PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN DIAGNOSTIK BENTUK PILIHAN GANDA 2 TINGKAT UNTUK MENGETAHUI KELEMAHAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI KALOR SISWA KELAS X-7 SMA LABORATORIUM UM Khoirun Nisa’ Retno Ning Tiyas* Muhardjito** Kadim Masjkur*** *
Jurusan Fisika FMIPA UM, e-mail:
[email protected] Pembimbing I, Jurusan FMIPA UM, e-mail:
[email protected] ** Pembimbing II, Jurusan FMIPA UM, e-mail:
[email protected] Jalan Semarang 5 Malang 65145
**
ABSTRAK: Penelitian ini mengembangkan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kelemahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan. Hasil penelitian berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah siswa pada setiap butir soal. Data kualitatif diwakili oleh informasi kesalahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM. Kata kunci: penilaian diagnostik, pilihan ganda 2 tingkat, kesalahan pemahaman konsep ABSTRACT: This research to develop a two tier multiple choices diagnostic assessment instrument to know the misconceptions of X-7’s students of SMA Laboratorium UM of heat topic. This research uses a research design development. The results are quantitative and qualitative data. Quantitative data is obtained by the percentage of students at each wrong answer items. Qualitative data is represented by the error information misconceptions of heat topic of X-7’s students of SMA Laboratorium UM. Keywords: diagnostic assessment, two tier multiple choices, misconceptions
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan merupakan dasar untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan. Standar penilaian berorientasi pada tingkat penguasaan kompetensi yang ditargetkan dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 19 Pasal 1 butir 5 dinyatakan bahwa Standar Isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Pada Pasal 1 butir 4 dinyatakan bahwa yang dimaksud Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 Pasal 63 ayat (1) penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) 1
2
penilaian hasil belajar oleh pendidik, (b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan (c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Hasil dari wawancara terhadap guru mata pelajaran Fisika SMA Laboratorium UM menyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh guru mata pelajaran Fisika belum berinovasi dalam mengembangkan instrumen penilaian. Guru terbiasa dengan instrumen penilaian bentuk pilihan ganda biasa dan uraian untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa nilai. Guru seharusnya dapat mengembangkan suatu instrumen penilaian hasil belajar yang efektif dan efisien sehingga kesalahan dari hasil belajar siswa diketahui secara cepat dan tepat. Guru dapat mengetahui melalui suatu instrumen yang bertujuan untuk mengetahui kesalahan-kesalahan siswa dalam memahami konsep materi dari pembelajaran Fisika. Hasil angket menyatakan bahwa sebanyak 73,17% siswa kelas X-7 SMA Laboratorium menyatakan bahwa penjelasan guru dalam menyampaikan materi Fisika tidak mudah untuk dipahami. Hal tersebut dapat mengakibatkan siswa mengalami banyak kesulitan untuk mempelajari Fisika. Selain itu, hasil angket juga menyatakan bahwa sebanyak 78,05% siswa kelas X-7 menyatakan bahwa penyampaian materi Fisika oleh guru tidak dapat memberikan penjelasan yang berkaitan dengan gejala kehidupan sehari-hari dan hanya memberikan persamaanpersamaan matematis. Pembelajaran yang baik tidak hanya memberikan persamaan matematis semata, tetapi juga memberikan pemahaman konsep dengan baik. Banyak fenomena atau kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan mata pelajaran Fisika yang dapat dikaitkan oleh guru. Misalnya, saat proses es melebur terjadi pelepasan kalor, seharusnya proses melebur tersebut terjadi penyerapan kalor. Akibat hal tersebut, siswa dituntut untuk belajar sendiri sehingga membentuk konsep-konsep baru pada pemikirannya. Konsep-konsep baru tersebut terbentuk tanpa adanya pembenaran dari guru sehingga menyebabkan