Key words: principle of equilibrium, agreement to sale and purchase, exoneration clause
DAFTAR SINGKATAN
AJB
: Akta Jual Beli
BF
: Booking fee
DP
: Down Payment
KEPMEN No. 09 Tahun 1995
: Keputusan Menteri Negara No. 09 Tahun 1995 Tentang Pedoman Perjanjian Pengikatan Jual Beli
KPR
: Kredit Pemilikan Rumah
KUHPerdata
: Kitab Undang-undang Hukum Perdata
MoU
: Memorandum of Understanding
PPAT
: Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPJB
: Perjanjian Pengikatan Jual Beli
PP 24 Tahun 1997
: Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Penyempurnaan dari PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
SPR
: Surat Pemesanan Rumah
UUHAM
: Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UUPA
: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang “Setiap langkah bisnis adalah langkah hukum” adagium atau ungkapan tersebut merupakan keniscayaan dalam dinamika bisnis modern.
Prespektif
bisnis, menganggap aspek hukum tersebut merupakan manifestasi penuangan proses bisnis ke dalam bahasa hukum dalam bentuk kontrak, yang sarat dengan pertukaran kepentingan di antara para pelakunya. Oleh karena itu, keberhasilan dalam bisnis, antara lain juga akan ditentukan oleh stuktur atau bangunan kontrak yang dibuat oleh para pihak. Timbulnya permasalahan dan hambatan dikemudian hari terhadap hubungan kontraktual, umumnya tidak mungkin bisa diprediksi sebelumnya. Oleh karena itu, pada saat kontrak tersebut dibuat, para pihak harus benar-benar memahami substansi dan situasi sebelum memutuskan untuk membuat kata sepakat dalam kontrak. Van Dunne, seorang ahli hukum Belanda, menggambarkan bahwa proses penyusunan kontrak terdiri atas tiga tahap, pertama tahap prakontrak atau precontractuele fase, kedua tahap kontrak atau contractuale fase, dan tahap postkontrak atau postcontractuale fase.1 Perumusan hubungan kontraktual umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Para pihak dapat saling mengemukakan 1
F.X Suhardana, 2008, Contract Drafting (Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 84.
2
pendapat dan dasar pikirannya masing-masing untuk menciptakan bentuk kesepakatan, dengan saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan melalui cara tawar menawar terhadap substansi, serta ketentuan-ketentuan yang hendak dituangkan ke dalam kontrak.2 Kesepakatan yang dimaksud dalam negosiasi, menjadi salah satu syarat penting lahirnya hubungan kontraktual di antara para pihak, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), dimana antara pihak penawaran (offer, aanbond) dan penerimaan (acceptance, aanvaarding) didasari atas kesepakatan,
yang
dimaksudkan untuk menimbulkan hukum mengikat diantara para pihak.3 Keberadaan asas hukum tentunya perlu diperhatikan, dalam proses diatas demi menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak, sebelum kontrak yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat. Pengertian asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah: Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.4 Asas hukum dalam lapangan hukum kontrak sebagaimana ternyata dalam hukum positif Indonesia, yakni KUHPerdata, diakomodir kedalam lima asas hukum perjanjian, terdiri dari tiga asas pokok yaitu asas konsensualisme, asas
2
Jeremy G. Thron, 1995, Terampil Berorganisasi, Pustaka Binaman Pressindo, hlm. 7. Sudikno Mertokusumo,(1) 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi keempat, cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta, hlm. 33. 4 Ibid., hlm. 34. 3
3
pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan dua asas penting lainya, yaitu asas kepribadian serta asas itikad baik. Kelima asas diatas, diharapkan dapat menciptakan keadilan sebagai tujuan utama dari keberadaan hukum.5 Adapun keadilan dalam perjanjian, harus dianalisis berdasarkan perpaduan konsep kesamaan hak dalam pertukaran prestasi dan kontra prestasi yang seimbang, sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif, maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual.6 Selain ke lima asas yang telah disebutkan oleh penulis, terdapat juga asas hukum perjanjian yang berlaku universal dan telah dipertegas dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 17-19 Desember 1985, digunakan sebagai penyelaras kelima asas-asas hukum perjanjian yang disebutkan diatas, tidak dapat dipisahkan, serta saling terkait satu sama lain, bersifat penting dan wajib diterapkan dalam kontrak. Asas yang dimaksud salah satunya dikenal dengan asas keseimbangan. Asas keseimbangan atau dalam bahasa Belanda disebut evenwicht atau evenwichting, dan dalam bahasa Inggris disebut equality, equal, atau equilibrium 5
