sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 2, 2006 : 11 - 18
ISSN 0216-1877
KISTA DINOFLAGELLATA PENYEBAB HAB Oleh Lily M.G. Panggabean 1) ABSTRACT DINOFLAGELLATE CYST OF HAB CAUSATIVE. Many harmful dinoflagellates have a complex life cycle through asexual (vegetative), sexual reproductions and the latter includes a resting cyst stage. During this cyst stage, the dinoflagellate lives in a very durable capsule or cell wall which has been proven to be very resistant to environmental stress; hence, it can extend survival strategy. The ecological roles of the dinoflagellate cysts have been discussed in deep in relation to the mechanisms of spreading and recurrence of Harmful Algal Blooms (HABs). The cyst population can provide potential recurrent "seed" source or inoculum to initiate HABs. Cysts can even be important sources of toxin to shellfish and other aquatic benthic animals. As cyst behaves as fine sediment particles, it can facilitate species dispersal when carried into new waters by currents, storms and/or other natural phenomena; and transported via ship's ballast water to deposit "seed" populations in bottom sediments of unaffected areas. Due to the disastrous economic and environmental effects of HABs in South East Asia region, it is envisioned to conduct study on the geographical distributions and spreading of common causative harmful species in the Southeast Asian region, through dinoflagellate cysts mapping. Cyst mapping survey has been conducted in Sabah, Malaysia(2004) and Phillipines (2005) and this year in Kao Bay, Halmahera (May 2006). graphic Comission, IOC-UNESCO, HAB didefinisikan sebagai fenomena terjadinya proliferasi alga berbahaya di suatu perairan sehingga menimbulkan masalah lingkungan (HALLEGRAEFF, 2002). Kerugian akibat HAB mencakup skala ruang dan waktu. Kerugian dalam skala ruang antara lain kematian massal pada ikan-ikan budidaya, keracunan sumber makanan dari laut, gatal-gatal pada wisatawan pantai dan sebagainya. Kerugian HAB dalam
PENDAHULUAN Perubahan dalam komunitas fitoplankton bisa terjadi bila sekelompok mikroalgae berbahaya mengalami perkembangan massal mendominasi kolom air, sehingga menimbulkan masalah lingkungan. Kejadian ini dijuluki dengan 'Harmful Algal Bloom' (HAB) yang berarti 'perkembangan alga berbahaya'. Meminjam konsep Intergovernmental Oceano-
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
11
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
skala waktu, yaitu sering terulang di tempat yang sama. Alga penyebab HAB sebagian besar termasuk dalam kelompok dinoflagellata, ada yang membuat kondisi anoksik, ada yang mengeluarkan racun dan lain-lain. Bangsa mikroalgae yang termasuk dalam kelas Dinoflagellata memiliki kemampuan yang unik untuk bertahan hidup dalam persaingan seleksi alam. Dalam kondisi 'baik', dinoflagellata mampu berkembang biak secara massal di kolom air dalam bentuk sel-sel renang yang aktif membelah diri. Saat kondisi lingkungan 'tidak baik', mereka berhenti membelah diri dan kawin membuahkan kista diam/tidur yang mampu bertahan hidup di dasar perairan sampai bertahun-tahun. Zygot hasil perkawinan atau peleburan sel-sel gamet yang dihasilkan oleh sel-sel vegetatif dinoflagellata, terlindung dengan aman di dalam dinding kista yang tebal dan sangat kebal terhadap kondisi seburuk apapun. Zygot dalam kista istirahat, dengan kekayaan keragaman genetiknya juga berpotensi menyimpan adanya kehidupan dan eksistensi jenisnya. Karena kekuatan dinding kista yang luar biasa, fosil dapat ditemukan utuh dalam bentuk aslinya pada lapisan sedimen dari ratusan juta tahun yang lalu. Mikrofosil dinokista tertua, yaitu Arpylorus antiquus ditemukan dari lapisan sedimen zaman Silurian sekitar 400 juta tahun yang lalu (GRAHAM & WILCOX, 2000). Tulisan ini membahas tentang peran penting dari dino-kista, kasus HAB di Indonesia dan pemetaan kista HAB.
