahan dan penggunaan lahan telah banyak dikembangkan dari data penginderaan jauh, namun belum ada metode universal yang mampu menjawab semua permasalahan. Metode berbasis piksel sudah banyak diterapkan, seperti vector analysis (He et al. 2011), image differencing (Coppin et al. 2004) dan algoritma terbimbing atau tidak terbimbing (Helmi et al. 2013), namun pendekatan berbasis piksel menghasilkan efek salt and pepper (Whiteside et al. 2011; Son et al. 2014) ketika variabilitas reflektansi yang besar hadir pada setiap kelas yang dipisahkan dan berpotensi memberikan pengaruh terhadap akurasi deteksi perubahan. Guna meminimalisir kehadiran efek tersebut kehadiran teknik berbasis objek diharapkan mampu menjadi salah satu solusi untuk menjawab hal tersebut. Teknik ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil akurasi klasifikasi: Heumann (2011a) menggabungkan teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma support vector machine (SVM) dengan akurasi keseluruhan 94%. Taşdemir et al. (2012) menggabungkan teknik self-organizing maps (SOM) dengan klasifikasi berbasis objek, akurasi keseluruhan yang diperoleh lebih dari 90%. Zhang et al. (2013) menggabungkan teknik klasifikasi berbasis piksel dengan klasifikasi berbasis objek (pixel and object base hybrid analysis) dan akurasi sebesar 91,9%. Namun umumnya teknik klasifikasi tersebut di atas masih diterapkan pada data resolusi tinggi, seperti WorldView-2, RapidEye, dan QuickBird. Penelitian dan literatur terkait penerapan klasifikasi berbasis objek pada citra resolusi medium seperti Landsat masih jarang dijumpai. Mangrove berperan penting bagi kehidupan masyarakat pesisir, karena dapat memproteksi pantai dari terjangan badai dan tsunami, berperan sebagai filter polutan daratan, dan merupakan sumber makanan, obat-obatan, bahan bakar serta material bangunan. Selain peran dan fungsi mangrove tersebut, mangrove tengah mengalami penurunan kualitas dan kuantitas pada tingkat yang mengkhawatirkan di seluruh dunia (Giri et al. 2011). Secara global dan selama lebih dari dua dekade (1980-2005) dunia telah kehilangan mangrove lebih dari 25% dari total luasannya (FAO 2007). Kajian perubahan mangrove di beberapa kawasan di Indonesia telah banyak dilaporkan (Opa 2010; Pribadi et al. 2012; Yetty et al. 2012; Helmi et al. 2013) dan umumnya menggunakan klasifikasi berbasis piksel. Informasi ilmiah
60
perubahan penutup lahan mangrove di Sungai Kembung belum pernah dilaporkan, berdasarkan hal tersebut kajian perubahan mangrove penting dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah memetakan dan melihat perubahan tutupan mangrove di Sungai Kembung mengunakan seri citra satelit Landsat dan menguji tingkat akurasi klasifikasi berbasis objek dalam pemetaan mangove.
Metode Data Citra Satelit dan Lapangan Data yang digunakan adalah seri citra Landsat level 1T (Tabel 22), terdiri dari Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI, path/row 127/59, diunduh dari United State Geological Survey (USGS) Global Visualization View (GloVis) melalui daring http://glovis.usgs.gov/ Tabel 22 Seri citra Landsat yang digunakan No. Seri Landsat 1 Landsat 5 TM 2 Landsat 7 ETM+ 3 Landsat 5 TM 4 Landsat 8 OLI
Akuisisi 19 Juni 1996 3 Juli 2002 2 Februari 2010 17 Mei 2013
Pengamatan di lapangan dibantu oleh kamera digital dan Global Position System (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan aplikasi ArcPAD versi 10 dan difokuskan terhadap penutup lahan di sekitar lokasi penelitian. Pengamatan penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove mengingat akses yang terbatas. Sebanyak 469 titik pengamatan dibuat secara acak menggunakan ArcGIS Desktop versi 10.1. 176 di antaranya digunakan training area serta 293 digunakan dalam uji akurasi hasil pemetaan masing-masing penutup lahan. Skema penutup lahan yang digunakan mengacu pada BSN (2010), yang terdiri dari 5 kelas penutup lahan yaitu: badan air, vegetasi lainnya (berbagai jenis vegetasi alamiah heterogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat), kebun (lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami kelapa, karet atau tanaman campuran dengan tanaman lainnya), lahan terbuka (gabungan dari lahan tanpa tutupan dan yang telah mengalami substitusi penutup lahan yang baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen seperti jalan, permukiman dan tanggul) serta mangrove. Pengolahan Citra Pengolahan citra diawali dari pra-pengolahan yang terdiri dari koreksi atmosferik. Agar seluruh data memiliki karakteristik reflektansi permukaan yang mirip dilakukan teknik histogram matching (Richards 2013). Citra Landsat 5 TM yang diakuisisi tanggal 2 Februari 2010 dijadikan sebagai referensi reflektansi spektral, mengingat data tersebut tidak mengalami gangguan atmosferik berupa awan, bayangan awan dan kabut. Transformasi Spektral Terdapat tiga objek yang mempengaruhi reflektansi permukaan mangrove yaitu vegetasi, air dan tanah (Kuenzer et al. 2011). Masing-
61
masing objek tersebut dapat dikarakterisasi melalui transformasi spektral, yaitu: indeks vegetasi (normalized different vegetation index/NDVI)(Rouse et al. 1974), indeks air (normalized different water index/NDWI) (Xu 2006) dan indeks lahan terbuka (normalized different bareness index/NDBI) (Zha et al. 2003). Ketiga transformasi spektral tersebut dikombinasikan melalui proses penggabungan dengan band Landsat lainnya (tanpa menggunakan band termal) sehingga setiap data terdiri dari 9 layer komposisi band, melalui proses stacking. Klasifikasi Citra Satelit Pengelompokan Citra Landsat menjadi penutup lahan menggunakan klasifikasi berbasis objek (Blaschke 2010) dan menerapkan algoritma klasifikasi RF (Breiman 2001). Prosedur klasifikasi berbasis objek mengacu pada teknis yang telah disajikan pada bahasan sebelumnya. IIL yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari biru, hijau, merah. IMD, IMM, IMJ, NDVI, NDWI dan NDBI. Fitur atribut yang digunakan terdiri dari rata-rata, standar deviasi, median dan mean different to neighbour. Hasil klasifikasi disimpan dalam format shapefile dan siap digunakan oleh aplikasi sistem informasi geografis. Editing data vektor (shapefile) dapat dilakukan dengan mudah, mengingat setiap objek telah diubah menjadi vektor penutup lahan. Khusus data tahun 2013 dilakukan perubahan atribut karena sebagian citra satelit Landsat 8 OLI tertutupi oleh awan dan bayangan awan. Uji akurasi Data lapangan dan peta penutup lahan digunakan untuk menghasilkan matrik kesalahan (error matrix). Deteksi perubahan mangrove Deteksi perubahan mangrove diketahui melalui operasi spasial menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (ArcGIS Desktop versi 10.1) Data penutup lahan dalam format shapefile diubah menjadi raster grid berdasarkan nilai kelas penutup lahan dan setiap kelas penutup lahan memiliki kolom kode nilai integer yang unik, dimulai dari 1 hingga i, dan i adalah jumlah kelas penutup lahan. Dalam penelitian ini nilainnya adalah: 1 (badan air), 2 (vegetasi lainnya), 3 (kebun), 4 (lahan terbuka), dan 5 (mangrove). Selanjutnya setiap nilai kelas penutup lahan dikalikan dengan faktor pengali dengan persamaan sebagai berikut: V’ = Vi * 10x
(15)
dimana V’ adalah nilai value yang baru, Vi adalah nilai interger kelas penutup lahan kelas ke-i, 10 adalah faktor pengali dan x seri Citra Landsat ke-x yang merupakan bilangan bulat positif dimulai dari 0. Selanjutnya nilai V’ seri penutup lahan dijumlah untuk memprediksi perubahan penutup lahan mangrove, melalui persamaan: V’tot=V’1996+V’2002+V’2010+V’2013
(16)
V’tot adalah nilai penjumlahan V’ baru kelas penutup lahan tahun seri data Landsat. Nilai V’tot terdiri dari empat digit, berkisar antara 1111 – 5555. Empat digit angka yang sama mengindikasikan tidak terjadinya perubahan penutup lahan, sebaliknya jika salah satu angka dari empat digit tersebut berbeda maka mengindikasikan telah terjadi perubahan penutup lahan di lokasi penelitian. Matrik perubahan diterapkan pada hasil klasifikasi 1996–2002, 2002– 2010 dan 2010–2013.
