Kinerja Inflation Targeting Framework Di Indonesia Periode 2000-2009 Oleh: Dr. M.Natsir, SE. MS Abstrak Model Inflation Targeting Framework yang disingkat dengan ITF merupakan strategi baru dalam operasi kebijakan moneter. Agar bisa efektif, model ini membutuhkan beberapa syarat, baik sebelum maupun pada saat implementasi. Sebelum implementasi pemerintah harus mempersiapkan dua hal: (1). Menciptakan independensi bank sentral. (2). Menghindari target-target nominal selain inflasi. Jika dua syarat tersebut dipenuhi, maka suatu negara dapat memulai implementasi model tersebut. Implementasi model ITF di Indonesia telah mengikuti kaidah-kaidah sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang juga menerapkan model tersebut Implementasi model ITF di Indonesia belum memberikan kinerja yang menggembirakan. Implementasi model ini masih banyak menemui hambatan, baik dari internal BI sendiri maupun dari eksternal BI. Kalangan birokrasi di pemerintahan belum memberikan dukungan yang kuat terhadap implementasi model ini. Masyarakat pada umumnya juga masih asing dengan model kebijakan tersebut. Kondisi seperti ini merupakan sesuatu yang wajar dan juga dialami di beberapa negara pada tahap awal implementasi model tersebut. Pada tahun 2002 dan 2004 kinerja model ini cukup baik, dimana inflasi aktual sebesar 10,3% angka ini beda tipis dengan inflasi yang ditargetkan yaitu sebesar 9,0–10,0%. Pada tahun 2004 kinerja model ITF juga sangat menggembirakan, dimana inflasi aktual mencapai 6,40% hampir sama dengan angka inflasi aktual (4,5-6,5%). Tapi selain tahun 2002 dan 2004 hasilnya sangat tidak menggembirakan. Pada tahun 2000 dan 2001 inflasi aktual melebihi inflasi yang ditargetkan. Sedangkan pada tahun 2003 inflasi aktual lebih rendah dibandingkan dengan inflasi yang ditargetkan. Hasil ini menandakan BI masih belum sepenuhnya komitmen terhadap penciptaan stabilitas harga. Kata Kunci: Model ITF, inflasi aktual, target inflasi dan Kebijakan Moneter
1. Pendahuluan Model ITF merupakan model kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi. Model ini sudah jamak diterapkan baik di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Negara yang pertama kali menerapkan model ITF adalah Selandia Baru pada tahun 1990, Chili (1991), Kanada (1991), Inggris serta Australia dan sampai sekarang terdapat sekitar 14 negara yang sudah menerapkan model tersebut.
Di masa depan diperkirakan semakin banyak negara yang akan
menerapkan model tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Sehubungan dengan makin meluasnya penerapan model ITF di manca negara, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah model ITF cocok diterapkan di Indonesia?. Pertanyaan ini mengemuka karena banyak penulis yang meragukan dan pesimis terhadap kemungkinan keberhasilannya jika model ini diterapkan di negaranegara berkembang (Masson et al,1998). Sampai saat ini jumlah negara industri yang menerapkan model ITF lebih sedikit dibandingkan negara berkembang dan sejak tahun 2000 Indonesia juga telah mencoba menerapkan model tersebut, namun belum menunjukkan keberhasilan yang berarti.
