KEYNOTE SPEAKERS 1. Dr. Ir. Kokok Haksono Dyatmiko (Ketua SP4 DIKTI)) 2. Dr. Hendriko, ST, M.Eng (Direktur Politeknik Caltex Riau) 3. H. Teuku Sama Indra, SH (Bupati Aceh Selatan)
REVIEWER: 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Syuhada, M. Sc 2. Prof. Dr. Ir. Khairil, MT 3. Prof. Dr. Ir. Yuwaldi Away 4. Dr. Ir. Marwan 5. Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MLA, MBA 6. Dr. Ir. Taufik Saidi, M. Eng 7. Dr. Ir. HY. Sastra, DEA 8. Dr. M. Ilham Maulana, ST., MT 9. Dr. Ir. Yuhanis, DEA 10. Dr. Khairul Munadi, M. Eng 11. Dr. Taufik Gani, M. Eng.Sc 12. Dr. Abrar Muslim
i
PANITIA PELAKSANA Penanggung jawab
:1. Dr. Muhammad Ilham Maulana, ST, MT 2. Hardisal, ST
Ketua Pelaksana
: Nuzuli Fitriadi, ST, MT
Wakil Ketua
: Darma Setiawan Putra, ST, MT
Bendahara
: Titi Penda, A.md
Koordinator Bidang Kesekretariatan
: Fahmi Junanda, S. Kom
Koordinator Bidang Acara
: Devi Satria Saputra, SE.Ak, M.Si
Koordinator Bidang Prossiding/Dokumentasi
: Miratul Mina Rezky, S. Kom
Koordinator Bidang Transportasi dan Perlengkapan
: Khairuman, S.Kom, M.Kom
Koordinator Bidang Konsumsi
: Hermalinda, MA
Koordinator Bidang Humas
: Asmaidi, S.Pd, M.Si
ii
KATA SAMBUTAN DIREKTUR POLITEKNIK ACEH SELATAN Assalamu’alaikum Wr. Wb. Adalah suatu kebanggaan dan rasa syukur yang tinggi dapat menghimpun dan menyatukan serta menyebarkan berbagai ide, pemikiran dan hasil riset ilmiah maupun pengalaman praktis yang terbaik dari berbagai pakar, praktisi, peneliti, pengusaha dalam suatu kegiatan Ilmiah Seminar Nasional Teknologi dan Rekayasa yang dilaksanakan oleh Politeknik Aceh Selatan (Poltas) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-6 POLTAS dan hari jadi ke 71 Kabupaten Aceh Selatan. Aceh Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang berdiri sejak tahun 1945. Letak dan posisi geografis daerah ini berada di daerah perbatasan terluar yang berbatasan laut dengan negara lain (India, Srilangka dan thailand), serta merupakan jalur lintasan Banda Aceh-Medan wilayah barat, merupakan potensi geografis yang cukup besar. Daerah ini merupakan kawasan yang sangat kaya sumber daya alam, khususnya dalam sektor pertambangan (emas, batubara, granit/marmer, pasir besi dan tembaga). Begitu pula halnya dengan kekayaan alam lainnya dalam sektor perikanan dan perkebunan (ikan karang kualitas eksport, sawit, nilam dan pala) yang juga memiliki potensi sangat besar. Kegiatan Seminar Nasional Teknologi dan Rekayasa (SNTR) III Poltas yang Insya Allah akan diadakan setiap tahun sebagai suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan Tri Darma perguruan tinggi di Politeknik Aceh Selatan. SNTR III ini mengusung tema “Implementasi Teknologi Rekayasa dalam Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Lingkungan”. Melalui kegiatan ini diharapkan lahirnya ide dan kreativitas yang mampu memberikan masukan dan inspirasi bagi pengembangan dunia pendidikan dan pembangunan di Aceh Selatan. Kegiatan ini telah mendapatkan International Standard of Serial Number (ISSN) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 2407-8735. Kami mengahaturkan apresiasi yang amat dalam kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan Seminar Nasional Teknologi dan Rekayasa III Poltas 2016, Kepada Ketua Satuan Pelaksana Pusat Pendirian dan Pengembangan Politeknik Kemenristek DIKTI Bapak Dr. Ir. Kokok Haksono Dyatmiko, Masch.Ing.HTL, MA, Kepada Direktur Politeknik Caltex Riau Bapak Dr. Hendriko, ST, M.Eng dan Moderator Bapak Dr. Said Musnadi, SE, M.Si khususnya kepada Bupati Aceh Selatan Bapak H.T. Sama Indra SH, sehingga kegiatan ini terlaksana dan sukses. Prosiding yang akan dihasilkan di dalam seminar ini diharapkan memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan dalam dunia pendidikan di Aceh. Seperti pepatah: “tiada gading yang tak retak”, dengan segala keterbatasan ilmu dan amal dihadapan Allah SWT, kami memohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan kami, khususnya kepada para peserta dari luar Aceh Selatan atas berbagai kekurangan dalam pelaksanaan SNTR III Poltas 2016. Kami sangat terbuka dan berharap adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan yang lebih signifikan ke depan. Tapaktuan, 17 Desember 2016 Direktur Politeknik Aceh Selatan
Dr. Muhammad Ilham Maulana, ST., MT
iii
KATA SAMBUTAN BUPATI ACEH SELATAN Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada pagi hari ini kita dapat hadir dalam acara Seminar Nasional Teknologi Rekayasa-3 tahun 2016. Kegiatan seminar ini merupakan agenda tahunan dari Politeknik Aceh Selatan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Aceh Selatan ke 71. Pada tahun ini telah hadir bersama kita Ketua Satuan Pelaksana Pusat Pendirian dan Pengembangan Politeknik (SP4) Kemenristek DIKTI Bapak Dr. Ir. Kokok Haksono Dyatmiko, Masch.Ing.HTL, MA, Direktur Politeknik Caltex Riau Bapak Dr. Hendriko, ST, M.Eng sebagai pembicara utama dan Moderator Bapak Dr. Said Musnadi, SE, M.Si. Pada kesempatan yang berbahagia ini, atas nama pemerintah daerah dan masyarakat Aceh Selatan, saya menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Kokok Haksono Dyatmiko, Masch.Ing.HTL, MA, Bapak Dr. Hendriko, ST, dan Bapak Dr. Said Musnadi, SE, M.Si, di Bumi Teuku Cut Ali, Tapaktuan Aceh Selatan. Demikian pula, saya juga sangat bergembira bahwa cukup banyak hadir di dalam Seminar ini para Pakar, Peneliti dari beberapa Perguruan Tinggi dan berbagai instansi/lembaga penelitian serta para Pengambil Kebijakan. Atas nama Bupati Aceh Selatan saya mengucapkan selamat datang dan terimakasih kepada seluruh pemateri pada Seminar Nasional Teknologi Rekayasa-3 tahun 2016. Hadirin yang saya hormati, Tema utama yang diketengahkan dalam seminar nasional ini adalah “Implementasi Teknologi Rekayasa dalam Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Lingkungan”. Tema ini sangat tepat dan relevan dengan kondisi Kabupaten Aceh Selatan yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari hasil tambang, hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan, yang apabila dikelola dengan baik, bijaksana dan berkelanjutan dengan sentuhan teknologi akan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang berujung pada peningkatan taraf hidup masyarakat dan menunjang pembangunan daerah. Namun pada kenyataannya, hasil alam yang berlimpah ini sampai saat ini belum mampu dikelola dengan baik, yang disinyalir disamping disebabkan keterbatasan modal juga ketidakmampuan mengolah hasil alam dengan maksimal, karena kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang siap pakai untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan, Pemda Kabupaten Aceh Selatan berinisiatif mendirikan suatu lembaga pendidikan vokasi (politeknik) yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sumber daya manusia yang siap pakai dan mempunyai kemampuan sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan. Politeknik Aceh Selatan (Poltas) merupakan sebuah institusi pendidikan tinggi berbasis vokasi yang berkedudukan di Tapaktuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Politeknik yang didirikan atas inisiatif dari masyarakat dan Pemerintah Daerah Aceh Selatan yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat ini didirikan pada tanggal 11 November 2010 sesuai dengan Izin Mendiknas RI Nomor 167/D/O/2010, yang dikelola oleh Yayasan Politeknik Aceh Selatan (YAPOLTAS) sesuai dengan SK Menkumham nomor AHU-2962.AH.01.04 Tahun 2010. Sampai saat ini Politeknik Aceh Selatan memiliki 4 (empat) Program studi yaitu Teknik Komputer, Teknik Informatika, Teknik Mesin dan Teknik Industri. Poltas merupakan satu-satunya pendikan vokasi di pantai Barat Selatan Aceh yang terdiri atas 6 daerah tingkat dua (Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Simeulu dan kota Subussalam). Keberadaan Politeknik ini juga memungkinkan untuk diakses oleh Kabupaten tetangga seperti Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, kota di perbatasan Sumatera Utara. Hingga saat ini Politeknik sudah menghasilkan alumni sebanyak 356 orang dan sebagian besar dari mereka sudah mendapatkan pekerjaan baik di industri, perbankan maupun pemerintahan. Sedangkan jumlah mahasiswa aktif Politeknik saat ini sebanyak 322 orang, dan akan terus ditingkatkan daya tampungnya sesuai dengan kebutuhan di daerah. Sampai sat ini telah memiliki 24 dosen berkualifikasi S2 dan 12 orang lainnya sedang melanjutkan pendidikan magister di ITB, ITS, UGM, dan Unsyiah dan akan selesai di tahun 2017. Bersama dengan 2 perguruan tinggi lainnya di Aceh Selatan, yakni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan
iv
Akademi Keperawatan (AKPER) Aceh Selatan, Politeknik Aceh Selatan menjadi ujung tombak pembinaan sumber daya manusia di Kabupaten Aceh Selatan. Kami berharap dengan kedatangan Bapak ketua SP4 Kemenristek Dikti dapat mewujudkan mimpi masyarakat Aceh Selatan untuk memiliki sebuah Politeknik Negeri yang representative. Hal ini tentu saja tidak mampu dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah, namun memerlukan perpanjangan tangan pemerintah pusat demi pemerataan pembangunan pendidikan di Negara yang kita cintai ini. Kami selaku pemerintah daerah akan berkomitmen dan berupaya semaksimal mungkin dalam mendukung dan mendorong percepatan Politeknik Aceh Selatan menjadi Politeknik Negeri yang mandiri. Sampai saat ini Pemerintah daerah telah menyediakan lahan seluas 5 Ha dan akan ditambah menjadi 10 Ha di tahun 2017 serta dimulainya pembangunan gedung Politeknik tahap pertama pada tahun 2017 dengan dana sebesar 4,8 M sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab kami. Hadirin yang saya hormati, Kekayaan alam yang sangat potensial, biji besi, emas, batu marmer dan granit, pala, nilam, sawit, ikan dan lainnya yang kita miliki ini sudah sepantasnya kita hargai sebagai rahmat Allah SWT dan merupakan aset yang tak ternilai yang dititipkan kepada kita untuk dikelola dan dikembangkan untuk memperoleh manfaat maksimal, demi kelangsungan pembangunan dan bekal bagi anak cucu kita di masa yang akan datang. Pemkab Aceh Selatan bekerja sama dengan Politeknik Aceh Selatan secara bertahap melakukan peningkatan nilai terhadap sumber daya alam melalui pemanfaatan teknologi dan mulai mengenalkan serta mengaplikasika teknologi tepat guna yang cocok diterapkan di Kabupaten Aceh Selatan, dengan harapan dapat meningkatkan daya saing (added value) dari produk-produk unggulan di Aceh Selatan. Oleh sebab itu, saya berharap kegiatan Seminar Nasional ini dapat kita jadikan sebagai media untuk membuka wawasan masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan akan pentingnya pembangunan sumber daya manusia dan kemampuan penguasaan teknologi dalam mengelola hasil alam, disamping sebagai ajang sosialisasi dan saling tukar informasi pengalaman bagi para peserta, dalam upaya pengembangan inovasi teknologi melalui riset-riset yang dikembangkan baik di perguruan tinggi maupun instansi lainnya. Kami selaku kepala daerah juga mengucapkan selamat melaksanakan seminar ilmiah kepada para peneliti maupun pakar yang telah berpartisipasi pada seminar ini. Kami sangat senang dan mengucapkan terima kasih, semoga dengan pertemuan ini akan terjadi komunikasi antara pakar dan stakeholder yang ada, sehingga dapat memberikan masukan yang bernilai tambah bagi masyarakat di Aceh Selatan, Propinsi Aceh dan Indonesia pada umumnya. Sekian dan terima kasih Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Bupati Aceh Selatan
H. T. Sama Indra, SH
v
DAFTAR ISI Keynote Speakers
i
Reviewer
i
Panitia Pelaksana
ii
Kata Sambutan Direktur Politeknik Aceh Selatan
iii
Kata Sambutan Bupati Aceh Selatan
iv
Daftar Isi
vi DAFTAR PEMAKALAH
No 1 2
3
4
5
6 7 8
Authors Zulfikar Zulfadhli Muslimsyah Masri Rendra Rusdianto Darwin Khairil Darma Setiawan Putra Adhi Dharma Wibawa Mauridhi Hery Purnomo Syarizal Fonna Ammar Ramzy Abdullah Zubaidi Amri Jalaluddin Nurdin Ali Sulaiman Thalib Husni Masri
9
Muhammad Idris Uun Novalia Harahap
10
Arif Mardiyanto M. Ihsan
11
Herdi Susanto Hanif
12
Irham
Paper Title Desain Cetakan Pipa Air Komposit Polimer Arang Kayu Penggunaan Bahan Komposit Serat Gelas dan Pipa PVC pada Rekayasa dan Manufaktur Kapal Serat Gelas Kaji Eksperimental Karakteristik Pengeringan Batubara Sub Bituminous dengan Udara Panas Sebagai Media Pengering Klasifikasi Sinyal EMG pada Otot Tungkai Selama Berjalan Menggunakan Random Forest Studi Pengaruh Tebal Selimut Beton Busa Bertulang dengan Bahan Pengisi Pozzolan Terhadap Potensial Korosi Menggunakan Metode Half-Cell Potential Mapping Analisis Persamaan-persamaan Korelasi Perpindahan Panas Konveksi Paksa Aliran Melintang Silinder Tunggal Perilaku Korosi Logam Las dan Daerah Terpengaruh Panas pada Baja A 36 Penerapan Teknologi Coran dengan Sistem Cetak Massal untuk Meningkatkan Produksi Rencong Souvenir Industri Kecil Analisis Numerik pada Bejana Destilasi Fermentasi Buah Salak Berdasarkan Prinsip Perpindahan Panas Secara Konduksi Implementasi Rancang Bangun Modul Praktikum Suhu dan Pengaturan Motor DC dengan Mikrokontroler dan Visual Basic Teknologi Terapan Perahu Sampan Fiberglass (Studi Terapan: Nelayan Sungai Bubon Kabupaten Aceh Barat) Efek Koefisien Tahanan Aliran Sungai Terhadap Penyempitan Penampang pada Abutmen Jembatan pada Sungai Krueng Pase Kabupaten Aceh Utara vi
Page 1 6
13
19
25
31 38 43
47
52
59
65
No
Authors
13
Banta Cut Faiz Isma
14
Syarizal Fonna Muharil Ikhsan Sulaiman Thalib, Syifaul Huzni
15
Agung Herdianto Bakruddin
16
17
18
19
20
21
22 23
24
Husaini Iskandar Hasanuddin Sandi Yudha B.Z Syifaul Huzni M. Ridho Rahman Syarizal Fonna M. Ridha Syifaul Huzni Rizky S Syarizal Fonna Sulaiman Thalib M. Ridha A.K Arifin Safridatul ’Audah Mokhammad Nur Cahyadi Muhammad Taufik Husaini Nurdin Ali Agustian Bachtiar Husaini Amir Zaki Mubarak Nurul Qadri Herry Setiawan Nanda Saputri Zulfadhli Khairil Darwin Dirja Nur Ilham Rudi Arif Candra
Paper Title Studi Numerik Aliran Melintasi Turbin Angin Sumbu Vertikal di Jembatan Jalan Raya Kota Langsa “Studi kasus untuk sudut turbin 00, 300, 600, 900, 1200” Studi Bentuk dan Ukuran Produk Korosi Baja Karbon Medium Akibat Pemaparan di Lingkungan Kampus Unsyiah
Page
72
80
Pembuatan Sistem Monitoring Ruangan Menggunakan Sensor Ultrasonik Guna Pendeteksi Gerakan pada Kamera
88
Perancangan Tangan Berjari Banyak sebagai Alat Bantu Tangan Manusia
93
Perubahan Kurva Polarisasi AISI 304 Akibat Beban Siklik
95
Analisa Distribusi Tegangan pada Hip Stem Prosthesis dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga
99
Pemanfaatan Data Citra Satelit Terra Modis Untuk Monitoring Precipitable Water Vapor Di Gunung Sinabung Sumatera Utara
105
Analisa Pemukaan Patah Pegas Ulir Suspensi Depan Mobil Sedan
111
Analisa Pengaruh Deformasi Pada Pipa Baja Karbon A106 Terhadap TumpuanDengan Menggunakan Metode Elemen Hingga
118
Penerapan Fitur Akustik Sebagai Pengenalan Biometrik Berbasis Suara
126
Pengaruh Penambahan Sirip Pada Baling-Baling Untuk Peningkatan Performa Baling-baling Kapal
130
Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Tempat PKL Mahasiswa dengan Menggunakan Metode AHP dan Borda
vii
135
No 25
26
27
28
29
30
31
32
Authors Ikramullah Syifaul Huzni Sulaiman Thalib Samsul Rizal Fadly A. Kurniawan Nst Rahmawaty Syarizal Fonna Muzaiyin Arika Putra Syifaul Huzni M. Ridha Iskandar Hasanuddin Prima Denny Sentia Dini Amalia Husni Usma Suhaeri Dian Morfi Nst Himsar Ambarita Safri Gunawan Subhan T. Azuar Rizal Muhammad Zufri Fazri Zainal Arif Nazaruddin Taufan Arif Adlie Fazri Muhammad Zufri Syamsul Bahri Widodo Hamdani
33
Maidi Saputra Oki Mulyadi
34
Joli Supardi Zakir Husin Ipa Suwardi
35
Veranita Adami
36
Irham Fahmi Raida Fuadi Rudy Fachruddin
Page
Paper Title Simulasi Numerik Model Kontak Serat-Matriks pada Komposit Berpenguat Typha spp Penyelidikan Perilaku Mekanik Tarik Komposit Serat Kenaf Sebagai Material Alternatif Penahan Panas Knalpot Sepeda Motor Simulasi Efektivitas Anoda Galvanik pada Sistem Proteksi Katodik Beton Bertulang Menggunakan BEM-3D Analisis Studi Gerakan pada Aktivitas Perakitan Daun Pintu dengan Metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST) (Studi Kasus: PT. MJ, Aceh Besar) Studi Awal Desain dan Pengujian Sebuah Mesin Pengering Hibrida Pompa Kalor dan Tenaga Surya Peningkatan Daya Output Panel Tenaga Surya Melalui Pendinginan Menggunakan Material Berubah Fasa Modulus Elastisitasmaterial Komposit Polymeric Foam Diperkuat Serat Ampas Tebu Akibat Beban Tarik Perubahan Potensial Pipa Galvanis Dengan Proteksi Katodik Dalam Tanah di Fakultas Teknik Universitas Samudra Analisis Efisiensi Energi Termal Boiler Dengan Beban 105 MW Pada Unit 1 PLTU Nagan Raya 2 × 110 MW Analisa Pengaruh Kecepatan Angin Dan Tingkat Curah Hujan Terhadap Laju Korosi Atmosferik Pada Baja Kontruksi Diwilayah Pantai Aceh Barat Pengukuran Tingkat Kepuasan Konsumen Jasa Penerbangan Wings Air Pengaruh Penggunaan Sistem Manajemen dalam Mendukung Pengambilan Keputusan Manajer
viii
Informasi Kualitas
143
150
160
167
172
177
188
194
205
214
221
229
No
Authors
37
Rudy Fachruddin Raida Fuadi Irham Fahmi
38
T. Sukma Achriadi Asmaidi
39
Rial Fauza Septian Enggar Sukmana
40
41
42
Fazri Taufan Arif Adlie Zainal Arif Iskandar Nazaruddin Asmaidi Suria Taufan Arif Adlie Samsul Rizal Nurdin Ali Syifaul Huzni
43
Teuku Azuar Rizal Taufan Arif Adlie Muhammad Zulfri
44
Supriatno Jufrizal Nurdin Anhar Surya Gandara
Page
Paper Title Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi Terhadap Kinerja Individu (Suatu Kajian Literatur) Penggunaan Kriptografi
Algoritma
Hill
Cipher
235 Dalam 241
Peningkatan Fitur Citra Intravascular ultrasound Berdasarkan Nilai Mean Square Error (MSE) dan Peak Signal to Noise Ratio (PSNR)
245
Pembuatan Alat Pengasapan Ikan untuk Meningkatkan Pendapatan Nelayan
251
Penyaringan Air untuk Ayam Pedaging Bagi Kapasitas Industri
257
Mechanical Properties of Biocomposite/Natural Fiber Composites (a Review)
261
Karakteristik Makro-Enkapsulasi Lilin Lebah (Beeswax-PCM) Sebagai Material Penyimpan Energi Panas pada Dinding Rumah Sederaha Uji Prototipe Alat Pengering Pakaian Menggunakan Kolektor Surya Berbahan Kaca dan Seng
ix
271
276
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Desain Cetakan Pipa Air Komposit Polimer Arang Kayu Zulfikar Dosen Kopertis Wilayah I Jl. Setia Budi, Gg. Sempurna, Tanjung Sari, Kodya Medan Email:
[email protected]
Abstrak - Pada umumnya, saluran pipa air buangan limbah rumah tangga pada saat ini menggunakan pipa thermoplastik dari jenis Polyvynil Chloride (PVC). Bahan ini diketahui tidak tahan terhadap panas yang tinggi, mengandung bahan kimia berbahaya (racun), relatif tidak ramah lingkungan, serta memiliki harga jual yang relatif lebih mahal. Oleh karena itu peneliti melakukan inovasi memanfaatkan bahan alami berupa arang kayu sebagai bahan dasar pembuatan pipa air tersebut. Pembuatan pipa ini membutuhkan desain cetakan yang sederhana sehingga dapat dikerjakan dalam skala industri rumah tangga dan menengah. Penelitian ini bertujuan menghasilkan cetakan pipa air dengan desain yang sederhana, mudah dikerjakan, dan waktu pembuatan yang relatif lebih singkat. Pemilihan bahan cetakan mempertimbangkan berat cetakan, kemudahan bahan baku, kuat, kokoh, dan mampu cetak. Cetakan pipa dikelompokkan dalam 4 (empat) bagian utama, yaitu: cetakan diameter luar pipa, diameter dalam pipa, dudukan pipa, dan pengatur kelurusan pipa. Berbagai bahan telah dicoba sebagai bahan baku cetakan diameter luar pipa, seperti kayu, besi/baja, semen, dan thermoset. Hasil terbaik diperoleh dari bahan thermoset, dimana proses pembongkaran lebih mudah dan berat cetakan yang dihasilkan juga relatif lebih ringan. Untuk bagian dalam digunakan baja tahan karat, karena selain harus tahan terhadap proses kimia yang terjadi, pada bagian ini cetakan harus tahan beban tekan akibat penyusutan bahan baku pipa selama proses pengerasan (polimerisasai). Oleh karena itu dibutuhkan bahan yang tahan tekanan tinggi dan tidak menyatu dengan bahan baku pipa. Demikian juga untuk bagian dudukan terbuat dari bahan baja tahan karat karena selain sebagai landasan cetakan, bagian ini juga harus tahan terhadap korosi akibat proses kimia yang terjadi. Sementara untuk bagian adjustment pipa terbuat dari besi karbon ST 37, karena fungsinya hanya sebagai pengatur kelurusan pipa yang dihasilkan Kata kunci : Cetakan pipa komposit, Pipa air komposit, Poliester resin tak jenuh, Serbuk arang kayu
I.
eksternal yang lebih baik dibandingkan terhadap beban lentur. Kekuatan tekan bahan arang kayu dapat mencapai hingga 1 GPa, sedangkan kekuatan lenturnya hanya mencapai 200 – 300 MPa. Dengan demikian jika bahan ini dibuat dalam bentuk pipa, maka pipa yang tersebut lebih direkomendasikan diletakkan dalam kondisi tertanam dalam tanah dibandingkan diletakkan diatas dudukan tertentu dipermukaan tanah. Ukuran pipa yang dicetak ialah 2” dengan ketebalan dinding pipa berkisar antara 2.5-5 mm, sesuai standar SNI 06-0084-2002 untuk pipa air dari bahan plastik [2]. Untuk itu dibutuhkan cetakan khusus untuk pembuatan jenis pipa tersebut di atas, dengan kriteria sebagai berikut: mudah dibuat, tahan terhadap reaksi kimia, massa relatif lebih ringan, dan mudah dalam proses pembongkaran. Beberapa bahan telah diujicoba sebagai bahan cetakan pembentuk diameter luar pipa dengan kriteria-kriteria yang telah disebutkan, antara lain: kayu, pipa baja tahan karat, semen, dan thermoset. Pemakaian bahan kayu akan menghasilkan cetakan dengan massa yang lebih ringan, tetapi mudah menyerap bahan baku pipa sehingga lengket ke permukaan cetakan dan sulit dalam proses pembongkaran. Selain itu pemakaian bahan kayu relatif lebih mahal dan mudah rusak, sehingga tidak efisien. Pemakaian bahan pipa baja tahan karat menghasilkan permukaan yang sangat baik dan lebih presisi. Akan tetapi bahan ini relatif lebih sulit diperoleh dengan harga yang cukup tinggi dijual
PENDAHULUAN
Pada umumnya saluran pembuangan air limbah rumah tangga terbuat dari bahan plastik jenis Polyvinyl Chloride (PVC). Bahan ini memiliki kelemahan tidak tahan terhadap suhu yang tinggi dan cuaca. Selain itu jenis pipa berbahan PVC ini memiliki harga jual yang relatif mahal di pasaran serta terbuat dari bahan yang mengandung racun yang berasal dari kandungan Chloride (Cl) yang tidak baik bagi kesehatan lingkungan. Kandungan Cl diketahui digunakan sebagai bahan pembunuh bakteri dan alga yang terkandung dalam air olahan di Instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan kadar yang cukup rendah [1]. Berdasarkan data-data tersebut di atas, Penulis tertarik melakukan penelitian untuk membuat pipa yang khusus untuk saluran pembuangan air limbah rumah tangga dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang mudah diperoleh dan relatif lebih kuat serta lebih ramah lingkungan. Bahan yang dipilih ialah serbuk arang kayu rambutan yang banyak tersedia di daerah Sumatera Utara. Arang merupakan bahan aktif yang mampu mengikat bakteri penyebab bau pada air sehingga dipergunakan juga dalam proses pengolahan air bersih [1]. Arang memiliki sifat fisik yang getas dan kaku. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan penulis, belum dipublikasikan, bahan arang kayu memiliki ketahanan terhadap beban tekan
1
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dipasaran. Pemakaian bahan semen dan pasir juga telah dicoba dalam penelitian ini, akan tetapi memiliki kendala pada permukaan cetakan yang cukup getas sehingga mudah mengalami kerusakan ketika proses pembongkaran. Selain itu cetakan yang dihasilkan juga memiliki massa yang relatif lebih berat dibandingkan bahan-bahan yang lain. Pemakaian bahan plastik thermoset menghasilkan cetakan dengan permukaan yang relatif lebih halus, massa yang relatif lebih ringan dibandingkan bahan-bahan sebelumnya, dan proses pembongkaran yang mudah. Oleh karena itu peneliti memilih bahan ini sebagai bahan untuk cetakan diameter luar pembuatan pipa tersebut. Bahan komposit pada umunya tersusun dari dua bahan utama, yaitu matrik dan penguat. Matrik berfungsi sebagai media penyebar tegangan yang terjadi pada suatu elemen mesin sehingga merata keseluruh bagian. Selain itu matrik juga berfugsi sebagai pelindung dan peredam bahan penguat dari tegangan langsung akibat pembebanan yang dialami. Bahan penguat berfungsi sebagai struktur penguat yang mampu meningkatkan kekuatan bahan komposit yang dibentuk. Bahan penguatan biasanya dalam bentuk serat (fiber), serbuk, serpihan, atau anyaman. Komposit merupakan bahan teknik rekayasa yang banyak dikembangkan karena bahan ini mampu menggabungkan beberapa sifat material yang berbeda karakteristiknya menjadi sebuah sifat mekanik yang baru sesuai dengan desain yang direncanakan [3]. Desain produk adalah perubahan atau penggantian informasi yang mencirikan terhadap kebutuhan dan persyaratan sebuah produk untuk menjadi pengetahuan tentang produk tersebut. Penggantian informasi ini bertujuan untuk menciptakan dan mengevaluasi produk sesuai dengan tujuan yang akan dicapai [4]. Suatu desain produk yang baik dapat menghasilkan pengembangan produk yang baik pula. Desain didasarkan pada kelebihan produk, praktis dalam pembuatan, biaya fabrikasi yang relatif lebih murah, serta teknik pemasaran. Sementara pada faktor utama dari kegiatan desain produk adalah dimana desain produk tersebut memenuhi persyaratan yang dibutuhkan pelanggan [5]. Prinsip dasar proses desain adalah: (1) Untuk mengurangi pemakaian material, (2) proses daur ulang (recycle), (3) adanya ketidaksesuaian dengan kebutuhan, (4) untuk menghindari kerja ulang (rework) terhadap produksi, dan (5) untuk kebutuhan efisiensi dan kesesuaian terhadap standar. Sedangkan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses desain antara lain: (1) mengidentifikasi kebutuhan, (2) indentifikasi dan memahami masalah dan memulai tujuan, (3) memahami konsep asli, (3) menciptakan spesifikasi tugas yang terperinci dan membuat batasan masalah, (4) membuat sebanyak mungkin alternatif pendekatan desain, umumnya pada tahapan ini menentukan nilai dan kualitas, (5) penyelesaian tahaptahap sebelumnya selanjutnya menganalisa lalu menentukan diterima, ditolak ataupun
dimodifikasi/desain ulang, lalu ditetapkan solusi yang dipilih, (6) penentuan desain yang dipilih atau diterima, (7) pengerjaan detail yaitu pembuatan gambar teknik, identifikasi penyuplai (vendor) serta membuat spesifikasi manufaktur, dan lain-lain, dan (8) merealisasi desain dengan membuat prototype [5]. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain cetakan pipa komposit serbuk arang dari bahan plastik thermoset dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Cetakan terdiri dari 3 bagian utama, yaitu cetakan untuk pembuatan diameter luar, cetakan untuk pembuatan diameter dalam, dan dudukan. Cetakan diameter luar terbuat dari bahan plastik thermoset, sedangkan bagian-bagian lainnya terbuat dari baja tahan karat
II.
METODOLOGI
Sasaran unit produksi yang dituju dalam penelitian ini ialah industri rumah tangga, kecil, dan menengah. Desain cetakan dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki konstruksi yang sederhana, mudah dibuat, dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Bentuk desain cetakan diperlihatkan pada gambar 1.
Keterangan gambar: 1. Dudukan cetakan 2. Cetakan diameter luar 3. Cetakan diameter dalam 4. Pengarah (adjustment) 5. Baut pengikat Gambar 1. Desain cetakan pipa komposit serbuk arang Cetakan diameter luar terbuat dari bahan thermoset jenis polyester tak jenuh. Bahan ini banyak dijual bebas dipasaran dengan kode dagang BQTN 157 EX dalam bentuk fasa cair seperti diperlihatkan pada gambar 2.
2
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 2. Bahan thermoset polyester tak jenuh
(c)
Untuk membentuk bahan ini menjadi menjadi bentuk yang diinginkan, maka diperlukan mal/cetakan yang terbuat dari besi tahan karat pada bagian setengah silinder. Dinding penampung bahan resin dibuat dari kayu lapis. Proses pembentukan cetakan diameter luar pipa diperlihatkan pada gambar 3.
Gambar 3. Proses pembuatan cetakan diameter luar pipa: (a) penuangan bahan, (b) pengerasan, (c) cetakan diameter luar pipa Cetakan diameter dalam pipa terbuat dari bahan baja tahan karat jenis SS 41. Bahan ini relatif lebih mudah diperoleh dipasaran tetapi dengan harga yang relatif mahal. Selanjutnya pipa tersebut dimodifikasi dengan menutup pada masing-masing ujungnya. Tujuannya ialah agar bahan baku pipa yang dituang tidak masuk ke bagian dalam cetakan yang dapat mempersulit proses pembongkaran pipa. Selain itu pada bagian atas cetakan diberikan tambahan batang ulir yang bertujuan untuk mempermudah pengaturan keseragaman tebal pipa. Sedangkan pada bagian bawah diberikan lubang berulir yang fungsinya sebagai dudukan tetap/fix cetakan ketika dilakukan proses pengaturan keseragaman tebal pipa yang akan dicetak. Bentuk cetakan diameter dalam pipa diperlihatkan pada gambar 4.
(a)
Gambar 4. Cetakan untuk pembuatan diameter dalam pipa Untuk menopang dan menahan bahan baku pipa yang dituangkan ke dalam cetakan, maka dibutuhkan alat dudukan yang stabil dan tahan proses kimia. Bagian ini terbuat dari baja tahan karat yang berbentuk plat dari jenis baja SS 41. Bentuk dudukan cetakan ialah persegi panjang dengan ukuran 300 x 150 x 8 mm, dan tambahan flat bar dengan ukuran 5 x 5 x 240 mm sebagai penguat sisi-sisi dudukan. Proses perataan permukaan dengan pembubutan dan penyambungan antar plat dengan cara pengelasan. Bagian-bagian lubang dikerjakan dengan proses bor. Bentuk dudukan cetakan diperlihatkan pada gambar 5.
(b)
3
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 7. Cetakan pipa komposit serbuk arang Percobaan pencetakan spesimen pipa dengan menggunakan bahan komposit polimer diperkuat serbuk arang kayu menghasilkan bentuk pipa komposit dengan diameter yang sesuai dengan perencanaan. Tetapi ketebalan pipa belum benar-benar seragam disepanjang pipa yang dihasilkan. Hal ini disebabkan bagian pengarah belum benar-benar mengunci dudukan drum cetakan diameter dalam. Pada percobaan selanjutnya ketebalan pipa yang akan dicetak benarbenar diukur dengan menggunakan jangka sorong pada 4 titik yang saling berhadapan. Hasilnya diperoleh pipa dengan ketebalan yang sudah lebih seragam dari hasil sebelumnnya. Lamanya proses penuangan hingga pembongkaran ialah maksimum selama 30 menit. Selanjutnya spesimen pipa tersebut dibiarkan mengalami proses polimerisasi diluar cetakan di udara terbuka. Proses pencetakan pipa komposit polimer dan pipa yang dihasilkan diperlihatkan pada gambar 8.
Gambar 5. Dudukan cetakan pipa komposit serbuk arang Ukuran diameter pipa yang dihasilkan harus diusahakan seragam baik diameter luar maupun dalam pipa. Untuk mengatur keseragaman tersebut dibutuhkan alat khusus yang dapat digeser sedemikian rupa sehingga tebal pipa yang dihasilkan menjadi lebih seragam. Alat tersebut terbuat dari besi plat ST 37 yang dilengkapi dengan dua kaki penopang dan tiga baut pengatur drum cetakan diameter dalam pipa. Alat ini disebut dengan pengarah drum cetakan dan bentuk alat tersebut diperlihatkan pada gambar 6.
(a)
Gambar 6. Alat pengarah drum cetakan
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk cetakan pipa komposit serbuk arang secara lengkap diperlihatkan pada gambar 7. Secara keseluruhan berat cetakan tersebut ialah 7,5 kg, sehingga mudah untuk dipindah-pindah. Ukuran cetakan secara keseluruhan sbb.: panjang 300 mm, lebar 150 mm, dan tinggi maksimum 500 mm.
(b) Gambar 8. Proses pencetakan spesimen: (a) proses penuangan bahan baku, (b) spesimen pipa yang dihasilkan
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam desain cetakan untuk pembuatan pipa air komposit serbuk arang yang khusus diperuntukkan untuk skala industri rumah tanggah, kecil, dan
4
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
menengah, dengan metode penuangan ini telah berhasil mencetak spesimen pipa yang sesuai dengan standar SNI 06-0084-2002 untuk bahan pipa plastik. Pembuatan spesimen dilakukan dengan cara penuangan ke dalam cetakan terbuka dengan lama proses polimerisasi maksimum 30 menit. Hal ini untuk menghindari terjadinya tegangan tekan pada drum cetakan diameter dalam pipa akibat proses penyusutan selama pengerasan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kemenristekdikti yang telah mendanai penelitian ini sepenuhnya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Montgomery, M., J., Water Treatment Principles and Design, New York: John Wiley & Sons, 1985. [2]. Standar
Nasional Indonesia, 2002, Standar Ukuran Pipa Air Berbahan Plastik, SNI 06-0084-2002.
[3]. Hull, Derek, An Introduction to Composite Materials, New York: Cambridge University Press, 2001. [4]. Edward, B.M., Integrated Product and Process Design and Development, New York: Cambridge University Press, 1981. [5]. Roozenburg, N. F. M., and Eekels, J., Product Desain: Fundamentals and Methods, New York: John Willey & Sons, 1991.
BIODATA PENULIS Penulis adalah seorang Dosen Kopertis Wilayah I yang saat ini masih bertugas di UNIVA Medan. Setelah menyelesaikan studi S2 di Magister Teknik Mesin, FT USU, tahun 2010, selanjutnya penulis aktif melakukan penelitian dibidang Mekanika Kekuatan Material yang diadakan oleh Kemenristekdikti. Bidang penelitian yang ditekuni ialah mekanika kekuatan material komposit dari bahan-bahan alami, seperti tandan kosong kelapa sawit, arang kayu, batang pisang, kulit kerang, dll.
5
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penggunaan Bahan Komposit Serat Gelas dan Pipa PVC pada Rekayasa dan Manufaktur Kapal Serat Gelas The Use of Composite Material Glass Fiber and PVC Pipe In Engineering and Manufacture of Glass Fiber Ship Zulfadhli1, Muslimsyah2, Masri1 1,3
Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala 2 Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, 23111 E-mail :
[email protected]
Abstrak – Pada daerah bencana, sering kita jumpai kesalahan dan kekeliruan dalam hal pengiriman dan penanganan bantuan oleh NGO baik berupa barang ataupun peralatan. Oleh karenanya, dalam usaha memberdayakan perahu fiber glass yang salah desain tersebut, maka diupayakan merekayasa model serta membuat kembali perahu dari bahan glass fiber tersebut dengan menggunakan bahan komposit serat gelas-poliester dan menambahkan pipa PVC (paralon) pada bagian sisi kiri dan kanan lambung kapal secara horizontal. Analisis dimulai dengan meninjau desain dan konstruksi rangka terhadap pembebanan, serta pengaruh gaya hidrodinamis yang diterima bahan sesuai dengan syarat yang dianjurkan, dengan melakukan perhitung secara statika dan pemodelan serta simulasi dengan menggunakan sofware CFD. Pada hidrostatika (kapal atau perahu pada saat diam), analisis yang dilakukan meliputi: gaya tekan air ke atas (buoyancy), keseimbangan (equilibrium), stabilitas utuh atau rusak (intact and damage stability), berada dalam dok (docking), terdampar (grounding) dan peluncuran. Sedang analisis hidrodinamika (kapal atau perahu pada saat bergerak), yaitu saat melaju di laut (seakeeping), menambah daya (powering), serta kemampuan bermanuver (manoeuverability). Kata kunci : Rekayasa, kapal komposit, serat gelas, pipa PVC, lambung kapal,
Abstract - In the disaster area, we often see mistakes and errors in terms of shipping and handling of assistance by NGOs in the form of goods and equipment. Therefore, in an effort to empower the boat fiber glass which is one of the designs, then attempted to engineer a model and make return boat made from glass fiber by using composite materials glass fiber polyester and adding a PVC pipe (PVC) on the left and right sides bilge horizontally. The analysis begins by reviewing the design and construction of the loading frame, as well as the influence of hydrodynamic force received materials in accordance with the terms proposed, with doing perhitung in statics and modeling and simulations using CFD software. In hydrostatics (ship or boat at rest), the analysis performed include: a compressive force water upwards (buoyancy), balance (equilibrium), the stability of the whole or broken (intact and damage stability), are in the dock (docking), stranded ( grounding) and launch. Medium hydrodynamic analysis (ship or boat while on the move), ie when driving at sea (seakeeping), add (powering), as well as the ability to maneuver (manoeuverability). Keywords: Engineering, composite boats, fiberglass, PVC pipes, boat hulls,
pesanan (mati suri). Hal itu terjadi karena sukarnya untuk mendapatkan bahan baku kayu, teknologi dan pengelolaannya tidak berkembang, daya saing rendah, serta beralihnya selera pembeli dari kapal kayu ke penggunaan bahan dan teknologi baru seperti material komposit serat gelas/fiber glass (glass fiber). Bahan fiber glass adalah bahan campuran beberapa bahan kimia yang bereaksi dan mengeras dalam waktu tertentu (yang disebut material komposit). Bahan ini mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan bahan lain, diantaranya: ringan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak ditemukan galangan kapal kayu tradisional seperti Lampulo, Pelanggahan, Gampong Jawa, serta daerah lain yang terancam tutup dan gulung tikar bukan karena berkurangnya pesanan kapal tetapi lebih dikarenakan kesulitan dalam perolehan kayu sebagai bahan utama kapal dengan syarat, ketentuan dan kebiasaan pada jenis kayu yang digunakan untuk membuat kapal [1]. Kondisi galangan kapal tradisional di Kota/Kabupaten di Aceh dalam kondisi sepi dari 6
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 mudah dibentuk, dan murah. Untuk memperoleh bahanbahan fiber glass seperti (Mat, Resin, Catalyst, Pigment, WR, dan lain-lain) dapat dibeli di toko-toko kimia dan bahan bangunan. Untuk pembelian dalam jumlah yang besar dapat membelinya langsung kepada produsen, importir maupun pada agen-agen penjualan. Namun kelemahan penggunaan bahan fiber glass ini adalah kekuatannya yang rendah dibanding bahan logam seperti besi atau baja, diperlukan peralatan keselamatan karena dapat mengganggu kesehatan, bahan kadangkadang sulit didapat karena harus disuplai dari luar Kota/Kabupaten seperti Medan, Bandung, Jakarta, maupun dari luar negeri seperti Malaysia. Penerapan fiber glass untuk kapal-kapal kecil, ini berarti dapat mengurangi penebangan kayu yang biasanya dibutuhkan untuk pemenuhan produksi kapal dengan bahan utama kayu. Di Indonesia, umumnya kapal-kapal kecil nelayan biasanya menggunakan bahan kayu, hal ini tentunya berdampak pada perusakan lingkungan dan bertentangan dengan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu dengan memberikan solusi baru pada pembuatan bahan fiberglass nantinya trend penggunaan kapal kayu bisa dialihkan ke kapal fiber yang ramah lingkungan dan aman bagi pengguna [2].
sehingga dapat menurunkan biaya produksi kapal, serta dapat membuka lapangan kerja baru dengan membuka usaha pembuatan dan perbaikan kapal komposit fiber glass.
II. LANDASAN TEORI A. The Analytic Hierarchy Process (AHP) Analisis Hierarchy proses (AHP) adalah suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan sekala rasio (perbandingan), baik dari perbandingan pasangan yang diskret maupun yang kontinyu. Perbandingan-perbandingan ini diambil dari ukuran aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. AHP memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran, dan pada ketergantungan didalam dan diantara kelompok elemen strukturnya. AHP banyak ditemukan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan (prediksi), alokasi sumber daya, penyusunan matriks input koefisien, penentuan prioritas dan strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik dan lain sebagainya [3]. Tahap terpenting dalam proses Analytic Hierarchy Process adalah penilaian perbandingan pasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen (elemen) dalam suatu tingkat hirarkhi. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada tiap hirarkhi. Sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya bobot setiap elemen. Untuk pembandingan pasangan, bentuk matriks merupakan bentuk yang lebih disukai. Beberapa keuntungan dengan menggunakan bentuk matriks adalah : 1. Bentuknya lebih sederhana 2. Merupakan alat yang cukup baik yang menawarkan kerangka untuk pengujian konsistensi. 3. Dapat diperoleh tambahan informasi melalui pembuatan seluruh pembandingan yang mungkin. 4. Dalam analisa sensitivitas dari seluruh tingkat hirarchy untuk mengubah kedalam judgement.
B. Perumusan Masalah Kesalahan desain dan pengiriman kapal bantuan yang tidak tepat sasaran, mengakibatkan kapal bantuan tersebut harus bisa untuk digunakan oleh nelayan. Sulitnya dalam mendatangkan bahan baku utama fiber glass, seperti serat MAT dan WR (Woven Roofing) disamping mahalnya bahan serat terebut, maka perlu dilakukan penggunaan bahan lain yang digunakan pada kapal fiber glass. Pada kajian ini dianggap perlu untuk melakukan : a. Analisis dan penentuan kriteria dan pembobotan penentuan bahan alternatif sebagai bahan utama pembuatan rangka kapal. b. Menggunakan sponge/busa sebagai filler dan perekat pipa PVC pada lambung kapal. c. Membuat Spesimen pengujian untuk pengujian tarik dan uji bending, guna mengetahui kekuatan tarik dan lentur pada serat fiber glass dari spesimen tersebut.
L. Saaty telah menyusun tabel skala perbandingan pasangan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. [4]
C. Tujuan Dengan melakukan pengujian Mekanis serat fiber glass, maka diperoleh kekuatan tarik yang optimal dan memenuhi standar BKI dan standar ASTM D-790 dan ASTM D-638. Penggunaan bahan penguatan fiber glass dan pengisi alternatif ini diharapkan dapat menghemat biaya pengeluaran dalam pembuatan kapal fiber glass disamping produk ataupun peralatan untuk keperluan lain seperti: keramba, palka ikan, pelampung jaring, serta peralatan rumah tangga lainnya.
Tabel 1. Skala Perbandingan Pasangan
D.
Manfaat Manfaat penggunaan bahan komposit fiber glass, sponge/busa dan pipa paralon (PVC), diantaranya adalah dapat memberikan konstribusi untuk mengatasi masalah kekurangan bahan baku kayu untuk pembuatan kapal, mengurangi pemakaian resin pada penggunaan pipa PVC yang disispkan sponge/busa sebagai filler 7
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 M = Momen (Nmm) P = Beban tekan (N) L = Jarak tumpu (mm)
B. Klasifikasi bahan komposit Secara umum klasifikasi bahan komposit sering digunakan antara lain seperti : 1. Klasifikasi menurut kombinasi material utama, seperti metal-organic atau metal anorganic. 2. Klasifikasi menurut karakteristik bulk form, seperti sistem matrik atau laminate. 3. Klasifikasi menurut distribusi unsur pokok, seperti continous dan discontinous. 4. Klasifikasi menurut fungsinya, seperti elektrikal atau struktural. Secara garis besar komposit diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu [5],: 1. Komposit serat (Fibrous Composites) 2. Komposit partikel (Particulate Composites) 3. Komposit lapis (Laminates Composites)
C=½h Keterangan: h = Tebal spesimen (mm) =
=
Geometri spesimen uji impact berdasarkan standar ASTM D 638 Type III. Untuk menghitung nilai uji impak, diperluan beberapa persamaan yaitu:
Harga momen maksimum sampel uji yang dikenai pengujian dengan three point bending dapat dirumuskan sebagai berikut :
M = Momen maksimum (N.mm) P = Beban (N) L = Panjang span (mm)
(6)
=
−
(7)
=
(
Keterangan: m = Berat Pendulum g = Gravitasi =
Untuk dapat mengetahui nilai uji bending, terlebih dahulu harus mencari nilai momen, momen inersia, menghitung jarak momen ke beban.
Keterangan:
+
Keterangan: L = Jarak ujung sampel ke takikan y = L x cos β
(1)
dimana:
.
=
Keterangan: L = Jarak ujung sampel ke takikan X = L x sin θ
Gambar 1. Geometri Spesimen Bending (mm)
=
(5)
Gambar 2. Geometri spesimen impak (dalam mm)
10 mm
L=
.
E. Geometri Spesimen Uji Impact
13 mm
= Px
(4)
Keterangan: σ = Tegangan normal (N/mm2) M = Momen maksimum pada spesimen (Nmm) C = Jarak sumbu netral ke beban yang diberikan pada spesimen (mm) I = Momen inersia penampang (mm4)
D. Dimensi Spesimen Benda Uji 1) Geometri Spesimen Uji Bending ASTM D-790 Geometri spesimen uji bending D-790 “Standard Test Methods for Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Materials”.
M
.
Keterangan: I = Momen inersia (mm4) b = Lebar spesimen (mm) h = Tebal spesimen (mm)
C. Aplikasi Komposit di Bidang Marine Aplikasi penggunaan bahan komposit fiber glass di bidang marine sudah diperkenalkan secara komersial sejak tahun 1940-an. Pada bidang marine, fiber glass sering digunakan untuk pembuatan bodi kapal, pipa untuk fluida yang tidak berbahaya, peti kemas, peti es, tempat penyimpanan dan sebagainya. Pengunaan fiber glass dalam masalah ini tentunya beralasan, diantaranya adalah pemakaian fiber yang lebih ringan, kuat, mudah berolah gerak (manuverabilty), percepatan, dan tentunya lebih efisien. Khususnya untuk kapal-kapal kecil (boat) sangat penting untuk menggunakan penerapan fiber glass [6].
190 mm
(3)
(2)
Keterangan : l = Lebar Sampel h = Tebal Sampel 8
− )
(8)
(9)
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 = (10) Keterangan : E = Besarnya Usaha Mematahkan Sampel (kg.m) A = Luas Penampang (m2)
-
F. Validasi Hasil Pengujian Terhadap Kekuatan Ijin Pada Rules and Regulasion For The Clasification and Construction of Ship, Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 1996, section 1.C.4.1. disyaratkan khusus dispesifikasikan untuk kapal-kapal FRP dengan bahan penguat fiberglass yang diisi oleh serat penguat baik itu jenis MAT dan Roving harus memiliki standar kekuatan sebagaimana Tabel 2. berikut:
Teknologi Penerapan Teknologi Pencampuran bahan alternatif hendaknya dapat diimplementasikan dengan teknologi yang lebih sederhana dan tanpa memerlukan peralatan (tool) khusus yang mahal dan sulit diperoleh serta tanpa harus dengan keahlian khusus dan penerapanya.
B. Uji Stabilitas Kapal Stabilitas kapal diuji dengan memasukkan kapal kedalam air (sungai) untuk memastikan bahwa kondisi kapal dalam keadaan seimbang (stabil).
Tabel 2. Standart Kekuatan BKI Untuk Fibre glass Kuat Tarik (kg/mm) 10
Modolus Elastisitas (kg/mm2) 700
Kuat Lentur (kg/mm2) 15
Modolus Elastisitas (kg/mm2) 700
III. METODOLOGI A. Penentuan Kriteria Harga Bahan Ketersedian Bahan Alternatif Fiberglass
Sumberdaya Fasilitas
\ Teknologi
Gambar 3. Kriteria Bahan Komposit Alternatif -
Harga Bahan Kriteria Harga Bahan adalah kemampuan bagi pihak galangan ataupun pemilik kapal dalam memperoleh bahan alternatif yang terkait pada harga pasar yang tentunya lebih murah dan mudah diperoleh jika dibandingkan dengan serat sintetis pencampur bahan fiberglass dalam melakukan pembuatan maupun perbaikan kapal.
-
Ketersediaan Bahan Ketersediaan Bahan dimaksud adalah tingkat kesulitan dalam perolehan bahan komposit alternatif yang seharusnya banyak tersedia sehingga dapat diperoleh dengan mudah oleh pihak galangan ataupun pemilik kapal di Aceh.
-
Sumberdaya Teknologi pencampuran dan penggunaan bahan komposit alternatif lebih mudah diterapkan dan diimplementasikan pada pembuatan atau perbaikan kapal.
-
Fasilitas Dalam Pengguanaan Bahan Komposit Alternatif hendaknya tanpa memerlukan peralatan dan fasilitas khusus dan rumit dibandingkan dengan penggunaan bahan serat sintetis yang biasa digunakan.
IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Kriteria Bahan Komposit Alternatif Bahan alternatif komposit serat gelass pada campuran fiber glass yang biasanya menggunakan serat MAT dan WR pada aplikasi pembuatan kapal fiber glass. Selanjutnya mempersiapkan bahan dan peralatan untuk membuat objek, yaitu resin, katalis, cetakan, wax, wadah dan kuas.
A
9
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Gambar 3. Resin (A), Katalis (B), Wax (C), Kuas (D)
Gambar 8. Sampel uji bending
Mempersiapkan cetakan sampel berdasarkan standar pengujian dimana sebelumnya, diolesi wax agar sampel tidak lengket pada cetakan.
Gambar 9. Sampel uji impak B. Analisa Dan Hasil Data Pengujian Bending Pengujian Bending dilakukan pada laboraturium Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Unsyiah
Gambar 4. Cetakan Proses laminasi dimulai dengan mengoleskan resin pada alas cetakan.
Gambar 10. Pengujian Bending yang dilakukan Gambar 5. Pengolesan Resin
Hasil Perhitungan BKI Nilai minimum yang disyaratkan BKI dalam rules BKI 2006 untuk kuat tekuk adalah:
Setelah proses pencetakan selesai, sampel kemudian dijemur dan setelah kering dipotong sesuai dengan ukuran standar.
Keterangan :
ᶲ = kandungan volume serat
C.
Analisa dan hasil Pengujian Impak (impact)
Gambar 6. Pemotongan sampel dengan gerinda
Gambar 11. Pengujian Impak D. Pembuatan Model Pembuatan model kapal dilakukan dengan dua bahan alternatif. Untuk perbandingan volume bahan yang dibutuhkan adalah resin 2,2 kg, pigmen 1 gr, aeorosil 220 gr, dan katalis 110 gr, dengan berat serat fiber glass 10,3018 cm2, lambung 400 cm2, 835,06 cm2 untuk bangunan atas, sedangkan untuk penambahan pipa PVC pada lambung kiri dan kanan kapal banyaknya bahan yang dihabiskan permeter yaitu resin 1,76 kg, pigmen 1 gr, aeorosil 220 gr, filler 20 kg dan katalis 110 gr.
Gambar 7. Proses laminasi Setelah proses laminasi selesai, sampel dijemur dan dipotong sesuai ukuran yang telah ditentukan.
E. Pembuatan Cetakan 10
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pembuatan cetakan model mengunakan bahan fiberglass dimana bentuk dan ukuran disesuaikan dengan kapal nelayan 1 GT yang ada di Aceh.
Kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini adalah : 1. Serat fiber glass (komposit) adalah salah satu material alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan di Aceh dan sekitarnya sebagai pengganti kayu untuk bahan pembuat kapal. 2. Urutan prioritas kriteria bahan alternatif pengganti kayu dengan metode AHP, maka harga bahan memiliki nilai paling besar, dikuti oleh sumberdaya manusia, ketersediaan, fasilitas dan teknologi karena dalam proses pembuatan kapal harga bahan menjadi sangat penting, karena harga bahan serat fiber yang relatif mahal. 3. Dari data spesifikasi pengujian yang telah dilakukan terhadap campuran fiber glass dan resin didapatkan hasil sebagai berikut: Jenis resin: polyester Sifat-sifat pada temperature 25°C - viskositas : 450-500 cPs - waktu pembekuaan : 15-30 menit - warna : merah muda cerah - massa jenis : 1,15 gr/cm3 Perbandingan katalis-resin; (1 kg resin: 20 cc katalis)
1) Pembuatan Lambung
2) Pembuatan Bangunan atas
B. SARAN Pada pelaksanaan rekayasa dan manufaktur kapal dari bahan komposit fiber glass, ditemui beberapa permasalahan, seperti hahan yang susah didapat dan mahal, maka disarankan untuk selanjutnya dilakukan pembuatan kapal dari bahan alternatif lainnya dari bahan limbah dan bahan biokomposit (serat alam). UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Syiah Kuala, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah mendanai kegiatan ini dengan pendanaan PNBP Nomor : 1711/UN11/SP/PNBP/2016.
3) Finishing
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
Tahapan pembuatan model kapal komposit fiber glass sedikit memiliki kesamaan dengan pembuatan kapal sebenarnya dimana diawali dengan pembuatan cetakan dan kemudian dilakukan pembuatan lambung kapal. Hanya saja dalam pembuatan kapal nyata diikuti dengan pembuatan gading dan penguatan lambung lainnya untuk tahapan selanjutnya yang mengacu pada hasil perancangan.
[4]
[5]
V. KESIMPULAN DAN SARAN
[6]
A. KESIMPULAN 11
Biro Klasifikasi Indonesia, ”Rules and Regulation for The Classification and Construction of Ships”, Jakarta, 1996 Fernata, F., Kapal Fibreglas Sebagai Altenatif Pengganti Kapal Kayu 3 Gross Tonnage, Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (PENPRINAS MP3EI 2012). Bramantyo, A. Pengaruh Konsentrasi Serat Rami. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Jakarta, 2008. Saaty. T. L., “How to Make a Decision: The Analytic Hierarchy Process”, European Journal of Operational Research, 48 (1990) 9 – 26. Nurul A. M., “Analisis Sifat Mekanis Polyester dengan Penambahan Serat Gelas”, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang, 2007. Bier, K.P., NA-302: “Static Stability and Marine
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[7]
[8] [9]
[10] [11]
[12]
Vehicles”, Michigan, USA, 1986. Biro Klasifikasi Indonesia, “Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut, Peraturan Bahan dan Las”, Kantor Pusat BKI, Jakarta, 1988. Newman J.N., “Marine Hidrodynamics”, The MIT Press. USA, 1997. Jack, W., “The Fiberglass Repair & Construction Handbook”, Tab Book Inc, Blue. Ridge Summit, l982. Anonim, “Kapal Fiber Glass”, ITS, Surabaya, 1980. Zulfadhli, “Komposit Serat Bambu dengan Penguatan Resin Poliester”, Jurnal Teknologi Terapan, Unsyiah, Banda Aceh, 2004, Zulfadhli, Hamdani, Ibrahim. M, “Modifikasi Perahu Nelayan Berbasis Glass Fiber Untuk Nelayan Tradisional Di Aceh Singkil”, Jurnal PKM, Unsyiah, Banda Aceh, 2006.
BIODATA PENULIS Lahir di Banda Aceh pada tanggal 15 Agustus 1969. Memperoleh gelar Sarjana (S1) dari Universitas Syiah Kuala Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin, Darussalam Banda Aceh pada tahun 1996, dengan judul Tugas Akhir "Analisis Matriks Kekakuan Poros Bertingkat dengan Metode Elemen Hingga". Saat ini menjadi staf pengajar pada Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, terhitung sejak tahun 1997 hingga sekarang. Tahun 2000 melanjutkan studi Program Magister (S2) pada Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Penerbangan ITB Bandung, bidang Struktur dan Material (konsentrasi pada material komposit serat alam). Pada tahun 2007 melanjutkan studi ke Malaysia program S3 (Ph.D) dengan topik yang sama.
12
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Kaji Eksperimental Karakteristik Pengeringan Batubara Sub Bituminous dengan Udara Panas Sebagai Media Pengering Experimental Examine The Characteristics of Sub Bituminous Coal Drying with Hot Air As a Dryer Rendra Rusdianto1, Darwin2, Khairil3 1,2,3
Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia Phone/Fax.: +62-651- 7428069, e-mail:
[email protected]
Abstrak - PLTU di Indonesia umumnya menggunakan batubara dengan kualitas diatas sub bituminus b sebagai bahan bakar. Sementara itu Indonesia kaya akan sumber daya batubara dengan kualitas rendah. Maka dari itu diperlukan suatu upaya agar dapat memanfaatkan batubara dengan kualitas rendah, salah satunya dengan pengeringan menggunakan udara panas yang keluar dari cerobong untuk meningkatkan kalor dan menurunkan kandungan air pada batubara. Objek pada penelitian ini adalah batubara sub bituminus b Aceh menggunakan dapur pemanas listrik dengan temperatur 1000C dan 1350C. Parameter yang dikaji ialah efek kenaikan temperatur pengeringan terhadap perubahan kandungan air dan nilai kalor batubara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur udara pengering maka semakin cepat penurunan massa batubara atau penurunan kandungan air serta peningkatan nilai kalor batubara sub bituminous b Aceh terhadap waktu pengeringan. Kata kunci: Batubara Sub Bituminus b, Pengeringan, kandungan air, nilai kalor
Abstract - PLTU in Indonesia generally uses coal with higher quality above the sub b as fuel. Meanwhile, Indonesia is rich in coal resources with low quality. Therefore required an effort in order to exploit coal with low quality, one of them with the drying using the hot air coming out of the chimney to improve heat and lower moisture content in coal. The object of this research is the coal sub higher b Aceh using kitchen electric heating with temperature 1000C and 1350C. The parameters examined is the effect of drying temperature rise to changes in moisture content and heat value of coal. The results showed that the higher the temperature of the dryer than the faster mass loss or decrease in the moisture content of coal and heat value coal-sub-bituminous coal sub b of Aceh against the drying time. Keywords : Sub-Bituminous Coal B, drying, Moisture Content, Calorific Value
I. PENDAHULUAN
Aceh merupakan salah satu provinsi yang kaya dengan sumber daya batubara. Batubara di Aceh berada dalam kategori low rank coal yang termasuk dalam golongan sub bituminus b. Selama ini, batubara sub bituminus b di Aceh dipergunakan sebagai bahan bakar industri semen PT. Lafarge Cement Indonesia dan sebagian lagi diekspor ke india sebagai bahan bakar pada boiler PLTU. Hal tersebut dikarenakan spesifikasi boiler di PLTU Nagan Raya tidak dapat menggunakan batubara sub bituminus b Aceh yang memiliki nilai kalor rendah, 3200 kkal/kg (GAR) dan nilai moisture (kandungan air) yang tinggi sebesar 44% - 50% (GAR). Bahan bakar PLTU Nagan Raya yang digunakan adalah batubara jenis arutmin dalam
kategori sub bituminus b – a yang berasal dari Kalimantan, dengan nilai kalor 4000 kkal/kg – 4200 kkal/kg (GAR) dan nilai moisture 25% - 30% (GAR). Sementara spesifikasi boiler PLTU Nagan Raya menerima batubara dengan nilai kalor 3620 kkal/kg (GAR) dan kandungan air batubara maksimal 30%. Sedangkan di Aceh sendiri, terdapat sumber daya batubara sebesar 400 juta ton batubara yang cadangan terukur. Meskipun batubara Indonesia yang berperingkat rendah memiliki kandungan abu dan sulfur yang sangat rendah (rata-rata kandungan sulfur batubara Indonesia di bawah 1%) namun memiliki total kandungan air yang cukup tinggi, yaitu lebih besar dari 40%. Kandungan air yang tinggi pada batubara peringkat rendah menyebabkan masalah selama penanganan batubara 13
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
termasuk transportasi, penyimpanan, penggilingan, dan pembakaran[1]. Pengeringan konvensional punya kekurangan yaitu adanya kandungan oksigen dalam ruang pengeringan (Furnace) atau pada media kering yang dikontakkan dengan batubara. Kehadiran oksigen mampu mengakibatkan terjadinya nyala api (self ignition) apabila pengeringan dilakukan pada suhu tinggi. Self ignition ini mengakibatkan batubara terbakar atau teroksidasi, mengurangi kandungan volatile content serta karbon pada batubara sehingga dapat menurunkan nilai kalor dari batubara [2]. Hanya saja pada temperatur diatas 400OC sejumlah zat-zat atau gas-gas yang mudah terbang (volatile Matter) akan mengalami evolusi dan sebagian keluar dari batubara tersebut [3]. Kandungan air menurun dengan meningkatnya temperatur pengering. Runtuhnya struktur pori batubara akibat kandungan air hilang dan menguap dan perubahan panambahan struktur batubara tergantung pada temperatur pengeringan. Runtuhnya struktur pori batubara mengakibatkan luas permukaan partikel batubara yang mampu menyerap kembali kandungan air dari atmosfer di sekitarnya berkurang[4]. Penelitan ini dilakukan untuk memberikan perlakuan terhadap batubara sub bituminus b Aceh agar dapat memenuhi spesifikasi dari mesin PLTU Nagan Raya. Adapun perlakuan yang diberikan yaitu menurunkan kandungan air dari batubara sub bituminus b Aceh dengan memanfaatkan udara panas dari cerobong yang di lakukan eksperimen pada dapur pemanas listrik sebagai sumber energi. Dengan menurunkan kandungan air dari batubara sub bituminus b Aceh, maka secara sendirinya akan meningkatkan nilai kalor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh seberapa lama efektif pengurangan kandungan air batubara dengan proses pengeringan dengan udara panas menggunakan dapur pemanas listrik.
Sedangkan analisa Proksimasi batubara di PT. Geoservice Coal Laboratory Division, Bandung. B. Persiapan Sampel Batubara yang digunakan dalam penelitian ini adalah batubara muda di ambil dari PT. Mifa Bersaudara (Gambar 1.). menjaga kondisi batubara salah satunya dimasukkan dalam kantung plastik dan di bungkus dengan karung agar terhindar dari penguapan pada permukaan batubara di linkungan sekitar.
Gambar 1. Pengambilan sampel di PT. Mifa Bersaudara Langkah selanjutnya pengujian batubara yang masih berukuran bongkahan, di hancurkan lalu di ayak dengan ayakan standar ASTM E-11 ukuran diameter lolos saringan 4.75 mm. hasil pengayakan lihat Gambar 2.
II. METODE PENELITIAN Gambar 2. (Sebelah kiri) batubara bentuk bongkahan; (sebelah kanan) batubara bentuk serbuk lolos saringan 4.75 mm
A. Tempat dan Waktu Penelitian untuk analisa penurunan massa dilakukan di Laboratorium Motor Bakar dan Propulsi Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
C. Perlatan Penurunan Massa Peralatan pengujian berupa sebuah pipa reaktor yang dialiri panas yang berasal dari elemen 14
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
pemanas listrik dan media pereaksi adalah udara dari kompresor. Temperatur kerja pada pengujian ini dilaksanakan pada 1000C dan 1350C. Bagian tengah pipa reaktor diletakkan termokopel tepat di bawah wadah batubara. Termokopel tersebut terhubung dengan alat pencacah digital, power tristor mengatur arus listrik yang masuk ke elemen pemanas. Wadah batubara terhubung dengan alat timbangan digital melalui kawat stainless steel untuk mengukur penurunan massa sampel dalam t menit selama pengeringan. Selengkapnya alat eksperimental pengeringan (analisa penurunan massa ditunjukkan pada Gambar 3. 1. Kompresor 2. Display 3. Power Tristor 4. Flowmeter 5. Pemanas listrik 6. Termokopel 7. Wadah batubara 8. Coal Chamber 9. Termometer 10. Timbangan 11. Tabung reaktor
Gambar 4. Proses memasukkan batubara dalam coal chamber. Turunkan wadah batubara yang telah terisi dengan batubara kedalam ruang pengering atau coal chamber kemudian jalankan stopwatch. Catat massa waktu pengeringan batubara per dua menit. Jika angka timbangan tidak bergerak lagi maka waktu pengeringan sudah habis dan sampel sudah bisa dikeluarkan dari Coal Chamber.
Gambar 3. Alat Eksperimental Pengeringan D.
P rosedur Penurunan Massa
Beberapa prosedur yang dilakukan yang pertama mempersiapkan sampel dan alat eksperimen. Aliri arus listrik ke elemen pemanas (Electric Furnace). Atur temperatur pengeringan sesuai yang diinginkan. Aliri udara kompresor ke ruang pengering sebanyak lima puluh liter/menit. Timbang massa awal dari batubara dan catat massa awalnya. Masukkan batubara kedalam wadah batubara berbahan baja yang telah terhubung dengan timbangan digital (Gambar 4).
\ Gambar 5 (sebelah kiri) Thyristor power Regulator dan (sebelah kanan) pencacah digital. Analisa laboraturium terhadap kandungan air (moisture) dan nilai kalor batubara menggunakan metode analisa Proksimasi Sampel batubara dengan hasil terbaik menggunakan metode Analisa Proksimasi.
15
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
semakin tinggi temperatur udara pengering semakin cepat pengurangan massa karena adanya sejumlah kandungan yang mudah menguap atau keluar dari batubara.
(a) (b) Gambar 6. (a) Sampel Temperatur 1000C, (b) Sampel Temperatur 1350C. E. Tahap Analisa Parameter yang dianalisa berupa kadar air, nilai kalor, zat terbang dan karbon tetap. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Efek Kenaikan Temperatur Terhadap Penurunan massa Pada proses pengeringan, massa sampel terus menerus mengalami penurunan sesuai dengan waktu (dalam menit), hal ini di sebabkan hilangnya zat-zat yang terkandung dalam batubara. Profil penurunan massa batubara terhadap temperatur dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 8 Grafik hubungan antara fraksi massa tinggal dan waktu pengeringan temperatur 1000C dan 1350C
B.
Hasil Analisa Sampel Batubara Sub Bituminous B
Berikut merupakan hasil eksperimen selama seratus enam puluh menit yang telah di analisa laboratorium oleh PT. Geoservice Coal Laboratory Division di tunjukkan pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 1. Hasil analisa proksimasi batubara sub bituminus b AP
unit
Mifa arb adb
1000C arb adb
44.09 - 33.74 1 % 3986 2 kkal/g 3408 14.52 15.40 3 % 6.12 5.50 4 % - 42.95 42.89 5 % 36.41 36.21 6 % 5210 5089 7 kkal/g Keterangan : 1. Total moisture 2. Calorific Value 3. Moisture in The Analysis 4. Ash Content 5. Volatile Matter 6. Fixed Carbon 7. Gross Calorific Value
Gambar 7. Grafik Hubungan antara Fraksi penurunan massa dan waktu pengeringan 1000C dan 1350C Gambar 7 adalah hubungan antara fraksi penurunan massa terhadap waktu pengeringan. Dari gambar dapat dilihat, semakin tinggi temperatur udara pengering semakin cepat prose penurunan massa batubara. Selanjutnya pada gambar 3 dapat dilihat, 16
1350C arb adb 28.60 4282 14.77 5.32 43.19 36.72 5112
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Tabel 1 menunjukkan hasil eksperimen karena adanya perbedaan atau perubahan unsur terhadap temperatur pengeringan. Pada temperatur 1000C kandungan air atau total moisture lebih banyak yaitu 33.74% sedangkan pada temperatur 1350C lebih sedikit yaitu 28.60%. Untuk nilai kalor atau calorific value temperatur 1000C lebih sedikit yaitu 3986 kkal/g sedangkan pada temperatur 1350C lebih banyak yaitu 4282 kkal/g. zat terbang atau volatile matter sendiri mangalami kenaikan. Pada temperatur 1000C zat terbang 42.89%. sementara pada temperatur 1350C lebih banyak yaitu 43.19 %. Profil kandungan air, nilai kalor, zat terbang dan karbon tetap dapat dilihat Gambar 9, 10, dan 11.
Gambar 11. Grafik perbandingan ash content, volatile matter dan fixed carbon terhadap masing masing sampel IV. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh adalah: Semakin tinggi temperatur udara pengering maka semakin cepat penurunan massa batubara. Semakin tinggi temperatur udara pengering maka semakin cepat kandungan air didalam batubara keluar atau terbawa udara pengering.
Gambar 9. Grafik perbandingan kandungan air terhadap Mifa, temperatur 1000C, dan 1350C
Kandungan air dan nilai kalor batubara sub bituminous b Aceh setelah di keringkan memenuhi standar untuk menjadi bahan bakar. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Laboratorium Motor Bakar Dan Propulsi Jurusan Teknik Mesin Dan Industri dan bantuan dana hibah Pekan Kreativitas Mahasiswa RISTEKDIKTI 2016.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Ewart, Donald L. Jr., Vaughn, Robert, Marston., 2009, Review the Indonesian thermal Coal Industry, World Coal Asia Special, tersedia http://www.worldcoal.com/, diakses 22 Novembar 2016.
Gambar 10. Grafik perbandingan nilai kalor terhadap (GCV) Mifa, 1000C dan 1350C
[2]. Baaqy L. A., 2013, “Pengeringan Low Rank Coal dengan menggunakan Metode Pemanasan tanpa Kehadiran Oksigen”. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
17
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[3]. Khairil., 2013, “Buku Ajar Teknik Pembakaran (bahan bakar padat)”, Syiah Kuala Uneversity Press, Banda Aceh, hal. 131-132. [4]. Xianchun, Li, Song, Hui, Wang, Qi, Meesri, Chatpol, Wall, Terry, Yu, Jianglong., 2009, “Experimental study on drying and moisture re-adsorption kinectics of an Indonesian low rank coal, Vol. S, P.127-S130.
Biodata Penulis Nama : Rendra Rusdianto Jenis Kelamin : Laki-laki Program Studi : Teknik Mesin S-1 TTL : Lhokseumawe, 21 Mei 1994 No. Hp/Tlp : +6285270009392
18
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Klasifikasi Sinyal EMG pada Otot Tungkai Selama Berjalan Menggunakan Random Forest Classification of EMG in Lower Limb Muscle during Walking using Random Forest Darma Setiawan Putra1, Adhi Dharma Wibawa2, Mauridhi Hery Purnomo3 1
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Jurusan Teknik Informatika, Politeknik Aceh Selatan 2,3 Jurusan Teknik Multimedia dan Jaringan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 1 Jalan Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya Jalan Merdeka, Kompleks Reklamasi Pantai, Tapaktuan, Aceh Selatan 2,3 Jalan Arif Rahman Hakim, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak – Sinyal electromyography (EMG) merupakan suatu sinyal elektrik yang terdapat dalam lapisan otot selama gerakan aktif. Cara orang berjalan ditentukan oleh struktur otot dan tulang sehingga cara berjalan ini adalah unik dan dapat digunakan sebagai data biometrik. Pada penelitian ini, kami mengklasifikasi data EMG dari delapan jenis otot tungkai selama percobaan berjalan normal: Rectus Femoris, Vastus Lateralis, Vastus Medialis, Bicep Femoris, Semitendinosus, Gastrocnemius Lateralis, Gastrocnemius Medialis, dan Tibialis Anterior. Enam orang subyek diminta untuk berjalan di laboratorium GaitLab dengan 8 buah elektroda EMG ditempel pada otot mereka. Subyek diminta untuk berjalan sebanyak 1 gait cycle dengan 3 kali pengambilan data. Total dataset EMG untuk klasifikasi adalah sebanyak 18 buah. Metode graph feature extraction dan principal component analysis digunakan untuk ekstraksi fitur data EMG. Metode Random Forest digunakan untuk mengklasifikasi data EMG berdasarkan subyek. Metode pelatihan dan pengujian data EMG menggunakan cross validation (CV). Akurasi klasifikasi yang dihasilkan dengan menggunakan metode graph feature extraction adalah sebesar 88.88% dan metode principal component analysis adalah sebesar 72.22%. Hasil ini menunjukkan bahwa data EMG ketika berjalan dari 8 jenis otot tungkai dapat digunakan untuk identitas biometrik gaya berjalan (gait). Kata kunci : EMG; Otot Tungkai; Biometrik Gait; Principal Component Analysis; Analisis Gait. Abstract - Electromyography (EMG) signal is an electrical signal in the muscle layer during active motion. The way people walking is determined by the structure of the muscle and bones so that the way of walking is unique and must be able to used in biometric data. In this research, we classified the EMG data from eight lower limb muscle during normal walking: Rectus Femoris, Vastus Lateralis, Vastus Medialis, Bicep Femoris, Semitendinosus, Gastrocnemius Lateralis, Gastrocnemius Medialis, and Tibialis Anterior. Six healthy volunteer were involved for walking in GaitLab with 8 EMG electrodes attached on their muscle. They are performed one gait cycle and 3 walking trial. So the EMG dataset total for analized classification is 18 unit. Graph feature extraction and principal component analysis method was used to extract the feature of EMG data. Random Forest method was used to classify the EMG data based on subject. Training and testing method were used cross validation (CV). The accuracy of classification using graph feature extraction method is 88.88% and using principal component analysis method is 72.22%. In the result show that EMG data during walking of 8 lower limb muscles can be used to identity of gait biometric. Keyword : EMG; Lower Limb Muscle; Gait Biometric; Principal Component Analysis; Gait Analysis.
I.
sebuah alat yang disebut electromyograph (EMG) [1]. Setiap orang memiliki sinyal EMG selama berjalan pada otot tungkai yang unik sehingga sinyal ini dapat digunakan untuk identitas biometrik. Sinyal EMG ini juga dapat diaplikasikan untuk program rehabilitasi pasien, pembuatan animasi cara berjalan seseorang ataupun pengembangan robot kaki yang dijalankan menggunakan pola sinyal EMG. Pengenalan manusia berdasarkan gerak berjalan (gait) telah dipublikasikan pada beberapa penelitian. Lee, et al [2] melakukan penelitian analisis gait berbasis video. Akuisisi citra gait manusia dengan
PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki gaya berjalan (gait) yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena oleh struktur tulang dan komposisi otot tungkai yang melingkupinya. Perbedaan ukuran otot tungkai akan menghasilkan perbedaan sinyal EMG selama berjalan pada setiap orang. Pada saat otot berkontraksi maka otot akan mengeluarkan potensial listrik dengan besaran magnitudo tertentu dan pada saat otot berelaksasi maka potensial listrik akan berkurang secara berkala. Potensial listrik yang dihasilkan dari otot tungkai ini dapat direkam dan diukur dengan
19
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
menggunakan pakaian khusus yaitu tangan berwarna merah, kaki kanan dan badan berwarna hitam serta kaki kiri berwarna putih. Untuk segmentasi dilakukan dengan menggabungkan antara objek dan latar belakang kemudian melakukan filterisasi menggunakan Gaussian filter. Ekstraksi fitur menggunakan analisa histogram dan metode hough transform pada citra skeletonisasi untuk mendapatkan nilai dari kesepuluh fitur. Empat fitur merupakan kelompok jarak dan enam lainnya merupakan hasil pengukuran sudut. Wagg and Nixon [3] melakukan analisis gait dari jarak jauh secara real time menggunakan video dengan bentuk siluet seseorang. dari siluet tersebut akan diubah menjadi skeleton dan dari skeleton akan dicari fitur dari gerak jalan tersebut. Citra akan diproses menggunakan gaussian untuk menghilangkan derau kemudian diikuti dengan deteksi tepi Sobel. Nearest neighbor classifier digunakan untuk proses pengenalan dengan metode leave-one-out cross validation. Muazz and Nickel [4] melakukan penelitian menggunakan sensor accelerometer untuk pengenalan gait dengan kecepatan berjalan yang berbeda. Sensor accelerometer yang telah banyak terpasang di perangkat smartphone kemudian dipasang di tubuh objek. Ekstraksi cycle didasarkan pada akselerasi arah sumbu x yang dibandingkan dengan arah sumbu y dan z. Tujuh tahapan untuk melakukan ekstraksi cycle adalah interpolation, filtering, centring around zero, cycle length estimation, cycle detection, cycle normalization, deletion of unusual cycle, dan computation of typical cycle. Hasilnya menunjukkan bahwa kecepatan berjalan yang berbeda akan berpengaruh terhadap pengenalan gait.. Dianta [5] telah meneliti tentang pengenalan manusia berdasarkan data marker trayektori yang dipasang pada otot tungkai sebanyak 16 buah, 8 buah marker pada kaki kanan dan 8 buah marker pada kaki kiri. Pergerakan marker ini akan memiliki lintasan x, y dan z selama proses berjalan. Jumlah subyek yang dilibatkan sebanyak 8 orang. Seluruh data marker trayektori pada setiap subyek dilatih dan diuji menggunakan naïve bayesian untuk proses pengenalan. Hasilnya menunjukkan bahwa 98% dari data marker trayektori tersebut dapat mengenal siapa pemiliknya. Hal ini menunjukkan bahwa pola berjalan setiap orang memiliki keunikan sehingga dengan keunikan gaya berjalan tersebut dapat digunakan dalam bidang biometrik. Kaur et. al [6] telah meneliti tentang adanya perbedaan sinyal EMG pada otot tungkai selama berjalan dengan kecepatan normal dan cepat. Dalam penelitian tersebut mereka menganalisis sinyal EMG dengan menggunakan metode root mean square (RMS) dan median frequency (MDF). Adanya variasi nilai RMS dan MDF dari sinyal EMG pada setiap otot yang berbeda dapat digunakan sebagai pengetahuan tentang kecepatan berjalan manusia normal. Secara statistik variasi nilai RMS dan MDF ini dapat digunakan untuk mengetahui perubahan kecepatan berjalan tersebut. Dalam penelitian ini, kami melakukan analisis gait berbasis sinyal EMG dengan melakukan
pengklasifikasian sinyal EMG selama berjalan dengan kecepatan normal (self-selected speed) pada 8 otot tungkai Metode ektraksi fitur dalam penelitian ini menggunakan dua metode perbandingan yaitu graph feature extraction and principal component analysis. Hasil ekstraksi fitur akan dijadikan sebagai fitur untuk memprediksi kelas subyek dari data EMG. Klasifikasi ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana variasi pola sinyal EMG pada otot tungkai dimiliki oleh seseorang sehingga sinyal EMG ini dapat digunakan sebagai identitas biometrik gait.
II.
METODOLOGI PENELITIAN
Adapun metodologi dari penelitian ini adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Envelope sinyal EMG
Graph Feature Extraction
Principal Component Analysis
Random Forest
Gambar 1. Metodologi penelitian Gambar 1 menjelaskan bahwa sinyal EMG yang telah berbentuk envelope sinyal akan diekstraksi untuk memperoleh fitur dengan menggunakan dua metode yaitu metode graph feature extraction dan principal component analysis. Hasil ekstraksi fitur dari masingmasing metode ini akan diklasifikasi dengan menggunakan naïve bayessian untuk mengetahui akurasi pengklasifikasian dari sinyal EMG pada otot tungkai selama berjalan berdasarkan subyek. Dataset pada penelitian diadopsi dari penelitian Wibawa, et al [7] yang berjudul A validation study on muscle activity prediction of a lower limb musculoskeletal model using EMG during normal walking. A. Envelope Sinyal EMG Envelope sinyal EMG merupakan sinyal EMG yang telah melalui proses full wave rectification, filtering, dan smoothing dari raw sinyal EMG. Envelope dari raw sinyal EMG ini berguna untuk mengetahui waktu aktif otot dan mengukur level aktivasi. Bentuk envelope dari sinyal EMG pada otot Gastrocnemius Medialis (GM), Bicep Femoris (BF), Gastrocnemius Lateralis (GL), dan Tibialis Anterior (TA) pada otot tungkai sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.
20
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Durasi merupakan banyaknya waktu yang terjadi selama otot aktif dalam satu siklus berjalan (gait cycle). Perbedaan durasi ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya otot yang aktif selama berjalan. Biasanya semakin lama aktifnya otot tungkai maka semakin panjang durasi waktu yang akan dihasilkan. Gambar 5 menunjukkan durasi waktu sinyal EMG dari otot gastrocnemius medialis.
Gambar 2. Envelope sinyal EMG dari otot GM, BF, GL, dan TA Durasi
B. Graph Feature Extraction (GFE) Graph feature extraction merupakan suatu teknik ekstraksi fitur dengan melakukan observasi pada ciri dari pola grafik sinyal EMG. Adapun langkah-langkah melakukan metode ekstraksi fitur graph feature extraction seperti ditunjukkan dalam alur pada Gambar 3. Grafik Sinyal EMG
Hitung Onset dan Offset Sinyal EMG
Hitung Skor Gradien Sinyal EMG
Hitung Durasi Sinyal EMG
Gambar 5. Durasi sinyal EMG pada otot gastrocnemius medialis Pada metode ini, fitur sinyal EMG diperoleh dengan menerapkan skor gradien. Skor gradien dihitung dengan melihat setiap perubahan gradien garis. Apabila gradien yang terjadi adalah gradien positif maka nilai perubahan tersebut diberi skor 2. Apabila gradien yang terjadi adalah gradien negatif maka nilai perubahan tersebut diberi skor -1. Dan apabila tidak terjadi perubahan gradien maka perubahan tersebut diberi skor 0. Nilai total dari skor gradien merupakan penjumlahan dari seluruh nilai gradien dari titik ke titik. Ilustrasi terkait dengan gradien positif, negatif dan nol adalah seperti Gambar 6.
Gambar 3. Tahapan graph feature extraction Onset merupakan titik awal kenaikan tegangan pada sinyal EMG sedangkan offset merupakan titik akhir penurunan tegangan pada sinyal EMG. Nilai threshold yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan titik onset dan offset adalah 20% dari nilai amplitudo maksimum pada setiap otot [8]. Ilustrasi titik onset dan offset pada salahsatu envelope sinyal EMG dari otot gastrocnemius medialis sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4.
onset
Gradien nol Gradien positif Gradien negatif
offset
Gambar 6. Skor gradien sinyal EMG Berdasarkan Gambar 4 maka skor gradien dihitung hanya pada sinyal di atas nilai threshold pada setiap titik onset dan titik offset. C. Principal Component Analysis (PCA) PCA merupakan suatu teknik yang biasa digunakan untuk mengetahui pola dalam sekumpulan data. Metode PCA ini berusaha mencari proyeksi terbaik yang dapat merepresentasikan suatu kumpulan data. Metode ini biasa digunakan dalam teknik kompresi untuk memperoleh dimensi data yang lebih kecil tanpa
Gambar 4. Titik onset dan offset pada sinyal EMG
21
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
kehilangan informasi yang terkandung di dalamnya [9]. Adapun langkah-langkah untuk melakukan ekstraksi fitur sinyal EMG menggunakan metode PCA seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.
Matriks data sinyal EMG Error! Reference source not found. Menghitung komponen utama sinyal EMG
Normalisasi data sinyal EMG menggunakan z-score
Mengurutkan eigenvector
menggunakan Persamaan 4 dan nilai eigen akan diperoleh dengan menggunakan Persamaan 5.
(A I )v 0
(4)
(5) det(I A ) 0 Untuk memperoleh vektor eigen dan nilai eigen pada Persamaan 4 dan 5 menggunakan bantuan matriks identitas (I). Principal component dari sinyal EMG diperoleh dengan mengalikan variabel data x dengan matriks vektor eigen v seperti ditunjukan oleh Persamaan 6.
Menghitung nilai kovarian
Menghitung eigenvalue dan eigenvector
pc x .v
(6)
Gambar 7. Tahapan principal component analysis D. Random Forest Random forest adalah algoritma klasifikasi dan regresi yang menjadi bagian dari kelompok ensemble learning [11]. Metode random forest merupakan pengembangan dari decision tree dimana setiap decision tree telah dilakukan proses pelatihan dengan menggunakan sampel individu. Random forest yang dihasilkan memiliki banyak tree dan setiap tree ditanam dengan cara yang sama. Seiring dengan bertambahnya dataset, maka tree juga ikut berkembang. Dalam random forest, pemilihan atribut pada setiap kali sebuah node akan dipecah akan diambil secara acak. Setiap tree diberi sampel data pelatihan dengan menggunakan metode bagging dan tiap tree dibangun menggunakan metode yang sama untuk membangun CART (classification and regression tree). Metode ini menerapkan metode bootstrap aggregating (bagging) dan random feature selection [11]. Proses prediksi random forest seperti ditunjukkan oleh Gambar 8.
Normalisasi data diperlukan untuk mendapatkan dalam dalam skala yang sama [10]. Setiap data (x) dalam satu dimensi dikurangi dengan mean (Error! Reference source not found.) dimensi tersebut dan dibagi dengan nilai standar deviasi (Error! Reference source not found.) dari dimensi itu juga. Normalisasi menggunakan metode z-score seperti ditunjukkan oleh Persamaan 1. x (1) Kovarian merupakan hubungan keterkaitan antara dua variabel independen. Jika diketahui variabel Error! Reference source not found. dan Error! Reference source not found. dengan jumlah sampel data Error! Reference source not found. maka nilai kovarian dari Error! Reference source not found. dan Error! Reference source not found. dapat diketahui dengan menggunakan Persamaan 2. z score
n
cov(x , y )
(x i 1
i
x )( y i y ) n 1
Data Uji
(2)
Vektor eigen merupakan vektor kolom bukan nol yang jika dikalikan dengan suatu matriks yang berukuran n×n akan menghasilkan vektor lain yang memiliki kelipatan dari vektor eigen itu sendiri. Jika ada sebuah matriks A dan v maka perkalian matriks untuk memperoleh vektor eigen dan nilai eigen seperti ditunjukkan oleh Persamaan 3.
Av v
Tree#1
Tree#2
Tree#3
Aggregasi prediksi
Tree#n
Random Forest
(3) Prediksi
Persamaan 3 diatas berlaku untuk v 0 dan v disebut dengan vektor eigen (eigen vector) dari suatu matriks Error! Reference source not found.. Vektor eigen akan selalu beriringan dengan nilai eigen (eigen value). Notasi Error! Reference source not found. disebut dengan nilai eigen. Merujuk ke Persamaan 3 maka vektor eigen akan diperoleh dengan
Gambar 8. Proses prediksi random forest Random forest yang dihasilkan memiliki banyak tree dan setiap tree akan tumbuh dengan cara yang sama. Tree dengan variabel x akan ditempatkan pada jarak yang jauh dengan tree dengan variabel y. Sejalan
22
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dengan bertambahnya dataset maka tree pun ikut berkembang. Penempatan tree yang saling berjauhan akan memudahkan dalam deteksi jenis tree. Tree yang berada di sekitar tree x maka tree tersebut merupakan perkembangan dari tree x sedangkan tree yang berada disekitar tree y maka tree tersebut merupakan perkembangan dari tree y. Pembangunan tree akan berhenti ketika data sudah homogen atau jika batas jumlah data minimum sudah terlewati. Penelitian ini menggunakan weka software versi 3.8 [12] untuk melakukan klasifikasi subyek data EMG. Parameter random forest pada weka yang digunakan antara lain : besar kedalaman tree adalah 7 dan jumlah iterasi adalah 80. Jenis validasi yang digunakan adalah k-cross validation dengan nilai k=3. Untuk mengetahui kinerja dari classifier [13], penelitian ini akan melakukan evaluasi dengan menggunakan Persamaan 7, 8, dan 9. akurasi
TP TN TP TN FP FN
sensitifitas
S#5 0 S#6 0 *S=Subyek
Metode
(9)
GFE
PCA
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode random forest classifier untuk pengklasifikasian data EMG pada otot tungkai selama berjalan. Adapun hasil pengklasifikasian sinyal EMG berdasarkan subyek yang menggunakan metode graph feature extraction (GFE) dan metode principal component analysis (PCA) sebagaimana ditunjukkan oleh confusion matrix pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Actual
S#1 S#2 S#3 S#4 S#5 S#6 *S=Subyek
S#2 0 2 0 0 0 0
Predicted S#3 S#4 0 0 0 0 2 0 0 3 0 0 0 0
S#5 0 0 0 0 3 0
S#6 0 0 0 0 0 3
IV.
Actual
Tabel 2. Hasil pengklasifikasian metode PCA
S#1 S#2 S#3 S#4
S#1 0 0 0 0
S#2 0 1 0 0
Predicted S#3 S#4 2 1 0 1 3 0 0 3
S#5 0 0 0 0
3 0
0 3
Evaluator
S#1
S#2
S#3
S#4
S#5
S#6
Sensitifitas
1
0.67
0.67
1
1
1
Presisi
0.6
1
1
1
1
1
Sensitifitas
0
0.33
0.67
1
1
1
Presisi
0
1
0.67
0.5
1
0.75
Tabel 3 memperlihatkan bahwa sensifitas dan presisi untuk metode GFE dan PCA pada pengklasifikasian data EMG yang paling rendah adalah pada subyek1 sedangkan sensitifitas dan presisi pengklasifikasian untuk metode GFE dan PCA pada pengklasifikasian data EMG yang paling tinggi adalah pada subyek5. Hal ini dapat menunjukkan juga bahwa subyek5 memiliki sinyal EMG pada otot tungkai ketika berjalan yang paling unik bila dibandingkan dengan subyek yang lain sedangkan subyek1 memiliki sinyal EMG pada otot tungkai yang kurang unik. Apabila menggunakan Persamaan 6 maka diperoleh akurasi pengklasifikasian untuk masing-masing metode adalah 88.88% untuk metode graph feature extraction dengan misklasifikasi sebanyak 2 sampel data EMG dan 72.22% untuk metode principal component analysis dengan misklasifikasi sebanyak 4 sampel data EMG.
Tabel 1. Hasil pengklasifikasian metode GFE S#1 3 1 1 0 0 0
0 0
Tabel 3. Evaluasi kinerja classifier
(8)
TP presisi TP FP
0 0
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa data EMG milik subyek1, subyek4, subyek5, dan subyek6 berhasil diklasifikasi dengan benar (True Positif=TP) untuk semua sampel data EMG. Sementara itu, data EMG untuk subyek2 dan subyek3 terjadi misklasifikasi sebanyak masing-masing 1 sampel data EMG (False Negative=FN). Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa data EMG milik subyek3, subyek4, subyek5, dan subyek6 berhasil diklasifikasi dengan benar (True Positif=TP) untuk semua sampel data EMG. Sedangkan untuk subyek1 terjadi misklasifikasi (False Negative=FN) untuk semua sampel data EMG sedangkan subyek2 terjadi misklasifikasi sebanyak 2 sampel data EMG. Dengan mengacu pada Persamaan 8 dan 9 maka diperoleh nilai sensitifitas dan presisi untuk masingmasing metode ekstraksi seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.
(7)
TP TP FN
0 0
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan yang telah disampaikan pada bagian III dapat disimpulkan bahwa sinyal EMG pada otot tungkai merupakan sinyal yang berbeda antara satu subyek dengan subyek yang lain. Tingkat perbedaan ini dikarenakan oleh variasi gaya berjalan (gait) yang dimiliki oleh seseorang. Ciri dari sinyal EMG pada setiap subyek selama berjalan dapat
S#6 0 1 0 0
23
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
digunakan untuk mengidentifikasi subyek tersebut. Dengan menggunakan metode ekstraksi fitur graph feature extraction diperoleh akurasi pengklasifikasian sebesar 88.88% dan metode principal component analysis diperoleh akurasi pengklasifikasian sebesar 72.22%. Dengan akurasi klasifikasi pada kedua metode tersebut dapat dikatakan bahwa pola sinyal EMG pada otot tungkai selama berjalan untuk keenam subyek masih dapat dikategorikan sebagai sinyal EMG yang unik sehingga dengan pola sinyal EMG yang unik tersebut dapat digunakan sebagai identitas biometrik gait. Untuk penelitian kedepan, jumlah partisipan yang dilibatkan dapat ditambah sehingga hasil dan akurasi yang diperoleh dapat menjadi lebih baik. Classifier jenis yang lain dapat juga diujicoba untuk memperoleh perbandingan akurasi klasifikasi.
[5] A. F. Dianta, “Pengenalan Seseorang Berbasis Skoring Data Trayektori Gaya Berjalan (Gait) Menggunakan Naive Bayessian,” 2015. [6] M. Kaur and S. Mathur, “EMG analysis for identifying walking patterns in healthy males,” pp. 65–68, 2015. [7] A. D. Wibawa, N. Verdonschot, J. G. M. Burgerhof, I. K. E. Purnama, M. S. Andersen, and J. P. K. Halbertsma, “A Validation Study on Muscle Activity Prediction of a Lower Limb Musculoskeletal Model using EMG During Normal Walking,” pp. 260–264, 2013. [8] G. Kamen and D. A. Gabriel, Essential of Electromyography. Human Kinetic, 2010. [9] G. Bosco, “Principal component analysis of electromyographic signals: An overview,” Open Rehabil. J., vol. 2, pp. 127–131, 2010. [10] S. G. K. Patro and K. Kumar, “Normalization : A Preprocessing Stage,” 2015. [11] L. E. O. Breiman, “Random Forests,” pp. 5–32, 2001. [12] http://www.cs.waikato.ac.nz/ml/weka/ [13] D. M. W. Powers, “Evaluation : From Precision , Recall and F-Factor to ROC , Informedness , Markedness & Correlation,” no. December, 2007.
DAFTAR PUSTAKA [1] P. Konrad, “The ABC of EMG A Practical Introduction to Kinesiological Electromyography,” Noraxon Inc, no. April, pp. 1–60, 2005. [2] H. Lee, L. Guan, and I. Lee, “Video Analysis of Human Gait and Posture to Determine Neurological Disorders,” Eurasip J. Image Video Process., vol. 2008, 2008. [3] D. K. Wagg and M. S. Nixon, “On Automated Model-Based Extraction and Analysis of Gait,” Proc. - Sixth IEEE Int. Conf. Autom. Face Gesture Recognit., pp. 11–16, 2004. [4] M. Muaaz and C. Nickel, “Influence of Different Walking Speeds and Surfaces on AccelerometerBased Biometric Gait Recognition,” 2012 35th Int. Conf. Telecommun. Signal Process. TSP 2012 - Proc., pp. 508–512, 2012.
24
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Studi Pengaruh Tebal Selimut Beton Busa Bertulang dengan Bahan Pengisi Pozzolan Terhadap Potensial Korosi Menggunakan Metode Half-Cell Potential Mapping Study of Cover Depth Influence for Foamed Reinforced Concrete with Pozzolan As Filler to Corrosion Potential using Half-Cell Potential Mapping Technique Syarizal Fonna1, Ammar Ramzy1, Syifaul Huzni1, Abdullah2, Zubaidi Amri2 2
1 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia Phone : +62-651- 7555874, e-mail:
[email protected]
Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh tebal selimut beton terhadap potensial korosi pada beton busa pozzolan bertulang dan membandingkan risiko korosi beton busa pozzolan dengan beton normal konvensional. Spesimen berbentuk balok dengan panjang 50 cm, lebar 8 cm dan tinggi 8 cm sebanyak 3 buah dengan variasi tebal selimut beton yaitu 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Spesimen mendapatkan perlakuan wet-dry cycle dalam media larutan NaCl 3,5 % untuk mempercepat proses terjadinya korosi. Untuk mencari letak tulangan di dalam beton digunakan Profometer 3 dan untuk mengukur nilai potensial pada permukaan beton digunakan Half-Cell Potential Meter. Potensial korosi dianalisis berdasarkan kriteria dalam ASTM C876. Hasil pengukuran potensial korosi pada beton busa pozzolan bertulang dengan tebal selimut 2 cm setelah 4 minggu dan 6 minggu wet-dry cycle menunjukkan nilai rata-rata sebesar -203 mV dan -212 mV. Sedangkan untuk tebal selimut 3 cm sebesar -203 mV dan -210 mV. Sementara untuk tebal selimut 4 cm sebesar -201 mV dan -203 mV. Kemudian, nilai potensial korosi beton busa pozzolan dengan beton normal konvensional setelah 6 minggu wet-dry cycle menunjukkan nilai rata-rata sebesar -212 mV dan -245 mV. Melalui hasil pengukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa ketebalan selimut beton belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap nilai potensial korosi dalam masa 6 minggu wet dry cycle. Kemudian, terlihat bahwa risiko korosi beton busa pozzolan cenderung lebih rendah dibandingkan beton normal konvensional. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan menambah waktu wetdry cycle guna melihat pengaruh tebal selimut terhadap potensial korosi. Kata kunci: risiko korosi, half-cell potential mapping, beton busa bertulang, potensial korosi, pozzolan. Abstrack - The aims of this research is to study the influence of the cover depth of concrete to potential corrosion of reinforced pozzolan foam concrete and comparing the corrosion risk of pozzolan foam concrete with conventional normal concrete. Specimens were provided 3 pieces with dimensions in length of 50 cm, width of 8 cm and height 8 cm and variation of cover depth that is 2 cm, 3 cm, and 4 cm. Specimens were subjected to wet-dry cycle in 3.5% NaCl solution media to accelerate the corrosion process. Profometer 3 was used to find the location of the reinforcing steel in the concrete and Half-Cell Potential Meter to measure potential value on the surface of concrete. Corrosion potential was analyzed based on criteria in the ASTM C876. Corrosion potential measurement results for reinforced pozzolan foam concrete with 2 cm cover depth after 4 weeks and 6 weeks of wet-dry cycle shows an average value of potential corrosion is -203 mV and -212 mV. As for the 3 cm cover depth is -203 mV and -210 mV. While for the 4 cm cover depth is -201 mV and -203 mV. The average potential corrosion values between the pozzolan foam concrete and conventional normal concrete after 6 weeks of wet-dry cycle shows the value of -212 mV and -245 mV. Through the measurement results, it can be concluded that the cover depth of the concrete has not provided a influence to the corrosion potential value within 6 weeks of the wet dry cycle. Then, it can be seen that the corrosion risk of pozzolan foam concrete tends to be lower than the conventional normal concrete. Therefore, further research is needed by prolong wet-dry cycle time in order to see the influence of cover depth to potential corrosion. Keywords : corrosion risk, half-cell potential mapping, reinforced foam concrete, potential corrosion, pozzolan.
25
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
I.
penelitian ini merujuk kepada standar ASTM C876 [6]. Tahapan penelitian selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Kondisi wilayah seperti ini rentan terhadap serangan korosi. Korosi/karat merupakan fenomena kerusakan atau penurunan mutu suatu material yang diakibatkan reaksi antar lingkungan dan material itu sendiri [1]. Secara umum beton bertulang konvensional dapat terserang korosi, maka tidak kecil kemungkinan beton busa dengan bahan tambahan pozzolan juga akan mengalami hal yang sama. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa risiko korosi tulangan dalam beton busa lebih kecil dibandingkan dengan beton normal. Penambahan pozzolan dalam beton busa dapat memperkecil risiko korosi tulangan, bila dirawat dengan cara yang sama dengan beton normal. Perbedaan ketebalan selimut beton ditahap awal pengukuran belum memperlihatkan perbedaan nilai potensial korosi yang signifikan. Beton busa yang direndam pada media air laut buatan lebih berisiko terkorosi dibandingkan yang direndam pada media air sumur. Risiko korosi tulangan dalam beton busa jika terpapar dalam lingkungan yang korosif lebih rendah dibandingkan dengan risiko korosi tulangan dalam beton normal [2]. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa beton busa pozzolan dan beton busa normal mampu melawan penetrasi ion klorida yang dipengaruhi oleh variasi jenis beton, permeabilitas serta tahanan beton sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai laju korosi pada tulangannya [3]. Pada penelitian tahun 2015 juga menunjukkan bahwa risiko korosi beton ringan relatif lebih rendah dibandingkan konvensional sehingga memiliki ketahanan korosi yang lebih baik [4]. Penelitian selanjutnya tetap diperlukan untuk pencegahan peningkatan korosi pada baja tulangan, agar kegagalan pada bangunan secara tiba-tiba dapat dihindari [5]. Pada penelitian ini akan dilakukan sebuah pengujian dengan variasi tebal selimut beton yang pada penelitian sebelumnya belum dilakukan. Sehingga nantinya dapat dipastikan bahwa beton ringan layak digunakan sebagai elemen struktural ataupun tidak. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh tebal selimut beton terhadap potensial korosi pada beton busa pozzolan bertulang dan membandingkan risiko korosi beton busa pozzolan dengan beton normal konvensional.
A.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Profometer 3. Peralatan ini merupakan alat yang digunakan untuk mencari lokasi tulangan dan sengkang tanpa merusak permukaan beton serta mengukur tebal selimut beton. Alat ini menggunakan prinsip arus eddy dengan induksi pulsa sebagai metode pengukurannya. Gambar 1 memperlihatkan Profometer 3 yang digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 1. Profometer 3. Digital Half-Cell Potential Meter digunakan untuk mengukur nilai potensial korosi dengan tanpa merusak. Alat ini memanfaatkan informasi berupa nilai potensial. Titik nilai potensial pada permukaan beton yang terukur dianggap mewakili nilai potensial sebenarnya pada permukaan tulangan baja. Selanjutnya, nilai potensial yang didapat, kemudian dianalisa untuk dapat ditentukan lokasi terjadinya korosi pada struktur beton bertulang. Gambar 2 menunjukkan Digital Half-Cell Potential Meter yang digunakan.
II. METODE PENELITIAN Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu dilakukan persiapan peralatan. Persiapan alat dilakukan guna mengantisipasi kesalahan dalam melakukan penelitian. Setelah persiapan alat selesai maka dilakukan pengujian pada objek benda uji. Pelaksanaan
Gambar 2. Digital Half-Cell Potential Meter.
26
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
B.
Pelaksanaan Penelitian
4)
1)
Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk menentukan letak baja tulangan di dalam beton digunakan alat Profometer 3. Untuk mencari letak baja tulangan maka letakkan detektor secara vertikal/horizontal. Lakukan langkah-langkah tersebut berulang untuk mencari setiap titik lokasi baja tulangan. Gambar 5 menunjukkan prosedur kerja penentuan letak baja tulangan.
Pembuatan benda uji dan pengukuran nilai potensial korosi dilakukan di Laboratorium Kontruksi dan Bahan Bangunan, Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium Rekayasa Material, Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala dengan Mengggunakan peralatan Profometer 3 dan alat Digital Half-Cell Potential Meter. Penelitian dilakukan selama 6 minggu dengan interval waktu 2 minggu perendaman terhadap media rendaman larutan NaCl 3,5%. Dan selanjutnya di angin-anginkan dalam udara terbuka selama ±24 jam. Proses perlakuan ini disebut dengan wet-dry cycle. 2)
Penentuan baja tulangan di dalam beton
Benda Uji
Benda uji yang digunakan pada penelitian ini berbentuk balok dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 8 cm dan tinggi 8 cm. Gambar 3 menunjukkan geometri benda uji yang digunakan pada penelitian ini.
Gambar 5. Penentuan baja tulangan pada beton menggunakan Profometer 3. 5)
Pembentukan grid dilakukan setelah lokasi baja tulangan pada permukaan beton diketahui. Kemudian, titik-titik baja tulangan yang telah diketahui ditandai menggunakan spidol atau alat bantu lainnya. Setiap titik-titik tersebut digaris menggunakan penggaris agar terhubung menjadi gambaran lokasi dimana baja tulangan berada. Gambar 6 menunjukkan pembentukan grid baja tulangan berada.
Gambar 3. Geometri benda uji. 3)
Pembentukan grid
Pembuatan benda uji
Proses pembuatan benda uji dilakukan dengan pembuatan mal (cetakan) dan dicor dengan baja tulangan sesuai dengan disainnya untuk melihat pengaruh tebal selimut terhadap nilai potensial korosi pada beton bertulang. Gambar 4 menunjukkan mal (cetakan) untuk penelitian ini.
Gambar 6. Pembentukan grid baja tulangan. Gambar 4. Cetakan benda uji.
27
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 6)
Pengukuran nilai potensial korosi Data hasil pengukuran diplot dalam bentuk grafik potensial terhadap jarak. Tujuannya untuk melihat distribusi potensial dan mendeteksi lokasi awal terjadinya korosi. Dimulai dari setiap titik antara titik 1 - 9 dengan jarak 5 cm pada baja tulangan dalam beton dan variasi tebal selimut yang berbeda yaitu 2 cm, 3 cm dan 4 cm. Pada daerah yang terjadinya korosi setempat atau yang parah terjadi korosi nilai potensialnya akan lebih negatif, apabila dibandingkan dengan daerah-daerah pengukuran yang lainnya. Tabel 1 menunjukkan standar ASTM C876 untuk penentuan level risiko korosi.
Dalam penelitaian ini, data yang diambil berupa nilai potensial korosi baja tulangan pada permukaan beton. Pengukuran nilai potensial korosi dilakukan menggunakan alat Digital Half-Cell Potential Meter SCRIBE DHC (PC1018). Hal pertama yang dilakukan adalah mengeluarkan benda uji dalam media rendaman NaCl 3,5 % dan bersihkan sisa-sisa produk korosi pada baja tulangan yang sengaja dilebihkan tulangannya guna untuk melihat nilai potensial korosi. Kemudian hubungkan kabel elektroda acuan ke bagian baja tulangan yang telah dibersihkan sebelumnya. Tunggu beberapa detik hingga angka pada alat Digital HalfCell Meter stabil (angka alat mendekati nol). Pasangkan busa yang telah direndam dengan air ke ujung elektroda acuan. Tempelkan ujung elektroda acuan ke titik pertemuan garis vertikal pada permukaan beton yang telah diberi jarak menggunakan spidol. Tunggu sampai angka pada alat tidak berubah dan kemudian dicatat dalam tabel data pengukuran. Angka yang keluar dari alat ini merupakan nilai potensial korosi dengan satuan mV. Lakukan pengukuran pada setiap titik berturut-turut sebanyak tiga kali untuk mendapatkan data yang akurat. Gambar 7 menunjukkan proses pengukuran nilai potensial korosi pada permukaan beton.
A.
Beton Busa Pozzolan
Gambar 8 memperlihatkan nilai potensial korosi pada spesimen beton busa pozzolan bertulang untuk sebelum perendaman (minggu 0), minggu ke-4 dan minggu ke-6. Secara umum terlihat bahwa nilai potensial korosi beton busa pozzolan bertulang sebelum perendaman adalah >-200 mV (vs. Cu/CuSO4). Nilai ini menunjukkan risiko korosinya pada level rendah (Tabel 1). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu wet-dry cycle, nilai potensial korosinya menjadi antara -200 s.d -300 mV. Hal ini menunjukkan risiko korosi pada level menengah. Keadaan ini terjadi diduga karena konduktivitas beton yang tinggi akibat rendaman atau karena lapisan pasif antara tulangan dengan beton mulai rusak akibat adanya intrusi ion klorida kedalam beton. Tabel 1. Kriteria untuk penentuan level korosi beton bertulang [1]. Cu/CuSO4
Ag/AgCl
Hydrogen Standard
Calomel
> -200 mV
> -106 mV
> +116 mV
> -126 mV
-200 s.d. 350 mV
-106 s.d. -256 mV
+116 s.d 34 mV
-126 s.d. 276 mV
< -350 mV
< -256 mV
< -34 mV
< -276 mV
< -500 mV
< -406 mV
< -184 mV
< -426 mV
Corrosion Risk Low (10% risk of corrosion) Intermediate corrosion risk High (<90% risk of corrosion) Severe corrosion
Kemudian, nilai potensial korosi rata-rata beton busa pozzolan bertulang dengan tebal selimut 2 cm, 3 cm dan 4 cm untuk pengukuran minggu ke-4 secara berturut-turut adalah -203 mV, -203 mV dan -201 mV. Sedangkan untuk pengukuran minggu ke-6, secara berturut-turut adalah -212 mV, -210 mV dan -203 mV. Keadaan ini memperlihatkan bahwa tebal selimut beton belum menunjukkan pengaruh yang berarti terhadap nilai potensial korosi beton busa bertulang dalam masa wet-dry circle selama 6 minggu. Hal ini diduga akibat aktivitas korosi belum aktif dalam masa 6 minggu wetdry circle dan nilai konduktivitas beton akibat
Gambar 7. Pengukuruan nilai potensial menggunakan Half-Cell Potential Meter.
28
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
rendaman yang menjadi parameter dominan dalam pembacaan nilai potensial.
B.
Perbandingan antara beton busa pozzolan dan beton normal konvensional
Perbandingan nilai rata-rata potensial korosi antara beton busa pozzolan dengan beton normal konvesional ditunjukkan dalam Gambar 9. Perbandingan ini menampilkan data untuk pengukuran setelah 6 minggu wet-dry circle dan untuk ketebalan selimut 2 cm, 3 cm dan 4 cm.
a.
Tebal selimut beton 2 cm
Gambar 8. Nilai potensial beton busa pozzolan sebelum perendaman, minggu ke-4 dan minggu ke-6.
b.
Gambar 9. Perbandingan nilai rata-rata potensial korosi beton busa pozzolan (BBP) dan beton normal konvensional (BN) pada minggu ke-6. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai rata-rata potensial korosi relatif sama antara beton busa pozzolan dan beton normal konvensional untuk ketebalan selimut 2 cm. Sedangkan untuk ketebalan selimut 3 cm dan 4 cm, nilai rata-rata potensial korosi beton busa pozzolan cenderung lebih positif dibandingkan beton normal konvensional. Keadaan ini menunjukkan bahwa beton busa pozzolan memiliki kecenderungan ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan beton normal konvensional. Ketahanan korosi yang lebih baik ini, diperkirakan adalah akibat keberadaan pozzolan sebagai material pengisi yang mampu memperkecil porositas dari beton sehingga intrusi ion klorida menjadi lebih sukar.
