KHITAN PEREMPUAN ( Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan )
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan Gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Antropologi
Oleh FRISYAHYANI NASUTION 040905040
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrabil’alamin, kupanjatkan puji syukurku atas Kehadirat-Mu Ya Allah, dimana Engkau telah memberikan Rahmad, Karunia, Hidayah, dan Ridho-Mu pad hamba-MU yang kecil ini. Atas Ridho dan Kehendak-Mu lah, aku dapat mengakhiri satu tahap perjuangan dalam perjalanan hidupku untuk merangkumkan karya mungilku ini yang terwujud dalam bentuk Skripsi dengan judul “Rekonstruksi Pengetahuan Dari Praktik Khitan Perempuan Pada Keluarga Jawa di Medan”(Studi: Marelan Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan. Kota Medan). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam mengakhiri Program Strata 1 pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini dpat terselesaikan dengan baik atas bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengungcapkan terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu serta memotivasi penulis. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Smatera Utara 2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis,M.A, selaku Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang mana beliau telah banyak memberi masukan dan arahan dalam penyelesaian Skripsi ini. 3. Bapak Drs. Agustrisno M.S.P, selaku Dosen Pembimbing atas segala arahan dan masukan ditengah kesibukannya masih sempat meluangkan waktu untuk mengoreksi draft skripsi ini.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
4. Ibu Drs. Sri Alem Sembiring.Msi, selaku Dosen Wali di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 5. Seluruh Informan penelitian yang telah membantu dan bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. Khususnya Bapak Ahmad selaku Lurah yang telah membantu dan memberikan informasi. Mbah Dalang dan Bapak Saminan yang merupakan sesepuh dari Etnis Jawa yang telah membantu saya dalam memberikan informasi mengenai etnis Jawa, dan Mbah Bolot sebagai dukun Bayi yang telah menjelaskan kepada saya mengenai khitan, serta pada ibu kepling yang telah memperkenalkan kampungnya dan memberi izin saya untuk penelitian. 6. Bapak Ibu Dosen Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi banyak ilmu pengetahuan kepada penulis baik dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan. 7. Segenap staf dan karyawan Biro Dekanat Fisip atas segenap bantuan dan layanan yang diberikan selama ini, dan segenap staf dan karyawan Perpustakaan FISIP USU. 8. Mama dan Ayah tercinta yang telah dengan ikhlas memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril dan meteri, serta doa yang selalu diberikan untuk penulis sehingga penulis tetap semangat
dalam menjalani hidup dan
menyelesaikan kuliah. Mohon maaf penulis sampaikan kepada mama dan ayah atas keterlambatan dalam menyelesaikan kuliah. Terima kasih atas kasih sayang dan cintanya kepada penulis. 9. Kakak-kakakku, abang, dan adikku, dan keponakan-keponakan Farida Yulianti Nst, Siti Chairan Nst. S.Sos, Fina Mandasari, Ahmad Syahrizal Nst, Muliono, Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Poncut dan Abdul Gaffar ( Adam ), Arif, Fajar, Muliani, dan ponrayek yang telah memberikan dorongan dan masukan, doa serta kasih sayang kepada penulis. Khusus untuk mu adikku Adam, jangan kecewakan kami engkaulah harapan kami untuk mengangkat martabat keluarga kita, berikan yang terbaik dan raihlah citacitamu dengan menjadi sarjana, tunjukan kepada kami bahwa kamu bisa di banggakan. 10. Keluarga besar penulis, Mak edi dan istri, Mak Amri dan bu Nahla, Mak Lan dan bu Ana, dan Mak Napi dan bu Yeni, terima kasih atas bantuannya dan doanya, serta dukungannya. 11. Untuk sepupu-sepupuku, Yosi, Ade, Ratih, Kiki, Putra, Moenawir, Ardi, Rara, Kindi, sikecil Nurul dan Zakia terima kasih atas bantuan dan hiburan yang telah kalian berikan kepada penulis, berikanlah yang terbaik untuk kedua orang tua kalian harapan ada di tangan kalian lanjutkan perjuangan kalian dengan cara apapun karena pendidikan itu perlu. Buktikan suatu saat nanti kalian bisa seperti orang tua kalian. 12. Special Untuk Dedy, terima kasih untuk dukungannya baik secara materi maupun moril, terima kasih juga untuk kesabaran dan pengertiannya serta kasih sayangnya, semoga suatu saat nanti yani bisa membalasnya. 13. Temen-temen penulis, Siwa, Mona, Cori, Tifa, Riki, Ewin, Eci, dan semua kerabat antropologi yang telah memberikan bantuan dan dorongan serta kebersamaan yang kalian telah berikan selama penulis kuliah. 14. Sahabat-sahabat CMR, Kak Atin, kak Rara, kak Ika, kak Ria, Azi, Ryan, Sarah, Uci, dan khusus untuk yogi thanks untuk bantuan dan dukungannya selama ini, Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
serta relawan CMR yang tidak bisa disebutkan nama-namanya, terima kasih atas kerja sama dan motivasi yang diberikan kepada penulis dan memberikan banyak pengalaman dalam berorganisasi sehingga penulis mendapatkan banyak pengalaman Medan, 20 November 2009
Penulis
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
ABSTRAK FRISYAHYANI NASUTION, 040905040 Jurusan Antropologi, FISIP-USU dengan judul ”Rekonstruksi Pengetahuan Dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa di Medan”. Studi Marelan Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. Khitan merupakan praktik yang telah dilakukan sejak dahulu dimana bagi masyarakat Jawa telah menjadi tradisi dan melekat dalam budaya mereka, tidak hanya itu tradisi yang telah mereka percayai dan lakukan ini diperkuat oleh ajaran agama yang mereka anut yaitu agama Islam yang di dukung oleh hadist-hadsit. Khitan sesuatu yang harus dilakukan bagi etnis Jawa dan tidak hanya etnis Jawa hampir semua etnis dan beragama Islam pasti melakukan khitan, baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan. Banyak hal dan alasan yang dipercayai etnis Jawa dalam melakukan khitan, salah satunya adalah untuk kesehatan dan kebersihan alat kelamin serta menghindari anak dari sukerto atau hambatan yang dibawa dan sejak lahir serta sebagai identitas diri bahwa ia bersuku bangsa Jawa. Dengan begitu khitan dipercaya untuk mensucikan diri manusia dan terbebas dari bahaya. Bagi etnis Jawa menjalankan dan melestarikan tradisi sangat penting, karena bagi mereka dengan menjalankan tradisi mereka tidak akan lupa dengan adat istiadat yang telah ditanamkan sejak dulu oleh leluhur mereka dan mereka tidak akan di singkirkan atau tidak di anggap oleh suku mereka. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat etnis Jawa yang ada di Marelan mengenai praktik khitan pada perempuan dan bagaimana proses khitan ini dilakukan serta pandangan dan perubahan yang terjadi pada masyarakat tentang khitan pada perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif, hal ini untuk mendapatkan informasi tentang khitan khususnya khitan pada perempuan. Penelitian melakukan wawancara mendalam dengan 10 keluarga dan beberapa tokoh adat dan dukun bayi yang ada di Marelan, hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi apakah keluarga dan masyarakat di daerah ini melakukan khitan pada anak perempuannya dan menggali kembali pengetahuan masyarakat mengenai khitan perempuan yang mereka lakukan dalam keluarga mereka Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa masyarakat masih melakukan khitan pada anak perempuannya yang prosesnya dilakukan oleh dukun bayi dan bidan, serta masyarakat masih menganggap praktik khitan ini sesuatu yang sakral dan harus dilakukan. Dengan demikian apat diambil kesimpulan, bahwa khitan pada perempuan ini sampai sekarang masih dilakukan dan diwarisi secara turun temurun dengan berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki di setiap zamannya. Dari hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemungkinan praktik khitan perempuan akan tetap dilakukan di masa yang akan datang. Hal ini di karenakan anggota masyarakat masih melakukannya dan didukung oleh faktor agama, masih adanya pengaruh eksistensi tokoh adat dan dukun bayi di daerah ini,dan adanya faktor internal dalam keluarga berupa perasaan tidak tenang orang tua masih merasa ada beban yang belum di jalankan jika mereka tidak melakukan khitan pada anak mereka.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Daftar Isi Kata Pengantar ......................................................................................................i Abstrak....................................................................................................................v Daftar Isi.................................................................................................................vi Dafrat Tabel...........................................................................................................ix Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang.......................................................................................1 1.2. Permasalahan..........................................................................................8 1.3. Lokasi Penenlitian..................................................................................9 1.4. Tujuan Penelitian...................................................................................9 1.5. Manfaat Penetilitian...............................................................................10 1.6. Tinjauan Pustaka....................................................................................11 1.7. Metode Penelitian..................................................................................16 1.7.1. TipePenelitian.......................................................................16 1.7.2. Teknik Pengumpulan Data....................................................17 1.7.3. Proses Penelitian...................................................................18 1.7.4. Metode Analisa Data........................................................... .20 1.7.5. Defenisi Oprasional...............................................................21 BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah, Letak, dan Kondisi Geografis.................................................22 2.2. Kependudukan......................................................................................25 2.3. Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Pasar V Marelan......................27 2.4. Sarana Fisik..........................................................................................28 Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
2.4.1. Sarana Kesehatan..................................................................29 2.4.2. Sarana Transportasi...............................................................30 2.4.3. Sarana Pendidikan.................................................................30 2.4.4. Sarana Ibadah........................................................................31 2.4.5. Sarana Hiburan......................................................................32 2.4.6. Sarana Perdagangan..............................................................32 2.4.7. Sarana Olah Raga..................................................................33 2.4.8. Sarana Penerangan................................................................33 2.4.9. Sarana Komunikasi...............................................................33 2.4.10. Kegiatan Kebudayaan.........................................................33 BAB III. Gambaran Kebudayaan Jawa Marelan 3.1. Struktur Kehidupan Orang Jawa di Marelan.......................................36 3.2. Keadaan Sosial Ekonomi.....................................................................38 3.3. Religi dan Kepercayaan.......................................................................40 3.4. Kesenian Jawa di Marelan...................................................................42 3.5. Pendidikan Orang Jawa Marelan.........................................................43 BAB IV. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG KHITAN PEREMPUAN 4.1.Pengertian Alat Kelamin......................................................................47 4.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Khitan...........................................52 4.2.1. Pengetahuan Masyarakat Tentang Tata Cara Khitan Pada Anak Perempuan............................................................................56 4.2.2. Pandangan Anak Perempuan Tentang Khitan Perempuan...58 4.3. Makna Khitan......................................................................................59 Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan.........................................................................................63 5.2. Saran...................................................................................................65 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
Tabel 2.1. Nama-Nama Pemimpin Kepada Desa......................................................24 Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin...............................................25 Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Menurut Kewarganegaraan Dan Jenis Kelamin .........25 Tabel 2.4. Banyak Penduduk Usia 7-12 Tahun Dan Status Pendidikan....................26 Tabel 2.5. Mata Pencaharian Penduduk.....................................................................28 Tabel 2.6. Jumlah Sarana Kesehatan Di kelurahan Rengas Pulau.............................29 Tabel 2.7. Jumlah Sekolah Yang Ada Di Kelurahan Rengas Pulau..........................30 Tabel 2.8. Sarana Ibadah Di Kelurahan Rengas Pulau..............................................31
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Khitan merupakan praktik kuno yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk alasan-alasan agama maupun sosial budaya, dan sampai saat ini masih terus berlangsung. Khitan atau sunat tidak hanya berlaku pada anak laki-laki tetapi juga berlaku pada anak perempuan. Dalam berbagai kebudayaan peristiwa khitan sering kali dipandang sebagai peristiwa yang sakral, seperti halnya upacara perkawinan. Kesakralan pada khitan terlihat dalam upacara-upacara yang diselenggarakan. Akan tetapi fenomena kesakralan dengan segala macam upacara khitan yang dilakukan hanya tampak pada sunat laki-laki, sedangkan untuk khitan perempuan sangat jarang terlihat. Khitanan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin, untuk laki-laki pelaksanaan khitan hampir sama disetiap tempat, yaitu pemotongan kulup ( Qulf ) penis laki-laki. Sedangan pada perempuan berbeda disetiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klentit ( klitoris ) dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina ( labia minora ) 1. Khitan perempuan kurang diperhatikan karena konteks masyarakat setempat yang cukup memberikan alasan yang tepat untuk mengabaikan persoalan ini. Berbagai macam alasan dapat meyakinkan untuk menyatakan bahwa khitan perempuan tidak sama dengan khitan pada laki-laki. Seperti yang dikemukan oleh Feillard dan Marcoes, 1998 dalam 1
Milis wanita muslim,http://www,wanita –muslimah.com
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
studinya, bahwa perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada tindakan simbolis, yaitu terjadi pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin, dan adanya kerahasiaan dalam praktik khitanan perempuan di Indonesia. 2 Sedangkan studi lain yang dilakukan di pulau Jawa mengindikasikan bahwa khitanan perempuan merupakan adat yang hampir punah ( Koenjaraningrat, 1985 ). Hal ini yang menyebabkan orang sering kali menganggap khitanan perempuan tidak cukup relevan untuk di angkat sebagai persoalan dipermukaan. Hal ini di karenakan, dalam praktik khitan perempuan ini terdapat unsur kerahasiaan dan tabu untuk di bicarakan. Khitanan perempuan yang dilakukan di Indonesia umumnya didasari oleh tradisi dan budaya masyarakat yang diwarisi secara turun-temurun. Budaya yang dimaksudkan seperti yang ditekankan oleh Durkheim, yaitu sesuatu yang berbeda diluar kemauan individu, diluar kemampuan perseorangan, dan memaksakan kehendaknya pada setiap individu. Adanya tekanan-tekanan sosial sering menghalangi individu untuk melakukan hal-hal yang sebetulnya diinginkan 3. Dengan kata lain budaya merupakan suatu tekanan sosial kemasyarakatan yang meliputi pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak yang dipelajari dan ditransformasikan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Meskipun begitu budaya memiliki kecendrungan untuk selalu berubah karena sifatnya yang adaptif. Pemaknaan khitanan tidak
bisa dilepaskan
dari interaksi dan respon
(Notoatmodjo, 1993). Khitan pada perempuan di daerah tertentu di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan. Khitan pada perempuan dapat dikatakan sebagai tindakan pencegahan bagi perempuan untuk tidak berprilaku binal. Hal 2
Lihat Basilicia Dyah Putranti dkk, Sunat Laki-Laki dan Perempuan pada Masyarakat Jawa dan Madura, Pusat studi kependudukan dan kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. hlm 8-9 3 Lihat Ristanti Musyarofah dkk, Khitan Perempuan antara Tradisi dan Ajaran Agama, pusat studi kependudukan dan kebijakan, Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation, Yogyakarta 2003. halm 2-3 Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
ini didorong karena adanya anggapan bahwa perempuan dianggap tabu jika mengekspresikan keinginan seksualnya, bahkan terhadap suaminya sendiri. Perempuan dinilai lebih baik bersikap pasif meskipun terhadap suaminya sendiri. Seksualnya merupakan suatu konsep yang bukan hanya menyangkut sisi biologis individu, tetapi juga suatu konsep yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya dan psikologi yang melingkupinya. Selama ini konsep seksualitas cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marginal, dimana perempuan menjadi the second sex. Perempuan distereotipkan sebagai penggoda dan membahayakan laki-laki sehingga perilaku seksualnya harus dikontrol dan dikendalikan oleh norma-norma sosial, harus dibatasi, bahkan jika perlu dikerasI. Dengan begitu tampak bahwa seksualitas selaras dengan konsep hubungan gender yang dilahirkan subordinasi perempuan. Manusia dalam berprilaku tidak hanya berdasarkan kehendak pemikirannya sendiri. Pemikiran itu akan mengalami suatu proses pemaknaan atas kenyataan eksternal yang kemudian diolah dalam kognitif manusia. Jika pemikiran tersebut disetujui, maka akan terjadilah tindakan mengkhitankan sebagai suatu ekspresi penerimaan atas nilainilai yang ada disekitarnya. Prilaku manusia terdiri atas tiga faktor, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik, pada psikomotorik individu di ukur melalui praktek atau prilaku yang dilakukan individu. Praktek atau prilaku memiliki empat tingkatan, yakni persepsi, respon terpimpin, mekanisme, dan adaptasi. Dengan begitu praktek yang dilakukan berdasarkan pada
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
pengetahuan akan menghasilkan sesuatu yang lebih dari pada praktek yang didasari oleh pengetahuan. 4 Sebelum individu menerima prilaku baru, di dalam dirinya terjadi proses yang berlangsung secara berurutan. Proses ini meliputi kesadaran, kehendak, evaluasi, uji coba, dan adopsi (Simon-Marton, 1995). Prilaku terjadi karena adanya pengalaman dan hasil interaksi individu dengan lingkungannya, terutama yang menyangkut dengan pengetahuan dan sikap individu terhadap obyek. Begitu juga yang terjadi dalam praktek khitan perempuan. Fishbein dan Ajzen, (1975), menyatakan bahwa ke ikut sertaan seorang individu dalam suatu aktivitas berkaitan erat dengan pengetahuan, sikap, niat dan prilaku. Ada tidaknya niat dalam melakukan praktek yang dianjurkan tergantung pada nilai sikap positif atau negatif. Praktek yang dilakukan tidak hanya karena adanya sikap tetapi juga karena adanya keyakinan, norma-norma dalam masyarakat, serta niat untuk melakukan atau menjalankan praktek tersebut. Jika dilihat dari sejarah khitanan, bahwa khitan sudah dilakukan secara rutin sejak 6.000 tahun yang lalu di bagian Selatan Afrika, mulai dari Lybia, Mesir, Timur tengah, Amerika Selatan, Australia, dan Asia tenggara. Pada saat itu khitan dilakukan untuk alasan religi, dimana manusia dihukum agar tidak melakukan tindakan seksual yang menyimpang dan berlebihan. De Meo, menyatakan bahwa segala bentuk pemotongan bagian kelamin, seperti penyunatan, adalah kepercayaan ritual yang bermula dari agama primitif yang tidak ada hubungannya dengan alasan medis, kesehatan atau ilmu pengetahuan (Arival, 196). 4
Who,1992. khitanan perempuan antara tradisi dan ajaran agama, oleh Ristiani Musyarofah dkk. Studi kependudukan dan kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003.hlm 6-7
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Pada skripsi ini saya berfokus pada masyarakat Jawa yang ada di kota Medan, hal ini saya lakukan karena orang Jawa memilki tradisi dan masih sangat memegang teguh pada tradisi yang telah ada sebelumnya, walaupun mereka telah bermigrasi dari daerah asal mereka. Dari informasi yang saya dapat dari beberapa informan yang merupakan masyarakat Jawa di Kota Medan, bahwa khitanan perempuan pada masyarakat Jawa sudah berlangsung dan dilaksanakan secara turun-temurun, dimana khitanan ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama dan kemudian di perkuat dengan ajaran agama terutama agama Islam, hal ini terus dilakukan dan menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Pada khitanan perempuan dilakukan tidak seperti anak laki-laki yang dirayakan atau dipestakan secara besar-besaran, tetapi hanya sekedar pembuatan nasi urap dan bubur merah putih atau sering disebut dengan bancaan yang kemudian diberikan kepada para tetangga yang ada disekitar rumah mereka, hanya bedanya pada masa dulu sekitar tahun 1930 sampai 1950an bancaan ini di dalamnya diselipkan uang, yang di nilai sebagai syarat. Khitanan pada perempuan dilakukan pada saat si anak berumur 35 atau 40 hari dimana juga akan dilaksanakan penindikan telinga si anak perempuan tersebut, praktik ini sering disebut dengan acara slapanan.