62
Hasil dan Pembahasan Klasifikasi Penutup Lahan Kelas penutup lahan mangrove yang terdiri dari lima kelas penutup lahan yaitu badan air, vegetasi lainnya, kebun, lahan terbuka dan mangrove, telah berhasil dipetakan dengan baik. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa mangrove tersebar di sepanjang Sungai Kembung dan anak-anak sungai yang bermuara padanya. Mangrove juga dapat dijumpai di sepanjang garis pantai di sekitar muara Sungai Kembung. Peningkatan sebaran kelas lahan terbuka terpetakan dengan jelas dan terlihat bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan mangrove di Sungai Kembung. Tahun 1996 kelas lahan terbuka hanya terkonsentrasi pada beberapa lokasi di kawasan Sungai Kembung, seiring dengan meningkatnya interaksi manusia terhadap mangrove sebaran kelas lahan terbuka semakin tegas dan merambah mangrove (Gambar 22). Kelas lainnya juga memberikan kontribusi perubahan penutup lahan mangrove di Sungai Kembung. Empat matrik kontingensi dibuat untuk menghitung akurasi keseluruhan, pengguna, produser dan statistik kappa. Diasumsikan bahwa data lapangan yang digunakan dalam penelitian ini secara akurat merepresentasikan realitas di lapangan. Namun demikian data lapangan masih memungkinkan untuk memiliki kesalahan, seperti adanya ketidakterkaitan antara data lapangan dengan citra satelit yang diklasifikasi. Uji akurasi menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Nilai akurasi keseluruhan (OA) berkisar 82-87.7 % dan nilai statistik Kappa berkisar antara 0.76-0.84 (Tabel 23). Hasil akurasi pemetaan yang sama juga dihasilkan oleh Conchedda et al. (2008) dalam memetakan mangrove dengan teknik klasifikasi berbasis objek, menggunakan data citra SPOT XS dengan 6 kelas penutup lahan, sebesar 85.7%. Son et al. (2014) memetakan mangrove menggunakan data seri Landsat dengan teknik klasifikasi berbasis objek, sebanyak lima kelas penutup lahan, dengan rentang akurasi yang diperoleh 82.3-84.2%. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa pemetaan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis obyek merupakan salah satu teknik alternatif yang menjanjikan.
63
Gambar 22 Peta hasil klasifikasi penutup lahan Kelas mangrove dapat dipetakan dengan baik, hal tersebut dibuktikan dengan tingginya akurasi user dan produser yang dihasilkan oleh masing-masing data, yaitu lebih besar dari 90% (Tabel 23). Tinggi nilai akurasi tersebut mengindikasikan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek dan penggunaan algoritma RF dapat dijadikan teknik alternatif dalam memetakan mangrove dan penutup lahan yang ada di sekitarnya. Meskipun demikian masih dijumpai kesalahan dalam pemisahan (misclassification) kelas mangrove terhadap kelas-kelas lainnya. Tabel 23 Hasil uji akurasi 4 seri citra Landsat Tahun UA PA 1996 93.4% 90.5% 2002 96.7% 93.7% 2010 91.8% 91.8% 2013 95.9% 93.6%
OA 84.0% 82.6% 87.7% 88.4%
Kappa 0.78 0.76 0.83 0.84
Kesalahan omisi dan komisi diperkirakan kurang dari 10%. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah penutup lahan yang berada di sekitar mangrove menempati kawasan morfologi yang sama yaitu daerah pasang surut (tidal flat) belakang mangrove. Oleh karena itu sulit untuk menghindari kemiripan spektral saat pemilihan sampel objek dalam membangun aturan kelas yang spesifik (Conchedda et al. 2008). Perbedaan waktu perekaman juga berkontribusi dalam kesalahan klasifikasi, yang berpengaruh terhadap fluktuasi tinggi muka air yang disebabkan oleh pasang surut untuk keempat data (Tabel 24)..
64
Tabel 24 Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak. No. Citra Satelit 1 2 3 4
Landsat 5 TM Landsat 7 ETM+ Landsat 5 TM Landsat 8 LDCM
Waktu perekaman Tanggal Jam 6/19/1996 7/3/2002 2/2/2010 5/17/2013
09:35:50 10:11:03 10:13:41 10:24:48
Prediksi pasang surut 2.61+ 1.71+ 2.83+ 1.87+
Sumber: BlueChart Pacific v14 Tides untuk wilayah Singapura, Malaysia dan Indonesia. Simbol positif (+) mengindikasikan kondisi perairan pada saat pasang.
Perubahan Mangrove Sejak tahun 1996 hingga 2013, luas mangrove di Sungai Kembung bertambah sebesar 1.7%, dengan rincian perubahan luas dari tahun 1996-2002 terjadi penambahan luas mangrove sebesar 0.5%, dari tahun 2002-2010 terjadi penurunan luas 1.4% dan dari tahun 2010 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 2.6% (Tabel 25) Tabel 25 Estimasi luas penutup lahan (hektar) Tahun Badan Air Vegetasi Lainnya Kebun 1996 714.3 1572.5 1566.0 2002 717.0 1726.0 1251.1 2010 719.7 1312.3 1586.1 2013 732.0 1034.1 1467.7
Lahan Terbuka Mangrove 191.3 3102.1 335.5 3116.6 453.7 3074.5 756.4 3156.0
Luas mangrove di Sungai Kembung menunjukkan perubahan yang tidak begitu tinggi (Tabel 26), penambahan luas tutupan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan pengurangan tutupan mangrove. Misalnya, lebih dari 6% kelas mangrove tahun 2002 berubah menjadi kelas vegetasi lainnya, yaitu kebun masyarakat dan lahan terbuka pada tahun 2010. Periode yang sama, matrik perubahan menunjukkan 3.8% badan air, 1.7% vegetasi lainnya, 2.8% dan 18.9% lahan terbuka berubah menjadi mangrove. Pola yang hampir sama juga dijumpai pada dua periode lainnya. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa, 93.7-96.6% mangrove, 28.5-69.8% lahan terbuka, 60.7-69.1% kebun masyarakat, 54.6–75.3% vegetasi lainnya dan 94.7–96.7% badan air tidak mengalami perubahan. Faktor utama yang menyebabkan perubahan mangrove di lokasi penelitian disebabkan oleh faktor alam dan antropogenik. Persentase penambahan mangrove terbesar dijumpai pada kelas lahan terbuka (Gambar 23). Periode 1996-2002 terjadi penambahan sebesar 14.3%. Terlihat bahwa, mangrove yang telah ditebang pada tahun 1996 (menjadi kelas lahan terbuka) kembali tumbuh menjadi kelas mangrove tanpa mendapatkan intervensi manusia. Laju penambahan mangrove meningkat menjadi 18.9% pada pengamatan data tahun 2002–2010. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah melalui program nasional, MCRMP (Marine Coastal Resouces Management Program) yang juga dimplementasikan di Kabupaten Bengkalis, dan Sungai Kembung merupakan salah satu lokasi program tersebut. MCRMP memfasilitasi kelompok masyarakat setempat melakukan kegiatan pengelolaan mangrove termasuk penanaman mangrove. Rentang tahun 2010-2013, laju penambahan mangrove lebih kecil yaitu 9.1%. Pada rentang tersebut program
65
MCRMP telah berakhir kelompok masyarakat pengelola mangrove telah berkurang dan beberapa kawasan kelola telah dipanen, pertambahan mangrove diperkirakan berasal dari pertumbuhan alami mangrove. Tabel 26 Persentase perubahan penutup lahan dari tahun 1996-2002, 2002-2010 dan 2010-2013 Badan air Vegetasi Kebun Lahan Mangrove Lainnya terbuka 1996 – 2002 Badan air 96.66 0.04 0.05 0.60 2.65 0.17 75.26 14.80 5.24 4.54 Vegetasi lainnya 0.30 29.03 60..74 8.56 1.37 Kebun Lahan terbuka 2.45 29.16 25.59 28.50 14.30 Mangrove 0.47 1.03 0.58 1.94 95.98 2002 – 2010 Badan Air 94.67 0.05 0.03 1.48 3.78 Vegetasi lainnya 0.03 54.64 36.73 6.88 1.72 Kebun 0.07 17.16 69.11 10.84 2.82 2.07 22.37 22.16 34.55 18.86 Lahan terbuka 1.05 2.54 0.42 2.33 93.67 Mangrove 2010 – 2013 Badan air 95.07 0.01 1.09 3.83 Vegetasi lainnya 0.03 57.31 21.62 13.24 7.80 0.04 16.05 68.77 14.13 1.00 Kebun Lahan terbuka 2.76 2.74 15.55 69.83 9.13 Mangrove 1.11 0.49 0.73 1.10 96.56 Pengurangan luas mangrove terjadi disebabkan karena pengaruh antropogenik yaitu merubah mangrove menjadi lahan terbuka dengan fungsinya sebagai jalan, tanggul, permukiman dan tambak udang. Tahun 1996, kelas lahan terbuka di daerah Mangrove hanya difungsikan sebagai permukiman sekaligus usaha dapur arang bakau dan tidak ditemukan fungsi lainnya. Rentang tahun 19962002, terjadi alih fungsi mangrove menjadi jalan dan tambak udang dengan laju pengurangan mangrove sebesar 1.9%. Rentang tahun 2002-2010 merupakan puncak ekploistasi mangrove di Sungai Kembung dengan laju pengurangan sebesar 2.3%. Kenaikan ini dipicu oleh penebangan vegetasi mangrove khususnya jenis Rhyzophora spp, Bruguiera spp dan Xylocarpus sp untuk kebutuhan dapur arang. Alih fungsi mangrove bertambah dengan dibangunnya tanggul-tanggul pembatas oleh pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis yang bertujuan untuk mengantisipasi naiknya muka air pada saat pasang tertinggi serta bertambahnya luasan tambak di kawasan mangrove pantai. Mulai tahun 2008 pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis, melalui Dinas Kehutanan mengeluarkan aturan menghentikan sementara produksi dapur arang di wilayah Kabupaten Bengkalis. Hal tersebut berhasil menekan degradasi mangrove di Sungai Kembung dimana laju pengurangan turun mencapai angka 1.1% dari data 2010-2013.