Tebal selimut beton 3 cm
IV. KESIMPULAN
c.
Melalui penelitian yang telah dilaksanakan ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah: Ketebalan selimut beton belum menunjukkan pengaruh yang berarti bagi potensial korosi beton busa pozzolan dalam masa wet-dry circle selama 6 minggu. Perbandingan nilai potensial korosi antara beton busa pozzolan dengan beton normal konvensional memperlihatkan bahwa beton busa pozzolan cenderung memiliki ketahanan korosi dalam masa 6 minggu wet-dry circle. Oleh karena itu, penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk memastikan kembali pengaruh tebal selimut terhadap potensial korosi beton busa pozzolan dengan memperpanjang waktu wet-dry circle.
Tebal selimut beton 4 cm
Gambar 8. ……………..(sambungan)
29
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Laboratorium Rekayasa Material, Program Studi Teknik Mesin dan Laboratorium Kontruksi dan Bahan Bangunan, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala atas bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA [1] Broomfield, J.P., 2007, Corrosion of Steel in Concrete (Understanding, Investigation and Repair), 2nd edition, Tylor & Francis, New York. [2] Fajri, 2012, Studi Perilaku Korosi Tulangan pada Beton Busa Dengan Pozzolan Sebagai Bahan Penganti Semen Dalam Kondisi Terendam, Tesis, Magister Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. [3] Kurnia, R.D.I., 2014, Studi Laju Korosi Tulangan Pada Beton Ringan Busa, Tesis, Magister Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. [4] Ridha, M., Fonna, S., Huzni, S., Abdullah, Kurnia, R.D.I., 2015, Corrosion Rate of Lightweight Reinforced Concrete Exposed to Artificial Seawater, Proceedings of The 5th Annual International Conference Syiah Kuala University (AIC Unsyiah) 2015, September 9-11, 2015, Banda Aceh, Indonesia, pp.91-95. [5] Alhadi, H., 2015, Aplikasi Metode Linear Polarization Resistance untuk Mengukur Laju Korosi Infrastruktur Pasca Sepuluh Tahun Tsunami 2004, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [6]
ASTM C876, 1991, Standard Test Method for Half-cell Potentials of Uncoated Reinforcing Steel in Concrete, American Society of Testing and Materials, West Conshohocken, PA.
30
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisis Persamaan-persamaan Korelasi Perpindahan Panas Konveksi Paksa Aliran Melintang Silinder Tunggal Equations Correlation Analysis Heat Transfer Transverse Flow Forced Convection Single Cylinder Jalaluddin Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala E-Mail :
[email protected]
Abstrak - Persamaan-persamaan korelasi untuk menghitung laju perpindahan panas konveksi paksa dari suatu silinder tunggal yang diletakkan dalam aliran fluida melintang telah banyak diteliti dan sejumlah persamaan korelasi telah dipublikasikan. Korelasi ditulis dalam bentuk bilangan Nusselt Nu = f (Re, Pr) yang masing-masingnya valid digunakan untuk jangkauan bilangan Reynolds tertentu. Sejumlah persamaan korelasi untuk kasus temperatur permukaan konstan telah dianalisis dan diverifikasi dengan memvariasi temperatur dan kecepatan untuk fluida air dan udara yang sifat-sifat fisiknya dievaluasi pada temperatur film (Tf). Dari hasil analisis dan verifikasi untuk fluida udara diperoleh bahwa meskipun hubungan dari persamaan korelasi menunjukkan pola yang sama, namun persamaan korelasi yang diberikan oleh Churchill dan Bernstein (1.a dan 1.b), Hilpert, Fand dan Van der Hegge Zijnen lebih cocok digunakan dibandingkan dengan persamaan korelasi Kays dan Crawford untuk harga Re < 104. Untuk fluida air hubungan dari persamaan korelasi menunjukkan pola yang bervariasi, namun secara garis besar untuk Re < 4x104 lebih cocok digunakan persamaan korelasi Churchill dan Bernstein (1.a), Hilpert, dan Fand, dan untuk Re 6x104 lebih cocok digunakan persamaan Churchil dan Bernstein (1.a) dan Fand. Kata kunci : perpindahan panas, konveksi paksa, aliran melintang, silinder tunggal
Setiap persamaan korelasi tersebut mempunyai jangkauan/ batasan validasi keberlakuannya masing-masing, yaitu berlaku untuk jangkauan bilangan Reynolds dan bilangan Prandtl tertentu. Ada persamaan korelasi yang berlaku untuk jangkauan bilangan Reynolds yang sangat terbatas, dan ada yang berlaku untuk jangkauan bilangan Reynolds yang sangat luas. Sebagai contoh, Morgan (1975) dan Zukauskas (1977) telah melakukan publikasi sejumlah persamaan korelasi untuk perpindahan panas konveksi paksa aliran melintang silinder tunggal (kasus temperatur permukaan konstan) dengan jangkauan bilangan Reynolds (Re) yang sangat bervariasi antara satu korelasi dengan korelasi lainnya dan banyak dengan jangkauan Re yang sama, namun sampai sekarang kita belum mengetahui persamaan korelasi mana yang lebih cocok digunakan dalam menyelesaikan persoalan perpindahan panas konveksi paksa untuk kasus jangkauan bilangan Reynolds tertentu, karena verifikasinya belum tersedia, meskipun dalam banyak buku teks
1. Pendahuluan Perpindahan panas konveksi paksa dari suatu silinder horizontal ke aliran fluida yang mengalir melintang silinder tunggal telah menjadi kepentingan praktis dalam banyak penggunaan teknik seperti perpindahan panas dari pipa, disain tube bank heat exchanger dan lain sebagainya. Oleh karena itu sejumlah studi telah dilakukan baik secara analitik maupun eksperimental, atau baik untuk aliran laminar maupun aliran turbulen, atau untuk kasus fluks panas permukaan konstan atau temperatur permukaan konstan. Sejumlah persamaan korelasi untuk menghitung koefisien perpindahan panas konveksi paksa telah dihasilkan baik untuk aliran laminar maupun turbulen atau untuk kasus fluks panas permukaan konstan maupun kasus temperatur permukaan konstan dengan jangkauan bilangan Reynolds yang bervariasi.
31
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
persamaan diberikan adalah persamaan Churchill dan Bernstein , dan Hilpert. Dalam karya tulis ini dianalisis dan diverifikasi kecocokan penggunaan persamaanpersamaan korelasi yang sesuai untuk memeriksa batasan validitas keberlakuannya.
2.
Korelasi Hilpert
Incropera (1996), Holman (2002), dan lainlain memberikan korelasi Hilpert ; Nu = C Rem Pr1/3 untuk Pr ≥ 0,7
(2)
Konstanta C dan m untuk korelasi Hilpert diberikan dalam Tabel 1.
2. Persamaan-persamaan Korelasi Persamaan-persamaan untuk korelasi perpindahan konveksi paksa aliran fluida melintang silinder tunggal untuk kasus temperatur permukaan konstan telah diperoleh secara empirik oleh banyak peneliti dan telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal perpindahan panas, sebagaimana telah dilaporkan oleh Rohsenow (1998), Incropera (1996), Cengel (2003), Holman (2002), Suryanarayana (2003,) dan lain-lain. Untuk analisis digunakan persamaanpersamaan korelasi sebagai berikut :
Tabel 1. Konstanta C dan m koralasi Hilpert Batasan Re 0,4 – 4 4 – 40 40 – 4000 4000 – 4x104 4x104 – 4x105 3.
C 0,989 0,911 0,683 0,193 0,027
m 0,330 0,385 0,466 0,618 0,805
Korelasi Fand
Cengel (2003), Holman (2002), dan lain-lain memberikan korelasi Fand ;
1. Korelasi Churchill dan Bernstein Terdapat 3 bentuk persamaan korelasi yang diberikan Churchill dan Bernstein, (Suryanarayana, 2003) dan ketiga persamaan tersebut mempunyai batasan keberlakuan masing-masing, sebagai berikut :
Nu = (0,35 + 0,56.Re0,52) Pr0,3 untuk 10-1 < Re < 105
4.
(3)
Korelasi Van der Hegge Zijnen
Morgan (1975), dan Zukauskas (1977) memberikan korelasi Van der Hegge Zijnen Nu = 0,35 + 0,5 Re0,5 + 0,001 Re untuk 10-1 < Re < 105 2
7
untuk 10 < Re < 10 dan Pe > 0,2
(1.a)
5.
(4)
Korelasi Kays dan Crawford
Kays dan Crawford (1993) memberikan korelasi untuk konveksi paksa aliran melintang silinder tunggal ; untuk Re < 104 dan Pr > 0,5
untuk 2x104 < Re < 4x105 dan Pe > 0,2
Nu = 1,15 Re1/2 Pr1/3 untuk Pr > 0,5
(1.b)
(5)
Disamping persamaan-persamaan korelasi tersebut masih terdapat sejumlah persamaan korelasi lain yang diberikan oleh Eckert dan Drake, Whitaker, Mc. Adam, Tsubouchi dan Masuda, Collis dan Williams, Quarmby dan AlFakhri, Nakai dan Okazaki, dan Ishiguro et al.
(1.c)
32
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3. Metode Analisis
4. Perhitungan dan Interpretasi
Untuk keperluan analisis dipilih fluida udara dan air, sifat-sifat fisik fluida dievaluasi pada temperatur film, kondisi (kasus) temperatur permukaan konstan. Dilakukan perhitungan untuk 10 variasi temperatur film dan 10 kecepatan aliran fluida. Temperatur film divariasi 300 K, 310 K, 320 K, 330 K, 340 K, 350 K, 400 K, 450 K, 500 K, dan 550 K dan kecepatan fluida divariasi dari 2 m/s, 2,5 m/s, 3 m/s, 3,5 m/s, 4 m/s, 4,5 m/s, 5 m/s, 5,5 m/s, 6 m/s, dan 6,5 m/s. Pemilihan kecepatan didasarkan untuk mendapatkan aliran laminar, yaitu untuk bilangan Reynolds 2 x 105, diameter silinder dipilih tetap 0,01 m. Diagram alir untuk proses perhitungan dan analisis diberikan dalam flow-chart yang ditunjukkan dalam Gbr 1. Hasil perhitungannya disajikan dalam bentuk grafik hubungan Nu vs Re, dan dari grafik yang diperoleh dilakukan analisis dan interpretasi kecocokan/keberlakuannya.
Bilangan Reynolds (Re) dihitung dengan persamaan Re = u∞.D/ dan bilangan Nusselt (Nu) dihitung berdasarkan persamaan 1 s / d 5, dan dilakukan masing-masing 10 variasi kecepatan dan temperatur fluida. Sifat-sifat fisik fluida (udara dan air) dievaluasi pada temperatur film (Tf) dan diambil dari tabel Termodinamika. 4.1. Fluida Udara Dengan memvariasi temperatur film (Tf) dan menjaga kecepatan fluida (u∞ = 4,5 m/s) dan diameter (D = 0,01 m) tetap, maka bilangan Reynolds (Re) hanya bergan-tung pada perubahan viskositas kinematik (). Dengan menggunakan persa-maan 1 s / d 5 diperoleh bilangan Reynolds (Re) dan Nusselt (Nu, selanjutnya dibuat grafik hubungan Nu vs Re seperti ditunjukkan dalam Gbr 2. Dengan memvariasi kecepatan (u∞) dan menjaga temperatur film (Tf = 300 K) dan diameter (D) tetap, maka bilangan Reynolds hanya bergantung pada kecepatan (u∞). Dengan menggunakan persamaan 1 s / d 5 maka diperoleh bilangan Reynolds (Re) dan bilangan Nusselt (Nu), selanjutnya dibuat grafik hubungan Nu vs Re seperti ditunjukkan dalam Gbr 3.
Gambar 1. Flow-chart Analisis
33
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 2. Grafik Nu vs Re untuk temperatur divariasi
Gambar 3. Grafik Nu vs Re untuk kecepatan divariasi
tetap, maka bilangan Reynolds (Re) hanya bergantung pada perubahan viskositas kinematik (). Dengan menggunakan persamaan 1 s/d 5 diperoleh bilangan Reynolds (Re) dan bilangan
4.2. Fluida Air Dengan memvariasi temperatur film (Tf) dan menjaga kecepatan (u∞) dan diameter (D)
34
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Nusselt (Nu), selanjutnya dibuat grafik Nu vs Re seperti ditunjukkan dalam Gbr 4.
korelasi Kays dan Crawford menunjukkan harga Nu yang jauh berbeda dibandingkan dengan persamaan korelasi Churchill dan Bernstein (1.a) dan (1.b), Hilpert, Fand, dan Van der Hegge Zijnen, meskipun persamaan korelasi Fand dan Van der Hegge Zijnen juga sedikit lebih besar dibanding dengan persamaan korelasi Churchill dan Bernstein (1.a) dan 1.(b), dan Hilpert. Dari grafik hubungan Nu vs Re yang diberikan dalam Gbr. 3 terlihat bahwa persamaan korelasi Kays dan Crawford menunjukkan harga Nu yang jauh berbeda dibandingkan dengan persamaan korelasi Churchill dan Bernstein (1.a) dan (1.b), Hilpert, Fand, dan Van der Hegge Zijnen, dan ke enam persamaan terakhir ini hanya menunjukkan perbedaan yang kecil saja.
Dengan memvariasi kecepatan (u∞) dan menjaga temperatur film (Tf) dan diameter (D) tetap, maka bilangan Reynolds hanya bergantung pada kecepatan (u∞). Dengan menggunakan persamaan 1 s / d 5 diperoleh bilangan Reynolds (Re) dan bilangan Nusselt (Nu), selanjutnya dibuat grafik hubungan Nu vs Re seperti ditunjukkan dalam Gbr 5.
4.3. Interpretasi Dari grafik hubungan Nu vs Re yang diberikan dalam Gbr. 2 terlihat bahwa persamaan
Gambar 4. Grafik Nu vs Re untuk temperatur divariasi
35
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 5. Grafik Nu vs Ne untuk kecepatan divariasi 5. Kesimpulan Dari grafik hubungan Nu vs Re yang diberikan dalam Gbr. 4 terlihat bahwa hubungan 1. Untuk fluida udara baik untuk temperatur antar persamaan - persamaan korelasi sangat divariasi maupun kecepatan divariasi, bervariasi dan pola hubungannya tidak sama persamaan Churchill dan Bernstein (1.a) seperti dan (1.b), dan Hilpert lebih disarankan untuk digunakan, meskipun persamaan pola hubungan pada fluida udara. Untuk 5x104 < Fand dan Van der Hegge Zijnen dapat juga Re < 7x104 (bilangan Reynolds kecil), digunakan. persamaan korelasi Churchill dan Bernstein (1.a) 2. Dari kesimpulan (1) menjawab pertanyaan dan Hilpert lebih cocok digunakan. Untuk Re pengguna buku teks perpindahan panas diluar jangkauan tersebut tidak diberikan validasi mengapa persamaan yang diberikan adalah penggunaannya. Jika dikaitkan dengan grafik banyak persamaan Churchill dan Bernstein, dalam Gbr. 5 terlihat bahwa persamaan korelasi dan Hilpert. Churchill dan Bernstein (1.a), Hilpert, dan Fand 3. Pola hubungan bilangan Nu dan Re pada cocok digunakan untuk jangkauan bilangan fluida air untuk temperatur divariasi sangat Reynolds 2x104 < Re < 7x104. dipengaruhi oleh perubahan sifat fisiknya yang sangat signifikan. Dari grafik hubungan Nu vs Re yang 4. Untuk fluida air, korelasi Churchill dan diberikan dalam Gbr. 5 terlihat bahwa persamaan Bernstein, dan Hilpert juga lebih disarankan korelasi Kays dan Crawford menunjukkan harga untuk digunakan untuk 5x104 < Re < Nu yang jauh berbeda (tinggi) dibandingkan 2x105. dengan persamaan korelasi yang diberikan oleh Churchill dan Bernstein (1.a) dan (1.c), Hilpert, dan Fand. Sebaliknya , persamaan korelasi Van Daftar Pustaka der Hegge Zijnen menunjukkan harga Nu yang rendah. Untuk jangkauan bilangan Reynolds 1. Morgan, V. T., 1975, The Overall 2x104 < Re < 7x104 persamaan korelasi Convective Heat Transfer from Smooth Churchill dan Bernstein 1.(a) dan (1.c), Hilpert, Circular Cylinder, In Advance in Hear dan Fand lebih disarankan untuk digunakan. Transfer, Vol 11, editor J.P. Hartnett and Irvine, T.F., Academic Press, Inc., New York. 2. Zukauskas, A., 1977, Heat Transfer from Tubes in Crossflow, In Advance in Hear Transfer, Vol 8, editor J.P. Hartnett and
36
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Irvine, T.F., Academic Press, Inc., New York. Incropera, F. P.dan D. P. Dewitt,, 1996, Instroduction to Heat Transfer, 3 rd ed., John Wiley & Sons, Toronto. Cengel, Y. A., 2003, Heat Transfer; A Practical Approach, 2 nd. Ed., McGraw – Hill Book Company, Singapore. Kay, N. M., dan M. E. Crawford, 1993, Convective Heat and Mass Transfer, 3 rd ed., McGraw – Hill, New York. Rohsenow, W. A., et.al., 1998, Handbook of Heat Transfer, 3 rd. ed., McGraw – Hill Book Company, New York. Holman, J. P., 2002, Heat Transfer, 9 th. ed., McGraw – Hill Book Company, Singapore. Suryanarayana, N. V. dan O. Orici, 2003, Design and Simulation of Thermal Systems, McGraw – Hill Company, Inc., New York.
**************
37
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perilaku Korosi Logam Las dan Daerah Terpengaruh Panas pada Baja A 36 Corrosion Behaviour of Weld Metal and Heat Affected Zone for A 36 Steel Nurdin Ali1, Sulaiman Thalib1 1
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2111 * Email:
[email protected]
Abstrak- Baja yang dilas mengalami perubahan struktur mikro pada logam las dan daerah terpengaruh panas yang menyebabkan perubahan sifat fisik dan mekaniknya. Beberapa penelitian yeng telah dilakukan sebelumnya lebih banyak difokuskan pada kajian sifat mekanik dan struktur mikro, sedangkan tinjauan prilaku korosi masih belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perilaku korosi logam las dan daerah terpengaruh panas baja A 36 akibat siklus termal yang dilas dengan proses SMAW. Untuk mempelajari sifat korosi hasil las baja A 36, disiapkan 5 buah benda uji yang telah dilas kemudian diukur sifat korosinya sesuai standar ASTM G3-74. Disamping uji korosi juga dilakukan pengamatan struktur mikro dan uji kekerasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi perubahan potensial korosi berturut-turut untuk logam induk, daerah terpengaruh panas dan logam las adalah -540 mV, -630 mV and -660 mV dengan densitas arus masing-masing adalah 0.0263 mA/cm2, 0,194 mA/cm2 and 0,2054 mA/cm2. Kata kunci: Pengelasan, perilaku korosi, logam las, logam dasar, baja A36 Abstract- Microstructure of welded steel change on weld metal and heat affected zone, that cause change its physical and mechanical properties. Several studies have been conducted previously focused mostly on assessing the mechanical properties and microstructure, while the study on corrosion behavior is still not available. The objective of this research is to obtain corrosion behavior of weld metal and HAZ for A 36 steel due to welding thermal cycles welded with SMAW process. To study the corrosion behavior of the weld metal and HAZ of A 36 steel, five specimen were prepared then measured their corrosion properties according to ASTM G3-74 standard. Beside the corrosion test was also conducted observation of microstructure and hardness test. The results shown that, the corrosion potential for parent metal, HAZ and weld metal are -540 mV, -630 mV and -660 mV and current density are 0.0263 mA/cm2, 0,194 mA/cm2 and 0,2054 mA/cm2, respectively. Keyword: Welding, corrosion behavior, weld metal, parent metal, A 36 steel
I.
PENDAHULUAN korosi [4]. Banyak penelitian telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat konsekuensi serius terhadap struktur mikro baja karbon yang mengalami pengelasan. Perubahan akibat pengelasan juga dilaporkan turunnya sifat mekanik dan sifat ketangguhan seiring dengan berubahnyan struktur mikro akibat pengetasan daerah lasan[5]. Perubahan struktur mikro tersebut tidak hanya berubah sifat mekanik dari baja karbon rendah, juga ikut berubah sifat utama lainnya tidak terkecuali sifat fisik dan kimianya. Penelitian pengaruh pengelasan terhadap sifat mekanik telah banyak dilaporakan [610], sementara pengaruh terhadap perilaku korosi baja karbon rendah belum tersedia . Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh pengelasan terhadap perilaku korosi baja A 36 pada daerah lasan menggunakan metode elektro kimia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tersedianya infomasi dan referensi
Pentingnya baja karbon rendah dalam penggunaan dan pengembangan industri tidak dapat diabaikan. Sifat mekanik, ketangguhan dan mampu las yang baik, maka baja karbon rendah telah menjadi pilihan utama diberbagai industri [1]. Disamping itu juga, baja karbon rendah banyak digunakan sebagai bahan konstruksi baik pada industri ringan maupun industri berat [2]. Seperti diketahui, pengguaan baja karbon rendah dalam konstruksi selalu melibatkan proses pengelasan untuk penyabungan atau perakitan komponenkomponennya. Proses pengelasan memberi pengaruh terhadap struktur mikro dan sifat mekanik baja terutama daerah lasan akibat masukan panas saat pengelasan yang disebut siklus panas las [3]. Siklus panas las merupakan peristiwa pemanasan dan pendinginan pada daerah lasan yang menyebabkan timbulnya perbedaan tingkat energi bebas aktivasi logam sekitas logam las. Perbedaan ini dapat mecipatakan pebedaan ukuran butir yang berakibat timbulnya daerah anoda dan katoda sebagai potensi
38
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
tentang perilaku korosi daerah logam las, daerah terpengaruh panas untuk baja A 36.
Perlakuan selanjutnya adalah menghaluskan specimen dengan kertas pasir berturut-turut dari 320, 600, 800 dan 1000 grit. Spesimen yang telah dihaluskan, kemudian dipolis pada piringan pemolisan menggunakan serbuk alumina. Spesimen yang diunakan untuk pengamatan struktur dietsa dalam larutan nital. Spesimen untuk pengukuran kekerasan dan struktur mikro secara skematik diperlihatkan dalam Gambar 2 dibawah ini.
II. MATERIAL DAN METODE A. Material Material yang digunakan pada penelitian ini adalah pelat baja A 36, memiliki tebal 8 mm. Baja ini termasuk baja kabon rendah yang mempunya mampu las yang baik, digunakan untuk bahan lambung kapal. Sifat mekanik dan kompasisi kimia baja A 36 diperlihatkan dalam Tabel 1 dan 2 berikut ini.
Logam Dasar
Tabel 1. Sifat mekanik baja A 36 menurut standar Kuat Kuat Regangan Modulus Poison Tarik Luluh (%) Elastisitas Rasio (MPa) (MPa) (GPa) 400 – 250 20 200 0.26 550
Logam Las Daerah Terpengaruh PanasLas
Gambar 2 Spesimen untuk pengujian kekerasan dan pengamatan struktur mikro Uji kekerasan pada daerah lasan dilakukan menggunakan metode Vikers dengan identor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o. Luas penetrasi diukur menggunakan mikriskop pengukur yang menyatu dengan alat uji kekerasan. Beban yang digunakan dalam pengujian ini adalah 10 kg. Pengujian dilakukan mulai dari titik nol sumbu las dengan jarak 1 mm hingga 10 titik meliputi logam las, daerah terpengaruh panas dan logam dasar. Waktu penetrasi tiap-tiap titik pengujian adalah 20 detik. Selanjutnya nilair ata-rata dari pengujian diambil sebagai nilai kekerasan. Prosedur pengujian kekerasan Vikers dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 2 Komposisi kimia (% wt.) baja A 36 C Cu Si P Mn S 0,220,2 0,28 0,04 0,8 -1,2 0,05 0,29 B. Metode Untuk keperluan pengalasan, material yang diteliti dibuat kampuh alur memanjang berbentuk V tunggal dengan bukaan akar disesuaikan dengan ukuran material serta besarnya kampuh untuk menjamin ikatan las yang baik pada akar. Bentuk dan ukuran kampuh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gabar 1 Bentuk dan ukuran kampuh las Material yang telah disiapakan dilakukan pengelasan menggunakan proses las busur elektroda terbungkus atau disebut juga Sheilded Metal Arc Welding (SMAW) dan logam pengisi adalah AWS A.5.1 E7016. Pengelasan arah mendatar digunakan untuk penelitian mengacu kepada standar AWS (Amarican Welding Standard). Selanjutnya material yang telah dilas dipotong dengan ukuran 20 x 20 x 8 mm sebagai specimen uji sebanyak 5 buah, 3 buah untuk pengukuran perilaku korosi, 1 buah untuk pengukuran kekerasan daerah lasan dan 1 buah untuk pengamatan struktur mikro. Permuka ke lima specimen digerinda dengan pemekanan yang sangat kecil untuk mengindari terjadinyan perubahan kondisi akibat panas yang ditimbulkan. Selain itu, juga digunakan pendingin semasa proses permesinan berlangsung.
Gambar 3 Prosedur pengujian kekerasan metode Vikers Adapun daerah yang diukur perilaku korosi dari specimen dikelompokan kedalam 3 katogori yaitu 1) logam las (LL), 2) logam dasar (LD) dan (3) daerah terpengaruh panas (DP). Spesimen yang akan diukur perilaku korosi, kemudian dipasang kawat tembaga dan diisolasi seluruh bagian hanya dibuka seluas 1 cm2 tempat pengamatan yaitu LD, LL dan DP. Bahan isolasi yang digunakan adalah Shin-Etsu Silicone.
39
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengukuran perilaku korosi dilakukan berdasarkan rujukan ASTM G3-74 (1981). Peralatan pengukuran perilaku korosi yang digukan adalah Potentistat; mark: Hokuto Denko, type: HA-301. Instrumen yang digunakan untuk membaca arus dan frekwensi yang ditampilkan ole Potentiostat adalah Osciloscopes, Merek: Tektronix; type: TDS 340. Selain itu, juga digunakan Reference Electrode (RE, SCE, Saturated Calomel Electrode) merek: TOA, type: TOA-201 dan sebagai Couter Electrode (CE) digunakan Stainless Steel AISI 304. Rangkaian peralatan penelitian korosi diperlihatkan dalam Gambar 4 berikut.
bahwa distribusi ferrit berbentuk memanjang. Hal ini mengidikasikan bahwa logam dara berasal dari hasil pengorolan. Struktur mikro daerah terpengaruh panas dapat diamati pada Gambar 4b. Pengembangan ukuran butir terlihat jelas, semua struktur memanjang sudah tidak terlihat lagi dan terbentuk butir sempurna. Pengembangan butir akibat panas yang mencapai temperature austenite mencapai diatas 900oC. Struktur mikro logam las dapat diamati pada Gambar 3c. Logam las adalah kombinasi logam dasar dan logam pengisi atau filler metal. Struktur mikro yang tebentuk telihat berbeda dari kedua daerah lainnya dan terlihat berbutir kasar karena disebabkan oleh temperature yang dicapai hingga 1500oC atau temperature cair. Perbedaan ketiga daerah ini dapat menyebabkan perbedaan sifat mekanik sifat sifat kimia dan perilaku korosi.
Keterangan Gambar: CE = Counter Electrode WE =Working Electrode (Spesimen) RE = Reference Electrode
Gambar 4 Rangkaian peralatan penelitian korosi Untuk mendapatkan perilaku korosi, tiga besaran diukur yaitu, 1) pengukuran Rest Potential, 2) pengukuran arus anodik (anodic current) yang dikenal dengan kurva anodik) dan 3) arus katodik (kathodic current) disebut kurva katodik. Hasil pengukuran ini maka dapat digambarkan kurva polarisasi. Data arus anodic dan katodik yang diperoleh dari pengikuran dibagi dengan luas penampang specimen 1 mm2 diperoleh kerapantan arus corrosi atau disebaut current density. Current density merupakan ukuran laju korosi baja.
(a)
(b)
III. A.
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Mikro Daerah Lasan
Tujuan analisis struktur mikro adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengelasan terhadap struktur mikro baja A 36 yang mengalami pengelsan dan untuk mengetahui bagaimana perubahan tersebut dapat mempengaruhi sifat mekanik dan perilaku korosi terutama pada daerah Logam Las dan Daerah Terpengaruh Panas. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan pengangkat mikroskop metalurgi. Hasil pengamatan metalografi diperlihatkan pada Gambar 4 (a), (b) dan (c). Gambar 4a memperlihatkan struktur mikro logam dasar. Struktur mikro menunjukan bahwa terdapat dua fasa yaitu ferrit dan perlit, hal ini sesuai dengan fasar dasar baja karbon rendah. Dari struktur mikro terlihat
(c) Gambar 4 Struktur mikro A 36, a. Logam Dasad, b. Daerah Terpengaruh Panas, Logam Las. (150x)
40
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
B. Kekerasan Daerah Lasan Dari persamaam 1, nilai β adalah diketahui yaitu 0,026 V untuk baja karbon rendah. Dengan demikian arus korosi (mA/cm2) dapat dihitung menggunakan persamaan 2 berikut [4,11].
Pemerisaan kekerasan daerah lasan dimaksudkan adalah untuk mengetahui berapa besar pengaruh perubahan struktur miro terhadan kekerasan logam las dan daerah terpengaruh panas. Informasi ini diperlukan untuk menilai apakah daerah lasan tersebut masih memiliki potesi terjadi pengetasan. Gambar 5 memperlihakan distribusi kekerasan daerah lasan terhadap sumbu las. Kekerasan yang terukur pada sumbu las yaitu 1 mm adalah 188 HV. Nilai kekerasan menurun hingga mencapai daerah terpengaruh panas dan logam dasar yaitu 160-159 HV,. Penurunan kekerasan disebabkan oleh perubahan struktur mikro akibat siklus perlakuan panas daerah lasan. Selanjutnya, kekerasan menurun kembali pada daerah logam las sehingga mencapai nilai stabil.
Error! Reference source not found.
(mpy) (2) Hasil perhitungan untuk daerah logam dasar, logam las dan daerah terpengaruh pans diperlihatkan dalam table 3 berikut. Besaran ini menggabarkan perilaku korosi setiap daerah hasil pengelasan baja A 36. Tabel 3 Perilaku korosi baja A 36 daerah lasan Daerah LD DP LL
200
Kekerasan (HV)
190
170 160 150 140
Gambar 5 Distribusi kekerasan daerah lasan
2
4
6
Reference source not found.
Densitas Arus (mA/cm2) 0,0263 0,1940 0,2054
Laju Korosi (mpy) 1,207 8,924 9,447
10 IV. 12KESIMPULAN
8
Perilaku korosi merupakan kondisi las Jarak gambaran dari sumbu tertentu yang menyebabkan menurunnya mutu logam disebabkan interaksi dengan lingkungannya. Hal ini dapat diketahui dengan perubahan potensial dan atau densitas arus yang digambarkan dalam diagram potensial vs densitas arus korosi. Data hasil penelitian yang diukur menggunakan Potentiostat adalah rest potensial dan arus pada masingmasing daerah, logam dasar, logam las dan daerah terpengaruh panas dalam larutan 3.5% NaCl. Dari data potensial dan densitas arus diperoleh besaran perilaku korosi yaitu potensial korosi dan densitas arus korosi LD, LL dan DP. Densitas arus diperoleh maka kemudian dapat ditentukan laju korosi. Laju korosi masing-masing daerah lasan dapat ditentukan dengan menganalisa kurva linear. Dari kurva tersebut dapat diperoleh tahanan polarisasi menggunakan persamaan 1 berikut [4,11].
Error! Reference source not found.
Tahanan Palarisasi (Rp) 0,991 0,134 0,126
Tabel 3 memperlihatkan perilaku korosi baja A 36 dalam media air laut buatan. Potensial korosi logam las dan daerah terpengaruh panas menurun dibandingkan dengan dibandingkan dengan potensial korosi logan dasar. Sementara, nilai densitas arus logam las dan daerah terpengaruh panas meningkat dibandingkan daerah logam dasar. Hal ini disebabkan perbedaan struktur mikro antara logam dasar dan logam las dan daerah terpengaruh panas. Perbedaan ini dapat menyebakan terbentuknya daerah beda potensial antar daerah tersebut. Lebih konkrit dapat disebutkan bahwa, kemungkinan terbentuknya anoda dan katoda diantara daerah-daerah tersebut.
180
0 C. Perilaku Korosi
Potensial Korosi (mV) -540 -630 -660
Error! (1)
41
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah (mm)
disajikan diatas, maka dapat disimpulkan sbagai berikut: 1. Perubahan struktur mikro dan kekerasan terjadi akibat panas pengelasan pada baja A 36. 2. Seiring dengan perubahan struktur mikro, juga terjadi perubahan perilaku korosi yaitu: penurunan potensial korosi berturut-turut untuk logam induk, daerah terpengaruh panas dan logam las adalah 540 mV, -630 mV and -660 mV, sementara densitas arus meningkat masing-masing adalah 0.0263 mA/cm2 untuk logam dasar, 0,194 mA/cm2 daerah terpengaruh panas dan 0,2054 mA/cm2 logam las.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengcapkan terimakasih kepada ketua PSTM dan dekan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala dan semua pihak atas bantuan fasilitas sehingga terlaksananya penelitian ini.
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
[11] Fontana, M.G., & Greene, N.G., Corrosion Engineering, McGraw Hill, New York, 1987
[1] Anonim, ASTM A 36, Standard Specification for Carbon Structural Steel, Book of standard, Vol. 01.04 [2] http://arafuru.com/material/jenis-jenis-baja-dankegunaannya.html, (06 Desember 2016) [3] Talabi, S. I., Owolabi, O. B., Adebisi, J. A, & Yahaya, T., Effect of welding variables on mechanical properties of low carbon steel joint, Advances in Production Engineering & Management, 9(4), hal. 181-186, 2012 [4] Ahmad, Z., Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control, Elsevier Ltd, ISBN No. ISBN: 978-0-7506-5924-6, 2006 [5] Sumarji, Evaluasi korosi baja krbon rendah A 36 pada lingkungan at mosferik di kab jember, jurnal Rotor, 5(1), hal. 44-51, 2012 [6] Aisyah, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK, ISSN 1410-6086, hal. 159-173 [7] Joko Santoso, Pengaruh arus pengelasan terhadap kekuatan tarik dan ketangguhan las SMAW dengan Elektroda E7018, Skripsi, UNDIP, 2006) [8] Trinova Budi Santoso, Solichin, & Prihanto Tri Hutomo, Pengaruh arus listrik pengelasan terhadap kekuatan tarik dan struktur mikro las SMAW dengan Elektroda E7016, Jurnal Teknik Mesin, 23(1), hal. 56-64, 2015 [9] Awal Syahrani, Alimuddin Sam & Chairulnas, Variasi Arus Terhadap Kekuatan Tarik dan Bending Pada Hasil Pengelasan SM490, Jurnal Mekanikal, 4(2), hal. 393-402, 2013 [10] Mohruni, A.S. & Kembaren, B.H., Pengaruh Variasi Kecepatan dan Kuat Arus terhadap Kekerasan, Tegangan Tarik, Struktur Mikro Baja Karbon Rendah dengan Elektroda E 6013, Jurnal Rekayasa Mesin, 13(1), hal. 1-8, 2013
BIODATA PENULIS Nama Lengkap Jabatan Fungsional E-mail Nomor Telepon/HP Alamat Kantor No. Telepon/Faks Kantor Pendidikan Tahun 1984 Tahun 1993 Tahun 2014
S1 S2 S3
Pengalaman Kerja Tahun 1999 - 2003 Tahun 2015 - skrg
Nurdin Ali Lektor Kepala
[email protected] +628126906380 Prodi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Unsyiah Darussalam Banda Aceh (0651) 7555874
Institut Teknologi 10 November, ITS Kassel University, Gemany Univeriti Tun Hussein Onn Malaysiaya
Wakil Dekan III Fakultas Teknik Unsyiah Ka Bagian Teknik Mesin Program Studi Doktor Ilmu Teknik Unsyiah
Publikasi 5 tahun terakhir Tahun Judul 2012 Assessment of Cp Ti Surface Properties after Nitrogen Ion Implantation with Various Doses and Energies ( Metallurgical and Materials Transaction A, Vol 43/11/ pp 41854193) 2013 Fatigue Life Prediction of Commercially Pure Titanium after Nitrogen Ion Implantation (International Journal of Automotive and Mechanical Engineering, Vol. 7/1/1/pp 1005-1013 2014 Assessment of fatigue and corrosion fatigue behaviours of the nitrogen ion implanted Cp Ti (International Journal of Fatigue, Vol. 61, pp. 184-190)
42
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penerapan Teknologi Coran Dengan Sistem Cetak Massal untuk Meningkatkan Produksi Rencong Souvenir Industri Kecil Husni1, Masri1 1
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia Phone : +62-651- 7555874, e-mail:
[email protected]
Abstrak- Pengelolaan industri rekan praktis berjalan secara alami tanpa sentuhan managemen usaha yang baik, hal ini dilatarbelakangi volume produksi yang relatif kecil. Rentang produksi mulai pengadaan bahan baku hingga penyaluran produk praktis dilakukan sendiri (pemilik), tetapi pada proses pengecoran bahan kuningan souvenir dilakukan oleh 3 karyawan. Pencatatan secara khusus berkaitan dengan biaya produksi tidak dibukukan dengan baik, sehingga berapa ongkos kerja, harga bahan baku, dan keuntungan yang dicadangkan untuk pengembangan usaha tidak berpola dengan baik. Berdasarkan hasil analisis situasi dari industri rekan masalah yang perlu dicarikan pemecahannya adalah belum adanya alat bantu kerja berupa mesin penuang yang handal, yaitu yang memiliki tingkat kegagalan rendah untuk pencetakan massal. Perbedaan yang utama pada proses penuangan dan penginjeksian adalah pada proses penuangan laju cairan mengikuti gaya gravitasi, sedangkan penginjeksian laju cairan dilakukan pemaksaan dengan tekanan. Berdasarkan rumusan masalah yang ada kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi antara 5-10 kali, tergantung ukuran Rencong Souvenir dari bahan kuningan yang bahan bakunya berupa kuningan bekas dengan hasil baik serta mampu meningkatkan produksi. Kata Kunci; volume produksi, proses pengecoran,injeksi, penuangan dan gaya gravitasi bahkan lebih dari itu pun cukup tersedia di pasar barang bekas maupun di beberapa pengumpul barang bekal lainnya. Kegiatan program ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi Rencong Souvenir dari bahan kuningan. Proses produksi selama ini dilaksanakan dengan sistem manual, satu demi satu.
I. PENDAHULUAN 1.1. Analisis Situasi Memproduksi Rencong Souvenir dari bahan kuningan memerlukan ketelatenan kerja yang baik, seperti halnya industri produk lainnya. Proses produksi melibatkan beberapa tahap, yang kesemua tahapan memerlukan keterampilan secara khusus. Keterampilanketerampilan tersebut tidak diperoleh di lembaga pendidikan formal, tetapi diperoleh/diajarkan secara tradisional. Proses belajar pada industri tersebut mengikuti prinsip belajar sambil bekerja (learning by doing), dan tidak memerlukan tingkat pendidikan tertentu sebagai persyaratan untuk belajar tersebut, cukup dengan kemauan dan telaten dan sabar, lambat laun akan berhasil. Pengelolaan industri rekan praktis berjalan secara alami tanpa sentuhan teknologi dan managemen usaha yang baik, hal ini dilatarbelakangi volume produksi yang relatif kecil. Kapasitas produksi Rencong Souvenir setara dengan 600 kg kuningan, dan dikerjakan oleh 3 karyawan. Rencong Souvenir yang dihasilkan langsung diserap pasar dengan dibayar kontan. Dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku bahan kuningan bekas dari 600 kg menjadii 750 kg menurut industri rekan bukan menjadi hambatan yang berarti,
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan hasil analisis situasi dari industri rekan masalah yang perlu dicarikan pemecahannya adalah belum adanya teknologi cetak massal, dalam hal ini, dibutuhkan sentuhan teknologi.
43
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
penginjeksian adalah proses penuangan paksa dengan menginjeksikan cairan bahan kuningan ke dalam cetakan, karena laju cairan dipercepat maka dapat digunakan untuk pengisian beberapa rongga cetakan. Percepatan laju pengisian sangat menguntungkan karena rongga cetakan cepat terisi sebelum terjadi penuruan temperature sehingga bahan kuningan cair belum memasuki fase pembekuan. Proses tersebut memiliki beberapa keuntungan; yaitu (a) waktu pengisian lebih cepat, (b) pengisian lebih merata, (c) kepadatan lebih tinggi dan homogeni. Mesin Cetak masal ini dirancang untuk berbagai macam ukuran dan berbagai bentuk bahan kuningan, serta dapat digunakan pula untuk berbagai keperluan yang berbasis bahan baku kuningan. Penuangan dengan sistem injeksi memiliki keunggulan, yaitu laju cairan dipercepat sehingga hasil cetakan serendah mungkin yang kropos. Bentuk Rencong Souvenir dapat dikembangkan ke bentuk-bentuk unik yang memiliki tingkat kesulitan cetak tinggi bila dilaksanakan cetak manual, sebab dengan injeksi kerumitan desain bukan menjadi hambatan utama. Sedangkan untuk pencetakan bahan yang memerlukan panas lebih tinggi, maka silinder injeksi dilengkapi dengan sistem pemanas agar temperature cairan/pasta dapat dipertahankan.
1.4 Tujuan & Manfaat Berdasarkan rumusan masalah yang ada kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi antara 5-10 kali, tergantung ukuran Rencong Souvenir dari bahan kuningan yang bahan bakunya berupa kuningan bekas dengan hasil baik serta mampu meningkatkan produksi. Setelah dilakukan kegiatan pengabdian ini maka manfaat yang diperoleh adalah : - Tersedianya peralatan cetak massal dengan sistem injeksi dalam meningkatkan produksi rencong souvenir dari bahan kuningan. - Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan (Skill) dari anggota kelompok setelah memperoleh pelatihan. - Masyarakat menjadi berperan aktif dan ditunjang rasa ingin tahu yang lebih mendalam dari penerapan teknologi sederhana dari mesin cetak massal sistem injeksi tersebut. - Dapat memberikan kepercayaan masyarakat terhadap adanya manfaat pertguruan tinggi terhadap lingkungan setempat. - Didapatnya kualitas produk yang lebih baik dan waktu produksi lebih cepat.
II. TARGET LUARAN Membantu industri rekan dalam meningkatkan kapasitas produksi Rencong Souvenir antara 5-10 kali. Untuk mencapai tujuan tersebut dijangkau dengan (a) membuat cetakan Rencong Souvenir sistem missal (5-10 biji satu kali tuang) dan (b) membuat alat tuang sistem injeksi yang dilengkapi pemanas. Sistem yang dikembangkan ini mampu mengurangi tingkat kegagalan cetak. Produksi Rencong Souvenir dari bahan kuningan sistem cetak massal tidak jauh berbeda dengan proses produksi Rencong Souvenir adalah (a) pembersihan bahan baku, (b) peleburan, (c) penuangan, (d) finishing. Proses cetak selama ini sekali tuang untuk satu bahan kuningan, sedangkan cara yang dikembangkan satu kali penuangan untuk 5-10 Rencong Souvenir tergantung ukuran yang diinginkan. Satu lubang pengisian untuk mengisi beberapa rongga cetakan. Penuangan merupakan proses pembentukan dengan menuangkan cairan ke dalam cetakan, sehingga prosesnya satu demi satu, bila dilakukan untuk pengisian beberapa cetakan (cetakan massal) sering terjadi kegagalan, karena tidak semua cetakan terisi secara baik. Sedangkan
Gambar 2.1 Mesin Cetak Masal
44
Untuk pembuatan komponen mesin Cetak masal Rencong Souvenir tersebut di atas diperlukan peralatan kerja seperti berikut ini: (a)
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
mesin bubut, (b) mesin frais, (c) mesin las, (d) mesin gergaji, (e) mesin bor, (f) kerja bangku, dan (g) mesin gerinda. Mesin penuang sistem mesin Cetak masal yang dirancang ini mempunyai spesifikasi berikut: (1) menghasilkan bahan kuningan, (2) desain dan ukuran Rencong Souvenir dapat dianekaragamkan menurut bentuk cetakannya tanpa merubah mesin secara keseluruhan, (3) cetakan dapat diganti untuk jenis produk yang lain, dan (4) proses produksi dapat dipercepat.
Melalui pedoman pengecoran (modul) praktis yang diberikan oleh tim perlaksana tentang tata cara pengcoran logam untuksuevenir rencong berpengaruh positif dan signifikanterhadap peningkatan pengetahuan mitra di deswa Baet Lampuot Kecamatan Suka Makmur Aceh Besar. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan mitra dalam melaksanakan kegiatan ini sejak awal sampai cetak masal terpasang dan berproduksi. 4.2 Meningkatnya animo rekan mitra yang menekuni usaha souvenir rencong. Pemasangan cetak massal di Dapur Coran mitra, telah terjadi duplikasi dan inspirasi dari rekan mitra. Indikator keberhasilannya terlihat dari produktifitas dan hasil coran yang dihasilkan banyak dan bagus. Mesin tuang sistem injeksi adalah alat bantu kerja untuk memproduksi bahan kuningan, serta memungkinkan untuk membuat produk lainnya dengan matras yang berbeda serta sistem pencetakkannya yang menggunakan sistem injeksi. Dengan menggunakan alat industri rekan dapat meningkatkan kapasitas produksi antara 5 s/d 10 kali tanpa menambah tenaga kerja. Pengembangan produk dengan desain lebih rumit sangat mungkin dilakukan karena laju penuangan dipercepat dan kemungkinan kropos kecil terjadi. Namun demikian memerlukan tenaga kerja untuk penyiapan bahan baku dan tenaga pemasaran, agar terjadi kesinambungan antara kecepatan pencetakan dengan unsure pendukung lainnya. Percepatan produksi bahan kuningan, pada akhirnya meningkatkan keuntungan untuk ukuran waktu produksi yang sama. Kontruksi mesin tuang injeksi yang akan dirancang-bangunkan pada bagian matras dapat diganti-ganti dengan matras yang lain, sehingga jenis produk yang dihasilkan dapat dianeka-ragamkan. Bantuan peralatan produksi yang sederhana hasil kerjasama diharapkan mampu membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri bahwa bila berusaha dengan sungguh-sungguh hambatan yang dihadapi dapat dicarikan jalan keluar yang tepat. Disisi lain diharapkan bahwa pada waktu yang relatif pendek mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan produksi. Meningkatkan kapasitas produksi Rencong Souvenir diharapkan dapat menambah jumlah tenaga kerja, mengingat warga sekitar industri rekan merupakan daerah yang mempunyai jumlah pengangguran yang cukup.
III. METODE PELAKSANAAN Tahap I: 1. Penerapan teknologi pembuatan Cetak massal. 2. Penerapan teknologi campuran material yang baik untuk suvenir yang terdiri dari Bahan kuningan, HSS dan tembaga campuran 3. Peningkatan kapasitas kelembagaan usaha mitra dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Tahap II: 1. Penerapan lanjutan teknologi pembuatan bahan bakar dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dan aplikasinya usaha coran logam suvenir; 2. Penerapan hasil kajian terapan terhadap teknik mengatasi cacat coran yang baik pada industri mitra; 4. Penyusunan model pendekatan penelitian dan transfer teknologi yang dihasilkan untuk industri mitra dan pemetik manfaat dalam indusri cetak massal dirumuskan; 5. Membangun model kemitraan yang terpadu antara lndustri-Pemda-Perguruan Tinggi yang mampu menjadi wadah bersama dalam menjalankan usaha Coran material logam untuk suvenir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Peningkatan pengetahuan mitra tentang tata cara pembuatan cetakan Rendahnya pengetahuan mitra tentang material teknik dari bahan coran maupun bahan cetakan dan pemasaran berdampak kepada hasil akhir yang diperoleh. Untuk meningkatkan pengetahuan mitra tentang bahan coran dan banhan cetakan, tim pelaksana menyiapkan modul praktis tentang tata cara pengecoran logam. Modul ini dibagikan terlebih dahulu yaitu guna pedoman dalam sistem pengecoran logam yang aman dan cepat.
4.3 Nilai Tambah Produk dari Sisi Ipteks
45
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Temuan cetakan Rencong Souvenir sistem cetak massal dan mesin tuang sistem injeksi yang dirancang-kembangkan oleh Laboratorium Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh bersama industri rekan memiliki keunggulan dibanding pola cetak tuang manual, karena penuangan dilaksanakan secara massal dengan ditunjang mesin injeksi, sehingga tidak terjadi kegagalan cetak (kropos). Oleh karena itu, prototipe ini dapat dikembangkan menjadi sarana akademik, utamanya untuk kegiatan pendidikan dan pengajaran, Pengabdian dan pengabdian kepada masyarakat oleh lingkungan perguruan tinggi di masa yang akan datang.
-
Pendapatan meningkat tajam dibandingkan dengan sistim lama.
DAFTAR PUSTAKA 1. Saryono, W. 1977. Teknologi Mekanik I. Jakarta: PT Djaya Pirusa. Avner, Sidney H. 1985. Introduction to Physical Metallurgy. Singapore: McGraw-Hill Book Company. 2. Tjaman, S. dan Muchidin. N. 1978. Petunjuk Kerja Pelat dan Pipa. Jakarta: Harapan Masa. 3. Harris, P.J. 1981. Manufacturing Technology 3. London: Butterworth & Co Ltd. 4. Sutomo. 1983. Keselamatan Kerja dalam Tatalaksana Bengkel. Jakarta: PT Melton Putra. 5. Dieter,G.E. 1984. Mechanical Metallurgy. Singapore: McGraw-Hill Book Company. 6. Surbakty. BM.1987. Perkakas Kerja Pelat dan Tempa. Jakarta: PT Karya Nusantara. 7. Surdia, Tata. 1987. Teknologi Pengecoran Logam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Dari Penerapan teknologi cetak masal ini didapat beberapa kesimpulan dan saran antara lain - Hasil cetakan rencong jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sistim tempa persatuan
8. Departemen Perindustrian. 1992. Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri yang Profesional Dalam Menyongsong PJPT II. Jakarta: Departemen Perindustrian.
46
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisis Numerik pada Bejana Destilasi Fermentasi Buah Salak Berdasarkan Prinsip Perpindahan Panas Secara Konduksi Muhammad Idris* 1, Uun Novalia Harahap2 1. 2.
Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan *
[email protected]
Abstrak: Distilasi atau penyulingan merupakan proses pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan titik didih dengan cara dipanaskan di dalam bejana. Bahan kimia yang menguap dialirkan melalui pipa ke dalam system kondensasi untuk merubah uap kembali menjadi cairan sebagai hasil luaran. Pada penelitian sebelumnya diperoleh hasil luaran bioethanol dari limbah buah salak sebesar 10% dari total larutan. Penelitian ini dititikberatkan pada proses destilasi, dimana pada proses destilasi sangat dipengaruhi oleh temperature kerja dan peralatan. Pada eksperimen terdahulu pemanasan dilakukan dari mulai temperature 31 oC (304 K) hingga mencapai 78-80 oC (351 – 353 K) Sebuah software numerik disiapkan untuk menggambarkan fenomena rambat panas dan distribusi temperature. Hasil perhitungan numerik akan dibandingkan dengan data eksperimen, dengan penyimapangan tertinggi 5%. Hal ini menunjukkan hasil simulasi numerik yang dilakukan sangat baik. Kata kunci: Destilasi, Analisis Numerik, ANSYS Abstract: Distillation is a separation process chemicals, according to their boiling point by heating in a vessel. The chemicals that evaporate piped into the condensing system to convert steam back into liquid as the outcome. In previous research outcomes bioethanol obtained 10% of the total solution. In previous research done on the heating start temperature from 31 ° C (304 K) up to78-80° C (351 – 353 K). This work was conducted to review the distribution of propagation of heat and hot temperature inside the reactor. A numerical software prepared to describe the phenomenon of the propagation of heat and temperature distribution. The results of numerical calculations are compared with experimental data. The highest deviation is 5% it is mean the numerical analysis conduct very well. Keyword: Destilation, Numerik Analysis, ANSYS destilasi sangat berpengaruh pada hasil luaran bioetanol. hal ini menyebabkan kenaikan temperatur di luar batas ambang temperature destilasi yang normal mencapai 90 O C, sedangkan temperatur kerja destilasi untuk menghasilkan luaran yang baik adalah 78 - 80 OC [5]. Penulis berasumsi bahwa temperature kerja mencapai 90 O C menyebabkan air mulai menguap dan tercampur dengan larutan bioetanol sehingga menyebabkan kadar etanol masih rendah. Perbaikan kinerja proses destilasi dibutuhkan untuk meningkatkan hasil luaran yang diharapkan, oleh karena itu penulis melakukan ekperimen kembali dengan cara memperbaiki sisetem destilasi. Upaya peningkatan kinerja tersebut ialah dengan cara menggati bahan bakar pemanas dengan bahan bakas gas, sehingga temperature kerja dapat dikontrol dengan mudah. Selanjutnya data ekperimen yang diperoleh dijadikan bahan rujukan dalam membuat analisis numerik. Analisis numerik dilakukan berdasarkan analisis transien yang bertujuan untuk menggambarkan laju pemanasan pada proses destilasi dan fenomena perpindahan panas secara konduksi yang terjadi di dalam bejana destilator. Data yang diperoleh dari analisis numerik ini selanjutnya akan dijadikan rujukan kembali pada ekperimen berikutnya agar mendapatkan hasil yang lebih optimal dari sebelumnya. Beberapa analisis numerik telah membahas tetang fenomena rambat panas yang terjadi di dalam bejana [6], [7]. Pada analisis tesebut menggambarkan penomena perpindahan panas dan reaksi kimia pada pirolisis kayu. Berdasarkan penelitian tersebut
I. 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Energi posil merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa lampau dan sekarang. Indoensia memiliki beragam potensi energi fosil, minyak bumi gas bumi dan batu bara. Masing-masing memiliki cadangan sebesar 3,6 miliar bare, 100,3 Ton Cubic Feet (TCF) dan 31.35 miliar ton. Jika diasumsikan tidak ada penemuan baru maka minyak bumi akan habis dalam 13 tahun, gas bumi 34 tahun dan batu bara 72 tahun [1]. Disisi lain Indonesia memiliki petensi sumber energi biomassa yang bekum dikembangkan mencapai 99% [2]. Biomassa mengacu pada setiap bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan [3]. Salah satu potensi energi yang diperoleh dari biomassa adalah bioetanol. Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan serta meiliki sumber bahan baku yang tidak akan habis. 2. Meninjau Penelitian Sebelumnya Bioetanol merupakan bahan yang diperoleh berdasarkan proses penyulingan (destilasi) larutan fermentasi. Dari eksperimen yang telah dilakukan, bahwa kandungan dari bioetanol dari limbah buah salak masih sangat rendah, hanya 10% [4]. Menurut pengamatan penulis, hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu bahan baku, proses fermentasi dan proses destilasi. Pada penelitian ini penulis hanya membahas faktor destilasi. Destilasi merupakan proses pemisahan fasa berdasarkan titik didih dari fasa tersebut. Temperature kerja proses
47
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 ini penulis melakukan analisis numerik pada proses destilasi. Pirolisis dan destilasi memiliki beberapa kesamaan dalam proses pemanasan namun berbedan pada temeperature kerja bahan baku. 3. Tujuan Peneltian Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk membandingkan laju pemansan pada proses destilasi anatara ekperimen dengan analisis numerik dan menggambarkan fenomena distribusi temperature panas di dalam bejana destilator. Data yang diperoleh dari analisis numerik diharapakan mampu memberikan informasi penting untuk meningkatkan kembali proses destilasi selanjutnya.
merupakan ilustrasi duan posisi pengukuran tersebut dilakukan.
II.
METODE PENELTIAN Destilasi larutan fermentasi telah dilakukan di laboratorium. Pada experimen tersebut beberapa variabel diamatati, yaitu temperature pemanasan pada proses destilasi, temprature pendinginan uap pada kondesor dan hasil luara (bioetanol). Pada penelitian ini penulis hanya membahasa secara focus temperature pemanasan di dalam bejana destilasi selama proses berlangsung. 1. Bahan Baku Bahan baku fermentasi berasal dari limbah biomassa yang diperoleh langsung dari petani. Berikut ini jenis bahan baku dan komposisinya: Saripati buah salak dengan campuran air 1:1 sebanyak 500 ml, Ragi 10%, gula 10%, urea 5% dan NPK 5%. Bahan baku ini semuanya dilarutkan, kemudian difermentasi di dalam botol sebagaimana pada gambar 2.1.
(a)
(b). Posisi thermocouple di dalam bejana destilasi
Gambar 2. 2. Posisi pengukuran temperatur 4. Metode Experimen Langkah-langkah dalam melakukan eksperimen dilakukan sebagai berikut a. Larutan pati buah bersama komposisi lainya difermentasi di dalam botol tertutup selama 120 jam (5 hari) b. Larutan fermentasi dimasukkan ke dalam destilator dan dipanaskan hingga mencapai 7880 oC selama 1 jam c. Uap dialirkan ke dalam tabung kondensator melelui pipa d. Mencatat perubahan temperatur pada T1 dan T2 pada bejana destilasi 5. Hasil Pengukuran Temperature Pengukuran temperature dilakukan selama proses destilasi berlangsung, pencatatan perubahan dilakukan setiap menit. Gambar 2.3 merupakan data temperature. Garis putus-putus warna hitam menunjukkan temperature bagian bawah bejana (T1) dan garis putus-putus warna merah merupakan temperature bagian atas bejana (T2). Kenaikan tempratur T1 dari 304 K cenderung memiliki
Gambar 2.1. Proses fermentasi Peralatan Eksperimen Peralatan eksperimen terdiri dari kompor sebagai sumber panas, bejana destilator, termokopel tipe k, pressure gauge dan kondensator. 3. Pengukuran Temperature Pengukuran temperature kerja pada proses destilasi larutan fermentasi di lakukan pada dua titik pengukuran, dimana T1 berada di dalam bejana bagian bawah bawah dan T2 berada pada bagian atas bejana. Gambar 2.2 a dilingkari garis merah, merupakan bejana destilasi dimana pengukuran temperatur dilakukan, bagian ini yang menjadi fokus penelitian penulis, dan gambar b. 2.
48
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 hubungan linier terhadap waktu hingga detik ke 1740, setelah itu temperature dikontrol pada 363 K hingga selesai proses. Berbeda dengan temperature T2, meningkat secara acak/ gradien hingga proses destilasi selesai hanya mencapai 324 K saja. Temperature Proses Destilasi Temperratur Bawah (T1)
Temperatur (K)
360 350 340
Gambar 2.4. Model bejana destilasi
(a).Model bejana destilasi 330
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Temperatur proses destilasi pada ekperimen yang telah dilakukan dimulai dari temperatur lingkungan 304 K hingga mencapai 353 K. Peningkatan temperatur dimulai dari t 1 detik hingga mencapai t 1740 detik cenderung memiliki hubungan linier antara temperature dengan waktu, namun setelah t 1740 detik proses berlangsung, temperatur tidak mengalami peningkatan karena dikontrol dalam kondisi konstan pada 353 K proses destilasi selesai selama 3600 detik.
320 310 300 0
480
960 1440 1920 2400 2880 3360 Durasi Waktu (detik)
Gambar 2.3. Temperature proses destilasi T1 dan T2 Metode Analisis Numerik Analisis numerik dibangun berdasarkan konsep transient, dimana peningkatan temperature yang diambil dari data slope pada laju temperature T1. Model bejana destilasi didesain berdasarkan pendekatan dari geometri bejana dalam 2 dimensi assymetris, dengan mengacu pada persamaan 2.1. Model bejana destilasi ini terdiri dari tiga jenis material dimana sifat fisis dari masing-masing material tersebut ditunjukkan pada tabel 2.1. Untuk menyelesaikan persolalan ini penulis menggunakan beberapa asumsi pada analisis ini, yaitu: a. Elemen type untuk semua material adalah sama menggunakan Plane 35 b. Menggunakan global mesh smart size 2 c. Temperature dibagian bawah bejana destilasi adalah sama dengan temperature sumber panas. d. Material propertis pada larutan fermentasi merupakan harga rata-rata dari sifat fisis buah dan sifat fisis air. e. Tidak ada perbedaan tekanan pada awal proses material propertis antara udara lingkungan dengan udara di dalam bejana destilasi. (2.1) Tabel 2.1. Material properties 6.
Conductivity W/mmK 1 Stainless Steel 1.490.E-02 2 Glucosan Fermetation 5.233.E-04 3 Udara 2.588.E-04
No
Material
1.
Nodal Temperature Analisis numerik dilakukan hingga mencapai 3600 detik (1 jam) dengan mengacu pada experimen yang talah dilakukan. Pada gambar 2.4. memperlihatkan temperature paling rendah ditunjukkan pada bagian berwarna biru 323.341 K dan temperatur paling tinggi pada daerah berwarna merah mencapai 355 K. Terjadi perbedaan pada laju peningkatan temperatur panas secara konduksi antara analisis numerik dengan data eksperimen pada saat t 1 detik hingga t 1740 detik, namun setelah t 1740 grafik analisis numerik berhimpit dengan data eksperimen, fenomena ini dapat dilihat pada gambar 3.2. Perpindahan panas secara konduksi pada analisis numerik dari t 1 detik hingga t 1740, temperature lebih cepat meningkat dari pada perubahan waktu sehingga menyebabkan perbedaan grafik antara analisis numerik dengan data eksperimen pada kondisi tesebut mencapai 1% – 5 %. Demikian juga dengan temperatur bagian atas T2, terjadi juga perbedaan anatara analisis numerik dengan data eksperimen. Grafik peningkatan temperature pada analisis numerik yang cenderung gradien bertahap, namun pada eksperimen terlihat meningkat secara acak
Specific Heat Densty J/kg.K Kg/mm^3 4.770.E+02 7.900.E-06 3.665.E+03 1.605.E-06 1.007.E+03 1.164.E-09
7.
Model Bejana Destilasi Model bejana destilasi pada penelitian ini terdiri dari tiga kondisi batas yaitu: 1. Lantai bejana destilasi sekaligus menjadi konsisi batas temperature, 2. Kondisi batas larutan fermentasi, 3 dan 4 Konsisi batas udara lingkungan. Gambar 2.3. a dan b merupakan model bejana destilasi 2d assimetris dengan model global mesh smart size 2.
49
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 tengan bejana ke bagian tepi dinding, demikian juga pada titik yang lain telihat cenderung konstan hanya sedikit saja mengalami penurunan pada tepi dinding bejana. Hal ini disebabkan oleh sumber panas yang berasal hanya dari bawah dan dinding tepi bejana mengalami peningkatan dari proses konduksi. Berdasarkan analisis ini bahwa distribusi dan perpindahan panas di dalam bejana destilasi sangat baik meskipun terjadi perbedaan pada keondisi tertentu, namun dapat diabaikan.
Gambar 3. 1. Nodal temperature
Temperature (K)
360
Analisis Numerik : Data Eksperimen pada T1
350 340
Kalkulasi Numerik
330
(a. Nodal temperature)
Eksperimen Data
320
DISTRIBUSI TEMPERATUR PANAS DI DALAM Dist. Temp. 360.00 DESTILATOR
310
Lar. Ferm. Bawah
300 480
960 1440 1920 2400 2880 3360 Durasi Waktu (detik)
355.00
TEMPERATUR (K)
0
350.00
Gambar 3. 2. Perbandingan temperatur bawah (T1)
345.00
Analisis numerik : Data Eksperimen pada T2 Destilator
Dist. Temp. atas Destilator
340.00
Dist. Temp. bag. 335.00 Tengah 0 20 40 60 80 100 120 destilator JARAK DARI TENGAH - TEPI DINDING (MM)
330 Temperatur (K)
Dist. Temp. Lar. Ferm. Atas
325 320
(a. Grafik distribusi temperature) Gambar 3. 4. Distribusi temperature di dalam bejana destilasi
315 310
Data Eksperimen
305
Kalkulasi Numerik
IV. Kesimpulan Analisis numerik dibangun berdasarkan data ekperimen yang telah dilakukan selama 3600 detik (1 jam). Data eksperimen dan data analisis numerik dibandingkan untuk melihat fenomena perpindahan panas secara konduksi dan distribusi temperature di dalam bejana destilasi. Hasil membuktikan bahwa ada perbedaan yang terjadi, dimana temperature T1 pada analisis numerik meningkat lebih cepat dibanding dengan perubahan waktu sehingga terjadi penyimpangan terhadap temperatur T1 pada eksperimen sebesar 5 %, fenomena berbeda pada temperatur T2, peningkatan temperature pada eksperimen terlihat secara acak dibanding dengan analisis numerik yang cenderung meningkat secara gradien bertahap. Distribusi temperature digambarkan pada empat posisi, dimana posisi paling bawah bejana destilasi
300 0
480 960 1440 1920 2400 2880 3360 Durasi Waktu (detik) Gambar 3. 3. Contour temperatur bejana destilasi 2. Distribusi Temperatur di Dalam Bejana Destilasi Distribusi temperature di dalam bejana destilasi akan digambarkan dalam empat posisi, secara berurutan garis merah merupakan distribusi temperature bagian bawah bejana/ level bawah larutan fermentasi, garis biru merupakan distribusi temperatur larutan level atas, garis hitam merupakan distribusi tempratur bagian tengah bejana dan garis hijau merupakan distribusi temperatur bagian atas bejana, sebagaimana yang diilustasikan pada gambar 3.4. a dan b. Distribusi temperature pada bagian bawah bejana terlihat mencapai temperatur maksimum 355 K dari
50
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 meiliki temperature yang sama dari tengah bejan ke tepi dinding bejana, dan pada posisi yang lain temperatur bagian tengah bejana lebih tinggi dari pada temperatur tepi bejana.
mata kuliah Fisika 1, Meggambar Teknik, Menggambar Mesin dan Auto CAD dan Manajemen Industri. Publikasi Ilmiah Nasional dan Internasional Nasional: Uun Novalia Harahap, Muhammad Idris, Junaidi, Optimasi Pemanfaatan Limbah Buah Salak Sebagai Bahan Bakar Bioetanol, Majalah Ilmiah Teknik, Vol. 19 No. 1, 45 – 54 November 2016. International Journal: 1. H. Homma, Yusrizal and Muhammad Idris, Wood Pyrolysis in Pre-Vacuum Chamber, Journal Sustaineble Bioenergy System, 2013, 3, 243 – 249. 2. H. Homma, H. Homma Yusrizal, and Muhammad Idris, Wood Pyrolysis in Pre-Vacuum Chamber, Procedings of SNTTM XII October 2013, 12, pp, 7 – 15. 3. H. Homma, H. Homma and Muhammad Idris, Numerical Analysis on Wood Pyrolysis in PreVacuum Chamber, Journal Sustaineble Bioenergy System, 2014, 4, 149 – 160. International Conference: Numerical Approach to Wood Pyrolysis in Consicerating Heat Transfer in Reactor Chamber, Procedings of the Annual Applied Science and Engineering Conference (AASEC) 18 November 2016, Bandung
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan pihak kampus Sekolah tinggi Teknik Harapan yang telah meberikan dukungan biaya, hingga penelitian ini selesai. DAFTAR PUSTAKA [1] P. Badan , T. dan Penerapan and (BPPT), Indonesia Energy Outlook 2015 Pengembangan Energi dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi (PTPSE), 2015. [2] U. D. o. C. I. T. Adnistration, "Renewable Energy Market: Indonesia," Manufacturing and Service Competitiveness Report, Jakarta, 2010. [3] P. Basu, Biomass Gasification and Pyrolysis Practical Design and Theory, Burlington, USA: Elsevier Inc., 2010. [4] R. Muhammad, Pengaruh Variasi Konsentrasi Bekatul Pada Produksi Entanol Menggunakan Singkon Karet (Manihot glazovii) Dengan Metode Fermentasi Menggunakan Saccharomyces cerevisiae, Bengkulu, 2014. [5] M. Idris and U. N. Harahap, "Numerical Approach to Wood Pyrolysis in Considerating Heat Transfer in Reactor Chamber," in IOP Conference Series Material Science and Engineering , Bandung, 2016. [6] H. Homma, H. Homma and M. Idris, "Numerical Analysis on Wood Pyrolysis in Pre-Vacuum Chamber," Journal of Sustainable Bioenergy Systems, vol. 4, pp. 149-160, 2014. [7] U. Novalia, M. Idris dan J. , “Optimasi Pemanfaatan Limbah Buah Salak Sebagai Bahan Bakar Alternatif Bioetanol,” Majalah Ilmiah Teknik, vol. 19 , pp. 4554, 2016. BIODATA PENULIS Muhammad Idris, ST, MT, dilahirkan di Bentar Kersik Deli Serdang 06 Mei 1981. Tamat Sekolah Dasar Negeri Inpres 105316, STM. Hilir Deli Serdang tahun 1993. Lusus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama PABRI STM. Hilir Deli Serdang tahun 1996. Lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Indramayu JABAR tahun 2000. Pada tahun 2007 lulus S1 Sarjana Teknik Mesin di Sekolah Tinggi Teknik Harapan. Pada tahun 2011 – 2014 menyelesaikan pendidikan S2/ Magister Teknik Mesin di Universitas Sumatera Utara. Mulai mengajar di Sekolah Tinggi Teknik Harapan tahun 2011 hingga sekarang. Mengapuh
51
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Implementasi Rancang Bangun Modul Praktikum Suhu dan Pengaturan Motor Dc dengan Mikrokontroler dan Visual Basic Arief Mardiyanto1 dan M. Ihsan2 (1) Staf pengajar Jurusan Teknik Elektro (2) Mahasiswa Prodi Elektronika
Abstrak - Telah dibuat modul praktikum suhu dan pengaturan kecepatan motor dc menggunakan mikrokontroler AT Mega 16, dan tampilan pada PC dengan program Visul Basic 6.0. Menerapkan komponen sensor LM 35,PTC,NTC sebagai suhu,dan pengaturan kecepatan motor dc menggunakan PWM yang diintegrasikan dengan sensor rotary encoder. Hasil percobaan berupa data table, grafik dan dapat disimpan.Modul ini dapat digunakan pada laboratorium microprosesor dan interface, laboratorium instrumentasi dan laboratorium kontrol.Modul dilengkapi LCD untuk tampilan nilai real akseptabilitas dalam pengujian: suhu dan jumlah putaran motor dc,USB to serial sebagai komunikasi data serial ke PC.
Kata Kunci : lm35, ntc, ptc, motor dc, mikrokontroler at mega16, rotary encoder, usb to basic 6.0 1. PENDAHULUAN
3. Manfaat
Pembuatan modul alat praktek untuk praktikum suhu dan pengaturan kecepatan motor dc, merupakan bagian dari kreasi dan inovasi civitas akademik.Modul laboratorium ini di buat sebagai bagian dari proses belajar mengajar yang dapat di pergunakan praktikum di laboratorium instrumentasi,sensor,transduser,interface dan sistem kontrol pada pendidikan vokasi menengah atas dan perguruan tinggi vokasi. Modul praktikum ini dapat digunakan untuk: (1) mengukur dan melihat karakteristik temperature (suhu) dengan menggunakan sensor LM 35, PTC, NTC dan dapat diaplikasikan pada suatu plant proses; (2) pengaturan kecepatan motor DC dengan menggunakan PWM (Pulse Width Modulation). Modul ini terintegrasi antara mikrokontroler at mega16 dengan PC melalui USB serial,sedang Visual basic 6.0 dengan program bahasa C sebagai sarana dialog box antara praktikan dengan modul. Hasil pengukurannya disajikan dalam tabel dan grafik serta dapat disimpan dalam PC.
Modul ini dapat digunakan sebagai proses belajar mengajar tingkat pendidikan menengah vokasi dan pendidikan tinggi vokasi pada laboratorium microprosesor dan interface, laboratorium instrumentasi dan laboratorium kontrol.
4. TINJAUAN PUSTAKA 4.1. Sensor Suhu a). Rangkaian Sensor LM35 Sensor suhu LM35 memiliki keluaran impedansi rendah 0,1 W untuk beban 1 mA dan ketidak linieritassannya sekitar ± ¼ ºC, fungsinya untuk pengubahan besaran suhu ke besaran tegangan listrik sampai 30 volt. Kerja sensor suhu LM 35 membutuhkan arus rendah ± 60 µA,tegangan kerja 4 ÷ 30 volt, lowheating rendah ˂ 0,1 ºC pada udara diam dan panas yang dihasilkan self-heating dapat mencapai 100 0C. Operasi suhu maksimal -55 ºC sampai +150 ºC.Tegangan keluaran sensor suhu ini 10 mV/10C dan kesalahan pembacaan yang rendah kurang dari 0,5 ºC pada suhu 25 ºC. Persamaan rumus tegangan keluaran sensor LM35 adalah VLM35=Suhu*10 mV (1) Tegangan keluaran sensor LM 35 ini bisa langsung sebagai masukan ke rangkaian Pengkondisi sinyal seperti rangkaian penguat operasional,rangkaian filter,rangkaian pembanding tegangan dan rangkaian ADC, rangkaian sensor LM 35 (gambar 1).
2. Tujuan
Tujuan penelitian terapan ini adalah : 1) Membuat modul praktikum suhu dan
2) 3)
serial,visual
pengaturan kecepatan motor dc dengan mikrokontroler AT Mega 16 dan tampilan pada PC dengan program Visul Basic 6.0. Menerapkan komponen sensor LM35,PTC,NTC sebagai sensor suhu. Pengaturan kecepatan motor dc menggunakan PWM yang diintegrasikan dengan sensor rotary encoder.
52
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
4.3 Driver Motor DC Tegangan keluaran Mikrokontroler adalah 0V dan 5V. Tegangan ini tidak bisa digunakan secara langsung untuk menggerakkan beban,jadi perlu dipasang IC L298 yang terdiri dari transistor daya, yang mampu menguatkan arus, sehingga dapat menggerakkan beban yang digunakan sebagai driver motor DC. Karena menggunakan prinsip kerja H-Bridge. Tiap HBridge dikontrol menggunakan level tegangan TTL yang berasal dari output mikrokontroler 4.4. Rangkaian LCD LCD (Liquid Cristal Display)merupakan
Gambar 1 Rangkaian Sensor LM35 b). Rangkaian Sensor Suhu NTC dan PTC NTC (negative temperature coefficient) merupakan sensor bila ,” temperaturnya tinggi maka nilai resistansinya kecil, temperature rendah maka nilai resistansinya besar”. Untuk PTC (Positive Temperature Coeffisient) merupakan sensor bila “ Temperaturnya makin tinggi maka nilai resistansinya semakin besar, Temperaturnya makin rendah maka nilai resistansinya semakin kecil”. Koefisien temperatur dari thermistor PTC bernilai positif hanya pada interfal suhu tertentu, sehingga diluar interval tersebut akan bernilai nol atau negatif.
Display elektronik yang fungsinya sebagai tampilan suatu data, baik karakter, huruf ,angka ataupun grafik. LCD dengan teknologi CMOS logic bekerja dengan memantulkan cahaya yang ada di sekelilingnya terhadap front-lit atau mentransmisikan cahaya dari back-lit.
Gbr.2a.Rangkaian Sensor NTC
4.2
Gbr.2b.Rangkaian Sensor PTC Rangkaian Motor DC Motor DC adalah motor yang menggunakan tegangan searah sebagai sumber tenaganya. Polaritas dari tegangan yang diberikan pada dua terminal menentukan arah putaran, motor akan berputar pada satu arah (+) , dan bila polaritas dari tegangan tersebut dibalik maka arah putaran motor (-) ,sedangkan besar dari beda tegangan pada kedua terminal menentukan kecepatan motor.
Gbr.4 Rangkaian LCD 4.5.Rotary Encoder Rotary encoder berupa sensor optic menghasilkan serial pulsa yang dapat memonitor gerakan dan posisi berputar yang diolah menjadi informasi berupa kode digital. Rangkaian penghasil pulsa yang digunakan umumnya memiliki output akan berubah dari +5V menjadi 0.5V ketika cahaya diblok oleh piringan dan ketika diteruskan ke phototransistor. Divais ini umumnya bekerja dekat dengan motor DC maka banyak noise yang timbul akibatnya output akan dimasukkan ke low-pass filter dahulu dan frekuensi cut-off yang dipakai ditentukan jumlah slot pada kecepatan berputar piringan. 4.6. Komparator (LM339) Komparator LM339 berupa rangkaian elektronik Op-Amp fungsinya membandingkan sinyal masukan dengan tegangan referensi (Vref). Vref di hubungkan ke +V supply, kemudian
Gbr. 3 Rangkaian Motor DC
53
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
R1 dan R2 digunakan sebagai pembagi tegangan, sehingga nilai tegangan yang di referensikan pada masukan + op-amp adalah sebesar : V = [R1/(R1+R2) ] . ……….(2)
AVR,intruksi-intruksinya dengan code wizart sehingga mudah menginisialisasi port input dan output sesuai rangkaiannya dan menghasilkan kode secara otomatis kedalam listing program,selanjutnya dilakukan pengeditan program. Aplikasi program VB versi 6.0 sebagai dialog box, visualisasi bentuk tabel dari basis data kedalam grafik(gambar 6).
4.7. Pengatur PWM (Pulse Width Modulation) dengan µC AVR AT Mega 16 PWM suatu metoda untuk mengatur kecepatan perputaran motor dengan cara mengatur presentase lebar pulsa high terhadap perioda dari suatu sinyal persegi dalam bentuk tegangan periodic.Sinyal PWM menggunakan metode digital bahwa setiap perubahan PWM dipengaruhi oleh resolusi dari PWM itu sendiri. PWM digital 8 bit berarti PWM tersebut memiliki resolusi 2 pangkat 8 = 256, maksudnya keluaran PWM ini memiliki 256 variasi, variasinya mulai dari 0 – 255 yang mewakili duty cycle 0 – 100% dari keluaran PWM tersebut.Mikrokontroler akan membandingkan posisi Compare dan Clear ,ini digunakan untuk penentuan jenis komparator apakah komparator inverting atau noninverting. Kondisi clear down, bila garis segitiga berada dibawah garis merah (compare) maka PWM akan mengeluarkan logika 0. Begitu pula sebaliknya apabila garis segitiga berada diatas garis merah (compare) maka PWM akan mengeluarkan logika 1. Clear Up adalah kebalikan (invers) dari Clear Down pada keluaran logikanya.
Gbr.6 Blok dialog Software Code Vision AVR Untuk mendukung transfer data sebesar 12 Mbps dan mengkomunikasikan antara hardware dan software pada PC dipakai Universal Seril Bus (USB) gambar 7.
4.8. Rangkaian Minimum Mikrokontroler AVR ATMega 16 Mikrokontroler ATMega 16 berarsitektur 8 bit,40 pink dan bahasa C di pakai untuk proses pemograman pada Mikrokontroler AVR ATmega16 pada software Code Vision AVR, konfigurasi PIN mikrokontroler AVR ATmega16 (gambar 6). Gbr.7 Rangkaian USB to Serial
5. METODE 5.1. Set Up Module Sistem SENSOR LM35 LCD SENSOR NTC
SENSOR PTC
Gbr.5.Rangkaian Minimum μc Atmega 16
KOMPARATOR (LM 339)
A T M E G A 16
USB TO SERIAL
PC
DRIVER MOTOR DC (L298)
MOTOR DC
ROTARY ENCODER
4.9. Software Pemograman Bahasa pemograman C yang digunakan pada software Code Vision AVR ini dengan librarylibrary yang sesuai dengan pemograman μc
Gbr.8 Set Up Module Sistem
54
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
tegangan(mV).nilai arus(mA),nilai Tahanan(Ohm), dan konversi dalam biner. Dari ketiga tampilan tersbut dapat dilihat pada hasil tampilan tabel di masing aplikasi sensor suhu dibawah ini.Hasil visualisasi dalam bentuk grafik, itu sesungguhnya merupakan akumulasi dari tabel tersebut yang digambarkan dalam bentuk grafik dan dapat dilihat pada hasil pada 6.1.1 sampai dengan 6.1.6 pada pembahasan disini.
5.2. Rangkaian Sistem
6.2. Kecepatan Putar Motor DC Gerakan dan posisi berputar pada piringan memakai rotary encoder yang berupa sensor optic yang menghasilkan serial pulsa dan diolah menjadi informasi dalam bentuk kode digital.Sinyal PWM digital 8 bit artinya resolusi 2 pangkat 8 = 256, jadi keluaran sinyal PWM ini 256 variasi, variasinya mulai dari 0 – 255 yang mewakili duty cycle 0 – 100%. Untuk hitungan nya sebagai berikut : 1) Kondisi clear down, ketika piringan berputar dan melewati garis segitiga berada dibawah garis merah (compare) akan mengeluarkan logika 0; 2) ketika piringan berputar dan melewati garis segitiga berada diatas garis merah (compare) akan mengeluarkan logika 1.Jadi banyaknya piringan melewati pada logika 1 akan dihitung sebagai nilai banyaknya putaran dan disimpan pada memory. μC Atmega 16, driver motor dc dengan tambahan pemasangan IC L298 untuk menguatkan arus guna menggerakkan beban sebagai driver motor dc. Hasil pengujian dan pengukuran modul ini dapat dilihat pada 6.2.1 dan 6.2.2.
Gbr.9 Rangkaian Sistem
6. HASIL PENGUJIAN PEMBAHASAN
DAN
6.1. Sensor : Suhu LM 35,PTC dan NTC Setelah semua rangkaian terintegrasi,selanjutnya di lakukan pengujian hardware dan software sistem yang hasilnya dapat berjalan dengan baik dan hasil visualisasi dapat dilihat .Hasil pengujian software tampilan dalam bentuk tabel untuk pengukuran menggunakan sensor suhu LM 35,PTC dan NTC,berisikan kolom: 1. Kolom pertama dengan informasi tanggal,bulan dan tahun. 2. Kolom kedua dengan informasi hasil nilai pengukuran dengan penggunaan thermometer. 3. Kolom ketiga degan informasi Modul Praktikum yang memuat sebanyak 5(lima) informasi yaitu :nilai suhu (0C),nilai Hasil –Haail Pengujian dan Pengukuran 6.1.1. Hasil Tampilan Tabel Sensor LM 35 Modul Praktikum Tanggal
Thermo meter
Tegangan (mV) 298.14 298.14
Arus (mA) 11.62 11.62
Tahanan ( ) 25.64 25.64
Biner
10/09/2013 10/09/2013
29.4 29.4
Suhu (C) 29.8 29.8
10/09/2013
29.4
29.3
293.25
11.43
25.64
0000111100
10/09/2013
29.4
29.8
298.14
11.62
25.64
0000111101
10/09/2013
29.8
30.3
303.03
11.81
25.64
0000111110
10/09/2013
29.4
29.8
298.14
11.62
25.64
0000111101
10/09/2013
29.4
30.3
303.03
11.81
25.64
0000111110
10/09/2013
30.2
31.2
312.80
12.19
25.64
0001000000
10/09/2013
29.4
30.3
303.03
11.81
25.64
0000111110
10/09/2013
29.4
29.3
293.25
11.43
25.64
0000111100
55
0000111101 0000111101
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
6.1.2. Hasil Tampilan Grafik Sensor LM 35
6.1.3.Hasil Tampilan Tabel Sensor PTC Modul Praktikum Tanggal
Thermo meter
Tegangan (mV) 1959.92
Arus (mA) 30.40
Tahanan ( ) 64.46
Biner
10/09/2013
29.4
Suhu (C) 70.7
10/09/2013
29.4
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
29.4
50.9
1451.61
35.48
40.90
100101001
10/09/2013
29.4
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
29.8
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
29.4
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
29.4
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
30.2
50.8
1446.72
35.53
40.71
100101000
10/09/2013
29.4
50.7
1436.95
35.56
40.52
100100111
10/09/2013
29.4
50.7
1436.95
35.56
40.52
100100111
0110010001
6.1.4.Hasil Tampilan Grafik Sensor Suhu PTC
6.1.5.Hasil Tampilan Tabel Sensor Suhu NTC Modul Praktikum Tanggal
Thermo meter
Tegangan (mV) 227.27
Arus (mA) 2.72
Tahanan ( ) 8333.33
Biner
10/09/2013
29.4
Suhu (C) 29.3
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.8
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
56
0111010001
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
10/09/2013
30.2
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
10/09/2013
29.4
29.3
227.27
2.72
8333.33
0111010001
6.1.6.Hasil Tampilan Grafik Sensor Suhu NTC
6.2.1.Hasil Tampilan Tabel Kecepatan putaran motor dc Tanggal
Tegangan
Arus
Tahanan
RPM
PWM
Biner
Arah
10/9/2013
0
1000
0
0
0
Kanan
10/9/2013
0
1000
0
0
0
Kanan
10/9/2013
0
1000
0
0
0
Kanan
10/9/2013 10/9/2013
0 1.61
1000 1000
0 1.61
0 0
0 44
0000101100
Kanan Kanan
10/9/2013 10/9/2013
2.08 3.41
1000 1000
2.08 3.41
0 2465
50 64
0000110010 0001000000
Kanan Kanan
10/9/2013
3.41
1000
3.41
2353
64
0001000000
Kanan
10/9/2013 10/9/2013
3.41 3.41
1000 1000
3.41 3.41
2337 2135
64 64
0001000000 0001000000
Kanan Kanan
10/9/2013
3.41
1000
3.41
2176
64
0001000000
Kanan
10/9/2013 10/9/2013
3.41 3.41
1000 1000
3.41 3.41
2130 2140
64 64
0001000000 0001000000
Kanan Kanan
10/9/2013 10/9/2013
3.41 5.33
1000 1000
3.41 5.33
2222 1546
64 8
0001000000 0000001000
Kanan Kanan
6.2.2.Hasil Tampilan Grafik pengaturan kecepatan putaran motr dc
dengan menggunakan PTCdan Sensor NTC.
7. KESIMPULAN
LM
35,sensor
8. DAFTAR PUSTAKA
Setelah melakukan pembuatan modul penelitian dan juga melakukan pengujian serta pengukuran,maka didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Telah dihasilkan modul Praktikum Suhu dan Pengaturan Kecepatan Motor DC berbasis mikrokontroler dan visual basic. 2. Tingkat akseptabilitas dari kinerja modul ini cukup baik dan dapat dipergunakan sebagai media alat Proses Belajar Mengajar pada mata pelajaran atau mata kuliah sensor suhu
[1] Bishop. Owen.Dasar-Dasar elektronika. Alih bahasa :Irzam Hermaen,Jakarta ,Erlangga. [2] Hadi M.Sholihul,Mengenal Mikrokontroler AVR Atmega 16,Komunitas eLearning Ilmu Komputer.Com,2003-2008. [3] John Coolen and Dennis Roddy. 1984.Komunikasi Elektronika. Jakarta,PT Gelora Aksara pratama. [4] Komputer dengan Visual Basic 6.0.
57
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Yogyakarta. [5] Malvino, hanapi gunawan. 2004 prinsipprinsip elektronika. Erlangga. Jakarta. [6] Moh, Ibnu Malik dan Anistardi. 1997. Bereksperimen dengan mikrokontroller, … Jakarta : PT. Elex Media Komputindo [6] Ratna, Prasetia dan Catur Edi Widodo. Interfacing Port Parallel dan Port Serial.
58
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Teknologi Terapan Perahu Sampan Fiberglass (Studi Terapan : Nelayan Sungai Bubon Kabupaten Aceh Barat)
Application of Technology for Manufacturing Fiberglass Boats (Application Study : Fishermen on the river Bubon in West Aceh) Herdi Susanto1* dan Hanif2 1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Teuku Umar Meulaboh 23681 Aceh Barat, Indonesia Prodi Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe Lhokseumawe,24352, Aceh Utara, Indonesia * Email:
[email protected]
Abstrak - Pembuatan perahu sampan tradisional dibutuhkan pohon dengan diameter minimum 80 cm. jumlah pohon yang semakin terbatas dan kerusakan hutan yang dapat mengganggu kelangsungan dan keseimbangan makluk hidup serta dampak bencana alam. Diperlukan teknologi alternatif yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal tersebut, penerapan teknologi perahu sampan fiberglass dapat diterapkan. Tujuan penerapan teknologi perahu sampan fiberglass dengan cetakan yang dirancang bangun adalah untuk memperbaiki hasil produksi dalam hal aspek estetika dan bentuk perahu. penelitian dilaksanakan di desa Paya Lumpat kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat, dengan tahapan 1). Rancang bangun cetakan, 2). Pembuatan perahu metode hand lay-up, 3). Pengujian dan evaluasi. Penelitian menghasilkan sebuah produk perahu sampan fiberglass dengan ukuran dimensi panjang perahu 5,7 meter, lebar maksimum perahu 80 cm dan tinggi 40 cm dengan kapasitas penumpang maksimum 4-6 orang. Pengujian menunjukkan bahwa perahu sampan fiberglass aman dan layak digunakan di sungai Bubon dan hasil evaluasi bahwa aspek estetika terjadi peningkatan sekitar 50% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun dan jika dibandingkan dengan menggunakan sampan kayu sebagai cetakan. Sebaliknya biaya produksi menjadi meningkat sekitar 5% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun. Produksi perahu sampan fiberglass dengan cetakan yang dirancang bangun akan menjadi lebih ekonomis jika di produksi dalam jumlah minimal lima unit perahu sampan. Kata kunci : perahu fiberglass, krueng bubon, hand lay-up, estetika, ekonomis produksi
Abstract - Traditional boat building takes trees with a minimum diameter of 80 cm. trees are more limited and forest damage could disrupt the continuity of life and the environmental balance of the forest, also impacted by natural disasters, alternative technologies to build fiberglass boats can be applied to reduce the impact. Purposes of applying the fiberglass boat building technology with the mold being designed is to improve the manufacturing process, especially in terms of aesthetics and shape of a boat. Research conducted in the village of Paya Lumpat, Samatiga districts of West Aceh district, the phase of the first). The design of the mold, 2). Boat building hand lay-up methods, 3). Testing and evaluation. Research produces fiberglass boat with dimensions of a boat length of 5.7 meters, width 80 cm, height 40 cm and a maximum passenger capacity of 4-6 people. Tests showed the fiberglass boat is safe and fit for use in the river Bubon and aesthetic aspects of the evaluation showed that there was an increase of about 50% when using a mold design and build than if you use a wooden boat as mold. Production costs to increase by about 5% when using a mold designed. Manufacture of fiberglass boats designed to mold would be more economical if the amount of fiberglass boats in the production of at least five units Keyword : fiberglass boat, river bubon, hand lay-up, aesthetic, economical production sungai Krueng Bubon memanfaatkan sungai tersebut untuk kegiatan menangkap udang dan ikan, serta dipinggiran sungai terbentang tambak-tambak ikan masyarakat yang dikelola secara mandiri dan kelompok usaha perikanan [2]. Alat kerja utama yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan dan udang di sungai Krueng Bubon adalah perahu jenis sampan, jaring, bubee (alat perangkap udang) dan alat pancing. Perahu sampan yang digunakan terbuat dari pohon kayu jenis
I. PENDAHULUAN 1.1. Analisis Situasi Kabupaten Aceh Barat secara asronomi terletak pada 040 61’ - 040 47’ lintang utara dan 950 00’ – 860 30’ bujur timur dengan luas 2.927.95 km2 dan merupakan bagian wilayah pantai barat kepulauan sumatera [1]. Sungai Krueng Bubon memiliki panjang ± 22,2 km dan lebar 8-15 meter, rata-rata 24 dari 32 desa dalam kecamatan Samatiga yang berada dipinggiran
59
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
meurantee dengan diameter pohon berkisar 50-80 cm kemudian di bentuk dengan menggunakan pahat kayu dengan ukuran sampan rata-rata panjang 4- 5 meter dan dapat mengangkut penumpang 2-4 orang [2,3], aktivitas kegiatan harian nelayan Krueng Bubon seperti terlihat pada Gambar 1
Gambar 1. Aktifitas harian nelayan sungai Bubon Pembuatan perahu sampan tradisional dibutuhkan kayu dengan diameter yang besar dengan diameter 50 80 cm. jumlah bahan kayu yang semakin terbatas dan kerusakan hutan dapat mengganggu kelangsungan dan keseimbangan makluk hidup dan dampak bencana alam [2,3,4,5]. Jika telah rusak juga sangat sukar diperbaiki karena sampan tidak menggunakan sambungan, apabila diperbaiki biasanya tidak akan bertahan lama [4,5], teknologi alternatif yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal tersebut penerapan teknologi perahu sampan fiberglass. Penerapan teknologi perahu sampan telah dilaksanakan sebelumnya pada nelayan sungai Bubon, hasil evaluasi menunjukkan bahwa kekurangan terdapat pada aspek estetika ini dikarenakan cetakan yang digunakan adalah perahu sampan nelayan [3], atas pertimbangan tersebut pada penelitian ini dilaksanakan terapan teknologi pembuatan perahu sampan fiberglass dengan menggunakan cetakan yang dirancang bangun, sehingga diharapkan aspek estetika yang menjadi kelemahan dari penelitian sebelumnya dapat diperbaiki.
Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan kegiatan 2.3. Metode pelaksanaan 2.3.1. Mendesain bentuk perahu sampan Bentuk desain perahu sampan dirancang sesuai dengan kondisi sungai, jenis perahu sungai yang digunakan dan mengikut sertakan kearifan lokal sungai Krueng Bubon. 2.3.2. Pembuatan Cetakan Perahu Sampan Potongan triplek di bangun dengan menggunakan balok kayu dengan ukuran 10x10cm dan mengikuti pola desain yang telah ditentukan. 2.3.3. Pembuatan Perahu Sampan Pembuatan perahu sampan fiberglass di cetak diatas permukaan cetakan yang telah dirancang bangun, sebelum dicetak, permukaan cetakan dilapiskan dengan lapisan anti lengket yang berfungsi agar perahu tidak lengket pada cetakan dan perahu fiberglass mudah dilepaskan. Selanjutnya serat fiberglass disusun secara rapi dan terdistribusi dengan sempurna dipermukaan cetakan hingga 4 lapisan mat (±4-5 cm) dan dilanjutkan dengan pemolesan pada permukaan fiberglass dengan menggunakan resin polyester. 2.3.4. Pengecetan Perahu Sampan Fiberglass Tahapan akhir dalam pembuatan perahu adalah pemeriksaan seluruh permukaan perahu dari kebocoran dan pengecetan dilakukan secara manual dengan menggunakan kuas. 2.3.5. Pengujian dan Evaluasi Perahu Sampan Fiberglass Pengujian perahu fiberglass dilakukan di area sungai Krueng Bubon dan evaluasi dilakukan terhadap 10 orang yang menggunakan perahu sampan fiberglass tersebut. Hasil pengujian diisikan pada formulir penilaian dan evaluasi kelayakan perahu sampan fiberglass. Aspek yang dinilai : 1). Kenyamanan menggunakan perahu, 2). Kekuatan perahu, 3). Estetika
II. METODE PELAKSAAN 2.1. Rencana Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan di desa Paya Lumpat Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh, dan target pelaksanaan kegiatan disusun berdasarkan diagram alir pelaksanaan kegiatan, terlihat pada gambar 2. 2.2. Teknik Pembuatan Perahu Sampan Fiberglass Pembuatan perahu sampan fiberglass menggunakan bahan dasar resin polyester, serat kaca dan katalis mexpo, serta cetakan perahu menggunakan papan kayu dan triplek. Bahan dasar tersebut dicampur melalui proses pencampuran langsung antar material. Lalu di cetak ke bagian cetakan perahu dengan metode Hand Lay Up (olesan tangan) [6,7].
60
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dan bentuk perahu, 4). Kesesuaian terhadap adat dan budaya setempat, 5). Tingkat ekanomis produksi perahu. Evaluasi hasil pengujian perahu sampan tersebut dibandingkan dengan hasil evaluasi perahu sampan yang diproduksi sebelumnya [3].
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Peralatan dan Bahan Pembuatan Perahu Sampan Fiberglass Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan sampan fiberglass diantaranya gerinda tangan, gergaji listrik, bor tangan, mesin potong kayu, mesin ketam kayu, kuas tangan, pisau dompul, wadah adukan resin, palu, sarung tangan, masker dan lainnya. Bahan habis pakai yang digunakan dalam pembuatan perahu sampan fiberglass diantaranya adalah resin polyester, katalis, fiberglass mat, kayu, triplek dan lainnya.
Gambar 4. Pembuatan alur cetakan gading perahu Rangka dan papan penghubung yang telah dirapikan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan sebelumnya, komponen tersebut dirakit dengan menggunakan paku besi, ditunjukkan pada Gambar 5.
3.2. Pembuatan Perahu Sampan Fiberglass 3.2.1. Pembuatan Cetakan Perahu Sampan Fiberglass Tahapan awal pembuatan cetakan perahu sampan fiberglass adalah mengukur ukuran perahu sampan kayu yang digunakan oleh nelayan setempat, hasil pengukuran panjang 4-6 m, lebar 5-6 cm dan tinggi 2530 cm ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 5. Perakitan rangka cetakan perahu sampan Selanjutnya pemasangan pipa untuk cetakan gading perahu dengan diameter pipa 4-5 cm dan dinding sampan menggunakan triplek ukuran tebal 4 mm. Pada semua sisi pipa dan triplek dilengketkan dengan menggunakan paku triplek dan baut sekerup, hingga semua permukaan rata dan rapi, ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 3. Pengukuran ukuran perahu sampan kayu nelayan Kemudian dilanjutkkan dengan pembuatan mal cetakan dengan menggunakan triplek dan dibentuk pada bulatan kayu yang telah disediakan sebelumnya, pembuatan pola alur cetakan gading perahu sampan fiberglass menggunakan mesin pemotong dan pahat kayu, ditunjukkan pada Gambar 4. Perapian rangka cetakan dan alur gading dilakukan dengan menggunakan mesin ketam kayu, pemotongan papan untuk rangka penghubung antara rangka cetakan alur gading dipotong sesuai dengan ukuran jarak antara gading, dalam pembuatan cetakan ini jarak antar gading antara 1-1,5 m. Gambar 6. Pemasangan cetakan pipa gading dan dinding perahu sampan
61
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pemasangan isolasi anti lengket dan cetakan pada alur pinggir cetakan perahu sampan menggunakan kayu profil plat, yang bertujuan agar resin tidak tumpah dilantai dan permukaan pinggir perahu fiberglass terlihat lebih rapi dan kokoh, proses pembuatan cetakan pada alur pinggir cetakan perahu diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 9. Proses pengeringan resin perahu fiberglass dalam cetakan Setelah resin pada cetakan kering dan mengeras, maka dilanjutkan dengan pelepasan perahu sampan fiberglass dari cetakan perahu dengan cara menggangkat perahu fiberglass dari cetakan, jika resin perahu telah kering dan mengeras, ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 7. Pemasangan isolasi dan perapian alur cetakan pinggir dinding perahu 3.2.2. Pencetakan perahu sampan fiberglass Pencetakan perahu sampan fiberglass dengan menggunakan resin polyester yang diperkuat dengan serat fiberglass, tahapan pertama serat fiberglass di letakkan dipermukaan cetakan dengan rapi dan rata, jika terdapat bagian yang tidak sesuai dengan cetakan, serat fiberglass dapat di potong dengan menggunakan gunting, setelah semua serat terlihat rapi dan rata, dilanjutkan dengan pemolesan serat dengan menggunakan resin polyester, sebelum pemolesan resin diaduk dengan menggunakan katalis Mepoxe, dilanjutkkan dengan proses pemolesan resin diatas permukaan serat fiberglass dengan menggunakan kuas dan pisau dompul, ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 10. Perahu sampan fiberglass yang telah di lepas dari cetakan 3.3. Proses Pengujian awal dan Finalisasi Perahu Sampan Fiberglass 3.3.1. Pengujian Perahu Sampan Fiberglass Pengujian perahu sampan fiberglass dilakukan pada dua tahapan, tahapan pertama dilakukan pada saat perahu telah selesai dilepas dari cetakan, tahapan pengujian pertama dilakukan pengujian mengendarai perahu sampan dan mendeteksi adanya kebocoran pada dinding perahu dan mendeteksi ketidak seimbangan bodi perahu, proses pengujian seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Pengujian tahapan kedua dilakukan, setelah kekurangan baik dan bentuk fisik keseimbangan serta kebocoran telah diperbaiki sebelumnya, setelah selesai proses pengecatan maka dilakukan proses pengujian tahapan kedua.
Gambar 8. Pemasangan fiberglass dan pemolesan resin pada cetakan Setelah proses pemasangan serat dan resin selesai maka tahapan berikutnya menunggu resin pada cetakan kering dan mengeras sekitar 15-20 menit, foto perahu sampan fiberglass yang telah dicetak pada permukaan cetakan ditunjukkan pada Gambar 9.
62
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3.4.2. Evaluasi Perahu Sampan Fiberglass Evaluasi atas perahu fiberglass dilaksanakan terhadap kelompok nelayan dan tambak area sungai Krueng Bubon dan evaluasi dilakukan tiap 10 hari selama 1 bulan (3 kali evaluasi) terhadap 10 orang anggota kelompok nelayan yang menggunakan perahu sampan fiberglass tersebut. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa perahu sampan fiberglass aman dan layak untuk digunakan di sungai Krueng Bubon. Hasil evaluasi ditunjukkan pada Gambar 14 100 90 80
Hasil Penilaian (%)
Gambar 11. Proses pengujian perahu fiberglass 3.3.2. Pengecetakan Perahu Sampan Fiberglass Pengecetan perahu sampan fiberglass dilakukan dengan menggunakan kuas cat dan warna cat kuning dan biru sesuai dengan variasi warna Universitas Teuku Umar, proses pengecatan seperti di tunjukkan pada Gambar 12.
70 60
Sangat Baik
50 40
Baik
30
Kurang Baik
20 10 0
Kenyamanan
Kekuatan
Estetika
Sesuai Adat dan Budaya
Ekonomis Produksi
Aspek yang dinilai
Gambar 14. Hasil evaluasi perahu sampan fiberglass tahap akhir Jika dibandingkan dengan pembuatan perahu sampan fiberglass dengan menggunakan cetakan langsung pada perahu sampan setempat [2,3], terjadi perbedaan pada aspek estetika dan ekonomis produksi, hasil evaluasi perahu sampan yang dibuat dengan menggunakan perahu sampan nelayan sebagai cetakan ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 12. Proses finalisasi perahu sampan fiberglass
100 90
Hasil Penilaian (%)
3.4. Pengujian dan Evaluasi Akhir Perahu Sampan Fiberglass 3.4.1. Pengujian Perahu Sampan Fiberglass Pengujian akhir perahu sampan fiberglass dilakukan setelah kekurangan baik dan bentuk fisik keseimbangan serta kebocoran telah diperbaiki sebelumnya, setelah selesai proses pengecatan maka dilakukan proses pengujian tahapan akhir, seperti terlihat pada Gambar 13.
80 70 60 50
Sangat Baik
40
Baik
30
Kurang Baik
20 10 0
Kenyamanan
Kekuatan
Estetika
Sesuai Adat dan Budaya
Ekonomis Produksi
Aspek yang dinilai
Gambar 14. Hasil evaluasi perahu sampan fiberglass dengan sampan kayu sebagai cetakan [3] Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa aspek estetika menjadi lebih baik yaitu terjadi peningkatan sekitar 50% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun dibandingkan jika menggunakan sampan kayu sebagai cetakan. Sebaliknya biaya produksi menjadi meningkat sekitar 5% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun. Gambar 13. Proses pengujian akhir perahu fiberglass 63
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Biaya produksi meningkat dikarenakan untuk cetakan yang dirancang bangun memerlukan biaya investasi pembuatan cetakan sekitar Rp. 1.000.000,per model cetakan perahu sampan, tetapi cetakan yang dirancang bangun memiliki kelebihan dimana material resin yang digunakan menjadi lebih hemat, karena material resin yang tumpah kelantai menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan cetakan perahu sampan menggunakan perahu sampan kayu setempat.
[4] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 14 Oktober 2011, BPPT Diseminasikan Teknologi Pembuatan Perahu Fiberglass di Sulawesi Tenggara, Berita Layanan Info Publik, www.bppt.go.id , diakses tanggal 19 April 2014 [5] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 12 Desember 2014, BPPT Diseminasikan Teknologi Pembuatan Perahu Fiberglass di Gorontalo, Berita Layanan Info Publik, www.bppt.go.id , diakses tanggal 06 Juni 2016
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
[6] Guneri Akovali, 2001, Handbook of Composite Fabrication, Rapra Technology Limited, United Kingdom
4.1. Kesimpulan 1. Hasil penelitian menghasilkan sebuah produk perahu sampan fiberglass dengan ukuran dimensi panjang perahu 5,7 meter, lebar maksimum perahu 80 cm dan tinggi 40 cm dengan kapasitas penumpang maksimum 4-6 orang. 2. Hasil pengujian tahap akhir menunjukkan bahwa perahu sampan fiberglass aman dan layak digunakan di sungai krueng bubon. 3. aspek estetika menjadi lebih baik yaitu terjadi peningkatan sekitar 50% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun dibandingkan jika menggunakan sampan kayu sebagai cetakan. Sebaliknya biaya produksi menjadi meningkat sekitar 5% jika menggunakan cetakan yang dirancang bangun 4.2. Saran 1. Atas dasar pertimbangan ekonomis sebaiknya pembuatan perahu sampan dengan menggunakan cetakan yang bangun sebaiknya diaplikasikan pada diatas 5 unit.
[7] Sanjay K. Mazumdar, 2002, Composites Manufacturing Material, Product, and Process Engineering, United States of America
produksi, fiberglass dirancang produksi
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh skim Pengabdian Ipteks bagi Masyarakat (IbM) - Dikti tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA [1] http://www.acehbaratkab.go.id, 2014, situs resmi Pemerintah Kabupaten Aceh Barat diakses tanggal 19 April 2014 [2] Herdi Susanto, 2015, Desiminasi Pembuatan Perahu Sampan untuk Nelayan Sungai Krueng Bubon Kabupaten Aceh Barat, Laporan Pengabdian Ipteks bagi Masyarakat, Dikti, Jakarta [3] Herdi Susanto dkk, 2016, Penerapan Teknologi Pembuatan Perahu Sampan Fiberglass untuk Nelayan Sungai di Kabupaten Aceh Barat, Proseding Seminar Nasional Applicable Innovation of Engineering and Science Research, Universitas Sriwijaya, Palembang 64
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Efek Koefisien Tahanan Aliran Sungai Terhadap Penyempitan Penampang pada Abutmen Jembatan pada Sungai Krueng Pase Kabupaten Aceh Utara Effect of Rughness Coefficient on narrowed Section of The River at Abutment of The Brigde at Krueng Pase River North Aceh District Ir. Irham, MT1, 1,
1,
Politeknik Negeri Lhokseumawe Jln B. Aceh Medan KM 280 Bukitrata Lhoksumawe Email :
[email protected]
Abstrak - Perubahan dimensi penampang melintang saluran yang menyempit, dapat mengakibatkan perubahan koefisien tahanan aliran tersebut. Perubahan pola aliran yang terjadi dapat menyebabkan penggerusan penampang aliran, bertabahnya kecepatan dan kondisi aliran menjadi meningkat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek koefisien tahanan aliran (n) dari Manning akibat penyempitan penampang pada abutmen jembatan sungai Krueng Pase Aceh UtaraKoefisien tahanan dari Manning di hitung berdasarkan pwngukuran lapangan secara langsung dan hasilnya di evaluasi... Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa harga koefisien kekasaran Sungai Krueng Pase akibat penyempitan penampang pada lokasi penelitian berkisar antara 0,113 hingga 0,185, dengan tingkat kesalahan 5%,dan bilangan Froude berkisar antara 0.014 hingga 0.11, kondisi aliran bersifat sub ktiris. Kata kunci : koefisien tahanan Manning, penyempitan penampang, abutment jembatan.
Abstract- A Change of channel dimention on narrow, finally causing coefficient roughness. A Change rate of flow caused to bed scoure in the channel, increace velocity, and increase Froude number too. This research to analyty effect of the roughness koefisient (n) Manning caused by narrow cross section at bridge abutment Krueng Pase river Nort Aceh. Manning roughness coefficient was estimated using field measurement and apply cability various used for estimation of the roughness koefisient (n) Manning was evaluated.. The result show that the roughness koefisient (n) Manning play significant role in channel. On statistical anality 0.133 – 0.185 the roughness koefisient (n) Manning has 5% error, and Froude Number range 0.04 – 0.11, sub critical condition.
Keyword : Manning roughness coefficient, narrowed section, abutment of the brigde
I.
pengaruh kekasaran terhadap debit, Chang et al, 2010 meneliti koefisien kekasaran terhadap saluran berlapis beton precast. Selanjutnya pengaruh koefisien kekasaran terhadap pilar jembatan secara umum telah diteliti oleh Arianto, 2009, Ikhsan dan Hidayat, 2006, dan Halim, 2014. Adapun pengaruh material dasar saluran terhadap koefisien kekasaran telah diteliti oleh irham et al, 2015.
PENDAHULUAN
Secara umum, perencanaan konstruksi bangunan air memerlukan data berupa sifat dan karakteristik sungai yang bersangkutan. Salah satu parameter yang dijadikan masukan, berupa besaran koefisien kekasaran “n”. Koefisien ini sangat luas digunakan pada rancangan bangunan air dan persungaian. Penelitian koefisien tahanan aliran telah lama secara ektensif dilaksanakan oleh beberapa ahli, seperti Chow, 1989 dan Yang, S et al, 2010 meneliti koefisien kekasaran saluran secara umum ; Lau dan Afshar, 2014 meneliti
Sungai Krueng Pase mengalir melintasi Proyek vital Mobil Oil and Co, dan wilayah Kecamatan Samtalira Arun. Dalam pengalirannya, 65
New Concrete Pile
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
penampang melintang sungai menyempit pada persilangan jalan Mobil Oil and Co. Hal ini diakibatkan oleh posisi abutment jembatan kearah penampang sungai. Penyempitan yang terjadi yakni dari penampang normal 25,4 meter sampai berubah menjadi 13,5 meter pada as jembatan. Adapun penampang memanjang yang mengalami penyempitan sejarak 90,13 meter (pada as jembatan), Setelah itu penampang sungai normal kembali dengan penampang 25,4 meter. Tebing (linning) sungai pada lokasi penyempitan terbuat dari massa blok beton dan dasarnya diperkuat dengan tiang pancang beton.
Pump House
concrete block
Water Suction Plant
Security Post C
To. Bukit Indah
Pipeline Road B
Berdasarkan data diatas, ada dua hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu koefisien kekasaran yang terjadi akibat penyempitan dan perilaku nyata koefisien tersebut terhadap kondisi aliran. Bertolak dari hal tersebut diatas, maka penelitian ini mencoba untuk meneliti perilaku sebenarnya dari aliran sungai yang menyempit, dalam hal ini dapat mengakibatkan variasi dari koefisien kekasaran dari sungai. Dengan demikian perilaku koefisien kekasaran ini dapat dipakai sebagai informasi dalam perencanaan persungaian, terutama penampang melintang dan penentuan elevasi jembatan dari permukaan aliran sungai (dengan memperhatikan faktor kekasaran “n”).
A
Gambar 1. Lokasi penelitian
II.2 Pengumpulan data Data yang dikumpulkan meliputi data primer data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, yang meliputi : inventarisasi sungai, pengukuran tampang melintang, kemiringan memanjang (slope), pengukuran kecepatan aliran dan debit pada penampang melintang sungai. Data sekunder berupa peta lokasi penelitian dan kondisi umum Sungai Krueng Pase yang diperoleh dari Bagian Teknik Sipil Mobil Oil Co Lhoksukon.
II. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang akan diuraikan berupa : lokasi penelitian, pengumpulan data, peralatan penelitian, tata laksana penelitian dan metode analisa. II.1 Lokasi Penelitian
II.3 Peralatan Penelitian yang Diperlukan
Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian lapangan, tanpa analisa laboratorium. Lokasi penelitian ditetapkan di Sungai Krueng Pase Kecamatan Syamtalira Arun Aceh Utara. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1 berikut ini.
Adapun peralatan yang digunakan diuraikan adalah sebagai berikut : A. Current meter dibutuhkan untuk mengukur kecepatan aliran sungai. Jenis alat yang digunakan adalah type BFM 002 Veleport UK. B. Papan duga air dan bak ukur yang digunakan untuk memonitoring ketinggian aliran sungai. Papan ini dibuat dengan mengikuti ukuran bak ukur. Bak ukur digunakan sebagai alat bantu pengukuran menggantikan alat water pass, disamping itu alat tersebut digunakan untuk mengukur kedalaman aliran. Apabila pengukuran pada aliran deras, maka digunakan tali baja dengan pemberat 2 kg dan diberi tanda menyerupai meteran.