Sumber inokulum Kista dalam sedimen lumpur 'tidur' sampai tiba waktunya masak, berkecambah dan muncul kembali ke perairan serta membelah diri secara massal, menghadirkan fenomena HAB. 'Cyst bed', yang berarti 'hamparan tempat kista tidur' di dalam sedimen lumpur dikhawatirkan sebagai bahaya laten sumber 'ledakan' populasi spesies HAB. Pertumbuhan sel-sel haploid dinoflagellata lebih lambat dibandingkan dengan sel-sel vegetatif spesies mikroalgae lainnya, namun mereka mampu bersaing untuk mempertahankan eksistensinya. Fenomena HAB sebenarnya terjadi karena mereka suka bergerombol dan kebanyakan memproduksi toksin. Sumber toksin Sel-sel renang dinoflagellata suka bergerombol dan saling tertarik dengan sesamanya hingga mereka bisa tumbuh, menjadi satu kesatuan populasi monospesies yang besar. Sebagai contoh, sel-sel aktif penyebab PSP, Pyrodinium bahamense var. compressum di Teluk Kao, Halmahera misalnya bisa mencapai kepadatan 2,3 juta sel/ml dalam sampel plankton. Selain bergerombol dalam integritas yang kuat, sel-sel vegetatif dinoflagellata umumnya memproduksi toksin berbahaya yang larut dalam air atau lemak. Toksin bioaktif tersebut mampu menghambat pertumbuhan fitoplankton lainnya. Dinoflagellata beracun ada 11 marga, yaitu : Alexandrium, Gonyaulax, Pyrodinium, Gambierdiscus, Dinophysis, Ostreopsis, Prorocentrum, Amphidinium, Gymnodinium, Ptychodiscus dan Gyrodinium. Tujuh marga termasuk jenis-jenis yang mempunyai cangkang (armoured spesies), dan empat lainnya telanjang (unarmoured species). Bahaya spesies beracun adalah peranannya dalam rantai dasar makanan dalam ekosistem. Toksin bioaktif dinoflagellata bekerja
PERAN DINO-KISTA Menurut (ANDERSON & MOREL, 1989) ada 3 peran penting dino-kista dari aspek ekologi HAB, yaitu: 1. sebagai sumber inokulum ledakan populasi 2. sebagai sumber toksin 3. merupakan indikator penyebaran spesies HAB
12
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pada sistem hemolitik, neurotoksik dan gastrointestinal konsumernya. Diantara biota konsumer lainnya, bangsa kekerangan adalah konsumen mikroalgae terbesar. Golongan'filter feeder' yang berarti makan secara penyaringan tersebut mampu menyaring melalui insangnya partikel fitoplankton dalam jutaan sel/menit. Jika dinoflagellata toksik ikut termakan toksinnya akan terakumulasi dalam tubuh kerang tanpa 'menyakitinya'. Kerang beracun hidup normal dan kelihatannya normal, rasanya tidak berbeda dengan kerang yang tidak terkontaminasi, tetapi sudah menjadi sumber makanan beracun bagi lingkungannya. Dampak kontaminasi sumber makanan karena HAB antara lain 'Paralytic Shelfish Poisoning' (PSP), 'Amnesic Shellfish Poisoning' (ASP), 'Diarrhetic Shellfish Poisoning' (DSP), 'Neurotoxic Shellfish Poisoning' (NSP) 'Ciguatera Fish Poisoning' (CFP), tergantung jenis alga yang dikonsumsi oleh kekerangan. PSP paling berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. PSP tidak hanya fatal pada manusia, tetapi bisa terjadi pada burungburung, mamalia laut yang makan kerang beracun. Jenis-jenis dinoflagellata yang telah dilaporkan memproduksi PSP yaitu Alexandrium catenella, A. cohorticula, A. fundyense, A. fraterculus, A. leei, A. minutum, A. temarense, Gymnodinium catenatum dan Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc. Gejala PSP muncul 30 menit hingga 3 jam setelah makan kerang beracun. Berat ringannya gejala keracunan tergantung dosis dan tingkat absorbsi racun yang masuk. Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak mengalami tingkat keracunan lebih parah, karena mereka lebih sensitif terhadap saxitoxin dan lebih cepat mengubah racun jenis sulfamat yang kurang toksik (toksin C1, C2, B1 dan B2) menjadi turunan karbamat yang lebih toksik. Gejala PSP dimulai dengan rasa kesemutan dan kebas (mati rasa) di sekitar bibir dan mulut, kemudian menjalar sampai ke muka dan leher. Pasien bisa juga mengalami mual dan muntah. Pada gejala
