1
MENGIDENTIFIKASI AKAR MASALAH DAN POLA KONFLIK PERWAKAFAN DI KABUPATEN PONOROGO Oleh: Miftahul Huda Abstrak This research focuses on the legal conflict of endowment (waqaf), property donated for religious use. It deals with two problems namely, first, what kind of legal conflict of waqaf occured in Sakinah Village Foundation of ponorogo? And second, what is the pattern and the mode of the legal conflict of endowment? A case study research was applied to figure out the the answer of the questions. The research findings show that the conflict root of the legal conflict of endowment in Sakinah Village-Mawaddah 3 is the differences in terms of understanding on waqif and the endowment law, the internal problems within the nazhir, and the unfinished or uncertain status of the land endowment. Meanwhile, the pattern and the mode of the legal conflict of endowment within the Sakinah Village Foundation is miscommunication pattern between the nazhir and the waqif, the unprofessional of nazhir, in term of capacity and institution, in managing the endowment, and the unclear normative pattern of the endowment status. Those three patterns of endowment conflict is due to the interest conflict mode in ’usurping and manageing the endowment asset’ between the waqif and the nazhir.
Keywords: Conflict. endowment, mauqûf ‘alaih, wâkif, sakinah village foundation. A. PENDAHULUAN Institusi wakaf memiliki akar teologis yang kuat. Al-Qur‟an, meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, jelas mengajarkan urgensitas kedermawanan sosial untuk berbagai tujuan yang baik.1 Hadis Nabi dan praktik Sahabat menunjukkan bahwa wakaf sesungguhnya bagian dari inti ajaran Islam. Namun dalam perkembangannya, institusi wakaf tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, ekonomi, budaya yang mengiringi perkembangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Wakaf dalam bentuk yang sederhana telah dipraktikkan para sahabat atas petunjuk Nabi. Salah satu riwayat yang menjadi dasar praktik wakaf pada masa awal Islam adalah Hadis Ibn Umar. Hadis ini mengisahkan ‟Umar Ibn Khaththab yang mendapatkan sebidang lahan di daerah subur Khaibar dekat Makkah. ‟Umar yang hendak bersedekah dengan lahan ini menanyakan kepada Nabi perihal niatnya tersebut, dan Nabi bersabda, ”jika engkau bersedia tahan asalnya dan sedekahkan hasilnya”.2
Dosen Jurusan Syariah STAIN Ponorogo, Jl. Pramuka 156 Ponorogo, email:
[email protected]/ HP. 085649061953. 1 Dalam Al-Qur‟an, ”wakaf” dimaknai sebagai suatu perbuatan berderma sejatinya merupakan bagian dari esensi philantropi seperti konsep khair (al-Hajj, 22: 77), konsep infaq (alBaqarah, 2: 267) dan birr (Ali ‟Imran, 3: 97). 2 Diriwayatkan dengan berbagai redaksi yang hampir sama oleh Bukhâriî (1987:II/840), Muslim (III: 1255-1256), Tirmizî (II: 417, Abu Dawud (III: 116-117, Ibnu Mâjah (II: 801) dan Nasaî (1420 H:VI/230-232), lebih lengkapnya lihat al Bahqî (2006:31), adapun redaksinya adalah:
2
Ungkapan Nabi di atas pada gilirannya menjadi landasan normatif dan doktrinal wakaf. Hadis itulah kemudian menjadi inti atau substansi definisi wakaf yaitu menahan asal dan mengalirkan hasilnya.3 Adapun pemilihan makna ini, Al-Kabisi mengungkapkan argumentasinya: pertama, makna wakaf di atas langsung dikutip dari hadis Nabi kepada ‟Umar. Nabi adalah orang yang paling benar ucapannya dan yang paling sempurna penjelasannya dan yang paling mengerti akan sabdanya. Kedua, pemaknaan ini tidak ditentang oleh pendapat berbagai madhhab fiqh. Dan ketiga, makna ini hanya membatasi pada hakikat wakaf saja dan tidak mengandung perincian yang dapat mencakup definisi lain, seperti niat taqarrub kepada Allah, status kepemilikan, konteks waktu dan sebagainya.4 Landasan hadis ini melahirkan minimal lima prinsip umum yang membentuk kerangka konsepsual dan praktik wakaf. Pertama, bahwa kedudukan wakaf sebagai sedekah sunnah yang berbeda dengan zakat. Kedua, kelanggengan aset wakaf, sehingga harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan maupun disumbangkan. Ketiga, keniscayaan aset wakaf untuk dikelola secara produktif. Keempat, keharuskan menyedekahkan hasil wakaf untuk berbagai tujuan yang baik. Kelima, diperbolehkannya nazhir wakaf mendapatkan bagian yang wajar dari hasil wakaf5. Di antara sengketa yang terjadi dalam dunia perwakafan, pemicunya antara lain adalah minimnya pengetahuan mengenai konsep “keabadian” harta yang diwakafkan, adakalanya karena hilangnya kesadaran spiritual/keikhlasan dalam konteks pemberian harta tersebut, meskipun dirinya memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup dan lainnya, yang berakibat hilangnya aset wakaf karena tidak terdokumentasikannya harta wakaf secara akurat juga karena ketidakprofesionalan nadhir dalam mengelola aset wakaf sehingga tidak produktif.6 Asumsi di atas terlihat muncul di masyarakat seperti yang terjadi di beberapa Kecamatan di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Berbagai kasus muncul seperti yang dipaparkan oleh Kasie Zakat dan Wakaf Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ponorogo, banyak sekali muncul sengketa wakaf karena berbagai hal. Misalnya di kecamatan Babadan adanya sengketa wakaf akibat adanya tukar guling tanah wakaf, kecamatan Jenangan adanya tanah wakaf yang berpindah hak milik menjadi hak pribadi dan di kecamatan Mlarak dan Sukorejo adanya sengketa antara nadhir/pengelola wakaf dengan أن عمر ثه: حدثىب قتٍجة ثه سعٍد حدثىب محمد ثه عجد هللا األوصبري حدثىب اثه عُن قبل أوجأوً وبفع عه اثه عمر رضً هللا عىٍمب الخطبة أصبة أرضب ثخٍجر فأتى الىجً صلى هللا علًٍ َ سلم ٌستأمري فٍٍب فقبل ٌب رسُل هللا إوً أصجت أرضب ثخٍجر لم أصت مبال قط أوفس ً قبل فتصدق ثٍب عمر أوً ال ٌجبع َال ٌٌُت َال ٌُرث َتصدق ثٍب ف. ) عىدي مىً فمب تأمر ثً ؟ قبل ( إن شئت حجست أصلٍب َتصدقت ثٍب قبل. الفقراء َفً القرثى َفً الرقبة َفً سجٍل هللا َاثه السجٍل َالضٍف ال جىبح على مه َلٍٍب أن ٌأكل مىٍب ثبلمعرَف ٌَطعم غٍر متمُل فحدثت ثً اثه سٍرٌه فقبل غٍر متأثل مبال 3 Perdebatan definisi wakaf dalam konteks mazdhab fiqh lihat Al Kabisi Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), (Jakarta: IIMaN Press, 2004), h. 37-62. 4 Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), (Jakarta: IIMaN Press, 2004). 61-62 5 A Tuti Nadjib & Ridwal Al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, (Jakarta: CSRS UIN Jakarta, 2006), h. 60. 6 Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, 6 April 2009.