66
To. Point A
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
C. Water pass yang digunakan untuk mengukur penampang melintang dan penentuan slope memanjang sungai. Water pass yang digunakan adalah jenis Wild (Swiss).
II.6 Pengukuran Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran diukur dengan alat ukur kecepatan (current meter). Pengukuran dilaksanakan dengan metode satu titik dan dua titik (Soewarno, 1991), yaitu;.
D. Perahu, jembatan darurat dan alat aman yang digunakan pada pengukuran bagian sungai yang dalam dan lebar, yang berfungsi sebagai tempat dudukan alat current meter. Bila air tinggi dan penampang sempit digunakan jembatan darurat. Alat aman (safety) yang dibutuhkan adalah berupa tali tambang untuk mengikat perahu dan pengikat aman (safety belt).
a.
Metode satu titik
Pengukuran kecepatan aliran dengan metode satu titik dilaksanakan pada kedalaman 0.6 D (D = kedalaman aliran, dilakukan apabila kedalaman aliran berkisar antara 0.25-0.75 m, dengan persamaan :
E. Blangko isian digunakan untuk mencatat seluruh hasil pengukuran dan pengolahan data.
V = V 0.6 Keterangan :
II.4 Tata Laksana Penelitian
V
Tata laksana pengukuran berdasarkan Pedoman Perencanaan Hidrologi dan Hidrolika untuk bangunan di sungai (Departemen Pekerjaan Umum,1987). Pengukuran dilaksanakan pada kondisi air normal. Pengukuran penampang sungai berupa pengukuran penampang melintang, dan slope memanjang sungai dilakukan dengan menggunakan alat ukur water pass.
II.5
(1)
= Kecepatan aliran rata-rata (m/detik)
V0.6 = Kecepatan aliran pada 0.6 kedalaman (m/detik) b. Metoda dua titik Pengukuran kedalaman aliran dengan metoda dua titik dilaksanakan pada kedalaman 0.2 D dan 0.8 D dari permukaan air. Rerata kecepatan aliran diperoleh dengan rumus :
Metode Analisa
Pengukuran penampang sungai haruslah meliputi penentuan lebar dan kedalam dari penampang sungai. Pengukuran lebar sungai dilaksanakan dengan alat ukur panjang (metband). Jarak setiap vertikal pada penampang, diukur dari titik tetap pada tebing sungai. Penguran kedalaman sungai dilaksanakan dengan alat ukur kedalaman seperti bak ukur atau jalon. Jarak setiap vertikal diusahakan serapat mungkin, agar debit setiap subbagian penampang tidak lebih dari seperlima bagian debit seluruh penampang (Soewarno,1991).
V=
V0.2 V0.8 2
(2)
Keterangan : V = Kecepatan aliran rata-rata (m/detik) V0.2 = Kecepatan aliran pada 0.6 kedalaman (m/detik) V0.8 = Kecepatan aliran pada 0.6 kedalaman (m/detik)
Cara ini dianjurkan tidak digunakan pada sungai yang kedalamannya lebih dari 0.75 meter.
Berdasarkan hasil pengolahan data, maka akan ditentukan besaran koefisien kekasaran Manning pada kondisi penyempitan penampang sungai. Dari hasil harga yang didapatkan, ditentukan perubahan kekasaran saluran berdasarkan uji statistic, dan kondisi aliran.
II.7 Penentuan Kecepatan Aliran Rumus kecepatan Manning dinilai sebagai rumus yang paling baik serta dikenal secara meluas di bidang hidraulika, dan banyak digunakan dalam perhitungan saluran terbuka. Rumusan kecepatan yang dikembangkan oleh Manning, (Soewarno, 2001 dan Irham et al, 2015); 67
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
V= (3) Keterangan : V = Kecepatan rerata aliran (m/detik) n = Koefisien kekasaran Manning (tanpa dimensi) R = jejari hidraulika (m) S = Kemiringan memanjang aliran
II.10
Seleksi Statistika
Untuk menentukan interval kepercayaan dari hasil penelitian dapat digunakan persamaan (Soewarno, 1995) :
II.8
x St
Adapun untuk melihat adanya perubahan koefisien yang terjadi, maka rumus diatas dapat diperluas menjadi persamaan di bawah ini (Soewarno, 1995);
Untuk mendapatkan kemiringan memanjang saluran, dipakai pendekatan berupa kemiringan garis energi (Soewarno, 2001 dan Irham et al, 2015). Kemiringan garis energi yang digunakan pada persamaan Manning diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut : S=
hv h hv k( hv) L L
(5)
N
Penentuan Kemiringan Memanjang
X t
S N
S
X t
(6)
N
Rumus 6 diatas berlaku untuk sampel N < 30, simpangan baku didasarkan persamaan:
(4)
Keterangan : S = Kemiringan memanjang saluran hf = Kehilangan energi karena gesekan (m) L = Panjang bagian sungai (m) h = Beda elevasi muka air (m) hf = Beda tinggi kecepatan (m) k = Koefisien kehilangan energi
(X S=
i 1
1/ 2
N
1
X)
2
(7)
N 1
Keterangan : t = Nilai student’s-t , disajikan berupa Tabel 1 dibawah ini.
X = Rataan sampel
II.9 Koefisien Kekasaran Saluran
S = Simpangan baku Xi = Nilai pengamatan I = 1,2,.., N = Interval kepercayaan
Pada beberapa buku literatur dilaporkan antara lain dari Chow (1989); bahwa koefisien kekasaran saluran alam berdasarkan koefisien Manning berkisar antara 0.025 sampai dengan 0.15. Sementara itu Chay Asdak (1995), melaporkan hasil penelitian dari Gray, bahwa angka kekasaran saluran alam berkisar antara 0.03 sampai 0.20. Angka di atas menunjukkan bahwa semakin besar harga koefisiennya maka hambatan saluran semakin besar, demikian pula sebaliknya.
Tabel 1. Derajat Kepercayaan t
dari uji t
Derajat Kepercayaan t dk
Menurut Chow (1989), faktor yang mempengaruhi koefisien tahanan Manning antara lain; kekasaran permukaan, tetumbuhan, ketidakteraturan saluran, trasesaluran, pengendapan dan pengerasan, hambatan, ukuran dan bentuk saluran serta taraf air dan debit.
0,10
0,05
0,025
0,01
0,005
1
3,078
6,314
12,706
31,821
63,657
2
1,886
2,920
4,303
6,965
9,925
3
1,638
2,353
3,182
4,541
5,841
4
1,533
2,132
2,776
3,747
4,604
5
1,476
2,015
2,571
3,365
4,032
Sumber: Soewarno, 1995
68
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
II.11
kecepatan maksimum terjadi pada lokasi B yakni di bawah jembatan dengan kecepatan 1.75 m/det.
Kondisi Aliran
Berdasarkan Chow, 1989, kondisi aliran berdasarkan rumus yang diusulkan oleh Froude (Fr), yang sering dikenal sebagai bilangan Froude, bila Fr < 1, aliran bersifat sub kritis, bila Fr = 1 aliran bersifat kritis, dan Fr > 1 aliran bersifat super kritis. Rumus umumnya yaitu : Berdasarkan Tabel 2, selanjutnya di hitung koefisien tahanan dan bilangan Froude untuk masingmasing potongan. BerdasarkanTabel 3 berikut ini, diperoleh bahwa pada potongan A koefisien tahanan aliran 0.246 dengan kondisi aliran (bilangan Froude 0.040), aliran bersifat sub kritis, pada potongan B koefisien tahanan aliran 0.092 dengan kondisi aliran (bilangan Froude 0.112 yang meningkat), kondisi aliran masih bersifat sub kritis, dan pada potongan C koefisien tahanan aliran 0.109 dengan kondisi aliran (bilangan Froude 0.040 yang menurun kembali), kondisi aliran masih bersifat sub kritis juga. Terlihat bahwa, meskipun kecepata dan bilangan Froude berubah mendadak, namun kondisi aliran pada area studi masih bersifat sub kritis.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan dari penelitian yang dilaksanakan, dijelaskan berikut ini.
3.1 Hasil Pengukuran Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan pada Sungai Krueng Pase, pada persilangan jalan pada jembatan Mobil oil. Pada persilangan ini penampang sungai menyempit sepanjang 90.13 meter aliran sungai. Penampang melintang sungai normal 25,4 meter, kemudian menyempit secara linier hingga sepanjang 90.13 m. Lebar penyempitan yang terjadi 13.50 meter, setelah kondisi tersebut penampang sungai kembali normal sekitara 25,40 m. 3.2 Perhitungan Kondisi Aliran
Koefisien
Tahanan
dan
Sebelum menentukan kecepatan aliran maka terlebih dahulu di hitung kemiringan memanjang aliran. Kemiringan memanjang sungai diukur pada lokasi yang mengalami penyempitan sepanjang 90.13 meter. Dari hasil pengukuran dengan water pass diperoleh elevasi penampang A + 10.022 dan penampang C + 8.618 maka kemiringan memanjang saluran : S=
3.3
Seleksi Statistika
Dari hasil koefisien kekasaran yang diperoleh di atas, selanjutnya diuji batas kepercayaan nilai dan rentangan nilai, lebih lengkapnya disajikan pada tabel 4 berikut ini.
10.022 8.618 = 0.0156 90.13
Tabel 4. Uji statistika koefisien kekasaran “n”
Jadi kemiringan memanjang diperoleh 0.0156 , harga ini mewakili seluruh area kajian. Selanjutnya ditentukan harga kecepatan aliran yang terjadi dan kedalaman hidroliknya, karena penampang sunga tidak seragam. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan pada Tabel 2, diproleh kecepatan dan kedalaman hidrolis yang digunakan menghitung koefisien tahanan dan bilangan Froude. Terlihat bahwa
69
(X i X ) (X i . X )2
No .
Potonga n
n
1.
A
0.246
0.097
0.0094
2.
B
0.092
-0.057
0.0033
3.
C
0.109
-0.04
0.0016
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Jumlah
c. Secara statistik, dengan tingkat kesalahan 5 %, berdasarkan uji t ternyata angka kekasaran “n”
0.447
Rerata
0.14
Xi X S= N 1
diperoleh berkisar antara 0.113 sampai 0.185. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Chow (1989) dan Gray dalam Chay Asdak (1995) terlihat bahwa penampang yang menyempit ini dapat digolongkan alur sungai yang mempunyai hambatan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari amatan laporan bahwa penampang yang mengalami penyempitan tersebut, linning sungai diberi perkuatan blok beton kasar dan dasar alur diberi tiang pancang beton untuk menghambat gerusan.
2 1/ 2
0.0143 3 1
1/ 2
S = 0.0346 Dari tabel 1 di atas, dengan tingkat kesalahan 5 %, dari metode pengujian dua sisi maka t0.025 = 4.303 maka ;
X tx
S N
X tx
0.149 (4.303) (
d. Angka koefisien kekasaran Manning maksimum Sungai Krueng Pase masih berada dibawah nilai yang diteliti oleh Gray, yaitu angka maksimum untuk sungai Krueng Pase 0.185 yang lebih kecil dari 2.0 .
S
Kondisi aliran sepanjang penyempitan aliran masih kondisi aliran bersifat sub kritis. Hal yang menarik bahwa pada saat penyempitan pada potongan B yaitu di bawah jembatan, kondisi aliran mendadak naik dari Fr = 0.040 menjadi Fr = 0.112, kemudian menurun secara perlahan ke hilir menjadi Fr = 0.089.
N
0.0346 3
)
= 0.149 0.036 Akhirnya diperoleh harga sesungguhnya yaitu 0.113 < < 0.185
IV. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, antara lain :
Dengan demikian angka kekasaran Manning Sungai Krueng Pase yang mengalami penyempitan berkisar antara 0.113 sampai dengan 0.185.
1.
Akibat penyempitan penampang dapat mengakibatkan penambahan kecepatan aliran dan hambatan pada aliran bertambah yang dapat meningkatkan bilangan Froude menjadi besar..
2.
Akibat penyempitan penampang, mengakibatkan terjadi variasi koefisien kekasaran n yang besarnya tergantung dari dimensi penyempitan penampang yang berkisar antara 0.113 sampai dengan 0.185.
3.
Dapat dikatakan bahwa 95 % betul koefisien kekasaran manning sungai Krueng Pase terendah pada lokasi penelitian 0.113 dan tertinggi 0.185.
3.4 Pembahasan Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, ada beberapa kejadian pada penyempitan penampang aliran, antara lain : a. Pengecilan penampang pada alur sungai Krueng Pase mengakibatkan penambahan kecepatan aliran. Hal ini dapat dilihat dari tabel 2, bahwa pengecilan penampang bermula pada kecepatan 0.777 m/det dan meningkat menjadi 1.753 m/det, dan pada posisi mendekati penampang normal sungai pada bagian hilir (potongan C) kecepatan menurun menjadi 1.543 m/det.
4. Hasil penelitan ini sangat mendekati hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Gray
b. Akibat penyempitan penampang aliran, dengan serta merta akan meningkat angka kekasaran manning. Akhirnya akan dapat meningkatkan tinggi aliran, dengan demikian elevasi jembatan pada penampang ini harus lebih ditinggikan dari perkiraan berdasarkan penampang normal.
UCAPAN TERIMA KASIH Karya tuli yang disajikan ini sebagian dalam rangka kerjasama Politeknik Negeri Lhokseumawe 70
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dengan Mobil Oil. Co, dalam rangka perbaikan tebing sungai yang dilewati oleh pipa gas PT. Arun, NGL. Penelitian lapangan ini dibiayai oleh Mobil Oil Co Lhokseumawe dan peralatan yang digunakan berasal dari Laboratorium Hidrolika Politeknik Negeri Lhokseumawe. Untuk itu penulis berterima kasih kepada field Projct Mobil Oil. Co Lhoksukon dan kepala laboratorium Hidrolika Politeknik Negeri Lhokseumawe.
[9]
Soewarno, 1991, Hidrologi-Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Nova, Bandung.
[10]
Soewarno, 1995, Hidrologi-Aplikasi Metoda Statistik Untuk Data, jilid 2, Nova, Bandung.
[11] Soewarno, 2001, Analisis Koefisien Kekasaran Manning Sungai Serayu di Hilir Waduk Mrica untuk Estimasi Debit Banjir, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan ,Vol. 15, No. 46 ,tahun 2001, Bandung..
DAFTAR PUSTAKA [1]
[12] Yang, S., at al., 2010, Study of Flow resistance in open Channel, Dittrich, Koll & Geisenhainer (ed).
Arianto. A., 2009, Analisis Bentuk Pilar Jembatan terhadap Potensi Gerusan Lokal (Studi Kasus Model Pilar Penampang Persegi Panjang dan Ellips) JURNAL ABTEK, VOL. 1 No. 1 Juli 2009.
[2]
Chang, T. H, at al., 2010, Estimation of Manning Roughness Coeffisient on Precast Ecological Concrete Blocks, Journal of Marine Science and Tecnology, Vol. 18, N0. 2, hal 308316.
[3]
Chay Asdak, 1995, Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cetakan pertama, Gajah Mada Universitas Press, Jogjakarta.
[4]
Chow, 1989, Hidroulika Saluran Terbuka, Terjemahan Suyatman, dkk, Erlangga, Jakarta.
[5]
Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Pedoman Perencanaan Hidrologi dan Hidrolika untuk Bangunan di Sungai, SNI No. 1724-1989-F, Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.
[6]
Ikhsan, J. dan Hidayat, W., 2006, Pengaruh Bentuk Pilar Jembatan terhadap Potensi Gerusan Lokal, Jurnal Ilmiah Semesta Teknika, Vol. 9, N0. 2, hal 124-132.
[8]
Irham, at al, 2015, Analisa Koefisien Hambatan Aliran pada Sungai Krueng Samalanga Batee Iliek Berdasarkan Distirbusi Material dasar Sungai, Jurnal REINTEK, Vol 10, N0. 2 Desember 2015, ISSN 1907-5030.
BIODATA PENULIS Ir. Irham, MT, Lahir di Tapaktuan 28 Oktober tahun 1962, menyelesaikan program S1 pada Fakultas Teknik Unsyiah Jurusan Teknik Sipil bidang keahlian Hidro Teknik lulus tahun 1988, menyelesaikan program S2 pada Fakultas Pasca Sarjana ITB Bandung pada Fakultas Tenik Sipil dan Lingkungan dengan bidang keahlian Rekayasa Sumberdaya Air lulus tahun 2003. Saat ini penulis berpofesi sebagai pengajar tetap pada Jurusan Teknik Sipil Program D3 dan D4 pada Politeknik Negeri Lhokseumawe. Adapun mata kuliah yang diampu ; Mekanika Fluida, Hidrologi, Rekayasa Drainase Jalan Raya, Irigasi, dan Hidrolika. Jabatan fungsional saat ini sebagai Lektor Kepala pangkat IV/a.
71
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Studi Numerik Aliran Melintasi Turbin Angin Sumbu Vertikal di Jembatan Jalan Raya Kota Langsa “Studi kasus untuk sudut turbin 00, 300, 600, 900, 1200” Banta Cut, ST., MT1, Faiz Isma, ST., MT2. 1,
. Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Samudra, Meurandeh Kota Langsa, 24416, . Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Samudra, Meurandeh Kota Langsa, 24416 email:
[email protected]
2,
Abstrak - Perkembangan teknologi yang semakin pesat, mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru di dalam dunia keteknikan. Salah satunya penelitian tentang aliran fluida yang melintasi turbin angin, baik turbin angin sumbu vertikal tipe savonius maupun turbin angin sumbu horizontal. Jurnal ini menyajikan studi kelayakan pemakaian turbin angin sumbu vertikal dijembatan jalan raya kota langsa untuk memanfaatkan angin sebagai energi listrik. Penelitian dilakukan secara numerik menggunakan computational fluid dynamic (CFD) terhadap turbin angin sumbu vertikal tipe savonius pada kecepatan angin konstan 12.5 m/s. Variasi pada penelitian ini dilakukan pada sudut pengambilan data dari turbin yaitu 0°, 30°, 60°, 90°, 120°, dan 150° setiap 0.01 detik selama 3 detik. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah, pemakaian turbin angin sumbu vertikal tipe savonius secara teknis dan ekonomis memberikan hasil yang sangat memuaskan. Hasil terbaik dari variasi sudut yang dilakukan dalam memanfaatkan energi angin adalah pada sudut 60° didapatkan gaya hambat yang begitu besar sehingga kecepatan putaran turbin semakin meningkat. Peningkatan kecepatan putaran turbin akan menghasilkan energi listrik yang lebih besar. Kata kunci: Turbin angin sumbu vertikal, tipe savonius, camputational fluid dynamic, gaya hambat.
Abstract - Increasingly rapid technological development, encourage the birth of new innovations in the world of engineering. One is research on fluid flow passing through wind turbines, both vertical axis wind turbine Savonius type and horizontal axis wind turbines. This journal presents a feasibility study of the use of vertical axis wind turbines on the highway bridge langsa city to harness the wind as electrical energy. Research carried out numerically using computational fluid dynamic (CFD) on the vertical axis wind turbine Savonius type on a constant wind speed of 12.5 m/s. Variations on this research was conducted on data from the turbine angle is 0°, 30°, 60°, 90°, 120°, and 150° every 0.01 seconds for 3 seconds. The results obtained from this study is that the use of vertical axis wind turbine Savonius type is technically and economically provide excellent results. The best results from the variation of the angle made in harnessing wind energy is at an angle of 60° obtained drag so great that the turbine rotation speed increases. Increasing the rotation speed of the turbine will produce electrical energy is greater Keyword : Vertical axis wind turbine, savonius type, camputational fluid dynamic, drag.
I.
ke garis katulistiwa menyusuri permukaan bumi dan sebaliknya suatu perpindahan udara dari garis katulistiwa kembali ke kutub utara, melalui lapisan udara yang lebih tinggi. Potensi energi angin di Indonesia cukup memadai, karena kecepatan angin rata-rata berkisar 3,5 - 7 m/s. Hasil pemetaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 120 lokasi menunjukkan, beberapa wilayah memiliki kecepatan angin di atas 5 m/detik, masing-masing Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, danPantai SelatanJawa dan daerah lainnya di indonesia termasuk Aceh. Salah satu pemanfaatan energi angin adalah penggunaan turbin angin yang banyak digunakan untukkebutuhan pertanian, sepertiuntuk menggerakkan
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya energi yang sangat melimpah, salah satunya adalah sumber energi angin. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan salah satu Negara yang terletak di garis khatulistiwa merupakan faktor, bahwa Indonesia memiliki potensi energi angin yang melimpah. Pada dasarnya angin terjadi karena ada perbedaan suhu antara udara panas dan udara dingin. Di daerah katulistiwa, udaranya menjadi panas mengembang dan menjadi ringan, naik ke atas dan bergerak ke daerah yang lebih dingin. Sebaliknya daerah kutub yang dingin, udara menjadi dingin dan turun ke bawah. Dengan demikian terjadi perputaran udara berupa perpindahan udara dari kutub utara 72
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
pompa untuk keperluan irigasi, serta kebutuhan akan energi yaitu sebagai pembangkit listrik energi angin. Berbagai macam penemuan turbin angin sebagai pembangkit energi alternatif sudah ditemukan sejak lama dengan berbagai macam bentuk desain. Turbin angin sumbu vertical adalah salah satu macam turbin angin yang ditemukan sebagai pemanfaatan energi angin yang bekerja dengan memanfaatkan kecepatan angin. Bentuk sudu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan gaya dorong yang akan memutar rotor. Besarnya putaran rotor yang dihasilkan berbanding lurus dengan besarnya kecepatan angin Pemanfaatan sumber angin untuk mengahasilkn energi tidak hanya dilakukan didaerah persawahan, pinggiran pantai maupun di daerah tambak ikan, akan tetapi pemanfaatan angin juga bisa dilakukan diperkotaan, yaitu angin yang dihasilkan oleh akibat dari lalu lalangnya kendaraan bermotor. Contoh dari pemanfaatan angin diperkotaan adalah pemanfaatan angin di jalan raya dan di jembatan. Kota Langsa adalah salah satu kota di Aceh dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, hal ini menyebabkan kebutuhan energi yang semakin tinggi, pemakaian energi listrik di kota langsa selama ini dihasilkan dari Pembangkit listrik tenaga diesel, uap dan tenaga gas yang dikelola oleh perusahaan listrik negara (PLN). Sebagai sebuah kota yang sedang berkembang, kota langsa menjadi salah satu pusat ikon pembangunan infrastruktur wilayah pesisir timur aceh, sehingga konsumsi energi listrik nya dipastikan cukup tinggi, baik untuk konsumsi rumah tangga, industri kecil dan menengah , kantor-kantor pemerintah, maupun fasilitas-fasilitas umum lainnya. Dalam hal ini kebutuhan listrik akan fasilitas umum tergolong tinggi mulai dari lampu penerangan jalan raya disepanjang kota, lampu penerangan taman kota, alun-alun, gedung pemerintah maupun lampu penerangan jembatan jalan raya. Sehingga peneliti dalam hal ini, melakukan satu riset penelitan secara numerik menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamic) untuk melihat potensi angin di jembatan jalan raya dikota langsa apakah bisa dimanfaatkan untuk mengahasilkan listrik.Aplikasi dari listrik yang dihasilkan nantinya bisa bermanfaat untuk penerangan lampu jembatan jalan raya tersebut.
II.
kota langsa rata-rata memiliki kecepatan 12,5 m/s atau 45 KM/jam. Lalu dasar itulah diambil untuk melakukan simulasi numerik menggunakan Computational Fluid Dynamic (CFD). Untuk mencapi tujuan yang telah dibuat, maka diperlukan sebuah metodologi penelitian yang merupakan langkahlangkah penyelesaian dari penelitian ini.Adapun tahapan tersebut adalah sebagai berikut. Star
Rumusan Masalah
Pembuatan Model dan Meshing
Simulasi Numerik
Pengambilan Data
Studi Pustaka
Tidak Analisa Data Ya Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
2.2
Perancangan Awal CFD merupakan singkatan dari Computational Fluid Dynamics yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika dan metode numeric atau komputasi untuk dinamika dari segala sesuatu yang mengalir. Ada tiga tahapan yang harus dilakukan ketika melakukan simulasi CFD yaitu: Preprocessing, Solving dan Postprocessing 2.3
Persamaan Rumus Persamaan rumus untuk aliran turbulen dalam penelitian ini yaitu aliran angin yang melintasi turbin angin sumbu vertikal adalah persamaan untuk konservasi massa dan momentum. Dalam literatur disajikan dalam seperti dibawah ini:
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang metode penelitian yang digunakan, langkah-langkah pengambilan data serta pengukuran data apa saja yang akan diambil untuk setiap konfigurasi yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah simulasi numerik menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamics) model Fluent®. 2.1 Lokasi Penelitian Pelaksaan penelitian akan dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu: yang pertama dilakukan adalah survey lokasi yaitu di jembatan jalan raya kota langsa untuk melihat potensi angin yang ada disana. Didapati bahwa potensi angin yang ada dijembatan jalan raya
Countinuity (1)
Momentum (2)
Persamaan (1) dan (2), ρ adalah densitas rata-rata, p adalah berarti tekanan, μ adalah molekul viskositas dan ''- ρui uj adalah tegangan Reynolds. 73
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
merupakan hasil dari simulasi yaitu berupa gambar grid (meshing) dari turbin yang akan diuji, tampilan permukaan (countur) dari turbin, kecepatan aliran (velocity vector) dan pathline yaitu arah garis-garis aliran yang melewati turbin angin sumbu vertikal tersebut.
2.4
Persamaan Model Turbulensi dalam penelitian ini Pada penelitian ini model turbulensi yang dipakai adalah model turbulensi k-ω SST, model ini merupakan konglomerasi yang kuat dan akurat dari perumusan model k-ω Standar di daerah dekat-dinding, dengan k-ε Standar di medan yang jauh. Model turbulensi k-ω SST lebih akurat dan handal untuk kelas yang lebih luas dari pada model turbulensi k-ω Standar, termasuk aliran adverse pressure gradien. Dalam model turbulensi k-ω SST, persamaan model transport untuk k adalah identik dengan model k-ω Standard, bagaimanapun, persamaan transportasi untuk ω sedikit berbeda dengan masuknya istilah crossdiffusi, Dω. Produksi k dalam model k-ω SST didefinisikan dengan cara yang sama sesuai dengan Standar k-ω model, maka model jenis k-ε, dengan Persamaan (6). Namun, variasi ada dalam produksi ω dengan perbandingan dengan model k-ω Standard. Produksi ω Itu diberikan oleh:
3.1
Variasi Sudut Pegujian Turbin Pengujian secara numerik terhadap aliran yang melintasi turbin angin sumbu vertikal tipe savonius dilakukan pengambilan data pada beberapa sudut putar, yaitu pada sudut 0°, 30°, 60°, 90°, 120°, dan 150°. Hal ini dilakukan untuk melihat distribusi gaya hambat dan gaya angkat yang berbeda dari setiap sudut tersebut. Dalam pelaksanaan pengambilan data tersebut juga akan ditampilkan beberapa gambar yang merepleksikan fenomena-fenomena yang terjadi disekitaran turbin yang dilalui oleh angin. Hal ini dapat dijelaskan secara rinci pada bab ini. 3.1.1. Tampilan Grid (Meshing) Membuat meshing dengan kerapatan tertentu terhadap kontur permukaan dari turbin angin sumbu vertikal (ditunjukkan pada gambar 1 dibawah), sangat menentukan dalam proses iterasi dimana hasil yang akan didapatkan bisa lebih akurat, salah satu cara untuk mendapatkan meshing dengan kerapatan yang sesuai untuk hasil yang memuaskan adalah dengan membuat grid independen. Selanjutnya dilakukan proses iterasi menggunakan perangkat lunak CFD solver FLUENT 6.2, untuk pengambilan data yang meliputi: coefisien of drag (CD) dan coefisien of lift (CL), dan juga pengambilan data pendukung lainnya untuk melihat fenomena aliran yang mengenai turbin angin sumbu vertikal. Data pendukung yang diambil meliputi gambar grid (meshing), countur permukaan dari benda uji, Kecepatan Aliran (velocity vector) dan garis-garis aliran (pathline). Dibawah ini akan ditampilkan gambar visualisasi dari grid (meshing) untuk semua sudut turbin dalam pengambilan data.
(3)
dimana
Disipasi dari k dan ω didefinisikan berbeda dengan model k-ω Standar yaitu masing-masing sebagai berikut: (4)
(5) (5)
(6)
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran yang diperoleh dari pengujian secara numerik menggunakan Computatoonal Fluid Dynamic (CFD) adalah berupa data Coeficient of Drag (CD) dan coeficient of Lift (CL), hasil pengujian tersebut diolah menggunakan microsoft excel yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik. Hasil pengujian secara numerik ini juga akan menampilkan beberapa spesifikasi dalam bentuk gambar yang
Gambar 1. Grid (meshing) (a) posisi 00 (b) posisi 300 (c) posisi 600 (d) posisi 900 (e) posisi 1200 (f) posisi 1500
74
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3.2
Countur Dibawah ini akan ditampilkan gambar visualisasi dari kontur streamline aliran fluida berupa angin yang melintasi turbin angin sumbu vertikal tipe savonius. Ada perbedaan kecepatan dan kontur aliran dari setiap variasi sudut turbin yang dilakukan, terlihat bahwa pada variasi sudut 0º, 30 º, 120 º dan 150 º, kecepatan aliran yang mengenai sudu-sudu turbin melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi dan terlepas dari kontur turbin, hal ini menyebabkan gaya hambat nya lebih kecil dibandingkan dengan pengambilan data pada variasi sudut 60 º dan 90 º. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.
Gambar 3. Velocity Vector (a) posisi 00 (b) posisi 300 (c) posisi 600 (d) posisi 900 (e) posisi 1200 (f) posisi 1500 3.4
Streamline adalah garis-garis yang berhubungan dengan vector kecepatan (velocity vector) yang membentuk garis-garis (tangensial) dan menggabungkan antara garis tangensial ujung dengan ujung sehingga membentuk stream tube (berbentuk tabung). Garis-garis Streamline ini lebih tepatnya terbentuk sesuai dengan kontur permukaan turbin yang dilakukan pengujian. Dibawah ini akan ditampilkan gambar streamline pada turbin angin sumbu vertikal tipe savonius dengan beberapa variasi sudut yaitu: 0°, 30°, 60°, 90°, 120°, dan 150°.
Gambar 2. Permukaan countur (a) pada posisi 00 (b) pada posisi 300 (c) posisi 600 (d) posisi 900 (e) posisi 1200 (f) posisi 1500 3.3
Streamline
Velocity Vector
Velocity vector adalah tingkat dimana suatu objek mengalami perubahan posisi mengikuti vektor kecepatan, yaitu Arah dari velocity adalah arah dimana objek bergerak. Nilai mutlak dari velocity adalah kecepatan (speed). Jika objek kembali ke titik awal maka velocity adalah nol. Velocity rata-rata adalah perubahan arah/waktu tempuh. Pada bagian dibawah ini akan ditampilkan gambar velocity vector untuk semua variasi sudut turbin yaitu: 0°, 30°, 60°, 90°, 120°, dan 150°.
a
b
c
d
e
f
Gambar 4. Streamline (a) posisi 00 (b) posisi 300 (c) posisi 600 (d) posisi 900 (e) posisi 1200 (f) posisi 1500
3.5
Gaya Hambat (CD)
Gaya hambat adalah gaya yang menghambat pergerakan sebuah benda padat melalui sebuah fluida (cairan atau gas). Bentuk gaya hambat yang paling 75
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
umum tersusun dari sejumlah gaya gesek, yang bertindak sejajar dengan permukaan benda, plus gaya tekanan, yang bertindak dalam arah tegak lurus dengan permukaan benda. Dengan begitu gaya hambat berlawanan dengan arah pergerakan benda, hukum ini berlaku pada benda yang bergerak melaju seperti sebuah kendaraan yang digerakkan dengan mesin atau sejenisnya. Akan tetapi pada Turbin angin sumbu vertikal tipe savonius, gaya hambat yang diterima malah sebaliknya yaitu berfungsi sebagai penggerak turbin, semakin besar gaya hambat maka semakin besar pula putaran turbin. Karena angin dengan kecepatan tertentu yang mengenai sudu-sudu dari turbin savonius akan memutar turbin sesuai dengan kecepatan angin tersebut. Dibawah ini akan ditampilkan grafik gaya hambat (CD) vs time (m/s) yang terjadi pada turbin angin sumbu vertikal tipe savonius yaitu pada variasi sudut yang berbeda mulai dari sudut 0º, 30º, 60º, 90º, 120º dan 150º. Hasil yang didapatkan yaitu terjadinya perbedaan distribusi gaya hambat pada setiap sudut tersebut.
diatas, terlihat distribusi tekanan pada detik 0.01 CD nya adalah 4.5 dan terus menurun sampai 2.7 pada detik ke 0.15 dan kembali meningkat sampai detik 30. Kondisi ini terus terjadi sampai detik ke 3.
Coeficient of Drag
Grafik CD 600
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Coeficiemt of Drag
Distribusi gaya hambat yang terjadi pada turbin angin sumbu vertikal dengan variasi sudut 00 cendering lebih stabil pada detik 0.01 sampai dengan detik ke 0.35 distribusi gaya hambat terus meningkat, akan tetapi sesudah melewati titik itu gaya hambatnya stabil dan terus menurun pelan-pelan sampai detik ke 3.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Grafik CD 900 Coeficient of Drag
Coeficiemt of Drag
0
Pada variasi sudut 600 distribusi gaya hambat yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan variasi sudut lainnya, grafik coefisien of drag (CD) nya terlihat penurunan yang lebih stabil yaitu pada detik 0.01 gaya hambatnya adalah 9.8 dan terur menurun pelan-pelan seiring dengan bertambahnya waktu. Sampai pada detik ke 0.32 nilai gaya hambatnya adalah 6.4 cenderung masih lebih besar dari gaya hambat yang terjadi pada variasi sudut lainnya, gaya hambat pada variasi sudut 600 ini terus mengalami penurunan pelaln-pelan sampai detik ke 3 nilai gaya hambatnya adalah 3.1. Gaya hambat rata-rata ketika dijumlahkan dari keseluruhan waktu pengujian yang dilakukan adalah 4.3. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi angin yang ada bisa dimanfaatkan untuk memutarkan turbin dan memanfaatkan putaran tersebut untuk menghasilkan daya.
Gambar. 5 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 0°
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1
5
Gambar. 7 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 60°
Time (s)
Grafik CD
10
Time
Grafik CD 00 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4
15
300
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Time
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Gambar. 8 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 90°
3
Time
Pada variasi sudut 900 distribusi gaya hambat yang terjadi penurunan yang signifikan yaitu pada detik 0.01 gaya hambatnya adalah 0.26 dan terus menurun sampai detik ke 0.20 nilai gaya hambatnya adalah 0.003, dan kembali mengalami peningkatan
Gambar. 6 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 30° Untuk distribusi gaya hambat pada variasi sudut 300, distribusi gaya hambatnya sangat fluktuatif setiap detiknya. Seperti ditampilkan pada gambar 6 76
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
secara pelan-pelan pada detik ke 0.72 nilai gaya hambatnya adalah 0.107. Selanjutnya gaya hambat kembali menurun sampai detik ke 1.32 dengan nilai gaya hambatnya adalah 0.052 dan terus stabil sampai detik ke 3 walaupun ada sedikit fluktuasi naik turun nya gaya hambat, akan tetapi hanya dalam bilangan yang kecil.
Untuk distribusi gaya hambat pada variasi sudut 1500, distribusi gaya hambatnya sangat fluktuatif setiap detiknya dan hampir menyerupai seperti distribusi gaya hambat pada variasi sudut 300. Seperti ditampilkan pada gambar 10 diatas, terlihat distribusi tekanan pada detik 0.01 distribusi gaya hambatnya adalah 0.55 dan sedikit menurun sampai pada detik 0.19 nilai gaya hambatnya adalah 0.40. Selanjutnya distribusi gaya hambat mengalami fluktuasi naik turun yang sangat signifikan sampai pada detik ke 3. Besaran gaya hambat keseluruhan dari pengujian yang dilakukan selama 3 detik terhadap variasi sudut 1500 adalah 0.788 atau lebih besar gaya hambatnya dibandingkan dengan variasi sudut pengujian 900 dan sudut 1200. Dan seikit berada dibawah distribusi gaya hambat pada variasi sudut 00- yaitu nilai gaya hambatnya adalah 0.799.
Coeficient of Drag
Grafik CD 1200 0.5
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Time
Gambar. 9 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 120° 3.6
Untuk distribusi gaya hambat pada variasi sudut 1200, hampir menyerupai grafik distribusi gaya hambat yan terjadi pada variasi grafik dengan variasi sudut 300. Yaitu distribusi gaya hambatnya sangat fluktuatif Seperti ditampilkan pada gambar 9 diatas, terlihat distribusi tekanan pada detik 0.01 gaya hambatnya adalah 0.294 dan terus menurun sampai pada detik ke 0.15 nilai gaya hanbatnya adalah 0.179 dan kembali mengalami peningkatan sampai pada detik ke 0.24 nilai gaya hambatnya adalah 0.201. kondisi ini tidak bertahan lama, akan tetapi gaya hambatnya kembali menurun sampai pada detik ke 0.46 dan kembali meningkat scara ekstrim sampai pada puncak tertinggi untuk variasi ini yaitu pada detik ke 0.69 nilai gaya hambatnya adalah 0.395. kondisi ini terus berulang sampai pada detik ke 3, akan tetapi tingkat fluktuasi nya tidak lagi ekstrim seperti pada detik-detik dibelakang.
Grafik dibawah ini menampilkan gaya hambat dari keseluruhan variasi sudut pengujian yang dilakukan pengambilan data secara numerik menggunakan computational fluid dynamic (CFD). Seperti terlihat pada gambar 11, distribusi gaya hambat terbesar terjadi pada pengujian dengan variasi sudut 600 yaitu nilai gaya hambat tertingginya adalah 9.962 pada detik ke 0.02 pengujian. Dan nilai distribusi gaya hambat terendahnya adalah pada detik ke 3 dengan nilai gaya hambatnya adalah 3.059. Jumlah keseluruhan gaya hambat yang terjadi pada variasi sudut 600 yang dilakukan pengambilan data sebanyak 300 data selama 3 detik adalah 4.28.
Coeficient of Drag
Grafik CD 1500 Coeficient of Drag
1.5 1 0.5 0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Gaya hambat pada seluruh Sudut
3
10 9.5 9 8.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2
Grafik CD Gabungan
0
0.5
1
1.5
2
CD 60 CD 0 CD 30 CD 90 CD 120 CD 150
2.5
Time
Time
Gambar. 11 Grafik distribusi gaya hambat pada seluruh variasi sudut uji.
Gambar. 10 Grafik Gaya Hambat (CD) pada sudut 150°
77
3
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
IV.
[2] Muhammad Rizwan Awan, 2013,“Feasibility study of Vertical Axis Wind turbinesin Urban Areas of Sweden”, KTH Industrial Engineering and Management. [3] Bert Blocken, 2015, “Computational Fluid Dynamics for urban physics: Importance, scales, possibilities, limitations and ten tips and tricks towards accurate and reliable simulations”, Building Physics and Services, Department of the Built Environment, Eindhoven University of Technology, P.O. Box 513, 5600 MB Eindhoven, The Netherlands [4] W.T. Chong, dkk, 2012, “Performance investigation of a power augmented vertical axis wind turbine for urban high-rise application”, Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia [5] M Hishom Ariad dkk, 2011, “Studi Numerik Dan Eksperimental Performansi Turbin Arus Air Tipe Vertikal Aksis Dengan Variasi Jumlah Blade Dan Efek Aspect Ratio”, Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember. [6] Adityo Putranto dkk, 2011, “Rancang Bangun Turbin Angin Vertikal Untuk Penerangan Rumah Tangga”, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Dipenogoro. [7] SulistyoAtmadi, (2008),”Pengembangan Metode Parameter Rotor Turbin Angin Sumbu Vertikal Tipe Savonius” Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). [8] Erwin ST., MT, dkk (2014), ” Analisis CFD Pada Turbin Angin Hybrid Savonius-Darrieus” Jurusan Teknik Mesin Universitas Sultan AgengTirtayasa
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap turbin angin sumbu vertikal dengan metode simulasi numerik menggunakan CFD, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Gaya hambat terbesar terjadi pada variasi sudut 600, yaitu nilai gaya hambat terbesarnya adalah 9.962 dan terjadi pada detik 0.02, dan nilai gaya hambat terkecilnya adalah 3.06 yang terjadi pada detik ke 3. 2. Sedangkan pada variasi sudut uji yang lain, nilai gaya hambatnya lebih rendah dibandingkan dengan pengambilan pada sudut uji pada 600. 3. Distribusi gaya hambat yang terjadi pada sudut 600 terjadi penurun secara pelan-pelan dan cenderung stabil, sedangkan pada variasi sudut 300, 1200 dan 1500, distribusi gaya hambatnya sangat fluktuatif (naik turun) dari awal pengambilan data sampai selesai. 4. Jumlah gaya hambat yang terjadi pada variasi sudut 600 adalah 4.29, dan jumlah total gaya hambat pada seluruh variasi sudut uji adalah 1.6. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi angin yang ada dijembatan jalan raya kota langsa dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan daya yang selanjutnya dikonversikan menjadi energi listrik, energi listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menerangi jembatan itu sendiri.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Hamdani, MT yang telah membimbing sepenuhnya dalam penelitian ini sampai selesai penulisan jurnal, ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada pihak LPPM Universitas Samudra selaku lembaga yang mendanai penelitian ini dan sepada seluruh pihak yang telah banyak membantu.
BIODATA PENULIS Penulis Utama Banta Cut dilahirkan di Aceh Utara, 15 Oktober 1987. Pendidikan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Kejuruan ditempuh dikota kelahirannya yaitu Lhoksukon. Gelar Sarjana Teknik (ST) diperolehnya di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Bidang Teknik Mesin pada Tahun 2011. Pada Tahun 2012 melanjutkan pendidikan S2 (Magister) ke Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada Jurusan Teknik Mesin Bidang Rekayasa Konversi Energi
DAFTAR PUSTAKA [1] Hosung Song, 2012, “Wind energy harvesting at elevated bridges” KOCED Wind Tunnel Center, Department of Civil Engineering.
78
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
melalui Program Beasiswa Unggulan Calon Dosen dari Kemendikbud dan selesai pada tahun 2014 dengan Gelar Magister Teknik (MT). Sejak tahun 2015 sampai sekarang ia menjadi dosen tetap pada Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas samudra. Tahun 2016 ia memenangkan Riset Inovasi Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi dari Kemenristekdikti atas nama Langsa Energi dengan produk Mesin Pengering Hybrid serta Peneltian Dosen Muda dari LPPM Universitas Samudra dengan judul “Studi Numerik Aliran Melintasi Turbin Angin Sumbu Vertikal di Jembatan Jalan Raya Kota Langsa “Studi kasus untuk sudut turbin 00, 300, 600, 900, 1200dan 1500.
Penulis Kedua Faiz Isma dilahirkan di Medan, 04 Maret 1987. Pendidikan Sekolah Dasar (SD N 4 Tg. Pura) selesai tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama (SMP N 11 Binjai) selesai tahun 2002, Sekolah Menengah Atas (SMA N 3 Binjai) selesai tahun 2005. Gelar Sarjana Teknik (ST) diperolehnya di Universitas Sumatera Utara Bidang Teknik Sipil pada tahun 2010 dan pada tahun 2014 mendapatkan gelar Magister Teknik (MT) dari Fakultas Teknik Magister Teknik Sipil bidang Manajemen Prasarana Publik. Sejak tahun 2015 hingga sekarang menjadi dosen tetap pada program studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Samudra.
79
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Studi Bentuk dan Ukuran Produk Korosi Baja Karbon Medium Akibat Pemaparan di Lingkungan Kampus Unsyiah Study of Corrosion Products Shape and Size for Medium Carbon Steel Exposed to Unsyiah Environment Syarizal Fonna, Muharil Ikhsan, Sulaiman Thalib, Syifaul Huzni Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia Phone: +62-651-7555874, e-mail:
[email protected]
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi bentuk dan ukuran produk korosi baja karbon medium akibat pemaparan di lingkungan kampus Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Propinsi Aceh, Indonesia. Dimensi spesimen yang digunakan untuk pengujian tersebut adalah 30 mm x 30 mm, dan untuk pengujian laju korosi, ukuran spesimen yang digunakan berdasarkan ASTM G 50. Bentuk dan ukuran produk korosi diidentifikasi menggunakan scanning elektron microscope (SEM). Pengukuran kehilangan berat akibat korosi atmosferik dilakukan menggunakan metode eksposure, dan nilai laju korosi dihitung menggunakan persamaan berdasarkan ASTM G1. Pengujian dilakukan selama enam bulan yaitu Januari hingga Juni 2016. Produk korosi yang terbentuk pada bulan pertama adalah lepidocrocite dan goethite dengan ukuran 2-80 μm. Pada bulan kedua produk korosi yang terbentuk adalah lepidocrocite dengan ukuran 30-190 μm. Bentuk grobular dan goethite terbentuk sebagai produk korosi pada bulan ketiga dengan ukuran 20-80 μm. Pada bulan keempat terjadi perubahan bentuk dari lepidocrocite menjadi goethite dengan ukuran 10-120 μm. Produk korosi pada bulan kelima didominasi oleh bentuk acicular goethite dengan ukuran 1-150 μm. Pada bulan keenam terbentuk bunga lepidocrocite tersusun rapi berukuran 38-150 μm. Hasil perhitungan laju korosi selama enam bulan menunjukkan bahwa nilai korosi tertinggi terjadi pada periode bulan Maret-April yaitu 0,024 mpy. Selama pemaparan enam bulan, produk korosi yang terbentuk adalah lepidocrocite dan goethite. Namun seiring bertambahnya waktu pemaparan terjadi perubahan bentuk dari lepidocrocite menjadi goethite. Kata kunci: Korosi Atmosferik, Lingkungan Kampus Unsyiah, Produk Korosi, Baja Karbon Medium, SEM. Abstract – The aim of this research is to conduct a study of the shapes and sizes of corrosion products for medium carbon steel that exposed to Banda Aceh city environment, especially Syiah Kuala University environment, Darussalam, Aceh province, Indonesia. Specimen dimensions that used for these study was 30 mm x 30 mm, and for corrosion rate testing, the size of the specimens was based on ASTM G 50. The shape and size of the corrosion products were identified using scanning electron microscope (SEM). Weight loss measurement due to atmospheric corrosion, was performed using the exposure method, and corrosion rate was calculated using an equation based on ASTM G1. The study was conducted for six months i.e January through June 2016. The corrosion products formed in the first month was lepidocrocite and goethite and having 2-80 μm size. In the second month, the corrosion product formed was lepidocrocite and 30-190 μm size. The shape of grobular and goethite were formed as products of corrosion on the third month with a size of 20-80 μm. On the fourth month, lepidocrocite transformed into goethite with 10-120 μm in size. The corrosion products on the fifth month dominated by acicular goethite that having 1-150 μm size. In the sixth month formed flowers of lepidocrocite that clustered attractively in size of 38-150 μm. The calculation results of the corrosion rate for six months showed that the highest rate occurs in the period of March-April that was 0.024 mpy. During six months exposure, corrosion products formed were lepidocrocite and goethite. However, it was found that the lepidocrocite might transformed into goethite during increasing exposure time. Keyword: Atmospheric Corrosion, Unsyiah Environment, Corrosion Products, Medium Carbon Steel, SEM.
I. PENDAHULUAN Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh yang terletak di pesisir pantai. Letak wilayah Kota Banda Aceh secara geografis berada di antara 05˚ 16' 15" - 05 36' 16" LU dan 95 16' 15" - 95º 22' 35" BT dengan ketinggian rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut, dan dengan luas 61,359 Ha atau
61,36 km² [1]. Pada tahun 2015 Kota Banda Aceh memiliki suhu udara rata-rata sebesar 27,1°C dengan curah hujan rata-rata 115,3 mm dan kecepatan angin rata-rata mencapai 5,3 knot selama setahun [1]. Tingkat kelembaban udara selama setahun berkisar antara 75 persen sampai 85 persen. Kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 75 persen dengan suhu udara tertinggi rata-rata 28,0°C. Dengan kondisi iklim
80
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
tropis, dikelilingi pantai dan tingkat kelembaban yang tinggi tersebut maka Banda Aceh rentan terhadap serangan korosi seperti pada produk – produk baja karbon.
ASTM G1. Bentuk dan ukuran produk korosi diidentifikasi menggunakan scanning elektron microscope (SEM), dengan ukuran spesimen yang digunakan adalah 30 mm x 30 mm. Lokasi exposure spesimen adalah di area terbuka dalam kawasan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. Rak pengujian digunakan untuk meletakkan spesimen selama eksposur, merujuk pada ASTM G-50. Timbangan digital (Ohaus Silver) digunakan untuk mengukur kehilangan berat spesimen akibat korosi selama pengujian, dan dengan ketelitian 0,01 gr.
Baja karbon umumnya digunakan dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan. Pada saat terkontaminasi langsung dengan lingkungan sekitar, maka baja karbon rentan terhadap korosi. Produk korosi baja karbon terbentuk dari hasil reaksi oksidasi antara baja dengan lingkungan sekitarnya. Bentuk dan ukuran produk korosi baja karbon sangat tergantung pada komposisi material, lingkungan tempat eksposure, juga dipengaruhi oleh waktu.
Pengamatan bentuk dan ukuran produk korosi baja karbon medium dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sekali. Pengukuran data kehilangan berat dilakukan dua bulan sekali, dan laju korosi spesimen dihitung menggunakan Persamaan 1. Nilai konstanta konversi satuan diperlihatkan pada Tabel 2.
Dalam beberapa tahun terakhir penelitian korosi atmosferik telah banyak menarik perhatian peneliti, terutama dalam menentukan produk korosi yang dibentuk selama pemaparan di atmofer. Ada beberapa negara yang telah melakukan penelitian mengenai produk korosi atmosferik seperti Colombia, Brazil, dan Spanyol [2-4].
Laju Korosi = ( × Dimana:
Penelitian sebelumnya mengenai korosi atmosferik juga telah dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar. Pengukuran laju korosi dilakukan pada baja konstruksi dan pengaruh jarak eksposur dari garis pantai terhadap laju korosi atmosferik di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar [5-9]. Pada tahun 2015 berdasarkan data laju korosi dari hasil penelitian sebelumnya, dilakukan pemetaan laju korosi menggunakan metode interpolasi kriging untuk wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar [10].
K W A T D
)/( ×
× )
(1)
= konstanta konversi satuan laju korosi = kehilangan massa, gram = luas permukaan, cm2 = waktu eksposur, jam = massa jenis, g/cm3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk dan ukuran produk korosi yang akibat korosi atmosferik pada baja karbon medium sangat tergantung dari lingkungan eksposur/pemaparan. Berbagai bentuk dan ukuran tersebut dapat diperoleh dari hasil identifikasi menggunakan SEM.
Namun demikian penelitian yang mengkaji tentang produk korosi atmosferik belum pernah dilakukan, khususnya pada wilayah Banda Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan studi bentuk dan ukuran produk korosi pada baja karbon medium akibat pemaparan di lingkungan kampus Unsyiah, Banda Aceh.
3.1. Produk korosi bulan pertama Gambar 1 menunjukkan produk korosi yang terbentuk pada bulan pertama. Karakteristik produk korosi yang terbentuk pada Gambar 1.a adalah lepidocrocite dan goethite, dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Pada label A, terlihat bentuk goethite seperti bola dengan ukuran sekitar 20 μm, dan pada label B didapatkan lepidocrocite seperti bunga dengan ukuran sekitar 80 μm. Pada Gambar 1.b didapat sebuah endapan seperti bola (label A) berukuran 20 μm. Gambar 1.c morfologi yang dihasilkan seperti koral dengan ukuran 60 μm. Pada Gambar 1.d terbentuk morfologi seperti bunga yang sedang mekar, didalamnya terdapat goethite berbentuk bola kecil berukuran 2 μm.
II. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, material yang digunakan adalah baja karbon medium dengan komposisi material diperlihatkan pada Tabel 1. Pengukuran laju korosi atmosferik dilakukan menggunakan metode exposure, dengan ukuran spesimen berdasarkan ASTM G 50, dan nilai laju korosi dihitung dengan merujuk
Tabel 1. Komposisi baja karbon medium yang digunakan dalam penelitian Unsur Komposisi
C
Si
Mn
P
S
Ni
Cr
Mo
Co
Al
Fe
0,310
0,062
0,729
0,002
0,010
0,049
0,051
0,029
0.019
0,014
6,256
81
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Tabel 2. Nilai konstanta konversi satuan Satuan laju korosi yang diinginkan
Nilai
Mils per tahun (mpy)
3.45 106
Milimeter per tahun (mm/y)
8.76 104
Gram per meter kuadrat per jam (g/m2.h)
1.00104 x
A
A B
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 1. Morfologi yang terbentuk pada bulan pertama
3.2. Produk korosi bulan kedua Produk korosi yang terbentuk pada bulan kedua diperlihatkan pada Gambar 2. Secara keseluruhan produk korosi yang terbentuk pada Gambar 2.a adalah lepidocrocite yang tersusun seperti bunga dengan ukuran 150 μm. Gambar 2.b menunjukkan produk korosi yang terbentuk adalah sekumpulan lepidocrocite yang tersusun rapi dengan bentuk dan ukuran yang .berbeda, secara keseluruhan penampangnya berukuran 190 μm. Pada Gambar 2.c-d terbentuk sekumpulan lapisan bunga yang saling berikatan satu sama lain, dengan ukuran 30 μm. Gambar 2.d terlihat jelas produk korosi lepidocrocite yang terbentuk sangat tipis.
3.3. Produk korosi bulan ketiga Gambar 3 menunjukkan produk korosi yang terbentuk setelah tiga bulan eksposure. Bentuk grobular yang saling berikatan diperlihatkan pada Gambar 3.a dengan ukuran yang beragam antara 1-10 μm. Pada Gambar 3.b grobular yang terbentuk secara umum lebih besar dari pada grobular pada gambar 3.a dengan ukuran 20 μm. Beragam bentuk produk korosi diperlihatkan pada Gambar 3.c. Pada label A terbentuk lepidocrocite dengan ukuran 80 μm dan pada label B terbentuk goethite dengan ukuran 20 μm. Pada Gambar 3.d terbentuk goethite seperti mangkuk dengan ukuran 30 μm.
82
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 2. Morfologi yang terbentuk pada bulan kedua
(a)
(b) Gambar 3. Morfologi yang terbentuk pada bulan ketiga
83
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
B A
(c)
(d) Gambar 3. ………………(lanjutan)
(b)
(a)
A B
(c)
(d) Gambar 4. Morfologi yang terbentuk pada bulan keempat
84
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 3.4. Produk korosi bulan keempat Produk korosi yang terbentuk pada bulan keempat diperlihatkan pada Gambar 4. Semikristaline goethite berbentuk koral terlihat pada Gambar 4.a dengan ukuran 120 μm. Campuran lepidocrocite dan goethite terdapat pada Gambar 4.b yang mana terlihat jelas kristal goethite terbentuk diantara kerumunan lepidocrocite. Kristal goethite berukuran 10 μm sedangkan lepidocrocite berukuran 100 μm. Pada Gambar 4.c, produk korosinya berbentuk bola kapas yang saling berikatan dengan ukuran 1-20 μm dan diantara sekumpulan bola kapas tersebut terdapat bentuk seutas tali dengan diameter 10 μm. Bunga dan bola kapas dengan bentuk yang beragam terlihat pada Gambar 4.d. Label A menunjukkan bentuk bunga dengan ukuran 20 μm dan label B bentuk bola kapas dengan ukuran 15 μm.
goethite dengan bentuk yang beragam seperti jarum, kapas, dan acicular dengan ukuran 1-30 μm. Struktur acicular yang terbentuk menjadi bunga dengan ukuran 75 μm terlihat pada Gambar 5.b. Struktur acicular terbentuk secara keseluruhan pada Gambar 5.c dengan ukuran 40 μm, dan telihat pada bagian tengah terbentang bentuk seutas tali dengan diameter 8 μm. Produk korosi dalam Gambar 5.d adalah lepidocrocite dan acicular goethite. Label A menunjukkan ukuran lepidocrocite sebesar 150 μm, dan label B acicular goethite dengan ukuran 1-10 μm. 3.6. Produk korosi bulan keenam Bentuk produk korosi pada bulan keenam diperlihatkan pada Gambar 6. Lapisan bunga lepidocrocite tersusun dengan rapi terlihat pada Gambar 6.a dengan ukuran 38 μm. Pada Gambar 6.b, terdapat bentuk bintang laut yang diduga produk korosi dengan ukuran 300 μm. Pola terumbu karang terbentuk pada Gambar 6.c dengan diameter 20 μm dan panjang 200 μm. Perubahan bentuk morfologi terlihat jelas pada Gambar 6.d yang mana ujung lepidocrocite terjadi perubahan bentuk menjadi acicular goethite dengan ukuran 38 μm.
3.5. Produk korosi bulan kelima Gambar 5 menunjukkan produk korosi yang terbentuk pada bulan kelima. Bentuk produk korosi pada Gambar 5.a label A adalah lepidocrocite berukuran 110 μm. Sekeliling lepidocrocite terbentuk
A
(a)
(b)
B
(c)
(d) Gambar 5. Morfologi yang terbentuk pada bulan kelima
85
A
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 6. Morfologi yang terbentuk pada bulan keenam
3.7. Laju korosi Laju korosi atmosferik dihitung selama enam bulan menggunakan Persamaan (1). Laju korosi tertinggi sebesar 0,024 mpy terjadi pada periode MaretApril, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Diduga bahwa hujan menjadi faktor utama terjadinya peningkatan laju korosi tersebut.
IV. KESIMPULAN Hasil identifikasi menggunakan SEM menunjukkan bahwa secara umum produk korosi yang terbentuk pada baja karbon medium adalah lepidocrocite dan goethite. Seiring waktu hingga bulan keenam, pola morfologi yang terbentuk berubah semakin tipis dan halus. Pada bulan keenam, morfologi lepidocrocite mulai berubah menjadi acicular goethite. Nilai perhitungan laju korosi tertinggi sebesar 0,024 mpy terjadi pada periode Maret-April. Akan tetapi, tingkat laju korosi pada wilayah lingkungan kampus Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Propinsi Aceh, Indonesia masih dikatagorikan sebagai outstanding.
Laju Korosi
0.03 0.02 0.01 0 Januari-Februari
Maret--April
PERSEMBAHAN
Mei-Juni
Periode Terima kasih dipersembahkan kepada Corrosion and Compotational Research Group (CCRG), Prodi Teknik Mesin, UNSYIAH yang telah mendanai penelitian ini.
Gambar 7. Hasil perhitungan laju korosi
86
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA [1]. BPS, Letak geografis, termuat di: https://bandaacehkota.bps.go.id/website/pdf_publi kasi/Statistik-Daerah-Kota-Banda-Aceh-2016.pdf, diakses 27 September 2016. [2]. Castano, J.G., Butero, C.A., Restrepo, A.H., Agudelo, E.A., Correa, E., Echeverria, F., 2010, Atmospheric corrosion of carbon steel in Colombia, Corrosion Science, Vol. 52 (1), pp. 216-223. [3]. Portella, M.O.G., Portella, K.F., Pereira, P.A.M., Inone, P.C., Brambilla, K.J.C., Cabussu, M.S., Cerqueira, D.P., Salles, R.N., 2012, Atmospheric corrosion rates of copper, galvanized steel, carbon steel and aluminum in the metropolitan region of Salvador, BA, Northeast Brazil, Procedia Engineering, Vol. 42, pp. 171-185. [4]. Alcántara, J., Chico, B., Simancas, J., Díaz, I., de la Fuente, D., Morcillo, M., 2016, An attempt to classify the morphologies presented by different rust phases formed during the exposure of carbon steel to marine atmospheres, Materials Characterization, Vol. 118, pp. 65-78. [5]. Sudirman, 2010, Analisa Laju Korosi Atmosferik dikawasan Peukan Bada Aceh Besar dan Meuraxa Banda Aceh, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [6]. Maulana. J, 2012, Analisa Laju Korosi Atmosferik Baja Kontruksi di Beberapa Kawasan yang Terendam Tsunami 2004, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [7]. Supardi, 2012, Pemetaan Korosi Infrastsruktur di Pantai Barat Aceh, Tesis, Magister Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. [8]. Suvera. R, 2013, Analisa Pengaruh Eksposur dari Garis Pantai terhadap Laju Korosi Atmosferik di Kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [9]. Farabi. A, 2014, Korosi Atmosferik pada Logam Tembaga di Kawasan Landasan Tsunami Aceh 2004, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [10]. Bachri. S, 2015, Peta Laju Korosi Atmosferik Baja Karbon untuk Kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh.
87
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pembuatan Sistem Monitoring Ruangan Menggunakan Sensor Ultrasonik Guna Pendeteksi Gerakan pada Kamera (Closed Circuit Television) Making Monitoring Room System Using Ultrasonic Sensors To Detect Movement On Cctv Camera Agung Herdianto1, Bakruddin2 1 Universitas 1
Abdurachman Saleh Situbondo, Jawa Timur 2 Politeknik Aceh Selatan Jl.PB.Sudirman No.07, Patokan Situbondo, Jawa Timur 2 Jl. Merdeka Komplek Reklamasi Pantai Tapak Tuan Email :
[email protected]
Abstrak - Mengingat tindak kejahatan terjadi tanpa disadari, maka pemantauan ruangan menggunakan kamera (CCTV) sangat perlu untuk diterapkan demi menjaga keamanan baik itu di tempat umum maupun di lingkungan tempat tinggal. Sistem pemantau ruangan yang umum digunakan saat ini menggunakan kamera yang tidak dilengkapi dengan sistem pengontrolan secara automatic, sehingga menyebabkan kurang maksimalnya fungsi kamera tersebut. Pada penelitian ini dibuat suatu sistem pengontrolan automatic yang diletakkan pada kamera (CCTV), pengontrolan terletak pada kamera yang diletakkan pada motor servo. Pengontrolan pergerakan motor servo dipengaruhi oleh sensor ultrasonik. Motor servo dikontrol menggunakan sinyal Pulse Width Modulation (PWM) yang dipicu oleh mikrokontroler terhadap sinyal sensor ultrasonik. Motor servo berputar berdasarkan sinyal PWM yang dikirimkan ke dalam mikrokontroler. Hasil dari sistem monitoring ruangan dengan sensor ultrasonik sebagai pendeteksi pergerakan telah memenuhi harapan yang diinginkan yakni sistem monitoring dengan sensor dapat dioperasikan secara automation. Kata kunci : kamera, mikrokontroller, motor servo, pulse width modulation, sensor ultrasonik . Abstract- Given the fact that the crime occurred unwittingly, then using monitoring room cameras (CCTV) It should be applied in order to review security keeping in house as well as in the environment. The monitoring room systems used previously are currently using the camera is not equipped with automatic control system, thus causing less maximal function camera. This research making a control system automatically on cameras (CCTV), automatic control on camera is placed at servo motors. Controlling the movement of the servo motor is affected by the ultrasonic sensor. Servo motor controlled signals using Pulse Width Modulation (PWM) that is triggered by the microcontroller against ultrasonic sensor signal. Rotating servo motor based on the PWM signal is sent to microcontroller. From the results of the monitoring system as a room with ultrasonic sensors detect movement has meet the expectations desired with sensor monitoring system can be operated in automatic. Keyword : Camera, Microcontroller, Servo motor, Pulse Width Modulation (PWM), Ultrasonic sensors.
I.
untuk selanjutnya dikirimkan ke motor servo. Gerakan motor servo terbagi atas tiga posisi yaitu kiri, tengah dan kanan. Motor servo yang digunakan memiliki tipe standar 180°(counter clock wise). Kamera (CCTV) berfungsi sebagai perekam adanya suatu perubahan pada ruangan. Data rekaman yang dihasilkan kamera akan disimpan didalam komputer kemudian dengan bantuan software dari CCTV tersebut maka gambar atau video yang tersimpan dalam komputer dapat ditampilkan kembali. Pada penelitian terdahulu CCTV hanya digunakan sebagai perekam gambar berbasis kamera server, data yang diperoleh disimpan dalam database sedangkan pada kamera CCTV tidak dapat bergerak cepat karena menggunakan motor jenis stepper(Trianto 2005). Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan sistem pengontrolan gerakan motor servo pada kamera secara automatic dengan menggunakan sensor ultrasonik.
PENDAHULUAN
Pemantauan ruangan menggunakan pergerakan kamera secara automatic diharapkan dapat menekan adanya tindak kejahatan yang sering terjadi. Sistem pemantau ruangan yang umum digunakan saat ini menggunakan kamera yang tidak dilengkapi dengan sistem pengontrolan pada kamera secara automatic, sehingga menyebabkan kurang maksimalnya fungsi kamera tersebut. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan sistem pengontrolan automatic yang diletakkan pada kamera (closed circuit television). Pengontrolan secara automatic CCTV dipengaruhi gerak motor servo, gerakan motor servo dipicu oleh sensor ultrasonik. Motor servo berputar berdasarkan sinyal pulse width modulation (PWM) yang dikirimkan sensor untrasonik ke dalam mikrokontroler. Rangkaian sensor ultrasonik nantinya memberikan sinyal on (1) dan off (0) yang diterjemahkan oleh mikrokontroler
88
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Motor servo adalah motor yang mampu bekerja dua arah (CW,CCW) dimana arah dan sudut pergerakan rotornya dapat dikendalikan hanya dengan memberikan pengaturan duty cycle sinyal PWM pada bagian pin kontrolnya. Motor Servo akan bekerja secara baik jika pada bagian pin kontrolnya diberikan sinyal PWM dengan frekuensi 50 Hz. Maksudnya sinyal dengan frekuensi 50 Hz tersebut dicapai pada kondisi Ton pada siklus perputaran (duty cycle) 1,5 ms, maka rotor dari motor akan berhenti tepat di tengah-tengah yang artinya putaran gerakan motor pada kondisi tersebut adalah 00. Pada saat Ton duty cycle dari sinyal yang diberikan kurang dari 1,5 ms, maka rotor akan berputar ke arah kiri dengan membentuk sudut yang besarnya linier terhadap besarnya Ton duty cycle, dan akan bertahan di posisi tersebut. Sebaliknya, jika Ton duty cycle dari sinyal yang diberikan lebih dari 1,5 ms, maka rotor akan berputar ke arah kanan dengan membentuk sudut yang tetap pula terhadap besarnya Ton duty cycle, dan bertahan di posisi tersebut Sensor ultrasonik digunakan sebagai mata yang bertugas mencari objek dan mendeteksi perpindahan objek. Ultrasonik adalah sinyal dengan frekuensi yang tinggi sehingga tidak dapat didengar oleh telinga manusia, memiliki frekuensi 40 KHz. Hanya beberapa hewan, seperti lumba-lumba menggunakannya untuk berkomunikasi, sedangkan kelelawar menggunakan sinyal ultrasonik untuk navigasi. Dalam hal ini, sinyal ultrasonik merupakan sinyal ultra di atas frekuensi gelombang sinyal sonik. Sinyal ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas. Reflektivitas dari sinyal ultrasonik ini di permukaan cairan hampir sama dengan permukaan padat, tapi pada tekstil dan busa jenis gelombang ini akan mudah diserap. Prinsip pantulan sensor ultrasonik adalah sensor ini menghasilkan sinyal ultrasonik yang kemudian menangkapnya kembali dengan perbedaan waktu sebagai dasar penginderaannya. Perbedaan waktu antara gelombang suara yang dipancarkan dengan gelombang suara ditangkap kembali tersebut adalah berbanding lurus dengan jarak atau tinggi objek yang memantulkannya. Sinyal ultrasonik merambat melalui media udara kemudian mengenai obyek dan memantul kembali ke sensor. Pada gambar 2.1 ditunjukkan tentang prinsip kerja gelombang pada sensor ultrasonik.
Mikrokontroler adalah teknologi semikonduktor yang didalamnya terdapat kombinasi dari berjuta-juta transistor yang hanya dikemas dalam satu keping IC. Di dalam mikrokontroler terdapat dua memori yaitu memori program (ROM) yang digunakan untuk menyimpan program dan memori serbaguna (RAM) yang digunakan untuk menyimpan data sementara termasuk register-register yang digunakan sesuai program yang telah dibuat. Mikrokontroler AVR (Alf and Vegard’s Risc processor) memiliki arsitektur RISC 8 bit, yang semua instruksinya dikemas dalam kode 16-bit (16-bits word) dan sebagian besar instruksi dieksekusi dalam satu siklus clock, berbeda dengan instruksi MCS 51 yang membutuhkan 12 siklus clock. Secara umum, AVR dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas, yaitu keluarga ATTiny, keluarga AT90Sxx, keluarga ATMega dan AT86RFxx. Pada dasarnya yang membedakan masing-masing kelas adalah memori, peripheral, dan fungsinya. Perbedaannya hanya pada fasilitas dan I/O yang tersedia serta fasilitas lain seperti ADC, EEPROM dan lain sebagainya. Salah satu contohnya adalah ATMega8. Memiliki teknologi RISC dengan kecepatan maksimal 16 MHz membuat ATMega8 lebih cepat bila dibandingkan dengan varian MCS 51. Dengan fasilitas yang lengkap tersebut menjadikan ATMega8 sebagai mikrokontroler yang powerfull. Konfigurasi pin mikrokontroller AVR ATMega8 ditunjukkan pada gambar 1.2
Gambar 1.2 Pin Mikrokontroller AVR ATMega8 Untuk memprogram mikrokontroler dapat menggunakan bahasa assembler atau bahasa tingkat tinggi yaitu bahasa C. Bahasa yang digunakan memiliki keunggulan tersendiri, untuk bahasa assembler dapat diminimalisasi penggunaan memori programnya sedangkan dengan bahasa C menawarkan kecepatan dalam pembuatan program. Untuk bahasa assembler dapat ditulis dengan menggunakan text editor setelah itu dapat dikompilasi dengan tool tertentu misalnya asm51 untuk MCS51 dan AVR Studio untuk AVR.
II.
METODE
Pada pembuatan sistem pemantauan ruangan yang menggunakan sensor ultrasonik pada kamera dilakukan beberapa tahapan antara lain :
Gambar 1.1 Sensor ultrasonik
89
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
yang dihubungkan pada port masukan motor servo. Motor servo kemudian akan bergerak mengikuti adanya perubahan masukan sinyal dari mikrokontroler. Pada Gambar 2.2 menunjukkan blok perancangan monitoring ruangan.
A. Perancangan Sistem Monitoring Didalam ruangan tersebut dideskripsikan berukuran 1,5 x 2 meter dengan satu pintu (masuk dan keluar) serta 2 jendela disebelah kanan dan 1 disebelah kiri, nantinya kamera serta rangkaian sistem automatic diletakkan pada pojok tengah ruangan, sehingga dimungkinkan nantinya kamera dapat menangkap objek dengan keadaan presisis sehingga memudahkan sistem sensor untuk medeteksi adanya suatu objek. Apabila terjadi perubahan didalam ruangan tersebut maka sensor akan bekerja untuk mendeteksi adanya perubahan pada ruangan tersebut, misalnya pada saat ada perubahan pada pintu depan maka sensor yang mengarah ke pintu akan aktif dan memicu mikrokontroler untuk menggerakkan motor servo ke arah dimana sensor tersebut aktif. Jika pada ruangan tersebut tidak ada perubahan maka sensor tidak aktif dan motor servo tidak bergerak. Pada gambar 2.1 menunjukkan skema sistem monitoring ruangan.
Gambar 2.2 Prinsip kerja sistem monitoring C. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan antara lain : 1. Pengujian perangkat keras 2. Pengujian alat keseluruhan Dalam pengujian perangkat keras ini meliputi beberapa pengujian terhadap rangkaian sistem minimum mikrokontroler ATMega8, rangkaian sensor ultrasonik GH-311 dan pengujian motor servo. Sedangkan pengujian alat secara keseluruhan bertujuan mengetahui hasil kinerja alat secara menyeluruh.
III.
Gambar 2.1 Perancangan sistem monitoring
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah pembuatan keseluruhan alat maka dilakukan pengujian untuk mengetahui kinerja alat dan program yang telah dibuat. Pengujian dilakukan perblok untuk mengetahui masing-masing dari unit dalam sistem. Kemudian dilakukan pengujian secara keseluruhan alat monitoring ruangan. Dalam pengujian hasil perancangan dan pembuatan alat ini, membahas mengenai pengujian perangkat keras, yang meliputi pengujian sensor, pengujian sistem minimum ATMega 8, pengujian motor servo dan pengujian sistem kerja alat secara keseluruhan. A. Pengujian Sistem Minimum ATMega8 Pengujian sistem minimum adalah pengujian yang dilakukan pada sistem minimum mikrokontroler dan catu daya. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sistem minimum ATMega8 dapat bekerja sesuai yang diinginkan serta untuk mengetahui besar tegangan serta arus yang dibutuhkan pada alat saat bekerja.
B. Prinsip Kerja Sistem Monitoring Kamera (CCTV) mulai aktif saat port usb dihubungkan pada komputer. Monitoring atau juga disebut pengawasan didalam pembuatan alat ini dilakukan dengan seperangkat kamera. Kamera (CCTV) hanya sebagai suatu alat pendukung untuk memonitoring sebuah ruangan. Sistem otomasi pembuatan alat ini terletak pada pergerakan kamera yang dipengaruhi oleh 3 buah sensor ultrasonik yang nantinya membentuk sudut elevasi 35 derajat setiap sensor. Sensor ultrasonik tersebut akan memberi masukan terhadap mikrokontroler, dengan masukan ”high” or ”low” tergantung pada masukan saat pembuatan program. Masukan dari sensor akan diproses didalam mikrokontroler kemudian akan dikeluarkan oleh port keluaran mikrokontroler
90
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengukuran tegangan dan arus pada sistem minimum ditunjukkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Pengukuran tegangan dan arus No Ukur Vsumber Sensor Motor servo On Off Diam Gerak 1 V(volt) 5 4,8 4,8 2 I(amp) 5 2,5 2
Tabel 3.2 Pengaruh jarak terhadap tegangan dan arus pada sensor ultrasonik dan motor servo. Letak Sensor Kiri
Tengah
B. Pengujian Rangkaian Ultrasonik Dan Servo Pengujian sistem ini bertujuan untuk mengetahui kerja atau tidaknya rangkaian sensor ultrasonik tersebut. Dalam prinsip kerjanya sensor ultrasonik membutuhkan tegangan 4,8 – 5 Vdc. Sensor Ultrasonik GH-311 ini mempunyai 3 pin, 2 pin sebagai Vcc dan Gnd serta 1 pin sebagai I/O. Keluaran sensor ultrasonik dihubungkan pada mikrokontroler pada port PD.0 sampai dengan PD.2, dikarenakan pada penelitian ini menggunakan 3 buah sensor ultrasonik. Pengujian dilakukan dengan melakukan listning program ke dalam rangkaian mikrokontroller, downloader menggunakan Code Vision AVR 1.25 dengan penjelasan sebagai berikut :
Kanan
if (sensor_kiri==1) { //******************** PORTC.0=0; PORTC.1=1; PORTC.2=1; else if (sensor_tengah==1) { //******************** PORTC.1=0; PORTC.0=1; PORTC.2=1; if (sensor_kanan==1) { //******************** PORTC.2=0; PORTC.0=1; PORTC.1=1; {
Inisialisasi sensor pada PinD.0, D.1, D.2
Is (A) 0,18 0,19 0,19 0,17 0,18 0,17 0,16 0,17 0,16
Vm (V) 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2
Im (A) 0,07 0,68 0,60 0,70 0,70 0,6 0,68 0,66 0,70
Tabel 3.3 Pengujian motor servo Gerak Gerak Selisih yang yang gerakan diinginkan dihasilkan Kiri dalam Hasil Selisih (derajat) dalam (°) (°) 0° 0 0 90° 87 -3 180° 175 -5 Tengah 0° 0 0 45° 48 +3 90° 86 -4 Kanan 0° 0 0 90° 88 -2 180° 175 -5
Sensor sisi kiri aktif Pin C.0 aktif rendah Led 1 Hidup
Sensor sisi tengah aktif Pin C.1 aktif rendah Led 2 Hidup
Sensor sisi kanan aktif Pin C.2 aktif rendah Led 3 Hidup
V
I S
M
4,5
1,8
6,7
4,5
1,7
6,7
4,5
1,7
6,7
Error (%)
Rata-rata Error (%)
0 3,44 2,85
2,09
0 6,25 4,44
3,56
0 2,27 2,85
1,70
Dari Tabel 3.3 menunjukkan pengujian yang dilakukan secara manual dengan menggunakan busur derajat yang bertujuan mengukur besar sudut serta membandingkan hasil gerakan motor servo, diketahui bahwa saat kamera bergerak ke kiri, data hasil gerakan secara keseluruhan adalah hampir sama dari perintah yang dimasukkan ke dalam program mikrokontroler, error terbesar gerakan kamera sebesar 180 0 dengan error sekitar 0 sampai dengan 2,85 %. Error persen rata-rata secara keseluruhan sebesar 2,09 %. Sedangkan pada saat kamera posisi ditengah, data hasil gerakan secara keseluruhan adalah hampir sama
}
Selanjutnya dilakukan pengukuran pengaruh terhadap tegangan dan arus pada sensor dan servo. Pada Tabel 3.2 akan ditunjukkan pengukuran dari ketiga sensor ultrasonik dan servo.
20 80 120 20 80 120 20 80 120
Vin (V) 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8
Dari data Tabel 3.2 diketahui bahwa besar tegangan masukan pada sensor tidak terpengaruh pada jarak jangkau sensor. Sebaliknya terjadi pada arus yang melalui sensor, besar arus terpengaruh oleh jarak jangkau sensor. Besar tegangan pada sensor adalah 4,8 volt sedangkan besar nilai arus berubah ubah. Hal ini terjadi pada jarak jangkau sensor 10 cm maka besar arus adalah 2,0 mA, sebaliknya pada jarak jangkau sensor 120 cm besar arus pada sensor adalah 1,6. Dari data diatas disimpulkan bahwa jarak jangkau sensor tidak berpengaruh terhadap besar tegangan pada sensor, melainkan berpengaruh pada besar arus yang mengalir pada sensor. Pada motor servo besar tegangan berkisar antara 3,8 sampai dengan 3,2 volt. Besar arus pada motor servo berkisar 6 sampai dengan 7 mA.
// inisialisasi sensor #define sensor_kiri PIND.0 #define sensor_tengah PIND.1 #define sensor_kanan PIND.2
Jarak
jarak motor hasil motor
91
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dari perintah yang dimaksudkan, error persen terbesar berada pada gerakan kamera posisi 45 0 bergerak kekanan yaitu 6,25 %, sedangkan error persen terkecil sebesar 0 %. Error persen rata-rata secara keseluruhan sebesar 3,56 %. Pada saat kamera bergerak pada posisi 180 0 kekiri dan kekanan, data hasil gerakan secara keseluruhan adalah hampir sama dari perintah yang dimaksudkan, error persen terbesar berada pada gerakan kamera gerak ke kanan 1800 yaitu 2,85 %, sedangkan error persen terkecil sebesar 0 %. Error persen rata-rata secara keseluruhan sebesar 1,70 %. Sedangkan pada pengujian pengaruh waktu sensor terhadap jarak akan ditunjukkan pada Tabel 3.4.
IV.
Tabel 3.4 Pengujian waktu sensor terhadap jarak Jarak Sensor 1 20 cm 80 cm 120 cm Sensor 2 20 cm 80 cm 120 cm Sensor 3 20 cm 80 cm 120 cm
Waktu Off (detik) 3 2
Waktu On (detik) 3 4 3
3 2
4 4 3
3,16
3 2
4 4 3
3,16
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perancangan dan pembuatan sistem monitoring ruangan, kamera yang diletakkan pada motor servo dapat bergerak secara otomatis mengikuti benda (objek) berdasarkan sinyal masukan dari sensor ultrasonik. Sensor ultrasonik mendeteksi adanya perubahan (gerak) berdasarkan sistem pemancar dan penerima sistem ultrasonik. Pada pengujian waktu pendeteksian sensor terhadap jarak benda (objek) diketahui memiliki rata-rata waktu tempuh gelombang yang hampir sama yaitu 3 detik. Sedangkan pada pengujian pergerakan satu per satu, motor servo yang dipengaruhi oleh sensor mempunyai error persen yang kecil yakni sebesar 0 % dan error persen yang paling besar pada gerakan kamera sebesar 450 yakni 6,25 %.
Waktu Rata-rata 3,33
DAFTAR PUSTAKA [1] W. Ardi, Mikrokontroller AVR ATMEGA 8/16/32/8535 dan Pemrogramannya dengan Bahasa C Pada WinAVR, Bandung, 2008. [2] A. Alfian, Pembuatan Monitoring Ruangan Berbasis Camera Server, PENS ITS Surabaya, 2005. [3] Wasito, Vademekum Elektronika, Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka Umum, 2006. [4] A. Khairul, Diktat Sistem Kontrol, Jember,2005. [5] Tim, AT89S51 datasheet, 2010. Website: http://atmel.com , diakses tanggal 5 Agustus 2009 [6] Tim, Parallax Motor Servo, 2011. Website: http://www.parallax.com/servo.html, diakses tanggal 5 Agustus 2009 [7] Tim, Serial Programming, 2009. Website: http://en.wikibooks.org, diakses tanggal 14 Agustus 2009
Pengujian waktu terhadap jarak bertujuan mengetahui waktu yang diperlukan gelombang saat dipancarkan maupun pada saat dipantulkan, pengukuran waktu ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur waktu dengan satuan detik. Pada Tabel 3.4 diketahui rata-rata sensor memiliki waktu tempuh gelombang yang hampir sama yaitu 3 detik. C. Pengujian Alat Secara Keseluruhan Pengujian alat secara keseluruhan bertujuan mengetahui hasil kinerja alat secara menyeluruh. Pada hasil pengujian sensor ultrasonik mengalami sedikit permasalahan, karena sensor ultrasonik memiliki pancaran gelombang dengan jarak yang terbatas maka sensor tidak dapat berfungsi pada ruangan yang luas sehingga berpengaruh kepada pancaran gelombang pada objek. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan tipe jenis sensor ultrasonik yang digunakan. Pada Tabel 3.3 pengujian persatuan derajat motor servo, diketahui bahwa sistem kinerja motor berfungsi sesuai yang diharapkan. Error persen terbesar berada pada gerakan kamera posisi 45 0 bergerak dari tengah yaitu 6,25 %, sedangkan error persen terkecil sebesar 0 % berada pada gerakan kamera pada setiap posisi awal gerakan atau posisi 00. Sedangkan pada Tabel 3.4 diketahui rata-rata sensor memiliki waktu tempuh gelombang yang hampir sama yaitu 3 detik.
BIODATA PENULIS Agung Herdianto dilahirkan di Jember 29 tahun yang lalu. Merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, penulis memulai pendidikan formal di SDN Jenggawah 01. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP 1 Jember selanjutnya pendidikan menengah atas di SMA 1 Jenggawah. Tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikannya di DIII Teknik Elektro dan pada tahun 2012 menyelesaikan pendidikannya di S1 Teknik Elektro Universitas Jember. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S2 Teknik Geothermal, Geomatika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan sebagai staf di Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.
92
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perancangan Tangan Berjari Banyak sebagai Alat Bantu Tangan Manusia The Design of Multi-Fingered Hand as Human Hand Tools Husaini1, Iskandar Hasanuddin1, Sandi Yudha B.Z2 1)
Laboratorium Mekanika Komputasi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh 2) Program Studi Teknik Mektronika, Politeknik Aceh, Banda Aceh Email:
[email protected];
[email protected]
Abstrak – Tangan mekanik yang menyerupai tangan manusia berfungsi untuk menggantikan tugas dan tangan untuk meningkatkan keselamatan kerja. Perancangan digunakan aplikasi ONSHAPE dengan membandingkan DoF antara tangan manusia yang asli dengan hasil perancangan. Dapat disimpulkan bahwa perancangan tangan mekanik dapat bergerak sesuai dengan tangan manusia sesungguhnya dengan 11 DoF. Kata kunci: Tangan mekanik, Model kinematik, ONSHAPE Abstract – Mechanical hand made by human hand analogy which used for it task’s replacement due to safety matter. The mechanical hand designing using ONSHAPE software which compares between real human hand and design result. The results that the mechanical hand design can move like the real human hand with 11 DoF.
I.
PENDAHULUAN
Tangan manusia adalah salah satu organ yang penting bagi manusia. Jika tangan ini tidak ada, maka manusia harus mendayagunakan organ lainnya untuk menggantikan fungsi tangan manusia. Jika tidak berhati-hati, maka tangan manusia ini sangat rentan terkena kecelakaan yang berakibat cedera atau bahkan kehilangan tangan. Oleh karena itu, untuk beberapa pekerjaan beresiko tinggi, diperlukan sebuah alat bantu. Alat bantu ini harus dapat mewakili seluruh kemampuan yang dimiliki tangan dalam melakukan kegiatan. Minimal, alat bantu ini dapat mewakili fungsi dasar tangan manusia. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat alat bantu berupa duplikasi tangan tiruan. Pramod Kumar Parida dan kawan-kawan [1], melakukan penelitian untuk membuat pemodelan dan mendapatkan pola pergerakan yang terjadi pada kelima jari tangan. Penelitian ini adalah penelitian awal untuk melakukan perancangan Tangan Mekanik dimana penggerak utama nya adalah tangan manusia sesungguhnya (operator).
II.
telunjuk dan jari tengah masing-masing dengan 4 DoF, jari manis dan kelingking dengan 6 DoF. Setiap jari mempunyai panjang dan bentuk tersendiri. Panjang dari jari-jari tersebut tidak mempunyai standar khusus. Oleh karena itu estimasi pengukuran dilakukan sebagai data awal dalam perancangan.
III.
PERANCANGAN TANGAN MEKANIK
Tangan Mekanik dirancang dengan menggunakan aplikasi ONSHAPE. Tangan mekanik ini terdiri dari lima jari, yaitu: jari telunjuk, jari tengah, jari manis, jari kelingking dan ibu jari. Salah satu bentuk jari pada tangan mekanik ini dapat terlihat pada Gambar 1 berikut. Distal Proximal
Metacharpal
KONSEP DASAR
Setiap tulang dan sambungan pada tangan memiliki derajat kebebasan (Degree of Freedom, DoF). Mekanisme tangan memiliki total sekitar 27 DoF, terdiri dari 25 DoF pada sambungan yang berbeda pada setiap jari dan 2 DoF pada pergelangan tangan. Ibu jari dengan 5 DoF, Jari
93
Gambar 1. Salah satu jari pada Tangan Mekanik
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pada masing-masing jari, terdiri atas beberapa bagian, yaitu: distal, proximal, metacharpal. Sedangkan bagian untuk melakukan mekanisme terdiri dari: ring penarik yang diteruskan melalui sambungan ke bagian tuas penarik.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan tangan mekanik menghasilkan bahwa rancangan bergerak dengan menggunakan total 11 DoF, dimana: jari telunjuk dengan 2 DoF, jari tengah dengan 2 DoF, jari manis dengan 2 DoF, jari kelingking dengan 2 DoF dan ibu jari dengan 3 DoF. Saat jari tangan melakukan pergerakan membuka dan menutup, setiap jari membuat sudut terhadap dasar tangan, seperti terlihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Sudut ujung jari (proximal) terhadap dasar tangan Besarnya sudut ujung jari (proximal) terhadap dasar tangan berkisar antara 240 - 270. Pada Ibu Jari, besarnya sudut saat ibu jari terbuka sebesar 1600.
V.
KESIMPULAN
Hasil perancangan dari tangan mekanik ini mempunyai 11 DoF, dimana jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari kelingking masing-masing 2 DoF dan ibu jari dengan 3 DoF. Saat melakukan simulasi menggenggam sebuah objek, tangan mekanik dapat melakukan genggaman terhadap benda dengan diameter maksimal adalah 50 mm. Untuk penelitian lanjutan, diperlukan perhitungan untuk menghitung kekuatan dari rancangan tangan mekanik ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan penulisan jurnal ini. Terima kasih, penulis sampaikan kepada Laboratorium Mekanika Komputasi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium Gambar Teknik, Program Studi Teknik Mekatronika, Politeknik Aceh yang telah menyediakan fasilitas kepada peneliti untuk melakukan simulasi dan perancangan tangan mekanik.
94
DAFTAR PUSTAKA Artkel Jurnal [1] Parida, P. K, Biswal, B. B. 2012. Design and analysis of a multifingered robot hand. International Journal of Robotics and Automation (IJRA) 1: 6977. [2] Kaneko, K, Harada, K, and Kanehiro, F. 2007. Development of multi-fingered hand for life-size humanoid robots. International Conference on Robotics and Automation. Roma. 913-920. [3] https://www.onshape.com
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perubahan Kurva Polarisasi AISI 304 Akibat Beban Siklik The Alteration of Polarization-Curve of AISI-304 Due to Cyclic Load. Syifaul Huzni1, M. Ridho Rahman1, Syarizal Fonna1, M. Ridha1 1 Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, University of Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Email :
[email protected].
Abstrak - Korosi lelah adalah merupakan salah satu fenomena yang terjadi pada material struktural yang menerima pembebanan berulang (repeating Loading), sehingga material tersebut adalah gagal menjalankan fungsinya. AISI 304 merupakan jenis baja yang tahan terhadap korosi, sehingga banyak digunakan sebagai material struktur yang dipekerjakan dalam lingkungan korosif.Peneliti sebelumnya, telah mempelajari pengaruh beban siklik terhadap kurva polarisasi of AISI 304 dalam lingkungan air laut buatan (3,5%NaCl). Namun, dalam kehidupan nyata, pemanfaatan AISI 304 tidak hanya pada lingkungan air laut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh beban siklik terhadap kurva polarisasi AISI 304 dalam media aquades. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin fatigue-testing tipe rotary bending. Spesimen fatik dibuat berdasarkan standar ASTM E 466-96 dan pengujian korosi lelah dilakukan berdasarkan standar ASTM F 1801-97. Beban fatigue yang diberikan adalah 92,38 MPa. Pengukuran potensial dan densitas arus dilakukan dengan potentiostat/Galvanostat. Hasil kajian menunjukkan bahwa, dalam range siklus 0 - 750x103, terjadi peningkatan nilai Icorr sebanyak 0,32-µA/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa aquades juga memberi pengaruh terhadap sifat korosi pada AISI 304, yang diamati dari perubahan kurva polarisasinya. Kata kunci :Korosi fatik, AISI 304, kurva polarisasi, beban siklik.
Abstract- Corrosion fatigue is one of the phenomena that occur in the structural material that receive repetitive loading (repeating Loading), so that the material is failing to perform its functions. AISI 304 is a type of steel that is resistant to corrosion, so it is widely used as a structural material employed in corrosive environments. Previous researchers have studied the effect of cyclic loading on polarization curves of AISI 304 in artificial seawater environment (3.5% NaCl). However, in real life, the use of AISI 304 not only in a seawater environment. Therefore, this study aims to understand the effect of cyclic loading on polarization curves media AISI 304 in distilled water. Examination is conducted using fatigue-testing machine type rotary bending. Fatigue specimens made by referring to the standard ASTM E 466-96, and corrosion fatigue properties testing carried out by referring to the standard ASTM F 1801-97. Fatigue load is applied to the sepesimen is 92.38 MPa. Potential and current density measurements performed by potentiostat / Galvanostat. The results showed that, in the cycle range 0 - 750x103, escalation of value-Icorr as much as 0,32-uA / cm2 has occurred.. This indicates that the distilled water also influences the corrosion properties of AISI 304, which is observed from the change in polarization curves. Keyword : Fatigue corrosion, AISI 304, polarization curve, cyclic load.
konstruksi. Secara teknis, baja jenis ini sudah didesain untuk tahan terhadap korosi, namun demikian, kondisi operasi dan lingkungan dimana konstruksi tersebut dioperasikan dapat mempengaruhi karakteristik AISI 304. Beban berulang dan lingkungan yang korosif dapat menjadi pemicu terjadinya korosi fatik yang pada akhirnya sangat beresiko terhadap kegagalan. Oleh sebab itu, penanganan yang tepat sangatlah diperlukan untuk mendeteksi lebih awal kegagalan yang terjadi pada AISI 304.
I. PENDAHULUAN Fenomena korosi fatik (fatigue corrosion) merupakan fenomena yang kerap kali terjadi pada suatu struktur akibat pembebanan berulang (Repeating loading). Fenomena ini pertama sekali ditemukan ditemukan sekitar tahun 1952. Penelitian secara terpadu terhadap fenomena korosi fatik baru dilakukan 10 tahun setelahnya. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa fenomena korosi fatik dipicu oleh kondisi lingkungan agresif dan mengalami beban berulang (cyclic loading) [1].
Penelitian sebelumnya [2] telah mempelajari perilaku AISI 304 dalam air laut buatan (3,5% NaCl). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa potensial arus (Ecorr) semakin negatif dengan bertambahnya
AISI 304 adalah jenis material baja yang sering digunakan sebagai bahan untuk membangun suatu 95
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
siklus beban. Hal ini menunjukkan bahwa material akan semakin terkorosi bila berada di lingkungan korosif.
counter untuk mengetahui siklus lelah spesimen. Proses pengujian dilakukan pada putaran tetap karena mesin tidak menyediakan fasilitas yang dapat mengontrol putaran. Pengaturan beban pada spesimen dilakukan secara manual melalui beban standar yang tersedia di mesin [3]. Mesin tersebut telah dimodifikasi dalam penelitian sebelumnya [4] dengan melakukan penambahan ruang cairan (liquid chamber), wadah penampung dan pompa sirkulasi cairan.
Dalam kenyataannya AISI 304 tidak hanya diaplikasikan pada lingkungan air laut saja, namun sering juga diaplikasikan pada konstruksi yang berhubungan dengan media lain seperti media aquades. Karakteristik AISI 304 terhadap korosi fatik dalam media aquades belum diketahui, sehingga penelitian ini difokuskan untuk mempelajari perilaku AISI 304 dalam media aquades yang mengalami beban berulangulang.
Pipa masukan dan keluaran dihubungkan pada satu resevoir(penampung)media cair transparan yang memiliki kampasitas ± 25 liter (1cm2 area uji = 1L media air laut buatan) dan didalam wadah tersebut ditempatkan pompa larutan mini (pompa aquarium) untuk memompa larutan pada pipa masukan reservoir larutan menuju chamber dan jika debit larutan dalam chamber telah melebihi kapasitasnya maka akan keluar ke pipa keluaran dan di buang menuju resevoirsehingga terjadi sirkulasi larutan dari reservoir ke chamber dan chamber ke reservoir.
II. METODE A. Material dan Goemetri Spesimen Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Rekayasa Material, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas SyiahKuala, Banda Aceh. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah AISI 304 yang diperoleh dari pasaran lokal Banda Aceh. Bahan tersebut selanjutnya dibentuk secara mekanis (turning) agar sesuai dengan standar ASTM E 466-96. Bentuk dan geometri spesimen uji diperlihatkan pada Gambar 1.
Laju aliran dikontrol400 ml/menit [5] untuk menghindari terjadinya atau terperangkapnya gelembung-gelembung udara (void) dan terjadinya erosi korosi pada area uji spesimen, dalam reservoir ditempatkan pengaduk yang berfungsi untuk mengaduk dan dalam reservoir juga dialirkan gelembunggelembung udara melalui pompa udara untuk menstabilkan kandungan oksigen dalam larutan. Sehingga diharapkan pengaruh komposisi media tetap dapat dipertahankan. Set-up mesin uji kelelahan yang dilengkapi dengan alat sirkulasi media sesuai dengan standar ASTM F1801-97 [6] ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 1. Bentuk dan geometri spesimen uji
Untuk menghilangkan pengaruh kekasaran permukaan terhadap hasil yang diperoleh, spesimen hasil pembentukan mekanis diberi perlakukan lanjutan berupa grinding dan polising. Proses grinding dilakukan secara bertahap dari grid 800 sampai sampai dengan grid 1200, sementara proses polishing menggunakan serbuk alumina sampai menghasilkan permukaaan halus dan mengkilap. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya konsentrasi tegangan pada lokasi tertentu akibat permukaan yang kasar. B.
Gambar 2. Set-up mesin uji
Pengujian untuk mendapatkan kurva SN dilakukan pada tiga tingkat pembebanan yaitu 10, 8 dan 2 Kgf. Metode pengukuran polarisasi korosi dilaksanakan berdasarkan standar ASTM G5-94. Pengukuran kurva polarisasi elektrokimia diukur pada siklus 0, 250x103, dengan tegangan konstan 92.38 MPa (beban 2 Kgf) dan lingkungan Aquades menggunakan galvanostat Hokuto Denko HA-301 dan ossiloscope Tektronik
Peralatan Pengujian
Mesin uji yang digunakan dalam kajian ini merupakan jenis Rotary Bending Fatigue Testing Machine merk JTT JT Toshi Inc, Tipe FTO-10 dengan putaran mesin 2900 rpm yang dilengkapi dengan 96
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
TDS 304. Set-up pengukuran polarisasi elektrokimia ditunjukkan pada Gambar 3.
umum, terjadi perubahan bentuk kurva pada setiap jumlah siklus beban yang diberikan.
Gambar 5. Hasil uji polarisasi Secara lebih detil dapat diperhatikan bahwa pada siklus awal (N=0), potensial Ecorr didapatkan -89 mV dan nilai Icorr sebesar 0,47 µA/cm2. Nilai tersebut berubah pada siklus 250 x 103, nilai Ecorr -98 mV dan nilai Icorr sebesar 0,49. µA/cm2. Pada siklus 500 x 103 nilai Ecorr mengalami penururun walau kecil sebesar 101 dan naik nya Icorr sebesar 0.69 µA/cm2. Terakhir pada siklus 750 x 103 nilai Ecorr sebesar -102 mV dan nilai Icorr sebesar 0,79 µA/cm2.
Gambar 3. Set Up Pengukuran Polarisasi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kurva S-N Pengujian korosi lelah baja AISI 304 telah di lingkungan aquades, menggunakan mesin uji lelah Rotary Bending Fatigue Testing Machine. Hasil pengujian ditampilkan dalam bentuk kurva S-N seperti terlihat pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan dalam Gambar 5, diketahui terjadi perubahan nilai potensial korosi AISI 304 akibat pembebanan berulang. Namun hasil yang diperoleh belum menunjukkan kecenderungan tertentu sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kecenderungan tersebut.
IV. KESIMPULAN Penelitian korosi lelah baja AISI 304 yang diberikan beban siklik dalam larutan aquades telah selesai dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan adanya kenaikan nilai Icorr sebesar 0.32 µA/cm2 seiring dengan kenaikan siklus dari 0 hingga 750 x 103. Gambar 4. Kurva SN hasil pengujian
Oleh karena itu, didapatkan bahwa baja AISI 304 pada lingkungan larutan aquades yang diberikan beban siklik mengalami perubahan kurva polarisasi. Sehingga baja AISI 304 memungkinkan pula untuk mengalami kegagalan lelah.
Gambar 4 menunjukkan kurva S-N dari AISI 304 dalam lingkungan media aquades, terlihat bahwa adanya kenaikan jumlah siklus hingga 107 seiring dengan menurunnya tegangan yang diberikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
B. Kurva Polarisasi
Penelitian ini dilakukan dengan biaya dari Hibah Fundamental DIKTI tahun 2015 dengan judul “Analisa Pertumbuhan Pit dan Perubahan Kurva
Pengaruh beban berulang terhadap karater korosi fatik ditunjukkan melalui perubahan kurva polarisasi sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5. Secara 97
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Polarisasi Baja AISI 304 yang Mengalami Beban Siklik”.
lengkap dapat dilihat pada http://fsd.unsyiah.ac.id/syifaul/
DAFTAR PUSTAKA [1]
Murdjito dkk, Studi Corrosion Fatigue Pada Sambungan Las SMAW Baja Api 5l Grade X65 Dengan Variasi Waktu Pencelupan Dalam Larutan HCl, Fakultas Teknik Kelautan, ITS, 2010.
[2]
Herdi Susanto, Perilaku Korosi Lelah Baja Tahan Karat AISI 304 Dalam Lingkungan Air Laut Buatan, Tesis Mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala Aceh, 2012.
[3]
Fontana. MG, Corrosion Engineering, New York, McGraw Hill, 1978
[4]
Rizky M., Inisiasi dan Pertumbuhan Pit pada Korosi Lelah Baja Tahan Karat AISI 304 dalam Lingkungan Air Laut Buatan, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, 2013.
[5]
ASTM STP 81, Enviromental Influences on the Aqueous Fatigue Crack Growth Rates of HY130 Steel, editor Oleh T. W. Crooker,ASTM Committee E-9 on Fatigue Manual Operation, “Manual Operation For 10 Kgf-m Rotary Bending Fatigue Testing Machine Model FTO 10”, JT. TOHSI Inc, Tokyo, 1997.
[6]
BIODATA PENULIS UTAMA Syifaul Huzni adalah dosen pengajar di Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Riset berbasis computationalandsimulation, khususnya dalam area mechanical, corrosion, material failure dan biomechanics merupakan topik yang ditekuni saat ini. Topik riset tersebut dikembangkan di Laboratorium Rekayasa Material, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Selain mengembangkan riset yang bersifat scientific, juga terlibat dalam beberapa kegiatan penyelesaian masalah teknis di industri yang ada di Aceh. Material Teknik, Metallurgy Fisik, Metallurgy Serbuk, Metode Penelitian, Pemograman Komputer, Metode Komputasi, Pemilihan Bahan dan Proses merupakan mata kuliah yang diasuh pada program S1 dan S2 Teknik Mesin serta S2 Teknik Industri. Profil 98
web
berikut:
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisa Distribusi Tegangan Pada Hip Stem Prosthesis Dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga Stress Distribution Analysis of Hip Stem Prothesis Using Finite Element Method Syifaul Huzni1, Rizky S.1, S. Fonna1, S. Thalib1, M. Ridha1, A.K. Arifin2 1
Department of Mechanical Engineering, Faculty of Faculty of Engineering, University of Syiah, Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia. 2
Department of Mechanical and Materials Engineering, Faculty of Engineering and Built Environment, Universiti Kebangsaan Malaysia 43600 Bangi Selangor Malaysia. Email :
[email protected]
Abstrak –Finite element analysis terhadap tegangan yang terjadi pada hip stem prosthesis jenis AML (Anatomic Modullary Locking) yang dikembangkan untuk postur penduduk indonesia dipaparkan dalam paper ini. Bentuk dan ukuran hip stem prothesis yang digunakan dalam kajian ini merujuk kepada hasil penelitian sebelumnya. Panjang stem yang dipilih adalah 140 mm dan diameter ball head adalah 38 mm. Analisa dilakukan untuk kondisi dimana beban diletakkan pada ballhead (statik loading), dengan asumsi berat badan 70 kg sebagai beban. Distribusi tegangan untuk kondisi membungkuk dan bersimpuh dianalisa untuk menentukan magnitude dan lokasi tegangan maksimum pada hip stem yang dibangun. Hasil kajian menunjukkan bahwa tegangan von Misses tertinggi terjadi di area sekitar leher stem. Namun magnitude tegangan yang terjadi masih di bawah batas limit bahan. Dengan demikian kajian lanjutan untuk kondisi pembebanan dinamik dapat dijalankan.
Kata kunci :Finite element analysis, beban statik, distribusi tegangan dan hip stem prosthesis
Abstract - Finite element analysis of stress that occurs in the hip stem prosthesis type of AML (Anatomic Modullary Locking) developed for the posture of Indonesia discussed in this paper. The shape and size of the hip stem prosthesis used in this study refers to research that has been done before. The selected stem length is 140 mm and the diameter of the ballhead is 38 mm. Analysis is made to a condition where the load rested on the ballhead (static loading), assuming a body weight of 70 kg. The stress distribution for bowing and kneeling position were analyzed to determine the location and magnitude of maximum stress occurs in the hip stem prosthesis developed. Analysis of the stress distribution for both, bowing and kneeling positions, indicates that the maximum von-Misses stress is concentrated on the area around the neck of the hip stem prosthesis. However, the amount of stress that occurs is still below the yield limit of the material. These conditions provide opportunities for carrying out further analysis on dynamic load conditions.
Keyword: Finite element analysis, static loading, stress distribution, hip stem prosthesis.
of inflammation and swelling of the joints, thus causing stiffness and difficulty in moving. Among the types of arthritis is osteoarthritis which are prevalent in the elderly. According to WHO, in 2025 the elderly population in Indonesia will increase by 414% compared to 1990 [1]. It is the possibility of finding cases of osteoarthritis disease which required a total hip replacement arthroplasty in the future become even greater. Beside arthritis, total hip replacement arthroplasty is also implemented in the case of hip fracture. The damage that occurs in the hip joint due to fracture is usually caused by injury or accident.
I. INTRODUCTION Total hip replacement arthroplasty (THA) is one among treatments performed by orthopedic doctors in order to overcome problems that occur in the hip joint. Total hip arthroplasty is the process of replacing the pelvic bone with an artificial hip bone (known as the hip stem prosthesis) which consists of a ball head, cup, and hip stem. The problem is caused by diseases such as arthritis. Arthritis is a general term for joint damage, as a result 99
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Hip stem prosthesis that is widely used in THA now, is a product of a prosthesis that is designed based on the posture of the Caucasian. The shape and size of the prosthesis is very suitable for the posture of a Caucasian which comes from Europe and America, but it can cause a problem if the prosthesis implemented for the people of Asia, including Indonesia.
Ultimate tensile strength
MPa
900-1200
Modulus of elasticity
GPa
110
Shear modulus
GPa
42
gr/cm3
4,3
-
0,33
Density Aside from the posture, the success rate of implantation of the prosthesis in humans is also influenced by the local culture. The influence of local culture, particularly among Indonesia, can be seen from the movement generated in the activities of daily life, such as standing, bowing and kneeling. Movements such as bowing and kneeling often carried out by the Asian race, but rarely carried out by European or American races. The movement is likely to be less considered in the design process of the prosthesis import because the movement is rarely carried out by the Caucasian race.
Poisson ratio
B. Geometry The type of prosthesis used in this study is the AML (Anatomic Modullary Locking). The shape and size of AML has been developed by previous researchers [2], which examines the influence of the size of the hip stem prosthesis to the safety-fatigue for the physical condition of Indonesian people.
This paper presents the results of investigations on stress distribution occurs in the hip stem prosthesis which received a loading due to bowing and kneeling positions. Anatomic Modullary Locking (AML) prosthesis, with geometry has been modified to fit with the average posture of the Indonesian [2], was employed in this investigation..
Figure 1 (a) shows the shape and geometry of the hip stem prosthesis were analyzed in this study. Stem length is 140 mm, ballhead diameter is 38 mm and the thickness-extrusion is 15 mm. Meshing process is carried out automatically by ANSYS 14.0, the arrangement of fine mesh used are shown in Figure 1 (b).
II. METHODS A. Material In addition to the strength and toughness, other important variables that need to be considered in the selection of materials for the prosthesis are biocompatibility, which shows the impact of the presence of the material to living tissue. One of the metal material that has a good biocompatibility is titanium and its alloys. These alloys have been widely used material in dental and orthopedic implants, artificial heart, artificial knee joints, screws for fracture fixation, and artificial hip joints [3]. Ti6Al4V is the type of titanium alloy that has been used as a prosthesis material, and has been used in a long period of time. Later known that for long-term use, Ti6Al4V is likely to cause toxic effects, which occur when there is aluminum and vanadium released into tissue. Nevertheless, the characteristics and properties of Ti6Al4V was used in this study. The mechanical properties of Ti6Al4V is shown in Table 1.
(a)
Table 1. Mechanical properties of Ti6Al4V Properties Tensile yield strength
Unit Mpa
Ti-6Al-4V 800
100
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
(b) Figure 1. (a) Shape and geometry of AML Hip stem prosthesis (b) Automatic fine mesh generated by ANSYS software
Figure 2. Transfer load model of intact and treated femur
C. Boundary Condition The load applied to solid models, transferred along the implant to the tip of the stem with a ball head as the recipient of the load from the weight of the body as seen in Figure 2 [4]. When the foot is moved, the load that occurs in the hip joint will be distributed in the direction of the x, y, and z as shown in Figure 3 [5]. For this study, load distribution is used to represent the condition of the people who have a weight of about 70 kg [6]. For bowing and kneeling position, force component that occurs in the ball head is shown in Figure 4. The amount of force components for bowing position is Fx = 95% BW (Body-Weight); Fy = -37% BW and Fz = -356% BW (orthoload.com, 2015), while the kneeling position has the force components Fx = 15% BW; Fy = 270% BW and Fz = -427.5% BW [7].
Figure 3. Theoretical force distribution on the femur.
101
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
(a)
(b)
Figure 4. Loading component (a) bowing (b) kneeling (b) The boundary conditions of the hip stem prosthesis for bowing and kneeling positions were applied in finite element analysis is shown in Figure 5.Blue areas in Figure 5 (mark with A ) shows the area that is inserted into the bone, so it is considered as fixed, displacement does not occur in the x, y and z direction. Point B and C show the location of the load applied to the prosthesis, adjusted to approach the load transfer model which has been developed by previous researchers as has been shown in Figure 2.
Figure 5. Finite element boundary condition of (a) bowing and (b) kneeling position
III. RESULTS AND DISCUSSION A. Stress Concentration When designing a structure, the designer usually limit the maximum value of stress that may be undertaken by the material component of the structure, it is to ensure the structure is safe. Yield stress obtained from tensile testing is often used as a maximum limit of stress that may be applied to the material of a component structure. Selection of the yield point as the stress limit is based on a physical phenomenon in which the yield point is the end of the elastic deformation, and before the start of the plastic deformation. Plastic deformation leads to changes in the geometry of the material, which will affect the strength of the structure. The results of finite element analysis of the hip joint prosthesis for bowing and kneeling positions are shown in Figure 6 (b and c).
(a)
102
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Figure 6. Von-Misses stress distribution for (a) standing, (b) bowing, and (c) kneeling For comparison, also shown finite element analysis results to a standing position which has been investigated by previous researchers [2]. There is a high stress concentrations in the neck region of the hip stem prosthesis. Although the value of stress that occurs somewhat different, but the location of stress concentration is similar, lies in the notch area around the neck of the prosthesis stem. Theoretically, the presence notch to a structure will cause stress concentration. Notch corner is a narrow area that receives a greater stress than other regions. However, the magnitude of the highest stress obtained are still below the yield limit of titanium alloys used. The magnitude of the maximum stress obtained from the analysis are shown in Table 2. (a) Table 2. Maximum stress Position
Maximum von-Misses Stress (MPa)
Standing
36,873
Bowing
381,35
Kneeling
410,93
B. Stress Distribution Figure 6 shows that the pattern of stress distribution on the hip stem prosthesis analyzed are different based on the given position. For a standing position, as shown in Figure 5 (a), stress contours with high magnitude occurs below the neck of prosthesis. This is understandable, because in a standing position, the load is fully concentrated in the vertical direction parallel to the rod stem. So far it appears that the location of stress with high magnitude is changed, in line with the direction of the load received by hip stem prosthesis. In the bowing position, location of stress shifted laterally from the neck of the prosthesis, and headed to the top of the neck prosthesis for kneeling position (Figure 5 (a) and 5 (b)). Shifting the location of stress is going on along the notch, which connects the stem neck with the main stem rod.
(b)
IV. CONCLUSIONS The results of finite element analysis of the prosthesis showed that the amount of stress that occurs in bowing and kneeling positions are different. However, the maximum stress at both positions are under the yield limit of titanium alloy (Ti-6Al-4V)
(c)
103
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
used. The shape and geometry of the hip stem prosthesis still needs to be studied further because of a stress concentration in the area around the neck which has notched.
Syifaul Huzni, is a lecturer in the Department of Mechanical and Industrial Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Syiah Kuala. The research topics based on Computational and simulation, particularly in the areas of mechanical, corrosion, material failure and Biomechanics is carried past few years.
A. ACKNOWLEDGEMENTS The research was conducted at the Laboratory of Materials Engineering, Department of Mechanical and Industrial Engineering, Faculty of Engineering, University of Syiah Kuala.
The research was funded by the Hibah Bersaing DIKTI fiscal year 2016, entitled “Aplikasi Metode Elemen Hingga dalam Pengembangan Desain Femoral Stem Prosthesis Untuk Postur Tubuh Penduduk Indonesia”.