66
Gambar 23 Peta perubahan mangrove (1996-2013), warna merah mengindikasikan pengurangan mangrove, orange mengindikasikan penambahan mangrove, warna hijau mengindikasikan mangrove yang tidak berubah dan dan cyan merupakan objek vegetasi lainnya Mangrove di Sungai Kembung berada pada status relatif stabil dengan perkiraan laju penambahan tutupan mangrove hampir 1.7% antara tahun 1996 dan 2013. Bagaimana pun hal ini tidak menggambarkan kondisi yang sesungguh di lapangan. Banyak ditemukan tekanan-tekanan pada tingkatan tertentu seperti penebangan untuk kontruksi bangunan dan arang bakau serta pembukaan lahan untuk jalan dan atau tanggul. Hasil perekaman citra satelit Landsat 5 TM tahun 1996 mengindikasikan mangrove di Sungai Kembung telah mengalami tekanan, terlihat beberapa kawasan telah berubah menjadi lahan terbuka, dan tekanan tersebut kian meningkat meskipun peningkatannya tidak begitu besar, yaitu 60.3 hektar pada tahun 2002, 84.2 hektar pada tahun 2010 dan 86.9 hektar pada tahun 2013. Diperkirakan tekanan tersebut telah berlangsung lebih lama, mengingat praktek-praktek pemanfaatan langsung mangrove berupa kayu telah berlangsung lama dan turun-temurun, khususnya pembuatan arang bakau oleh dapur arang (panglong) yang umum dijumpai di sekitar kawasan mangrove di Pulau Bengkalis. Hal tersebut diperkuat oleh Kusmana (2012) bahwa sejak tahun 1952, Bengkalis telah dijadikan model pengelolaan mangrove di Indonesia yang dikenal dengan istilah working plan. Penebangan pohon mangrove untuk berbagai kepentingan seperti kayu bakar, material bangunan dan jalan, bahan baku arang, sering dijumpai pada saat pengecekan lapangan. Penebangan mangrove tidak hanya berakibat terhadap hilangnya tutupan mangrove tapi yang lebih penting lagi adalah berubahnya
67
struktur komunitas mangrove (Ferreira et al. 2009). Beberapa kajian menyatakan bahwa gangguan secara antropogenik maupun alami dapat mempengaruhi kerapatan tegakan, basal area dan kompleksitas jika dibandingkan dengan mangrove yang tidak mengalami gangguan (Bandeira et al. 2009; Urrego et al. 2014). Selain itu dapat juga terjadi okupasi kawasan tertanggu oleh jenis vegetasi lainnya (Radhika 2006). Selain perhitungan matrik perubahan, estimasi perubahan mangrove menunjukan bahwa selama 17 tahun terakhir dapat diketahui bahwa rata-rata pengurangan mangrove sebesar 197.2 hektar dan penambahan sebesar 251.1 hektar. Perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan mendesak dibutuhkan guna keberlanjutan dan eksistensi mangrove di Sungai Kembung. Banyak penelitian telah memberikan alarm peringatan untuk menjaga eksistensi mangrove dari degradasi dan deforestasi (FAO 2007; Polidoro et al. 2010; Giri et al. 2011). Peranan pemerintah khususnya pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan yang pro aktif dan produktif dalam pengelolaan mangrove sangat dibutuhkan serta dukungan dan ruang kepada masyarakat setempat dalam pengelolaan yang berbasis masyarakat (Datta et al. 2012b).
Simpulan Luas mangrove di lokasi penelitian relatif stabil karena penambahan dan pengurangan luas tutupan. Penambahan luas tutupan mangrove disebabkan oleh penanaman mangrove oleh masyarakat lokal (kelompok pengelola mangrove) dan pertumbuhan alami, sedangkan pengurangan luas tutupan mangrove disebabkan oleh alih fungsi mangrove menjadi penutup lahan lainnya seperti lahan terbuka akibat penebangan, permukiman, jalan, tanggul, dan tambak udang. Selama hampir dua dekade, luas mangrove di Sungai Kembung berkurang sebesar 197.2 hektar, bertambah seluas 251.1 hektar, dan tidak mengalami perubahan seluas 2904.9 hektar. Diperlukan dukungan serius seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan mangrove di Sungai Kembung untuk mempertahankan eksistensi dan keberlangsungannya.
6 PEMBAHASAN UMUM Mangrove merupakan sumberdaya penting dalam kehidupan manusia, kajiankajian berupa bio-ekologi, sosial ekonomi dan lainnya yang berkaitan dengan mangrove akan berkembang dan dikembangkan guna mempertahankan eksistensi mangrove itu sendiri. Inventarisir dan monitoring mangrove diperkirakan telah berlangsung semenjak generasi pertama satelit penginderaan jauh dihadirkan dan berlangsung hingga saat ini dan jumlahnya akan terus meningkat dan telah dibahas oleh beberapa peneliti sebelumnya (Heumann 2011b; Kuenzer et al. 2011; Suratman 2014) Penelitian ini dirangkai oleh suatu proses klasifikasi yang dimulai dari rancangan penentuan sampel di lapangan hingga uji akurasi, yang terdiri dari pra pengolahan data, rancangan sampel, pengukuran dan pengamatan lapangan, pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove, klasifikasi mangrove berbasis objek dan penerapan teknik klasifikasi berbasis obyek untuk deteksi perubahan mangrove. Hasil analisis struktur vegetasi menyatakan bahwa mangrove di Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan yang baik dan sangat padat dan memiliki jumlah jenis pohon mangrove (32 spesies) yang lebih banyak dibandingkan ekosistem yang berada di sekitarnya. Jumlah tersebut digunakan untuk mengelompokan jenis penyusun mangrove di Sungai Kembung, yaitu sebanyak 10 jenis dan berhasil mengelompokan sebanyak tiga kelas utama yaitu komunitas R. apuculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg). Kelompok-kelompok komunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa jenis mangrove dominan seperti X. granatum, R. apiculata, L. racemosa dan S. hydrophyllacea. Kelimpahan masing-masing jenis memiliki kontribusi besar dalam penyusunan komunitas. Pengelompokan komunitas mangrove menggunakan analisis gerombol dan dibantu oleh persentase kemiripan (SIMPER) (Mumby dan Harborne 1999; Green et al. 2000). Melalui analisis gerombol, komunitas dibangun melalui karakteristik penyusun dihitung berdasarkan similaritas jarak Bray-Curtis. Seharusnya melalui analisis gerombol dapat dikembangkan skema klasifikasi hirarki dengan tiga tingkatan (hirarki), mulai dari tingkatan kasar, menengah dan detail. Namun berdasarkan nilai similaritas Bray-Curtis yang digunakan (50%), telah dihasilkan 12 kelas komunitas komunitas mangrove di Sungai Kembung, namun mengingat keterhubungan (dendogram) antar kelas yang telah diputuskan melalui tingkat kemiripan tersebut maka hirarki pada tingkatan yang lebih rendah (menengah dan kasar) tidak dapat dikembangkan. Kelas-kelas yang dihasilkan memungkinkan hadir dengan jumlah anggota kelas yang sedikit dan tidak dapat diterapkan dalam aplikasi penginderaan jauh. Hal tersebut berdampak terhadap berkurangnya jumlah kelas komunitas mangrove yang digunakan. Solusi lain dalam permasalahan ini adalah membagi kelas-kelas dengan jumlah anggota yang lebih sedikit tersebut dan digabungkan menjadi satu kelas komunitas, meskipun konsekuensi kemiripan komponen penyusun menjadi lebih rendah. Green et al. (2000) merekomendasikan bahwa skema klasifikasi yang baik harus dapat diartikan dengan mudah dan tidak ambigu. Skema harus didefinisikan secara objektif dan semi kuantitatif atau kuantitatif. Sebuah penjeasan yang mampu mengkarakteristik dan memisahkan di antara skema tersebut dan ditambahkannya
69
