1
PEMANFAATAN HUTAN KOTA BAGI KEPENTINGAN DI LUAR FUNGSI KONSERVASI: PEMANFAATAN HUTAN KOTA UNIVERSITAS INDONESIA YANG DIBANGUN MENJADI INTEGRATED FACULTY CLUB UNIVERSITAS INDONESIA Egayudha Gustav Maulana Harsanto Nursadi Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Hubungan Negara dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi terkini dan praktek pengelolaan hutan kota, khususnya di wilayah DKI Jakarta yang memiliki laju pembangunan yang sangat pesat, serta mengetahui kemungkinan dampak yang terjadi atas pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia yang memanfaatkan hutan kota. Tipe penelitian yang digunakan menurut jenisnya adalah penelitian yuridis normatif, menurut metode analisa yang digunakan adalah analisa data kualitatif, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah, dan menurut sifatnya adalah kombinasi antara penelitian deskriptif dan evaluatif. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan tersebut ditujukan bagi kepentingan-kepentingan yang diperbolehkan oleh peraturan-peraturan yang ada dan terjaganya tujuan serta fungsi hutan kota. Di lain sisi, meskipun telah disetujui oleh berbagai pihak yang berwenang memberikan izin, pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kata Kunci: Konservasi; Hutan Kota; Pemanfaatan; Integrated Faculty Club; Universitas Indonesia ABSTRACT This study aims to figure out the recent condition and management of urban forests, especially in DKI Jakarta as a rapidly developing city. Another purpose of this study is to identify the possible impacts that might arise from the establishment of UI Integrated Faculty Club in the urban forest area. By the research type, analytical method, application and research-nature; this study categorized as normative juridical, qualitative, problem-focused, and descriptive-evaluative study. The result shows that the urban forest utilizations in nonconservational function area are allowed provided that the utilization is performed in purposes that are allowed by the prevailing laws and regulations and the function and purpose of urban forest are still maintained. However, aside from the fact that the establishment of UI Integrated Faculty Club has obtained approvals from relevant authorities, yet this study found there are some misappropriations of such establishment to most law and regulations regarding the utilization of urban forest in non-conservational function area. Keywords: Conservation; Urban Forest; Utilization; Integrated Faculty Club; University of Indonesia
Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki total luas daratan sebesar 189 juta hektar dengan luas kawasan hutan tropis seluas 112,3 juta hektar, yang terdiri dari hutan lindung 29,3 juta hektar, hutan konservasi seluas 19 juta hektar, dan hutan produksi seluas 64 juta hektar.1 Sedangkan berdasarkan hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), sumber daya hutan Indonesia adalah 120,35 juta hektar atau sekitar 62,6% dari luas daratan Indonesia.2 Dari pengertian yang ada, hutan didefinisikan sebagai kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan yang memiliki peran penting bagi kehidupan di Bumi ini, hutan juga dapat berarti suatu asosiasi kehidupan antara flora dan fauna dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan luas sedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi areal, sehingga dapat membentuk iklim mikro tertentu.3 Sedangkan dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.4 Pada dasarnya, seluruh hutan yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia adalah berada di bawah kekuasaan Negara. Oleh Negara, hutan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, dengan tidak mengabaikan kelestarian dan keberlangsungan hutan itu sendiri terkait vitalnya fungsi hutan dalam kehidupan hidup manusia. Melestarikan keberlangsungan hutan sama dengan menjaga keberlangsungan hidup manusia pula, sehingga hal tersebut patut diperhatikan dan dijaga agar tetap berjalan seimbang dan selaras. Oleh karena itu, Negara dalam hal ini Pemerintah, membagi 3 fungsi utama hutan agar pemanfaatan hutan dalam rangka memakmurkan rakyat tetap memperhatikan kelestarian dan 1
Hariadi Kartodihadjo, Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan Indonesia: Intervensi IMF dan World Bank dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan, (Bogor : Pustaka Latin, 1999), hlm. 4. 2
Boen M. Purnama, Informasi Umum Kehutanan, (Jakarta : Departemen Kehutanan RI, 2002), hlm. 1.
3
Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 11.
4
Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, LN Nomor 167 Tahun 1999, TLN Nomor 3888, psl. 1. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
3
keberlangsungan hutan di Indonesia. Adapun 3 fungsi utama hutan sesuai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah: 1. Fungsi Konservasi 2. Fungsi Lindung 3. Fungsi Produksi Dengan ketiga fungsinya, hutan menjadi sangat vital bagi kehidupan manusia, khususnya Indonesia selaku pemilik hutan terluas kedua di dunia hingga akhirnya dijuluki paru-paru dunia. Untuk itulah keberadaan hutan perlu dijaga, sehingga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pun mengamanatkan terjaganya keberadaan hutan di Indonesia ini dengan menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan tersebut minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional.5 Namun dewasa ini, jumlah hutan di Indonesia terus berkurang dan mengalami kerusakan (deforestasi), bahkan beberapa provinsi tidak memiliki jumlah hutan minimal sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa faktor menjadi penyebab dari hilangnya hutan-hutan di Indonesia, yaitu faktor alam (kerusakan karena hewan, lingkungan, dan hama/penyakit) dan faktor kesengajaan manusia (pembukaan lahan, kegiatan pertambangan, illegal logging, dll). Untuk menanggulangi deforestasi dan menjaga keberlangsungan hutan, maka ditetapkanlah konservasi sebagai salah satu fungsi utama dari hutan. Konservasi dapat berperan ganda, selain untuk menjaga keberlangsungan dan kelestarian hutan, konservasi juga dapat menjaga kelestarian vegetasi flora dan menjadi habitat fauna yang ada di dalamnya. Salah satu pencerminan dari hutan untuk konservasi adalah pembangunan hutan kota. Hutan kota sendiri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Dalam peraturan pemerintah tersebut, hutan kota didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, 5
Ibid., psl. 18. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
4