siswa mengalami kesalahan dalam memahami konsep. Rahmawati (2009: 6) mengatakan bahwa penilaian yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan siswa berupa kesalahan dalam memahami konsep materi adalah penilaian diagnostik. Alat ukur untuk mengetahui kesalahan konsep siswa dapat menggunakan tes. Tes adalah alat untuk mengetahui atau mengukur data atau informasi yang dirancang khusus sesuai dengan karakteristik informasi yang diinginkan penilai (Arikunto, 2009: 53). Sebelum menyusun penilaian kelas, guru harus menentukan jenis tes yang memadai untuk mengukur suatu tujuan tes tersebut dibuat. Tes secara umum dikategorikan menjadi dua, yakni tes objektif dan subjektif (Arikunto, 2009: 162). Salah satu bentuk tes objektif yang sering digunakan adalah tes pilihan ganda. Tes pilihan ganda adalah bentuk tes objektif yang terdiri atas kalimat tanya atau kalimat tak lengkap dan pilihan jawaban. Pilihan jawaban sudah jelas dan pasti sehingga hasilnya dapat dinilai secara objektif. Butir soal objektif adalah jenis soal yang meminta siswa memilih jawaban benar dari beberapa pilihan jawaban, atau menjawab pertanyaan dengan satu kata atau satu istilah (Rahmawati, 2009: 15). Menurut Rahmawati (2009: 21), salah satu kelebihan tes pilihan ganda adalah dapat mengukur tingkat kognitif siswa pada berbagai tingkatan, mudah dikoreksi, dan mencakup materi yang diujikan. Meskipun demikian, tes pilihan ganda juga memiliki kelemahan, yaitu kurang mencerminkan siswa yang
3
sesungguhnya. Kelemahan tersebut bisa dihindari dengan mengembangkan instrumen penilaian berupa tes pilihan ganda 2 tingkat. Tes pilihan ganda 2 tingkat ini memiliki dua tingkatan pemikiran siswa. Tingkat pertama merupakan pemikiran siswa pada pilihan jawaban dan tingkat kedua merupakan alasan pemilihan jawaban siswa (Suwarto, 2013: 137). Chandrasegaran (2007: 295) mengatakan bahwa pada bentuk pilihan ganda 2 tingkat atau two tier test, peserta tes dituntut untuk menentukan hubungan sebab akibat antara pernyatan dalam 2 tingkat pilihan jawaban. Tingkat pertama merupakan pilihan jawaban dan tingkat kedua merupakan pilihan alasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan pengembangan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep materi “kalor” siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM, (2) mengetahui kelayakan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM, dan (3) mengidentifikasi kesalahan pemahaman konsep materi “kalor” siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan. Rancangan pengembangan yang digunakan dalam pengembangan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat ini menggunakan model pengembangan 4-D (Four-D models). Menurut Thiagarajan (1974: 5), model pengembangan 4-D dibagi menjadi beberapa tahap pengembangan yaitu tahap pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate). Pengembangan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat ini dikembangkan sampai pada tahap pengembangan. Desain uji coba produk berupa uji coba penerapan produk kepada siswa. Uji coba produk dilakukan dengan mencobakan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat yang telah dikembangkan kepada siswa. Dalam uji coba produk ini, siswa diberi instrumen penilaian kemudian siswa diminta untuk mengerjakan. Siswa yang menjadi subjek coba adalah siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM sebanyak 38 siswa. Uji coba bertujuan untuk menganalisis data secara kualitatif dan kuantitatif kesalahan pemahaman konsep siswa pada materi kalor. Data penelitian dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal instrumen tes. Hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal menyatakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah siswa pada setiap butir soal. Persentase setiap pemilihan jawaban dan alasan dihitung dengan rumus sebagai berikut. P
S x 100% Js
Keterangan: P = persentase jumlah siswa yang mengalami false positive/negative, S = banyaknya siswa yang false positive/negative, Js = jumlah seluruh siswa peserta tes.