lagi bahwa skema klasifikasi yang telah dikembangkan melalui penelitian ini disarankan untuk dievaluasi secara berkala, seiring dengan perkembangan ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Pada akhirnya komunitas mangrove yang dibangun telah mewakili komunitas mangrove di Sungai Kembung. Citra multispektral tidak cukup baik membedakan mangrove di tingkat spesies (Ajithkumar et al. 2008), bahkan dengan citra hiperspektral pun masih dijumpai kesulitan dalam memisahkan spesies mangrove (Vaiphasa et al. 2005; Wang dan Sousa 2009). Namun penggunaan penamaan objek permukaan pada hirarki yang lebih rendah lagi seperti spesies dominan (Wang et al. 2004b; Vaiphasa et al. 2006). Karakteristik reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung masih belum mampu dipisahkan oleh citra SPOT 6 dan LANDSAT 5 TM. Kemiripan spektral yang dipengaruhi oleh banyak faktor reflektansi spektral kanopi seperti air dan sedimen (Ajithkumar et al. 2008; Kuenzer et al. 2011) serta ditambahkan lagi oleh (Vaiphasa et al. (2005)) berupa pengaruh fluktuasi energi matahari, perubahan harian kondisi atmosfer, pengaruh formasi kanopi, resolusi spasial dan spektral. Penentuan posisi sampel yang tepat dan tepat di lapangan serta merepresentasikannya pada piksel citra yang digunakan. Sebagai tawaran dalam penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi yang lebih maju, melalui teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma klasifikasi RF dapat membantu meningkatkan pemisahan antar kelas skema klasifikasi yang diterapkan. Teknik klasifikasi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan gabungan teknik segmentasi citra satelit (berbasis objek) dan pendekatan klasifikasi terbimbing dengan algoritma tertentu (umumnya machine learning). Pendekatan ini merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh aplikasi yang digunakan. Segmentasi merupakan proses membangun objek berdasarkan IIL berdasarkan derajat kemiripan atau ketidakmiripan. Hasil segmentasi dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu: i) bobot (weight) IIL, setiap IIL dapat diberikan bobot yang berbeda dalam membangun objek. ii) Scale, merupakan sebuah nilai ambang batas yang mempengaruhi ukuran objek, scale dipengaruhi oleh shape, merupakan pengaruh nilai spektral yang dimiliki oleh masing-masing IIL dan compactness, merupakan kekompakan objek yang dihasilkan. Kombinasi keempat parameter tersebut sangat banyak, diperlukan acuan tertentu untuk memperoleh nilai-nilai optimum segmentasi. Penentuan nilai dilakukan dengan melakukan beberapa percobaan (trial and error) dari kombinasi parameter (de Santiagoa et al. 2013). Metode lain yang ditawarkan oleh Drǎguţ et al. (2010) adalah estimation of scale parameter. Metode ini menentukan derajat kemiripan berdasarkan varian lokal dalam suatu scene. Nilai ambang batas tingkat perubahan varian lokal menunjukkan tingkat skala dimana IIL dapat dibangi dengan cara yang tepat, relatif terhadap sifat data ditingkat kejadian. Algoritma RF mampu mereduksi pengaruh salt and pepper dari hasil klasifikasi penutup lahan mangrove dibandingkan algoritma ML. Hal tersebut memperkuat penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015a) dan Jhonnerie et al. (2015b). Meskipun pemetaan penutup lahan mangrove dapat dilakukan dengan baik melalui algoritma RF namun beberapa permasalahan masih dijumpai, seperti masih dijumpai kesalahan pengkelasan objek (misclassification) penutup lahan mangrove oleh algoritma RF. Tiga kelas penutup lahan lainnya yang selalu hadir pada validasi kelas mangrove adalah transisi, badan air dan lahan
70
terbuka, dengan rentang nilai komisi 0.03%-25.3% dan omisi 9.6%-37.7%. Fatoyinbo et al. (2008) menemukan permasalahan yang sama dalam memetakan penutup lahan mangrove, sementara Heumann (2011a) menyatakan sumber kesalahan memetakan mangrove dengan menggunakan teknik klasifikasi adalah tergabungnya kelas transisi (mangrove ikutan) dengan kelas mangrove dan tidak menutup kemungkinan kelas lain. Beda waktu pengamatan lapangan dan perekaman citra satelit yang digunakan selisih waktu keduanya adalah 2 tahun. Van Beijma et al. (2014) melaporkan hal yang sama dalam penelitiannya. Permasalahan ini sering menjadi hambatan dalam penelitian penginderaan jauh, apatah lagi pada saat penggunaan data optik yang keberadaannya dipengaruhi oleh kondisi atmosferik pada saat perekaman dilakukan. Beberapa kelas penutup lahan telah mengalami perubahan menjadi penutup lahan lainnya, namun hal tersebut di atasi dengan bantuan data citra satelit lainnya dengan perekaman yang lebih baru, untuk melihat konsistensi perubahan penutup lahan yang diamati untuk penetapan pengamatan data validasi lapangan.
Ketidakpastian Penelitian Ketidakpastian dapat diartikan sebagai minimnya pengetahuan (Atkinson dan Foody 2006). Dungan (2006) mengartikan ketidakpastian adalah pernyataan kuantitatif terhadap kemungkinan kesalahan. Ketidakpastian dapat hadir dari berbagai sumber mulai dari pengabaian pengukuran hingga prediksi. Ketidakpastian dapat mempengaruhi tingkat ketelitian produk yang dihasilkan pada tingkatan tertentu dalam penelitian ini. Secara teknis sumber ketidakpastian dapat berasal dari pra pengolahan data (Mahiny dan Turner 2007), pengukuran dan pengamatan lapangan (Ahmed et al. 2013) dan analisis data (Rocchini et al. 2013). Dungan (2006) menyatakan bahwa pengurangan ketidakpastian menyiratkan kemajuan namun peningkatan ketidakpastian juga menyiratkan kemajuan pemahaman. Dungan (2006) memberikan contoh koreksi atmosferik (proses merubah nilai digital menjadi nilai reflektansi permukaan) sebagai ketidakpastian dalam pra pengolahan data. Model matematis yang digunakan dalam koreksi atmosferik menghasilkan nilai underestimate (kurang dari 0) dan overestimate (lebih dari 1) pada obyek permukaan seperti badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Mahiny dan Turner (2007) menyatakan hasil koreksi tersebut merupakan anomali koreksi atmosferik. Model aerosol [1], [2], dan [3] (Gambar 24), menghasilkan nilai negatif (underestimate) pada objek badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Khusus pada reflektansi vegetasi (Gambar 24.c) ketiga model memprediksi nilai reflektansi yang melebihi nilai seharusnya (overestimate). Model aerosol [4] menyajikan hasil nilai reflektansi spektral yang lebih rasional, meskipun masih dijumpai piksel yang memiliki nilai negatif khususnya pada objek badan air pada panjang gelombang inframerah dekat, tengah dan jauh. Anomali tersebut dapat terjadi akibat nilai parameter aerosol yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, meskipun demikian hasil koreksi tersebut mampu meningkatkan akurasi pemetaan (Mahiny dan Turner 2007). Penelitian ini tidak melakukan pengujian terhadap hasil akurasi pemetaan dengan dan tanpa koreksi atmosferik.
71
a
b
c Gambar 24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air, b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol. Lingkaran merah mengindikasikan anomali koreksi atmosferik Nilai reflektansi spektral permukaan yang dihasilkan melalui koreksi atmosferik tidak dapat divalidasi, meskipun nilai-nilai reflektansi spektral yang dihasilkan berada pada rentang acuan reflektansi yang telah ada.. Pustaka digital spektral yang disediakan oleh ENVI EXELIS tidak dapat dijadikan acuan mengingat pustaka digital tersebut merupakan referensi yang berasal dari komponen penyusun yang berbeda dengan obyek permukaan di lokasi penelitian, selain itu peralatan pendukung berupa spektrometer tidak mendukung untuk digunakan. Penelitian ini hanya mengandalkan nilai reflektansi spektral permukaan absolut yang dihasilkan melalui proses koreksi atmosferik. Ketidakpastian pengukuran posisi obyek di lapangan menjadi permasalahan tersendiri dalam penelitian ini. Penggunaan alat ukur posisi berupa GPS pemetaan (TRIMBLE JUNO SB) dan tidak dilengkapi dengan antena yang memadai menghasilkan akurasi pengukuran posisi pengamatan lapangan yang rendah. Pengukuran posisi plot transek (di bawah tutupan tajuk mangrove) selama 30-45 menit menghasilkan distribusi titik seluas 30mx30m (Gambar 25), sementara pengukuran titik-titik yang dilakukan ditempat yang lebih terbuka (persimpangan jalan) yang dilakukan selama 30 menit menghasilkan distribusi titik seluas 10mx10m. Diperkirakan kesalahan tersebut lebih utama disebabkan oleh kesalahan multipath. Pengukuran dilakukan tidak diruang terlalu terbuka, penerimaan sinyal satelit oleh GPS penerima dipengaruhi oleh objek yang ada di sekitarnya, berupa tutupan kanopi, pohon dan bangunan yang ada di sekitar lokasi pengukuran. Selain itu kesalahan dapat dipengaruhi oleh kondisi ionosfer, stratosfer, jam satelit, kesalahan antena, derau sinyal GPS penerima. Pengukuran posisi hanya mengandalkan pengukuran absolut tanpa ada faktor koreksi terhadap posisi yang diterima oleh GPS penerima. Mengantisipasi hal tersebut Dungan (2006) merekomendasikan untuk menggunakan nilai rata-rata jendela piksel seukuran
72
distorsi posisi GPS yaitu 30 m x 30 m. Rata-rata diambil dalam upaya untuk mengurangi ketidakpastian posisi dan meningkatkan dukungan piksel dalam analisis lebih lanjut.