5
Bagi masyarakat Jawa di Kota Medan khitanan merupakan hal yang wajib dilakukan, terutama bagi suku Jawa yang menganut agama Islam. Dalam agama khitan merupakan sesuatu yang diwajibkan baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan, hanya saja proses yang dilakukan berbeda. Menurut masyarakat Jawa fungsi dari khitanan adalah lebih pada ajaran-ajaran agama yang wajib dilakukan dan menjaga 5
slapanan adalah syukuran untuk menabelkan nama, dimana dilakukan pada saat sianak berumur 35-40 hari
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
kebersihan alat kelamin. Bagi masyarakat Jawa dengan melakukan khitan maka mereka telah memohon doa restu dari Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat perlindungan dari segala macam cobaan dan si anak telah beragama Islam. Dan mereka juga mengatakan bahwa khitan pada perempuan merupakan sunah Rasul, hanya saja pada masyarakat Jawa di Medan khitan ini dilakukan hanya sebatas penggoresan pada alat kelamin si anak tidak sampai memotong seperti yang telah terjadi di Afrika atau pada suku Madura yang melakukan khitan sampai melukai alat kelamin perempuan yang akan dikhitan. Khitanan perempuan Jawa di Kota Medan pada masa sekarang lebih sering dilakukan oleh bidan dengan menggunakan tenaga medis dan alat-alat kedokteran. Sedangkan pada masa lalu, lebih dilakukan oleh seorang dukun beranak. Pada masa dulu khitanan yang dilakukan oleh dukun beranak dilakukan dengan menggunakan sembilu atau bambu yang diruncingkan dan dibersihkan, ada juga yang menggunakan gunting. Pada saat melakukan khitanan sang dukun tidak sembarangan, ada cara khusus yang dilakukan pada setiap dukun, yaitu sang dukun hanya memotong sedikit dari ujung klitoris bayi sehingga sang bayi hanya merasakan sedikit terkejut dan sedikit sakit, pada saat proses ini dilakukan, sang dukun akan membaca dua kalimat Syahadat dan shalawat Nabi. Untuk proses khitanan tersebut sang dukun akan menyiapkan beberapa syarat seperti air bunga yang berfungsi untuk membersihkan alat kelamin si bayi sebelum si khitan, dan kunyit yang kemudian tengahnya dikerok, fungsi dari kunyit yang dikerok ini adalah untuk diletakkan diujung klitoris yang dikhitan tadi, hal ini dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit dan agar tidak terjadi infeksi, sedangkan kunyit yang tidak dikerok digunakan untuk tempat meletakkan potongan yang dikhitan yang kemudian dibuang bersama air bunga. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Sedangkan pada masa sekarang, khitanan pada anak perempuan banyak dilakukan oleh tenaga medis seperti bidan atau dokter, Hal ini dilakukan karena sudah jarang di temukan dukun bayi di daerah mereka, dan mereka juga melahirkan anak mereka di bidan atau rumah sakit. Informasi yang didapat dari salah seorang tenaga medis yang bersuku Jawa yaitu seorang bidan, bahwa hampir setiap bayi perempuan pastilah dikhitan, tetapi tidak ada kewajiban atau keharusan dalam waktu melakukan khitanan ini, semuanya tergantung dari orang tua si bayi. Dengan begitu, khitanan yang dilakukan tidak dapat dilakukan dengan cara yang sembarangan, khitanan yang dilakukan harus dikerjakan oleh orang-orang yang benar-benar ahli dalam praktek ini. Baik itu dukun beranak atau pun bidan atau dokter. Dari informasi yang saya dapat dari beberapa informan, mereka memberikan pengertian tentang khitanan yaitu sebagai berikut, khitanan meupakan pembersihan dengan menggores atau membuang sedikit dari ujung kelentit atau klitoris si anak (untuk anak perempuan), sedangkan untuk anak laki-laki pembuangan sedikit ujung penis dengan tujuan untuk pembersihan dari segala jenis kotoran. Jika dilihat dari masyarakat etnik lain selain Jawa memaknai khitanan perempuan ini. Sebagai contoh dapat kita lihat pada masyarakat etnik Lampung, dimana bagi masyarakat Lampung, khitanan perempuan disebut juga sunat sebai, karena dianggap sebagai tuntutan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi mereka para orang tua atau sesepuh, tidak ada alasan bagi anak-anaknya tidak melakukan khitan pada anak perempuan. Hal ini didukung oleh salah satu informan yang merupakan seorang dukun bayi, yang menyatakan bahwa dalam kondisi apa pun dan dimanapun anak perempuan harus khitan. Jika anak perempuan keturunannya adanya diperantauan dan sulit untuk menemukan dukun khitan untuk anak perempuan, maka si anak tersebut harus dibawa Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
pulang untuk di khitan, atau sidukun itu sendiri yang akan pergi ketempat anak keturunanya itu untuk melakukan khitanan pada anak perempuan tersebut. Jika ada anak perempuan atau masyarakat lampung yang tidak melakukan khitan, ada akibat yang akan diterimanya, baik itu secara fisik, seperti perempuan tersebut akan dianggap melanggar tradisi yang telah ada dan hal ini merupakan ketidak pantasan. Disamping khitanan ini sebagai tradisi nenek moyang yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Bukan hanya itu, masyarakat Lampung juga meyakini bahwa khitan perempuan merupakan ajaran agama Islam yang harus dijalankan. Pada masyarakat Lampung, khitanan pada anak perempuan biasanya dilakukan pada usia 2-3 tahun, saat si anak telah bisa melakukan perintah dari orang tuanya. Dan apabila si anak perempuan ini tidak segera di khitan maka si anak ini akan diperolok-olok oleh lingkungannya dan teman-temannya, pada seumur itulah si anak diyakini akan dapat mengingat peristiwa khitanan tersebut. 6 Dari contoh diatas, dapat dilihat bahwa ada sebagian etnis yang menganggap khitanan ini merupakan hal yang wajib untuk dilakukann dan merupakan tradisi yang harus dipatuhi.
1.2. Rumusan Masalah Khitanan di Indonesia dilakukan berdasarkan adanya tradisi dan ajaran agama yang melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Medan, dimana tradisi ini diwariskan secara turun-temurun. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk meneliti tentang khitanan perempuan, dimana yang saya ketahui pada penelitian ini yaitu, pengetahuan
6
Di kutip dari buku Khitanan Perempuan antara Tradisi dan Ajaran Agama, halm, 36 - 46
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
dan pola pikir masyarakat Jawa yang ada di Medan tentang khitan perempuan, dimana khitanan ini menjadi fenomena yang berlangsung dan terus terjadi pada setiap anak perempuan Jawa sampai sekarang dengan berasumsi pada : 1. Bagaimana rekontruksi pengetahuan dan keyakinan masyarakat Jawa terhadap praktik khitan perempuan pada suku mereka. 2. Seperti apakah peran keluarga terhadap keberlangsungan praktik ini sehingga masih tetap dipertahankan sampai sekarang.
1.3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Marelan Keluarahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan Medan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah secara teoritis, Hal ini didasari karena didaerah ini masih banyak terdapat masyarakat yang bersuku bangsa Jawa dan masih dilakukannya tradisi yang melekat pada suku mereka yaitu suku Jawa. bukan hanya itu, masyarakat di daerah ini juga masih melakukan khitan pada anak perempuan mereka. Sedangkan secara praktis peneliti memilih daerah ini karena di Marelan merupakan kantong pemukiman orang Jawa yang cukup besar yang ada di Medan, karena dulu daerah ini merupakan daerah perkebunan tembakau Deli dan pekerja di perkebunan ini adalah orang-orang yang di bawa dari Jawa oleh Belanda.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui lebih mendalam fenomena khitanan perempuan yang di anggap sudah menjadi tradisi yang di lakukan secara turun-temurun yang diperkuat secara agama. Untuk mengetahui alasan-alasan
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
yang mengharuskan masyarakat Jawa Medan agar terus melakukan praktek khitan ini, baik secara tradisi maupun secara medis. Tujuan dari penelitian ini juga untuk mendeskripsikan seluk beluk dari praktek khitanan secara tradisional pada permpuan Jawa. Serta untuk mengetahui nilai-nilai sosial budaya dibalik tradisi yang telah ada sejak lama. Secara keseluruhan, penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi umum tentang keberadaan dan kelangsungan praktek khitan perempuan pada masyarakat Jawa di Kota Medan.
1.5. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini di harapkan adanya beberapa manfaat yaitu : 1. Secara
Teoritis,
diharapkan
dapat
memberikan
masukan
berarti
bagi
pengembangan pemikiran ilmu sosial pada umumnya dan Ilmu Antropologi pada khususnya. Dijadikanya penelitian ini sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang berminat pada topik ini, yang saat ini menjadi fenomena baru yang sejak dulu sudah pernah ada pada msyarakat Jawa ataupun masyarakat etnis lain. 2. Secara Praktis, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi instansi ( pengambil keputusan ) terkait khususnya pada Dinas Kesehatan dan tidak menutup kemungkinan sebagai bahan acuan untuk Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara dalam pembuatan kebijakan mengenai khitan pada perempuan dan masyarakat umum baik NGO-NGO/LSM_LSM maupun masyarakat awam.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
1.6. Tinjauan Pustaka Pengetahuan merupakan unsur-unsur yang mengisi akal dan jiwa seorang manusia yang sadar dan secara nyata terkandung dalam otak. Kemampuan akal manusia untuk membentuk konsep, serta kemampuannya untuk berfantasi sudah tentu sangat penting bagi makhluk manusia. Hal ini disebabkan karena tanpa kemampuan akal untuk membentuk konsep dan penggambaran fantasi yang mempunyai nilai guna dan keindahan, artinya dengan kemampuan akal yang kreatif, maka manusia tidak akan dapat mengembangkan cita-cita serta gagasan-gagasan ideal, dengan begitu manusia tidak akan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan manusia juga tidak dapat mengekspresikan karya-karya
dan
keseniannya.
Pengetahuan
memiliki
beberapa
unsur,
seperti
penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi. Semua unsur pengetahuan ini ada pada setiap individu yang sadar. 7 Menurut Suparlan Suhartono, (2004), pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tetang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu : kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaankebiasaan, dan agama, kesaksian orang lain, panca indera (pengalaman), akal pikiran, dan instuisi individu. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan menunjukan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang hidup dan berlaku dalam adat istiadat,
7
Lihat Koentjaraningrat dalam buku pengantar ilmu antropologi , halm. 105-1
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
kebiasaan-kebiasaan dan kehidupan keagamaan. Sumber-sumber ini kaya akan kandungan pengetahuan berupa pandangan hidup sebagai norma-norma atau kaidahkaidah untuk membentuk sikap, cara, dan tingkah laku individu. Dalam kehidupan seharihari dapat ditemukan bermacam-macam tingkah laku yang mengandung pengetahuan langsung yang bersumber dari adat istiadat, kebiasaan dan agama. Jika suatu perbuatan dipertanyakan mengapa hal itu diakukan, maka pasti akan dijawab bahwa memang seharusnya demikian yang diajarkan oleh adat istiadat, kebiasaan, agama. Dengan begitu, meskipun pengetahuan begitu sederhana tetap akan terbawa secara terus menerus sampai kezaman yang akan datang. 8 Budaya merupakan salah satu dasar yang menentukan perjalanan hidup individu. Pada hakikatnya,budaya merupakan sesuatu yang barada diluar kemauan dan kemampuan individu, serta memaksakan kehendaknya pada tiap individu. Meskipun demikian, pembatasan-pembatasan tersebut tidak selalu dirasakan, karena pada umumnya individu mengikuti cara-cara berlaku dan berfikir sebagaiman yang di tuntutnya ( Ihromi, 1984 ). Dengan begitu, budaya merupakan suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang memiliki pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak yang dipelajari dan ditransformasikan dari satu generasi selanjutnya. Dengan adanya tekanan-tekanan sosial, maka individu terhalangi untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya ingin dilakukan. Akan tetapi, budaya memiliki kecenderungan untuk selalu berubah karena sifatnya yang adaptif. Sedangkan menurut Fedrik Barth ( 1988 ) kelompok etnik adalah suatu organisasi sosial yang askriptif yang berkenaan dengan asal muasal yang mendasar yang memiliki identitas dan sebagai bagian batas sosial yang luas. Sementara itu setiap lingkungan
8
Lihat Suparlan Suhartono, Ph.D. dasar-dasar filsafat , halm. 77-93
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
sosial mempunyai struktur-struktur sosial yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masih menurut Fedrik Barth ( 1988 ), terdapat dua hal pokok yang dapat dilihat dalam mengamati kehadiran kelompok-kelompok atnik dengan ciri-ciri budaya yang khusus : •
Kelanggengan
unit-unit
budaya,
dengan
adanya
aspek
budaya
dapat
menyebabkan seseorang ataupun kelompok diklasifikasikan kepada keanggotaan suatu kelompok etnik. Yang paling menentukan dalam hal ini adalah kemampuna seseorang atau kelompok dalam memperlihatkan sifat-sifat budanya, karena sifat budaya merupakan ciri utama yang penting. Langgeng atau tidaknya unit budaya ini ditandai dari kuatnya atau tidanya masing-masing anggota menyadari budaya tersebut. •
Faktor-faktor yang mempengaruhi unit budaya tersebut, terbentuknya suatu budaya yang tampak menunjukan adanya pengaruh lingkungan. Dengan kata lain bentuk budaya merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik dalam menghadapi berbagai faktor luar. Suatu kelompok etnik yang berbeda suatu daerah dengan lingkungan yang bervariasi akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan daerah tempat tinggalnya, namun tidak mencerminkan orientasi budaya yang berbeda. Begitu pula pada tradisi yang sudah ada, juga tidak terlepas dari apa yang terjadi
dalam masyarakatnya. Dimana seseorang bertempat tinggal, maka tradisi tersebut akan melekat dalam diri masyarakat tersebut. Banyak faktor yang datang dari dalam diri masyarakat itu sendiri maupun dari luar masyarakat itu sendiri yang akan di pengaruhi mereka dalam bersikap terutama terhadap hal-hal yang baru, baik itu berupa ide, tindakan ataupun barang yang dianggap baru. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Begitu juga pada khitanan yang merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama dan telah dianut sampai sekarang oleh banyak masyarakat. Khitanan ini merupakan praktik kuno yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di dunia untuk berbagai alasan baik itu agama maupun sosial budaya, dimana praktik ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Khitan adalah memotong sebagian dari organ kelamin, untuk laki-laki pelaksanaan khitan sama disetiap tempat, yaitu memotong kulup (qulf) penis laki-laki. Sedangkan pada perempuan berbeda disetiap tempat, ada sebatas pembuangan sebagian dari klentit (klitoris)dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora). Khitanan pada perempuan didaerah tertentu di Indonesia merupakan salah satu bentuk keharusan atau kewajiban yang harus dilakukan. Bagi sebahagian masyarakat, khitan yang dilakukan pada perempuan dianggap sebagai tindakan untuk mencegah perempuan tidak berlaku senonoh atau binal. Hal ini diungkapkan karena adanya anggapan bahwa perempuan dianggap tabu jika mengekspresikan keinginan seksualnya, meskipun pada suaminya sendiri. Sedangkan bagi masyarakat yang beragama Islam, khitan di yakini sebagai bentuk ibadah yang wajib dilakukan untuk laki-laki dan sunah dilakukan bagi perempuan. Khitanan perempuan telah menjadi budaya yang melekat sejak perempuan itu lahir, hidup, dan berinteraksi, yang kemudian menjadi tatanan yang mengatur kaum perempuan. Dalam tradisi khitan pada perempuan terdapat proses sosialisasi dan internalisasi nilai yang berujung pada pembentukan sikap mengikuti teori sikap dan terbentuk oleh adanya interaksi sosial yang alami oleh individu (Azwar, 1995). Pembentukan sikap ini secara garis besar ada dua faktor yang turut mempengaruhi yaitu Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
faktor internal yang meliputi fisiologi dan psikologi dan faktor eksternal yang meliputi pengalaman, situasi, norma-norma, hambatan, pendorong ( Walgito,1994) Faktor utama yang sering di anggap sebagai agen utama sosialisasi adalah keluarga yang memberikan pengalaman-pengalaman pribadi yang sangat membekas dari setiap anggotanya. Begitu juga dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diberikan secara turun temurun kepada anggota keluarganya. Dalam masyarakat Jawa tidak ada satu hubungan emosionil maupun materil, satusatunya hubungan ialah dengan anggota keluarga dan masyarakat. Merekalah yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Bagi mereka yang baik adalah apa yang tidak mengganggu keharmonisan keluarga dan masyarakat, dalam hal ini berarti, bahwa seseorang secara tertib memenuhi kewajibannya ditempat mereka berada, patuh terhadap yang berkedudukan tinggi dalam keluarga dan masyarakat tersebut. ( Niels Mulder, dalam buku salah satu hidup orang Jawa, dalam buku DE Jong. 1985 ). Orang Jawa memiliki kunci untuk mengerti tentang kehidupan di Jawa yaitu keinginan orang Jawa akan terciptanya tatanan, sekalipun ada kesadaran yang kuat bahwa kehidupan dan nasib seseorang berkembang sendiri dalam batas-batas tata hidup yang besar, namun tatanan itu dirasakan sebagai bersifat gaib dan diluar kekuasaan seseorang secara langsung. Cara terbaik yang biasa dilakukan seseorang adalah untuk mengkhawatirkan hasilnya dan berusaha untuk membentuk pengalaman hidup secara disiplin sebagai suatu sarana untuk mendapatkan tatanan keamanan tertinggi. Begitulah kehidupan bagi mereka dimana untuk membentuk kehidupan secara aktif dan indah dengan mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Tipe Penelitian Studi ini bersifat etnografis dengan penggambaran analitis yang dilakukan secara kualitatif, dimana berfokus pada pengetahuan dan pola pikir masyarakat Jawa tentang khitan perempuan. Etnografi merupakan suatu ilmu yang menggambarkan kehidupan suatu kelompok masyarakat. Dan etnografi juga merupakan kajian yang ada pada ilmu antropologi yang menggambarkan suatu kelompok masyarakat secara holistik. Oleh karena itu berdasarkan padafokus kajian penelitian seperti di atas, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipependekatan deskriptif. Pendekatan kualitatif yang dimaksud, seperti yang dijelaskan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2001; 3), bahwa mengartikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan prilaku orang diamati, yang diarahkan pada latar individu tersebut secara menyeluruh (holistik) dan utuh. Chadwick juga mengatakan bahwa pndekatan kualitatif dipandang mampu untuk menggambarkankejadian atau situasi dan realitas sosial dari subjek. Defenisi situasi tersebut meliputi perilaku, motif subjektif, perasaan, dan emosi dari orang-orang yang diamati (Chadwick, 1991; 235). Sedangkan tipe penelitian deskriptif yang dimaksud pada penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terperinci dari pengetahuan masyarakat tentang apa yang akan diangkat pada penelitian ini, seperti yang di katakan oleh Singarimbun, bahwa Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
penelitian yang bersifat deskriptif dapat menggambarkan secermat mungkin dan seluasluasnya fenomena sosial yang diamati untuk mengembangkan konsep dan fakta, tetapi tidak untuk melakukan pengujian hipotesa ( Singarimbun, 1989; 4). Sehingga dengan tipe deskriptif ini peneliti dapat memberikan gambaran secara cermat tentang masingmasing subjek penelitian baik berupa pandangan, pelaksana, dan harapan masyarakat terhadap apa yang menjadi tradisi bagi etnis mereka. Penelitian deskriptifjuga dapat memberikan peluang bagi peneliti untuk mengumpulkan data sebanyak- banyaknya guna menggambarkan suatu fenomena soaial dan fenomena yang ada pada adat istiadat mereka.