keserasian, dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial, budaya.6 Setiap kota, dan juga DKI Jakarta yang merupakan sebuah provinsi7, diwajibkan memiliki hutan kota seluas minimal 10% dari luas keseluruhan wilayahnya atau jumlah lain yang didasarkan pada kondisi wilayah dari kota tersebut.8 Pembangunan hutan di dalam sebuah kota ini memiliki tujuan untuk menjaga kestabilan ekologi di dalam kota tersebut. Keadaan lingkungan perkotaan menjadi berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Kondisi demikian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan, yang berupa meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara, menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah.9 Pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjamin keberadaan hutan kota dalam sebuah kota/kabupaten adalah Pemerintah Kota/Kabupaten (Pemkot/Pemkab), kecuali untuk DKI Jakarta yang tidak memiliki kabupaten atau kota yang bersifat otonom maka penyelenggaraan hutan kota di DKI Jakarta dilakukan oleh pemerintah Provinsi (Pemprov). Penyelenggaraan hutan kota di DKI Jakarta sendiri dilakukan oleh Gubernur dengan memasukan pembangunan hutan kota ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Demi terciptanya wilayah DKI Jakarta yang nyaman dan sehat, maka mau tidak mau kebutuhan akan hutan kota ini harus terpenuhi. Untuk itulah dibangun hutan-hutan kota di berbagai pelosok wilayah DKI Jakarta. Di DKI Jakarta sendiri, pada tahun 2011, terdapat tidak kurang dari 646,60 hektar hutan kota yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.10 Luas hutan kota DKI Jakarta yang diperkirakan seluas 646,60 hektar tentu masih sangat kurang dibanding luas DKI Jakarta yang mencapai 66.233 hektar. Dengan luas sebesar itu, 6
Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, LN Nomor 119 Tahun 2002, TLN Nomor 4242, psl. 1-2. 7
Oleh karena di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak ada kabupaten atau kota yang bersifat otonom, maka penyelenggaraan hutan kota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, Indonesia (b), Ibid., psl 8. 8
Ibid.
9
Endes N. Dahlan, Hutan Kota: Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, (Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 1992), hlm. 19. 10
Provinsi DKI Jakarta (a), Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Akhir Masa Jabatan Tahun 2007 – 2012, (Jakarta: 2012), hlm. III-232. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
5
idealnya DKI Jakarta memiliki 10% hutan kota dari luasnya yaitu 6.623,3 hektar seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Kurangnya jumlah ruang terbuka hijau (RTH) atau hutan kota di DKI jakarta, disebabkan oleh banyaknya pembangunan kota yang tidak berwawasan lingkungan. Banyak RTH dikorbankan demi terwujudnya pembangunan berbagai proyek di DKI Jakarta. Selanjutnya, salah satu hutan kota yang terdapat di DKI Jakarta adalah hutan kota Universitas Indonesia (UI). Kawasan ini ditetapkan sebagai hutan kota berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta nomor 3487 tahun 1999 tentang Penetapan Hutan Kota Universitas Indonesia Seluas ± 55,4 Hektar Termasuk Waduk Seluas ± 9 Hektar Sebagai Hutan Kota Konservasi Wilayah Kotamadya Jakarta Selatan. Dasar kepentingan pembangunan hutan kota kampus baru UI Depok sendiri diuraikan secara eksplisit melalui SK. Rektor No. 084/SK/R/UI/1988, yang pada hakekatnya meliputi dua kepentingan, yakni pertama, sebagai bentuk pembangunan dan pengembangan sarana penunjang pendidikan serta penelitian Universitas Indonesia. Kedua, sebagai wahana koleksi dan konservasi plasma nutfah serta ekosistem perairan yang berperanan fungsi sebagai wilayah resapan dan tandon air.11 Selain itu, peran Mahkota Hijau lainnya adalah merupakan kawasan konservasi dan penangkaran sumberdaya plasma nutfah (hayati/hewani), sebagai perpaduan lingkungan (ekosistem hutan dan perairan) yang pada hakekatnya merupakan wahana dan mintakat sangtuari kehidupan satwa liar yang dapat tumbuh dan berkembang lebih leluasa, karena terdesaknya lingkungan di sekitarnya, berfungsi sebagai pengatur tata air, serta dapat dimanfaatkan sebagai salah satu wahana rekreasi dan sarana praktikum bagi mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia (Gagasan terwujudnya Biowisata Kampus).12 Dewasa ini, hutan kota di DKI Jakarta telah banyak berkurang karena dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana. Hutan kota UI pun tidak luput dari pemanfaatan untuk kegiatan pembangunan tersebut, salah satu kegiatan pembangunan yang terjadi di wilayah hutan kota UI adalah pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia. Integrated Faculty Club Universitas Indonesia ini dibangun di kawasan hutan kota UI yang
11
Tarsoen Waryono, Konsepsi Dasar Perencanaan Pembangunan Mahkota Hijau Hutan Kota Universitas Indonesia, (Jakarta), hlm. 3. 12
Ibid., hlm. 8. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
6
terletak di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, dengan luas penggunaan lahan mencapai ± 47.593 m2.13 Dalam Integrated Faculty Club Universitas Indonesia sendiri rencananya akan dibangun Pusat Otomotif, Pusat Pelayanan Masyarakat, kolam renang, clubhouse tennis, driving range (area berlatih golf), lokasi outbound, dan berbagai sarana olahraga dan rekreasi lainnya.14 Melihat berbagai sarana dalam Integrated Faculty Club ini yang dibangun diatas areal hutan di kawasan sekitar danau, secara tidak langsung juga akan berdampak terhadap ekosistem danau dan hutan kota. Sudah menjadi tugas pimpinan Universitas, Pemerintah dan sivitas untuk ikut menjaga kawasan yang penting bagi warga Depok dan Jakarta Selatan ini. Banjir sudah kerap kali terjadi di kawasan sekitar UI, dan seiring laju pembangunan UI, dapat diprediksikan ini merupakan salah satu dampak pembabatan hutan UI. Jika kita melihat dari sisi peraturan perundang-undangan Indonesia, kawasan danau, situ, atau waduk disebut sebagai zona N1 dalam pasal 25 Ayat 1 dalam Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Zona N1 sendiri adalah kawasan lindung dalam pasal 11 Ayat 2. Kemudian, dalam pasal 30 ayat 6 disebutkan bahwa di kawasan sekitar danau, waduk, dan situ dilarang menyelenggarakan pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik untuk wilayah DKI Jakarta, yaitu Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 sendiri ditegaskan bahwa DKI Jakarta akan menambah dan mengembangkan RTH. Hal ini didukung oleh pasal 79 ayat (6) Perda tersebut yang menyebutkan bahwa kawasan terbuka hijau budi daya sebagaimana dimaksud pada pasal 79 ayat (1), tidak dapat diubah fungsi dan peruntukannya. Adapun kawasan terbuka hijau budi daya yang dimaksud dalam pasal 79 ayat (1) adalah: 1.
