sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIV, Nomor 4, 1999 : 21-30
ISSN 0216- 1877
EKOLOGI DINOFLAGELLATA oleh Agus Sediadi1) ABSTRACT THE ECOLOGY OF DINOFLAGELLATE. Dinoflagellate is one of important component phytoplankton in the pelagic ecosystem. General knowledge on phytoplankton distribution pattern could help in analyzing of the biogeography of the dinoflagellate. The spatial distribution of dinoflagellate in the sea depends on the local condition such as local temperature, salinity, and nutrient contents. The red tide phenomenon happening in Indonesia in the last decade caused by blooming of both toxic and non-toxic phytoplankton especially dinoflagellate. PENDAHULUAN
c. Plankton air payau: plankton yang hidup di perairan salinitas rendah (0,530,0 ‰)
Secara umum komponen biologi laut dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu bentos, nekton dan plankton. Dari ketiga komponen ini, plankton mempunyai peran sangat penting dalam mata rantai makanan (food web) di suatu perairan bahari (RAYMONT 1980). Plankton dapat dikelompokkan berdasarkan habitat sebagai beri :
B. Plankton air tawar Semua plankton yang hidup di perairan dengan salinitas kurang dari 0,5 ‰ (ARINARDI et al. 1957). Plankton meliputi biota yang hidup terapung atau terhanyut di daerah pelagik, relatif kecil atau mikroskopis, gerakannya tergantung pada arus atau pergerakan air tetapi ada juga yang mempunyai day a renang cukup kuat sehingga dapat melakukan migrasi harian. Plankton dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan atau plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani). Fitoplankton menghuni hampir setiap ruang dalam massa air yang dapat
A. Plankton bahari a. Plankton oseanik : plankton yang hidup di luar paparan benua. b. Plankton neritik : plankton yang hidup di atas paparan benua (mulut sungai, perairan pantai dan perairan lepas pantai).
1)
Balitbang Sumberdaya Laut-Puslitbang Oseanologi -LIPI
21
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dicapai oleh sinar matahari (zone eufotik), dan merupakan komponen flora yang paling besar peranannya sebagai produsen primer di suatu perairan (NONTJI 1984). Fitoplankton terdiri dari beberapa klas, dimana taksonomi fitoplankton telah mengalami berbagai revisi dan wakil nama klas fitoplankton yang berlaku seat ini, serta distribusinya masing-masing kelas (Tabel 1). Fitoplankton terdiri dari beberapa klas, dimana taksonomi fitoplankton telah mengalami berbagai revisi dan wakil nama klas fitoplankton yang berlaku saat ini, serta distribusinya masing-masing kelas. Seperti di perairan estuari di daerah pantai Marunda, Teluk Jakarta dijumpai 3 kelas net-fitoplankton yaitu kelas Bacillariophyceae dengan 37 marga; kelas Cyanophyceae dengan 9 marga dan kelas Chlorophyceae dengan 11 marga sedangkan marga Chaetoceros dan Skeletonema relatif mendominasi (NARDIATNO et al. 1993). Hasil pengamatan SEDIADI & WENNO (1995) di perairan mangrove Teluk Bintuni ada empat jenis dari kelompok diatom yang mendominasi, yaitu Richelia intracellularis SCHMIDT, Coscinodiscus granni GOUGH, Chaetoceros lorenzianum GRUNOW dan Thalassionema nitzschioides GRUNOW. Sedangkan di perairan pantai Teluk Ambon yang semi-tertutup (semienclosed area), dari kelompok diatom didominasi oleh Bacteriastrum sp.; Chaetoceros sp.; Rhizosolenia sp.; Coscinodiscus sp.; Pelagothrix sp.; Thalassionema sp.; Thalassiothrix sp. dan dari kelompok dinoflagellata didominasi oleh Ceratium sp. dan Dinophysis sp. (SEDIADI 1997).
