KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: FANNY FATWATI PUTRI NIM : 1111048000004
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA 1436 H / 2015 M
ABSTRAK Fanny Fatwati Putri. NIM 1111048000004. KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. XI + 60 halaman + 3 halaman daftar pustaka + 37 halaman lampiran. Skripsi ini membahas tentang kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Hal ini dilatarbelakangi oleh kewenangan Presiden mengenai pengangkatan Kapolri yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang menyebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi, kewenangan Presiden hanya mengangkat dan memberhentikan sedangkan untuk membatalkan belum ada dasar hukum yang mengatur hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data penelitian pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka dan penelitian lapangan (field research) untuk menemukan secara spesifik dan realis tentang apa yang sedang terjadi saat itu. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus pembatalan pengangkatan Budi Gunawan Presiden tidak memiliki kewenangan yang berlandaskan hukum, karena di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tidak disebutkan terkait pembatalan pengangkatan calon Kapolri. Dari adanya pembatalan ini berdampak terhadap Budi Gunawan secara pribadi dimana rusaknya nama baik beliau dimasyarakat. Secara institusi seperti DPR, hal ini tentunya mempengaruhi integritas DPR sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan fit and proper test dan memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri Polri. Dan terhadap Polri, jika dilihat dari segi etis ini telah menghina institusi Polri. Dimana Polri memiliki seorang tersangka yang akan dijadikan seorang pemimpin di institusi tersebut. Kata Kunci
:
Kewenangan Presiden, Pembatalan Pengangkatan Kapolri, Budi Gunawan, Polri, DPR.
Pembimbing
:
Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H
Daftar Pustaka
:
1995 - 2014
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat, dan taufik-Nya kepada penulis sebagai ummat-Nya untuk di perdayakan dalam menjalani proses hidup ini, tak ada niat sedikitpun untuk melupakan-Mu. Shalawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang membawa kita dari zaman Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah. Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan ini. Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
v
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H. MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum, sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai. 4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik dosen maupun staf, khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua. 5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda alm. Jupri Handoko skripsi ini untukmu ayah semoga kau selalu tersenyum di SurgaNya, Ibunda Rani Handoko, perempuan terhebat yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan doa, semangat, serta dukungan tiada henti kepada penulis. 6. Lala Aulia Zandra adik kecilku yang sekarang telah beranjak dewasa, terimakasih untuk doa dan kasih sayangnya. Serta Asep Sholahuddin terimakasih untuk semangatnya selalu, untuk pelajaran tentang kehidupan yang mendewasakan.
vi
7. Yuli Andreansyah, S.H, Sri Andriyani, S.H, Waldan Mufathir, S.H, dan Lisanul Fikri sahabat terkasih penulis. Terimakasih telah menjadi tempat penulis berkeluh kesah, tempat berbagi pengalaman dan melukis kenangan indah bersama. Semoga apa yang menjadi angan dan cita kita bersama kelak terealisasikan. AMIN. Serta Muhammad Caesal Regia, abang tercinta yang telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman hidup yang berharga. Terimakasih untuk semua nasehat yang selalu menguatkan. 8. Keluarga Kecilku di Rumah Progressif, Lini Zurlia, Nayla Fitria, Adis Puji Astuti dan Zakiatunnisa. Berproses bersama kalian adalah pengalaman luarbiasa bagi penulis. 9. Sahabat-sahabat penulis tercinta, Fajar Hendrawan, Lala Renata, Desy Kirana, Putri Elsa Susanti, Emma Kartika Sari, Erawati Putri, Shofi Aliyah Rahmi. Terimakasih telah menjadi tempat penulis berkeluh kesah. 10. Keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2011, terkhusus Rachmatsyah Akbar, Shinta, Kiya, Endang, Ida, Tami, Hilda, Novita, Ummu, Shanti, Inggrit, Tiwi, Khadafi, Dini, dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan. Terimakasih untuk dorongan semangat dan sharing ilmu yang membuat skripsi ini akhirnya mampu penulis selesaikan. 11. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Cabang Ciputat. Di tempat inilah penulis berproses menjadi insan yang lebih baik lagi. Terimakasih untuk semua pengalaman yang luar biasa. 12. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat dan KOHATI HMI Cabang Ciputat. Terimakasih untuk semua kanda dan yunda yang telah
vii
banyak memberikan ilmu serta pengalaman hidup yang membuat penulis menjadi insan yang lebih baik lagi. 13. KKN Fajar Nusantara, Mentari Faradiba, Syarifaeni Fahdiah, Yusri Nurhabibah, Febrina Rizka Zaibah, Ka Abdi Roziqin, Akbar Al-qadly, , Ibnu Nugraha, Reza Yusuf, Muhammad Editya, Sony Ramadhan, Dzulfikar dan Husni Mubarok. Kalian adalah sahabat terhebat yang pernah penulis kenal. Terimakasih untuk cinta serta dukungan selalu untuk penulis. Untuk kenangan satu bulan bersama yang sangat indah. 14. Kepada Kompolnas dan Divisi Humas Polri yang telah memberikan data dan bahan referensi sebagai penunjang dalam skripsi ini. Tidak ada yang penulis bisa berikan selain doa dan ucapan terimakasih atas semua dukungan baik moril maupun materil, semoga Allah membalas semua kebaikan yang kalian berikan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin. Ciputat, 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv KATA PENGANTAR …………………………………………….…................
v
DAFTAR ISI ……………………………………………….............................. .. ix BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ………………………………………….......... ...... 1
B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah ………………………………...........
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………............ .. 7
D.
Metode Penelitian ........................................................................... ............... 8
E.
Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................................ 12
F.
Kerangka Konseptual .................................................................................... 13
G.
Kerangka Teoritis .......................................................................................... 15
H.
Sistematika Penulisan .................................................................................... 15
BAB II
LANDASAN
TEORI
TENTANG
KEWENANGAN A.
Teori Kekuasaan
ix
KEKUASAAN
6
DAN
1. Pengertian Kekuasaan .............................................................................. 17 2. Teori Sumber Kekuasaan ......................................................................... 18 3. Teori Pemisahan Kekuasaan .................................................................... 18 B. Teori Kewenangan 1. Pengertian Kewenangan ......................................................................... 20 2. Sumber Kewenangan ............................................................................. 20 3. Peralihan Kewenangan ........................................................................... 23 BAB III
PROFIL KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, KEWENANGAN PRESIDEN DAN PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
A.
Sejarah, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia 1. Sejarah Kepolisian Republik Indonesia ................................................. 25 2. Fungsi Kepolisian Republik Indonesia .................................................. 28 3. Tugas dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia .......................... 29
B.
Kewenangan Presiden dan DPR Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia 1. Kewenangan Presiden ............................................................................ 31 2. Kewenangan DPR .................................................................................. 38
C.
Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia ............. 41
x
BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN
BUDI
GUNAWAN
SEBAGAI
KEPALA
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A.
Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri .............. 44
B.
Faktor Yang Mempengaruhi Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi Gunawan Sebagai Kapolri ............................................................................ 52
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan .................................................................................................. 58
B.
Saran ............................................................................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Negara menurut Max Weber adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan menurut Robert M. Maciver negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.1 Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah serta memaksa dan ditaati oleh rakyatnya. Negara sendiri memiliki sifatsifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya. Diantaranya adalah negara memiliki sifat memaksa, sifat monopoli dan sifat mencakup semua.2 Setiap
negara
tentunya
memiliki
sistem
pemerintahan,
sistem
pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan dan berbeda juga dengan bentuk negara. Bentuk pemerintahan terdiri dari republik dan kerajaan. Sedangkan bentuk negara terdiri dari negara kesatuan, federasi, dan konfederasi. Walaupun berbeda, sistem pemerintahan memiliki hubungan kuat dengan bentuk
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed.4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 48-49 2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed.4 h. 49-50
1
2
pemerintahan. Negara yang menganut bentuk pemerintahan republik biasanya memiliki sistem pemerintahan presidensial, sedangkan negara yang menganut bentuk pemerintahan kerajaan memiliki sistem pemerintahan monarki. Selain dua sistem pemerintahan diatas terdapat juga sistem pemerintahan parlementer, sistem campuran (hybrid), dan sistem kolegial.3 Sistem pemerintahan yang banyak digunakan di berbagai negara saat ini adalah sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Kedua sistem tersebut didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Sistem
pemerintahan
dikatakan
parlementer
apabila
sistem
kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan jika sistem pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen sehingga dengan demikian; kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan parlemen dan sebaliknya parlemen juga dapat dibubarkan oleh kepala negara apabila diangkap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah.4 Sedangkan sistem Presidensil merupakan sistem pemerintahan negara dimana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif. Menurut Rod Hague, pemerintahan Presidensil terdiri dari tiga unsur yaitu : Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait, Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan, serta 3
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 27 4
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009), h.323
3
tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.5 Presiden dalam sistem Presidensial memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan, namun masih ada mekanisme untuk mengontrol Presiden apabila melakukan pelanggaran kontitusi dan melakukan penghianatan terhadap negara, serta terlibat masalah kriminal.6 Indonesia
merupakan
salah satu
negara
yang menganut
sistem
pemerintahan Presidensial dalam sistem pemerintahannya dimana Presiden memegang kekuasaan tertinggi. Di Indonesia sendiri, kekuasaan Presiden diatur dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar”. Menurut Inu Kencana Syafiie, kekuasaan Presiden dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.7 Sementara Abdul Ghoffar dalam bukunya menyebutkan ada 10 kekuasaan Presiden Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945, diantaranya kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yudisial, legislasi, dan kekuasaan tertinggi Angkatan Bersenjata.8 Mengenai kekuasaan Presiden dalam hal kekuasaan penyelenggaraan
5
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2011), h.
6
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia..., h. 11-12
11-12
7
Titik Triwulan. T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2011), h. 111 8
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara Maju, h. 98-113
4
pemerintahan, Presiden memiliki kekuasaan khusus yang bersifat prerogatif atau yang biasa disebut hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh Presiden tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut. Biasanya hak prerogatif ini digunakan dalam rangka mengisi jabatan sejumlah posisi seperti Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pejabat lainnya setingkat menteri.9 Dalam hal mengangkat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Presiden memiliki kekuasaan tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana tercantum dalam Pasal 11 Ayat (1) yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Awal
Tahun
2015
ini
Presiden
Joko
Widodo
menggunakan
kewenangannya memberhentikan Jendral Polisi Drs.Sutarman dari jabatannya sebagai Kapolri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 03/POLRI/TAHUN 2015. Kemudian Joko Widodo mengusulkan Komjen. Pol. Budi Gunawan yang biasa dikenal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jendral Sutarman dan meneruskan estafet kepemimpinan Kapolri. Setelah diusulkan oleh Joko Widodo sebagai calon tunggal Kapolri, pada tanggal 13 Januari 2015 Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri 2003-2006 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hal tersebut tidak
9
Budi Nugraha, Hak Prerogatif Presiden terhadap Kementrian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang kementrian Negara, Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013, h.18
5
menghentikan proses fit and proper tes pada Budi Gunawan sebagai calon Kapolri oleh Komisi III DPR-RI dan Budi Gunawan pun dinyatakan lulus uji fit and proper tes. Kemudian berdasarkan rapat paripurna DPR-RI menetapkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Hal ini pun menimbulkan reaksi dalam masyarakat yang mana calon Kapolri Indonesia merupakan seorang tersangka. Hal ini diperparah dengan disetujuinya Budi Gunawan oleh DPR menjadi Kapolri yang mana saat itu sudah berstatus tersangka. Kondisi ini membuat posisi Presiden Joko Widodo dilematis, yang mana setelah disetujui oleh DPR Presiden haruslah melantik Budi Gunawan. Dalam kondisi terdesak seperti itu, Presiden menunda pelantikan Budi Gunawan karena yang bersangkutan mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK. Pengajuan gugatan dilakukan oleh Budi Gunawan karena dirinya merasa tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan menganggap prosedur penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai. Hasilnya Pengadilan Negeri Jaksel memutuskan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK salah. Tentunya ini adalah kabar baik bagi Budi Gunawan yang sudah dianggap buruk oleh kebanyakan masyarakat akibat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK untuk dilantik sebagai Kapolri oleh Joko Widodo yang sebelumnya ditunda. Langkah yang dilakukan oleh Presiden tersebut dinilai kurang tepat, seharusnya Presiden tidak perlu menunggu proses pra-peradilan tersebut karena Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat pejabat negara. Namun di
6
satu sisi, Presiden tersandera oleh status Budi Gunawan sebagai tersangka yang ditetapkan KPK, sehingga apabila dia tetap melantik, maka akan mengurangi kepercayaan publik terhadapnya. Akan tetapi setelah Pengadilan Negeri Jaksel memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan, Joko Widodo tidak juga melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Presiden Joko Widodo justru membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan mengajukan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri menggantikan Budi Gunawan. Hal pengangkatan dan pemberhentian memang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Namun ternyata tidak ditemukan mekanisme yang jelas melalui peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan pelantikan pejabat tinggi negara yang diduga melakukan pelanggaran hukum khususnya dalam hal Kapolri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini dengan judul “Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi Gunawan Sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia”.