2. Konsep & Penerapan Model ITF Krisis moneter yang terjadi sejak medio tahun 1997 memberi banyak pelajaran bagi Indonesia, salah satu di antaranya adalah perubahan fundamental dalam perumusan kebijakan moneter. Jika sebelum krisis, kebijakan moneter diarahkan untuk mecapai
atau
merealisasikan
tujuan
ganda
(multiple
objectives) antara lain:
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, stabilitas moneter, keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya, maka sejak UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter
di Indonesia diarahkan pada satu tujuan (single
target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil. Ketidakpuasan terhadap model kebijakan moneter yang lama (monetary
targeting dan interest rate targeting serta exchange rate targeting) dalam mewujudkan tujuan akhir kebijakan moneter serta ditemukannya bukti-bukti baru tentang peranan uang dalam perekonomian, merupakan titik awal dari berkembangnya model ITF. Tapii karena model ITF relatif baru, penerapan model ini banyak menemui hambatan dan bank sentral yang menerapkan model ini masih banyak pada taraf “learning by doing ”. Karateristik utama model ITF adalah dijadikannya target inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter yang diumumkan kepada publik sebagai target inflasi yang harus dicapai kebijakan moneter. Dalam konteks Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter harus mengacu pada Undang-Undang Bank Indonesia (UU No. 3 Tahun 2004 Tentang BI). Pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel makroekonomi lainnya masih menjadi pertimbangan penting dalam pentargetan inflasi, karena pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang menentukan tingkat inflasi di masa yang akan datang (Ismail,
2006). Target inflasi dapat dipandang sebagai suatu jangkar nominal (nominal anchor) kebijakan yang akan menentukan respons kebijakan yang akan diambil oleh suatu bank sentral (misalnya Bank Indonesia). Target inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter, sedangkan yang lainnya merupakan tujuan sekunder, tapi tujuan sekunder tidak boleh mengganggu tujuan utama . Meskipun demikian, tingkat inflasi yang rendah dan stabil masih menjadi kontroversi dan besarnya tingkat inflasi di setiap negara sulit untuk dikatakan sama (Schmidt-Hebel,2003 dalam Ismail,2006). Model ITF juga berbeda dengan model kebijakan moneter lain yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam model ITF yang diungkapkan adalah sasaran akhir (final
target) yaitu inflasi, sedangkan pada model-model lainnya yang ditonjolkan adalah sasaran antara (intermediate target) yaitu jumlah uang beredar (money supply), nilai tukar (exchange rates) dan tingkat suku bunga (interest rate). Karateristik utama model ITF seperti itu, harus dibedakan dengan kondisi dimana bank sentral (Bank Indonesia) mengumumkan prediksi tingkat inflasi yang ingin dicapai. Kasus terakhir ini tidak bisa dikategorikan sebagai model ITF (Debelle, 2001 dalam Ismail, 2006), karena tidak ada kewajiban bagi bank sentral (Bank Indonesia) untuk mewujudkan estimasi inflasi yang telah dibuatnya. Besaran estimasi yang diumumkan masih bersifat indikatif dan tarafnya masih pada tingkat yang ”diharapkan” dan bukan tingkat yang harus ”diwujudkan”, untutuk alasan itu maka tidak bisa disamakan dengan target yang harus dicapai seperti dalam model ITF (Ismail,2006). Pengertian tujuan utama dalam model ITF tidak harus dimaknai secara mutlak. Artinya, tujuan kebijakan makroekonomi lainnya tidak mutlak diabaikan misalnya tujuan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Tapi, target inflasi harus menjadi target utama, sementara yang lainnya merupakan tujuan sekunder yang ”tidak boleh mengganggu” tercapainya tujuan utama. Dalam model ITF, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja masih menjadi pertimbangan penting karena kedua variabel tersebut besar peranannya terhadap besaran tingkat inflasi di masa datang, tapi kadar pertimbangan tersebut sangat tergantung pada model yang diadopsi dan secara empiris tidak boleh disamaratakan untuk semua negara (Masson et al,1998). Secara teoritis dan empiris, berkembangnya model ITF erat kaitannya dengan kontroversi yang tejadi di antara ekonom di bidang moneter. Kontroversi tersebut belum
berakhir dan tampaknya tidak akan pernah berakhir. Perdebatan di antara ekonom moneter mengerucut (konvergensi) pada 4 (empat) hal yang kemudian 4 hal itu menjadi premis dari model ITF (Masson et al,1998). Empat premis dasar tersebut adalah sebagai berikut. (1). Uang netral dalam jangka panjang. Artinya, dalam jangka panjang
perubahan
jumlah uang beredar (money supply) hanya berpengaruh terhadap variabel nominal (misalnya inflasi), tapi tidak berpengaruh sama sekali terhadap variabel riil (misalnya pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja).