sejak 35 tahun yang lalu dalam studi paleontologi, khususnya dalam biostratigrafi untuk mencari tambang minyak. Saat ini para ilmuwan tersebut sedang mempelajari biogeografi dinoflagellata berdasarkan distribusi jenis-jenis beracun (toxic dinoflagellates) yang kemungkinan menyebar keseluruh dunia dan distribusi kehidupan kistanya (cyst) untuk memperdalam paleobiogeografi serta paleoenvironment dari fosil tersebut (BACKUS 1986). Dinoflagellata termasuk dalam Kelas: DYNOPHYCEAE yang dapat dijumpai disemua perairan di dunia, terutama diperairan tropis. Dinoflagellata dalam dekade terakhir ini menjadi perhatian yang cukup serius oleh para ilmuwan maupun masyarakat. Perhatian ini berkait dengan adanya fenomena red-tide, yaitu suatu fenomena alam yang sulit diduga dan menyebabkan terjadinya perubahan warna air laut (discolouration). Fenomena red-tide dari kelompok dinoflagellata yang bersifat racun dapat menimbulkan kematian pada organime laut lainnya, bahkan dapat menimbulkan kematian manusia akibat proses akumulasi racun yang dikandungnya. Kasus red-tide di Indonesia tercatat sejak tahun 1983, dan telah ditemukan jenis Pyrodinium bahamense var. compressum (ADNAN 1994, WIADNYANA et al. 1996). Jenis ini termasuk kelompok dinoflagellata yang dapat menghasilkan PSP (Paralyctic Shellfish Poisoning) (MATSOUKA et al. 1991 SIDABUTAR 1997). Menurut FOKUYO & TAYLOR (1989), dinoflagellata merupakan sel tunggal yang pre-dominan, eukaryotik, termasuk organisme kelompok berflagel baik yang berfotosintesis dan non-fotosintesis. Tercatat sedikitnya 2000 jenis dan 2000 fosil sudah dideskripsikan, dimana diantaranya hanya 80 jenis yang mempunyai kista (resting cyst), dimana dalam siklusnya mengalami proses pembelahan menjadi zigot (diploid stage). Pada kondisi lingkungan yang sesuai
BIOLOGI DINOFLAGELLATA Para pakar biologi telah lama mengetahui pentingnya dinoflagellata sebagai producer utama di laut yang telah dipelajari
22
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Wakil klas ganggang di dalam fitoplankton bahari (PARSONS et al. 1984).
*) Sering dikelompokkan ke dalam Phytoflagellate (Protozoa).
23
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
reproduksi aseksual dinoflagellata dapat berlangsung dengan singkat. Pembelahan ganda yang tergantung dari jenisnya berlangsung dengan kisaran waktu antara 115 hari. DALE (1986) telah membuat siklus hidup dinoflagellata yang bersifat non-motile resting (Gambar 1).
Diatom dan dinoflagellata mempunyai sifat khusus. Dinamika pertumbuhan organisme ini dapat secara cepat berlipat ganda dalam waktu yang relatif singkat, tumbuh dengan kerapatan tinggi, melimpah dan terhampar luas atau sering disebut peledakan populasi (blooming) (THOHA 1991).
Gambar 1. Siklus pembelahan sel Dinoflagellata (3a) (9) (4) (5) (6) (7) (8a) (8b)
Keterangan:
(A) (1) (10) (11) (B) (1) (2)
: asexual plankton vegetatif periode motile : pembelahan berganda : membentuk kist (non-motile) : pengaruh lingkungan : sexual plankton vegetatif periode motile : garnet : planozigot
24
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
: reduksi : terbentuk kista : proses berlangsung : hypnozigot : exysmant : membentuk planozigot : proses tahap 3; 9 : 1 : jenis lain proses reduksi langsung saat encysment
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sebaran (distribution) dan laju penenggelaman (singking rate) fitoplankton (RAYMONT 1980).
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dinamika diatom dan dinoflagellata di suatu perairan adalah cahaya, suhu, salinitas dan zat hara (NYBAKKEN 1988).
3. S a l i n i t a s Kehidupan berbagai jenis fitoplankton dapat dipengaruhi oleh salinitas perairan, yaitu pada perubahan berat jenis air laut serta perubahan dalam tekanan osmosis. Pada perairan pantai salinitas mempunyai pengaruh besar terhadap suksesi suatu jenis fitoplankton. Hasil pengamatan SIDABUTAR et al. (1996) di perairan Teluk Ambon memperlihatkan terjadinya peningkatan kelimpahan jenis Noctiluca scintillans EHRENBERG setelah musim hujan, dimana kadar salinitas menurun akibat tercampur dengan air hujan. Variasi musiman suhu dan salinitas sangat mempengaruhi distribusi mendasar fitoplankton, zooplankton dan organisme lainnya (YANAGI 1987). Menurut SEDIADI (1997) di perairan Teluk Ambon Dalam marga Chaetoceros relatif dipengaruhi oleh faktor sinar matahari dan marga Trichodesmium oleh faktor curah hujan.