Gambar 25 Distribusi titik-titik multipath (berwarna merah) GPS (ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda. Titik berwarna biru dalam kotak merupakan rancangan titik plot dan pengamatan lainnya Penelitian ini menyatakan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek lebih baik dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun demikian ketidakpastian hadir pada saat segmentasi data kontinu menjadi data diskrit. Dijumpai objek-objek yang over-segmented dan tidak tepatnya batasan objek yang dihasilkan. Kim et al. (2008) menyatakan belum tersedia metode objektif dalam menentukan skala segmentasi, umumnya menggunakan metode uji coba. Padahal ukuran obyek merupakan salah satu permasalahan penting dan kritis dalam penentuan kualitas segmentasi, khususnya akurasi klasifikasi (Meinel dan Neubert 2004). Perolehan segmen optimum telah dalam penelitian ini telah menerapakan metode yang disarankan. Optimasi dilakukan terhadap parameter segmentasi (scale, shape dan compactness) berdasarkan nilai akurasi yang diperoleh. Penggunaan algoritma MRS dan SDA dalam proses segmentasi dapat dengan mudah divalidasi secara visual, khususnya objek-objek yang dapat diinterpretasikan secara visual, seperti segmentasi penutup lahan. Kasus over-segmented dan undersegmented dapat diminimalisir melalui metode uji coba. Namun pada kasus lain komunitas mangrove, batas objek tidak dapat diinterpretasi secara visual, maka penggunaan algoritma segmentasi MRS dan SDA dapat menghadirkan ketidakpastian. Objek yang dihasilkan hanya mengandalkan parameter kemiripan spektral IIL dan kekompakan serta ukuran bergantung pada scale yang digunakan. Mereduksi ketidakpastian tersebut, dalam penelitian ini merekomendasikan penggunaan algoritma segmentasi chessboard. Algoritma ini membangun objek dalam bentuk kotak bujur sangkar, ukuran (scale) kotak mengacu pada distribusi titik-titik posisi pengukuran plot transek di lapangan. Cara yang sama juga diterapkan oleh Kamal dan Phinn (2011) untuk memetakan spesies mangrove menggunakan citra hiperspektral.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Skema klasifikasi penutup lahan mengacu pada Badan Standar Nasional sedangkan skema komunitas mangrove dikembangkan dari data struktur komunitas mangrove. Skema klasifikasi komunitas mangrove di Sungai Kembung hanya dapat dikembangkan pada satu tingkatan (hirarki) saja dengan tiga kelas utama yaitu komunitas R. apiculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg), Lainnya (La), namun kelas Ra dan Xg yang dapat dipetakan dengan baik. Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang digunakan berkisar 26.3%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Selama hampir dua dekade (1996-2013), luas mangrove di Sungai Kembung berkurang sebesar 197.2 hektar, bertambah seluas 251.1 hektar, dan tidak mengalami perubahan seluas 2904.9 hektar. Penambahan luas tutupan mangrove disebabkan oleh penanaman mangrove oleh masyarakat dan pertumbuhan alami, sedangkan pengurangan luas tutupan mangrove disebabkan oleh alih fungsi mangrove menjadi penutup lahan lainnya seperti lahan terbuka akibat penebangan, permukiman, jalan, tanggul, dan tambak udang.
Saran Penerapan teknik pengembangan skema klasifikasi perlu diterapkan dalam pemetaan mangrove yang lebih detail agar dapat terukur dan direpitisi pada data dan lokasi penelitian lainnya dan mempertimbangkan data struktur komunitas lainnya, seperti tinggi dan kerapatan. Perlu diterapkan teknik klasifikasi lunak (soft classification) berbasis kontektual untuk meningkatkan hasil klasifikasi berbasis objek. Penggunaan peralatan lapangan yang memadai dan mendukung serta penguasaan teknis pengolahan data penginderaan diperlukan untuk mengurangi ketidakpastian penelitian.
74
DAFTAR PUSTAKA Abu El-Regal MA, Ibrahim NK. 2014. Role of mangroves as a nursery ground for juvenile reef fishes in the southern Egyptian Red Sea. Egypt J Aqua Res, 40(1): 71-78. Ahmad S. 2009. Recreational values of mangrove forest in Larut Matang, Perak. J Trop Forest Sci. 21(2): 81-87. Ahmed R, Siqueira P, Hensley S, Bergen K. 2013. Uncertainty of forest biomass estimates in North temperate forests due to allometry: Implications for remote sensing. Remote Sens. 5(6): 3007-3036. Aiazzi B, Baronti S, Selva M, Alparone L, 2006. Enhanced gram-schmidt spectral sharpening based on multivariate regression of MS and pan data. IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium; 2006: Denver, Amerika Serikat (US). IGARSS. hlm 3806-3809. Ajithkumar TT, Thangaradjou T, Kannan L. 2008. Spectral reflectance properties of mangrove species of the Muthupettai mangrove environment, Tamil Nadu. J Environ Biol. 29(5): 785-788. Al Habshi A, Youssef T, Aizpuru M, Blasco F. 2007. New mangrove ecosystem data along the UAE coast using remote sensing. Aquat Ecosyst Health Manag. 10(3): 309-319. Alatorre LC, Sánchez-Andrés R, Cirujano S, Beguería S, Sánchez-Carrillo S. 2011. Identification of mangrove areas by remote sensing: The ROC curve technique applied to the northwestern Mexico coastal zone using Landsat imagery. Remote Sens. 3(8): 1568-1583. Alesheikh AA, Sadeghi Naeeni Fard F. 2007. Design and implementation of a knowledge-based system to improve maximum likelihood classification accuracy. Can J Remote Sens. 33(6): 459-467. Ali SS, Dare PM, Jones SD. 2009. A comparison of pixel- and object-level data fusion using lidar and high-resolution imagery for enhanced classification innovations in remote sensing and photogrammetry. Di dalam': Jones S, Reinke K, editor. Innovations in remote sensing and photogrammetry. Lecture notes in geoinformation and cartography. Berlin (DE): Springer p. 317. Alsaaideh B, Al-Hanbali A, Tateishi R, Kobayashi T, Hoan N. 2013. Mangrove Forests Mapping in the Southern Part of Japan Using Landsat ETM+ with DEM. JGIS. 5: 369-377. Asner GP. 1998. Biophysical and biochemical sources of variability in canopy reflectance. Remote Sens Environ. 64(3): 234-253. Atkinson PM, Foody GM. 2006. Uncertainty in remote sensing and GIS. Fundamentals. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in remote sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. P. 1-18. Auster PJ, Heinonen KB, Witharana C, McKee M. 2009. A Habitat Classification Scheme for The Long Island Sound Region. Groton: National Undersea Research Center & Department of Marine Sciences. Baker BA, Warner TA, Conley JF, McNeil BE. 2012. Does spatial resolution matter? A multi-scale comparison of object-based and pixel-based methods
75
for detecting change associated with gas well drilling operations. Int J Remot Sens. 34(5): 1633-1651. Bandeira SO, Macamo CCF, Kairo JG, Amade F, Jiddawi N, Paula J. 2009. Evaluation of mangrove structure and condition in two trans-boundary areas in the Western Indian Ocean. Aquat Conserv Mar Freshw Ecosys. 19(S1): S46-S55. Benfield SL, Guzman HM, Mair JM. 2005. Temporal mangrove dynamics in relation to coastal development in Pacific Panama. J Environ Manag. 76(3): 263-276. Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 65(1): 2-16. Breiman L. 1996. Bagging predictors. Mach Learn. 24(2): 123-140. Breiman L. 2001. Random forests. Mach Learn. 45(1): 123-140. [BSN] Badan Standar Nasional 2010. Klasifikasi penutup lahan. Jakarta (ID), Badan Standar Nasional: 32 hlm. Burnett C, Blaschke T. 2003. A multi-scale segmentation/object relationship modelling methodology for landscape analysis. Ecol Model. 168(3): 233-249. Cannicci S, Burrows D, Fratini S, Smith Iii TJ, Offenberg J, Dahdouh-Guebas F. 2008. Faunal impact on vegetation structure and ecosystem function in mangrove forests: A review. Aquat Bot. 89(2): 186-200. Cardoso GF, Souza Jr C, Souza-Filho PWM. 2014. Using spectral analysis of Landsat-5 TM images to map coastal wetlands in the Amazon River mouth, Brazil. Wetl Ecol Manag. 22(1): 79-92. Carney J, Gillespie TW, Rosomoff R. 2014. Assessing forest change in a priority West African mangrove ecosystem: 1986-2010. Geoforum. 53: 126-135. Carrasquilla-Henao M, González Ocampo HA, Luna González A, Rodríguez Quiroz G. 2013. Mangrove forest and artisanal fishery in the southern part of the Gulf of California, Mexico. Ocean Coast Manage. 83(0): 75-80. Chadwick J. 2011. Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for mapping mangrove distribution and physical properties. Int J Remot Sens. 32(21): 6765-6781. Chakravortty S, Choudhury AS, 2012. Application of unsupervised end member detection algorithms for spectral unmixing of hyperspectral data for mangrove species discrimination. Di dalam: editor. International Conference on Communications, Devices and Intelligent Systems, 2012 28-29 Des 2012; Kolkata (IN). p 81-84. Cingolani AM, Renison D, Zak MR, Cabido MR. 2004. Mapping vegetation in a heterogeneous mountain rangeland using landsat data: An alternative method to define and classify land-cover units. Remote Sens Environ. 92(1): 84-97. Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community structure. Aust J Ecol. 18(1): 117-143. Clifton DS. 2005. Classification and regression tree, bagging and boosting. Handbook of Statistics. Di dalam: Rao CR, Wegman EJ, Solka JL, editor. Handbook of statistic 24. Data Mining and Data Visualization. Amsterdam (NL): Elsevier B.V. 618 p. Conchedda G, Durieux L, Mayaux P. 2008. An object-based method for mapping and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 63(5): 578-589.
