Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT (Production Performance Puberty Age of Calf from Crossing of PO X Simmental X Limousine at Smallholder Farmer) LUKMAN AFFANDHY1, M.A. YUSRAN2, Y.N. ANGGRAENY1 dan D. PAMUNGKAS1 Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
ABSTRACT The commercial breeding of beef cattle at smallholder farmer was done by crossbreeding through artificial insemination (AI) program. The aim of this research was to find the information of production and puberty of calves/yearling resulting from crossbreeding at smallholder farmers. The research was conducted as long as three years (2003 – 3005) on farmer group at three sub district of Probolinggo, East java. Design of the study was ERD, model one way Anova analysis with three treatments of crossbred calves such as: (A) F1 Simmental X PO cow X Limousin bull (SIMPO X LIM), (B) F1 Limousin x PO cow x Simmental bull (LIMPO X SIM) and (C) SIMPO or LIMPO. Parameters observed were: liveweight, body linea, puberty, price of calf. Results showed that average of birth weight was lower in the offspring of SIMPO/LIMPO (two crossbred) as of 26,5 ± 4,2 kg than that of the three crossbred of SIMPO X LIM (31.1 ± 4.4 kg) and LIMPO x SIM (29,0 ± 3,8 kg), respectively. Whereas the live weight at 5 months and 12 months of those breeds was not different. The best live weight and age of puberty up to 12 months of age was in the three crossbred. Netincome of three crossbred tend to be higher than those on two crossbred. However the highest feed cost was shown SIMPO X LIM (Rp. 1.181.000 per seven months). So the most efficient offspring was the three crossbred of LIMPO X SIM. Key Words: Cross Breed, Growth, Puberty, Calf Value ABSTRAK Usaha perbibitan sapi potong bakalan secara komersial di peternakan rakyat dilakukan melalui kawin silang dengan memanfaatkan program inseminasi buatan (IB). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran awal informasi kinerja produksi dan umur pubertas hasil kawin silang dalam usaha peternakan rakyat di kelompok peternak sapi potong di tiga kecamatan di Kota Probolinggo Jawa Timur. Disain percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah dengan tiga kelompok pedet perlakuan hasil kawin silang sapi: (A) induk F1 Simmental X PO dengan pejantan Limousin (SIMPO X LIM), (B) dan induk F1 Limousin X PO dengan pejantan Simmental (LIMPO X SIM) dan (C) SIMPO atau LIMPO. Pengamatan dilakukan pada pedet hasil kawin silang dua dan tiga bangsa sejak lahir hingga dara. Parameter yang diamati meliputi: bobot badan, ukuran linear tubuh, umur pubertas, dan nilai jual pedet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan berat lahir terendah diperoleh pada hasil kawin silang dua bangsa LIMPO/SIMPO sebesar 26,5 ± 4,2 kg dibandingkan dengan tiga bangsa SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM yang masing-masing adalah 31,1± 4.4 kg dan 29,0±3,4 kg. Sementara itu, bobot badan saat sapih (5 bulan) dan dara (12 bulan) secara statistik tidak menunjukan perbedaan nyata, yakni 145,1 ± 28,8 kg dan 259,0 ± 64,6 kg (SIMPO X LIM); 135,7 ± 23,2 kg dan 253,8 ± 56,2 kg (LIMPO X SIM) dan 126,5 ± 24,4 kg dan 205,3 ± 40,1 kg (LIMPO/SIMPO), namun laju pertumbuhan bobot badan dan umur pubertas pedet muda hingga umur 12 bulan yang terbaik diperoleh pada hasil silang tiga bangsa SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM. Hasil perhitungan penerimaan bersih pada hasil kawin silang tiga bangsa (SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM) cenderung lebih tinggi daripada hasil kawin silang dua bangsa (SIMPO/LIMPO), namun biaya pakan tertinggi terdapat pada hasil kawin silang SIMPO X LIM sebesar Rp. 1.181.000,0 ± 369.000,6 selama tujuh bulan; dengan demikian hasil persilangan yang paling efisien adalah hasil silang tiga bangsa LIMPO X SIM. Kata Kunci: Sapi Persilangan, Pertumbuhan, Umur Pubertas, Nilai Ekonomis