3
wakif/pemberi harta wakaf. Sampai saat ini, sengketa-sengketa tersebut dalam upaya mencari solusi dan masih banyak lagi sengketa yang lain. Dalam observasi peneliti muncul juga kasus sengketa wakaf yang sangat rumit seperti akuisisi tanah wakaf sebuah pesantren yang berpindah menjadi hak milik keluarga tertentu serta kasus sengketa yang pernah terjadi yaitu perebutan tanah wakaf yang sudah berbentuk pesantren dan madrasah “Al-Mawaddah III/Sakinah Village” yang sampai sekarang masih bermasalah. Begitu juga kasus harta wakaf dalam bentuk gedung kantor NU Babadan yang sampai sekarang masih dalam proses penyelesaian. Berbagai hal tentang sengketa wakaf menjadi penting untuk dikaji, mengingat status wakaf sejatinya adalah milik masyarakat umum atau dalam istilah madhab Syafi‟iyah sudah milik Tuhan. Selain itu juga sengketa wakaf menyebabkan perpecahan antara masyarakat dalam mengelola harta “Tuhan” ini. Di sisi yang bersamaan upaya-upaya untuk mencari solusi juga masih dalam proses yang lambat. Hal ini diakibatkan adanya akar maslaah dan pola konflik wakaf yang belum terpetakan dan terpolakan dengan optimal. Penelitian ini merupakana penelitian lapangan yang mengambil lokasi di Yayasan Sakinah Village Babadan Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Dalam observasi awal, peneliti melihat kasus sengketa wakaf seperti diawali ketidakjelasan status tanah wakaf dan keinginan wakif untuk membatalkan ikrar wakaf yang sudah dilakukannya menjadi penting untuk dikaji. Apalagi potensi aset wakaf yang besar dan kemanfaatannya bagi maukuf „alaih. Dari berbagai deskripsi di atas, maka penelitian ini berupaya menjawab permasalahan sebagai berikut: 1) Sengketa-sengketa wakaf seperti apakah yang muncul dan terjadi di Yayasan Sakinah Village Babadan Ponorogo? Mengapa/apa penyebab terjadi sengketa wakaf tersebut? 2) Bagaimana bentuk, pola atau modus terjadinya sengketa wakaf tersebut?. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi sengketa-sengketa perwakafan yang terjadi di Yayasan Sakinah Village Babadan Ponorogo berikut menggali akar masalah/penyebab terjadinya sengketa wakaf, dan 2) memetakan polanya (pelibatan aktor/kelompoknya, bentuk dan modus sengketa wakaf tersebut). Secara umum diharapkan hasil penelitian nanti dapat membantu memahami akar masalah dan pola sengketa-sengketa perwakafan. Bukan hanya itu, hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam mencari solusi dalam proses mencari jalan keluar pemecahan sengketa wakaf dan sekaligus mengantisipasinya. B. KAJIAN TEORI 1. Memahami wakaf Kata wakaf berasal dari bahasa Arab, dari akar kata wa-qa-fa berarti menahan, berhenti, diam di tempat atau berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan semakna dengan kata habasa-yahbisu-tahbisan yang maknanya terhalang untuk menggunakan. Kata waqf berarti menahan harta untuk diwakafkan dan tidak dipindahmilikkan. Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya.