B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka Penulis akan membatasi permasalahan yang akan diteliti hanya pada kewenangan
7
Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri, dan faktor yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan
permasalahan
yang
penulis
jabarkan
dan
permasalahan yang penulis batasi, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a.
Bagaimana kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri?
b.
Faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk : a.
Untuk mengetahui kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri.
b.
Untuk mengetahui
faktor yang mempengaruhi Presiden dalam
mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri. 2.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Manfaat Akademis
8
Sebagai sumbangsih pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam hal kewenangan Presiden dalam pembatalan mengangkat Kapolri, dan faktor yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan. b.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya dalam hal kewenangan Presiden dalam
pembatalan
mengangkat
Kapolri,
dan
faktor
yang
mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan. c.
Masyarakat Umum Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi penjelasan bagi masyarakat umum agar senantiasa memiliki perhatian terhadap perkembangan hukum di Indonesia khususnya dalam pembatalan pengangkatan Kapolri.
D. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek
9
penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundanganundangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau mencoba membuat suatu rumusan teori yang baru. 2.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. a.
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekligus menjadi tema sentral suatu penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 (Hasil
Amandemen) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. b.
Pendekatan Kasus (Case Aproach)
10
Pendekatan kasus dalam penelitian normative bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.10 3.
Jenis Data Dalam penelitian ini data yng dipakai adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas tiga kelompok atau bagian, yaitu: a.
Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.11
b.
Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait isu yang penulis angkat dalam penelitian ini.12
10
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing: Malang, 2007), h.321 11
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010), h.48.
12
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum..., h.54.
11
c.
Bahan hukum tersier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.
4.
Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode pengumpulan data Penelitian Pustaka (library research) dan didukung oleh Penelitian Lapangan (Field Research) a.
Penelitian Pustaka (library research) Yaitu dengan cara mengumpulkan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Studi ini menganalisis objek penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka.13
b.
Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian ini bertujuan untuk menemukan secara spesifik dan realis tentang apa yang sedang terjadi pada saat tertentu. 14 Dimana dalam memperoleh data dilakukan melalui wawancara yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung
dengan
mengajukan
pertanyaan
antara
pewawancara dengan yang diwawancarai.15
13
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan PenulisanHukum, (Badan Peneliti Fakultas Hukum Indonesia: Jakarta, 2003), h.28. 14
Mardalis, Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995). Hal 28. 15
Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabet, 2006.
12
E.
Tinjauan Kajian Terdahulu Untuk menghindari kesamaan dalam penulisan skripsi, maka penulis akan mereview beberapa skripsi terdahulu yang relevan dengan judul yang penulis ajukan, diantaranya : 1.
Judul : “Kewenangan Presiden dalam Pemberian Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas undangUndang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi” Penulis : Suci Putri Marthalia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang Uraian : Skripsi ini meneliti tentang bagaimana pengaturan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
2.
Judul : Hak Prerogatif Presiden terhadap Kementrian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang kementrian Negara Penulis : Budi Nugraha Uraian : Skripsi ini meneliti tentang kewenangan Presiden yang berdasarkan
pada
UUD
1945
sebelum
amandemen
dengan
membandingkan setelah dikeluakannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Bagaimana hak Presiden dalam pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian Negara.
13
Dari uraian review studi terdahulu di atas, dan dari hasil pencarian penulis terhadap judul skripsi yang relevan dengan kewenangan Presiden dalam mengangkat pejabat negara, penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri. Begitupun dengan buku-buku yang penulis telusuri dibeberapa perpustakaan seperti, Perpustakaan FSH dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis tidak menemukan buku yang membahas tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat pejabat negara dalam hal ini Kapolri. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa judul skripsi yang penulis ajukan belum pernah diangkat dalam pembuatan skripsi atau penelitian sebelumnya.
F.
Kerangka Konseptual 1.
Kewenangan, Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kewenangan adalah hak seseorang untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
2.
Presiden, menurut kamus hukum karya Setiawan Widagdo, Mpd, adalah kepala suatu negara yang berbentuk republic.16
3.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), menurut Pasal 3 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah hukum dasar dalm Peraturan Perundang-undangan. 16
Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2012), h. 473
14
4.
Undang-Undang (UU), menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden.
5.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 (UU No. 2 Tahun 2002), adalah undang-undang yang mengatur tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggungjawab langsung di bawah Presiden17
7.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), pimpinan tertinggi di dalam institusi Polri.
8.
Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), adalah sebuah lembaga kepolisian nasional di Indonesia yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.18
9.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.19
10.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut Pasal 1 Ayat (2) UU. No 17 Tahun
2014
Tentang
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat,
Dewan
17
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Lepolisian_Negara_Republik_Indonesia
18
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional
19
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia
15
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
G.
Kerangka Teoritis Setelah perubahan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia juga mempunyai beberapa kekuasaan konstitusional dalam hal pengangkatan, pemberhentian, penetapan, maupun peresmian pejabat-pejabat negara tertentu yang diperolehnya setelah perubahan ketiga UUD 1945 pada Tahun 2001. Mengenai
kekuasaan
Presiden
dalam
hal
kekuasaan
penyelenggaraan
pemerintahan, Presiden memiliki kekuasaan khusus yang bersifat prerogatif atau yang biasa disebut hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh Presiden tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut.
H.
Sistematika Penulisan Agar lebih memudahkan dalam pembahasan penelitian ini, serta mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang akan dibahas pada setiap bab, maka penulis membuat sistematika penulisan ini menjadi 5 bab dan terdapat sub bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: BAB I
: Pada bab ini merupakan pendahuluan yang akan membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan
16
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan. BAB II
: Pada bab ini akan membahas mengenai landasan teori tentang Kekuasaaan, Kewenangan dan Kedaulatan.
BAB III
: Pada bab ini akan membahas tentang Profil Kepolisian Negara Republik
Indonesia,
Kewenangan
Presiden
dan
Dewan
Perwakilan Rakyat, serta mekanisme pengangkatan Kapolri. BAB IV
: Pada bab ini akan membahas tentang bagaimana kewenangan Presiden dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri, dan faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatannya.
BAB V
: Pada bab ini berupa penutup, yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dan saran yang penulis ajukan setelah melakukan penelitian ini.
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEKUASAAN DAN KEWENANGAN A.
Teori Kekuasaan 1.
Pengertian Kekuasaan Kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam suatu negara. Hal tersebut tercermin dalam suatu pemerintahan, baik dalam bentuk monarki oleh raja maupun dalam bentuk republik yang dipimpin oleh presiden. Suatu pemerintahan yang tidak memiliki kekuasaan tentunya tidak akan memiliki suatu resistensi terhadap perubahan dalam suatu masyarakat, sehingga akan mengganggu kestabilan dan keamanan negara. Hal tersebut dapat di lihat dalam proses revolusi Prancis pada abad ke-18, dimana kerajaan tidak memiliki kekuasaan dan kepercayaan dari rakyatnya. Kekuasaan sendiri didefinisikan oleh Laswell dan Abraham Kaplan sebagai suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.1 Sedangkan menurut seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin,
kekuasaan
didefinisikan
sebagai
kemampuan
untuk
mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan 1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2009), h. 60.
17
18
kehendaknya.2 Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai keinginan para pelaku. 2.
Teori Sumber Kekuasaan Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada abad V sampai abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Sementara menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat demikian dimulai dari aliran monaromen yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak dianggap lagi dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Yang selanjutnya kekuasaan rakyat tersebut diserahkan kepada raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.3 Dalam buku perihal ilmu politik karangan Leo Agustino, sumber kekuasaan terbagi dalam kategori : (1) sarana paksaan fisik; (2) kekayaan dan harta benda (ekonomi); (3) jabatan; (4) keahlian; (5) informasi; (6) status social; (7) popularitas pribadi, dan (8) massa yang terorganisasi.4
3.
Teori Pemisahan Kekuasaan Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik …, h.60-61.
3
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.9. 4
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, (Graha Ilmu: Yogyakarta, 2007), h.76.
19
konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkan teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikembangkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan eksekutif (executive power), kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan federatif (federative power).5 Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya.6 Mengenai kekuasaan federative, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara-negara asing.7 Pembenaran akan doktrin pemisahan kekuasaan Lock memperoleh pembenaran teoritis dengan dipublikasikannya karya Montesquieu, L’Esprit de Lois (Semangat Hukum), dalam karyanya Montesquieu mengemukakan teori Trias Politica.8 Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. 5
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001), h.200-201. 6
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat …, h.201.
7
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat …, h.203.
8
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat …, h.204.
20
Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah dengan memisahkan kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Ketiga kekuasaan tersebut menurut Montesquieu harus terpisah satu sama lain mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.9
B.
Teori Kewenangan 1.
Pengertian Kewenangan Kewenangan adalah kekuasaan. Namun kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya. Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan, sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan.10 Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kewenangan adalah hak seseorang untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
2.
Sumber Kewenangan Menurut Ramlan Subakti dalam ilmu politk sumber kewenangan dapat dibedakan sebagai berikut :11
9
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia …, h. 11-12.
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (PT.Grasindo: Jakarta, 2007), h.85.
11
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik, (Universitas Trisakti: Jakarta, 2012),
h.168-170.
21
a.
Hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus-menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat adalah dari keluarga tertentu. Contoh, kewenangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk Daerah Istimewa Yogyakarta berasal karena beliau merupakan keturunan langsung dari Sultan sebelumnya.
b.
Hak memerintah berasal dari Tuhan, dewa, atau wahyu. Hak memerintah ini dianggap bersifat sakral. Orang yang berkuasa berusaha menunjukkan pada khalayak kewenangannya memerintah masyarakat berasal dari kekuatan yang sakral. Contoh, Kaisar Hirohito
dari
Jepang
(dan
penggantinya)
menunjukkan
kewenangan sebagai kepala negara yang berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). c.
Hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin. Seorang pemimpin yang kharismatis merpakan seseorang yang memiliki kualitas pribadi sebab mendapat anugerah istimewa dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggot masyarakat. Pemimpin ini biasanya mampu memukau massa dengan penampilan dan kemampuan retorikanya. Contoh, Mahatma Gandhi dan Bung Karno yang memiliki kharisma karena penampilan dan kemampuan retorikanya.
22
d.
Hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundangundangan. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan maka sumber kewenangannya berupa hukum. Contoh, seorang presiden dan wakil presiden.
e.
Hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara kekayaan yang dimaksud adalah pemilikan uang, tanah, barangbarang berharga, surat-surat berharga, dan lain-lain. Keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu mencapai tujuan masyarakat. Orang yang tidak memiliki keahlian akan patuh kepada orang yang memiliki keahlian. Sedangkan menurut Jum Anggriani dalam bukunya yang berjudul
Hukum Administrasi Negara sumber kewenangan dibagi menjadi :12 a.
Atribusi, merupakan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atribusi biasanya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam bentuk pembagian kekuasaan negara.
b.
Delegasi, adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat
12
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Graha Ilmu: Yogyakarta, 2012), h.89-92
23
tata usaha negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. c.
Sub Delegasi, adalah kewenangan yang diperoleh melalui delegasi dilimpahkan kepada badan/lembaga pejabat tata usaha negara yang lebih rendah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab atas namanya sendiri.
d.
Mandat, merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan tetapi tidak sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat), dalam melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi kuasa, karenanya yang bertanggung jawab adalah si pemberi kuasa.
3.
Peralihan Kewenangan Jabatan bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang memegang dan menjalankan fungsi (tugas dan kewenangan) jabatan bersifat tidak tetap. Hal ini karena manusia memiliki umur, kemampuan dan kearifan yang terbatas. Selain itu, semakin lama seseorang memegang suatu jabatan, semakin dia menganggap dan memperlakukan jabatan sebagai milik pribadinya. Akibatnya, jabatan yang dimilikinya cenderung di salah gunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Maka dari itu perlu adanya peralihan kewenangan dari seseorang atau kelompok kepada seseorang atau kelompok lainnya. Di Indonesia sendiri masa jabatan presiden dibatasi selama dua kali masa jabatan. Hal tersebut tertuang di dalam UUD yang berbunyi
24
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan selanjutnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.13 Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki. Menurut Paul Conn secara umum terdapat tiga cara peralihan kewenangan, yakni secara turun-temurun, pemilihan dan pemaksaan. Yang dimaksud dengan peralihan kewenangan secara turun-temurun ialah jabatan dan kewenangan dialihkan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini terjadi dalam system politik otokrasi radisional, seperti kerajaan dan kesultanan. Peralihan kewenangan dengan pemilihan dapat dilakukan secara langsung melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dipraktekan dalam sistem politik demokrasi. Peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan dan kewenangan terpaksa dialihkan kepada orang atau kelompok lain tidak menurut prosedur yang sudah disepakati, melainkan dengan menggunkan kekerasan, seperti revolusi dan kudeta, dan ancaman kekerasan.14
13
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7.
14
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik …, h.89.
BAB III PROFIL KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, KEWENANGAN PRESIDEN DAN PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A.
Sejarah, Fungsi, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia 1.
Sejarah Kepolisian Republik Indonesia Kepolisian Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.1 Kepolisian Indonesia mempunyai sejarah yang panjang di Republik ini. Bahkan rantai perjalanan jejaknya lebih dahulu ada jika dibandingkan dengan kelahiran Republik Indonesia. Pada zaman kuno sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, di Nusantara terdapat beberapa kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Banten, Gowa, dan Bone.Kerajaan-kerajaan tersebut sudah mempunyai lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian, walaupun belum merupakan kepolisian modern. Salah satu diantaranya ialah pasukan Bhayangkara di bawah
1
Arifin Firmansyah, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Konsorium Reformasi Hukum Nasional : Jakarta, 2005), h.85.
25
26
pimpinan Gajah Mada di Majapahit.2 Bhayangkara dibentuk untuk menjadi pasukan pengaman yang bertugas melindungi raja dan kerajaan. Maka dari itu hingga kini sosok Gajah Mada merupakan symbol Kepolisian RI dan sebagai penghormatan Polri membangun patung Gajah Mada di depan Kantor Mabes Polri dan nama Bhayangkara dijadikan sebagai nama pasukan Kepolisian. Kepolisian pada Zaman Hindia Belanda, secara administrasi Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada dibawah
Procureur
Politie,
tetapi
operasional
kepolisian
sepenuhnya berada ditangan Resident. Pada zaman itu, peran polisi semata-mata adalah sebagai alat kolonial.3 Pada masa pendudukan Jepang, Jepang membagi Indonesia kedalam tiga pemerintahan militer yaitu : a. Jawa dan Madura dibawah kekuasaan Tentara Keenam Belas yang berpusat di Jakarta. b. Sumatera di bawah kekuasaan tentara Kedua Puluh Lima yang berpusat di Bukittinggi. c. Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya dibawah kekuasaan Armada Selatan Kedua yang berpusat di Makassar.4
2
Awalloedin Djamin, dkk, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno sampai Sekarang (Jakarta : Yayasan Brata Bhakti, 2013), h. 2. 3
Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 12.
4
Awalloedin Djamin, dkk, Sejarah Perkembangan Kepolisian …, h. 79.
27
Kepolisian pada Zaman Revolusi Fisik dimulai setelah Jepang menyerah dan Indonesia Merdeka, Kepolisian Negara segera dibentuk dan diberlakukan perundang-undangan Hindia Belanda. Berdasarkan ketetapan pemerintah Nomor 11/SD/1946 tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Jawatan Kepolisian Negara yang bertanggungjawab langsung kepada Perdana Menteri, yang kemudian diperingati sebagai “Hari Bhayangkara”. Pada saat itu Polri disamping melaksanakan tugasnya sebagai Penegak Hukum juga ikut bertempur di seluruh Wilayah RI dan menyatakan diri sebagai “Combattan”, kedudukan Polri berubah dibawah Presiden/WakilPresiden melalui ketetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 February 1948.5 Selanjutnya masuk pada Zaman Demokrasi Parlementer dimana Kepolisian
bertanggung
jawab
kepada
Perdana
Menteri,
Polri
melaksanakan tugas sebagai alat Negara Penegak Hukum, Pelindung, dan Pengayom Masyarakat dan ikut serta secara aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi-operasi militer.6 Kepolisian pada Zaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan Zaman Orde Baru, berdasarkan Keppres Nomor 153 Tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959 Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui Tap MPR Nomor II Tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk
5
Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 12.
6
Reformasi MenujuPOLRI. yang Profesional, h. 13.
28
dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 Tahun 60 sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 1961 yang kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 Tahun 1982 dan UU Nomor 28 Tahun 1997.7 Periode Reformasi adalah masa ketika Polri dipisahkan secara struktural dengan angkatan bersenjata. Melalui semangat Reformasi, ABRI mengalami reposisi yang fundamental. Polri mendefinisikan kembali fungsi vitalnya sebagai bhayangkara Negara dan abdi masyarakat, dan mulai memperoleh kembali bentuk-bentuk apresiasi simpatik dari masyarakat sipil.8 Pada reformasi ini Polri mendapatkan legitimasi hukum yang lebih besar. Tangan yuridisnya menjadi lebih luas. Muara dari semua itu adalah terwujudnya Grand Strategy Polri 2005-2025 yang mencakup tiga tahap dalam kebutuhan publik terhadap pelayanan Polri, yaitu membangun Kepercayaan, Kemitraan, dan Kesempurnaan.9 2.
Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Secara tegas pada pasal 2 Undang-Undang Kepolisian No.2 Tahun 2002 menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
7
Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 13.
8
Nurinwa K S. Hendrowinoto, dkk, POLRI. Mengisi Republik (Jakarta : Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2010), h. 15. 9
Nurinwa K S. Hendrowinoto, dkk, POLRI. Mengisi Republik …, h. 15.
29
kepada masyarakat. Hal ini diteruskan dalam pasal 4, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.10 3.
Tugas dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia Perubahan UUD 1945 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Ayat (3) dan ayat (4), menegaskan adanya pemisahan antara TNI dan Polri dalam menjalankan tugas. Untuk bidang pertahanan negara dilakukan oleh TNI, dan bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan oleh Polri.11 Pengaturan dalam UUD 1945 pasal 30 ayat (4) yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta meneggakkan hukum”, bunyi ayat tersebut menampakkan adanya semacam dwi fungsi tugas kepolisian, yaitu alat keamanan dan penegak hukum. sebagai alat kemanan, kepolisian bertugas menjaga dan menjamin keamanan, ketertiban, dan ketentraman umum. Sebagai penegak hukum, kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik 10
11
Murtir Jeddawi, Hukum Administrasi Negara, (Total Media: Yogyakarta, 2012), h.179.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010), h.233-234.
30
tindak pidana sebagai bagian dari sistem penegakkan hukum pidana terpadu.12 Adapun secara khusus, dalam melaksanakan tugas pokoknya kepolisian
juga
bertugas
melaksanakan
pengaturan,
penjagaan,
pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; serta tugas-tugas lain yang tercantum di dalam pasal 14 UU No.2 Tahun 2002.13 Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Polri juga diberikan wewenang yang dijelaskan dalam pasal 15. Dimana Polri berwenang untuk menerima laporan dan/atau pengaduan; membantu menyelesaikan perselisihan warga
12
13
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia …, h.235.
Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2011), h.357.
31
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; dan lainnya yang tercantum pada ayat (1) Pasal 15. Sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya Polri juga diberikan wewenang untuk memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor, dan lainnya yang juga diatur pada pasal 15 ayat (2). B.
Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 1.
Kewenangan Presiden Seperti yang kita ketahui bahwasanya konstitusi yang di pakai di Indonesia
tidaklah
serta
merta
mencapai
kesempurnaan.
Seiring
berjalannya waktu konstitusi di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan konstitusi tersebut pastinya berdampak pada kekuasaan Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden. Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata disalahgunakan sehingga menimbulkan pemerintahan otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto. Hal inilah yang kemudian memunculkan tuntutan agar UUD 1945 dilakukan perubahan.