Kawasan hutan produksi berfungsi lindung;
2.
Hutan kota;
3.
Taman kota; dan
13
Achmad Noerzaman, Arsitektur 4D: 72 Karya + 10 Sayembara Arsitektur Universitas Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 45. 14
Ibid., hlm. 44. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
7
4.
Kawasan terbuka hijau lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, terutama dalam pemanfaatan hutan kota DKI Jakarta yang dibangun menjadi Integrated Faculty Club Universitas Indonesia, guna mencari jawaban yang tepat atas legalitas suatu pembangunan yang memanfaatkan wilayah hutan kota. B. Pokok Permasalahan Adapun pokok permasalahan dari penelitian ini, di antaranya: 1.
Apakah hutan kota dapat dimanfaatkan bagi kepentingan di luar fungsi konservasi?
2.
Bagaimana pengaturan pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi?
3.
Apakah pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia di lahan Hutan Kota UI telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian 1.
Menjelaskan secara spesifik mengenai apa yang dimaksud dengan hutan kota, beserta berbagai aspek yang meliputinya termasuk pemanfaatan.
2.
Menjelaskan dan mengevaluasi pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3.
Mengetahui keabsahan dan legalitas pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia.
4.
Mengetahui kemungkinan dampak yang terjadi atas pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia yang melalui pemanfaatan hutan kota.
TINJAUAN TEORITIS Dewasa ini, perkotaan selaku salah satu kawasan yang paling banyak dihuni oleh manusia. Pada dasarnya perkotaan adalah kawasan yang terbentuk dari pola manusia dengan aktivitasnya, aktivitas-aktivitas inilah yang kemudian menentukan rupa dan pembagian
Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
8
penggunaan bagian-bagian kawasan perkotaan.15 Dalam pola aktivitas manusia di kawasan perkotaan tersebut diperlukan penunjang untuk memudahkan dan melancarkan aktivitas yang dilakukan tersebut, maka dari itulah dibutuhkan pembangunan untuk menyesuaikan bentuk wilayah perkotaan yang sesuai dengan lingkungan dan dapat menunjang aktivitas manusia tersebut. Padahal lingkungan hidup secara alamiah memiliki daya dukung yang terbatas (carrying capacity), carrying capacity adalah jumlah populasi maksimal yang dapat didukung suatu habitat dalam jangka waktu yang berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas yang permanen dari ekosistem dimana populasi itu berada.16 Menurut Mangapul Tambunan, dosen mata kuliah Ekologi dan Lingkungan dari Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya dukung lingkungan ini perlu dijaga dan dilestarikan keadaannya, sebab pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Daya dukung, sangat erat kaitannya dengan daya tampung. Daya tampung sendiri berarti kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk dan dimasukan ke dalamnya.17 Daya tampung ini perlu dilestarikan, sebab merupakan sebuah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup menerima komponen-komponen yang masuk dan turut menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan tempat hidupnya manusia serta mahluk hidup lainnya. Daya dukung ini pada hakekatnya terkait dengan lingkungan alamiah dan sosial, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas di daerah tertentu. Dengan demikian, daya dukung terbagi menjadi 2 (dua) komponen, 15
M. Helwin Setiawan, “Kajian Daya Tampung Ruang Untuk Pemanfaatan Lahan Kota Tarakan”, (Skripsi Universitas Diponegoro, Semarang, 2004), hlm. 3. 16
Ibid.
17
Sumbangan Baja, Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah – Pendekatan Spasial & Aplikasinya, (Yogyakarta: Andi, 2012), hlm. 25. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
9
yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).18 Dewasa ini, daya dukung telah digunakan sebagai parameter keberlanjutan suatu wilayah, sehubungan dengan ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan, serta kebutuhan hidup manusia. Sehingga, dengan daya dukung ini dapat dibuat perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya. Dalam membahas hukum ekologi dan populasi, terdapat keterkaitan erat dengan daya dukung yang menimbulkan beberapa pola. Hal tersebut menimbulkan setidaknya 2 (dua) strategi hidup, yaitu pertumbuhan populasi cepat dengan mengabaikan terlampauinya daya dukung dan pertumbuhan populasi yang memperhatikan batas daya dukung lingkungan.19 Dengan demikian, upaya pembangunan dan pemanfaatan sumber daya harus selalu memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Namun, tidak berarti bahwa maksimalisasi upaya konservasi dilakukan hanya jika telah terjadi kecenderungan atas terjadinya suatu keadaan yang mendekati terlampauinya daya dukung. Dalam pembangunan, upaya peningkatan produksi seharusnya berjalan secara bersamaan dengan pengendalian kerusakan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat disegmentasi secara efektif menurut fungsinya ke dalam lindung (ekologis) dan budidaya (ekonomi).20
METODE PENELITIAN Tipe penelitian yang digunakan menurut jenisnya adalah penelitian yuridis normatif, menurut metode analisa yang digunakan adalah analisa data kualitatif, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah, dan menurut sifatnya adalah kombinasi antara penelitian deskriptif dan evaluatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berjenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, baik dalam bentuk bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Selain itu, untuk mendukung data-data tersebut dilakukan wawancara terhadap narasumber, yaitu orang-orang yang berkaitan dengan kegiatan pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah, seperti dosen mata kuliah Hukum Lingkungan, Hukum Administrasi Negara, 18
Ibid,.