4
Ibn Abidin juga meriwayatkan dari Abu Hanifah yang berpendapat bahwa wakaf dengan:
اْب ِن َح ل ْب ِن ِن ْب ِن اْب اِن ِن الَح ُّد ُس ِن اْب ْبْن َح ِن اَح ِناْب َح ِن َح ْب ُس َح ْب َح َح َح َح َح ْب ُس ْب َح ُس َح
Menahan substansi harta dengan memberikan legalitas hukum pada kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaat harta tersebut, meskipun secara global.7 Jika kita analisis, Ibn Abidin telah menambahkan kata hukm (legalitas hukum) setelah kata ‘ala (pada) dan menambahkan kata wa lau bi al-jumlah (meskipun secara global). Ia sengaja memberikan tambahan kata dalam definisi tersebut, agar definisi ini bisa beralih pada pengertian wakaf yang lazim (semestinya). Kata hukm yang ada dalam definisi di atas maksudnya adalah jika wakaf sudah menjadi pasti maka secara otomatis wakaf sudah beralih kepemilikannya dari wakif. Sementara Al-Hatab menyebutkan definisi Ibn „Arafah al-Maliki yang mengatakan bahwa wakaf adalah:
ط ه ا تق ير
ش ئ ة ج ده الز ق ؤه فل
طء
Memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya sesuatu yang diwakafkan pada pemiliknya, meskipun hanya perkiraan.8 Penyebutan kalimat „memberikan manfaat‟ maksudnya mengecualikan pemberian barang, seperti hibah. Karena orang yang berhibah memberikan barang kepada orang yang dihibahi. Kalimat „sesuatu‟ maksudnya selain manfaat uang atau yang diuangkan, karena sesuatu itu cakupannya lebih umum, hanya saja dikhususkan dengan definisi tetapnya kepemilikan. Kalimat „batas waktu keberadaannya‟ adalah kalimat penjelas untuk sesuatu yang dipinjamkan dan sesuatu yang dikelola. Hal itu karena orang yang meminjamkan berhak untuk menarik barang yang dipinjamkan. Imam Nawawi dalam kitab Tahrir al-Faz at-Tanbih yang bermadzhab Syafi„i mendefinisikan wakaf sebagai:
ٍلا ي ِن ْبِنال ْبلِن َح اُس ِن ِنه ْن َحق ِنء َح ِن ِنه قط ِن ال ِن تَح رر ف ِنه ال ا ر,رر فل ا ِنله َح ْب َح َح َح َح ْب ُس َح ُس ْب ُس تقرً ال هلل ت ال Penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata dan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.9
Definisi ini mempertegas terlepasnya harta dari kepemilikan wakif, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan demi kebaikan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.” 7 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Hafsaki, ad-Dûr al-Mukhtar, (Mesir: alUtsmaniyah., 1326 H), h. 493. 8 Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hatab, Mawahib al-Jalil, (Mesir: Dar as-Sa‟adah, jilid 6, cet. I., 1329 H), h. 18. 9 Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj, (Cairo: Penerbit Mustafa Muhammad., tt.), h. 464.
5
Sedangkan menurut Ibn Qudamah, salah seorang ulama Hanabilah, wakaf adalah:
تت ْب ُس الصل تس ل اث رة َح
Menahan yang asal dan memberikan hasilnya.10 Syamsuddin al-Maqdisi al-Hanbali mendefinisikan wakaf dengan:
تت ْب ُس الصل تس ل ا َح
Menahan yang asal dan memberikan manfaatnya. Definisi wakaf yang dikemukakan oleh ulama Hanabilah ini berasal dari hadits Nabi Saw. kepada Umar bin Khatab ra., “Tahanlah asalnya dan alirkanlah hasilnya.” Maksud dari kata “asal” adalah barang yang diwakafkan dan maksud dari kalimat “mengalirkan manfaat” adalah memberikan manfaat barang yang diwakafkan, berupa keuntungan dan hasilnya, untuk kemaslahatan umat. Al-Kabisi memberikan analisis terhadap definisi ini: pertama, definisi ini tidak menyebutkan orang yang akan mengurusi kepemilikan harta wakaf setelah diwakafkan. Kedua, definisi ini tidak memuat tambahan definisi yang lain secara rinci, seperti syarat mendekatkan diri kepada Allah, atau tetapnya kepemilikan wakif, atau keluarnya wakif dari kepemilikannya dan perincian lainnya.11 Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf menurut fiqh ada 4 (empat) macam, yaitu (1) waqif (orang yang mewakafkan), (2) Mauquf ‘alaih (pihak yang diserahi wakaf), (3) Mauquf (harta yang diwakafkan), (4) Shighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan).12 2. Teori-teori Konflik a. Definisi konflik Konflik berasal dari kata kerja configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompol dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.13 Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalan suatu interaksi. Perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individu dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakatpun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan akan hilangnya masyarakat itu sendiri.14 Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang 10 Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Ibn Qudamah, al-Mughni, (Mesir: Dar al-Manar, 1348 H), h. 185. 11 Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf , (Jakarta: IIMaN Press, 2004), h. 60. 12 Asy-Syarbini (t.t.). Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Mushthafa Halabi), II/376. 13 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: Pustaka Margareta, 2012), h. 29. 14 Ibid.
6
terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut pandang yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik. Namun, di antara makna-makna yang berbeda itu tampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status dan budaya.15 Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga memengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.16 b. Sebab, Jenis dan Tahapan Konflik Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya. Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. Selain komunikasi yang buruk, struktur juga dapat menjadi penyebab timbulnya konflik. Istilah struktur dalarn konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.17 Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.18 Menurut Kreps, konflik berupa penyebab utama senantiasa berpusat pada keyakinan atas tujuan yang ingin dicapai alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Pertama, persaingan terhadap sumber-sumber daya yang langka. Setiap divisi
Solihan, “Memahami Konflik”, dalam M. Mukhsin Jamil, Mengelola Konflik Membangun Damai, (Semarang: WMC IAIN Walisongo, 2007), h. 3-4. 16 Ibid., h. 30. 17 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan..., h. 39. 18 Ibid., h. 40. 15
7
dalam organisasi akan berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian dari alokasi sumber-sumber daya yang ada.19 Kedua, ketergantungan tugas (interdependence). Dalam organisasi sudah pasti adanya ketergantungan antara dua individu atau kelompok untuk mencapai kesuksesan dalam tugas-tugasnya. Apabila di antara dua pihak ini ada perbedaan prioritas, kemungkinan munculnya konflik akan semakin besar. Konflik ini biasanya muncul antara dua departemen yang saling bergantung dan sangat terspesialisasi.20 Ketiga, kekaburan batas-batas bidang kerja. Konflik sangat mungkin muncul apabila bidang kerja dalam organisasi tidak jelas. Hal ini akan menciptakan suatu kondisi dimana ada seseorang yang mendominasi dalam bagiannya. Keempat, kriteria kinerja yang tidak sesuai. Konflik semacam ini disebabkan oleh adanya imbalan atas kemajuan suatu divisi oleh perusahaan. Kelima, perbedaan-perbedaan tujuan dan prioritas. Konflik juga bisa disebabkan oleh adanya usaha-usaha masing- masing sub unit untuk mencapai tujuannya masing-masing. Hal ini bisa tumbuh menjadi konflik apabila ada ketidaksesuaian antara tujuan masing-masing, bahkan usaha pencapaian tujuan suatu sub unit dapat menghalangi sub unit lain dalam mencapai tujuannya. Konflik banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokkan berdasarkan latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam konflik, dan substansi konflik. Misalnya konflik dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah orang yang terlibat konflik, yaitu konflik personal dan konflik interpersonal.21 Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada atau karena mempunyai kepribadian ganda. Konflik ini terdiri atas, antara lain sebagai berikut.22 (1) Konflik pendekatan ke pendekatan (approach to aproach conflict). Konflik yang terjadi karena harus memilih dua alternatif yang berbeda, tetapi sama-sama menarik atau sama baik kualitasnya. Sebagai contoh, seorang lulusan SMA yang akan melanjutkan sekolah harus memilih dua universitas negeri yang sama kualitasnya. (2) Konflik menghindar ke menghindar (avoidance to avoidance conflict). Konflik yang terjadi karena harus memilih alternatif yang sama-sama harus dihindari. Sebagai contoh, seseorang harus memilih apakah harus menjual mobil untuk melanjutkan sekolah atau tidak menjual mobil, tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah. (3) Konflik pendekatan ke menghindar (approach to avoidance conflict). Konflik yang terjadi karena seseorang mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang sama. Sebagai contoh, Amin mengambil telepon untuk menyatakan cintanya kepada Aminah. Akan tetapi, ia takut Ibid., h. 41. Ibid., h. 42. 21 Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 19 20
10-13. 22
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik..., h. 55.