1. C a h a y a Zone eufotik merupakan lapisan air teratas yang masih mampu diterminasi sinar matahari dengan intensitas cahaya yang cukup bagi proses fotosintesis (NYBAKKEN 1988). Sinar matahari yang jatuh pada permukaan laut mempunyai lebar spektrum antara 300-2500 nm yaitu antara sinar ultra violet hingga sinar infra merah. Sebagian besar energi sinar tersebut berada di daerah infra merah (7302500 nm) yang merupakan sinar panas (RAYMONT 1980, NONTJI 1984). Sedangkan spektrum sinar yang terpenting adalah yang berada di antara panjang gelombang 400-720 nm dan biasa disebut dengan PAR (Photosynthetically Active Radiation). Pada kondisi tersebut energi cahaya dapat diserap oleh klorofil fitoplankton untuk reaksi fotosintesis (PARSONS et al. 1984). Faktor yang mempengaruhi daya serap cahaya adalah tingkat kecerahan perairan, dimana untuk perairan Teluk Bintuni hanya berkisar antara 2-5 m sehingga 50% sinar matahari telah terserap habis pada kedalaman 1 m (SEDIADI &WENNO 1995).
4. Zat Hara Fitoplankton dalam kehidupannya membutuhkan zat hara organik. Zat organik utama yang diperlukan fitoplankton dan sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan adalah nitrogen dan fosfat (NYBAKKEN 1988). Menurut DUGDALE (1981), setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan untuk mengadaptasi adanya perubahan nutrien dalam pertumbuhannya. Di perairan estuari faktor pembatas utama (limiting factor) dalam pertumbuhan fitoplankton adalah nitrogen (RYTHER & DUNSTAN dalam MANN 1982). Udara atau atmosfir merupakan sumber nitrogen yang paling besar, karena 80% udara terdiri dari gas nitrogen bebas sebagai N2. Menurut CHU (dalam AND ARIAS 1991) pertumbuhan yang terbaik pada kosentrasi nitrogen antara 0.9-3,5 ppm. Unsur fosfat di
2. S u h u Secara umum suhu air laut cenderung menurun dari permukaan sampai dasar perairan. Penampakan suhu di perairan tropik dan subtropik ditunjukkan oleh gradien suhu (perbedaan suhu per-meter kedalaman) yang yang kecil sampai kedalaman tertentu. Distribusi suhu yang menyebar merata diakibatkan oleh arus dan ini tergantung dari besarnya pengaruh angin terhadap permukaan air. Perubahan suhu yang besar pada jarak kedalaman air yang kecil disebut termoklin (thermocline). Termoklin berperan terhadap
25
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kondisi kimia dan fisika perairan yang mencakup faktor suhu, tekanan hidrostastik, kecerahan, oksigen dan nutrisi (ANGEL 1986). Menurut YENTSCH & GARSIDE (1986), distribusi biogeografi pada proses bilogi di laut sangat mempengaruhi produktifitas primer suatu perairan dengan faktor-faktor pembatas sebagai berikut:
dalam perairan alami terdapat dalam bentuk ortofosfat yang dapat langsung digunakan oleh tanaman karena larut dalam air. Oleh karena itu kandungan ortofosfat di dalam air sering dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan suatu perairan. Konsentrasi fosfat yang tersedia di dalam perairan bervariasi, batas terendah konsentrasi fosfat untuk pertumbuhan optimum berkisar antara 0,018-0,090 ppm dan batas tertinggi berkisar antara 8,90-17,8 ppm (ANDARIAS 1991).
(1 ) Hubungan perbandingan antara faktor fotosintesa dan resperasi (P:R) diberbagai kedalaman. (2) Kandungan nitrat dan nitrogen.
DISTRIBUSI DINOFLAGELLATA
(3) Perubahan kepadatan fitoplankton akibat perbedaan garis lintang (Latitude).