176
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENDAHULUAN Pelaksanaan inseminasi buatan (IB) di peternak rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO) dengan pejantan sapi simmental, limousin atau brahman/angus, tergantung pada kesenangan dan kemampuan peternak. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi program pemuliaan sapi potong pada tingkat rakyat secara sederhana sesuai dengan kondisi wilayah, diantaranya melalui program pemurnian sapisapi lokal maupun persilangan dengan sapi unggul dengan memanfaatkan program IB (kawin suntik) di peternak. Selama ini program kawin suntik di tingkat peternakan rakyat tidak terarah bahkan pemanfatan teknologi dalam penggemukan sapi impor dirasakan masih belum dilaksanakan secara baik oleh peternak (SUTAWI, 2002). Suatu usaha perbibitan sapi potong bakalan secara komersial di peternakan rakyat dengan memanfaatkan program IB/kawin suntik, memerlukan adanya pembentukan wilayah sentra perbibitan dan menurut HAMMACK (1998) serta CHAPMAN dan ZOBELL (2004) harus diikuti dengan program persilangan dan pemuliaan yang benar dan terarah, sehingga akan mampu meningkatkan produksi daging (THIEN, 1992). AFFANDHY et al. (2003), melaporkan bahwa peternak di Jawa Timur telah menyilangkan induk PO dengan sapi Limousin yang turunannya dikawinkan lagi dengan sapi Simmental atau sebaliknya, untuk menghasilkan sapi silangan yang siap jual (commercial breed). Hal ini sama dengan program kawin silang tiga bangsa ((A X B) X C) yang menurut FRAHMM (1998) serta CHAPMAN and ZOBELL (2004) akan dapat menghasilkan bangsa sapi yang super karena kemungkinan peningkatan pemanfaatan heterosis hingga 100%, atau menurut SIREGAR et al. (1999) akan dihasilkan sapi dengan berat badan yang lebih baik. Heterosis terbaik bisa berasal dari hasil persilangan antara Bos taurus dengan Bos indicus yang selanjutnya disilangkan lagi dengan bangsa Bos taurus (ARNGO et al., 2002). Pendapat CUNDIFF dan GREGORY (1999) menyatakan bahwa persilangan antara Bos taurus dengan Bos indicus menghasilkan heterosis lebih baik daripada persilangan antara Bos taurus.
Bakalan hasil persilangan antara sapi PO dengan Simmental atau Limousin, cukup diminati oleh peternak karena mempunyai eksterior tubuh yang lebih sesuai sebagai tipe potong, yaitu badannya cukup padat dan berisi serta tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal terutama pada kondisi pakan yang baik, sehingga saat sapi lepas sapih mempunyai harga yang lebih tinggi. AFFANDHY et al. (2005) menyatakan bahwa 74% peternak di Probolinggo memilih program IB kawin silang tiga bangsa dan telah menyebar di usaha peternakan rakyat dengan 83% sebagai perbibitan menghasil pedet. Oleh karena itu, perlu adanya suatu usaha perbibitan sapi-sapi bakalan secara komersial dengan memanfaatkan program persilangan sapi potong yang telah lama berkembang di Indonesia, khususnya sapi silangan/turunan dari Pejantan Simmental atau Limousin yang sudah menyebar di usaha peternakan rakyat dengan membentuk wilayah sentra pembibitan sapi potong guna penyediaan bakalan melalui program pemuliaan atau persilangan yang benar dan terarah. Berlatar belakang seperti yang diuraikan diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1.
Mendapatkan informasi kinerja sapi potong persilangan dua bangsa (PO X Simmental atau PO X Limousin) dan atau tiga bangsa (Peranakan Ongole X Simmental X Limousin) di peternakan rakyat
2.