ringan sampai sedang, kesemutan bisa menjalar sampai kedua tangan dan kaki sulit digerakkan atau lemas. Korban juga bisa pusing dan tidak bisa bicara dengan benar dan kehilangan arah (light-headedness). Kesulitan bernapas diawali dengan rasa tercekik. Pada keracunan berat, bisa melumpuhkan seluruh fungsi otot. Korban mati bisa terjadi karena bernapas semakin sulit dan hypoxia semakin parah. Korban tidak mengalami hipotensi atau kelainan detak jantung. Waktu paruh racun PSP sangat pendek (90 menit). Korban akut dapat terlolong dengan tindakan cepat di rumah sakit melalui bantuan respirasi. ASP disebabkan oleh blooming diatomae penghasil domoic acid, antara lain yaitu Pseudo-nitzschia australis, P. delicatissima, P. multiseries, P. pseudodelicatissima, P. pungens (some strains), P. seriata, Nitzschia navis-varingica, Amphora caffeaeformis. Gejala ASP termasuk gangguan pada gastrointestinal yaitu muntah, kram perut dan diare, sedangkan pada saraf lainnya yaitu nyeri pada kepala dan paling parah yaitu kehilangan daya ingat sementara (short term memory). DSP disebabkan oleh beberapa toksin antara lain okadaic acid dan dinophysistoxin. Okadaic acid berasal dari alga bentik : Prorocentrum spp. Sedangkan sumber dinophysistoxin adalah Dinophysis spp. Gejala DSP pada gastrointestinal adalah : diare, mual, muntah dan sakit perut yang luar biasa (melilit). Penyakit terjadi dalam waktu 30 menit sampai 3 jam setelah makan kerang yang terkontaminasi racun tersebut. Pasien DSP sembuh total setelah merasa sangat kesakitan dalam beberapa hari. Penyakit ini tidak mematikan, namun bahaya laten yang ditimbulkan adalah terakumulasinya toksin ikutan pada Prorocentrum spp. dan Dinophysis spp. perlu diwaspadai. Toksin ikutan tersebut mempunyai aktifitas "hepatotoxic, imuno-suppresive dan tumor-promoting" (AUNE & YNDESTAD, 1993). CORDIER et al. (2000) melaporkan adanya tumor gonad pada
13
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kekerangan berkaitan dengan DSP. Konsumsi kekerangan yang terkontaminasi racun tersebut dalam jangka panjang beresiko menimbulkan kanker. Laporan dan studi tentang efek kronis pada masyarakat tertentu akibat mengkonsumsi kekerangan yang terkontaminasi toksin DSP belum ada. Ciguatoxin dan turunannya adalah golongan polyether majemuk yang larut dalam lemak berasal dari Gambierdiscus toxicus yang hidup sebagai bentik mikroalgae di terumbu karang. Racun dari golongan maitotoxin yang bersifat hidrofilik ditularkan melalui rantai makanan di terumbu karang dapat mencemari ikan-ikan besar kerapu (antara lain Plectropoma spp). Ikan-ikan yang terkontaminasi CFP penampakan dan rasanya seperti normal. Gejala awal CFP saat menyerang gastrointestinal beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan, dibarengi atau diikuti dengan gejala neurologis dan kadang-kadang diikuti gejala cardiovalcular (GLAZIOU & LEGRAND, 1994). Gangguan pada indra perasa disekitar mulut dan ujung-ujung jari kaki dan tangan, pruritis dan sensor terhadap suhu yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya mencirikan keracunan ini. Gejala imbuhan dicatat antara lain asthralgia, 'metallic taste', pusing dan lemas. Gangguan gastrointestinal hanya berlangsung beberapa hari saja, sedangkan gangguan neurologis dapat berlangsung sampai beberapa bulan (GLAZIOU & LEGRAND, 1994). Gejala CFP biasanya muncul pada orang yang telah keracunan kedua atau ketiga kalinya karena tubuhnya sudah mengakumulasi ciguatoxin (GLAZIOU & MARTIN, 1993). Kambuhnya bisa terjadi dalam waktu 3 sampai 6 bulan bagi penggemar alkohol, kafein dan kacang-kacangan. Resiko keracunan bagi pria lebih tinggi.