4
Data kualitatif diwakili oleh kesalahan pemahaman konsep siswa sebagai subjek coba pada setiap butir soal. Skor data yang dianalisis adalah skor yang dijawab salah oleh siswa. Dalam menganalisis secara deskriptif terdapat dua tahap. Tahap pertama adalah mengoreksi jawaban siswa dengan berpedoman pada kunci jawaban. Tahap kedua adalah menentukan jenis-jenis kesalahan siswa. Kesalahan-kesalahan siswa tersebut dapat diketahui berdasarkan kombinasi pilihan jawaban dan alasannya. Menurut Hestenes (1992) dalam Pesman (2005: 5), kondisi false positive ditandai dengan respon pada tingkat pertama benar dan tingkat kedua salah dan false negative ditandai dengan respon pada tingkat pertama salah dan tingkat kedua salah/benar. HASIL Hasil penerapan produk berupa hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal. Hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal menyatakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah siswa dalam kondisi false positive dan false negative pada setiap butir soal. Data kualitatif diwakili oleh kesalahan pemahaman konsep siswa sebagai subjek coba pada setiap butir soal. Siswa mengalami kesalahan pemahaman konsep pada dua kondisi. Pertama, kondisi false positive merupakan kondisi yang ditunjukkan pada jawaban siswa yang benar pada tingkat pertama tetapi salah pada tingkat kedua. Kedua, kondisi false negative merupakan kondisi yang ditunjukkan pada jawaban siswa yang salah pada tingkat pertama dan salah/benar pada tingkat kedua. Tabel 1. Jumlah Jawaban Salah Siswa pada Kondisi False Positive dan False Negative Butir Soal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jumlah Jawaban Salah False Positive False Negative 14 20 0 25 5 8 3 0 0 33 4 1 1 1 4 11 0 6 19 0 4 1 0 31 0 19 1 33 13 0 5 20 0 34 6 5 3 18 22 7 0 7 4 6 7 30
5 Tabel 2. Persentase Jawaban Salah Siswa pada Kondisi False Positive dan False Negative Butir Soal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Total Rerata
Persentase Jawaban Salah (%) False Positive False Negative 36,8 52,6 0 65,8 13,2 21,1 7,9 0 0 86,8 10,5 2,6 2,6 2,6 10,5 28,9 0 15,8 50 0 10,5 2,6 0 81,6 0 50 2,6 86,8 34,2 0 13,2 52,6 0 89,5 15,8 13,2 7,9 47,4 57,9 18,4 0 18,4 10,5 15,4 18,4 78,9 302,6 831,6 13,2 36,2
Hasil analisis data kuantitatif diperoleh rerata persentase kondisi false negative sebesar 36,2% lebih besar dibandingkan rerata persentase kondisi false positive sebesar 13,2%. Sebanyak 36,2% dari 38 siswa kelas X-7 mengalami kesalahan pemahaman konsep dengan kondisi false negative pada materi kalor yang mencakup sub materi definisi kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan Asas Black. Sebanyak 13,2% dari 38 siswa kelas X-7 mengalami kesalahan pemahaman konsep dengan kondisi false positive pada materi kalor yang mencakup sub materi definisi kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan Asas Black. PEMBAHASAN Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Definisi Kalor Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab alasan dari menjabarkan pengertian kalor. Sebanyak 12 dari 38 siswa beranggapan bahwa kalor merupakan energi yang berpindah dari suhu yang lebih rendah ke suhu yang lebih tinggi. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa kalor didefinisikan sebagai proses transfer energi akibat adanya perbedaan suhu dari suatu zat yang bersuhu tinggi ke zat lain yang bersuhu rendah (Saripudin, 2009: 113). Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menjawab perubahan suhu yang dialami suatu zat dari mengidentifikasi kalor jenis zat yang berbeda jika massa beberapa zat tersebut sama. Sebanyak 31 dari 38 siswa