Moh. Mahfud MD, 1993, Dasar dan Stuktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit UII PRESS, Yogyakarta, hlm. 96. 6 Isi keadilan sukar untuk diberi batasan, Aristoteles membedakan keadilan distributive ( justitia distributive) yaitu mendapatkan hak dan jatahnya secara proporsional mengingat kedudukan kemampuan dan sebagainya, tugas pemerintah untuk menentukan apa yang dituntut warganya, keadilan distributive tidak menuntut kesamaan tapi perimbangan sedangkan keadilan komutatif (justitia commutative) dimaksudkan untuk memberi kepada setiap orang sama banyaknya dalam pergaulan manusia, keadilan komutatif merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesama. Keadilan komutatif menuntut kesamaan tanpa memandang kedudukan dan sebagainya, Sudikno Mertokusumo, dikutip dalam Ari Hernawan, 2013, Ketidak Adilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 49.
4
bermakna leksikal “sama, sebanding” menunjuk pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat dan lain-lain.7 Tidak ada pengaturan mengenai asas keseimbangan. Konteks keseimbangan dapat diketemukan secara tersirat maupun tersurat dalam peraturan perundangundangan yang menegaskan dan berkorelasi dengan asas-asas hukum perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagaimana titik fokus penelitian penulis yang mensoroti asas keseimbangan dalam tahap pra dan kontraktual penyusunan kontrak baku dilakukan analisis berdasarkan indikator pengaturan hak dan kewajiban dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), yang disahkan pada tanggal 20 April 19998
dan
Keputusan
Menteri
Negara
Perumahan
Rakyat
Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli ( selanjutnya disingkat KEPMEN 09 tahun 1995). Asas keseimbangan juga akan lebih spesifik diketemukan, apabila penuangan hak dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas 7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 373, dalam Agus Yudho Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, hlm. 26. 8 Sebagaimana penjelasan Pasal 2 UUPK “ Perlindungan Konsumen bereasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konnsumen serta kepastian hukum.” implementasi konsiderans huruf (f) “bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat” jo. Pasal 3 UUPK “Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Disahkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.
5
dalam kontrak baku tidak dilepaskan dari analisis melalui kacamata Pasal 18 UUPK mengenai larangan pencantuman klasula baku yang dinilai memberatkan, tidak seimbang dan tidak adil. Asas keseimbangan dalam Pasal 18 UUPK ditujukan untuk menjamin keseimbangan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen tetap berada pada satu garis yang seimbang.
Keseimbangan dalam penjelasan Pasal 18 ayat 1
UUPK tersebut dapat diketemukan apabila asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan batasan asas tersebut yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mengenai asas itikad baik, serta Pasal 1320 jo. 1337 KUHPerdata mengenai “kausa yang legal”
diterapkan dari mulai fase
prakontraktual. Asas keseimbangan tercermin ketika para pihak yang akan membuat perjanjian di beri kebebasan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata.9 Kebebasan yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata tersebut tidaklah mutlak, melainkan harus diimbangi dengan aturan yang menyatakan bahwa kebebasan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepatutan, dan kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum dalam pembuatan mau pelaksanaannya. 9
Pasal 1338 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. kata “semua…..” mengandung pengertian bahwa KUHPerdata memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk: mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan bentuk perjanjian; menentukan sendiri isi dan syarat dari perjanjian yang dibuatnya; menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya, dalam artian kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional) pendapat Asser-Rutten dalam Disertasi Siti Ismijati Jenie, 1998, Kedudukan Perjanjian Leasing dalam Hukum Perikatan Indnesia serta Prospek Pengaturan Aspek-aspek Hukumnya di Masa Mendatang, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 139.