Secara teoritis,
persoalan ini erat kaitannya dengan debat panjang antara dua keompok pemikiran. Yaitu antara kelompok implicit mainstream views yang menekankan fungsi uang sbagai alat tukar (the medium of change) dan berkesimpulan bahwa uang bersifat netral (money neutrality). Kelompok yang berpandangan bahwa money as social
relation atau credit approach yang berpandangan bahwa uang bersifat tidak netral (Smithin, 2003). Namun secara empiris, banyak studi yang dilakukan sejak tahun 1970-an mendukung kenetralan uang terhadap sektor riil dalam jangka panjang (Taylor, 1996). (2).
Tingkat inflasi yang tinggi dan berfluktuasi menimbulkan biaya ekonomi yang sangat mahal dalam perekonomian. Banyak studi yang membuktikan kautnya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, tingkat inflasi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan melalui perubahan nilai kekayaan yang tidak proporsional dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan (Ismail et al, 2005).
(3).
Uang bersifat tidak netral dalam jangka pendek. Meskipun kebijakan moneter memiliki dampak positif terhadap output dalam jangka pendek, namum pemahaman para ekonom mengenai dampak kebijakan moneter terhadap output dalam jangka pendek masih belum jelas. Ismail (2006) menyatakan bahwa ketidakjelasan itu meliputi: (i). Berapa besarnya dampak, (ii). Kapan dampak itu akan muncul, (iii). Bagaimana kebijakan moneter itu ditransformasikan ke seluruh sektor
ekonomi.
Untuk
alasan itu,
kebijakakan
moneter
yang
ditujukan
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja , sebenarnya masih menghadapi ketidakpastian (Dodge,2005).
(4).
Adanya time lag yang panjang antara saat implementasi kebijakan moneter dan tercapainya sasaran akhir (final target) atau saat munculnya inflasi. Meskipun telah diyakini adanya dampak kebijakan moneter terhadap inflasi, tetapi kapan dan berapa besar pengaruhnya tidak bisa diketahui dengan segera dalam jangka pendek. Atas dasar itu, maka rumusan kebijakan moneter yang ditujukan untuk stabilitas harga, harus dirumuskan dalam jangka menengah dan panjang. Mengacu pada keempat premis dasar model ITF tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa kebijakan moneter yang fokus pada sasaran tunggal inflasi akan mempermudah tercapainya tujuan-tujuan lain dari kebijakan makroekonomi lainnya (misalnya pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja). Karena secara empiris, kebijakan moneter yang multiple target justru mempersulit bank sentral (Bank Indonesia), karena tidak semua sasaran dapat dikendalikan oleh instrumen kebijakan moneter. Akibatnya, tidak semua sasaran dapat dicapai secara simultan dan kebijakan moneter menjadi tidak efektif. 3. Syarat-Sayarat Model ITF. Agar bisa efektif, model ITF membutuhkan beberapa syarat, baik syarat sebelum implementasi maupun syarat saat implementasi. Sebelum implementasi model ITF, pemerintah harus mempersiapkan dua hal, antara lain: (1). Menciptakan independensi bank sentral. Ada beberapa independensi yang dimiliki bank sentral, tapi yang terpenting adalah independensi instrumen. Artinya, bank sentral memiliki kebebasan
untuk menentukan dan menggunakan setiap
instrumen kebijakan tanpa diganggu oleh kepentingan pihak lain ( eksekutif dan legislatif). Gangguan yang sering terjadi berasal dari sisi fiskal, yaitu kebijakan pembiayaan defisit anggaran melalui pencetakan uang baru (seignarage). Jika hal ini terjadi, maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar (money supply) yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Untuk alasan itu, maka dominasi fiskal dalam model ITF merupakan suatu keharusan. (2). Menghindari target-target nominal selain inflasi. Tidak adanya target nominal selain inflasi, misalnya target nilai tukar. Secara teoritis dan empirik inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai tukar. Akibatnya, memilih target inflasi berarti mengorbankan target nilai tukar. Jika inflasi yang dipilih untuk dijadikan target atau sasaran akhir kebijakan moneter, maka perekonomian harus menerima