19
Ibid, hlm. 26.
20
Ibid,. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
10 Stakeholder bidang kehutanan, mahasiswa UI, dan para praktisi hukum lain yang berpengalaman dalam hal lingkungan atau hutan kota.
PEMBAHASAN A. Kewenangan Pengelolaan Hutan Kota Hutan kota sebagai perwujudan ruang terbuka hijau di suatu wilayah perkotaan, merupakan salah satu hal yang turut melestarikan daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut. Penyelenggaraan hutan kota ini, dilakukan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten untuk kota dan kabupaten serta Pemerintah Provinsi untuk DKI Jakarta, dengan tujuan utama untuk mewujudkan lingkungan yang baik dalam daerah perkotaan sebagai hak masyarakat yang diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelenggaraan hutan kota oleh pemerintah daerah dari masing-masing wilayah ini mencakup 4 hal, yaitu:21 1) Penunjukan; 2) Pembangunan; 3) Penetapan; 4) Pengelolaan. Dewasa ini, kegiatan pengelolaan hutan kota inilah yang seringkali mendapat sorotan. Pengelolaan hutan kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan kota, yaitu tipe kawasan permukiman, tipe kawasan industri, tipe rekreasi, tipe pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan, dan tipe pengamanan, agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota.22 Adapun tahapan-tahapan dari pengelolaan hutan kota ini meliputi tahapan kegiatan:23 a. Penyusunan rencana pengelolaan; b. Pemeliharaan; c. Perlindungan dan pengamanan; d. Pemanfaatan; dan 21
Indonesia (b), op.cit., psl 4.
22
Ibid, psl 21.
23
Ibid,. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
11
e. Pemantauan dan evaluasi.
B. Kewenangan Pengelolaan Hutan Kota Universitas Indonesia oleh Stakeholder Universitas Indonesia Dalam SK Gubernur DKI Jakarta mengenai penetapan hutan kota UI, ditunjuklah Dinas Kehutanan (Dishut) DKI Jakarta bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Pembinaan Lingkungan Kampus Universitas Indonesia (UPT-PLK UI). Dimana, untuk operasional pengelolaan sehari-hari lebih dominan dilakukan oleh UPT-PLK UI. Adapun langkah-langkah operasional kegiatan lapangan dari pengelolaan hutan kota UI dibedakan menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:24 1. Tahap Konsolidasi Dalam tahap ini, terdapat Tim Penghijauan (Pelaksana Program Pembangunan Hutan Kota Kampus UI Depok) dalam suatu wadah organisasi di lingkungan Universitas Indonesia, yang termasuk ke dalam Unit Pelaksana Teknis Pembinaan Lingkungan Kampus (UPT PLK). Sejak awal kegiatan tahun 1985 Tim penghijauan kampus atas dasar Surat Tugas (No.126/R/UI/1985) di bawah pembinaan Pembantu Rektor Bidang Administrasi Keuangan (PR-II), yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Kerjasama antar Instansi terkait, strategi yang dilakukan pada tahap awal Koordinator Tim Penghijauan secara aktif mengadakan
konsolidasi
keluar,
berhubungan
dengan
instansi/lembaga terkait, seperti Kanwil Kehutanan DKI Jakarta, Litbang Kehutanan Bogor, Dinas Teknis DKI Jakarta (Perairan, Kehutanan, Pertanian, Pertamanan dan atau pihakpihak lainnya yang peduli (stakeholder) terhadap lingkungan tata hijau khususnya di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. b. Penertiban kawasan, meliputi pengamanan terhadap kawasan akibat ancaman tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab,
serta
kemungkinan
kebakaran
hutan
dengan
24
Tarsoen Waryono, op.cit., hlm. 6. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
12
bekerjasama dan/atau menjadi tanggung jawab Otorita Kampus Depok (Keamanan UI). 2. Tahap Rehabilitasi Lahan Rehabilitasi lahan, pada dasarnya merupakan langkah awal dengan sasaran utama diarahkan untuk mengembalikan peranan fungsi lahan yang saat itu dinilai belum optimal produktif, dengan membudidayakan jenisjenis cepat tumbuh (program kawasan hijau). Program kawasan hijau, dengan menanam jenis cepat tumbuh (pioner legum) Acacia mangium, dan Paraserianthes falcataria, pada dasarnya merupakan program strategis dan bersifat sementara. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi didominansi penutupan tapak kampus oleh vegetasi alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput gegajahan (Panicetum sp), yang mencakup areal 85% dari luas dari seluruh kampus. Hal ini mengingat bahwa jenis pioner legum, dinilai tangguh bersaing dengan dominansi gulma, serta tujuan utamanya lebih diarahkan untuk kepentingan perbaikan terhadap sifat fisik dan kesuburan tanahnya. 3. Tahap Implementasi Rancangan desain pewilayahan dan desain tata letak berdasarkan zonase, dipersiapkan lebih awal. Mengalokasikan rencana perkayaan jenis vegetasi asli (vegal), wales barat (walbar) dan wales timur (waltim), sesuai dengan pembangunan hutan kota yang sesungguhnya (kondisi ideal). Zona vegetasi asli (vegal), adalah inti dari hutan kota yang merupakan koleksi vegetasi alam setempat (Jakarta-Depok), hingga menjadi rekayasa hutan alam tropika. vegal disini, melambangkan watak UI yang pekatanggap-terbuka, yang serupa dengan sifat hutan hujan tropika secara alami. Zona Wales Barat (walbar), hendak dikembangkan menjadi jenisjenis vegetasi asli yang merupakan jenis vegetasi asli daerah sebelah barat garis wales pada waktu lalu, saat ini dan masa mendatang yang mempunyai arti dan makna nasional, nilai ekonomis, sosial dan atau politik. Jenis-jenis vegetasi semacam itu, antara lain jati (Tectona grandis), meranti (Shorea spp), kopi (Cofea spp), karet (Hevea Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
