“Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan”1 oleh Dian Kartikasari2 1. Keterwakilan Perempuan dalam Politik Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna. Pertama, untuk mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan Demokrasi‐yaitu Hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik . Kedua ditujukan unuk mewujudkan keadilan gender secara substantif (Subatantive Equality), yaitu keadilan bagi laki‐laki dan perempuan dalam pembangunan, yaitu keadilan dalam menjangkau (akses), ikut serta (partisipasi) , dan pengambilan keputusan (kontrol) dalam pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan hasil‐hasil pembangunan. Dengan demikian maka keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan, merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil. Bukan sekedar memperjuangkan jumlah dan proses. Perjuangan gerakkan perempuan mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan ini, sejalan dengan watak gerakan perempuan di berbagai negara di dunia yang bersifat transformative, atau bertujuan membuat suatu keadaan menjadi lebih baik. Lebih adil dan lebih demokratis. Dalam konteks politik Indonesia, perjuangan keterwakilan politik perempuan, masih sangat relevan. Hak untuk memilih memang telah berhasil diperjuangkan oleh Kongres Perempuan Indonesia formal maupun informal3 pada tahun 1939 ‐ 1945, hingga akhirnya sejak pemilu pertama di Indonesia (tahun 1955) perempuan Indonesia sudah memiliki hak pilih. Namun hak pilih perempuan tersebut tidak serta merta menghasilkan keterwakilan yang seimbang dalam lembaga perwakilan rakyat. Jumlah perempuan di DPR/DPRD tetap saja rendah. Kurang dari 30% dari seluruh jumlah anggota parlemen. Hal ini terjadi karena berbagai hambatan structural dan cultural yang dihadapi oleh perempuan. Hambatan structural, terutama disebabkan oleh jumlah calon anggota perempuan dalam daftar calon partai (saat ini Daftar Calon Tetap), sangat rendah. Sedangkan hambatan cultural 1
Disampaikan dalam Konferensi INFID , Pembangunan Untuk Semua, Jakarta 26‐27 November 2013 Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Untuk keadilan dan Demokrasi periode 2009‐2014 3 Disebut Formal maupun informal, sebab pada tahun 1942‐1945 tidak ada gerakkan perempuan yang formal, karena pada masa pendudukan Jepang semua organisasi perempuan dilarang, kecuali organisasi perempuan buatan jepang Fujinkai. 2
1 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
terutama disebabkan oleh kurangnya dukungan keluarga dan kurangnya kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan politik perempuan, terutama karena adanya anggapan, bahwa dunia politik adalah dunia kaum laki‐laki. Tabel 1 Jumlah & Prosentase perempuan dalam DPR Sejak Indonesia merdeka ‐2014
DPR Tahun/periode 1945‐1949 Komite Nasional Pusat 1949‐1950 DPR RIS 1950‐1956 DPRS 1956‐1960 Hasil Pemilu 1955 DPR Gotong Royong 1960‐1966 DPR Orde Baru 1966‐1971 Penyegaran DPR hasil Pemlu 1971 (1971‐1977) DPR (1977‐1982) DPR (1982‐1987) DPR (1987‐ 1992) DPR (1992‐1997) DPR (1997‐1999) DPR (1999‐2004) DPR (2004‐2009) DPR (2009‐2014)
Seluruh anggota 21
Jumlah Perempuan ‐
Jumlah Laki‐laki 21
150
3
147
235
9 (3,8%) 17 (6,25%) 26 (9,19%) 37 29 36 (7,8%)
225
272 257 + diangkat
283 350 414 460 (360 dipilih +100 diangkat 460 (360 dipilih +100 diangkat 460 (364 dipilih + 96 diangkat) 500 (400 dipilih + 100 diangkat) 500 (400 dipilih + 100 diangkat) 500 (400 dipilh + 100 diangkat) 462 550 560
255 257 313 385 424
36 (7,8%)
424
39 (8,5%)
421
65 (13%)
435
62 (12,5%)
438
62 (12,5%)
438
46 (9%) 63 (11,8%) 101 (18%)
416 487 459
Sumber : Aisyah Amini “Pasang Surut Peran DPR”, data KPU, diolah Peningkatan jumlah perempuan di parlemen juga terjadi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Secara agregat nasional yang meliputi 33 provinsi, Pemilu 2009 menghasilkan 321 atau 16 persen perempuan dari total 2.005 anggota DPRD provinsi. Jumlah tersebut naik, jika dibandikan hasil Pemilu 2004 yang hanya 12 persen. Dari Hasil Pemilu 2009 , Propinsi sudah yang keterwakilan perempuan melebihi 30% yaitu Prov. Maluku : 14 perempuan dari 45 orang atau 31%. 2 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