geografisnya semakin meluas. Belakangan dilaporkan kasus kematian massal pada ikanikan budidaya dan keracunan oleh kekerangan pada manusia, kerap terjadi di daerah 'baru'. 'Cyst bed', selain berperan sebagai sumber inokulum HAB, juga merupakan 'point source' atau sumber utama penyebaran HAB. Dinamika arus dan nutrien ikut berperan dalam penyebaran geografisnya. Jika arus membawa suatu massa air yang mengandung benih kista yang sedang aktif berkembang biak, maka 'benih' tersebut akan menginokulasi wilayah sekitarnya. Jika massa air tersebut sampai terperangkap di daerah 'subur' karena kondisi frontal batas pulau, teluk, atau kondisi geografis lainnya, maka mereka akan terus berkembang biak sampai nutrien di wilayah baru habis terserap, lalu membentuk sel-sel gamet, kawin dan membentuk kista baru atau membentuk 'cyst bed' di wilayah baru.
KASUS HAB DI INDONESIA Terkait dengan masalah HAB karena 'blooming' Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc, yaitu kasus PSP yang sudah terjadi sejak tahun 1994 di Ambon, atau bahkan terjadi sebelumnya di Balang Tiku, Kalimantan Timur. Keracunan setelah mengkonsumsi kerang tudai pernah dilaporkan menimpa hampir seluruh penduduk Desa Balang Tiku, Kalimantan Timur, pada 12 Januari 1988 (ADNAN & SUTOMO, 1988). Pada kejadian tersebut dua orang meninggal dan 68 orang dirawat di Puskesmas Nunukan. Walaupun gejala akut yang menimpa para korban tersebut mirip dengan gejala keracunan PSP, tetapi penyebab sebenarnya belum diketahui dengan jelas, karena tidak dilengkapi dengan data plankton atau toksisitas kerang yang dimakan korban. Saat kejadian, pengetahuan tentang alga beracun di daerah tersebut belum ada.
Sumber penyebaran HAB Berdasarkan catatan ilmiah, dinoflagellata jahat semakin meningkat frekuensi kehadirannya dan penyebaran
14
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada bulan Juli 1994, di Lata, Ambon pernah terjadi kasus keracunan PSP, menimpa korban 3 orang anak mati dan 33 orang dewasa dirawat di rumah sakit setelah makan 'bia manis' (Hiatula chinensis) (WIYADNYANA et al., 1994). Pada waktu yang hampir bersamaan, di Teluk Kao, Halmahera alga ini juga mengalami perkembangan massal (blooming) hingga mewarnai air menjadi kemerahan, pada kejadian ini tidak ada korban karena penduduk sudah tahu bahwa bila ada air merah dan bercahaya waktu malam mereka tidak makan kerang. Pada waktu itu kehadiran sel-sel aktif Pbc dalam sampel plankton berhasil dideteksi oleh Dr. Ngurah Wiyadnyana, Professor Riset dari Puslit Oseanografi-LIPI. Dibandingkan dengan Teluk Kao, kepadatan Pbc di Teluk Ambon pada waktu terjadi kasus PSP sebenarnya tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 1600 sel/l, sedangkan Pbc di Halmahera mencapai 2,3 juta sel/ml. Kejadian ini menunjukkan bahwa racun PSP dari Pbc sudah mematikan hanya dalam hitungan ribuan sel/ml. Kasus serupa juga menimpa negaranegara di perairan Pasifik Barat, dan lebih banyak korban berjatuhan antara lain di Filipina, Malaysia, Sabah dan Papua Nugini (MACLEAN 1977 dan USUP et al., 1989). Penyebabnya sama, yaitu Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc, sehingga alga ini dijuluki sebagai alga jahat nomor satu di Asia Tenggara. Pbc bahkan sudah ada sejak zaman Eosen sekitar 40-50 tahun yang lalu. Penemunya memberi nama Hemicystodinium zoharyi yang sebenarnya identik dengan kista modern Pyrodinium bahamense var. Compressum (ANDERSON & MOREL, 1989). Balai Besar Budidaya Laut Lampung (BBL) DKP yang melakukan monitoring tingkat kesehatan lingkungan sebenarnya sudah mencatat kehadiran alga paling berbahaya Pbc dalam sampel plankton dari Teluk Hurun. Namun karena ketidak tahuan dan tidak berdampak langsung pada komoditi budidaya ikan kerapu di keramba, kehadiran Pbc tidak disadari sebagai
ancaman terpaparnya sumberdaya perikanan oleh PSP. Pbc dulu didaftar oleh BBL sebagai Goniodoma. Kasus PSP di Lampung belum ada atau mungkin ada tapi tidak dilaporkan, karena barangkali kekerangan bukan merupakan komoditi penting di daerah ini. Secara terpisah, Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) dalam rangka Program Sanitasi Kekerangan di Indonesia, telah melakukan monitoring sejak tahun 1999 dalam konteks menjaga mutu dan keamanan komoditi ekspor kerangan, mendeteksi dua daerah yang sering terpapar oleh PSP, yaitu Lampung dan Maluku (MUTAQIEN et al., 2004).