8
cintanya ditolak. Oleh karena itu, ia tutup kembali teleponnya. Konflik personal juga bisa terjadi pada diri seseorang yang mempunyai kepribadian ganda. Ia adalah seseorang yang munafik dan melakukan sesuatu yang berbeda antara perkataan dan perbuatan. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang mengampanyekan demokratisasi dalam semua bidang kehidupan dan mendirikan organisasi forum demokrasi. Namun, dalam memimpin partai yang dipimpinnya, ia bertindak dengan cara otokratis, tidak dengan cara demokratis yang telah ia ajarkan. Di dalam sebuah organisasi, tahapan-tahapan terjadinya konflik dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, konflik yang bersifat laten. Konflik yang terjadi tidak seketika, tetapi potensi untuk muncurnya konflik dalam organisasi tetap ada, yaitu bersifat laten, oleh karena organisasi itu sendiri. Kedua, konflik yang dipersepsikan. Tahap kedua dari konflik terjadi ketika suatu kelompok atau sub unit menganggap atau mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh tindakan dari kelompok yang lain. Ketiga, konflik yang dirasakan. Pada tahap ini kelompok yang sedang mengalami konflik dengan cepat mengembangkan tanggapan emosional ke arah satu sama lainnya. Khususnya, sub unit yang memiliki hubungan dekat dan mengembangkan suatu pertentangan secara mental dan menyalahkan sub unit atau kelompok yang lain. Keempat, konflik yang dimanifestasikan. Tahap keempat dari konflik dapat terjadi jika suatu sub unit kembali mencoba untuk menghalangi tujuan dari subunit yang lainnya. Wujud dari konflik pada tahap keempat ini bisa bermacam-macam. Agresi secara terbuka antar kelompok yang mengalami konflik adalah yang paling sering terjadi. Kelima, ekor konflik. Setiap tahapan dari konflik meninggalkan suatu buntut konflik yang berpengaruh terhadap cara masing-masing kelompok bereaksi terhadap konflik yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Jika konflik dapat dipecahkan sebelum mencapai tahap konflik manifestasi, maka buntut konflik akan meningkatkan hubungan kerja yang baik di masa yang akan datang.23 C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Profil Yayasan Pesantren Sakinah Village Babadan Ponorogo Pesantren Terpadu Al-Mawaddah 3, as-Sakinah Village dengan lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Pertama Islam Terapadu (SMPIT ) dan Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) yang berlokasi di jalan Raya Ponorogo-Madiun, Babadan Ponorogo merupakan pengembangan dari pesantren putri Al-Mawaddah yang berlokasi di desa Coper Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. 24 Langkah strategis yang di tempuh Yayasan Al-Arham membuka Lembaga pendidikan formal SMPIT dan SMAIT dikampus Al-Mawaddah-3, Karena sejauh ini belum ada SMP dan SMA yang berbasis pesantren di Ponorogo. harapan ini bertujuan memberikan keseimbangan kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama yang ideal yang ditunjang dengan kemampuan berbahasa internasional, Bahasa Inggris dan Arab. Dengan cara 23 24
Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan..., h. 45-46. Lihat website www.assakinah village.com. diakses 5 September 2012.