Sedang di DPRD kabupaten/kota, dari 461 kabupaten/kota yang tersedia datanya, memiliki 15.750 anggota. Dari jumlah tersebut, terpilih 1.857 perempuan atau 12%. Persentasi ini naik hampir dua kali lipat, karena Pemilu 2004 hanya menghasilkan 6% perempuan di DPRD kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota, masih terdapat DPRD yang tidak memiliki anggota perempuan. Dari 461 kabupaten/kota, terdapat 27 DPRD yang tidak ada anggota perempuan terpilih. Yaitu tersebar di Aceh, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Tercatat pula 64 DPRD kabupaten/kota yang hanya memiliki satu anggota perempuan. 2. Keterwakilan Perempuan & Kebijakan yang berkeadilan Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah kebijakan dan hasil‐hasil pembangunan dengan sendirinya adil gender, setelah jumlah keterwakilan perempuan meningkat hingga 30% ? Jawabnya : Tidak. Tuntutan mewujudkan sekurang‐kurangnya 30% keterwakilan perempuan di parlemen adalah upaya strategis untuk menciptakan “jalan” dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan adanya 30% perempuan di parlemen, diharapkan akan dapat mewakili menyuarakan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Perempuan diparlemen diharapkan untuk memastikan bahwa disetiap pembahasan kebijakan public, pengalaman, kebutuhan dan kepentingan laki‐laki dan perempuan dipertimbangkan secara adil. sehingga setiap kebijakan public yang dihasilkan, bersifat adil bagi laki‐laki maupun perempuan dari berbagai kalangan. Namun kenyataannya, pengalaman perempuan maupun laki‐laki anggota DPR/DPRD, yang pada umumnya dari kelas “menengah ke atas” tidak selalu dapat menangkap pengalaman, kebutuhan dan kepentingan dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan yang berada di pedesaan, kelompok‐kelompok masyarakat tertentu seperti: nelayan, petani, masyarakat adat, miskin perkotaan, penyandang disabilitas, maupun kelompok usia tertentu, seperti : bayi, Balita, kelompok muda dan lanjut usia. Maka, agar anggota DPR/DPRD mampu menangkap pengalaman pihak‐pihak yang akan terkena kebijakan tadi, kelompok‐kelompok tersebut harus secara aktif menyuarakan pengalamannya baik yang berupa permasalahan, dan harapan akan pemenuhan kebutuhan dan kepentingannya. Kelompok‐kelompok yang tidak mampu menyuarakan sendiri kepentingannya , Bayi, anak, dan lanjut usia (yang sudah tidak produktif) harus diwakili dan diperjuangkan oleh kelompok yang lebih berdaya. Tanpa peran aktif dari masing‐masing kelompok, maka sangat kecil kemungkinan pengalaman, permasalahan dan harapan mereka di dengar dan disuarakan. Bahkan keberadaan mereka pun , menjadi tidak tampak atau invisible. 3 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
Pengalaman Koalisi Perempuan Indonesia dalam pengorganisasian dan advokasi, telah membuktikan. Bahwa ketika perempuan‐perempuan memiliki kesadaran kritis tentang hak‐haknya, hukum dan tanggung jawab negara, mampu mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhannya, kemudian mengorganisir diri dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan DPR/DPRD, maka akan diperoleh hasil : adanya kebijakan public, termasuk alokasi anggaran dan program yang ditujukan kepentingan mereka. Bukti lain yang dapat menjadi pelajaran adalah perbedaan jumlah dan kualitas undang‐undang yang dihasilkan oleh DPR RI periode 2004‐2009 dengan DPR RI periode 2009‐2014. Meski jumlah keterwakilan perempuan di DPR RI, periode 2004 ‐ 2009 lebih sedikit yaitu 11%, dibanding jumlah perempuan di DPR RI periode 2009‐ 2014, yaitu 18%, namun DPR RI periode 2004‐2007, lebih banyak menghasilkan undang‐undang yang merupakan implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination all form Discrimination Against Women‐CEDAW) Produk Legislasi DPR RI Produk Legislasi DPR RI Periode 2004 ‐2009 Periode 2009 ‐2014 1. Undang –Undang No 24 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah 1. Undang‐undang 15 tahun Tangga 2011 tentang Penyelenggara 2. Undang‐undang No 12 Tahun 2006 Tentang Pemilu Kewarganegaraan Republik Indonesia 2. Undang‐undang No 10 tahun 3. Undang‐undang No 21 Tahun 2007 Tentang 2012 Tentang Pemilu Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan 3. Undang–undang No 7 Tahun Orang
4.