Mempelajari distribusi suatu organisme di laut akan lebih mudah mengetahui biogeografinya, tetapi tidak selamanya pendekatan ini dapat memberikan atau menjelaskan kejadian suatu kehidupan tanpa mengetahui faktor ekologis dan proses evolusi organisme tersebut (EKMAN dalam BULTS & ZAHURANEC 1986). Menurut COX & MOORE (1973), dalam mempeiajari biogeografi suatu organisme saat ini hanya terbatas mengetahui pola distribusi berdasarkan ruang dan waktu. Sehingga distribusi plankton di laut dapat dijelaskan dalam teori pelagis biogeografi yang mempelajari khusus mengenai bentuk asli (origin), perubahan (change) dan pemeliharaan (maintenance). Teori pelagis biogeografi merupakan salah satu pendekatan yang cukup balk untuk dapat menganalisis kondisi biologi laut terbuka atau menguji hipotesa dari teori yang ada. Secara umum distribusi tanaman dan hewan pada ekosistem pelagis dipengaruhi oleh kondisi fisik dan biotik. Batas biogeografi di laut disebabkan adanya perbedaan massa air dan distribusi planktonik yang dapat dibedakan secara mendasar (horizontal distributuion) dan tegak (vertical distribution) (HAURY 1986). Kolom suatu air laut mempunyai karakteristik tegak yang sangat erat dengan hubungannya dengan faktor abiotik, seperti
Adanya berbagai faktor di atas, BACKUS (1986) membuat suatu peta biogeografik laut yang dapat dikelompokan beberapa menjadi 9 wilayah biogeografik terdiri dari wilayah Artik, wilayah Sub-Artik, wilayah Utara, wilayah Sub-Tropik Utara, wilayah Tropik, wilayah Sub-Tropik Selatan, wilayah Selatan, wilayah Sub-Antartik dan wilayah Antartik. Kondisi yang terbagi atas wilayah tersebut menimbulkan kerumitan dalam memetakan distribusi fitoplankton, khususnya dinoflagellata. Sementara itu HASLE (1986) membagi planktonik menjadi dua kelompok umum, yaitu kelompok pantai (neritic) dan lepas pantai (phanthalassic) untuk dapat menggambarkan suatu biogeografik dinoflagellata dari marga Ceratium sp. (Gambar 2). Dari kejadian timbulnya kasus red-tide di dunia, dicoba untuk membuat peta biogeografik dinoflagellata, tetapi inipun nampaknya masih sangat sulit digambarkan secara akurat dan jelas, seperti sering dijumpainya jenis dingflagellata wilayah Subtropik yang dijumpai pula di wilayah Tropik, yaitu dijumpainya Prorocentrum minimum PAVILLARD SCHILLER yang diduga dari perairan Australia (ADNAN 1994). Untuk
26
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Untuk menggambarkan biogeografik dinoflagellata masih jauh dari memuaskan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kejadian red-tide yang tidak terdata. Menurut BOLCH & HALLEGRAEFF (1993) permasalahan yang ada saat ini adalah distribusi dinoflagellata yang bersifat racun sangat dinamis, dimana salah satunya terbawa dalam air balas pada kapal.
itu MATSOUKA (1989) telah berupaya membuat pola distribusi secara global fosilfosil dari jenis Pyrodinium bahamense dan pemetaan terjadinya kasus PSP (Paraltyc Shelfish Posioning) yang dapat memberikan bentuk umum biogeografik dinoflagellata. (Gambar 3).
Gambar 2. Distribusi marga Ceratium sp.
27
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Glabal Distribusi Fosil Pyrodinium bahamense (■) san distribusi PSP (¥))
DAFTAR PUSTAKA
BACKUS, R.H. 1986. Biogeography boundaries in the open sea. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 39-43.
ADNAN, Q. 1994. Tiga tahun kejadiankejadian Red-tide di Teluk Jakarta.
BULT, A.C.P. dan BJ. ZAHURANEC, 1986. Introduction on pelagic biogeography. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 1-2.
Pros. Seminar Pemantauan Pencemaran. P3O-LIPI, Jakarta: 167-173. AND ARIAS, I. 1991. Pengaruh pupuk Urea dan TSP terhadap produksi klekap. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor: 13 PP. ANGEL, M.V. 1986. Vertical distribution: Study and implication. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 3-8.
COX, C.B. dan P.D. MOORE 1973. Biogeography an ecological and evoluntary approach. Blackwell Sci. Pub. London: 1-29. BOLCH, C.J. dan G.M. HALLEGRAEFF 1993. Chemical and physical treatment option to kill toxic dinoflagellate cyst in ship ballast water. Journal Marine Environmental Engineering 1: 23-29.