76
Congalton RG, Green K. 2009. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and Practices. Boca Raton (US): CRC Press. Coppin P, Jonckheere I, Nackaerts K, Muys B, Lambin E. 2004. Digital change detection methods in ecosystem monitoring: A review. Int J Remot Sens. 25(9): 1565-1596. Dahdouh-Guebas F, Koedam N. 2006. Emperical estimate of the relibility of the use of the Point-Centre Qurter Method (PCQM). Solution to ambigous field situation and description of the PCQM+ protocol. For Ecol Manage. 228: 118. Danoedoro P. 2012. Pengantar penginderaan jauh digital. Yogyakarta [ID]: Andi Press. Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012b. Community based mangrove management: A review on status and sustainability. J Environ Manag. 107: 84-95. De Laet V, Paulissen E, Meuleman K, Waelkens M. 2009. Effects of image characteristics on the identification and extraction of archaeological features from Ikonos-2 and Quickbird-2 imagery: case study Sagalassos (southwest Turkey). Int J Remot Sens. 30(21): 5655-5668. de Santiagoa F, Kovacs JM, Lafrance P. 2013. An object-oriented classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized ALOS PALSAR L-band data. Int J Remot Sens. 34(2): 563-586. Díaz BM, Blackburn GA. 2003. Remote sensing of mangrove biophysical properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of background variation on spectral vegetation indices. Int J Remot Sens. 24(1): 53-73. Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geosci. 4(5): 293-297. Drǎguţ L, Tiede D, Levick SR. 2010. ESP: a tool to estimate scale parameter for multiresolution image segmentation of remotely sensed data. Int J Geogr Inf Syst. 24(6): 859-871. Dungan JL. 2006. Toward a Comprehensive View of Uncertainty in Remote Sensing Analysis. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in remote sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. p 25-35. Duro DC, Franklin SE, Dubé MG. 2012. A comparison of pixel-based and objectbased image analysis with selected machine learning algorithms for the classification of agricultural landscapes using SPOT-5 HRG imagery. Remote Sens Environ. 118: 259-272. English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Faith DP, Minchin PR, Belbin L. 1987. Compositional dissimilarity as a robust measure of ecological distance. Vegetation. 69: 57-68. [FAO] Food and Agriculture Organization 2007. The World's Mangrove 1980 2005. Rome (ITA), FAO. Fatoyinbo TE, Simard M, Washington-Allen RA, Shugart HH. 2008. Landscapescale extent, height, biomass, and carbon estimation of Mozambique's mangrove, forests with Landsat ETM+ and Shuttle Radar Topography Mission elevation data. J Geophys Res Biogeosci. 113(2).
77
Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A, Lee J, 2003. Analysis of Hyperion Data with the FLAASH Atmospheric Correction Algorithm. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IEEE IGARSS: Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 90-92. Ferreira MA, Andrade F, Bandeira SO, Cardoso P, Mendes RN, Paula J. 2009. Analysis of cover change (1995-2005) of Tanzania/Mozambique transboundary mangroves using Landsat imagery. Aquat Conserv Mar Freshw Ecosys. 19(SPEC. ISS.): S38-S45. Flores De Santiago F, Kovacs JM, Lafrance P. 2012. An object-oriented classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized ALOS PALSAR L-band data. Int J Remote Sens. 34(2): 563586. Gao J. 1999. A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite data in mapping mangrove forests. Int. J. Remot. Sens. 20(14): 2823-2833. Gao J. 2010. Digital analysis of remotely sensed imagery. New York (USA): McGraw-Hill Professional. Ghimire B, Rogan J, Miller J. 2010. Contextual land-cover classification: Incorporating spatial dependence in land-cover classification models using random forests and the Getis statistic. Remote Sens Lett. 1(1): 45-54. Ghosh A, Sharma R, Joshi PK. 2014. Random forest classification of urban landscape using Landsat archive and ancillary data: Combining seasonal maps with decision level fusion. Appl Geog. 48(0): 31-41. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove guidebook for southeat asia. Bangkok (TH): FAO dan Wetlands International. Gilman EL, Ellison J, Jungblut V, Van Lavieren H, Wilson L, Areki F, Brighouse G, Bungitak J, Dus E, Henry M, et al. 2006. Adapting to Pacific Island mangrove responses to sea level rise and climate change. Clim Res. 32(3): 161-176. Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Glob Ecol Biogeogr. 20(1): 154-159. Godinho S, Gil A, Guiomar N, Neves N, Pinto-Correia T. 2014. A remote sensingbased approach to estimating montado canopy density using the FCD model: a contribution to identifying HNV farmlands in southern Portugal. Agrofor Syst.1-12. Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO. Grodecki J, 2001. IKONOS stereo feature extraction-RPC approach. In: editor. ASPRS annual conference, 2001. St. Louis (US). p Grodecki J, Dial G. 2003. Block adjustment of high-resolution satellite images described by Rational Polynomials. Photogramm Eng Remote Sens. 69(1): 59-68. Harter HL. 1960. Critical Values for Duncan's New Multiple Range Test. Biometrics. 16(4): 671-685. Hartini S, Saputro GB, Yulianto M, Suprajaka, 2010. Assessing the used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Di dalam: Fujia H, Sasaki J, editor.6th WSEAS international conference on remote sensing, 2010 4-6 Oktober 2010; Iwate (JP). p 210-215.
78
He C, Wei A, Shi P, Zhang Q, Zhao Y. 2011. Detecting land-use/land-cover change in rural–urban fringe areas using extended change-vector analysis. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 13(4): 572-585. Held A, Ticehurst C, Lymburner L, Williams N. 2003. High resolution mapping of tropical mangrove ecosystems using hyperspectral and radar remote sensing. Int J Remot Sens. 24(13): 2739-2759. Helmi M, Karyono A, Pribadi R. 2013. Analisis perubahan luas mangrove berdasarkan citra satelit IKONOS tahun 2004 dan 2010 di kecamatan Mlonggo, tahunan dan kedung kabupaten jepara jawa tengah. J Mar Res. 2(3): 129-137. Heumann BW. 2011a. An object-based classification of mangroves using a hybrid decision tree-support vector machine approach. Remote Sens. 3(11): 24402460. Heumann BW. 2011b. Satellite remote sensing of mangrove forests: Recent advances and future opportunities. Prog Phys Geogr. 35(1): 87-108. Huang X, Zhang L, Wang L. 2009. Evaluation of morphological texture features for mangrove forest mapping and species discrimination using multispectral IKONOS imagery. IEEE Geosci. Remote Sens Lett. 6(3): 393-397. Illukpitiya P, Yanagida JF. 2010. Farming vs forests: Trade-off between agriculture and the extraction of non-timber forest products. Ecolo Econ. 69(10): 19521963. Jean-Baptiste N, Jensen JR. 2006. Measurement of Mangrove Biophysical Characteristics in the Bocozelle Ecosystem in Haiti Using ASTER Multispectral Data. Geocarto Inter. 21(4): 3-8. Jensen JR. 2005. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective: London (GB): Prentice Hall. Jensen JR. 2007. Remote sensing of the environment. An earth resource perspective. London (GB): Pearson Education. Jhonnerie R, Prianto E, Oktorini Y. 2007. Deteksi perubahan luasan hutan mangrove dengan menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis di Kota Dumai Provinsi Riau. Torani. 17(2): 159-169. Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S. 2014 Deteksi perubahan tutupan mangrove menggunakan citra Landsat berdasarkan klasifikasi hibrida di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis, Provinsir RIau. J ITKT. 6 191-506. Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S. 2015a. A Comparison Object-Based Classification with Pixel-Based Classification by Using Random Forest Algorithm for Mangrove Land Cover Mapping. IJSBAR. On Press. Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S, 2015b. Random forest classification for mangrove land cover mapping using Landsat 5 TM and ALOS PALSAR imageries. Di dalam : Setiawan Y, Muhammad IL, Lilik BP, Iskandar ZS, Hefni E editor. The 1st International Symposium on LAPAN-IPB Satellite for Food Security and Environmental Monitoring.; November 24-26, 2014; Bogor (ID), Procedia Environmental Science.215221 p
79
Ji L, Zhang L, Wylie BK, Rover J. 2011. On the terminology of the spectral vegetation index (NIR − SWIR)/(NIR + SWIR). Int J Remote Sens. 32(21): 6901-6909. Kamal M, Phinn S. 2011. Hyperspectral data for mangrove species mapping: A comparison of pixel-based and object-based approach. Remote Sens. 3(10): 2222-2242. Kamal M, Phinn S, Johansen K. 2014a. Characterizing the Spatial Structure of Mangrove Features for Optimizing Image-Based Mangrove Mapping. Remote Sens. 6(2): 984-1006. Kanniah KD, Wai NS, Shin ALM, Rasib AW. 2007. Per-pixel and sub-pixel classifications of high-resolution satellite data for mangrove species mapping. Appl GIS. 3(8): 1-22. Kartaharja S. 2010. Potensi ekowisata di kawasan ekosistem hutan mangrove Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis [Tesis]. Pekanbaru (ID): Ilmu Lingkungan Universitas Riau. Kasawani I, Norsaliza U, Hasmadi IM. 2010. Analysis of spectral vegetation indices related to soil-line for mapping mangrove forest using satellite imagery. J Appl Remote Sens. 1(1): 25-31. Kathiresan K, Bingham BL. 2001. Biology of mangroves and mangrove Ecosystems. Adv Mar Biol. 40: 81-251. Kerr JT, Ostrovsky M. 2003. From space to species: Ecological applications for remote sensing. Trend Ecol Evol. 18(6): 299-305. Kim M, Madden M, Warner T. 2008. Estimation of optimal image object size for the segmentation of forest stands with multispectral IKONOS imagery. Object-Based Image Analysis. 'Di dalam': Blaschke T, Lang S, Hay G, 'editor', Springer Berlin Heidelberg: 291-307. Kirui KB, Kairo JG, Bosire J, Viergever KM, Rudra S, Huxham M, Briers RA. 2013. Mapping of mangrove forest land cover change along the Kenya coastline using Landsat imagery. Ocean Coast Manage. 83(0): 19-24. Knight JM, Dale PER, Spencer J, Griffin L. 2009. Exploring LiDAR data for mapping the micro-topography and tidal hydro-dynamics of mangrove systems: An example from southeast Queensland, Australia. Estuar Coast Shelf Sci. 85(4): 593-600. Koedsin W, Vaiphasa C. 2013. Discrimination of Tropical Mangroves at the Species Level with EO-1 Hyperion Data. Remote Sens. 5(7): 3562-3582. Kovacs JM, King J, Flores de Santiago F, Flores-Verdugo F. 2009. Evaluating the condition of a mangrove forest of the Mexican Pacific based on an estimated leaf area index mapping approach. Environ Monitor Assess. 157(1): 137-149. Kovacs JM, Liu Y, Zhang C, Flores-Verdugo F, Santiago FFd. 2011. A field based statistical approach for validating a remotely sensed mangrove forest classification scheme. Wetlands Ecol Manage. 19: 409-421. Kovacs JM, Lu XX, Flores-Verdugo F, Zhang C, Flores de Santiago F, Jiao X. 2013. Applications of ALOS PALSAR for monitoring biophysical parameters of a degraded black mangrove (Avicennia germinans) forest. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 82: 102-111. Kuenzer C, Bluemel A, Gebhardt S, Quoc TV, Dech S. 2011. Remote sensing of mangrove ecosystems: A review. Remote Sens. 3(5): 878-928.