Menghasilkan final stock dua dan atau tiga bangsa sebagai penghasil bakalan sapi potong komersial di tingkat peternakan rakyat. MATERI DAN METODE
Penelitian merupakan on farm reseach di Kecamatan Kademangan, Wonoasih dan Mayangan Kota Probolinggo; dengan melakukan uji terap model pembentukan bibit sapi potong komersial dengan sistem perkawinan tiga bangsa (PO X Simmental X Limousin) di peternakan rakyat. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola searah dengan perlakuan tiga
177
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
perbedaan komposisi darah sapi, yaitu (A) induk F1 Simmental x PO dengan pejantan Limousin (SIMPO x LIM), (B) induk F1 Limousin X PO dengan pejantan Simmental (LIMPO X SIM) dan (C) pejantan Simmental X induk PO atau pejantan Limousin X induk PO (SIMPO atau LIMPO) sebagai kontrol (hasil silang dua bangsa); dengan masingmasing perlakuan sebanyak 20 ulangan. Jumlah bangsa SIMPO lebih sedikit (10%) dan tidak ada perbedaan dibandingkan dengan bangsa LIMPO sehingga analisis pedet silang dua bangsa digabung. Data performans pertumbuhan dan konsumsi ransum sapi, dikumpulkan melalui monitoring berkala dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis ekonomi diperoleh melalui teknik wawancara. Parameter penelitian meliputi: 1. Pertambahan bobot badan 2. Ukuran linier tubuh (panjang badan, tinggi gumba, tinggi pinggul dan lingkar dada), bobot lahir, bobot sapih umur sapih 205 hari dan bobot umur 365 hari (yearling) 3. Analisis biaya pakan 4. Konsumsi nutrien meliputi bahan kering (BK) dan, protein kasar (PK) 5. Nilai jual pedet sapih hingga dara 6. Performans reproduksi meliputi umur estrus dan atau kawin pertama. Analisis data menggunakan uji beda nyata tiga perlakuan dengan program software SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Performans sapi hasil kawin silang Hasil pengukuran performans bobot badan, umur pubertas dan ukuran linear tubuh pedet pra-sapih dan lepas sapih antara hasil perkawinan silang tiga bangsa dan dua bangsa disajikan pada Tabel 1 dan 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan berat lahir terendah terdapat pada hasil kawin silang dua bangsa LIMPO/SIMPO (26,5 ± 4,2 kg) dibandingkan dengan hasil kawin silang tiga bangsa SIMPO X LIM (31,1 ± 4.4 kg), namun dibandingkan dengan bangsa LIMPO X SIM tampaknya tidak menunjukkan perbedaan (29,0 ± 3,4 kg) (Tabel 1). Dengan demikian diindikasikan bobot lahir terbaik adalah hasil silang tiga bangsa dari SIMPO X LIM; selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan berikutnya apabila diberikan dengan pakan yang sama. Bobot lahir sapi tersebut sama dengan laporan SARIUBANG et al., (2001) menyatakan bahwa bobot lahir persilangan sapi Simmental dengan sapi Bali lebih tinggi 32,3 kg daripada persilangan sapi Limousin dengan sapi Bali (29,5 kg), namun laju pertumbuhan sapi persilangan Simmental dan sapi Bali lebih baik. Demikian pula hasil penelitian SIREGAR et al. (1999) bahwa silang tiga memberikan anak yang lebih baik dilihat dari bobot lahir, yaitu 26,1 ± 0,8 kg (SIM X PSIM) dan 31,0 ± 2,8 (LIM X PSIM).
Tabel 1. Bobot badan dan umur pubertas pedet prasapih dan lepas-sapih hasil kawin silang PO, Simmental dan Limousin Perlakuan
Parameter Bobot lahir Bobot sapih umur 5 bulan PBBH 5 bulan (g/hari)
A
B
C
31,1 ± 4.4b
29,0 ± 3,4ab
26,5 ± 4,2a
145,1 ± 28,8a
135,7 ± 23,2a
a
503,3 ± 283,5
a
a
640,0 ±352,6
a
126,5 ± 24,4a 428,6 ± 276,9a
Bobot lepas sapih umur 12 bulan
259,0 ± 64,6
253,8 ± 56,2
205,3 ± 40,1a
PBBH 12 bulan (g/hari)
636,7 ± 313,2a
857,1 ± 465,1a
385,7 ± 239,4a
Umur pubertas (hari)* abc
a
404,8 ± 39,9
b
508,0 ± 44,4
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) PBBH = Pertambahan berat badan harian A = SIMPO X LIM, B= LIMPO X SIM, C= SIMPO/LIMPO
178
550,0 ± 00,0c
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Bobot badan umur 5 bulan dan 12 bulan pada masing-masing sapi hasil persilangan tiga bangsa dan dua bangsa tidak menunjukkan perbedaan, yaitu berturut-turut 145,1 ± 28,8 kg dan 259,0 ± 64,6 kg (SIM X PO X LIM); 135,7 ± 23,2 kg dan 253,8 ± 56,2 kg (LIM X PO X SIM) dan 126,5 ± 24,4 kg dan 205,3 ± 40,1 kg (PO X Simental/Limousin); demikian pula ukuran linear tubuh ketiga bangsa tersebut
tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 2). Akan tetapi pertumbuhan bobot badan dan umur pubertas pedet muda hingga umur 12 bulan yang terbaik diperoleh pada hasil silang tiga bangsa (SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM) daripada hasil silang dua bangsa (LIMPO/SIMPO) seperti tampak pada gambar Gambar 1. Oleh karena itu umur pubertas sapi hasil kawin silang tiga bangsa tersebut lebih
Berat Badan (kg)
30 25 SIMPO X LIM
20
LIMPO X SIM 15 LIMPO/SIMPO
10 5 0
1
2
3
4
5
7 6 9 8 Umur pedet (bulan)
10
11
12
Gambar 1. Pertumbuhan pedet prasapih (< umur 5 bulan) dan pasca sapih (>5 bulan) sapi hasil kawin silang
Tabel 2. Ukuran linear tubuh pedet umur 5 dan 12 bulan hasil kawin silang sapi PO, Simmental dan Limousin Perlakuan
Parameter A
B
C
Linear tubuh (umur 5 bulan) Tinggi gumba (cm)
98,5 ± 4,0a
96,2 ± 6,4a
91,8 ± 7,8a
Lingkar dada (cm)
115,5 ± 5,5
a
113,0 ± 7,5
107,0 ± 10,2a
Panjang badan (cm)
102,0 ± 7,2a
95,0 ± 8,7a
91,0 ± 10,0a
Tinggi pinggul (cm)
a
108,0 ± 5,0
a
a
102,0 ± 8,9a
118,0 ± 2,9a
114,2 ± 3,0a
104,0 ± 7,4
Linear tubuh (umur 12 bulan) Tinggi gumba (cm)
115,5 ± 3,7a 152,3 ± 20,4
a
Panjang badan (cm)
127,3 ± 17,3
a
Tinggi pinggul (cm)
124,4 ± 3,9a
Lingkar dada (cm)
150,2 ± 14,9
a
140,5 ± 3,3a
126,0 ± 12,8
a
118,0 ± 8,7a
126,8 ± 6,2a
123,0 ± 1,7a
a
Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05) A = SIMPO X LIM; B = LIMPO X SIM; C = SIMPO/LIMPO
179
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
cepat daripada silang dua bangsa. Hal yang sama dilaporkan AFFANDHY et al. (2003) menyatakan bahwa umur pubertas sapi silangan Simmental dan Limousin adalah 1419 bulan lebih pendek daripada sapi PO (23 – 24 bulan). Pakan pedet lepas sapih-dara Hasil pengukuran konsumsi dan kebutuhan pakan berdasarkan bobot badan pada pedet prasapih hingga dara antara hasil kawin silang tiga bangsa dan dua bangsa disajikan pada Tabel 3. Jenis pakan sapi pedet yang diberikan selama pengamatan adalah berupa tebon segar, klobot jagung, ampas tahu, rumput lapangan, dedak, jerami padi dan konsentrat dengan persentase terbesar adalah tebon jagung, yaitu lebih dari 70%. Rasio suplai:kebutuhan pada perlakuan A, B dan C adalah 81,1 ± 22,1%; 89,6 ± 24,3% dan 106,1 ± 32,6% pada suplai BK dan 78,9 ± 16,9 %; 87,4 ± 22,9% dan 109,4 ± 34,6% pada PK (Tabel 3). Ini berarti pemberian pakan pedet lepas sapih pada sapi hasil kawin silang tiga bangsa SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM pada tingkat peternak rakyat masih belum memenuhi kebutuhan ternak, tetapi pemberian pakan pada hasil kawin silang dua bangsa (SIMPO/LIMPO) telah melebihi dari kebutuhan pakan (> 100%); sehingga pemberian pakan pada pedet hasil kawin silang dua bangsa (SIMPO/LIMPO)
kurang efisien. Akibat masih kurangnya pemberian pakan terutama pada sapi hasil kawin silang tiga bangsa (SIMPO X LIM atau LIMPO X SIM) akan berpengaruh terhadap tampilan PBBH (Tabel 1) yang menunjukkan keragaman lebih tinggi dan rataan masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil laporan MC DONALD (2000) yang menyatakan bahwa dengan perlakuan pakan yang baik menghasilkan PBBH sebesar 1,3 – 1,4 kg/hari pada sapi silangan Limousin dan 0,5 kg/hari pada sapi Ongole. Analisis ekonomi sapi persilangan lepas sapih sampai dengan umur satu tahun berupa pengeluaran biaya pakan, obat cacing, tali/tongar dan pembelian pedet lepas sapih umur 4 – 5 bulan serta hasil jual/harga pedet lepas sapih umur satu tahun disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis ekonomi nampak bahwa walaupun secara uji statistik tidak ada perbedaan yang nyata namun hasil penerimaan bersih pada hasil kawin silang tiga bangsa (SIMPO X LIM dan LIMPO X SIM) lebih tinggi daripada hasil kawin silang dua bangsa (SIMPO/LIMPO). Sementara itu, biaya pakan tertinggi adalah pada hasil kawin silang SIMPO X LIM sebesar Rp. 1.181.000,0 ± 369.000,6 selama tujuh bulan daripada hasil kawin silang LIMPO X SIM dan LIMPO/SIMPO yang masing-masing adalah Rp. 733.000,0 ± 559.000,2 dan Rp. 992.000,0 ± 381.000,5 selama tujuh bulan.