konsekuensi dari berapapun besarnya nilai tukar. Untuk alasan itu, maka regim nilai tukar yang relevan dengan model ITF adalah free floating exchange rates. Setelah dua syarat tersebut di atas dipenuhi, maka suatu negara dapat memulai implementasi kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi atau model ITF. Meskipun demikian, agar model ITF dapat berjalan dengan baik, maka minimal empat syarat yang perlu diperhatikan dalam implementasi model ITF (Morande and Schmidth, 1997). Syarat-syarat yang dimaksud adalah: (1). Bank Sentral dan atau pemerintah menetapkan secara eksplisit besaran target inflasi untuk beberapa periode ke depan. Target tersebut harus diumumkan kepada publik. (2). Ketersedian informasi yang jelas tentang variabel-variabel moneter dan non-moneter yang digunakan untuk merumuskan kebijakan moneter. (3). Bank sentral memiliki model yang handal untuk memperkirakan inflasi yang disertai penjelasan mengenai variabel dan indikator yang digunakan. (4). Menggunakan prosedur operasional yang berorientasi ke depan, dimana penetapan kebijakan
instrumen
mengacu pada tekanan inflasi yang terjadi dan estimasi inflasi yang
digunakan sebagai target antara dari kebijakan moneter. Beberapa persyaratan tersebut di atas, memungkinkan adanya hal-hal positif atau kekuatan dalam kebijakan ekonomi, antara lain: (i). Penerapan model ITF memungkinkan bank sentral (otoritas moneter) untuk fokus pada masalah inflasi, tanpa diganggu persoalan-persoalan lainnya. (ii). Penerapan model ITF memungkinkan bank sentral untuk transparan dalam kebijakan ekonomi. Keharusan mengumumkan semua aspek kepada publik membawa dua manfaat sekaligus, yaitu: (i). Publik lebih familier dengan kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh otoritas moneter, (ii). Menghindari adanya time inconsitency yang dilakukan oleh otoritas moneter. Di samping hal-hal positif/kekuatan tersebut di atas, kelemahan utama model ITF dan secara politik biaya sangat mahal adalah dikorbankannya pertumbuhan dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Dari aspek politik inilah yang memunculkan kontroversi yang luas di Amerika Serikat untuk menerapkan model ITF.
4. Kinerja Model ITF di Indonesia. Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai implementasi model ITF di Indonesia. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah implementasi model ITF di
Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah seperti yang diuraiakan pada terdahulu?. Bagaimana kinerja model ITF tersebut?. Kedua pertanyaan tersebut yang akan dijawab pada bagian ini. Implementasi model ITF di Indonesia dimulai pada tahun 2000, pada tahun itu krisis krisis ekonomi dan keuangan belum sepenuhnya pulih. Krisis moneter yang terjadi sejak medio 1997 yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi serta krisis multidimesional memberi pelajaran berharga berupa kesadaran tentang perlunya meredefenisi implementasi kebijakan moneter dan kedudukan bank sentral dalam perekonomian Indonesia. Kredibilitas Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merosot tajam pada masa krisis, karena digunakan sebagai instrumen oleh pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank umum yang sebagian besar dimiliki oleh para konglomerat yang dekat dengan kekuasan. Kredibilitas BI semakin terpuruk, ketika dana yang disalurkan ke bank-bank umum tidak digunakan secara benar oleh para pemiliknya, yang pada akhirnya bermuara pada kasus BLBI yang sampai sekarang penyelesaian tidak jelas. Menyadari merosotnya kredibilitas BI dan kegagalan kebijakan moneter yang bersasaran ganda (multiple objectives). Pemerintah RI dibawah presiden BJ. Habibie mengambil inisiatif untuk meletakkan kembali posisi BI pada posisi yang sebenarnya. Usaha tersebut terwujud dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No.13 tahun 1968 Tentang Bank Sentral. UU No. 23/1999 tang BI membawa implikasi yang sangat penting, karena BI diberikan independensi dalam menjalankan kebijakan moneter. Dengan UU yang baru, BI menjadi lembaga yang independen dan bebas dari intervensi, baik