80
Kumar T, Patnaik C. 2013. Discrimination of mangrove forests and characterization of adjoining land cover classes using temporal C-band Synthetic Aperture Radar data: A case study of Sundarbans. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0): 119-131. Kusmana C. 1996. Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove. Med Konserv. V(1): 17-24. Kusmana C, 2012. Management of mangrove ecosystem in Indonesia. Workshop on Mangrove Re-plantation and Coastal Ecosystem Rehabilitation. In: editor.; Jogyakarta. p 219-227. Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2008. Remote Sensing and Image Interpretation. Denvers (US): John Wiley Son. P. Liu Y, Li M, Mao L, Xu F, Huang S. 2006. Review of remotely sensed imagery classification patterns based on object-oriented image analysis. Chinese Geograph Sci. 16(3): 282-288. Long JB, Giri C. 2011. Mapping the Philippines' mangrove forests using Landsat imagery. Sensors. 11(3): 2972-2981. Lu D, Weng Q. 2007. A survey of image classification methods and techniques for improving classification performance. Int J Remot Sens. 28(5): 823-870. Lucas RM, Mitchell A, Donnelly B, Milne T, 2003. Characterising and Mapping Mangroves in Northern Australia Using Stereo Aerial Photography and Hyperspectral CASI Data. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IGARSS: Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 2380-2382. Lyons MB, Phinn SR, Roelfsema CM. 2012. Long term land cover and seagrass mapping using Landsat and object-based image analysis from 1972 to 2010 in the coastal environment of South East Queensland, Australia. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 71: 34-46. Mahiny AS, Turner BJ. 2007. A comparison of four common atmospheric correction methods. Photogramm Eng Remote Sens. 73(4): 361-368. Manson FJ, Loneragan NR, Skilleter GA, Phinn SR. 2005. An evaluation of the evidence for linkages between mangroves and fisheries: A synthesis of the literature and identification of research directions. Ocean Mar Biol. 43: 483513. McNairn H, Champagne C, Shang J, Holmstrom D, Reichert G. 2009. Integration of optical and Synthetic Aperture Radar (SAR) imagery for delivering operational annual crop inventories. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 64(5): 434-449. Meinel G, Neubert M, 2004. A comparison of segmentation programs for high resolution remote sensing data. In: editor. 20th ISPRS Cogress Geo-Imagery Bridging Continents; 12-23 Juli 2004; Istanbul, Istanbul: ISPRS. p Misra A, R M, P V. 2013. Assessment of the land use/land cover (LU/LC) and mangrove changes along the Mandovi–Zuari estuarine complex of Goa, India. Arabian J Geosci. 1-13. Mitraka Z, Chrysoulakis N, Kamarianakis Y, Partsinevelos P, Tsouchlaraki A. 2012. Improving the estimation of urban surface emissivity based on subpixel classification of high resolution satellite imagery. Remote Sens Environ. 117(0): 125-134.
81
Moghaddam M, Dungan JL, Acker S. 2002. Forest variable estimation from fusion of SAR and multispectral optical data. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 40(10): 2176-2187. Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification scheme of marine habitats to facilitate regional management and mapping of Caribbean coral reefs. Biol Conserv. 88(2): 155-163. Myint SW, Giri CP, Wang L, Zhu Z, Gillette SC. 2008. Identifying Mangrove Species and Their Surrounding Land Use and Land Cover Classes Using an Object-Oriented Approach with a Lacunarity Spatial Measure. GISci Remote Sens. 45(2): 188-208. Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG, Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, et al. 2008. The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquat Bot. 89(2): 155-185. Nandy S, Kushwaha SPS. 2011. Study on the utility of IRS 1D LISS-III data and the classification techniques for mapping of Sunderban mangroves. J Coastal Conserv. 15(1): 123-137. Nascimento Jr WR, Souza-Filho PWM, Proisy C, Lucas RM, Rosenqvist A. 2013. Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuar Coast Shelf Sci. 117(0): 83-93. Nayak S, Bahuguna A. 2001. Application of remote sensing data to monitor mangroves and other coastal vegetation of India. Indian J Mar Sci. 30(4): 195-213. Neukermans G, Dahdouh-Guebas F, Kairo JG, Koedam N. 2008. Mangrove species and stand mapping in Gazi Bay (Kenya) using QuickBird satellite imagery. J Spat Sci. 53(1): 75-86. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI-IP. Nursal, Yuslim F, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. J Biogen. 2(1): 1-7. Opa ET. 2010. Analisis perubahan luas lahan mangrove di kabupaten Pohuwato propinsi Gorontalo dengan menggunakan citra Landsat. JPKT. 6(2): 79-82. Ostling JL, Butler DR, Dixon RW. 2009. The biogeomorphology of mangroves and their role in natural hazards mitigation. Geogr Comp. 3(5): 1607-1624. Pellegrini JAC, Soares MLG, Chaves FO, Estrada GCD, Cavalcanti VF. 2009. A method for the classification of mangrove forests and sensitivity/vulnerability analysis. J Coast Res. (SPEC. ISSUE 56): 443-447. Phinn SR, Menges C, Hill GJE, Stanford M. 2000. Optimizing remotely sensed solutions for monitoring, modeling, and managing coastal environments. Remote Sens Environ. 73(2): 117-132. Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2012. Multi-scale, object-based image analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. Int J Remot Sens. 33(12): 3768-3797. Polidoro BA, Carpenter KE, Collins L, Duke NC, Ellison AM, Ellison JC, Farnsworth EJ, Fernando ES, Kathiresan K, Koedam NE, et al. 2010. The loss of species: Mangrove extinction risk and geographic areas of global concern. PLoS ONE. 5(4).
82
Prenzel B, Treitz P. 2005. Comparison of function‐ and structure‐based schemes for classification of remotely sensed data. Int J Remote Sens. 26(3): 543-561. Prianto E, Jhonnerie R, Firdaus R, Hidayat T, Miswadi. 2006. Keanekaragaman hayati dan struktur ekologi mangrove dewasa di kawasan pesisir kota dumai, provinsi riau. Biodiversitas. 7(5): 327-332. Pribadi R, Subardjo P, Fajri F. 2012. Studi perubahan luasan vegetasi mangrove mengunakan citra Landsat TM dan Landsat 7 ETM+ tahun 1998 – 2010 di pesisir kabupaten Mimika Papua. J Mar Res. 1(1): 136-145. Proisy C, Mougin E, Fromard F, Karam MA. 2000. Interpretation of polarimetric radar signatures of mangrove forests. Remote Sens. Environ. 71(1): 56-66. Quintano C, Cuesta E. 2010. Improving satellite image classification by using fractional type convolution filtering. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 12(4): 298301. Rabe A, Jakimow B, Held M, van der Linden S, Hostert P. 2014. EnMAP-Box, Version 2.1. enMap.org 2014. Radhika D. 2006. Mangrove ecosystems of southwest Madagascar. An ecological, human impact, and subsistence value assessment. Trop Res Bul. 25: 7-13. Rahman M, Ullah R, Lan M, Sumantyo JTS, Kuze H, Tateishi R. 2013. Comparison of Landsat image classification methods for detecting mangrove forests in Sundarbans. Int J Remote Sens. 34(4): 1041-1056. Rastner P, Bolch T, Notarnicola C, Paul F. 2014. A comparison of pixel- and objectbased glacier classification with optical satellite images. IEEE J Appl Earth Obs Remote Sens. 7(3): 984-993. Richard JA, 2013. Remote sensing digital image analysis. An introduction fifth edition. Heildelberg, Springer. Richter R. 1996. A spatially adaptive fast atmospheric correction algorithm. Int J Remote Sens. 17(6): 1201-1214. Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping. Trop Ecol. 43(1): 39-47. Rocchini D, Foody GM, Nagendra H, Ricotta C, Anand M, He KS, Amici V, Kleinschmit B, Förster M, Schmidtlein S, et al. 2013. Uncertainty in ecosystem mapping by remote sensing. Comput Geosci. 50: 128-135. Rodriguez-Galiano VF, Chica-Olmo M, Abarca-Hernandez F, Atkinson PM, Jeganathan C. 2012a. Random Forest classification of Mediterranean land cover using multi-seasonal imagery and multi-seasonal texture. Remote Sens. Environ. 121: 93-107. Rodriguez-Galiano VF, Ghimire B, Rogan J, Chica-Olmo M, Rigol-Sanchez JP. 2012b. An assessment of the effectiveness of a random forest classifier for land-cover classification. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 67(1): 93-104. Rokni K, Ahmad A, Selamat A, Hazini S. 2014. Water feature extraction and change detection using multitemporal landsat imagery. Remote Sens. 6(5): 4173-4189. Rosen PA, Hensley S, Zebker HA, Webb FH, Fielding EJ. 1996. Surface deformation and coherence measurements of Kilauea Volcano, Hawaii, from SIR-C radar interferometry. Journal of Geophysical Research: Planets. 101(E10): 23109-23125.