9
terintergrasi secara utuh sehingga membua peluang selebar-lebarnya untuk mengembangkan potensi dan prestasi. Pesantren dengan segala kekhasannya sebagai salah satu lembaga pendidikan yang ada di Indonesia akhirnya menjadi solutif dunia pendidikan. Karena itulah, Pesantren akhirnya dituntut dapat memberikan solusi dan menjawab tantangan degradasi moral yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini. Pesantren harus mampu melahirkan sosok generasi bangsa yang kuat dan taat dengan nilai-nilai agama dan budaya ketimuran, sehingga diharapkan dapat mewarnai serta memberikan corak tersendiri di tengah-tengah silang sengkarutnya umat ini. Melihat kenyataan tersebut, Yayasan Al-Arham pesantren putri AlMawaddah berusaha tampil ke depan dengan mempelopori dan membidani “Kelahiran Kembali“ pola kehidupan pesantren sebagaimana awal mula kelahirannya, yang akan di kemas dalam bentuk inovatif, representatif dan progresif. Pendirian pesantren ini dikemas dengan tanpa harus kehilangan jati dan nilai (Value) yang menjadi landasan filosofinya, yaitu dalam bentuk sebuah lembaga pendidikan Al-Mawaddah 3 Pesantren Terpadu “Al-Mawaddah AsSakinah Village“ - Al-Mawaddah 3. Lembaga Pendidikan yang di bangun di atas tanah wakaf dari Bapak Dr.H. Sedadi Effendi, SpOG, seluas lebih dari 2 hektar. Pesantren ini berlokasi di, Jl.Raya Ponorogo-Madiun Babadan Ponorogo, di sebelah utara terminal Seloaji Ponorogo.25 Pada awalnya yayasan Sakinah Village mengikuti yayasan al-Arham yang terjun dalam bidang pendidikan Islam dan pesantren. Khususnya ketika pengelolaan wakaf di Sakinah Village dalam bentuk adanya SMPIT sekaligus model kepengasuhan santri mengikuti Pesantren Al-Mawaddah Putri Coper Ponorogo. Mengikuti model pesantren Al-Mawaddah ini, tak terelakkan karena memang secara brand image Al-Mawaddah sudah bisa diterima oleh masyarakat luas. Di sisi yang lain, upaya untuk mengembangkan yayasan Sakinah Village mengikuti model Al-Mawaddah, karena mayoritas pengelolanya adalah memang berasal dari mawaddah. Upaya ini secara praksis dilakukan sekaligus dengan menamakan pesantren di Babadan dengan Mawaddah 3. Secara singkat sekitar tahun 2004, ada upaya dari pengasuh pesantren putri Al-Mawaddah untuk mengembangkan pesantren dengan mendirikan pesantren yang lebih dekat dengan kota Ponorogo dan mempunyai akses lebih cepat menuju kota Ponorogo serta akses antar kota misalnya Madiun yang lebih cepat. Seiring dengan keinginan tersebut salah satu penagsuh pesantren Al Mawaddah bertemu dengan calon wakif yang merupakan seorang dokter kaya yang mempunyai sebidang tanah luas dan ingin mewakafkannya. Singkat cerita terjadilah pertemuan untuk mengembangkan tanah wakaf dan pada tahun 2004, mulai dibangun beberapa fasilitas untuk pengembangan pesantren dan sekolah Islam. Akhirnya pada tahun 2005, terbentuklah pengelolaan pesantren mawaddah 3 dengan menerima siswa untuk program SMPIT sekaligus nyantri di dalam pesantren. 2. Akar Masalah atas Konflik Wakaf
25
Ibid.
10
Terjadinya sebuah konflik disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai faktor penyebab konflik itu dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu: l). Trigers (pemicu): peristiwa yang memicu sebuah konflik namun tidak diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri. 2). Faktor inti atau penyebab dasar: terletak pada akar konflik yang perlu ditangani supaya pada akhirnya dapat mengatasi konflik. 3). Mobilizing factors (faktor yang memobilisasi): rnasalah-masalah yang memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan. 4). Faktor yang memperburuk: faktor yang memberikan tambahan pada mobilizing Factor; namun tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri.26 Dari informasi dan penjelasan para informan, akar masalah munculnya konflik wakaf pada yayasan Sakinah village adalah sebagai berikut: a. Pemahaman Wakif Secara spesifik, pemahaman wakif ini mengenai dua hal, 1) ia mengatakan bahwa wakaf sebenarnya tidak disyariatkan oleh Al-Qur‟an. Artinya didalam Al-Qur‟an wakaf tidak dikenal, sehingga tidak perlu melakukan institusi wakaf. 2), bahwa ikrar wakaf yang sudah dilakukan oleh wakif bisa dibatalkan.27 Dalam perihal kedua ini sangat jelas bertentangan dengan UU Wakaf No 41 tahun 2004, pasal 3, bahwa ikrar wakaf yang sudah dilaksanakan tidak dapat dibatalkan kembali. Kedua pemahaman wakif ini sejatinya menjadi akar munculnya konflik atau sengketa wakaf khususnya pada fase ketiga. b. Internal Nazhir Sebagaimana diketahui, peran nazhir atau pengelola wakaf sangatlah penting. Keberhasilan pengelolaan aset wakaf sangat tergantung dengan nazhir ini. Karenanya, penguatan kapasitas dan kelembagaan nazhir sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan wakaf. Di sisi yang bersamaan, nazhir harus bersepakat dan secara kolegial menciptakan pengelolaan wakaf yang produktif dan menghasilkan. Sebaliknya nazhir yang dalam mengurus aset wakaf tidak becus bahkan asal-asalan akan memberikan dampak negative bagi pengembangan aset wakaf selanjutnya. Aset-aset wakaf barangkali akan jauh dari menghasilkan dan memberikan manfaat bagi maukuf „alaih, tetapi sebaliknya berdampak negatif bagi kelembagaan nazhir sendiri yang barangkali berimplikasi pada ketidakmampuan nazhir dalam mengelola. Sehingga yang terjadi adalah nazhir tidak professional, nazhir saling berkonflik dan lain sebagainya. Tampaknya fenomena sebagaimana keterangan di atas juga dialami oleh nazhir pengelola wakaf di yayasan sakinah village/mawaddah 3. Fenomena tersebut khususnya terjadi pada fase konflik pertama dan fase konflik kedua. Persoalan mekanisme kerja atau tatakelola wakaf yang masih bersifat konservatif dan didominasi oleh figur-figur tertentu menyebabkan ketidakharmonisan para nazhir dalam mengelola wakaf. Perihal ini terlihat 26 Lihat Gunaryo, Ahmad., “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, (Semarang: WMC Walisongo, 2007). 27 Sudadi Efendi, Hasil Wawancara, 5 Agustus 2012.