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dilakukan dalam studi ini adalah wawancara mendalam terhadap beberapa informan kunci ( key informants ) yang merupakan paling penting dalam pengumpulan data-data primer dilapangan. Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan yang berisikan aspek-aspek yang perlu digali dan diketahui secara mendalam sehingga menjawab semua permasalahan dalam studi ini. Wawancara juga di tujukan untuk mengungkap pengetahuan, sejarah, dan persepsi informan mengenai masalah yang akan di angkat. Dengan begitu, wawancara juga akan digunakan untuk merekam pengetahuan informan yang dianggap mampu untuk memberikan gambaran historis atas khitan perempuan Jawa di Kota Medan. Adapun wawancara mendalam yang telah peneliti lakukan di lapangan ke pada 10 informan yang masing-masing berduarasi 30-60 menit. Informan yang ingin peneliti wawancarai dengan mendalam dilakukan dengan cara mendatangi rumah, tempat Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
kerjanya, dan tempat-tempat para informan sering berkumpul seperti posyandu, dan tempat perwiritan ibu-ibu. Saat dilapangan ada beberapa informan yang sulit untuk di temui dan perlu membuat janji terlebih dahulu. Wawancara yang dilakukan, waktunya tidak peneliti tentukan tapi disesuaikan dengan keadaan informan sehingga wawancara berlangsung ada yang waktunya pagi hari, siang hari, dan sore hari. Dalam proses wawancara peneliti berupaya mengkondisikan keadaan dengan santai, rileks, tidak formal dan seperti halnya percakapan biasa antara 2 orang teman. Pada awalnya dalam pengumpulan data peneliti dibantu dengan memakai tape recorder, akan tetapi tepa recorder yang digunakan tidak berfungsi dengan baik sehingga peneliti hanya mengendalkan catatan lapangan ( field notes ) saja. Menurut Bogdan dan Biklen catatan lapangan ( field notes ) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat , dialami dan dipirkan dalam rangkapengumpulan data dan refleksi terhadap ata dalam penelitian ( Moleong, 2001;153 ). Pengmpulan data yang terakhir yaitu melalui studi kepustakaan, dimana data diperoleh melalui literatur-literatur baik berupa makalah-makalah, buku-buku, skripsi mahasiswa, maupun artikel-ertikel di koran yang semuanya berhubungan dengan permasalahan penelitian ini.
1.7.3. Proses Penelitian Pada proses pengumpulan data, dimulai dengan melakukan survei awal yang bertujuan untuk mencari lokasi penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Di mana kriteria lokasi dengan penelitian ini adalah masyarakatnya yang di dominasi oleh etnis Jawa dan masih menggunakan adat istiadat Jawa. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Survei awal dilakukan pada bulan April 2009 ke kantor Camat yang berada di Pasar 5 Marelan, hal ini dilakukan untuk meminta izin penelitian di daerah ini, tapi pada saat penulis datang ke kantor camat ini pegawai yang ada menyuruh penulis untuk langsung pergi ke kantor lurah Rengas Pulau, dan sesampainya penulis dikantor lurah, penulis langsung bertemu dengan Bapak Lurah dan disambut dengan sangat baik. Hari itu juga keluarlah surat izin penelitian dan Bapak lurah menjadi informan pertama yang penulis wawancarai. Dari data yang diperoleh dari bapak lurah, bahwa benar adanya daerah ini di domisili oleh etnis Jawa dan hampir 70% mereka bertempat tinggal di daerah Marelan ini, oleh karena itulah peneliti tetap megambil Pasar 5 Marelan menjadi lokasi penelitian. Pengumpulan data selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan cara menghubungi kontak person ( Kepling 26 ) yang penulis dapat dari Bapak Lurah, hal ini dilakukan untuk meminta kesediaannya untuk membantu penulis baik dalam memberi gambaran secara umum mengenai daerah ini dan memberi masukan kemana seharusnya peneliti melakukan wawancara. Selain itu penulisjuga mencari dan membaca literatur berupa buku-buku hasil penelitian mengenai tema yang akan di angkat, dan peneliti juga mencari informasi dari teman, saudara, ataupun dosen yang pernah ke daerah ini. Langkah selanjutnya pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni minggu ke 2 sampai akhir bulan Agustus, dimana peneliti mengambil data langsung ke lokasi penelitian yaitu Pasar 5 Marelan bersama seorang teman yang tinggal di daerah Marelan tersebut. Wawancara pertama kali dilakuka oleh Bapak Lurah yang menjadi informan pangkal karena beliau yang lebih mengetahui daerah yang beliau pimpin, sedangkan
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Kepling dan tokoh masyarakat dan tokoh adat menjadi informan kunci, sedangkan informan biasa adalah masyarkat yang tinggal di daerah tersebut. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan mengemukakan maksud dan tujuan kedatangan peneliti yaitu untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dengan wawancara mendalam yang akan dijadikan sebagai tugas akhir peneliti.Tetapi pada saat melakukan wawancara tidak semudah yang dibayangkan, karena bagi masyarakat khitan pada perempuan masih merupakan hal yang tabu. Tetapi setelah diberi sedikit keterangan dan pendekatan akhirnya masyarkat sekitar mau memberikan informasi kepada peneliti.
1.7.4. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif.
Dalam
pemaparannya,
peneliti
berusaha
untuk
menceritakan
dan
menggambarkan apa adanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan khitanan. Hal ini dilakukan dengan memaparkan sedikit khitan pada laki-laki dan berfokus pada khitan perempuan dan menggambarkan pengetahuan masyarakat tentang khitanan perempuan dan bagaimana memaknai khitanan ini secara tradisi, dan mengetahui bagaimana masyarakat Jawa tersebut memahami dan mempertahankan praktik ini sehingga terus berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu peneliti meminjam teori strukturalisme dari Claude Levi Strauss.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
1.7.5. Defenisi Oprasional o Pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat tertentu. Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu: kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama, kesaksian orang lain, panca indera ( pengalaman ), akal pikiran, dan instuisi individu. o Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin, pada laki-laki pemotongan terjadi pada Qulf penis, sedangkan pada perempuan pemotongan atau penggoresan pada klitoris vagina perempuan. o Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari beberapa individu yang hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah dengan ikatan-ikatan aturan tertentu, yang di dalamnya terjadi interaksi menurut adat istiadat yangbersifat kontinyu dan terikat oleh suaturasa identitas bersama. o Etnis adalah golongan masyarakat yang terikat oleh keadaan identitas akan kesatuan budaya serta menyadari rasa kebersamaan (Koentjaraningrat,1986; 264). o Rekonstruksi adalah pengembalian seperti semula o Sembilu adalah bambu yang diluncingkan yang berfungsi sebagai alat untuk khitan
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB II Gambaran Umum Daerah Penelitian
2.1. Sejarah, Letak, dan Kondisi Geografis. Kelurahan Rengas Pulao Berada di Kecamatan Medan Marelan Kota Madya Medan ada semenjak masa Kolonial Belanda dan Jepang. menurut cerita yang ada, pada masa dahulu di tengah-tengah sungai Deli di sekitar Kampung Martubung arah ke Belawan timbul sebuah pulau d atasnya dan diatas pulau itu tumbuh 10 batang pohon rengas yaitu sejenis pohon yang biasa tumbuh dipinggir sungai, dan tepat di sebrang sungai debelah barat terdapat sebuah kampung yang belum memiliki nama. Dengan munculnya pulau itu, masyarakat mulai memberi berbagai sebutan untuk pulau baru tersebut, ada yang menyebutnya dengan rengas se-pulau, ada juga yang menyebutnya rengas se-puluh, akhirnya di ambil keputusan untuk memberi nama pulau baru itu dengan sebutan Rengas Pulau. Penduduk asli di Rengas Pulau adalah suku Melayu, tetapi ada juga suku pendatang seperti suku Jawa, Tionghoa, Bantan, Banjar, dan suku lainnya. Pada saat ini suku terbanyak di daerah ini adalah suku Jawa, dimana pada tahun 1852 jumlah penduduk kurang lebih 6500 jiwa, pada tahun 1984 jumlah penduduk mencapai 17000, dan pada tahun 1996 jumlah penduduk mencapai kurang lebih 24800 jiwa. Pasar 5 Kelurahan Rengas Pulau Marelan berlokasi didataran rendah, 13 KM di utara Medan dan 8 KM sebelah selatan pelabuhan Belawan dengan ketinggian kurang lebih 4 M dari permukaan laut, dengan suhu udara yang selalu normal. sebelah utara
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
banyak terdapat rawa-rawa, dan sampai tahun 1949 disebelah selatan daerah ini merupakan lahan pertanian, pemukiman penduduk, dan perkebuanan tembakau Kelurahan Rengas Pulau memiliki luas daerah seluruhnya termasuk daerah bekas perkebunan tembakau kurang lebih 10,5 KM , dimana daerah ini terbagi menjadi dua bahagian, yaitu tanah asli kurang lebih 1750 H dan bekas perkebunan tembakau kurang lebih kurang lebih 800 H. Daerah ini memiliki batas wilayah yakni :
Sebelah Utara berbatasan dengan Sei Terjun, Sicanang kelurahan Belawan I
Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Titipapan atau tanah 600
Sebelah Timur berbatasan dengan Parit Manaf, Sei Deli Kelurahan Labuhan Deli.
Sebelah Barat berbatasan dengan Sei Bedera, Paluh Nibung Kelurahan Terjun.
Dikelurahan Rengas Pulau terdapat puluhan perkampuan kecil diantaranya adalah : Titipapan Seberang, Rengas Pulau, Titi Besi, Kp. Bantan, Paya Pasir, Kota Cina, Ujung Pematang, Pem. Siombak, Paluh Nibung, Mata Peliang, Karelan, dan lain-lain. Kepala pemerintahan di kelurahan pada masa kolonial Belanda memiliki nama jabatan yang berbeda, yakni : o Pada zaman kolonial Belanda dan Jepang sampai tahun 1955 pejabat dikantor lurah di sebut dengan Penghulu Kampung. o pada tahun 1955 s/d 1961 pejabat dikantor lurah berubah nama menjadi Kepala Kampung o Pada Tahun1961 s/d 1974 berubah lagi menjadi Kepala Desa o Dan pada tahun 1974 sampai dengan sekarang nama pejabat kelurahan diberi nama menjadi lurah
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Berdasarkan data dan wawancara dengan lurah kelurahan rengas pulau ini, didapat hasil bahwa kepemimpinan di kantor lurah ini telah berganti sebanyak 8 kali, yakni :
Tabel 2.1. kepemimpinan Kepala Desa No Nama Pejabat
Jabatan
Lama Bertugas
1
O.K Ibol ( Dt. Nong )
Penghulu
Zaman Belanda s/d 1933
2
O.K Anwar
Penghulu
1934 s/d 17-8-1945
3
Ahmad Wen Genie
Penghulu
1945 s/d 21-7-1952
4
Haji Usman Ali
Lurah
1-8-1952 s/d 17-7 1984
5
Arifin Hasibuan
Lurah
17-7-1984 s/d 1986
6
Rubais
Lurah
1986 s/d 1996
7
Abdul Karim
Lurah
1997 s/d 2000
8
Mahmuddin
Lurah
2000 s/d 2002
9
Ahmad Bsc
Lurah
2007 s/d sekarang
Diolah Dari Data Kelurahan dan data BPS 2008 Pada tahun 1951 perkebunaan tembakau tidak di usahain oleh belanda lagi, tanah ini di garap oleh masyarakat, tanah ini meiliki luas 800 ha, hal inilah yang membuat rengas pulau menjadi bertambah luas.Dengan bertambah luasnya daerah ini, maka kelurahan membentuk lorong-lorong yang dikepalai oleh 41 kepala lorong.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
2.2. Kependudukan Jumlah penduduk di kelurahan rengas pulau adalah 57178 jiwa pada tahun 2007, yang terdiri dari 11041 kepala keluarga dengan luas daerah 10,5 KM dan kepadatan penduduk 5446 yang tersebar kedalam 35 lingkungan atau lorong. Disini dapat dilihat pembagian penduduk menurut jenis kelamin, menurut kewarganegaraan berdasarkan jenis kelamin, dan benyak penduduk yang usia 7-12 yang masih mengecam pendidikan.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin No
Kelurahan
Laki-Laki
Perempuan Jumlah
1
Rengas Pulau
28134
28044
57178
Sumber : Kelurahan Rengas Pulau, dan BPS Kota Medan Tahun 2007-2008
Tebel 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Kewarganegaraan dan Jenis Kelamin WNRI
WNA
Kelurahan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan Jumlah
Rengas Pulau
23462
25248
23
23
48756
Sumber : Kelurahan Rengas Pulau, dan BPS Kota Medan Tahun 2007-2008
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Tabel 2.4 Banyak Penduduk Usia 7-12 Tahun dan Status Pendidikan Kelurahan
Sekolah
Tidak Sekolah
Jumlah
Rengas Pulau
4502
6
4508
Sumber : Kelurahan Rengas Pulau, dan BPS Kota Medan Tahun 2007-2008 Dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di Marelan hampir sebagian besar adalah penduduk bersuku bangsa Jawa yang bermigrasi dari daerah asal yaitu Pulau Jawa. Mereka bermigrasi ke Marelan sejak Zaman penjajahan Belanda, dimana mereka di bawa untuk melakukan kerja paksa mengelolah perkebunan tembakau Deli yang saat itu di kuasai oleh pemerintahan Belanda dan bekerja sama dengan kesultanan Deli. Salah satu tempat atau gudang tembakau tersebut ada di Marelan. Dulunya Marelan salah satu perkebunan tembakau yang ada di Medan yang saat itu pemerintahan masih di pegang oleh kesultanan Deli. Orang Jawa yang dibawa oleh Belanda tinggal di sekitar perkebunan, dan membentuk suatu kelompok yang terdiri hanya atas suku mereka. hingga akhirnya mempunyai keturunan sampai ke anak cucu dan terus menetap atau bertempat tinggal di Marelan. Setelah penjajahan Belanda selesai perkebunan tembakau tersebut mulai hilang dan beralih menjadi ladang atau persawahan yang dikelolah sendiri oleh penduduk yang tinggal di daerah ini. Pada saat sekarang Marelan telah berubah menjadi daerah yang dipenuhi oleh pemungkiman penduduk, tetapi tetap di dominasi oleh orang Jawa, walaupun sekarang mereka lebih di kenal dengan sebutan orang Jawa Sumatera, atau dalam organisasi disebut dengan PUJAKESUMA.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Orang Jawa pendatang ini tidak hanya ada di daerah Merelan, tetapi tersebar di beberapa daerah yang ada di Medan, seperti Patumbak, Tembung, Marendal, dll. Orang Jawa yang datang ke Medan setelah penjajahan Belanda mereka itu merupakan migrasi dari pulau Jawa karena kepadatan penduduk.
2.3. Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Marelan Kelurahan Rengas Pulau Mata pencaharian merupakan suatu aktifitas usaha yang dilakukan oleh banyak orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. ada banyak bentuk yang dilakukan oleh orang sebagai mata pencahariannya. Daerah tempat mereka tinggal juga memberi pengaruh yang cukup besar dalam hal karakteristik mata pencaharian yang dipilih oleh mereka. seperti di pedesaan, masyarakat akan memilih hidup dengan mengelolah hasil agraris, sperti bertani dan juga memanfaatkan sumber daya alm yang ada di daerahnya. sedangka pada masyarkat yang hidup dikota, mereka pada umumnya akan memilih memenuhi kebutuhannya dengan bekerja dibidang yang lebih formal, seperti bekerja dikantor atau menjadi pegawai negeri sipil. Masyarakat Marelan ini memiliki mata pencaharian yang beragam, seperti bertani, buruh, nelayan, pertukangan rumah, pegawai negeri sipil, ABRI, berdagang, wiraswasta, dokter, pegawai swasta, dan lain-lain. Walaupun masyarakat di daerah ini memiliki beragam mata pencaharian yang beragam, tetapi banyak dari mereka yang memiliki mata pencaharian lebih dari satu atau lebih kita kenal dengan pekerjaan sampingan, seperti, salah satu informan, beliau bekerja sebagai guru SD di salah satu sekolah dasar yang ada di Marelan, beliau bekerja sebagai guru mulai dari pagi hingga siang hari, pada siang harinya beliau kembali bekerja mengelolah kebun keluarga yang Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
hasilnya akan dijual di Pasar. Selain itu masih banyak masyarakat di Marelan yang memiliki pekerjaan ganda, tetapi dari mereka banyak yang bekerja sebagai petani di kebun mereka sendiri, hal ini dilakukan untuk menambah pengahsilan dan mencukupi kehidupan keluarga mereka.