Aside from carrying out scientific research, he is also actively involved in seeking a solution to some technical problems in some industries in Aceh. Materials Engineering, Physical Metallurgy, Powder Metallurgy, Research Methods, Computer Programming, Computational Methods, Material Selection and Process is a subject which is taught in the Department of Mechanical Engineering (undegraduate and masters programs), as well as Industrial Engineering (Masters program). Detailed profiles can be viewed at (http://fsd.unsyiah.ac.id/syifaul/)
B. REFERENCES [1.] Kalim, Handono, Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Artikel Penelitian, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 12, 2014. [2.] Syifaul Huzni, Fitri Handayani, Syarizal Fonna dan M. Ridha. Analisis Hubungan Dimensi Stem dan Ballhead Terhadap Faktor Keamanan Fatik Hip Stem Prosthesis dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga. In Prosiding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, MT72. Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat, 2015 [3.] Elias, C.N.; Lima, J.H.C.; Valiev, R.; Meyers, M.A. Biomedical applications of titanium and its alloys. JOM, 60, 46–49, 2008 [4.] Jye, Wong King. Stress Analysis of Femur and Femoral Stems for Hip Arthroplasty, Master Thesis, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia., 2006 [5.] Bergmann, G., “Hip Joint Loading During Walking and Running, Measured in Two Patients”, in Journal Biomechanics, Vol. 26, hlm 969-990, 1993 [6.] Handayani, Fitri, Analisa Fatik Biomaterial Ti4Al-6V pada Desain Tulang Panggul Buatan (Hip Stem Prosthesis) Tubuh Manusia. Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2013 [7.] Kluess, Daniel, Influence of femoral head size on impingement, dislocation and stress distribution in total hip replacement, Institute for Biomedical Engineering, University of Rostock, Germany, 2006
BIODATA
104
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pemanfaatan Data Citra Satelit Terra Modis Untuk Monitoring Precipitable Water Vapor Di Gunung Sinabung Sumatera Utara Safridatul ‘Audah1, Mokhammad Nur Cahyadi2, Muhammad Taufik3 1, Politeknik Aceh Selatan 2,3 Jurusan Teknik Geomatika, FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1,3 Komplek Reklamasi Pantai, Jl. Merdeka, Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, Indonesia 23 Jl. Arief Rahman Hakim, Kampus Keputih, Sukolilo Surabaya, Kode Pos 60111. Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak – Uap Air (Precipitable Water Vapor/PWV) sebagai salah satu parameter atmosfer yang dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui kondisi cuaca di suatu daerah. Penelitian ini dilakukan untuk monitoring pola PWV di sebagian wilayah Sumatera Utara khususnya daerah yang terkena dampak dari letuan Gunung Sinabung yang dapat mempengarui perubahan cuaca, yang terjadi lewat semburan partikel-partikel vulkanik yang menghalangi energi matahari dan mendinginkan udara. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menggunakan citra Terra MODIS dapat digunakan untuk pengamatan PWV di suatu daerah dalam cakupan lebih luas. Metode transmitan dilakukan dengan membandingan reflektan permukaan antara kanal absorbsi (17, 18, 19) dan kanal non absorbsi (2 dan 5) yang terdapat pada sensor MODIS. Hasil yang didapat dari koreksi geometrik adalah RMS error 0.207137 ≤ 1 piksel memenuhi toleransi dari batas kesalahan koreksi dan Hasil penggambaran variasi spasial berupa peta pola sebaran PWV disajikan dalam bentuk peta gradasi warna untuk mengidentifikasikan besaran pola PWV berkisar 10 mm – 80 mm, hal ini ditandai dengan sedikitnya sebaran PWV yang ditangkap oleh sensor MODIS dan kondisi iklim pada saat sebelum dan sesudah terjadinya erupsi mengambarkan tingkat kekeringan dan basah. Kata kunci : Gunung Sinabung, PWV, TERRA MODIS Abstract – Precipitable Water Vapor (PWV) as one of the atmospheric parameters that can be used as information to know the weather conditions in an area. This study was conducted to monitor the pattern of PWV in parts of North Sumatra particularly affected areas of letuan Sinabung can influence the weather changes, that occur through bursts of volcanic particles that block solar energy and cool the air. Utilization of remote sensing technology using image Terra MODIS can be used for observation of PWV in a region within a broader scope. Transmittance method is done by comparing the surface reflectance between absorption channels (17, 18, 19) and the non-absorption channels (2 and 5) contained in the MODIS sensor. The results obtained from the geometric correction is RMS error 0.207137 ≤ 1 pixel meets the tolerance limit of error correction and the results of the depiction of spatial variation in the form of a map of the distribution pattern of PWV presented in map form gradations of color to identify the magnitude of the pattern of PWV ranges from 10 mm - 80 mm, it is marked with at least PWV distribution captured by the MODIS sensor and the climatic conditions at the time before and after the eruption of a portrait of the level of dryness and wet. Keyword : Mount Sinabung, PWV, TERRA MODIS
1.
lewat semburan partikel-partikel vulkanik yang menghalangi energi matahari dan mendinginkan udara. Pada peristiwa letusan gunung berapi ratusan ton sulfur akan dilepaskan ke atmosfer dengan kecepatan vertical tertentu sehingga dapat menembus ke lapisan tropofer dan lapisan stratosfer yang akan terditribusi ke tempat yang lebih luas dan jauh mengikuti sirkulasi global. Kemudian Sulfur akan bereaksi dengan oksigen dan uap air membentuk aerosol sulfat yang mampu menahan
PENDAHULUAN
Gunung berapi merupakan gunung yang berbahaya yang dapat merusak lingkungan jika gunung berapi mengalami kenaikan aktivitas gunung berapi pada lapisan atmosfer. Gunung berapi yang akan meletus memberikan dampak positif maupun negatif. dampak positif gunung berapi yang ada di sekitar lingkungan yaitu adamya potensi terjadi hujan horografis di daerah vulkanis. Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa ledakan besar gunung berapi bisa berdampak pada cuaca,
105
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pancaran sinar matahari yang memasuki atmosfer bumi (transmitansi) sehingga berpotensi menyebabkan pendinginan global, karena uap air merupakan salah satu komponen yang berada di atmosfer bumi dalam jumlah kecil yang dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan di bumi [4]. Letusan gunung berapi memiliki efek terhadap perubahan iklim secara dramatis untuk mengubah iklim global pada rentang waktu yang lama, Karena letusan ini secara eksplosif mempengaruhi iklim dengan menginjeksikan SO2 ke lapisan stratosfer, yang akhirnya dikombinasikan dengan uap air untuk membentuk aerosol sulfat yang menyebar ke sinar matahari dan mendinginkan permukaan [12]. Water vapoer dalam troposfer memiliki peranan penting dalam penyerap radiasi di udara yang akan mempengaruhi keseimbangan energy di atmosfer dan Pelepasan panas laten dari proses kondensasi yang merupakan sumber energy untuk memelihara proses-proses cuaca yang terjadi di atmosfer [10]. Pada penelitian ini Informasi transmitan uap air dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu untuk mendapatkan informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang dikaji [9]. Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh seperti data satelit Terra MODIS. Dari kanal-kanal tersebut, Transmitan uap air atmosfer yang tepat dapat diturunkan dengan melakukan perbandingan reflektan permukaan antara kanal absorbsi dan kanal non absorbsi dengan mengabaikan pengaruh variasi reflektansi permukaan [8].
Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Data
a) Pengolahan data Citra Terra MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spect roradiometer) adalah salah satu instrument pengamatan untuk menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi di dalamnya [1]. Pengolahan awal data Terra MODIS dimulai dengan melakukan proses georeference citra Terra Modis level IB untuk membuat citra sesuai dengan keadaan sebenarnya yang ada di bumi. Kemudian dilakukan Koreksi Geometrik untuk mengoreksi citra agar citra mempunyai bentuk, ukuran, dan posisi yang sesuai dengan kondisi bumi yang sebenarnya. Setelah itu melakukan konversi nilai digital ke reflektansi, metode yang digunakan untuk membuat reflektansi modis terkoreksi dari data digital number (DN) 16 bit adalah dengan metode koreksi atmosfer (simplified atmospheric correction) dengan menggunakan persamaan (1) berikut [13]. Ρ = G* SI+1 .................. (1) Dimana ρ merupakan reflektansi dan koefisien-koefisien Gain (G) dan Intercept (I) setiap kanal dapat dilihat pada meta data MODIS. Selanjutnya melakukan pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan citra pada daerah studi yang diinginkan setelah dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan ROI (Region of Interest). Metode yang digunakan adalah metode penginderaan jauh melalui penurunan transmitan pada pendeteksian absorbsi radiasi matahari uap air. Dalam menurunkan informasi transmitan uap air pada prinsipnya didasarkan oleh uap air [11]. Radiasi matahari yang dimaksud adalah radiasi matahari yang direflektansikan setelah ditransmisikan ke permukaan bumi dan dipantulkan kembali ke atmosfer. Teknik perbandingan 3 kanal dapat digunakan untuk menurunkan jumlah kandungan uap air di atmosfer pada daerah permukaan daratan yang bebas awan, sedangkan teknik perbandingan 2 kanal digunakan pada
II. DATA DAN METODELOGI Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data citra satelit Terra MODIS LIB yang mencakup sebagian wilayah Kecamatan Sumatera Utara, khususnya bagian yang terkena dampak dari letusan Gunung Sinabung pada bulan Agustus 2010. Secara geografis Gunung Sinabung terletak pada posisi 3o10’ Lintang Utara dan 98 o23,5’ Bujur Timur. Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Adapun tahapan – tahapan proses pengolahan data pada citra Terra MODIS LIB dapat dilihat pada diagram alir Gambar 1 berikut.
106
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 wilayah sun glint di laut serta di awan. kanal yang digunakan pada citra satelit Terra MODIS untuk menurunkan transmitan uap air antara lain kanal 2 dan kanal 5 sebagai kanal non-absorbs dengan nilai panjang gelombang masing-masing yaitu 0.865 µ m dan 1.240 µm. Kanal 17, 18 dan 19 digunakan sebagai kanal absorbsi dengan nilai panjang gelombang masing-masing kanal sebesar 0.905 µm. 0.936 µm dan 0.940µ m [8]. Adapun nilai transmitans menggunakan perbandingan 3 kanal dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (2) berikut ini:
posisi citra pada keadaan sebenarnya dan agar citra memiliki koordinat yang sesungguhnya di bumi. Pada proses georeferensi ini dilakukan pemilihan band yang akan kita gunakan dalam pengolahan algoritma untuk mengihtung nilai PWV. Sehingga data yang digeoreferensi tidak memilih semua band agar memperingan kerja komputer saat pengolahan berikutnya
.......
dimana Tabs = transmitans pada kanal absorbsi; ρ* = reflektansi terukur pada sensor; λ0 = nilai tengah panjang gelombang kanal absorbs (kanal 17, 18, 19); dan λ1, λ2 = nilai tengah panjang gelombang kanal non-absorbsi (kanal 2, 5). Setelah nilai transmitan uap air (Tabs) diperoleh, maka keseluruhan dari band 17, 18 dan 19 untuk water vapoer dapat dihitung dengan persamaan (3) berikut ini [2]-[3]. w = f17*w17+f18*w18+f19*w19 ........... (3)
Gambar 3. Citra Terra MODIS sebelum (a) dan setelah (b) proses georeferensi. Kanal yang digunakan pada citra satelit Terra MODIS untuk menurunkan transmitan uap air antara lain kanal 2 dan kanal 5 sebagai kanal nonabsorbs dengan nilai panjang gelombang masingmasing yaitu 0.865 µm dan 1.240 µm. Kanal 17, 18 dan 19 digunakan sebagai kanal absorbsi dengan nilai panjang gelombang masing-masing kanal sebesar 0.905 µm. 0.936 µm dan 0.940 µm. Hasil dari proses georeferensi ini sudah memiliki bentuk yang sesuai dengan kenampakan bumi sebenarnya (dapat dilihat pada Gambar 3), akan tetapi masih ada penyimpangan dari piksel yang menunjukkan posisi sehingga perlu dilakukan proses selanjutnya, yaitu koreksi geometrik.
dimana: w = uap air total (cm); fn= weighting factors band (dapat dilihat pada Gambar 2); dan wn = uap air pada band n (cm)
B. Koreksi Geometrik Citra Terra MODIS Proses geometrik ini merupakan proses untuk meregestrasi citra yang telah di georeferensi dengan menggunakan peta vektor pulau Sumatera. Hal ini dilakukan dikarenakan adanya titik yang mengalami pergeseran dimana titik sampel di laut yang masuk ke dalam piksel. Proses geometrik pada citra pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan peta administrasi Indonesia skala 1:1.000000. Batas toleransi untuk kesalahan RMSe adalah = 1 piksel, sehingga jika nilai RMSe saat pengolahan koreksi geometrik lebih besar dari 1 piksel maka harus diulang dalam peletakan titik-titik GCP sampai RMSe dalam koreksi geometrik ini bernilai kurang dari 1 piksel. Pada citra MODIS ini dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan 7 titik Ground Control Point (GCP) yang diletakkan pada tepi daerah penelitian (Gambar. 4).
Gambar 2. weighting factors band 17-19 citra MODIS untuk perhitungan uap air [8]
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Georeferen CitraTERRA MODIS Posisi citra yang terekam oleh satelit pada awalnya masih belum sesuai dengan keadaan kenampakan yang sebenarnya, sehingga harus dilakukan proses georeferensi untuk mengembalikan
107
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 4. Koreksi Geometrik Tabel.1. Daftar koordinat GCP citra TERRA MODIS
Dari Tabel 1. koordinat GCP diperoleh RMS error keseluruhan yaitu 0.207137. Proses koreksi geometrik pada citra ini sudah memenuhi toleransi yang batas kesalahan koreksi geometrik kurang dari 1 piksel.
Semakin cerah warnanya maka akan semakin tinggi nilai informasi water vapor yang diberikan. Gambar 5 adalah data hasil yang didapat pada tanggal 29 Juni – 29 Oktober 2010 dari satelit Terra MODIS dan pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada tanggal 29 Juni – 7 September 2010 menampilkan pola distribusi PWV relative tinggi dan gambar tersebut menginformasikan kondisi iklim pada saat tejadinya erupsi menggambarkan tingkat kebasahan, hal ini ditandai dengan beberapa wilayah yang miliki pola sebaran PWV hampir disetiap daerah. Sedangkan data hasil yang didapat pada tanggal 8 September – 29 Oktober 2010 memperlihatkan pola distribusi PWV yang cukup rendah, hal ini ditandai dengan sedikitnya sebaran PWV yang ditangkap oleh sensor MODIS dan kondisi iklim pada saat itu (sebelum dan sesudah terjadinya erupsi) mengambarkan tingkat kekeringan/ cuaca cerah. Dari hasi tersebut,
C. Hasil Variasi Spasial Pola Distribusi PWV Satelit Terra MODIS. Analisa PWV secara variasi spasial yang diperoleh dari pengolahan citra satelit Terra MODIS ini dilakukan dengan melihat pola distribusi harian mulai bulan Juni-Oktober 2010. Nilai variasi spasial PWV ini didapatkan dari hitungan estimasi kanal absorsi (17, 18 dan 19) dan non-absorsi (2 dan 5) untuk diketahui informasi cuaca atmosfer di Sumatera Utara khususnya daerah yang terkena dampak letusan Gunung Sinabung. Hasil penggambaran variasi spasial berupa peta pola sebaran PWV yang disajikan dalam bentuk peta gradasi warna yang mengidentifikasikan besaran pola water vapor yang terjadi.
108
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
maka dapat disimpulkan bahwa pola persebaran PWV memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal ini dikarena perbedaan kondisi topografi di setiap daerah Sumatera Utara terletak di kawasan rawan bencana seperti letusan gunung api yang dikaitkan pada bencana meteorologis akibat gangguan cuaca ekstrim.
Gambar 5. Peta informasi spasial water vapor (cm) dari data Terra MODIS diwilayah Gunung Sinabun (Sumatra Utara)
[5]Jika dikaitkan dengan lintang dan bujurnya, provinsi Sumatera Utara dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah timur dan Samudera Hindia di sebelah barat, Posisi geografis ini mengakibatkan gangguan cuaca ekstrim regional yang terjadi di perairan tersebut berdampak signifikan terhadap kondisi cuaca lokal di Sumatera Utara. Selain itu, Sumatera sebagai pulau besar di Indonesia bagian barat, berpotensi mengalami pola gangguan musiman (monsoon) dan lokal. Sehingga dapat
109
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
disimpulkan bahwa keadaan topografi memperngaruhi pola distribusi PWV. Hasil analisis ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (American Geophysical Union, 2002);[6];[13];[7].
Teknik penginderaan jauh seperti Citra satelit Terra MODIS dapat digunakan sebagai alat yang mampu memberikan informasi dalam menentukan dan monitoring pola sebaran kandungan uap air
IV. KESIMPULAN (precipitable water vapor/PWV) untuk mengetahui keadaan cuaca di suatu daerah dalam cakupan lebih luas, dan dari nilai PWV dapat diketahui peningkatan/penurunan aktifitas erupsi gununggunung yang aktif dalam periode waktu yang relatif. Lebih dari itu, aplikasi ini lebih efektif untuk digunakan karena harga operasionalnya lebih murah serta dapat digunakan setiap saat tanpa tergantung pada waktu. water vapor memiliki peran penting yang sangat kuat dalam proses terjadinya perubahan cuaca. Dari hasil variasi temporal, nilai PWV pada saat erupsi adalah 44.82 dan 50.55 mm. sedangkan pada saat sebelum dan sesudah erupsi adalah 19.7539.02 mm dan 27.11-28.52 mm. dari hasil tersebut diketahui bahwa kondisi cuaca pada saat erupsi menunjukkan kondisi cuaca lebih basah dibandingkan dengan sebelum dan sesudah terjadinya erupsi. Maka dapat disimpulkan bahwa potensi PWV meningkat seiring dengan terjadinya peningkatan aktivitas erupsi Gunung Sinabung, dan potensi PWV menurun saat aktivitas erupsi berkurang. Hal tersebut bisa terjadi karena peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Sinabung dapat memperngaruhi jumlah water vapor jika terjadi letusan sehingga menghalangi proses radiasi matahari kepermukaan bumi sehingga menyebabkan suhu di daerah tersebut rendah
[4]
Hamdi, S., (2014), “Kajian Peningkatan Kandungan Aerosol Stratosfer Akibar Letusan Gunung Berapi”. Penelitian Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Berita Dirgantara LAPAN, Vol.15, No.2, Hal 40-49. Handayani, A.S., (2010),“Analisis Daerah Endemik Bencana Akibat Cuaca Ekstrim di Sumatera Utara “, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 11. No. 1. hal. 54 – 58. Handoko, (1995), Klimatologi Dasar, Pustaka Jaya. Hidayat., T, (2011), ”Tinjauan Kandungan Uap Air di Atmosfer untuk Penentuan Situs Astronomi di Indonesia”, Prosidings Seminar Himpunan Astronomi Indonesia, Eds : Dermawan et al., Institud Teknologi Bandung, hal. 57-60. Kaufman, Y.J, and B.C. Gao, 1992. Remote sensing of water vapor in the near IR from EOS/MODIS. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. Vol. 30, No.5: 871 – 884. Lillesand.T.M., and R.W.Kiefer, (1979), Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons, New York. Miller, A., Thompson, J. C., Peterson, R. E. and Haragan, D. R., (1983), “Elements of Meteorology”, Charles E. Merrill Publishing Company, Fourth edition, Columbus. Sopan Parwati, dkk., (2005). Verifikasi Air Mampu Curah Dari Data MODIS Untuk Mendukung Informasi Cuaca Spasial dilahan Pertanian Pulau Jawa. Jurnal Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa. MAPIN XIV. hal.8593. Robock, A. (2000). Volcanic Eruptions and climate, Rev. Geophys., Vol.38, hal.191–219. Setiawan, P. dkk. (2006), “Estimasi Air Mampu Curah Menggunakan Data MODIS sebagai Informasi Cuaca Spasial di Pulau Jawa” Jurnal Penginderaan Jauh, Vol. 3, No.1, hal.64-76
[5]
[6] [7]
[8]
[9]
[10]
[11]
DAFTAR PUSTAKA [1] Danoedoro, Projo, (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. CV andi offset. Yogyakarta [2] Gao, B.C., P. Yang, G. Guo, S.K. Park, W.J. Wiscombe,and B. Chen, 2003. Measurements of water vapor and high clouds over the Tibetan Plateau with the Terra MODIS Instrument. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. Vol. 41, No.4: 895 –900 [3] Gao, B.C. and Y. J. Kaufman, (2003). Water Vapor Retrievals Using Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) NearInfrared Channels. J. Geophys Research. Vol. 108, No. D13,4389: 1 – 10
[12] [13]
.
110
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisa Permukaan Patah Pegas Ulir Suspensi Depan Mobil Sedan Analysis on The Surface of Broken Screw Spring Front Car Suspension Husaini, Nurdin Ali, dan Agustian Bakhtiar Laboratorium Mekanika Komputasi, Program Studi Teknik Mesin, Fak. Teknik-Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syeh Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111 Phone/Fax:+62-651-7428069 E_mail:
[email protected];
[email protected]
Abstrak - Pegas ulir adalah salah satu komponen elastisitas utama dari sistem suspensi kendaraan. Pada kondisi pengaplikasiannya, pegas ulir dapat mengalami kegagalan akibat ketidak mampuan dalam menahan beban. Penyebab kegagalan tersebut perlu di kaji secara akademis lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan mengetahui penyebab kegagalan pegas ulir dengan menganalisa permukaan patah. Untuk keperluan itu telah dibuat 3 (tiga) jenis spesimen, ditujukan untuk pemeriksaan komposisi kimia, pengujian kekerasan dan pengamatan permukaan patah serta di hitung tegangan geser yang terjadi pada pegas. Hasil pengujian menunjukkan kekerasan permukaan dalam pegas lebih keras dari penampang pegas. Selanjutnya, hasil analisa permukaan patah, menunjukkan kegagalan yang terjadi pada pegas ulir adalah patah fatique yang di tandai dengan adanya awal retak dan garis-garis pantai. Awal retak terjadi akibat pemusatan tegangan pada satu titik yang disebabkan karena adanya keausan fretting. Kata kunci : pegas ulir, analisa permukaan patah, kegagalan fatik Abstrack – Coil spring is one of the main components of the elasticity of the suspension system of the vehicle. On the conditions of application, the Coil spring can fail due to an inability in holding the load. This research aims to know the cause of the failure of the screw spring with broken surface analyses. For the purposes that have been made in three types, devoted to an examination of the chemical composition, hardness testing, and fracture surface analysis and calculate the shear stress that occurs in the spring. The test results indicated the hardness of the surface in the spring is stiffer than the surface of a spring. Furthermore, the results of the analysis of the surface broken, indicating a failure that occurred on a spring screw is fatigue failure in the mark early by the presence of cracks initiation and benchmark. Crack initiation occurred because the concentration at one point caused due to fretting on spring surface. Keywords : screw spring,fracture surface analysis, fatigue analysis
I.
terjadinya retakan, tahap penjalaran retakan, dan tahap akhir atau patah [5]. Menurut beberapa hasil penelitian yang dilakukan Zhu et. al terkait kegagalan fatik pada pegas ulir ditemukan bahwa adanya cacat kerena kontak fisik dan gesekan menyebabkan pegas ulir patah [1]. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Kosec et. al ditemukan bahwa kegagalan fatik pada pegas ulir terjadi akibat korosi yang terdapat pada posisi patahan [6]. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas dapat diperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kegagalan pada pegas ulir. Oleh karena itu, penyebab kegagalan tersebut perlu di kaji secara akademis lebih lanjut dengan menganalisa permukaan patah. Penelitian ini bertujuan menganalisa penyebab kegagalan pada pegas ulir melalui analisa permukaan patah pegas ulir. Diharapkan hasil dari analisa nantinya dapat menemukan penyebab kegagalan fatik yang terjadi pada pegas dan dapat memberikan rekomendasi kepada yang memerlukan.
PENDAHULUAN Pegas ulir merupakan sebagai salah satu komponen elastisitas utama dari sistem suspensi suatu kendaraan [1]. Suspensi diharapkan bukan hanya mampu menahan getaran namun juga dapat menahan beban akibat beberapa manuver kendaraan seperti halnya saat percepatan, pengereman ataupun pembelokan saat berada di jalan. Artinya suatu pegas suspensi harus mampu menahan, mengurangi, dan menyerab beban impak, beban puntir dan beban siklik [2]. Pada kondisi pengaplikasiannya, pegas ulir sering kali mengalami gagal lelah yang diakibatkan atas ketidak mampuan dalam menahan beban dinamis. Sering kali hasil dari gagal lelah pegas ulir disebabkan oleh beberapa faktor yang ditengarai yaitu: cacat bahan baku, ketidak sempurnaan permukaan, proses perlakuan panas yang tidak tepat, dan korosi [2,3,4]. Kegagalan akibat fatik merupakan mekanisme patah getas yang terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap awal
111
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 II.
Tabel 1. Bentuk permukaan perpatahan [8]
TINJAUAN PUSTAKA
Pegas adalah elemen mesin flexibel yang digunakan untuk memberikan gaya, torsi, dan juga untuk menyimpan atau melepaskan energi. Energi disimpan pada benda padat dalam bentuk twist, stretch, atau kompresi. Energi di-recover dari sifat elastis material yang telah terdistorsi. Pegas haruslah memiliki kemampuan untuk mengalami defleksi elastis yang besar. Beban yang bekerja pada pegas dapat berbentuk gaya tarik, gaya tekan, atau torsi (twist force). Pegas umumnya beroperasi dengan ‘high working stresses’ dan beban yang bervariasi secara terus menerus [7]. Pegas ulir umumnya terbuat dari kawat bundar, dililitkan lurus, Bentuk silindris dengan jarak bagi konstan antara lilitan satu dengan lilitan berikutnya. Panjang pegas tanpa beban disebut panjang bebas. bila dikenakan gaya tekan, lilitan-lilitan pegas tertekan semakin dekat sampai semua bersinggungan, dan pada saat itu panjang pegas minimum dan disebut panjang solid [7].
III.
METODE PENELITIAN
A. Material Dugaan awal material pegas ulir yang diuji adalah ASTM A227 sesuai dengan standat material yang umum di gunakan untuk pembuatan pegas. Standar komposisi material ASTM A227 dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Material ASTM A227 C Si Mn Cr P S 0.45- 0,15- 0.300,03 0.85 0,35 1.30 Standar sifat mekanik material ASTM A227 dapat di lihat pada Tabel 3.
Gambar 1. Pegas ulir tekan dan notasi untuk panjang dan gaya
Tabel 3. Sifat Mekanik ASTM A227 Modulus Modulus Teganggan Density Geser, G Tarik, E Geser, 3 g/cm (Gpa) (Gpa) (Mpa) 7700 700
Lelah adalah bentuk kegagalan yang terjadi pada struktur mengalami tegangan dinamis dan berfluktuasi (misalnya, jembatan, komponen pesawat, dan mesin). Dalam keadaan ini memungkinkan kegagalan terjadi pada tingkat tegangan yang lebih rendah dari kekuatan tarik atau yield pada beban statis. Istilah "Lelah" digunakan karena jenis kegagalan ini biasanya terjadi setelah tegangan atau siklus regangan yang berulang dalam waktu yang lama [8].
B. Persiapan Spesimen Pengujian komposisi kimia akan dilakukan dengan menggunakan mesin Scanning Electron Microscope, Enrgy Dispersion X-ray Spectroscopy (SEM, EDS), bentuk spesimen uji komposisi kimia dapat di lihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Spesimen uji komposisi kimia
112
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui nilai kekerasan pegas ulir dengan metode pengujian kekerasan Vikers, bentuk spesimen uji kekerasan dapat dilihat pada Gambar 3.
sumbu pegas, (B) adalah sisi bagian bawah sumbu pegas, dan (O) adalah bagian luar sumbu pegas [4].
Gambar 3. Spesimen uji kekerasan
Gambar 5. Titik pengujian kekerasan permukaan dalam
Spesimen uji Scanning Electron Microscope (SEM) diambil pada permukaan pegas yang mengalami kegagalan/ patah, spesimen uji SEM dapat di lihat pada Gambar 4.
D. Analisa Permukaan Patah Analisa permukaan patah telah dilakukan dengan dua metode pengamatan, pengamatan pertama dilakukan analisa visual dan pegamatan kedua dilakukan pengamatan dengan alat bantu foto SEM. Pada pengujian ini mesin yang di gunakan adalah Hitachi TM 3000 Tabletop SEM. E. Analisa Tegangan Geser Analisa mekanik adalah salah satu cara untuk mengetahui penyeb kerusakan pada pegas ulir akibat beban berlebih. Analisa tenggangan benban puntir yang terjadi pada pagas ulir, pada perhitungan akan di cari beban puntir minimum dan beban puntir maksimum. Setelah didapatkan nilai beban puntir maksimum akan di sesuaikan dengan beban puntir ijin ASTM A227 (700 N/mm2) agar dapat mengetahui beban puntir yang berkerja pada komponen pegas ulir tersebut masih dalam kondisi daerah aman terhadap gagal lelah. Untuk mengetahui apakah beban dinamis yang berkerja pada komponen pegas ulir masih dalam kondisi daerah aman terhadap patah lelah, maka digunakan diagram Goodman.
Gambar 4. Spesimen uji Spesimen uji Scanning Electron Microscope (SEM) C. Prosedur Pengujian Sebelum melakukan pengujian, spesimen terlebih dahulu dibentuk. Tujuan dibentuk adalah untuk mendapatkan bentuk spesimen uji sehingga mempermudah dalam pengujian. Pengujian komposisi kimia di lakukan dengan mengunakan SEM / EDS. Kekerasan diuji menggunakan metode pengujian kekerasan Vickers dengan standart ASTM E92. Prinsip pengujian dengan melakukan penjejakan atau indetasi pada sampel, dengan indentor intan berbentuk piramida dengan kemiringan sekitar 136. Pada pengujian ini benda uji ditekan dengan gaya yang telah ditetapkan pada alat uji vickers yaitu 10 kg serta waktu penekanan 15 detik. Titik pengujian kekerasa permukaan pegas ulir dapat di lihat pada Gambar 5. dimana permukaan pegas ulir terdiri dari beberapa sisi. (T) adalah sisi bagian atas sumbu pegas, (I) adalah sisi bagian dalam
(1) (2)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi Kimia Data yang didapatkan dari pengujian SEM/EDS akan di sesuaikan dengan standar komposisi material pegas. Dari hasil pengujian komposisi kimia dapat dinyatakan bakwa komposisi yang didapat mendekati standart material ASTM A227 seperti yang di tinjukkan pada Tabel 4
113
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Tabel 4. Perbandingan komposisi spesimen baja pegas dengan ASTM A227 Material C Mn P S Si Cr Baja Pegas
0.36
0.6
ASTM
0.45- 0.30-
A227
0.85
1.30
0
0,02
0.04 0,05
0.06 0.150.35
Hasil analisa pengujian menunjukkan kekerasan yang lebih rendah pada daerah permukaan, dan semakin tinggi kekerasannya untuk daerah yang lebih jauh dari permukaan. Hal ini tidak sesuai dengan distribusi baja pada umumnya. Peningkatan kekerasan yang cukup signifikan pada daerah permukaan,dan semakin rendah kekerasan untuk daerah yang lebih jauh dari permukaan [14]. Dikarenakan perlakuan panas dan pengerasan permukaan pegas.
0,09
0.03
Hasil pengujian komposisi kimia dapat dinyatakan bahwa material pegas ulir seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 4. yakni mendekati dengan standar ASTM A227 seperti unsur C, P, S dan Mn. Unsur seperti Si dan Cr tidak memenuhi standart ASTM A227. Baja pegas sebenarnya tidak mempunyai kekerasan tinggi sebagai sifat utamanya. Sifat utama dari baja pegas yang dipakai adalah elastisitasnya [17] Baja pegas sesuai standar ASTM A227 memiliki kandungan Carbon (C) 0,45% - 0,85%, dimana dari hasil uji komposisi 0.36% yang telah masuk sesuai standar dan dapat digolongkan sebagai baja karbon menengah. Unsur Sulfur (S) pada baja pegas berfungsi untuk membentuk inklusi dan tingginya kadar unsur tersebut bisa menurunkan keliatan (ductility) baja dan meningkatkan kemungkinan retak. Hasil uji komposisi telah sesuai dengan standar ASTM A227 yakni sebesar dimana dari hasil uji komposisi 0.02%. Baja pegas sesuai standar ASTM A227 memiliki kandungan Posfor (P) 0,04%, dimana dari hasil uji komposisi 0%, telah sesuai standart. Unsur Silikon (Si) pada baja pegas berfungsi untuk meningkatkan sifat mampu keras. Silikon (Si) yang tidak sesuai akan menyebabkan baja pegas mudah retak. Baja pegas sesuai standar ASTM A227 memiliki kandungan Silikon (Si) 0.15%-0.35%, dimana dari hasil uji komposisi kandungan Silikon (Si) 0.06%. Kandungan Silikon (Si) pada baja pegas sangat rendah dibandingkan dengan standar ASTM A227 sehingga mampu keras pada baja pegas menurun dan menimbulkan baja pegas mudah cacat. Unsur Mangan (Mn) pada baja pegas berfungsi untuk meningkatkan keuletan. Sesuai standar ASTM A227 kandungan Mangan (Mn) 0.30%-1.30%, sedangkan hasil dari uji komposisi adalah 0,60%.
Nilai Kekerasan (HVN)
Kekerasan Permukaan Pegas Ulir 500 400 300 200 100
kekerasan pegas ulir
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Jarak Dari Permukaan (mm) Gambar 5. Nilai kekerasan vikers (HVN) Pengujian kekerasan penampang spesimen pegas ulir menghasilkan nilai kekerasan permukaan pegas rata-rata yaitu 345 HVN di bagian T pegas, 417 HVN di bagian I pegas, 328 HVN di bagian B pegas dan 429 HVN di sisi bagian O pegas. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2. Hasil tersebut sesuai dengan nilai kekerasan standar ASTM A227, yakni 310-543 HVN. Nilai kekerasan yang terlalu besar menyebabkan fungsi elastisitas pegas cenderung berkurang dan ketika mendapat pembebanan maksimum pegas akan mudah mengalami keretakan [14]. Tabel 5. Nilai kekerasan vikers (HVN) pada permukaan luar pegas ulir Kekerasan (HVN)
B. Uji Kekerasan Grafik distribusi kekerasan pada permukaan dalam pada setiap titik ditampilkan pada Gambar 4.1. Hasil analisa pengujian kekerasan pada permukaan dalam pegas ulir menunjukkan distribusi kekerasan permukaan dalam pegas ulir cenderung tidak merata. Titik 1 menunjukkan nilai kekerasan terendah (289 HVN), titik 2 menunjukkan nilai kekerasan mulai meningkat (382 HVN), titik 5 menunjukkan nilai kekerasan tertinggi (455 HVN), dan distribusi kekerasan pada titik selanjutnya cendrung merata sampai pada titik 9 (434 HVN).
Titik 1
Titik 2
Titik 3
Titik 4
Titik 5
RataRata
T
286
400
421
237
382
345
I
400
446
409
400
432
417
B
231
409
231
381
390
328
O
392
392
434
471
458
429
C. Analisa Permukaan Patah Berdasarkan hasil investigasi visual menunjukkan bahwa, pegas ulir yang mengalami kegagalan patah getas dimana bentuk patah
114
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 membentuk sudut 45, hal ini dinyatakan bahwa patah yang terjadi pada pegas ulir adalah patah lelah. Patah ini dimulai dari permukaan, menuju kebagian tengah dan patah, diakibat beban yang terjadi diatas kemampuan material. Analisa terhadap dimensi penampang pegas ulir ditemukan bahwa, terjadi perubahan dimensi yang sanggat jelas atau yang dikenal dengan kehausan freeting, yaitu kehausan yang terjadi akibat adanya benturan dengan kumparan lain sehingga menimbulkan gaya gesek dan gaya tekan terhadap permukaan pegas ulir adanya gaya gesek dan gaya tekan Hasil inspeksi visual terhadap permukaan pegas ulir yang mengalami kegagalan ditunjukkan pada Gambar 6. Awal retak terjadi pada daerah aus di permukaan pegas yaitu sisi luar dari sumbu pegas dengan arah perambatan retak sama dengan tegangan kontak dua permukaan.
membentuk pola chevron, yaitu pola kerucut menuju awal retak, yang tunjukkan pada Gambar 7. Pola chevron
Gambar 7. foto SEM (a) menunjukkan adanya perambatan yang membentuk pola chevron Hasil analisa foto SEM terhadap permukaan patah pegas dengan 40x pembesaran optik diperlihatkan pada Gambar 8. memperlihatkan adanya awal retak (crack initiation) yang membentuk paritan dengan kedalaman sekitar . Hal ini diyakini bahwa retak tersebut adalah lubang korosi yang disebabkan oleh konsentrasi tegangan pada satu titik dan perubahan struktur pegas ulir, Korosi terbentuk akibat rusaknya cat pelindung dan bekas luka karena adanya tekanan dan gesekan. Pada tahap berikutnya, dilanjutkan dengan adanya garis-garis pantai dan patah akhir. Garis-garis pantai biasa ditunjukkan dengan garis-garis melingkar halus di daerah antara awal retak dan patah akhir. Garis-garis pantai lebih sering dikatakan sebagai tahapan perambatan retak.
Gambar 6. Permukaan patah pegas ulir. Titik 1 sebagai awal retak (crack initiation) titik 2 sebagai arah rambatan retak atau membentuk garis pantai (beach mark) dan titik 3 sebagai patahan tahap akhir (final fracture).
Garis Pantai
Dengan adanya keausan pada pegas ulir, maka terjadi inisiasi retak. Pembebanan selanjutnya menyebabkan awal retak dan perambatan sehingga terbentuk daerah retakan. Daerah retakan ditandai dengan adanya garis-garis pantai. Selanjutnya penjalaran retak akan berhenti setelah penampang pegas yang tersisa sudah tidak mampu menahan beban yang berkerja hingga akhirnya patah. Dapat dinyatakan bahwa pegas ulir pada kajian ini adalah digolongkan kedalam jenis patah lelah (fatigue fracture) ditandai dengan adanya garis-garis pantai (beach mark). Patah lelah ini terjadi akibat beban yang berubah-ubah atau berulang. Daerah patah akhir yang terjadi terlihat lebih luas dari pada daerah penjalaran atau daerah retak awal, hal ini menunjukkan tegangan nominal yang berkerja pada pegas ulir melebihi batas materialnya. Hasil analisa foto SEM terhadap permukaan patah pada pegas dengan 30 x pembesaran optik, menunjukkan adanya perambatan retak yang menjalar dari permukaan keseluruh permukaan yang
Awal Retak
Gambar 8. menunjukkan patah lelah yang dibuktikan dengan adanya awal retak dan garis-garis pantai Daerah awal retak (crack initiation) dan menunjukkan karakteristik dari keausan fretting yang berupa lubang-lubang tajam pada daerah fretting
115
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 sedemikian rupa hingga merupakan suatu takikkan (notch) yang menyebabkan pemusatan tegangan setempat sehingga daerah ini sangat sensitif terhadap pembentukan awal retak. Awal retak (crack initiation) dipercepat pula yang diakibat tegangan geser karena aksi tengangan kontak antara pegas ulir dan spesimen lain.
Dari hasil perhitungan tegangan geser yang di terima pegas ulir di bawah tegangan ijinnya, namun pegas tetap mengalami kegagalan lelah yang di sebabkan karena adanya sebuah crack yang merambat. Perambatan retak terjadi karena adanya beban dinamik yang terus-menerus dan dipercepat dengan adanya gaya gesek dan gaya tekan.
D. Analisa Tegangan Untuk mengetahui tegangan puntir maksimum maka akan dilakukan perhitungan secara eksak, sebagai berikut. Dengan diameter ulir 14 mm, diameter luar 80 mm, dan jumlah lilitan aktif 5. Beban kosong kendaraan 12258 N, ditambah 5 penumpang + barang 3232 N, dan total beban maksimum keseluruhan/ beban tolal sebesar 15690 N. Beban minimum yang diterima oleh 1 pegas ulir kendaraan sedan sebesar 3064 N, dan beban maksimum sebesar 3922,5 N. Dari hasil perhitungan beban puntir minimum yang diterima 1 pegas ulir sebesar 257.9 N/mm2, dan beban puntir maksimum yang diterima 1 pegas ulir sebesar 329,2 N/mm2. Baja pegas menurut ASTM A227 sebagai bahan pegas, yang dililitkan dalam keadaan panas, maka tegangan puntir yang di ijinkan = 700 N/mm2. Untuk mengetahui apakah beban dinamis yang berkerja pada komponen pegas ulir masih dalam kondisi daerah aman terhadap patah lelah, dapat di lihat pada diagram Goodman berikut:
V.
KESIMPULAN
Dari hasil analisa dapat di ambil beberapa kesimpulan sebagai berukut: Awal retak terjadi pada daerah keausan. Setelah retak awal terbentuk, ini menjadi titik maksimum tegangan yang memaksa retak menyebar. Kegagalan yang terjadi pada pegas ulir adalah patah lelah yang di tandai dengan adanya awal retak dan garis-garis pantai.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih di ucapkan kepada bengkel Duta Sahara Motor Lampenerot, Banda Aceh atas penyedian Spesimen ( pegas ) yang telah patah. Dan terimakasih kepada saudara Jumari yang sudah menerangkan kronologi patahnya pegas.
DAFTAR PUSTAKA Artikel jurnal [1] Zhu,Y. Wang,Y. Huang Y. Failure analysis of a helical compression spring for a heavy vehicle’s suspension system. Case studies in Eng Fail Anal, vol. 2, 2014, pp. 169–173. [2] Prawoto,Y. Ikeda, M. Manville, SK. Nishikawa, A. Design and failure modes of automotive suspension springs. Eng Fail Anal, vol. 15, 2013, pp. 1155–74. [3] Todinov. MT, Maximum principal tensile stress and fatik crack for compression springs. Int J Mech Sci, vol. 41, 1999, pp. 357–70. [4] Kosec. L, Nagode. A, Kosec. G, Kovacevic. D, Karpe. B, Zorc. B, Kosec. B, Failure analysis of a motor-car coil spring, CSEFA, vol. 41, 2014, pp 1 – 4. Buku: [5] Wahl, AM. Mechanical springs, McGraw-Hill Book Company, 1984 [6] Sularso, Dasar Perancangan Dan Pemeliharaan Elemen Mesin, 2004 [7] Callister. W, Materials Science and Engineering An Introduction. John Wiley & Sons. Inc, Printed in the United States of America, 2007 [8] Society of Automotive Engineers, Inc, Fatik Design Handbook 2nd Edition, Printed in U.S.A, 2014 [9] Robert L. Mott, P.E, Elemen-Elemen Mesin Dalam Perancangan Mekanis, Jilit 2, 2009. [10] Harsokoesoemo, Analisis Tegangan Dalam Bejana Tekan, Institus Teknologi Bandung, 1990 [11] John. E, Hand Book OF Comperetive World Stell Standards. Third Edition, 2004
Gambar 9 Diagram Goodman dari baja pegas ulir ASTM A227 Dari diagram kelelahan pada Gambar 9 pada titik pada sumbu mendatar diukurkan tegak lurus dan . Variasi yang diperhitungkan dalam tegangan puntir adalah 71,3 N/mm2 dan variasi yang diizinkan menurut standar ASTM A227 adalah 700 N/mm2 . Ini berarti bahwa keamanan terhadap kelelahan . Dapat disimpulkan bahwa hal ini berada cukup jauh dari nilai kelelahan materialnya sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan yang diakibatkan tegangan puntir cukup kecil.
116
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Prosiding seminar : [12] Thelning, K. E., Steel and Heat Treatment, jilid 2, Butterworths, London. [13] Abdillah. F, Analysis Kegagalan Komponen Pegas Ulir Luar K5 Pada Bogie Kereta Api, IKIP Vetran, Semarang, 2010. [14] Jack. A. Collins, Failure Of Materials In Mechanical Desain, jilid 2, New York, 1993. [15] Donald. J. Wuppy, Understanding How Commponen Fail, Jilid 2, New York, 1999 [16] Surdia. T dan Chiiwa. K, “Teknik Pengecoran Logam”, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000. [17] Hayes, M. Tech-spring report 15 end coil failures. Institute of Spring. 2015
117
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisa Pengaruh Deformasi Pada Pipa Baja Karbon A106 Terhadap TumpuanDengan Menggunakan Metode Elemen Hingga Analysis of Deformation Effect on the Support of Stell Pipe A106 by Using Finite Element Method Husaini, Amir Zaki Mubarak dan Nuzul Qadri Laboratorium Mekanika Komputasi, Program Studi Teknik Mesin, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia E-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstrak - Dalam suatu instalasi sistem perpipaan, penempatan jenis tumpuan sangatlah berpengaruh. Salah penempatan jenis tumpuan pada sistem perpipaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa displacement pada sistem perpipaan interkoneksi PIM 1 dan PIM 2 yang menyebabkan bergesernya tumpuan. Analisa displacement pada sistem perpipaan ini menggunakan simulasi Caesar II. Simulasi diawali dengan pembuatan model 3D pipa yang akan dianalisa pada softwere Caesar II. Material yang ditetapkan pada pemodelan adalah baja karbon A106 Grade B. Dari hasil simulasi didapat nilai reaksi tumpuan, displacement dan tegangan. Hasil simulasi reaksi tumpuanuntuk kondisi pembebanan operatingdengan nilai -8904,54 N pada node 50 dan kondisi pembebanan sustain dengannilai -5403,02 N pada node 50. Untuk kondisi pembebanan expansion nilai terbesar terdapatnode 50 yaitu -3501,53 N. Simulasi displacement menghasilkan displacement dalam arah x dan z, untuk kondisi pembebanan operating didapat nilai-79,5308 mm padanode 140 arah x dan pada arah z terdapat pada node 140 dengan nilai -159,5766 mm. Kata kunci: Analisa tegangan, displacement, tumpuan pipa. Abstract – In a piping system installation, placement type of support is very influential, any kind of support placement in piping systems can lead to failure. The purpose of this study was to analyze the displacement in piping systems interconnection PIM 1 and PIM 2, which causes a shift in the support. Analysis of displacement in piping system using Caesar II simulatin. 3D simulation begins with the manufacture of the pipe to be analized on software Caesar II set in the modeling is carbon steel A106 Grade B, from the simulation results obtained support reaction values, displacement and stress. The simulation results support reactions for operating loading condition with a value of -8904,54 N at node 50 and the loading condition sustain the value -5403,02 N at node 50. The loading condition expansion greatest value contained in the node 50 is -3501,53 N. Simulation generate displacement in the x and z, for operating load conditions obtained value – 79,5308 mm on a 140 node x and the z direction are the value of 159,5766 mm on the node 140. Keywords: Stress analysis, displacement pipe support
I. PENDAHULUAN Dalam sebuah industri atau kilang tidak luput dari sistem perpipaan, bertujuan untuk mengalirkan fluida cair ataupun gas. Sehingga proses produksi berjalan dengan baik. Dalam suatu sistem perpipaan, analisa tegangan wajib dilakukan, Untuk mengetahui jalur-jalur kritis pada sistem perpipaan dan untuk mengetahui jenis tumpuan apa yang tepat digunaan pada setiap titik jalur-jalur kritis pada sistem perpipaan tersebut. Tumpuan disuatu sistem perpipaan sangat lah berpengaruh karena kesalahan penempatan tumpuan atau tidak sesuai dengan yang di perlukan sistem perpipan tersebut akan gagal.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah ingin mengetahui besar nilai displacement yang menyebabkan deformasi pada tumpuan sistem perpipaan interkoneksi PIM 1 dan PIM 2. Analisa displacement pada sistem perpipaan ini hanya dilakukan analisa statik dengan menggunakan softwareCeasar II.
II. Dasar Teori Deformsi adalah perubahan bentuk yang dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu deformasi elastis dan deformasi plistis. Deformasi elastis adalah perubahan bentuk yang besifat sementara perubahan akan hilang bila gaya atau beban dihilangkan. Deformasi plastis adalah deformasi yang besifat
118
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 permanen meskipun gaya atau beban dihilangkan. Proses yang membuat deformasi plastis terjadi diakibatkan oleh gerakan dislokasi disebut slip. Bidang kristalografi yang dilewati oleh garis dislokasi disebut bidang slip (slip plane). Deformasi plastik dalam ukuran makro secara sederhana dapat disamakan dengan deformasi permanen yang dihasilkan oleh gerakan dislokasi atau slip sebagai dari akibat tegangan geser yang diberikan[5]. Pipa adalah sebuah silinder bundar yang digunakan untuk mengalirkan fluida cair dan gas.Dalam suatu perusahaan atau industri, pipa merupakan salah satu peralatan pokok diluar rangkaian proses yang dipergunakan untuk mengalirkan suatu fluida, yaitu berupa fluida cair dan fluida gas. Fluida yang mengalir ini memiliki temperatur dan tekanan yang berbeda-beda. Bentuk kontruksi pipa yang terdapat di suatu industri dipengaruhi oleh jenis fluida yang akan dialirkan melalui pipa tersebut dengan mempertimbangkan pengaruh lingkungan yang ada [6]-[9]
Gambar 1. Pipa Baja Dimensi suatu pipa dapat dilihat pada ASTM (American Society of Testing Materials), dimana akan dijelaskan mengenai diameter, ketebalan serta schedule pipa. Diameter luar (Outside Diameter), ditetapkan sama walaupun ketebalan (thickness) berbeda untuk tiap schedule. Diameter dalam (Inside Diameter), ditetapkan berbeda untuk setiap schedule. Diameter nominal adalah diameter pipa yang dipilih untuk pemasangan ataupun perdagangan (commodity). Ketebalan dan schedule sangatlah berhubungan, hal ini karena ketebalan pipa tergantung dari pada schedule pipa itu sendiri [6]. (1). Schedule pipa ini dapat dikelompokkan sebagai berikut : - Schedule 5, 10 , 20, 30, 40, 60, 80, 100, 120, 160. - Schedule standard - Schedule Extra strong (XS) - Schedule double Extra Strong (XXS) - Schedule special (2). Perbedaan-perbedaan schedule ini dibuat untuk : - Menahan internalpressure dari aliran - Kekuatan dari material itu sendiri (Strength of material)
- Mengatasi karat - Mengatasi kegetasan pipa. Tumpuan (support) adalah alat yang digunakan untuk menahan dan memegang sistem perpipaan. Tumpuan dirancang untuk dapat menahan setiap beban yang diterima oleh setiap instalasi sistem perpipaan. Beban tersebut bisa berupa berat pipa atau komponen-komponen yang menyangkut pada pipa, seperti isolasi dan lain-lain[4]-[10].
Gambar 2. Tumpuan Pipa Tabel 1.Jarak Maksimum Antara Tumpuan Suggested maximum span, ft (m) Water Steam, gas, or NPS (DN) service air service 1 (25) 7 (2.13) 9 (2.74) 2 (50) 10 (3.05) 13 (3.96) 3 (80) 12 (3.66) 15 (4.57) 4 (100) 14 (4.27) 17 (5.18) 6 (150) 17 (5.18) 21 (6.40) 8 (200) 19 (5.79) 24 (7.32) 12 (300) 23 (7.01) 30 (9.14) 16 (400) 27 (8.23) 35 (10.7) 20 (500) 30 (9.14) 39 (11.9) 24 (600) 32 (9.75) 42 (12.8) Sumber : Paul R. Smith, P.E [8] Jarak tumpuan adalah jarak maksimum antara tumpuan pertama dengan tumpuan kedua (jarak antara dua stumpuan), dimana sistem pipa masih dalam kondisi aman ( stress dan defleksi). Jarak tumpuan didapat dari perhitungan dengan menggunakan formula khusus dan kemudian disajikan dalam bentuk table, disebut pipe span support table [4]. Jenis-jenis tumpuan (1). Rigid support Rigid support digunakan untuk membatasi pergerakan pipa kearah tertentu, tanpa fleksibel dalam arah itu. Fungsi utama dari rigid support adalah anchor, rest, guide or both rest dan guide. (2). Spring support Spring support atau tumpuan fleksibel menggunakan helical kompresi coil springs untuk mengakomudasi beban dan gerakan yang disebabkan oleh ekspensi termal.
119
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 (3). Shubber/shock absorber Pembatasan dinamis, melakukan pembatasan yang fungsinya berbeda dari support yang bertujuan untuk membatasi pergerakan pipa akibat gempa, angin dan gangguan lingkungan lainnya. Metode Elemen Hingga atau Finite Element Method (FEM) merupakan metode numerik yang dapat digunakan secara luas untuk menyelesaikan masalah teknik dan fisika matematik [8]. CAESAR II adalah program komputer yang dibuat oleh COADE untuk memenuhi kebutuhan perhitungan pipe stress analysis, Software ini sangat membantu dalam desain mekanik dan sistem perpipaan. Penggunaan Caesar II dapat membantu permodelan sistem perpipaan dengan menggunakan simple beam element kemudian menentukan kondisi pembebanan sesuai dengan kondisi yang dikehendaki. Dengan memberikan/membuat inputan tersebut, Caesar II mampu menghasilkan hasil analisa berupa stress yang terjadi, beban, dan pergeseran terhadap sistem yang kita analisa [1].
Pipa tersebut berdiameter 8 inci menggunakan schedule 80 dan fluida yang dialirkan steam dengan tekanan 42 kg/cm2 dan temperatur 400 oC. dengan panjang pipa yang akan dianalisa 187000 mm.
C. Perhitungan Beban Pada Tumpuan Perhitungan beban pada tumpuan dilakukan untuk membandingkan dengan nilai yang dihasilkan software Caesar II. Dalam perhitungan ini hanya dilakukan perhitungan reaksi tumpuan dengan panjang pipa 3 meter. Di software Caesar II dilakukann juga simulasi reaksi tumpuan dengan panjang pipa 3 meter dan data yang di input adalah, volume pipa, massa dan berat pipa dengan ro pipa 7830 kg/m3, 13,893 kg/m3. Langkah-langkah menghitung beban pada tumpuan a. volume pipa V = L x π (rout2 – rin2) .....................2.1 b. massa. m = ρ x V ................................................2.2 c. berat pipa W = m x g...........................................2.3
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Teknik, Laboratorium Mekanika Komputasi Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala dan PT. PIM Aceh Utara untuk pengambilan data.
Dengan : L = panjang pipa V = volume m = massa w = berat pipa g = grafitasi
Dalam proses simulasi sistem perpipaan dalam penelitian ini menggunakan softwere Caesar II yang dijalankan pada sistem aplikasi windows.
a. b. c. d.
III.
METODE PENELITIAN
A. Pemodelan Pipa Dalam pembuatan model pipa yang akan di analisa, pemodelan langsung dibuat menggunakan software Caesar II. Pertama buka softwere Caesar, klik MENU FILE selanjutnya pilih NEW. Pilihlah satuan yang akan digunakan selanjutnya menginput parameter-parameter seperti pajang pipa, diameter pipa, schedule yang digunakan.
volume fluida V = π x Din2/4 x L...................2.4 massa. mfluida = ρfluida x Vfluida..........................2.5 berat fluida Wfluida = mfluida x g......................2.6 Wtotal = mfluida x mpipa......................................2.7
dimana : V = volume fluida D = diameter dalam pipa L = panjang pipa e. beban pada tumpuan ..................................................2.8 ..................................................2.9
Dengan : Ra dan Rb = reaksi tumpuan P = beban L = panjang pipa a dan b = jarak tumpuan dengan beban
Gambar 3. Pemodelan Pipa B. Material dan Data yang Digunakan Dalam simulasi ini, material pipa yang digunakan adalah A106GR B. Material tersebut adalah material yang digunakan dilapangan pada pipa yang dianalisa.
D. Analisa Displacement Analisa displacement tahap pertama yang dilakukan berupa memilih material A106 B yang terdapat didalam menu tool database, dan input nilai dari tekanan 4118,7949 kPa, fluida density 13,89300 kg/m3, temperature 400 oC, material isolasi calsiumsilite dengan tebal 100 mm, dan penempatan tumpuan.
120
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
b. massa. m = ρ x V
= 7830 kg/m3 x 0,0247 m3 = 193,401 kg
c. berat pipa W = m x g =193,401 x 9,81 = 1897,26 N d. volume fluida V = π x Din2/4 x L
Gambar 4. pipa yang telah diberikan tumpuan dengan maksimum jarak pertumpuan 3 m
= 3,14 x 0,0093799/4 x 3
E. Hasil Visualization Disini hasil simulasi dapat ditampilkan dengan model yang telah dibuat dalam bentuk animasi gerak dan juga dalam bentuk grafik yang akan menjadi acuan analisis. Selain itu, animasi gerak dapat diimport dalam bentuk Microsoft word dan Microsoft exel. Untuk tugas akhir ini yang akan ditampilkan adalah data hasil simulasi pergeseran, reaksi tumpuan dan tegangan yang akan diplot dalam sebuah grafik.
= 3,14 x 0,0023449 x 3 = 0,0220889 m3 e. massa fluida mfluida = ρfluida x Vfluida = 13,893 kg/m3 x 0,0220889 m3 = 0,30688 kg f. berat fluida Wfluida = mfluida x gravitasi = 0,30688 kg x 9,81 m/s2 = 3,01049 N g. Wtotal = mfluida x mpipa = 3,01049 N + 1897,26 N = 1900,27 N
Displacement Pipa
h. beban pada tumpuan
Kondisi Awal Pipa
Gambar 5.displacement pada pipa yang disebabkan oleh kondisi pembebanan statik
Dari perhitungan beban yang diterima oleh tumpuan pipa dengan pembeban statik menghasilkan nilai yang setimbang dari beban yang diterima oleh tumpuan. Nilai tersebut mendekati dengan nilai simulasi yang dihasilkan oleh software Caesar II dengan panjangan pipa 3 meter.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi reaksi tumpuan displacement dan tegangan yang diterima oleh pipa interkoneksi PIM 1 dan PIM 2 dengan menggunakan software caesar II. A. Perhitungan Beban Pada Tumpuan Tumpuan pipa yang menerima beban akan dihitung dengan panjang pipa 3 m, diameter luar 219,1 mm, diameter dalam 193,7 mm dan densitas pipa 0,00783 kg/cm3 atau 7830 kg/m3. a. Volume Pipa V = L x π (rout2 – rin2)
B. Titik Pengambilan Data Untuk pengambilan data dari hasil simulasi tersebut, digunakan titik acuan untuk mengetahui hasil yang didapat dari paparan reaksi tumpuan dan displacement dan tegangan berupa node. Dimana node disini dapat memberikan informasi hasil yang lebih jelas berupa nilai ataupun grafik. Ada sepuluh titik node yang diberikan, dimana sepuluh node tersebut yang menjadi batasan masalah yang dianalisa.
3 x 3,14 (0,109552 – 0,096852) = 3 x 3,14 (0,012 - 0,00938) = 9,42 (0,00262) = 0,0247 m3
121
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 5 6 7 8 9 10
Gambar 6. Penempatan Titik Node Pada Pipa C. Hasil Simulasi Reaksi Tumpuan Pada Pipa Hasil dari simulasi reaksi tumpuan dengan menggunakan software Caesar II, untuk model pipa interkoneksi di PT. PIM yang dipengaruhi oleh beban operating, sustain, expasion, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Hasil simulasi reaksi tumpuan dengan kondisi pembebanan expansion Kondisi Pembebanan Expansion No Node Fy (N) 1 50 -3501,53 2 35 2998,94 3 115 1708,15 4 14 -837,11
-605,73 354,79 -110,72 -58,04 33,12 18,11
Dari hasil simulasi di atas menunjukkan nilai gaya yang diterima dari setiap tumpuan dalam sumbu y bernilai bereda. Nilai yang terbesar diterima oleh node 50 dengan kondisi pembebanan operating, sustain dan expansion nilai reaksi tumpuan yang paling besar diterima oleh kondisi pembebanan operating, kondisi ini dipengaruhi oleh beban berat, tekanan dan temperatur. Dapat dilihat pada grafik dibawah.
Tabel 2.Hasil simulasi reaksi tumpuan dengan kondisi pembebanan operating Kondisi Pembebanan Operating No Node Fy (N) 1 50 -8904,54 2 100 -4762,07 3 132 -3072,41 4 14 -2910,22 5 134 -2907,13 6 12 -2545,07 7 10 -1006,88 8 140 -947,65 9 35 0 10 115 0 Tabel 3. Hasil simulasi reaksi tumpuan dengan kondisi pembebanan sustain Kondisi Pembebanan Sustain No Node Fy (N) 1 50 -5403,02 2 100 -4795,19 3 35 -2998,94 4 12 -2899,86 5 134 -2796,41 6 132 -2466,68 7 14 -2073,11 8 115 -1708,15 9 140 -965,77 10 10 -948,84
132 12 134 10 100 140
(a)
(b) Gambar 7. (a) pipa pendistribuian steam yang dianalisa, (b) grafik perbandingan nilai reaksi tumpuan dengan kondisi pembebanan operating Dari grafik pada gambar 7, menunjukkan gaya tertinggi diterima oleh kondisi pembebanan operating, mendapat nilai -8904,54 N pada node 50. Node 50 dapat dilihat pada gambar 7 (a). Grafik menunjukkan nilai gaya yang paling besar terdapat pada kondisi pembebanan operating, karena kondisi terebut dipengaruhi oleh berat, temperature dan tekanan. D. Hasil Simulasi Displacement Pada Setiap Node Pipa
122
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Hasil dari simulasi displcement setiap node dengan menggunakan software Caesar II untuk pemodelan pipa interkoneksi PT. PIM pengaruh beban operating, sustain, expansion, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Hasil simulasi displacement arah x,z akibat kondisi pembebanan operating Node DX mm DZ mm 10 0 -0.001 12 -15.761 -32.123 14 -31.522 -64.245 18 -32.547 -66.335 19 -33.668 -66.756 20 -34.101 -63.157 28 -34.024 -54.906 29 -34.93 -49.882 30 -37.212 -46.863 35 -48.917 -41.109 38 -51.003 -40.084 39 -53.276 -37.064 40 -54.149 -32.046 48 -51.075 93.353 49 -51.402 96.875 50 -52.469 96.422 60 -53.988 93.33 70 -54.387 92.517 80 -57.855 85.461 90 -58.254 84.649 98 -59.773 81.557 99 -60.988 77.408 100 -61.645 72.008 108 -65.463 -50.568 109 -64.597 -55.41 110 -62.325 -58.349 115 -60.236 -59.374 118 -48.518 -65.128 119 -46.23 -68.055 120 -45.311 -72.854 128 -45.361 -80.698 129 -45.848 -85.987 130 -46.984 -90.093 132 -48.009 -92.188 134 -63.77 -124.382 140 -79.531 -156.577 Dari hasil simulasi di atas menunjukkan nilai displacement yang diterima oleh setiap node, didapatkan nilai displacement dalam arah x, z akibat kondisi pembebanan operating. Nilai displacement terbesar yang diperoleh dalam sumbu x adalah 79,5308 mm terdapat pada node 140, dan pada sumbu z nilai pergeseran terbesar adalah -156,5766 mm yang terdapat pada node 140.
E. Grafik Displacement Pada Setiap Node Sumbu X, Y, Z, Dengan Kondisi Pembebanan Operating
(a)
(b) Gambar 8. (a) pipa pendistribusian steam yang dianalisa, (b) grafik perbandingan nilai displacementnode pada sumbu x, z dengan kondisi pembebanan operating Dari grafik pada gambar 8, menunjukkan displacement terbesar yang diterima oleh kondisi pembebanan operating, dengan nilai pada sumbu x adalah -79,5308 mm pada node dan pada sumbu z didapat nilai -156,5766 mm pada node 140. Node dapat dilihat pada gambar 8 (a). F. Hasil Simulasi Tegangan Pada Pipa Hasil dari simulasi tegangan pada elemen node pipa dengan menggunakan software Caesar II untuk model pipa interkoneksi di PT. PIM yang pengaruh beban operating, sustain dan expansion. Nilai tegangan yang dihasilkan dari software Caesar II adalah bending stress, torsion stress, code stress dan allowablestress. Dapat dilihat pada gambar berikut.
123
Tabel 6. Hasil simulasi tegangan pipa beban operating Nilai tegangan tertinggi dengan kondisi
type Operating
Tegangan (kPa) 24734,84
@ Node 50
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pembebanan operating
Bending torsional axial Hoop
9817,1020 739,3795 14915,18 31405,81
50 110 128 12
Dari hasil simulasi tegangan dengan kondisi pembebanan operating di atas menunjukkan nilai tegangan terbesar didapatkan nilai dari maximum stress 24734,84 KPa yang terdapat pada node 50.
(b)
Tabel 7. Hasil simulasi tegangan pipa beban sustain type Nilai tegangan tertinggi dengan kondisi pembebanan sustain
Code stress Bending torsional axial Hoop
Tegangan (kPa) 18255,96 4690,6260 95,4011 14895,32 31405,81
@ Node
Gambar 9. (a) pipa pendistribusian steam yang dianalisa (b) Grafik perbandingan nilai dari tegangan dengan kondisi pembebanan operating, sustain dan expansion
50 50 30 40 12
Tabel 8. Hasil simulasi tegangan pipa beban expansion Nilai tegangan tertinggi dengan kondisi pembebanan expansion
type Code stress Bending torsional axial Hoop
Tegangan (kPa) 5512,9060 5126,4760 712,7803 298,5978 0
@ Node 50 50 110 40 12
Pada tabel diatas hanya menunjukkan nilai tegangan tertinggi yang dihasilkan oleh node pada pipa yang di simulasi, dengan kondisi pembebanan operating, sustain dan expansion. Nilai dari tegangan dari semua node dapat dilihat pada lampiran. G. Grafik Tegangan Pada Pipa Dengan Kondisi Pembebanan Operating, Sustain, Ekspensi.
(a)
Dari grafik pada gambar 9, menunjukkan nilai tegangan terbesar yang diterima oleh kondisi pembebanan operating, dengan nilai tegangan 24734,84 kPa pada node 50. Node 50 dapat dilihat pada gambar 9 (a). Nilai tegangan dengan kondisi pembebanan expansion ini adalah nilai yang paling kecil dibandingankan dengan kondisi operating dan sustain. Karena kondisi pembebanan operating dan sustain disebabkan oleh berat, tekan dan temperature, sedangkan kondisi expansion hanya dipengaruhi oleh thermal. Nilai-nilai tegangan pada pipa tersebut masih dalam batas yang diizinkan menurut ASME B31.1 untuk kondisi pembebanan sustainallowable stressnya adalah 89041,3 kPa, sedangkan untuk kondisi pembebanan expansionallowable stress adalah 240417,8 kPa.
III. Kesimpulan Bedasarkan hasil simulasi displacement pada sistem perpipaan interkoneksi PIM1 dan PIM2, menghasilkan nilai displacement yang sangat besar, sehingga menyebabkan pergeseran pada tumpuan pipa. jadi dengan hasil displacement ini akan di pilih jenis tumpuan yang mampu membatasi pergerakan sistem perpipaan. Berdasarkan simulasi, tegangan yang terjadi pada pipa interkoneksi PIM 1 PIM 2 masih dalam katagori aman, karena tidak melebihi batas yang diizinkan. Batas tegangan yang diizinkan menurut ASME B31.1 untuk pipa pembangkit (power piping). Hasil simulasi reaksi tumpuan dan dibandingkan dengan perhitunngan reaksi tumpuan pipa dengan jarak antar tumpuan sejauh 3 meter, hanya untuk mlihat data yang diinput di software benar Simulasi pada softwere Caesar II hanya dilakukan analisa statik, karena dilihat dari kondisi sistem perpipaan menggunakan tumpuan statik. Yaitu tumpuan dengan jenis tumpuan kaki bebek atau dengan tipe slide.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. PIM Aceh Utara yang telah memfasilitasi 124
Proseding Seminar Nasional Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 penulis untuk mengambilan data, khususnya kepada bapak Ir. Irwansyah yang telah banyak membantu dan mengarahkan dalam pengambilan data dilapangan. DAFTAR PUSTAKA Artikel Jurnal [1] Bathe, K. J., & Wilson, E. L. (1976). Numerical Methods in Finite Element Analisys. Englewood Cliffs, New Jersey: Prencite-hall. [2] Kientzy, D. W., & Richardson, M. H. (1988). Combined Testing and Analysis on a PC using MSC/pal and STAR. San Jose, California MacNeal-Schwendler World Users’ Conference March 23: Structural Measurement Systems. Buku [3] CCIT. (April 2011) Pipe Stress Analysis Using Caesar II (Static &Dynamic Analysis) [4] Teguh Pudji Hertanto. IPM (2011/2012) Modul Mata Kuliah Sistem Perpipaan. Pusat Pengembangan Bahan Ajar. Universitas Mercu Buana. [5] M. Ridha, Husaini, Husni. (2013) Material Teknik. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. [6] Raswari, (1986). Tekologi dan perencanaan system perpipaan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. [7] Grinel,ITT.(1981).Piping Design and Engineering. ITT Grinnell Industrial Piping Corporation, U.S.A. [8] Paul R. Smith, P.E, Thomas J. Van Laan, P.E (1987). Piping and Pipe Support Systems Desaign and Engineerig. McGraw-Hill Book Company. Internet: [9] PipaWebsite: https://id Wikipedia .org/ wiki/Pipa diakses 15 mei 2016 [10] Support website:https://en.wikipediaorg/ wiki/Pipe_supportdiakses tangggal 15 mei 2016
125
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penerapan Fitur Akustik Sebagai Pengenalan Biometrik Berbasis Suara Herry Setiawan1, Nanda Saputri2 Dept.Teknik Komputer Politeknik Aceh Selatan1 Email:
[email protected] Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember2 Surabaya, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak-Sejatinya setiap manusia memiliki keunikan baik bentuk fisik maupun karakteristik. Biometrik mampu mengenali keunikan pada manusia seperti perbedaan wajah, iris mata, cara berjalan, suara dan lain-lain. Dalam pengenalan biometrik ekstraksi fitur adalah bagian yang sangat penting yang mempengaruhi tingkat keakurasian. Ektraksi fitur digunakan untuk proses seleksi beberapa fitur yang paling berpengaruh dalam sistem pengenalan biometrik. Sama halnya dengan pengenalan biometrik berbasis suara dimana ektraksi dilakukan terhadap parameter fitur akustik. Dalam paper ini mengusulkan cara ektraksi fitur sinyal suara dan klasifikasi untuk proses pengenalan biometrik. Short time energy dan zero crossing rate, pitch dan koefisien MFCC digunakan untuk mengekstraksi fitur suara dan neural network backpropagation dengan algoritma pelatihan levenberg-marquart untuk metode klasifikasinya. Dari 20 sampel suara yang diuji, tingkat tertinggi pengenalan yang dicapai 94,878%. Kata kunci: Ekstrasi fitur suara, Identifikasi biometrik, fitur akustik, Levenberg-Marquardt 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam keamanan individual, pada dasarnya setiap manusia memiliki keunikan tersendiri di antara manusia yang lain baik bentuk fisik mau pun karakteristik sifat[1]. Diantara keunikan tersebut bisa dilihat dari cara berjalan, suara, wajah, iris mata, telapak tangan dan lain-lain. Keunikan tersebut bisa digunakan untuk proses identifikasi. Biometrik merupakan ilmu yang dapat mengenali bagian dari suatu individu yang bisa digunakan untuk pengamanan data, informasi dan hak akses[2]. Pada teknik-teknik biometrik, kelebihan yang dimiliki adalah merupakan alat otentifikasi yang sulit untuk dipalsukan sehingga meningkatkan aspek keamanan tinggi. Proses biometrik (selanjutnya menggunakan kata “identifikasi”) dengan suara memiliki keunggulan secara ekonomis dibandingkan dengan karakteristik yang lain. Identifikasi dengan suara hanya membutuhkan alat tambahan berupa mikrofon dan kartu suara[3]. Dalam sinyal suara memiliki beberapa parameter seperti pitch atau nilai frekuensi dari suatu jenis nada,zero crossing dan energy yang semua termasuk ke dalam fitur akustik. Pada penelitian sebelumnya fitur akustik ini digunakan untuk identifikasi emosi dari suara,namun pada penelitian ini fitur akustik tersebut akan digunakan untuk klasifikasi suara dengan menggunakan metode jaringan syaraf tiruan levenberg-marquardt.
B. Kajian Pustaka Sinyal suara adalah suatu sinyal yang mewakili suara. Sinyal suara dibentuk dari dari kombinasi berbagai frekuensi padaberbagaiamplitude dan fasa. Menganalisis suatu suara dapat diartikan menganalisis suara dalam komponen frekuensi dan waktu dari suara tersedut. Komponen frekuensi menentukan tinggi rendahnya suara sedangkan komponen waktu sangat menentukan kapan suatu suara dibunyikan[4]. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan berbagai penelitian pada suara lebih khususnya pada fitur akustik suara. Antara lain, oleh zolnay, schlueter, ney, yang menggunakan kombinasi fitur akustik untuk robust pengenalan suara, mereka membandingkan fitur yang diambil dari hasil kombinasi dari metode MFCC,PLP,LDA, dll[5]. Shete dan patil, menggunakan fitur zero cros dan energy untuk pengenalan kata dari bahasa devanagari, untuk memisahkan bagian-bagian bersuara dan tak bersuara berbicara[6]. Dai, han, dan Xu, Emotion recognition and affective computing on vocal social media, pengenalan emosi melalui suara yang di rekam pada media social.suara yang direkam diambil fitur akustiknya sebanyak 25 parameter dari nilai pitch(mak,min,rata-rata), short time zero cross(mak, min, rata-rata), short time energy (mak, min, rata-rata), first formant, second formant, kecepatan suara, voice break dan 12 koefisien dari MFCC kemudian suara tersebut di klasifikasi emosinya dengan metode LS-SVR[7].
126
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pada penelitian ini akan diambil fitur akustik sebanyak 10 parameter yaitu nilai pitch (mak,min,rata-rata), short time zero cross (mak, min, rata-rata), short time energy (mak, min, ratarata),dan 12 koefisien dari MFCC.
2. Short time energy Menandakan kekerasan suara pada waktu yang pendek. Pada short time energy diambil nilai mak,min dan rata-rata.
C. Metode Pada penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti Gambar 1.
STE = Sort time energy m = Jumlah Sampel X(n) = Nilai sinyal dari sampel
3. Pitch Pitch atau tinggi nada adalah hasil akustik dari kecepatan getaran pita suara. Semakin cepat getaran pita suara semakin tinggi nadanya, sehingga pitch dapat digunakan sebagai ciri suara.
Gambar 1. Tahapan klasifikasi suara. Masing- masing dari tahapan akan dibahas pada sub-bab berikut.
4. MFCC Mfcc(Mel-Frequency Cepstral Coefficients ), dapat digunakan sebagai vektor ciri yang baik untuk merepresentasikan suara manusia dan sinyal musik. Analisis suara pada MelFrequency didasarkan pada persepsi pendengaran manusia, karena telinga manusia telah diamati dapat berfungsi sebagai filter pada frekuensi tertentu. Tahapan proses MFCC seperti gambar 2.
1) Preprosesing Sinyal suara yang direkam dipreprosesing terlebih dahulu untuk memungkinkan ekstraksi parameter fitur akustik. Prosedur preprosesing standar akan mencakup sampling sinyal,pre-emphasis, framing dan windowing. Suara yang direkam dibatasi dalam rentang waktu 1-2 s. 2) Ektraksi parameter fitur acoustic Pada langkah ini mengektrak parameter fitur akustik pada suara dengan memilih 10 parameter dari 2 kategori :parameter prosody dan spectral. 1. Short time zero crossing rate Sampel berurutan pada sebuah sinyal digital memiliki perbedaan tanda, ukuran dari noise sebuah sinyal pada fitur domain. Pada short time zero crossing diambil nilai mak,min, dan rata-rata. Zero crossing rate:
Dan w (n) adalah fungsi windowing dengan ukuran jendela N sampel. W =1/2N 0≤n≤N-1 =0 otherwise Keterangan: Zn = Zero Crossing Rate sgn x(n) = nilai dari x(n) , bernilai 1 jika x(n) positif, -1 jika x(n) negatif N = jumlah sampel
Gambar2. Proses dari MFCC a.
Pelatihan dan pengujian jaringan syaraf tiruan Levenberg-Marquardt Proses pelatihan jaringan pada dasarnya merupakan proses penyesuaian bobot untuk masing-masing simpul antara lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Penyesuaian bobot dilakukan secara terus menerus samapai mencapai error yang paling minimum[17]. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi aktivasi sigmoid. Algoritma Levenberg-marquardt merupakan pengembangan algoritma backpropagation standar. Pada algoritma backpropagation, proses update bobot dan bias menggunakan negative gradient descent secara langsung sedangkan Algoritma Levenberg-Marquardt menggunakan pendekatan matrik Hesian (H) yang dapat dihitung dengan, H=JTe
127
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Sedangkan gradient dapat di hitung dengan , g= JTJ Dalam hal ini J merupakan sebuah matrik jacobian yang berisikan turunan pertama dari error jaringan terhadap bobot dan bias jaringan. Perubahan bobot dapat dihitung dengan,
I=matrik identitas 3) Percobaan dan Hasil Percobaan dilakukan dengan menggunakan 20 sample suara, 5 suara lelaki dan 15 suara wanita yang masing-masing mengucapkan kata hallo dalam rentang waktu 1-2 detik. Setiap orang di ambil 10 sample data suara. Kemudian suara tersebut di ekstraksi dan didapati nilai seperti table 1. Kemudian, fitur – fitur yang sudah didapat diklasifikasi menggunakan metode levenbergmarquardt. Data latih yang di masukan sebanyak 164 dan data uji sebanyak 39,dengan hiden layer sebanyak 60,dan outputlayer 20. Learning rate yang diuji dari 0.1-0.9 dengan 100 kali iterasi dan mse 0.001.Hasil uji dapat dilihat pada table 2.
Sehingga perbaikan pembobot dapat ditentukan dengan,
Pada pengujian dengan learning rate 0.1 sampai 0.9 dengan 100 kali dan mse yang di beri 0.001 dihasilkan persentase terbaik pada saat di beri learning rate 0,1. Klasifikasi mencapai 94.878 % dalam waktu 43 detik dengan tingkat kebenaran 37 benar dan salah 2 dari total 39 data uji. Hasil tersebut dicapai saat nilai epoch ke depelan dengan tingkat mse bernilai 0.00218. The best validation performance dapat dilihat seperti gambar4.
Dimana : X=fungsi bobot-bobot jaringan dan bias X=[v11,v12,..,vij; v01,v02,..,v0j; w11,wjk; w01,w02,..,woK; ] E adalah vector yang menyatakan semua error pada output jaringan
=constant learning Tabel 1. Ekstraksi fitur p_max
p_min
p_rata
zc_max
zc_min
zc_rata
e_max
e_min
e_rata
mfcc1
kelas
9748.461
0.765021
882.6835
0.38806
-1.25E-16
0.060955
0.010098
-1.73E-18
0.000212
-11.5041
hery
9235.393
1.145117
904.3639
0.432836
-1.11E-16
0.115906
0.024624
-3.36E-18
0.000751
-19.9794
hery
6123.412
0.085682
509.9371
0.457711
-1.53E-16
0.082275
0.011593
-1.73E-18
0.000447
-23.6983
irma
5519.12
0.998723
688.4988
0.532338
-1.39E-16
0.069931
0.231884
-4.86E-17
0.013382
-16.1846
irma
7137.524
0.30563
644.8307
0.58209
-2.22E-16
0.102348
0.164207
-3.47E-17
0.007867
-20.6727
nanda
7900.276
0.983757
833.1588
0.482587
-1.25E-16
0.069695
0.134297
-2.34E-17
0.006705
-18.9148
nanda
4726.259
0.565101
483.4828
0.442786
-1.25E-16
0.054497
0.158415
-2.78E-17
0.006818
-17.8136
nadya
3640.228
0.213757
481.4811
0.437811
-1.67E-16
0.074409
0.00254
-5.42E-19
0.000181
-24.2366
nadya
5584.719
0.031389
623.6663
0.507463
-1.32E-16
0.063103
0.005887
-1.30E-18
0.00025
-23.3295
sari
5259.547
0.418134
549.885
0.412935
-1.11E-16
0.059029
0.138446
-3.82E-17
0.008673
-16.4081
artin
128
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[4]
Wismono, R. Yudhi, 2000. Identifikasi Jenis Tingkat Suara Manusia Dengan Metode Real Cepstrum, Teknik Elektro Universitas Diponegoro, Semarang, 2002.
[5]
M.Lindasalwa, B.Mumtaj, I.Elamvazuthi, “Voice Recognition Algorithms using Mel Frequency Cepstral Coefficient (MFCC) and Dynamic Time Warping (DWT) Techniques,” Journal of computing, volume 2, issue 3, 2010.
[6]
D.S.Shete and S.B.Patil, “Zero crossing rate and Energy of the speech of devanagari Script,”IOS Journal of VLSI and Signal Processing, 2014.
[7]
W.Dai,D.Han and Dongrong, “Emotion and effective computing on vocal social media,”Elsiver, 2011.
[8]
D.rocky and B.Martini, Sulistyowati, “Klasifikasi citra diabetic retinopathy menggunakan jaringan syaraf tiruan Levenberg-Marquardt,” Prosiding seminar nasional Ilmu komputer Universitas Diponegoro, 2012.
Tabel 2. Hasil klasifikasi menggunakan Levenbergmarquardt
Gambar4. The best validasi performance II. Kesimpulan dan Penelitian selanjutnya Ekstraksi fitur citra suara menggunakan parameter fitur akustik bertujuan untuk mengambil fitur – fitur yang berpengaruh pada proses pengenalan biometrik berbasis suara. Fitur akustik yang biasanya digunakan untuk identifikasi emosi dan kata, ternyata dapat digunakan juga untuk identifikasi kepemilikan suara. Metode levenbergmarquardt dapat membantu klasifikasi suara mencapai 94.878%. Daftar Pustaka [1]
S. Karar and R. Parekh, “Palmprint Recognition using Phase Symmetry,” vol. 3, no. 4, pp. 2–7, 2013.
[2]
G. Michael, T. Connie, and A. Teoh, “A Contactless Biometric System Using Palm Print and Palm Vein Features,” Image (Rochester, N.Y.), 2011.
[3]
Agustini ketut, “Biometrik suara dengan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies,” 50 gematek jurnal teknik komputer,vol. 9, no. 2, 2013.
129
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengaruh Penambahan Sirip Pada Baling-Baling Untuk Peningkatan Performa Baling-baling Kapal The Effect of Additional Fin Generates on Propeller To Increase Ship Propeller Performance Zulfadhli1, Khairil2, Darwin3 1, 2, 3
Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf No.7 Kopelma Darussalam, Banda Aceh, 23111 E-mail:
[email protected]
Abstrak - Baling-baling adalah bagian dari sistem propulsi gerakan kapal yang berfungsi untuk mendorong kapal bergerak maju dan bergerak mundur. Sebagai bagian dari sistem penggerak mekanis, baling-baling terdiri dari beberapa buah daun (blade) yang menempel pada bos yang dipasang pada sumbu terakhir dari sambungan poros yang berasal dari mesin induk kapal. Baling-baling dapat mendorong kapal baik maju dan mundur dengan memutar poros transmisinya. Untuk menghasilkan maju dan mundurnya kapal dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan baling-baling yang daunnya dapat diatur ( Baling-baling Kendali Daun) dan dengan penggunaan balingbaling berdaun tetap dengan mengubah arah putarnya. Sedangkan untuk meningkatkan kelajuan kapal digunakan baling-baling dengan penambahan sirip pada daun baling-baling bagian sisi dorong (luar) dari baling-baling kapal tersebut (baling-baling bersirip). Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa baling-baling bersirip dapat menghasilkan daya dorong/efisiensi yang lebih besar dari pada baling-baling standar hingga mencapai 20% dengan suplai daya yang sama. Kata kunci: Baling-baling tetap, baling-baling tak tetap, baling-baling bersirip.
Abstract - Propellers is part movement propulsion system of the ships wich duty for pushing of the ship at forward movement and towing the body of ship at backward movement. As a part mechanical drive propeller consist ofsome blade attached to the boss and mounted on the propeller shaft of the axis relationships from the main engine of the ships. Propeller can drive of the ships both forward and backward with by rotating on its axis. To produce forward and backward movement of the ships can be done in two ways namely with use controllable pitch propellers and with use fixed pitch propellers. Propeller with fin generates thrust greater than the original one does. From the result of the research showed that the performance/efficiency of the propeller with fin generates can be increased by an average of 20 % with the same power supply. Key words : Controllable Pitch Propeller, Fixed Pitch Propeller, Propeller with fin generates. 3. Roda baling-baling atau propeller wheel yang berputar pada sumbu vertikal. 4. Baling-baling ulir atau screw propeller. 1
I. PENDAHULUAN Sebuah kapal yang sedang berlayar merupakan suatu benda terapung yang bergerak di media air. Pada saat bergerak benda tersebut akan menerima gaya lawan dari media yang dilaluinya. Gaya lawan tersebut dikenal sebagai tahanan, dan harus diatasi dengan gaya dorong kedepan yang diberikan oleh alat propulsi dengan sumber tenaga dari mesin penggerak kapal. Dari sini dapat dimengerti bahwa mesin penggerak, alat propulsi mekanis dan badan kapal merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam perencanaan propulsi kapal. Alat propulsi mekanis dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu: 1. Roda pedal atau paddle wheel, gaya dorong dihasilkan dari sudu-sudu roda pedal yang berputar dalam air. 2. Jet air, gaya dorong dihasilkan karena adanya impuls akibat kecepatan air yang disemburkan keluar oleh mesin Jet air.
Dari beberapa model alat penggerak mekanis tersebut diatas, untuk selanjutnya akan dibahas mengenai baling-baling dengan penambahan sirip (baling-baling bersirip) yaitu pengaruh penambahan sirip pada daun baling-baling untuk meningkatkan performa baling-baling kapal. Pada bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan perancangan kegiatan ini diantaranya: prinsip Bernoulli dan “propeller Adjie”.
II. LANDASAN TEORI A. Prinsip Bernoulli Prinsip Bernoulli adalah istilah di dalam mekanika fluida yang menyatakan bahwa pada suatu aliran fluida, peningkatan pada kecepatan fluida akan
130
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
menimbulkan penurunan tekanan pada aliran tersebut. Prinsip ini sebenarnya merupakan penyederhanaan dari Persamaan Bernoulli yang menyatakan bahwa jumlah energi pada suatu titik di dalam suatu aliran tertutup sama besarnya dengan jumlah energi di titik lain pada jalur aliran yang sama. Prinsip ini diambil dari nama ilmuwan Belanda-Swiss yang bernama Daniel Bernoulli. Dalam bentuk yang sudah disederhanakan, secara umum terdapat dua bentuk persamaan Bernoulli; yang pertama berlaku untuk aliran tak-termampatkan (incompressible flow), dan yang lain adalah untuk fluida termampatkan (compressible flow). 2
D. Propeller Adjie
B. Aliran Tak-Termampatkan
Baling-baling bersirip adalah baling-baling sekrup yang telah dimodifikasi dengan mengembangkan dua sirip pada setiap belakang sudu baling-baling. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya dorong kinerja baling-baling. Menurut elemen blade dan teori momentum baling-baling, penambahan sirip dapat meningkatkan aliran fluida Va di bagian belakang sudu baling-baling sehingga tekanan turun. Secara teoritis, baling-baling bersirip dapat menghasilkan daya dorong yang lebih besar dari baling-baling sekrup aslinya. Oleh karena itu, kapal d ap at berjalan lebih cepat. Fungsi dasar dari baling-baling ini adalah dapat mempercepat laju kapal tanpa mengubah mesin. Baling-baling ini diciptakan oleh Adjie bersama mahasiswanya dan percobaan pertamanya telah dilakukan pada tahun 2004 di kampus ITS Surabaya, Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan menggunakan baling-baling bersirip membuat kapal dapat melaju hingga 20% lebih cepat dari pada menggunakan type baling-baling sekrup original.3 Namun demikian, penambahan sirip-sirip ini menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak jadi meningkat karena adanya peningkatan beban pada baling-baling. Oleh karena kasus itu, penelitian ini terus dikembangkan secara menyeluruh baik dengan analisis matematis dan dengan pemodelan komputer (komputerisasi).
Gambar 1. Baling-baling bersirip
Aliran tak-termampatkan adalah aliran fluida yang dicirikan dengan tidak berubahnya besaran kerapatan massa (densitas) dari fluida di sepanjang aliran tersebut. Contoh fluida tak-termampatkan adalah: air, berbagai jenis minyak, emulsi, dll. Bentuk persamaan Bernoulli untuk aliran taktermampatkan adalah sebagai berikut:
(1) di mana: v g h p
= kecepatan fluida = percepatan gravitasi bumi = ketinggian relatif terhadap suatu referensi = tekanan fluida = densitas fluida
Persamaan diatas berlaku untuk aliran taktermampatkan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: Aliran bersifat tunak (steady state) Tidak terdapat gesekan (inviscid) Dalam bentuk lain, Persamaan Bernoulli dapat ditulis sebagai berikut: (2)
E. Teori Elemen Blade
C. Aliran Termampatkan Aliran termampatkan adalah aliran fluida yang dicirikan dengan berubahnya besaran kerapatan massa (densitas) dari fluida disepanjang aliran tersebut. Contoh fluida termampatkan adalah: udara, gas alam, dll. Persamaan Bernoulli untuk aliran termampatkan adalah sebagai berikut: (3) dimana: ϕ = energi potensial gravitasi persatuan massa; jika gravitasi konstan, maka:
w = entalpi fluida per satuan massa; dan dimana є adalah energi termodinamika persatuan massa, juga disebut sebagai energi internal spesifik.
Gambar 2. Bentuk sudu dan alur sirip
131
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gaya yang terjadi pada foil yang dihasilkan oleh fluida aliran fenomena yang berubah dari energi kinetik dan momentum. Pada foil, kecepatan aliran fluida dibagian belakang lebih cepat dari pada bagian depan (faceside). Menurut hukum Bernoully, yang akan menyebabkan tekanan pada sisi depan naik dan tekanan pada sisi belakang turun sehingga terjadi peningkatan Daya. Untuk baling-baling bersirip, penambahan sirip akan menyebabkan peningkatan aliran fluida Va di sisi bagian belakang (blade) sehingga tekanannya turun.
P'2 = Tekanan pada sisi belakang menurun. T ' = Thrust pada baling-baling Fin
F. Teori Momentum Baling-baling
Gambar 4. Diagram Baling-baling bersirip
Menurut teori ini, daya dorong dihasilkan oleh kerja baling-baling dalam air yang disebabkan oleh adanya perbedaan momentum sehingga efisiensi baling-baling tergantung pada sudu pembebanan. Gambar 3, menunjukkan bahwa di bawah baling-baling bergerak maju didalam air di mana air tersebut tidak bergerak.
III. BAHAN DAN METODE Sebagai modifikasinya maka baling-baling dilakukan pembentukan pada setiap sudunya dengan alur berbentuk sirip sebanyak 2 alur yang timbul seperti pada konstruksi baling-baling Adjie yang digunakan untuk penggerak kapal laut. Selanjutnya setelah dilakukan modifikasi pada sudu balingbalingnya tersebut, dilakukan uji dengan metode uji, parameter uji, cara uji sesuai RSNI performa.
A. Perancangan Baling-baling Bersirip Baling-baling dengan sudu bersirip didapat dari modifikasi baling-baling normal pada kapal. Untuk memudahkan dalam modifikasi maka bahan yang digunakan adalah (propeller) dengan baling-baling yang terbuat dari bahan cor logam agar bisa dibentuk sirip sesuai yang diinginkan. Adapun bentuk asli (normal) dari baling-baling (propeller) adalah sama seperti baling-baling pada umumnya seperti gambar 5. berikut:
Gambar 3. Diagram tekanan pada sudu
Sehingga tekanan reaksi yang dihasilkan oleh baling-baling ke cairan atau Thrust (T) adalah proporsional dengan meningkatnya tekanan (P) yang dikalikan dengan luasan permukaan balingbaling (Ao), maka : T = P. Ao P = P1 - P2 dimana : P1 = Tekanan pada sisi depan (balde) P2 = Tekanan pada sisi belakang (balde)
Gambar 5. Bentuk baling-baling Adjie
Pada tahap selanjutnya maka didapat baling-baling bersirip hasil modifikasi dengan pembentukan seperti Gambar 6.
Dalam baling-baling bersirip, tekanan di bagian belakang (P1) turun sehingga perbedaan tekanan antara sisi depan dan belakang (P ') meningkat. P ' = P1-P'2 Jadi, T ' = P'. Ao dan, T' >T
Gambar 6. Bentuk baling-baling rancangan
132
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Sedangkan perubahan tekanan yang dihasilkan oleh baling- baling standar dan baling-baling bersirip diperlihatkan oleh Grafik 3 dan Grafik 4.
B. Perancangan Pengujian Pengujian pada tahap awal penelitian ini menggunakan simulasi komputer dengan software CFD dengan pembuatan model menggunakan program Autodesk Inventor 2014 sebagai mana Gambar 7 dan Gambar 8.
Grafik 3. Tekanan hasil Propeller Standar 101400 101300
Pressure [Pa]
101200 101100 101000 100900 100800 100700 100600 100500
Gambar 7. Baling-baling modifikasi I
0
0.05
0.1
0.15
0.2
Length [m]
Grafik 4. Tekanan hasil Propeller Bersirip 101600
Pressure [Pa]
101400 101200 101000 100800 100600 100400
Gambar 8. Baling-baling modifikasi II
100200
0
0.05
0.1
0.15
Dari hasil simulasi rancangan gambar modifikasi baling-baling bersirip tesebut di peroleh hasil perubahan laju (kecepatan) sebagaimana Grafik 1 dan Grafik 2.
Dari kedua jenis data yang di peroleh diperlihatkan hasil simulasinya sebagai mana Gambar 9 dan Gambar 10.
Grafik 1. Kecepatan Propeller Standar
Velocity [m/s]
1.4 1.35 1.3 1.25 1.2 1.15 1.1
0
0.05
0.1
0.15
0.2
Length [m]
Gambar 9. Hasil simulasi baling-baling standar
Grafik 2. Kecepatan Propeller Bersirip 1.6
Velocity [m/s]
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
0
0.05
0.1
0.15
0.2
Length [m]
0.2
Length [m]
Gambar 10. Hasil simulasi baling-baling bersirip
133
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[2] Wikipedia. “ Bernoulli’s Principle”. Error! Hyperlink reference not valid., Diakses 18 Maret 2013. [3] Marine News. “AdjiE Propeller–Fin Propeller”. 30 September 2007, http://marinoos.blogspot. com/2007/09/adjie-propeller-fin propeller.html. Diakses 13 Maret 2013. [4] Sastrodiwongso. T, Mahardjo. W., “Propulsi Kapal”, ITS Surabaya, 1982. [5] Murtejo, “Tahanan dan Propulsi”, FTK ITS, Surabaya, 2002. [6] Sv. Aa Harvald, “Tahanan dan Propulsi Kapal”, Department of Ocean Engineering The Technical University of Denmark, Lyngby, 1978. [7] Sasono E. J., “Pemakaian Baling-Baling Bebas Putar (Free Rotating Popeller) Pada Kapal”, TEKNIK – Vol. 30 No. 2 Tahun 2009, ISSN 0852-1697, pp. 140 – 145. [8] Yarsyna, Hearky, “Design of Marine Propellers”, Palska Akademi Nauk Instytut Maszyn Przeplywowych, Poland, 1996. [9] Harsanto, “Motor Bakar”, Jambatan Jakarta, 1975. [10] Martowiguno, S., “Statika dan Dinamika Kapal”, Fakultas Teknik Perkapalan ITS Surabaya, 1981. [11] Syerly Clara, “Mekanika Fluida”, Program Studi Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasannudin, Makassar, 2011. [12] Ikatan Marine Engineer, “Stern Tube Bearing”, Edisi 38, Juli 2008.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengujian yang dilakukan terhadap 2 tipe baling-baling bersirip hasil pengembangan dan tipe baling-baling kapal standar, diperoleh data yang cukup bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan sirip pada daun baling-baling (blade) memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Pada Grafik 1, nilai kecepatan rata-rata yang dihasilkan oleh baling-baling standar adalah sebesar 1.35 m/s, sedangkan kecepatan rata-rata yang dihasilkan oleh baling-baling bersirip sebagaimana diperlihatkan Grafik 2, adalah sebesar 1.61 m/s dengan jarak yang sama. Demikian pula halnya dengan perubahan tekanan yang terjadi pada baling-baling standar dan bersirip mengalami perbedaan dimana hal ini diperlihatkan pada Grafik 3, memperlihatkan nilai tekanan pada baling-baling standar adalah 101.36 Kpa. Untuk baling-baling bersirip menghasilkan tekanan sebesar 101.56 Kpa sebagai mana ditunjukkan oleh Grafik 4. Dari kedua hasil yang diperoleh diatas, memperlihatkan perubahan yang cukup berarti karena mampu merubah aliran/semburan air dari yang awalnya mengembang (konvergen) menjadi lebih menguncup (divergen). Ini mengisyaratkan bahwa dengan bentuk pola aliran yang demikian itu mampu meningkatkan laju kecepatan kapal (servis/efisiensi) kapal rata-rata hingga mencapai 20 %.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
[13] Bangsawan, H. T., dkk., “Pengaruh Penambahan Sirip Pada Baling-Baling Untuk Peningkatan Performa Kipas Angin, BLI Vol. 3 No. 2 November 2014 : 81 – 87.
A. Kesimpulan Kecepatan dan kapasitas aliran udara maksimum terjadi pada axis anulus 26 dan 30 cm. Nilai servis terbesar terjadi pada modifikasi balingbaling I dengan nilai servis sebesar 1,16. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa penambahan sirip pada baling-baling dapat meningkatkan nilai servis/efisiensi kipas/balingbaling kapal hingga hampir mencapai 20%.
BIODATA PENULIS Lahir di Banda Aceh pada tanggal 15 Agustus 1969. Memperoleh gelar Sarjana (S1) dari Universitas Syiah Kuala Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin, Darussalam Banda Aceh pada tahun 1996, dengan judul Tugas Akhir "Analisis Matriks Kekakuan Poros Bertingkat dengan Metode Elemen Hingga". Saat ini menjadi staf pengajar pada Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, terhitung sejak tahun 1997 hingga sekarang. Tahun 2000 melanjutkan studi Program Magister (S2) pada Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Penerbangan ITB Bandung, bidang Struktur dan Material (konsentrasi pada material komposit serat alam). Pada tahun 2007 melanjutkan studi ke Malaysia program S3 (Ph.D) dengan topik yang sama.
B. Saran Untuk menghasilkan nilai servis kapal yang lebih optimal dapat dilakukan pembentukan sirip yang lebih halus dan sempurna dalam skala manufaktur oleh industri kipas/baling-baling kapal.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Syiah Kuala, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah mendanai kegiatan ini dengan dana PNBP Nomor : 1711/UN11/SP/PNBP/2016.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Utomo B, “Peranan Baling-baling Pada Gerakan Kapal”, TEKNIK – Vol. 33 No. 2 Tahun 2012, ISSN 0852-1697, pp. 106 – 111.
134
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Tempat PKL Mahasiswa dengan Menggunakan Metode AHP dan Borda Group Decision Support System Selections of Place PKL Students Using AHP and Borda Methods Dirja Nur Ilham1, Rudi Arif Candra2 1
Program studi S2 Ilmu Komputer FMIPA UGM, Yogyakarta 2 Teknk Komputer, Politeknik Aceh Selatan 1 Jl.Sekip Utara, Bulaksumur, Sinduadi, Mlati, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2 Jl. Merdeka Komplek Reklamasi Pantai Tapaktuan, Aceh Selatan e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Penempatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang tepat untuk mahasiswa merupakan suatu hal yang sangat penting, karena bisa memaksimalkan kemampuan dan bakat dari setiap mahasiswa sehingga menghasilkan mahasiswa lulusan yang siap bersaing di dunia kerja. Dalam pemilihan tempat PKL mahasiswa di Politeknik Aceh Selatan, masalah yang sering terjadi adalah ketidaksesuaian kompetensi dari segi kebutuhan perusahaan tempat PKL, maupun kebutuhan mahasiswa akan tempat PKL. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu sistem komputer berupa sistem pendukung keputusan kelompok (GDSS) yang dapat membantu Politeknik Aceh Selatan untuk pemilihan tempat PKL yang tepat bagi mahasiswa. Sistem pendukung keputusan kelompok yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan Borda untuk penentuan keputusan kelompok. Metode AHP digunakan untuk penentuan bobot kriteria dan subkriteria dari setiap alternatif perusahaan tempat PKL hingga perangkingan alternatif perusahan untuk masing-masing mahasiswa dari setiap pengambil keputusan. Metode Borda digunakan untuk penggabungan hasil perangkingan yang didapat oleh setiap pengambil keputusan sehingga mendapatkan perangkingan akhir dan menentukan rekomendasi tempat PKL mahasiswa. Berdasarkan hasil akhir dari Sistem pendukung keputusan kelompok berupa perankingan dari nilai kriteria mahasiswa terhadap alternatif perusahaan tempat PKL. Dan alternatif perusahaan yang mendapatkan hasil tertinggi dijadikan sebagai rekomendasi pengambilan keputusan penempatan PKL mahasiswa prodi teknik komputer politeknik aceh selatan. Kata kunci—SPKK, AHP, Borda, Praktek Kerja Lapangan Abstract - The right Placement Job Training (PKL) selection for the students is a very important thing, because it can maximize the abilities and talents of each student so that can produce graduates who are ready to compete in the world of work. The most common problem of PKL selection is the lack of competence in terms of the needs of the company, as well as the needs of students will be on PKL place selection.To overcome these problems required a computer system in the form of group decision support systems (GDSS) who can help South Aceh Polytechnic for the selection of the right vendors for students.In this study, Group decision support system developed by using AHP (Analytical Hierarchy Process) and Borda for group decision-making.AHP method is used to determine the weights of criteria and subcriteria of each company where PKL alternative to alternative perangkingan company for each student from each of the decision makers.Borda method used for incorporation gradement results obtained by each decision maker so getting rank final and decisive recommendations PKL student places. Based on the outcome of a group decision support system in the form of a rank of criteria values of students to alternative company where PKL placement selection.And alternative companies that get the highest yield serve as recommendations PKL student placement decisions for computer engineering department Polytechnics South Aceh. Keywords—GDSS,AHP,Borda, field practice
I.
(S1) pada umumnya, baik pada Politeknik, Sekolah Tinggi, Akademi, Institut maupun Universitas yang ada di Indonesia. Pemilihan tempat yang tepat bagi mahasiswa yang akan melakukan PKL merupakan salah satu langkah yang baik agar kriteria yang
PENDAHULUAN
Program Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah salah satu syarat seorang mahasiswa untuk bisa mengambil tugas akhir yang berlaku untuk mahasiswa Diploma 3 (D3), Diploma 4 (D4), dan juga Sarjana 135
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dibutuhkan oleh institusi dan perusahaan terpenuhi dengan baik sesuai dengan kemampuan dari mahasiswa yang masuk ke institusi/perusahaan.
pengambil keputusan. SPK ditujukan untuk keputusan yang memerlukan penilaian atau untuk keputusankeputusan yang sama sekali tidak dapat didukung oleh algoritma. SPK meluas dengan cepat, dari sekedar alat pendukung personal menjadi komoditas yang dipakai bersama [3]. Tahapan proses pengambilan keputusan terdiri dari beberapa langkah, yaitu : (a) Tahap Penelusuran (Intelligence), (b) Tahap Perancangan (Design), (c) Tahap Pemilihan (Choice), dan (d) Tahap Implementasi (Implementation).
Kordinator PKL, kaprodi, dan dosen pembimbing PKL seringkali mengalami kesulitan untuk menentukan tempat PKL. Seringkali dalam pemilihan tempat PKL tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa. Sehingga mahasiswa tidak bias menggunakan kemampuan yang dimilikinya secara optimal. Tidak sesuainya penempatan PKL mahasiswa ini disebabkan oleh beberapa factor seperti: a. Kemampuan mahasiswa tidak sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan instansi/ perusahaan tempat PKL. b. Proses penilaian pemilihan tempat PKL mahasiswa berdasarkan subyektifitas. Kemungkinan bahwa tempat PKL yang dipilih tidak memenuhi standar yang diinginkan dan tidak sesuai dengan kompetensi mahasiswa. Pengambilan keputusan dalam penilaian pemilihan tempat PKL mahasiswa yang dilakukan kordinator PKL, kaprodi, dan dosen pembimbing PKL di lingkungan Politeknik Aceh Selatan belum menghasilkan informasi yang akurat dan cepat, ditambah lagi karena masih dilakukan secara manual. Maka dalam penelitian ini akan dibuat sebuah sistem yang diharapkan bisa membantu dalam mengambil keputusan. Sistem Pendukung Keputusan Kelompok (SPKK) dapat membantu pengambilan keputusan bagi pihak pengambi keputusan dalam memilih tempat PKL yang tepat untuk mahasiswa. SPKK/ GDSS merupakan sebuah sistem berbasis komputer yang mendukung sekelompok orang yang tergabung dalam suatu tugas/ tujuan bersama yang menyediakan interface yang dapat digunakan bersama [1]. AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif/pilihan yang ada dan pilihan-pilihan tersebut bersifat kompleks atau multi kriteria.Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif [2]. Berdasarkan latar belakang yang sudah diterangkan, maka topik penelitian yang diajukan adalah “ Sistem Pendukung Keputusan Kelompok Pemilihan Tempat PKL Mahasiswa dengan Menggunakan Metode AHP dan Borda”. penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah pemilihan tempat PKL mahasiswa dalam pengambilan keputusan secara kelompok.
II.
Tujuan sistem pendukung keputusan Sistem Pendukung Keputusan dibangun untuk mendukung solusi atas suatu masalah atau untuk mengevaluasi suatu peluang [3]. a. Memberikan dukungan atas pertimbangan manajer dan bukannya dimaksud untuk menggantikan fungsi manajer. b. Membantu manajer dalam pengambilan keputusan atas masalah semiterstruktur. c. Meningkatkan efektivitas keputusan yang diambil manajer lebih daripada perbaikan efisiensinya. d. Kecepatan komputasi. Komputer memungkinkan para pengambil keputusan untuk melakukan banyak komputasi secara cepat dengan biaya yang rendah. e. Peningkatan produktivitas. f. Dukungan kualitas. g. Berdaya saing. h. Mengatasi keterbatasan kognitif dalam pemrosesan dan penyimpanan. B.
Komponen-Komponen Sistem Pendukung Keputusan Komponen sistem pendukung keputusan terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem manajemen data, subsistem manajemen model, subsistem antarmuka pengguna, dan subsistem manajemen berbasis pengetahuan[3]. Subsistem manajemen data(data management) Subsistem manajemen data adalah subsistem yang meyediakan data bagi sistem. Sumber data berasal dari data internal dan data eksternal. Subsistem ini termasuk basisdata, berisi data yang relevan untuk situasi dan diatur oleh perangkat lunak yang disebut DataBase Management System (DBMS). Subsistem manajemen data dapat diinterkoneksikan dengan data warehouse perusahaan, suatu repository untuk data perusahaan yang relevan untuk pengambilan keputusan. Subsistem manajemen model (model management) Merupakan paket perangkat lunak yang memasukkan model keuangan, statistik, ilmu manajemen, atau model kuantitatif lainnya yang memberikan kapasitas analitik dan manajemen perangkat lunak yang tepat. Bahasa permodelan untuk membangun model-model costum juga dimasukkan.
LANDASAN TEORI
A.
Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan digunakan sebagai alat bantu bagi para pengambil keputusan untuk memperluas kapabilitas para pengambil keputusan, namun tidak untuk menggantikan penilaian para 136
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perangkat lunak ini sering disebut sistem manajemen basis model (MBMS). Komponen ini dapat dikoneksikan ke penyimpangan korporat atau eksternal yang ada pada model. Sistem manajemen dan metode solusi model diimplementasikan pada sistem pengembangan web (seperti java) untuk jalan pada server aplikasi. Subsistem manajemen pengetahuan(knowledge-based subsystems) Subsistem ini dapat mendukung semua subsistem lain atau bertindak sebagai suatu komponen independen. Subsistem ini bersifat opsional, namun dapat memberikan inteligensi untuk memperbesar pengetahuan pihak pengambil keputusan. Subsistem ini berisi data item yang diproses untuk menghasilkan pemahaman, pengalaman, kumpulan pelajaran dan keahlian.
D.
Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor-faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. Pada dasarnya, metode AHP memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagianbagian komponennya. Kemudian menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki dan memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang relatif pentingnya setiap variabel. Setelah itu mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut [4]. Dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode AHP, ada beberapa prinsip dasar yang perlu dipahami, yaitu : 1. Dekomposisi (penyusunan hirarki), yaitu proses menganalisis permasalahan yang nyata ke dalam struktur hirarki atas unsur-unsur pendukungnya. Implementasi penyusunan striktur hiraki dapat dilihat pada Gambar 2.
Subsistem antarmuka pengguna(user interface) Antarmuka pengguna digunakan oleh pengguna untuk berinteraksi dengan sistem pendukung keputusan, baik untuk memasukkan informasi ke sistem maupun menampilkan informasi kepada pengguna. Karena begitu pentingnya komponen antarmuka pengguna bagi suatu sistem pendukung keputusan, maka dibutuhkan perancangan antarmuka pengguna yang mudah dipelajari dan digunakan oleh pengguna. Melalui subsistem inilah sistem dapat dipahami sehingga pengguna dapat berkomunikasi dengan sistem pendukung keputusan. Gambaran tentang komponen Sistem Pendukung Keputusan dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan
Alternatif I
Kriteria N
Kriteria III
Kriteria II
Kriteria I
Alternatif II
Alternatif M
Gambar 2. Struktur Hirarki AHP [5]
2.
Penilaian komparatif (Comparative Judgement), dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen. Hasil dari penilaian ini disajikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (pairwisecomparison matrix) yang memuat tingkat preferensi antar setiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala tingkat Kepentingan [6]. Nilai skala perbandingan yang digunakan sebagai inputan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Skala Tingkat Kepentingan Nilai Interpretasi 1 Jika Oi dan Ojsama penting 3 Jika Oisedikit lebih penting daripada Oj 5 Jika Oikuat tingkat kepentingannya daripada Oj 7 Jika Oisangat kuat tingkat kepentingannya daripada Oj 9 Jika Oimutlak lebih penting daripada Oj
Gambar 1. Komponen-Komponen SPK [3] C.
Sistem Pendukung Keputusan Kelompok Sistem pendukung keputusan kelompok (Group Decision Support System)adalah “sebuah sistem berbasis komputer yang mendukung sekelompok orang yang tergabung dalam suatu tugas (atau tujuan) bersama yang menyediakan interface yang dapat digunakan bersama”. Group Decision Support System (GDSS) adalah sistem berdasarkan komputer yang interaktif yang memudahkan pemecahan atas masalah semi terstruktur dan tidak terstruktur oleh beberapa pembuat keputusanyang bekerja sama sebagai suatu kelompok [1].
137
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
2, 4, 6, 8 Kebali kan
3.
pairwise masing-masing alternatif dengan menentukan eigenvector setiap alternatif [4]. Cara yang digunakan sama dengan membuat peringkat prioritas diatas. a. Menentukan matriks pairwise comparisons masing-masing alternatif b. Menentukan nilai eigenvector masing-masing alternatif c. Menentukan peringkat alternatif Peringkat/rangking alternatif dapat ditentukan dengan mengalikan nilai eigenvector alternatif dengan eigenvector kriteria.
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika aktivitas I mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan dengan i
Setelah matriks perbandingan berpasangan terbentuk, maka langkah berikutnya adalah menentukan bobot prioritas elemen (kriteria). Penentuan bobot prioritas kriteria yang digunakan yaitu metode Additive Normalization (AN). Dalam [7], Saaty menyatakan bahwa, untuk menentukan bobot prioritas dengan metode Additive Normalization (AN) dapat dilakukan dengan cara : a. Menjumlahkan nilai dari setiap kolom dalam matriks perbandingan berpasangan menggunakan persamaan (1). , i,j = 1, 2, ..., n.