6
Maksud keseimbangan dari beberapa aturan yang telah dikemukakan yaitu terjadinya kesetaraan kedudukan antara hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus), tidak ada yang mendominasi atau melakukan tekanan kepada pihak lainnya. Perkembangan industri maju dengan pangsa pasar yang semakin luas, membawa dampak pada pola transaksi ekonomi. Pelaku usaha dituntut untuk semakin meningkatkan efisiensi waktu transaksi dalam melayani konsumen, sehingga membutuhkan pengikatan kontrak yang semakin efektif.
Dampak
negatif dari efektifitas pembuatan kontrak, oleh pelaku usaha adalah penerapan kontrak baku, yang pada awalnya ditujukan untuk mempercepat proses hukum dalam mempersiapkan kontrak, kemudian tujuan tersebut bergeser dengan kontrak baku yang cenderung tidak memberikan perlindungan pihak yang menerima kontrak tersebut dari adanya ketentuan yang tidak berlaku adil, apabila muncul persengketaan kelak, karena dinilai melanggar beberapa asas hukum perjanjian, termasuk pelanggaran terhadap asas keseimbangan meskipun tidak secara keseluruhan. Kontrak baku atau kontrak standar (bahasa Inggris : standard contract, bahasa Belanda : algemene voorwaarden), adalah kontrak yang dibuat, dimana salah satu pihak memiliki ekonomi, psikologis dan sosial yang lebih kuat untuk menentukan syarat dan isi di dalam kontrak, sedangkan pihak lain sebagian hanya menerima atau menolak (take it or leave it). Pada saat kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan tanpa, atau berkemungkinan kecil untuk merubahan isi atau
7
syarat kontrak yang tercermin dalam klausula-klausula baku (standardized clause).10 Klausula baku yang dibuat dengan adanya ketidakseimbangan posisi pada tahap prakontraktual dalam hal terdapat berbagai kepentingan subjektif, berpotensi mengakibatkan pelanggaran asas keseimbangan dalam tahapan kontrak selanjutnya. Oleh karena itu, klausula baku sering dimanfaatkan pelaku usaha sebagai pihak yang mempunyai bargaining position kuat 11, untuk menghindari kemungkinan timbulnya itikad tidak baik konsumen yang dapat merugikan kepentingan dari pelaku usaha itu sendiri, dengan cara menciptakan salah satu jenis klausula baku yang dilarang oleh Undang-undang, disebut dengan klausula eksonerasi.12 Kontrak baku yang sering kali memuat klausula eksonerasi, salah satunya terdapat dalam kontrak pendahuluan (pactum de contrahendo) transaksi jual beli
10
Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)- Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.76 , lihat juga pengertian klausula baku itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 10 UUPK adalah: “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” 11 Posisi tawar atau bargaining position adalah posisi salah satu pihak yang karena hal-hal tertentu dapat memaksakan kehendaknya agar pihak yang lain dalam memasuki suatu perjanjian menerima klausul-klausul yang diinginkan, sehingga perjanjian itu menguntungkan dirinya, lebih lanjut lihat dalam Ronny Sautma Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 10 mengutip pendapat dari Buku Clark Rober W., 1987, Inequality of Bargaining Power Judicial Intervension in improvident and inconscionable Bargains, Toronto; Carswell, hlm. 102. 12 Pengertian klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung unsur berat sebelah antara pihak satu dengan pihak lainnya. Klausula eksonerasi dapat berupa pengurangan, pembatasan maupun pembebasan tanggung jawab salah satu pihak dan meletakkannya pada pundak pihak lain, dimana seharusnya tanggung jawab tersebut ada padanya, atau yang seharusnya ditanggung bersama dengan pihak lain menurut hukum yang berlaku, atau dapat juga berupa perluasan makna force majeur.