32
Pada masa Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 Presiden hanyalah sebagai kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya dalam pemerintahan karena roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Namun setelah adanya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang berarti kembali berlakunya UUD 1945. Pada masa berlakunya konstitusi ini kekuasaan Presiden kembali menjadi kepala
negara
pemerintahan
sekaligus Presiden
kepala memimpin
pemerintahan.14 dan
Sebagai
kepala
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugas dalam bidang eksekutif. Sedangkan dalam posisi sebagai kepala negara seorang Presiden melaksanakan segala kewenangan yang terkait dengan urusan dalam maupun luar negeri sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945. Berbicara mengenai kekuasaan tidak lepas dari bahasan mengenai kewenangan. Karena diantaranya memiliki keterkaitan satu sama lain. Kekuasaan dan kewenangan sendiri memiliki pengertian yang berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Kewenangan pada hakekatnya merupakan kekuasaan. Akan tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Diantara keduanya, dibedakan dalam keabsahannya.15 Terkait dengan kewenangan Presiden dalam pengangkatan Kapolri, dimulai sejak era pemerintahan Presiden Soekarno yang mengangkat seorang Kapolri yang dulu disebut Kepala Djawatan Kepolisian Nasional melalui Maklumat Pemerintah tanggal 29 September 1945. Namun kala 14
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia …, h.75-76
15
Haryanto, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, (PLOD: Yogyakarta, 2005), h.13
33
itu, setelah Indonesia merdeka, pengaturan tentang tata cara pengangkatan dan pemberhentian seorang Kepala Djawatan Kepolisian Nasional belumlah dirumuskan. Pada tahun 1950, saat Konsitusi RIS 1949 berlaku sebagai konstitusi sementara di Indonesia, melalui Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950 Tentang Hak Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-Pegawai Republik Indonesia Serikat. Dalam undang-undang ini, diatur tentang perihal pengangkatan dan pemberhentian Kepala Djawatan Kepolisian Nasional yaitu pada Pasal 2 Ayat 1 sub a yang berbunyi “Kecuali jika telah atau akan ditentukan dengan Undang-undang dan dengan tidak mengurangi kecualian-kecualian yang ditentukan dalam Undang-undang Darurat ini, maka pegawaipegawai sipil Republik Indonesia Serikat, dengan mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku tentang hal itu, dipekerjakan untuk sementara, diangkat dalam jabatan tetap Republik Indonesia Serikat, diangkat
untuk
sementara
atau
tetap
dalam
jabatan-jabatannya,
diperhentikan dari pekerjaannya sementara, diperhentikan dari jabatannya dan diperhentikan dari jabatan negeri oleh Presiden yang mengenai pegawai-pegawai yang menjabat pangkat-pangkat: Presiden-Direktur Bank Sirkulasi, Jaksa Agung, Direktur Kabinet Presiden R.I.S., Sekretaris Jenderal,
Thesaurier-Jenderal,
Direktur-Jenderal,
Kepala
Jawatan
Kepolisian Negara, Kepala Jawatan Urusan Umum Pegawai dan
34
pangkatpangkat lain yang gaji tertingginya sedikit-dikitnya sama dengan gaji tertinggi pangkat-pangkat yang tersebut di atas”.16 Penjelasan mengenai Pasal 2 Ayat 1 sub a dijabarkan bahwa “Dalam pasal ini kekuasaan mengangkat dan memberhentikan pegawai pertama-tama diletakkan dalam tangan Presiden semata-mata mengenai pangkat-pangkat yang tersebut dalam ayat 1 sub a pasal ini. Melalui penjelasan yang telah ditentukan oleh undang-undang darurat ini, maka pengangkatan dan pemberhentian Kepala Djawatan Kepolisian Nasional saat itu mutlak menjadi hak prerogatif Presiden. Dalam perjalanan waktu, pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kepala Djawatan Polisi Nasional juga merangkap jabatan sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama 126 Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015 No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).17 Dua tahun kemudian, pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara (selanjutnya UU 13/1961) sebagai perwujudan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan 16
Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Serikat tentang Hak Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-Pegawai Reublik Indonesia Serikat. 17
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, diakses tanggal 26 September 2015, pukul 15.30 WIB.
35
Nomor II/MPRS/1960. Saat UU 13/1961 berlaku, jabatan Kepala Djawatan Polisi Nasional sudah berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian dan mekanisme mengenai pengangkatan serta pemberhentian Menteri Muda Kepolisian tidak diatur. Namun secara tidak langsung, persoalan tersebut menjadi hak prerogatif Presiden. Pasal 6 berbunyi “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian
Negara”
dan
dalam
penjelasannya
dijabarkan
bahwa
“Pemimpin tertinggi dari Kepolisian Negara ialah Presiden, karena menurut
Undang-undang
Dasar
1945
Presiden
adalah
Kepala
Pemerintahan dan Menteri-menteri adalah Pembantu-pembantunya, yang masing-masing langsung bertanggung jawab kepada Presiden”.18 Penjelasan Pasal 6 menuntun kita untuk mengkorelasikan dengan Pasal 3 yang berbunyi “Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata” dan penjelasan Pasal 3 menentukan “Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960.” Ketetapan Majelis inilah yang menandakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Menteri Muda Kepolisian dilalukan secara prerogtif oleh Presiden. Hal tersebut terbukti karena dalam Pasal 10 Ketetapan Majelis menentukan “Memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia untuk melaksanakan putusan-putusan ini.” Secara khusus berarti, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan 18
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.
36
persoalan Menteri Muda Kepolisian diserahkan sepenuhnya kepada Presiden. Seiring UU 13/1961 yang sudah tidak relevan lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan di Indonesia, maka pada tahun 1997 UU 13/1961 diganti melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 28/1997). Berlakunya undang-undang kepolisian yang baru ini ternyata tidak menghilangkan eksistensi hak prerogatif Presiden yang memang kala itu pemerintahan masih dipimpin oleh rezim Orde Baru. Prosedur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 yang berbunyi “Kepala Kepolisian Republik Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”19 Efek dari perubahan terhadap UUD NRI 1945 ternyata juga berdampak pada mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Pembatasan
kekuasaan
Presiden
selain
memindahkan
kekuasaan
membentuk undang-undang menjadi kekuasaan DPR (Pasal 20A) dan mengubah kekuasaan Presiden menjadi kekuasaan bersama (Pasal 13 dan Pasal 14) juga berlanjut dalam undang-undang, seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, dan lain-lain yang semula semata-mata merupakan kekuasaan eksekutif, berubah menjadi kekuasaan bersama dengan DPR. Mengikuti perubahan UUD NRI 1945, maka diberlakukanlah undang-undang kepolisian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 2 19
Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
37
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan, maka bukti yang paling konkret terdapat dalam Pasal 11 UU 2/2002 yaitu: 1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DewanPerwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.20 Ketentuan Pasal 11 Ayat 1 dan Ayat 2 UU 2/2002 tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang disertai dengan penjelasannya, menandakan bahwa kewenangan prerogatif yang dahulu mutlak milik seorang Presiden telah bergeser kepada kekuasaan bersama, yang bertujuan agar checks and balances antara eksekutif dengan legislatif dapat terwujud dengan baik, dan dapat untuk mencegah eksekutif melakukan tindakan sewenang-wenang.
Untuk lebih mempermudah membedakan kewenangan Presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, berikut tabelnya : Undang-Undang
Jenis Pengangkatan
Undang-Undang nomor 13 Tahun 1961 tentang Hak Prerogatif Presiden Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Kepolisian
Negara.
20
Indonesia.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
38
Undang-Undang nomor 28 Tahun 1997 tentang Hak Prerogatif Presiden Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Presiden
bersama dengan DPR
Dengan demikian, jaminan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis berdasarkan asas kedaulatan rakyat dapat berjalan sebagaimana baiknya demi tujuan dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Sebelum reformasi, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri mutlak sebagai hak prerogatif yang dilakukan oleh Presiden. Namun dalam perubahan undangundang Kepolisian yang baru, kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri harus dengan persetujuan bersama DPR. 2.
Kewenangan DPR DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara tentunya memiliki fungsi. Fungsi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan21.
21
Pasal 69 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
39
Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dalam rangka check and balances, tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) 1945 dan Pasal 69 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014. Secara teoritis, jika dirinci, fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen dalam hal ini DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat dibedakan, yaitu : 1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making); 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing); 3. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting); 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budgeting implementation); 5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performences); 6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political
aapoinment
of
public
officials)
dalam
bentuk
persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsinya terkait pengawasan pengangkatan pejabat publik yaitu Kapolri, DPR diberikan kewenangan dalam hal memberikan persetujuan kepada Presiden untuk mengangkat Kapolri diatur di dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 Tahun 2002 Pasal 11
40
yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.22 Selain
undang-undang
diatas
didalam
Ketetapan
MPR
No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, MPR juga mendelegasikan beberapa kewenangan kepada DPR, yaitu memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal hendak mengangkat seorang Panglima TNI demikian juga bila Presiden hendak mengangkat seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.23 Artinya, dalam hal pengangkatan Kapolri ini posisi DPR hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap nama calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden. Dengan mempertimbangan hasil uji kelayakan atau fit and proper test. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri
22
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. 23
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia …, h.235-236.
41
pada masa persidangan berikutnya.
C.
Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Berbicara mengenai sebuah proses pengangkatan pasti tidak terlepas dari suatu mekanisme yang harus dilalui. Dalam hal pengangkatan seorang Kapolri pun ada mekanisme yang harus dilewati untuk mencapai jabatan tersebut. Di Indonesia pengaturan tentang mekanisme pengangkatan Kapolri belum secara jelas diatur. Kapolri yang dahulu disebut Kepala Djawatan Kepolisian Nasional pertama kali diangkat oleh Soekarno melalui Maklumat Pemerintah tanggal 29 September 1945. Kala itu, sesaat setelah kemerdekaan Indonesia, pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian seorang Kepala Djawatan Kepolisian Nasional belum dirumuskan. Pasal 11 Undang-Undangan No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya menyebutkan bahwa Kapolri diangkat oleh Presiden melalui persetujuan DPR, selanjutnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Hal inilah yang kemudian di tafsirkan oleh dua lembaga yaitu Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas dan Polri itu sendiri. Kompolnas sebagai lembaga memiliki beberapa peraturan, yakni undangundang, lalu turun dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2011 yang sebelumnya Perpres No. 17 Tahun 2002. Kemudian seiring adanya Perpres tersebut, maka Kompolnas dan Polri membuat Kesepakatan Bersama No. B/24/IV/2012 dan No.01/IV/2012/Kompolnas Tentang Kerjasama dan Hubungan
42
Tata Cara Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 5 April 201224. Secara undang-undang memang mekanisme pengangkatan Kapolri belum diatur dengan jelas, namun jika dilihat pada Kesepakatan Bersama Kompolnas dengan Polri, secara tersirat maka Kompolnas-lah yang diberi peran untuk melakukannya. Menurut Kompolnas25 minimal sejak Kapolri Bambang Hendarso, Timur Pradopo, sampai
sekarang Badrodin Haiti bahwa tidak mungkin Kompolnas
hanya berada pada taraf memberi penilaian atau memberi masukan. Kompolnas harus tau dulu siapa orang yang akan menjadi Kapolri. Maka Kompolnas memberlakukan suatu ketentuann end to end, a-z. Mulai dari memantau siapa bakal calon Kapolri, lalu memproses untuk mendapatkan calon yang baik sampai pada pengusulannya. Namun menurut Polri, itu tidak dilihat sebagai hal yang tepat. Mereka berpendapat bahwa haruslah dari pihak polisi saja yang melakukan itu, dan pihak kompolnas hanyalah pihak yang memberi masukan. Sehingga kemudian Polri membuat rancangan Perpres yang berisi bahwa proses sebelum menemukan calon Kapolri ini lalu kemudian mengirimkannya kepada Presiden, Polri mengirimkan nama calon Kapolri kepada Kompolnas lalu Kompolnas dipersilahkan untuk memberi masukan. Adrianus menambahkan26, sejak zaman Bambang Hendarso sampai Sutarman, perdebatan ini tidak muncul. Barulah pada pengangkatan Budi
24
25
Kompas, tanggal 20 Februari 2015, h. 6 Kolom II
Wawancara penulis dengan Adrianus Meliala, Komisioner Kompolnas pada tanggal 7 September 2015. 26 Wawancara penulis dengan Adrianus Meliala, Komisioner Kompolnas pada tanggal 7 September 2015.