STUDI PEMETAAN KISTA Masalah HAB mencakup skala ruang dan waktu. Di Asia Tenggara masalah PSP dan HAB umumnya disebabkan oleh alga yang sama, antara lain Pbc. Riset dan monitoring HAB banyak dilakukan oleh negara-negara yang terkena dampak HAB. Tujuan dari kegiatan tersebut ialah untuk menanggulangi atau mencegah dampak negatif dari 'bencana' yang mungkin terjadi karena HAB. Namun pendekatan melalui observasi pada sampel plankton saja terbatas hanya pada kondisi selsel aktif di kolom air dan belum menjawab dinamika 'blooming'. Pendekatan melalui sampel plankton membutuhkan ketepatan waktu. Bila tidak dalam kondisi 'blooming', alga yang akan dipelajari tidak ada dalam sampel plankton. Pendekatan melalui kista lebih tepat, karena mereka selalu ada dalam sedimen. Mempelajari distribusi kista ada dua cara, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Cara kualitatif merupakan studi pendahuluan untuk mendeteksi ada atau tidak adanya kista dari spesies tertentu dalam suatu area. Studi ini bermanfaat untuk memberi gambaran umum tentang sebaran geografis kista dinoflagellata tertentu dan dapat mengindikasikan suatu area
15
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mungkin terkontaminasi oleh racunnya. Sedangkan studi kuantitatif pemetaan kista dapat menggambarkan wilayah penyebaran kista dan 'point source' atau 'cyst bed' atau sumber penyebaran dan inokulum terjadinya 'blooming' spesies tertentu. Informasi tentang keberadaan 'cyst bed' sangat penting dalam manajemen penanggulangan HAB, apakah mereka berada di tempat 'blooming' ataukah di tempat lain, di dekat pantai atau di laut lepas. Berbeda dengan studi plankton, studi kuantitatif pemetaan kista sangat menyita waktu, butuh ketekunan dan keahlian. Kista dalam sampel sedimen lumpur harus dipisahkan dari pertikel lainnya yang bukan kista menurut prosedur palinologi, dilanjutkan dengan identifikasi kista yang harus dilakukan oleh ahlinya, karena tingkat kesulitannya tinggi, tidak mudah untuk membedakan kista dengan telur kopepoda atau spora lainnya. Penelitian ini bagi negara berkembang cukup mahal dan masih terkendala dengan masalah pendanaan dan keterbatasan tenaga ahli. Dalam salah satu program gabungan IOC/WESTPAC-HAB, UNESCO dan ORI-JSPSHAB, Jepang telah membentuk kelompok 'cyst mapping' yang melibatkan institusi yang menangani masalah HAB di Malaysia, Indonesia dan Filipina, tujuannya untuk meneliti distribusi kista HAB di ASEAN secara terpadu. Tim ini diketuai oleh Elsa Furio dari National Fisheries Research and Development Institute, Filipina. Pada akhir bulan Mei ini, tim yang terdiri dari 6 orang perwakilan Negara ASEAN akan turun untuk mengambil sampel sedimen Teluk Kao, Halmahera. Survei sebelumnya telah dilakukan di Sabah, Malaysia dan Teluk Manila, Filipina. Para peserta termasuk peneliti Indonesia, Boy Raharjo dari Fakultas Biologi Universitas Atmajaya di Yogyakarta dan penulis, akan mengambil manfaat dari kerjasama ini dalam meningkatkan keahliannya di bidang kista HAB, dan identifikasinya di bawah bimbingan ahli kista Prof. Matsuoka dari Nagasaki University. Hasil survei 'cyst mapping' ini akan dilaporkan dalam Seminar JSPS yang rencananya akan diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2007.