Apabila nilai CR ≤ 0.1 maka dapat disimpulkan matriks perbandingan berpasangan yang dibuat sudah konsisten. Namun jika nilai CR > 0.1 maka penilaian prioritas harus diperbaiki [9]. Daftar Index Random Consistency (IR) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Index Random Consistency (IR) Ukuran Nilai IR Matriks 1 0 2 0 3 0,58 4 0,9 5 1,12 6 1,24 7 1,32 8 1,41 9 1,45 10 1,49 11 1,51 12 1,48 13 1,56 14 1,57 15 1,59
(1)
b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks menggunakan persamaan (2). , i,j = 1, 2, ..., n.
(2)
dimana adalah nilai elemen matriks ternormalisasi pada baris ke-i kolom ke-j. c. Menjumlahkan semua nilai setiap baris dari matriks yang telah dinormalisasi dan membaginya dengan jumlah elemen. Hasil pembagian tersebut menunjukkan nilai bobot prioritas untuk setiap elemen (kriteria) menggunakan persamaan (3) , i,j = 1,2,...,n
4.
(3)
Mengukur konsistensi. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah : a. Menghitung nilai
E.
Borda Metode Borda merupakan metode voting yang dapat menyelesaikan pengambilan keputusan kelompok, dimana dalam penerapannya masingmasing decision maker memberikan peringkat berdasarkan alternatif pilihan yang ada, proses pemilihan dalam metode Borda, masing-masing voter diberikan alternatif pilihan. Di misalkan ada n kandidat pilihan, kandidat atau alternatif pertama diberikan n poin oleh voter atau decisian maker. Kandidat kedua diberikan poin n-1 dan seterusnnya. Penentuan pemenang atau alternatif terbaik berdasarkan poin yang tertinggi. Alternatif dengan nilai tertinggi merupakan bahan pertimbangan yang akan dipilih [10]. Implementasi metode Bordadapat dilihat pada Tabel 3.
. Menyatakan bahwa
nilai dapat denganpersamaan (4) [8].
ditentukan (4)
dimana n adalah banyak elemen matriks, A adalah matriks perbandingan berpasangan, dan adalah matriks bobot prioritas (eigenvector). b. Menghitung Consistency Index menggunakan persamaan (5). CI =
(5)
c. Menghitung Consistency menggunakan persamaan (6). CR =
5.
(CI)
Ratio
Tabel 3. Implementasi metode Borda Alternatif Pilihan Ran Decision king Maker A B C D
(CR)
(6)
Mencari peringkat/rangking alternatif dari matriks 138
Poin
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
1
2
1
4
3
1
3
2
3
1
4
2
2
2
3
1
2
3
4
3
1
6
8
1
3
4
0
Perhitungan
Gambar 3. Diagram Konteks B.
GambaranSistem Sistem yang dirancang dan dibangun dalam penelitian ini adalah sistem yang dapat merekomendasikan tempat PKL bagi mahasiswa di di prodi teknik komputer Politeknik Aceh Selatan. Adapun beberapa data yang dibutuhkan adalah data perusahaan yang akan dijadikan alternatif tempat PKL mahasiswa, data kriteria, data subkriteria, data decision maker, data mahasiswa. Dalam penelitian ini digunakan 4 kriteria yang memiliki masing-masing subkriteria seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Masing-masing Decision Maker melakukan analisa alternatif pilihan yang ada. Alternatif pilihan dengan peringkat pertama diberikan poin tertinggi, misalnya peringkat pertama diberikan poin 3, peringkat kedua diberikan poin 2, peringkat 3 diberikan poin 1, peringkat keempat diberikan poin 0. Nilai poin dari hasil pengambilan keputusan masing-masing decision maker dijumlahkan secara keseluruhan. Hasil perhitungan metode Borda dengan melibatkan nilai poin alternatif A yaitu (2+1+3) = 6, alternatif B (3+3+2) = 8, alternatif C (0+0+1) = 1 dan alternatif D (1+2+0) = 3. Berdasarkan hasil perhitungan metode Borda diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai poin tertinggi adalah alternatif pilihan B.
No
Praktek Kerja Lapangan Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan kegiatan praktek kerja bagi mahasiswa yang dilakukan diluar kampus. Mahasiswa di Politeknik Aceh Selatan khususnya pada Program Studi Teknik Komputer diberikan pembekalan keterampilan praktik dalam bidangnya secara umum sebelum para mahasiswa ditempatkan di perusahaan/industri, setelah diberikan pembekalan barulah mahasiswa ditempatkan sesuai dengan kompetensi yang paling dikuasainya oleh pihak program studi.
Tabel 4. Kriteria Pemilihan tempat PKL Kriteria Subkriteria
1
Akademik
2
Bidang Keahlian
F.
III.
METODE PENELITIAN
A.
Diagram Konteks Diagram alir data atau DFD (data flow diagram) berguna untuk mengetahui kebutuhan sistem dan member gambaran yang jelas dan lengkap kepada pembuat program dalam membuat sistem perangkat lunak. Pada diagram konteks ditunjukkan dua tipe pengguna yaitu Admin dan Decision Maker. Untuk dapat menggunakan sistem, terlebih dahulu user melakukan login. Admin bertugas memasukkan data decision maker, data perusahaan, data kriteria, data subkriteria, data mahasiswa, dan data nilai mahasiswa. Sedangkan decision maker melakukan perbandingan berpasangan antar kriteria dan antar subkriteria untuk setiap alternatif perusahaan tempat PKL mahasiswa. Diagram konteks terlihat pada Gambar 3.
3
Kepribadian
4
Kemampuan Mahasiswa
IPK Jaringan Perangkat Keras Pemrograman Penampilan Komunikasi Etika Dasar Komputer Algoritma Pemrograman Jaringan Komputer Basis Data Sistem Operasi Pemrograman Terstruktur Keamanan Jaringan Arsitektur Komputer Struktur Data
Arsitektur sistem yang digunakan dalam Group Decision Support system pemilihan tempat PKL mahasiswa, merupakan hubungan yang dapat dilihat antara komponen-komponen yang berhubungan pada sistem. Arsitektur sistem dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Gambaran Sistem
139
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pengujian proses perhitungan AHP Pengujian proses perhitungan AHP merupakan proses pengujian bobot kriteria, bobot subkriteria, bobot kriteria global, pembobotan setiap perusahaan untuk masing-masing mahasiswa yang dilakuakan oleh setiap decision maker. Pengujian perhitungan bobot kriteria global diperoleh dari perkalian bobot kriteria dengan bobot subkriteria perusahaan alternatif tempat PKL yang didapat dari setiap decision maker yaitu kaprodi, dosen pembimbing PKL, dan kordinator PKL. Hasil pengujian perhitungan bobot kriteria global dari para decision maker terdiri dari sebelas perusahaan yang menjadi alternatif perusahaan. Pada Gambar 5.. Ditunjukkan bobot hasil kriteria, bobot hasil subkriteria, dan bobot hasil kriteria global yang didapat dari proses perhitungan menggunakan metode AHP.
Gambar 6. Hasil pembobotan nilai mahasiswa terhadap alternatif Setelah didapatkan hasil pembobotan nilai mahasiswa terhadap alternatif perusahaan maka akan didapatkan nilai bobot setiap mahasiswa dari para decision maker untuk semua alternatif perusahaan yang ada. Pembobotan total dari setiap decision maker ditunjukkann pada Gambar 7.
Gambar 5. Hasil perhitungan pembobotan B.
Hasil pembobotan nilai mahasiswa terhadap alternatif perusahaan Hasil pengujian pembobotan setiap mahasiswa terhadap setiap alternatif perusahaan diperoleh dari perkalian nilai kriteria dari mahasiswa dengan bobot kriteria global setiap alternatif perusahaan yang didapat dari setiap decision maker. Hasil perhitungan pembobotan nilai mkahasiswa terhadap alternatif perusahaan ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 7. Hasil total bobot dari setiap decision maker
140
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
C.
Penentuan score terhadap alternatif perusahaan Sebelum dilakukan proses penentuan score terlebih dahulu dilakukan perangkingan alternatif perusahaan untuk setiap mahasiswa untuk mendapatkan nilai bobot score yang akan dihitung dengan menggunakan metode Borda. Hasil perangkingan alternative ditunjukkan pada Gambar 8, dan Hasil penentuan score akhir ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Perhitungan score prioritas alternatif perusahaan D.
Hasil rekomendasi akhir tempat PKL setiap mahasiswa Hasil rekomendasi disini didapat dari nilai score tertinggi dari setiap mahasiswa setelah melalui proses perangkingan untuk setiap alternatif perusahaan dengan jumlah kuota penerimaan yang dibutuhkan. Sehingga hasil akhir rekomendasi tempat PKL mahasiswa tidak selalu merupakan prioritas pertama, karena bisa jadi prioritas ke dua dan seterusnya. Hasil rekomendasi pemilihan tempat PKL mahasiswa ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 8. Perangkingan alternatif perusahaan setiap mahasiswa
141
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Intelligence System, ninth Edition, Prentice Hall, New Jersey, USA. [2] Bourgeois, R. 2005. Analytical Hierarchy Process: an Overview,UNCAPSA-UNESCAP. Bogor. [3] Turban, E., Aronson, J.E. & Liang, T.-P.,, 2005. Decision support systems and intelligent system (Sistem PendukungKeputusan dan Sistem Cerdas), Edisi 7 Jilid 1, Diterjemahkan Oleh : Dwi Prabantini, ANDI OFFSET Yogyakarta. [4] Saaty, Thomas L., 1993, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik Untuk Pengmbilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks, Pustaka Binama Pressindo, Jakarta. [5] Meng, M., 2013. The Research and Application of the Risk Evaluation and Management of Information Security Based on AHP Method and PDCA Method. International Conference on Information Management, Inovation Management and Industrial Engineering, pp.379–383. [6] Reenoij, S., 2005, Multi Attribute Decision Making Under Certainty, The Analytic Hierarcy Process. [7] Srdjevic, B., 2005, Combining different prioritization methods in the analytic hierarchy process synthesis, Elsevier. [8] Kusumadewi, S., Hartati, S., Harjoko, A., dan Wardoyo, R., 2006, Fuzzy Multi Attribute Decision Making. Graha Ilmu Yogyakarta. [9] Saaty, T. and Vargas,L., 2001, Models, Methods, Concepts and Application of The Analytic Hierarchy Process, Sepringer Science Business New York. [10] Wang, C.W.C. & Leung, H.L.H., 2004. A secure and fully private borda voting protocol with universal verifiability. Proceedings of the 28th Annual International Computer Software and Applications Conference, 2004. COMPSAC 2004.
Gambar 10. Hasil rekomendasi perusahaan tempat PKL
V.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian pemilihan tempat PKL mahasiswa di prodi teknik komputer Politeknik Aceh Selatan dengan menggunkan metode AHP dan Borda adalah: 1. Sistem ini dapat membantu dalam pengambilan keputusan mengenai pemilihan tempat PKL mahasiswa pada program studi teknik komputer Politeknik Aceh Selatan. 2. Sistem yang dibangun bersifat dinamis karena parameter yang digunakan dalam pengambilan keputusan dapat ditambah, diubah dan dihapus, demikian juga dengan nilai perbandingan berpasangan kriteria, subkriteria dan data alternatif perusahaan yang menggunakan metode AHP dapat diubah, sehingga mempengaruhi hasil pengambilan keputusan. 3. Penerapan metode AHP dan Borda dalam pemilihan tempat PKL mahasiswa sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
BIODATA PENULIS Dirja Nur Ilham, S.Kom lahir di Ujung Tanah pada tanggal 09 April 1985. Lulusan Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 2008. Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA [1] Turban, E., Sharda, R., dan Delen, D., 2011, Decisian Support System and Business 142
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Simulasi Numerik Model Kontak Serat-Matriks pada Komposit Berpenguat Typha spp. Numerical Simulation Contact Model Fiber-Matrix on Typha spp Reinforced Composite Ikramullah1, Syifaul Huzni2, Sulaiman Thalib2, Samsul Rizal2 1
2
Program Studi Doktor Ilmu Teknik Universitas Syiah Kuala Program Studi Teknik Mesin, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Syiah Kuala 1,2 Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak- Sejak beberapa tahun terakhir penggunaan serat alam untuk menggantikan peran serat sintetis sebagai penguat komposit semakin meningkat. Salah satu serat alam yang sedang dikembangkan untuk memperkuat komposit adalah serat Typha spp. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh tipe mesh pada pemodelan kontak kondisi antarmuka (interface) antara serat Typha spp dan matriks Epoxy resin. Geometri dimodelkan dengan serat searah dalam skala Unit Cell (UC) dan diberikan beban bending. Kondisi antarmuka serat Typha spp. dan matriks dimodelkan dengan dua model kontak yaitu Frictionless dan Frictional dengan adaptive mesh dan refine relevance centre mesh, kemudian dianalisis menggunakan Metode Elemen Hingga. Hasil penelitian menunjukkan tipe mesh refine relevance centre mesh membutuhkan waktu kalkulasi yang lebih lama dan iterasi yang lebih banyak. Kata kunci : model kontak, komposit, serat Typha spp, metode elemen hingga Abstract- Since the last few years the use of natural fiber to replace synthetic fibers as reinforcement composites is increasing. One of the natural fiber being developed to reinforced composite is Typha fiber. The purpose of this research was to study the effect of mesh type on contact modeling of interface conditions between Typha spp fiber and Epoxy resin as matrix. Geometry is modeled with unidirectional fiber in Unit Cell (UC) scale and given the bending load. The interface conditions of Typha spp fiber and matrix is modeled with two contact models i.e. Frictionless and Frictional with adaptive meshandrefine relevance centre mesh, then analyzed using the Finite Element Method. The results showed that refine relevance centre mesh required more calculations which takes longer time and more iterations. Keyword : Contact model, composite, Typha spp fiber, finite element method
I.
jual dan masih dianggap sebagai parasit, oleh karena itu pertumbuhan Typha spp sering tidak diharapkan. Tetapi meskipun tanaman Typha spp masih dianggap parasit, sebenarnya memiliki banyak potensi namun masih kurang dimanfaatkan bila dibandingkan dengan serat alam lainnya [2]. Salah satu bagian yang bisa dimanfaatkan adalah serat Typha spp untuk memperkuat komposit. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan pendekatan eksperimen, komposit berpenguat serat Typha spp memiliki kekuatan lentur yang baik [3], ringan [4], dan memiliki sifat mekanik yang cukup baik [5].
PENDAHULUAN
Penggunaan serat sintetis seperti serat kaca, serat karbon dan serat aramid mengambil peran dominan dalam pembuatan komposit. Namun sejak beberapa tahun terakhir serat sintetis mulai digantikan dengan serat alam karena memiliki beberapa keunggulan seperti ramah lingkungan, bisa didaur ulang, dan biaya rendah [1]. Salah satu serat alam yang memiliki potensi untuk menggantikan serat sintetis adalah serat Typha spp. Typha spp kebanyakan tumbuh di rawa-rawa dan lahan basah. Tumbuhan ini masih dianggap sebagai tanaman yang tidak memiliki banyak manfaat, tidak memiliki nilai
143
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Ramanaiah [2] meneliti sifat mekanik dan konduktivitas termal komposit polimer berpenguat serat Typha angustifolia. Berdasarkan penelitiannya, beliau menyimpulkan bahwa kekuatan tarik komposit yang diperkuat serat Typha angustifolia meningkat seiring dengan meningkatknya jumlah serat pada komposit. Hasil yang sama didapatkan oleh Ponnukrishnan [5] yang menginvestigasi karakteristik mekanis dari komposit berpenguat serat Typha domingensis. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan pemodelan kondisi antarmuka serat dan matriks pada komposit berpenguat serat Typha spp. yang pernah dilakukan [6] dengan memanfaatkan dua model kontak yang tersedia pada software ANSYS yaitu model kontak Bonded dan model kontak No separation. Pada penelitian ini menggunakan dua model kontak yaitu model kontak Frictionless dan Frictional.
Poisson rasio ditentukan secara acak dalam kisaran 0,00-0,35 [9]. Sifat-sifat mekanik serat Typha spp dan epoxy resin disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Sifat mekanik serat Typha spp dan epoxy resin Properti Densitas (g/cm3) Kuat tarik maksimum (MPa) Modulus Young (MPa) 1 [8] 2[10] *[11]
Metode simulasi numerik dengan metode elemen hingga dipilih untuk mempermudah menganalisa perilaku komposit berpenguat serat alam. Pada penelitian ini metode elemen hingga digunakan untuk menganalisa kondisi antarmuka (interface) serat-matriks. Metode elemen hingga telah digunakan untuk menganalisis perilaku global komposit struktur dan memainkan peran penting dalam mendeteksi kerusakan komposit [7]. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh tipe mesh pada pemodelan kontak kondisi antarmuka (interface) antara serat Typha spp dan matriks epoxy resin pada komposit berpenguat serat Typha spp. yang diberikan beban bending dengan pendekatan simulasi numerik.
II.
Serat Typha spp.1 1,25* 202
Epoxy resin2 1,16 73
11,565
5
Gambar 1. Geometri mikromekanik komposit
B. Model Kontak Kondisi antarmuka serat-matriks dimodelkan dalam skala Unit Cell (UC) dengan tiga konstituen yaitu serat, matriks dan antarmuka/kontak antara serat dan matriks. Kontak antara serat dan matriks dimodelkan dengan dua model kontak yang tersedia pada software ANSYS Workbench yaitu model kontak Frictionless dan Frictionalyang mereprensentasikan kondisi antarmuka serat dan matriks seperti yang terlihat pada Gambar 2.Estimasi nilai koefisien gesek antara serat dan matriks adalah 0.05.
METODE PENELITIAN A. Material dan Geometri
Data-data mekanik serat Typha spp dan epoxy resin didapakan dari beberapa literatur. Serat Typha spp dengan serat panjang dan searah dimodelkan dengan menggunakan ANSYS Workbench. Serat Typha spp dengan panjang serat 220 mm dan diameter serat 26,6 μm [8]. Poisson rasio epoxy resin adalah 0,4. Karena penentuan nilai Poisson rasio serat alam sangat sulit maka dengan demikian nilai
144
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 2. Serat sebagai contact face a.
Adaptive Mesh
Gambar 3. Matriks sebagai target face
b. Refine Relevance center mesh Warna biru yang terlihat pada gambar diatas merupakan target body dari daerah matriks yang memiliki kontak langsung dengan serat sehingga disebut dengan target face seperti terlihat pada Gambar 3. Sedangkan warna biru menggambarkan area serat yang berhadapan langsung dengan area matriks, area ini disebut dengan contact face. Di sini perlu selalu diingat ketika memodelkan model kontak adalah target body harus lebih kaku dan kuat dibandingkan dengan contact body.
Gambar 4. Dua tipe mesh Pada tipe adaptive mesh terlihat elemenelemen mesh mempunyai area yang lebih luas dibandingkan dengan elemen pada refine relevance centre mesh. Dengan begitu tipe refine relevance centre mesh mempunyai jumlah elemen yang lebih banyak. Model geometri diberikan beban bending dengan penyangga fixed support pada pinggiran model geometri dapat dilihat pada Gambar 5.
C. Mesh dan Kondisi Batas Dalam penelitian ini digunakan dua tipe mesh untuk melihat hubungan antara mesh dan model kontak. Dua tipe mesh tersebut ialah adaptive mesh dan refine relevance centre mesh. Bentuk dari dua tipe mesh tersebut ketika diapilkasikan pada model geometri seperti pada Gambar 4.
Gambar 5. Kondisi pembebanan
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada empat formula kontak yang tersedia untuk pemodelan kontak pada software ANSYS Workbench yaitu pure penalty, augmented lagrange, normal lagrange dan multi-point constraint (MPC). Untuk formula pure penalty, augmented lagrange dan normal lagrange bisa digunakan pada semua
145
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
model kontak, sedangkan untuk MPC hanya bisa digunakan pada model kontak bonded dan no separation.
Gambar 7. Jarak sliding model kontak frictional
Pada kasus pemodelan mikromekanik serat dan matriks ini dengan model kontak frictional dan frictionless menggunakan formula yang dikontrol oleh software. Dimana software ANSYS akan memberikan formula augmented lagrange dan normal lagrange untuk model kontak frictional dan frictionless. Untuk kelakuan model kontak dipilih symmetric behavior yang membatasi penetrasi permukaan contact face dalam hal ini permukaan serat dari permukaan matriks (target face). Beberapa fenomena yang terjadi pada kontak seperti tegangan gesek, tekanan, jarak sliding dan penetrasi bisa dianalisa oleh software. Sliding yang terjadi pada model kontak frictionless diperlihatkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 8. Status model kontak Gambar 8 menyajikan nilai yang didapat dari hasil kalkulasi pada dua model kontak tidak jauh berbeda, hanya pada nilai tegangan gesek terjadi perbedaan yang signifikan dimana model kontak frictionless tidak menghasilkan tegangan gesek sedangkan model kontak frictional mempunyai nilai tegangan gesek sebesar 0.12033 MPa.
Gambar 6. Jarak sliding model kontak frictionless
Perbandingan hasil dari model kontak frictionless dengan adaptive mesh dan refine relevance center mesh disajikan dalam Gambar 9. Nilai tekanan maksimum pada model kontak frictionless dengan adaptive mesh sebesar 2.3462 MPa sedangkan dengan refine relevance centre mesh 2.9624 MPa. Jarak sliding serat dari matriks pada model kontak frictionless dengan adaptive mesh sebesar 0.00043563 mm dan dengan refine relevance centre mesh sebesar 0.00043327 mm.
146
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
b.
rictionless, refine relevance centre mesh Gambar 10. Proses kalkulasi model kontak frictionless Pada Gambar 10a. terlihat perpotongan antara garis force convergence dan force criterion pada iterasi ketujuh, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil kalkulasi hanya 1 jam dan tidak perlu menggukan metode bisection, sedangkan pada Gambar 10b. dibutuh 17 iterasi dan dibutuhkan sekitar 5 jam untuk kalkulasi. Fenomena yang sama terjadi pada model kontak frictional seperti terlihat pada Gambar 11.
Gambar 9. Satus model kontak dengan dua tipe mesh Proses kalkulasi pada software untuk menyelesaikan permasalahan non linier menggunakan metode bisection pada model kontak dengan refine relevance center mesh. Perbedaan kalkulasi dari dua tipe mesh bisa dilihat pada Gambar 10.
a.
a.
Frictionless, adaptive mesh
147
Frictional, adaptive mesh
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
yang telah mendanai penelitian ini dengan skema Program Magister Menuju Doktor (PMDSU).
DAFTAR PUSTAKA 1.
Sanjay, M. R., Arpitha, G. R., Yogesha B., Study on Mechanical Properties of NaturalGlass Fiber Reinforced Polymer Hybrid Composites: A Review. Materials Today: Proceedings2, 2015, pp. 2959-2967. 2. Ramanaiah, K., Ratna, P. A. V., Chandra, R. K. H., Mechanical Properties and Thermal Conductivity of Typha Angustifolia Natural Fiber–Reinforced Polyester Composites. International Journal of Polymer Analysis and Characterization vol.16, 2011, pp. 496503. 3. Bajwa, D. S., Sitz, E. D., Bajwa,S. G., Barnick, A. R., Evaluation of cattail (Typha spp.) for manufacturing composite panels. Industrial Crops and ProductsPart B, vol.75, 2015, pp 195-199. 4. Wuzella, G., Mahendran, A. R., Bätge, T., Jury S., Kandelbauer, A., Novel, BinderFree Fiber Reinforced Composites Based on A Renewable Resource From The ReedLike Plant Typha sp. Industrial Crops and Products vol.33, 2011, pp. 683-689. 5. Ponnukrishnan, P., Thanu C. M., Richard, S., Mechanical Characterisation of Typha Domingensis Natural Fiber Reinforced Polyester Composites. American International Journal of Research Science, Technology, Engineering, Mathematics vol.6, 2014, pp. 241-244. 6. Ikramullah., Samsul Rizal, Syifaul Huzni, Sulaiman Thalib., Finite Element Simulation of Micromechanical Bending Behavior of Typha Fiber Reinforced Composite. ProceedingsofInternationalConferenceonEn gineeringand ScienceforResearchandDevelopment(ICESR eD), Banda Aceh, Oktober 2016. 7. Alnefaie, K., Finite element modeling of composite plates with internal delamination. Composite Structures vol.90, 2009, pp. 2127. 8. Witztum, A., Randy W., Fiber cables in the lacunae of Typha leaves contribute to a tensegrity structure. Annals of Botany, Oxford University Press, 2014.
b. Frictional, refine relevance center mesh Gambar 11. Proses kalkulasi model kontak frictonal Model kontak frictional dengan adaptive mesh membutuhkan waktu kalkulasi yang jauh lebih lama dan jumlah iterasi yang lebih banyak dibandingkan dengan model kontak frictionless degan tipe mesh yang sama. Gambar 11b. memperlihatkan proses kalkulasi yang terjadi pada model kontak frictional dengan refine relevance center mesh meskipun telah terjadi perpotongan antara garis force convergen dan foce criterion namun hasil kalkulasi tidak bisa ditampilkan oleh software. Fenomena memperlihatkan bahwasanya pemilihan tipe mesh akan sangat berpengaruh pada model kontak antamuka serat dan matriks.
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian menunjukkan tipe mesh refine relevance centre mesh membutuhkan waktu kalkulasi yang lebih lama dan iterasi yang lebih banyak meskipun nilai yang didapat tidak jauh berbeda dengan tipe adaptive mesh. Oleh karena itu pemilihan tipe mesh akan sangat berpengaruh pada model kontak antamuka serat dan matriks untuk mempercepat proses kalkulasi.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Inodesia
148
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
9.
Leandro. J. S., Túlio, H. P., André L. C., Luís, M. P. D.,Francisco, A. R. L., Numerical and Experimental Analyses of Biocomposites Reinforced with Natural Fibers. International Journal of Materials Engineering vol. 4, 2012, pp. 43-49. 10. Joao, M. L. R., Effect of Temperature on the Mechanical Properties of Polymer Mortars. Materials Research vol.15, 2012, pp. 645-649. 11. Mortazavi, S.M., Meghdad, K. M., Introduction of a New Vegetable Fiber for Textile Application. Journal of Applied Polymer Science vol.113, 2009, pp. 3307– 3312.
BIODATA PENULIS Penulis merupakan mahasiswa pada Program Doktor Ilmu Teknik, Program Pascasarjana UNiversitas Syiah Kuala.
149
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penyelidikan Perilaku Mekanik Tarik Komposit Serat Kenaf Sebagai Material Alternatif Penahan Panas Knalpot Sepeda Motor Investigation Mechanical Behavior Of Tensile Composite Of Kenaf’s Fiber As Alternative Material For Motorcycle Exhaust Protector Fadly A. Kurniawan Nst ST. MT1, Rahmawaty, ST, MT2 1 Staff Pengajar Jurusan Teknik Mesin, STT-Harapan, Medan. Staff Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Medan. 1 Jalan H.M. Joni No. 70C Medan, Telp/Fax. (061)7366804 – 7368470 2 Jalan Almamater No. 1 Kampus USU Padang Bulan, Medan. Email:
[email protected] 2
Abstrak - Kebutuhan akan material alternatif pengganti telahmendorongpeningkatandalampermintaanterhadap material komposit. Komposit merupakan material yang tersusun atas Matriks dan penguat (reinforcement). Komposit berbahan dasar serat alam saat ini menjadi trend baru dalam perkembangan industri, khususnya industri otomotif, sebagai material pengganti serat polyester. Kenaf merupakan salah satu tanaman yang dapat dibudidayakan sebagai tanaman penghasil serat. Sifat mekanik komposit berpenguat serat alam dapat dipengaruhi oleh perbandingan komposisi serat dengan penguatnya. Komposit dengan penguat serat kenaf akan dilakukan pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh nilai tegangan, regangan dan modulus elastisitas dari spesimen komposit berpenguat serbuk kenaf dengan komposisi 90:10; 80:20; dan 70:30 (Persen Resin:Penguat serat Kenaf). Serat yang digunakan berupa serat kasar dan serat halus. Metode pembuatan komposit dengan menggunakan metode Hand Lay-Up. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengujian tarik untuk mendapatkan nilai tegangan, regangan, dan modulus elastisitas. Kata kunci : Komposit, Tegangan, Regangan, Modulus Elastisitas, Hand lay up.
Abstract - The need for alternative material replacement have increased in demand for composite materials. The composite material is composed by Matrix and reinforcement. Composite made from natural fibers is a new trend in the development of the industry, particularly in automotive industries, as a substitute Alternatively of polyester fiber. Kenaf is one of the plants that can be cultivated as crops which producing fibres. Mechanical properties of composite reinforced by natural fibers can be affected by a variation of the composition of the fiber and the reinforcement. Mechanical properties of Composite with Kenaf’s fiber will be investigated on this research. This research aims to obtain the value of the stress, strain and elastic modulus of composite kenaf with composition of 90:10; 80:20; and 70:30 (Percent matrix : Kenaf fiber). Kenaf fiber that used floured rough and fluffy. Method of making composite by Hand Lay-Up. The testing of material is tensile test to get value of stress, strain, and elastic modulus of composit Kenaf. Keywords: Composite, Stress, Strain, Elastic Modulus, Hand Lay-up.
I. PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industri telah mendorong peningkatan dalam permintaan terhadap material komposit. Perkembangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industri mulai menyulitkan bahan konvensional seperti logam untuk memenuhi keperluan aplikasi baru. Industri pembuatan pesawat terbang, perkapalan, mobil dan industri pengangkutan merupakan contoh industri yang sekarang mengaplikasikan bahan-bahan yang memiliki sifat berdensitas rendah, tahan karat, kuat, tahan terhadap keausan dan fatigue serta ekonomis sebagai bahan baku industrinya.
Penelitian ini cukup beralasan karena ketersediaan bahan baku serat penguat yang melimpah baik dari serat penguat komposit organik (serat bambu, serat nanas, serat tebu, serat pisang, serat eceng gondok, dan ijuk) maupun serat penguat anorganik dan kebutuhan/permintaan hasil olahan material komposit yang cukup tinggi di pasaran. Setelah di temukannya berbagai macam serat sintetis yang dibuat secara kimiawi, kini para ilmuwan berlomba-lomba beralih melakukan penelitian pada serat alam.
150
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Para ilmuwan mulai meneliti sifat-sifat alami dan melakukan uji mekanis terhadap serat-serat alam yang ada. Penelitian dilakukan setelah diketahui kelemahankelemahan yang terdapat pada serat sintetis, yaitu diantaranya; harganya yang relatif mahal, tidak dapat terdegredasi secara alami, beracun dan jumlahnya yang terbatas.
Dengan adanya perbedaan dari material penyusunnya maka komposit antar material harus berikatan dengan kuat, sehingga perlu adanya penambahan wetting agent.
B. Penyusun Komposit 1)Matriks
Oleh karena itu para ilmuwan berusaha meneliti dan menemukan serat alam pengganti serat sintetis yang memiliki sifat antara lain: mudah didapatkan, dapat terurai secara alami, harganya yang murah dan tidak beracun, namun memiliki kekuatan mekanis yang sama atau lebih baik dari serat sintetis.
Berfungsi untuk perekat atau pengikat dan pelindung penguat dari kerusakan eksternal. Matriks, umumnya lebih ductile tetapi mempunyai kekuatan dan rigiditas yang lebih rendah. Matriks yang umum digunakan : resin, carbon, glass, kevlar, dan lain-lain.
A. Tujuan Penelitian 2)Penguat 1) Tujuan Umum Berfungsi sebagai penguat dari matriks. Penguat (reinforcement), yang mempunyai sifat kurang ductile tetapi lebih rigid serta lebih kuat, dalam penelitian ini penguat komposit yang digunakan yaitu dari serbuk alam. Penguat yang umum digunakan : serat, serbuk.
Mendapatkan perilaku mekanis komposit berpenguat kenaf pada beberapa komposisi melalui pengujian tarik. 2) Tujuan Khusus
C. Jenis-Jenis Komposit
Adapun tujuan khusus dari penelitian serat alam kenaf, yaitu:
1)Bahan Komposit Partikel 1.
2.
Memporoleh perbandingan nilai tegangan pada spesimen komposit serbuk kasar dan halus tanaman kenaf dengan komposisi 10%, 20% dan 30% serbuk kenaf. Memperoleh perbandingan nilai regangan pada spesimen komposit serbuk kasar dan halus tanaman kenaf dengan komposisi 10%, 20% dan 30% serbuk kenaf.
Dalam struktur komposit, bahan komposit partikel tersusun dari partikel– partikel disebut bahan komposit partikel (particulate composite) menurut defenisinya partikel ini berbentuk beberapa macam seperti bulat, kubik, tetragonal atau bahkan berbentuk yang tidak beraturan secara acak, tetapi rata–rata berdimensi sama. Bahan komposit partikel umunya digunakan sebagai pengisi dan penguat bahan komposit keramik (ceramic matrik composites).
Memperoleh perbandingan nilai modulus elastisitas pada spesimen komposit serbuk kasar dan halus tamana kenaf dangan komposisi 10%, 20% dan 30% serbuk kenaf.
Bahan komposit partikel pada umunya lebih lemah dibanding bahan komposit serat. Bahan komposit partikel mempunyai keunggulan, seperti ketahanan terhadap aus, tidak muda retak dan mempunyai daya pengikat dengan matrik yang baik. Bahan komposit partikel dapat di lihat pada gambar 2.2.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Komposit Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih material sehingga dihasilkan material komposit yang mempunyai sifat mekanik dan karakteristik yang berbeda dari material pembentuknya. Sedangkan secara umum komposit dapat didefinisikan sebagai suatu jenis bahan baru hasil rekayasa yang terdiri dari dua atau lebih bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya baik itu sifat kimia maupun fisikanya dan tetap terpisah dalam hasil akhir bahan tersebut (bahan komposit).
Gambar 2.2 Bahan Komposit Partikel.
151
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
2) Bahan Komposit Laminat
Pada umumnya komposit serat terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Komposit laminat seperti yang terlihat pada gambar 2.3 adalah komposit yang terdiri dari dua lapis atau lebih dan bahan penguat yang digabung menjadi satu dan setiap lapisnya memiliki karakteristik sifat sendiri, contohnya polywood, laminated glass yang sering digunakan sebagai bahan bangunan dan kelengkapannya.
1) Komposit serat panjang Keistimewaan komposit serat panjang ini adalah lebih mudah diorientasikan jika dibandingkan dengan serat pendek. Walaupun demikian serat pendek memiliki kemungkinan rancangan yang lebih banyak. Secara teori serat panjang dapat menyalurkan suatu pembebanan atau tegangan dari suatu titik pemakaiannya. Pada prakteknya hal ini tidak mungkin karena variabel pembuatan komposit serat panjang tidak mungkin memperoleh kekuatan tarik melampaui panjangnya. Perbedaan antara serat pendek dan serat panjang adalah serat pendek dibebani secara tidak langsung dan kekuatan atau kelemahan matriks akan menentukan sifat dari produk komposit tersebut, yakni jauh lebih kecil dibandingkan dengan besaran yang terdapat pada serat panjang. Bentuk serat panjang memiliki kemampuan yang tinggi disamping itu kita tidak perlu memotong-motong serat. Komposit serat panjang yang dapat di lihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.3 Bahan Komposit Laminat.
3) Bahan Komposit Serat Unsur utama komposit adalah serat yang mempunyai banyak keunggulan, oleh karena itu bahan komposit serat yang paling banyak dipakai. Bahan komposit serat terdiri dari serat–serat yang terikat oleh matrik yang saling berhubungan. Bahan komposit serat ini terdiri dari dua macam, yaitu serat panjang (continous fiber) dan serat pendek (short fiber dan whisker). Penggunaan bahan komposit serat sangat efesien dalam menerima beban dan gaya. Karena itu bahan komposit serat sangat kuat dan kaku bila dibebani searah serat, sebaliknya sangat lemah bila dibebani dalam arah tegak lurus serat. Selain itu serat juga menghemat penggunaan resin. Bahan komposit serat seperti yang terlihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.5 Komposit Serat Panjang
2) Komposit serat pendek Dalam pembuatan komposit serat pendek ini dipotong-potong pendek ± (20-100) mm panjangnya.Komposit serat pendek sepertiyang terlihat pada gambar 2.6. Gambar 2.4 Bahan Komposit Serat. Dapat diartikan bahwa serat pendek adalah serat dengan perbandingan antara panjang dan diameternya < 100 mm. Komposit dengan jenis serat pendek dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Jenis-jenis serat yang dapat digunakan sebagai penguat pada material komposit secara umum terbagi dua yaitu Serat organic dan Serat anorganik. Serat-serat organik dan anorganik umumnya digunakan untuk memperoleh bahan komposit serat. Serat organik seperti selulosa, propilene dan serat grafit pada umumnya dikarakterisasikan sebagai bahan yang ringan, lentur, elastis dan peka terhadap panas. Sedangkan serat anorganik seperti serat glas dan keramik merupakan serat yang paling tinggi kekuatannya serta terhadap panas.
a.
b. 152
Bahan komposit yang mengandung orientasi bidang acak. Pembuatan komposit jenis ini dilakukan dengan teknik “hand lay up”. Ukuran serat dapat dipilih untuk mendapatkan perbedaan jumlah penyebaran serat selama pencetakan. Bahan komposit yang diperkuat dengan serat pendek yang terorientasi ataupun sejajar satu
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dengan lainnya. Untuk mendapatkan komposit jenis ini digunakan teknik yang berbeda dengan terorientasi acak, yaitu “lay up”. Metode ini khusus digunakan dengan menggunakan cetak suntik (injection moulding) dan proses ekstruksi.
E. Komposit Serat Alam Koposit serat alam berbeda dengan serat sintetis yang sulit didapat, bobotnya lebih berat, tidak mampu melalui proses manufaktur secara alami dan tidak ramah lingkungan, dalam komposisi serat alam adaalah bahan alternatife baru dan mempunyai kelebihan yang baik, contohnya komposit ini tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Ke untungan lainnya adalah kualitas dapat divariasikan dan memiliki kestabilan panas yang rendah (Lonkantra, 2007).
1)KompositKenaf Gambar 2.6 Komposit Serat Pendek Tumbuhan kenaf adalah tumbuhan yang tumbauh berlimpah di dunia, selain dari bentuk serat yang cukup menarik serat kenaf (Hibiscus Canabinnus) memliki potensi sebagai penguat komposit yang dapat di perbaharui (Reneuble), ringan, murah, ramah lingkungan, dapat terbiodegrasi, tidak beracun, non abrasif, sifat mekanik tinggi, dan sangat banyak terdapat di indonesia (pijis, 2002).
3) Komposit serat acak Bahan komposit yang mengandung orientasi bidang acak. Komposit serat acak seperti yang terlihat pada gambar 2.7 ini biasanya dilakukan dengan teknik “hand lay up” dan menggunakan resin termoset. Ukuran serat dapat dipilih untuk mendapatkan perbedaan jumlah penyebaran serat selama pencetakan. Dengan adanya distribusi acak, maka nilai fraksi volum serat lebih rendah dalam komposit sehingga fraksi volum matrik lebih besar (Humaidi, 1998).
Dalam pembuatan komposit, serat dapat di atur memanjang (Unidirectional Composites) atau dapat di potong kemudian disusun secara acak (Random fibers) serta juga dapat di anyam (Cross-Ply Laminate). Komposit serat ini sering digunakan dalam industri otomotif dan pesawat terbang (Schwartz, 1984).
2) Kenaf Gambar 2.7 Komposit Serat Acak
Kenaf (hibiscus cannabinus ) adalah tanaman yang berasal dari tumbuhan pada ribuan tahun silam di Wilayah Timur-Af rica Tengah. Kenaf dapat tumbuh didaerah tropis maupun sub-tropis. Penelitian pertama kali di Amerika Serikat pengunaan serat dari tanaman agrikultur, dimulai sesudah Perang Dunia Ke II. Pada tahun 1950, Departemen Agrikultur Amerika seksi Agricultural Research Service (ARS) telah meneliti lebih dari 500 spesis tanaman yang berpotensial menghasilkan serat berkwalitas untuk keperluan industri Pulp dan Kertas. Hasil penelitian, menetapkan bahwa Kenaf memiliki serat terbaik untuk keperluan industri PULP dan KERTAS serta produk turunan lainnya. Tanaman Kenaf dapat di lihat pada gambar 2.10.
D. Matriks Matriks merupakan bahan yang digunakan untuk membalut dan menyatukan panguat tanpa bereaksi secara kimia dengan penguat. Matriks berfungai sebagai : a. b.
c.
Untuk melindungi komposit dari kerusakan, baik kerusakan mekanik maupun kerusakan kimiawi. Untuk mengalihkan/meneruskan beban dari luar kepada serat. Hal ini berarti bahwa matriks menyebarkan dan memisahkan serat-serat sehingga keretakan tidak berpindah dari satu serat ke serat yang lainnya. Sebagai pengikat.
Seratnya yang cukup menarik. Keunggulan yang dimiliki serat alam (serat kenaf/Hibiscus Canabinnus L) memiliki potensi sebagai penhguat komposit ,dapat diperbaharui (Tumbuhan kenaf adalah tumbuhan yang tumbuh berlimpah di dunia, selain bentuk dari reneuble), ringan, murah, ramah lingkungan, dapat terbiodegrasi, tidak beracun, non-abrasif, sifat mekanik tinggi, dan sangat berlimpah di Indonesia (Peijs,2002). 153
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Dalam pembuatan komposit, serat dapat diatur memanjang (unidirectional composites) atau dapat dipotong kemudian disusun secara acak (random fibers) serta juga dapat dianyam (cross-ply laminate). Komposit serat sering digunakan dalam industri otomotif dan pesawat terbang (Schwartz, 1984). Biasanya kenaf sebagai bahan baku untuk inidustri diantaranya adalah : a. b. c. d. e. f. g. h.
Pulp & Kertas Tekstil & Karpet, Dashboard MDF (medium density fiber) Bioplastik & Biokomposit Vegetal Oil (non-kolestrol), Pharmasi Kosmetik Oil Spill (pembersih minyak dilaut) Kosumsi Sayur Sehat Produksi Makanan Ternak
Gamabar 2.11 Proses hand lay-up (Gibson,1994). dan
Keuntungan hand lay-up : 1. 2. 3.
Peralatan sedikit dan harga murah. Kemudahan dalam bentuk. Variasi ketebalan dan komposisi serat dapat diatur dengan mudah.
Fraksi serat yang tinggi diperoleh dengan cara mengkombinasikan metode hand lay-up dengan cetak tekan (prees molding). Pada metode cetak tekan pengontrolan fraksi volume dapat dilakukan dengan menggunakan stopper (Rusmiyatno, 2007).
G. Uji Tarik Gambar 2.10 Batang Kenaf Uji tarik termasuk dalam pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujiannya sangat sederhana dan sudah mendekati standart ASTM D638M-84 di seluruh dinia (Amerika E8 dan Japan JIS 2241) Dengan melakukan uji tarik suatu bahan, maka akan di ketahui bagaimana bahan tersebut beraksi terhadap energi tambah tarikan dan sejauh mana material itu bertambah panjang.
F. Pembuatan produk komposit Proses pembuatan komposit sangat beraneka ragam dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling komplek dengan sistem komputerisasi. Tiap proses memiliki kelebihannya masing-masing. Ada berbagai macam proses yang dapat digunakan untuk membuat komposit antara lain metode hand-lay-up, metode spray-up, metode vacuum bagging (Gibson, 1994).
Alat eksperiumen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiffness).Gambar mesin uji tarik dapat dilihat pada gambar 2.12
Proses hand lay-up merupakan proses laminasi serat secara manual, dimana merupakan metode pertama yang digunakan pada pembuatan komposit. Metode hand lay-up lebih ditekankan untuk pembuatan produk yang sederhana dan hanya menuntut satu sisi saja yang memiliki permukaan halus (Gibson,1994).
154
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
= .................................................. (2.1) ∆
=
x 110% .....................................(2.2)
Hubungan kedua persamaan ini adalah :
E = ...................................................(2.3) Gambar 2.12 Mesin Uji Tarik (Tensile Test) Bila gaya tarik di berikan pada suatu bahan (logam) sampai putus,maka akan di dapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti di gambarkan pada gambar 2.13. Kurva ini menunjukan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.
Dimana : = Tegangan (MPa) = Regangan (%) ∆L = Perpanjangan (mm) = Panjang akhir (mm) = Panjang awal (mm) E = Modulus elastisitas (MPa)
Gambar 2.13 Hasil dan kurva pengujian tarik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
(www.infometrik.com)
A. Prosedur Pembuatan Spesimen Uji Tarik 1) Proses Pembuatan Serbuk 1.
Kenaf dipotong pada bagian ujung atas dan ujung bawah untuk memisahkan antara daun dan akar dengan batangnya, pada penelitian ini yang digunakan hanya batang kenaf. Batang kenaf yang digunakan dapat di lihat pada gambar 3.10.
Gambar 2.14 Sempel standar uji tarik ASTM E8-E8M09 1) Kekuatan Patah (Breaking Strength) Pada Gambar 2.14ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan dimana bahan yang diuji putus atau patah. Untuk hampir semua spesimen, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Tegangan yang terjadi adalah beban yang terjadi dibagi luas penampang bahan dan regangan adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan Atau secara matematis dapat ditulis:
Gambar 3.10 Batang Kenaf 2.
3.
155
Batang kenaf di kupas, agar larutan NaOH mudah meresap ke dalam batang kenaf pada saat direndam. Kenaf direndam dengan larutan NaOH selama 24 jam untuk menghilangkan kadar lemak yang terdapat pada serat kenaf. NaOH sebelum
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dilarutkan dalam air dapat dilihat pada gambar 3.11.
sudah diolesi dengan Wax (Mirror Glaze). Proses penuangan dapat di liahat pada gambar 3.14.
Gambar 3.11NaOH Sebelum Dilarutkan 4.
Kenaf dijemur dengan memenfaakan sinar matahari selama ± 48 jam.Proses ini di lakukan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat pada serat kenaf.Kenaf yang sudah kering dan tidak lagi mengandung air dapat di lihat pada gambar 3.12.
Gambar 3.14 Proses Penuangan 4.
5. 6.
Kemudian cetakan ditutup dengan kaca yg sudah di olesi dengan Wax (Mirror Glaze) dan berikan beban berat diatas tutup cetakan agar tidak terjadi pergeseran dan menghilangkan gelembung udara pada specimen yang di cetak. Setelah 12 jam, cetakan sudah dapat dibuka dan spesimen sudah jadi. Prosedur 1 hingga 5 dilakukan kembali untuk pembuatan spesimen dengan serbuk yang berbeda, juga kadar penguat dan pengikat yang berbeda.
Gambar 3.12kenaf Kering 5. 6.
B. HASIL PENGUJIAN TEGANGAN, REGANGAN, DAN MODULUS ELASTISITAS
Blender Kenaf hingga menjadi serbuk. Lakukan penyaringan untuk memisahkan serbuk halus dengan serbuk kasar.
Dari hasil pengujian spesimen sebuk kasar 10%, 20%, 30% mengahasilkan data tegangan, tabel dan grafik yaitu:
2) Proses Pencetakan 1. 2.
Timbang serbuk kenaf dengan resin dengan ukuran massa yang sudah ditentukan. Tuangkan serbuk kenaf dan resin ke dalam wadah untuk proses pencampuran kemudian diaduk hingga merata. Lalu berikan katalis beberapa tetes dan diaduk kembali. Proses pengadukan dapat dilihat pada gambar 3.13.
1) Hasil Pengujian Spesimen Pada Tegangan Dari hasil pengujian tegangan spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan. Hasil dari percobaan tersebut dapat di lihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Nilai Tegangan Serbuk Kasar
Gambar 3.13 Proses Pengadukan 3.
Tuangkan bahan yang sudah dicampur ke dalam cetakan yang diletakan diatas alas cetakan yang 156
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
1) Hasil Pengujian Spesimen Pada Tegangan 2) Hasil Pengujian Spesimen Pada Regangan
Dari hasil pengujian tegangan spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan. Hasil dari percobaan tersebut dapat di lihat pada tabel 4.4.
Dari hasil pengujian regangan spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan. Hasil dari 3 percobaan dapat di lihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.4 Nilai Tegangan Sebuk Halus
Tabel 4.2. Tabel nilai regangan serbuk kasar
2) Hasil Pengujian Spesimen Pada Regangan Dari hasil pengujian regangan spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan. Hasil dari 3 percobaan dapat di lihat pada tabel 4.5.
3) Hasil Pengujian Modulus Elastisitas Dari hasil pengujian Modulus Elastisitas spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan.
Tabel 4.5. Nilai Regangan Serbuk Halus
Tabel 4.3. Modulus elastisitas serbuk kasar
3) Hasil Pengujian Spesimen Pada Modulus Elastisitas
Dari hasil pengujian Modulus Elastisitas spesimen untuk berbagai komposisi yaitu, (90% Resin- 10% Serbuk), (80% Resin – 20% Serbuk), (70% Resin – 30% Serbuk) dilakukan 3 percobaan.
C. Hasil Pengujian Tegangan, Regangan, Dan Modulus Elastisitas Serbuk Halus Dari hasil pengujian spesimen sebuk halus 10%, 20%, 30% mengahasilkan data tegangan, tabel dan grafik yaitu:
157
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Tabel 4.6. Nilai Modulus Elastisitas
Dilihat dari grafik regangan rata – rata di atas bahwa reganga rata – rata tertinggi ada pada specimen dengan komposisi 70% Resin – 30% Serbuk yaitu sebesar 3,358. Nilai modulus elastisitas rata – rata untuk serbuk kasar dan serbuk halus dapat di lihat pada gambar 4.18
Dari seluruh tabel yang terdapat di atas maka di dapat hasil dari pada tegangan, regangan dan modulus elastisitasnya. Adapun gamabar grafik dari keseluruhan tegangan rata –rata, regangan rata –rata, dam modulus elstistas rata- rata dapat di lihat pada gambar grafik dapat di lihat untuk tegangan rata – rata terdapat pada gambar 4.16.
Gambar 4.18 Grafik Modulus Rata – Rata Dari gambar 4.18 dapat di lihat nilai modulus elastisitas pada serbuk kasar dan halus sangat jauh berbeda. Nilai tertinggi di dapat dari komposisi 90% Resin – 10% Serbuk kasar dengan nilai 1259 MPa.
4. KESIMPULAN Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah 1. Gambar 4.16 Grafik Tegangan Rata – Rata Dari grafik di atas dapat di lihat bahwa tegangan tarik rata - rata dari campuran serbuk halus lebih tinggi yaitu sebesar 28,647 MPa, di bandingkan dengan teganga tarik rata – rata dari campuran serbuk kasar. Untuk regangan rata – rata dapat di lihat pada gambar 4.17 seperti di bawah ini.
2.
Dari hasil pengujian uji tarik diperoleh beberapa perbandingan nilai Tegangan pada serbuk kasar dan halus 10%, 20% dan 30%. Hingga memperoleh nilai (Serbuk Kasar 26,535, 23,479, 22,441) MPa, (Serbuk Halus 28,647, 23,476, 55,774) MPa. Dan memperoleh hasil rata – rata (Serbuk Kasar 24,151 MPa), (Serbuk Halus 35,965 MPa). Dan semakin banyak campuran serbuk terhadap resin maka semakin tinggi kekuatan pada spesimen dengan nilai rata – rata 35,965 MPa. Dari hasil proses pengujian tarik memperoleh perbandingan nilai Regangan pada serbuk kasar dan halus 10%, 20% dan 30%. Hingga memperoleh nilai (Serbuk Kasar 2,139, 2,102, 3,358), (Serbuk Halus 2,991, 2,361, 2,704). Dan memperoleh hasil rata – rata (Serbuk Kasar 2,533), (Serbuk Halus 2,685). Dan semakin besar variasi serbuknya, maka semakin besar kekuatannya dengan nilai rata – rata 2,685%.
3. Dari
hasil penelitian dapat memperoleh perbandingan nilai Modulus elastisitas pada serbuk kasardan halus 10%, 20% dan 30%. Hingga memperoleh nilai (Serbuk Kasar 1259, 1187, 465,6) MPa, (Serbuk Halus 975, 1019, 836) MPa.
Gambar 4.17 Grafik Regangan Rata – Rata 158
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Dan memperoleh hasil rata – rata (Serbuk Kasar 970,53) MPa, (Serbuk Halus 943,33) MPa. Bahwa semakin besar variasi serbuknya, maka semakin tinggi nilai modulus elastisitas yang diperoleh pada saat pengujian tarik dengan nilai rata – rata 970,53 MPa.
5. DAFTAR PUSTAKA [1] Feldman, Dorel. 1995.Bahan Polimer Konstruksi Bangunan. Gramedia pustaka Utama, Jakarta. [2] Gibson, R.F., 1995, Priciples of Composite Material Mechanics. Copyright by McGraw-Hill.Inc., [3] Humaidi, Syahrul. 1998. Bahan Komposit Polimer.Universitas Sumatra Press, Medan [4] Japanese Industrial Standart. 2003. JIS Particle Board JIS A 5908 :2003. Japan [5] Maloney, T.M. 1997. Modern Particleboard dan Drying-Process Fiberboard Manufacturing. Miller Freeman Publication, San Francisco [6] Schwatrz, MM, 1984, Composit Material Handbook, McGraw Hill Inc. New york USA. [7] Tsomis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Van Nostran New York. [8] International Natural Fiber OrganiZation 2016. Kenaf-Fiber http://www.naturalfibersinfo.org/naturalfiber/kenaf/. Diakses 16 Agustus 2016
159
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Simulasi Efektivitas Anoda Galvanik pada Sistem Proteksi Katodik Beton Bertulang Menggunakan BEM-3D Simulation of Effectiveness Galvanic Anode on Cathodic Protection System for Reinforced Concrete Using BEM-3D Syarizal Fonna, Muzaiyin Arika Putra, Syifaul Huzni, M. Ridha Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia Phone: +62-651-7555874, Email :
[email protected]
Abstrak - Proteksi korosi pada beton bertulang bisa menggunakan beberapa metode yang salah satunya proteksi katodik anoda korban. Sejauh ini efektivitas sebuah sistem proteksi katodik anoda korban baru dapat diketahui efektif atau tidak, setelah sistem proteksi diaplikasikan di lapangan. Sehingga perlu metode untuk mengevaluasi efektifitas sebuah sistem proteksi anoda korban sebelum diaplikasikan. Metode elemen batas atau Boundary Elemen Method (BEM) merupakan salah satu metode simulasi korosi yang telah banyak digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas anoda galvanik Zn (Zinc) dan Mg (Magnesium) pada sistem proteksi katodik beton bertulang menggunakan BEM-3D merujuk pada penelitian sebelumnya. Potensial korosi dalam beton bertulang dimodelkan dengan persamaan Laplace dan BEM-3D digunakan untuk menyelesaikan persamaan Laplace. Sehingga, potensial dan densitas arus diseluruh permukaan beton dan baja tulangan dapat dihitung secara numerik. Desain sistem proteksi katodik yang digunakan adalah berdasarkan kepada peneliti sebelumnya. Kemudian, efektifitas anoda galvanik Zn dan Mg dievaluasi pada desain sistem proteksi tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa anoda galvanik Zn lebih efektif memberikan perlindungan korosi dibandingkan dengan anoda galvanik Mg. Dengan demikian, BEM berhasil digunakan sebagai teknik evaluasi efektifitas anoda galvanik pada sistem proteksi katodik beton bertulang.
Kata kunci : Korosi, BEM, Proteksi Katodik, Anoda Galvanik, Beton Bertulang
Abstract- Corrosion protection on reinforced concrete might utilize several methods, which one of them is sacrificial anode cathodic protection. So far, the effectiveness of a sacrificial anode cathodic protection system will be known to be effective or not, after a protection system applied in the field. So that, it is needed a method for evaluating the effectiveness of a sacrificial anode protection system before applied to the field. Boundary Element Method (BEM) is one of the methods for corrosion simulation that has been widely used. This objective of this study was to evaluate the effectiveness of galvanic anode Zn (Zinc) and Mg (Magnesium) on the cathodic protection system of reinforced concrete using BEM-3D by referring to previous research. Potential in reinforced concrete domain was modeled by Laplace equation and BEM-3D was used to solve the Laplace equation. Hence, the potential and current density on the whole surface of concrete and reinforcing steel can be numerically calculated. Cathodic protection system design was based on previous research. Then, the effectiveness of the galvanic anode Zn and Mg were evaluated on the design. The simulation results showed that galvanic anode Zn was more effective in providing corrosion protection compared to galvanic anode Mg. Therefore, BEM was successfully applied as a technique to evaluate the effectiveness of galvanic anode on reinforced concrete cathodic protection system.
Keyword : Corrosion, BEM, Cathodic Protection, Galvanic Anodes, Reinforced Concrete
160
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 I.
PENDAHULUAN II.
Korosi adalah serangan yang merusak material melalui reaksi kimiawi yang terjadi antara material dengan lingkungannya. Korosi menyebabkan pemborosan sumber daya yang berharga, penurunan efisiensi, pemeliharaan yang mahal, dan overdesign yang mahal, dan juga membahayakan keselamatan [1]. Sebagai contoh kerugian akibat korosi, seperti pernyataan dari The World Corrosion Organization (TWCO) yang memberikan data $ 2,2 triliun biaya tahunan untuk korosi di seluruh dunia. Nilai ini lebih dari 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Namun, pemerintah dan industri masih sedikit memberikan perhatian terhadap korosi kecuali di bidang berisiko tinggi seperti pesawat terbang dan jaringan pipa [2].
A.
METODOLOGI BEM untuk Sistem Proteksi Katodik Anoda Korban
BEM adalah metode penyelesaian persamaan Laplace melalui pendekatan numerik. Penggunaan metode ini sangat tepat untuk menganalisa kasus korosi, mengingat analisis korosi hanya di permukaan objek saja.
Korosi beton bertulang merupakan masalah yang semakin signifikan di seluruh dunia. Pada struktur beton seperti jembatan, terowongan, gedung dan struktur beton lainnya telah banyak mengalami kerugian akibat adanya korosi [3].
Gambar 1. Model sistem proteksi beton bertulang beserta kondisi batasnya BEM dimodelkan seperti pada Gambar 1 dengan kondisi batas untuk logam diambil dari kurva polarisasi masing-masing. Domain beton dapat dimodelkan dengan persamaan Laplace [6]:
Proteksi katodik merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya korosi pada logam termasuk dalam beton. Terdapat dua jenis proteksi katodik, yaitu metode sacrificial anode (anoda korban) dan impressed current (arus paksa) [1]. Untuk mengatasi korosi pada beton bertulang dapat menggunakan metode anoda korban karena tidak memerlukan arus tambahan dari luar dan tidak membutuhkan pengawasan khusus sehingga biaya relatif murah.
∇
= 0,
pada Ω
(1)
Penurunan formulasi persamaan dalam BEM dapat dilihat dalam rujukan [6]. Hasil formulasi tersebut adalah berupa persamaan matrik berikut ini: =
(2)
dimana adalah konduktivitas di dalam domain, H dan G merupakan koefisien matrik yang ditunjukkan sebagai berikut:
Simulasi untuk evaluasi efektivitas anoda galvanik pada sistem proteksi katodik telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, salah satunya metode elemen batas (boundary element method atau BEM). BEM hanya membutuhkan data di permukaan geometri saja untuk melakukan kalkulasi, dan kondisi ini sangat sesuai dengan kebutuhan analisis korosi, mengingat korosi itu sendiri hanya terjadi pada permukaan material [4].
= ∫ = ∫
Pada penelitian sebelumnya, M. Rizky Hidayatullah [5] telah melakukan simulasi efektivitas desain sistem proteksi katodik anoda korban pada balok beton bertulang dermaga menggunakan BEM. Penelitian tersebut hanya memodifikasi lokasi penempatan anoda korban dari balok beton. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut menjadi penting untuk dilakukan.
B.
∗ ( , ) ∗ ( , )
Γ
(3)
Γ
(4)
Langkah Aplikasi BEM untuk Proteksi Katodik
Penelitian ini mensimulasikan proteksi katodik anoda galvanik yang ditanam pada beton bertulang menggunakan BEM-3D. Untuk kasus ini dimodelkan satu baja tulangan dengan satu anoda galvanik yang diselimuti oleh beton. Setiap geometri dibangun dengan software Salome Meca v7.2 secara tiga dimensi (3D), dan tahap berikutnya dilakukan proses meshing dalam bentuk elemen triangle atau elemen segitiga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas anoda galvanik Zn dan Mg pada sistem proteksi katodik beton bertulang menggunakan BEM3D merujuk pada penelitian sebelumnya.
161
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Program BEM-3D akan membaca hasil file dalam format .unv yang meliputi koordinat nodal, nomor nodal, nomor elemen, orientasi elemen dan kondisi batas. Selanjutnya dijalankan program BEM 3D yang kemudian hasil dari eksekusi BEM 3D yang berupa nilai potensial dan densitas arus divisualisasikan dengan software Paraview. Diagram alir untuk penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Permukaan Beton), i=0
Baja Tulangan
Anoda Korban
Gambar 3. Desain proteksi katodik anoda korban beton bertulang
Gambar 4. Geometri desain proteksi anoda korban beton bertulang Gambar 2. Diagram alir penelitian D.
Meshing
Proses meshing dilakukan setelah pembuatan model selesai. Proses ini dilakukan secara otomastis dengan menggunakan software Salome Meca v7.2. Elemen yang digunakan berbentuk segitiga. Hasil meshing anoda galvanik dapat dilihat pada Gambar 5, untuk baja tulangan pada Gambar 6, dan untuk beton pada Gambar 7, serta keseluruhan meshing pada Gambar 8.
C. Desain Sistem Proteksi Katodik
Simulasi sistem proteksi katodik dilakukan berdasarkan desain Wayne Dodds [7]. Pemodelan ditunjukkan pada Gambar 3. Geometri model ini diperlihatkan dalam Gambar 4 yaitu beton dengan panjang 800 mm, lebar 100 mm, tinggi 100 mm. Baja tulangan dengan panjang 610 dan diameter 25 mm. Anoda galvanik dengan diameter 65 mm, tinggi 30 mm dan berjarak 20 mm dari katoda.
Jumlah elemen yang digunakan untuk permukaan baja tulangan adalah 498 elemen. Sementara untuk permukaan beton sebanyak 852 elemen. Sedangkan pada permukaan anoda korban sebanyak 26 elemen. Sehingga total keseluruhan elemen yang digunakan berjumlah 1376 elemen
Baja tulangan yang digunakan adalah baja ringan (mild steel), dan anoda korban yang digunakan adalah Mg dan Zn. Sedangkan konduktivitas beton adalah 0.007 Ω⁄m [6]. Simulasi sistem proteksi katodik dengan mengunakan BEM-3D berdasarkan geometri dan parameter yang telah diberikan tersebut.
162
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 5. Meshing Anoda Galvanik Gambar 8. Meshing Anoda Galvanik, Baja Tulangan dan Beton
E.
Kondisi Batas Anoda dan Katoda
Kurva Polarisasi merupakan grafik potensial terhadap densitas arus yang diperoleh dari hasil eksperimen. Kondisi batas bagi anoda dan katoda direpresentasikan menggunakan kurva polarisasi masing-masing dalam lingkungan tertentu. Kondisi batas untuk baja (katoda) dan Mg (anoda) diambil dari kurva polarisasi pada Gambar 9 [8] dan ditabulasi dalam Tabel 1. Sementara, kondisi batas untuk baja dan Zn diperoleh dari kurva polarisasi pada Gambar 10 [9] yang ditabulasi dalam Tabel 2.
Gambar 6. Meshing baja tulangan
Gambar 7. Meshing beton
Gambar 9. Kurva polarisasi baja ringan (mild steel) dan paduan magnesium AZ19D [8].
163
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Tabel 1. Kondisi batas kalkulsi BEM 3D, berdasarkan kurva polarisasi Magnesium [8] Logam
Potensial (V)
Densitas Arus (mA/cm2)
-0.648
0.000
-0.800
0.049
-0.998
0.065
-1.021
0.085
-1.039
0.146
-1.049
0.190
-1.086
0.459
-1.355
0.570
-1.538
0.000
-1.510
-0.006
-1.474
-0.012
-1.465
-0.018
-1.419
-0.024
-1.345
-0.038
-1.320
-0.072
-1.310
-0.145
-1.268
-0.288
Baja
Magnesium
Gambar 10. Kurva polarisasi besi dan seng [9].
Tabel 2. Kondisi batas kalkulsi BEM 3D, berdasarkan kurva polarisasi Zinc [9] Logam
Potensial (V)
Densitas Arus (mA/cm2)
-0.9197
0.00
-0.929
0.05
-0.933
0.07
-0.959
0.20
-0.979
0.30
-0.103
0.60
-1.11
1
-1.31
2
- 1.1249
0.00
-1.1247
0.02
-1.1246
0.04
-1.1244
0.07
-1.1230
0.20
-1.1210
0.60
-1.1100
2
Baja
Zinc
164
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 -1.1000
4
-1.0700
8 Titik B
-919,6 mV Titik A
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
-920,7 mV
Hasil simulasi sistem proteksi katodik dengan menggunakan anoda galvanik Mg diberikan dalam Gambar 11. Proteksi katodik anoda galvanik Mg ini menghasilkan potensial sebesar -768 mV (vs. Cu/CuSO4) pada titik A (terdekat dari anoda) dan potensial sebesar 741,9 mV pada titik B (terjauh dari anoda). Nilai ini menunjukkan bahwa potensial tersebut tidak mencapai kriteria proteksi yaitu ≤-850 mV (vs. Cu/CuSO4) [10] yang berarti struktur baja tulangan belum terproteksi.
Gambar 12. Distribusi nilai potensial dengan menggunakan anoda galvanik Zn
Selanjutnya, selisih nilai potensial antara titik terdekat dari anoda dengan titik terjauh dari anoda pada tulangan diperlihatkan dalam Gambar 13. Selisih yang diberikan oleh anoda Mg adalah sebesar 26,2 mV sedangkan untuk anoda Zn sebesar 1,1 mV. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi potensial proteksi yang dihasilkan oleh anoda Zn lebih merata dibandingkan anoda Mg. Oleh karena itu, proteksi yang diberikan oleh anoda Zn lebih efektif dibandingkan anoda Mg.
Titik B
-741,8 mV Titik A
Potensial (mV)
-768 mV
Gambar 11. Distribusi nilai potensial dengan menggunakan anoda galvanik Mg
Kemudian, Gambar 12 menunjukkan hasil simulasi sistem proteksi katodik dengan menggunakan anoda galvanik Zn. Nilai potensial tulangan pada titik A adalah -919,8 mV dan pada titik B adalah sebesar -919,6 mV. Nilai ini menunjukkan bahwa potensial tersebut sudah mencapai kriteria proteksi yang berarti baja tulangan sudah terlidungi dari serangan korosi.
0 -100 -200 -300 -400 -500 -600 -700 -800 -900 -1000
Zn
Mg
Titik A Titik B -768 -741.8 -920.7 -919.6
Selisih : 1,1
Selisih : 26.2
Gambar 13. Nilai potensial pada titik terdekat dan terjauh dari anoda Mg dan Zn
165
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 IV.
[7]. Dodds, W., 2014, Performance Evaluation of Galvanic Anodes Through Laboratory Testing And On-Ste Monitoring, RILEM International workshop on performance-based specification and control of concrete durability, 11 - 13 June Loughborough, Amerika.
KESIMPULAN
BEM-3D telah diaplikasikan untuk mengevaluasi efektifitas anoda galvanik Mg dan Zn pada sistem proteksi anoda korban pada beton bertulang. Berdasarkan kriteria proteksi katodik untuk baja, hasil simulasi menunjukkan bahwa anoda galvanik Zn lebih efektif memberikan perlindungan dibandingkan anoda galvanik Mg bagi sistem proteksi katodik beton bertulang.
[8]. Jia, J.X., Song, G., Atrens, A., 2005, Boundary Element Method Predictions of the Influence of the Electrolyte on Galvanic Corrosion of AZ19D Coupled to Steel, Materials and Corrosion, Vol 54(4) Termuat di: https://www.researchgate.net/publication/43450483 _Boundary_element_method_predictions_of_the_in fluence_of_the_electrolyte_on_the_galvanic_corros ion_of_AZ91D_coupled_to_steel, diakses 16 Mei 2016.
UCAPAN TERIMA KASIH
Simulasi ini menggunakan BEM-3D yang telah dikembangkan oleh Corrosion and Computational Research Group (CCRG), Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia.
[9]. Kasper, R.G., April, M.G., 1983, Electrogalvanic Finite Element Analysis of Partially Protected Marine Structure, Corrosion, NACE International, Vol. 39, pp. 181-188. [10]. NACE, 2007, Standar Practice Control of External Corrosion on Underground or Submerge Metalic Piping Sytem, NACE International.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Roberge, P.R., 2000, Handbook of Corrosion Engineering, McGraw-Hill, Inc., New York. [2]. Hays, G.F., Corrosion Costs and the Future, Termuat di: http://corrosion.org/wco_media/nowisthetime.pdf, diakses 16 Mei 2016. [3]. Elsener, B., 2010, Durability of Reinforced and Post-Tensioned Concrete, Switzerland, Termuat di : www.adjacentgovernment.co.uk/wp.../ETH-Zurichebook-web.pdf, diakses 16 Mei 2016. [4]. LaForce, T., 2006, Boundary Element Method Course Notes, Ed. 1st, Stanford, United State of America. Termuat di: http://web.stanford.edu/class/energy281/BoundaryE lementMethod.pdf, diakses 16 Mei 2016. [5]. Hidayatullah, M.R., 2015, Simulasi Efektifitas Desain Sistem Proteksi Katodik Anoda Korban Pada Balok Beton Bertulang Dermaga Menggunakan Metode Elemen Batas 3D, Tugas Akhir, Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. [6]. Fonna, S., Ridha, M., Huzni, S., Israr, Ariffin, A.K., 2010, Pre and Post Processing for BEM 3D Reinforced Concrete Corrosion Simulation, Key Engineering Materials, Vol. 462, pp. 230-235.
166
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisis Studi Gerakan pada Aktivitas Perakitan Daun Pintu dengan Metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST) (Studi Kasus: PT. MJ, Aceh Besar) Study Analysis of Movement of Door Assembly Activities with Maynard Operation Sequence Technique Methods (MOST) (Study Case: PT. MJ, Aceh Besar) Iskandar Hasanuddin, Prima Denny Sentia, Dini Amalia, Husni Usman dan Suhaeri Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected]
ABSTRAK Pada era automasi dan kecanggihan teknologi, waktu menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses produksi. Pengukuran waktu proses produksi atau dikenal juga dengan waktu kerja dilakukan untuk memperoleh waktu baku yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Pada penelitian tugas akhir ini, pengukuran waktu kerja dilakukan dengan memanfaatkan data waktu gerakan pada proses perakitan daun pintu menggunakan metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST) di PT. MJ. Studi kasus pada penelitian ini adalah proses pembuatan daun pintuyang masih dilakukan dengan tenaga manusia dan tata letak fasilitas perakitan yang belum menerapkan prinsip ekonomi gerakan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan membandingkan hasil perhitungan waktu baku dan output produksi proses perakitan daun pintu metode kerja awal dengan metode kerja usulan yang dikerjakan oleh satu orang operator. Dari hasil penelitian, terdapat tiga hal yang menjadi keluaran, yaitu minimasi elemen gerakan dan waktu baku proses perakitan serta peningkatan output produksi. Pengelompokan komponen perakitan daun pintu memberi dampak pada elemen gerakan yang dilakukan. Selisih elemen gerakan yang diperoleh pada metode kerja awal dengan metode kerja usulan adalah sebanyak 14 elemen gerakan, atau terjadi pengurangan elemen gerakan sebanyak 15,5%. Perubahan dan minimasi jarak operator terhadap komponen dan peralatan memberikan dampak berupa minimasi waktu baku dan peningkatan output produksi. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan efisiensi waktu proses sebesar 27,8% dan peningkatan output produksi sebesar 30,7%. Kata kunci : Studi gerakan, elemen gerakan, Maynard Operation Sequence Technique (MOST).
I.
Pengukuran waktu kerja dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan metode jam henti (stopwatch time study) dan metode sampling pekerjaan (work sampling) Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan data waktu baku dan data waktu gerakan. Dalam hal waktu gerakan, dikenal tiga metode yang umum digunakan, yaitu Work Factor (WF), Methods Time Masurement (MTM), dan Maynard Operation Sequence Technique (MOST)(Sutalaksana dkk., 2006):. Maynard Operation Sequence Technique (MOST) adalah salah satu teknik pengukuran kerja yang disusun berdasarkan urutan-urutan sub aktivitas atau gerakan. Pada konsep MOST, satuan kerja bukan merupakan gerakan dasar lagi, melainkan kegiatan dasar (kumpulan-kumpulan gerakan dasar) yang berkaitan dengan pemindahan objek (Munthe, 2009). Metode MOST digunakan untuk menganalisis kegiatan yang tidak produktif agar dapat menjadi dasar untuk pengurangan kegiatan yang tidak produktif sehingga efisiensi kerja meningkat(Pattiasina, et al., 2013).
PENDAHULUAN Pada era automasi dan kecanggihan teknologi, waktu menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses produksi. Pengaruh faktorfaktor yang terlibat dalam proses produksi secara efektif dan efisien tentunya akan meningkatkan produktivitas kerja. Peningkatan proses produksi yang efektif dan efisien dapat dilakukan dengan perancangan ulang (work design), mengeliminasi elemen gerakan yang tidak perlu dalam proses produksi, dan pengaturan kondisi kerja. Langkahlangkah tersebut sangat berhubungan dengan pengukuran waktu kerja. Studi gerakan adalah analisis yang dilakukan terhadap beberapa gerakan bagian tubuh pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian diharapkan agar gerakan-gerakan yang tidak perlu dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sehingga akan diperoleh penghematan, baik dalam bentuk tenaga, waktu kerja, maupun dana (Sutalaksana dkk., 2006).
167
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Dari ketiga metode analisa studi gerakan, dipilih metode MOST karena pemakaian menggunakan metode MOST lebih cepat dari teknikteknik pengukuran kerja lainnya karena bentuknya lebih sederhana. Metode MOST tidak memerlukan penguraian operasi kerja atas elemen kerja yang terperinci. Metode MOST menggabungkan gerakan dasar yang sering terjadi dalam suatu rangkaian gerakan (Munthe, 2009). Tata letak fasilitas perakitan di PT. MJ yang masih belum memperhatikan prinsip ekonomi gerakan tentunya akan menyulitkan operator menyelesaikan pekerjaannya. Limbah kayu yang berceceran dilantai juga menjadi hambatan operator dalam melakukan pergerakannya sehingga menimbulkan gerakan-gerakan yang tidak efektif dan mengurangi kenyamanan dalam bekerja. Tata letak fasilitas perakitan juga mempengaruhi jarak antara satu komponen dengan komponen lainnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi cepat atau lambatnya operator mampu menyelesaikan pekerjaannya. Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaannya (Wignjosoebroto dkk, 2003). Belum adanya standarisasi waktu proses perakitan daun pintu tentunya akan menyulitkan orang-orang yang ingin mengetahui berapa lama proses perakitan dan output produksi dari daun pintu itu sendiri. Selain itu, karena proses perakitan dilakukan oleh tenaga manusia tentunya ada faktor kelonggaran terhadap operator untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan oleh operator dalam menyelesaikan pekerjaannya.
II.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PT. MJ yang berlokasi di Jln. Laksamana Malahayati, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. PT. MJ adalah perusahaan yang bergerak dibidang penjualan kayu, pembuatan dan penjualan furniture/perabot. Produk dengan bahan kayu jati, meranti, dan lain-lain diproduksi dalam bentuk kusen (rangka/frame) jendela dan pintu, pintu, jendela, lemari, kursi, tempat tidur, dan lain-lain. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan JuniJuli 2015.
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
2.2
Objek Penelitian Objek penelitian adalah proses perakitan daun pintu 6 panel (2×3) dengan ukuran 200cm×82cm berbahan kayu meranti. 2.3
Diagram Alir Penelitian Berikut ini merupakan gambar diagram alir penelitian yang menunjukkan langkah-langkah pelaksannan penelitian.
168
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 III.
Technique (MOST) dan output produksi perakitan daun pintu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Metode Kerja Awal Berikut ini merupakan metode kerja awal.
layout
perakitan Tabel 2. Perhitungan Waktu dan Output Produksi Metode Kerja Usulan Katagori Nilai Elemen gerakan 76 Waktu normal 12,072 (menit/daunpintu) Waktu baku 18,36 (menit/daun pintu) Output produksi 26 (daun pintu/hari) 4.3
Analisis Kelonggaran diberikan untuk tiga hal, yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Kelonggaran yang diberikan kepada operator untuk pekerjaan perakitan daun pintu adalah sebesar 48,8%. Kelonggaran ditetapkan berdasarkan nilai beberapa faktor, yaitu faktor tenaga yang dikeluarkan, sikap kerja, gerakan kerja, kelelahan mata, keadaan suhu tempat kerja, keadaan atmosfer, dan keadaan lingkungan yang baik. Layout perakitan daun pintu di PT. MJ masih belum menerapkan prinsip elemen gerakan yang dihubungkan dengan pengaturan tata letak tempat kerja. Penempatan peralatan yang digunakan untuk perakitan, seperti bor dan alat press yang posisinya jauh dari operator sehingga operator membutuhkan jangkauan jarak yang lebih jauh untuk mencapai peralatan tersebut, hal ini tentunya mempengaruhi waktu baku proses perakitan daun pintu. Pada metode kerja awal, elemen gerakan proses perakitan daun pintu adalah sebanyak 90 elemen gerakan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kegiatan berulang dalam proses pengambilan komponen pintu yang akan dirakit karena tidak adanya pengelompokan komponen. Selain itu, komponen perakitan diletakkan di lantai, hal tersebut tentunya membuat pekerja harus dalam posisi membungkuk 90⁰ untuk memungut komponen dari lantai. Posisi tersebut tentunya membuat operator kurang nyaman karena postur tubuh operator dalam bekerja tidak baik dan akan menimbulkan fatique. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh waktu normal proses perakitan daun pintu dengan metode kerja awal adalah selama 17,11 menit dan waktu baku proses perakitan daun pintu dengan metode kerja awal adalah selama 25,46 menit. Dengan waktu baku selama 25,46 menit, diperoleh output produksi perakitan daun pintu sebanyak 18 daun pintu/hari. Layout perakitan daun pintu pada metode kerja usulan menerapkan prinsip ekonomi gerakan, dimana memperhatikan pengaturan tata letak tempat kerja. Pada metode kerja usulan dilakukan minimasi jarak antara operator dengan peralatan dan komponen yang digunakan dalam proses perakitan.
Gambar 2. Layout Perakitan Metode Kerja Awal Berdasarkan layout perakitan, berikut ini merupakan hasil yang diperoleh perhitungan waktu baku dengan metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST) dan output produksi perakitan daun pintu. Tabel 1. Perhitungan Waktu dan Output Produksi Metode Kerja Awal Katagori Nilai Elemen gerakan 90 Waktu normal 17,112 (menit/daunpintu) Waktu baku 25,46 (menit/daun pintu) Output produksi 18 (daun pintu/hari) 3.2
Metode Kerja Usulan Berikut ini merupakan metode kerja usulan.
layout
perakitan
Gambar 3. Layout Perakitan Metode Kerja Usulan Berdasarkan layout perakitan, berikut ini merupakan hasil yang diperoleh perhitungan waktu baku dengan metode Maynard Operation Sequence
169
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pada metode kerja usulan juga dilakukan pengelompokan komponen yang akan dirakit. Namun, pada metode kerja usulan, komponen perakitan diletakkan diatas meja dan dikelompokkan dalam tiga bagian. Hal ini bertujuan untuk memudahkan operator melakukan perakitan tanpa harus melakukan pemilihan komponen. Komponen yang akan dirakit ditempatkan pada sebuah meja, sehingga memberikan posisi kerja nyaman bagi operator karena ketika operator mengambil komponen, operator berada dalam postur tubuh yang baik. Pada metode kerja usulan, perakitan daun pintu dilakukan di meja press. Hal ini dilakukan untuk memberi ruang pada layout perakitan. Selain itu, proses perakitan yang dilakukan di meja press dapat mengurangi nilai index dari notasi action distance dan body motion operator serta dapat mengurangi elemen gerakan. Pada metode kerja usulan juga dilakukan perbaikan terhadap peta perakitan dengan mempertimbangkan urutan-urutan pekerjaan. Pekerjaan diurutkan menjadi lebih terstruktur dan tidak ada elemen gerakan yang berulang. Hal ini tentunya mempengaruhi waktu baku proses perakitan daun pintu menjadi lebih cepat dari metode kerja awal. Elemen gerakan proses perakitan daun pintu pada metode usulan adalah sebanyak 76 elemen gerakan. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh waktu normal proses perakitan daun pintu dengan metode kerja usulan adalah selama 12,072 menit dan waktu baku proses perakitan daun pintu dengan metode kerja usulan selama 18,36 menit. Dengan waktu baku selama 18,36 menit diperoleh output produksi perakitan daun pintu sebanyak 26 daun pintu/hari.
menit/daun pintu dan output produksi sebanyak 18 daun pintu/hari. Sedangkan elemen gerakan perakitan daun pintu metode kerja awal adalah sebanyak 76 elemen gerakan dengan waktu normal selama 12,072 menit/daun pintu, waktu baku 18,36 menit/daun pintu dan output produksi sebanyak 26 daun pintu/hari. Hal ini menunjukkan pada metode kerja usulan terjadi minimasi waktu kerja dan peningkatan output produksi dibandingkan dengan metode kerja awal. Jadi, selisih elemen gerakan metode kerja awal dan metode kerja usulan adalah sebanyak 14 elemen gerakan. Selisih waktu baku metode kerja awal dan metode kerja usulan adalah selama 7,10 menit/daun pintu dengan selisih output produksi sebanyak 8 daun pintu/hari.
IV. 4.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PT. MJ, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Pengelompokan kompenen perakitan memberi dampak pada elemen gerakan perakitan daun pintu. Elemen gerakan perakitan daun pintu pada metode kerja awal adalah sebanyak 90 elemen gerakan dan elemen kerja metode usulan adalah sebanyak 76 elemen gerakan. Selisih elemen gerakan metode kerja awal dan usulan adalah sebanyak 14 elemen gerakan. Hal ini menunjukkan adanya pengurangan elemen gerakan sebesar 15,5%. 2. Perubahan dan minimasi jarak operator terhadap komponen dan peralatan memberikan dampak berupa minimasi waktu baku dan peningkatan output produksi. Waktu baku yang dibutuhkan untuk merakit daun pintu pada metode kerja awal adalah selama 25,46 menit/unit dan metode kerja usulan selama 18,36 menit/unit dengan output produksi metode kerja awal sebanyak 18 unit/hari dan metode kerja usulan sebanyak 26 unit/hari. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan efisiensi waktu proses sebesar 27,8% peningkatan output produksi sebesar 30,7%. 3. Perhitungan waktu menggunakan metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST) pada metode kerja usulan diperoleh hasil berupa pengurangan elemen gerakan, peningkatan efisiensi waktu proses, dan peningkatan output produksi proses perakitan daun pintu di PT. MJ.
4.4
Perbandingan Metode Kerja Awal dan Metode Kerja Usulan Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan perbandingan metode kerja awal dan metode kerja usulan. Tabel 3. Perbandingan Metode Kerja Awal dan Metode Kerja Uusulan Metode Metode Pembanding Kerja Kerja Awal Usulan Elemen gerakan 90 76 Waktu normal 17,112 12,072 (menit/daunpintu) Waktu baku 25,46 18,36 (menit/daun pintu) Output produksi 18 26 (daun pintu/hari) Berdasarkan tabel diatas, elemen gerakan perakitan daun pintu metode kerja awal adalah sebanyak 90 elemen gerakan dengan waktu normal selama 17,112 menit/daun pintu, waktu baku 25,46
170
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 4.2
Saran Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian di PT. MJ, antara lain: 1. Menempatkan tool box station dibawah meja press agar memudahkan jangkauan operator terhadap peralatan yang digunakan, sehingga dapat meminimasi waktu perakitan daun pintu. 2. Proses perakitan dilakukan di meja press untuk memudahkan jangkauan operator terhadap peralatan yang digunakan dan memberikan ruang pada stasiun perakitan agar memudahkan ruang gerak operator dalam proses perakitan daun pintu. 3. Menempatkan meja untuk bahan baku agar memudahkan posisi tubuh pekerja dalam melakukan perakitan daun pintu sehingga tidak mudah menyebabkan kelelahan. 4. Mengelompokkan komponen perakitan daun pintu sesuai dengan urutan pengerjaan perakitan. 5. Menggunakan mesin hidraulik untuk mengeratkan komponen daun pintu yang dirakit dan mesin press untuk proses press daun pintu sehingga dapat mengurangi waktu kerja.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
Sutalaksana, I. Z., Anggawisastra, R. & Tjakraatmaja, J. H., 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Bandung: Penerbit ITB. Munthe, A. F., 2009. Perbaikan Metode Kerja untuk Meningktkan Output Produksi Menggunakan MOST (Maynard Operation Sequence Techique) dalam Menentukan Waktu Standar pada PT. Suryamas Lestariprima, Medan: Universitas Sumatra Utara. Pattiasina, N. H., Soenoko, R., Astuti, M. & Irawan, Y. S., 2013. Analisa Ketidaksesuaian Beban Kerja Matakuliah Praktek Berbasis Time Study Dan Maynard Operation Sequence Technique (MOST) (Studi Kasus Pada Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Ambon). Jurnal Rekayasa Mesin, 4(2), pp. 133-140. Wignjosoebroto, S., 2003. Ergonomi, Studi Gerak & Waktu. Surabaya: Guna Widya.
171
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Studi Awal Desain dan Pengujian Sebuah Mesin Pengering Hibrida Pompa Kalor dan Tenaga Surya A Preliminary Study on Design and Testing of a Solar Assisted Heat Pump Drying System Dian Morfi Nasution1*, Himsar Ambarita2, Safri Gunawan3 1
Program Studi Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknik Harapan 2 Program Studi Teknik Mesin, Universitas Sumatera Utara 3 Program Studi Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknologi Sinar Husni 1 Jl. H. M. Joni No. 70C Medan 20216 2 Jl. Almamater, Kampus USU Medan 20155 3 Jl. Veteran, Gg. Utama Psr. V Helvetia Medan 20237 * Email:
[email protected]
Abstrak – Dalam tulisan ini, telah dilakukan sebuah studi awal mengenai desain dan pengujian mesin pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya. Tujuannya untuk mendapatkan unjuk kerja mesin pengering dalam mengeringkan produk hasil pertanian berupa biji kakao. Kolektor surya berukuran 1500 mm × 3000 mm × 171 mm dengan penutup kaca ganda diintegrasikan dengan unit pompa kalor dan ruang pengering berukuran 1 m3. Pompa kalor yang digunakan beroperasi pada siklus kompresi uap dengan daya masukan 950W dan fluida kerja refrigerant R22. Sampel biji kakao dengan berat awal 1000 gr dikeringkan sebanyak tiga kali. Hasil pengujian diperoleh temperatur dan kelembaban udara ruang pengering masing-masing 44,03°C dan 50,31%. Jumlah energi yang diserap kolektor surya sebesar 2,75 kW dan koefisien prestasi pompa kalor rata-rata 5,70. Kesimpulan utamanya bahwa sistem pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya dapat digunakan untuk mengeringkan biji kakao. Kata kunci: pengering pompa kalor, kolektor surya, biji kakao Abstract – In this paper, a preliminary study on design and testing of a solar assisted heat pump drying system has been carried out. The objective is to examine the performance of the dryer in the drying of agricultural products such as cocoa beans. A Solar Collector with a dimension of 1500 mm × 3000 mm × 171 mm using double glass integrated with heat pump unit and a drying room with volume 1 m3. The heat pump operated by vapor compression cycle with power input of 950W and refrigerantR22 as a working fluid. Samples of cocoa beans with initial weight of 1000 gr was dried for three times. The results show that the temperature and humidity of drying room is 44,03°C and 50,31°C, respectively. The amount of energy absorbed by the solar collector is 2,75 kW and the average COP of heat pump is 5,70. The main conclusion can be drawn here is that the solar assisted heat pump drying system can be used to dry the cocoa beans. Keywords: heat pump dryer, solar collector, cocoa beans
I.
menunjukkan bahwa fraksi tenaga surya dari unit pengering lebih tinggi 20%, koefisien prestasi sistem (COPS) diperoleh 5.19, dan spesific moisture extraction rate (SMER) dapat mencapai 3.05 kg/kWh. Slim et al [3] mengevaluasi kinerja sebuah sistem pengeringan lumpur pada rumah kaca menggunakan pompa kalor dan tenaga surya yang diberi nama Solar and Heat Pump Sludge Drying System (S&HPSDS). Prinsip model dibangun menggunakan hukum kekekalan massa, energi, momentum, serta korelasi perpindahan panas. Fokus studi mengarah pada kajian termo-ekonomi yang optimal dalam hal konsumsi energi. Fadhel et al [4] melakukan analisis performansi sebuah pengering hibrida pompa kalor kimia dan tenaga surya. Kinerja sistem telah dievaluasi pada kondisi cuaca di Malaysia. Sistem terdiri dari 4 komponen utama yaitu kolektor surya (tipe evacuated tube), tangki penyimpanan, unit
PENDAHULUAN
Kombinasi teknologi pompa kalor dengan energi surya adalah konsep yang sangat menarik. Teknologi ini memiliki koefisien prestasi yang tinggi dan berpotensi memperbaiki kualitas produk yang dikeringkan. Beberapa penelitian mengenai pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya dapat ditemukan dalam literatur. Ronak Daghigh et al [1] melakukan ulasan mengenai sistem pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya untuk produk pertanian dan kelautan. Hasil dan observasi studi menunjukkan bahwa sistem pengering ini dapat meningkatkan kualitas produk, mengurangi konsumsi energi, dan meningkat koefisien prestasi serta efisiensi termal. Haifeng LI et al [2] melakukan studi mengenai sistem pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya untuk pengeringan bijibijian di dalam gudang pengeringan. Hasil analisis
172
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pompa kalor gas-padatan, dan ruang pengering. Sebuah simulasi dibangun untuk membandingkan hasil eksperimen dengan hasil simulasi. Hasil studi diperoleh efisiensi kolektor surya 80% untuk simulasi dan 74% untuk eksperimen. Nilai fraksi tenaga surya dari simulasi dan ekperimen masing-masing 0.795 dan 0.713, sedangkan COP diperoleh 2,2 untuk simulasi dan 2 untuk ekperimen. Hawlader et al [5] merancang dan menguji sistem pengering pompa kalor dan pemanas air sekaligus yang dibantu dengan tenaga surya. Kinerja sistem telah diteliti pada kondisi iklim di Singapura. Sistem terdiri dari kompresor, kolektor evaporator, tangki penyimpanan, kondensor, pemanas tambahan, blower, ruang pengering, dehumidifier, dan kolektor udara. Sebuah simulasi menggunakan bahasa Fortran dibangun untuk mengevaluasi kinerja sistem. Hasil menunjukkan bahwa nilai COP simulasi dengan eksperimen masing-masing 7.0 dan 5.0, sedangkan fraksi surya (SF) masing-masing 65% dan 61% untuk simulasi dan ekperimen. Ambarita et al [6] melaporkan studi mengenai performansi dan karakteristik pengering pakaian sistem pompa kalor. Parameter kinerja dibandingkan dengan sistem pengeringan pakaian menggunakan panas buangan dari kondensor AC (Waste heat of RAC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengeringan dan laju pengeringan dari pengering pompa kalor lebih cepat dibandingkan dengan sistem panas buangan dari AC.
yaitu kompresor, kondensor, katup expansi, dan evaporator. SKU ideal terdiri dari 4 proses yaitu 1-2 disebut proses kompresi isentropis; 2-3 disebut proses kondensasi; 3-4 disebut proses ekspansi adiabatik; dan 4-1 disebut proses evaporasi isobarik.
Gambar 1. Diagram p-h SKU ideal Daya kompresor dalam satuan kJ/s dapat dihitung dengan persamaan (1) berikut ini.
W = ṁ
(h − h )
(1)
Q = ṁ
(h − h )
(2)
dimana adalah laju aliran massa refrigeran (kg/s), dan masing-masing merupakan entalpi refrigeran saat masuk dan keluar kompresor dalam satuan kJ/kg. Jumlah kalor yang dilepas kondensorke udara (kJ/s) dihitung dengan persamaan (2) atau persamaan (3).
Literatur di atas menunjukkan bahwa kombinasi pompa kalor dengan tenaga surya dilakukan untuk mendapatkan performansi sistem yang semakin baik dengan konsumsi energi yang semakin rendah dan kualitas produk yang tetap terjaga. Namun, untuk pengetahuan terbaik dari penulis, tidak ada studi dilaporkan berfokus pada aplikasi pompa kalor dengan tenaga surya untuk kasus Indonesia ditemukan dalam literatur. Dalam tulisan ini, telah dilakukan rancangbangun dan pengujian mesin pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya sebagai studi permulaan (preliminary study). Tujuan awalnya untuk mendapatkan performansi mesin pengering hibrida dalam mengeringkan produk hasil pertanian. Sampel yang diuji dipilih biji kakao karena secara konvensional dikeringkan dengan tenaga surya. Hasil penelitian diharapkan teknologi ini dapat diterapkan untuk proses pengeringan produk-produk pertanian maupun kelautan.
Q = ṁ
C
,
T
,
− T,
(3)
yaitu entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg), adalah laju aliran massa udara yang melewati kondensor (kg/s), merupakan kalor spesifik udara yang melewati kondensor (kJ/kg.⁰C), dan , adalah temperatur udara saat masuk dan keluar kondensor. Jumlah kalor yang diserap evaporator (kJ/s) dihitung dengan persamaan (4).
Q = ṁ
(h − h )
(4)
Pengering pompa kalor telah dikenal sebagai usaha efisiensi energi ketika digunakan pada proses pengeringan. Keuntungan utama dari pengering pompa kalor berasal dari kemampuan pompa kalor dalam menghasilkan energi berguna dari panas buangan serta kemampuan untuk mengontrol temperatur dan kelembaban udara pengeringan [7]. Gambar 2 mengilustrasikan sebuah diagram skematis dari komponen SKU yang terintegrasi dengan ruang pengering (drying chamber).Udara pengeringan bergerak masuk melewati ruang pengering pada titik 1 dan menyerap kadar air dari produk yang dikeringkan. Udara yang mengandung kadar air tinggi pada titik 2 kemudian diarahkan melewati koil evaporator. Selama
II. METODE A.
Prinsip Kerja Pompa kalor (heat pump) merupakan perangkat yang sama dengan mesin pendingin (Refrigerator), perbedaannya hanya pada tujuan akhirnya. Mesin pendingin bertujuan menjaga ruangan pada suhu rendah dengan membuang panas dari ruangan. Sedangkan pompa kalor bertujuan menjaga ruangan berada pada suhu yang tinggi. Sama halnya dengan mesin pendingin, pompa kalor juga beroperasi menggunakan siklus kompresi uap (SKU) yang diilustrasikan melalui Diagram p-h pada Gambar 1. Komponen utamanya
173
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 proses dehumidifikasi (menurunkan kelembaban) dari titik 2 ke titik 3, udara pengering pertama kali didinginkan secara sensibel sampai pada titik embunnya (dew point). Proses pendinginan akan menghasilkan kondensasi uap air yang terkandung di udara pengering.
ruang pengering dan keluar evaporator. Pengukuran kecepatan udara pengeringan dilakukan pada saat udara melewati kondensor dengan menempatkan Anemometertipe hot wire dengan akurasi 0.1 m/s. Untuk mengukur berat sampel yang dikeringkan digunakan Load cell tipe S dengan akurasi 1.0 gram yang ditempatkan pada ruang pengering dan pengukuran tekanan kerja Refrigeran22 menggunakan pressure gauge pada 3 titik pengukuran yaitu sisi isap kompresor, sisi tekan kompresor, dan sisi keluar kondensor. Temperatur kolektor, kondensor, dan evaporator diukur menggunakan Agilent 34972A dengan ketelitian 0.03⁰C. Intensitas radiasi matahari diukur menggunakan Hobo Microstation Data Logger dengan akurasi 10.0 W/m2. Arus kerja pompa kalor diukur menggunakan Digital clamp meter dengan akurasi 0.1A. Instalasi kelistrikan dikemas dalam sebuah kontrol panel yang juga dilengkapi pengukur tegangan listrik dan pressure switch sebagai pengontrol tekanan sistem, dan saklar untuk memudahkan pengoperasian. Gambar 3 menunjukkan desain, diagram skematis, dan akuisisi data pengukuran dari setup eksperimen. C. Metode Pengeringan Sampel biji kakao hasil fermentasi dikeringkan sebanyak 3 kali dengan berat awal 1000 gr. Pengeringan dilakukan selama 2 hari untuk 1 sampel, sehingga total waktu pengeringan dilakukan 6 hari. Pengeringan hari pertama dimulai pada pukul 09.00 dan berhenti pada pukul 16.00 WIB, lalu dimulai kembali pada hari kedua dan begitu seterusnya untuk sampel 2 dan 3 (pada malam hari tidak dilakukan proses pengeringan).
Gambar 2. Sistem pengering pompa kalor Kalor laten penguapan kadar air kemudian diserap oleh evaporator untuk mendidihkan refrigeran. Kalor yang dipulihkan (recovery) akan dipompa ke kondensor. Udara yang didinginkan dan diturunkan kelembabannya selanjutnya akan menyerap kalor yang dilepas kondensor yang bergerak dari titik 4 ke titik 1 sebagai pemanasan sensibel untuk menaikkan temperatur udara pengering [8]. Kinerja sistem dinyatakan sebagai COPHP yang dihitung dengan persamaan (5)
COP
=
Q W +W
(5)
Jumlah panas yang diterima kolektor surya dihitung dengan persamaan (6) berikut ini.
Q
= I ∙ A ∙ τ ∙∝
(6)
dimana adalah intensitas radiasi matahari hasil perekaman alat ukur (W/m2), A sebagai luas penampang kolektor (m2), τ sebagai transmisivitas polycarbonate, dan α merupakan nilai absorbsivitas plat berwarna hitam (0.97). B.
Set-up Eksperimen Dalam pelaksanaan eksperimen, telah didesain dan dipabrikasi sebuah mesin pengering hibrida pompa kalor-tenaga surya skala laboratorium. Komponenkomponen utamanya yaitu kolektor surya, kompresor, kondensor, katup ekspansi, evaporator, blower, dan ruang pengering. Pompa kalor yang diinstal beroperasi pada siklus kompresi uap dengan daya masukan 950W dan fluida kerja Refrigeran22. Blower yang digunakan memiliki daya0,04 kW. Kolektor surya tipe pelat datar berukuran 1500 mm × 3000 mm × 171 mm dengan penutup kaca ganda dan ruang pengering berukuran 1 m3. Sistem akuisisi data diinstal pada setup eksperimen sebagai alat pengukuran. Temperatur dan kelembaban udara pengeringan diukur menggunakan EL-USB data logger dengan akurasi 0.3⁰C dan 2%RH. Pengukuran temperatur dan kelembaban udara sebanyak 2 titik yaitu
Gambar 3. Desain, diagram skematis, dan akuisisi data pengukuran 174
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Berat akhir sampel rata-rata yang dihasilkan adalah 404 gr. Sistem akuisisi data diset untuk merekam pengukuran setiap 30 menit waktu pengeringan, sedangkan tekanan R22, tegangan, dan arus listrik diamati secara visual setiap 60 menit waktu pengeringan.
III.
Tabel 2. Energi rata-rata yang diserap kolektor Tanggal Percobaan Qin (kW) 10/05/16 Sampel 1 2,40 13/05/16 Sampel 2 2,39 15/05/16 Sampel 3 2.75 Kinerja utama dari mesin pengering hibrida ini adalah koefisien prestasi (COPHP). Koefisien prestasi dapat meningkat jika kondensor mampu memanaskan udara pengering lebih banyak dengan konsumsi daya yang tetap. Dari hasil pengukuran dapat dihitung kinerja sistem menggunakan persamaan pompa kalor yang telah dijelaskan sebelumnya. Unjuk kerja tersebut diberikan pada Tabel 3.Dari ketiga proses pengeringan diperoleh nilai COP pompa kalor rata-rata 5.70, yang berarti bahwa setiap 1 kWh energi listrik yang dibutuhkan mesin pengering dapat menghasilkan 5.70 kWh energi untuk memanaskan dan mendinginkan udara pengering.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Studi ini telah dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2016 di Pusat Riset Sustainable Energy, Fakultas Teknik USU. Tabel 1 memperlihatkan hasil pengukuran temperatur dan kelembaban ruang pengering untuk ketiga sampel biji kakao. Nilai temperatur tertinggi dan kelembaban terendah ruang pengering diperolehpada pengeringan sampel 3 yaitu 44.03⁰C Tabel 1. Temperatur dan RH ruang pengering Tanggal Percobaan Temperatur RH (%) (⁰C) 15/05/16 Sampel 1 39.85 55.93 15/05/16 Sampel 2 41.69 54.58 15/05/16 Sampel 3 44.03 50.31
Tabel 3. Koefisien prestasi mesin pengering Percobaan COP (kg/s) (kW) (kW) (kW) Sampel 1 0.041 0.291 0.270 0.021 4.06 Sampel 2 0.062 0.542 0.502 0.039 6.07 Sampel 3 0.049 0.510 0.477 0.033 6.97 Rata-rata 5.70
IV.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan hasil pengujian dapat dilihat bahwa untuk mengeringkan sampel biji kakao dengan berat awal 1000 gr hingga mencapai rata-rata 404 gr dibutuhkan waktu selama 960 menit. Jumlah waktu tersebut lebih cepat jika dibandingkan dengan penjemuran langsung biji kakao di bawah sinar matahari yang membutuhkan waktu 7 – 9 hari hingga kering secara total. Kesimpulan utama dari studi ini adalah bahwa mesin pengering hibrida pompa kalor dan tenaga surya yang telah dirancangbangun dapat digunakan untuk mengeringkan biji kakao dan dapat berfungsi dengan baik. Mesin pengering ini juga dapat diaplikasikan untuk pengeringan produk-produk pertanian lainnya yang bermutu tinggi.
800.00
DAFTAR PUSTAKA
700.00
[1] R. Daghigh, M.H. Ruslan, M.Y. Sulaiman, K. Sopian, Review of solar assisted heat pump drying systems for agricultural and marine products, Renewable and Sustainable Energy Reviews 14 (2010) 2564-2579. [2] Haifeng LI, Yanjun DAI, Jianguo DAI, X. Wang, L. Wei, A solar assisted heat pump drying system for grain in-store drying, Energy Power Eng. 2010, 4(3) 386-391. [3] R. Slim, A. Zoughaib, D. Clodic, Modeling of solar and heat pump sludge drying system, International Journal of Refrigeration 31 (2008) 1156-1168.
600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 16:45
16:15
15:45
15:15
14:45
14:15
13:45
13:15
12:45
12:15
11:45
11:15
10:45
9:45
10:15
0.00 9:15
Intensitas Radiasi (W/m2)
dan 50.31%. Hal ini dapat diperoleh karena pada saat pengeringan sampel 3, kolektor surya mampu menyerap panas lebih baik dibandingkan pengeringan sampel 1 dan 2. Selain itu tingkat intensitas radiasi matahari pada pengeringan sampel 3 merupakan faktor penting dalam peningkatan kinerja sistem. Gambar 4 memperlihatkan hubungan waktu dengan intensitas radiasi matahari pada percobaan 3. Dari gambar dapat dilihat tingkat intensitas radiasi mulai pukul 09.15 sampai 17.00 WIB, nilai tertinggi diperoleh pada pukul 13.15 WIB. Jumlah energi yang diserap oleh kolektor surya ditunjukkan pada Tabel2. Pada percobaan sampel 3, kolektor menyerap energi lebih banyak dibandingkan sampel 1 dan 2 yaitu 2.75 kW. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh tingkat intensitas radiasi matahari yang terjadi pada waktu percobaan tersebut. Semakin tinggi jumlah energi yang diserap kolektor akan berpengaruh pada kondisi udara pengeringan.
Waktu (WIB)
Gambar 4. Intensitas radiasi tanggal 15/05/16
175
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[4] M.I. Fadhel, K. Sopian, W.R.W. Daud, Performance analysis of solar-assisted chemical heat pump dryer, Solar Energy 84 (2010) 19201928. [5] M.N.A. Hawlader, S.K. Chou, K.A. Jahangeer, S.M.A. Rahman, Eugene Lau K.W, Solar-assisted heat-pump dryer and water heater, Applied Energy 74 (2003) 185-193. [6] H. Ambarita, D.M. Nasution, S. Gunawan, A.H. Nasution, Performance and characteristic of heat pump clothes drier, IOP Conference Series, Materials Science and Engineering (2016). [7] N. Colak, A. Hepbasli, A review of heat pump drying: Part 1-Systems, models and studies, Energy Conversion and Management 50 (2009) 2180-2186. [8] C.S. Kiang and C.K. Jon, Heat pump drying systems: Handbook of Industrial Drying, Third Edition, Taylor and Francis Group, LLC, 11041130.
176
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Peningkatan Daya Output Panel Tenaga Surya Melalui Pendinginan Menggunakan Material Berubah Fasa Subhan1, T. Azuar Rizal2, Muhammad Zulfri3, Fazri4 1)
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Samudra, Kota Langsa – Aceh 24416
2,3,4)
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Samudra, Kota Langsa – Aceh 24416
Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Pengoperasian panel surya, hanya menghasilkan sekitar 15% dari radiasi matahari dikonversi menjadi listrik dan sisanya diubah menjadi panas, akibatnya efisiensi listrik panel surya akan menurun ketika temperatur panel meningkat. Pada penelitian ini akan dikembangkan satu sistem pendinginan penel surya (PV) dengan memanfaatkan material berubah fasa (phase change material, PCM) sebagai media pendingin. Perangkat penelitian ini, terdiri dari panel surya, baterai sebagai penyimpan tegangan listrik keluar panel surya, thermokopel sebagai pengukur temperatur, dan data akusisi sebagai pencatat dan penyimpan data hasil pembacaan termokopel. Wadah tempat material berubah fasa yang berfungsi sebagai pendingin dibuat dari bahan plat aluminium dengan tebal 0,4 mm, lebar 500 mm panjang 800 mm. Wadah dibuat dalam bentuk berbentuk segitiga dan setengah lingkaran, dengan jumlah lorong sebanyak 7 buah, masing-masing lorong berukuran 35 mm. Pencatatan data dilakukan setiap 15 menit sekali, pengujian ini juga dilakukan mulai jam 07.00 hingga pukul 20.00 malam. Variabel yang diukur meliputi temperatur pemukaan atas dan belakang panel surya, temperatur udara masuk dan keluar saluran pendingin, temperatur udara lingkungan, kecepatan udara masuk dan keluar saluran, dan intensitas radiasi surya, tegangan dan arus listrik keluar panel surya. Hasil penelitian ini akan diperoleh luaran berupa prototipe panel surya PV yang dilengkapi media pendingin material berupah fasa. Kata Kunci : Surya, PV, Pendingin, Listrik
Abstract-Operations solar panels produce about 15% of solar radiation is converted into electricity and the rest is converted into heat, consequently the efficiency of solar electric panels will decrease as the temperature rises panel. This research will develop a solar cooling system penel (PV) using phase change material (phase change material, PCM) as the cooling medium. Devices of this study, consisting of solar panels, storage batteries as power supply voltage of solar panels, as a thermocouple temperature measurement, and data acquisition as a recorder and data storage thermocouple readings. The container in which the phase change material that serves as a coolant made of aluminum plate with a thickness of 0.4 mm, width 500 mm length 800 mm. The containers are made in the form of a triangle and a semicircle, with the number of hall 7 pieces, each measuring 35 mm in the hallway. Data recording is done every 15 minutes or so, the test is also carried out from 07.00 till 20:00 at night. Variables measured include temperature and surfaces at the rear solar panel, the cooling inlet and outlet air temperature, ambient air temperature, air velocity in and out of the channel, and the intensity of solar radiation, voltage and electrical current from solar panels. The results of this study will result prototype solar PV panels that include wage-phase cooling media materials. Keywords:Solar, PV, Cooling, Electrical
I.
2025 akan meningkat menjadi 253 juta TOE atau tumbuh sebesar 3,4% per tahun dan meningkat menjadi 595 juta TOE pada tahun 2050 atau mengalami
PENDAHULUAN
Proyeksi total konsumsi energi nasional pada tahun
177
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pertumbuhan sebesar 3,5% periode 2025-2050. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) meningkat rata-rata sebesar 3,3% per tahun, dimana pada tahun 2025 kebutuhannya mencapai 92 Juta TOE dan mengalami peningkatan hingga sebesar 180 Juta TOE di tahun 2050, pertumbuhan kebutuhan batubara ratarata sebesar 5,1% dimana pada tahun 2025 kebutuhan batubara mencapai 37 juta TOE dan meningkat hingga mencapai 116 juta TOE di tahun 2050. Seperti halnya dengan batubara, konsumsi gas akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata yang cukup tinggi, yaitu sebesar 4,4% per tahun, pada tahun 2025 mencapai 48 Juta TOE dan meningkat menjadi 123 Juta TOE di tahun 2050. Sementara untuk energi baru dan terbarukan (EBT), walaupun konsumsinya masih rendah namun mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Selama rentang waktu proyeksi, kebutuhan EBT diproyeksikan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan ratarata sebesar 6,3%, dimana pada tahun 2025 kebutuhan EBT mencapai 24 Juta TOE dan meningkat menjadi sebesar 69 Juta TOE pada 20150. Dari total EBT yang dibutuhkan, pangsa biomassa komersial paling besar sekitar 23%, diikuti biodiesel 21%, panas bumi 20%, hidro 10%, nuklir 7%, gas metan batubara 6%, bioethanol 4%, dan sisanya yang mencakup biogas, surya, bayu dan laut dengan pangsa 8%.
berkisar antara 9,75 % sampai 10,41%. Tiwari (2007), melakukan penelitian eksperimental dan simulasi numerik bertujuan melakukan evaluasi performan PV/T kolektor udara (dilengkapi kaca dan tanpa kaca penutup, dengan tedlar dan tanpa tedlar). Hasil pengujian diperoleh PV/T kolektor udara kolektor udara tanpa tedlar memberikan performan yang lebih baik. Garg dan Adhikari (1999), mengembangkan model simulasi computer untuk pengaruh absorber terhadap efisiensi kolektor surya. Hasil analisa diperoleh, efisiensi absorber kolektor surya yang tidak dilapisi dengan sel surya lebih tinggi dibandingkan dengan absorber kolektor surya yang dilapisi dengan sel surya. Hal ini desebabkan radiasi yang diterima oleh lapisan sel surya dikonversikan menjadi energi listrik. Zondag, et.al (2003) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap modifikasi Sembilan buah pbrototipe PV/T, hasilnya menunjukan bahwa penurunan temperatur panel surya mampu neingkatkan efisiensi diatas 50%. Infield, et.al (2004), melakukan kajian penurunan temperatur panel surya dengan mengalirkan udara saluran antara dua lapisan kaca penutup untuk proses pemanasan. Joshi and Tiwari (2007), melakukan analisis terhadap sistem PV/T kolektor udara yang terkoneksi secara seri. Dari hasil pengembangan model analisis yang divalidasi dengan data eksperimental, menunjukan bahwa efisiensi total sistem mengalami penurunan terhadap panjang modul akibat proses rugirugi sistem.
Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi penyinaran matahari rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Namun, selama pengoperasian panel surya, hanya sekitar 15% dari radiasi matahari dikonversi menjadi listrik dan sisanya diubah menjadi panas, akibatnya efisiensi listrik panel surya akan menurun ketika temperatur panel meningkat.