pemerintah maupun legislatif. Berbeda dengan UU yang lama, dimana BI dibebani tugas kebijakan moneter yang bersasaran ganda (multiple objectives). UU yang baru hanya memberikan satu tugas kepada BI yaitu menjaga stabilitas Rupiah. BI diamantkan untuk mengarahkan kebijakannya kepada pencapaian sasaran inflasi. Dalam terminologi kebijakan moneter, arahan UU yang baru adalah mencapai sasaran inflasi seperti ini dikategorikan sebagai Inflation Targeting (BI, 2004). UU No.23/1999 memberikan independensi kepada BI berupa goal independency yaitu suatu keadaan dimana besaran sasaran inflasi yang harus dicapai oleh BI, ditetapkan sepenuhnya oleh BI sendiri. Bentuk independensi seperti ini pada
perkembangan menimbulkan kontroversi yang luas di masyarakat. Oleh banyak kalangan, BI dinilai kurang objektif karena menetapkan target untuk dirinya sendiri, sementara yang harus mewujudkan adalah juga BI (Ismail, 2006). Di samping itu, kewenangan BI untuk menetapkan besaran inflasi secara sepihak, dinilai terlalu berlebihan oleh publik. Artinya, BI bentuk independensi seperti mendapat resistensi oleh banyak kalangan. Kuatnya tekanan kepada BI, kemudian mendorong DPR untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 23/1999 yang menghasilkan UU No.3/2004 tentang BI. Meskipun terjadi perubahan UU, BI tetap menjadi lembaga yang independen, hanya saja, bentuk independensinya berbeda, yaitu dari semula goal independency menjadi
intrumental independency. Intrumental independency adalah keadaan
dimana BI memiliki kewenangan
penuh untuk menentukan instrumen-instrumen apa yang akan digunakan dalam mewujudkan tujuan akhir kebijakan moneter. Intrumental independency merupakan modal dasar dari implementasi model ITF di Indonesia. Implementasi model inflation
targeting di Indonesia tampaknya sesuai dengan implementasi model ini di manca negara, dimana langkah awalnya adalah menciptakan aturan tentang independensi bank sentral sebelum secara resmi implementasi inflation targeting. Sejak awal BI sangat optimistis dengan model kebijakan ini (BI, 2007), disamping karena memiliki independensi bank sentral, juga karena secara historis di Indonesia sudah sejak lama tidak ditemukan adanya dominasi fiskal dalam kebijakan moneter (Mokhtar, 2004). Pembiayaan defisit anggaran dengan cara pencetakan uang baru (seignorage) sudah sejak lama tidak dipraktikkan. Sejak ORBA berkuasa, defisit anggaran dibiayai dengan
utang luar negeri.
Untuk alasan itu, Intrumental
independency yang dimiliki oleh BI sudah cukup kuat karena tidak diganggu oleh dominasi fiskal sehingga sudah siap untuk menerapkan model ITF (Ismail, 2006).
Inflation targeting telah diterapkan di negara-negara maju,antara lain: Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, Finlandia, Australia dan Spanyol. Hasil dari penerapan
inflation targeting di negara-negara tersebut menunjukkan kinerja yang memuaskan, sehingga pemerintah Indonesia (melalui Bank Indonesia) juga berupaya menerapkan model kebijakan tersebut. Melalui inflation targeting, BI fokus pada terwujudnya kestabilan harga (inflasi).
Penekanan tujuan utama kebijakan moneter jangka panjang pada kestabilan harga didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain: Pertama, dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap inflasi. Kedua, adanya konsensus bahwa inflasi
yang moderatpun merugikan terhadap efisiensi
dan
pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pemeliharaan inflasi yang rendah dan stabil sangat penting dan menjadi prasyarat bagi pencapaian sasaran makroekonomi lainnya dan