13
brasiliensis) dan beberapa jenis lainnya. Zona walbar ini hendak melambangkan citra serta wibawa UI sebagai Institusi Nasional, keteladanan serta kepemimpinan sekaligus prestasi kesiapan berkarya. Gambaran citra dan wibawa UI oleh zona walbar diulangi oleh zona waltim dengan jenis-jenis terpilih dari sebelah timur garis wales, seperti kayu hitam (Diopyros celebica), cendana (Santalum album), cengkeh (Zizigium aromaticum), pala (Myristica fragrans), matoa (Pometia sp), dan beberapa jenis lainnya. Selain itu, sesuai dengan SK penetapannya, kawasan hutan kota UI adala kawasan yang diperuntukan bagi konservasi hayati dan hewani. Peran hutan kota UI, selain merupakan kawasan konservasi dan penangkaran sumberdaya plasma nutfah (hayati/hewani), juga merupakan perpaduan lingkungan (ekosistem hutan dan perairan) yang pada hakekatnya merupakan wahana dan mintakat sangtuari kehidupan satwa liar yang dapat tumbuh dan berkembang lebih leluasa, karena terdesaknya lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pengelolaan lainnya pada tahap implementasi ini adalah wahana rekreasi dan pendidikan. Perpaduan dua ekosistem (hutan dan perairan), selain berfungsi sebagai pengatur tata air, lebih jauh peranannya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu wahana rekreasi dan sarana praktikum bagi mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia, sesuai dengan gagasan terwujudnya biowisata kampus. Dalam hal pendanaan untuk pengolaan dan pemeliharaan hutan kota UI, pihak UI mendapatkan dana yang tidak sedikit dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan juga kompensasi dari setiap kendaraan roda 4 (empat) yang memasuki wilayah kampus UI. Dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta, setidaknya UI mendapat minimal Rp 51.660.000,-, jumlah tersebut didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:25 x (1000 x jumlah STNK DKI Jakarta) x (1000 x 8.400.000 (jumlah perkiraan)) = 0,00615 x 8.400.000.000 = 51.660.000 25
Hasil wawancara penulis dengan Tarsoen Waryono, pengelola & perancang hutan kota UI dan dosen FMIPA UI, pada hari Rabu tanggal 5 Juni 2013 pukul 13.00 di Departemen Geografi FMIPA UI Depok. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
14
Selain itu, ada pula dana hasil kompensasi dari setiap kendaraan roda 4 (empat) atau lebih yang memasuki wilayah kampus UI sebesar Rp 2000,- per kendaraan. Setiap harinya rata-rata jumlah dana yang didapatkan oleh UI dari setiap kendaraan roda 4 (empat) atau lebih yang memasuki kawasan UI adalah Rp 4.000.000,-. Dengan demikian, selama 1 tahun ada sekitar Rp 1,4 milyar yang akan didapatkan UI dari kendaraan roda 4 (empat) atau lebih yang memasuki kawasan UI. Sekian persen (antara 25%-50%, berarti sekitar Rp 350.000.000,00 – Rp 700.000.000,00 per tahun) dari jumlah tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan pengelolaan hutan kota UI.26 C. Analisis Kasus 1. Pemanfaatan Hutan Kota Bagi Kepentingan di Luar Fungsi Konservasi Sebetulnya pemanfaatan hutan kota bisa saja dilakukan, sepanjang tujuan dan fungsi serta manfaat hutan kota tidak terganggu. Selain itu, pemanfaatan tersebut dilakukan untuk kepentingan-kepentingan terbatas saja, yaitu:27 a. Pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga; b. Penelitian dan pengembangan; c. Pendidikan; d. Pelestarian plasma nutfah; dan atau e. Budidaya hasil hutan bukan kayu. Atas dasar tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan pemanfaatan kota ditentukan berdasarkan peruntukan pemanfaatan, serta tujuan dan fungsi hutan kota yang tetap terjaga. Dengan kata lain, pemanfaatan di luar kepentingan-kepentingan di atas dapat dipertanyakan legalitas/keabsahannya, terutama bila pemanfaatan tersebut juga mengurangi/mengganggu tujuan dan fungsi dari hutan kota tersebut. Mengenai pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, dapat diartikan sebagai pemanfaatan hutan kota tersebut untuk kepentingan-kepentingan di atas, namun selain kepentingan pelestarian plasma nutfah. Sebab, salah satu perwujudan konservasi yang sejak awal telah dibahas dalam tulisan ini, mengkategorikan pelestarian plasma nutfah sebagai salah satu bentuk dari konservasi. 26
Ibid.