DAFTAR PUSTAKA
ADNAN, Q. 1984. Distribution of dinoflagellates at Jakarta Bay, Taman Jaya, Banten and Benoa Bay, Bali: A report of an incident of fish poisoning at eastern Nusa Tenggara. In : Toxic Red Tides and Shellfish Toxicity in Southeast Asia, Changi Point, Singapore, Southeast Asia Fisheries Development Center and International Development Research Center (SEAFDEC). ADNAN, Q. dan A. B. SUTOMO 1988. Kasus keracunan kerang di Balang Tiku, Kaltim. "Pasang Merah". Suara Pembaruan, Jumat 11 Maret 1988. ANDERSON, D.M. and F.M. MOREL 1989. The seeding to two red blooms by the germination of benthic Gonyaulax tamarensis hypnocysts. Estuarine Coastal Marine Sciences 8 : 279-293. AUNE, T. and M.YNDESTAD 1993. Diarrhetic shellfish poisoning. In : I.R. Falconer (ed.), Algal Toxins in Seafood and Drinking Water, London, Academic Press : 87-104. CORDIER, S.; C. MONFORT; L. MIOSSEC; S. RICHARDSON and C. BELIN 2000. Ecological analysis of digestive cancer mortality related to contamination diarrhetic shellfish poisoning toxins along the coasts of France. Environ. Res. 84 : 145150. GLAZIOU, P. and A.M. LEGRAND 1994. Epidemiology and ciguatera fish poisoning. Toxicon 32 (8) : 863-873.
16
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
GLAZIOU, P. and P.M.V. MARTIN 1993. Study of factors that influence the clinical response to ciguatera fish poisoning. Toxicon 31 (9) : 1151-1154. GRAHAM and WILCOX 2000. Algae. Prentice Hall, NJ. : 640 pp.
disampaikan dalam National Workshop on HAB Research and Monitoring in Indonesia : Integrated Research and Monitoring HAB for Aquatic Resources and Human Health Protection in Lampung Bay, LIPI, Jakarta, 2-3 March 2004.
HALLEGRAEFF, G.M. 2002. Harmful algal blooms : a global overview. In: Hallegraeff, G.M., D.M. Anderson and A.D. Cembella (eds.), Manual on Harmful Marine Microalgae, Monographs on oceanographic methodology 11, Unesco, Paris : 25-49
USUP, G.; A. AHMAD and N. ISMAIL 1989. Pyrodinium bahamense var. compressum red tide studies in Sabah, Malaysia. In : Hallegraeff, G.M. and J.L. Maclean (eds), Biology, epidemiology and management of Pyrodinium red tides, ICLARM, Manila. 97-110.
MACLEAN, J.L. 1977. Observation on Pyrodinium bahamense Plate, a toxic dinoflagellate in Papua New Guinea. Limnol. Oceanogr. 22 : 234-294.
WIADNYANA, N.N.; A. SEDIANA; T. SIDABUTAR and S.A. YUSUF 1994. Blooms of the dinoflagellate Pyrodinium bahamense var. compressum in Kao Bay, North Mollucas. Proc. IOC-WEATPAC third International Science Symposium, Bali, Indonesia, 22-26 November 1994 : 104-112.
MUTAQIEN, A.; T. PRATIWI dan B. SUSILOWATI 2004. Monitoring sanitasi kekerangan di Indonesia. Makalah
17
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Cyst form
Thecate form
Gambar 1. Sel-sel penyebab PSP, Pyrodinium bahamense var. compressum, dalam bentuk istirahat (cyst form) atau aktif membelah menjadi 2, 4, dan 8 sel-sel vegetatif (thecate form). (Courtesy Photo by : Yasuwo Fukuyo, Kazumi Matsuoka).
18
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006