6
beranggapan bahwa zat yang memiliki kalor jenis lebih tinggi dibandingkan zat yang lain akan paling cepat panas apabila dimasukkan ke dalam air mendidih dengan kondisi massa dan suhu awal semua zat tersebut sama. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa zat yang memiliki kalor jenis lebih rendah dibandingkan zat yang lain akan paling cepat panas apabila dimasukkan ke dalam air mendidih dengan kondisi massa dan suhu awal semua zat tersebut sama (Saripudin, 2009: 114). Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Perubahan Wujud Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab alasan dari perhitungan besar kalor yang dibutuhkan untuk mengubah wujud suatu zat pada fase suhu yang sama. Sebanyak 16 dari 38 siswa beranggapan bahwa kalor yang dibutuhkan zat untuk mengubah wujud sebanding dengan perkalian jumlah massa zat dengan kalor lebur zat. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa kalor yang dibutuhkan zat untuk mengubah wujud sama dengan perkalian jumlah massa zat dengan kalor lebur zat (Saripudin, 2009: 115). Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menjawab faktor penyebab terjadinya perubahan wujud suatu zat. Sebanyak 30 dari 38 siswa beranggapan bahwa jika satu kilogram es pada suhu 0⁰C dicampur dengan setengah kilogram air pada suhu 0⁰C maka sebagian es mencair dikarenakan perubahan wujud disebabkan adanya pengaruh dari dua benda yang berbeda massa tetapi suhunya sama. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa apabila suhu dari dua zat yang berinteraksi adalah sama maka tidak ada perubahan wujud sehingga massa antara dua zat tersebut tetap meskipun dicampur (Saripudin, 2009: 115). Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Perpindahan Kalor Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab alasan dari fungsi isolator untuk mencegah proses konduksi pada suatu zat padat. Sebanyak 9 dari 38 siswa beranggapan bahwa jika seseorang mengangkat konduktor panas dengan menggunakan isolator maka panas akan berpindah ke isolator dan udara sekitar konduktor. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa isolator dapat mencegah perpindahan panas pada konduktor (Saripudin, 2009: 119). Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian membandingkan daya kalor secara radiasi pada suhu yang berbeda. Sebanyak 26 dari 38 siswa beranggapan bahwa daya kalor secara radiasi sebanding dengan suhu. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa daya kalor secara radiasi sebanding dengan suhu pangkat empat (Kamajaya: 244). Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Asas Black Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab alasan dari proses terjadinya Asas Black. Sebanyak 21 dari 38 siswa beranggapan bahwa kalor yang diterima suatu zat dari lingkungan yang bersuhu lebih rendah dan kalor yang dilepaskan suatu zat ke lingkungan yang bersuhu lebih tinggi. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa kalor yang diterima suatu zat dari lingkungan yang bersuhu lebih tinggi dan kalor yang dilepaskan suatu zat ke lingkungan yang bersuhu lebih rendah (Kamajaya, 2007: 225).