11
adanya dominasi figur tertentu dalam penentuan kebijakan pengelolaan aset dan pengembangan sekolah pesantren.28 Faktor lainnya adalah adanya kepentingan keluarga yang bersifat internal memasuki dan mempengaruhi kepentingan pengelolaan wakaf. Hal ini disebabkan status figur tersebut sangat penting dan berpengaruh dalam pengelolaan wakaf. Sehingga ketika figur berpengaruh tersebut terjadi masalah maka masalah tersebut merembet kepada pengelolaan wakaf.29 Faktor berikutnya dalam konteks masalah internal nazhir adalah tidak adanya pembagian yang “dianggap adil” dalam pengelolaan wakaf, sehingga ada perasaan iri dan tidak senang. Persoalan ini pada kenyataannya berdampak adanya “pemecatan” salah satu nazhir karena dianggap mengambil keuntungan yang tidak benar.30 Dari beberapa faktor diatas menunjukkan kekurangprofesionalan nazhir dalam mengelola wakaf. c. Status Tanah Persoalan status tanah atau aset wakaf menjadi persolan yang krusial. Persoalan status tanah wakaf inilah yang menjadi akar muncullah masalah wakaf secara umum. Dari data penelitian ini memperlihatkan bahwa terjadi dualisme status tanah, yaitu, pertama tanah tersebut sudah diwakafkan walaupun belum diformalkan dalam bentuk sertifikat wakaf. Kedua tanah tersebut sejatinya hanya hak pakai untuk pengembangan pendidikan Islam. Kedua dualisme status tanah tersebut ditambah dengan keengganan antara nazhir dan wakif untuk segera melakukan ikrar wakaf dan proses sertifikasi wakaf. Keengganan tersebut karena adanya sikap kepercayaan diantara kedua nazhir dan wakif.31 Seiring berjalannya waktu, ternyata ketika ada upaya nazhir untuk melakukan sertifikasi wakaf ternyata dari pihak wakif menunjukkan keengganannya. Upaya melakukan sertifikasi tanah wakaf dari nazhir tampaknya sudah agak terlambat sekitar 5 tahun dari ketika mengawali proses pengelolaan pendidikan Islam di atas area tanah. Selama 5 tahun itu juga dinamika pengelolaan wakaf semakin berkembang dan mengarah kepada keruwetan.32 Walaupun agak terlambat, nazhir tetap melakukan usaha untuk melakukan sertifilkasi wakaf mengingat adanya kebutuhan pembayaran pajak tiap tahun atas tanah pesantren yang memang belum bersertifikat wakaf. Artinya seandainya sudah bersertifikat wakaf maka pembayaran pajak tidak terjadi, sebab tanah yang berstatus wakaf bebas dari pajak. Nazhir juga sangat berkepentingan melakukan sertifikasi wakaf, sebab untuk pengembangan institusi pendidikan Islam, adanya status tanah berwakaf ternyata memberikan modal dan stimulus yang luar bisa ketika menerima Ibid. Syamsul Arifin, Hasil Wawancara, 28 Juli 2012. 30 Asep, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 31 Miswan, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 32 Ibid. 28 29
12
para donatur dan dermawan untuk mau bersama-sama mengembangkan pesantren, khususnya dari donatur dari luar negeri.33 Secara administratif, nazhir sangat berkepentingan melakukan sertifikasi wakaf sebab ingin mengatahui aset wakaf sesungguhnya berapa luas dan seberapa besar areanya. 3. Pola Konflik Wakaf Yang Terjadi Ada 3 pola konflik wakaf sebagaimana data dari lapangan, yaitu pola mis-komunikasi antara nazhir dan wakif, pola kapasitas nazhir yang tidak professional dan pola ketidakjelasan status tanah. Pola komunikasi yang tidak akur ini terjadi pada ketiga fase konflik. Pada fase pertama pola mis-komunikasi antara nazhir dan wakif disebabkan adanya pihak ketiga yang secara sengaja mencoba memberikan informasi yang salah kepada wakif. Pihak ketiga ini pada awalnya merupakan bagian dari nazhir tetapi berhenti sehingga karena merasakan jengkel dan ingin balas dendam. maka pihak ketiga memberikan informasi yang salah kepada wakif. Akhirnya wakif menerima informasi salah itu apa adanya dan menyebabkan hubungan dan kominikasi antara nazhir dan wakif juga bermasalah.34 Implikasi adanya pola komunikasi yang salah ini, mengakibatkan wakif memaksa nazhir yang mengurusi sesegera mungkin untuk keluar dari komplek pesantren. Adanya pengusiran ini di sisi yang bersamaan mengakibatkan persoalan psikologis yang luar biasa berat bagi seluruh civitas pesantren khususnya bagi pimpinan nazhir.35 Sejatinya pola komunikasi antar nazhir dan wakif pada fase pertama ini sangatlah baik dan produktif sehingga menghasilkan kemajuan dan pengembangan pesantren di atas tanah wakaf. Akan tetapi karena adanya informasi yang salah dan mempengaruhi pandangan wakif sehingga terjadilah hubungan yang tidak sehat yang menyebabkan pengusiran yang terjadi pada awal tahun 2010.36 Pola komunikasi yang tidak sehat juga terjadi dalam fase konflik kedua, dengan aktor yang relatif sama yaitu antara nazhir pengganti dari fase pertama dengan wakif sendiri. Pada awalnya nazhir pada fase kedua ini adalah pihak ketiga yang mempengaruhi wakif sehingga terjadi konflik dengan nazhir pada fase pertama. Pada awal fase kedua ini juga hubungan antara nazhir dan wakif pada awalnya juga sangat harmonis dengan mencoba mengajukan beberapa program baru yang berbeda dengan nazhir pada fase pertama. Nazhir pada fase kedua ini sejatinya juga masih ada hubungan kerabat dengan nazhir pada fase pertama. Nazhir fase kedua ini juga merasa bahwa keberhasilan pengembangan pesantren juga atas andil dari dirinya. Karena itu, ia kelihatannya ingin mengambil keuntungan dalam proses pengelolaan wakaf. Program-program yang dikembangkan sangat populis seperti pemberdayaan guru dan pengasuh,
Ibid. Syamsul Arifin, Hasil Wawancara, 28 Juli 2012. 35 Aminah Sahal, Hasil Wawancara, 5 Juli 2012. 36 Asep, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 33 34
13