43
Gunawan beberapa purnawirawan Polri berpendapat bahwa Kompolnas tidak memiliki hak. Barulah kemudian rancangan Perpres itu dibuat, namun Perpres tersebut muncul dalam dua versi. Pertama, yang melihat Kompolnas saja yang memproses. Kedua, yang melihat Polri yang memproses pengusulan nama calon Kapolri tersebut. Menurut Adrianus, Kompolnas sebetulnya sejak tahun 2002 sudah mau membuat rancangan Perpres tersebut, tetapi kemudian mentah. Karena menurutnya Presiden sendiri tidak mau terikat oleh prosedur itu jadi kalau prosedur tersebut sudah diberlakukan maka Presiden terikat, dia hanya bisa memutuskan sesuai nama yang diusulkan oleh Polri. Maka baru pada setelah Badrodin Haiti terpilih oleh Kompolnas barulah mereka merancang Perpres tersebut dan mengundang Kompolnas dalam suatu perbincangan namun Kompolnas menolak keras. Bahwa itu bukanlah hal yang acountable, lebih jauh dari pada itu Kompolnas juga dalam rancangan Perpres Kompolnas yang sedang disusun, Kompolnas ingin semakin mempertegas bahwa proses tersebut seyogyanya di tangan Kompolnas. Karena Kompolnas menilai mereka adalah lembaga yang tidak memiliki kepentingan dalam pencalonan Kapolri, sehingga calon Kapolri yang diajukan oleh Kompolnas lebih legitimasi.
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A.
Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri Seperti yang penulis telah jabarkan pada bab sebelumnya, bahwa kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri telah diatur di dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan terakhir diberlakukan undang-undang kepolisian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berlaku saat ini, pada dasarnya memiliki persamaan dengan undang-undang sebelumnya. Persamaan yang dimaksud adalah terkait kewenangan Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan Kapolri. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 mengubah kewenangan Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan Kapolri yang sebelumnya menjadi kewenangan penuh Presiden, diubah menjadi kewenangan bersama dengan DPR. Dalam rangka adanya check and balances antar lembaga negara. Kewenangan bersama Presiden dan DPR mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana disebutkan di atas, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa “Kapolri 44
45
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam kasus pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan, Presiden sebagai Kepala Negara memiliki wewenang untuk menentukan siapakah yang berhak menduduki jabatan tertinggi di dalam tubuh kepolisian. Sesuai yang diamanatkan
undang-undang
kepolisian,
Presiden
Joko
Widodo
telah
melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Beliau memilih nama Budi Gunawan dari beberapa nama yang diusulkan oleh Kompolnas sebagai calon tunggal untuk selanjutkan diserahkan kepada DPR untuk dilakukannya fit and proper test dan kemudian mendapat persetujuan dari DPR. Namun dalam prosesnya ternyata Budi Gunawan tersandung kasus dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Hal ini menyebabkan tertundanya pelantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang mana dirinya telah mendapat persetujuan dari DPR. Karena merasa dirinya tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan, Budi Gunawan mengajukan praperadilan, dan keputusan praperadilan tersebut menyatakan bahwa Budi Gunawan terbebas dari statusnya sebagai tersangka. Keputusan Joko Widodo untuk menunda pelantikan Budi Gunawan dan menunggu hasil keputusan praperadilan memberikan sedikit harapan kepada Budi Gunawan untuk menduduki jabatan Kapolri tersebut. Tapi ternyata Joko Widodo mengambil keputusan lain untuk tidak meneruskan pengangkatan Budi Gunawan dengan membatalkan pengangkatan dirinya dan menunjuk calon baru untuk menggantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
46
Penulis menilai tindakan Presiden Joko Widodo tersebut kurang tepat, mengingat Presiden Joko Widodo telah mendapatkan persetujuan DPR. Ditambah hasil gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan memenangkan Budi Gunawan sehingga dinyatakan tidak bersalah. Secara etika hukum tata negara tindakan Presiden Joko Widodo tersebut kurang tepat karena dapat mencederai hubungan antar lembaga negara antara eksekutif dan legislatif baik secara administratif maupun secara kelembagaan, karena DPR telah menyutujui nama yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun
hal
tersebut
merupakan
kewenangan
Presiden
untuk
mengangkat pejabat negara dalam hal ini Kapolri, namun menurut Jum Anggriani berdasarkan teori kewenangan bahwasannya salah satu sumber kewenangan yaitu berasal dari atribusi1, yaitu kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan. Kewenangan Presiden ini biasanya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam bentuk pembagian kekuasaan negara. Selain itu, pengaturan mengenai pengangkatan Kapolri juga hanya mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka disimpulkan pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri tidak memiliki dasar hukum, dan tentu hal ini tidak sesuai dengan Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) sebagaimana dijabarkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih tegas tercantum didalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat (3), yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 1
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, . . .h.89-92.
47
Pengertian negara berdasarkan hukum berarti bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat harus didasarkan atas hukum. Hal ini berarti hukum mempunyai kedudukan yang tinggi dan setiap orang baik pemerintah ataupun warga negara harus tunduk terhadap hukum.2 Selain itu ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warganya. Selain itu, salah satu asas penting didalam negara hukum adalah asas legalitas. Dimana asas tersebut menghendaki setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan atau pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat. 3 Sehingga menurut penulis diperlukan suatu peraturan tersendiri yang mengatur mengenai pengangkatan Kapolri sehingga dalam pengangkatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pakar hukum tata negara Margarito Khamis pun menyatakan4, keputusan Presiden Joko Widodo tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah dia dinyatakan lolos fit and proper test di DPR dianggap mempermainkan proses konstitusional di DPR. Seharusnya menurut Margarito, selepas DPR menyetujui nama yang diajukan oleh Presiden, secara ketatanegaraan seyogyanya presiden melantik calon tersebut. Margarito menambahkan, seseorang yang dicalonkan menjadi Kapolri bersifat imperatif/mengikat. Secara logika menurut Margarito, di 2
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Graha Ilmu: Yogyakarta, 2012), h.37.
3
Ni‟matul Huda, Ilmu negara, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012), h.78.
4
http://m.rmol.co/news.php, diakses pada 8 September 2015, pukul 09.15 WIB.
48
dalam Pasal 11 ayat (3) UU Kepolisian Negara Republik Indonesia jika dalam 20 hari DPR tidak memberikan tanggapan atas nama yang diajukan sebagai Kapolri, maka DPR dianggap setuju. Maka
dalam kasus ini yang terjadi justru
kebalikannya. Calon yang diajukan oleh Presiden sudah disetujui oleh DPR, namun justru dibatalkan oleh Presiden. Margarito menambahkan, jika Presiden Joko Widodo ingin membatalkan pengangkatan Budi Gunawan, maka seharusnya Presiden Joko Widodo melantik terlebih dahulu baru kemudian memberhentikan. Senada dengan Margarito, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin berpendapat bahwa batalnya Presiden melantik Budi Gunawan menunjukkan lemahnya sistem presidensial yang dianut Indonesia. Irman menambahkan Budi Gunawan merupakan calon Kapolri pilihan rakyat karena disetujui oleh DPR yang merupakan wakil-wakil rakyat. Sehingga tidak ada alasan bagi Joko Widodo untuk tidak melantik Budi Gunawan.5 Maka dari itulah penulis berpendapat tindakan yang dilakukan Presiden Joko Widodo dinilai kurang tepat. Seharusnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Presiden mampu mengambil sebuah keputusan yang bijak sehingga tidak menimbulkan polemik baik di tataran pemerintahan maupun di masyarakat. Kemudian, selain Presiden harus memahami alur hukum ketatanegaraan terutama di dalam pengangkatan pejabat negara, presiden juga seharusnya memahami dalam hal etika hukum terutama dalam hukum tata negara. Penulis juga sependapat dengan Margarito, seharusnya jika Presiden ingin membatalkan pelantikan maka Presiden harus mengangkat terlebih dahulu baru 5
http://m.cnnindonesia.com/nasional/irmanputra-Joko Widodo-tak-boleh-mundur-untuklantik-budi-gunawan/, diakses pada 8 September 2015, pada pukul 10.00 WIB.
49
setelah itu memberhentikan. Karena sebagaimana dalam Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 yang menyebutkan “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.6 Artinya wewenang presiden yaitu mengangkat dan memberhentikan. Sehingga apabila presiden hendak memberhentikan Kapolri, maka Kapolri tersebut haruslah sudah diangkat. Dan dalam kasus Budi Gunawan, karena yang bersangkutan belum diangkat maka seharusnya diangkat terlebih dahulu baru kemudian diberhentikan. Kemudian penulis menilai secara legal formal Presiden memang sudah sesuai dengan aturan, namun di balik itu semua ada etika hukum yang harus dilakukan presiden. Dalam hal ini penulis berpendapat tindakan yang diambil Presiden mengurangi kewibawaannya sebagai seorang yang memiliki wewenang untuk mengangkat Kapolri. Presiden terlihat ragu dalam mengambil keputusan apakah melantik Budi Gunawan atau tidak. Padahal DPR telah memberikan persetujuan. Keraguan itu pun akhirnya berimbas pada dibatalkannya pilihan presiden terhadap calon tunggalnya tersebut. Begitu pun dalam etika hubungan antar lembaga negara. Senada dengan Margarito, Presiden dinilai telah melecehkan lembaga DPR yang telah memberikan persetujuan namun presiden tidak melantik Budi Gunawan. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi hubungan antara Presiden dengan DPR. Dengan hal ini seharusnya DPR dapat menggunakan haknya yaitu hak interpelasi untuk meminta penjelasan mengenai keputusan Presiden tersebut.
6
Pasal 11 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
50
Hal mendasar dari permasalahan ini menurut penulis adalah karena tidak adanya pengaturan yang eksplisit mengatur mengenai pengangkatan Kapolri. Selama ini pengangkatan Kapolri hanya mengacu pada Pasal 11 Undag-Undang No. 2 Tahun 2002. Padahal pasal tersebut belumlah cukup untuk mengakomodir megenai pengangkatan Kapolri dengan segala permasalahannya, sehingga diperlukan aturan lebih lanjut yang lebih lengkap dalam pengangkatan Kapolri. Apalagi Indonesia sendiri sebagai negara hukum (rechstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Sehingga seyogyanya segala kebijakan yang dilakukan oleh pejabat negara yang berkaitan dengan kenegaraan harus berdasarkan dengan hukum yang mengaturnya. Di dalam al-qur‟an pun dijelaskan dalam surat Shad ayat 26 :
ِّ اس بِ ْال َح ك َ َُّضل ِ ق َوال تَتَّبِ ِع ْالهَ َىي فَي ِ َّ ٌض فَاحْ ُك ْن بَ ْييَ ال ِ ْيَا دَا ُو ُد إًَِّا َج َع ْلٌَاكَ خَ لِيفَةً فِي األر َّ يل َّ يل )٦٢( ب ِ َّللاِ لَهُ ْن َع َذابٌ َش ِدي ٌد بِ َوا ًَسُىا يَىْ َم ْال ِح َسا ِ ََّللاِ إِ َّى الَّ ِذييَ ي ِ ِضلُّىىَ ع َْي َسب ِ ِع َْي َسب Yang artinya : “Hai Daud, sesungguhnya Kami jadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shâd/38: 26). Ayat di atas mengandung perintah kepada kita untuk mengekang hawa
51
nafsu. Allah SWT menyuruh agar kita senantiasa mengikuti perintah-Nya dan jangan mengikuti perintah hawa nafsu yang akan merugikan dan menghancurkan kehidupan kita. Hawa nafsu mengandung pengertian kecenderungan hati kepada hal-hal yang disukai dan dicintai yang tidak ada kaitannya dengan urusan akhirat, seperti perkara yang melalaikan, menggiurkan, melenakan, takabur, riya‟, sombong, „kemaruk‟ (tamak, rakus) pangkat dan kekuasaan, cinta dunia, suka berkata
kasar,
makan
berlebihan,
mengumbar
syahwat,
dan
sifat-sifat
tercelalainnya. Ayat ini menandaskan bahwa tatkala menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum dan mengadili tidak berdasarkan kecendrungan pribadi karena hukum seperti ini akan membuat manusia berpaling dari kebenaran dan hakikat. Dalam masalah menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum, ayat di atas menggunakan kata hak bahwa hukum dan peradilan harus berdasarkan kebenaran dan fakta yang ada sehingga tiada satu pun yang dizalimi dari dua pihak yang bersengketa. Dan dalam Al-Hadits pun disebutkan :
ْس َعلَ ْي ِه أَ ْه ُز ًَا فَه َُى َر َ َه ْي َع ِو َل َع َوالً لَي Yang artinya : “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam urusan kami (hukumnya), maka amalannya tertolak (tidak sah)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
52
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa suatu perbuatan haruslah ada hukum atau peraturan yang mengaturnya. Apabila manusia dalam beribadah tanpa ada hukum yang mengaturnya, maka ibadah tersebut ditolak. Kita analogikan ibadah itu sebagai perbuatan yang dilakukan dalam bertatanegara. Apabila suatu perbuatan dalam bertata negara dilakukan tanpa ada hukum yang mengaturnya, maka dapat dikatakan perbuatan tersebut tidak sah, atau illegal. Sehingga jelas dalam melaksanakan sesuatu harus ada hukum yang mengaturnya.