Sistem PV- PCM ini terdiri dari sel PV dan wadah di isi dengan PCM. Sel PV melekat pada bagian depan wadah, plat belakang yang terbuat dari logam untuk memastikan konduksi yang baik. Panel PV menerima radiasi matahari dan mengkonversi menjadi listrik, sedangkan sisa panas dari radiasi memasuki wadah PCM oleh konduksi panas. Pada bagian belakang wadah PCM celah udara antara wadah dan bangunan memungkinkan panas untuk dihilangkan oleh konveksi alami, dengan cara ini panel PV secara pasif didinginkan dan efisiensi konversi energi sel surya ditingkatkan, jenis konfigurasi juga melindungi sel surya dari kelebihan panas dan kerusakan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menurunkan temperatur permukaan panel surya dalam usaha meningkatkan efisiensi listrik. Umumnya, penurunan temperatur dilakukan dengan menggunakan udara atau air sebagai media pendingin. Sebagian penelitian juga diarahkan untuk mengetahui menurunkan biaya peralatan dengan cara menggabungkan panel surya (PV) dengan sistem termal, dimana energi termal diperoleh dari pendinginan panel surya dimanfaatkan untuk aplikasi lain pada kisaran temperatur rendah. Dari hasil penelitian yang melakukan modifikasi konfigurasi panel surya dengan sistem pendinginan sebagaimana dilaporkan oleh Dubey et al. (2009). Dari hasil penelitian dengan menggabungkan panel surya dengan kolektor udara diperoleh efisiensi rata-rata sistem
Pada penelitian ini akan dikembangkan satu sistem pendinginan penel surya (PV) dengan memanfaatkan material berubah fasa (phase change material, PCM) sebagai media pendingin. Sistem PV-PCM ini terdiri dari panel surya (photovoltaic, PV) dan wadah di isi dengan PCM. paner surya PV melekat pada bagian depan wadah. Panel PV menerima radiasi matahari dan mengkonversi menjadi listrik, sedangkan sisa panas dari radiasi memasuki wadah PCM melalui modus perpindahan panas konduksi. Pada bagian belakang wadah PCM terdapat celah udara antara wadah dan panel surya yang memungkinkan panas yang telah diserap oleh PCM dapat dibuang dengan cara konveksi alami. Pengujian ini akan dilakukan dalam lingkungan Kampus Universitas Samudra. Tujuan utama penelitian ini adalah menguji karakteristik panel surya yang
178
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 dilengkapi dengan material berubah fasa sebagai media pendingin. Adapun tujuan khusus adalah: Melakukan kaji eksperimental peningkatan daya output panel surya photovoltaik yang terintegrasi dengan material berubah fasa dan membandingkan pengaruh bentuk wadah penampung material berubah fasa terhadap efisiensi termal panel surya.
II.
2.2 Perangkat Penelitian Perangkat penelitian ini, terdiri dari panel surya, baterai sebagai penyimpan tegangan listrik keluar panel surya, thermokopel sebagai pengukur temperatur, dan data akusisi sebagai pencatat dan penyimpan data hasil pembacaan termokopel. Secara lengkap perangkat penelitian adalah sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.
LANDASAN TEORI
2.1 Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian akan dilakasanakan dalam tiga tahapan, dimulai dengan pengujian sifat-sifat termofisik material berubah fasa, tahap kedua dilakaukan penyiapan perangkat pengujian, dan tahap akhir pelaksanaan pengujian, pengumpulan data dan pengolahan data. Penelitian ini akan dipusatkan di Kampus Universitas Samudra, Merandeh, Kota Langsa. Adapun rangkaian penelitian sebagaimana ditunjukkan dalam diagram alir dibawah ini.
Panel surya yang di gunakan Merk Bp Solar Model BP350J. Type Silicon Nitride Monocrystalline, dengan ukuran panjang 839 mm dan lebar 590 mm. Wadah tempeat material berubah fasa yang berfungsi sebagai pendingin dibuat dari bahan plat aluminium dengan tebal 0,4 mm, lebar 500 mm panjang 800 mm. Wadah dibuat dalam bentuk berbentuk segitiga dan setengah lingkaran, dengan jumlah lorong sebanyak 7 buah, masing-masing lorong berukuran 35 mm.
Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian
179
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Keterangan : 1.
Panel Surya
2.
Wadah materail pendingin
3.
Termokopel
4.
Inverter dan Baterai
5.
Data Akusisi
Ukuran dan Bentuk wadah material berubah fasa Gambar 2 Sketsa perangkat penelitian tersebut dapat menganalisa serta menyimpulkan bahwa temperatur PV apakah berada dalam kondisi kerja yg normal penyerap panas.
2.3 Pengambilan Dan Pengolahan Data Pencatatan data dilakukan setiap 15 menit sekali, berikut juga temperatur luar pada sel surya dengan menggunakan environment meter. Pengujian ini juga dilakukan mulai jam 09.00 hingga pukul 20.00. Pada penelitian ini ditetapkan variabel pengumpulan data meliputi: Radiasi Surya (G), Tegangan keluar panel (Vp), Arus listrik keluar (Ip), Temperatur Permukaan (TP), Temperatur Lorong PCM (TR), Temperatur lingkungan (TL), Temperatur udara masuk (T1/TM), Temperatur udara keluar (T2,T3,T4), Kelembaban udara (KU), Temperatur PCM (TC). Berikut gambar panel surya dengan penerapan PCM yang digunakan untuk melakukan pengujian dengan pemasangan letak titik-titik termokopel.
Untuk menentukan efisiensi listrik (ηe) panel surya didasarkan pada persamaan berikut: (1)
e = Efisiensi listrik (%), = Efisiensi listrik pada kondisi standar (%) = Koefesien Temperatur ( 1/oC), Tp
Dengan pengambilan data pada titik peletakan thermokopel maka akan di dapat hasil dari pengujian dengan pengambilan data yang di proleh dari thermokopel, maka dari hasil pengambilan data
= Temperatur panel surya (oC), Tr =Temperatur referensi = 25oC
180
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 o)
panel surya type BP350J dengan silicon sel nitride multicrystalline silicon cells. Panel memiliki ukuran panjang 839 mm, lebar 537 mm, dan tebal 50 mm. Pengujian awal dilakukan dengan wadah tanpa PCM. Hal bertujuan untuk mengetahui temperatur dan tegangan yang dihasilkan tanpa menggunakan PCM sehingga dapat kita ketahui seberapa besar pengaruh PCM terhapap tengan yang dihasikan oleh PV. Hasil pengujian ditunjukkan dalam Gambar 3. Pada grafik terlihat temperatur tertinggi di wadah bagian tengah yang mencapai 50,4 °C pada jam 12.15 . temperatur rendah pada wadah bagian bawah 29,8 °C pada awal pengujian. Data di atas didapatkan rata-rata temperatur masing-masing adalah bagian atas mencapai 35,9 °C , bagian tengah mencapai 40,2°C, dan bagian bawah temperatur rata-rata mencapai 39,5°C. temperatur ratarata tertinggi terletak pada wadah tengah segitiga.
Dimana: Vm = Tegangan Maksimum (Volt), Im = Arus Maksimum (Ampere), G= Intensitas Radiasi (W/m2), Ap = Luas Sel Surya (m2) Dan efisiensi termal dari sistem panel surya dengan penerapan PCM, ditentukan menggunakan persamaan berikut: (3)
60 55 50 45 40 35 30 25 20
G
= Intensitas radiasi (W/m2),
Ap
= Luas Panel surya (m2)
III.
17
16
15
14
13
16.3
=Temperatur masuk (oC),
15.3
Ti
14.3
= Temperatur keluar ( C),
13.3
To
12
o
15 12.3
=Panas spesifik udara (kJ/kg.oC),
20
11
Cp
25
11.3
= Massa laju aliran udara (kg/s),
10
m
30
10.3
= Efisiensi thermal (%),
35
9
ηth
40
(°C)
Dimana:
(VDC)
(2)
9.3
(
8
standar
8.3
kondisi
7.3
pada
7
Efisiensi listrik ditentukan dari:
WAKTU WADAH PCM BAWAH
WADAH PCM ATAS
WADAH PCM TENGAH
TEGANGAN
Gambar 3 Sejarah pada wadah tanda diisi PCM
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tegangan yang dihasilkan saat pengujian peningkatan temperatur mempengaruhi tegangan yang dihasilkan yaitu tegangan menurun saat temperatur mulai meningkat melebihi ±45 °C. Pengujian dilanjutkan dengan pengujian PV yang dilengkapi dengan PCM. Hasil pengujian masing-masing ditunjukkan dalam Gabar 4 s/d Gambar 6.
Pengujian dilakukan di lokasi terbuka lingkungan Kampus Fakultas Teknik Universitas Samudra. Pengujian ini panel surya yang dipergunakan adalah
181
10
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
70
30 28
60
26
40
22
30
20 18
20
16 10
12
17
16.3
16.45
16
16.15
15.3
15.45
15
15.15
14.3
14.45
14
14.15
13.3
13.45
13
13.15
12.3
12.45
12
12.15
11.3
11.45
11
11.15
10.3
10.45
10
10.15
9.3
9.45
9
9.15
8.3
8.45
8
8.15
7.3
7.45
7
7.15
0
14
WAKTU
TEMPERATUR PANEL SURYA SEGI TIGA TEGANGAN PANEL SURYA SEGI TIGA
TEMPERATUR PANEL SURYA SEGI TIGA + PCM TEGANGAN PANEL SURYA SEGI TIGA + PCM
Gambar 4 Sejarah temperatur PV pada bagian atas wadah segitiga ditambah PCM
70
40
60
35
50
25
30
20
20
17
16.45
16.3
16.15
16
15.45
15.3
15.15
15
14.45
14.3
14.15
14
13.3
13.45
13
13.15
12.3
12.45
12
12.15
11.45
11.3
11.15
11
10.45
10.3
10.15
10
9.45
9.3
9.15
9
8.3
8.45
8
8.15
7.3
10
7.45
0
7
15
7.15
10
WAKTU TEMPERATUR PV.WADAH SEGITIGA TEMPERATUR PCM PV.WADAH SEGITIGA
TEMPERATUR PV.WADAH SEGI TIGA + PCM TEGANGAN PV.WADAH SEGITIGA
Gambar 5. Sejarah temperatur PV pada bagian bawah wadah segitiga ditambah PCM
182
(VDC)
30
40
(VDC)
24
(°C)
(°C )
50
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
70
40
60
35 30
40
25
30
(VDC)
(°C)
50
20
20
17
16.3
16.45
16
16.15
15.3
15.45
15
15.15
14.3
14.45
14
14.15
13.3
13.45
13
13.15
12.3
12.45
12
12.15
11.3
11.45
11
11.15
10.3
10.45
10
10.15
9.3
9.45
9
9.15
8.3
8.45
8
8.15
7.3
10
7.45
0
7
15
7.15
10
WAKTU TEMPERATUR PV.WADAH SEGITIGA TEMPERATUR PCM PV.WADAH SEGITIGA
TEMPERATUR PV.WADAH SEGI TIGA + PCM TEGANGAN PV.WADAH SEGITIGA
Gambar 6 Sejarah temperatur PV pada bagian atas wadah segitiga ditambah PCM
Gambar 4 menunjukkan sejarha temperatur pada bagian atas wadah PCM. Pada grafik terlihat temperatur terendah pada jam 07.00 mencapai 31,1°C dengan tegangan yang di hasilkan 18,1 VDC dan tertinggi pada jam 10.30 mencapai 53,9 °C dengan tegangan yang dihasilkan 18,5 VDC. Tegangan terendah pada akhir pengujian 12,7 VDC dan tertinggi pada jam 08.15 sebesar 19,1 VDC. Temperatur ratarata yang dihasilkan PV. Wadah segi tiga tanpa PCM mencapai 41,9 °C dan tegangan rata-rata 17,7 VDC.
Seperti penjelasan pada grafik sebelumnya pengaruh terhadap tegangan yang di hasilkan masih sama bahwa PCM dapat menahan laju peningkatan temperatur pada PV. Temperetur rata-rata pada PV. Wadah Segitiga 41,9°C dan tegangan rata-rata 17,7 VDC. Rata-rata temperatur PV. Wadah segitiga ditambahkan PCM sebesar 37,9°C dan tegangan ratarata 18,6. Penurunan tegangan yang dihasilkan PV. Wadah segitiga terjadi pada saat peningkatan temperatur pada bagian bawah PV dan semakin tidak beraturan semakin turun hingga akhir pengujian. Pada PV yang menggunakan PCM temperatur bagian bawah PV terlihat naik turun tetapi dapat kembali stabil dengan waktu singkat dengan bantuan PCM. Temperatur terendah pada PCM 26,6°C dan tertinggi 50,5°C terjadi di jam 14.30. Dapat dilihat pada grafik diatas perubahan temperatur PCM bergerak dengan lambat seiring perubahan temperatur dari PV.
Pengujian pada PV. Segitiga menggunakan PCM temperatur tertinggi 51,2°C pada jam 10.30 dengan tegangan yang di hasilkan 18,2 VDC dan terendah pada 25,4°C pada jam 07.00 dengan menghasilkan tegangan 18,5 VDC. Teganagan terendah terjadi pada jam 10.45 sebesar 17,8 VDC dan tertinggi pada akhir pengujian sebesar 20.3 VDC. Temperatur rata-rata sebesar 37,9°C dan tegangan rata-rata sebesar 18,6 VDC.
Pada grafik diatas menunjukan temperatur bagian atas PV pada PV standart meningkat naik hingga tertinggi mencapai 62°C dan terendah 20,3°C. Tegangan yang dihasilkan dari PV.Standart terendah 17,8 VDC dan tertinggi 19,4 VDC dengan tegangan rata-rata 18,7 VDC. Pada PV wadah segitiga dengan tambahan PCM dan kipas memiliki temperatur tertinggi pada PV bagian atas 57,6°C dan terendah 24,7°C dengan temperatur rata-rata 43,5°C, tegangan tertinggi yang dihasilkan 19,7 VDC dan terendah 18 VDC . Rata – rata tegangan yang dihasilkan 18 VDC.
Dari gambar 5, grafik dapat kita lihat PV yang menggunakan PCM menghasilkan tegangan lebih stabil dibandingkan yang tidak menggunakan PCM. Saat temperatur meninggkat pada PV yang tidak menggunakan PCM tegangan semakin menurun dan tidak beraturan sehinggga penggunaan PCM dapat meredam temperatur yang berlebihan dari PV yang diterima yang menyebabkan penurunan tegangan yang dihasilkan.
183
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 besar pengaruh PCM terhadap PV dalam meredam peningkatan temperatur yang berlebih.
Pengujian dilakukan bersamaan antara PV wadah PCM setengah lingkaran tanpa memasukkan PCM dengan PV memasukkan PCM pada wadah setengah 20 19.5 19 18.5
45
18
40
17
17.5
18 17
17
16
16
16.3
15
15.3
14
14.3
13
WAKTU
13.3
12
10
10.3
9
25
lingkaran.
9.3
WAKTU
12.3
TEMPERATUR PV. WADAH PCM SETENGAH LINGKARAN + PCM
35
11
15
45
8
17
16
16.3
15
15.3
14
14.3
13
13.3
12
15.5
WADAH PCM ATAS 12.3
11
11.3
10
10.3
9
9.3
8
8.3
7
7.3
25
WADAH PCM BAWAH
55
11.3
16
30
19
(°C )
16.5
35
65
8.3
(°C)
VOLT (DC)
50
7
55
7.3
60
Pada Gambar 7 menunjukkan temperatur pada PV bagian atas menunjukan PV dengan mengunakan PCM semakin meningkat melebihi temperature PV tanpa menggunakan PCM. Tempertur tertinggi pada PV. menggunakan PCM 59,5°C pada jam 14.15, sedang tertinggi pada PV tanpa menggunakan PCM 47,8°C pada jam 13.30. Rata-rata tegangan yang dihasilkan tertinggi pada PV tanpa menggunakan PCM dibandingkan menggunakan PCM, tetapi tegangan
VOLT (DC)
Pengujian Panel Surya PV dilengkapai PCM Wadah Setengah Lingkaran
yang dihasilkan PV yang menggunakan PCM lebih stabil terlihat jelas pada grafik.
Gambar 7. Sejarah temperatur wadah setengah lingkaran tanpa PCM
Gambar 8 Sejarah temperatur wadah setengah lingkaran bagian atas dengan PCM Pada grafik diatas dapat dilihat temperaturtemperatur dan tegangan yang dihasilkan pada PV menggunakan wadah PCM setengah lingkaran sebelum dimasukkan PCM. Temperature tertinggi dibagian atas wadah dengan tertinggi 44,4 °C pada jam 10.40 dan juga rata-rata tertinggi pada bagian atas wadah dengan rata-rata 39,3°C. Temperatur rata-rata terendah terletak pada bagian bawah wadah yaitu 36,8°C. Tegangan yang dihasilkan semakin menurun pada saat temperature meningkat melebihi ± 40°C. Tegangan tertinggi 19,4 Volt (DC) pada jam 09.00 dan mulai menurun seiring temperatur Pada wadah mulai menaik.
Pada grafik di bawah berbeda pada grafik sebelumnya, temperature bagian bawah PV rata-rata tertinggi pada PV yang tidak menggunakan PCM dan lebih stabil. Temperature tertinggi pada PV tidak menggunakan PCM 62,8°C jam 13.15. Pada PV yang menggunakan PCM temperature tertinggi 48,0°C jam 14.30. Rata-rata temperature bagian bawah PV tanpa menggunakan PCM 47,3°C dan rata-rata temperature bagian bawah PV dengan menggunakan wadah setengah lingkaran dan PCM 39,0°C. panas yang di hasilkan PV dapat diserap dengan baik oleh PCM sehingga pada bagian bawah PV yang menggunakan PCM lebih rendah temperaturnya dibandingkan tanpa menggunakan PCM. Temperature PCM tertinggi 49,0°C terjadi pada jam 11.30 dan rata-rata temperature PCM 37,7°C. PCM mencair saat menerima panas yang dihasilkan PV.
Perbandingan pengujian PV ditambahkan wadah setengah lingkaran PCM dengan PV menggunakan PCM dengan wadah setengah lingkaran. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan PV yang di tambahkan wadah PCM setengah lingkaran dengan membandingkan memasukkan PCM di Wadah tersebut. Pengujian ini untuk mengetahui seberapa
184
15
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pada grafik 8 dan 10, tegangan yang dihasilkan PV wadah PCM setengah lingkaran tanpa PCM pada awal pengujian tegangan dihasilkan 19,1 Vdc seiring penambahan temperatur pada permukaan dan bagian bawah PV tegangan yang dihasilkan perubahan turun naik drastic dengan rata-rata 18,5 Vdc dan terendah mencapai 17,7 Vdc. Pada PV. Menggunakan PCM dengan wadah setengah lingkaran tegangan tertinggi yang dihasilkan 19,0 Vdc. Rata-rata tegangan dalam sehari 18,6 Vdc dan terendah 17,8 Vdc. Pada grafik PV menggunakan PCM dengan wadah setengah lingkaran lebih stabil dibandingkan tidak menggunakan PCM. Temperatur pada bagian bawahpun lebih rendah PV menggunakan PCM dibandingkan yang tidak menggunakan PCM.
(°C) 18
45
16
(°C)
VOLT (DC)
55
14 TEMPERATUR PV.WADAH PCM SETENGAH LINGKARAN
17
16
16.3
15
15.3
14
14.3
13
13.3
12
12.3
11
11.3
10
10.3
9
9.3
8
8.3
7.3
Grafik di atas menunjukkan temperature permukaan pada PV. Standar terus meningkat hingga tertinggi mencapai62,0 °C pada jam 12.30 dan terendah mencapai 20,3 °C dengan rata-rata 45°C. PV.menggunakan PCM denganWadah setengah lingkaran ditambah kipas menghasilkan temperature pada bagian atas PV mencapai tertingnggi 47,8°C pada 13.30 jauh lebih rendah dari PV.standart. Temperatur Rata-Rata mencapai 40,3°C.
12
TEMPERATUR PV.WADAH PCM SETENGAH LINGKARAN + PCM
15
WAKTU
Gambar 10. Sejarah temperatur PCM bagian atas dengan aliran udara dipaksa dengan kipas
20
25
7
TEMPERATUR PV.STANDART
20
65
35
20
VOLT (DC)
70
10
Gambar 11. Sejarah temperatur PCM bagian bawah dengan aliran udara dipaksa dengan kipas
WAKTU
Gambar 9. Sejarah temperatur wadah setengah lingkaran bagian bawah dengan PCM
20
65
19.5
55
19
(°C )
VOLT (DC)
75
45
18.5
35
18
25
17
16
16.3
15
15.3
14
14.3
13
WAKTU
13.3
12
12.3
11
11.3
10
10.3
9
9.3
8
8.3
7.3
7
15
17.5
TEMPERATUR PV. WADAH PCM SETENGAH LINGKARAN + PCM + KIPAS
17
185
Pada grafik diatas menunjukkan bagian atas PV standart temperatur tertinggi mencapai 54,1°C pada jam 12.15 dan temperature rata-rata mencapai 38,7°C. Pada grafik tempertur bagian bawah meningkat terus dan mulai menurun pada 15.30 hingga akhir pengujian 33,5°C. PV menggunakan PCM dengan wadah setengah lingkaran ditambah kipas pendingin temperature pada bagian bawah terlihat pada garafik lebih stabil dibandingkan PV standar, jelas menunjukkan temperature tertinggi hanya mencapai 35,5 °C pada jam 11.45 dan rata-rata mencapai 31,2°C. ini disebabkan panas diserap oleh PCM dan saat PCM mencair kipas mendinginkan PCM hingga PCM kembali kewujud semula dan siap untuk menerima panas kembali, peristiwa ini berulang-ulang terjadi. Temperature PCM tertinggi mencapai 47,7°C pada jam 14.00 dengan rata-rata 39,0°C.
15
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
IV.
[2] Garg. H.P., Adhikari. R.S., Sistem performance Studies on Photovoltaic/Thermal (PV/T) Air Heating Collector, Renewable Energy, 16, pp.725-730., (1999).
KESIMPULAN
[3] Infield, D, Mei, L and Eicker, U., Thermal performance estimation of ventilated PV facades. Solar Energy, 76(1-3): 93-98, (2004).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Material berubah fasa (phase change material, PCM) dapat dipertimbangkan sebagai media untuk mendinginkan panel fotovoltaik.
[4] Joshi, A J. and Tiwari, A., Energy and exergy analysis of a hybrid photovoltaic thermal (PV/T) air collector, Renewable Energy 32,2223 – 2241., (2007).
2. Tegangan yang dihasilkan PV standar lebih rendah dibandingkan PV menggunakan PCM. Pada PCM menggunakan wadah setengah lingkaran tegangan tertinggi PV standar mencapai rata-rata 15,7 Volt dan PV menggunakan PCM tegangan rata-rata mencapai 18,9 volt.
[5] Tiwari A, M.S.Sodha, Parametric study of various hybrid PV/thermal air collector: Experimental validation of theoretical model, Solar Energy material & Solar Cells, 91, pp.17-28., (2007).
3. PV menggunakan PCM dengan wadah setengah lingkaran temperatur tertinggi hanya mencapai 35,5 °C pada jam 11.45 dan rata-rata mencapai 31,2°C. Hal ini disebabkan panas diserap oleh PCM dan saat PCM mencair kipas mendinginkan PCM hingga PCM kembali kewujud semula dan siap untuk menerima panas kembali, peristiwa ini berulang-ulang terjadi. Temperature PCM tertinggi mencapai 47,7°C pada jam 14.00 dengan rata-rata 39,0°C.
[6] Zondag, H A., de Vries, D W., van Helden, W G J., van Jolingen, R J C., The yield of different combined PV-thermal collector designs, Solar Energy 74: 253– 269., (2003). [7] Skoplaki E, Palyvos JA. On the temperatur dependence of photovoltaic module electrical performance: a review of efficiency/power correlations. Sol Energy 2009;83:614–24. [8] Sandberg M. Cooling of building integrated photovoltaics by ventilation air. In: Proceedings of the first international forum on natural and hybrid ventilation. Sydney: Australia; 1999.
4. PHasil pengujian PCM dengan wadah wadah segitiga diperoleh temperatur tertinggi pada PV bagian atas 57,6°C dan terendah 24,7°C dengan temperatur rata-rata 43,5°C, tegangan tertinggi yang dihasilkan 19,7 Volt dan terendah 18 Volt.
[9] Tonui JK, Tripanagnostopoulos Y. Improved PV/T solar collectors with heat extraction by forced or natural air circulation. Renew Energy 2007;32: 623–37.
UCAPAN TERIMA KASIH
[10]Huang MJ. The application of CFD to predict the thermal performance of phase change materials for the control of photovoltaic cell temperatur in buildings. (Ph.D. thesis). UK: University of Ulster; 2002.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prodi Teknik Mesin Universitas Samudrayang telah mendukung penelitian ini terutama dalam sarana dan prasana.
[11]Maiti S, Vyas K, Ghosh PK. Performance of a silicon photovoltaic module under enhanced illumination and selective filtration of incoming radiation with simultaneous cooling. Sol Energy 2010;84:1439–44.
DAFTAR PUSTAKA [1] Dubey Swapnil, Sandhu GS, Tiwari GN., Analytical expression for electrical efficiency of PV/T hybrid air collector. Appl Energy, 86:697–705, (2009).
[12]Jun Huang M. The effect of using two PCMs on the thermal regulation performance of BIPV sistems. Sol Energy Mater Sol Cells 2011;95:957–63.
186
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
BIODATA PENULIS
Subhan lahir di Labui, Indonesia pada tahun 1974. Beliau mendapatkan gelar sarjana pada bidang Teknik Kimia di Universitas Abulyatamapada tahun 2000, mendapatkan gelar Magister Teknik Kimia di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada tahun 2010. Beliau merupakan dosen pada Fakultas Teknik Universitas Samudra di Kota Langsa. Penelitian yang diminati diantaranya adalah mengenai Konveksi energi, Energi Terbarukan dan perlakuan panas pada material. Subhan dapat dijumpaidi Program Studi Teknik Industri, Jl. Kampus Meurandeh, Kota Langsa, Indonesia 24416 atau dapat dikontak melalui Hp; 085260138493.
187
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Modulus Elastisitasmaterial Komposit Polymeric Foam Diperkuat Serat Ampas Tebu Akibat Beban Tarik Elasticity Modulus Material Fiber Composites Polymeric Foam Strengthened Due To Load Pull The Fiber Flakes Cane Zainal Arif(1), Nazaruddin(2), Taufan Arif Adlie(3), Fazri(4) (1)(2)(3)(4) Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Samudra E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK - Penggunaan serat alami pada material komposit polymeric foam merupakan suatu rekayasa bahan untuk menghasilkan bahan komposit yang memiliki kekuatan yang lebih baik, ringan, dan murah. Serat ampas tebu merupakan limbah alami yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga perlu dikaji lagi untuk mendapatkan material rekayasa baru yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Penyelidikan terhadap modulus elastisitas material Komposit PolymericFoam Diperkuat Serat Limbah Ampas Tebu Akibat Beban Tarik dikerjakan secara eksperimental menggunakan mesin uji Servopulser, dan standard spesimen uji ASTM D-638. Variasi komposisi bahan penyusun diukur berdasarkan perbandingan berat resin dengan serat dan komposisi material pendukung tetap (polyurethane). Adapun komposisi bahan masing-masing adalah: A1(83%, 2%, 15%); A2(80%, 5%, 15%); dan A3(75%, 10%, 15%), serta penambahan katalis untuk mempercepat reaksi. Spesimen uji dicetak dengan sistem cor sebanyak 6 spesimen untuk masing-masing komposisi. Data hasil pengujian diolah guna untuk mendapatkan modulus elastisitas masing-masing bahan komposit polimeric foam, yaitu EA1= 484,943MPa; EA2= 687,829MPa; EA3= 377,117MPa. Kata Kunci: Modulus Elastisitas, Komposit polimeric foam, ampas tebu, beban tarik ABSTRACT - Bagasse fiber is a natural waste that has not been used optimally in design material, so it needs to be studied again to get a new composite material that has a high economic value. Investigation of the elasticity modulus of composite material polymeric foam reinforced by waste bagasse fiber due to tensile loading using the Servopulser testing machine, with a standard test specimen is ASTM D-638. Variations in the composition of the materials, as measured by weight ratio of resin and fiber and also support material composition of polyurethane is constant. The compositions of each ingredient are: A1 (83%, 2%, 15%); A2 (80%, 5%, 15%); and A3 (75%, 10%, 15%), and the addition of a catalyst to accelerate the reaction. The test specimen was made with the cast system, with six specimens for each composition. The test data is processed to obtain the elastic modulus of each composition of the material composite polymeric foam, respectively: EA1 = 484,943MPa; EA2 = 687,829MPa; EA3 = 377,117MPa. Keywords: elasticity modulus, Composite Polymeric Foam, Waste bagasse, tensile loading Perkembangan teknologi komposit yang semakin maju menyebabkan kebutuhan material komposit semakin meningkat dibidang perindustrian, seperti industry penerbangan, perkapalan, otomotif, peralatan militer, alat olahraga, kedokteran, sampai pada peralatan rumah tangga[3]. Penggunaan serat pada material komposit merupakan suatu terobosan dalam merekayasa bahan untuk menghasilkan material komposit yang memiliki kekuatan yang lebih baik. Serat yang digunakan dapat berasal dari bahan sintetis maupun serat alami[4].
I.
PENDAHULUAN Komposit adalah suatu bahan hasil rekayasa yang terdiri dari dua atau lebih bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya, baik sifat kimia maupun fisiknya dan tetap terpisah dalam hasil akhir bahan tersebut [1]. Artinya penggabungan sifat-sifat unggul dari pembentuk masih terlihat nyata. Komposit Material umunya mempunyai sifat dengan kekuatan tinggi, berat yang ringan, dan harga yang murah. Beberapa kajian telah menunjukkan meterial komposit adalah sebagai sebuah soluasi desian untuk menanggulangi kenaikan harga dari material tradisional seperti besi, aluminium dan kayu[2].
Tanaman tebu atau dengan nama latinya Saccharum Officinarum adalah termasuk golongan
188
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 rumput-rumputan yang hidup didaerah beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Produksi tebu seluruh Indonesia menuru data statistik pada tahun 2013 adalah 2.517.374 ton. Untuk pulau sumatra menghasilkan 876.133 ton[5]. Pada proses pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press). Dari proses pembuatan tebu tersebut akan menghasilkan gula 5%, limbah ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Dari prosestase tersebut akan menghasilkan banyak sekali limbah limbah ampas tebu yang pada saat ini masih banyak dijadikan sebagai pupuk organik, dibakar, atau dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan. Serat bagase tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Pemanfaatan serat ampas tebu sebagai serat penguat metarial komposit akan mempunyai arti yang sangat penting yaitu dari segi pemanfaatan limbah diindustri pabrik gula diindonesia [6].
Tarik Dan Impak. Hartono Yudo, CS., 2008, meneliti tentang Pemanfaatan Limbah ampas tebu Dan Kulit Pisang Dalam Pembuatan Kertas Serat Campuran, studi pengaruh bentuk silica dari abu limbah ampas tebu, A. Othman meneliti tentang Investigasi quasi-static aksial sifat tumbukan dari komposit polymeric pada pipa bulat, dll. Dari beberapa penelitian tersebut, penulis akan meneliti modulus elastis material kompoist polymeric foam diperkuat serat limbah ampas tebu akibat beban statik. II.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian diawali dengan persiapan peralalatan dan bahan, langkah selanjutnya adalah proses pembuatan serat dan pembuatan spesimen uji.langkah pengujian dilakukan untuk mendapatkan nilai pembebanan maksimum dari spesimen uji. Urutan proses penelitian ini dapat diuraikan seperti pada gambar 1. Komposisi material komposit polymeric foam diambil berdasarkan fraksi berat material penyusun dari masing-masing material pendukung dengan variasi terhadap resin, serat limbah ampas tebu, blowing agent, dan katalis. Variasi tersebut untuk menghasilkan material komposit polymeric foam yang mempunyai kekuatan yang lebih baik dan berat akhir dari produk material yang dihasilkan lebih ringan.
Untuk meningkatkan nilai ekonomis yang tinggi, limbah ampas tebu ini masih terbuka kemungkinan untuk direkayasa menghasilkan produk material yang baru yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Tentunya limbah ampas tebu ini dapat diolah menjadi serat yang selanjutnya dikombinasikan dengan resin untuk menghasilkan produk komposit yang mempunyai daya saing, murah dan mudah diproduksi. Komposisi material komposit polymeric foam diambil berdasarkan fraksi berat material penyusun dari masing-masing material pendukung dengan variasi terhadap resin, blowing agent, serat limbah ampas tebu dan katalis. Limbah ampas tebu diolah menjadi serat, lalu dicampurkan dengan resin termo set dan blowing agent, menghasilkan material bahan komposit polymeric foam yang memiliki berat yang relative lebih ringan. Variasi tersebut membentuk material komposit polymeric foam yang mempunyai kekuatan dan modulus elastistas yang lebih baik serta dapat mengurangi berat akhir dari produk material yang dihasilkan.
Gambar 1. Skema Proses Penelitian
Untuk mengetahui modulus elastisitas dari material komposit tersebut, tentunya perlu diadakan pengujian lebih lanjut. Metode yang akan digunakan adalah metode uji tarik. Metode ini digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan modulus elastisitas dari material komposit yang dibentuk dengan variasi material pendukungnya. Beberapa penelitian terdahulu telah meneliti pemanfaatan limbah serat limbah ampas tebu diantaranya adalah Allita Yosephine, Cs., 2012, meneliti tentang Analisa Teknis Kekuatan Mekanis Material Komposit Berpenguat Serta Limbah ampas tebu (Baggase) Ditinjau Dari Kekuatan
189
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Tabel 1. material-material penelitian
No.
Nama Material
1 Polyester resin tak jenuh.
Jenis Material BQTN 157-EX
Keterangan
. 2 . .
Serat Limbah ampas tebu 3 Material pembuat gelembung (Blowing Agent, BA) 4 Katalis
berbentuk serat Polyurethane
MEKPO
. 5
Pembersih serat
NaOH, 1M
6
Pelumas khusus
WAX
1%
. Pelumasan Cetakan
.
Penguat pada komposit ini diperoleh dari limbah ampas tebu, yang sangat mudah didapatkan dengan proses perlakuan yang sederhana. Untuk proses lebih lanjut serat limbah ampas tebu dicampur dengan resin termoset dan material penyusun lainnya seperti ditunjukkan pada tabel 1.
Teknik pembuatan material komposit polymeric foam pada penelitian ini menggunakan metode penuangan/cor kedalam cetakan setelah diaduk rata dengan menggunakan pengaduk dalam wadah pencampuran. Proses pengecoran ini dilakukan untuk mendapatkan struktur komposit berongga (foam) dengan arah serat acak/random dan tidak continyu seperti pada gambar 2, sehingga tidak dapat dilakukan secara hand lay up, dimana metode ini dipakai pada serat yang panjang dan kontinyuPeubah yang diukur adalah perbandingan komposisi volume berat jenis resin dengan serat dan komposisi material pendukung lainnya tetap. Guna mendapatkan hasil yang terbaik maka diperlukan beberapa sampel uji dengan komposisi yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada tabel 2. banyaknya jumlah spesimen yang di uji untuk setiap komposisi adalah 6 spesimen uji. Bentukspesimenuji yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan standar uji tarik ASTM D-638. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui beban tarik maksimum (maximum force) dan peubahan panjang (elongation). Data hasil uji tarik tersebut selanjutnya akan diubah menjadi data grafik tegangan dan regangan. Adapun alat uji tarik dapat ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 2. Metodepenuangankomposit
Tabel 2. komposisibahanspesimenuji
Gambar3.Alatujistatiktarikservopulser
190
No.
SpesimenUji
Tegangan σ (kPa)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
A1.1 A1.4 A1.5 A1.6 A1.7 A1.9 A1
8845,67 11980,50 10921,17 8542,33 9451,17 10186,17 9987,835
Modulus Elastis E (MPa) 352,417 651,114 587,159 373,023 418,193 527,781 484,943
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian tarik untuk komposisi pertama dengan label A1, dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 5. Grafik Tegangan dan Regangan Spesimen A2 Tabel 4. Modulus Elastisitas Spesimen Uji A2 No. Spesimen Tegangan σ Modulus Uji (kPa) Elastis E (MPa) 1. A2.1 11721,50 601,102 2. A2.3 15678,83 776,179 3. A2.4 11765,00 363,117 4. A2.7 15960,00 806,060 5. A2.8 12737,67 950,572 6. A2.10 13732,83 629,946
Gambar 4. Grafik Tegangan dan Regangan Spesimen A1 Pada gambar 4 terlihat variasi tegangan dan regangan hasil pengujian komposisi A1 dengan 6 spesimen uji dengan tegangan tertinggi adalah 11980,5 kPa pada spesimen uji A1.4 dan terendah 8542,33 kPa pada spesimen A1.6, sehingga tegangan rata-rata diperoleh adalah 9987,835 kPa. Sedangkan modulus elastisitas rata-rata untuk komposisi ini adalah 484,943MPa. seperti dilihat pada tabel 3.
A2
13599,305
687,829
Variasi tegangan hasil pengujian komposisi A2 dengan 6 spesimen uji diperoleh tegangan tertinggi adalah 15960 kPa untuk spesimen uji A2.7 dan tegangan terendah 11721,50 kPa untuk spesimen A2.1. Tegangan rata-rata pada pengujian kedua diperoleh adalah 13599,305 kPa. Modulus elastis rata-rata diperoleh untuk komposisi ini adalah 687,829 MPa. Data ini dapat dijelaskan pada tabel 4.
Tabel 3. Modulus Elastisitas Spesimen Uji A1
Hasil pengujian tarik untuk komposisi kedua A2, dapat dijelaskan pada gambar 5.
Gambar 6. Grafik Tegangan dan Regangan Spesimen A3
191
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pengujian tarik Komposisi ketiga A3, dapat digambarkan pada gambar 6. Variasi tegangan hasil pengujian komposisi A3 dengan 6 spesimen uji diperoleh tegangan tertinggi adalah 7460,83 kPa pada spesimen uji A3.10, dan tegangan terendah 5687,50 kPa pada spesimen A3.2, Tegangan ratarata diperoleh hasil adalah 6614,028 kPa. Sedangkan Modulus elastis rata-rata komposisi ini adalah 377,117 MPa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.
4. KESIMPULAN Dari data hasil pengujian dapat disimpulkan modulus elastisitas pada masing-masing komposisi adalah: 1. Untuk komposisi resin 83%, serat 2%, dan polyurethane 15%) diperoleh nilai modulus elastisitas (E) sebesar 484,943MPa. 2. Untuk komposisi resin 80%, serat 5%, dan polyurethane 15%) diperoleh nilai modulus elastisitas (E) sebesar687,829MPa. 3. Untuk komposisi resin75%, serat 10%, dan polyurethane 15%) diperoleh nilai modulus elastisitas (E) sebesar 377,117MPa.
Tabel 5. Modulus Elastisitas Spesimen Uji A3 No. SpesimenUji Tegangan Modulus σ (kPa) Elastis E (MPa) 1. A3.2 5687,50 319,522 2. A3.3 6206,67 367,258 3. A3.6 6703,67 475,437 4. A3.8 7072,33 327,422 5. A3.9 6553,17 246,728 6. A3.10 7460,83 426,333 A3
6614,028
4. UCAPAN
TERIMA PENGHARGAAN
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dikti yang telah mendana kegiatan penelitian memalui DIPA No. 042.060/2016, dan juga Tim Assessor Dikti yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan karya penelitian dalam hibah dosen pemula tahun ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Pihak LPPMPM Unsam selaku perpanjanga tangan Rektor Unsam yang telah mengurus administrasi hibah ini. Tak lupa ucapan Terima kasih juga disampaikan kepada Laboratorium Impact Fracture Research Center (IFRC) Departemen Teknik Mesin USU atas fasilitas pengujian.
377,117
DAFTAR PUSTAKA Artikel Jurnal: [1] M. Budi Nur Rahman, CS., 2011, “Pengaruh Fraksi Volume Serat Terhadap Sifat-Sifat Tarik Komposit Diperkuat Unidirectional Serat Tebu Dengan Matrik Poliester”, Jurnal lmiah SemestaTeknika, Vol. 14, No. 2. Hal. 133-138.
GRAFIK TEGANGAN DAN MODULUS ELASTISITAS TIAP KOMPOSISI
Tegangan σ (kPa)
14000 12000 10000 8000
800
687.829
700 600
9987.835 484.943
500 400
6614.028 377.117
6000
300
4000
200
2000
100
0
Modulus Elastis E (MPa)
13599.30 5
[2] A. Othman, S. Abdullah, A.K. Ariffin, N.A.N. Mohamed, “Investigating the quasi-static axial crushing behavior of polymericfoam-filled composite pultrusion square tubes”, Materials and Design 63 (2014) 446–459 [3] Zulfikar, 2012, “Analisa Kekuatan Statik Tarik Meterial Komposit Polimer Serat Buah Pinang Dengan Perlakuan Rendaman Larutan NaOH 1M%”,Sekolah Tinggsi Teknik Sinar Rusni, Jurnal MEKINTEK. Vol.3 No.2, Hal 224-227
0
A1
A2
DAN
5.
Dari hasil pengujian tiap-tiap komposisi menunjukkan bahwa tegangan rata ratayang terbesar terjadi pada variasi komposisi kedua dengan komposisi resin adalah 80%, serat adalah 5%, dan Polyurethaneadalah 15%. Besarnya tegangan rata-rata yang timbul akibat pengujian tersebut adalah 13599,305 kPa. Nilaimodulus elastisitas (E) diperoleh sebesar 687,829 MPa. Perbandingan tegangan dan modulus elastisitas dari hasil pengujian yang dilakukan pada masingmasing komposisi dapat dengan jelas dijabarkan pada grafik seperti ditunjukkan pada gambar 7.
16000
KASIH
A3
Gambar 7. Grafik Tegangan dan Modulus Elastisitas
192
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 [4] Zainal Arif, 2012, “Respon Parking Bumper Bahan Komposit Polymeric Foam Diperkuat Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit Akibat Beban Tekan Statik dan Dinamik (Simulasi Numerik)”,Sekolah Tinggsi Teknik Sinar Rusni, Jurnal MEKINTEK. Vol.3 No.1, Hal 1-8 [6] Diharjo, 2006 Buku: [5] Muh.Edi Subiyantoro, Yanuar Arianto, “Statisktik Perkebunan Indonesia”, Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta, Desember 2014 [6] Dirjo K, 2006, “Pengaruh Perlakuan Alkali Terhadap Sifat Tarik Bahan Komposit Serat Rami-Polyster. Jurusan Teknik Mesin, UNS
BIODATA PENULIS Zainal Arif lahir di Langsa, Indonesia pada tahun 1972. Beliau mendapatkan gelar sarjana pada bidang Teknik Mesin di Universitas Pasundan (Unpas) pada tahun 1996, mendapatkan gelar Magister Teknik Mesin dibidang Matrial dan Struktur di Universitas Sumatra Utara (USU) pada tahun 2012. Beliau merupakan dosen pada Fakultas Teknik Universitas Samudra di Langsa dan saat ini sedang dalam penyelesaian study program Doktor Ilmu Teknik di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Penelitian yang diminati diantaranya adalah tentang material komposit. Zainal Arif dapat dijumpaidi Program Studi Teknik Mesin, Jl. Kampus Meurandeh, Kota Langsa, Indonesia 24416 atau dapat dikontak melalui email:
[email protected]. Hp; 082370376873
193
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perubahan Potensial Pipa Galvanis Dengan Proteksi Katodik Dalam Tanah di Fakultas Teknik Universitas Samudra Muhammad Zulfri1, Syamsul Bahri Widodo2, Hamdani3 1,2,3
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Samudra, Kota Langsa – Aceh 24416 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Perubahan potensial pipa galvanis dalam tanah disebabkan oleh adanya pelepasan elektron dari anoda (Seng) ke katoda (Pipa Galvanis), untuk mengetahui perubahan potensial dan tingkat korosivitas yang terjadi maka dilakukan penelitian perubahan potensial. Beda potensial terjadi karena faktor dalam logam dan faktor lingkungan. Penggunaan sistem proteksi katodik metoda anoda korban merupakan salah satu cara yang paling baik untuk mengendalikan laju korosi yang terjadi pada pipa bawah tanah. Berdasarkan perencanaan yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa laju korosi yang terjadi pada pipa yang dicat sebesar 0,157 mpy dan untuk pipa yang tidak dicat sebesar 0,361 mpy. Jenis korosi yang dominan terjadi pada pipa galvanis ini ialah korosi merata dan korosi galvanic. Kata Kunci : Korosi, anoda, katoda, proteksi katodik, anoda korban. Abstract-Potential changes galvanized pipe in the ground caused by the release of electrons from the anode (zinc) to the cathode (Galvanized Pipe), to determine the potential changes and the level of corrosiveness happens then conducted research potential changes. The potential difference occurs because of factors in the metals and environmental factors. The use of cathodic protection systems sacrificial anode method is one of the best ways to control the rate of corrosion that occurs in underground pipes. Based on the planning done it is concluded that the rate of corrosion that occurs on a pipeline of 0,157 mpy painted and unpainted for pipes of 0,361 mpy. The dominant type of corrosion that occurs in this galvanized pipe corrosion is uneven and galvanic corrosion. Keywords:Corrosion, anode, cathode, cathodic protection, sacrificial anode.
I.
berarti suatu kerugian. Suatu biaya harus dikeluarkan lagi untuk memberdayakan logam, yaitu biaya pengendalian korosi. Biaya ini termasuk biaya desain, pemeliharaan, inspeksi, konsultasi, pendidikan, dan lain-lain yang berkaitan pemberdayaan logam secara optimal. Belakangan harus dimasukkan juga biaya pengendalian pencemaran lingkungan dan pelestarian alam sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan logam.
PENDAHULUAN
Korosi didefenisikan sebagai kerusakan material karena bereaksi dengan lingkungan. Ini adalah proses alam, yang pasti akan terjadi. Seperti kita ketahui, logam kontruksi pada umumnya diperoleh dari alam sebagai mineral, kemudian setelah melalui pengolahan yang mengkonsumsi energi panas, diperoleh logam, sehingga logam dalam kondisi berenergi tinggi. Oleh karena itu ia akan kembali ke alam sebagai nonlogam lagi yang energinya lebih rendah.
Korosi terjadi selama ada kontak logam dengan lingkungan, sehingga prosesnya sudah mulai terjadi sejak logam itu sendiri ada. Hampir semua jenis logam yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari peralatan rumah tangga, mobil, pipa-pipa bawah tanah, strutur jembatan, bahkan bagian tubuh buatan manusia dapat terkorosi. Oleh karena itu usaha pengendalian korosi harus dimulai dari perencanaan material hingga penggunaannya.
Korosi menjadi masalah serius yang perlu dihadapi oleh ahli-ahli teknik. Pada umumnya para ahli korosi menyadari bahwa kerugian akibat terjadinya korosi telah menghabiskan biaya yang sangat besar setiap tahun, karena untuk menghasilkan logam kita telah mengeluarkan biaya, oleh karena itu logam harus dapat melayani keperluan manusia, minimal sesuai dengan biaya yang telah diserapnya. Apabila logam kembali ke alam, tanpa memberikan manfaat yang sebanding,
194
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Pengendalian korosi pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang bertujuan untuk memperpanjang umur pemakaian suatu kontruksi. Pemilihan sistem pengendalian yang akan digunakan harus mempertimbangkan segi teknis maupun segi ekonomis berdasarkan jenis material, penggunaan dan kondisi material yang akan diproteksi serta kondisi lingkungan.
II.
LANDASAN TEORI
2.1.
Teori Dasar Korosi
Menurut John M. West (1986; 16), korosi adalah kerusakan logam yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Reaksi korosi merupakan reaksi alamiah yang dapat dipastikan akan terjadi pada logam.
Pada pipa bawah tanah, sistem pengendalian korosi dengan proteksi katodik merupakan salah satu cara yang sangat efektif. Sistem pengendalian korosi dengan cara proteksi katodik, logam yang diproteksi dibanjiri elektron sehingga potensial logam turun mencapai suatu nilai dimana korosi dapat dikendalikan.
Trethewey (1991; 25), menyatakan bahwa korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi kimia atau elektrokimia dengan lingkungannya. Korosi adalah peristiwa alamiah yang terjadi pada logam. Penurunan mutu logam tidak hanya melibatkan reaksi kimia namun juga reaksi elektrokimia, dimana antara material yang bersangkutan terjadi perpindahan elektron.
Dalam penulisan ini, proteksi katodik metoda anoda korban dipilih sebagai salah satu cara dalam perencanaan proteksi katodik pada pipa bawah tanah. Metoda anoda korban merupakan suatu cara perlindungan logam dengan mengorbankan logam lain. Dasar dari metoda ini adalah timbulnya arus listrik yang disebabkan oleh adanya beda potensial antara logam yang akan dilindungi (diproteksi) dengan logam yang dikorbankan sehingga akan terjadi perpindahan elektron dari anoda ke katoda.
Menurut Rochim Suratman (1987; 3), korosi adalah suatu proses perusakan logam oleh suatu reaksi kimia atau elektrokimia sebagai akibat interaksi antara logam dengan lingkungannya. 2.1.1 Mekanisme Korosi
Proses korosi terjadi secara alamiah, sehingga tidak dapat dicegah tetapi hanya dapat dikendalikan. Banyak cara yang dipakai untuk mengendalikan korosi dan penempatannya haruslah sesuai dengan aspek-aspek dimana logam itu berada. Korosi dapat terjadi pada bagian dalam (internal) maupun pada bagian luar (eksternal) dari suatu material. Dasar pengendalian korosi dapat dibagi dalam empat bagian :
Menurut Ostroff (1979; 23), mekanisme korosi pada lingkungan basah pada umumnya adalah karena proses elektrokimia, korosi dengan mekanisme ini ditandai dengan adanya arus listrik yang mengalir selama proses korosi berlangsung. Agar arus listrik mengalir maka diperlukan suatu tenaga penggerak atau rangakaian listrik tertutup.
1.
Memisahkan logam dari lingkungan
2.
Membuat logam tahan korosi
Rangkaian listrik pada proses korosi terdiri dari empat bagian yaitu :
3.
Membuat lingkungan tidak korosif
1.
4.
Membalikkan arah arus korosi
Anoda adalah bagian permukaan yang terkorosi, yaitu tempat dimana logam larut ke dalam larutan. Ketika logam larut, atom logam melepaskan elektron dan masuk kedalam larutan sebagai ion positif. Reaksi kimia yang melepaskan elektron disebut reaksi oksidasi, karenanya anoda juga disebut tempat terjadinya reaksi oksidasi. Untuk besi (Fe) reaksi anodanya ditunjukkan oleh persamaan 1 (Fontana, 1978; 17) dibawah ini :
Untuk korosi yang terjadi di lingkungan air dan dalam tanah, metoda pengendalian korosi dilakukan dengan membalikkan arah arus korosi. Metoda ini disebut metoda proteksi katodik. Pengarahan pada struktur bawah tanah adalah tanggapan terhadap perkembangan di Indonesia, dimana masih banyak material dibawah permukaan tanah yang terus dicari dan digali. Disini sistem pemipaan merupakan bagian yang sangat penting, baik sebagai alat transfortasi atau pendukung suatu produksi.
Anoda
Fe
195
Fe2+ + 2e-
(1)
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 2.
Katoda
Katoda adalah bagian permukaan logam yang tidak terlarut, namun merupakan tempat reaksi kimia lain yang dibutuhkan dalam proses korosi. Elektronelektron yang ditinggalkan pada logam oleh logam yang terlarut bergerak melalui penghantar luar ke daerah permukaan katoda yang terjadi reaksi dengan suatu media pengoksidasi yang ada dalam air. Reaksi kimia dalam menyerap elektron disebut reaksi reduksi. Reaksi kimia dapat dilihat pada persamaan 2 (Fontana, 1987; 16) : 2H+ + 2e-
H2
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi korosi. Menurut Rochim Suratman (1991; 12), faktorfaktor yang berpengaruh terhadap proses korosi antara lain : a. Temperatur Dalam suatu larutan yang bertemperatur mendekati temperatur kamar, jika sebagian dari logam memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan bagian yang lain maka bagian yang lebih tinggi temperaturnya akan menjadi anodik.
(2)
Jika ada oksigen maka ada dua reaksi lain yang mungkin terjadi seperti pada persamaan 3 dan persamaan 4 (Fontana, 1987; 16) : a.
Jika sepasang logam dengan potensial berbeda ditempatkan dalam suatu lingkungan, seperti Zn dengan Fe dengan media elektrolit tanah, maka logam Zn yang berada lebih tinggi dibandingkan dengan Fe pada deret galvanis akan terkorosi sedangakan logam Fe akan terlindungi. Potensial beberapa logam dapat dilihat pada lampiran 1.
Reaksi dalam lingkungan asam. O2+4H++4e-
b.
b. Perbedaan potensial.
2H2O
(3)
Reaksi dalam lingkungan basa. O2+2H2O+4e-
4OH-
(4) c. Perlakuan panas Laju korosi suatu material akan dipengaruhi oleh perlakuan panas yang dialami material tersebut. Struktur material akan mengalami perubahan dengan adanya proses perlakuan panas, sehingga mempengaruhi kekuatan dan kekerasan material tersebut. Adanya perubahan pada struktur logam akan berpengaruh pula pada sifat mekanik material yang bersangkutan.
3. Elektrolit Elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik dan merupakan lingkungan korosif karena ikut menciptakan perbedaan potensial pada permukaan logam serta mengandung media pengoksida. Pada proses korosi elektrolit menghantar arus dari anoda ke katoda dan mengandung larutan pengoksida H+ atau oksigen.
d. Erosi 4. Penghantar luar. Proses erosi bukan merupakan suatu peristiwa korosi, tetapi dengan adanya energi lapisan pasif dapat dihilangkan dari permukaan logam. Pada hakekatnya lapisan pasif merupakan lapisan lindung. Dengan hilangnya lapisan tersebut berarti mempercepat logam terkorosi.
Penghantar luar merupakan penghantar arus listrik dari luar elektrolit, pada proses korosi penghantar luar mengalirkan elektron dari anoda ke katoda, ini berarti ia menghantarkan arus listrik dari katoda ke anoda karena menurut konvensi, arah arus listrik berlawanan dengan arus elektron. Dalam proses korosi yang menjadi penghantar luarnya adalah logam itu sendiri.
e. Kondisi permukaan Kebersihan permukaan material mempengaruhi proses korosi. Ada atau tidaknya lapisan tipis dan keberadaan zat-zat asing dapat memberi pengaruh yang kuat terhadap reaksi korosi.
Kombinasi anoda, katoda, elektrolit dan penghantar luar ini disebut sel korosi. Bila salah satu komponen diatas tidak ada, maka korosi tidak akan terjadi. Prinsip ini yang digunakan dalam penanggulangan korosi yaitu dengan meniadakan salah satu dari keempat komponen tersebut diatas.
196
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Akibat korosi ini terjadi lubang sehingga semakin lama semakin dalam dan titik ini merupakan tempat kemungkinan terjadinya konsentrasi ion.
f. Tegangan Logam yang mengalami pembebanan biasanya akan terkorosi lebih cepat. Kecepatan korosi lebih besar bila beban yang diberikan mendekati batas mulur logam yang bersangkutan.
f. Korosi celah (Crevice Corrosion) Korosi celah adaslah serangan yang terjadi karena sebagian permukaan logam terasing dari lingkungan dibanding bagian lain, logam yang menghadapi elektrolit dalam volume besar.
Menurut Ostroff (1979; 76), bahwa dari definisi korosi yang telah dikemukakan, ada dua faktor yang mempengaruhi proses korosi yaitu : a.
Faktor logams
b.
Faktor lingkungan
Menurut Trethwey (1991; 211), faktor penyebab terjadinya korosi celah adalah apabila disetiap titik dimana dua permukaan logam dipisahkan oleh cairan sempit, sel-sel aerasi differensial bisa terbentuk. Butirbutir air masuk ke dalam celah melalui gerak kapiler. Di daerah zat cair bersentuhan dengan udara menjadi lebih banya oksigen dan membuat permukaan logam didekatnya bersifat anoda, sementara yang kandungan oksigen yang lebih tinggi akan terbentuk katoda.
2.1.3Jenis-jenis korosi a. Korosi merata (Uniform Corrosion) Bentuk korosi yang paling umum dijumpai adalah korosi merata. Kejadian ini biasanya ditandai dengan reaksi kimia yang berlangsung secara seragam diseluruh permukaan yang telanjang. Logam yang mengalami kerusakan ini lambat laun akan menjadi tipis dan akhirnya akan kehilangan daya gunanya.
g. Korosi antar butir (Intergranular Corrosion) Korosi jenis ini terjadi pada logam paduan yang mempunyai perbedaan potensial antara batas butir dan inti kristal. Batas butir bertindak sebagai anoda sementara inti butir bertindak sebagai katoda, sehingga yang terkorosi adalah pada batas butir.
b. Korosi galvanik (Galvanik Corrosion) Korosi ini terjadi karena adanya dua logam yang berbeda potensial terdapat dalam suatu elektrolit, sehingga yang lebih katodik akan lebih terlindungi sedangkan yang lebih anodik akan cepat terkorosi.
2.2. Sistim pengendalian korosi Proses korosi cenderung terjadi pada hampir semua logam secara alami. Karenanya proses korosi dari logam tidak dapat dicegah secara mutlak. Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bersifat mengurangi laju korosi itu sendiri.
c. Korosi erosi Proses korosi ini timbul bila cairan yang mengalir mengandung partikel-partikel padat yang bergesekan langsung dengan permukaan material sehingga akan merusak lapisan pelindung dari logam.
Proses korosi dapat ditekan dengan mengurangi laju reaksi katodik dan reaksi anodik atau dengan mencegah kontak langsung antara lingkungan dengan material. Pada dasarnya kalau didalam sistim tidak terjadi perpindahan elektron, maka proses elektrokimia tidak dapat berlangsung.
d. Korosi tegangan (Stress Corrosion Cracking) korosi yang terjadi akibat interaksi antara lingkungan yang korosif dan pengaruh tegangan yang menimbulkan retak pada logam. Korosi ini tidak akan terjadi apabila salah satu pengaruh tidak ada. e. Korosi sumuran (Pitting Corrosion) Korosi ini timbul dengan terbentuknya lubanglubang dipermukaan pada tempat-tempat tertentu diakibatkan oleh adanya ion-ion klorida. Adanya oksigen juga mempercepat laju korosi ini. Suatu anoda akan terbentuk pada bagian pelindung, lapisan yang tidak rusak akan bertindak sebagai katoda.
197
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghambat laju korosi antara lain, yaitu :
Pemilihan jenis dan material anoda yang akan digunakan, menurut Shreir (1976; 11:60), harus didasarkan pada kondisi lingkungannya secara karakteristik anoda yang dibutuhkan, diantaranya menyangkut kapasitas arus dan konsumsinya. Karakteristik beberapa jenis anoda arus paksa dapat dilihat pada lampiran B.2.
1. Membuat logam atau paduan yang tahan terhadap pengrusakan oleh korosi. 2. Membuat lingkungan menjadi tidak korosif, misalnya dengan memberikan inhibitor. 3. Memisahkan logam dari lingkungannya, misalnya dengan memberikan lapis pelindung (Surface Coating). 4. Penggunaan arus listrik yang berlawanan dengan arus korosi (Proteksi Katodik).
Menurut Shreir (1976; 11:66), anoda yang digunakan pada proteksi katodik metoda arus paksa dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu anoda termakan dan anoda permanent. a. Anoda termakan Anoda jenis ini penggunaannya relatif singkat, karena akan habis terkorosi dalam jangka waktu tertentu. Penggunaannya antara lain pada struktur dalam tanah, pondasi/fasilitas pelabuhan dan galangan kapal. Material anoda yang termasuk jenis ini antara lain, yaitu :
2.3. Proteksi katodik Menurut Shreir (1976; 10:5), salah satu cara pengendalian korosi logam yang berada dalam suatu elektrolit adalah dengan cara membanjiri logam tersebut dengan elektron. Sehingga potensialnya terhadap lingkungan menjadi turun sampai potensial proteksi. Secara teknis logam dianggap tidak terkorosi lagi, cara ini dinamakan proteksi katodik.
Berdasarkan sumber arusnya, proteksi katodik dapat dibedakan dalam 2 cara, yaitu : 1. Metode arus paksa (Impressed Current). 2. Metode anoda korban (Sacrificial anode).
b. Anoda permanen Anoda jenis ini umumnya digunakan secara permanen untuk jangka waktu yang panjang. Penggunaannya antara lain untuk struktur terendam, kapal laut dan stasiun tenaga (power station). Material jenis anoda ini antara lain, yaitu :
2.3.1. Proteksi katodik metode arus paksa. Prinsip kerja proteksi katodik metode arus paksa terlihat pada gambar 2.2. arus yang dibutuhkan untuk memproduksi logam pada metoda arus paksa diperoleh dari sumber luar, yaitu sumber arus listrik searah (DC), dapat berupa generator arus searah, transformator rectifier ataupun sumber listrik searah lainnya. Kutub negatif (-) sumber arus dihubungkan ke material yang akan diproteksi sedangkan kutub positif (+) dihubungkan ke anoda. Anoda yang digunakan tidak harus mempunyai potensial lebih rendah dari logam yang dilindungi.
Lead Lead platinum Platinum Platinised titanium Platinised tantalum
Adapun keuntungan dan kerugian proteksi katodik metode arus paksa menurut J.H. Morgan (1987; 54) antara lain, yaitu :
Menurut Parker (1984; 68), pada perencanaan sistim proteksi katodik metoda arus paksa, ada tiga unsur yang paling penting diperhatikan antara lain, yaitu :
a. Keuntungan.
1. 2. 3.
Besi cor Baja Besi siikon Grafit
Pemilihan sumber tegangan DC Pemilihan anoda Pemilihan kabel penghubung
198
Dapat memproteksi lingkungan yang tahan jenis tanahnya tinggi. Arus pelindung yang disuplay besar, sehingga memungkinkan untuk memproteksi permukaan yang luas. Potensial dan arus keluaran dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Dapat digunakan dalam berbagai jenis lingkungan. Anoda yang digunakan dapat ditenpatkan pada satu lokasi, sehingga pengontrolannya lebih praktis.
korban yaitu logam yang mempunyai potensial lebih negatif dari pada logam yang akan diproteksi. Anoda yang digunakan juga harus mempunyai arus listrik yang cukup dan mempunyai efisiensi yang baik. Untuk baja, material anoda yang digunakan adalah Seng, Aluminium, dan Magnesium. Karakteristik dari ketiganya dapat dilihat pada lampiran B.3.
b. Kerugian.
a. Seng. Membutuhkan sumber arus dari luar. Biaya operasi dan perawatan besar untuk sumber arus yang digunakan. Instalasinya relatif lebih kompleks. Dapat menimbulkan interferensi arus yang dapat mempercepat terjadinya korosi pada logam lain tanpa protesi sekitarnya. Tidak ekonomis untuk skema yang kecil dan terkonsentrasi. Memerlukan sensor/kontrol arus sensitif. Bila terjadi salah pemasangan, laju korosi akan meningkat secara cepat.
Seng mempunyai kualitas yang baik sebagai anoda karena mamiliki efisiensi arus yang besar dan tidak mempunyai kecenderungan untuk menjadi pasif, namun potensial dan kapasitas arusnya lebih kecil dari aluminium sehingga biasanya digunakan untuk proteksi dinding kapal laut, pipa-pipa bawah tanah, dan pipa-pipa lepas pantai. Komposisi-komposisi anoda seng dapat dilihat pada lampiran B.6. b. Aluminium. Menurut Shreir (1976; 11:21), aluminium cocok digunakan untuk resistivitas elektrolit yang rendah karena potensialnya lebih kecil dari magnesium. Disamping itu potensial dan kapasitas arusnya lebih besar dari pada seng, sehingga sering digunakan pada proteksi struktur lepas pantai dan fasilitas pelabuhan. Untuk meningkatkan potensialnya, pada anoda aluminium biasanya ditambahkan unsur-unsur Mercury dan Indium. Namun perlu untuk diperhatikan penambahan Mercury yang berlebihan cenderung membuat anoda menjadi pasif. Komposisi anoda aluminium dapat dilihat pada lampiran B.5.
2.3.2. Proteksi katodik metode anoda korban. Prinsip kerja proteksi katodik metode anoda korban dapat dilihat pada gambar 2.3. bila dua jenis logam yang berada dalam suatu elektrolit dihubungkan secara listrik, maka akan terjadi arus elektron dari logam yang lebih negatif (aktif) ke logam yang lebih mulia (noble) akibat adanya perbedaan potensial diantara keduanya. Logam yang lebih aktif akan menjadi anoda dan logam yang lebih nobel akan menjadi katoda. Aliran elektron tersebut akan menghambat pembentukan ion-ion logam pada katoda (Shreir, 1976; 11:4).
c. Magnesium. Anoda jenis ini dapat memberikan tegangan dorong yang lebih besar karena potensialnya yang lebih negatif dibandingkan aluminium dan seng, sehingga cocok digunakan untuk resistivitas elektrolit dibawah 3000 ohm.cm. Magnesium juga dapat digunakan pada lingkungan yang memiliki densitas arus besar, seperti untuk proteksi pipa dalam tanah. Namun efisiensi arus anoda magnesium lebih kecil dari pada aluminium dan seng, seperti terlihat pada lampiran B.4. 2.4.Penentuan Ground Bed Anode
Gambar 1. Sistim proteksi katodik metode anoda korban.
Ground Bed terdiri dari satu atau lebih anoda. Anoda yang digunakan dapat dipilih sesuai dengan keperluan. Agar elektron dari anoda mudah mengalir ke struktur yang diproteksi, maka anoda ditanam pada daerah yang resistivitas tanahnya rendah.
Munurut Shreir (1976; 11:8), material anoda yang dapat digunakan pada proteksi katodik metoda anoda
Ada dua cara pemasangan anodaground bed yang sering dilakukan :
199
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 1. 2.
A= Luas Penampang (cm2)
Sistem Horizontal Soil Sistem Vertikal Soil
= 3,14
2.4.1. Sistem horizontal soil.
D= Diameter Pipa (cm)
Pada sistem ini anoda yang ditanam ke dalam tanah dipasang sejajar dengan permukaan tanah. Anoda ditanam dengan jarak minimal 10 – 20 ft dari permukaan tanah. Jarak antara anoda dengan struktur yang akan diproteksi minimal 50 ft.sestem ini dipakai bila daerah yang resistivitasnya cukup rendah dan ini terdapat didekat permukaan tanah.
L = Panjang Pipa (cm) 2.5.2. Perhitungan Laju Korosi Laju korosi pada pipa galvanis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (ASTM) :
2.4.2. Sistem vertikal soil
CR
Pada sistem ini anoda yang ditanam didalam tanah dipasang tegak lurus terhadap permukaan tanah. Jarak antara anoda teratas dengan permukaan tanah sekitar 100 ft dan terbawah 300 ft.Sistem ini dipakai bila lingkungan yang resistivitasnya bervariasi. Daerah yang memiliki nilai resistivitas rendah diperoleh tidak didekat permukaan tanah.
K .W A.T .D
(6)
dimana :
Untuk menurunkan tahanan rangkaian secara total maka sekeliling anoda biasanya dibungkus oleh suatu lapisan yang disebut backfill. Backfill ini digunakan untuk mengecilkan resistansi (tahanan) anoda ke resistansi tanah.
CR
= Laju Korosi
(in/month)
W
= Massa yang hilang
(g)
K
= Konstanta
A
= Luas penampang
(cm2)
T
= Waktu
(month)
D
= Berat Jenis
(g/cm3)
2.5 Dasar-dasar Perhitungan 2.5.3. Perhitungan arus yang dibutuhkan.
Perhitungan pada perencanaan proteksi katodik metoda anoda korban pada pipa galvanis dengan media elektrolit tanah di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, bertujuan untuk mengetahui Laju Korosi dan Efisiensi Proteksi yang terjadi.
Untuk ini digunakan rumus (Impalloy, 6, 1984) : I = A . CD Dimana :
2.5.1. Luas permukaan yang diproteksi Luas permukaan yang diproteksi tergantung dari bentuk dan struktur geometri dari kontruksi yang akan diproteksi. Karena luas permukaan ini akan menentukan jumlah arus yang dibutuhkan untuk keperluan proteksi. Luas permukaan dihitung sesuai dengan bentuk material yang bersangkutan. Luas permukaan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : A
=.D.L
(7)
I
= Arus
(A)
A
= Luas permukaan pipa
(m2)
CD
= Densitas arus
(A/m2)
2.5.4. Perhitungan kebutuhan total anoda. Kebutuhan total anoda yang dipakai memproteksi pipa (Shreir, 11:31, 1974) : W
(5)
CR.L. ATC E
(8)
Dimana :
dimana :
200
W
= Berat total anoda
(g)
CR
= Laju konsumsi
(Kg/A.y)
L
= Umur anoda
(y)
untuk
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 ATC
= Total arus
E
= Effisiensi
III.
(A)
dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Untuk Resistansi tanah tertinggi di fakultas teknik menurut hasil pengukuran yang telah dilakukan oleh T. Havid Munsaitir, ialah sebesar 942 ohm.cm dan hambatan tanah terbesar ialah 0,250 ohm dengan menggunakan alat ukur Auto Eart Tester, Type ET-5, Merk Mushasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Pengukuran. Dari hasil pengukuran kedua pipa untuk masingmasing lokasi penelitian (Fakultas Teknik), dapat
Tabel 1. Data Pengukuran Pipa yang tidak di cat dan pipa yang dicat Jarak (cm)
Kedalaman (cm)
1
600
2
Minggu
Pipa yang tidak di cat
Pipa yang di cat
V (mV)
R ()
I (A)
V (mV)
R ()
I (A)
100
142
1,65
0,086
139
1,75
0,079
600
100
145
1,65
0,087
142
1,75
0,081
3
600
100
148
1,65
0,089
143
1,75
0,082
4
600
100
150
1,65
0,090
146
1,75
0,083
5
600
100
153
1,65
0,093
148
1,75
0,085
6
600
100
157
1,65
0,095
151
1,75
0,086
7
600
100
161
1,65
0,100
153
1,75
0,087
8
600
100
166
1,65
0,100
154
1,75
0,088
9
600
100
170
1,65
0,103
156
1,75
0,089
10
600
100
174
1,65
0,105
159
1,75
0,091
11
600
100
177
1,65
0,107
162
1,75
0,093
12
600
100
181
1,65
0,109
164
1,75
0,094
13
600
100
185
1,65
0,112
167
1,75
0,095
14
600
100
190
1,65
0,115
171
1,75
0,098
15
600
100
194
1,65
0,118
173
1,75
0,099
16
600
100
199
1,65
0,120
176
1,75
0,100
17
600
100
203
1,65
0,123
180
1,75
0,103
18
600
100
207
1,65
0,125
183
1,75
0,105
19
600
100
210
1,65
0,127
185
1,75
0,106
20
600
100
213
1,65
0,129
189
1,75
0,108
201
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Berat Besi Galvanis yang dicat sebelum ditanam : 2163,79 g
Grafik hubungan Arus (I) dan tegangan (V)
0.15
Berat Besi Galvanis yang tidak dicat sebelum ditanam : 2067,93 g
I)0.1 ( s 0.05 u r A 0
Berat Besi Galvanis yang dicat setelah ditanam : 2163,68 g
100
Berat Besi Galvanis yang tidak dicat setelah ditanam : 2067,67 g
125
150 175 200 Tegangan (V)
225
gambar 4. Grafik hubungan Arus (I) dan Tegangan (V)
Berat anoda Seng untuk pipa yang dicat sebelum ditanam : 8,52 g Berat anoda Seng untuk pipa yang tidak dicat sebelum ditanam : 8,44 g
3.2 Struktur Yang Diproteksi Pada perencanaan proteksi katodik ini penulis mengambil struktur pipa bahagian luar yang akan diproteksi. Alasan ini dikemukakan karena struktur bahagian ini yang berkontak langsung dengan tanah, sebagai salah satu media elektrolit yang dapat menyebabkan kerusakan pada pipa. Selain itu bahagian luar struktur pipa ini juga dapat dicegah dari kerusakan yang sangat cepat. Pipa ini berfungsi sebagai alat transfer fluida, baik gas ataupun air. Bahan pipa yang digunakan adalah pipa galvanis dengan komposisi kimia C = 0,25 %, Mn = 0,98 %, P = 0,05 % dan S = 0,06 %.
Berat anoda Seng untuk pipa yang dicat setelah ditanam : 8,39 g Berat anoda Seng untuk pipa yang tidak dicat setelah ditanam : 8,20 g
Grafik hubungan Arus (I) dan tegangan (V) pada pipa yang di cat
0.2 )I ( 0.1 s u r A0 100
t idak di c at
3.3 Pemilihan Sisitem Pengendalian Korosi
125
150 175 200 Tegangan (V)
Untuk mengendalikan korosi pada pipa saluran bawah tanah, penggunaan proteksi katodik secara anoda korban merupakan salah satu cara yang sangat cocok untuk resisitivitas tanah yang bervariasi. Pemilihan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain :
225
gambar 2. Grafik hubungan Arus (I) dan Tegangan (V) pada Pipa yang di cat
1. Tidak memerlukan suplay arus dari sumber listrik 2. Biaya pemeliharaan kecil 3. Jarang menimbulkan masalah interferensi pada struktur logam lain 4. Biaya pemasangan rendah 5. Penggunaan arus pelindung lebih effisien
Grafik hubungan Arus (I) dan Tegangan (V) Pada pipa yang tidak di cat 0.2 )I ( 0.1 s u r A0
3.4 Pemilihan Anoda
100
125
150 175 Tegangan (V)
200
Anoda yang akan digunakan pada perencanaan proteksi katodik secara anoda korban harus dipilih dari bahan-bahan yang memiliki beda potensial yang lebih rendah dari material yang akan diproteksi. Sehingga pemindahan elektron dari anoda ke katoda dapat terjadi.
gambar 3. Grafik hubungan Arus (I) dan Tegangan (V) pada Pipa yang tidak di cat
202
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Anoda berfungsi sebagai sumber elektron, dimana elektron ini dapat melindungi logam dari pengaruh korosi. Dalam pemilihannya harus disesuaikan kondisi lingkungan serta karakteristik anoda itu sendiri, diantaranya kapasitas arus dan konsumsinya.
Kebutuhan total anoda dapat diperkirakan dari persamaan 2.4 (Shreir, 11:31, 1974) : CR.L. ATC E 10,7 Kg .1 y.9,9 10 3 A A. y W 0,9 W 117,7 g W
Material anoda yang dipilih pada perencanaan ini adalah Seng. Hal ini dikarenakan anoda ini memiliki efisiensi arus yang besar dan tidak mempunyai kecenderungan menjadi pasif, anoda ini juga mudah didapat dan harganya relatif lebih murah.
Jumlah total anoda yang dipakai harus mendekati perbandingan kebutuhan total anoda dengan berat anoda :
3.5 Penentuan Ground Bed Anoda Ada dua cara pemasangan anoda korban yang lazim dilakukan, yaitu sistem horizontal soil dan sistem vertikal soil. Pada perencanaan ini penulis menggunakan sistem vertikal soil.
Untuk pipa yang dicat :
J tot
Beberapa alas an mengapa digunakan sistem vertikal soil pada perencanaan ini antara lain, yaitu :
Wtot Wanoda
117,7 g 8,52 g 14anoda
J tot
1. Tidak memerlukan tempat yang luas untuk penanaman 2. Dapat mengantisipasi resistivitas tanah pada areal yang bervariasi. 3. Dapat digunakan pada daerah yang memiliki nilai resistivitas rendah yang didapat pada kedalaman tertentu (tidak didekat permukaan tanah).
J tot
Untuk pipa yang tidak dicat :
J tot
Wtot Wanoda
117,7 g 8,44 g 14anoda
J tot
3.6 Analisa Perhitungan.
J tot
3.6.1. Luas daerah proteksi Dalam perencanaan, panjang pipa yang diproteksi sebesar 1 m dengan diameter 0,75 Inch = 0,019 m. luas permukaan pipa didapat 598,17 cm2.
IV.
4.1 Kesimpulan. Berdasarkan perencanaan yang dilakukan untuk memproteksi pipa bawah tanah pada Fakultas Teknik Universitas Samudra, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
3.6.2. Perhitungan laju korosi pada pipa galvanis. Laju korosi pada suatu logam dapat ditentukan dari besarnya penurunan atau kehilangan berat yang kemudian dikonversikan menjadi satuan laju korosi sesuai dengan persamaan ASTM yang mana:
Untuk
Untuk laju korosi pipa yang tidak dicat . Cr 0,0012 in month
laju korosi Cr 0,0005 in month
pipa
yang
KESIMPULAN
1. Untuk memproteksi pipa galvanis yang dicat dengan luas permukaan 598,17 cm2 dibutuhkan arus sebesar 0,0099 A, kebutuhan anoda sebesar 117,7 g, dengan jumlah total anoda sebanyak 13,8 kali anoda semula.
dicat
2. Untuk memproteksi pipa galvanis yang tidak dicat dengan luas permukaan 598,17 cm2 dibutuhkan arus sebesar 0,0099 A, kebutuhan anoda sebesar 117,7 g, dengan jumlah total anoda sebanyak 13,95 kali anoda semula.
3.6.3. Kebutuhan anoda.
203
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 3. Laju korosi yang terjadi pada pipa yang tidak dicat sebesar 0,0012 in/month sedangkan laju korosi yang terjadi pada pipa yang dicat jauh lebih rendah yaitu sebesar 0,0005 in/month, hal ini dikarenakan proses pengecatan yang dilakukan pada pipa mampu memberikan proteksi yang baik.
[6] Fontana, M.G, (1978), Corrosion Engineering, Mc. Graw Hill Books, New York. [7] Parker, M.E, (1984), Pipe Line Corrosion and Cathodic Protection, Gulf Publishing Company, Houston, Texas. [8] Morgan, J.H, (1979), Cathodic Protection, Nace Texas.
4. Dari data hasil pengukuran pemakaian arus untuk pipa yang dicat lebih rendah dibanding pipa yang tidak dicat, berarti proses pengecatan pipa mampu meminimalkan pemakaian arus proteksi.
[9] Anonymous,-----ASTM Committee, (1981), Annual Book of ASTM Standart, Part 10, ASTM International, USA.
4.2 Saran.
BIODATA PENULIS
Perencanaan proteksi dengan menggunakan metode arus paksa perlu dilakukan sebagai perbandingan terhadap hasil perencanaan yang diperoleh pada metoda anoda korban dalam penulisan ini.
Muhammad Zulfri lahir di Langsa, Indonesia pada tahun 1979. Beliau mendapatkan gelar sarjana pada bidang Teknik Pembentukan Material teknik Mesin di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada tahun 2002, mendapatkan gelar Magister Manajemen di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada tahun 2010 dan mendapatkan gelar Master Teknik dalam bidang teknik konversi energi di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada tahun 2012. Beliau merupakan dosen pada Fakultas Teknik Universitas Samudra di Langsa dan saat ini sedang dalam penyelesaian study program Doktor Ilmu Teknik di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Penelitian yang diminati diantaranya adalah mengenai Korosi, pembuatan alat pengering dan perlakuan panas pada material. Muhammad Zulfri dapat dijumpaidi Program Studi Teknik Mesin, Jl. Kampus Meurandeh, Kota Langsa, Indonesia 24416 atau dapat dikontak melalui email:
[email protected]. Hp; 085260544064
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prodi Teknik Mesin Universitas Samudrayang telah mendukung penelitian ini terutama dalam sarana dan prasana.
DAFTAR PUSTAKA [1] Suratman, R., (1987), Peranan Analisa Kegagalan Terhadap Pemilihan Bahan dan Proses Perencanaan, Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, ITB Bandung. [2] Shreir, L.L, (1976), Corrosion; Corrosion Control, Newness Butter Worth, London. [3] Munsaitir, T.H, (2000), Perencanaan Proteksi Katodik Metode Anoda Korban Pada Instalasi Pipa Bawah Tanah Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Puslitbang Metalurgi LIPI. [4] John, M.West, (1986), Basic Corrosion and Oxidation, Ellis Horwood Limited, New York. [5] Ostroff, A.G, (1979), Introduction to Oil Field Water Tecnology, Edisi II, National Association Engineering, Houston, Texas.
204
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisis Efisiensi Energi Termal Boiler Dengan Beban 105 MW Pada Unit 1 PLTU Nagan Raya 2 × 110 MW Analysis Of Energy Efficiency Boiler With Thermal Load 105 MW Of Unit 1 Nagan Raya Power Plant 2×110 MW Maidi Saputra1, Oki Mulyadi2 1
Dosen Teknik Mesin - Universitas Teuku UmarMeulaboh E-mail :
[email protected] 2 Pegawai PLTU Sektor Nagan Raya 2x110 MW E-mail :
[email protected]
Abstrak - Efisiensi energi termal boiler didefinisikan sebagai perbandingan antara energi output berguna dengan input panas dari proses pembakaran bahan bakar.Energi output berguna berasal dari input panas dari proses pembakaran bahan bakar dikurangi dengan rugi–rugi panas atau lazim disebut losses. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai lossesdan nilai efisiensi energi termal boiler dengan beban 105 MW pada unit 1 PLTU Nagan Raya 2 X 110 MW. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi.Pengolahan data untuk menghitung nilai efisiensi dilakukan dengan cara Loss Method yaitu dengan menghitung terlebih dahulu nilai setiap losses (kerugian) selanjutnya menggunakan rumusefisiensi termal (ηt) = 100% . Hasil perhitungan untuk setiap losses diperoleh nilai kerugian karena kandungan moisture dalam udara (Lmoist) adalah 0,07 %, nilai kerugian karena uap air pada bahan bakar (Lfuel) adalah 5,23 %, nilai kerugian karena pada flue gas (Lflue gas, dry) adalah 2,38 %, nilai kerugian bahan bakar yang tidak terbakar (Lunburned) adalah 1,76 %, nilai kerugian karena radiasi dan konveksi (Lrad) adalah 0,31%, nilai kerugian yang tidak dapat dihitung (Lunaccounted). Kerugian ini biasanya dimasukkan dalam perhitungan heat balance untuk memberikan batas toleransi atau angka keamanan didalam menentukan efisiensi. American Boiler Manufactures Association (ABMA) telah menetapkan kerugian ini sebesar 1,5 %. Setelah memperoleh nilai losses total, maka selanjutnya dapat ditentukan nilai efisiensi termal boiler. Nilai efisiensi termal boiler yang diperoleh adalah sebesar 88,75%. Kata kunci : Boiler, Losses, Efisiensi, Energi Termal
Abstract- Boiler thermal energy efficiency is defined as the ratio between the useful energy output to the input of heat from the combustion process. Energi useful output derived from the input of heat from the combustion process fuel is reduced by the loss of heat or commonly known losses. The purpose of this study to determine the value of losses and value of thermal energy efficiency boiler with a load of 105 MW power plant unit 1 Nagan Raya 2 X 110 MW. The data collection was conducted by observation. data processing to calculate the value of efficiency is done by Loss Method is to first calculate the value of any losses (losses) then uses thermal formula (ηt) = 100% . The results of calculations for any losses obtained for losses due to moisture content in the air (Lmoist) was 0.07%, the value of losses due to moisture in the fuel (Lfuel) was 5.23%, the value of the loss due to the flue gas (Lfluegas, cleaning) is 2.38%, the value of the loss of fuel that does not burn (Lunburned) was 1.76%, the value of losses due to radiation and convection (LRAD) was 0.31%, the value of the loss can not be calculated (Lunaccounted). These losses are usually included in the calculation of heat balance to give tolerance limit or safety factor in determining efficiency. American Boiler Manufacturers Association (ABMA) has set this loss of 1.5%. After obtaining the value of the total losses, then the next can be determined the value of the thermal efficiency of the boiler. Boiler thermal efficiency value obtained amounted to 88.75%.
Keyword : Boiler, Losses, Efficiency, Thermal Energy
205
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 I.
1 PLTU Nagan Raya.
PENDAHULUAN
A. Boiler
Energi mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, energi listrik merupakan salah satu bentuk energi yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari peralatanperalatan listrik yang banyak dimanfaatkan, mulai dari peralatan rumah tangga hingga peralatan yang digunakan oleh industri-industri besar.
Boiler adalah salah satu peralatan utama dari PLTU yang berfungsi untuk merubah air menjadi uap superheat yang bertemperatur dan bertekanan tinggi. Proses memproduksi uap ini disebut Pembuat Uap (Steam Raising). Unit atau alat yang digunakan untuk membuat uap disebut Boiler atau lebih tepat Pembangkit Uap (Steam Generator).
Energi listrik dapat diperoleh dengan berbagai cara. Hukum I Termodinamika menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, akan tetapi dapat diubah bentuknya dari salah satu bentuk kebentuk lain, misalnya energi kimia dalam bahan baker diubah menjadi energi listrik yang dihasilkan oleh generator. Menurut (Soebiyantoro 1997), Termodinamika adalah pengetahuan tentang perpindahan energi (energy transfer) dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik dari benda. Hal ini berdasarkan pada observasi dari sejumlah pengalaman yang dirumuskan ke dalam hukum-hukum termodinamika. Pemakaian dari hukum-hukum dan prinsip-prinsip termodinamika dijumpai seluruhnya di dalam bidang teknologi energi, seperti dalam pusat tenaga uap dan nuklir, mesin bakar internal, turbin gas, air conditioning, pendingin, dinamik gas, mesin jet, kompresor, pusat kimia dan piranti konversi energi langsung.
B. Jenis-jenis Boiler 1)Boiler Pipa Api
Gambar 2.1 Boiler pipa api Setiap peralatan PLTU mempunyai nilai efisiensi, efisiensi menunjukkan unjuk kerja dari peralatan tersebut. Efisiensi energi termal boiler didefinisikan sebagai perbandingan antara energi output berguna dengan input panas dari proses pembakaran bahan bakar. Energi output berguna berasal dari input panas dari proses pembakaran bahan bakar dikurangi dengan rugi–rugi panas (losses).
(Sumber: Yendri, 2011)
2)Boiler Pipa Air
Efisiensi energi termal dapat ditentukan berdasarkan kerugian-kerugian yang mungkin terjadi yaitu : rugi uap air dalam udara pembakaran (moisture content within air loss), rugi uap air dalam bahan bakar (moisture content in fuel loss), rugi panas yang dibawa oleh gas asap kering (dry gas loss), rugi bahan bakar yang tidak terbakar (unburned combustible loss) dan rugi–rugi radiasi dan konveksi (radiation and convection loss). (Yendri. 2011).
Gambar 2.2 Boiler pipa air
Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai Losses yang terjadi pada sistem boiler dengan beban 105 MW pada unit 1 PLTU Nagan Raya 2 X 110 MW dan menghitung nilai efisiensi energi termal boiler dengan beban105 MW pada unit 1 PLTU Nagan Raya 2 X 110 MW.
(Sumber: Yendri, 2011)
Adapun manfaat yang diharapkan adalah memberikan pengetahuan tentang analisa efisiensi energi termal boiler dengan metode Loss Method dan memperlihatkan nilai efisiensi energi termal boiler unit 206
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 berfungsi untuk tempat berlangsungnya proses pembakaran antara bahan bakar dan udara. Tekanan gas panas yang berada di dalam ruang bakar (Furnace) dapat lebih besar dari pada tekanan udara luar (tekanan ruang bakar positif) dan dapat juga bertekanan lebih kecil dari tekanan udara luar (tekanan ruang bakar negatif) atau bertekanan seimbang (Balance Draught).
3) Boiler Jenis Stoker
2) Soot Blower (Pembersih Jelaga) Boiler-boiler modern dilengkapi dengan pembersih jelaga (sootblower) yang dapat dioperasikan dari jarak jauh (remotely operated) dan dikendalikan secara bergantian dan berurutan. Fungsi dari sootblower adalah untuk membersihkan abu, debu atau jelaga yang menempel pada pipa-pipa boiler, superheater, economizer dan pada elemen air heater. Tujuan dari pembersihan tersebut adalah untuk menaikkan efisiensi dari boiler dan menghindari kerusakan pipa-pipa pada boiler atau superheater. Biasanya sootblower menggunakan uap untuk membersihkan pipa-pipa boiler atau superheater. 4) Boiler Jenis Pulverizer Boiler jenis pulverizer, sering disebut PC (Pulverizer Combustion) boiler. Batu bara ditepungkan terlebih dahulu kemudian disemprotkan ke ruang bakar sehingga mengapung dan terbakar ditengah-tengah ruang bakar. Boiler jenis ini mempunyai efisiensi sekitar 90%.
3) Burner Burner adalah alat yang dipakai untuk memasukkan bahan bakar minyak kedalam ruang bakar dan menghasilkan pengabutan yang memudahkan reaksi pembakaran. 4) Fan
5) Boiler Jenis CFB
Penggunaan fan pada PLTU batubara lebih dari satu jenis, yaitu ID fan, FD fan, PA fan dan ada pula yang dilengkapi dengan GR fan. FD fan berfungsi sebagai pemasok udara pembakaran kedalam ruang bakar. ID fan berfungsi menarik atau mempertahankan tekanan di ruang bakar (pengendali tekanan ruang bakar).
Gambar 2.4 Boiler jenis CFB (Sumber: Saputro, 2014)
C. Bagian-bagian Boiler dan Alat Bantunya Gambar 2.5 Fan Sentrifugal
1)Ruang Bakar
(Sumber: Yendri, 2011)
Ruang bakar adalah bagian dari Boiler yang 207
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 dalam pipa economizer dengan akibat lebih lanjut terjadi overheating pada pipa tersebut.
D. Sirkulasi Air dan Uap Air dipompakan kedalam boiler dengan menggunakan pompa air pengisi Boiler Feed Pump (BFP) melalui katup pengatur. Sebelum masuk kedalam boiler drum, air dipanaskan terlebih dahulu di Low Pressure Heater juga dipanasi di High Pressure Heater dan terakhir dipanasi di Economizer sehingga temperatur air mendekati titik didihnya.
2) Boiler Drum Boiler Drum adalah bejana tempat menampung air yang datang dari economizer dan uap hasil penguapan dari tube wall (riser). Kira-kira separuh dari drum berisi air dan separuhnya lagi berisi uap. Seperti terlihat pada gambar di bagian dalam boiler drum terdapat peralatan-peralatan screen dryer (pengering uap) dan steam separator (pemisah uap).
Dari dalam boiler drum air bersirkulasi melalui down comer dan riser sehingga dengan adanya pemanasan dari ruang bakar terbentuklah uap air. Sirkulasi ini dapat terjadi secara alami (natural circulation) ataupun sirkulasi yang dibantu (assited circulation) dengan menggunakan pompa sirkulasi. Sirkulasi alami pada Boiler dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Boiler Drum (Sumber: Yendri, 2011) Gambar 2.6 Sirkulasi Air dan Uap di Boiler 3) Superheater
(Sumber: Yendri, 2011)
Sirkulasi uap yang menuju ke superheater dapat dilihat pada gambar 2.8. Komponen utama boiler dalam sirkulasi air adalah ekonomizer, drum boiler, heater, riser dan down comer. 1) Economizer Economizer adalah Heat Exchanger (penukar kalor) yang dipasang pada saluran air pengisi sebelum air masuk ke boiler drum. Konstruksi Economizer berupa sekelompok pipa-pipa kecil yang disusun berlapislapis. Di bagian dalam pipa mengalir air pengisi yang dipompakan oleh Boiler Feed Pump dan dibagian luar pipa mengalir gas panas hasil pembakaran yang terjadi di ruang bakar. Karena temperatur gas panas lebih tinggi dari temperatur air pengisi maka gas panas menyerahkan panas kepada air pengisi sehingga temperatur air pengisi menjadi naik dan diharapkan mendekati titik didihnya, tapi jangan melampaui titik didih karena akan menyebabkan terbentuknya uap di
Gambar 2.8 Sirkulasi Uap Menuju Superheater (Sumber: Yendri, 2011)
208
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 melalui cerobong.
E. Bahan Bakar Batu Bara Bahan bakar batubara pada PLTU batubara adalah sebagai bahan bakar utama. Persediaan batubara ditampung dilapangan terbuka (coal stock area) dan untuk melayani kebutuhan pembakaran di boiler, batubara ditampung pada bunker (silo) di tiap boiler. Pemasokan batubara dari bunker ke burner ruang bakar dilakukan melalui coal feeder, mill pulveriser, dan coal pipe. Pengaturan dan pencatatan jumlah aliran batubara dilakukan dengan coal feeder. Mill pulveriser berfungsi untuk menggerus batubara sehingga menjadi bubuk. Sedang untuk membawa bubuk batubara ke burner, dihembuskan udara primer ke mill. Udara primer dihasilkan oleh primary air fan (PAF) dan dipanaskan pada pemanas udara primer sehingga cukup untuk mengeringkan bubuk batubara.
G. Efisiensi Boiler Efisiensi adalah suatu tingkatan kemampuan kerja dari suatu alat. Sedangkan efisiensi pada boiler adalah prestasi kerja atau tingkat unjuk kerja boiler yang didapatkan dari perbandingan antara energi yang dipindahkan ke atau diserap oleh fluida kerja didalam furnace dengan masukan energi kimia dari bahan bakar. Untuk tingkat efisiensi pada boiler tingkat efisiensinya berkisar antara 70% hingga 90%. (Yendri:2011). Efisiensi termal boiler didefinisikan sebagai perbandingan antara energi output berguna dengan input panas dari proses pembakaran bahan bakar. Energi output berguna berasal dari input panas dari proses pembakaran bahan bakar dikurangi dengan rugi–rugi panas (losses). Terdapat dua metode pengkajian efisiensi boiler, yaitu metode langsung (Direct Method) dan metode tak langsung (Loss Method). Metode Langsung adalah energi yang didapat dari fluida kerja (air dan steam) dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam bahan bakar boiler, sedangkan metode tak langsung adalah cara menghitung efisiensi boiler dari perbedaan antara kehilangan dan energi yang masuk.
Tabel 2.1 Spesifikasi ASTM Untuk Bahan Bakar Padat
Perhitungan dengan cara Direct Method sulit dilaksanakan pada PLTU berbahan bakar batubara, karena coal weigher (alat penimbang batubara) bukan merupakan bagian dari Milling Plant sehingga jumlah berat batubara dibakar sulit untuk diketahui dengan akurat. Disamping itu untuk mendapatkan nilai kalor batubara terlebih dulu diambil sampel dan dianalisa di laboratorium. Karena lamanya perbedaan waktu antara pengambilan sampel dengan mendapatkan hasil analisa, nilai kalor batubara yang dibakar mungkin berbeda dengan yang dianalisa. Cara perhitungan yang lebih baik adalah menggunakan Loss Method, yaitu terlebih dulu menghitung Losses (seperti yang sudah dijelaskan terdahulu), kemudian dihitung besarnya output dan input. Menurut (Yendri:2011), uraian rumusannya adalah sebagai berikut :
(Sumber: eprints.polsri.ac.id)
Berdasarkan smart book PT. PLN Persero Pembangkitan Sumatra Bagian Utara Sektor Pembangkitan Nagan Raya terbitan tahun 2014, low calorific power untuk spesifikasi batu bara yang dipakai PLTU Nagan Raya adalah sebesar 3620 Kcal/Kg. (Saputro. 2014).
Losses total = Dihitung dan dijumlahkan dari setiap Loss
F. Sistem Udara Pembakaran dan Gas Buang Bersama-sama dengan bahan bakar, udara berfungsi untuk menghasilkan pembakaran. Fungsi lainnya adalah untuk mengatur bentuk nyala api, dan sebagai pendingin. Pada ketel batubara, udara dibedakan menjadi udara primer dan udara sekunder. Udara primer berfungsi untuk mengeringkan dan membawa bubuk batubara ke ruang bakar sedangkan udara sekunder sebagai udara pembakaran. Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa panas, hasil lainnya adalah gas dan abu. Sebagian gas yang tidak dapat dimanfaatkan lagi dibuang ke udara luar
Efisiensi termal (ηt ) = 100% -
209
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 II.
b. Kerugian karena uap air pada bahan bakar (Lfuel). c. Kerugian karena pada flue gas (Lflue gas, dry). d. Kerugian bahan bakar yang tidak terbakar (Lunburned). e. Kerugian karena radiasi dan konveksi (Lrad). f. Kerugian yang tidakdapat dihitung (Lunaccounted).
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Nagan Raya pada PLTU unit 1 dengan kapasitas daya terpasang sebesar 110 MW, tepatnya diruang Central Control Room (CCR) PLTU Nagan Raya, dengan waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan.
4. Menghitung Efisiensi Boiler Untuk menghitung efisiensi boiler yang lebih baik adalah dengan Loss Method, yaitu terlebih dahulu menghitung Losses.
B. Metode Observasi
III.
Observasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengumpulkan semua data yang berhubungan dengan operasional pembangkit listrik, khususnya pada sistem boiler. Kemudian dilakukan pengambilan data dari ruang pengendali (control room), yaitu data yang mendukung perhitungan efisiensi dan losses pada sistem boiler. Alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah semua alat ukur sensor yang terpasang diruang pengendali (control room) dan alat ukur yang terpasang di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Observasi Kondisi feed water sebelum masuk ke economizer dan uap superheat yang dihasilkan oleh superheater adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1 Parameter Peralatan Boiler PLTU Nagan Raya Pada Beban 105 MW No.
C. Analisis Perhitungan Data dari hasil observasi yang diperoleh, yaitu data-data yang berkaitan dengan efisiensi boiler akan diolah sebagai berikut :
2) Menentukan Nilai Kalor Bahan Bakar Bahan bakar yang digunakan adalah batubara, pada reaksi pembakaran bahan bakar dengan oksigen dilepaskan sejumlah panas yang besarnya tergantung dari nilai kalor bahan bakar dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Nilai kalor bahan bakar dapat dinyatakan dalam Nilai Kalor Teratas atau Higher Heating Value (HHV) dan dapat pula dinyatakan dalam Nilai Kalor Terendah atau Lower Heating Value (LHV).
Nilai
1.
Kondisi tekanan uap superheat (Main Steam Pressure)
8,5 mpa = 85 bar
2.
Main Steam Temperature
530
3.
Kondisi tekanan air umpan
10,3 mpa =103 bar
4.
Inlet Economizer Temperature
234
5.
Temperatur udara sekitar
30
6.
Flowrate Steam
387000 kg/jam
7.
Temperatur Flue gas keluar air heater
134
1) Menghitung Nilai Rata-rata Parameter Sebelum melakukan perhitungan nilai losses dan efisiensi energi termal boiler maka terlebih dahulu peneliti menghitung nilai rata-rata parameter pada data logsheet boiler PLTU Nagan Raya pada beban 105 MW yang mendukung perhitungan efisiensi dan losses pada sistem boiler.
Parameter
B. Hasil Perhitungan 1) Nilai Kalor Bahan Bakar Data untuk nilai HHV dan LHV telah diperoleh dari laporan tertulis operator analis kimia PLTU dengan nilai untuk HHV adalah 4121,9 Kcal/Kg dan LHV adalah 3731,6 Kcal/Kg.
3) Menentukan Losses yang Dihitung padaBoiler a. Kerugian karena kandungan moisture dalam udara (Lmoist). 210
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 2) Losses Pada Boiler a. Kerugian karena kandungan moisture dalam udara (Lmoist).
e. Kerugiankarenaradiasidankonveksi (Lrad).
flowrate steam = 387 ton/jam = 387000 kg/jam Kondisi uap superheat dan feed water sebelum masuk ekonomizer sebagai berikut : a. Kondisi uap superhet : Tekanan = 85 bar; Temperatur = 530 ; Entalpi = 3466,25 kj/kg
= 0,0007 = 0,07 %
b. Kondisi air umpan : Tekanan = 103 bar; Temperatur = 234 ; Entalpi = 1019,8048 kj/kg
b. Kerugian karena uap air pada bahan bakar (Lfuel).
Diasumsikan tekanan flue gas dalam ruang baker adalah 14,696 psia (1 atm).
387000 kg/jam
(3466,25 kj/kg - 1019,8048 kj/kg)
= 387000 kg/jam kj/jam
2446,4452 kj/kg = 946774292,4
= 897368883 btu/jam
= 5,23 %
c. Kerugian karena pada flue gas (Lflue gas, dry).
Gambar 4.1 Radiation loss dalam persen dari gross heat input (Yendri:2011) Untuk heat output sebesar 946774292,4 kj/jam diperoleh nilai radiation loss sebesar 0,31%.
= 2,38 %
f. Kerugian yang tidak dapat dihitung (Lunaccounted). Kerugian ini biasanya dimasukkan dalam perhitungan heat balance untuk memberikan batas toleransi atau angka keamanan didalam menentukan efisiensi. American Boiler Manufactures Association (ABMA) telah menetapkan kerugian ini sebesar 1,5 %. (Yendri:2011).
d. Kerugian bahan bakar yang tidak terbakar (Lunburned).
Dengan asumsi losses karbon tidak terbakar adalah sebesar 0,5 % dari fuel input.
3) Efisiensi Boiler Losses total = Dihitung dan dijumlahkan dari setiap Loss
= 1,76 %
211
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 adalah temperature flue gas, oleh karena itu temperature flue gas harus dibuat serendah mungkin dalam batas amannya agar tidak terjadi pengembangan sulphur yang akan menyebabkan korosi.
= 0,07 % + 5,23% + 2,38% +1,76 % + 0,31% + 1,5 % = 11,25%
Kerugian bahan bakar yang tidak terbakar (Lunburned) adalah sebesar 1,76 %. Pembakaran yang tidak sempurna dapat diakibatkan oleh pengabutan bahan bakar tidak baik, butir batubara serbuk terlalu besar, percampuran bahan bakar dengan udara tidak homogen, kekurangan udara lebih dan lain sebagainya. Akibat dari pembakaran tidak sempurna mungkin terjadi adanya serbuk atau butir-butir cairan bahan bakar terbawa ke cerobong, atau jatuh ke bagian bawah ruang bakar (furnace). Pembakaran tidak sempurna juga dapat menghasilkan gas CO yaitu gas yang masih dapat terbakar. Gas CO ini akan terbuang ke cerobong. Baik adanya bahan bakar yang belum terbakar maupun gas CO akan mengurangi jumlah panas yang dihasilkan oleh proses pembakaran.
Jadi, kerugian total yang terjadi pada boiler adalah : 11,25% Efisiensi termal (ηt) = 100% Efisiensi termal (ηt) = 100% = 88,75%
= 100% - 11,25%
Pembahasan Dari hasil laporan tertulis operator analis kimia PLTU dapat diketahui bahwa nilai untuk HHV adalah 4121,9 kcal/kg dan LHV adalah 3731,6 kcal/kg. Setelah memperoleh nilai HHV dan LHV selanjutnya dilakukan perhitungan untuk setiap nilai Losses (kerugian). Perhitungan nilai-nilai tersebut didasari oleh perhitungan dengan cara Direct Method.
Kerugian karena radiasi dan konveksi (Lrad) adalah sebesar 0,31%. Kerugian kalor karena perpindahan panas secara radiasi dan konveksi pada permukaannya. Walaupun proses pembakaran diusahakan sempurna, ternyata masih sering dijumpai adanya unsure Carbon (C) didalam abu atau debu. Carbon adalah unsur yang menghasilkan panas, sehingga dengan tertinggalnya carbon dalam abu/debu akan mengurangi panas dari proses pembakaran.
Nilai Kerugian karena kandungan moisture dalam udara (Lmoist) adalah sebesar 0,07 %. Kerugian ini dapat disebabkan karena adanya moisture (kandungan air) dalam bahan bakar. Kondisi batu bara di PLTU sebagian besar masih ditempatkan di area terbuka (Coal Yard) sehingga dapat menyebabkan peningkatan kandungan air ketika terkena hujan.
Kerugian yang tidak dapat dihitung (Lunaccounted) adalah sebesar 1,5 %. Kerugian kalor yang tidak bisa dihitung. Kerugian tersebut meliputi kerugian yang tidak terukur, terlalu kecil, atau tidak bisa terukur, meliputi : Moisture dari udara bakar, Panas yang terdapat pada abu, Hidrokarbon pada gas bahan bakar, Pembakaran karbon tidak sempurna.
Kerugian karena uap air pada bahan bakar (Lfuel) adalah sebesar 5,23 %. Adalah kerugian kalor dari moisture (kadar air) akibat pembentukan/pembakaran hydrogen. Kerugian ini disebabkan karena kandungan unsur hidrogen (H) dalam bahan bakar, yang bila terbakar akan bereaksi dengan oksigen dari udara dan berbentuk uap air (H2O).
Tabel 4.2 Hasil perhitungan losses dan efisiensi
Kerugian karena pada flue gas (Lflue gas,dry) adalah sebesar 2,38 %. Gas asap yang keluar ke Cerobong terutama terdiri dari CO , Nitrogen, Udara lebih dan
No.
Losses
2
Uap air. Banyaknya panas yang terbuang ke cerobong tergantung dari temperature dan volume flue gas. Persentase CO tidak dapat dikurangi karena gas 2
tersebut merupakan unsure utama produk pembakaran. Udara lebih masih memungkinkan untuk dikurangi dengan catatan tidak menyebabkan pembakaran menjadi tidak sempurna, karena udara lebih ini diperlukan untuk sempurnanya pembakaran. Sebagian besar dari udara adalah Nitrogen, jadi dengan mengurangi udara lebih berarti mengurangi volume hydrogen. Uap air yang terbentuk dari proses pembakaran hydrogen sulit untuk dikurangi, sedangkan yang masih memungkinkan adalah mengurangi kadar air dalam bahan bakar. Kondisi lain yang mempengaruhi besarnya panas terbuang ke cerobong
1
(Lmoist)
0,07 %
2
(Lfuel)
5,23 %
3
(Lflue gas, dry)
2,38 %
4
(Lunburned)
1,76 %
5
(Lrad)
0,31 %
6
(Lunaccounted)
1,5 %
Jumlah Losses Total
212
Nilai Losses
11,25%
Nilai Efisiensi
(ηt) = 100% -
= 100% 11,25% = 88,75%
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Hasil perhitungan yang dilakukan untuk setiap nilai Losses (kehilangan) akan dijumlahkan untuk memperoleh nilai losses total dan hasilnya adalah sebesar 11,25%. Setelah memperoleh nilai losses total, maka selanjutnya dapat ditentukan nilai efisiensi termal boiler. Nilai efisiensi termal boiler yang diperoleh adalah sebesar 88,75%. Nilai efisiensi ini lebih rendah dari nilai efisiensi termal boiler tipe CFB pada umumnya yaitu sekitar 92%.
Yendri, Efridan Andi Kurniawan. 2011. Efisiensi Boiler. Suralaya: PLN corporate university.
IV. KESIMPULAN
http://www.eprints.polsri.ac.id. Laporan Tugas Akhir [kamis, 26 Mei 2016]
Yendri, Efri. 2011. Boiler. Suralaya: PLN corporate university. PT. PLN (Persero)PusatPendidikandanPelatihan. 2011. Termodinamika. Suralaya: PT. PLN (Persero). Asmudi. 2008. Analisa Unjuk Kerja Boiler terhadap Penurunan Daya pada PLTU PT. Indonesia Power UBP Perak. Skripsi. Surabaya: ITS Surabaya.
A. Kesimpulan
Saputro, Umar Farouk Andy. 2014. Smart Book for Nagan Raya Power Plant. Nagan Raya: PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumatra Bagian Utara Sektor Pembangkitan Nagan Raya.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil yang diperoleh melalui analisa data yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah :
Yao, Li. 2014.PLTU Nagan Raya NAD (2X110 MW) #1 Boiler Performance Test Report. Nagan Raya: Sinohydro
1) Kerugian (Losses) energi termal yang terjadi pada sistem boiler dengan beban 105 MW pada unit 1 PLTU Nagan Raya secara total adalah 11,25%. 2) Efisiensi energi termal boiler PLTU unit 1 Nagan Raya pada beban listrik 105 MW sebesar 88,75%.
BIODATA PENULIS B. Saran Penulis dilahirkan di Meulaboh pada tanggal 07 Mei 1981, merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari Ayahanda Alm. Husaini Jali dan Ibunda Salmiati, S.Pd.
Dari kesimpulan diatas maka perlu kiranya penulis memberikan saran-saran yang bermanfaat sebagai berikut : 1) Untuk meminimalisir losses yang terjadi pada boiler maka perlu dijaga kualitas batubara mulai dari tempat penampungan (coal yard) sampai ke ruang bakar. 2) Untuk meningkatkan efisiensi boiler perlunya pembersihan pipa-pipa boiler secara berkala dengan menggunakan waterjet cleaning (chemical cleaning) untuk menghilangkan kotoran dan kerak dalam pipa-pipa boiler. 3) Pembersihan jelaga atau abu gas buang pada tube yang terdapat di heat recovery area secara rutin agar pemanfaatan energi termal dari gas buang menjadi optimal.
Penulis memulai pendidikan pada SD Negeri 2 Meulaboh (1987-1993), SMP Negeri 2 Meulaboh (1993-1996) dan SMA Negeri 1 Meulaboh (19961999). Penulis diterima di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh pada tahun 1999 dan meraih gelar sarjana pada tahun 2006 pada jurusan mesin serta gelar pasca sarjana juga diraih di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada tahun 2013. Pada tahun 2009 penulis bekerja sebagai Dosen Tetap Jurusan Mesin pada Universitas Teuku Umar sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Soebiyantoro. 1997. Dasar Termodinamika Teknik. Seri Diktat Kuliah. Ebook. Jakarta: Gunadarma. http://www.scribd.com/doc/35222816/Efisiensi-BoilerCRM [Senin, 26Mei 2016] Djokosetyardjo.M.J. 2006. PT.PradnyaParamita.
KetelUap.
Jakarta:
213
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisa Pengaruh Kecepatan Angin Dan Tingkat Curah Hujan Terhadap Laju Korosi Atmosferik Pada Baja Kontruksi Diwilayah Pantai Aceh Barat Analysis Of The Influence Of Wind Speed And Precipitation Rates Against Atmospheric Corrosion Rate On Steel Construction In West Aceh Beach Joli Supardi, Zakir Husin and Ipa Suwardi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Teuku Umar, Meulaboh Email :
[email protected]
Abstrak – Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat Pengaruh Tingkat Curah Hujan Dan Kecepatan Angin Terhadap Korosi Atmosferik pada Baja kontruksi. Pada pengujian laju korosi ini digunakan metode kehilangan berat dimana spesimen diekspos di alam terbuka. Pengambilan data dilakukan setiap bulan sekali selama Setahun. Perbandingan laju korosi dengan jenis Baja Kontruksi yang diekspos pada tiga lokasi yang dipilih sebagai berikut: Untuk lokasi BMKG tingkat laju korosi mencapai 0,17 mpy – 0,44 mpy. Untuk lokasi Peuna Pasi tingkat laju korosi mencapai 0,11 mpy – 0,39 mpy. Untuk lokasi Pasi Ujong Kalak tingkat laju korosi mencapai 0,31 mpy – 1,19 mpy. Dari tiga lokasi penelitian, laju korosi tertinggi terjadi pada lokasi Pasi Ujong Kalak berkisar 1,19 mpy dan laju korosi terendah terjadi pada lokasi Peunaga Pasi berkisar 0,11 mpy. Sedangkan tingkat kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan November mencapai 704 knot, Sedangkan tingkat kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Maret mencapai 167,4 knot, Sedangkan tingkat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli mencapai 34 mm, Sedangkan tingkat curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober mencapai 10 mm. Secara keseluruhan tingkat ketahanan korosi relatif (relative corrosion resistance) untuk lima jenis baja yang dipilih berada dalam kondisi sangat baik. Sedangkan hubungan laju korosi untuk setiap jenis baja dengan variasi lokasi sangat fluktuatif. Kata Kunci: Korosi Atmosferik, Kecepatan Angin, Curah Hujan, BMKG dan Laju Korosi
Abstract - The purpose of this research is to looking at the influence of precipitation rates and wind speed against atmospheric corrosion on steel construction. The testing of this corrosion using loss weight method where the specimen should be exposed in outside. Data collection will do once of every month for one year. The Comparison of the rate of corrosion and Steel Construction which is exposed on three selected locations as follows: in BMKG location the corrosion rate is 0.17 mpy – 0.44 mpy. For the location of Peuna Pasi the corrosion rate reached 0.11 mpy – 0.39 mpy. For the location of Pasi Ujong Kalak corrosion rate reached 0.31 mpy – 1.19 mpy. For three locations of this research, the highest rate of corrosion is Pasi Ujong Kalak location which ranged 1.19 mpy and the lowest rate of corrosion is Peunaga Pasi Ujong Kalak location which range 0.11 mpy. While the level of the highest wind speeds occur in November reached 704 knots, while the lowest wind speed levels occurred in March reached 167.4 knots, while the highest rainfall levels occurred in July reached 34 mm, while the lowest level of rainfall occurring in October reach 10 mm. Overall levels of corrosion resistance relative (relative corrosion resistance) for five different types of steel that are chosen are in very good condition. While the corrosion rate of the relationship for each type of steel with the variation site is very volatile.