27
Indonesia (b), op.cit., psl 27. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
15
Bila ditelaah lebih lanjut, pemanfaatan hutan kota seringkali didasari atas keterbatasan lahan dan kepentingan bisnis semata. Hal-hal tersebut memang menjadi permasalahan yang selalu ditemui oleh kota-kota besar yang terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan warganya dan sebagai akibat tuntutan zaman.28 Dalih ketiadaan lahan dan pengembangan ekonomi untuk pembangunan kota menyebabkan pengurangan luas lahan hutan kota, padahal seringkali pengurangan luas lahan hutan kota ini tidak dibarengi dengan peningkatan/penggantian lahan hutan kota lainnya. Padahal tidak sedikit dari kota yang memanfaatkan hutan kotanya masih belum memenuhi jumlah minimal luas hutan kota yang harus dimiliki suatu kota, yaitu 10% dari luas keseluruhan kota tersebut.29 Dengan demikian, meskipun pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi diperbolehkan dengan beberapa syarat, alangkah baiknya Pemda selaku otoritas yang memiliki kewenangan tidak dengan mudahnya begitu saja memanfaatkan lahan hutan kota untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan sehubungan kebutuhan atau kepentingan kotanya. Karena pada dasarnya hutan kota sangat dibutuhkan oleh kota itu sendiri, dan bahkan dapat memiliki nilai ekonomi bila dikelola dengan baik.
2. Pengaturan Pemanfaatan Hutan Kota Bagi Kepentingan di Luar Fungsi Konservasi Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi diperbolehkan, namun pemanfaatan tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat/aturan. Syarat-syarat/aturan-aturan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang berbentuk kontrak dan bahkan surat keputusan (SK) dari pejabat tata usaha negara (Pejabat TUN) yang sebagian wilayah dalam instansinya ditetapkan sebagai hutan kota. A.
Peraturan Perundang-undangan Pengaturan pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi
yang dilakukan oleh otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengelola hutan kota, harus tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur ihwal pemanfaatan hutan kota. Baik institusi pemerintahan, pihak swasta, maupun badan publik 28
Hasil wawancara penulis dengan Tarsoen Waryono, pengelola & perancang hutan kota UI dan dosen FMIPA UI, pada hari Rabu tanggal 5 Juni 2013 pukul 13.00 di Departemen Geografi FMIPA UI Depok. 29
Indonesia (b), op.cit., psl 8. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
16
lainnya berkewajiban menaati dan memanfaatkan hutan kota ini sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan hutan kota diantaranya: 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat dikatakan sebagai induk dari Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan hutan, termasuk hutan kota dan pemanfaatannya. Pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang terkait dengan pemanfaatan hutan, yang juga mencakup pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, terdapat dalam pasal 23 dan pasal 38 ayat (1) dan (2). Dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dilakukan asalkan bertujuan untuk kepentingan dengan tetap menjaga kelestariannya. Namun, pemanfaatan tersebut, terutama apabila pemanfaatan tersebut dilakukan untuk kepentingan di luar fungsi konservasi, maka harus memenuhi peraturan dalam pasal 38 ayat (1) dan (2) yang hanya mengizinkan pemanfaatan yang demikian pada hutan produksi atau hutan lindung dan dilaksanakan dengan tanpa mengubah fungsi pokok kawasannya. 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Setidaknya, terdapat 3 pasal dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang penulis anggap berkaitan dengan pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi. Adapun pasal-pasal yang berkaitan tersebut antara lain pasal 2, pasal 3, dan juga pasal 29 ayat (2) dan (3). Dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dapat diketahui bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang, memperhatikan keharmonisan dengan alam dan pencegahan dampak negatif terhadap Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
17
lingkungan akibat pemanfaatan ruang tersebut, serta menjaga keberadaan Ruang Terbuka Hijau minimal sebanyak 30% dari luas wilayah kota. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota Pada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota ini, pengaturan mengenai pemanfaatan hutan kota tertuang dalam pasal 27, baik ayat (1) maupun ayat (2). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota ini disebutkan bahwa pemanfaatan hutan kota diperbolehkan asal tidak mengganggu fungsi dari hutan kota itu sendiri. Selain itu, pemanfaatan pun hanya terbatas pada kepentingan-kepentingan yang termuat dalam pasal 27 ayat (2) yang beberapa diantaranya dapat dikategorikan untuk kepentingan di luar fungsi konservasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan hutan kota yang mengganggu fungsi dari hutan kota itu sendiri ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan selain yang diatur pada pasal 27 ayat (1) tidak dapat dibenarkan dan melanggar peraturan ini. 4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur Kaitan pasal-pasal yang telah disebutkan dalam Peraturan Presiden ini dengan pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi adalah dikarenakan tidak sedikit hutan kota yang terletak di sekitar danau, waduk, atau situ, seperti halnya hutan kota UI yang memang terletak di pinggir waduk seluas 9 Ha. Dengan kata lain untuk pemanfaatan hutan kota yang demikian ini, haruslah menaati aturan-aturan dalam Peraturan Presiden ini, yaitu pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi yang diarahkan untuk konservasi air dan tanah sesuai pasal 25 ayat (2) dan juga pemanfaatan tersebut tidak mengganggu alam di sekitarnya, serta tidak menyebabkan penurunan kualitas air di danau, waduk, atau situ sekitar hutan kota tersebut. 5. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
18
Dikarenakan penulis mengambil hutan kota UI yang terletak di wilayah DKI Jakarta sebagai studi kasus pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, maka penulis pun menyertakan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 ini sebagai salah satu peraturan perundangundangan yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pemanfaatan yang demikian. Dalam Peraturan Daerah ini, ditegaskan bahwa DKI Jakarta akan menambah dan mengembangkan RTH. Hal ini didukung oleh pasal 79 ayat (6) Perda tersebut yang berbunyi: “Kawasan terbuka hijau budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat diubah fungsi dan peruntukannya.” Dengan demikian, hutan kota UI yang fungsi dan peruntukannya adalah hutan kota konservasi wilayah kotamadya Jakarta Selatan30 tercakup dalam Peraturan Daerah ini, sehingga pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi seharusnya tidak dapat dilakukan di area hutan kota UI sebagaimana telah diatur dalam Perda ini. B. Peraturan Lainnya Pengelolaan hutan kota tidak hanya dilaksanakan oleh Pemda, terdapat pula hutan kota yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat, yang dalam hal ini tidak hanya oleh perorangan, namun juga oleh badan hukum yang dimiliki masyarakat atau dapat dikatakan sebagai pihak swasta. Masyarakat selaku pengelola hutan kota ini dapat mengelola hutan kota yang berada di atas tanah negara maupun hutan kota yang berada pada tanah hak.31 Dalam pelaksanaannya, masyarakat ini tidak hanya harus memperhatikan dan menaati aturan-aturan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi tunduk juga pada aturan lainnya yang terkandung dalam kontrak bahkan SK Pejabat TUN. Hal tersebut tidak hanya berlaku pada hutan kota yang berada di tanah negara, namun juga terhadap lahan hutan kota yang mereka kelola berada pada tanah hak yang bukan miliknya, sehingga mereka diharuskan memiliki perjanjian dengan pemegang hak.32 30
Provinsi DKI Jakarta (b), Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3487 Tahun 1999 tentang Penetapan Hutan Kota Universitas Indonesia Seluas ± 55,4 Hektar Termasuk Waduk Seluas ± 9 Hektar Sebagai Hutan Kota Konservasi Wilayah Kotamadya Jakarta Selatan. 31
Indonesia (b), op.cit., psl. 22.