Tabel 2.5 MataPencaharian penduduk No
Jenis Mata
Jumlah
Pencaharian 1.
Pegawai Negeri Sipil
205 orang
2
Buruh
2.475 orang
3
Pedagang
612 orang
4
Pengusaha
145 orang
5
ABRI
50 orang
6
Nelayan
61 orang
7
Wiraswasta
205 orang
Sumber : Data Kelurahan Rengas Pulau
2.4. Sarana Fisik Sarana fisik merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarkat. sarana fisik merupakan sarana umumyang digunakan oleh suatu masyarakat
untuk melakukan aktifitas sehari-sehari, khususnya yang berhubungan
dengan kepentingan umum. Dikelurahan Rengas Pulau terdapat sarana-sarana fisik yaitu antara lain : a. Sarana Kesehatan b. Sarana Transportasi Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
c. Sarana Pendidikan d. Sarana Ibadah e. Sarana Hiburan f. Sarana Perdagangan g. Sarana Olah Raga h. Sarana Penerangan i.
Sarana Komunikasi
2.4.1. Sarana Kesehatan Didaerah Kelurahan Rengas Pulau terdapat 5 sarana kesehatan yang terdiri dari, rumah sakit, puskesmas, bidan, dokter praktek, apotik, posyandu, dan toko obat. Banyaknya sarana kesehatan di keluraha ini di karenakan daerah ini merupakan salah satu daerah terluas dari kecamatan Medan Marelan. Tabel 2.6 Jumlah Sarana Kesehatan di kelurahan Rengas Pulau No Jenis Sarana Kesehatan
Jumlah
1
Rumah Sakit
2
2
Puskesmas
1
3
Posyandu
26
4
Dokter Praktek
5
5
Bidan
16
6
Apotik
2
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
7
Toko Obat
2
Sumber : Kelurahan Rengas Pulau dan Data BPS Kota Medan tahun 2007-2008
2.4.2. Sarana Transportasi Sarana Transportasi yang terdapat di Marelan kelurahan Rengas pulau ini berupa alat angkutan umum atau biasa yang disebut dengan angkot, becak mesin, ojek, becak dayung. Jarak antara rumah saya dengan lokasi penelitian kurang lebih 60 menit, perjalanan menuju lokasi dengan menggunakan angkot dengan biaya Rp. 5000,-. Sementara itu, sarana transportasi yang banyak digunakan oleh masyarkat di daerah ini adalah sepeda motor karena hampir semua masyarakat yang ada di daerah ini memiliki kendaraan sendiri untuk melakukan aktifitas.
2.4.3. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan di daerah ini sudah cukup lengkap hanya perguruan tinggi yang tidak ada di daerah ini. Sedangkan sarana pendidikan yang lainnya ada seperti TK sebanyak 6 unit, sekolah dasar atau sederajat 14 unit, sekolah menengah pertama 7 unit, dan sekolah menengah pertama 6 unit. Dengan begitu jumlah sarana pendidikan yang ada sebanyak 33 unit, dan telah memiliki fasilitas yang telah maju dan lengkap dan hampir semua anak yang tinggal di daerah ini bersekolah disini. Tabel 2.7 Jumlah Sekolah yang ada di Kelurahan Rengas Pulau No
Jenis Sekolah
Negeri
Swasta
Jumlah
1
Taman Kanak-Kanak
0
6
6
2
Sekolah Dasar
7
7
14
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
3
SMP
0
0
0
4
SMP Kejuruan
1
6
7
5
SMA
0
0
0
6
SMK
3
3
6
11
22
33
Total
Sumber : Data Kelurahan Rengas Pulau Dan Data BPS SUMUT 2007-2008
2.4.4. Sarana Ibadah Sarana Ibadah di Marelan cukup banyak dan lengkap, ada yang dibangun oleh pemerintah ada juga yang dibangun oleh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Karena di mayoritasi oleh agama Islam, maka mesjid dan langgar lah yang paling banyak didaerah ini. Berikut tabel jumlah sarana ibadah yang ada di kelurahan Rengas Pulau ;
Tabel 2.8 Sarana Ibadah Yang ada di Kelurahan Rengas Pulau No
Sarana Ibada
Jumlah
1
Mesjid
8
2
Langgar atau Mushola
36
3
Gereja
2
4
Kelenteng
3
Total
49
Sumber : Kelurahan Reangas Pulau dan Data BPS Sumut 2007-2008
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
2.4.5. Hiburan Sarana hiburan yang terdapat di Kelurahan Rengas Pulau berupa pasar malam yang dibuat 1 bulan sekali atau 1 tahun sekali. Tidak hanya itu, di Kelurahan ini juga terkadang mendatangkan group band dari Ibu Kota maupun dalam kota. dan juga keyboard yang sering digunakan pada saat pesta pernikahan atau pun perayaan hari besar. Daerah Rengas Pulau juga sering menampilkan permainan kuda lumping, topeng monyet, dan ada juga permainan anak-anak yang sering dikenal dengan sebutan bombonkar dan odong-odong yang saat ini merupakan hiburan yang paling diminati oleh segala usia dan kalangan.
2.4.6. Sarana Perdagangan Sarana pergadangan yang ada di daerah ini cukup banyak, karena de daerah ini telah terdapat pasar tradisional yang menjadi pusat transaksi dan bertemunya penduduk. Pasar tradisional disini sudah cukup besar dan lengkap, mulai jualan sayur, ikan, daging, makanan jajanan, alat dapur dan juga ada toko baju dan celana . Warung jajanan makanan juga sudah banyak, baik punya pribadi maupun yang di sewa. Warung-warung ini menjual berbagai macam makanan jajanan anak-anak, rokok, minuman, obat-obatan, dll. Tidak hanya pasar tradisional dan warung-warung yang ada di daerah ini, melainkan ada juga supermarket yang menjual segala macam barang kebutuhan masyarakat, dan supermarket ini menjadi tempat favorit masyarakat baik anak-anak maupun orang tua. Supermarket ini terletak di persimpangan yaitu simpang Titipapan. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
2.4.7. Sarana Olah Raga Sarana olah raga yang ada di Kelurahan Rengas Pulau ini juga cukup banyak, seperti lapangan bola kaki, lapangan futsal, lapangan voli, lapangan bulu tangkis, dll. Sarana ini selalu digunakan oleh masyarakat setempat. Hampir setiap hari sarana ini digunakan, terutama oleh para pemuda-pemudi yang tinggal di daerah ini.
2.4.8. Sarana Penerangan Sarana ini telah ada di setiap rumah penduduk, karena semua rumah penduduk telah di aliri oleh listrik. Tidak hanya rumah penduduk yang terdapat sarana peneranga,di jalan-jalan umum juga sudah ada lampu jalan yang kondisinya cukup baik.
2.4.9. Sarana Komunikasi Marelan ini adalah salah satu daerah yang penduduknya cukup padat dari kelurahan yang lain, sehingga di daerah ini sudah banyak terdapat alat komunikasi dan sudah canggih. Hal ini terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari luar dan membawa hal baru ke daerah ini. Ada banyak alat komunikasi yang terdapat di aderah ini seperti, telepon rumah, telepon genggam atau HP, telepon umum, televisi, radio, internet, parabola, dll. dan hampir semua masyarakat di daerah ini telah menggunakan sarana ini.
2.4.10. Kegiatan-Kegiatan Kebudayaan Daearah Marelan merupakan salah satu daerah yang dipadati oleh suku bangsa Jawa, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa perkumpulan etnis Jawa dan Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
terdapatnya sesepuh Jawa yang tinggal didaerah ini, yang salah satunya adalah pendiri PUJAKESUMA. PUJAKESUMA mempunyai kegiatan yang selalu dilaksanakan setiap bulanya yaitu pertemuan seperti silaturahmi yang dilaksanakan pada hari minggu yang jatuh pada bulan kliwon dan dihadiri semua masyarakat etnis Jawa yang tinggal di keluarahan rengas pulau dan ada juga yang datang dari luar daerah Marelan. Selain PUJAKESUMA ada juga padepokan atau paguyuban. Paguyuban ini diberinama Paguyuban Budaya Tradisi Group Turonggo Siswo Budaya yang artinya sebuah paguyuban yang mengajari siswa belajar menaiki kuda dengan budaya, selain di Marelan paguyuban ini hanya terdapat di daerah Tembung. Paguyuban ini sering menampilkan beberapa kebudayaan Jawa seperti, tari-tarian Jawa, kuda kepang atau sering kita sebut dengan kuda lumping, wayang, dan saat ini sedang mempersiapkan kebudayaan Jawa lain yaitu Reyok. Paguyuban ini berdiri pada tahun 2001, dengan Misi, membudi dayakan seni budaya Indonesia, dan Visi, membina generasi muda dalam melaksanakan seni budaya Indonesia tidak membedakan ras dan agama. Kelurahan Rengas Pulau saat ini sedang mengembangkan kembali budaya Jawa yang ada di daerah ini, hal ini dilakukan untuk mencegah hilangnya kebudayaan dan generasi muda mengetahui tradisi dan dapat terus melestarikan kebudayaan khususnya tradisi dan kebudayaan Jawa. Di paguyuban turonggo siswo budayo juga terdapat beberapa alat yang mencerminkan kebudayaan Jawa, seperti Gendang, wilah saron, wilah pelok, ketuk kenong, kuda putih, gong selindru, barong jalanan, terompet, wayang, cemeti, pentul, dan lain-lain.( Foto terlampir)
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB III Gambaran Umum Kebudayaan Jawa Marelan Pada Bab ini penulis mencoba untuk menggambarkan dan memaparkan gambaran umum mengenai kebudayaan Jawa yang ada di Marelan yang masih ada dan tetap dipertahankan sampai sekarang, serta kehidupan orang Jawa yang bertempat tinggal di Marelan. Kepulauan Jawa merupakan pulau yang mempunyai jumlah penduduk yang sangat padat sehingga banyak yang bermigrasi ke daerah luar Jawa. Pada awalnya orang Jawa yang bertempat tinggal di daerah Marelan adalah penduduk asli dari pulau Jawa yang dibawa secara paksa oleh penjajah Belanda untuk kerja di perusahan-perusahan perkebunan tembakau Deli yang saat itu di kuasai oleh pemerintahan Belanda. Orang Jawa yang akan di pekerjakan di perkebunan ini disebar di beberapa wilayah yang ada di Sumatera Utara, salah satunya di daerah Marelan ini. Marelan mempunyai luas kurang lebih 10,5 KM, dengan tanah perkebunan luasnya mencapai 800 H, perkebunan inilah yang di garap oleh orang Jawa yang dibawa oleh penjajah Belanda. Berawal dari kerja paksa oleh penjajah Belanda hingga akhirnya menetap menjadi penduduk di daerah ini. Setelah penjajahan Belanda dan kesultanan Deli perkebunan tembakau perlahan-lahan berubah menjadi lahan ladang ataupun persawahan, tidak ada lagi tanah perkebunan yang di kelolah oleh orang Jawa. Sebagian besar sekarang di jadikan pemukiman penduduk, hal ini dilakukan karena bertambahnya jumlah penduduk di daerah ini yang salah satu penyebabnya adalah bertambahnya keturunan orang Jawa yang tinggal di daerah ini dan semakin tingginya ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, sehingga mulai merubah pola pikir masyarakat yang tinggal di daerah ini. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Orang Jawa yang ada di Marelan hidup dan tinggal dalam satu ruang lingkup yang sama, di daerah tempat mereka tinggal di kelilingi oleh orang dari satu suku yaitu Jawa, kalaupun ada suku lain hanya beberapa saja, sehingga orang Jawa mempunyai lingkungan yang berkelompok-kelompok. Bahasa sehari-hari yang digunakan juga menggunakan bahasa Jawa, awalnya bahasa Jawa halus kerena belum adanya percampuran budaya lain, tetapi sekarang mereka lebih sering memakai bahasa Jawa kasar dalam kesehariannya. Logat bahasa yang digunakan sudah bercampur dengan orang sumatera yang memiliki tekanan suara yang lebih keras.
3.1. Struktur Kehidupan Orang Jawa di Marelan Orang Jawa yang ada di Marelan hidup bekelompok dengan sesamanya, dalam arti kata tetangga mereka juga orang Jawa, kalau pun ada suku lain hanya beberapa saja tidak sebanyak orang Jawa. Orang Jawa yang ada di Marelan biasanya bertetangga dengan saudaranya sendiri, saudara kandung ataupun sepupu yang satu garis keturunan. Pada awalnya orang Jawa yang ada di Medan adalah orang-orang yang bekerja sebagai kuli atau buruh perkebunan yang dibawa oleh Belanda. Menurut Clifford Geertz masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu, kaum Santri, Abangan, dan Priayi. Kaum Santri adalah penganut agama Islam yang taat, Abangan penganut Islam secara nominal atau masih berhubungan dengan kejawen, sedangkan priayi adalah kaum bangsawan. Untuk orang Jawa yang ada di Medan dapat di kelompokkan ke dalam kelompok abangan. Begitu juga untuk orang Jawa di Marelan, mereka juga tergolong ke dalam kelompok abangan, karena orang Jawa di Marelan bekerja di perkebunan dan masih membawa budaya dan tradisi dari asal mereka. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Dari Informasi yang didapat oleh peneliti, orang Jawa mempunyai struktur keturunan bilateral. Prinsip keturunan bilateral adalah memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria maupun wanita, prinsip bilateral sebenarnya tidak bersifat selektif, karena semua kerabat ayah maupun ibu tersemasuk kedalam batas hubungan kekerabatan 9. Dalam sistem kekeluargaan orang Jawa mempunyai kelompok kekeluargaan yang disebut dengan sanak sedulur, yaitu keluarga yang berasal dari satu garis keturunan dari satu orang nenek moyang. Kelompok keluarga inilah yang selalu saling bantu jika ada acara-acara penting dalam keluarga, seperti acara pernikahan, acara kematian, slametan, dan lain-lain. Bagi orang Jawa sopan santun itu sangat penting dalam kehidupan, hal ini di tunjukan oleh orang Jawa melalui berbagai gerak dan sikap, nada suara dan bahasa yang digunakan, sebagai contoh, pada saat seseorang akan berjalan melewati beberapa orang yang sedang berkumpul, maka ia harus sedikit menundukan badan, hal ini bertujuan sebagai ungkapan rasa hormat kepada orang lain atau kepada orang yang lebih tua. Orang Jawa memiliki banyak sekali adat istiadat atau tradisi, tetapi dengan berkembangnya zaman, tradisi yang ada semakin dilupakan dan ditinggalkan. Pada saat ini ada beberapa tradisi yang masih dilakukan seperti, acara-acara pernikahan, kelahiran, kematian, dan bersih-bersih kampung, semua kegiatan ini dilakukan dengan cara gotong royong dan semangat kekeluargaan. Gotong Royong merupakan salah satu sifat hidup yang masih dipertahankan dan di jalankan oleh orang Jawa. Gotong royong ini merupakan penerus dari pola hidup kekeluargaan orang Jawa yang tetap dihargai dan bernilai sebagai kelanjutan dari tradisi 9
Lihat Koentjaranigrat, dalam buku Pengantar Antropologi ”Pokok-Pokok Etnografi II”, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Hal. 122-124.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
spiritual yang harus diturunkan dari generasi kegenerasi berikutnya. Dengan tetap dipertahankannya gotong royong orang Jawa percaya akan tercipta masyarakat yang harmonis rukun dan tentram, dan terjaganya persatuan dan kesatuan serta keamanan lingkungan. Dalam tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegang pada dua hal yaitu religi dan mistis, serta yang kedua orang Jawa memegang teguh pada moral dan derajat hidup. bagi orang Jawa hidup itu harus di imbangi dengan agama supaya hidup bisa berjalan dengan baik dan jika mendapatkan keberuntungan atau kesenangan maka selalu bersyukur. Orang Jawa biasanya mengungkapkan rasa syukur dengan mengadakan slametan dan berbagi kepada orang-orang yang ada disekitar serta sanak saudara. Slametan biasanya dilakukan dengan cara saling bantu-membantu atau gotong royong antar saudara sehingga pekerjaan yang dilakukan terasa lebih ringan.
3.2. Keadaan Sosial Ekonomi Orang Jawa di Marelan berawal bekerja sebagai penggarap atau buruh perkebunan temabakau Deli, dan beralih sebagai petani dan buruh pabrik. Kehidupan orang Jawa di Marelan secara ekonomi cukup baik, sebagian besar mereka tinggal dirumah mereka sendiri dalam arti kata tidak menyewa rumah, karena pada masa dulu tanah di daerah ini bisa langsung di jadikan milik penduduk dan tidak perlu melapor pada dinas terkait, tetapi pasa masa sekarang masing-masing penduduk di daerah ini telah memiliki sertifikat untuk tanah yang mereka miliki. Dengan berkembangnya zaman dan majunya ilmu pengetahuan serta semakin tingginya pendidikan pada masyarakat yang hidup pada masa sekarang, maka akan Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
terjadilah perubahan dalam kehidupan seseorang ataupun masyarakat. Begitu juga dengan orang Jawa yang ada di Marelan, mereka tidak lagi menjadi pekerja perkebunan seperti dulu, tetapi banyak diantara mereka telah beralih kepada pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik dan menjanjikan, walaupun mereka masih banyak yang bekerja di sawah ataupun diladang tetapi semuanya hampir milik pribadi. Dan sebagian besar telah bekerja di berbagai bidang, seperti bekerja di pabrik, berdagang, guru, bank, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan lain-lain. Dengan berkembangnya lapangan pekerjaan, kehidupan masyarakat yang tinggal di Marelan khususnya orang Jawa menjadi lebih baik dan hampir semua anak mereka mengecam pendidikkan baik informal maupun formal. Marelan pada masa sekarang telah berubah menjadi daerah yang padat akan penduduk, baik orang Jawa yang telah lama tinggal di daerah itu maupun pendatang dari luar. Saat ini Marelan telah dipadati dengan bangunan-bangunan baru dan besar-besar, seperti perumahan, ruko-ruko, dan rumah mewah. Perubahan yang terjadi tidak semua merubah kehidupan masyarakat di daerah ini, tradisi yang ada tetap mereka jalankan dan mereka patuhi. Orang Jawa yang terkenal dengan sikap kekeluargaan dan hidup berkelompok membawa mereka membentuk suatu perkumpulan yang bertujuan untuk melestraikan kebudayaan dan menjaga silaturahmi antar mereka. Kehidupan sosial mereka di awali dari rukun antar tetangga sehingga mempermudah mereka untuk membentuk suatu perkumpulan atau organisasi. Marelan adalah salah satu daerah yang dipadati oleh orang Jawa, oleh karena itu daerah ini memiliki beberapa perkumpulan atau organisasi sebagai wadah berkumpulnya orang Jawa di daerah ini. Perkumpulan-perkumpulan ini sudah ada sejak lama, dan di antaranya yang pertama kali terbentuk adalah PUJAKESUMA yang singkatan dari Putra Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Jawa Keturunan Sumatera, dari informasi yang di peroleh, PUJAKESUMA ini telah lama berdiri dan salah satu pendiri organisasi ini bertempat tinggal di Marelan dan saat ini beliau telah berusia lanjut. PUJAKESUMA adalah sebuah paguyuban yang bertujuan untuk
membangun
persaudaraan
dengan
keikhlasan,
bukan
organisasi
yang
mementingkan materi atau pamrih. Organisasi ini telah banyak melahirkan sesepuh Jawa yang menjadi panutan orang Jawa dan di dalam organisasi ini juga terdapat perkumpulan untuk pemuda, dan becak bermotor dimana biasanya terdapat tulisan pujakesuma di becak tersebut sebagai tanda becak ini bagian dari perkumpulan pujakesuma. Selain Pujakesuma di Marelan juga terdapat beberapa perkumpulan lagi seperti Paguyuban Budaya Tradisi yang menampilkan kesenian-kesenian Jawa, seperti kuda lumping, tarian-tarian Jawa, wayang, dan lain-lain yang berdiri pada tahun 2001. Paguyuban ini sering menampilkan kesenian-kesenian Jawa di berbagai acara besar baik di Marelan maupun untuk acara-acara pemerintahan. Dari paguyuban-paguyuban inilah orang Jawa yang ada di Marelan berinteraksi dengan sesamanya dan saling kenal satu sama lain serta menjadi interaksi sosial bagi mereka.