peningkatan kegiatan ekstra dan pengembangan peternakan dan pertanian. Program ini ditopang secara finansial oleh wakif.37 Seiring berjalannya waktu, ternyata program ini belum memberikan dampak positif dan buah keberhasilan yang ada malah sebaliknya yaitu penyusutan aset dan manajemen keuangan yang amburadul. Fenomena membuat wakif merasa tidak nyaman dan melakukan mosi tidak percaya terhadap nazhir. Pilihannya silahkan nazhir keluar atau dikeluarkan. Pada pola mis-komunikasi antar nazhir dan wakif pada fase kedua ini berujung keluarnya nazhir dari pengelolaan wakaf.38 Pada pola mis-komunikasi antara nazhir dan wakif juga terjadi pada fase ketiga dan sampai laporan ini ditulis prosesnya masih berlanjut terus. Hubungan diantara nazhir dan wakif pada fase ketiga ini sejatinya sama dengan fase sebelumnya adanya hubungan yang baik di awal perjalanan. Hal ini dibuktikan adanya kesepakatan antara wakif dan nazhir untuk melakukan ikrar wakaf di depan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf) Kantor Urusan Agama Kecamatan Babadan Ponorogo. Ikrar wakaf ini dilakukan oleh nazhir karena ia menyadari bahwa sangat mungkin terjadi kasus sebelumnya disebabkan adanya ketidakjelasan status tanah. Karena itu nazhir pada fase ketiga ini sangat meminta wakif untuk melakukan sertifikasi tanah wakaf dengan didahului adanya ikrar wakaf dari wakif. Ikrar wakaf ini telah dilakukan pada bulan April 2011.39Tetapi pada pertengahan tahun 2012, secara tidak terduga muncul surat permintaan pembatalan ikrar wakaf yang dilakukan oleh wakif.40 Hal ini membuat konflik wakaf juga terjadi pada fase ketiga ini. Dalam konflik yang terjadi di Sakinah Village, sebagaimana yang terlihat dibeberapa nazhir pada umumnya yaitu adanya pola kapasitas dan kemampuan nazhir dalam mengelola wakaf tidak profesional baik secara kelembagaan maupun manajerial. Apalagi dalam sebuah organisasi semisal nazhir (pengelola wakaf) yang bernuansa sosial, adanya gesekan, kebijakan, ketidakadilan dan persoalan gaji menjadi sangat riskan. Hal ini terlihat dari kelembagan nazhir. Walaupun dalam struktur kepengurusan pesantren dan sekolah Islam terpadu sangat lengkap, tetapi dalam konteks kenazhiran masih tergantung kepada beberapa aktor nazhir. Ketika seorang aktor yang sangat berpengaruh dalam kenazhiran memiliki persoalan pribadi tentu persoalan itu sangat mungkin akan berpengaruh dan berdampak kurang baik dalam pengelolaan wakaf. Hal ini terjadi ketika salah satu nazhir terjadi persoalan dalam relasi keluarga sehingga mempengaruhi terhadap pengelolaan wakaf. Persoalan lain adalah ketidakjelasan penggunaan keuangan dan set-aset pendukung atas harta wakaf. Adanya pencampuran keuangan yang tidak tertata rapi menyebabkan pengembangan pesantren di atas tanah wakaf menjadi seakan-akan dimiliki secara pribadi oleh nazhir. Hal ini disebabkan nazhir juga mengelaurkan sejumlah uang yang cukup besar untuk pengembangan pesantren Fathul Hadi, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. Sudadi Effendi, Hasil Wawancara, 5 Agustus 2012. 39 Fathul Hadi, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 40 Ibid. 37 38
14
yang berasal dari kantongnya sendiri secara pribadi maupun dari keluarganya.41 Kenyatan ini menyebabkan ketidakjelasan aset mana yang termasuk milik yayasan bersifat untuk umum dan aset yang dimiliki orang perorang yang bersifat pribadi seperti nazhir. Dampaknya membuat orang lain merasa nanti aset pesantren dimiliki secara pribadi oleh salah satu nazhir. Faktor lain adalah kapasitas nazhir dalam proses pembagian kesejateraan dari hasil pengembangan pesantren. Karena kurang adanya keterbukaan dalam anggaran dan pengeluaran yayasan menyebabkan persoalan-persoalan besar.42 Dari beberapa faktor diatas tampak adanya ketidakprofesionalan nazhir dalam mengelola wakaf. Pola yang ketiga ini tampaknya juga umum terjadi di berbagai nazhir wakaf yaitu belum jelas status tanah wakaf. Rata-rata masih bersifat informal dan penyampaian wakaf dari wakif secara lisan. Ada dua hal penting pola konflik wakaf dalam hal ketidakjelasan status tanah wakaf ini, yaitu proses sertifikasi wakaf yang selalu gagal dan kasus pembatalan ikrar wakaf. Proses sertifikasi wakaf sangat tidak jelas khususnya pada fase pertama. Hal ini disebabkan adanya sifat saling percaya pada aawalnya antar wakif dan nazhir. Tetapi sikap ini ternyata pada akhirnya menimbulkan kasus dan persoalan yang luar biasa. Ketika nazhir meninta wakif untuk melakukan proses sertifikasi ternyata wakif enggan dan menolaknya.43 Sedangkan kasus kedua adalah terjadi pada fase ketiga yaitu adanya pembatalan ikrar wkaf yang sudah diucapkan oleh wakif di depan PPAIW KUA Kecamatan Babadan Ponorogo. Persoalan ini juga tidak kalah pelik karena pandangan wakif yang aganya berbeda dengan pandangan pada umumnya dimana ia mengatakan bahwa institusi wakaf tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur‟an artinya tidak dikenal dalam Al-Qur;an, sehingga seakan-akan ia menolak adanya wakaf ini. Pengajuan pembatalan ikrar wakaf kata wakif disebabkan sudah dilakukan proses wasiat atas tanah wakaf yang dijadikan konflik wakaf.44 Pada sisi yang lain menurut nazhir dan khususnya PPAIW KUA Kecamatan Babadan Kabupaen Ponorogo, ketika ikrar wakaf sudah dilakukan secara cermat bak dari segi normatif hukum maupun prosedurnya maka dikatakan sudah absah. Artinya ketika terjadi ikrar sudah tidak ada masalah yang menganggu artinya sudah sesuai prosedur.45 Kenyataan inilah tampaknya kalau tidak bisa dipertemukan antara nazhir dan wakif, maka persoalan ini sangat mungkin masuk ke meja hijau.46 Apalagi secara normatih hukum wakaf yaitu pasal 3 UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa ikrar wakaf yang sudah dilakukan tidak bisa dibatalkan. 4. Modus Konflik Wakaf