Tabel 3. Status pakan sapi potong lepas-sapih hasil kawin silang sapi PO, Simmental dan Limousin Perlakuan
Parameter A Konsumsi BK (kg/hari)
B a
3,7 ± 1,1
4,0 ± 1,2
C a
4,1 ± 1,1a
Konsumsi PK (g/hari)
353,3 ± 83,4
a
375,0 ± 113,8
Rata-rata bobot badan (kg)
194,3 ± 48,7a
184.4 ± 41,1a
Kebutuhan BK (kg/hari) Kebutuhan PK (g/hari)
a
4,8 ± 1,2
454,0 ± 115,4
4,5 ± 1,0 a
a
a
429,2± 95,8
400,0 ± 118,3a 160,6 ± 30,4a 3,9 ± 0,7a
a
374,5 ± 70,1a
Imbangan suplai/kebutuhan (%) Rasio BK
81,1 ± 22,1
89,6 ± 24,3
106,1 ± 32,6
Rasio PK
78,9 ± 16,9
87,4 ± 22,9
109,4 ± 34,6
a Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05) BK = Bahan kering; PK = Protein kasar A = SIMPO X LIM; B = LIMPO X SIM; C = SIMPO/LIMPO
180
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Analisis ekonomi sapi hasil kawin silang lepas sapih umur 5 – 12 bulan ( x Rp. 1000) Perlakuan
Parameter A
B
C
Biaya pengeluaran: Rata-rata pembelian pedet
3.123,0 ± 801,7
2.933,0 ± 568,8
2.375,0 ± 564,3
Biaya obat cacing dan tongar
10,0 ± 0,0
10,0 ± 0,0
10,0 ± 0,0
Biaya pakan selama pelihara
1.181,0 ± 369,6
733,0 ± 559,2
992,0 ± 381,5
Jumlah Pengeluaran
4.314,0 ± 849,8
3.868,0 ± 701,5
3.377,0 ± 824,5
4.991,0 ± 290,5
5.100,0 ± 1496,1
3.600,0 ± 765,2
677,0 ± 702,9
1.232,0 ± 1418,0
223,0 ± 486,2
Pemasukan Harga pedet umur 12 bulan Penerimaan per peternak
Biaya kandang dan lampu tidak dihitung (umumnya menjadi satu dengan rumah) A = SIMPO X LIM, B = LIMPO X SIM, C = SIMPO/LIMPO
Dengan demikian hasil kawin silang dipandang dari biaya pakan dan hasil penerimaan yang paling efisien adalah hasil kawin silang tiga bangsa LIMPO X SIM, namun dipandang dari umur pubertas yang terbaik adalah hasil kawin silang tiga bangsa dari SIMPO X LIM. Ini diduga Simmental nilai heterosis lebih tinggi daripada yang lainnya. Sifat-sifat menurun Simmental memiliki produksi susu tinggi, pertumbuhan dan produksi daging baik, (2) Limousin memiliki pertumbuhan dan produksi daging baik dan (3) Brahman/Bos indicus memiliki umur pubertas yang baik (CHAPMAN and ZOBELL (2004). Hal ini juga sesuai dengan beberapa pendapat, yaitu heterosis terbaik bisa berasal dari hasil persilangan antara Bos taurus dengan Bos indicus yang selanjutnya disilangkan lagi dengan bangsa Bos taurus (ARANGO et al., 2002). Pendapat CUNDIFF dan GREGORY (1999) menyatakan bahwa persilangan antara Bos taurus dengan Bos indicus lebih baik daripada persilangan antara Bos taurus. Demikian juga program persilangan tiga bangsa (A x B) x C akan meningkatkan heterosis hingga 100% dan menghasilkan bangsa yang super (FRAHMM, 1998). CHAPMAN and ZOBELL (2004) menyatakan bahwa hasil persilangan Induk F1 dikawinkan dengan bangsa teriminal sire akan menghasilkan 100% heterosis dan tidak ada efek bangsa serta dapat meningkatkan berat sapih sebesar 23 – 28%. SIREGAR et al. (1999) menyatakan bahwa sistem kawin silang tiga
memberikan anak yang lebih baik dilihat dari bobot badannya. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Rataan bobot lahir yang tertinggi diperoleh pada hasil kawin silang bangsa SIMPO X LIM daripada LIMPO X SIM maupun SIMPO/LIMPO
2.