3.3. Religi dan Kepercayaan Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman prasejarah, dimana pada waktu nenek moyang orang Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat 10. Orang Jawa pada masa dulu sangat percaya dengan pemujaan-pemujaan kepada nenek 10
Koenjtaraningrat dalam Bodiono Herusatoto ”Simbolisme Jawa”, 2008, Penerbit Ombak, Yogyakarta, hal. 156-157. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
moyang, pemujaan ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dari hal-hal yang jahat. Pemujaan terhadap nenek moyang adalah agama pertama bagi orang Jawa atau sering kita sebut dengan kejawen. Tetapi setelah masuknya agama dan mereka belajar tentang dunia akhirat mereka mulai meninggalkan kepercayaan mereka, dan kepercayaan tersebut diganti dengan slametan. Pada masa sekarang orang Jawa di Medan telah menganut agama, baik itu agama Islam, Kristen, Hindu, Maupun Budha. Tetapi orang Jawa yang ada di Marelan hampir semuanya beragama Islam, tetapi masih percaya dengan hal-hal yang gaib. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pertemuan setiap hari yang jatuh pada tanggal kliwon yang bermaksud untuk mengirim doa kepada arwah orang-orang yang telah meninggal. Orang Jawa Marelan yang beragama Islam tetap melakukan tradisi-tradisi yang ada dalam kebudayaan mereka, seperti tradisi tujuh bulanan, menyambut kelahiran, upacara perkawinan, slapanan, khitan, dll. Bagi orang Jawa acara-acara seperti ini selalu dilakukan, seperti halnya khitan baik pada laki-laki maupun pada perempuan, khitan bagi orang Jawa merupakan hal yang sakral dan harus dilakukan, hal ini di perkuat oleh ajaran agama Islam yang juga mengharuskan khitan pada setiap penganutnya. Orang Jawa Marelan selalu melakukan tradisi-tradisi yang telah ada, semuanya mereka lakukan dalam bentuk slametan sebagai rasa syukur pada yang Maha Kuasa atas pemberiannya. Sebagai contoh, pada tradisi khitan orang Jawa selalu membuat syukuran jika anaknya telah dikhitan, bisa di lihat pada anak laki-laki yang telah atau akan dikhitan orang tua dari si anak akan membuat suatu acara slametan sebagai tanda rasa syukur karena anaknya akan memasuki masa aqlil baligh dan tumbuh dewasa, begitu juga pada anak perempuan, pada saat si anak di khitan maka si anak akan sekalian di tindik, pada Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
saat melakukan itu si anak masih berumur 40 hari, setelah itu orang tua akan mengadakan slametan yang disebut slapanan. Kepercayaan dan Religi bagi orang Jawa khususnya di Marelan merupakan hal yang harus berjalan beriringan, walaupun sekarang acara-acara tradisi ini banyak dilakukan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh orang Jawa di Marelan yaitu agama Islam, tetapi mereka juga tidak melupakan ritual-ritual yang selalu mereka lakukan untuk mendapatkan keselamtan dan berkah dari leluhur mereka.
3.4. Kesenian-Kesenian Jawa Yang Ada di Marelan Marelan merupakan salah satu daerah yang di diami oleh orang Jawa dan banyak sesepuh Jawa yang tinggal di daerah ini. Orang-orang Jawa di Marelan sangat mencintai budayanya, hal ini terlihat dengan masih ada dan berkembangnya perkumpulanperkumpulan orang Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Paguyuban. Di Marelan terdapat sebuah Paguyuban yang sering melakukan kegiatan-kegiatan kesenian Jawa, paguyuban ini di beri nama Group Turonggo Siswo Budoyo. Paguyuban ini merupakan suatu wadah temapat kesenian Jawa yang ada di Marelan, dimana kesenian Jawa yang terkenal dari paguyuban ini adalah kuda lumping atau kuda kepang, kesenian ini sering ditampilkan atau di mainkan dalam acara-acara besar sebagai pembukaan atau hiburan, kesenian ini tidak hanya ditampilkan di Marelan saja, tetapi paguyuban ini sering di undang untuk tampil dalam acara-acara besar di pemerintahan. Selain kuda lumping ada juga kesenian lain seperti tarian-tarian daerah Jawa, wayang, dan yang saat ini yang sedang mulai di kembangkan yaitu reyok.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Selain itu ada juga percampuran kesenian Jawa dengan modern, orang Marelan sering menyebutnya dengan Keyboard Campur Sari, keyboard ini sering di mainkan pada saat acara perkawinan atau pun pada saat ulang tahun negara dan menyambut tamu-tamu besar atau pun pada saat acara khitanan dan selametan keluarga. Campur Sari ini merupakan perpaduan dari alat musik modern yaitu keyboard dan alat musik tradisional yaitu gamelan, jadi terdapat dua unsur kebudayaan modern dan tradisional yang menjadi satu dalam ke indahan bermain musik.
3.5. Pendidikan Orang Jawa Marelan Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tingginya pendidikan membuat manusia semakin pintar. Sama hal dengan orang Jawa yang ada di Marelan, orang-orang yang tinggal di daerah ini telah berkembang, hampir semua penduduk yang tinggal di daerah ini bersekolah mulai TK sampai SMA. Hal ini dapat dilihat dari pekerjaan mereka sekarang, tidak hanya bertani atau berkebun, tetapi telah berkembang ke sektor lain, seperti berdagang, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, kerja di bank, di pabrik, guru, dosen, dan lain-lain, semuanya di dapat karena adanya pendidikan pada diri mereka, seperti ungkapan orang Jawa ”Ngelmu iku kelakone kanthi laku, senajan akeh ngelmune lamun ora ditangkarake lan ora digunakake, ngelmu iku tanpa guna” yang artinya ilmu itu terlaksananya dengan perbuatan, biarpun banyak ilmunya kalau tidak di amalkan dan tiak dipergunakan, ilmu itu tidak akan berguna. Dengan begitu bagi orang Jawa ilmu itu seharusnya di amalkan kepada orang lain sehingga tidak hanya satu orang saja yang pandai tetapi orang lain juga mendapatkan ilmu yang kita punya.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Saat ini di Marelan banyak terdapat sekolah-sekolah baik Negeri maupun swasta, mulai dari play group sampai dengan sekolah menengah atas semuanya ada Marelan. Walaupun masih ada sebagian anak atau keluarga yang tidak sekolah sampai akhir, tetapi mereka tetap menamatkan sekolah minimal SMP, lalu bekerja di pabrik atau bejualan di pasar tradisional. Dari hasil penelitian dan observasi kurangnya minat sekolah pada penduduk Marelan bukan hanya dikarenakan faktor biaya tetapi juga minat dari si anak sendiri yang tidak mau sekolah. Anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah memilih untuk menikah di usia mereka yang masih muda atau di nikahkan oleh orang tua mereka, ataupun bekerja sebagai buruh pabrik yang ada di daerah ini, karena daerah ini merupaka daerah yang dekat dengan kawasan industri Medan, dengan begitu banyak dari penduduk di Marelan yang bekerja di pabrik sebagai buruh, karena bagi mereka bekerja sebagai buruh pabrik tidak memerlukan pendidikan yang bagus dan sekolah yang tinggi.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB IV
Pandangan Masyarakat Kelurahan Rengas Pulau Tentang Khitan Masyarakat Marelan banyak di domisili oleh masyarakat yang bersuku bangsa Jawa, walaupun masyarakat asli di daerah ini adalah suku Melayu, tetapi dengan banyaknya pendatang dari luar khsusunya dari Jawa yang di akibatkan adanya transmigrasi dari pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Sekarang daerah ini di dominasi oleh suku Jawa, walaupun sekarang mereka telah disebut PUJAKESUMA atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera tetapi mereka tetap menjalankan adat istiadat yang mereka bawa dari kampung halaman mereka yaitu Pulau Jawa. Di daerah ini tidak hanya terdapat suku Jawa melainkan juga masyarakat dari berbagai suku yang ada di Indonesia, walaupun begitu mayarakat di daerah ini hidup dengan rukun dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Karena banyaknya masyarakat yang bersuku bangsa Jawa di daerah ini dan mereka masih menggunakan bahasa daerah mereka sehingga menjadi suatu kebiasaan diantara mereka menggunakan bahasa Jawa, tetapi bahasa ini tidak hanya di gunakan oleh masyarakat yang bersuku bangsa Jawa, tetapi hampir semua masyarakat yang memiliki suku bangsa yang berbeda menggunakan bahasa daerah ini, khususnya di daerah Marelan ini. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat di kenal dengan istilah bangsa yang majemuk. Istilah ini yang sampai sekarang masih terdengar dan selalu di banggakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan bermacam budaya. Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku bangsa di ibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berlainan. Hal ini terkadang menjadi sebuah polemic dan akhirnya menjadi sebuah konflik, tetapi keanekaragaman ini Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
juga dapat menjadi sumber aktifitas dan kreatifitas dari tradisi yang harus di jalankan dan di lestarikan guna tetap terjaganya ke aslian budaya Indonesia itu sendiri, yang pada dasarnya sebagai aktor utama adalah para penganut kebudayaan itu sendiri. Marelan merupakan salah satu daerah dari kelurahan Rengas Pulau yang merupakan salah satu daerah yang masyarakatanya sebagian besar bersuku Bangsa Jawa. Masyarakat di daerah ini masih menggunakan bahasa Jawa dan melaksanakan tradisi yang mereka bawa dari daerah asal, walaupun bahasa yang di gunakan adalah bahasa Jawa kasar atau bahasa Jawa Sumatera tetapi hampir semua suku bangsa yang ada di daerah ini menggunakan basaha Jawa. Begitu juga dengan khitanan, masyarakat Jawa di daerah ini masih melaksanakan kegiatan ini baik pada laki-laki maupun pada perempuan. khitanan ini dilakukan atas dasar tradisi dan di perkuat oleh agama yang mereka anut, karena hampir semua masyarakat di daerah ini menganut agama Islam dan dalam agama Islam sendiri khitan merupakan hal yang di haruskan untuk dilaksanakan. Khitanan yang kita ketahui adalah suatu hal yang selalu dilaksanakan oleh hampir setiap manusia, awalnya hanya pada masyarakat yang beragama Islam saja, tetapi pada saat dunia kesehatan mengemukakan bahwa khitan atau sunat itu sangat baik untuk kesehatan khususnya untuk laki-laki, karena hal ini dapat berfungsi untuk membersihkan alat reproduksi laki-laki dari segala macam bakteri atau virus yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Tetapi saat ini sedang terjadi perbincangan atau perdebatan antara dunia kesehatan, kebudayaan, dan religi mengenai khitanan pada perempuan. Dunia kesehatan telah mengeluarkan stegmen bahwa khitan pada perempuan tidaklah dibenarkan untuk dilakukan, sedangkan kebudayaan dan religi masih melakukannya dan menganggap praktek ini sesuatu yang memang harus dilakukan. Walaupun selama Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
penelitian ini berjalan belum ada di temui adanya anak perempuan yang mengalami cedera yang di akibatkan oleh khitan ini.
4.1. Pengertian Alat Kelamin Pada abad ke 17 organ seks perempuan tidak memiliki nama, termasuk klitoris yang pada zaman itu belum dikena. Sedangkan pada abad 18 penilaian atas tubuh perempuan mengacu pada one sex model, yang artinya, bentuk organ seks dan reproduksi perempuan dianggap sebagai bentuk inferior atau sebagai bentuk yang tidak sempurna dari organ seks pria. Hal ini dapat dilihat, pada pernyataan miasalnya rahim yang pada zaman itu di anggap sebagai skrotum, vagina dianggap sebagai penis, dan ovarium dilihat sebagai testis dan sebagainya. Pada abad ke 18 akhir barulah penilaian atas organ tubuh manusia merujuk pada two sex model. Organ seks pria dan perempuan mulai disadari sebagai sesuatu yang berbeda satu dengan yang lainya 11. Alat kelaimin merupakan bagian dari tubuh manusia baik itu laki-laki maupun perempuan, Alat kelamin diciptakan sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan, walaupun pada abad ke 17 tidak ada pembedaan antara keduanya. Pengertian dari alat kelamin itu sendiri hampir sama, yaitu alat yang berfungsi untuk bereproduksi yang mempunyai nama dan fungsi yang berbeda-beda baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Pada perempuan alat kelamin atau alat reproduksi terdiri dari Bibir kemaluan luar, bibir kemaluan dalam (Labia minora), selaput dara (Hymen), liang senggama (Vagina), leher rahim (Servix), rahim (Uterus), saluran telur (Tuba Falopi), indung telur (Ovarium), dan pada laki-laki teridri dari Penis, pelir (Testis), saluran sperma, kantung 11
Miranti Hidajadi ” Sejarah Perkembangan Dan Berbagai Masalahnya” dalam Jurnal Perempuan edisi 15, Wacana Tubuh Perempuan (2000), hal. 8-9. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
pelir (Scrotum), saluran kencing (Urethra ), kandung kencing (Vesica Urinaria), kelenjar prostat. Sama halnya dengan etnis Jawa, pengertian alat kelamin adalah untuk bereproduksi, hanya nama dan falsafatnya saja yang berbeda tapi fungsi dan tujuannya sama. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa berasal dari kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo ( Koentjaraningrat, 1994. dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta, Balai Pustaka ) Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafat Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Selain itu perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang bagi siapa saja yang melihatnya. Perempuan yang ideal dalam budaya Jawa digambarkan sebagai payandra, Payandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan dan kehalusan. Dalam tradisi Jawa membicarakan alat kelamin sama halnya dengan membicarakan seksualitas karena saling berhubungan, oleh karena itu ada rasa tabu dalam pembicaraan ini. Jika membicarakan seksualitas khususnya perempuan Jawa dimulaidari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat hubungan dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Orang Jawa atau etnis Jawa memiliki simbol untuk penyebutan alat kelamin baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan yaitu, lingga yoni. Dimana lingga melambangkan falus atau penis yang merupaka alat kelamin laki-laki, sedangkan yoni melambangkan Vagina yang merupakan alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai penghalusan dari hal yang dianggap jorok. Selain lingga yoni ada simbol lain seperti lesungalu, munthuk cobek, dan memiliki Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
makna yang sama. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafatJawa dikenal dengan isbat ruringga manjing warangka yang artinya adalah keris masuk ke dalam sarungnya. Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari tirta sindurretna yang keluar saat pertemuan antara lingga yoni, kemudian berkembang menjadi janin dan dikandung dalam gua garba. Tirta sinduretna merupakan lambang air mani atau sperma laki-laki, sedangkan gua garba merupakan lambang untuk menghaluskan fungsi rahim perempuan yaitu hamil. Dan dari pernyataan di atas dapat disimbolkan dalam kalimat alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkung yang artinya sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang diberi lidi alu bengkung. Bothok banteng bermakna sperma, godhong asem bermakna kamaluan perempaun atau vagina, alu bengkung sebagai simbol untuk alat kelamin pria. Dengan demikian makna dari pernyataan diatas adalah bahwa asal-usul manusia berasal dari sperma yang membuahi sel telur dari rahim wanita, yang terjadi melalui proses persenggamaan. Dalam pandangan lain bathok bantheng adalah simbol keberadaan zat hidup manusia, godhong asem sebagai sifat manusia, alu bengkung melambangkan tingkah laku, makna dari seluruhnya adalah hidup manusia selalu terbungkus oleh sifat dan perilakunya. Selain lingga dan yoni yang menjadi lambang kehidupan dan sebutan untuk alat kelamin baik laki-laki dan perempuan, masyarakat Jawa juga sering menyebutnya dengan sebutan peli dan turuk, dimana peli sebutan untuk alat kelamin pria dan turuk sebutan untuk alat kelamin perempuan. Makna peli dan turuk ini sama dengan lingga dan yoni hanya saja peli dan turuk sering digunakan dalam bahasa sehari-hari, sedangkan lingga dan yoni merupakan sebutan yang lebih resmi dan sebutan ini telah menjadi sebutan untuk nusantara. Hal ini seperti yang disampaikan salah seorang informan Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Jika seorang perempuan yang telah menstruasi dan seorang pria yang telah ahqlil balih maka alat kelamin atau alat reproduksi mereka telah berfungsi, dan mereka sudah bisa berumah tangga dan mempunyai keturunan. Pada saat mereka menikah maka lingga dan yoni akan bersatu dan akan menghasilkan keturunan, jika seorang perempuan dan laki-laki telah dikhitan maka mereka akan mempunyai keturunan yang baik dan sehat
Bagi masyarakat Jawa menjaga alat kelamin sangatlah penting, bagi mereka alat kelamin harus selalu bersih dana terawat khususnya pada perempuan, karena alat kalamin perempuan sangatlah sensitif, seorang perempuan akan mengalami menstruasi, melahirkan, dan melayani suaminya, dengan begitu jika seorang perempuan dapat mejaga alat kelaminnya, maka suatu saat ia akan mempunyai keturunan yang baik dan kehidupan rumah tangganya juga akan bahagia. Hal ini juga berlaku untuk anak laki-laki, kebahagiaan rumah tangga tidak sepenuhnya ditangan perempuan. Jika berbicara mengenai alat kelamin maka kita akan akan membicarakan klitoris, dimana klitoris merupakan bagian dari vagina. Klitoris merupakan bagian eksternal dari alat reproduksi ataudari alat kelamin perempuan yang mempunyai ukuran kurang lebih sebesar kacang hijau dan tertutup oleh preputium,klitoris terdiri dari jaringan yang dapat mengembang, penuh urat saraf sehingga memiliki kesensitifan yang tinggi. Sedangkan vagina adalah organ genital internal yang membedakan antara perempuan dan laki-laki yang berbentuk seperti liang atau lubang yang terentang antara vulva dan mulut rahim yang panjangnya kira-kira 3-4 inci dan sangat fleksibel. 12 Dalam jurnal perempuan juga disebutkan pengertian vagina yaitu, asal kata vagina berasal dari bahasa Latin yang artinya ”sarung” atau ”baju ketat”, yang kemudian 12
Modul proses belajar aktif kesehatan reproduksi remaja ,dalam Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Jakarta, 2004, Hal. 55-57. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
di definisikan kembali Vagina adalah terusan (kanal) utama dari kemaluan perempuan menuju ke arah rahim. Sedangkan menurut kepustakaan psikoanalis dan kedokteran pada paruh pertama awal 21 dinyatakan bahwa vagina adalah lokasi atau tempat orgasme dari perempuan dewasa, orgasme tersebut merupakan gabungan terhadap naluri keibuan, kesetiaan perkawinan, dan rumah tangga. 13 Sedangkan vagina menurut etnis Jawa sering disebut dengan yoni atau turuk yang telah dibahas sebelumnya. Masyarakat Jawa menganggap vagina sebagai bagian alat kelamin pada perempuan yang sangat sensitif dan sangat penting, karena dari vagina inilah seorang anak lahir. Dari informasi yang di peroleh pada masa dulu berbicara mengenai
vagina
sangatlah
tabu,
karena
merupakan
hal
yang
tidak
boleh
diperbincangkan, pada masa dulu vagina disebut dengan sebutan ”anunya” atau kemaluan dengan begitu terkesan lebih halus dan tidak kotor, ”Kalau lagi mandi sebaiknya memakai basahan, biar anu mu atau kemaluan mu tidak nampak, kan malu kalau kelihatan sama orang lain”. Menurut informasi vagina itu harus dijaga kebersihannya karena suatu saat jika kita telah berumah tangga suami akan senang dan dapat menjaga keharmonisan rumah tangga. Etnis Jawa baiasanya mempunyai banyak sekali ramuan untuk menjaga vagina atau kemaluan perempuan, ada yang berupa jamu-jamu yang diminum, ramuan yang dipakai untuk mandi ataupun yang langsung disiramkan ke vagina. Dengan begitu pengertian dan fungsi dari vagina itu semuanya sama, hanya saja penyebutannya yang berbeda.