ARINARDI, O.H., A.B. SUTOMO, S.A. YUSUF, TRIMANINGSIH, E. ASNARYANTI dan S.H. RIYONO 1997. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di peraiaran Kawasan Timur Indonesia. P30-LIPI, Jakarta: 140 pp.
DALE, B. 1986. Life cycle strategies of oce-
anic dinoflagellates. Pe/agic Biogeography. UNESCO, France: 1-29.
28
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DUGDALE, R.C., B.H. JONES Jr., J.J. MAC ISAAC dan J.J. GOERING 1981. Adaptation of nutrien assimilation. Dalam: Physological bases of phytoplankton Ecology (Trevor Platt ed.). Canadian Bulletin of Fisheries and Aquatic Sciences 210: 234-250.
NONTJ1, A. 1984. Biomassa dan produktivitas diperairan Teluk Jakarta sertakaitannya dengan faktor lingkungan. Fakultas Pascasarjana.lPB, Bogor: 241 pp.
FAKUYO, Y. dan F.J.R. TAYLOR, 1989. Morphological characteristic of dinoflagellates. Biology, Epidemilogy and Management of Pyrodinium red tide (G.M. Hallegraeff and J.L. Maclean eds). ICLARM Conf. Proc. 21:201-205.
PARSONS, T.R., M. TAKAHASHI dan B. HARGRAVE 1984. Biological oceanographicprocesses. Third Ed., Pargamon Press, Oxord (U.K.): 330 pp. RAYMONT, I.E.G. 1980. Plankton productivity in the oceans. Pergamon Press, Oxford: 821 pp.
HASLE, G.R. 1986. Problem in open-sea phytoplankton biogeography. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 118125.
SEDIADI, A. 1997. Struktur komunitas fitoplankton diperairan Teluk Ambon. Ms. Thesis. Program Pascasarjana, Program Studi Biologi-UI: 91 pp.
HAURY,L.R. 1986. Patchines, niches and oceanic biogeography. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 126-131.
SEDIADI. A. & L.F. WENNO, 1995. Tingkat kesuburan dan kondisi hidrologi perairan mangrove Teluk Bintuni, Irian Jaya. Pros. Seminar V Ekosistem Mangrove.: 179-189.
NYBAKKEN, W. 1988. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia, Jakarta: 294 pp.
MANN, K.H. 1982. Ecology of coastal waters. University of California Press..Los Angeles: 332 pp.
SIDABUTAR, T., N.N. WIADNYANA dan D.P. PRASENO 1996. Seasonal variation of green Noctiluca scintillans (Ehrenberg) in Ambon Bay, Indonesia. Makalah disampaikan: CPMAS-II Confrence on ASEAN Marine Environmental Management, Penang, Malaysia, 24-28 June 1996.
MATSOUKA, K., Y.FOKUYO, D.P. PRASENO, Q. ADNAN dan M. KODAMA, 1999. Dinoflagellates cycsts in surface sediment of Jakarta Bay, of Ujung Pandang and Larantuka of Flores Islands, Indonesia with special reference of Pyrodinium bahamense. Bull. Fac. Fish, Nakasaki Univ 80: 49-54.
THOHA, H. 1991 . Ledakan populasi Trichodesmium erythraeum. Oseana 16 (3) 3:9-16.
MATSOUKA, K. 1989. Morphological features of the cyst of Pyrodinium bahamense var compressum. Proc. Biology, Epidemiology and Management of Pyrodinium Red-Tide. (G.M. Hallegraeff and J.L. Maclean eds.): 219-230.
WARDIATNO Y.,H., H.M. EIDMAN, F. WIDJAYA dan F.YULIANDA 1993. Keadaan net-fitoplankton peraiaran estuari di sebelah Sel atan Beting Pasir Pantai Marunda, Teluk Jakarta pada saat pasang dan surut. Jurrnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1 (2): 16-26.
29
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
WIADNYANA, N.N., A.SEDIADI, T. SIDABUTAR dan S.A. YUSUF 1996. Bloom of the dinoflagellates Pyrodinium bahamnense var compressum in Ko Bay, North Molluccas. Pros. IOC-WESTPAC 3th International Scientific Sypmposium: 104-112.
YANAGI, T. 1987. Seasonal of water temperature and salinity in Osaka Bay. Journal of the Oceanography Soc of Japan 113: 244-250. YENTSCH, C.S. dan J.C. GARSIDE 1986. Pattern of phytoplankton abundance and biogeography. Pelagic Biogeography. UNESCO, France: 278-284.
30
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999