B.
Faktor Yang Mempengaruhi Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi Gunawan Sebagai Kapolri Sebagai pemegang kekuasan tertinggi di dalam negara, Presiden berhak untuk mengangkat pejabat negara. Adapun pejabat negara yang dimaksud yaitu seperti duta dan konsul (Pasal 13 UUD 1945), panglima TNI (Pasal 10 UUD 1945), Jaksa Agung (Pasal 19 Ayat (2) UU No.16 Tahun 2004), serta Kepala Polisi Republik Indonesia/Kapolri (Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Dalam hal pengangkatan Kapolri, Presiden mengangkat Kapolri dengan persetujuan DPR. Setelah disetujui oleh DPR, Presiden melantik calon Kapolri tersebut. Pada proses pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan, Presiden mengambil sebuah keputusan yang memunculkan pro dan kontra. Putusan tersebut tertulis dalam surat Presiden kepada DPR No. R-16/Pres/02/2015 yang isinya adalah menunda pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan untuk dilantik sebagai Kapolri. Latar belakang adanya putusan ini adalah penetapan tersangka
53
terhadap Budi Gunawan oleh KPK pada saat berlangsungnya proses fit and proper test oleh DPR. Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh KPK bahwa Budi Gunawan pada saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian mendapatkan rapot merah dari KPK karena diduga memiliki nilai rekening yang tidak wajar sebagai anggota Polri, atau biasa disebut memiliki rekening gendut sebagai pejabat negara. Dengan berbagai bukti yang dimiliki oleh KPK akhirnya Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, dan tidak lama kemudian Presiden mengeluarkan surat penundaan pengangkatan Budi Gunawan. Karena merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan oleh KPK, Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tanggal 19 Januari 2015. Selain itu, Kuasa Hukum Budi Gunawan juga melaporkan komisioner KPK ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dengan tuduhan membocorkan rahasia negara berupa laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening Budi Gunawan dan keluarganya. Pada tanggal 2 Februari 2015 sidang gugatan pra peradilan Budi Gunawan dimulai di PN Jaksel. Kemudian pada tanggal 16 Februari 2015 Majelis Hakim PN Jaksel mengabulkan gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum. Putusan PN Jaksel tersebut ternyata tidak mengubah putusan Presiden untuk menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri. Justru didalam surat yang sama
54
Presiden membuat keputusan dengan mencalonkan Komisaris Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti sebagai pengganti Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri.7 Surat Presiden kepada DPR untuk menunda bahkan sampai membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri tentu tidak memiliki dasar yang jelas. Karena sebagaimana putusan pra peradilan PN Jaksel bahwa bukti yang diberikan oleh KPK tidak membuktikan status tersangka yang ditetapkan kepada Budi Gunawan. Memang penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK sebelum adanya putusan PN Jaksel menimbulkan polemik di masyarakat. Hal tersebut sebagaimana yang di kemukakan oleh Jimly Ashiddiqie bahwa jika Presiden melantik Budi Gunawan bukan hanya melanggar rule of law tetapi juga rule of ethic.8 Pendapat itu benar adanya jika, Presiden Joko Widodo melantik Budi Gunawan ketika putusan PN Jaksel belum dikeluarkan. Namun, jika Presiden melantik Budi Gunawan setelah adanya putusan PN Jaksel maka pendapat Jimly Ashiddiqie menurut penulis tidak tepat. Setelah PN Jaksel memutuskan Budi Gunawan terbebas dari statusnya sebagai tersangka, Presiden seharusnya menjadikan putusan ini sebagai pertimbangan untuk melanjutkan proses pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri, bukan memilih calon lain untuk menggantikan Budi Gunawan. Namun kenyataan yang terjadi Presiden tidak melanjutkan proses pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri tetapi mencalonkan nama Badrodin Haiti untuk menjadi penggantinya. 7
Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-16/Pres/02/2015 tentang Pengangkatan
Kapolri. 8
http://www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_Budi Gunawan_kpk, diakses pada tanggal 20 Agustus 2015, pukul 11.05 WIB.
55
Presiden didalam suratnya no. R-16/Pres/02/2015 yang ditujukan kepada DPR menyebutkan bahwa alasan lain Presiden mengganti Budi Gunawan dengan Badrodin Haiti karena menimbulkan perdebatan di masyarakat, dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat, serta memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh seorang Kapolri yang definitif. Dengan adanya putusan PN Jaksel tersebut penulis berpendapat bahwa masyarakat seharusnya bisa menilai Budi Gunawan, karena secara hukum jelas tidak terbukti bersalah seperti apa yang sudah dituduhkan oleh KPK. Jadi perdebatan dimasyarakat terhadap penetapan tersangka Budi Gunawan seharusnya tidak dijadikan suatu kekhawatiran oleh Presiden dan menjadikanya alasan untuk membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dari kasus tersebut, penulis menganalisis bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Presiden Joko Widodo batal mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri. Pertama, faktor hukum. Faktor hukum yang membuat Presiden Joko Widodo batal melantik Budi Gunawan adalah karena ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan rekening gendut yang dimiliki Budi Gunawan. Meskipun dalam pengajuan praperadilan Budi Gunawan dinyatakan terbebas dari penetapannya sebagai tersangka. Sehingga seharusmya tidak ada masalah jika presiden Joko Widodo tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru. Kedua, faktor politik. Terkait kasus ini ternyata menimbulkan kekisruhan politik dimana dalam hal ini salah satu fraksi di DPR, dalam hal ini Fraksi Partai
56
Demokrat,9 tidak mendukung Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Selain itu akibat pemberitaan yang meluas menyebabkan perhatian DPR teralih dan fokus terkait kasus ini sehingga dapat terindikasi kinerja DPR dalam menjalankan tupoksinya sebagai pemegang kekuasaan legislatif menjadi terganggu. Ketiga, faktor sosiologis. Dimana penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK akhirnya menimbulkan kontroversi di masyarakat, dimana calon Kapolri adalah seorang tersangka. Apakah mungkin lembaga penegak hukum seperti Polri dipimpin oleh seorang tersangka? Hal tersebut diperparah dengan adanya stigma yang berkembang di masyarakat bahwa mayoritas aparat penegak hukum saat ini bersifat korup. Bukti kuat adanya kekisruhan dalam masyarakat adalah pemberitaan terkait permasalahan ini secara terus menerus selama kurang lebih 3 (tiga) bulan sejak pencalonan Budi Gunawan tanggal 10 Januari 2015 hingga dilantiknya Badrodin Haiti sebagai kapolri tanggal 17 April 2015. Selain diberitakan di media massa kasus ini juga ramai diperbincangkan oleh masyarakat di dunia maya hingga menjadi trending topic. Akibatnya tentu merugikan perekonomian secara nasional. Selain biaya yang dikeluarkan tentu ada kerugian akibat fokus masyarakat yang teralihkan kepada kasus tersebut. sehingga perlu ada respon cepat terkait masalah ini. Meskipun keputusan yang diambil Joko Widodo sudah cukup cepat, namun masih kurang tepat dan perlu dipertanyakan legalitasnya.
9
http://www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_Budi Gunawan_kpk, diakses pada tanggal 20 Agustus 2015, pukul 09.05 WIB.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjabaran penulis pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan : 1.
Pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri tidak memiliki dasar hukum. Karena Pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya memberikan kewenangan kepada Presiden
untuk mengangkat dan memberhentikan Kapolri dengan
persetujuan DPR saja. Tentu tindakan Presiden ini tidak sesuai dengan Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan
belaka
(machtsstaat)
sebagaimana
dijabarkan
dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang lebih tegas tercantum didalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat (3), yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu tidak sesuai dengan salah satu asas penting didalam negara hukum yaitu asas legalitas. Dimana asas tersebut menghendaki setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan atau pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat. 2.
Faktor yang menyebabkan Presiden Jokowi membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri terdapat tiga faktor. Pertama, disebabkan 58
59
oleh faktor hukum yaitu ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka. Kedua, faktor politik yaitu stabilitas politik dimana terdapat beberapa partai yang tidak menghendaki Budi Gunawan sebagai Kapolri. Ditambah dengan status Budi Gunawan sebagai tersangka, tentunya dapat menjadi celah bagi partai oposisi untuk menjatuhkan pemerintahannya karena mengangkat Kapolri yang berstatus tersangka. Dan ketiga, secara faktor sosiologis tentunya Presiden Jokowi ingin menciptakan ketenangan di masyarakat. Karena tentunya masyarakat tidak menghendaki institusi Polri dipimpin oleh pemimpin yang berstatus tersangka. B. Saran Dari penjabaran kesimpulan yang penulis jabarkan, ada beberapa saran yang penulis harap bisa menjadi masukan : 1.
Adanya perubahan peraturan yang mengatur tentang pengangkatan Kapolri, atau lebih baik lagi dibuat aturan tersendiri. Sehingga nantinya dapat mencakup lebih luas lagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan Kapolri dan dapat menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul di waktu yang akan datang. Karena bukannya tidak mungkin di masa yang akan datang akan muncul permasalahan yang lebih kompleks lagi mengenai pengangkatan Kapolri.
2.
Adapun hal-hal yang perlu diatur di dalam peraturan yang baru nantinya adalah mengenai mekanisme pengangkatan Kapolri seperti siapa yang berhak mengajukan calon Kapolri, kriteria apa saja yang dapat diajukan, lembaga-lembaga mana saja yang berhak meseleksi calon Kapolri, serta
60
bagaimana penyelesaian masalah bila dalam proses pengangkatannya terdapat masalah. 3.
Adanya perubahan pada Undang-Undang Kepolisian guna mengatasi kekosongan hukum dalam hal pembatalan pengangkatan calon Kapolri antara lain mekanisme pembatalan dan pengajuan calon Kapolri oleh Presiden lebih dari satu calon.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2007. Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika: Jakarta, 2010. Anggriani, Jum. Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2012. Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, PT Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2009 Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009. Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara (cetakan ke-7), PT. Bumi Aksara: Jakarta, 2010. Djamin, Awalloedin. dkk, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno sampai Sekarang Jakarta : Yayasan Brata Bhakti, 2013. Firmansyah, Arifin. dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorium Reformasi Hukum Nasional : Jakarta, 2005 Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD Dengan Delapan Negara Maju, Kencana: Jakarta, 2009. Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, PT.Alumni: Bandung, 2010. Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia, Lemlit UIN Jakarta: Jakarta, 2011. Haryanto, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, PLOD: Yogyakarta, 2005 Hendrowinoto, Nurinwa K S. dkk, POLRI. Mengisi Republik Jakarta : Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2010. Hoffman, John dan Paul Graham, Introduction Political Theory ed.2, London: Ashford Colour Press Ltd, 2009. Huda, Ni’matul. Ilmu negara, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012.