8
rumah dalam bidang perumahan yang dibuat oleh developer disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pengertian PPJB adalah perjanjian pendahuluan antara pihak penjual dan pihak pembeli, dikarenakan adanya halangan-halangan sebelum dilaksanakan perjanjian pokok yaitu Akta Jual Beli (AJB), yang wajib dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).13 Halangan yang dimaksud sebagai dasar pembuatan PPJB yaitu, adanya unsur ataupun syarat yang belum terpenuhi, seperti halnya sertifikat masih dalam proses, pajak belum terbayar, atau karena belum terjadi pelunasan harga. Developer biasanya membuat PPJB secara di bawah tangan ( onder hands) dengan model standart contract dari awal pemesanan demi alasan efektifitas, efisiensi, serta hemat biaya. Akan tetapi, penggunaan kontrak baku PPJB ini berdampak negatif, karena disinyalir mempunyai potensi untuk meningkatkan risiko permasalahan selanjutnya, karena memicu polemik antara pelaku usaha dan konsumen, disebabkan oleh itikad dari pengusaha sendiri yang cenderung tidak baik dengan memanfaatkan keadaan konsumen yang posisinya lebih lemah, dan biasanya akan terlihat pada saat penyelesaian wanprestasi atau overmacht.
13
Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP 37 tahun 1998). Pasal 2 ayat 1 PP 37 tahun 1998 menyatakan bahwa: “|PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”, lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a) Jual beli; b) Tukar menukar; c) Hibah; d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e) Pembagian hak bersama; f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g) Pemberian Hak Tanggungan; h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.”
9
Penyelesaian wanprestasi atau overmacht, cenderung mengacu pada ketentuan klausula baku dalam PPJB yang sering dimuati itikad tidak baik, karena terkesan lebih menguntungkan pihak developer, melalui pencantuman klausula eksonerasi yang dinilai tidak adil dan tidak seimbang. Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi kepentingan para pihak secara fair dan seimbang, serta saling menguntungkan. Bukan sebaliknya merugikan salah satu pihak, atau bahkan pada akhirnya justru merugikan para pihak dalam perjanjian.14 Perlu adanya keseimbangan, sehingga akan tercapai pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair and reasonable).15 Para pihak dalam kontrak senantiasa berharap perjanjiannya berakhir “happy ending”, namun apabila kontrak tersebut berpotensi merugikan salah satu pihak, seperti halnya kontrak
baku yang memuat klausula eksonerasi, maka tidak
menutup kemungkinan sarat akan konsekuensi hukum yang menimbulkan banyak kerugian seperti halnya timbul akibat hukum yang ekstrem yaitu terbuka peluang penyalahgunaan keadaaan atau akibat hukum lainnya, baik terhadap para pihak yang membuat kontrak maupun pada kontrak baku itu sendiri yang dikategorikan melanggar asas keseimbangan, yang berujung pada pembatalan atau pengakhiran kontrak manakala terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak. Berdasarkan data yang didapat penulis dari ylki.org.co.id, banyak kasus relatif pelik mengenai perumahan masuk dan diterima oleh Direktorat Perlindungan Konsumen (DPK). Rekapitulasi prosentase data yang dihimpun dari 14 15
Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hlm.2. Ibid., hlm. 10.