Keyword : Atmosferic Corrosion, Wind speed, Precipitation Rates, BMKG and Corrosion Rate
214
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 I. PENDAHULUAN II. DASAR TEORI 2.1. Kerugian Akibat Korosi
Perubahan iklim yang signifikan mulaiterjadi pasca tsunami 2004 yang menghancurkan kawasan pantai barat Aceh, perubahan ini dapat mempengaruhi peningkatan ion klorida dari udara yang tertiup angin dari laut menuju darat,yang tidak teratur disepanjang pantai hingga kedaratan yang dapat berpengaruh terhadap tingkat laju korosi pada besi, baja, dan logam lainnya. Penelitian tingkat korosi yang telah dilakukan sebelumnya di pantai Barat Aceh yaituperbandingan tingkat laju korosi atsmoferik pada baja berbentuk plat dan siku denga rata-rata laju korosi 0,142 mpy [1].Tingkat curah hujan dan kecepatan angin merupakan salah satu penyebab terjadi korosi [2].Maka dengan demikian perlu dilakukan penelitian pengaruh tingkat curah hujan dan kecepatan angin terhadap korosi atmosferik. Baja plat, baja strip, baja siku, baja plat segi empat dan baja tulangan merupakan produk baja yang sangat banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kontruksi. Atas dasar tersebut pengunaan baja menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian.
Korosi merupakan proses degradasi bahan yang tidak bisa dihindari, dan telah menjadi permasalahan dunia yang mengakibatkan kerugian besar secara ekonomi [1]. Kerugian akibat korosi ini telah mencapai 3-4% GDP negara-negara industri [2]. U.S. Federal Highway Administration (FHWA) melaporkan estimasi total biaya tahunan korosi di Amerika Serikat sekitar $276 milyar (kira-kira 3.1% dari U.S. GDP) [3]. Di Indonesia, sekitar 20 triliun rupiah diperkirakan hilang percuma setiap tahunnya karena proses korosi [4]. Korosi infrastruktur seperti bangunan, jembatan, jalan, pabrik, jaringan pipa dan tangki, merupakan masalah korosi yang paling serius dihadapi dunia pada saat ini. Utamanya terhadap infrastruktur yang berumur (aging infrastructure) yang telah mendekati umur desainnya, yang mana perawatan dan upaya untuk memperpanjang umur pemakaiannya menjadi perhatian utama [3]. Kemudian, kegagalan dini berbagai infrastruktur seperti jalan, jembatan, dermaga dan transmisi perpipaan sering disebabkan oleh korosi infrastruktur tersebut [5]. Contoh kegagalan infrastruktur yang pernah perjadi akibat serangan korosi seperti ambruknya struktur jembatan layang di Kanada yang diperlihatkan dalam Gambar 2.1.
Dalam penelitian ini permasaalahan yang dikembangkan berdasarkan dari permasaalahanpermasaalahan yang mengakibatkan kerusakan pada baja kontruksi adalah: Akibat terjadinya perubahan iklim maka tingkat curah hujan dan kecepatan anggin yang menyebabkan ion klorida tidak teratur sehingga berpengaruh pada tingkat korosifitas pada baja struktural. Bedasarkan latar belakang diatas maka diperlukan pengujian pengaruh curah hujan terhadap laju korosi pada baja kontruksi di wilayah pantai barat Meulaboh. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat curah hujan dan kecepatan anggin terhadap laju korosi atmosferik pada baja struktural (Baja plat, Baja strip, Baja siku, Baja plat segi empat dan Baja tulangan).
Gambar 2.1. Jembatan layang (highway) yang ambruk di Quebec , Kanada, tahun 2006 yang salah satunya disebabkan oleh efek korosi [6]
Adapun mamfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengetahui penyebak tingginya laju korosi yang diakibatkan oleh faktor klimatology khususnya Sebagai rujukan dasar dalam pemlihan bahan terhadap kontruksi bagi Pemerintah Aceh umumnya dan pantai barat khususnya . Menjadi rekomundasi awal bagi Pemerintah Aceh, khususnya di pantai barat. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui tingkat korosifitas atmosferik pada baja kontruksi yang terjadi, aspek pengaruh terjadinya korosi dan tingkat resiko pada baja yang terekspos secara atmosfer diwilayah Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya.
2.2. Potensi Bencana Provinsi Aceh Provinsi Aceh merupakan daerah yang rawan bencana alam seperti gempa bumi, gunung berapi, longsor, banjir dan badai. Gempa bumi yang sering terjadi di provinsi ini adalah sebagai akibat posisi geologis Aceh yang berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera fault/transform) yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda yang dikenal dengan Patahan Semangko [8]. Selain itu, zona patahan aktif yang terdapat di wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di 215
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh mengalami bencana geologis yang cukup panjang [8]. Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2007-2010 di Aceh sebanyak 97 kali dengan kekuatan 5 sampai dengan 7,5 Skala Richter. Kejadian diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan lempeng dan patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut yaitu korban jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25–50 Milyar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang terkena gempa sekitar 60–80 persen, dan 5 persen berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena dampak adalah: Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Subulussalam, Sabang, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara [8].
Tabel 1. Nilai
Nilai
Mils per tahun (mpy) Milimeter per tahun (mm/y)
3.45x106 8.76x104
Gram per meter kuadrat per jam (g/m2.h)
1.00x104 x
Standar untuk metode ini adalah ASTM G50 atau ISO 8565. Metode ini dinamakan pengujian eksposur (exposure test). Gambar 3 menunjukkan contoh pelaksanaan pengujian eksposur. Metode yang kedua adalah dengan mengukur parameter-parameter yang menyebabkan korosi atmosferik seperti kadar polutan (terutama SO2 dan ion klorida), TOW, dan lain-lain. Hasil dari pengukuran dapat direpresentasikan dalam klasifikasi udara berdasarkan parameter-parameter tersebut, berdasarkan standar ISO 9223. Rak Pengujian Untuk melaksakan pemaparan (ekspos) spesimen uji, digunakan rak uji (Gambar 223.). Spesifikasi rak uji merujuk kepada ASTM G-50, dan untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara spesimen uji dengan rak uji digunakan pemegang dari plastik [11]. Terjadinya kontak langsung antara spesimen uji dengan rak uji pengujian akan menyebabkan terjadinya korosi galvanis
2.3. Pegukuran Laju Korosi Pada penelitian ini, laju korosi infrastruktur direpresentasikan dengan laju korosi atmosferik. Pengukuran laju korosi atmosferik dapat dilakukan dengan dua metode, bergantung kepada perspektif dalam menentukan korosi atmosferik, apakah dari perspektif bahannya atau dari faktor-faktor penyebabnya [9]. Pengujian berdasarkan perspektif yang pertama melibatkan spesimen secara langsung, dengan mengukur kehilangan massa yang diakibatkan oleh korosi. Metode ini melibatkan proses eksposur (exposure) sampel bahan pada udara terbuka, hingga sampel bahan tersebut terkorosi. Sampel bahan ini biasanya dipotong dalam bentuk-bentuk yang praktis disebut kupon (coupon). Seiring waktu, spesimen akan mengalami penipisan akibat kehilangan massa. Pengukuran kehilangan massa dalam interval waktu tertentu (per hari, minggu atau bulan, bergantung kepada laju korosinya secara visual) dilakukan, dan laju korosi atmosferik pada lokasi tersebut, untuk bahan logam yang diuji, dapat ditentukan dan direpresentasikan dalam satuan penetrasi per tahun (seperti mils per tahun atau milimeter pertahun), melalui persamaan berikut [10]: Laju korosi = (KW) / (ATD)
untuk persamaan (1)
Satuan laju korosi yang diinginkan
Gambar
2.2.
Spesimen pengujian dalam suatu pelaksanaan uji ekspos korosi atmosferik
2.4. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tiga wilayah yaitu BMKG Nagan Raya, Penaga Pasi dan Pasi ujong kalak. dengan waktu pelaksanaan selama satu tahun. Untuk lokasi penelitian dapat ditunjukan pada gambar 2.3. dibawah ini :
(Persamaan 1)
dimana : K= konstanta konversi satuan laju korosi W= kehilangan massa, gram A= luas permukaan, cm2 T= waktu ekspos, jam D= massa jenis, g/cm2
216
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Untuk melihat perbandingan standar tingkat laju korosi pada baja dan nikel paduan bagus atau tidak dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 2.3. Peta lokasi penempatan spesimen uji di wilayah pantai Barat Aceh Sumber : Geogle Eart Tabel. 2 Kriteria laju korosi pada baja nikel paduan Sumber : (M. G Fontana)
2.5. Alat dan Bahan yang Digunakan Spesimen eksposur untuk menganalisa korosi atmosferik berupa baja konstruksi yang banyak digunakan dilapangan. Lima jenis baja konstruksi, yang umum dijual dipasaran Aceh, yaitu berbentuk baja plat, baja strip, baja siku, baja segi empat dan baja tulangan, dipilih menjadi spesimen. N o 1 2 3 4 5
Spesimen Uji Baja Plat Baja Siku Baja Strip Baja Segi Empat Baja Tulangan
Ukuran (mm) P L K 150 mm 100 mm 1 mm 150 mm 32 mm 2 mm 150 36 3 150 11 11 150
-
-
Total
Contoh perhitungan laju korosi atmosferik dapat dilihat sebagai berikut: Sebuah spesimen baja kontruksi dengan luas permukaan penampang 305 mm2 yang diekspos pada udara terbuka dalam jangka waktu satu bulan. Berat spesimen yang hilang adalah 0,69gr. Dengan menggunakan persamaan 5.1 dapat dihitung laju korosi:
Jumlah D -
12 12 12 12
12
12
Laju korosi
(mpy)
K .W D. A.T
3,45 x106.0,69 7,85.305.720
60
= 1,38
(mpy)
Sumber: Penelitian 3.1.3. Perbandingan Tingkat Laju Korosi Atmosferik Terhadap Tingkat Curah Hujan dan Kecepatan Angin
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Pengukuran Laju Korosi Atmosferik 3.1.1. Hasil Penelitian Dalam bab ini disajikan pengolahan data hasil penelitian dan pembahasan sesuai dengan hasil yang diperoleh. Data laju korosi atmosferik meliputi data Kecepatan Angin, Curah Hujan dan perbandingan tingkat laju korosi atmosferik pada baja plat, baja strep, baja plat segi empat, baja tulangan dan baja siku terhadap lokasi penelitian berdasarkan waktu ekspose selama setahun.
1. Lokasi Peunaga Pasi Grafik 3.1. Menunjukkan hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi Peunaga Pasi Aceh Barat. Tingkat curah hujan dan laju korosi atmosferik terlihat sangat fluktuatif, yang diakibatkan oleh adanya perubahan iklim dan kondisi klimatology daerah pesisil aceh yang sangat berpengaruh terhadap laju korosi. Perubahan kondisi klimatology sagat tampak terjadii pasca tsunami 2004. Untuk lokasi Peunaga Pasi Aceh Barat Baja Plat, Baja Strip, Baja siku, Baja Segi Empat dan Baja Tulangan memiliki laju korosi yang relatif tinggi dan. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan curah hujan.
3.1.2 Perhitungan Laju Korosi Dari penelitian yang dilakukan akan didapatkan data awal berupa data kehilangan berat. Untuk mendapat data kehilangan berat pengukuran dilakukan pada setiap spesimen. Data kehilangan berat tersebut diolah dengan menggunakan (persamaan 2.9). Nilai laju korosi yang dihasilkan atau ditampilkan pada grafik dalam bentuk nilai laju korosi per satu bulan sekali pengambilan data selama setahun semenjak bulan September 2015 sampai bulan agustus 2016. 217
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Grafik 3.1 : Grafik hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi atmosferik waktu ekspos pada lokasi Peunaga Pasi
Grafik 3.3 : Grafik hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi dan waktu ekspos pada lokasi BMKG Grafik 3.3, menunjukkan hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi BMKG Aceh Barat. Pada waktu exspos bulan September 2015 sampai Agustus 2016, tingkat curah hujan pada tiap bulannya terjadi sangat fluktuatif, terkadang tingkat curah hujan lokar yang tidak terdeteksi oleh sistem data BMKG. Hal ini menyebabkan terjadinya pengaruh tingkat curah hujan terhadap laju korosi atmosferik. Untuk lokasi BMKG Aceh Barat Baja Plat, Baja Strip, Bja Siku, Baja Segi Empat dan Baja Tulangan memiliki laju korosi yang relatif tinggi dan. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan curah hujan.
Grafik 3.2 : Grafik hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu ekspos pada lokasi Peunaga Pasi Grafik 3.2, menunjukkan hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi Peunaga Pasi Aceh Barat. Tingkatkecepatan angin yang terdeteksi sepanjang penelitian yang dilakun berkisar rata-rata antara 10 knok – 35 knok, kecepatan angi tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016 sedangkan kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Desember 2015. Tingkat pengaruh kecepatan angi yang membawa ion clorida dari laun menuju daratan juga berpengaruh terhadap tingkat laju korosi atmosferik pada baja kontruksi. Dari jenis spesimen yang digunakan untuk lokasi Peunaga Pasi Aceh Barat baja Plat, Baja Strip, Baja Siku, Baja Segi Empat dan Baja Tulangan memiliki laju korosi yang relatif tinggi. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan Kecepatan Angin.
Grafik 3.4 : Grafik hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu ekspos pada lokasi BMKG Grafik 5.4, menunjukkan hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi BMKG Aceh Barat. Pada waktu exspos bulan September 2015 tingkat Kecepatan Angin mencapai 15 knot. Sementara untuk bulan Oktober tingkat Kecepatan Angin menurun menjadi 10 knot, pada waktu exspos pada bulan November tingkat Kecepatan Angin meningkat menjadi 25 knot, pada waktu exspos pada bulan Desember Tingkat Kecepatan Angin menurun lagi menjadi 10 knot, pada waktu exspos pada bulan Januari Kecepatan Angin terjadi pening katan lagi menjadi 13 knot, pada waktu exspos
2.
Pada Lokasi BMKG Dari hasil penelitian di BMKG maka didapatkan data sebagai berikut:
218
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pada bulan Febuari Kecepatan Angin menjadi 13 knot, pada waktu exspos pada bulan Maret Kecepatan Angin terjadi penurunan lagi menjadi 12 knot, pada waktu exspos pada bulan April Kecepatan Angin terjadi peningkatan lagi menjadi 14 knot, pada waktu exspos pada bulan Mai Kecepatan Angin terjadi penurunan lagi menjadi 10 knot, pada waktu exspos pada bulan Juni Kecepatan Angin terjadi terjadi penigkatan menjadi 12 knot, pada waktu exspos pada bulan Juli Kecepatan Angin terjadi peningkatan lagi menjadi 34 knot, pada waktu exspos pada bulan Agustus terjadi penurunan lagi menjadi 15 knot. Pengaruh kecepatan angin terhadap laju korosi sangat terasa pada setiap spesimen uji dikarnakan pasca tsunami 2004 yang melanda Aceh. Pengaruh Ion klorida yang dibawa oleh angin laut menuju darata yang menyebabkan serangan korosi akmosferik disepanjang pantai Aceh. Untuk lokasi BMKG Aceh Barat baja Plat, Baja Strip, Baja Siku, Baja Segi Empat dan Baja Tulangan memiliki laju korosi yang relatif tinggi, namun Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan Kecepatan Angin. 3.
Menurut grafik berikut ini tingkat curah hujan tertinggi adalah bulan November. Untuk lokasi Peunaga Pasi Aceh Barat baja Plat, Baja Strip, Baja Siku, Baja Segi Empat dan Baja Tulangan memiliki laju korosi yang relatif tinggi dan. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan curah hujan. Dari hasil penelitian di Pasi Ujong Kalak maka didapatkan grafik pengaruh kecepatan angin terhadap laju korosi atmosferik sebagai berikut
Pada Lokasi Pasi Ujong Kalak Gambar 3.6: Grafik hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu ekspos pada lokasi Pasi Ujong Kalak
Dari hasil penelitian di Pasi Ujong Kalak maka didapatkan data sebagai berikut:
Grafik 3.6, menunjukkan hubungan tingkat Kecepatan Angin terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi Pasi Ujong Kalak Aceh Barat. Pada lokasi ini terlihat pengaruh kecepatan angin terhadap spesimen uji laju korosi atmosferik. Pasca tsunami 2004, kecepatan angin diwilayah pesisil pantai Aceh sangat kencang akibat tumbuhan disepanjang pantai musnah diterjang gelombang tsunami sehingga angin yang bertiup kedaratan tidak terhalang oleh tumbuhan disepanjang pantai, akibat dari hal tersebut polutan dari laut terbawa jauh kedaratan yang menyebabkan terjadinya peningkatan laju korosi atmosferik sangat tinggi dan menyebabkan kerusakan terhadap kontruksi baja. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan Kecepatan Angin.
Gambar 3.5: Grafik hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi dan waktu ekspos pada lokasi Pasi Ujong Kalak Grafik 3.5, menunjukkan hubungan tingkat curah hujan terhadap laju korosi dan waktu exspos pada lokasi Pasi Ujong Kalak Aceh Barat. Perbandingan tingkat curah hujan dengan laju korosi atmosferik pada lokasi Pasi Ujong Kalak juga ada terlihat pengaruh laju korosinya. Pada lokasi ini jarak dari pinggil pantai terhadap lokasi penempatan rak spesimen cukup dekat dengan pantai dibandingkan denan dua lokasi lainnya, namun demikian tingkat laju korosi yang mempengaruhi laju korosi bukan hanya curah hujan tetapi tingkat polutan juga sangat tinggi pada daerah ini. Untuk lokasi Pasi Ujong Kalak Aceh Barat baja Plat dan Baja siku memiliki laju korosi yang relatif tinggi dan. Secara keseluruhan terlihat adanya hubungan antara laju korosi dengan curah hujan.
IV. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan Dari data hasil penelitian yang telah dilakukan secara umum dan sementara dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Secara sekeluruhan tingkat laju korosi yang terjadi sangta fluktuatif dan dipengaruhi oleh kondisi klimatologi pada setiap bulannya. 2. Hasil Pengukuran masih tergolong dalam keadaan sangat baik sehingga penggunaan material baja tersebut masih bisa digunakan untuk pemakaian pada pembangunan infrastruktur dikawasan tersebut 219
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 [8] 4.2. Saran Diharapkan penelitian ini bisa dilanjutkan untuk wilayah yang lebih luas kedaerah lain disepanjang pantai Aceh, sehingga bisa menjadi pemetaan tingkat korosi atmosferik dan juga bisa diketahui pada wilayah tertentu tingkat laju korosi dipengaruh oleh tingkat data klimatology pada daerah tersebut.
[9]
UCAPAN TERIMA KASIH
[10]
ASTM International, 2003, Standard Practice for Conducting Atmospheric Corrosion Tests on Metals, ASTM G50. [11] Corrosion-doctor, Atmospheric Corrosion Tests, http://www.corrosion- doctors.org/ Corrosion-Atmospheric/Corrosion-tests.htm (diakses pada tanggal 26 Agustus 2012).
Ucapan terimakasih kepada Kemenristek Dikti atas bantuan dana penelitian ini pada anggaran DIPA SIMLITABMAS Penelitian Dosen Muda anggaran 2015/2016 Ucapan terimakasih kepada Rektor, Dekan, Ka jurusan dan seluruh komponen yang terliat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
BAPPEDA Aceh, 2010, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025, http://bappeda.acehprov.go.id /v2/index.php?option=com_ content&view= article&id= 109&Itemid=57 (diakses pada tanggal 2 April 2012). NACE,Corrosion Atmospheric Corrosion, http://events. nace. org /library/ corrosion /AtmCorros/introduction.asp (diakses pada tanggal 26 Agustus 2012).
NACE, 2006, Corrosion Cost by Industrial Sector, Supplement to Material Performance, Vol. 41, No. 7, p.4. Günter Schmitt, Michael Schütze, George F. Hays, Wayne Burns, En-Hou Han, Antoine Pourbaix, and Gretchen Jacobson, 2009, Global Needs for Knowledge Dissemination, Research, and Development in Materials Deterioration and Corrosion Control, the World Corrosion Organization (WCO), http://www.corrosion.org /images_index/whitepaper.pdf (diakses pada tanggal 16 Maret 2012) NACE, 2002, Cost of Corrosion Study Unveiled, A Supplement to Material Performance, NACE International, http://www.nace.org/uploadedFiles /Publications/ccsupp.pdf (diakses tanggal 16 Maret 2012) Widyanto, B., 2008, Permasalahan Korosi dan Penanganannya di Industri Perminyakan Di Indonesia, http://www.migas indonesia.net/index.php option.com_ docman&task= doc_view&gid= 1230& Itemid =42 (diakses pada tanggal 16 Maret 2012) Guofu Qiao, Tiejun Liu, Yi Hong, and Jinping Ou, 2011, Optimization Design of a Corrosion Monitoring Sensor by FEM for RC Structures, IEEE SENSORS JOURNAL, VOL. 11, NO. 9, SEPTEMBER 2011 CTV.ca News Staff. 2006. Engineer Links Overpass Collapse to Steel Bars. http://www.ctv.ca/CTVNews/Specials/2006100 2/overpasscollapse_causes_061002/ (diakses pada tanggal 1 April 2012). Afifah, R. & Latief. 2011. Struktur Wahana Atlantis Dikaji Ulang. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/2 8/12185069/Struktur.Wahana.Atlanti s.Dikaji. Ulang (diakses pada tanggal 1 April 2012). 220
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengukuran Tingkat Kepuasan Konsumen Jasa Penerbangan Wings Air (Studi kasus Meulaboh – Medan) Measurement Of Customer Satisfaction Level Flight Wings Air Services (Case Study Meulaboh - Medan) Veranita, ST., MT1, Adami2 1), 2)
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Teuku Umar Email:
[email protected]
Abstrak - Ditengah persaingan antar maskapai penerbangan yang semakin ketat, banyak upaya yang dilakukan oleh maskapai penerbangan tak terkecuali Wings Air yang mencari, menarik dan mempertahankan pelanggan untuk memuaskan pengguna jasanya, terutama melalui sisi performa pelayanannya. Kunci utama untuk memenangkan persaingan adalah memberikan nilai dan kepuasan kepada pelanggan melalui penyampaian produk dan jasa berkualitas dengan harga bersaing dan meningkatkan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan yang dinilai adalah pelayanan pesawat Wings Air rute Meulaboh -Medan. Analisis dilakukan dengan menghitung Importance Performance Analysis (IPA). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelayanan dan tingkat kesesuaian responden/penumpang sarana transportasi udara yang berupa Pesawat Wings Air dan Bandara mengunakan Analisis Indeks Persepsi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dengan menggunakan metode Importance Performance Analysis didapat dari tabel B1 untuk Tingkat kesesuaian responden (Tki) = 0.09, pada tabel B2 didapat hasil Tki = 0.67 dan pada tabel B3 didapat hasil Tki =0.75. Sehingga dari hasil keseluruhan importance dan performance tabel B1,B2,dan B3 di dapatkan hasil persepsi keseluruhan dari Tingkat Kesesuaian Responden (Tki 46%) yang berarti Tingkat Kesesuaian Responden (Tki) Pesawat Wings Air dan bandara rute Meulaboh - Medan dibawah Tki<100%, Yang berarti pelayanan angkutan Pesawat Wings Air harus lebih diperhatikan kembali. Kata Kunci: Kualitas Pelayanan, Jasa Penerbangan, Pesawat Wing Air. Abstract: Amid competition among airline intensifies, many efforts made by the airline no exception Wings Air is looking for, attract and retain customers to satisfy user services, mainly through the performance of his ministry. The main key to win the competition is to deliver value and satisfaction to customers through the delivery of quality products and services at competitive prices and improve service quality. Quality of services is assessed is the best service of Wings Air routes Meulaboh -Medan. The analysis was performed by calculating the Importance Performance Analysis (IPA). The purpose of this research is to identify some of the factors that influence perceptions of service and the level of conformity respondent / passenger air transportation in the form of Aircraft Wings Air and service analysis using Perception Index. The results of this research with using Importance Performance Analysis method which is from table B1 for Suistability responden (Tki) = 0:09, the results obtained in Table B2 Tki = 0.67 and in table B3 results obtained Tki = 0.75. It was revealed that the overall importance and performance tables B1, B2, and B3 in getting the results overall perception of the level of Conformity Respondents (Tki 46%), which means the level of Conformity Respondent (Tki) Aircraft Wings Air and airport route Meulaboh - Medan under Tki <100% , Which means Aircraft Wings Air transport services must be considered back. Key word: Services quality, flight services, Wings Air.
I.
Perkembangan jasa pelayanan maskapai perkembangan dari tahun ke tahun semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dari ketatnya persaingan pelayanan, harga dan promosi yang ditawarkan berbagai maskapai penerbangan. Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan bagi para pengusaha transportasi udara. Hal ini menyebabkan perusahaan
PENDAHULUAN
Transportasi udara merupakan alat angkutan mutakhir dan tercepat. Transportasi udara ini menggunakan pesawat udara sebagai alat angkutan dan angkasa sebagai jalannya. Jasa angkutan transportasi udara yang cukup serta memadai sangat diperlukan sebagai penunjang pembangunan ekonomi.
221
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
tersebut berkompetisi atau bersaing untuk menarik penumpang sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah. Namun disisi lain dengan tarif yang lebih murah tersebut sering menurunkan kualitas pelayanan, Perang tarif dalam industri penerbangan di Indonesia tampaknya belum akan surut dalam waktu dekat. Bisnis penerbangan ke depan harus fokus dan segmen mana yang akan digarap dan itu pun harus dikelola secara serius dan professional [1]. Menghadapi kondisi persaingan menuntut perusahaan meningkatkan kualitas pelayanan (service quality), dengan demikian akan meningkatkan daya beli, mempertahankan pelanggan dan memperluas pangsa pasar konsumen. Oleh karena itu perusahaan Wings Air harus mengetahui hal-hal apa saja yang dianggap penting oleh para pelanggan, menemukan bagian mana dari pelayanannya yang membutuhkan peningkatan, dan perusahaan berusaha untuk menghasilkan kinerja sebaik mungkin sehingga dapat memuaskan pelanggan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan pengukuran tingkat kepuasan konsumen jasa penerbangan Wings Air rute MeulabohMedan menggunakan metode importance and performance analysis (IPA), dengan mengukur tingkat kepentingan menurut persepsi pelanggan (importance) dan tingkat kinerjanya (performance). Dalam penelitian ini rumusan masalahnya adalah bagaimana kesesuaian antara tingkat kepentingan atribut-atribut dimensi kualitas pelayanan menurut penumpang jasa penerbangan Wings Air dengan performa yang telah dilakukan pihak Wings Air. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis sampai sejauh mana kesesuaian antara tingkat kepentingan atribut-atribut dimensi kualitas pelayanan menurut pelanggan dengan performa yang telah dilakukan oleh pihak Wings Air. Kinerja yang dianggap baik berarti memuaskan. Kegunaan dari penelitian ini bias sebagai bahan pertimbangan strategi kualitas pelayanan dan kinerjanya terhadap pelanggan jasa penerbangan. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka akan diperoleh suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat pelaksanaannya.
Dalam menentukan kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan [7] adalah : kualitas produk, kualitas pelayanan, emosional, harga dan biaya. 2.1 Kualitas Pelayanan Menurut [9], kualitas adalah kesesuaian dengan persyaratan, kecocokan untuk pemakaian, perbaikan berkelanjutan dan sesuatu yang bias membahagiakan pelanggan. Menurut [2], kualitas adalah suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen. Menurut [4], pelayanan adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami. Secara etimologis, pelayanan berasal dari kata layanan yang berarti membantu, menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan [6]. Menurut [7], terdapat lima dimensi SERVQUAL sebagai berikut: a. Tangibles (bukti fisik) Meliputi fasilitas fisik, peralatan dan perlengkapan yang digunaan serta penampilan karyawan b.
Reliability (kehandalan) Memberikan pelayanan secara akurat dan terpercaya. Berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan.
c.
Responsiveness (ketanggapan) Memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas
d.
Assurance (jaminan) Pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya kepada pelanggan perusahaan
e.
Empathy (empati) Perhatian yang tulus dan bersifat individual yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen.
2.2 Pengukuran Kepuasan Pelanggan
II.
DASAR TEORI [3] mengidentifikasikan empat metode untuk pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu sebagai berikut:
Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan yang timbul antara harapan dan layanan yang diterima, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah harapan, maka pelanggan akan kecewa, bila kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas, sedangkan jika kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas [8].
a. b. c. d.
222
Sistem keluhan dan saran Ghost Shopping Lost customer analysis Survei kepuasan pelanggan
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
2.3 Konsepsi Importance and Performance Analysis (IPA)
Importance
Teknik Importance and Performance Analysis dikemukakan pertama kali oleh [5] yang juga diperkenalkan oleh [10]. Dalam teknik ini, responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-masing atribut tersebut. Kemudian nilai rata-rata tingkat kepentingan atribut dan kinerja perusahaan akan dianalisis di Importance-Performance Matrix. Metode Importance-Performance Analysis merupakan alat bantu dalam menganalisis atau untuk membandingkan sampai sejauh mana kinerja/pelayanan yang dapat dirasakan oleh pengguna jasa dibandingkan terhadap tingkat kepuasan yang diinginkan. Untuk mengukur tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan/kinerja terhadap jawaban responden, digunakan skala lima tingkat. Dari hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka akan diperoleh suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat pelaksanaannya. Tingkat kesesuaian merupakan hasil perbandingan antara dikemukakan skor kinerja pelaksanaan dengan skor kepentingan, sehingga tingkat kesesuaian inilah yang akan menentukan skala perioritas yang akan dipakai dalam penanganan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan penguna jasa transportasi laut tersebut. Menurut [10], ada dua buah variabel yang akan menentukan tingkat kinerja penyedia jasa pelayanan (diberi simbol X) dan tingkat kepentingan pengguna jasa (diberi simbol Y) sebagaimana dijelaskan pada modul matematika sebagai berikut :
Tki =
Kuadran A
Kuadran B
Kuadran C
Kuadran D
Performance Gambar 2.1 . Importance-Performance Grid Diagram Kartesius Apabila unsur pelayanan berada pada : kuadran A, maka dapat diartikan juga bahwa menunjukkan Harapan (Importance) terhadap elemen pelayanan yang diberikan pada tingkat yang diinginkan namun Perusahaan belum melaksanakannya sesuai keinginan konsumen sehingga masih perlu diprioritaskan dalam membenahi elemen kualitas pelayanan ini (Prioritas utama). Kuadran B, menunjukkan elemen pelayanan yang diberikan telah sangat baik dan perusahaan tersebut harus memelihara kinerja yang telah dicapai (Pertahankan prestasi). kuadran C, menunjukkan elemen pelayanan yang masih kurang dan diberikan dengan cara yang sedang saja, tetapi tidak memerlukan perhatian perusahaan, karena dianggap kurang penting oleh konsumen (Prioritas rendah). kuadran D, menunjukkan elemen pelayanan yang dianggap kurang penting oleh pelanggan, tetapi sudah diberikan oleh perusahaan dengan sangat baik (Berlebihan).
xi x100 % Yi
2.4 Metode Pengumpulan Data Dimana : Tki = Tingkat kesesuaian responden
xi Yi
Metode pengumpulan data merupakan prosedur yang sistemik dan harus memperhatikan garis yang ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari data yang tidak terpakai karena informasi yang diperoleh tidak relevan dengan keperluannya. Seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder.
= Skor penilaian kinerja = Skor harapan responden
Selanjutnya unsur-unsur dari atribut akan dikelompokkan dalam salah satu dari empat kuadran yang disebut dengan diagram kartesius yang dibatasi oleh sumbu X dan sumbu Y, seperti terlihat dalam Gambar 2.1.
2.5 Metode Analisis Data
223
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis hitungan Infortance Performance Analisis (IPA) yang merupakan suatu analisis yang berfungsi untuk menganalisis suatu data dalam nilai indeks kepuasan rata-rata pengguna jasa transportasi udara terhadap faktor - faktor pelayanan yang ada pada masyarakat yang menaiki pesawat Wings Air rute Meulaboh – Medan yang mencangkup berapa persen masuk kriteria cukup puas. Dari analisis inilah akan didapatkan suatu bentuk transportasi yang layak bagi pengunanya. a.
Identifikasi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pelaku perjalanan diantaranya: b. Faktor karakteristik perjalanan (tujuan perjalanan, waktu perjalanan) c. Faktor karakteristik sistem transportasi (berhubungan dengan kinerja pelayanan sistem transportasi) seperti kenyamanan dipesawat maupun dibandara, kemudahan pencapaian tempat tujuan dan ketepatan waktu. Nilai kepuasan pelaku perjalanan yang berhubungan dengan variabel yang memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku pelaku perjalanan.
III.
Berdasarkan tabel B1 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Pelayanan 1 dan 2 diketahui bahwa hasil penilaian rata-rata (performance) pelayanan Pesawat Wings Air rute Meulaboh - Medan adalah 3,22 + 5,06/ 6 = 1,38. untuk hasil penilaian rata-rata (inportance) 97/6 = 16.17 keterangan Tabel B3 Tingkat Pelayanan pesawat 1 : V = VARIABEL. SB = SANGAT BURUK. B = BURUK. N = NETRAL. B = BAIK. SB = SANGAT BAIK.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan data dari hasil penelitian sesuai dengan metodelogi yang telah dikemukankan pada bab III,disertai dengan pembahasannya sesuai dengan teori - teori pada bab II.
keterangan Tabel B3 Tingkat Pelayanan pesawat 2 : TP = TIDAK PENTING. KP = KURANG PENTING. N = NETRAL. P = PENTING. SP = SANGAT PENTING.
3.1 Deskripsi Jawaban Responden Deskripsi jawaban responden di sini dimaksudkan untuk menganalisis data berdasarkan hasil yang diperoleh dari jawaban responden terhadap masing masing indikator pengukur variabel. Perhitungan Skor dapat dilihat pada tabel B1, B2, B3 dibawah ini.
Tabel B2 :
224
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Berdasarkan tabel B2 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kinerja Bandara 1,2,3 4,5,6,7,8 diketahui bahwa hasil penilaian rata-rata (performance) pelayanan adalah 2,73 + 0,13 + 0,17 + 7,08 + 1,09 + 0.89 + 0.38 + 2,84 / = 13,13. untuk hasil penilaian rata-rata (inportance) 97/5 = 19.4
keterangan Tabel B2 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kinerja : SB = SANGAT BURUK. B = BURUK. CB = CUKUP BAIK. B = BAIK. SB = SANGAT BAIK.
Tabel B3 :
225
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
hasil penilaian rata-rata (performance) pelayanan Pesawat Wings Air rute Meulaboh - Medan adalah = 6,71 + 4,03 + 1,15 + 1,84 + 0,02 + 4,33 = 14,61. untuk hasil penilaian rata-rata (inportance) 97/5 = 19,4
keterangan Tabel B2 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kinerja : SB = SANGAT BURUK. B = BURUK. CB = CUKUP BAIK. B = BAIK. SB = SANGAT BAIK.
3.2 Hasil Importance-Performance Analysis (IPA). Dari hasil diatas maka dilakukan analisa dengan menggunakan rumus-rumus yang dipaparkan pada bab II berdasarkan pengolahan data-data primer maupun sekunder terhadap tingkat perpepsi pelayanan pada Pesawat Wings Air dengan mengunakan Rumus Importance-Performance Analysis (IPA). Berdasarkan hasil perhitungan dengan Important Performance Analysis (IPA) diperoleh nilai rata-rata kinerja (performance),nilai rata-rata harapan (importance),serta nilai rata-rata Performance dan Importance dari setiap variabel kualitas pelayanan dan juga tingkat kesesuaian dari hasil penilaian responden pada Lampiran Tabel B1 Tingkat Pelayanan, Tabel B2 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kinerja Bandara, Tabel B3 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kepentingan Kinerja Pesawat Wings Air diatas maka hasil penilaian importance-performance analysis tiap variabel kualitas pelayanan dan perhitungan tingkat kesesuaian perpepsi pelayanan pada pesawat Wings Air seperti terlihat pada variable dibawah ini :
Ada dua buah variabel yang akan menentukan tingkat kinerja penyedia jasa pelayanan (diberi simbol X) dan tingkat kepentingan pengguna jasa (diberi simbol Y) sebagaimana dijelaskan pada modul matematika sebagai berikut : 1,01 =
19,38 x100 % 42,04
= 0,46 = 46%
Berdasarkan tabel B3 Penilaian Persepsi menurut Tingkat Kinerja 1+2+3+4+5+6 diketahui bahwa
226
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
IV. Selanjutnya unsur-unsur dari atribut akan dikelompokkan dalam salah satu dari empat kuadran yang disebut dengan diagram kartesius yang dibatasi oleh sumbu X dan sumbu Y, seperti terlihat dalam Gambar 2.1.
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dilakukan, maka dapat disimpulkan :
Berdasarkan dari perhitungan dengan Importance-Performance Analysis sebagai Instrumen Penilaian Kualitas persepsi pelayanan diperoleh hasil persepsi pelayanan dalam transportasi udara pada sarana transportasi angkutan penumpang Pesawat Wings Air dan Bandara belum memuaskan, dengan harapan agar dapat kiranya meningkatkan pelayanan fasilitas yang lebih baik lagi kedepan bagi semua terutama untuk penumpang Angkutan Transportasi Udara.
2.
Dari Variabel Deskripsi kinerjanya memiliki nilai yang biasa saja berdasarkan respon dari responden/penumpang ,dimana terlihat posisinya di kuadran C pada Diagram kartesius, yang berarti menunjukkan elemen pelayanan yang masih kurang dan diberikan dengan cara yang sedang saja, tetapi tidak memerlukan perhatian perusahaan, karena dianggap kurang penting oleh konsumen (Prioritas rendah). Prioritas dari kuadran yang disurvei selama 1 Minggu di tempat penelitian ini didapat hasil bahwa prioritas dari kuadran C yang didapatkan adalah prioritas rendah, dengan demikian prioritas untuk pihak Wings Air Indonesia dan Bandara harus lebih dioptimalkan untuk kedepan.
3.3 Pembahasan
2.
3.
4.
Berdasarkan hasil penelitian, Dari hasil tabel B1 didapat hasil untuk Tki 0.09, pada tabel B2 didapat hasil Tki 0,67 dan pada tabel B3 didapat hasil Tki 0,75. Sehingga dari hasil keseluruhan importance dan performance tabel B1,B2,dan B3 di dapatkan hasil persepsi penumpang keseluruhan dari Tingkat Kesesuaian Responden (Tki 46%). Tingkat Kesesuaian Responden (Tki) adalah hasil Pernyataan hipotesis yang membuktikan apabila nilai rata-rata performance/kinerja diatas serta nilai ratarata importance/harapan dalam tingkat kesesuaian responden angkutan Pesawat Wings Air dan Bandara dibawah Tki<100%, Yang berarti pelayanan angkutan Pesawat Wings Air dan Bandara harus Diperhatikan kembali. Variabel yang menentukan tingkat kinerja penyedia jasa pelayanan (X) dan tingkat kepentingan pengguna jasa (Y) sebagaimana dijelaskan pada modul matematika diatas didapat tingkat kesesuaian perpepsi pelayanan pada Pesawat Wings Air dan Bandara = 46%. Dari hasil Importance-Performance Grid Diagram Kartesius yang terlihat diatas unsur pelayanan yang menepati kuadran C, menunjukkan elemen pelayanan yang masih kurang dan diberikan dengan cara yang sedang saja, tetapi tidak memerlukan perhatian perusahaan, karena dianggap kurang penting oleh konsumen (Prioritas rendah).
yang telah
1.
Gambar 2.1 . Importance-Performance Grid Diagram Kartesius
1.
KESIMPULAN
3.
4.2 Saran Setelah memperoleh kesimpulan dari hasil penelitian, selanjutnya dapat diberikan rekomendasi atau saran terutama kepada Pesawat Wings Air dan Bandara rute Meulaboh - Medan yang digerakkan oleh PT.Lion Group Indonesia untuk dapat kiranya memperhatikan tingkat persepsi pelayanan dan tingkat kepentingan untuk kinerja Pesawat Wings Air. Oleh karena kurangnya perhatian dari pihak PT. Lion Group yang sekarang ini belum sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh para penumpang, serta fasilitas Bandara yang belum memadai.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih merupakan bentuk apresiasi adanya kontribusi dari perorangan maupun lembaga yang tidak bisa masuk sebagai penulis. Misalnya pemberi dana penelitian yang terkait dengan publikasi ini
DAFTAR PUSTAKA
227
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[1] Emirsyah Satar, 2006, Menyiasati 2010, Majalah SWA Edisi Mei. [2] Ibrahim,B.,(1997) Total Quality Manajemen, Panduan untuk menghadapi Persaingan Global, Penerbit DJambatan,Jakarta. [3] Kotler,P.,1995, Manajemen Pemasaran Analysis Perencanaan dan Imple mentasi, Salemba Empat, Jakarta. [4] Lovelock,C.H., dan Wright.L.K. ,1991, Manajemen Pemasaran Jasa : Alih bahasa Agus Widyantoro, PT. INDEKS Jakarta [5] Martila A. John and James C. John,1997,“The Analysis of the Importance and Satisfaction level of the Customers” Prentice Hall Inc. [6] Poerwadarminta,W.J.S.,1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta [7] Rambat Lupiyoadi, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktek, Salemba Embang Patria, Jakarta. [8] Supranto, J., 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan : Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta. [9] Tjiptono,F.,1995, Manajemen Jasa, Penerbit Andi,ogyakarta. [10] Zeithaml,A.,V.,Parasuraman, A., and Berry, L., L., 1990, Delivering Quality, Service Balancing Customer Perception and Expectation, The Press New York.
228
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengaruh Penggunaan Sistem Informasi Manajemen dalam Mendukung Kualitas Pengambilan Keputusan Manajer Irham Fahmi1, Raida Fuadi2, Rudy Fachruddin3 1, 2 & 3 Dosen Fakultas Ekonom dan Bisnis Unsyiah Abstract - In this study shows that decisions are influenced by the quality of management information system has been successful in influencing the organization's managers are able to produce quality decisions and sustainable competitive worth. The concept of a decision which applies in the makeup of the information management system is part of an attempt by the management of the organization set up a mechanism to better see the decision as an important part of supporters and pengerak well as the barometer of success of management in the delivery of management tools that mempu give satisfaction to the users and the users of decisions more independently and responsible. Results of research conducted with the advanced research methodologies and a qualitative literature review has clarified that the management information system has great influence in the decision support manager. Where it contributes to the birth of a decision that can give influence on the formation mechanism of decision worth competitiveness and be accommodating. Keywords: Management Information Systems, Quality Decision, and Manager 1.2. Identifikasi Masalah Adapun yang menjadi identifikasi masalah disini adalah, a. Sejauhmana pengaruh sistem informasi manajemen dalam mendukung pengambilan keputusan manajer. b. Sejauhmana pengaruh sistem informasi manajemen dalam mendorong pembentukan kualitas pengambilan keputusan.
I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sistem perangkat manajemen yang memiliki nilai lebih dan sesuai dengan perkembangan zaman bukan lagi dilihat sebagai keterpaksaan namun sudah dilihat sebagai sebuah kebutuhan. Pada era globalisasi sekarang ini kebutuhan perangkat Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang berkualitas dan modern mampu memberi pengaruh besar bagi kemajuan perusahaan, khususnya dalam membantu mempercepat proses pengambilan keputusan. Sistem adalah seperangkat komponen yang berada dalam suatu organisasi yang saling berhubungan dalam menunjang aktivitas kinerja organisasi tersebut. Keberadaan sistem menjadi semakin penting pada saat organisasi semakin berkembang, yaitu terutama pada saat perusahaan memasuki pasar internasional segala keputusan tidak mungkin lagi dilakukan dengan perangkat sistem yang sederhana. Para manajer membutuhkan kecepatan dan keakuratan informasi yang mampu mendorong pembentukan keputusan yang memiliki kualitas. Salah satu dampak kualitas keputusan adalah mampu memberi pengaruh pada profit dan keberlanjutan usaha, serta memberi keyakinan pribadi bagi para manajer dalam mengemukakan pandangan serta sikapnya di depan forum para pengambil keputusan perusahaan.
1.3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, a. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi masukan bagi para manajer dalam mendukung dan mendorong pembentukan pengambilan keputusan yang berkualitas. b. Diharapkan penelitian ini dalam menjadi masukan untuk memperkuat ilmu manajemen khususnya ilmu sistem informasi manajemen dalam bidang pengambilan keputusan.
II. Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi Sistem Informasi Manajemen Sistem Informasi Manajemen (SIM) adalah suatu perangkat manajemen yang dipergunakan untuk mendukung pihak manajemen perusahaan dalam menerima, mengolah dan mengelola perusahaan secara baik dan sistematis dengan tujuan untuk mendukung penciptaan kinerja perusahaan.
229
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 2.2. Macam-Macam Sistem Informasi Dalam kondisi dan situasi sekarang ini ada banyak macam sistem informasi, menurut Abdul Kadir (2003:3-4) ada bermacam-macam sistem informasi, antara lain: Sistem reservasi pesawat terbang: digunakan dalam biro perjalanan untuk melayani pemesanan tiket/pembelian tiket. Sistem untuk menangani penjualan tiket kendaraan bermotor sehingga dapat digunakan untuk memantau hutang para pelanggan Sistem biometrik yang dapat mencegah orang yang tak berwenang memasuki fasilitas-fasilitas rahasia atau mengakses informasi yang bersifat rahasia dengan cara menganalisa sidik jari atau retina mata. Sistem POS (point of sale) yang diterapkan pada kebanyakan pasar swalayan dengan dukungan pembaca barcode untuk mempercepat pemasukan data. Sistem telemetri atau pemantaun jarak jauh yang menggunakan teknologi radio, misalnya untuk mendapatkan suhu lingkungan pada gunung berapi atau memantau getaran pilar jembatan rel kereta api. Sistem berbasis kartu cerdas (smart card) yang dapat digunakan oleh juru medis untuk mengetahui riwayat penyakit pasien yang datang kerumah sakit karena di dalam kartu tesebut terekam data-data mengenai pasien. Sistem yang dipasarng pada tempat-temapt publik yang memungkinkan seseorang mendapatkan ingormasi seperti hotel, tempat pariwisata, pertokoan, dan lainlain. Sistem layanan akademisi berbasis Web yang memungkinkan mahasiswa memperoleh data-data akademisi atau bahkan dapat mendaftarkan mata kuliah yang diambil pada semester baru. Sistem pertukaran data elektronis (Electronic Data Interchange atau EDI) yang memungkinkan petukaran dokumen antar perusahaan secara elektronis dan data yang terkandung dalam dokumen dapat diproses secara langsung oleh komputer. E-government atau sistem informasi layanan pemerintahan yang berbasis internet.
2.3. Pembagian Sistem Informasi Manajemen Menurut Eko Nugroho (2008:128) secara umum sistem informasi manajemen dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu : a. Sistem Pemrosesan Transaksi (Transaction Processing System) Sistem Pemrosesan Transaksi digunakan untuk mendukung manajemen tingkat bawah (Low Level Management) segala macam bentuk organisasi ataupun perusahaan. b. Sistem Pengendalian Manajemen (Management Control System) Sistem Pengendalian Manajemen adalah sistem informasi yang ditujukan untuk mendukung manajemen tingkat menengah agar dapat mengendalikan organisasi tetap menuju kepada sasaran yang diinginkan. c. Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) Sistem Pendukung Keputusan dirancang untuk mendukung manajemen tingkat atas dalam mengambil keputusan-keputusan yang bersifat strategi dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi. 2.4. Sumber Informasi Bagi Manajer dalam Pengambilan Keputusan Penggunaan teknologi yang modern dengan segala perolehan informasi yang akan diterima sangat mendukung bagi peningkatan kinerja pihak manajemen perusahaaan. Bagi pihak manajemen sumber informasi dibagi menjadi dua, yaitu : a. Informasi yang bersumber dari pihak intenal Sumber informasi internal berasa dari lingkungan dalam organisasi yang diterima dan selanjutnya diolah menjadi informasi yang mendukung pembentukan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. b. Informasi yang bersumber dari pihak eksternal. Sumber informasi eksternal berasal dari lingkungan luar organisasi yang selama ini mereka merupakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap organisasi, selanjutnya informasi eksternal tersebut diolah dan menjadi informasi pendukung dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini yang memperlihatkan sumber informasi yang umum bagi manajemen (Alter, 1992) dalam Abdul Kadir, 2003:3-4).
230
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 hasil riset penelitian yang dianggap relevan. Sumber data lain termasuk observasi langsung ke berbagai tempat dengan melakukan wawancara pada pihak-pihak yang dianggap memiliki keterkaitan komptensi langsung dengan penelitian ini. 3.3. Teknik Pengolahan Data Adapun teknik pengolahan data disini dilakukan dengan cara setiap sumber data yang diperoleh dari hasil interview dengan berbagai pihak yang dianggap memiliki pemahaman tentang konsep sistem informasi manajemen dan juga para pengguna sistem informasi manajemen, dimana selanjutnya dilakukan pengolahan dengan cara pejelasan secara pendekatan deskriptif kualitatif. Sehingga nantinya diperoleh suatu gambaran penjelasan yang komprehensif dan mampu memberikan kesimpulan kajian.
Tabel 2.1 : Berbagai Sumber Informasi untuk Manajemen Jenis Formal, berbasis komputer
Formal, berbasis dokumen Formal, verbal Informal
Sumber Internal Indikator-indikator kunci yang dihasilkan oleh sistem penjejak intenal Laporan-laporan perencanaan, audit internal Pertemuanpertemuan terjadwal Percakapan makan siang, gosip, manajemen dengan jalan-jalan
Sumber Eksternal Basis data publik
Laporanlaporan industri Forum-forum industri Pameran dagang, kontrak personal
IV. Hasil Kajian dan Pembahasan 4.1. Pengaruh Sistem Informasi Manajemen dalam Pengambilan Keputusan Pada era globalisasi sekarang ini bisa dikatakan seluruh perangkat kerja di berbagai organisasi telah menggunakan dan menerapkan konsep sistem informasi yang modern. Kecuali di beberapa kawasan di negara berkembang dan terkebelakang yang dianggap masih belum tersentuh oleh pengaruh dampak teknologi. Penerapan sistem informasi tersebut terlihat diberbaginstansi pemerintah, lembaga swasta, supermarket, rumah sakit, lembaga pendidikan, pelabuhan, bandara, dan lain sebagainya. Dan penggunaan sistem informasi ini tanpa kita sadari merupakan kebutuhan bukan lagi dianggap sebagai pelengkap semata akan tetapi sudah menjadi kebutuhan mutlak. Sistem informasi manajemen dengan segala perangkat pendukungnya bagi para manajer pengambilan keputusan dianggap sebagai bagian penting yang selalu harus tersedia dalam rangkat membentuk suatu mekanisme keputsuan yang bertanggungjawab. Sehingga perlu diketahui oleh para manajer mengapa sistem itu begitu diperlukan. Menurut Winardi (1999: 162-163) adapun sejumlah alasan dasar mengapa orang mulai menggunakan analisis sistem yaitu : 1. Pemecahan problem (problem solving). Ada kemungkinan bahwa sistem yang ada dewasa ini tidak berfungsi sebagaimana diinginkan, hingga ahli analisis sistem dipanggil untuk memperbaiki sistem yang bersangkutan 2. Syarat baru (new requirement). Alasan kedua, mengapa orang melaksanakan analisis sistem adalah bahwa syarat baru
Simon (1960) dalam Eko Nugroho (2008:78) mengatakan, pengambilan keputusan berlangsung melalui empat tahap, yaitu: intelligence, design choice, dan implementasi Setiap tahap dalam pengambilan keputusan harus dipahami secara baik dan dilihat pengaruhnya terhadap manajemen perusahaan. Para manajer juga sering dihadapkan pada keputusan dengan berbagai kondisi. Ini sebagaimana dikatakan oleh Kamluddin (2003:52) yaitu, Kadangkala pengambilan keputusan di hadapkan pada masalah dengan situasi atau kondisi masa depan tidak pasti, tetapi ia bisa membuat perkiraanperkiraan (probabilitas) kemungkinan terjadinya kondisi tersebut. Dalam konteks ini keputusan dibuat dan dibentuk agar tertata yaitu termasuk mencari sumber informasi manajemen yang memiliki tingkat kebenaran yang diharapkan mampu mendukung keputusan sebagaimana yang idealnnya.
III. Metodelogi Penelitian 3.1. Lokasi Kajian Lokasi kajian ini dilakukan di Kota Banda Aceh yang mencakup setiap instansi pemerintah dan swasta yang mempergunakan sistem informasi manajemen sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan. 3.2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur perpustakaan seperti buku teks, jurnal dan berbagai
231
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
3.
4.
atau peraturan baru dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan. Pengimplementasian ide atau teknologi baru. Alasan ketiga untuk melakukan analisa sistem dapat timbul karena adanya keinginan untuk mengimplementasi sebuah ide baru, teknolog baru atau teknik baru. Perbaikan-perbaikan sistem secara luas (broad systems improvement). Akhirnya dapat pula dikatakan bahwa analisis sistem dapat digunakan oleh karena adanya sesuatu keinginan untuk menemukan cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan yang kini sedang dikerjakan.
4.2. Dampak Sistem Informasi Manajemen dalam Membangun Kualitas Keputusan Suatu informasi dapat dipercaya dan layak diproses sebagai salah satu informasi pendukung dalam proses pengambilan keputusan. Karena salah satu alasan suatu informasi dikatakan layak atau tidak layak jika informasi tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera diatas. Berberapa kesalahan bagi pihak manajemen perusahaan adalah pada saat informasi yang diterima tidak dilakukan pengecekan ulang (crosscheck) tentang kondisi kebenaran suatu informasi. Oleh karena itu untuk menghindari berbagai macam masalah yang akan terjadi di kemudian hari kiranya ada baiknya informasi yang diterima dilakukan pengecekan kembali tentang kebenaran informasi tersebut. Dampak melakukan pengecekan ulang akan memberi pengaruh pada pembentukan kualitas keputusan yang bisa bernilai strategik. Nilai strategik ini nantinya akan melahirkan kepemimpinan strategik. Kepemimpinan strategik adalah kemampuan untuk mengantisipasi, memberi inspirasi, mempertahankan fleksibilitas, dan memberdayakan orang lain untuk menciptakan perubahan strategijik yang diinginkan (Hitt, et el., 2001:489, dalam Mudrajad Kuncoro, 2006:228).
b.
4.3. Dampak Pembentukan Sistem Informasi Manajemen Bagi Manajer Organisasi Dalam suatu manajemen perusahaan dengan segala tingkatannya kebutuhan akan informasi memiliki perbedaanya masing-masing. Adapun bentuk kebutuhan dan perbedaan informasi yang mereka perlukan adalah, a. Top management (manajemen tingkat atas) Kebutuhan sistem informasi bagi pihak top management memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu :
232
1) Bekerja untuk mengkonsep dan mewujudkan visi dan misi perusahaan. 2) Merancang strategi perusahaan secara keseluruhan, termasuk memutuskan kebijakan akuisisi dan merger. 3) Mengedepankan pekerjaan dengan format keputusan bersifat umum (abstrak), dan selanjutnya memerintahkan pihak middle dengan tujuan sesuai dengan yang diarahkannya. 4) Informasi yang diterima oleh pihak top management cukup yang bersifat poin-poin saja, dalam artian hanya executive summary dan tidak perlu harus sampai 500 s/d 1.000 halaman. Karena pihak top management harus mengambil keputusan secara cepat dan tepat. 5) Manajemen tingkat atas tidak membutuhkan informasi tentang berapa banyak penjualan hari ini, yang diperlukan adalah berapa besar penjualan dari bulan ke bulan dan apakah ada tren (kecendrungan) naik atau turun (Eko Nugroho, 2008:63). Sehingga dari informasi ini akan diketahui apa kondisi masa depan yang akan terjadi. 6) Perangkat yang dibutuhkan oleh top management meliputi DSS (Decision Support System), dan beberapa perangkat lunak lainnya seperti OutlookSoft, Information Builder, Knowledge, Storm dan sebagainya (Eko Nugroho, 2008:72). Middle management (manajemen tingkat menengah) Kebutuhan sistem informasi bagi pihak middle management memiliki ciriciri sebagai berikut, yaitu : 1) Middle management bertugas menjebatani informasi yang berhubungan antara top dan lower management. 2) Mengedepankan konsep efektifitas dalam melaksanakan pekerjaan. 3) Bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pihak lower management, dan
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
c.
berusaha memperkecil risiko pekerjaan yang akan terjadi nantinya. 4) Middle management bertugas mengkordinir unit-unit yang ada di lower management. Lower management (manajemen tingkat bawah) Kebutuhan sistem informasi bagi pihak lower management memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu : 1) Mengerjakan seluruh pekerjaan yang ditugaskan oleh pihak middle management hingga beres. 2) Mengedepankan konsep efisiensi dalam bekerja. 3) Melakukan pekerjaan dengan sangat sistematis dan terstruktur, serta menghindari timbulnya kesalahan yang bersifat fatal 4) Kebutuhan dan pengolahan informasi besifat maksimal 5) Kebutuhan akan informasi yang lalu lebih dibutuhkan, karena dari informasi masa lalu tersebut kemudian diolah dengan mempergunakan perangkat analisis untuk disusun dan di narasikan. 6) Lower management bertugas melayani unit-unit yang paling bawah. 7) Lower management harus siap bekerja dibawah tekanan (underpresure)
dalam menerapkan ilmu manajemen secara utuh. Ini sebagaimana dikatakan oleh Winardi (1999:200). bahwa, ”Dalam peranan demikian ia perlu memiliki keterampilan-keterampilan sebagai berikut : 1. Kemampuan untuk mengenal situasisituasi di mana ilmu manajemen mungkin dapat digunakan secara efektif. 2. Kemampuan untuk melaksanakan komunikasi dua arah dengan seorang spesialis teknis; artinya ia harus mampu: a. Menerangkan sifat problemnya kepada seorang spesialis dengan cara yang dapat dimengerti, dan b. Mengerti produk spesialis tersebut untuk dapat memverifikasi ketepatan dan kegunaan potensialnya. 3. Kemampuan untuk mengerti hasil studi ilmu manajemen sehingga ia dapat mencapai hasil penuh informasi yang tersedia baginya. Dengan berbagai bentuk permasalahan (problem) yang dihadapi, para manajer diminta untuk mampu mengkonsep model pemecahan masalah khususnya yang memiliki tingkat kerumitan tinggi. Ini seperti yang dikemukakan oleh Winardi (1999:201) bahwa, ”Ia harus mampu merumuskan model-model yang tepat untuk menganalisis problem-problem tersebut, kemudian memanfaatkan program-program standar yang disusun oleh fihak lain guna mencapai pemecahanpemecahan, dan akhirnya menafsirkan hasilhasilnya”. Dalam konteks ini sistem informasi manajemen dalam menjadi pendukung dan solusi dalam mendorong pengambilan keputusan secara lebih berkualitas dan komprehensif. Serta bernilai jangka panjang dan memiliki daya saing yang permanen. Dengan dipergunakannya Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang modern maka diharapkan terjadi perubahan dalam manajemen keputusan di suatu organisasi. Khususnya lebih jauh mampu memberi pengaruh pada peningkatan dalam bidang, a. Proses pengambilan keputusan. b. Efisiensi dan efektivitas dalam setiap pekerjaan. Dimana efisiensi dilihat dari segi penghematan biaya dan efektivitas dilihat dari ketepata pengerjaan tugas. c. Produktivitas kerja di berbagai lini termasuk peningkatan hasil output. d. Performance perusahaan di mata publik menjadi lebih baik, terutama menyangkut service (pelayanan) kepada para pengguna produk.
Gambar 4.1 : Tingkatan Manajemen Untuk menunjang kompetensi yang maksimal dan dalam rangka mewujudkan manajer yang profesional dan berkualitas dalam pengambilan keputusan, maka seorang manajer di suatu perusahaan perlu memiliki keterampilan
233
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 e.
Penciptaan kreatifitas dan inovasi produk yang sanggup bersaing di pasar nasional serta global. f. Penciptaan taktik dan strategi yang bersifat aplikatif serta realistis untuk diterapkan. Ada banyak dampak positif dengan dipergunakanya SIM dengan baik, terutama sekali mampu membantu dalam membangun dan memperkuat manajemen suatu organisasi. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Joanna Ledgerwood (2008:193) bahwa, sistem informasi yang baik dapat: Memperbaiki kerja karyawan lapangan, memungkinkan mereka memantau portofolio dengan lebih baik dan menyediakan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan yang semakin banyak. Memungkinkan para pengawas memantau bidang tanggung jawab mereka dengan lebih baik, menunjukkan dengan tepat semua bidang prioritas yang paling banyak membutuhkan perhatian. Membantu manajemen senior lebih baik menyusun pekerjaan organisasi secara menyeluruh serta mengambil keputusan operasional dan strategis secara bijaksana dengan teratur memantau kesehatan lembaga melalui serangkaian laporan dan indikator yang dipilih dengan cermat.
b.
Para manajer sebagai pengambil keputusan sebaiknya lebih melihat dampak keputusan bukan hanya dari segi jangka pendek namun juga pengaruh keputusan secara jangka panjang.
Daftar Pustaka Abdul Kadir, 2003, Pengenalan Sistem Informasi, Andi, Yogyakarta. Eko Nugroho, 2008, Sistem Informasi Manajemen, Andi, Yogyakarta. Joanna Ledgerwood, 2008, Suistainable Banking with the Poor Microfinance handbook; An Institutional and Financial Perspective, The International Bank for Recontruction and Development/World Bank, (terjemahan). Kamaluddin, 2003, Pengambilan Keputusan Manajemen, Malang, Dioma. Mudrajad Kuncoro, 2006, Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif, Jakarta, Erlangga. Winardi, 1999, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem, Mandar Maju, Bandung.
V. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan a. Bahwa ada banyak dampak positif dengan dipergunakanya SIM (sistem informasi manajemen) dengan baik, terutama sekali mampu membantu dalam membangun dan memperkuat manajemen suatu organisasi, terutama dalam mendukung pembentukan proses pengambilan keputusan. b. Mekanisme dan aplikasi penerapan dari sistem informasi manajemen dengan segala perangkat pendukungnya bagi para manajer pengambilan keputusan dianggap sebagai bagian penting yang selalu harus tersedia dalam rangkat membentuk suatu mekanisme keputusan yang bertanggungjawab. 5.2. Saran a. Diharapkan kajian ini dapat dilanjutkan oleh peneliti selanjutnya dengan ruang lingkup kajian yang jauh lebih luas dan dalam serta mampu memberi pengaruh dalam mendorong kekuatan pengambilan keputusan secara lebih komprehensif.
234
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi Terhadap Kinerja Individu (Suatu Kajian Literatur) Rudy Fachruddin1, Raida Fuadi2, Irham Fahmi3 1, 2 & 3
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala
Abstak-Metode dalam penelitian ini bersifat literature dengan menempatkan perbandingan teori dengan teori serta hasil-hasil penelitian (research) dari berbagai peneliti sebelumnya yang akan dijadikan perbandingan. Selanjutnya penjelasan dijelaskan dengan metode deskriptif yang dijelaskan secara membandingkan teori dan hasil research sehingga akan ditemukan kesimpulan dan saran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi yang canggih akan mempengaruhi kinerja individu. Teknologi yang canggih membutuhkan biaya yang relatif sangat mahal. Biaya yang dikeluarkan harus lebih besar dari pada manfaat yang akan diterima oleh perusahaan. Dengan kinerja individu yang tinggi, maka akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Kinerja organisasi yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja keuangan suatu orgainsasi. Kinerja keuangan yang tinggi akan meningkatkan nilai perusahaan, sehingga tujuan perusahaan dapat berlangsung secara berkelanjutan (goal concruance). Kinerja keuangan merupakan representitif dari keinginan para stakeholder. Hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan dengan hasil yang signifikan antara kecanggihan teknologi informasi terhadap kinerja individu. Semua hasil penelitian terdahulu memiliki kesamaan. Kata Kunci : Kecanggihan Teknologi Informasi dan Kinerja Individu I.
diperlukan oleh pihak internal maupun eksternal. Informasi akuntansi dapat membantu manajemen dalam memperjelas tugas-tugas mereka sebelum pengambilan keputusan (Chong dalam Jawabreh,2012). Sistem informasi akuntansi adalah komponen dan elemen dari suatu organisasi yang menyediakan informasi bagi pengguna dengan pengolahan peristiwa keuangan (Zare, 2012). Kecanggihan teknologi di masa kini memiliki perkembangan yang sangat pesat, bahkan mampu menghasilkan beraneka ragam teknologi sistem yang dirancang untuk membantu pekerjaan manusia. Ismail dan King (2007) menemukan hubungan positif dan signifikan antara pengaruh kecanggihan teknologi informasi terhadap keselarasan atau kesesuaian teknologi informasi dengan strategi bisnis. Penerapan sistem informasi akuntansi merupakan investasi yang penting untuk perusahaan (Raupeliene,2003). Keefektifan sistem informasi akuntansi dapat mengukur keunggulan daya saing yang dapat diciptakan oleh perusahaan. Sistem dapat dikatakan efektif apabila sistem mampu menghasilkan informasi yang dapat diterima dan mampu memenuhi harapan informasi secara tepat
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Penelitian Dampak positif dari perkembangan teknologi dunia turut membawa perkembangan pada proses manajemen di sebuah perusahaan. Banyak perusahaan dewasa ini sudah mengadopsi perubahan teknologi. Perubahan teknologi memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif yang diperoleh dari perubahan teknologi informasi telah memberikan kemudahan bagi karyawan dalam melakukan proses data. Teknologi merupakan alat yang berguna untuk membantu individu dalam penyelesaian pekerjaannya (Handayani, 2010). Teknologi sistem informasi akan membantu perusahaan untuk menyajikan laporan keuangan ke dalam bentuk informasi akurat dan terpercaya. Penggunaan teknologi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing bagi perusahaan. Manfaat positif penggunaan teknologi diantaranya dapat membantu perusahaan dalam penghematan biaya, hemat waktu, hemat tenaga, dan informasi lebih akurat. Teknologi informasi digunakan untuk mengubah data mentah menjadi suatu informasi yang
235
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 waktu (timely), akurat (accurate), dan dapat dipercaya (reliable) (Widjajanto, 2001). Kinerja merupakan gambaran tentang pencapaian atau target, pelaksanaan program, usaha, dan kebijakan yang dilakukan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan dalam kelompok atau organisasi (Mahsun, 2006:145). Kinerja individu atau kinerja karyawan di suatu perusahaan dapat mencerminkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan karyawan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi perusahaan. Kinerja yang baik jika memiliki keahlian (skill) yang tinggi, bersedia bekerja apabila mendapat imbalan (gaji) atau diberi sesuatu dengan kesepakatan, serta memiliki masa depan dan harapan yang baik (Prawirosentono, 1999:3). Keberhasilan kinerja individu sangat dipengaruhi oleh faktor kecanggihan teknologi. Teknologi informasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan bisnis (Baig dan Gururajan, 2011). Duysters dan Hangedoorn (2000) menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara spesialisasi teknologi perusahaan terhadap kinerja. Dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang canggih akan dapat meningkatkan kinerja individu yang akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi.
sistem yang mempunyai hubungan dan memiliki suatu tujuan yang sama. Mulyadi (2000:1), sistem adalah unsur yang bekerja secara berkelompok dan berhubungan erat satu sama lain, sehingga dapat bekerja sama dalam menjalankan fungsi untuk mencapai tujuan. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem terdiri dari bagian-bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain dengan keselarasan tujuan (goal concruance) organisasi. Sistem terdiri dari input, process, dan output. Input adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sebuah sistem. Bahan mentah yang masuk ke dalam suatu sistem dapat berupa bahan baku untuk memproduksi sebuah produk ataupun juga termasuk informasi yang diterima oleh sebuah organisasi. Informasi yang diterima oleh sebuah organisasi akan diolah atau di proses dengan menggunakan tiga pendekatan. Pendekatan adalah pemprosesan dengan cara manual, dengan cara semi elektranik, dan dengan menggunakan electranic data processing . pemrpsesan dengan menggunakan teknologi electranic data processing dengan menggunakan alat bantu seperti komputer. Pemprosesan data dengan menggunakan komputer akan menghasilkan output yang lebih akurat, lebih cepat, lebih hemat biaya dan waktu, dan lebih dapat dipercaya. Informasi yang berkualitas menurut Mc Load dalam Bodnar dan Hopwood (2006:23) memiliki ciri akurat, tepat waktu, relevan, dan lengkap. Ciri-ciri tersebut akan dapat diaplikasikan dengan mudah yaitu dengan bantuan teknologi informasi yang baik. Gordan dalam Jogianto (2000:25) menyebutkan bahwa informasi dikatakan sebagai data yang diolah menjadi sesuatu yang berguna bagi para penerimanya atau dapat berupa sesuatu yang berguna dan dapat dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Jogianto (2000:49) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi merupakan gabungan dari manusia dan sumber daya lainnya yang bertanggung jawab dalam menyediakan informasi keuangan serta informasi yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data transaksi dalam suatu organisasi. Sumber daya lain yang dimaksud di atas adalah peralatan elektranik. Sedangkan Bodnar dan Hopwood (2006:3) menyebutkan sistem informasi akuntansi merupakan kumpulan peralatan dan manusia (sumber daya) yang dibuat untuk mengubah data-data keuangan ke dalam bentuk yang bermanfaat bagi pengguna dan berguna bagi pemakainya. Sistem terdiri peralatan (komputer) dan manusia sebagai penggerak peralatan. Bodnar dan Hopwood (2006:45) mengklasifikasikan sistem berbasis komputer terdiri dari software, hardware, brainware, procedure, dan data base.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian adalah kecanggihan teknologi informasi berpengaruh terhadap kinerja individu. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kecanggihan teknologi informasi terhadap kinerja individu. 1.4. Kegunaan Hasil Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan hasil dalam penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan birokrat dan praktisi bisnis dalam mendukung pembentukan kinerja yang berdaya saing
II.
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian Sistem Informasi Akuntansi Bodnar dan Hopwood (2006:3) menyatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan sumber daya yang saling terkait yang ingin dicapai suatu tujuan. Di lain pihak, Hall (2009:6) menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok dari dua atau lebih sub
236
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Software merupakan perangkat lunak (program) yang terdapat di komputer. Sedangkan hardware merupakan perangkat keras komputer, seperti monitor, keyboard, hard disk, dan lain sebagainya. Brainware merupakan manusia yang mengoperasikan komputer tersebut. Aji (2005:4), sistem komputer merupakan kumpulan elemen komputer, yaitu software, brainware, hardware yang berhubungan satu dengan lainnya serta saling terintegrasi yang mempuyai tujuan untuk menghasilkan informasi sesuai dengan kebutuhan. Dari terori si atas, maka dapat dibuat gambar klasifikasi sistem informasi berbasis komputer sebagai berikut:
kinerja organisasi secara keseluruhan. Kecanggihan teknologi yang dipakai oleh sebuah organisasi akan membutuhkan biaya investasi yang sangat mahal. Biaya yang dikeluarkan diharapkan akan sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan teknologi yang canggih. Dewasa ini banyak di negara-negara maju telah menggantikan posisi manusia dengan alat teknologi. Dengan penggunaan teknologi yang canggih akan akan dapat mengefisienkan biaya di perusahan dalam jangka panjang. Penggunaan teknologi yang canggih akan dapat memppengaruhi pengambilan keputusan yang lebih tepat. Keakuratan pengolahan data transaksi jika telah menggunakan teknologi informasi yang canggih akan lebih baik.
Software
Hardware Elemen Sistem Informasi Berbasis Komputer
Procedure
Data Base
Brainware Gambar 2.1 klasifikasi berbasis komputer
sistem
informasi 2.1.3. Pengertian Kinerja Individu Kinerja dalam suatu organisasi merupakan cerminan berhasil atau tidaknya tujuan organisasi. Dewasa ini para manajer organisasi telah memahami arti penting kinerja individu. Dengan kinerja individu yang baik secara otomatis akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Kinerja individu mengacu pada prestasi kerja individu yang diatur berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi (Engko, 2006). Dilain pihak, Murty dan Hudiwinarsih (2012) mengungkapkan bahwa kinerja lebih tinggi memiliki pengertian yakni terjadi peningkatan kualitas yang baik, sehingga tugas yang akan diberikan kepada individu atau karyawan dalam suatu organisasi dapat dilaksanakan dengan tepat waktu. Dewasa ini, pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh karyawan telah bergeser kearah penggunaan teknologi. Manfaat penggunaan teknologi akan dapat mempercepat dan mengakuratkan hasil yang diperoleh. Individu diharapkan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan bantuan teknologi, sehingga tugas yang dikerjakan dapat diselesaikan (Alannita dan Gusti, 2014).
2.1.2. Kecanggihan Teknologi Informasi Teknologi komputer sangat membantu dalam proses manajemen untuk mencapai tujuan. Penggunaan teknologi komputer sangat membantu pencapaian kinerja organisasi. Teknologi komputer dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Inovasi teknologi komputer dapat mempermudah kerja karyawan, sehingga kinerja individu meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Teknologi informasi dapat berjalan dengan efektif apabila anggota dalam organisasi dapat menggunakan teknologi dengan baik dan sangat penting bagi individu (Rahmawati, 2008). Perkembangan teknologi pengolahan data dewasa ini sudah memadukan teknologi komputer dengan teknologi telekomunikasi. Duysters dan Hangedoorn (2000) menemukan hubungan positif dan signifikan antara spesialisasi teknologi perusahaan terhadap kinerja individu. Hasil senada diungkapkan oleh Jumaili (2005) yang menyatakan bahwa teknologi sistem informasi baru dan kepercayaan terhadap teknologi sistem informasi baru dapat meningkatkan kinerja individu. Dari hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi akan dapat meningkatkan kinerja individu atau kinerja karyawan di dalam organisasi. Kinerja individu dalam organisasi secara otomatis juga akan meningkatkan
2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi Terhadap Kinerja Individu Penelitian yang dilakukan oleh Duysters dan Hangedoorn (2000) menemukan hubungan positif
237
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 dan signifikan antara spesialisasi teknologi perusahaan terhadap kinerja individu. Hasil senada diungkapkan oleh Jumaili (2005) yang menyatakan bahwa teknologi sistem informasi baru dan kepercayaan terhadap teknologi sistem informasi baru dapat meningkatkan kinerja individu. Teknologi informasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan bisnis (Baig dan Gururajan, 2011). Hasil yang diungkapkan oleh Alannita dan Gusti (2014) menyimpulkan bahwa kecanggihan teknologi berpengaruh positif pada kinerja individu. Indarsih (2015) juga menyimpulkan bahwa teknologi informasi baru berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja individu pada karyawan keuangan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aristiani (2014) menyatakan bahwa kecanggihan teknologi informasi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja individu pada koperasi serba usaha di Kabupaten Kudus. Dari penelitian-penelitian sebelumnya memiliki hasil yang sama yang menyatakan bahwa pengaruh kecanggihan teknologi memiliki hubungan yang positif signifikan terhadap kinerja individu. Hal ini menunjukkan bahwa dengan diterapkannya dan digunakannya teknologi informasi yang canggih akan dapat meningkatkan kinerja individu. Atau dengan bahasa lain kinerja individu akan meningkat jika penggunaan teknologi informasi yang canggih diterapkan di sebuah organisasi. Dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dibuat skema kerangka pemikiran sebagai berikut :
3.2.
Operasionalisasi Variabel Dari skema kerangka pemikiran terlihat bahwa variabel independen adalah Kecanggihan Teknologi Informasi (X). sedangkan variabel dependen adalah kinerja individu (Y). variable independen adalah variabel bebas, sedangkan varaibel dependen adalah varaibel terikat. Variabel adalah apapun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai. Nilai bisa berbeda pada berbagai waktu untuk objek atau orang yang sama, atau pada waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda (Sekaran, 2006:115).
IV. 4.1.
Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi dan Kinerja Individu Perkembangan dan dinamika serta pengaruh globalisasi telah membentuk suatu fenomena baru bahwa teknologi informasi merupakan bahagian yang mendukung aktivitas suatu organisasi. Perangkat teknologi informasi selalu mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya tatanan pembentukan kehidupan para pelaku dunia usaha serta kalangan birokrasi yang telah menjadikan serta mengikutsertakan teknologi sebagai bagian dalam mendukung pembentukan kinerja baik di tingkat lower, middle, dan top management. Robert Bacall (2012:43) menegaskan teknologi informasi mendorong pembentukan manajemen kinerja modern. Kualitas teknologi informasi memiliki pengaruh dalam menjamin pembentukan ukuran kinerja secara lebih terukur dan jauh dari asumsi penilaian yang bersifat normatif semata. Artinya kinerja diukur dan terukur secara aplikasi kualitatif dan kuantitatif. Dengan begitu mampu mendudukkan manajemen kinerja sebuah organisasi dapat dilihat nilai (value) secara keseluruhan. Ada beberapa dampak jangka panjang dari keputusan dipergunakannya teknologi informasi yang canggih dalam mengarah dan mendukung tatanan pembentukan manajemen kinerja secara konsep kinerja global. Artinya kompetitif dan pasar global siap dihadapi serta mampu menjadikan organisasi tersebut dapat eksis bersaing. Perangkat teknologi dengan segala aturannya berfungsi secara penuh membantu manajer dan seluruh sistem manajemenya ke arah bentuk kinerja dengan model pengembangan berbasis Information Technology. Organisasi yang tidak menjadikan atau memperbaharui serta tidak mengikuti kecanggihan teknologi, maka hasil kinerjanya jelas tidak memuaskan. Tuntutan seperti ini mengharuskan suatu keputusan mutlak penggunaan perangkat sistem teknologi berdasarkan pada aturan kebutuhan pasar.
Kecanggihan Teknologi Informasi (X) Kinerja Individu (Y) Gambar 2.2
III.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Skema Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
3.1.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data. Data dapat didefinisikan sebagai hasilpengukuran yang dapat memberikan gambaran suatu keadaan. Dalam penelitian ini adalah data skunder. Data skunder adalah data yang tidak langsung peneliti meneliti tentang suatu hal. Dalam penelitian ini data akunder di dapat dari penelitian kepustakaan (Library Reseach). Jenis penelitian dalampenelitian ini adalah deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang hanya mengamati dan menyimpulkan hasil penelitian tanpa melakukan pengujian.
238
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Ini terjadi karena setiap organisasi tidak berdiri sendiri, namun bersanding dengan organisasi lainnya. Jika keputusan menutup diri terhadap perubahan atau the lingking action hanya akan menimbulkan kemunduran secara sistematis pada organisasi tersebut, yang akhirnya berujung pada penurunan profit dan nilai reputasi organisasi di mata para stakeholder. Kasus ini sering terjadi pada beberapa organisasi di negara berkembang dan terbelakang. Namun ini khususnya pada small organization. Kebanyakan mereka menganggap efisiensi adalah dengan tidak menerapkan adaptasi secara rutinitas pada teknologi informasi dengan aplikasi penerapan kecanggihannya. Padahal sesungguhnya biaya (cost) yang dikeluarkan berbanding kecil dengan hasil yang akan diperoleh. Artinya dampak strategis secara jangka panjang yang harus dilihat. Di beberapa negara maju teknologi bukan lagi dilihat sebagai kebutuhan, melainkan sebagai bagian fashion dari sebuah organisasi. Artinya penggunaan teknologi informasi adalah bahagian dari kehidupan. Seperti pembayaran transaksi elektronik atau penggunaan uang elektronik, surat kabar elektranik, majalah elektronik, teleconference dan diskusi lainnya lebih dominan dilakukan dengan mempergunakan perangkat teknologi informasi. Nanum bukan berarti ketergantungan pada teknologi informasi atau tidak bisa melakukan apa-apa tanpa adanya teknologi informasi tersebut. Akan tetapi lebih pada pendukung percepatan pengambilan keputusan atau membuat format manajemen organisasi lebih leanding. Mengabaikan penggunaan teknologi informasi akan menyebabkan hubungan bawahan dan atasan sangat jauh termasuk pada penyampaian informasi sering mengalami hambatan atau tidak tersampaikan. Namun dengan adanya teknologi dan perangkatnya semua persoalan akan menjadi jauh lebih cepat. Di sisi lain juga mengandung dampak negatif dari kecanggihan teknologi, yaitu tidak terkontrolnya setiap informasi dan sudut pandang dalam menyaring informasi hanya ada pada beberapa orang yang tingkat kompetensi akademiknya termiliki atas dasar faktor referensi dan experiance yang ada.
persoalan Kecanggihan Teknologi Informasi bukan hanya dari sudut pandang kualitatif namun mampu menerapkannya dari segi pendekatan kuantitatif. DAFTAR PUSTAKA Aji, Supriyanto. 2005. Pengantar Teknologi Informasi. Semarang: Salemba Infotek. Alannita, Ni Putu. Gusti Ngurah Agung Suaryana. 2014. ”Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi, Partisipasi Manajemen, Dan Kemampuan Teknik Pemakai Sistem Informasi Akuntansi Pada Kinerja Individu”. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. 6 (1). pp:33-45. ISSN: 23028556. Ariastini, Fitri. 2014. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi, Partisipasi Manajemen, Kemampuan Teknik Pemakai Sistem InformasiAkuntansi, dan Formalisasi Pengembangan Sistem Terhadap Kinerja Individu (Studi Empiris Pada Koperasi Serba Usaha di Kabupaten Kudus). Skripsi Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Muria Kudus. Baig, A. H. and Gururajan, R. 2011. Preliminary Study to Investigation the Determinants that Effect IS/IT Outsourcing. Journal of Information and Communication Technology Research, 1 (2), pp: 48-54. Bodnar, G. H. Dan W. S. Hopwood. (Amir Abadi Jusuf dan Rudi M. Tambunan, Penerjemah). 2006. Sistem Informasi Akuntansi. Edisi Keenam. Jakarta: Salemba Empat. Duysters, G. and Hagedoorn, J. 2000. Core Competences and Company Performance in the World-Wide Computer Industry. Journal of High Technology Management Research, 11 (1), pp: 75-91. Engko, Cecilia. 2006. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Individual Dengan Self Esteem dan Self Efficacy Sebagai Variabel Intervening. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi IX Padang. Hall, James A. (Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary, Penerjemah).2009.Sistem Informasi Akuntansi. Buku 2. Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat. Handayani, Ririn. 2010. Analisis Faktor0Faktor yang Menentukan Efektivitas Sistem Informasi Pada Organisasi Sektor Publik. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 12 (1), pp:26-34. Indarsih, Atik. 2015. Pengaruh Teknologi Sistem Informasi Baru dan Kepercayaan Dalam
V. 5.1.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Terdapat hubungan yang positif dengan hasil signifikan dari pengaruh kecanggihan teknologi informasi terhadap kinerja individu. 5.2. Saran Penelitian ini diharapkan diteruskan oleh peneliti selanjutnya untuk mampu melihat
239
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Kinerja Individu (Survei Pada Karyawan Keuangan Universitas Muhammadiyah Surakarta). Skripsi Fakutas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ismail, N.A. dan King.M. 2007. Factors Influencing The Aligment of Accounting Information System in Small and Medium Sized Malaysian Manufacturing Firms. Journal of Information System and Small Business, 1 (1-2), pp:1-19. Jawabreh, omar.A.A. 2012. The Impact of Accounting Information System in Planning, Controlling, and Decision Making Processes in Jodphur Hatels. Asian Journal of Finance and Accounting. 4 (1), pp:173-188. Jogiyanto. 2000. Sistem Informasi Berbasis Komputer. Edisi Kedua. Yogyakarta:BPFE. Jumaili, Salman. 2005. Kepercayaan Terhadap Teknologi Sistem Informasi Baru dalam Evaluasi Kinerja Individual. Kumpulan Materi Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo, 15 – 16 September 2005. Mahsun, Mohammad. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Mulyadi. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta:Salemba Empat. Murty, Windy Aprilia dan Gunasti Hudiwinarsih. 2012. Pengaruh Kompensasi, Motivasi dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Akuntansi. The Indonesian Accounting Review, 2 (2), pp 215 – 228 Prawirosentono, Suyadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan. BBFE: Yogyakarta. Rahmawati, Diana. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Barpengaruh Terhadap Pemanfaatan Teknologi Informasi. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan , 5 (1), pp: 107:118. Raupeliene, Asta. 2003. Development of A Model For Evaluating The Effectiveness of Accounting Information Systems. Journal of Lithuanian UniversityI. pp:339-345. Sekaran, uma. 2006. Metode Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. Widjajanto, Nugroho. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta:Erlangga. Zare, I. 2012. Study of Effect of Accounting Information System and Softwares on Qualitative Features of Accounting Information. Journal of Management Science and Business Research, 1 (4), pp: 1-12.
240
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penggunaan Algoritma Hill Cipher Dalam Kriptografi T. Sukma Achriadi, Asmaidi Program Studi Teknik Informatika Politeknik Aceh Selatan Jl. Tentara pelajar, Komplek Reklamasi pantai E-mail:
[email protected]
Abstrak - Dalam keamanan komputer terdapat berbagai jenis keamanan yang dapat digunakan dalam algoritma kriptografi untuk mengamankan data atau informasi. Salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk mengenkripsi dan dekripsi data atau informasi adalah algoritma hill cipher. Algoritma hill cipher merupakan sandi polyalphabetic dengan menggunakan metode substitusi yang menggunakan perhitungan perkalian matriks. Kunci pada hill cipher adalah sebuah matriks K berukuran n x n yang dapat digunakan untuk mensubstitusi n alfabet sekaligus. Sandi hill memiliki ruang kunci yang besar sehingga sulit untuk diserang secara brute force dan dapat bertahan terhadap analisis frekuensi, dikarenakan substitusi yang tidak seragam. Hill cipher dapat dipecahkkan dengan analisis sandi yaitu dengan cara known plaintext attack. Kata kunci: Kriptografi, Kunci Matriks, Algoritma Hill Cipher.
Abstract - In computer security there are various types of security that can be used in cryptographic algorithms to secure data or information. One algorithm that can be used to encrypt and decrypt data or information is a cipher algorithm hill. Hill cipher algorithm is a polyalphabetic cipher by using the substitution method using a calculation matrix multiplication. On a hill cipher key is a matrix of size nxn K which can be used to substitute n alphabet at once. Password hill has a great room keys so it is difficult to be attacked by brute force and can withstand the frequency analysis, because substitution is not uniform. Hill cipher can dipecahkkan with a password that is by way of analysis known plaintext attack. Keywords: Cryptography, Key Matrix, Hill Cipher Algorithm. dipecahkan, namun dapat dipecahkan apabila kriptanalis memiliki ciphertext dan potongan plaintext-nya.
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi jaringan komputer menyebabkan terkaitnya satu komputer dengan komputer lainnya. Hal ini membuka banyak peluang dalam pengembangan aplikasi komputer, tetapi juga membuat peluang adanya ancaman terhadap pengubahan dan pencurian data. Oleh karena itu, untuk melindungi data terhadap akses, pengubahan dan penghalangan yang tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang, peranti keamanan data yang melintas di jaringan komputer harus disediakan dengan menggunakan sebuah keamanan komputer yang disebut dengan kriptografi dan keamanan jaringan. Kriptografi merupakan kumpulan peranti yang dirancang untuk melindungi komputer sehingga data pada komputer terlindungi. Dalam hal ini, pengamanan data membutuhkan algoritma kriptografi. Banyak algoritma yang dapat digunakan dalam pengamanan data, salah satunya yaitu algoritma hill cipher. Algoritma hill cipher merupakan algoritma kriptografi kunci simetris yang sulit dipecahkan. Jika kriptanalis hanya memiliki ciphertext saja maka hill cipher sangat sulit
2. TINJAUAN PUSTAKA Kriptografi Pada umumnya kriptografi terbagi atas 2 jenis yaitu kriptografi klasik dan kriptografi modern. Menurut Sadikin (2012), kriptografi klasik merupakan teknik penyandian dengan kunci simetri (konvensional) dan menyembunyikan pesan yang memiliki arti ke sebuah pesan yang terlihat tidak memiliki arti dengan metode substitusi (pergantian huruf) dan transposisi (pertukaran tempat). Sedangkan kriptografi modern merupakan ilmu yang bersandarkan pada teknik matematika untuk berurusan dengan keamanan informasi seperti kerahasiaan, keutuhan data dan otentikasi entitas. Kriptografi klasik memiliki beberapa sistem yang digunakan dalam teknik penyandian. Ada 5 bagian sistem kriptografi yaitu (Stinson, 2002):
241
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
1) Plaintext, merupakan pesan atau data dalam bentuk aslinya yang dapat terbaca / masukan bagi algoritma enkripsi. 2) Secret Key, merupakan nilai yang bebas terhadap teks asli dan menentukan hasil keluaran algoritma enkripsi. 3) Ciphertext, merupakan pesan dalam bentuk tesembunyi / tersandi. Algoritma enkripsi yang baik akan menghasilkan ciphertext yang terlihat acak. 4) Algoritma Enkripsi, berfungsi melakukan transformasi terhadap teks asli sehingga menghasilkan teks sandi. 5) Algoritma Dekripsi, berfungsi untuk mengembalikan teks sandi menjadi teks asli apabila kunci rahasia yang digunakan algoritma dekripsi sama dengan kunci rahasia yang digunakan algoritma enkripsi.
dekripsi sandi Hill melakukan perkalian invers matriks kunci dengan vektor teks sandi. Jika matriks kunci disebut dengan K, maka matriks K yang menjadi kunci harus merupakan matriks yang memiliki multiplicative inverse K-1. Kunci harus memiliki invers, dikarenakan matriks K-1 adalah kunci yang digunakan untuk melakukan dekripsi.
Gambar 2.2 Matriks K Operasi – operasi terhadap matriks juga didefinisikan sebagai penjumlahan matriks dan perkalian matriks. Matriks yang berelemen dari aritmatika modular Zp beroperasi sama saja dengan matriks biasa, hanya saja pada operasi dasar penjumlahan dan perkalian menggunakan aritmatika modular Zp. Enkripsi dan Dekripsi Enkripsi merupakan bagian dari kriptografi , dan merupakan hal yang sangat penting agar keamanan data yang dikirimkan dapat terjaga kerahasiaanya. Enkripsi dapat diartikan sebagai cipher atau kode, dimana pesan asli (plaintext) diubah menjadi kode-kode tersendiri sesuai metode yang disepakati oleh kedua belah pihak , baik pihak pengirim maupun penerima pesan (Andy, 2009). Sedangkand dekripsi merupakan proses mengembalikan sandi-sandi atau informasi yang telah diacak kebentuk file aslinya dengan menggunakan kunci atau kode (Munawar 2012).
Gambar 2.1 Kriptografi Simetris Dalam gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa A sebagai pesan asli (plaintext), dimana pesan tersebut akan disembunyikan. Pesan asli memiliki kunci untuk menyembunyikan pesan sehingga pesan asli yang diubah menjadi pesan tersandi disebut dengan enkripsi. Setelah kunci dimasukkan ke dalam pesan maka pesan akan berubah menjadi pesan tersandi (ciphertext) yang tidak dapat dibaca. Kemudian untuk mengembalikan pesan tersandi menjadi pesan asli yang dapat dibaca (dekripsi), maka dengan menggunakan kunci yang sebelumnya (kunci yang sama) pesan tersandi akan ditransformasi menjadi pesan asli (plaintext) sebagai B.
Algoritma Hill Cipher Hill cipher termasuk dalam salah satu kriptosistem polyalphabetic, yang berarti setiap karakter alphabetic dapat dipetakan kelebih dari satu macam karakter alphabetic yang dikategorikan sebagai block cipher. Hal itu dikarenakan teks yang akan diproses akan dibagi menjadi blok-blok dengan ukuran tertentu. Setiap karakter dalam satu blok akan saling mempengaruhi karakter lainnya dalam proses enkripsi dan dekripsinya, sehingga karakter yang sama tidak dipetakan menjadi karakter yang sama (Widyanarko, 2009). Teknik kriptografi Hill Cipher menggunakan sebuah matriks persegi sebagai kunci yang digunakan untuk melakukan enkripsi dan dekripsi. Hill Cipher diciptakan oleh Lester S. Hill pada tahun 1929. Hill
Kunci Matriks Pada beberapa sistem kriptografi matriks digunakan dalam operasi enkripsi ataupun dekripsi. Matriks adalah kumpulan nilai dalam bentuk tabel dengan ukuran m x n dengan m adalah jumlah baris dan n adalah jumlah kolom. Tiap elemen pada matriks terindeks berdasarkan indeks baris dan indeks kolom. Pada Hill Cipher kunci matriks menggunakan matriks berukuran 2 x 2 pada Zm untuk digunakan sebagai kunci pada sandi Hill. Fungsi enkripsi sandi Hill hanya melakukan perkalian matriks antara teks asli yang direpresentasikan sebagai vektor kolom dan kunci. Sedangkan fungsi
242
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Cipher tidak mengganti abjad yang sama pada plaintext dengan abjad lainnya yang sama pada ciphertext karena menggunakan perkalian matriks pada dasar enkripsi dan dekripsi.
Hasil dari penelitian ini adalah berupa suatu aplikasi yang dibangun dengan bahasa pemrograman Java yang bertujuan untuk melakukan enkripsi dan dekripsi suatu data atau informasi yang berbentuk teks. Pseudocode dari Hill Cipher adalah:
Teknik Enkripsi dan Dekripsi Hill Cipher Dasar teknik Hill Cipher adalah aritmatika modulo terhadap matriks. Dalam penerapannya, Hill Cipher menggunakan teknik perkalian matriks dan teknik invers terhadap matriks. Kunci pada Hill Cipher adalah n x n dengan n merupakan ukuran blok. Jika kunci disebut dengan K, maka yang menjadi kunci matriks adalah K-1. Proses enkripsi pada Hill Cipher dilakukan per blok plaintext. Ukuran blok tersebut sama dengan ukuran kunci. Sebelum membagi teks menjadi deretak blok-blok, terlebih dahulu setiap huruf alphabet dikonversi menjadi angka.
Gambar 3.1 Tampilan Awal Program Hill Cipher
Gambar 2.3 Alphabet Integer
Pada gambar di atas adalah sebuah aplikasi Java dari tampilan awal program Hill Cipher, dimana di dalam tampilan aplikasi tersebut pengirim pesan akan meng-inputkan nilai matriks 2 x 2, kemudian terdapat inputan plaintext yang akan di inputkan oleh si pengirim dan output dari Hill Cipher serta terdapat tombol pelaksana sesuai tampilan di atas.
Secara matematis, proses enkripsi pada Hill Cipher adalah: C = P.K mod n Keterangan: C : Ciphertext P : Plaintext K : Key mod : Modulo n : Jumlah blok Proses dekripsi pada Hill Cipher dasarnya sama dengan proses enkripsinya. Namun matriks kunci harus dibalik (invers) terlebih dahulu. Secara matematis, proses dekripsi pada Hill Cipher dapat diturunkan dari persamaan: P = C.K-1 mod n GCD (d, n) = 1
Gambar 3.2 Input Nilai Matriks Pada gambar di atas tersebut, si pengirim meng-inputkan nilai matriks dan kemudian nilai matriks tersebut akan menghasilkan nilai determinan dengan K-1 dengan menggunakan tombol pelaksana Cek Determinan.
Keterangan: P : Plaintext C : Ciphertext K-1 : Key invers GCD : The Greatest Common Divisor d : Determinan n : Jumlah blok
3. HASIL dan PEMBAHASAN
243
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 3.3 Proses Enkripsi Setelah determinan nilai matriks telah diterima, kemudian si pengirim dapat meng-inputkan plaintext berupa ILKOM, setelah itu nilai plaintext diubah menjadi nilai integer dan dikalikan dengan hasil nilai determinan matriks tersebut, maka akan didapat hasil enkripsinya dengan ciphertext XDKEP.
Gambar 3.4 Proses Dekripsi Setelah plaintext di enkripsi oleh si pengirim, maka si penerima pesan akan mengubah pesan yang tersandi menjadi pesan asli. Maka si penerima akan mendekripsi pesan tersebut dengan mnggunakan matriks K-1 sehingga akan di dapat determinan dan perkalian antara matriks ciphertext dengan matriks invers.
4. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil terhadap algoritma Hill Cipher dalam kriptografi data adalah: 1. Algoritma Hill Cipher merupakan algoritma klasik yang menggunakan teknik sandi simetri yang bersifat konvensional. 2. Algoritma Hill Cipher merupakan algoritma yang sulit dalam pemecahan sandinya dikarenakan menggunakan matriks sebagai kuncinya. 3. Penggunaan algoritma Hill Cipher sangat aman jika kriptanalis hanya memiliki ciphertext saja. 5. DAFTAR PUSTAKA Sadikin, Rifki. 2012. Kriptografi untuk Keamanan Jaringan. Yogyakarta: ANDI. Primartha, Rifkie. 2011. Penerapan Enkripsi dan Dekripsi File Menggunakan Algoritma DES. http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jsi/index. Halim, Abdul. 2013. Implementasi Algoritma Hill Cipher Dalam Penyandian Data. Vol.4
244
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Peningkatan Fitur Citra Intravascular Ultrasound Berdasarkan Nilai Mean Square Error (MSE) dan Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) Rial Fauza1, Septian Enggar Sukmana2 1
Teknik Elektronika, Akademi Komunitas Negeri Aceh Barat, Meulaboh 2
Teknik Informatika, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang
Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak - Citra Intravascular ultrasound dihasilkan dari sebuah tes yang menggunakan ultrasound untuk melihat keadaan pembuluh darah. Pemasangan kateter (katerisasi) jantung kepada pasien yang mengalami penyakit jantung koroner dilakukan berdasarkan hasil pencitraan Intravascular ultrasound . Proses katerisasi jantung yang bebas dari radiasasi sangat aman untuk pasien dibanding penggunaan mesin x-ray. Kualitas citra Intravascular ultrasound yang rendah dan banyak noise menjadi hambatan dalam proses katerisasi jantung. Peningkatan fitur citra Intravascular ultrasound sangat diperlukan untuk mendapatkan kualitas citra yang lebih baik dan mereduksi noise secara maksimal. Pada penelitian ini, teknik erosi dan metode yang penulis usulkan digunakan untuk meningkatkan kualitas citra Intravascular ultrasound . Selanjutnya, Nilai MSE dan PSNR dari kedua metode tersebut dibandingkan untuk mengetahui metode yang lebih baik. Berdasarkan hasil percobaan, metode yang penulis usulkan sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan teknik erosi untuk peningkatan fitur citra intravascular ultrasound.. Kata Kunci : Intravascular ultrasound , MSE, PSNR
peningkatan citra dapat dilakukan. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya [1]. Khandelwal dan kaur membuat studi perbandingan tentang perbedaan metode peningkatan kualitas citra. Metode yang dibandingkan adalah teknik inversion, metode gamma correction, metode thresholding, teknik subtraction, teknik contrast adjustment, dan teknik erosion [2]. Anjana, dkk melakukan penelitian tentang peningkatan citra warna menggunakan tepi citra berdasarkan histogram equalization. Hasil percobaan dibandingkan dengan beberapa percobaan citra dengan nilai PSNR. [3] Min goo boon dkk, menggunakan sharp filter untuk meningkatkan kualitas citra. Metodenya cukup berhasil untuk mendapat nilai MSE yang rendah dan nilai PSNR tinggi tetapi daerah samping citra kelihatan tidak jernih [4]. H. Hasan dkk menggunakan teknik gamma adjustment tapi gagal menjernihkan bagian pinggir citra tapi memperoleh nilai MSE dan PSNR yang sangat memuaskan [5]. Sarode dan deshmukh mereduksi speckle noise dan meningkatkan kualitas citra menggunakan teknik filtering. Mereka mereduksi speckle noise pada citra ultrasound dan SAR. Metode yang mereka gunakan meningkatkan nilai signal to noise rasio (SNR) [6]. Pradeep dan Balu melakukan studi perbadingan evaluasi PSNR untuk meningkatakan reduksi noise dari citra [7]. Sukmana telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan teknik denoising
1.
Pendahuluan Katerisasi jantung merupakan tindakan medis untuk mencegah lebih dini terjadinya penyakit jantung koroner. Tujuan utama dari prosedur ini untuk melebarkan pembuluh darah koroner yang mulai menyempit dengan menggunakan kateter khusus yang ujungnya mempunyai stent jantung. Stent jantung dimasukkan dan ditempatkan tepat pada bagian pembuluh darah jantung yang menyempit, sehingga penyempitan tersebut menjadi terbuka. Proses katerisasi jantung menggunakan mesin Intravascular ultrasound . Kualitas sebuah citra dikatakn bagus atau tidak berdasarkan persepsi dari manusia. Citra yang mempunyai tingkat kekontrasan yang baik, tajam, bebas dari noise banyak dipersepsikan sebagai citra berkualitas baik. Keberadaan noise dari citra Intravascular ultrasound diperoleh berdasarkan hasil capture dari dalam pembuluh darah manusia. Keadaan pembuluh darah yang lunak dan dipenuhi oleh benda cair (darah) menyebabkan citra Intravascular ultrasound dipenuhi banyak noise dan tingkat kekontrasan yang sangat rendah. Berbagai macam algoritma dan metode telah ditemukan dan digunakan untuk meningkatkan kekontrasan, ketajaman, mereduksi noise yang bertujuan mendapatkan sebuah citra yang berkualitas. Pada pengenalan wicara, citra medis, HDTV, aplikasi video processing dengan mengubah intensitas piksel dari sebuah citra
245
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
berbasis koefisien wavelet homogen menggunakan estimasi varian noise adaptif [8]. Pada penelitian ini, hasil metode yang penulis usulkan dibandingkan dengan hasil teknik erosi. Evaluasi metode dilakukan dengan menggunakan nilai MSE dan PSNR.
estimasi kesalahan (error) pada piksel misalnya piksel yang terganggu oleh kehadiran noise. Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) adalah perbandingan antara nilai maksimum dari sinyal yang diukur dengan besarnya noise yang berpengaruh pada sinyal tersebut. PSNR diukur dalam satuan desibel (dB). MSE dapat juga digunakan untuk mengukur kualitas citra yang terestimasi terkontaminasi noise. MSE dide_nisikan sebagai:
2.
Intravascular ultrasound Intravascular ultrasound adalah sebuah tes yang menggunakan ultrasound untuk melihat kedalam pembuluh darah. Hal ini sangat berguna untuk mengevaluasi pembuluh koroner yang menyuplai darah dan oksigen ke jantung. Intravascular ultrasound merupakan sebuah perangkat ultrasound kecil yang melekat pada bagian atas selang kecil yang disebut kateter. Kateter dan perangkat Intravascular ultrasound dimasukkan ke pembuluh darah di daerah pangkal paha samapi ke jantung. Hal ini berbeda dari Duplex ultrasound konvensional, yang dilakukan dari luar tubuh Anda dengan menempatkan transduser pada kulit. Intravascular ultrasound (IVUS) merupakan tambahan berharga untuk angiography, memberikan wawasan baru untuk diagnosis dan terapi penyakit koroner. Angiography hanya menggambarkan siluet 2D dari lumen, sedangkan IVUS memungkinkanPenilaian tomogra_ daerah lumen, ukuran plak, distribusi, dan komposisi. Keamanan dari IVUS baik didokumentasikan, dan penilaian dimensi luminal merupakan aplikasi penting dari prosedur ini. Studi banding menunjukkan perbedaan terbesar antara angiography dan ultrasound setelah mechanical interventions. Tingkatan dan kronis penyakit dengan angiography dan ultrasound sering menyimpang [9]. Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan intracoronary ultrasound terdiri dari 2 komponen utama, kateter yang digabungkan dengan transducer yang berukuran sangat kecil dan konsol elektronik yang diperlukan untuk merekonstruksi gambar. Frekuensi tinggi ultrasound yang digunakan, biasanya berpusat di 20 sampai 50 MHz dan memberikan resolusi yang sangat baik. Pada 30 MHz, panjang gelombang adalah 50 mm, menghasilkan sudut resolusi 150 mm. Penentu resolusi lateral lebih rumit dan tergantung pada kedalaman pencitraan, rata-rata 250 mm pada diameter koroner. Ukuran kateter saat ini berkisar antara 0,87-1,17 mm dan dapat ditempatkan melalui kateter [9].
E: adalah operator yang diharapkan untuk standar estimasi yang dilakukan, sedangkan f adalah citra yang terkontaminasi noise. PSNR secara matematis dapat didefinisikan sebagai berikut:
Max adalah nilai sinyal maksimum yang terdapat pada citra asli. [8] 4.
Teknik Erosi Erosi adalah operasi morphologi yang akan mengurangi pixel pada batas antar objek dalam suatu citra digital. Proses erosi dilakukan untuk mengecilkan atau menipiskan objek dari citra biner. Operasi ini menggunakan aturan sebagai berikut: “Untuk gambar grayscale maka nilai hasil operasi (output pixel) adalah nilai minimal yang diperoleh dari himpunan pixel tetangganya. Dalam binary image, jika ada pixel tetangga yang bernilai 0 maka output pixel akan diset menjadi 0” seperti ditunjukkan pada gambar 1 dibawah ini. [12]
Gambar 1. Proses erosi pada grayscale image 5.
Metode Usulan Gambar 2 merupakan tahapan-tahapan metode yang penulis lakukan untuk melakukan penelitian ini.
3.
Perhitungan nilai Mean Square Error (MSE) dan Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) MSE merupakan bentuk estimasi kesalahan yang terdapat dalam sebuah citra. Pengukuran MSE bertujuan untuk melakukan
246
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
mempersempit jangkauan dari data. Pada gambar tersebut, piksel dengan nilai intensitas lebih kecil dari 102 dijadikan 0, sehingga daerah kelihatan abu-abu menjadi lebih gelap. Sedangkan nilai piksel 103-255 diatur sehingga mendapatkan nilai histogram yang lebih merata.
Gambar 2. Tahapan Metode usulan Tahapan-tahapan metode yang penulis lakukan untuk melakukan perbaikan kualitas citra Intravascular ultrasound dimulai dengan tahapan adaptive histogram equalization, adjust image, dan gaussian low pass filter. Setelah proses perbaikan fitur citra berhasil dilakukan, proses selanjutnya menghitung nilai MSE dan PSNR dari citra. 5.1. Adaptive Histogram Equalization (AHE) Tujuan dari penggunaan tahapan ini adalah untuk meningkatkan kekontrasan citra. Parameter yang penulis lakukan pada penelitian ini merupakan nilai default dari AHE. Gambar 3 menunjukkan perbedaan nilai histogram citra sebelum dan sesudah penggunaan AHE.
Gambar 3. Penggunaan adjust image, (a). Citra asal (b). histogram citra asal (c). Citra output setelah penggunaan adjust image (d). Histogram citra output setelah penggunaan adjust image 5.3. Gaussian low pass Filter (GLPF) Low pass filter adalah filter-filter yang mempunyai sifat dapat meloloskan yang berfrekuensi rendah dan menghilangkan yang berfrekuensi tinggi. Efek filter ini membuat perubahan keabuan menjadi lebih lembut. Filter ini berguna untuk menghaluskan noise atau untuk kepentingan interpolasi tepi objek dalam citra. Gaussian low pass filter merupakan salah satu metode yang menggunakan low pass filter. GLPF digunakan untuk menghaluskan (smoothing) atau memblurkan citra dan menghapus noise. Smoothing dicapai dalam domain frekuensi dengan pelemahan frekuensi tinggi. Smoothing dapat membantu menghilangkan noise yang disebabkan oleh frekuensi tinggi. Fungsi GLPF dapat dituliskan seperti pada persamaan dibawah ini [11]
Gambar 3: a).Nilai histogram dari citra masukan b). Nilai histogram setelah penggunaan AHE Perubahan nilai histogram berdasarkan Gambar 2 menjadikan citra yang sudah melalui proses AHE menjadi lebih kontras dari sebelumnya. Perubahan kekontrasan ini tentunya sangat membantu untuk peningkatan fitur citra pada proses selanjutnya. 5.2. Adjust Image Adjust Image digunakan untuk menyesuaikan nilai intensitas pada sebuah citra, dimana dapat ditentukan rentang nilai intensitas tertentu pada output citra. kisaran nilai input dan nilai output dapat ditentukan dengan menggunakan adjust image. Rentang nilai ini ditentukan dalam dua vektor, vektor pertama menentukan rendah dan tinggi nilai-nilai intensitas yang ingin dipetakan. Vektor kedua menentukan skala di mana kita ingin memetakannya [10]. Sebagai contoh penggunaan adjust image pada gambar 4, mengatur kontras citra dengan
Dimana σ (sigma) adalah sebaran dari fungsi gaussian. (m;n) adalah titik tengah dari fungsi gaussian. Penggunaan GLPF ditunjukkan pada Gambar 5 dibawah ini.
247
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Citra 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Gambar 5. Penggunaan gaussian low pass filter, (a). Citra asal (b). Citra output setelah penggunaan gaussian low pass filter 6. Hasil Penelitian 6.1. Skenario Pengujian Pada penelitian ini, pengujian dilakukan dengan melakukan percobaan untuk setiap citra masukan yang berjumlah 29 citra. Kelemahan dari citra Intravascular ultrasound adalah berkualitas rendah dan keberadaan noise yang sangat banyak. Proses pengujian dilakukan dengan cara menguji citra masukan satu persatu sehingga semua citra masukan telah dilakukan pengujian. Skenario pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai MSE dan PSNR dari teknik erosi dan metode usulan untuk selanjutnya dibandingkan sehingga bisa diambil sebuah kesimpulan. 6.2. Citra keluaran berdasarkan teknik erosi dan teknik usulan. Setelah melakukan proses pengujian dari citra masukan yang berjumlah 29 citra, didapatlah citra keluaran berdasarkan teknik erosi dan metode usulan. Gambar 6 dibawah ini merupakan contoh citra keluaran dari citra masukan ke 5 dari teknik erosi dan metode usulan.
6.4. Evaluasi Peningkatan Fitur Citra Intravascular ultrasound Berdasarkan nilai MSE dan PSNR Nilai MSE sangat mempengaruhi nilai PSNR. Semakin tinggi nilai MSE maka nilai PSNR semakin rendah dan sebaliknya, jika nilai MSE semakin kecil maka nilai PSNR semakin tinggi. Peningkatan fitur citra dipengaruhi oleh nilai PSNR. Semakin tinggi nilai PSNR, kualitas citra semakin bagus. Pada penelitian ini dengan menggunakan metode usulan nilai PSNR semakin besar dibandingkan dengan menggunakan teknik erosi . Oleh sebab itu, peningkatan fitur citra dengan metode usulan lebih bagus dibandingkan teknik erosi. Perbedaan nilai PSNR yang sangat kecil diantara kedua metode tersebut menunjukkan peningkatan fitur citra diantara kedua metode tersebut tidaklah terlalu jauh. Selain itu, secara visual terlihat citra keluaran dari metode usulan mempunyai kekontrasan citra yang lebih baik dibandingkan teknik erosi .
6.3. Pengujian Nilai MSE dan PSNR Tabel 1 dibawah ini merupakan tabel perbandingan nilai MSE dan PSNR dari teknik erosi dan metode usulan berdasarkan 29 citra masukan Intravascular ultrasound .
1 2 3 4
Metode Usulan MSE PSNR 699.31 19.72 dB 1864.69 15.46 dB 1287.75 17.07 dB 877.70 18.73 dB 930.17 18.48 dB 890.88 18.67 dB 914.63 18.55 dB 3253.32 13.04 dB 2405.92 14.35 dB 2313.95 14.52 dB 3290.07 12.99 dB 1346.89 16.87 dB 2302.24 14.54 dB 1242.46 17.22 dB 1405.38 16.69 dB 1734.83 15.77 dB 1238.62 17.24 dB 1453.40 16.54 dB 983.61 18.24 dB 2291.14 14.56 dB 1430.57 16.61 dB 1818.48 15.57 dB 1469.14 16.49 dB 1652.42 15.98 dB 1566.68 16.21 dB
Berdasarkan nilai pengujian diatas, gambar 7 dan 8 pada bagian lampiran merupakan nilai perbandingan MSE dan PSNR dari teknik erosi dan metode usulan dalam bentuk grafik.
Gambar 6. Citra masukan/original (a), Citra keluaran dari teknik erosi (b), citra keuaran dari metode masukan (c)
Citra
Teknik Erosi MSE PSNR 5197.97 11.01 dB 6560.11 10.00 dB 3177.76 13.14 dB 2157.36 14.83 dB 2561.36 14.08 dB 2071.27 15.00 dB 2268.36 14.61 dB 9302.26 8.48 dB 3921.92 12.23 dB 3167.28 13.16 dB 2776.47 13.73 dB 6268.37 10.19 dB 6869.93 9.80 dB 5645.81 10.65 dB 7338.72 9.51 dB 5341.99 10.89 dB 5402.75 10.84 dB 2469.80 14.24 dB 2528.59 14.14 dB 6529.75 10.02 dB 4304.54 11.83 dB 2078.41 14.99 dB 1721.16 15.81 dB 2493.91 14.20 dB 2811.80 13.67 dB
Tabel 1. Pengujian nilai MSE dan PSNR Teknik Erosi Metode Usulan MSE PSNR MSE PSNR 2743.15 13.78 dB 2491.52 14.20 dB 2267.74 14.61 dB 1763.62 15.70 dB 4452.06 11.68 dB 1144.07 17.58 dB 11779.56 7.45 dB 2020.39 15.11 dB
7.