Ketiga, dengan pentargetan inflasi makin memperjelas tugas dan kewenangan, independensi dan akuntabilitas serta komunikasi dan transparansi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. Menurut Ismail (2006) meskipun BI sudah memiliki independensi instrumental dan pemerintah memiliki disiplin fiskal, implementasi inflation targeting sampai sekarang belum memberikan kinerja yang menggembirakan. Implementasi inflation targeting masih banyak menemui hambatan, baik hambatan dari internal BI sendiri maupun hambatan dari eksternal BI. Kalangan birokrasi di pemerintahan belum mberikan dukungan yang kuat terhadap implementasi inflation targeting. Masyarakat pada umumnya juga masih asing dengan model kebijakan tersebut. Kondisi seperti ini merupakan sesuatu yang wajar dan juga terjadi di beberapa negara pada awal-awal implementasi inflation targeting. Kinerja implementasi inflation targeting yang terangkum pada Tabel 1 merupakan kompirmasi yang baik bahwa BI ternyata masih belum memadai dalam menerapkan inflation targeting. Hal ini tampak dari adanya deviasi atau penyimpangan yang signifikan antara target inflasi dan inflasi aktual. Data Tabel 1 menunjukkan bahwa dari pengalaman
selama 10 tahun implementasi
inflation targeting di Indonesia hanya pada tahun 2002 dan 2004
yang kinerjanya
cukup baik, dimana inflasi yang sebenarnya terjadi (inflasi aktual) sebesar 10,3% angka ini tidak berbeda jauh dengan inflasi yang ditargetkan yaitu sebesar 9,0–10,0%. Pada tahun
2004
kinerja
inflation
targeting
juga
merupakan
hasil
yang
sangat
menggembirakan, dimana inflasi aktual mencapai 6,40% hampir sama dengan angka inflasi aktual (4,5-6,5%). Tapi selain tahun 2002 hasilnya sangat tidak menggembirakan. Pada tahun 2000 dan 2001 inflasi aktual melebihi inflasi yang ditargetkan. Sedangkan pada tahun 2003 inflasi aktual lebih rendah dibandingkan dengan inflasi yang
ditargetkan. Uraian ini menandakan bahwa BI masih belum sepenuhnya komitmen terhadap penciptaan stabilitas harga.
Tabel 1. Kinerja Model ITF di Indonesia Periode 2000-2009 Tahun
Target Inflasi
2000
Inflasi Aktual
Deviasi (%)
5,0 - 6,0
9,53
58,83
2001
6,0 - 8,5
12,55
47,05
2002
9,0 -10,0
10,03
0,30
2003
8,0 – 10,0
5,06
-36,7
2004
4,5 – 6,5
6,40
0,0
2005
5,0 – 7,0
17,11
144,43
2006
4,5 – 6,5
7,0 – 9,0
6,60
1,54/-5,71
2007
4,0 – 6,0
5,0 – 7,0
2008 2009
Revisi Target
6,5 – 7,0
8,29
6,20
Sumber: Ismail (2006), BI dan Kompas, 2/1/2009. Pengalaman Indonesia tersebut di atas mirip dengan yang terjadi di Polandia, tapi berbeda dengan yang terjadi di Cekoslovakia. Di Polandia, pada periode 1998-2000 inflasi aktualnya lebih besar dibandingkan dengan inflasi yang ditargetkan. Sedangkan untuk tahun 2000 dan 2001 inflasi aktualnya jauh dibawah inflasi yang ditargetkan. Sementara itu, di Cekoslovakia pada pada tahun 1998 dan 1999 tingkat inflasi aktualnya jauh di bawah inflasi yang ditargetkan. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2000 dan 2001 inflasi aktual sama dengan inflasi yang ditargetkan. Tapi pada tahun 2002 inflasi aktual jauh di bawah tingkat inflasi yang ditargetkan. Mengacu pada pengalaman Indonesia dan dua negara Eropa Timur (Polandia dan Cekoslovakia), maka dapat dikatakan bahwa sebagai negara pemula dalam implementasi model Inflation Targeting sering kali mengalami hambatan sehingga dalam banyak kasus, apa yang ditargetkan (target inflasi) sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi (inflasi aktual). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya model ITF secara berkelanjutan akan sangat tergantung pada kesesuaian antara target
dan realisasi inflasi. Pentingnya hal tersebut karena dua alasan, yaitu: (1). Kesesuaian antara target dan realisasi inflasi akan menentukan kredibilitas Bank Sentral (Bank Indonesia) di mata publik. Jika hal ini tdak dipenuhi, maka publik tidak akan percaya pada kemampuan Bank Sentral dalam mewujudkan tujuan akhir kebijakan moneternya. (2). Kesesuaian antara target dan realisasi inflasi akan menetukan besarnya ekspektasi inflasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka publik akan memiliki ekspektasi inflasi di luar target inflasi yang ditentukan oleh Bank Sentral. Akibatnya, semua kebijakan Bank Sentral tidak akan pernah didukung dan direspons secara benar oleh masyarakat. Akibatnya selanjutnya, Bank Sentral akan sulit untuk dapat mewujudkan inflasi sesuai dengan targetnya. 5. Kesimpulan 1. Secara umum, pelaksanaan model ITF di Indonesia telah mengikuti kaidah-kaidah dan syarat-syarat sebagaimana yang diterapkan di negara-negara yang juga merapkan model tersebut 2.