10
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menunjukkan bahwa pengaduan masalah perumahan menempati urutan kedua pada tiga tahun terakhir ini, dengan salah satu permasalahan terbanyak mengenai kontrak baku, yang telah penulis jelaskan sebelumnya.16 Tingginya permasalahan mengenai penggunaan kontrak baku PPJB yang dibuat oleh pihak developer secara langsung dari awal pemesanan, kemudian mengubah pola transaksi jual beli tanah dan bangunan rumah pada perumahan. Pihak developer pada saat ini, telah memberlakukan Surat Pemesanan Rumah (selanjutnya disebut SPR) terlebih dahulu, sebelum membuat kontrak baku PPJB dibawah tangan yang nantinya akan didaftarkan di tempat Notaris, dengan alasan untuk lebih memperkecil risiko permasalahan dalam pengikatan awal pemesanan, sebagaimana yang dilakukan PT. Solid Gold Prima (selanjutnya disebut PT. Solid Gold), developer perumahan kelas menengah ke atas Palm Residence, di kota Surabaya. Disisi lain, tetap diperlukan analisis penerapan asas keseimbangan dalam tahap pra dan kontraktual penyusunan kontrak baku PPJB. Mengingat bahwa, walaupun PPJB tesebut telah deregister dihadapan Notaris, akan tetapi, rumusan isi, khususnya pengaturan akan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang 16 Prosentase data mencapai angka 18 % (delapan belas persen pada tahun 2010, 15% ( lima belas persen) pada tahun 2011 dan 12% (dua belas) persen pada tahun 2012. 40% (empat puluh persen) permasalahan yang dihadapi adalah mengenai implementasi klausula eksonerasi sebagai salah satu klausula baku yang dilarang Pasal 18 UUPK, dan tercantum dalam PPJB dibawah tangan yang dibuat oleh developer, karena dianggap memberatkan dan merugikan konsumen, disamping permasaalahan lainnya, yaitu keterlambatan serah terima rumah, sertifikasi, mutu bangunan, informasi marketing yang menyesatkan, pengenaan biaya tambahan, fasos dan fasum dan lain-lain. Ylki.org.id, diakses pada hari Jumat tanggal 16 Desember 2013, Pukul 12.00 WIB.
11
berkontrak, masih saja didasarkan pada ketentuan baku sepihak yang cenderung sesuai dengan kehendak, serta lebih menguntungkan pihak developer, tanpa disertai dengan keseimbangan hak dan keuntungan dari pihak konsumen. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan tetap diketemukannya beberapa rumusan klausula eksonerasi dalam draft bakunya. Mengingat rentannya permasalahan mengenai asas keseimbangan khususnya terhadap kontrak baku PPJB tanah dan bangunan, sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya, menjadikan dasar bagi penulis untuk memutuskan melakukan penelitian terhadap asas keseimbangan dalam PPJB yang didahului atau didasarkan SPR dalam bentuk standard contract khusus dari tahap pra sampai dengan kontraktual penyusunan kontrak baku dikaitkan dengan keberadaan klausula eksonerasi sehingga relevan dengan bidang kajian.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan sebelumnya dapat diambil tiga permasalahan diantaranya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penerapan asas keseimbangan dalam tahap pra dan kontraktual penyusunan kontrak baku PPJB tanah dan bangunan rumah pada perumahan Plam Residence di kota Surabaya ? 2. Mengapa
pencantuman
klausula
eksonerasi
dalam
kontrak
baku
dikategorikan sebagai pelanggaran asas keseimbangan ? 3. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan terhadap pelanggaran asas keseimbangan tersebut ?