Undang‐undang No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menegah Undang‐undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang‐undang No 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudikan dan Pembangunan Keluarga Paket Undang‐undang Politik (terutama UU Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu)
2012 Penanganan Konflik Sosial
5. 6. 7. Munculnya berbagai undang‐undang dalam masa DPR RI periode 2004‐2019, tidak terlepas dari adanya konsolidasi organisasi‐organisasi perempuan, yang memiliki 4 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
agenda dan berbagi peran dalam mengintervesi program legislasi nasional (prolegnas) , pada periode itu. Sementara di tingkat DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota menghasilkan sejumlah Peraturan Daerah (perda) yang berpihak terhadap perempuan dan anak, sebagai akibat dari adanya intervensi organisasi‐organisasi perempuan dalam program legislasi daerah (Prolegda) . Perda yang berpihak kepada perempuan dan anak tersebut, antara lain adalah : 1. Perda Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan 2. Perda Tentang Pembebasan Biaya Akte Kelahiran 3. Perda Tentang Perlindungan Anak 4. Perda Tentang Pemberdayaan Perempuan 5. Perda Tentang Pembebasan Pungutan Retribusi Pelayanan Kesehatan Tingkat Puskesmas 3. Prasyarat Lahirnya Kebijakan Berkeadilan Pengalaman Koalisi Perempuan Indonesia dari praktek pengorganisasian dan advokasi, mengajarkan bahwa untuk mewujudkan kebijakan yang adil bagi laki‐ laki dan perempuan dari berbagai kalangan dibutuhkan pemenuhan, prasyarat tertentu, yaitu : 1. Adanya Keaktifan Warga Negara (Active Citizenship) 2. Adanya kepemimpinan dan etika politik dan sensitifitas politisi terhadap ketidakadilan dan ketimpangan, 3. Terciptanya hubungan konstituensi antara anggota DPR/DPRD dengan pemilih 4. Terpenuhinya hak atas informasi public 5. Adanya pengakuan dan pemenuhan Hak atas kebebasan berserikat & perpendapat 6. Proses pembahasan kebijakan public yang partisipatif 7. Wakil rakyat yang bersih dan akuntabel Ketujuh prasyarat ini, merupakan kesatuan dan memiliki saling keterkaitan, serta mutlak harus dipenuhi, jika kita memimpikan adanya kebijakan yang adil gender, dan mensejahterakan semua warga negara. 1. Keaktifan Warga Negara (Active Citizenship) Keaktifan warga Negara (active Ctizenship) adalah warga negara yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan kesadaran kritis tentang: hukum, 5 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
hak‐hak warga negara yang dijamin oleh hukum dan tanggung jawab negara. Mereka juga mengorganisasikan diri, secara aktif menemukenali masalah‐ masalah dan ketidakadilan yang dialami oleh individu‐individu dan masyarakat disekitarnya, serta melakukan upaya‐upaya penyelesaian masalah dan pembelaan untuk menghapus ketidakadilan. Kelompok warga negara yang aktif juga melakukan pemantauan dan intervensi proses dan capaian pembangunan di wilayahnya agar lebih adil. Upaya‐upaya tersebut dilakukan melalui jalur demokrasi yang tersedia, melalui berbagai upaya pengorganisasian dan advokasi kepada pemerintah maupun parlemen. 2. Kepemimpinan dan etika politik dan sensitifitas politisi terhadap ketidakadilan dan ketimpangan Kepemimpinan dan etika politik politisi akan menentukan kemampuan mereka dalam menyuarakan kepentingan dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Namun kepemimpinan dan etika politik saja, tidak akan cukup untuk melahirkan kebijakan publik yang berkeadiilan. Kebijakan yang berkeadilan, hanya akan dihasilkan oleh pemimpin‐ pemimpin yang memahami dan sensitif terhadap ketidakadilan dan ketimpangan.
3. Hubungan konstituensi antara anggota DPR/DPRD dengan pemilih Hubungan konstituensi antara anggota DPR/DPRD dengan pemilih adalah hubungan yang bersifat timbal balik dan berkesinambungan, dimana anggota DPR/DPRD menyampaikan perpembangan proses dan hasil dari parlemen, menyerap aspirasi dan mendengarkan keluhan masyarakat lalu memperjuangkannya di parlemen. Sebaliknya masyarakat menyampaikan apresiasi, kritik dan saran atas hasil – hasil parlemen, memberikan informasi tentang dampak rancangan kebijakan publik terhadap kehidupan sehari‐hari masyarakat. Dengan demikian, maka kebijakan publik yang dibuat oleh parlemen akan mempertimbangan pengalaman perempuan dan laki‐laki serta memperhitungkan dampak positif dan negatif kebijakan tersebut terhadap kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat.