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Cetakan Ke3), Bayumedia: Malang, 2007. Jeddawi, Murtir. Hukum Administrasi Negara, Total Media: Yogyakarta, 2012. Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Peneliti Fakultas Hukum Indonesia: Jakarta, 2003. Mardalis, Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara: Jakarta, 1995 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, 2008. Rahardiansah, Trubus. Pengantar Ilmu Politik, Universitas Trisakti: Jakarta, 2012 Sodikin. Hukum Pemilu, Pemilu sebagai Praktek Ketatanegaraan, Gramata Publising: Bekasi, 2014. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabet, 2006. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001)
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, PT.Grasindo: Jakarta, 2007. Triwulan, Titik. T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana: Jakarta, 2011. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor 17 Tahun 2014
Skripsi Nugraha, Budi, Hak Prerogatif Presiden terhadap Kementrian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang kementrian
Negara, Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013
Website http://www.negarahukum.com/hukum/budigunawan http://id.m.wikipedia.org/wiki/Lepolisian_Negara_Republik_Indonesia http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indone sia http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia http://m.rmol.co/news.php http://m.cnnindonesia.com/nasional/irmanputra-Joko Widodo-tak-boleh-munduruntuk-lantik-budi-gunawan/ http://www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_Budi Gunawan_kpk
Surat Kabar Kompas, tanggal 20 Februari 2015, h. 6 Kolom II
PERTANYAAN WAWANCARA KEPADA POLRI 1. Bagaimana mekanisme pengangkatan Kapolri menurut aturan yang berlaku? Presiden menentukan nama lalu dikirim ke DPR untuk dilakukan fit and propertest, nama yang diajukan adalah tiga nama jadi bukan satu nama. Komjen Budi Gunawan , Suhardi Alius dan Pak Badrodin Haiti. Tapi yang diutamakan Pak Budi Gunawan. Dilakukan fit and propertest dinyatakan lulus. Namun dijadikan tersangka akhirnya Pak Presiden memilih Badrodin Haiti. 2. Apakah ada peraturan tersendiri yang mengatur tentang mekanisme pengangkatan Kapolri ? Dari internal polri ada yang dinamakan wanjakti (dewan kebijakan perwira tinggi), mereka menyetorkan nama untuk didiskusikan kepada Presiden, kemudian Presiden menentukan satu orang untuk dilempar ke DPR dan dilakukan fit and propertest. 3. Pihak mana saja yang dilibatkan dalam pengangkatan Kapolri ? lalu apa peran masing-masing pihak tersebut ? Presiden, sebagai pemilik hak prerogratif dalam pemerintahan presidensil. Bahwasanya Kapolri adalah pilihan dari Presiden. Kemudian wanjakti untuk tim seleksi dari internal polri siapa yg dikira memenuhi kriteria sebagai Kapolri. Mereka yg mengajukan, dan DPR melakukan fit and propertest untuk melihat apakah perwira tinggi dari polri ini cocok untuk menjadi Kapolri atau tidak.
4. Bagaimana mekanisme yang seharusnya dalam pengangkatan seorang Kapolri ? Dipilih oleh Presiden, diajukan DPR lulus jadi. Tapi karena kemarin ada satu dan lain hal karena KPK itu tadi akhirnya Presiden punya pertimbangan sendiri digantilah calonnya. Menjadi Badrodin Haiti. 5. Dalam pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri adakah mekanisme yang dilanggar ? Tiidak ada, karena hak prerogatif Presiden dia yang memilih kemudian itu alur untuk memperkuat sisi hukum, sudah disaring supaya tidak terlihat asal. Yang salah bukan pengangkatannya tapi penetapan tersangkanya oleh KPK, kalau memang pertama, kalau tersangka tidak boleh di refill ke masyarakat, harus melewati proses penyidikan, penyelidikan dan sidik. Dua hal ini dulu yang dilalui baru di tetapkan sebagai tesangka. Kalau dilihat dari segi etis ini menghina institusi, pertama merusak citra presiden yang mengangkat tersangka, kedua institusi polri memiliki seorang tersangka. Dari sisi keamanan negara, itu kalau orang BIN tau kalau hal tersebut tidak boleh bisa merusak sisi keamanan negara, kalau negara itu sudah goncang pihak lain bisa dengan mudah mengacau ke dalam. Lalu kemarin dibenturkan KPK dan polri makanya tidak selesai-selesai. 6. Apa tanggapan Polri terkait kasus pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri? Pembatalan oleh lembaga ad hock KPK, mereka bisa dibubarkan kapan saja karena waktu itu hanya dibangun untuk membantu kinerja. Merekapun selama
ini korupsi kita yg handle sebagian besar. Pak Budi Waseso malah diganti. Ini semi kudeta, ingin menghancurkan citra Presiden dan lembaga hukum. kalau ditelisik lagi. Kembali lagi hak prerogatif Presiden. Toh sekarang dibawah kepemimpinan Pak Badrodin Haiti kita jalannya oke. Walaupun masih tersandung Pak Budi Waseso terlalu rajin menangkap malah kena tegur. 7. Apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembatalan pengangkatan ? Fit and propertest tidak lulus dia dinyatakan lebih baik diberi saran oleh DPR untuk tidak diangkat. Tapi kemarin dinyatakan lulus malah pihak ketiga KPK kemarin yg menyatakan tersangka makanya terkait proses hukum. 8. Faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden Joko Widodo dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri ? Karena waktu itu chaos banget kan dibuat ole media seperti itu, kalau beliau masih memaksakan Budi Gunawan tetap jadi. Berita ini sampai luar negeri, jadi bagaimana
institusi pemerintahan dipimpin oleh seorang tersangka.
Penetapan tersangka itu kan sudah sangat bisa merubah kehidupan beliau, sampai kejabatan beliau tidaklah mudah butuh banyak prestasi butuh banyak perjuangan kemudian seorang perwira tinggi ditetapkan tersangka padahal belum melewati proses penyidikan dan sebagainya, dan dia dinyatakan seperti itu saat hendak dijadikan Kapolri, itu citra diluar kita sudah jelek. Entah gimana media di kita ini berbeda dengan Singapura, Korea Selatan yang sisi edukatif menurutku tidak ada. Mereka merusak institusi, itu tadi penetapan tersangka Budi Gunawan, kemudian media memblow up itu sampai keluar, itu yang menjadi pertimbangan Pak Presiden.
9. Mungkinkah kedepan mekanisme pengangkatan Kapolri dirubah dengan membuat Panitia Seleksi pengangkatan Kapolri seperti dalam pengangkatan calon pimpinan KPK ? Kalau kemungkina selalu ada, karena dunia ini berubah-ubah. Tapi selama pemerintahan presidensil itu sudah menjadi hak perogatif presiden. Kasihannya di Zaman Pak Jokowi ini, selama ini kan menunjuk Kapolri tinggal tunjuk-tunjuk saja. Hanya zaman Pak Jokowi.
10. Apakah diperbolehkan membatalkan calon Kapolri yang sudah disetujui DPR dan dipilih sendiri oleh Presiden ? Prerogatif Presiden kembali lagi, kalau Presiden tidak berkenan ya sah-sah saja untuk ganti. Kalau memang fokusnya hanya kepada hukum, tetapi tidak melihat sisi pribadi beliau yang memiliki hak prerogatif pemilihan dan pembatalan sudah menjadi hak prerogatif beliau. Namanya hukum yg dibuat manusia masih banyak celahnya, untuk pembatalan kembali lagi pilihan seorang Presiden tidak segampang pilihan orang yang punya jabatan di suatu perusahaan dia pasti mempertimbangkan banyak hal. Kita benar negara hukum, tapi untuk menjaga stabilitas negara gabisa kaya gitu, semua ditangkap karena menggangu stabilitas ekonomi, tidak ada koruptor ditangkap sampai begitu. Itulah karena sudah terlalu diblowup media maka kalau tetap diangkat akan menyebabkan chaos di masyarakat, bisa ujungnya dikudeta.
PERTANYAAN WAWANCARA KEPADA KOMPOLNAS 1. Bagaimana mekanisme pengangkatan Kapolri menurut aturan yang berlaku ? Debatable, karena tidak disebutkan secara rinci dalam uu no 22, disitu disebutkan bahwa Kapolri diangkat oleh Presien setelah mendapat persetujuan dari DPR, tapi soal Kapolri itu diusulkan siapa atau bagaimana nama seorang ini sampai pada Presiden itu tidak diatur. Disitu disebutkan akan diatur dalam ketentuan atau aturan yang lain. Hal itu kemudian ditafsirkan oleh dua lembaga secara berbeda. Oleh Kompolnas dan oleh Polri. Kami minimal sejak Kapolri Bambang Hendarso, Timur Pradopo sampai sekarang Badrodin Haiti itu memahaminya bahwa tidak mungkin kami hanya berada pada taraf memberi penilaian atau memberi masukan, kami harus tau dulu siapa orang ini. Maka kami memberlakukan suatu ketentuan end to end a-z kami pegang semua. Mulai dari memantau siapa calon yang akan bisa, lalu memproses untuk mendapatkan calon yang baik sampai pada pengusulannya. Tetapi nampaknya itu tidak dilihat sebagai hal yg tepat oleh kalangan pihak dalam Polri. yang kemudian berpendapat bahwa haruslah dari pihak polisi saja itu dilakukan dan pihak Kompolnas hanyalah pihak yg memberi masukan, sehingga kemudian mereka membuat rancangan Perpres ini yg berisi bahwa proses sebelum menemukan orang ini dan kemudian mengirimkannya kepada Presiden, secure kepada Kompolnas lalu Kompolnas dipersilahkan untuk memberi masukan. Pada waktu zaman Bambang Hendarso sampai Sutarman ini ga muncul baru muncul pada Budi Gunawan dari beberapa purnawirawan polri yg berpendapat bahwa Kompolnas tidak memiliki hak. Nah untuk itu
barulah kemudian rancangan Perpres itu dibuat dan disitu ada dua versi. Pertama yg melihat yasudah Kompolnas saja yg mengeses tapi ada juga versi yang mengatakan, sebetulnya kami sudah dari awal dari dulu sejak tahun 2002 sudah mau membuat rancangan Perpres tersebut tetapi kemudian mentah kemudian mentok dan seterusnya. Karena nampaknya Presiden sendiri tidak mau terikat oleh prosedur itu jadi kalau prosedur tersebut sudah diberlakukan ya Presiden terikat, dia hanya bisa memutuskan sesuai nama yang diusulkan oleh Polri, padahal Polri juga main nih atau Presiden juga sebagai eksekutif tertinggi bisa memberi calon yang lain, maka kemudian Presiden mengantung trus Perpres tersebut. Maka baru pada setelah Badrodin Haiti terpilih oleh kami barulah mereka merancang Perpres trus dan mengundang kami dalam suatu perbincangan dan kami menolak keras. Bahwa itu bukanlah hal yg akuntable, lebih jauh dari pada itu kami juga dalam rancangan Perpres Kompolnas yg sedang kami susun kami semakin mempertegas bahwa proses itu seyogyanya ditangan Kompolnas.