12
C. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan yang penulis dapatkan, baik selama penelusuran kepustakaan di perpustakaan fakultas hukum UGM, maupun melalui web perpustakaan lain, penulis menemukan beberapa penelitian, dengan topik yang berhubungan erat dengan penelitian penulis, mengenai asas keseimbangan dalam kontrak baku, akan tetapi tetap terdapat perbedaan fokus penelitian. Pertama penelitian yang penulis lakukan lebih mendalam, bukan hanya berupa penerapan asas keseimbangan tersebut secara empiris, namun lebih menitik beratkan kepada sifat yuridis normatifnya. Kedua, objek yang diteliti untuk mendukung penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis lebih fokus ke dalam PPJB tanah dan bangunan rumah yang dibuat oleh developer. Ketiga, rumusan permasalahan yang penulis angkat juga berbeda, untuk menjawab penerapan asas keseimbangan, korelasi pencantuman klausula eksonerasi dengan pelanggaran asas keseimbangan dalam kontrak baku, serta akibat hukumnya. Penelitian yang mengkaji asas keseimbangan yang sudah ada selama ini, diantaranya adalah: 1. Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Antara Asas Kehati-Hatian Pemberi Kredit Kupedes Dan Kemampuan Nasabah Di BRI Unit Prawirotaman Yogyakarta, oleh Syakib Arsalam, 2009,
Magister Ilmu Hukum,
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
13
Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan mengenai : asas keseimbangan dikaitkan dengan asas kehati-hatian dan kemampuan nasabah berkaitan dengan keberadaan klausula baku sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 huruf (g) pada hubungan kontraktual yang terdapat pada surat pengakuan hutang dalam perjanjian kredit kupedes. 2. Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) di P.T. PLN (Persero) Area Banjarmasin, oleh Winardi, 2013, Magister Kenotariatan, Perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan mengenai: asas keseimbangan pada objek perjanjian jual beli tenaga listrik dan pada tahap negosiasi dalam penetapan tariff dan daya tenaga listrik di aera Banjarmasin. 3. Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Jasa Konstruksi Studi Kasus PT. Duta Graha Indah Melawan PT. Slipi Sri Indopuri, Oleh Edu Vitra Zuardi, 2011, Magister Ilmu Hukum, Perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan mengenai: asas proporsionalitas dengan memberikan pengertian yang sama antara proporsionalitas dengan asas keseimbangan sebagai salah satu cara mengantisipasi adanya sengketa dalam kontrak komersial. Berdasarkan penjelasan penulis yang membedakan dengan
penelitian-
penelitian sebelumnya, maka dapat dikatakan penulisan hukum
yang telah
dilakukan penulis dengan judul penelitian : “Penerapan Asas Keseimbangan
14
dalam PPJB Tanah dan Bangunan Rumah Perumahan Palm Residence di Kota Surabaya (Analisis Hukum Pada Tahap Pra dan Kontraktual Penyusunan Kontrak Baku Berkaitan dengan Keberadaan Klausula Eksonerasi)” memiliki sifat keaslian. Apabila diluar pengetahuan penulis ternyata hal ini pernah diteliti sebelumnya, maka penulis berharap penelitian ini dapat melengkapi penelitian yang terdahulu.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada: 1. Teoritis Menambah wawasan dan referensi teoritis karya ilmiah di bidang hukum
perdata,
khususnya
di
bidang
perjanjian
mengenai
asas
keseimbangan dalam pra dan kontraktual penyusunan kontrak baku dengan harapan dapat menjadi dasar pembuatan kontrak yang seimbang dan adil. 2. Praktis a. Penulis Penelitian ini merupakan bentuk pendalaman dan pembelajaran lebih lanjut terhadap teori yang selama ini dipelajari oleh penulis, sehingga diharapkan, dengan adanya penelitian ini dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisis, berfikir sistematis serta logis dalam membuat suatu kontrak. b. Masyarakat dan pelaku usaha Penelitian ini memberikan pengetahuan bagi masyarakat untuk lebih cermat dan berhati-hati. Bagi pelaku usaha khususnya developer,
15
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, serta masukan dalam menyempurnakan kontrak yang dibuat sepihak olehnya, sehingga tetap dapat memperhatikan kepentingan konsumen. c. Notaris dan PPAT Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan serta masukan untuk proaktif dalam pemberian penyuluhan dan konsultasi hukum, khususnya terhadap para pihak yang telah membuat kontrak baku untuk dijadikan dasar pembuatan akta otentik.
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tiga tujuan yang hendak dicapai, yaitu : 1. Mengetahui penerapan asas keseimbangan khususnya dalam tahap pra dan kontraktual penyusunan kontrak baku PPJB tanah dan bagunan rumah pada perumahan Palm Residence, kota Surabaya. 2. Mengetahui alasan klausula eksonerasi dalam kontrak baku dikategorikan sebagai pelanggaran asas keseimbangan. 3. Mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap pihak yang membuat kontrak dan kontrak itu sendiri apabila asas keseimbangan pada kontrak baku tersebut dilanggar.