13
Lihat Jurnal Perempuan 15, Wacana Tubuh Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2005, hal. 63-64. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
4.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Khitan Khitan merupakan praktek yang telah lama ada dan dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarkat Indonesia walaupun mereka berasal dari etnik yang berbeda. Oleh karena khitan di jadikan praktek yang wajib dilakukan khususnya pada anak yang akan akhil baligh. Masyarakat Marelan juga menganggap prakatek khitan ini merupakan hal yang wajib dilakukan, karena mereka menganggap dengan di khitannya anak-anak mereka baik anak laki-laki maupun anak perempuan maka si anak akan terhindar dari segala macam penyakit, karena pada ujung alat kelamin atau penis laki-laki itu tempat menumpuknya segala macam bakteri atau virus. Pada umumnya anak laki-laki dikhitan pada saat umur si anak telah mulai besar berkisar 8 s/d 12 tahun dan setelah itu orang tua akan mengadakan syukuran untuk anaknya tersebut, jika si anak berasal dari keluarga yang berada, maka syukuran yang dibuat oleh orang tuanya akan meriah atau besarbesaran. Khitan pada anak laki-laki dilakukan atas dasar kesehatan dan penanda bahwa si anak akan memasuki masa dewasa. Dan tata cara mengkhitan anak laki-laki hampir sama di sertiap daerah atau disetiap etnis. Sedangkan pada anak perempuan khitan dilakukan dengan cara yang berbedabeda disetiap daerah ataupun setiap etnis. Anak perempuan di khitan pada saat masih kecil atau pada saat masih bayi, biasanya saat bayi berumur 35 hari s/d 4 tahun dan pratek ini sering di sebut dengan slapanan. Di daerah ini masyarakatnya di dominasi oleh etnik Jawa, walaupun ada juga masyarakat yang berasal dari etnik lain seperti Padang, Mandailing, Batak,dll tetapi mereka tetap menganggap khitan ini merupakan hal yang Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
harus dilakukan dan masih berlanjut sampai sekarang. Dalam arti kata telah banyak orang Jawa yang melakukan pernikahan dengan suku lain, seperti menantu mereka yang berasal dari orang Mandailing, Padang, ataupun Melayu, walaupun begitu anak dari hasil pernikahan mereka akan lebih dominan sebagai orang Jawa dan menantu-menantu mereka juga akan beradaptasi dengan lingkungan dan tradisi yang ada sebagai orang Jawa. Dengan begitu, walaupun dalam satu keluarga atau lingkungan telah bercampur dengan suku lain, orang Jawa yang ada di Marelan akan tetap mempertahankan dan menjalankan budaya dan tradisi mereka serta memiliki batasan terhadap budaya lain yang masuk, jadi budaya yang masuk mereka saring terlebih dahulu sebelum menyatu dengan lingkungan mereka.
Khitan adalah memotong dan membersihkan sedikit dari organ kemaluan kita yang berfungsi untuk menghindarkan kita dari berbagai penyakit dan kelak si anak perempuan nantinya akan menjadi anak yang bertingkah laku yang baik. Masyarakat memandang khitan sebagai hal yang sakral menyangkut dengan kesehatan dan perkembangan tubuh si anak kelak, mereka percaya anak perempuan yang di khitan pada waktu dia bayi akan memberikan keselamatan dan si anak akan terhindar dari segala macam penyakit, karena orang tua beranggapan di ujung klitoris anak perempuan akan menumpuk berbagai penyakit. Anggapan ini tidak jauh dari anak lakilaki, dan masyarakat di daerah ini menganggap khitan pada perempuan merupakan tradisi yang telah lama ada khususnya pada masyarakat Jawa, walaupun khitan perempuan terkadang hanya menjadi urusan ibu yang dianggap lebih mengerti dan tidak tabu untuk melihat anaknya di khitan, sedangkan sang ayah hanya menunggu dirumah yang
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
kemudian membuat syukuran untuk si jabang bayi, dan sebagian dari orang tua atau bapak tidak mengetahui sama sekali bahwa anaknya di khitan. Pengertian dari khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin, dimana khitan pada anak laki-laki dilakukan dengan memotong kulup atau kulit luar penis lakilaki, hal ini dilakukan untuk menghindari dari penyakit yang menumpuk dibagian ujung penis yang diakibatkan oleh bakteri. Sedangkan khitan pada perempuan adalah pembuangan atau penggoresan sebagian dari klentit, hal ini dilakukan karena masyarakat Jawa percaya, jika sang anak perempuan dikhitan maka ia akan terhindar dari penyakit, dikemudian hari ia akan menjadi anak yang cantik, dan berprilaku baik. Seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang informan,
Ditetesi atau dikhitan agar bisa jadi perempuan yang sempurna, kelak nantinya, mempunyai kulit yang indah, wajah yang cantik dan ayu, dan bisa menstruasi. Setelah menstruasi akan ada yang meminang kemudian menikah ya bisa punya anak
Banyak masyarakat yang menganggap bahwa vagina khususnya klitoris adalah kembaran dari penis, hanya saja penis mempunyai ukuran yang lebih panjang sedangkan klitoris mempunyai ukuran yang lebih pendek atau kecil. Tidak hanya itu ada juga anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa jika seorang anak perempuan tidak dikhitan maka klentit atau klitorisnya akan terus memanjang. Praktek khitan masih dilakukan sampai sekarang bukan hanya karena alasan kesehatan, tetapi sebagai penentu jati diri seseorang atau kelompok sebagai orang Jawa dan rasa hormat kepada tradisi yang telah ada. Orang Jawa sangat memegang teguh tradisi dan tata krama yang telah ada sejak dulu, semua ini dilakukan karena mereka Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
sangat menghormati leluhur mereka yang telah terlebih dahulu melakukannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Fedrik Barth yang mengatakan bahwa dalam suatu kelompok etnik terdapat asal muasal yang menentukan identitas seseorang atau kelompok dan sebagai batasan sosial yang luas, dimana dengan adanya kelanggengan dalam
suatu
aspek
budaya
dapat
menyebabkan
seseorang
atau
kelompok
disklasifikasikan kepada keanggotaan suatu kelompok etnik. Dalam hal ini kemampuan seseorang atau kelompok menentukan dalam memperlihatkan sifat-sifat budayanya, kerena sifat budaya adalah ciri utama yang terpenting bagi seseorang atau kelompok dalam mempertahankan dan menyadari budaya yang telah ada dan melekat dalam diri seseorang ataupun kelompok. Khitan dan tetesan mempunyai arti yang hampir sama yaitu sama-sama berfungsi untuk membersihkan alat kelamin perempuan khususnya pada bagian klitoris. Hal ini seperti yang di nyatakan oleh pakar antropologi yang menyatakan bahwa tetesan adalah sunat pada anak perempuan yang dilakukan secara simbolis dengan melakukan usapanusapan padaklitoris denga menggunakan kunyit dan disertai dengan pembersihan smegma atau dengan pemotongan kuniyt yang sudah dikupas dan diletakan didekat klitoris ( Koenjtjaraningrat,1984 ). Sedangkan khitan pada perempuan dilakukan dengan sedikit penggoresan pada ujung kulit klitoris ssampai mengeluarkan sedikit darah ( lightfoot-klein,1989 ). Kedua prantik ini tidak sampai mengakibatkan terjadinya luka atau infeksi yang dapat mengganggu fungsi reproduksi dan seksual pada perempuan. Dari informasi yang didapat dari masyarkat, belum ada sampai sekarang anak perempuan yang mengalami cedera atau infeksi setelah dikhitan, karena khitan yang
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
dilakukan masih dalam batas yang wajar dan dilakukan dengan cara yang benar sehingga tidak sampai melukai alat kelamin si anak tersebut.
4.2.1. Pengetahuan Masyarakat Tentang Tata Cara Khitan Perempuan Marelan merupakan daerah yang di padati oleh masyarakat bersuku bangs Jawa, dan masih banyak orang-orang tua atau yang dianggap sesepuh di daerah ini. Banyak kegiatan-kegiatan tradisi Jawa yang sering di tampilkan di daerah ini, hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian kebudayaan Jawa dan tetap dikenalnya tradisi dan kebudayaan Jawa sampai anak cucu mereka. Sama hal dengan khitan, masyarakat Jawa yang ada di daerah ini menganggap khitan sebagai praktek atau tradisi yang harus tetap dipertahankan, oleh karena itu praktek ini masih berjalan sampai sekarang. Menurut keterangan informan khitan dilakukan atas dasar tradisi dan agama, sebagai umat Islam wajib mengerjakannya. Dari informasi yang peneliti terima, khitan pada anak perempuan di daerah ini awalnya dilakukan oleh seorang dukun bayi, dimana sang dukun mempunyai cara tersendiri yang dilakukan untuk mengkhitan si jabang bayi, cara mengkhitan yang dilakukan oleh sang dukun juga berbeda-beda, ada yang menggunakan ani-ani atau bambu yang di luncingkan, ada juga yang menggunakan pisau silet yang kemudian sang dukun akan menggores atau sedikit memotong ujung klitoris si anak perempuan tersebut dan setelah itu klitoris si anak akan di obati oleh sang dukun. Di Indonesia lain daerah lain tata cara yang di gunakan dalam berkhitan, di daerah lain khitan pada anak perempuan hanya sebagai syarat saja cara khitan yang dilakukan juga berbeda, ada yang hanya menggunakan sirih yang di kibas-kibaskan di kemaluan si anak ada juga yang Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
benar-benar memotong klitoris si anak. Biasanya pada saat anak perempuan di khitan sang ibu yang menemani sampai proses khitan selesai dan setelah itu sang ibu akan membuatkan syukuran untuk anaknya seperti membuat bancaan atau bubur merah putih yang kemudian di bagikan kepada para tetangga. Tata cara seperti inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat yang ada di daerah Rengas Pulau ini, sebagian besar sang ibu membawa anaknya ke dukun bayi untuk dikhitan, tetapi sebagian lagi membawa sang anak ke bidan atau klinik-klinik yang ada di daerah mereka. Dalam melakukan khitan masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan dalam menentukan tanggal dan hari yang baik untuk melakukan khitan pada anak perempuannya, hal ini seperti yang disampaikan oleh salah seorang informan yang mengatakan
Pada saat melakukan khitan pada si jabang bayi sebaiknya dilakukan setelah lepas pusat dan setelah 36 hari, karena hari ke 36 dimanakan lepas dapur. Jadi sebaiknya khitan dilakukan setelah hari ke 36 hal ini dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti kejang-kejang dan sakit yang berkepanjangan pada si anak. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pada hari ke 40, 44, 56, dll
Dengan begitu tanggal dan hari pun menentukan kebaikan si anak dan merupakan sesuatu yang harus di patuhi demi keselamatan si anak suatu hari nanti. Bagi orang Jawa peristiwa yang dianggap sakral harus dilakukan dengan baik dan hati-hati serta penuh persiapan yang matang, hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
4.2.2. Pandangan Anak Perempuan Tentang Khitan Perempuan.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Setiap manusia memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda, hal ini karena manusia tercipta dengan akal dan pikiran yang kemudian diperdalam dengan ilmu pengetahuan dan akhirnya manusia itu akan membentuk sesuatu dalam dirinyayang akhirnya menjadi kebiasan dalam diri manusia itu sendiri. Begitu juga pada praktek khitan, praktek yang telah lama ada ini telah melekat pada diri setiap individu dan selalu dilakukan oleh individu tersebut. Dalam suatu kaluarga praktek khitan berawal dari orang tua, bisa dari nenek moyang, nenek, ibu, dan akhirnya ke anak, atau bahkan ke cucu, semua ini tergantung dari cara pandang seseorang menanggapi persoalan ini. Biasanya dalam sebuah keluarga tradisi itu akan terus melekat dan berlangsung sampai kapanpun, karena suatu kebiasaan tidak akan mudah hilang dengan begitu saja tanpa adanya sebab dan akibat yang mengharuskan kebiasaan luntur dan dilupakan atau dihilangkan oleh suatu keluarga. Dalam setiap keluarga akan mengalami regenerasi, pada saat generasi baru muncul pastilah akan terjadi suatu pembaharuan dalam suatu kebiasaan yang telah tertanam dalam suatu keluarga, hal ini terjadi karena generasi baru ini akan hidup di zaman yang berbeda dengan orang tua mereka, dan setiap zaman akan mengalami perubahan. Begitu juga dengan khitan, khitan pada masa dahulu berbeda dengan khitan pada masa sekarang, bisa kita lihat dengan bagaimana proses khitan ini berlangsung, pada saat sekarang masyarakat lebih percaya dengan dokter atau bidan dari pada dukun bayi. Tetapi di daerah ini anak perempuan yang pernah dikhitan sebelumnya akan tetap melaksanakan khitan pada anaknya kelak, hal ini didasari karena faktor orang tua dan adat istiadat yang masih melekat dikeluarga mereka. Dalam hal ini mereka juga mengatakan mereka tidak pernah merasa ada hal yang merugikan mereka, karena mereka Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
dikhitan pada waktu bayi dan tidak ada hal yang mengganjal pada alat kelamin mereka atau berkurangnya hawa nafsu atau kenikmatan pada saat mereka melakukan hubungan intim dengan suami mereka. Mereka mengatakan bahwa jika mereka akan tetap melakukan khitan pada anakanak mereka kelak, hal ini didasari oleh faktor orang tua yang menyarankan dan mengajarkan kepada kami bahwa khitan ini harus kilakukan, seperti yang dikatakan salah seorang informan
Kalau untuk kebaikan kenapa mesti dihilangkan, kan tidak merugikan siapa pun selama dilakukan dengan benar, walaupun sekarang katanya ada larangan dari pemerintah tapi masih banyak yang melakukan khitan ini sampai sekarang.
Mereka juga mengatakan, kami tidak akan melakukan khitan jika orang tua kami setuju dan melarangnya atau jika telah terjadi sesuatu yang fatal yang dapat mengakibatkan cedera pada kami dan anak-anak perempuan kami. Dengan begitu dapat kita lihat bahwa masyarkat di daerah ini masih melaksanakan khitan pada anak perempuan
mereka
walaupun
banyak
perubahan-perubahan
yang
terjadi
di
setiapgenerasinya.
4.3. Makna Dari Khitan Dari informasi yang diperoleh, khitan merupakan praktek tang telah lama ada dan di perkuat oleh agama Islam yang saat ini banyak di anut oleh penduduk Indonesia. Khitan dipercaya mempunyai makna sebagai pemurnian diri atau pensucian diri dari hambatan atau kotoran atau kotoran yang dibawa sejak lahir, seperti yang dikatakan oleh Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
salah seorang informan ” Khitan itu untuk sarana menghilangkan sukerto atau kotoran atau hambatan atau kesialan yang diturunkan oleh ayah dan ibu, jadi, khitan dimasudkan untuk membersihkan sukerto tersebut”. Dengan begitu makna khitan laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, samasama untuk kesehatan, terutama kesehatan alat kelamin. Masyarakat juga menganggap bahwa dengan dikhitan si anak akan tumbuh dengan baik dan sempurna, tidak bertingkah yang aneh-aneh, dan suatu saat nanti akan dapat mempunyai keturunan. Masyarakat Jawa menganggap jika seorang anak perempuan dikhitan kelak nantinya si anak akan dapat hidup bahagia dalam rumah tangganya dan mendapatkan suami yang baik serta disayang oleh suaminya. Salah seorang informan yang merupakan salah seorang dukun bayi mengatakan
syarate khitan ming ditempelin kunir, kok ming kunir piye? lah singduwe tugas ngilangi sukertane bocah sing ditetesin kuwi malaikat sing wujud kuning, dengan doane ”sang hyang manikmaya siro ngongkon labuhen sahliring sukerto. Yang artinya kurang lebih, syarat khitan hanya ditempelin kunyit, karena yang bertugas menghilangkan sukerto atau kotoran anak adalah malaikat berwarna kuning, dengan berdoa kami mohon hilangkan semua kotoran atau hambatan.