Bobot badan dan ukuran linear tubuh umur 5 bulan dan 12 bulan masingmasing persilangan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata, namun pertumbuhan bobot badan, umur pubertas dan tingkat keuntungan penjualan pedet hasil kawin silang tiga bangsa (SMPO X LIM dan LIMPO X SIM) lebih baik daripada hasil kawin silang dua bangsa (SIMPO/LIMPO)
3.
Komsumsi pakan pada hasil kawin silang dua bangsa kurang efisien bila dibandingkan tiga bangsa, yaitu jumlah pemberiannya telah lebih dari 100%.
4.
Disarankan dalam pengembangan usaha sapi potong silangan dua dan tiga bangsa harus selalu memperhatikan SDM dan SDA di wilayah pengembangannya, serta harus mempunyai arah dan tujuan pengembangan yang jelas.
181
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI dan D.B. WIJONO. 2003. Performans reproduksi dan pengelolaan sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 37 – 42. AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS, M.A. YUSRAN dan D.B. WIJONO. 2003. Keragaan produktivitas sapi induk dan apresiasi IB guna mendukung usaha perbibitan sapi potong persilangan pada kondisi peternakan rakyat (Studi kasus di Kecamatan Kademangan, Wonoasih dan Mayangan Probolinggi, Jawa Timur). Pros. Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Kerjasama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan BPTP Bali. Denpasar 28 September 2005. hlm. 498 – 504. ARANGO, J.A., L.V. CUNDIFF and L.D. VAN VLECK. 2002. Breed comparisons of Angus, Brahman, Hereford, Pinzgauer, Sahiwal, and Tarentaise for weight, weight adjusted for condition score, height, and body condition score. J. Anim. Sci. 80: 3142 – 3140. FRAHMM, R.R. 1998. System of Crossbreeding. Cooperative Extension Service, Division of Agriculture, Oklahoma State University. HAMMACK, S.P. 1998, Breeding Systems for Beef Production. Agricultural Communications, The Texas A & M University System.
182
CHAPMAN, C. K. and D. ZOBELL. 2004. Applying Principles of Crossbreeding. Extension Utahstate University, May, 2004. 1 – 4. CUNDIFF, L.V. and K.E. GREGORY. 1999. What is Systematic Crossbreeding? Mar 1, 1999 12.00 pm. http://www.what%20is%20Systematic% 20crossbreeding.htm/. MC DONALD. 2000. Limousins Double Beef cattle Production in Indonesia. (http://www. National%20show%20and%20Sale.htm/) SARIUBANG, M., A. ELLA, D. PASAMBE dan S. BAHAR. 2001. Pengaruh bangsa pejantan terhadap produktivitas sapi potong hasil inseminasi buatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 59 – 63. SUTAWI. 2002. Studi pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penggemukan sapi potong impor. J. Ilmiah Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Muhamdiyah Malang: 265 – 272. SIREGAR, A.R., J. BESTARI, R.H. MATONDANG, Y. SANI dan H. PANJAITAN. 1999. Penentuan breeding sapi potong program IB di Propinsi Sumatera Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 113 – 121. THIEN, N. 1992. Some success and problems on creating beef cattle breeds in Vietnam. Proc. of The sixth AAAP Anim. Sci.Congress. Vol. III. AHAT Bangkok, 1992: 196.