Implementasi
model
ITF
di
Indonesia
belum
memberikan
kinerja
yang
menggembirakan. Implementasi model ini masih banyak menemui hambatan, baik hambatan dari internal BI sendiri maupun hambatan dari eksternal BI. Kalangan birokrasi di pemerintahan belum memberikan dukungan yang kuat terhadap implementasi model ini. Masyarakat pada umumnya juga masih asing dengan model kebijakan tersebut. Kondisi seperti ini merupakan sesuatu yang wajar dan juga terjadi di beberapa negara pada awal-awal implementasi model ITF. 3.
Implementasi model ITF di Indonesia hanya pada tahun 2002 dan 2004
yang
kinerjanya cukup baik, dimana inflasi aktual sebesar 10,3% tidak berbeda jauh dengan inflasi yang ditargetkan yaitu sebesar 9,0–10,0%. Pada tahun 2004 kinerja model ITF juga merupakan hasil yang sangat menggembirakan, dimana inflasi aktual mencapai 6,40% hampir sama dengan angka inflasi aktual (4,5-6,5%). Tapi selain tahun 2002 hasilnya sangat tidak menggembirakan. Pada tahun 2000 dan 2001 inflasi aktual melebihi inflasi yang ditargetkan. Sedangkan pada tahun 2003 inflasi aktual lebih rendah dibandingkan dengan inflasi yang ditargetkan. Uraian ini menandakan bahwa BI masih belum sepenuhnya komitmen terhadap penciptaan stabilitas harga.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bank Indonesia, 2007. Laporan Tahunan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia. Bernanke,B.S, Laubach, T., Mishkin, F.S., Posen,A.S.,1999. Inflation Targeting: Lesson From the International Experience. New Jersey: Princeton University Press. Bofinger, Peter., 2001. Monetary Policy: Goal, Institutions, Strategies and Instrument. New York: Oxford University Press Carson, S Carol. Enoch, Charles and Dziobeck, Claudia. 2002. Statistical Implications Of Inflation Targeting. International Monetary Fund (IMF).
Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia (Journal of Indonesian Economy & Business). Volume 21, No. 2, April 2006. Hal. 105 – 121. Mishkin, F.S. 1997. “Strategies for Controlling Inflation” In Philip Lowe, ed,. Monetery policy and inflation targeting: Reserve bank of Australia, 7-38 …………….., 2004. The Economics of Money, Banking and Financial Markets. Seventh Edition. International Edition, New York: Pearson Addison Wesley Longman. Morande, Felipe and Schmidth-Hebbel. Klaus. 1997. “Inflation Targets and Indexation in Chile”Unpublisher paper, Central Bank of Chile. Pohan, Aulia. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter Dan Implementasinya Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Stiglitz, Joseph E and Greenwald, Bruce, 2003. Towards a New Paradigm in Monetary Economics. London: Cambridge University Press Svensson, Lars E.O. 1992. “Targets and Indicators with Flexible Exchange Rate”. In Sveriges Riskbank., Monetary Policy with a Flexible Exchange rate, 15-20. ………………………1996.”Price Level targeting vs Inflation Targeting: A Free Lunch?”. NBER Working Paper N0.5719. ………………………1997a. Inflation Forecast Targeting: Implementing and Monitoring Inflation Targets”. European Economic Review, 41 (6): 111-46. ………………………1997b. “Inflation Targeting:Some Extentions”. NBER Working Paper. No. 5962. Taylor, J.B. 1995. The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework. Journal of Economic Perspective. Vol.09.Number.04.pp:11-26.
………….1996. How Should Monetary Policy Response to Shock While Maintaining Long-.Run Price Stability? In Achieving Price Stability, Federal Reserve Bank of Kansas City. Pp.181 - 195 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia. Bandung: Penerbit “Citra Umbara”.
Harian Kompas, 2/1/2009.