4. Terpenuhinya hak atas informasi public Informasi publik yang lengkap, benar, dan aksesible bagi laki‐laki dan perempuan dari semua kalangan masyarakat, merupakan kunci utama bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif terhadap proses pembagunan 6 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
secara umum, maupun proses perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tanpa pemenuhan hak atas informasi, maka seluruh proses demokrasi hanya akan menjadi mobilisasi politik, yang memaksa warga negara untuk setuju dan patuh terhadap kebijakan publik, tanpa memahami dampaknya terhadap kehidupan mereka. Bahkan dalam tahapan tertentu, penyembunyian informasi publik dapat berakibat pada lahir dan berlanjutnya tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Oleh karenanya, untuk mendorong kebijakan publik yang adil secara substantif dan partisipatif dari aspek proses, harus dimulai dari adanya partisipasi aktif masyarakat berbasis pada penguasaanmasyarakat terhadap informasi publik. 5. Pengakuan dan pemenuhan Hak atas kebebasan berserikat & berpendapat Pengakuan negara tehadap hak atas kebebasan berserikat dan berpendapat, merupakan landasan penting bagi terwujudnya keaktifan warga negara. Tanpa ada jaminan dan perlindungan bagi warga negara untuk berserikat/berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Pengaturan melalui peraturan perundang‐undangan dapat dibenarkan, sepanjang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hak dalam bentuk penggunaan kekeerasan dan ancaman kekerasan. Namun pengaturan dengan semangat untuk menguasai dan menekan organisasi‐organisasi yang dibentuk oleh warga negara dan masyarakat, yang mencerminkan kekuasaan negara/pemerintah yang tidak terbatas, sebagaimana diwujudkan dalam undang‐undang ormas saat ini, akan merupakan ancaman terhadap demokrasi. Pada gilirannya, lemahnya demokrasi akan mengakibatkan lahirnya kebijakan publik yang tidak adil yang akan melestarikan pemiskinan dan ketimpangan. 6. Proses pembahasan kebijakan public yang partisipatif Proses pembahasan kebijakan publik secara partisipatif, yang melibatkan masyarakat secara luas, akan memberi peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk menyampaikan pengalaman dan usulan penyempurnaan rancangan kebijakan publik, sehingga dapat dihasilkan kebijakan yang berkeadilan. Untuk dapat melibatkan masyarakat secara luas dalam pembahasan rancangan publik, maka kesekretariatan DPR/DPRD harus menyediakan 7 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N
informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, terkait dengan jadwal sidang pembahasan dan materi rancangan kebijakan publik yang termutahirkan (updated) berdasarkan perkembangan dalam pembahasan. 7. Wakil rakyat yang akuntabel dan legitimate Kebijakan yang berkeadilan hanya dapat dilahirkan oleh wakil rakyat yang akuntabel dan memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, proses perumusan dan pengambilan keputusan akan dihadapkan pada berbagai goncangan dan penolakan. Pun jika kebijakan berhasil disahkan, segera setelah pengesahannya akan dihadapkan pada berbagai bentuk gugatan. Catatan Akhir Hasil Pemetaan dan kajian cepat, yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia berdasarkan penempatan calon legislatif perempuan dalam Daftar Calon Tetap DPR RI, menunjukkan adanya peluang besar tercapainya 30% keterwailan perempuan di parlemen. Namun hal ini belum akan menjamin lahirnya kebijakan yang berkeadilan, mengingat kenyataan bahwa kursi DPR RI akan diisi oleh sejumlah politisi baru. Hal yang sama akan terjadi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Meski keterwakilan perempuan belum mencapai 30% di semua daerah, namun hampir dapat dipastikan akan terjadi peningkatan jumlah kerterwakilan perempuan secara drastis. Artinya, akan hadir politisi‐politisi baru di parlemen daerah. Sama halnya di DPR RI, kehadiran politisi‐politisi baru ini belum menjadi jaminan lahirnya kebijakan yang berkeadilan. Kebijakan yang berkeadilan, akan terwujud bila tujuh prasyarat, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, terpenuhi. Artinya, gerakan masyarakat sipil dan terutama gerakan perempuan harus bekerja di dua aras, yaitu pengorganisasian dan penguatan kapasitas advokasi masyarakat, serta peningkatan kapasitas kepemimpinan politik perempuan.
8 | K E T E R W A K I L A N P O L I T I K P E R E M P U A N & K E B I J A K A N B E R K E A D I L A N