7
Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menentukan benda mana yang melepas kalor dan mana yang menerima kalor pada pencampuran dua benda sampai mencapai kesetimbangan suhu. Sebanyak 20 dari 38 siswa beranggapan bahwa jika es dimasukkan dalam secangkir teh hangat yang sesaat kemudian teh menjadi dingin disebabkan adanya suhu awal teh lebih besar dibandingkan suhu es sehingga es melepas kalor dan teh menerima kalor. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa apabila ada dua zat dengan suhu yang berbeda dicampurkan maka akan terjadi kesetimbangan suhu antara dua zat tersebut dengan zat yang bersuhu lebih tinggi melepaskan kalor dan zat yang bersuhu lebih rendah menerima kalor (Kamajaya, 2007: 225). PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yaitu: (1) tahap instrumen penilaian diagnostik dengan bentuk pilihan ganda 2 tingkat yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan modifikasi model pengembangan 4-D, yaitu tahap pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop); (2) kelayakan jumlah instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat terdiri dari 23 butir soal. Hasil analisis pada tahap revisi menghilangkan 2 butir soal yang tidak valid, yakni butir soal nomor 15 dan 25. Hasil reliabilitas instrumen soal penilaian diagnostik dengan bentuk pilihan ganda 2 tingkat pada penelitian ini sebesar 0,649 sehingga instrumen soal ini mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi. Hasil analisis tingkat kesukaran produk menghasilkan sebanyak 6 butir soal (26,1%) dengan kriteria mudah, 13 butir soal (56,5%) dengan kriteria sedang, dan 4 butir soal (17,4%) dengan kriteria sukar. Hasil analisis daya beda produk menghasilkan sebanyak 10 butir soal (43,5%) dengan kriteria baik dan status diterima, 9 butir soal (39,1%) dengan kriteria cukup baik dan status diterima, dan 4 butir soal (17,4%) dengan kriteria jelek dan status sudah direvisi; dan (3) Hasil identifikasi kelemahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM diperoleh bahwa sebanyak 36,2% dari 38 siswa mengalami kesalahan pemahaman konsep dengan kondisi false positive dan 13,2% dari 38 siswa mengalami kesalahan pemahaman konsep dengan kondisi false negative pada sub materi definisi kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan Asas Black. Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menyarankan instrumen penilaian diagnostik dengan bentuk pihan ganda 2 tingkat yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat langsung digunakan oleh guru mata pelajaran Fisika SMA Laboratorium UM ataupun SMA lainnya untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep siswa kelas X pada materi kalor dikarenakan soal-soal yang dihasilkan telah memenuhi kriteria dari analisis validasi butir soal. Model yang digunakan dalam pengembangan instrumen penilaian diagnostik dengan bentuk pihan ganda 2 tingkat ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengembangkan instrumen penilaian pada materi lain ataupun mata pelajaran lain, mengingat sangat pentingnya penilaian diagnostik dengan bentuk pihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep siswa setelah mempelajari suatu
8
materi. Saran bagi peneliti lain yang akan mengembangkan produk lebih lanjut atau membuat produk baru berupa instrumen penilaian untuk memanfaatkan waktu dengan baik dan benar sehingga produk dapat digunakan dengan segera. Selain itu disarankan untuk lebih memperhatikan kesesuaian indikator soal terhadap tujuan pembelajaran yang direncanakan, kebenaran-kebenaran konsep yang dipergunakan, kesesuaian jumlah soal dengan waktu yang disediakan, dan isi butir soal ditinjau dari ranah bahasa, materi, dan konstruksi yang baik, sehingga dapat menghasilkan instrumen penilaian diagnostik dengan kualitas yang baik. Peneliti lain juga disarankan mengembangkan produk melalui program pada komputer sehingga memberikan kemudahan guru untuk memberikan feedback (umpan balik) kepada siswa. Guru juga dapat menyimpan hasil feedback tersebut sebagai arsip. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara. Chandrasegaran, A. L., Treagust, David F. & Mocerino, Mauro. 2007. The Development of A Two-Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reactions Using Multiple Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice, 8 (3): 293-307. Kamajaya. 2007. Cerdas Belajar Fisika untuk Kelas X SMA/MA. Bandung: Grafindo Media Pratama. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 2005. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI. Pesman, Haki. 2005. Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple Electric Circuits. Tesis. Turkey: Middle East Technical University in Ankara. Rahmawati. 2009. Penyusunan dan Pengujian Penilaian Kelas (Modul Instruksional untuk Guru Kelas). Bandung: Universitas Padjadjaran. Saripudin, Aip, K., Dede Rustiawan, dan Suganda, Adit. 2009. Praktis Belajar Fisika untuk Kelas X SMA dan MA. Jakarta: Pusat Perbukuan Diknas Pendidikan Nasional. Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Thiagarajan, S., Semmel, D.S., & Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Expectional Children. Minneapolis, Minnesota: Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. 2003. Jakarta: Sekretariat Negara RI.