Kesimpulan Kesimpulan dari penilaian ini, nilai MSE dari teknik erosi lebih kecil dibandingkan dengan
248
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
metode usulan. Sedangkan nilai PSNR teknik erosi sedikit lebih rendah dibandingkan metode usulan. Oleh karena itu peningkatan fitur citra pada metode usulan lebih baik dibanding teknik erosi. Tahapantahapan yang penulis lakukan pada metode usulan yaitu adaptive histogram equalization, adjust image, dan gaussian low pass filter.
Images Using Filtering Technique” ernational Journal of Advancements in Technology ISSN 0976-4860 [7] Pradeep, M., Balu. S., “Comparative Study of PSNR Evaluation for Enhancing the De-Noisy Image” International Journal of Advanced Research in Computer Science and Software Engineering Volume 3, Issue 2, February 2013 ISSN: 2277 128X [8] Sukmana, S. E., “Denoising citra berbasis estimasi varian adaptif”, Master Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), 2015 [9] Steven E. Nissen, M. dan Paul Yock, M. (2001), Intravascular ultrasound Novel Pathophysiological Insights and Current Clinical Applications, Circulation 103:604616 . [10] Team, M. (2004), Image Processing Toolbox version 5, The MathWorks, Inc. [11] Bovik, A. (2000), Image & Video Processing, Academic Press. [12] Wirayuda, T. A. B., “Pemanfaatan Operasi Morphologi Untuk Proses Pendeteksian Sisi Pada Pengolahan Citra Digital”, Seminar Nasional Sistem dan Informatika 2006; Bali, November 17, 2006 SNSI06-018
8.
Penelitian Selanjutnya Penenlitian yang sangat minim tentang Intravascular ultrasound membuka peluang untuk penelitian selanjutnya dibidang ini misalnya peningkatan fitur citra Intravascular ultrasound berbasis video, segmentasi bagian-bagian dari citra Intravascular ultrasound ataupun penelitian terkait rekonstruksi citra 3 dimensi berdasarkan citra 2 dimensi dari Intravascular ultrasound . Daftar Pustaka [1] Knee Manish,“A single-ended picture quality measure for MPEG-2,” In Proc. Int. Broad., Convention (IBC 2000), Vol.34, Sep. 2015, pp. 95–100. [2] Khandelwal, P. Dan Kaur, G. “Comparative study of different image enhancement technique” IJECT Vol.7, Issue 2, April - June 2016 [3] Anjana, N. Dkk “Color image enhancement using edge based histogram equalization” Indian Journal of Science and Technology, Vol 8(29), DOI: 10.17485/ijst/2015/v8i29/83974, November 2015 [4] Goo Choi Min, Jung Hoon,“Image Quality Assessment Using Blur & Noise”, World Academy of Science Engineering & Vol. 28 No.12, pp. 56-63,January 2009, pp. 56-63. [5] Hassanpour H., S. Asadi Amiri,“Image quality enhancement using pixel-wise gamma correction via svm classifier”, Vol. 24, No. 4, IJE, December 2011, pp. 67-72. [6] Sarode, M.V., Deshmukh, P. R., “Reduction of Speckle Noise and Image Enhancement of Lampiran
249
Citra 1 Citra 2 Citra 3 Citra 4 Citra 5 Citra 6 Citra 7 Citra 8 Citra 9 Citra 10 Citra 11 Citra 12 Citra 13 Citra 14 Citra 15 Citra 16 Citra 17 Citra 18 Citra 19 Citra 20 Citra 21 Citra 22 Citra 23 Citra 24 Citra 25 Citra 26 Citra 27 Citra 28 Citra 29 Citra 1 Citra 2 Citra 3 Citra 4 Citra 5 Citra 6 Citra 7 Citra 8 Citra 9 Citra 10 Citra 11 Citra 12 Citra 13 Citra 14 Citra 15 Citra 16 Citra 17 Citra 18 Citra 19 Citra 20 Citra 21 Citra 22 Citra 23 Citra 24 Citra 25 Citra 26 Citra 27 Citra 28
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Perbandingan Nilai MSE
14400:00:00
12000:00:00
9600:00:00
7200:00:00
4800:00:00
2400:00:00
0:00:00
Teknik Erosi Metode Usulan
Gambar 7. Grafik perbandingan nilai MSE dari teknik erosi dengan metode usulan
Perbandingan nilai PSNR
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Teknik Erosi
Metode Usulan
Gambar 8. Grafik perbandingan nilai PSNR dari teknik erosi dengan metode usulan
250
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Pembuatan Alat Pengasapan Ikan Untuk Meningkatkan Pendapatan Nelayan Fazri1, Taufan Arif Adlie2, Zainal Arif3 1,2,3
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Samudra Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected].
Abstrak – Industri pengasapan ikan rumah tangga di gampong Baroh Langsa Lama belum menggunakan alat pengasapan ikan untuk mengolah hasil tangkapan ikan. mereka masih menggunakan proses pengolahan ikan secara tradisional, sehingga alat pengasapan ikan berteknologi belum menjadi perhatian yang serius dari masyarakat, padahal produk ikan asap mempunyai prospek yang relatif baik dan higienis. Oleh karena itu perlu upaya penyediaan alat pengasapan ikan. Hal ini juga didukung dengan ketersediaan bahan baku ikan hasil tangkapan nelayan Baroh Langsa Lama. Pada penelitian ini, telah dibuat satu unit alat pengasapan ikan berkapasitas 10kg. Alat pengasapan ini di desain menggunakan kipas manual dan kipas listrik (blower mini). Pengujian unjuk kerja ruang pengasapan dilakukan menggunakan sampel 2,6 kg ikan, dengan bahan bakar biomassa (tempurung kelapa dan arang bakau). Variabel yang diukur adalah perubahan berat ikan, dan perubahan berat bahan bakar. Hasil pengujian menunjukkan temperatur ruangan adalah 28-400C, setelah 4 jam pengasapan dengan Tempurung Kelapa dan Arang bakau. Perubahan kandungan air terbesar terjadi setelah selama 2 jam pengujian. Kelembaban relatif akhir pada ikan masing-masing adalah 81,5% menggunakan Tempurung Kelapa dan 90,3% menggunakan Arang Bakau. Kata kunci : Pengasapan Ikan, Biomassa, Temperatur Abstract Fish curing home industry in village Baroh, Langsa Lama, was operated in a traditional way without using any fish smoking kiln, and therefore, the fish curing technology has never been a serious concern to the community, the smoked fish products have relatively good prospects and hygienic. Therefore, it is a necessary efforts to provide better fish curing tool. This is also supported by the availability of raw material fish caught by fishermen. In this study, it has been developed a 10kg capacity fish smokehouse. It was equipped using manual fan and an electric fan (mini blower). Testing of smoking chamber was carried out using a sample of 2.6 kg of fish, with coconut and mangrove charcoal. Change in weight of the fish and weight of fuel was measured. The test results showed that the chamber temperature is 28-400C, after 4 hours fumigation with Coconut Shell Charcoal and mangroves. The moisture content was changed occurred after 2 hours of testing. Relative humidity of smoked fish product was 81.5% using Coconut Shell Charcoal and 90.3% using mangrove charcoal. Keyword : fish smoking kiln, biomass, temperature
I.
pengolahan ikan skala rumah tangga. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga kualitas produksinya. Maka diperlukan pengawetan ikan dengan cara pengasapan. Dalam pembuatan pengasapan ikan, tenaga kerja yang di gunakan adalah anggota keluarga sendiri. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di daerah penelitian ini, jumlah industri pengasapan ikan rumah tangga dengan menggunakan alat pengasapan yang berteknologi untuk saat ini belum ada. Usaha pengasapan ikan merupakan upaya untuk mendapatkan nilai tambah dari produk perikanan. Dari survey juga dapat diidentifikasi bahwa gampong tersebut merupakan wilayah yang berpotensi bagi pengembangan pembuatan pengasapan ikan. Potensi pengembangan pembuatan pengasapan ikan lebih lanjut dapat dijadikan indikator awal bagi pengembangan skala usaha sekaligus peluang potensi peningkatan pendapatan gampong.
PENDAHULUAN
Menurut data dari Kecamatan Langsa Lama, Jumlah Penduduk gampong baroh langsa lama pada tahun 2015 sebanyak 3.486 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 1740 jiwa dan penduduk perempuan 1746 jiwa jumlah kepala keluarga 801. Dilihat dari mata pencaharian penduduk gampong baroh langsa lama sebagian besar adalah nelayan. Keadaan ini menunjukan bahwa gampong baroh langsa lama merupakan daerah sektor perikanan tangkap potensial salah satu jenis tangkapan adalah ikan. Kota Langsa terdapat beberapa gampong yang menjadi sentra perikanan tangkap berskala kecil. Salah satunya adalah gampong baroh langsa lama yang menjadi sentra nelayan di kota Langsa. Kelompok nelayan di Gampong Baroh Langsa Lama dapat memproduksi ikan 20-40 kg/hari bahkan pada musim ikan dapat mencapai 60-80 kg/hari. Selain pengolahan secara kelompok, di gampong ini juga menjadi sentra 251
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
dari kegiatan penelitian adalah pembuatan alat pengasapan yang dapat digunakan untuk skala rumah tangga dengan menggunakan beberapa bahan bakar sebagai sumber pengasapannya. Alat pengasapan ini didesain dengan kapasitas sedang dan terbuat dari bahan-bahan yang tersedia dari lokal. Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan alat pengasapan ikan untuk kapasitas produksi 10 kg. Pembuatan dilakukan menggunakan sampel ikan lele dengan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK) dan bahan bakar arang bakau (BBSK). Alat ini ditujukan untuk mengetahui distribusi temperatur dalam ruang pengasapan, kebutuhan bahan bakar, dan kendungan air ikan akhir yang mampu diperoleh.
Gambar 2. Tempat Penampungan Ikan.
Sistem pengasapan mengunakan sistem manual yaitu dengan bahan bakar yang proses pengasapan dapat berlangsung beberapa jam guna untuk mengurangi kadar air yang ada pada ikan yang diolah. Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Kadar air suatu bahan dapat dinyatakan dalam dua cara yaitu: berdasarkan bahan kering (Dry Basis) dan berdasarkan bahan basah (Wet Basis). Kadar air secara dry basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Kadar air secara wet basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan basah. Persamaan untuk menentukan kadar air (Suwarno dan Prasetyo, 2008; Irfan, 2008). Adamu, I. G, dkk, telah melakukan desain dan konstruksi ruangan pengasapan ikan dengan tujuan meningkatkan performan ruang pengasapan yang telah ada. Modifikasi dilakukan pada ruang bakar dengan menambah lubang-lubang ventilasi, dan digunakan fan sebagai penyedia udara dalam ruang bakar. Hasil pengujian diperoleh, kinerja ruang pengasapan yang dirancang dan dibuat mampu menurunkan kadar air ikan mencapai 11,46% dalam rentang waktu rata-rata 5 jam, dan berat akhir rata-rata ikan kering adalah 0,9827 Kg. Ditemukan bahwa ikan dapat disimpan untuk dua bulan sebelum menunjukkan tanda pembusukan.(Adamu, I. G., Kabri, H. U., Hussaini, I. D. And Mada, 2013). Emmanuel M.A. Melakukan perancangan, pembuatan dan pengujian ruang pengasapan dengan kapasitas pengasapan mencapai 210 kg. Sampel digunakan ikan lele jumbo, bahan bakar yang digunakan kayu. Dari hasil pengujian diperoleh temperatur operasional rata-rata adalah 80oC dan pengurangan kadar air dalam ikan mencapai 60%. (Adigio, Adeyemo, and Awosusi 2015). Ketersediaan alat pengasapan tidak dapat memenuhi kebutuhan industri kecil atau usaha dengan skala rumah tangga, karena bahan yang akan diasapkan hanya dalam jumlah sedang. Oleh karena itu tujuan
II.
METODE PENELITIAN
Diagram alir pelaksanaan penelitian ini dapat dilih at Mulai pada gam bar 3 Observasi Lapangan G amba r 3. Diagr am alir pelak sanaa n penel itian
Persiapan Studi Literatur
Rancang Bangun Alat Pengasapan dan Pembuatan Alat Setting Alat Y Tidak a Penguji an
P Ya eneli tian Pengambilan Data dilak sana kan Hasil dan Kesimpulan di labor atori Selesai um teknik mesin pada bulan Oktober 2016. Adapun rancangan bagian-bagian alat pengasapan ini yaitu: 1. Kerangka Terdiri dari besi siku 25 mm x 25 mm. Besi siku dipotong dan dilas bersama-sama untuk membentuk kerangka alat pengasapan ikan dengan ukuran 570 mm x 300 mm x 580 mm dengan panjang, lebar dan tinggi masing-masing. 252
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
2. Nampan atau wadah ikan Adalah wadah dimana ikan akan dimuat dan dilakukan pengasapan. Wadah ini dibuat dari lembaran logam dan kawat mesh dengan ukuran panjang 4.980 mm, lebar 290 mm dan tinggi 50 mm. 3. Baki bahan bakar Adalah wadah untuk membakar bakar arang bakau untuk menyediakan energi untuk pengasapan ikan. Wadah ini dibangun dari lembaran logam yang tebalnya 1 mm dan memiliki dimensi panjang 490 mm, lebar 290 mm dan tinggi 100 mm.
4. Pegangan Handle Pegangan dibuat dari batangan besi yang berfungsi untuk mengontrol kecepatan kipas yang memberikan udara untuik pembakaran efektif bakar arang bakau. 5. Kipas aksial Kipas aksial ini memiliki diameter 20 mm dengan ketebalan masing-masing sudu 1 mm. Kipas dihubungkan dengan poros pada sprocket kecil dan langsung menghadap baki arang yang terletak 10 mm di bawah baki ikan.
Gambar 4. alat pengasapan ikan
III.
dibuka agar untuk mengurangi asap keruang pengasapan ketika akan dilakukan penimbangan pada ikan. 2. Suhu temperatur sangat tinggi, itu disebabkan karena terlalu banyaknya bahan bakar yang dimasukan kedalam tungku pembakaran, dan saat bahan bakar dalam tungku terbakar seluruhnya, tejadilah kenaikan suhu temperatur yang tinggi dan terlihat extrim. 3. Terlihat temperature yang tidak stabil yang disebabkan karena suhu yang masuk keruang pengasapan tidak dapat dikondisikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini digunakan sampel 3 kg ikan lele, dengan bahan bakar tempurung kelapa dan bahan bakar arang bakau. Sebelum melakukan kelayakan terhadap ikan, ikan dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya. Selanjutnya ikan dibelah menjadi 2 sisi, kemudian ikan dibersihkan lagi dicuci agar tidak ada darah dan kotoran pada ikan yang akan diasapkan sehingga menjadi 2.6 kg. Setelah itu ikan ditiriskan selama kira-kira kurang lebih 30 menit, kemudian ikan diletakkan disusun di rak-rak pengasapan. Pengujian menggunakan uap asap yang berasal dari bahan bakar tempurung kelapa dan bahan bakar arang bakau, pengujian ini dilakukan selama 4 jam, dan Pengambilan data per 10 menit. Tampak bahwa temperature pada titik T1, T2, T3, dan T4 tidak stabil atau tidak terkondisikan, diantara keempat titik tersebut, temperatur pada titik T2 telihat extrim, hal itu disebabkan karena: 1. Temperatur telihat menurun drastis, itu disebabkan karena penambahan bahan bakar, kemudian pintu pada tungku pembakaran dan ruang pengasapan
Perubahan berat ikan, dan berat bahan bakar yang digunakan diukur menggunakan timbangan pegas. Gambar 5 memperlihatkan ruang pengasapan yang telah dibuat dan pelaksanaan pengujian. Selama pelaksanaan penelitian, perubahan berat ikan dicatat setiap 1 jam, dan pada awal pengujian bahan bakar yang diguanakan masing-masing 2,5 kg. Bahan bakar akan ditambah pada saat temperatur dalam asap masuk ruang pengasapan telah < 65oC. Alat pengasapan ini di desain menggunakan kipas manual dan kipas listrik
253
(blower mini), pengukuran akan dilakukan dengan mengunakan kipas manual dan kipas listrik.
300 250 150 100
16:28:31
16:08:31
15:48:31
15:28:31
15:08:31
14:48:31
14:28:31
14:08:31
13:48:31
13:28:31
13:08:31
0
12:48:31
50 12:28:31
Temperatur, T (°C)
200
82 81 80 79 78 77 76 75 74
Kelembaban, Rh (%)
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Waktu t (s) T1
T2
T3
T4
Rh
Gambar 7. Pengujian dengan menggunakan Bahan Bakar Arang bakau, Kipas Manual
250
85 84
200
83
150
82
100
81
12:15:15
11:55:15
11:35:15
11:15:15
10:55:15
10:35:15
10:15:15
09:55:15
09:35:15
79
09:15:15
0
08:55:15
80 08:35:15
50
Waktu t (s) T2
T3
T4
Rh Temperatur, T (°C)
T1
Gambar 6. Pengujian dengan menggunakan Bahan Bakar Tempurung Kelapa, Kipas Manual
Dilakukan penambahan bahan bakar guna mempertahankan temperatur dalam ruang pengasapan berada pada kisaran 28-400C. Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan menggunakan bahan bakar tempurung mencapai 1010C, dan temperatur cerobong pengasapan mencapai 770C. Pengujian pengasapan pada gambar 6, menggunakan bahan bakar tempurung kelapa dihentikan setelah terlihat tidak adanya perubahan berat sampel ikan, dan diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk pengujian selama 4 jam. Rh (%) awal berupa 85,6 sampai dengan 81,5.
300 250 200 150 100 50 0
82 81 80 79 78 77 76 75 74
Kelembaban, Rh (%)
86 Kelembaban, Rh (%)
300
08:15:15
Temperatur, T (°C)
Gambar 5. Ruang Pengasapan Ikan
12:28:31 12:43:31 12:58:31 13:13:31 13:28:31 13:43:31 13:58:31 14:13:31 14:28:31 14:43:31 14:58:31 15:13:31 15:28:31 15:43:31 15:58:31 16:13:31 16:28:31
Dari gambar terlihat kenaikan temperatur asap masuk ruang pengasapan sangat cepat dan sangat tidak stabil. Hal ini disebabkan bahan bakar arang bakau yang memiliki kandungan unsur mudah terbakar yang tinggi. Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan menggunakan bahan bakar ini mencapai 1010C, temperatur ruang pengasapan berkisar pada (28–39)0C, dan temperatur pada bagian ceroboh mencapai 910C. Dan dari grafik perubahan temperatur juga terlihat kesulitan dalam mempertahankan kondisi temperatur asap masuk ruang pengasapan. Adapaun Rh (%) diperoleh dimana awal berupa 83,1 sampai dengan 79,4.
Waktu t (s) T1
T2
T3
T4
Rh
Gambar 8. Pengujian dengan menggunakan Bahan Bakar Tempurung Kelapa, Kipas Listrik
Pada gambar 8, temperatur dalam ruang pengasapan berada pada kisaran 28-390C. Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan menggunakan bahan bakar tempurung mencapai 1010C, dan temperatur cerobong pengasapan mencapai 91,30C. Dianggap kering setelah terlihat tidak adanya
254
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
perubahan berat sampel ikan, dan diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk pengujian selama 4 jam. Rh (%) awal berupa 80,2 sampai dengan 89,2
200 150 100
20:30:18
20:10:18
19:50:18
19:30:18
19:10:18
18:50:18
18:30:18
18:10:18
17:50:18
17:30:18
17:10:18
0
16:50:18
50
90 88 86 84 82 80 78 76 74
DAFTAR PUSTAKA [1] Adamu, I. G, Kabri, H. U, Hussaini, I. D. And Mada. 2013. “Design and Construction of Fish Smoking Kiln.” Journal of Engineering and Technology Research Vol. 5(1)(DOI: 10.5897/JETR-12-042): 15–20. [2] Adigio, Emmanuel Munakurogha, Abiodun Oluseye Adeyemo, and Damilola Awosusi. 2015. “Design , Fabrication and Operation of a Smoking Kiln.” (3): 293–96. [3] Adigio, Emmanuel Munakurogha, Abiodun Oluseye Adeyemo, and Damilola Awosusi. 2015. “Design , Fabrication and Operation of a Smoking Kiln.” (3): 293–96. [4] Komolafe, C a et al. 2011. “Design and Fabrication of a Convective Fish Dryer .” The Pacific Journal of Science and Technology 12(1): 89–97.
Kelembaban, Rh (%)
250
16:30:18
Temperatur, T (°C)
300
pendapatan masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang pengolahan ikan.
Waktu t (s) T1
T2
T3
T4
Rh
Gambar 9. Pengujian dengan menggunakan Bahan Bakar Arang bakau, Kipas Listrik
Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan pada gambar 9 mencapai 58-1010C, temperatur ruang pengasapan berkisar pada (27–37)0C, dan temperatur pada bagian ceroboh mencapai 970C. Dan dari grafik perubahan temperatur juga terlihat kesulitan dalam mempertahankan kondisi temperatur asap masuk ruang pengasapan. Adapaun Rh (%) diperoleh dimana awal berupa 86,3 sampai dengan 90,3. Setelah pelaksanaan pengujian, ikan asap dilakukan pengepakan dan dilakukan pengamatan selama 5 hari. Dari hasil pengamatan terlihat tidak ada perubahan terhadap bau dan warna permukaan ikan, dan juga rasa. Dari hasil pengujian ini dapat simpulkan bahwa ruang pengasapan hasil pengujian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang pengolahan ikan.
IV.
BIODATA PENULIS Penulis bernama Fazri, S.T., M.T. Lahir di Langsa 31 tahun yang lalu tepatnya 02 November 1985. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik (S.T.) pada tahun 2010 di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana (M.T.) pada tahun 2015 juga di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Penulis merupakan Dosen tetap pada Program Studi Teknik Mesin Universitas Samudra – Kota Langsa Aceh dan dapat dikontak melalui email :
[email protected].
KESIMPULAN Taufan Arif Adlie, S.T., M.T. Lahir di Langsa 39 tahun yang lalu tepatnya 3 Oktober 1977. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik (S.T.) pada tahun 2002 di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana (M.T.) pada tahun 2012 juga di Perguruan Tinggi yang sama. Saat ini penulis sedang mengikuti kuliah pada Program Studi Doktor Ilmu Teknik Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Darussalam
Penelitian ini telah berhasil membuat dan menguji satu unit alat pengasapan ikan dengan kapasitas produksi 10 kg dengan waktu pengasapan 4 jam. Hasil pengujian menngunakan bahan bakar tempurung kelapa dan bahan bakar sekam kayu mampu menyediakan cukup panas dan asap untuk mengeringkan ikan sampel lele. Dari hasil penelitian telah dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat pengasapan pada kapasitas produksi sebagaimana hasil rancangan dan aplikasinya dalam kegiatan ini, dapat dijadikan sebagai rujukan dalam usaha peningkatan
255
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Banda Aceh. Penulis merupakan Dosen tetap pada Program Studi Teknik Mesin Universitas Samudra – Kota Langsa Aceh.
Zainal Arif, S.T., M.T. lahir di Langsa, Indonesia pada tahun 1972. Beliau mendapatkan gelar sarjana pada bidang Teknik Mesin di Universitas Pasundan (Unpas) pada tahun 1996, mendapatkan gelar Magister Teknik Mesin dibidang Matrial dan Struktur di Universitas Sumatra Utara (USU) pada tahun 2012. Beliau merupakan dosen pada Fakultas Teknik Universitas Samudra di Langsa dan saat ini sedang dalam penyelesaian study program Doktor Ilmu Teknik di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Penelitian yang diminati diantaranya adalah tentang material komposit. Zainal Arif dapat dijumpai di Program Studi Teknik Mesin, Jl. Kampus Meurandeh, Kota Langsa, Indonesia 24416 atau dapat dikontak melalui email:
[email protected].
256
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Penyaringan Air Untuk Ayam Pedaging Bagi Kapasitas Industri Iskandar1, Nazaruddin2, Asmadi Suria3 1,2 3
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Samudra, Kota Langsa – Aceh 24416 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Samudra, Kota Langsa – Aceh 24416 Email :
[email protected]
Abstrak - Pengolahan air baku dalam rangka menurunkan tingkat kesadahan (ca dan mg) dan kandungan logam-logam berat (fe, mn dan zn) dalam contoh air baku telah dilakukan dengan cara mengalirkan air tersebut ke dalam kolam yang berisi unggun zeolit aktif. hasil penyaringan ini telah menghasilkan air olahan yang telah memenuhi syarat baku mutu air untuk ayam pedaging (broiler) bagi kapasitas industri. intinya adalah membuat air yang memenuhi syarat baku mutu air, di antaranya adalah bebas dari bibit penyakit misalnya jumlah bakteri e. coli = nol/zero, jernih, tidak berasa dan tidak berbau. minimal, instalasi air terdiri atas penampungan air tanah pertama, pengendapan, penyaringan dan desinfeksi di torn masing-masing kandang. prosesnya dimulai dari pengambilan air tanah menuju torn untuk diendapkan. selain secara alami, pengendapan dapat dibantu dengan pemberian tawas (2,5 g untuk 20 liter air minum). berikut parameternya. zeolit alam yang diaktifkan mampu menurunkan kadar ca, mg, fe, dan mn dalam larutan. air hasil penyaringan tersebut mengandung mn 0,08 ppm dan zn 0,024 ppm, sedangkan kesadahan dan kadar ion-ion logam lainnya sudah berada di bawah ambang batas yang dipersyaratkan (nilai ambang batas untuk fe, mn, dan zn berturutturut 0,30 ppm, 0,10 ppm, dan 0,05 ppm). Kata Kunci : Filtrasi, Kadar Air, Ayam Pedaging. Abstract - Raw water treatment in order to reduce the level of hardness (ca and mg) and the content of heavy metals (fe, mn and zn) in a sample of raw water have been carried by flowing water into the pool containing the active zeolite bed. the results of this screening has resulted treated water that has been qualified water quality standards for broiler chickens (broilers) for industrial capacity. the point is made of water which meets water quality standards, among which are free from germs such as the number of bacteria e. coli = zero / zero, clear, tasteless and odorless. minimal, water installations consist of a first soil water reservoir, sedimentation, filtration and disinfection in torn each cage. the process starts from the extraction of ground towards torn to be precipitated. besides naturally, the deposition can be helped by giving alum (2.5 g to 20 liters of water). The following parameters. activated natural zeolite could reduce levels ca, mg, fe and mn in solution. The filtered water containing 0.08 mn zn ppm and 0.024 ppm, while levels of hardness and other metal ions is already under the required threshold (the threshold value for fe, mn and zn respectively 0.30 ppm , 0.10 ppm and 0.05 ppm). Keywords: Filtration, Water content, Broiler. mempunyai efek yang besar terhadap performa ayam. Namun demikian air tidak hanya berfungsi sebagai nutrien, tetapi air juga merupakan komponen utama darah, sebagai alat transportasi dalam tubuh ayam, berfungsi untuk memperlunak pakan, membantu dalam proses pencernaan dan penyerapan nutrisi lainnya serta sebagai penyeimbang suhu tubuh. Dalam hal lain air juga bercampur dengan kotoran (pembawa) dan dibutuhkan dalam reaksi-reaksi tertentu seperti dalam proses pembentukan daging dan telur, serta reaksi enzymatic lainnya. Sementara itu tubuh ayam sendiri mengandung 70% air, dan pada DOC kandungan airnya bisa mencapai 85%. Konsumsi air pada ayam juga tidak sedikit, secara umum konsumsi air besarnya 2x konsumsi pakan. Ayam jantan juga mimum air lebih banyak dibandingkan ayam betina, begitu juga dengan umur
I.
PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat akan konsumsi ayam pedaging semakin meningkat setiap tahunnya. Tingkat kapasitas industri ayam pedaging pun semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi penduduk. Ayam ras pedaging (broiler), memiliki daging yang empuk, ukuran badan yang besar, tingkat efisiensi pakan yang tinggi dan pertambahan bobot badan sangat cepat. Meskipun ayam ini memiliki banyak kelebihan, tetap saja pemeliharaannya harus tepat agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Pada umumnya konsumen menyukai daging yang memiliki kualitas baik dilihat dari bobot daging juga keamanan saat mengkonsumsinya. Oleh karena itu air merupakan nutrien yang esensial pada ayam terutama pada ayam pedaging, kekurangan atau kelebihan konsumsi air minum 257
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 Letaknya dibagian atas. Fungsinya untuk mengikat ion besi (Fe) dan ion mangan (Mn). Pasir dari sungai atau pantai, lebih baik lagi pasir dari letusan gunung. 2 Karbon Aktif Porsinya 30 %. Letaknya dibagian tengah. Fungsinya untuk menyerap warna, bau dan rasa. Bisa menggunakan arang (karbon) dari kayu keras atau tempurung kelapa. 3. Zeolit Granule Porsinya 10 %. Letaknya dibagian bawah. Fungsinya untuk menyerap sisa kotoran dan sebagai penyegar air. Berasal dari tambang mineral zeolit. Ada yang berwarna hijau dan juga ada yang berwarna hijau kekuningan karena masih tercampur dengan mineral lain. Yang baik pakai zeolit yang berwarna hijau, isinya relatif murni zeolitnya.
(berat badan) ayam tua lebih banyak membutuhkan air dibandingkan ayam muda. Selain faktor internal dari ayam itu sendiri faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi air. Beberapa ahli menyebutkan bahwa pada suhu diatas 21o C, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan konsumsi air 6-7%. II.
METODE PENELITIAN Fisik air adalah parameter pertama untuk menjamin kualitas air di peternakan, namun demikian air yang jernih dan kelihatan bagus oleh mata tidak berbau dan berasa tidaklah menjamin bahwa kualitasnya sesuai untuk peternakan. Tentu saja semuanya harus di cek di Laboratorium untuk memastikan. Hal ini penting sekali untuk diketahui peternak, karena kualitas air yang rendah bisa menghambat pertumbuhan, mengurangi produksi telur atau kualitas telur. Contohnya: FCR di pengaruhi oleh kandungan sulfat, copper, Na, Ca dan Chloride dalama air, maka sebaiknya peternak melakukan treatment tertentu terhadap air tersebut. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain : Filtrasi Diperlukan untuk mengurangi kandungan bahan organik dan kekeruhan air. Chlorinasi Metode ini paling populer di peternakan untuk menghilangkan kandungan bakteri, lumpur dan pertumbuhan alga dalam saluran air serta menghilangkan nitrite, fe, manganese dan sulfur. Jika dilakukan secara terus menerus bisa menyebabkan korosif pada bahan-bahan yang terbuat dari besi dan mengurangi efektifitas program pengobatan. Namun demikian clorinasi secara terus menerus sebesar 3-5 ppm memang di perlukan untuk mengontrol jumlah bakteri coliform dalam air sebelum di konsumsi oleh ayam. Sebaiknya peternak menggunakan sodium clorite untuk clorinasi, dengan pertimbangan sodium mudah larut dalam air di bandingkan calsium. Kedepannya clorinator sangat di perlukan untuk menjamin bahwa dosis yang diberikan selalu sama setiap waktu, dan kadar clorine dalam air stabil. Ozonisasi Metode ini belum banyak dilakukan di peternakan, karena investasinya cukup mahal.
Problem berkenaan dengan kualitas air yang kemudian terjadi ialah warna air menjadi lebih keruh akibat bercampur lumpur, kadar logam beratnya (umumnya zat besi) menjadi lebih tinggi, serta pH-nya cenderung lebih alkalis (basa). Air dengan kondisi seperti ini tidak baik diberikan pada ayam dan tidak baik digunakan untuk melarutkan obat maupun vaksin. Selain dari faktor penentu kualitas air yang disebut di atas, suhu air juga perlu dimonitoring. Jika suhu air diatas 26.7oC maka konsumsi air akan menurun, tentu saja ini bisa mengakibatkan pertambahan bobot badan harian turun. Untuk praktisnya jika dalam setiap harinya suhu air lebih dari 24 oC, bisa jadi diperlukan metode tertentu untuk mendinginkan air terutama pada musim panas. Selain itu air yang dingin bisa mengurangi stres panas dan meningkatkan performa ayam broiler. Untuk menghasilkan air yang baik maka diperlukan upaya penanganan secara fisik maupun kimiawi dan dalam hal ini sudah banyak perusahaan yang menyediakan peralatannya. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk membuat peralatan penyedia air sehat bagi peternakan kita, karena setiap periode pemeliharaan selalu dipusingkan dengan masalah e-Coli dan kandungan logam berat pada air mencoba berkreasi dengan membuat sarana penyedia air sehat bagi ayam-ayamnya.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam proses penyaringan air untuk ayam pedaging (broiler) yaitu : 1. Pasir aktif Porsinya 60 %.
258
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
oleh adanya molekul organik (molekul yang mengandung ion karbon) di dalam endapan tanah. Konsumsi air untuk ternak ayam baik ayam petelur maupun ayam pedaging bisa mencapai 2,5 kali dari konsumsi pakan. Tetapi pada umumnya para peternak ayam sering mengabaikan kualitas air minum untuk ternaknya. Semestinya, air yang diberikan harus memenuhi kriteria air sehat dan higienis. Untuk mendapatkan hal tersebut, perlu dilakukan instalasi Filter WTP (Water Treatment Plant) penjernih air untuk ternak ayam (agar air menjadi sehat & higienis) Dengan Spesifikasi Teknis seperti pada tabel 2. Sterilisasi air menggunakan pancaran sinar UV atau Ultra Violet dengan daya pancaran lampu yang memancar yang sudah disesuaikan dengan debit air yang mengalir melalui Ultra Violet tersebut. Keuntungan sterilisasi menggunakan sinar Ultra Violet ini : Tidak mengubah struktur kimia air. Tidak ada bau seperti klorinasi. Tidak mengubah warna, warna air tetap bening. Bisa mematikan mikroba (virus, bakteri, jamur dan ganggang/algae, dan micro organisme lainnya). Biaya operasionalnya relative lebih murah.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan penggunakan perangkat penyaringan air memang lebih repot pada awalnya namun lebih praktis dan ekonomis pada akhirnya. Selain itu bisa juga menggunakan disinfektan seperti klorin seperti yang biasanya digunakan pada air PDAM. Namun penggunaan air berklorin ada caranya. Sebelum diberikan pada ayam, air yang mengandung klorin diendapkan minimal 8 jam sebelum pemberian, tapi lebih bagus lagi kalau diendapkan seharian. Karena jika langsung diberikan maka bisa mengiritasi saluran pencernaan dan juga bisa membunuh mikro flora yang baik bagi saluran pencernaan. Dan jika ingin melakukan vaksinasi dengan air yang pernah diberikan klorin (sudah diendapkan) harus ditambahkan skim milk untuk meningkatkan kualitas air. Penambahan klorin pada air dosisnya (menurut literature yang saya pernah baca) 3-5 ppm. Selain klorin anda juga bisa menggunakan disinfektan lainnya yang banyak dijual di toko obat hewan sekitar anda. Banyak juga yang mempunyai efektifitas sama seperti klorin atau mungkin lebih baik namun tidak terlalu berpengaruh pada sifat air (klorin membuat air menjadi bau sehingga ayam terkadang kurang suka minum). Selain itu, untuk meningkatkan kualitas kesehatan air minum maka juga perlu ditambahkan supplemen untuk memaksimalkan pertumbuhannya seperti Improlin-G dan, Imunose. Improlin-G terbukti efektif meningkatkan berat badan dan menurunkan FCR, sedangkan Imunose dapat berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh ayam dan menghalangi perlekatan mikroorganisme berbahaya yang banyak terdapat dalam air (seperti e-coli). Di kolam penampungan air, dapat dilakukan berbagai tindakan perbaikan kualitas fisik air (bau, kejernihan, rasa dan sebagainya) yaitu melewatkan air melalui lapisan pasir, arang kelapa dan batuan. Pasir berfungsi sebagai penyaring. Arang kelapa akan menyerap bau sedangkan batuan akan menjernihkan dan menahan pasir yang terbawa air. Terakhir, air dialirkan ke torn untuk didesinfeksi sebelum diberikan ke ayam. Air lalu dialirkan melewati penyaringan menuju kolam penampungan. Penyaringan bisa menggunakan kawat berlubang kecil yang diletakkan di bagian pertengahan atas torn. Lakukan pembersihan saringan dan pengangkatan endapan minimal seminggu sekali agar instalasi air minum tetap berfungsi optimal. Desinfeksi air bisa menggunakan Medisep 3 ml/10 liter air minum, Desinsep 30 ml/1000 liter air minum dan Neo Antisep 3 ml/7,5 liter air minum. Desinfeksi air sebaiknya dilakukan sesudah pengendapan agar desinfektan bekerja lebih efektif karena senyawa dalam desinfektan mudah terpengaruh
Dengan adanya pemasangan paket Filter WTP (Water Treatment Plant) penjernih air untuk ternak ayam ini manfaatnya bisa mereduksi / menekan biaya obat-obatan untuk ayam menjadi jauh lebih ekonomis karena ayam bebas penyakit-penyakit yang mengganggu di saluran pencernaan seperti : Salmonellosis, E.coli, Cholera dan lain-lain. Dominannya penularan penyakit pada ternak unggas misalnya ayam, itik, dan burung puyuh di musim hujan melalui air minum harus diantisipasi dengan perbaikan kualitas air minum yakni dengan cara membuat instalasi air minum secara terpadu. Membuatnya tidaklah terlalu rumit karena komponennya ada di sekitar kita. Intinya adalah membuat air minum memenuhi syarat baku mutu air, di antaranya adalah bebas dari bibit penyakit misalnya jumlah bakteri E. coli = nol/zero, jernih, tidak berasa dan tidak berbau. Minimal, instalasi air minum terdiri atas penampungan air tanah pertama, pengendapan, penyaringan dan desinfeksi di torn masing-masing kandang. Prosesnya dimulai dari pengambilan air tanah menuju torn untuk diendapkan. Selain secara alami, pengendapan dapat dibantu dengan pemberian tawas (2,5 g untuk 20 liter air minum). Tawas juga dapat diberikan di kolam penampungan.
259
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Dominannya penularan penyakit pada ternak unggas misalnya ayam, itik, dan burung puyuh di musim hujan melalui air minum harus diantisipasi dengan perbaikan kualitas air minum yakni dengan cara membuat instalasi air minum secara terpadu. IV.
KESIMPULAN Dari hasil pengolahan sistem filtrasi yang dibuat, dapat disimpulkan bahwa dengan pembuatan filtrasi ini dapat meningkatkan jumlah panen yang signifikan dan dapat dibuat sendiri oleh kelompok peternak, hanya saja harus dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan air baku untuk menentukan beberapa banyak jumlah media filter yang digunakan. Hasil pemeriksaan air baku perlu dilakukan pada laboratorium–laboratorium sanitasi untuk menghasilkan air minum yang sehat untuk ayam pedaging (broiler). Dari hasil kegiatan seluruh anggota peternak ayam pedaging (Broiler) sangat aktif mengikuti sosialisasi dan pemasangan instalasi dan pemasangan filtrasi air.
DAFTAR PUSTAKA Rasyaf, M. 1994. Beternak ayam pedaging. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Mumpton, F.A. and Fishman, P.H. 1977. The application of natural zeolites in animal science and aquaculture. J. Anim. Sci. 5(45):1189- 1192 Sutardi, T. 1995. Peningkatan efisiensi penggunaan pakan. Seminar nasional peternakan dan veteriner. P4, Cisarua, Bogor. Proudfoot, F.G., Hulan, H.W. dan Romey, R.D. 1979. The effect of four stocking densities on broiler carcas grade: the insidence of breast blister and other performance traits. Poultry Sci. 58(4):791-793. Creswell, D. dan Hardjosworo, P.S. 1979. Bentuk kandang unggas dan kepadatan kandang untuk daerah tropis. Laporan seminar ilmu dan industri perunggasan II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Ciawi, Bogor. Benefiled, L.D., Judkins, J.F., and Weand, B.L, “Process Chemistry For Water and Waste Treatment”, Prentice – Hall, Inc., Englewood, 1982.
260
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Mechanical Properties Of Biocomposites/Natural Fiber Composites (A Review) Taufan Arif Adlie1, Samsul Rizal2, Nurdin Ali3, Syifaul Huzni4 1
2,3,4
Department of Mechanical Enginering, Samudra University, Kota Langsa – Aceh 24416 Department of Mechanical Enginering, Syiah Kuala University, Darussalam – Banda Aceh 23111 Email :
[email protected]
Abstrack - Interest in Biocomposite/Natural Fiber Composite (NFC) is growing for many reasons including their potential to replace synthetic Fibre Reinforced Plastics (FRP) at lower cost with improved sustainability, low environmental impact and support their potensial across a wide range of applications. In recent years, more attentions are focus on renewable resources in producing desirable products whereby its characteristics and properties showed potential as substitutions to the traditional petrochemical and fossil fuels. This review aims to provide an overview of the factors that affect the mechanical properties of NFCs and biocomposite and details achievements made with them. Keyword : mechanical properties, natural fiber composites, biocomposite.
I.
INTRODUCTION
Biocomposite is a composite material formed by a matrix (resin) and a reinforcement of natural fibers. These kind of materials often mimic the structure of the living materials involved in the process keeping the strengthening properties of the matrix that was used, but always providing biocompatibility. The matrix phase is formed by polymers derived from renewable and nonrenewable resources. The matrix is important to protect the fibers from environmental degradation and mechanical damage, to hold the fibers together and to transfer the loads on it. In addition, biofibers are the principal components of biocomposites, which are derived from biological origins, for example fibers from crops (cotton, flax or hemp), recycled wood, waste paper, crop processing byproducts or regenerated cellulose fiber (viscose/rayon). The interest in biocomposites is rapidly growing in terms of industrial applications (automobiles, railway coach, aerospace, military applications, construction, and packaging) and fundamental research, due to its great benefits (renewable, cheap, recyclable, and biodegradable). Biocomposites can be used alone, or as a complement to standard materials, such as carbon fiber. Advocates of biocomposites state that use of these materials improve health and safety in their production, are lighter in weight, have a visual appeal similar to that of wood, and are environmentally superior. [1,2,3] The advantages and disadvantages of NFCs are : Advantages : [4,5] Low density and high specific strength and stiffness Fibres are a renewable resource, for which production requires little energy, involves CO2 absorption, whilst returning oxygen to the environment Fibres can be produced at lower cost than synthetic fibre Low hazard manufacturing processes
Low emission of toxic fumes when subjected to heat and during incineration at end of life Less abrasive damage to processing equipment compared with that for synthetic fibre composite Disadvantages : Lower durability than for synthetic fibre composites, but can be improved considerably with treatment High moisture absorption,which results in swelling Lower strength, in particular impact strength compared to synthetic fibre composites Greater variability of properties Lower processing temperatures limiting matrix options The main motivation of using biocomposite/natural fibers like kenaf and hemp to replace glass fibers is the low cost (Fig.1), low density (~ ½ of glass), acceptable specific strength properties, enhanced energy recovery, CO2 sequesterization, and biodegradability. Auto companies are seeking materials with sound abatement capability as well as reduced weight for fuel efficiency. It is estimated that ~75% of a vehicle’s energy consumption is directly related to factors associated with vehicle’s weight, and it identifies as critical the need to produce safe and cost-effective light-weight vehicles. Natural fibers possess excellent sound absorbing efficiency and more shatter resistant and have better energy management characteristics than glass fiber based composites. In automotive parts, compared to glass composites, the composites made from natural fibers reduce the mass of the component; lowers the energy needed for production by 80% [6]. It takes 6,500 BTUs of energy to produce one pound of Kenaf while it takes almost 4 times that much of energy (~23,500 BTUs) to produce one pound of glass fiber. To reduce vehicle weight; a shift away from steel 261
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
alloys towards aluminum, plastics and composites has predicted that in near future polymer and polymer composites will comprise ~15% of a car weight [6].
A. Matrix Selection The matrix is an important part of a fibre-reinforced composite. It provides a barrier against adverse environments, protects the surface of the fibres from mechanical abrasion and it transfers load to fibres. The most common matrices currently used in NFCs are polymeric as they are light weight and can be processed at low temperature. Both thermoplastic and thermoset polymers have been used for matrices with natural fibres[9]. Matrix selection is limited by the temperature at which natural fibres degrade. Most of the natural fibres used for reinforcement in natural fibre composite are thermally unstable above 200 0C, although under some circumstances it is possible for them to be processed at higher temperature for a short period of time [10]. Among all the matrix polymers; polypropylene (PP) has attained much commercial success in biocomposites for automotive applications. Although unsaturated polyester resin can be used in biocomposite applications commercially, the non-recyclable nature of this thermoset resin over thermoplastic recyclable PP is hindering its growing importance. Bio-composites derived from natural fibers and traditional thermoplastics or thermosets are not fully environmentally friendly because the matrix resins are petro-based and also non biodegradable. However these bio-composites now maintain a balance among ecology, economy and technology allowing them to be considered for applications.
Figure 1. Cost comparation – E-glass vs NFCs
II.
CLASSIFICATION OF BIOCOMPOSITE Tabel 1. Classification of biocomposites
Classification of Biocomposites/Natural Fiber Composites is represented in Table 1 [6]. Bio-fiber being biodegradable and traditional thermoplastics (like polypropylene)/thermosets (like unsaturated polyester) being non-biodegradable; the biocomposites from such fiber reinforced polymer come under “Partial biodegradable” type. If the matrix resin/polymer is biodegradable, the bio-fiber reinforced bio-polymer composites would come under “Completely biodegradable” type. Two or more bio-fibers in combination on reinforcement with polymer matrix results “hybrid” bio-composites. The purpose of hybrid composites is the manipulation of properties of the resulting bio-composites. Bio-composite consists of reinforcing bio-fibers and matrix polymer system.
III.
Figure 2. Biopolymers derived from renewable resources Biopolymers derived from renewable resources (Figure 2) are attracting the attention of scientists to replace traditional petro-based plastics in designing more eco-friendly bio-composites. Polylactic acid (PLA) is a highly versatile biodegradable polymer and is recently highlighted because it is derived from renewable resource like corn [7]. The use of such PLA as a cost-effective alternative to commodity petrobased plastic will increase the demand for agricultural products. It comes under aliphatic polyester type of polymer and is a polymer of a–hydroxy acid. Creating biodegradable products from waste materials is one way to make products environmentally friendly. Another way is to make products from sustainable resources. Cellulose from trees and cotton plants is taken as a substitute for petroleum feedstocks to make cellulosic plastic [8]. One should take natural polymer
FACTORS AFFECTING MECHANICAL PROPERTIES OF NFCs
The main factors affecting mechanical performance of NFCs are: 262
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
– cellulose and then should react it to make derivitized biopolymer. B. Reinforcing NFCs Selection Fibre type is commonly categorised based on its origin: plant animal or mineral. All plant fibres contain cellulose as their major structural component, whereas animal fibres mainly consist of protein. Although mineral-based natural fibres exist within the asbestos group of minerals and were once used extensively in composites, these are now avoided due to associated health issues (carcinogenic through inhalation/ingestion) and are banned in many countries. Generally, much higher strengths and stiffnesses are obtainable with the higher performance plant fibres than the readily available animal fibres. An exception to this is silk, which can have very high strength, but is relatively expensive, has lower stiffness and is less readily available [11]. This makes plant-based fibres the most suitable for use in composites with structural requirements and therefore the focus of this review. Furthermore, plant fibre can suitably be grown in many countries and can be harvested after short periods In fiber-reinforced composites, the fibers serve as reinforcements by giving strength and stiffness to the composite structure. Bio-fibers may be classified (Table 2) [6] in to three broad categories: Straw fibers, Non-wood fibers and Wood fibers.
Figure 3. Structure of (a) cellulose and (b) lignin Depending on their origin, non-wood natural fibers may be grouped in to: Bast: Kenaf, Flax, Jute, and Hemp; Leaf: Sisal, Henequen, and Pineapple leaf fiber; Seed: Cotton; Fruit: Coconut fiber or Coir. Table 3 shows properties of some natural fibres and the main type of glass fibre (E-glass). It can be seen that flax, hemp and ramie fibre are amongst the cellulose-based natural fibres having the highest specific Young’s moduli and tensile strengths although it should be stated that much variability is seen within the literature. Commonly, geography relating to fibre availability plays a major role in fibre selection [7]. The focus, for example in Europe has been on flax fibre, whereas hemp, jute, ramie, kenaf and sisal have been of greater interest in Asia. Harakeke fibre, (Phormium tenax commonly known as New Zealand flax) is also being considered to be used in structural applications in New Zealand due to its good mechanical properties and its local availability there. Generally, higher performance is achieved with varieties having higher cellulose content and with cellulose micro fibrils aligned more in the fibre direction which tends to occur in bast fibres (e.g. flax, hemp, kenaf, jute and ramie) that have higher structural requirements in providing support for the stalk of the plant. The properties of natural fibres vary considerably depending on chemical composition and structure, which relate to fibre type as well as growing conditions, harvesting time, extraction method, treatment and storage procedures. Strength has been seen to reduce by 15% over 5 days after optimum harvest time [13] and manually extracted flax fibres have been found to have strength 20% higher than those extracted mechanically [12]. Strength and stiffness of natural fibres are generally lower than glass fibre, although stiffnesses can be achieved with natural fibres comparable to those achieved with glass fibre. However, the specific properties compare more favourably; specific Young’s modulus can be higher for natural fibres and specific tensile strength can compare well with lower strength E-glass fibres. When comparing data from different sources, it should be considered that a number of variables that are not
Table 2. Classification of Bio-Fibers
All the natural reinforcing fibers are lingocellulosic in nature the principal component being cellulose and lignin (Figure 3). The contents of cellulose and lignin vary from each bio-fiber to another.
263
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
always reported have an influence on fibre properties. These include testing speed, gauge length, moisture content and temperature. Generally strength increases with increasing moisture content and decreases as temperature increases; the Young’s modulus decreases with moisture content [14]. Sometimes it is also unclear in the literature as to whether the tests have been conducted on single fibres (single cells) or on fibre bundles (sometimes referred to as technical fibres). Calculation of properties is generally based on the total cross-section of a fibre or fibre bundle, however, single fibres have a central hollow lumen which takes up a significant proportion of the cross-
sectional area. The fraction of cross-sectional area taken up by the lumen has been found to be, for example, 27.2%, 6.8% and 34.0% for sisal, flax and jute respectively [15] and so it could be considered that measurements of strength and stiffness obtained not taking this into account are underestimations to the same degree. The lumen area fraction for harakeke has been found to be 41% which based on an apparent strength of 778 MPa obtained for the fibre neglecting the lumen, suggests a true fibre strength of 1308 MPa [14]. It should also be kept in mind when predicting composite properties that fibre properties vary with direction.
Table 3. Mechanical properties of natural and synthetic fiber [11,15].
react to form bonds and as a consequence the resulting interfacial strength depends on the type and density of the bonds. Chemical bonding can be achieved through the use of a coupling agent that acts as a bridge between the fibre and matrix. Interdiffusion bonding occurs when atoms and molecules of the fibre and matrix interact at the interface. For polymer interfaces this can involve polymer chains entanglement and depends on the nlength of chains entangled, the degree of entanglement and number of chains per unit area. It should be noted that it is possible for multiple types of bonding to occur at the same interface at the same time [21]. Improvement of composite properties has been seen with the application of enzyme treatment, with tensile and flexural strength of abaca/PP composites seen to improve by 45% and 35% respectively which was considered to be due to removal of fibre components and increased surface area leading to increased interfacial bonding. Impact properties were also found to increase by 25%. Further to improvements of instantaneous mechanical performance, chemical surface treatment has also been found to improve longer term mechanical performance of NFCs subjected to wet and humid conditions[22].
C. Interface Strength Interfacial bonding between fibre and matrix plays a vital rolein determining the mechanical properties of composites. Since stress is transferred between matrix and fibres across the interface, good interfacial bonding is required to achieve optimum reinforcement, although, it is possible to have an interface that is too strong, enabling crack propagation which can reduce toughness and strength. However, for plant based fibre composites there is usually limited interaction between the hydrophilic fibres and matrices which are commonly hydrophobic leading to poor interfacial bonding limiting mechanical performance as well as low moisture resistance affecting long term properties. For bonding to occur, fibre and matrix must be brought into intimate contact; wettability can be regarded as an essential precursor to bonding. Insufficient fibre wetting results in interfacial defects which can act as stress concentrators. Fibre wettability has been shown to affect the toughness, tensile and flexural strength of composites. Physical treatment and chemical treatment can improve the wettability of the fibre and thus improve the interfacial strength [19,20]. Interfacial bonding can occur by means of mechanisms of mechanical interlocking, electrostatic bonding, chemical bonding and inter-diffusion bonding. Mechanical interlocking occurs to a greater extent when the fibre surface is rough and increases the interfacial shear strength, but has less influence on the transverse tensile strength. Electrostatic bonding only has significant influence for metallic interfaces. Chemical bonding occurs when there are chemical groups on the fibre surface and in the matrix that can
D. Fiber Dispersion Fibre dispersion has been identified as a major factor influencing the properties of short fibre composites and a particular challenge for NFCs, which commonly have hydrophilic fibres and hydrophobic matrices. Use of longer fibres can furthernincrease 264
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
their tendency to agglomerate. Good fibre dispersion promotes good interfacial bonding, reducing voids by ensuring that fibres are fully surrounded by the matrix. Dispersion can be influenced by processing parameters such as temperature and pressure; additives such as stearic acid have been used in PP and PE to modify dispersion as well as those used to increase interfacial bonding such as MAPP which encourage fibre matrix interaction. Similarly, fibre modification through grafting can also be employed, but is more expensive. Although the use of more intensive mixing processes such as using a twin-screw extruder rather than a single screw extruder leads to better fibre dispersion, this is generally at the cost of fibre damage and fibre lengths are found to reduce dramatically during such processing depending on temperature and screw configuration [23].
to the elemental fibre direction (microfibrillar angle)[24,25]. A recently utilised alternative to the textile route with its extensive infrastructure requirements to bring about fibre alignment in composites is that of dynamic sheet forming (DSF). DSF is a method used to align fibre traditionally in paper production. Here, short fibres are suspended in water and sprayed through a nozzle onto a rotating drum covered with a wire mesh through which the water can be removed, which brings about alignment in the spray and rotation direction. This has provided improvements of mechanical performance compared to other short fibre processing techniques; recent work at the University of Waikato yet to be published has obtained strengths of over 100 MPa for short hemp and harakeke fibre aligned using DSF in PLA and epoxy matrices. Regarding the degree of influence of orientation on mechanical performance of NFCs, similar large reductions of strength and Young’s modulus to those seen with synthetic fibres have been obtained with increasing fibre orientation angle relative to the test direction. One study on aligned Alfa fibre reinforced UP showed strengths compared to those obtained in the fibre direction (0) of 69%, 29%, 22% and 12% at angles of 10, 30, 45 and 90 respectively and corresponding Young’s moduli of 93%, 66%, 52% and 41% of that in the fibre direction. In another study on hemp/PLA composites, those with fibre aligned at 45 and 90 were found to have 48% and 30% of the strength and 53% and 42% of the Young’s moduli of those with 0 fibre [26].
E. Fiber Orientation The best mechanical properties can generally be obtained for composites when the fibre is aligned parallel to the direction of the applied load. However, it is more difficult to get alignment with natural fibres than for continuous synthetic fibres. Some alignment is achieved during injection moulding, dependent on matrix viscosity and mould design. However, to get to higher degrees of fibre alignment, long natural fibre can be carded and placed manually in sheets prior to matrix impregnation. Alternatively, traditional textile processing of fibres can be employed including spinning to enable a continuous yarn to be produced. However, as the name suggests, this does involve a degree of fibre twist. Aligned fibre yarns can also be produced by wrap spinning, a method used since the 1970s in the textile industry; here short fibre can be converted to a continuous form through the use of a continuous strand wrapped around discontinuous fibre with sufficient frequency to provide the required integrity for subsequent processing. The continuous strand can be from the same type of fibre as the short fibre or can be thermoplastic and form the matrix material during compression moulding (CM). Thermoplastic fibre to be converted to the matrix can also be used aligned in the yarn direction to act as support for the natural fibre. Research comparing aligned fibre yarn with conventional twisted yarns for flax epoxy composites has demonstrated improved tensile and flexural strength and stiffness with unidirectional yarn. More recently, continuous fibre tape has been produced through using the fibres own pectin as an adhesive using a water mist and then drying whilst stretched. Continuous material can be employed in processing in much the same way as continuous synthetic fibre (e.g. filament winding, pultrusion) to give good degrees of fibre alignment within the composite, although it should not be forgotten that this is not the same as alignment of the cellulose chains as these tend to have an angle relative
F. Manufacturing The most common methods used for NFCs are extrusion, injection moulding (IM) and compression moulding. Resin transfer moulding (RTM) is also used with thermoset matrices and pultrusion has been successfully employed for combined flax /PP yarn composites and thermoset matrix composites. Factors determining properties include temperature, pressure and speed of processing. It is possible for fibre degradation to occur if the temperature used is too high, which limits the thermoplastic matrices used to those with melting points lower than the temperature at which degradation will occur. In extrusion, thermoplastic, usually in the form of beads or pellets, is softened and mixed with the fibre transported by means of a single or two rotating screws, compressed and forced out of the chamber at a steady rate through a die. High screw speed can result in air entrapment, excessive melt temperatures and fibre breakage. Low speeds, however, lead to poor mixing and insufficient wetting of the fibres. This method is used on its own or for producing pre-cursor for IM. Twin screw systems have been shown to give better dispersion of fibres and better mechanical performance than single screw extruders. IM of composites can be carried out with thermoset or thermoplastic matrices, although is much more often used for thermoplastic matrices. Variation of fibre 265
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
orientation occurs across the mould section with shear flow along the walls due to friction resulting in fibre aligned along the mould wall whilst a higher stretch rate at the centre produces fibre that is more transversely aligned to the flow direction, a structure referred to as skin core structure. Alignment is more significant with higher fibre contents. Residual stress in thermoplastic matrix composites due to pressure gradients, non-uniform temperature profiles, polymer chain alignment and differences in fibre and matrix thermal expansion coefficients can reduce composite strength. Due to the viscosity requirements, IM of such composites is generally limited to composites of less than 40 m% fibre content. Fibre attrition in IM as for extrusion reduces the length of the fibre during processing. Compression moulding (CM) is generally used for thermoplastic matrices with loose chopped fibre or mats of short or long fibre either randomly oriented or aligned, but can also be used with thermoset matrices. The fibres are normally stacked alternately with thermoplastic matrix sheets before pressure and heat are applied. The viscosity of the matrix during pressing and heating needs to be carefully controlled, in particular for thick samples to make sure the matrix is impregnated fully into the space between fibres. Good quality composites can be produced by controlling viscosity, pressure, holding time, temperature taking account of the type of fibre and matrix. In RTM, liquid thermoset resin is injected into a mould containing a fibre preform. The main variables with this process are temperature, injection pressure, resin viscosity, preform K.L. Pickering et al. / Composites: Part A 83 (2016) 98–112 103 architecture and mould configuration. Advantages compared with other processes include lower temperature requirements and avoidance of thermomechanical degradation. Compaction in this process is affected by the structure of natural fibres including the effect of lumen closing and due to lower degrees of fibre alignment, natural fibre composites are less compactable than glass fibre composites. Good component strength can be achieved with this process which is suitable for low production runs [27]
were found to have porosity increasing from 4 to 8 volume% as fibre content increased from 56 to 72 m% [28]. As mentioned earlier, its inclusion in models has been shown to give improved prediction of strength and stiffness.
IV.
MECHANICAL PROPERTIES
There is a large amount of literature detailing the mechanical performance of NFCs. The dissolution of OPEFB with DMAc/LiCl has lead to the production of regenerated cellulose biocomposite films. The OPEFB fillers dissolved and dispersed within the OPEFB matrix of the biocomposite films. The tensile strength and modulus of elasticity of 2 wt% OPEFB contents is higher compared to other OPEFB contents, whereas the elongation at break is found to be lower. The SEM micrograph tensile fracture surfaceof RC biocomposite films at 2 wt% OPEFB contents exhibits less agglomerations whereby the OPEFB fillers dissolved with OPEFB matrix while the increase in the OPEFB contents lead to more aggregations and voids on the tensile fracture surface of RC biocomposite films at 4 wt% of OPEFB contents [17]. Through film-stacking technique we have developed bio-composites from jute fabrics and starch plastic film. The most significant result is that the tensile strength of starch plastic enhanced by more than 150% as a result of reinforcements with bleached jute fabrics in the bio-composite containing 50 wt.% of jute. Influence of various surface modifications of jute on performance of jute-starch plastic composite is represented in Fig.4. Bleached jute-starch plastic composite shows tensile strength as high as 62 MPa, flexural strength of 72 MPa and high stiffness with MOE value of 4.9 GPa. Superior mechanical properties of bio-composites are based on improved fiber-matrix adhesion in case of bleached jute.[6]
G. Porosity An often overlooked component of NFCs, porosity has long been known to have shown to have a large influence on mechanical properties of composites in general and much effort has gone into reducing it in synthetic fibre composites. It arises due to inclusion of air during processing, limited wettability of fibres, lumens and other hollow features within fibres/fibre bundles (which may become closed during processing at high pressure) and due to the low ability of fibres to compact. Porosity in NFCs has been shown to increase with fibre content, more rapidly once the geometrical compaction limit has been exceeded, dependent on fibre type and orientation of fibre; flax/PP composites
Figure 4. Jute Fabrics-Starch Plastic BioComposites (50 wt.% jute): A; Raw jute, B; Polymeric MDI treated, C; Dicumyl peroxide treated, D; Bleached jute. It can be seen that alignment of fibre is a major factor influencing composite properties, with the best tensile, flexural and impact properties achieved for 266
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
aligned NFCs. The highest strength is achieved at approximately 73 m% fibre for aligned fibre composites, a higher fibre content than that from which the best strengths can be achieved with more randomly aligned/shorter fibre composites, presumably due to the higher compaction limit with more aligned fibre. Interestingly, the fibre with which the highest tensile strength was achieved is sisal, which from Table 3, would not be expected to bring about such high composite strengths as flax. This suggests that either the properties in Table 3 do not fully reflect the spectrum achievable with natural fibres, which would not be surprising given the limited data available and/or that the strength of the fibre is of less influence than other factors such as its aspect ratio, extraction method, treatment or ability to be aligned within the composite and manufacturing method. Comparison of composites reinforced using wrap spun yarn with conventionally twisted yarn have shown better flexural
properties using discontinuous hemp with PP fibre as a carrier fibre, wrap spun by PP as well as flax sliver with PP fibre also wrap spun using PP for unidirectional composites. Recent work using wrap spun hemp/PLA yarn from bleached hemp yarn and continuous PLA strand to produce oriented prepreg (pre-impregnated fibre) has given a reasonable combination of mechanical properties for biaxial laminates including relatively high Charpy impact energy (25 kJ/m2). The same group extended wrap spinning of PLA to produce yarn from short hemp fibre with promising results forthis technique. Although it is early days in the development of such material for composites, it would be expected that this approach will produce high mechanical performance. More details of mechanical properties obtained including tensile and flexural strength and stiffnesses, as well as impact strength are provided in Table 4. [16]
Table 4. Mechanical properties of natural fibre composites compared with regenerated cellulose composites and GFRPs.
267
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
V.
HYBRIDISATION
VI.
Recent studies have yielded promising results with hybridization of natural fibres for reinforcement. The variation in mechanical properties such as tensile, flexural and impact strength of hybridized kenaf and pineapple leaf fibre reinforced high-density polyethylene (HDPE) composites has been studied; it was found that pineapple leaf fibre increased the tensile and flexural strength whilst kenaf improved impact strength and reduced water absorption. Evaluation of the effect of hybridization on mechanical performance of short banana/sisal hybrid fibre reinforced polyester composites found that tensile properties of NFCs were improved with addition of banana fibres. The maximum tensile strength (58 MPa) was obtained for composites having a ratio of banana:sisal of 3:1 at 67 vol% fibre content. The results were explained as being due to the smaller diameters of banana fibres compared to sisal fibres and better stress transfer in unit area of banana/polyester composite. The hybridization had a positive effect on the mechanical properties of foams. The hybridization of EFB/nanoclay had similar effect on the tough fibers, yielding higher modulus compared to EFB alone. This interesting mechanism was observed by investigating the EFB lumens in the PU foams. The thermal stability of the samples was affected by the presence of both EFB and nanoclay. 3D micrograph clearly shown the insertion of the nanoclay was effectively occurred even without any retention agent present had open tremendous breakthrough in the processing of bionanocomposite hybrid [18].
APPLICATIONS
A car made from grass may not sound sturdy, but plant-based cars are the wave of the future. Researchers in center at Michigan State University are working on developing materials from plants like Hemp, Kenaf, Corn straw and Grass to replace plastic and metalbased car components.
Figure 4. Car Interiors from Natural Fiber – Polypropylene Composites In the United States, 10 million to 11 million vehicles putter out each year and reach the end of their useful lives. A network of salvage and shredder facilit ies process about 96 percent of these old cars, about 25 percent of the vehicles by weight, including plastics, fibers, foams, glass and rubber, remains as waste. A car made mostly of heated, treated and molded bio-fiber would simply buried at its lifetime, which would be consumed naturally by bacteria. 268
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Interior parts from natural fiber – PP (Fig. 4) and exterior parts from natural fiber – polyester resins (Fig.5) are already in use. Ford has a long history of R&D on new materials. Figure 6 shows Hennery Ford performing a durability test with a fire axe on prototype car made of plastics derived from soybeans [6].
alternative to glass reinforced composites. Biocomposites being derived from renewable resources; the cost of the materials can be markedly reduced with their large-scale usage. Recent advances in genetic engineering, natural fiber development and composite science offer significant opportunities for improved value-added materials from renewable resources with enhanced support of global sustainability. Much research and progress has occurred in recent decades in the mechanical performance of NFCs. Improvement has occurred due to improved fibre selection, extraction, treatment and interfacial engineering as well as composite processing. This paper has reviewed the research that has focussed on improving strength, stiffness and impact strength; long and short term performance was addressed. NFCs now compare favourably with GFRPs in terms of stiffness and cost; values of tensile and impact strength are approaching those for GFRFs. The lower densities for NFCs lead to better comparison for specific properties. Applications of NFCs have extended dramatically including load bearing and outdoor applications such as automotive exterior underfloor panelling, sports equipment and marine structures. Further research is still required to extend their application range including improvement of moisture resistance and fire retardance. Overall, growth of NFC uptake continues at a rapid rate and there would appear to be a very positive future ahead for their application.
Figure 5. Exterior engine components from Natural Fiber – Polyester Composites Hennery Ford began experimenting with composites around 1940, initially using compressed soybeans to produce composite plastic-like components. During that period the petroleum-based chemicals were very cheap and so soybased plastic could not find economical importance. After a long decade with new environmental regulations and depletion and uncertainty of petroleum sources have revived the interest of scientist to derive new generation of composite materials from soybean-based plastics.
DAFTAR PUSTAKA [1] "Are natural fiber composites environmentally superior to glass fiber reinforced composites?" Michigan State University. Michigan State University. Retrieved 29 August 2015. [2] "They may be sustainable, but how good are flax and jute for the engineer?". Engineering Materials. Findlay Media. Retrieved 8 September 2015. [3] "Bio-composites update: Beyond eco-branding". Composites World. Gardner Business Media, Inc. Retrieved 1 September 2015. [4] Cao Y, Wu Y. Evaluation of statistical strength of bamboo fiber and mechanical properties of fiber reinforced green composites. J Cent South Univ Technol 2008;15:564–7. [5] Mehta G, Mohanty AK, Thayer K, Misra M, Drzal LT. Novel biocomposites sheet molding compounds for low cost housing panel applications. J Polym Environ 2005;13(2):16975. [6] Lawrence T. Drzal, A. K. Mohanty, M. Misra, Biocomposite Materials as Alternatives to Petroleum-Based Composites for Automotive Applications, Composite Materials and Structures Center, Michigan State University, East Lansing, MI 48824 [7] A. K. Mohanty, M. Misra, G. Hinrichsen, “Biofibers, biodegradable polymers and
Figure 6. Soy protein plastic based composites (Henry Ford 1941)
VII. CONCLUSIONS The main advantage of using renewable materials (Biocomposites/Natural Fiber Composites) is that the global CO2 balance is kept at a stable level. Bio-composites are now emerging as a realistic 269
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
biocomposites: An overview”, Macromol. Mater. Eng; 276/277, 1-24 (2000). S. L. Wilkinson, “Nature’s Pantry is open for business”, Chem. & Eng. News, p. 61-62, January 2001. Holbery J, Houston D. Natural-fiber-reinforced polymer composites in automotive applications. JOM 2006 ;58(11):80–6 Summerscales J, Dissanayake NPJ, Virk AS, Hall W. A review of bast fibres and their composites. Part 1 – fibres as reinforcements. Composites Part A 2010;41(10):1329–35. Shah DU, Porter D, Vollrath F. Can silk become an effective reinforcing fibre? A property comparison with flax and glass reinforced composites. Compos Sci Technol 2014;101:173– 83. Bos HL, Van den Oever MJA, Peters O. Tensile and compressive properties of flax fibres for natural fibre reinforced composites. J Mater Sci 2002;37 (8):1683–92. Pickering K, Beckermann G, Alam S, Foreman N. Optimising industrial hemp fibre for composites. Composites Part A 2007;38(2):461–8 Charlet K, Baley C, Morvan C, Jernot JP, Gomina M, Breard J. Characteristics of Hermes flax fibres as a function of their location in the stem and properties of the derived unidirectional composites. Composites Part A 2007;38 (8):1912–21. Li Y, Ma H, Shen Y, Li Q, Zheng Z. Effects of resin inside fiber lumen on the mechanical properties of sisal fiber reinforced composites. Compos Sci Technol 2015;108:32–40.
[22] Singh B, Gupta M, Verma A. Influence of fiber surface treatment on theproperties of sisalpolyester composites. Polym Compos 1996;17(6):910–8. [23] Sanadi AR, Caulfield DF, Jacobson RE. Agrofiber thermoplastic composites. In: Paper and composites from agro-based resources. Boca Raton, FL: CRC; 1997.p. 377–401. [24] Carpenter JEP, Miao M, Brorens P. Deformation behaviour of composites reinforced with four different linen flax yarn structures. In: Zhang D, Pickering K, Gabbitas B, Cao P, Langdon A, Torrens R, et al., editors. Advanced materials and processing IV. Stafa-Zurich, Switzerland: Trans Tech Publications; 2007. p. 263–6. [25] Khalfallah M, Abbes B, Abbes F, Guo YQ, Marcel V, Duval A, et al. Innovative flax tapes reinforced Acrodur biocomposites: a new alternative for automotive applications. Mater Des 2014;64:116–26. [26] Baghaei B, Skrifvars M, Salehi M, Bashir T, Rissanen M, Nousiainen P. Novel aligned hemp fibre reinforcement for structural biocomposites: porosity, water absorption, mechanical performances and viscoelastic behaviour. Composites Part A 2014;61:1–12. [27] Van de Velde K, Kiekens P. Effect of material and process parameters on the mechanical properties of unidirectional and multidirectional flax/ polypropylene composites. Compos Struct 2003;62(3–4):443–8. [28] Madsen B, Lilholt H. Physical and mechanical properties of unidirectional plant fibre composites – an evaluation of the influence of porosity. Compos Sci Technol 2003;63(9):1265–72
[16] K.L. Pickering, M.G. Aruan Efendy, T.M. Le. A review of recent developments in natural fibre composites and their mechanical performance. Composites: Part A 83 (2016) 98– 112 [17] Nur Liyana Izyan Zailuddin, Salmah Husseinsyah. Tensile Properties and Morphology of Oil Palm Empty Fruit Bunch Regenerated Cellulose Biocomposite Films. Procedia Chemistry 19 ( 2016 ) 366 – 372. [18] Ernie Suzana Ali, Sahrim Ahmad. Bionanocomposite hybrid polyurethane foam reinforced with empty fruit bunch and nanoclay. Composites: Part B 43 (2012) 2813–2816. [19] Bénard Q, Fois M, Grisel M. Roughness and fibre reinforcement effect onto wettability of composite surfaces. Appl Surf Sci 2007;253(10):4753–8. [20] Liu ZT, Sun C, Liu ZW, Lu J. Adjustable wettability of methyl methacrylate modified ramie fiber. J Appl Polym Sci 2008;109(5):2888–94 [21] Beckermann G. Performance of hemp-fibre reinforced polypropylene composite materials. PhD thesis. Hamilton, New Zealand: University of Waikato; 2007.
BIODATA PENULIS Penulis bernama Taufan Arif Adlie, S.T., M.T. Lahir di Langsa 39 tahun yang lalu tepatnya 3 Oktober 1977. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik (S.T.) pada tahun 2002 di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana (M.T.) pada tahun 2012 juga di Perguruan Tinggi yang sama. Saat ini penulis sedang mengikuti kuliah pada Program Studi Doktor Ilmu Teknik Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Penulis merupakan Dosen tetap pada Program Studi Teknik Mesin Universitas Samudra – Kota Langsa Aceh.
270
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Karakteristik Makro-Enkapsulasi Lilin Lebah (Beeswax - Pcm) Sebagai Material Penyimpan Energi Panas Pada Dinding Rumah Sederhana Characteristics of Macro-encapsulated Beeswax-PCM as Thermal Energy Storage Wall Material Teuku Azuar Rizal1, Taufan Arif Adlie2, Muhammad Zulfri3 1,2,,3
Fakultas Teknik Jurusan Mesin Universitas Samudra Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak – Penggunaan material penyimpan energi panas sebagai lapisan penyerap panas diharapkan mampu menjadi solusi penghematan energi dalam bangunan. Lilin lebah, beeswax, memiliki ciri umum PCM yaitu kemampuan menyimpan energi laten yang besar. PCM jenis ini berpotensi untuk digunakan sebagai material pelapis dinding bangunan, pada siang hari akibat panas matahari PCM akan menyerap panas sampai pada titik leburnya, dan pada malam hari panas tersebut dikeluarkan kembali ke lingkungan diiringi dengan pembekuan PCM. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap karakteristik makro-enkapsulasi beeswax-PCM untuk aplikasi pada pelapis dinding bangunan. Karakterisasi SEM, DSC, TGA dan DTA lilin lebah dilakukan secara Makro-enkapsulasi dengan metode spray coating dilakukan di Laboratorium Fisika Material dan Elektronik Universitas Gadjah Mada. Kehandalan makroenkapsulasi PCM, diuji melalui pengujian siklus termal menggunakan DSC dan TGA. Pengujian terhadap BeeswaxPCM menunjukkan bahwa material ini memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan pelapis pemukaan dinding bangunan. Kata kunci : Lilin lebah (beeswax), Phase Change Material (PCM), Karakterisasi Abstract - The use of thermal energy storage material as a heat absorber layer is expected to be a solution for energy savings in buildings. Beeswax, posses a common characteristic of PCM, namely, the ability to store a great number of latent energy. this type of PCM is potential to be used as a wall coating material of a building, where it can absorb heat from the sun during day up to the boiling point, and released back the heat into the environment, during night, accompanied by freezing PCM. In this study, observations of the characteristics of the macro-encapsulatied beeswaxPCM has been conducted. Characterization is carried out using SEM, DSC, TGA and DTA and the Macroencapsulation of beeswax is prepared using spray coating method. All of the is performed at the Laboratory of Material Physics and Electronics, University of Gadjah Mada. The reliability of the macro-encapsulated PCM, tested through the thermal cycle testing using DSC and TGA. Tests on the Beeswax-PCM indicates that this material has the potential to be used as surface coating materials for building wall. Keyword : Beeswax, Phase Change Material (PCM), Characterization.
I.
pada dinding bangunan dilakukan menggunakan teknologi enkapsulasi. Namun demikian pemanfaatan PCM dalam beton ringan merupakan persoalan mendasar karena memiliki dampak langsung terhadap kekuatan bahan bangunan. Penyimpanan panas laten memanfaatkan panas laten yang terdapat pada material untuk menyimpan energi panas. Panas laten adalah jumlah panas yang diserap selama perubahan pada material tersebut dari satu fasa ke fasa yang lainnya. Ada dua jenis panas laten yang diketahui yaitu panas laten peleburan (latent heat of fusion) dan panas laten penguapan (latent heat of vaporization). Panas laten peleburan adalah jumlah panas yang diserap ketika material berubah dari fasa padat ke fasa cair atau sebaliknya, kemudian panas laten penguapan adalah jumlah energi panas yang diserap ketika material berubah dari fasa cair ke fasa uap atau
PENDAHULUAN
Pemanfaatan lapisan material penyimpan energi panas dengan bahan beton ringan akan mampu memberikan solusi penghematan energi dalam bangunan. Material penyimpan energi panas yang banyak digunakan adalah material berubah fasa (phase change material, PCM). PCM memiliki kemampuan menyimpan energi laten yang besar. Jika digunakan sebagai material pelapis dinding bangunan, pada siang hari akibat panas matahari PCM akan menyerap panas sampai pada titik leburnya, dan pada malam hari panas tersebut dikeluarkan kembali ke lingkungan diiringi dengan pembekuan PCM. Siklus ini akan berlangsung terus menerus yang mengakibatkan temperatur dalam ruangan dapat dikendalikan. Material PCM yang populer dimanfaatkan sebagai material bangunan, sebagian besar material dasar PCM yang digunakan adalah parafin. Pemanfaatan PCM 271
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
sebaliknya. Memang panas laten penguapan tidak diperhatikan untuk aplikasi penyimpanan energi panas laten dikarenakan adanya perubahan besar pada volume disertai dengan perubahan fasa. Jumlah penyimpanan energi panas pada panas laten ditentukan oleh : Q=m*LH
al (2010) untuk menganalisa penggunaan PCM pada lantai sistem pendingin udara untuk meningkatkan pembangunan massa termal. Baetens et. al. (2010) menggunakan gypsum dengan konsetrat PCMs untuk aplikasi bangunan. Mikroenkapsulasi PCM digunakan oleh Entropi et al (2011) di lantai beton untuk membantu rumah tetap hangat pada malam hari dengan menggunakan radiasi matahari sebagai sumber energi panas yang tersimpan di lantai siang hari. Sakulich et al (2012) menambahkan PCM pada semen, untuk menyimpan panas pada dinding bangunan. Zhang et al (2013) membuat komposit semen dengan PCM berbasis grafit sebagai campuran untuk membuat bangunan. Shi X et al (2014) juga membuat komposit semen dengan makro-enkapsulasi PCM untuk membuat bangunan. Artikel ini menitikberatkan pembahasan karakterisasi makro-enkapsulasi PCM pada pelapis dinding bangunan. Pada penelitian ini akan dikembangkan makro-enkapsulasi PCM dari lilin lebah (beeswax). Hasil pengujian karakterisasi akan digunakan sebagai dasar pengembangan komposit pelapis dinding bangunan yang dilengkapi dengan makro-enkapsulasi PCM sebagai material penyimpan energi panas.
(1)
Dimana “Q” adalah jumlah energi panas yang disimpan oleh panas laten (kJ), “m” adalah massa material yang digunakan untuk menyimpan energi panas (kg), dan “LH” adalah panas laten peleburan atau penguapan (kJ/kg). Material yang digunakan sebagai alat penyimpan energi panas pada keadaan panas laten ini disebut dengan Phase Change Materials (PCM). Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang penggunaan PCM untuk penyimpan panas pada konstruksi bagunan. J.Kim, K. Darkwa (2013) yang membahas pengembangan model untuk (PCM) yang terintegrasi ke drywall bangunan. Dalam penelitiannya simulasi yang tergantung pada solusi entalpi implisit. J. Blark, D. Heim (2004) disajikan dalam model (PCM) tertanam dalam papan gipsum dan memodifikasi software untuk mewakili pencairan dan refreezing material, juga memperlakukan masalah dalam satu dimensi dan sifat termo-fisik (PCM) gipsum komposit dianggap homogen. M.Farid, AL.Khudair (2004) menggunakan berbagai jenis bahan yang tersedia serta bagaimana mereka saat ini sedang digunakan dan dibahas secara rinci. Menurut Frank (2004) perkembangan aplikasi di bidang PCM untuk pemanasan dan pendinginan bangunan sangat menjanjikan. Frank (2004) mempelajari sistem penyimpanan pemanasan dan pendinginan pada dua musim yang terdiri dari dua yang berbeda PCM diintegrasikan ke dalam siklus pendinginan sistem pompa panas sebaliknya. Penggunaan PCM di dinding dan di saluran unit pendingin bangunan untuk menyediakan efek pemanasan dan pendinginan. Huang (2006) menerapkan model divalidasi untuk memprediksi kemampuan konservasi energi PCM dengan memfabrikasi dalam dinding bangunan. Dia juga melakukan simulasi dan perhitungan berdasarkan metode kapasitas panas efektif untuk memverifikasi hasil. C.K.Halfored [2] mengembangkan dan menyederhanakan model numerik, yang meneliti produk konfigurasi yang dikenal sebagai teknik satu dimensi-resistif-kapasitif resistif. Dalam tekniknya menjelaskan bagaimana kemampuan untuk menggeser puncak AC beban dari menggunakan (PCM). Pasupathy et.al. (2008) melakukan eksperimen dan analisis simulasi menggabungkan PCM di atap bangunan. Guo (2008) menghasilkan karya eksperimental pada PCM jenis baru dan menemukan bahwa panas menyimpan/kemampuan melepaskan secara signifikan lebih tinggi dari pada PCMs lainnya. Sebuah studi eksperimental dilakukan oleh Takeda et
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian diawali dimulai dengan review literatur hasil penelitian saat ini khusunya tentang phase change material (PCM) untuk sistem penyimpanan panas, makro-enkapsulasi PCM, dan komposit dinding bangunan. Kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan PCM yang memiliki potensi dan sesuai digunakan pada komposit dinding bangunan, didasarkan pada pengujian sifat-sifat fisik dan kimia menggunakan peralatan Viscosimetry test, Differential Scanning calorimetry (DSC), Differential thermal analysis (DTA), Thermogravimetric analysis (TGA), Scanning Electron Microscope (SEM). Pengujian tersebut sebagian besarnya dilakukan di Laboratorium Pengujian dan Penelitian Terpadu Universitas Gadjah Mada.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis DSC Beeswax dilakukan mengguakan Differential scanning calorimetry (DSC) dengan instrumen Rigaku DSC yang dilengkapi pembersih nitrogen. Serbuk sampel sekitar 2,9 mg diletakkan pada pan aluminium, ditutup rapat kemudian dipanaskan pada rentang suhu 25-500C. Kalibrasi instrumen dilakukan dengan menggunakan standart indium. DSC juga dapat digunakan untuk mengamati perubahan fasa lebih halus, seperti transisi kaca. DSC banyak digunakan dalam pengaturan industri sebagai instrumen pengendalian kualitas karena penerapannya dalam mengevaluasi kemurnian sampel dan untuk mempelajari pengobatan polimer. Hasil percobaan DSC adalah pemanasan atau pendinginan kurva. 272
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Gambar 1. . Hasil Analisa Thermal Beeswax Menggunakan DSC
Gambar 2. Berdasarkan DTA dan TGA
273
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Kurva ini dapat digunakan untuk menghitung entalpi transisi. Hal ini dilakukan dengan mengintegrasikan puncak yang berhubungan dengan transisi yang diberikan. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa entalpi transisi yang dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut:
ΔH = KA
(2)
dimana ΔH adalah entalpi transisi, K adalah konstanta kalorimetrik, dan A adalah luas area di bawah kurva. Konstanta calometric akan bervariasi dari instrumen ke instrument lain, dan dapat ditentukan dengan menganalisis sampel yang baik ditandai dengan entalpi yang kemudian dikenal transisi. Sebuah kurva skematik DSC menunjukkan penampilan beberapa fitur-fitur umum. Berdasarkan kurva DSC pada gbr. 1, didapatkan titik onset (sebelum berubah menjadi fase yang lain) temperaturnya 49,18 C, temperature glass beeswax berada pada 61,22 C dan pada temperature 67,30 C terjadi perubahan fase pada beeswax. Kristalisasi pada temperature 384,26 C, titik lebur terjadi pada temperature 403,84 C.
IV.
KESIMPULAN
Proses enkapsulasi meningkatkan area perpidahan panas yang sekaligus menyebabkan peningkatan koefesien perpidahan panas pada sistim. Hal ini membantu dalam proses pembentukan penghalang dan melindungi PCM dari lingkungan luar yang mengendalikan perubahan volume PCM.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Kemenristekdikti yang telah membiayai penelitian ini melalui skema Simlitabmas Penelitian Dosen Pemula tahun 2016, dan juga kepada sdr. Rinto Agustino yang telah memfasilitasi pelaksanaan pengujian karakterisasi makro-enkapsulasi di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM).
Tabel 1. Puncak DSC pada Beeswax
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
Tabel 2. Puncak DSC dan TGA
4.
5.
6.
7.
274
A.Pasupathy, R.V.Seeniraj, “Experimental Investigation and Numerical Simulation Analysis on the Thermal Performance of a Building Roof Incorporating Phase Change Material (PCM) for Thermal Management”, Applied Thermal Engineering, 2008, pgs 556-565. Baetens R, Jelle BP, Gustavsen A. Phase change materials for building applications: a state-of-theart review. Energy Build 2010;42:1361–8. B.Frank, “Using Phase Change Materials (PCMs) for Space Heating and Cooling in Buildings”, Proceedings of 2004 AIRAH Performance Enhanced Buildings Environmentally Sustainable Design Conference. B.Frank, “Using Phase Change Material (PCMs) For Space Heating and Cooling in Buildings”, 2004 AIRAH performance enhanced buildings environmentally sustainable design conference. Chao Chen, Haifeng Guo, “A New Kind of Phase Change Material (PCM) for Energy-Storing Wallboard”, Energy and Buildings 40(2008), pgs 882-890. C.K. Halford, R. F. Boehm, "Modeling of phase change material peak load shifting", Energy and Buildings, 39, pp. 298-305, 2007. Entrop AG, Brouwers HJH, Reinders AHME. Experimental research on the use of microencapsulated phase change materials to store solar
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
energy in concrete floors and to save energy in Dutch houses. Sol Energy 2011;85:1007–20. Ibrahim Dincer, Marc A.Rosen, “Thermal Energy Storage Systems and Applications” Wiley Publication (2002). J. Blark, D. Heim,"Numerical modeling and Thermal simulation of PCM-gypsum composites with Esp-r" Energy and Building 36, pp. 795-805, 2004. J.Kim, K. Darkwa, "Simulation of an integrated PCM-wallboard system", Int. J. Energy 27, pp. 215-223, 2003. K.Nagano, S.Takeda, T.Mochida, K.Shimakura, T.Nakdamura, “Study of a Floor Supply Air Conditioning System using Granular Phase Change Material to Augment Building Mass Thermal Storage – Heat Response in Small Scale Experiment”, Energy and Buildings, Vol 36,2010 pgs 436 – 446. M. Farid, A.Khudhair, S. Razach, S. Al-Hallaj, "A review of phase change energy storage materials and applications", Energy Convers. Manage, 45, pp. 1597-1615, 2004. M.J.Huang, P.C.Eames, “The Application of a Validated Numerical Model to Predict the Energy Conservation Potential of Using Phase Change Materials in the Fabric of a Building”, Solar Energy Materials & Solar Cells 90 (2006), 19511960. Sakulich AR, Bentz DP. Incorporation of phase change materials in cementitious systems via fine lightweight aggregate. Constr Build Mater 2012;35:483–90. Shi X, Memon SA, Tang W, Cui H, Xing F. Experimental assessment of position of macro encapsulated phase change material in concrete walls on indoor temperatures and humidity levels. Energy Build 2014;71:80–7. Zhang Z, Shi G, Wang S, Fang X, Liu X. Thermal energy storage cement mortar containing noctadecane/expanded graphite composite phase change material. Renewable Energy 2013;50:670– 5. Zhang Z, Zhang N, Peng J, Fang X, Gao X, Fang Y. Preparation and thermal energy storage properties of paraffin/expanded graphite composite phase change material. Appl Energy 2012;91:426– 31.
BIODATA PENULIS Penulis adalah dosen pada Universitas Samudra. Telah mengajar sejak tahun 2012. Menyelesaikan pendidikan Magister Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala pada tahun 2012 dan kini sedang menjalani studi Doktor paa Program Ilmu Teknik pada institusi yang sama. Bidang ilmu yang diminati mencakup Disain mekanikal, Lingkungan Hidup dan Energi.
275
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Uji Prototipe Alat Pengering Pakaian Menggunakan Kolektor Surya Berbahan Kaca dan Seng Test Prototype Clothes Dryers Use Solar Collectors are Made of Glass and Zinc Supriatno1, Jufrizal Nurdin12, Anhar Surya Gandara1 1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Medan Jl. Gedung Arca No.52, Medan 20217, Sumatera Utara 2 Email:
[email protected]
Abstrak - Usaha laundry sangat menjamur di perkotaan sekarang ini. Energi surya merupakan sumber panas utama untuk pengeringan pakaian karena tidak membutuhkan biaya tambahan. Kelemahan dari sistem pengeringan ini adalah faktor cuaca yang tidak konstan terutama ketika musim hujan. Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan dari alat pengering tenaga surya dengan dua variasi bahan kolektor surya yaitu kaca dan seng. Prototipe alat pengering pakaian telah dibuat menggunakan kolektor surya pada bagian atas dan ruang pengering pada bagian bawah. Alat ini memiliki dimensi keseluruhan yaitu 86 x 86 x 190 (cm). Bahan pengujian menggunakan 3 buah pakaian basah jenis katun dengan massa total 600 g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama proses pengeringan menggunakan kolektor surya berbahan kaca adalah 5 jam dengan kadar air akhir pakaian 290 g. Proses pengeringan ini lebih cepat 1 jam dibandingkan dengan menggunakan seng sehingga penggunaan kolektor surya berbahan kaca lebih baik jika dibandingkan dengan seng. Kata Kunci: kolektor surya, pengering pakaian, prototipe Abstract - Laundry business is very much in urban areas nowadays. Solar energy is the primary source of heat for drying clothes because it does not require an additional fee. The downside of this drying system is not constant weather factor especially when the rainy season. This research aims to test the ability of solar dryers with two variations of the solar collector materials i.e. glass and zinc. Clothes dryers prototype has been created using solar collectors on the top and on the bottom of the dryer room. This tool has an overall dimension i.e. 86 x 86 x 190 (cm). Materials testing using 3 pieces of clothing wet cotton types with total mass 600 g. The results showed that the long drying process using solar collectors are made of glass is 5 hours with the final moisture content of clothing 290 g. Drying process is faster an hour compared to using zinc so the use of a glass-based solar collector is better if compare with zinc. Keywords: solar collectors, clothes dryers, prototype
I.
lamanya pengeringan pakaian tersebut sehingga akan menimbulkan dampak besar bagi pakaian. Pengusaha laundry harus menambah modal mereka lagi untuk mengeringkan pakaian menggunakan alat pengering pakaian tenaga listrik atau gas elpiji sehingga biaya produksi akan meningkat. Banyak penelitian terdahulu tentang pengering pakaian yang telah dilakukan. Mesin pengering pakaian dengan energi listrik dengan mempergunakan siklus kompresi uap telah dibuat dan diuji. Hasilnya menunjukkan, untuk mengeringkan 20 baju batik basah hasil perasan tangan memerlukan waktu sekitar 115 menit, sedangkan untuk mengeringkan 15 baju batik hasil perasan tangan memerlukan waktu sekitar 90 menit. Untuk mengeringkan 20 pakaian baju batik basah hasil perasan mesin cuci memerlukan waktu sekitar 55 menit [3]. Mesin pengering Laundry juga telah dirancang dengan metode QFD menggunakan bahan bakar gas. Hasil desain dapat disimpulkan bahwa mesin pengering laundry yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pengguna. Sebagai pengembangan desain mesin pengering laundry ada beberapa penambahan yang dilengkapi dengan blower
PENDAHULUAN
Usaha mikro kecil menengah (UMKM) seperti laundry sedang tumbuh dan berkembang pesat di daerah perkotaan dan pinggiran kota yang penuh dengan pabrik pada saat ini. Ini disebabkan di daerah perkotaan memiliki peluang usaha yang sangat baik karena penduduk di daerah tersebut yang padat, sangat sibuk dan selalu hidup serba instan dan praktis akan lebih memilih jasa laundry daripada bergelut dengan urusan rumah tangga yang berhubungan dengan cuci dan setrika [1]. Terjangkaunya harga untuk mencuci pakaian yang di tawarkan kepada konsumen terhadap penerima jasa laundry yang berkisar mulai dari Rp 4.000,- sampai dengan Rp 10.000,- per kilonya (tergantung paket) di kota Medan [2]. Akibat murahnya harga laundry mengakibat kebanjiran pelanggan yang mereka terima setiap harinya. Tantangan utama yang harus diterima oleh pihak penyedia jasa tersebut adalah faktor cuaca. Panas matahari adalah sumber utama untuk mengeringkan pakaian yang telah dicuci oleh pihak penerima jasa laundry karena paling ekonomis. Cuaca hujan dan mendung, biasanya akan mempengaruhi 276
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
50 watt, burner, ECU (electrik control unit), sensor panas, sensor cahaya, solenoid valve, timer, alarm, roda, pegangan tangan, cerobong output udara panas, tabung gas terpisah, swing head, on of button, warna biru muda, bahan aluminium dan harga mesin 2 juta [4]. Alat pengering pakaian kapasitas 10 kg berdaya 380 watt telah selesai dirancang. Berdasarkan dari hasil uji coba menunjukkan bahwa alat bisa bekerja dengan baik pada proses pengeringan. Pemanasan bisa merata pada kotak pengering menggunakan kipas. Elemen pemanas sebagai sumber panas pada proses pengeringan. Alat pengering pakaian ini bisa memberikan solusi atas permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dalam menyediakan sebuah alat sederhana. Kapasitas alat sebesar 10 kg merupakan jumlah cucian yang sering digunakan pada setiap rumah tangga [5]. Berdasarkan penelitian terdahulu dimana hampir semua peralatan pengering menggunakan energi listrik dan gas sebagai tenaga sehingga kurang ekonomis, maka penulis tertarik melakukan pemanfaatan energi surya secara optimal dengan melakukan pengujian alat pengering pakaian menggunakan kolektor surya berbahan kaca dan seng. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui intensitas radiasi matahari dan profil temperatur ruang pengering selama pengujian berlangsung; mengetahui penguapan kadar air pakaian menggunakan kolektor surya berbahan seng dan kaca; mengetahui penurunan massa pakaian selama proses pengeringan menggunakan kolektor surya berbahan seng dan kaca dan mengetahui laju pengeringan pakaian selama proses pengeringan menggunakan kolektor surya beratap seng dan kaca. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi listrik terutama pada proses pengeringan pakain. Selain itu juga bisa menjadi acuan untuk membuat skala yang lebih besar dalam konsep energi terbaharukan.
II.
Gambar 1. Dimensi peralatan penelitian Sedangkan untuk membantu pengukuran data digunakan beberapa alat ukur yang berfungsi sesuai dengan kebutuhan data. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini seperti berikut. 1. Timbangan Digital Timbangan digital digunakan mengukur penurunan kadar air dari pakaian. Gambar 2 memperlihatkan model timbangan digital yang digunakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan proses perancangan peralatan. Kemudian dilanjutkan dengan pengadaan dan pembuatan peralatan pengujian. Setelah selesai pembuatan dilakukan setup peralatan dengan instrumentasi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fenomena Dasar, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Medan dalam kurun waktu 7 Bulan.
Gambar 2. Timbangan digital 2. Termometer digital dengan termokopel Termometer digital dengan termokopel berfungsi untuk mengetahui temperatur yang terdapat pada mesin pengering pakaian. Termometer digital yang digunakan seperti pada Gambar 3.
A. Bahan dan Alat Peralatan utama dalam penelitian ini adalah sebuah ruang pengering yang pada bagian atasnya berfungsi sebagai kolektor. Gambar dan ukuran dari peralatan tersebut seperti pada Gambar 1. Bahan yang diuji dalam penelitian ini adalah 3 buah pakaian basah jenis katun dengan massa total 600 g.
Gambar 3. Termometer Digital
277
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
Display temperatur menggunakan merk Autonics tipe T4WM (5 channel) dan termokopel tipe K. Sedangkan posisi pemasangan termokopel pada alat uji untuk melihat laju perpindahan panas pada proses pengujian yang dilakukan pada beberapa titik seperti berikut. T1 : Temperatur atap (oC) T2 : Temperatur ruang kolektor (oC) T3 : Temperaturpelat absorber (oC) T4 : Temperatur ruang pengering (oC) T5 : Temperatur dinding (oC) T6 : Temperaturlingkungan (oC)
Gambar 6. Stopwatch 6. Thermo dan Hygrometer Thermo dan hygrometer adalah terdapat dalam satu alat yang berfungsi untuk mengukur kelembaban dan temperatur udara di dalam ruang pengering pakaian. Thermo dan hygrometer yang digunakan seperti ditampilkan pada Gambar 7.
4. Hot wire anemometer Hot wire anemometer berfungsi untuk mengukur kecepatan angin pada mesin pengering pakaian. Hot wire anemometer yang digunakan dalam penelitian ini seperti Gambar 4.
Gambar 7. Thermo dan hygrometer B. Eksperimental setup Eksperimental setup berfungsi untuk menghubungkan peralatan penelitian dengan instrumentasi pengukuran. Setelah peralatan penelitian selesai dibuat maka di pasang kabel-kabel termokopel sesuai dengan titik-titik pengkuran. kemudian dilanjutkan dengan pemasangan alat ukur yang lain. Eksperimental setup peralatan penelitian seperti diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 4. Hot wire anemometer 4. Solar power meter (SPM) Solar power meter berfungsi untuk mengukur intensitas radiasi matahari pada hari pengujian terjadi disekitar alat uji. Jenis SPM yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lutron SPM-1116SD yang bentuknya seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Solar Power Meter 5. Stopwatch Stopwatch digunakan untuk mengetahui interval waktu pengambilan data pengujian. Stopwatch yang digunakan seperti pada Gambar 6.
Gambar 8. Eksperimental setup peralatan penelitian 278
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
III.
(T4) = 34,85℃ , temperatur lingkungan (T5) = 33,85℃, temperatur dinding (T6) = 36,00℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 504,23 W/m .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian dilakukan selama 6 hari dengan menggunakan 2 variasi atap dan 3 hari pengujian untuk atap kaca dan 3 hari pengujian untuk atap seng yang di mulai pada pukul 09:00 Wib sampai dengan pukul 15:00 Wib pengambilan data dilakukan dalam interval waktu 30 menit. Selama pengujian, keadaan cuaca tidak menentu. Dalam satu hari terkadang cerah dan terkadang berawan serta berkabut, sehingga intensitas radiasi matahari menjadi sangat berfluktuasi. Umumnya dalam satu hari pengujian, waktu efektif yang dapat digunakan untuk pengeringan antara tiga sampai empat jam. Selama pengujian, rata-rata intensitas radiasi matahari tertinggi terjadi pada jam 11.00 – 02.00 WIB. Dalam pengujian ini dilakukan terhadap dua model pengeringan serta 2 variasi atap pengeringan yaitu menggunakan pengering surya beratap kaca dan seng serta pengeringan alamiah (langsung).
Gambar 10. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan alat pengering surya beratap seng pada tanggal 04 Oktober 2015
A. Pengujian Kolektor Surya Berbahan Seng 1. Profil Temperatur Pengujian pertama menggunakan alat pengering surya beratap seng yaitu pada tanggal 03 Oktober 2015. Pengujian dilakukan mulai pukul 09:00 WIB sampai dengan 15:00 WIB. Hasil dari pengujian data secara grafik seperti Gambar 9.
Pengujian ketiga dilakukan pada tanggal 05 Oktober 2015 dimulai dari pukul 09:00 WIB sampai dengan pukul 15:00 WIB, untuk setiap data pengujian yang terjadi secara grafik dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai rata-rata pengujian yang didapat pada pengujian hari ini untuk temperatur atap (T1) = 37,80℃, temperaturruang kolektor (T2) = 35,80℃, temperatur pelat absorber (T3) = 35,80℃ , temperatur ruang pengering (T4) = 34,27℃ , temperatur lingkungan (T5) = 32,80℃, temperatur dinding (T6) = 35,33℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 492,37 W/m .
Gambar 9. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan alat pengering surya beratap seng tanggal 03 Oktober2015 Nilai rata-rata pengujian yang didapat pada pengujian hari pertama ini untuk temperatur atap (T1) = 41,62℃, temperatur ruang kolektor (T2) = 40,31℃, temperatur pelat absorber (T3) = 39,46℃ , temperatur ruang pengering (T4) = 38,62℃, temperatur lingkungan (T5) = 36,92℃, temperatur dinding (T6) = 39,08℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 716,26 W/m . Pengujian kedua dilakukan pada tanggal 04 Oktober 2015 dimulai pada pukul 09:00 WIB sampai dengan pukul 15:00 WIB untuk setiap data pengujian secara grafik dapat dilihat pada Gambar 10. Nilai ratarata pengujian yang didapat pada pengujian hari ini untuk temperatur atap (T1) = 38,69℃, temperatur ruang kolektor (T2) = 37,00℃, temperatur pelat absorber (T3) = 35,85℃ , temperatur ruang pengering
Gambar 11. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan alat pengering surya beratap seng tanggal 05 Oktober 2015 2. Penguapan Kadar Air Penguapan kadar air dari bahan menggunakan kolektor surya berbahan seng selama 3 hari pengujian seperti pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa penguapan kadar air pakaian sebanding dengan waktu pengeringan. Kenaikan penguapan kadar air pakaian juga sangat dipengaruhi
279
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
oleh suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering, kecepatan udara pengering.
pengeringi, kelembaban relatif udara pengering, kecepatan udara pengering. Pada pengujian ini laju pengeringan rata-rata masing-masing pengujian berturut-turut yaitu 0,075 g/s, 0,121 g/s, dan 0,074 g/s.
Gambar 12. Grafik penguapan kadar air pada saat proses pengeringan menggunakan kolektor surya berbahan seng Gambar 14. Grafik laju pengeringan menggunakan proses pengering menggunakan kolektor surya berbahan seng
Pada pengujian ini massa awal pakaian 600 g dengan kadar air 51,67 % bb maka massa air yang harus diuapkan sebesar 310 g dan hanya membutuhkan waktu rata-rata 6 jam untuk menguapkan kadar air yang terkandung di dalam pakaian tersebut.
B. Pengujian Kolektor Surya Berbahan Kaca 1. Profil Temperatur
3. Penurunan Massa Pakaian Penurunan massa pakaian menggunakan kolektor surya berbahan seng selama 3 hari pengujian ditampilkan pada Gambar 13. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa penurunan massa pakaian sebanding dengan waktu pengeringan.
Pengujian keempat dilakukan pada tanggal 06 Oktober 2015 dimulai dari pukul 09:00 Wib sampai dengan pukul 16:00 Wib, untuk setiap data pengujian secara grafik dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai ratarata pengujian yang didapat pada pengujian hari ini untuk temperatur atap (T1) = 35,87℃, temperatur ruang kolektor (T2) = 37,27℃, temperatur pelat absorber (T3) = 38,27℃ , temperatur ruang pengering (T4) = 32,27℃ , temperatur lingkungan (T5) = 30,40℃, temperatur dinding (T6) = 33,73℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 409,18 W/m .
Gambar 13. Grafik penurunan massa pakaian pada saat proses pengeringan menggunakan kolektor surya berbahan seng Penurunan massa pakaian juga sangat dipengaruhi oleh suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering, kecepatan udara pengering. Pada pengujian ini massa awal pakaian 600 g dan setelah melalui proses pengeringan didapat massa keringnya yaitu sebesar 290 g dengan membutuhkan waktu rata-rata 6 jam setiap pengujian.
Gambar 15. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca tanggal 06 Oktober 2015 Pengujian kelima dilakukan pada tanggal 07 Oktober 2015 dimulai dari pukul 09:00 WIB sampai dengan pukul 14:00 WIB, untuk setiap data pengujian yang terjadi secara grafik dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai rata-rata temperatur pengujian yang didapat pada hari ini untuk temperatur atap (T1) = 43,09℃, temperatur ruang kolektor (T2) = 50,55℃, temperatur pelat absorber (T3) = 51,73℃ , temperatur ruang
4. Laju Pengeringan Pakaian Laju pengeringan pakaian menggunakan kolektor surya berbahan seng selama 3 hari pengujian seperti pada Gambar 14. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa laju pengeringan pakaian sebanding dengan waktu pengeringan. Kenaikan laju pengeringan pakaian juga sangat dipengaruhi oleh suhu udara 280
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016 pengering (T4) = 39,18℃, temperatur lingkungan (T5) = 33,55℃, temperatur dinding (T6) = 39,64℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 774,63W/m .
dan membutuhkan waktu rata-rata 5 jam untuk menguapkan kadar air yang terkandung di dalam pakaian tersebut.
Gambar 18. Grafik penguapan kadar air menggunakan kolektor surya beratap kaca 3. Penurunan Massa Pakaian Penurunan massa pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca ditampilkan pada Gambar 19. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa penurunan massa pakaian sebanding dengan waktu pengeringan. Penurunan massa pakaian juga sangat dipengaruhi oleh suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering dan kecepatan udara pengering.
Gambar 16. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca tanggal 07 Oktober 2015 Pengujian keenam dilakukan pada tanggal 08 Oktober 2015 dimulai dari pukul 09:00 Wib sampai dengan pukul 14:00 Wib, untuk setiap data pengujian yang terjadi secara grafik dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai rata-rata pengujian yang didapat pada pengujian hari ini untuk temperatur atap (T1) = 40,18℃, temperatur ruang kolektor (T2) = 42,27℃, temperatur pelat absorber (T3) = 42,82℃ , temperatur ruang pengering (T4) = 36,27℃, temperatur lingkungan (T5) = 33,91℃, temperatur dinding (T6) = 39,00℃ dan radiasi rata-rata matahari pada hari ini adalah 550,23 W/m .
Gambar 19. Grafik penurunan massa pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca Pada pengujian ini massa awal pakaian 600 g dan setelah melalui proses pengeringan didapat massa keringnya yaitu sebesar 190 g dengan membutuhkan waktu rata-rata 5 jam. Gambar 17. Grafik pengujian pengeringan pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca tanggal 08 Oktober 2015
4. Laju Pengeringan Pakaian Data hasil pengukuran laju pengeringan pakaian menggunakan kolektor surya beratap kaca disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 20. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa laju pengeringan pakaian sebanding dengan waktu pengeringan. Kenaikan laju pengeringan pakaian juga sangat dipengaruhi oleh suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering, kecepatan udara pengering. Pada pengujian ini laju pengeringan rata-rata masingmasing selama 3 hari pengujian berturut-turut yaitu, 3,468 g/s, 4,453 g/s dan 4,381 g/s.
2. Penguapan Kadar Air Penguapan kadar air menggunakan alat pengering surya beratap kaca Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa penguapan kadar air pakaian sebanding dengan waktu pengeringan. Kenaikan penguapan kadar air pakaian juga sangat dipengaruhi oleh suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering, kecepatan udara pengering. Pada pengujian ini massa awal pakaian 600 g dengan kadar air 51,67 % bb maka massa air yang harus diuapkan sebesar 310 g 281
Proseding Seminar Nasional Teknologi Rekayasa (SNTR) III Tahun 2016
UCAPAN TERIMA KASIH Terlaksananya penelitian ini berkat semua pihak yang telah meluangkan waktu dan energinya maka pada kesempatan ini Kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
Gambar 20. Grafik laju pengeringan menggunakan kolektor surya beratap kaca
IV.
KESIMPULAN
[3]
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan tentang prototipe alat pengering pakaian menggunakan kolektor surya berbahan kaca dan seng yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Intensitas radiasi matahari rata-rata selama pengujian berlangsung (6 hari) berturut-turut adalah 716,26 W/m2, 504,23 W/m2, 492,37 W/m2, 409,18 W/m2, 774,63 W/m2, 550,23 W/m2. Sedangkan temperatur ruang pengering setiap hari pengujian berturut-turut adalah 38,62℃, 34,85℃, 34,27℃, 32,27℃, 39,18℃, dan 36,27℃. Dari keenam hari pengujian tersebut yang paling baik adalah pada hari ke-5 pengujian yaitu 774,63 W/m2 dengan menghasilkan temperatur ruang pengering adalah 39,18℃ pada pengujian menggunakan kolektor surya berbahan berbahan kaca. 2. Persentase penguapan kadar air pakaian menggunakan kolektor surya berbahan seng selama 3 hari pengujian adalah 22,61 %, 32,26 % dan 22,25 %. Sedangkan jika menggunakan kolektor surya berbahan kaca selama 3 hari pengujian berturut-turut adalah 22,23%, 31,88% dan 30,67%. 3. Penurunan massa pakaian pada pengeringan menggunakan alat pengering surya beratap seng pada pengujian ke 1 sampai ke 3 penurunan massa pakaian pada pengeringan rata-rata mencapai 464,33 gr, 382,42 gr, 466,50 gr, dan pada pengujian ke 4 sampai ke 6 menggunakan alat pengering surya beratap kaca, rata-rata penurunan massa pakaian mencapai 466,64 gr, 408,70 gr, dan 416,00 gr. 4. Laju pengeringan pakaian menggunakan alat pengering surya beratap seng pada pengujian ke 1 sampai ke 3 laju pengeringan pakaian di dapat rata-rata mencapai 4,52 gr/s, 7,25 gr/s, dan 4,45 gr/s dan pengujian ke 4 sampai ke 6 menggunakan alat pengering surya beratap kaca, rata-rata laju pengeringan pakaian mencapai 4,44 gr/s, 6,37 gr/s, dan 6,13 gr/s. 5. Penggunaan atap yang paling baik untuk pengeringan pakaian sistem kolektor surya adalah menggunakan atap kaca karena hanya memerlukan waktu 5 jam sedangkan menggunakan seng memakan waktu selama 6 jam.
[4]
[5]
D. Bhaskara, “Kenapa Harus Membuka Usaha Laundry ?”, 2013. Website: http://mesinlaundry.com/kenapa-harus-membukausaha-laundry/, diakses tanggal 15 Mei 2015. B. laundry, “Daftar Harga Laundri Khusus Brilliant & Brother Laundry”, 2015. Website: https://brilliantlaundry.wordpress.com/ daftar-harga/, diakses tanggal 15 Mei 2015. PK. Purwadi dan W. Kusbandono, Mesin Pengering Pakaian Energi Listrik Dengan Mempergunakan Siklus Kompresi Uap, Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV), Banjarmasin, Oktober 2015, pp. MT 61. I. Ardianto dan A. P. Budijono, Perancangan Mesin Pengering Laundry Dengan Metode QFD (Quality Fungtion Deployment), JTM. vol. 02, no. 02, 2014, pp. 217-226. B. Setyawan dan M. A. Irfa’I, Rancang Bangun Pengering Pakaian Kapasitas 10 Kg Berdaya 380 Watt, JRM, vol. 02, no. 02, 2015, pp. 17-20.
BIODATA PENULIS Dr.Eng Supriatno, S.T., M.T. dilahirkan di Takengon, 2 Februari 1974. Tamat Strata-1 dari Institut Teknologi Medan, Indonesia tahun 1997. Kemudian melanjutkan ke program studi Magister Teknik Mesin di Universitas Gadjah Mada, Indonesia dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2009, melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 di Mechanical Engineering Science, Kyushu University, Japan dan selesai pada tahun 2012. Bidang keahlian penulis adalah teknik konversi energi. Saat ini penulis aktif mengajar di Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Medan. Jufrizal, S.T., M.T. lahir di Pante Baro Gle Siblah (Aceh), 19 Februari 1982. Tamat Strata-1 dari Institut Teknologi Medan, Indonesia tahun 2004. Jenjang S-2 diperoleh di program studi teknik mesin, Universitas Sumatera Utara, Indonesia. Bidang keahlian penulis adalah teknik konversi energi. Saat ini penulis aktif mengajar di Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Medan. Anhar Surya Gandara, S.T. adalah Alumni Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Medan, Indonesia tahun 2015.
282