83
Rouse JJW, Haas RH, Shell JA, Deering DW. 1974. Monitoring Vegetation Systems in the Great Plains with ERTS. Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium. p. 48-62 Roy DP, Wulder MA, Loveland TR, C.E W, Allen RG, Anderson MC, Helder D, Irons JR, Johnson DM, Kennedy R, et al. 2014. Landsat-8: Science and product vision for terrestrial global change research. Remote Sens Environ. 145: 154-172. Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Lismore (AU): Kluwer Academic. Santos LCM, Matos HR, Schaeffer-Novelli Y, Cunha-Lignon M, Bitencourt MD, Koedam N, Dahdouh-Guebas F. 2014. Anthropogenic activities on mangrove areas (São Francisco River Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis of CBERS and SPOT images to aid in local management. Ocean Coast Manage. 89(0): 39-50. Sarkar SK, Bhattacharya AK. 2003. Conservation of biodiversity of the coastal resources of Sundarbans, Northeast India: an integrated approach through environmental education. Mar Poll Bul. 47(1–6): 260-264. Schiewe J, 2002. Segmentation of high resolution remotely sensed data concept, applications and problems. In: Costas Armenakis YCL, editor. Geospatial Theory, Processing and Applications; July 9-12, 2002; Ottawa (US): ISPRS. Shimada M, Isoguchi O, Tadono T, Isono K. 2009. PALSAR Radiometric and Geometric Calibration. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 47(12): 3915-3932. Sisodia PS, Tiwari V, Kumar A, 2014. Analysis of Supervised Maximum Likelihood Classification for remote sensing image. In: editor. International Conference on Recent Advances and Innovations in Engineering, ICRAIE 2014 9-11 Mei 2014. Jaipur(IN): p 1-4. Son NT, Chen CF, Chang NB, Chen CR, Chang LY, Thanh BX. 2015. Mangrove mapping and change detection in ca mau peninsula, vietnam, using landsat data and object-based image analysis. IEEE J Appl Earth Observ Remote Sens. 8(2): 503-510. Suratman MN. 2014. Remote sensing technology. Rencen advancements for mangrove ecosystems. New York (US): Springer. Szantoi Z, Escobedo F, Abd-Elrahman A, Smith S, Pearlstine L. 2013. Analyzing fine-scale wetland composition using high resolution imagery and texture features. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0): 204-212. Takeuchi S, Ohuro Y. 2003. A comprative study of coherence patterns in C-band and L-band interferometric SAR from tropical rain forest areas. Advance Space Res. 32(11): 2305-2310. Tang H, Li Z-L. 2010. Quantitative remote sensing in thermal infrared. Theory and applications. Heidelberg: Springer. Taşdemir K, Milenov P, Tapsall B. 2012. A hybrid method combining SOM-based clustering and object-based analysis for identifying land in good agricultural condition. Comput Electron Agr. 83: 92-101. Thampanya U, Vermaat JE, Sinsakul S, Panapitukkul N. 2006. Coastal erosion and mangrove progradation of Southern Thailand. Estuar Coast Shelf Sci. 68(1): 75-85. Thu PM, Populus J. 2007. Status and changes of mangrove forest in Mekong Delta: Case study in Tra Vinh, Vietnam. Estuarine. Coast Shelf Sci. 71(1-2): 98-109.
84
Tomlinson PB. 1986. The botany of mangrove. New York (US): Cambridge University Press. Tso B, Mather PM. 2009. Classification methods for remotely sensed data. Second edition. New York (USA): CRC Press. Urrego LE, Molina EC, Suárez JA. 2014. Environmental and anthropogenic influences on the distribution, structure, and floristic composition of mangrove forests of the Gulf of Urabá (Colombian Caribbean). Aquat Bot 114(0): 42-49. Vaiphasa C, Ongsomwang S, Vaiphasa T, Skidmore AK. 2005. Tropical mangrove species discrimination using hyperspectral data: A laboratory study. Estuar Coast Shelf Sci. 65(1–2): 371-379. Vaiphasa C, Skidmore AK, de Boer WF. 2006. A post-classifier for mangrove mapping using ecological data. ISPRS J. Photogramm. Remote Sens. 61(1): 1-10. Van Beijma S, Comber A, Lamb A. 2014. Random forest classification of salt marsh vegetation habitats using quad-polarimetric airborne SAR, elevation and optical RS data. Remote Sens Environ. 149: 118-129. Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013a. Remote Sensing in Mapping Mangrove Ecosystems - An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183201. Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013b. Remote Sensing in Mapping Mangrove Ecosystems. An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183201. Walters BB. 2005. Ecological effects of small-scale cutting of Philippine mangrove forests. For Ecol Manag. 206(1-3): 331-348. Wang L, Silván-Cárdenas JL, Sousa WP. 2008. Neural network classification of mangrove species from multi-seasonal Ikonos imagery. Photogramm. Eng. Remote Sens. 74(7): 921-927. Wang L, Sousa WP. 2009. Distinguishing mangrove species with laboratory measurements of hyperspectral leaf reflectance. Int J Remot Sens. 30(5): 1267-1281. Wang L, Sousa WP, Gong P. 2004a. Integration of object-based and pixel-based classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. Int J Remot Sens. 25(24): 5655-5668. Wang L, Sousa WP, Gong P, Biging GS. 2004b. Comparison of IKONOS and QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of Panama. Remote Sens Environ. 91(3-4): 432-440. Whiteside T, Ahmad T, 2005. A comparison of object-oriented and pixel-based classification methods for mapping land cover in northern Australia. In: editor. Spatial intelligence, innovation and praxis: The national biennial Conference of the Spatial Sciences Institute; Melbourne (AU). p 1225-1231. Whiteside TG, Boggs GS, Maier SW. 2011. Comparing object-based and pixelbased classifications for mapping savannas. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 13(6): 884-893. Witharana C, Civco DL. 2014. Optimizing multi-resolution segmentation scale using empirical methods: Exploring the sensitivity of the supervised discrepancy measure Euclidean distance 2 (ED2). ISPRS J Photogramm Remote Sens. 87(0): 108-121.
85
Xu H. 2006. Modification of normalised difference water index (NDWI) to enhance open water features in remotely sensed imagery. Int J Remot Sens. 27(14): 3025-3033. Yan WY, Shaker A, Habib A, Kersting AP. 2012. Improving classification accuracy of airborne LiDAR intensity data by geometric calibration and radiometric correction. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 67(0): 35-44. Yetty H, Fachrurrozie S, Dwi A, Rasjid R. 2012. Analisis perubahan kawasan mangrove berdasarkan interpretasi data spasial di Tanjung Sembilang, pantai timur Sumatera, Banyuasin, Sumatera Selatan. J Eksakta. 11(2): 53-62. Zha Y, Gao J, Ni S. 2003. Use of normalized difference built-up index in automatically mapping urban areas from TM imagery. Int J Remote Sens. 24(3): 583-594. Zhang K, Liu H, Li Y, Xu H, Shen J, Rhome J, Smith Iii TJ. 2012. The role of mangroves in attenuating storm surges. Estua Coast Shelf Sci. 102–103(0): 11-23. Zhang X, Xiao P, Feng X. 2013. Impervious surface extraction from high-resolution satellite image using pixel- and object-based hybrid analysis. Int J Remote Sens. 34(12): 4449-4465. Zhang XH, 2011. Identification of Mangrove using decision tree method. In: editor. 4th International Conference on Information and Computing, ICIC 2011; Phuket Island. p 130-132. Zhao X, Stein A, Chen X-L. 2011. Monitoring the dynamics of wetland inundation by random sets on multi-temporal images. Remote Sens Environ. 115(9): 2390-2401.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru tanggal 14 Januari 1975, sebagai anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Rahieman bin Djisat dan Wirdaty Ilyas binti Ilyas. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, Pekanbaru dan lulus tahun 1998. Tahun 2001, penulis diterima di Program Studi Teknologi Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau sejak tahun 2005. Karya ilmiah yang telah diterbitkan pada: (1) Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dengan judul: Deteksi Perubahan Tutupan Mangrove Menggunakan Citra Landsat Berdasarkan Klasifikasi Hibrida di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis Provinsi Riau. (2) simposisum internasional The 1st International Symposium on LAPAN-IPB Satellite (LISAT) for Food Security and Environmental Monitoring, dengan judul Random Forest Classification for Mangrove Land Cover Mapping Using Landsat 5 TM and Alos Palsar Imageries. (3) Dalam proses penerbitan dengan judul A Comparison Object-Based Classification With Pixel-Based Classification By Using Random Forest Algorithm For Mangrove Land Cover Mapping. (4) simposisum internasional The 2nd International Symposium on LAPAN-IPB Satellite (LISAT) for Food Security and Environmental Monitoring, dengan judul The Development of Mangrove Community Classification Scheme for Remote Sensing Application (Study Case at Kembung River, Bengkalis, Riau Province). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.