Selain sebagai menghindari dari hambatan atau kotoran atau penyakit, khitan juga dianggap sebagai tanda kedewasaan baik pada anak perempuan maupun laki-laki. Hal ini terlihat jelas pada anak laki-laki, seorang anak laki-laki yang telah dikhitan maka ia akan memasuki masa aqhil baligh dan pada saat itulah si anak akan dianggap telah memasuki masa dewasa dan secara agama si anak telah menanggung dosanya sendiri. Sedangkan Pada anak perempuan khitan dilakukan pada waktu bayi, tetapi para orang tua menganggap bahwa khitan ini adalah awal dari tumbuh kembang anak, dimana nantinya Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
anak perempuan ini akan tumbuh menjadi seorang gadis dan pada saat si anak mendapatkan menstruasi pertama, maka ia telah memasuki masa pubertas dan tandatanda kedewasaan. Pada masa ini si anak akan memasuki masa aqhil baligh, dimana anak perempuan harus dapat menjaga kebersihan diri dan menjaga sikap serta tingkah lakunya dalam bergaul. Dan jika dilihat dari dasar agama khitan ini sebagai tanda pensucian diri dari segala kotoran yang ada di daerah kemaluan atau alat kelamin. Hal ini diperkuat dengan adanya hadist-hadist yang menyatakan tentang khitan itu harus dilakukan baik pada laki-laki maupun pada perempuan oleh karena itu hampir setiap umat Islam melakukan khitan pada anak-anaknya. Pada masyarakat Jawa yang ada di Marelan belum ada sanksi yang diberikan secara langsung
pada anak perempuan dan orang tua apabila mereka tidak
mengkhitankan anaknya, hal ini di karenakan tidak adanya hukum yang berkembang dan menyatakan bahwa jika si anak tidak di khitan maka anak dan orang tuanya akan diberi sanksi pidana. Hanya saja para orang tua takut jika tidak mengkhitan anaknya mereka akan dianggap melanggar tradisi yang telah lama ada yang merupakan salah satu jati diri orang Jawa. Orang Jawa menganggap khitan ini merupakan tradisi yang sudah lama di anut dan juga merupakan anjuran agama yang harus dilaksanakan terutama bagi mereka yang beragama Islam. Orang Jawa Marelan masih memegang teguh tradisi yang di ajarkan oleh orang-orang tua sebelum mereka walaupun tradisi itu telah bercampur dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya, tetapi tetap mencerminkan orientasi pada budaya aslinya. Seperti yang di katakan Barth yang mengatakan bahwa terbentuknya suatu budaya yang tampak menunjukkan adanya pengaruh lingkungan. Dengan kata lain bentuk budaya merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
etnik dalam menghadapi berbagai faktor luar, suatu kelompok etnik yang menetap di suatu daerah akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan daerah tempat tinggalnya, namun tidak mencerminkan orientasi budaya yang berbeda. Begitu juga orang Jawa yang ada di Marelan memiliki perbedaan prilaku dengan orang Jawa yang ada di pulau Jawa, tetapi budaya dan tradisi yang mereka lakukan tetap memiliki makna yang sama dan merupakan tradisi yang berasal dari pulau Jawa yang di bawa oleh generasi sebelum mereka dan diturunkan secara turun menurun. Bagi orang Jawa melestarikan dan menjalankan tradisi merupakan hal yang harus dilakukan, karena bagi mereka tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur mereka adalah penentu identitas diri mereka sebagai orang Jawa.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
BAB V Penutup
5.1. Kesimpulan Khitanan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin, untuk laki-laki pelaksanaan khitan hampir sama disetiap tempat, yaitu pemotongan kulup ( Qulf ) penis laki-laki. Sedangan pada perempuan berbeda disetiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klentit ( klitoris ) dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina ( labia minora ). Khitan pada perempuan yang merupakan praktik yang telah lama ada tetapi kurang diperhatikan keberadaannya dan dianggap tabu apabila di ungkit keberadaannya. Khitan yang dilakukan pada masyarakat Jawa menjadi sesuatu yang harus dilakukan baik itu pada laki-laki maupun pada perempuan, karena masyarakat Jawa menganggap khitan berfungsi untuk membersihkan diri dari penyakit yang ada pada alat kelamin dan sebagai penyucian diri dari sukerto atau hambatan. Khitan yang dilakukan masih dilakukan oleh dukun yang telah dilatih oleh bidan-bidan. Dan ada juga yang langsung membawa ke bidan. Masyarakat Jawa menganggap khitan sebagai sesuatu yang sakral, walaupun masyarkat Jawa di daerah ini telah bercampur dengan lingkungan sekitar, dimana dalam Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
lingkungan mereka juga terdapat etnik lain, tetapi mereka masih memegang teguh tradisi yang melekat pada suku mereka dan mencoba membatasi budaya luar yang masuk dan bercampur dengan budaya mereka. Bagi orang Jawa budaya dan tradisi yang telah ada harus dijunjung tinggi dan dijaga kelestariannya jangan dilupakan ataupun dihilangkan, karena tradisi atau adat istiadat yang ada merupakan pembentuk jati diri seseorang atau kelompok dalam suatu etnik. Dengan begitu khitan merupakan salah satu tradisi yang menentukan jati diri seseorang, bahwa mereka bersuku Bangsa Jawa dan tetap memegang teguh prinsip hidup orang Jawa yang selalu menjaga ketentraman, hormat-menghormati, memiliki tata kramah yang santun, dan hidup harmonis, dengan cara tetap melaksanakan dan menjalankan tradisi yang telah di wariskan oleh nenek moyang mereka. Dari penelitian ini telah terjawab dua pertanyaan yang di jabarkan dalam permasalahan, yang pertama bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai khitan pada anak perempuan. Masyarakat menyatakan bahwa khitan pada anak perempuan merupakan tradisi yang telah lama ada dan diperkuat oleh ajaran Agama Islam dan dianggap tabu apabila dibicara, prakte ini telah dilakukan sejak turun temurun. Walaupun saat ini telah ada larangan dari instansi pemerintahan di bidang kesehatan yang mengatakan sebaiknya tidak dilakukan mengkhitan pada anak perempuan, karena dapat mengakibatkan cedera atau infeksi ataupun terganggungnya fungsi reproduksi perempuan. Sampai saat ini hampir semua orang Jawa Marelan yang mempunyai anak perempuan melakukan khitan. Bagi mereka selama tidak mengakibatkan cidera ataupun infeksi tidak masalah untuk dilakukan dan sampai sekarang belum ada ditemukan korban yang di akibatkan oleh praktek ini. Tidak hanya itu masyarakat di daerah ini masih sangat Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
memegang teguh tradisi yang ada pada suku mereka. Tradisi khitan perempuan bagi masyarakat Marelan dalam pelaksanaanya memiliki sarat nilai-nilai dan merupakan ajaran yang diyakini sebagai warisan dari nenek-nenek mereka terdahulu yang akhirnya menjadi ciri khas atau jati diri seseorang sebagai orang Jawa Pertanyaan kedua, peran keluarga dalam pratek ini sehingga masih terus berlangsung sampai sekarang. Dalam kehidupan masyarakat Jawa peran keluarga sangat berpengaruh, hal ini dapat dilihat dari segala urusan harus dirembukkan dahulu dengan keluarga, hal ini juga terjadi pada saat orang tua akan mengkhitankan anak mereka, biasanya orang tua akan bertanya pada nenek anak mereka atau keluarga yang lebih tua dari mereka kapan sebaiknya melaksanakan khitan dan kemana sebaiknya dibawa anak mereka. Jika ada salah sorang dari keluarga mereka yang tidak melakukan khitan pada anak mereka baik khitan pada laki-laki maupun pada perempuan, keluarga lain atau orang tua biasanya akan menegur bahkan bisa marah. Khitan pada perempuan yang dianggap harus dilakukan dan telah diwarisi secara turun-temurun oleh orang tua terdahulu, oleh karena itu peran keluarga sangat penting, baik itu peran orag tua, ayah, ibu, nenek, kakek, guru, dan lain-lain.
5.2. Saran Untuk dapat terus mempertahankan dan melestarikan tradisi etnis Jawa yang telah ada, seharusnya pemerintah dan instansi-instansi terkait dengan kebudaya lebih memperhatikan kebudayaan yang ada pada setiap etnis, hal ini dapat dilakukan dengan : 1. Pemerintah lebih dapat memberikan informasi yang jelas mengenai khitan, khususnya khitan pada anak perempuan. Batasan-batasan yang seperti apa yang Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
tidak diperbolehkan dan yang dibolehkan, dengan begitu semua masyarakat akan menjadi lebih jelas. 2. Pemerintah dan para instansi kesehatan dan kebudaya melakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan menjelaskan mengapa khitan tidak boleh dilakukan dan bagaimana caranya tokoh masyarakat dapat terus melestarikan ke budayaan Jawa yang telah ada sejak lama. 3. Masyarakat Marelan seharusnya tetap mempertahankan dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang masih ada, seperti organisasi-organisasi Jawa dan kebudayaan floklor yang saat ini sedang dikembangkan kembali. 4. Hal diatas dapat dilakukan dengan cara mengajak dan memperkenalkan kepada seluruh masyarakat dan meminta bantuan kepada pemerintahan daerah dalam bentuk pendanaan, bukan hanya itu, pada saat ada kegiatan-kegiatan besar sebaiknya kebudayaan Jawa di pertunjukan.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Geertz, Clifford.1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : PT. Djaya Pensa. Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta : Penerbit Ombak Ida, Rahmah. 2005. Sunat Belenggu Adat Perempuan Madura. Yogyakarta : Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Jong De.S.DR.1985. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Koentjaraningrat.1985. Javanese culture. Singapore : Oxford University Press Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi “ Pokok-Pokok Etnografi”II. Jakarta : PT. Rineka Cipta Lake, Primus. 1999. Sifon. Yogyakarta : ford foundation .Musyarofah, Ristiani. 2003. Khitan Perempuan antara Tradisi dan Ajaran Agama. Yogyakarta : pusat studi kependudukan dan kebijakan Universitas Gajah Mada bekerja sama dengan ford foundation. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Moleong, Lexy J, 2001. Metode Penelitian Kualitatif , PT Remaja Rosda Karya, Bandung, Mulder Niels. 1980. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Yogyakarta : Sinar Harapan Perempuan Jurnal. 2005. Wacana Tubuh Perempuan. Jakarta : Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan. Putranti, Basilica Dyah. 2003. Male and Female Genital Cutting Among Javanese and Madurese. Yaogyakarta : ford foundation. Siyo, Kasim, dkk. 2008. Wong Jawa di Sumatera. Medan : Penerbit PUJAKESUMA Suhartono, Suparlan, 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Tanjung, Adrianus, 2004. Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : Penerbit PKBI W, Sumarni D. 2005. Sunat Perempuan dibawah Bayang-Bayang Tradisi. Yogyakarta : pusat studi kependudukan dan kebijakan Universitas Gajah Mada bekerja sama dengan ford foundation.
Sumber lain Kompas. 2003. Sunat Perempuan Permata. 24 Februari Tempo. 2006. “ Sunat Perempuan dan Tradisi Kanibalisme “. 11 Oktober.
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Lampiran I Data Informan o Informan I Nama
: Sn
Umur
: 48 thn
Alamat
: Pasar V Marelan
Pendidikan Terakhir : SMA Pekerjaan
: Kepling
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Sn merupakan seorang kepling yang telah menjabat selama kurang lebih 3
tahun. Sn merupakan seorang ibu dari 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. pada tahun1989 Sn pertama kali mengkhitan anak perempuannya yang paling besar, khitan yang di lakukan oleh dukun bayi, walaupun Sn melahirkan di bidan tetapi untuk mengkhitan anaknya Sn lebih memilih pergi ke dukun bayi. Sedangkan untuk anak perempuannya yang kedua khitan dilakukan pada tahun 1999 dan masih dilakukan oleh dukun bayi. Sn melakukan khitan pada anaknya karena Sn adalah suku Jawa yang menganggap khitan merupakan hal yang harus dilakukan baik pada anak laki-laki Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
maupun pada anak perempuan, hal ini juga dikarenakan khitan merupakan tradisi yang telah ada di keluarganya.
o Informan II Nama
: Nb
Umur
: 73 thn
Alamat
: Marelan
Pendidikan terakhir
: SD
Pekerjaan
: Tukang Kusuk
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Nb adalah warga Pasar V Marelan yang tinggal di daerah ini sudah hampir
35 tahun, Nb juga merupakan tukang kusuk yang ada di daerah ini dan ia juga dapat menjadi dukun bayi. Sebelumnya Nb bertempat tinggal di Pematang Siantar, Nb juga sering Mengkhitan bayi perempuan yang baru lahir. Nb sudah menjadi tukang kusuk sejak umur 25 tahun, bakat ini di dapat dari orang tuanya yang juga dukun bayi. Nb mempunyai anak 10 orang, 6 perempuan dan 4 laki-laki, saat ini ada satu anak perempuan Nb yang belum menikah. Sampai sekarang Nb masih sering di panggil untuk mengusuk, tetapi jarang sekali Nb melakukan khitan pada bayi pada masa sekarang ini kecuali ada keluarga yang memang sudah lama percaya dan selalu membawa anak-anak mereka kepada Nb. Pada saat Nb melahirkan ia dibantu oleh dukun bayi yang lain dan Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
sekaligus mengkhitankan anak-anaknya, tetapi pada cucu-cucunya Nb melakukannya sendiri, Nb yang mengkhitan dan menindik telinga cucunya yang perempuan, begitu juga pada cicitnya yang perempuan. Pada saaat peneliti bertanya pada salah satu anak perempuan Nb, ia mengatakan mengapa meski ke dokter atau kedukun bayi lain, kalau neneknya bisa melakukannya. Anak-anak Nb melakukan khitan atas dasar tradisi dan keharusan dalam agama, mereka juga mengatakan dengan melakukan khitan tidak akan merugikan anakanak mereka karena tidak sampai melukai kelamin si anak, mereka juga dikhitan pada waktu bayi sampai sekarang mereka tidak mengalami cedera atau berkurangnya gairah dalam berhubungan intim dengan suaminya, semua berjalan dengan baik dan alat reproduksi mereka juga berfungsi dengan baik. Pada saat melakukan khitan Nb menggunakan tatacara etnis Jawa dan Agama Islam. Pada masa dulu proses khitan dilakukan secara tradisional yaitu dengan cara menggunakan bambu yang diluncingkan atau ani-ani padi, kemudian kunyit atau induk kunyit yang dikerok yang berfungsi sebagai obat, dan air dengan bunga yang berfungsi untuk membersihkan alat kelamin si anak sebelum dikhitan dan pada saat khitan dilakukan maka Nb akan membacakan dua kalimat syahadat dan berdoa memohon kepada yang Maha Esa supaya bayi ini kelak menjadi anak yang baik dan soleha. Pada masa sekarang setelah banyak terdapat dokter dan bidan Nb sering mendapat pelatihan mengenai cara mengkhitan yang baik dan alat yang digunakan juga di dapat dari rumah sakit atau klinik yang memberikan pelatihan. Setelah mendapatkan pelatihan dari dinas kesehatan Nb mengganti bambu dengan pisau silet yang dibersihkan dengan alkohol
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
terlebih dahulu sebelum melakukan khitan, setelah khitan dilakukan goresan pada klitoris si bayi di beri betadin supaya tidak infeksi. Nb mengatakan proses khitan pada anak perempuan hampir sama, hanya saja waktunya yang berbeda, pada suku banten Nb mengatakan anak perempuan dikhitan pada saat berumur 3 atau 4 tahun, sedangkan menurut suku Jawa lain ada yang 40 hari, 36 hari, 44 hari, 56 hari, ada yang 1 tahun, setiap suku berbeda-beda perhitungannya, karena mereka punya kepercayaan sendiri. Nb juga tidak sembarangan mengkhitan sang bayi, ia juga melihat keadaan bayi yang akan dikhitan apakah sudah bisa dikhitan atau belum dan ia juga akan melihat perhitungan dari kelahiran bayi tersebut. Biasanya Nb dijemput oleh keluarga yang akan mengkhitankan anaknya, baik itu bapak si bayi, atau keluarga yang lain. Sampai sekarang Nb masih bisa mengkhitan bayi perempuan, tetapi didaerah tempat ia tinggal saat ini bayi perempuan banyak dibawa ke bidan untuk dikhitan. Dan sekarang ia hanya di panggil untuk mengusuk badan atau perut ibu yang sedang hamil. o Informan III Nama
: Ks
Umur
: 53 Thn
Alamat
: Pasar V
Pendidikan Terakhir : SMP Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Kawin
Suku
: Jawa
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Ks seorang ibu yang mempunyai 3 orang anak perempuan, yang saat ini telah menikah dan mempunyai anak, semua anaknya lahir di bidan bersalin, tetapi yang mengkhitan anaknya adalah dukun bayi. Ks mengkhitan anak perempuannya karena khitan sudah menjadi tradisi di keluarganya, dan anak-anak Ks yang telah menikah dan mempunyai anak juga melakukan hal yang sama. Ks tinggal di daerah ini sudah lama karena orang tuanya juga sudah tinggal di daerah ini. Pada masa ia dikhitan dilakukan juga oleh dukun bayi, dengan menggunakan ani-ani padi atau bambu yang diluncingkan yang kemudian di bersihkan dengan kunyit dan air dengan bunga tujuh rupa. Sedangkan pada anak perempuannya dukun yang melakukan khitan telah memakai pisau silet dan menggunakan alkohol sebagai pembersih dan betadin sebagai obat. Ks mengatakan semua keluarganya yang mempunyai anak perempuan melakukan khitan baik itu mereka yang telah menikah dengan suku diluar Jawa. Ks juga mengatakan tidak hanya etnis Jawa yang melakukan khitan pada anak perempuannya etnis lain diluar Jawa juga melakukan hal yang sama, ia mengambil contoh salah satu tetangganya yang bukan etnis Jawa, dimana tetangganya tersebut mengkhitan anak perempuannya pada saat masih bayi dan dilakukan di bidan tempat ia melahirkan. Ks berpendapat khitan dilakukan bukan saja karena seseorang berasal dari sebuah etnis tetapi juga adanya keharusan dalam agama Islam. o Informan IV Nama
: Wj
Umur
: 39 thn
Alamat
: Pasar V
Pendidikan Terakhir : SMA Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Wj seorang ibu rumah tangga yang sebelum menikah ia pernah bekerja di
sebuah restoran, sekarang Wj mempunyai 1 orang perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Anak perempuan Wj dikhitan pada umur 2 bulan dan dilakukan oleh bidan yang membantu persalinan Wj waktu ia melahirkan. Karna ini merupakan pengalaman pertamanya menyunatkan anaknya walaupun ia telah mendengar bahwa khitnan pada anak perempuan sedang dalam pembicaraan di kalangan kesehatan, tapi secara tradisi hal ini harus dilakukan sebagai syarat bahwa si anak telah beragama Islam dan kelak saat si anak telah mulai besar maka akan berkelakukan baik, serta mencegah anak perempuannya terhindar dari penyakit yang akan ditimbulkan jika si anak tidak di khitan. o Informan V Nama
: Mr
Umur
: 49 thn
Alamat
: Marelan Pasar V
Pendidikan Terakhir : S1 Pekerjaan
: Guru
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Mr seorang guru SD di salah satu SD negeri yang ada di marelan, ia
menjadi guru sudah hampir 25 tahun, Mr mempunyai 2 orang anak perempuan yang saat ini menginjak remaja, kedua anaknya dikhitan pada waktu kecil, tidak hanya dikhitan tapi Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
juga sekaligus ditindik. kedua anaknya di khitan pada saat si anak baru berumur 40 hari, atau sering di sebut dengan slapanan. Mr menganggap bahwa anak perempuan memang seharusnya dikhitan, tidak hanya anak laki-laki saja, apalagi Mr bersuku Jawa yang masih melakukan tradisi dan adat istiadat Jawa. Walaupun Mr seorang ibu yang berpendidikan dan bekerja, Mr tetap menjalankan kebiasaan yang ada pada keluarganya selama hal ini tidak mengakibatkan kerugian. Pada saat Mr mengkhitan anak perempuanya, ia meminta izin terlebih dahulu pada suaminya, jika suaminya menyetujui maka ia akan melaksanakan khitan tersebut. Mr juga mengatakan khitan ini juga dianjurkan dalam agama Islam dan pada saat mengkhitankan anak-anaknya bidan yang mengkhitankan anaknya mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat sahnya khitan tersebut. o Informan VI Nama
: Sm
Umur
:36 thn
Alamat
: Pasar V
Pendidikan terakhir
: SMA
Pekerjaan
: Pedagang
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Sn mempunyai 3 orang anak perempuan yang masih duduk di bangku
SMP dan SD, sehari-hari Sn berjualan di pasar marelan, ia menjual prabot rumah tangga. Sn berasl dari suku Jawa walaupun telah bercampur dengan suku lain, tapi keluarganya masih melakukan tradisi Jawa, hal ini dapat dilihat pada 3 anaknya yang dikhitan. Anak Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
perempuan Sn semuanya dikhitan oleh bidanyang membantu persalinannya. Sn mengatakan anaknya dikhitan pada saat berumur 2 bulan, karena pada saat itu klitoris si anak baru nampak dan sang bidan baru mau mengkhitan anaknya. Khitan ini ia lakukan supaya sianak terhindar dari penyakit dan menurutnya khitan merupakan hal yang harus dilakukan dalam keluarganya, baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan.