2.
Apakah ada peraturan tersendiri yang mengatur tentang mekanisme pengangkatan Kapolri ? Ya jadi begini, kami sebagai lembaga memiliki beberapa, pertama Kompolnas berdiri atas dasar undang-undang lalu kemudian turun dengan dasar Perpres 17 tahun 2011 dulu ada namanya Perpres 17 tahun 2002. Kemudian direvisi dengan nomor yg sama tapi tahunnya 2001. Seiring dengan adanya Perpres 17 adanya mou antara Polri dan Kompolnas kalau mebaca dari
undang-undang maka betul memang belum jelas, tadi dikatakan diatur menurut ketentuan lebih lanjut. Pada konteks Perpres juga belum diatur terlalu jelas juga. Tetapi ketika berbicara mengenai mou maka sebetulnya sudah mulai tersirat bahwa sebetulnya Kompolnas lah yg diberi peran untuk melakukan eses end to end. Maka kemudian ketika kami akan merevisi lagi Perpres 17 tahun 2011 dengan Perpres 17 tahun berapa lagi. Maka kami akan semakin mempertegas bahwa peraturan itu kami yang buat, jadi akan menjadi peraturan Kompolnas bukan Polri. Jadi bukan Perpres tentang Polri tapi Perpres tentang pengangkatan calon Kapolri oleh Kompolnas misalnya. Atau peraturan Kompolnas tentang pengusulan calon Kapolri.
3. Apa peran Kompolnas dalam pengangkatan Kapolri ? Sejak dari zamannya Bambang Hendarso sampai Badrodin Haiti kami itu end to end, belum ada pengaturan khusus, mou hanya antara kami dan Polri yang menyiratkan bahwa memang Polri menyerahkan tapi lebih jauh daripada itu tidak ada. Jadi kami mengambil posisi saja dan kelihatannya sih dari pihak Polri oke-oke saja. Mungkin saya dari segi ketika kami mengadakan assessment mereka datang kami memanggil calon Kapolrinya mereka datang, artinya mengakui kan. Mengakui bahwa dan masyarakat datang ke kami untuk menanyakan siapa calon Kapolri, Presiden juga begitu mana calon Kapolri menurut Kompolnas. Jadi secara informal politik sudah diakui cuma karena disitu masih ada bolong itu tadi karena tidak diatur dimana-mana maka nampaknya Polri mengambil peluang untuk mengambil itu dengan membuat
Perpres. Kami bilang pada waktu kami diundang oleh Polri saya bilang ngapain sih anda mengambil bara, karena beda dengan pemilihan Panglima TNI tidak terlalu banyak yang peduli. Tapi pemilihan Kapolri gausahlah Kabareskim saja ramainya minta ampun. Karena itu bara, ngapain anda memegang bara itu, lebih bagus anda berikan bara itu kepada pihak lain yakni kami Kompolnas . Anda tinggal terima jadi dan andakan bisa bisik-bisik dibelakang dengan kami. Kami maunya ini, dan kami akan mengeluarkan nama itu. Daripada anda yang megang dan kemudian lalu seluruh beban seluruh resiko ada pada Polri ngapain. Mungkin gara-gara itu pula lalu kemudian saya kira macet lagi belum ada kelanjutan dari Perpres itu.
4. Dalam pengangkatan Budi Gunawan apakah Kompolnas mengajukan nama lain kepada Presiden Joko Widodo ? lupa, tidak hanya Budi Gunawan
5. Bagaimana mekanisme yang seharusnya dalam pengangkatan seorang Kapolri? Tidak ada yg dilanggar, setelah Presiden menerima beberapa nama dari kami lalu Presiden menyebut Budi Gunawan sebagai salah satu nama yang kami usulkan. Usulkan nama dan lalu dalam beberapa hari sebelum di bawa ke DPR dalam rangka fit and proper test Budi Gunawan ditersangkakan. Garagara dia di tersangkakan maka ada dua pilihan, apakah akan di teruskan atau tidak. Nah langkah Presiden untuk tidak meneruskan nama dia walau DPR sudah menyetujui itu bukan kesalahan karena itu masih dalam ranah eksekutif.
Bahwa kemudian itu membuat Presiden seperti tidak melakukan fatsun politik itu soal lain. Karena secara fatsun bisa juga bahwa langkah DPR menjebak Presiden. Sudah ditersangkakan kok diterima. Tidak melanggar, karena ketika Presiden menarik dukungan terhadap Budi Gunawan karena dia sudah tersangka walaupun oleh DPR diterima menurut saya itu masuk ke ranah kewenangan Presiden sebagai eksekutif yang memang berhak mencalonkan Kapolri oleh DPR. 6. Apa tanggapan Kompolnas terkait kasus pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri? Ya kami tidak berada dalam posisi menolak ya karena, kan kami hanya mengeluarkan beberapa nama dan nama Budi termasuk didalamnya. Ketika kemudian dibatalkan ya gapapa juga. Yang kedua Presiden kembali meminta kepada kami siapa nama lain. Jadi kembali kepada kami lagi sebetulnya kami tidak memunculkan nama baru. Sebelumnya dia lagi dia lagi juga. Kemudian dari situlah kemudian, dari nama yg kami usulkan pulalah kemudian Presiden memilih salah satunya. Jadi saya kira kami tidak dalam posisi punya pendapat karena kami berposisi sebagai pembantu presiden. 7. Faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden Joko Widodo dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri ? Saya kira dua hal, pertama dia menganggap bahwa Budi Gunawan dengan status tersangkanya itu menjadi beban dia. Beban politik dan kemudian dari
media sosial dari media yang berkembang semuanya kan negatif jadi sudah beban hukum karena mengangkat seorang Kapolri yang tersangka yang kedua adalah beban politik juga, nah oleh karenanya Jokowi tidak mau terbebani pada usia sepagi itu dalam pemerintahannya maka dia lalu menolak 8. Mungkinkah kedepan mekanisme pengangkatan Kapolri dirubah dengan membuat Panitia Seleksi pengangkatan Kapolri seperti dalam pengangkatan calon pimpinan KPK ? Saya kira sebaiknya tadi kembali pada tadi perdebatan diam-diamlah antara kami dan Polri. Sebaiknya segera diputuskan apakah emang mau dibuat rancangan Perpres pengusulan calon Kapolri oleh Polri atau pengusulan calon Kapolri oleh Kompolnas. Karena ga enak juga kalau tidak ada kepastian, kami memakai dasar yg bersifat non hukum lebih kepada kalau orang yg milih itu rasanya orang lebih percaya kepada Kompolnas. Kalau polri milih Polri itu ya jeruk makan jeruk katanya begitu. Secara legitimasi sebenarnya lebih kuat kami tapikan pihak Polri ada saja yangg berfikir lain, mungkin juga ada diantara mereka yang berfikir politis kalau diserahkan pada Kompolnas saya tidak akan dipilih nih. Karena sudah kartu mati atau apalah makanya lebih bagus kami sajalah yang megang. Nah sebaiknya dipastikan dulu pemerintah mau yang mana apakah lalu kemudian putusan ini adalah putusan politik yang Presiden ingin Kompolnas saja atau hasil musyawarah hasil negosiasi itulah proses cara memilih agar kemudian lalu pak Badrodin Haiti akan selesai bulan 7 tahun depan, sehingga bila sudah jelas kepastian siapa yang mengerjakan proses ini maka, contoh
waktu memilih Pak Sutarman kami membuat suatu proses bertemu media masssa membuat analisis 360 derajat. Sehingga ketika kami mengsulkan Pak Sutarman lebih yakin ketimbang yang sekarang ini. Yang sekarang ini kami dikejar waktu oleh Presiden. Artinya kalau Perpres tersebut sudah jelas maka andaikan saja Kompolnas lah yang diberikan mandat kami bisa memulai dari bulan dua tahun depan sehingga pada nanti di bulan 6 sudah bisa diganti Pak Badrodin Haji bulan 7 bisa diganti Kapolri baru jadikan enak. Harus jelas dulu dari sisi siapanya. Nah dengan begitu kami tidak bersedia memakai seperti pansel karena inikan jabatan profesi. Kita harus pastikan yang menjadi Kapolri bukan orang lain tapi Polri juga, dengan kata lain maka yang diseleksi adalah orang-orang yang gak banyak juga. Dari 200 Polri makin mengerucut. Nah yang paling tahu kan kami, yang tiap hari day to day adjustment dengan mereka dalam rangka bekerja kan kami. Sehingga kami lah yang paling tahu sifat mereka kebiasaan mereka data yang konfiden juga ada pada saya yang lalu pada saaatnya akan kita buka, kita kombinasi saat kemudian adjusment calon Kapolri. Kami paling gak saya lebih memilih itu daripada diserahkan kepada pansel yang gak tau apa-apa juga tentang orang-orang itu dan kedua, karena yang akan dipilih gak jauh-jauh juga dari Polri bintang tiga apa-apa.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing; d. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia; e. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890); Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum Kepolisian. 4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. 6. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 7. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri. 8. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. 9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 10. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. 12. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. 13. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian. Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 3 (1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Pasal 4 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 5 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB II SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 6 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 7 Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 8 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1) Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian. (2) Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas : a. penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 10 (1) Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki. (2) Ketentuan mengenai tanggung jawab secara hierarki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
(1) (2) (3)
(4)
(5)
(6) (7) (8)
Pasal 11 Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 12 (1) Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri. (2) Jabatan fungsional lainnya di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditentukan dengan Keputusan Kapolri. BAB III TUGAS DAN WEWENANG Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i.
melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 15 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia. Pasal 17 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. BAB IV ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 20 (1) Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas : a. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Pegawai Negeri Sipil. (2) Terhadap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Pasal 21 (1) Untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; e. berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan; h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan i. lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian. (2) Ketentuan mengenai pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Pasal 22 (1) Sebelum diangkat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, seorang calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Pasal 23 Lafal sumpah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 22 adalah sebagai berikut : "Demi Allah, saya bersumpah/berjanji : bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah; bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya". Pasal 24 (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalani dinas keanggotaan dengan ikatan dinas. (2) Ketentuan mengenai ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25 (1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam penugasannya. (2) Ketentuan mengenai susunan, sebutan, dan keselarasan pangkat-pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Pasal 26 (1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak. (2) Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 27 (1) Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan semangat kerja dan moril, diadakan peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan mengenai peraturan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 28 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. (2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Pasal 29 (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30 (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat. (2) Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 (enam puluh) tahun. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PEMBINAAN PROFESI Pasal 31 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.
dalam
melaksanakan
tugas
dan
Pasal 32 (1) Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. (2) Pembinaan kemampuan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 33 Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengkajian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian. Pasal 34 (1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. Pasal 35 (1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. Pasal 36 (1) Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban fungsi kepolisian lainnya wajib menunjukkan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam mengemban fungsinya. (2) Ketentuan mengenai bentuk, ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Kapolri. BAB VI LEMBAGA KEPOLISIAN NASIONAL Pasal 37 (1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. (2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pasal 38 (1) Komisi Kepolisian Nasional bertugas : a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk : a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.
Pasal 39 (1) Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, seorang Sekretaris merangkap anggota dan 6 (enam) orang anggota. (2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur-unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat. (3) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Kepolisian Nasional diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 40 Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB VII BANTUAN, HUBUNGAN, DAN KERJA SAMA Pasal 41 (1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 42 (1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki. (2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas. (3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku : a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. b. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer. c. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 45 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 2