32
Ibid. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
19
Beberapa contoh peraturan lain di luar peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam melaksanakan pengelolaan dan terutama pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi adalah: 1. Kontrak Kontrak antara masyarakat pengelola hutan kota dengan Pemda ataupun pemegang hak atas tanah sangatlah dibutuhkan, hal ini agar pengelolaan hutan kota yang dilaksanakan oleh masyarakat tersebut tetap berjalan sesuai koridor yang diinginkan dan disepakati. Sehingga tidak akan terjadi pengelolaan yang melenceng dan tidak sejalan dengan kehendak salah satu pihak, meskipun pengelolaan yang dilakukan tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan. 2. SK Rektor (Pejabat TUN Universitas) Dalam hutan kota yang terletak di area sebuah universitas seperti halnya hutan kota UI, maka pejabat yang berwenang mengeluarkan peraturan bagi pengelolaan hutan kota tersebut adalah Rektor. Hal ini dikarenakan di dalam wilayah universitas, Rektor adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pejabat TUN).33
3. Legalitas Pembangunan Integrated Faculty Club Universitas Indonesia dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Lainnya Pembangunan IFC UI memang telah dilaksanakan, bahkan hampir rampung, dan itu berarti pembangunannya telah disetujui oleh berbagai pihak yang berwenang memberikan izin, dengan begitu pula seharusnya SK Rektor untuk pembangunan IFC UI ini telah terbit. Diawali dengan dibukanya sayembara perancangan dan perencanaan IFC UI pada 2009, hingga kini yang akhirnya akan rampung. Namun meskipun begitu, penulis tetap tertarik untuk menganalisis legalitas pembangunan IFC UI ini dari sudut pandang peraturanperaturan, baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya, yang telah dijelaskan pula sebelumnya. Dari sudut peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan 33
Indonesia (c), Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN Nomor 160 Tahun 2009, TLN Nomor 5079, psl. 1. Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
20
sebelumnya, terutama mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan kota untuk kepentingan di luar fungsi konservasi, dapat diketahui apakah pembangunan ini telah sesuai dengan aturan yang termuat dalam peraturan-peraturan tersebut. Pembangunan IFC UI tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, hal ini dikarenakan beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah dilanggar. Dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembangunan IFC UI yang dibangun di atas hutan kota UI yang tergolong sebagai hutan kota konservasi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini, sebab penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, dengan tanpa mengubah fungsi pokok hutannya. Selanjutnya pembangunan IFC UI melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebab sesuai dengan apa yang telah dibahas, kelangsungan daya dukung dan daya tampung hutan kota UI terganggu dengan adanya pembangunan IFC UI, seperti dalam daya dukung berupa suplai oksigen dan daya tampung berupa daya serap dan daya tampung air. Selain itu pembangunan IFC UI justru mengurangi luas RTH DKI Jakarta di saat RTH tersebut sebenarnya masih belum mencapai jumlah minimal RTH yang diatur undang-undang. Beralih pada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pembangunan IFC UI sendiri terdiri dari berbagai fasilitas yang tidak semuanya tercakup dalam kepentingan-kepentingan yang dimuat dalam pasal 27 ayat (1) Peraturan pemerintah ini, seperti poliklinik dan salon mobil (Automotive Station & Services), dengan demikian sebagian pembangunan IFC UI tidak sesuai dengan ketentuan dalam pemanfaatan hutan kota yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota ini. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, pembangunan IFC UI yang terletak di pinggir situ seluas 9 Ha tidak bertujuan untuk konservasi air dan tanah, selain itu ada indikasi pembangunan IFC UI mengganggu bentang alam, fungsi hidrologi, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup di sekitar situ. Dengan demikian, secara logika pembangunan IFC UI telah melanggar peraturan-peraturan dalam Perpres ini. Lalu berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, pemanfaatan sebagian lahan hutan kota UI untuk dibangun IFC UI, sedikit banyak tentu merubah peruntukannya. Hutan kota UI yang fungsi dan peruntukan awalnya adalah untuk Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
21
konservasi dan pelestarian plasma nutfah, kemudian sebagian lahannya berganti menjadi IFC UI yang tidak bertujuan untuk konservasi dan pelestarian plasma nutfah pula, hal ini tentu bertentangan dengan Perda ini. Dari hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun pembangunan IFC UI telah disetujui oleh berbagai pihak yang berwenang memberikan izin, pembangunan IFC UI tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena melanggar pasal-pasal dalam peraturan perundangan-undangan yang terkait pemanfaatan hutan kota untuk kepentingan di luar fungsi konservasi. Hal ini tentu menjadi catatan dan pembelajaran bagi para stakeholder bidang kehutanan dan UI agar lebih menunjukan komitmen untuk menjaga keberadaan dan kelestarian hutan kota, tidak hanya di UI namun di seluruh wilayah Indonesia.