o Informan VII Nama
: Tn
Umur
: 39 thn
Alamat
: Pasar V Marelan
Pendidikan Terakhir : S1 Pekerjaan
: PNS
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Tn adalah seorang pegawai negeri sipil yang mempunyai 3 anak
perempuan, dimana semua anak perempuannya khitan pada waktu kecil, saat itu anaknya berumur 2 bulan dan 40 hari, pada saat Tn mengkhitan anaknya ia juga mengadakan acara slapanan atau akikah anaknya. Tn mengkhitan ke 3 anaknya ke bidan, karna ia melahirkan dibidan, ia juga mengatakan bila mengkhitan ke bidan maka akan lebih aman karena mereka melakukannya dengan prosedur yang telah di tetapkan dan dia ajarkan oleh ilmu kesehatan atau kedokteran. Walaupun begitu Tn tetap melaksanakan kebiasaan yang ada pada sukunya yaitu Jawa, dengan tetap melaksanakan acara slapanan dan Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
meminta hari baik ke pada orang yang dituakan dalam keluarganya untuk dapat melaksanakan khitan pada anaknya. Saat ini anak pertama Tn telah berumur 16 tahun, pada saat peneliti bertanya pendapat si anak tentang khitan, maka ia mengatakan jika telah ditetapkan dalam keluarga seperti itu maka ia juga akan melakukan hal yang sama, karena jika tidak maka orang tua pasti akan marah. Walaupun katanya khitan telah tidak dibolehkan, tetapi sampai sekarang khitan tetap dilakukan. Untuk masa yang akan datang kita tidak tahu, jika orang tua masih menyuruh melakukan khitan pada cucu perempuannya, maka ia akan melakukannya. o Informan VIII Nama
: Tt
Umur
: 28thn
Alamat
: Pasar V Marelan
Pendidikan Terakhir : D3 Pekerjaan
: Pegawai RS
Status
: Kawin
Suku
: Jawa
Tt seorang pegawai rumah sakit, saat ini ia mempunyai dua orang anak perempuan yang memasuki masa remaja. Pada saat ia melahirkan anak perempuannya, tidak berapa lama ia mengkhitan anaknya, pada saat itu anak perempuannya masih berumur 40 hari. Pada saat mengkhitan anak perempuannya ia membawanya ke klinik bersalin, hal ini ia lakukan dengan izin suami walaupun pada saat itu ia juga idak begitu Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
mengerti kegunaan dari khitan itu sendiri tetapi ia melakukannya, hal ini dilakukan dengan dasar bahwa ia pada waktu bayi juga dikhitan, dan orang tua juga menganjurkan seperti itu apalagi ia orang Jawa. Tt mengatakan bahwa orang tuanya mengatakan khitan pada anak perempuan itu memang harus dilakukan hal ini untuk menjaga si anak dari penyakit dan akan menjadikan si anak tersebut menjadi anak perempuan yang bersih dan berlaku baik. pada saat sekarang khitan pada anak perempuan sedang dalam perbincangan di dunia kesehatan, dan telah ada segmen yang mengatakan bahwa khitan pada anak perempuan tidak dibolehkan, karna klitoris merupakan puncak kenikmatan perempuan dalam berhubungan intim dengan suaminya. Walaupun begitu masih banyak ibu-ibu yang membawa anak perempuanya untuk dikhitan dan masih dilayani oleh rumah sakit atau bidan-bidan. Menurut Tt tidak semudah itu menghilangkan kebiasaan yang telah melekat lama dalam diri seseorang dan keluarganya, apalagi hal ini merupakan budaya yang ada pada setiap suku bangsa terutama Jawa. o Informa IX Nama
: Yn
Umur
: 26 thn
Alamat
: Pasar V
Pendidikan Terakhir : SMP Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Kawin
Suku
: Jawa
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Yn merupakan ibu rumah tangga yang memiliki 1 orang anak perempuan, yang pada saat ini duduk di bangku SMA. Yn hanya tamatan SMP dan menikah muda pada saat itu, pendapat Yn tidak jauh berbeda dengan informan sebelumnya, ia juga melakukan khitan pada anak perempuannya hanya saja yang mengkhitan anak perempuannya tersebut adalah dukun beranak yang ada didaerah tempat tinggalnya, pada saat itu si anak berumur 35 hari dan setelah anak perempuannya dikhitan ia membuat syukuran berupa membuat bancaan ataunasi urap yang dibagikan kepada tetanggatetangga terdekatnya. Yn mengkhitan anaknya karna perintah suaminya dan ibunya, mereka masih manganggap khitan itu adalah hal yang harus dilakukan dan kewajiban sebagai umat Islam serta menghindarkan si anak dari penyakit kelamin. Yn dan keluarga mengagap laki-laki dan perempuan itu sama, sama-sama harus dikhitan untuk menghindarkan si anak dari penaykit. Yn juga mengatakan bahwa khitan juga sudah dilakukan sejak lama dalam keluarganya dan semua keturunan mereka dikhitan. o Informan X Nama
: Na
Umur
: 59 thn
Alamat
: PasarV
Pedidikan Terakhir
: SMP
Pekerjaan
: Pedagang
Status
: Kawin
Suku
: Jawa
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Na adalah seorang ibu sekaligus seorang nenek yang telah mempunyai cucu 8 orang yang diantaranya 5 perempuan dan 3 orang laki-laki, sedangkan Na mempunyai anak 7 orang anak, 5 diantaranya telah menikah dan telah mempunyai anak. Hampir semua anak Na menikah dengan suku yang berbeda-beda, anak yang pertama Na menikah dengan seseorang yang beretnis Mandailing, yang kedua dan ke empat menikah dengan seseorang dengan etnis padang, sedangkan yang ke empat dan ke enam yang menikah dengan seseorang dari etnis Jawa dan dari lingkungan yang sama. Walaupun anak-anak Na menikah dengan seseorang dari etnis yang berbeda-beda tetapi mereka masih tetap melaksanakan adat istiadat dari keluarga mereka walaupun telah bercampur dengan adat istiadat dari para menantunya, bagi Na ini tidak masalah selama anak-anaknya tidak keluar dari apa yang telah ditanamkan dalam diri anak-anaknya. Begitu juga dengan khitan, semua anak dan cucu Na dikhitan baik itu yang laki-laki maupun yang perempuan hanya pelaksanaannya saja yang berbeda, Na juga mengatakan saya juga dikhitan sewaktu bayi oleh orang tua saya dan saya melakukannya kepada anak-anak saya sebagai tradisi yang telah ada dalam suku dan keluarga kami, Na juga mengatakan khitan merupakan penanda bahwa seseorang beragama Islam dan si anak akan terhindar penyakit, Na mengkhitan anak perempuannya pada usia 40 hari sampai 3 bulan hal ini juga tergantung oleh sang dukun bayi, karna sang dukun lah yang akan memberikan waktu dan tanggal yang baik untuk si anak dikhitan, dan proses khitan juga dibarengin dengan penindikan pada telinga si anak perempuan. Berbeda dengan cucu-cucunya, anak-anak Na membawa cucunya kerumah sakit atau klinik sebagai tempat proses khitan, hal di dukung karena anak-anak Na sebagian besar tinggal di Medan dan sulit untuk mencari dukun bayi di daerah mereka. Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Bagi Na dan Keluarga khitan tetap harus dilakukan terutama pada anak laki-laki sebagai penanda akhil Baligh. o Informan XI Nama
: Smn
Umur
: 60 thn
Alamat
: Marelan
Pendidikan Terakhir : SMA Pekerjaan
: Petani/ Sesepuh Jawa
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Smn adalah salah seorang yang dianggap sesepuh Jawa atau orang yang
dianggap tahu banyak tentang adat istiadat etnis Jawa, Smn asli dari etnis Jawa yang tinggal di Marelan, Smn juga salah satu pengurus dari PUJAKESUMA. Smn sering mengadakan pertemuan di rumahnya dengan masyarakat sekitar dan masyarakat yang tinggal di Marelan, Smn menjadikan rumahnya sebagai tempat silaturahmi masyarakat beretnis Jawa dan tempat berdiskusi tentang perkembangan yang terjadi pada suku mereka. Rumah yang ditempati
Smn juga sering mengadakan pertunjukan, Smn
mempunyai beberapa macam alat pertunjukan Jawa seperti wayang, kuda lumpin, taritarian Jawa, dan saat ini mulai diperkenalkan kembali kepada masyarakat, hal ini juga di dukung oleh pemerintah setempat yang sedang gencar untuk memperkenalkan kembali warisan-warisan Etnis Jawa ini. Sama halnya dengan Khitan, Smn mengatakan khitan merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama dalam suku Jawa dan merupakan sesuatu yang tabu untuk Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
dibicarakan karena berhubungan dengan alat kelamin perempuan, Hal ini juga didukung oleh agama teruta agama Islam yang mengharuskan khitan itu dilakukan baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan. Smn mengatakan khitan tidak akan membahayakan seseorang malah akan membantu seseorang dalam ke absahannya di sisi tuhan, dan akan membantu seseorang dalam mendapatkan keturunan. Smn mengatakan seseorang yang dikhitan maka akan terhindar dari penyakit yang terdapat di kemaluannya, pada anak laki-laki khitan merupakan pemotongan pada kuluf penisnya dan di kulit kuluf itulah banyak terdapat penyakit yang dapat membahayakan laki-laki, sedangkan pada perempuan hanya sedikit penggoresan pada klentit atau klitoris, khitan pada anak perempuan dilakukan untuk menjadikannya sebagai perempuan yang baik dan terhormat dan ia akan dapat memberikan keturunan dikemudian hari. Smn juga mengatakan khitan ini tidak hanya dilakukan oleh etnis Jawa tapi juga dilakukan oleh etnis lain dan menganut agama Islam. Jika ada seorang perempuan yang telah dewasa dan ia menjadi mualaf maka ia harus dikhitan sebagai tanda ia telah beragama Islam. Pada saat
sekarang
khitan pada anak
perempuansedang
dalam
pembicaraan oleh dinas kesehatan, tetapi mereka juga tidak dapat begitu saja menghapuskan kebiasaan yang telah melekat pada masyarakat apalagi hal ini juga di dukung oleh agama. Smn juga mengatakan Insyaallah sampai sekarang masyarakat di daerah ini tidak ada yang mengalami cedera atau sampai mengalami infeksi pada alat kelaminnya sehingga mengganggu aktifitas si perempuan. Khitan yang dilakukan pada anak perempuan hanya sekedar sedikit penggoresan pada klitorisnya tidak sampai memotong seperti yang dilakaukan pada anak laki-laki. Jadi menurut Smn khitan pada anak perempuan jangan dijadikan suatu masalah besar apa lagi sampai harus dihapuskan, Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
karena tidak mudah menghilangkan kebiasaan yang telah tertanam lama dalam diri seseorang atau dalam masyarakat yang memiliki latar belakang budaya yang kuat. o Informan XII Nama
: Md
Umur
: 90 thn
Alamat
: Marelan
Pendidikan Terakhir : SMA Pekerjaan
: Dalang/ Pendiri PUJAKESUMA
Status
: Kawin
Suku
: Jawa Md merupakan salah seorang keturunan Jawa yang besar di Medan, Md
juga salah seorang pendiri PUJAKESUMA yang ada di Sumatera Utara, saat ini Md telah berumur 90 tahun dan sudah sangat tua, tetapi beliau masih sehat dan ingat semua tentang budaya Jawa, Md dikenal sebagai dalang, banyak masyarakat yang datang kepadanya untuk mendapatkan nasehat dan bertanya hari baik untuk mengadakan suatu acara, baik itu acara akikah, sunatan, dan terutama perkawinan. Md dipercaya dapat memberikan masukan dan nasehat pada seseorang yang akan melaksanakan hajatan sehingga acara atau hajatan yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar, Md sering di panggil untuk memberikan pawang hujan dalam suatu acara. Pada saat peneliti bertanya tentang khitan kepada Md mengatakan bahwa khitan itu adalah pemotongan atau penggoresan pada alat kelamin, khitan ini dilakukan pada anak laki-laki dan anak perempuan, hanya bedanya anak laki-laki dikhitan pada saat si anak mulai tumbuh remaja berkisar umur 8 sampai 12 tahun, sedangkan pada anak Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
perempuan khitan dilakukan pada saat si anak masih bayi sekitar berumur 40 hari atau pas pada saat slapanan. Khitan dalam bahasa Jawa disebut dengan tetesan untuk anak perempuan sedangkan untuk anak laki-laki disebut dengan tetakan. Md juga mengatakan bahwa pada masa dahulu tetesan atau tetekan dilakukan untuk meghindari si anak dari kesialan yang dibawa manusia sejak lahir atau dalam bahasa Jawa sukerto. Pada masa dahulu khitan pada anak perempuan dilakukan dengan sedikit menggoreskan klitoris dengan bambu atau ani-ani padi yang kemudian ditempelkan kunyit sebagai obat dan kemudian membuang atau menanam kunyit tersebut kedalam tanah, kunyit ini merupakan simbol dari makna pemurnian, dengan begitu kesialan yang dibawa manusia sejak lahir telah dibuang bersama kunyit tersebut. Hal ini berlaku juga pada anak laki-laki hanya saja yang ditanam atau dibuang adalah kulit penis yang telah dipotong. Kemudian akan di adakan upacara atau slametan untuk si anak yang telah dikhitan. Pada masa sekarang khitan tetap dilakukan tetapi prosesnya saja yang tidak seperti dulu, proses khitan pada masa sekarang lebih mudah dan telah bercampur dengan budaya baru, tetapi semua tidak menjadi masalah selama khitan masih dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan ajaran agama. Khitan juga merupakan simbol dari seseorang untuk tumbuh menjadi dewasa begitu juga pada anak perempuan, khitan dilakukan untuk menjadikan si anak menjadi perempuan yang sejati dan dapat bereproduksi dengan baik serta berkelakuan baik. Pada saat melakukan khitan pada anak perempuan biasanya hanya ibu yang tahu dan melihatnya, sedangkan sang ayah tidak ikut campur dalam hal ini, walaupun sang ayah ikut andil dalam pengambilan keputusan kapan dan dimana si anak akan dikhitan. Md mengatakan walaupun etnis Jawa mengambil garis keturunan bilateral Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
tapi bapak atau ayah atau anak laki-laki tetap memegang peran utama dalam mengambil keputusan dalam keluarganya, karena laki-laki akan menjadi kepala keluarga atau imam untuk keluarganya.
Lampiran II Foto-Foto
Alat-Alat yang Tradisional Jawa
Gong
Ketuk Kenong
Wilah Saron
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
3 Buah Gendang
Angklung
Barong Jalanan
Kuda Putih yang terbuat dari bambu
Beberapa buah topeng yang memiliki nama beda
Wayang Hanoman dan Lingsang Geni
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Teromet pemukul alat musik \
Cemeti atau cambuk
Wilah 11 Saron Pelok
Wilah Pelok yang terdiri dari 11 gending
Reok
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Pentul
Pengurus Paguyuban serta pemain dan
Pentul Tembem
Peneliti Pada saat Wawancara
penari kebudayaan
Anak Bayi yang sedang di Khitan
Alat yang digunakan untuk mengkhitan, sejenis smbilu yang berbentuk seperti pisau kecil
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.
Alat untuk mengasah sembilu
Batu yang di gunakan untuk mengasah
sembilu
Frisyahyani Nasution : Khitan Perempuan (Rekonstruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Daerah Marelan), 2010.