Syamsul Arifin, Hasil Wawancara, 28 Juli 2012. Asep, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 43 Misman, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2012. 44 Sudadi Effendi, Hasil Wawancara, 5 Agustus 2012. 45 Wachid Zainuri, Hasil Wawancara, 10 Agustus 2012. 46 Fathul Hadi, Hasil Wawancara, 3 Agustus 2012. 41 42
15
Dari berbagai penjelasan diatas tampak bahwa modus terjadinya konflik wakaf adalah adanya konflik kepentingan dalam “perebutan” aset tanah yang masih berstatus proses diwakafkan. Konflik kepentingan dalam perebutan aset tanah ini tentu antara nazhir dan wakif. Dan secara lebih spesifik dilakukan oleh wakif. Wakif dari ketiga fase konflik terlihat egaknya enggan untuk melepaskan aset untuk diwakafkan bagi kepentingan sosial masyarakat. Sementara nazhir mencoba secara kukuh ingin melaksanakan salah satu tugasnya yaitu mengembangkan aset wakaf yang diamanatkannya, dengan cara melakukan administrasi aset wakaf, melakukan sertifikasi wakaf dan mengembangkannya.47 Modus kepentingan kepemilikan aset tanah wakaf ini sangatlah wajar. Karena aset tanah wakaf pada yayasan Sakinah Village ini menempati posisi strategis di pinggir jalan propinsi dan sangat dekat dengan fasilitas transportasi umum yaitu terminal Ponorogo. Selain posisinya yang strategis juga karena luas tanah yang sangat besar yaitu hampir 2 hektar. Karena sangatlah wajar masih terjadi tarik menarik dalam proses wakaf ini. D. SIMPULAN Dari berbagai penjelasan diatas, maka penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan: bahwa akar masalah terjadi konflik wakaf di yayasan sakinah village-mawaddah 3 adalah karena persoalan perbedaan pemahaman wakif tentang hukum wakaf disbanding dengan pemahaman pada umumnya, internal nazhir yang tidak solid, dan proses status tanah wakaf yang belum terselesaikan. Sedangkan pola/bentuk sengketa atau konflik wakaf yang terjadi di yayasan sakinah village adalah adanya pola mis-komunikasi antara nazhir dan wakif, pola ketidakprofesionalan institusi nazhir baik secara kapasitas maupun kelembagaan dalam mengelola wakaf dan pola normatif ketidakjelasan status aset wakaf. Ketiga pola atau bentuk konflik wakaf ini ternyata disebabkan adanya modus konflik kepentingan dalam “perebutan kepemilikan/pengelolaan aset wakaf” antara wakif dan nazhir. Dari hasil penelitian di atas, maka penelitian merekomendasikan: 1. Perlu adanya sosialisasi hukum wakaf bagi masyarakat luas, khususnya stakeholder wakaf seperti calon wakif, nazhir maupun maukuf alaih. Sosialisasi ini bisa dilakukan oleh kantor Kemenag Kabupaten /Kota dan penggiata wakaf dari perguruan tinggi Islam. 2. Perlu adanya penguatan kapasitas nazhir untuk lebih meningkatkan kemampuan dan keprofesionalan nazhir dalam mengelola wakaf. Penguatan kapasitas ini dengan melakukan training, pelatihan dan pemberian stimulus dalam peningkatan pengelolaan wakaf. 3. Perlu adanya penciptaan wakaf produktif yang dapat menghasilkan dan bermanfaat bagi maukuf alaih. 4. Bekerjasama dengan BPN mempercepat proses sertifikasi tanah wakaf.
47
Ibid.
16
5. Mengingat adaya dampak konflik wakaf yang sangat akut maka perlu adanya manajemen konflik untuk dikembangkan dalam institusi wakaf khususnya bagi nazhir. 6. Seandaianya suatu kasus sengketa/konflik wakaf masuk ke dalam peradilan, maka ketegasan hakim dalam memutuskan perkara ini sangat dibutuhkan. Putusan hakim dalam bentuk apapun akan menajdi yurisprudensi bagi kasus konflik wakaf berikutnya. REFERENSI Buku: A Tuti Nadjib & Ridwal Al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, (Jakarta: CSRS UIN Jakarta, 2006). Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, (Semarang: Walisongo Press, 2008). Adijani Al-Alabi, Perwakafan Tanah di Indonesia: Teori dan Praktek, (Jakarta: Rajawali Press, 1989). Ahmad Gunaryo, “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, (Semarang: WMC Walisongo,2007). David Spencer and Michael Brogan, Mediation Law and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006). I Nyoman Nurjana, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Malang: Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Arena Hukum Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Penerbit Universitas Negeri Malang, 2006. Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002). Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008). Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1997). Matthew B Miles & A Michel Huberman, Qualitative Data Analysis, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1994). Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI Press, 1988). Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), (Jakarta: IIMaN Press, 2006). Munzir Qahaf, al-Waqf al-Islami; Tathawwuruhu, Idaratuhu, Tanmiyyatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr Damaskus ,t.t), cet. II. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).
17
Rahmat Djatnika, Wakaf Tanah, (Surabaya: Al Ikhlas, 1982). Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan. (Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2005). Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah. (Lebanon: Dar al-„Arabi, 1997) Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, 6 April 2009. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985). Yusuf Suyono dkk., Wakaf Produktif di Indonesia: Studi atas Pengelolaan Aset Wakaf Pondok Modern Gontor, Hasil Penelitian IAIN Walisongo, 2007. Informan: Asep Fathul Hadi Futihati Romlah Kepala KUA Babadan beserta staf Miswan Siti Aminah Sahal Sudadi Efendi Suwoso Syamsul Arifin Wachid Zainuri