SIMPULAN Berdasarkan uraian dijabarkan sebelumnya terhadap permasalahan yang diangkat, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Hutan kota dapat dimanfaatkan bagi kepentingan di luar fungsi konservasi selama kepentingan tersebut tergolong sebagai kepentingan yang disebutkan oleh pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang mengatur mengenai pemanfaatan hutan kota, dan pemanfaatan tersebut tidak mengganggu fungsi dan tujuan dari hutan kota tersebut. Keabsahan pemanfaatan kota ditentukan berdasarkan peruntukan pemanfaatan, serta tujuan dan fungsi hutan kota yang tetap terjaga. Dengan kata lain, pemanfaatan di luar kepentingan-kepentingan yang telah disebutkan dalam pasal tersebut dapat dipertanyakan legalitas/keabsahannya, terutama bila pemanfaatan tersebut juga mengurangi/mengganggu tujuan dan fungsi dari hutan kota tersebut; 2. Pengaturan pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi di Indonesia saat ini telah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, serta Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Selain peraturan perundang-undangan, pemanfaatan hutan kota untuk Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
22
kepentingan di luar fungsi konservasi pun dapat diatur dalam peraturan lainnya seperti kontrak dan SK Pejabat TUN; dan 3. Pembangunan IFC UI tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait pemanfaatan hutan kota bagi kepentingan di luar fungsi konservasi, hal ini dikarenakan beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah dilanggar. Sehingga apat disimpulkan bahwa meskipun pembangunan IFC UI telah disetujui oleh berbagai pihak yang berwenang memberikan izin, pembangunan IFC UI tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
karena
melanggar
pasal-pasal
dalam
peraturan
perundangan-undangan yang terkait pemanfaatan hutan kota untuk kepentingan di luar fungsi konservasi. Hal ini tentu menjadi catatan dan pembelajaran bagi para stakeholder bidang kehutanan dan UI agar lebih menunjukan komitmen untuk menjaga keberadaan dan kelestarian hutan kota, tidak hanya di UI namun di seluruh wilayah Indonesia.
SARAN Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mencoba memberikan saran sebagai alternatif atau jalan keluar, di antaranya: 1. Dalam menjaga keberadaan dan kelestarian hutan kota serta pemenuhan jumlah minimal RTH, Pemda selaku otoritas yang memiliki kewenangan pengelolaan atas hutan kota diharapkan memiliki ketegasan dan komitmen yang baik. Hal ini dibutuhkan untuk terjaminnya keberadaan dan kelestarian hutan kota, karena bagaimanapun hal tersebut tergantung kepada Pemda itu sendiri; 2. Partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan, karena hutan kota adalah kebutuhan masyarakat bersama, keberadaan dan kelestarian hutan kota akan berjalan seiring dengan kualitas hidup masyarakatnya. Masyarakat pun harus kritis dan mengawasi segala kebijakan Pemda terkait hutan kota dan RTH, agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya. Kesadaran diri masyarakat tentang kebutuhannya akan hutan kota dan RTH mutlak diperlukan agar dapat dicapai sebuah kota yang ideal, manusiawi, nyaman, dan menunjang kebutuhan seluruh pihak; 3. Pihak UI selaku institusi pendidikan yang di wilayahnya terdapat hutan kota harus lebih menunjukan kepedulian dan komitmen terhadap keberadaan dan kelestarian hutan kota UI. Alangkah baiknya apabila hutan kota UI hanya dipergunakan bagi kebutuhan di Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
23
bidang pendidikan dan penelitian. Selain itu, Rektor UI pun diharapkan dapat membuat suatu peraturan yang tegas untuk melindungi hutan kota UI, hal ini diperlukan agar pembangunan yang dilakukan UI dan juga kegiatan-kegiatan yang melibatkan hutan kota UI tidak sampai mengganggu keberadaan, kelestarian, fungsi, dan juga peruntukan hutan kota UI; dan 4. IFC UI yang telah terlanjur dibangun di atas hutan kota UI sebaiknya memiliki fungsi lingkungan yang lebih baik lagi, tidak hanya untuk kepentingan finansial semata, namun juga dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan sebagai ganti atas daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berkurang karenanya.
KEPUSTAKAAN A. Buku Kartodihadjo, Hariadi. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan Indonesia: Intervensi IMF dan World Bank dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan. Bogor : Pustaka Latin, 1999. Purnama, Boen M. Informasi Umum Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan RI, 2002. Arief, Arifin. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Dahlan, Endes N. Hutan Kota: Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 1992. Noerzaman, Achmad. Arsitektur 4D: 72 Karya + 10 Sayembara Arsitektur Universitas Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2011. Baja, Sumbangan. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah – Pendekatan Spasial & Aplikasinya. Yogyakarta: Andi, 2012.
B. . Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. LN Nomor 167 Tahun 1999. TLN Nomor 3888.
Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.
24
________. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. LN Nomor 68 Tahun 2007. TLN Nomor 4725. ________. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN Nomor 160 Tahun 2009. TLN Nomor 5079. ________. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. LN Nomor 119 Tahun 2002. TLN Nomor 4242. Presiden. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. DKI Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. LD Nomor 1 Tahun 2012. TLD Nomor 30.
C. Artikel/Makalah/Jurnal/Disertasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Akhir Masa Jabatan Tahun 2007 – 2012. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2012. Waryono, Tarsoen. Konsepsi Dasar Perencanaan Pembangunan Mahkota Hijau Hutan Kota Universitas Indonesia. Jakarta. Setiawan, M. Helwin. “Kajian Daya Tampung Ruang Untuk Pemanfaatan Lahan Kota Tarakan.” Skripsi Universitas Diponegoro. Semarang, 2004.
Universitas Indonesia
Pemanfaatan hutan..., Egayudha Gustav Maulana, FH UI, 2013.