KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND WILAYAH JABOTABEK
SOBRI EFFENDY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND WILAYAH JABOTABEK
SOBRI EFFENDY
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK, adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2007
Sobri Effendy NRP: G. 226010011
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Disertasi
: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK
Nama
: Sobri Effendy
NIM
: G.226010011
Program Studi
: Agroklimatologi Disetujui, Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Imam Santosa, M.S. Anggota
Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si. Anggota
Diketahui, Program Studi Agroklimatologi,
Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc.
Ketua Ujian Tertutup: 2 Oktober 2007
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Dekan Ujian Terbuka: 27 November 2007
ABSTRACT SOBRI EFFENDY. The Role of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature and Urban Heat Island. Exemplified By Jabotabek Area. Under supervision of AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, and IMAM SANTOSA.
This study attempts to develop a functional relationship between air temperature and urban green space using Landsat data. It also aims to estimate the contribution of various forcings, namely, urban green space, population density, urban area, and automobile densities to urban heat island. Subsequently, the impact of urban heat island on temperature humidity index will be assessed quantitatively, followed by surface energy budget analysis of Jabotabek area. Air temperature series are derived from Landsat data, including the NDVI which is used as the bases for generating urban green space of the study area. Principal Component Analysis is utilized in order to establish the relative importance of forcing variables on urban heat island; in order to simplify the structure of factor loadings a varimax rotation is carried out. It is found that air temperature and urban green space for the study area is best represented by a nonlinear equation when a maximum coefficient determination (R2adj) and a minimum standard deviation (S) are to be fulfilled. A 50% reduction in urban green space would bring air temperature to raise between 0.4 to 1.8oC. It is interesting to note that this study reveals the same percentage increase in urban green space would only lower the temperature by 0.2 to 0.5oC. Automobile density is found to be the most important cause of urban heat island in Jakarta, a larger built-up area is the mayor factor of urban heat island in Bogor, on the other hand, a decreased urban green space is the most force factor in Tangerang and Bekasi. The analysis surface energy budget indicated that an increase of 1.0oC in urban heat island would result in a reduction of latent heat fluxes ranging from 32.7 to 33.2 Wm-2 but an increase of sensible heat fluxes to air varying from 15.7 to 15.8 Wm-2.
Key words: urban green space, urban heat island, temperature humidity index, jabotabek
ABSTRAK SOBRI EFFENDY. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. Dibimbing oleh AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, dan IMAM SANTOSA.
Penelitian bertujuan menentukan bentuk hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat; mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, luas Ruang Terbangun (RTB) dan kepadatan kendaraan terhadap fenomena Urban Heat Island (UHI) dan mengkaji dampak UHI terhadap perubahan indeks kenyamanan, dan neraca energi permukaan wilayah JABOTABEK, khususnya terhadap fluks LE (latent heat flux) dan H (sensible heat flux). Tahapan penelitian meliputi: (1) ekstraksi nilai NDVI dari band 3 dan 4, suhu udara dari band 6 citra Landsat.
Dari nilai NDVI dibangkitkan nilai persen RTH,
selanjutnya menentukan hubungan RTH dan suhu udara (2) Menerapkan regresi berganda, analisis komponen utama (PCA) dengan rotasi varimax untuk mengungkap kontribusi terbesar peubah prediktor terhadap UHI; (3) Mengkaji dampak UHI seperti Temperature Humidity Index (THI) dan neraca energi permukaan perkotaaan. Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan terpilih nonlinier untuk seluruh lokasi baik Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Pengurangan atau
penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau
penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC. membuktikan
arti pentingnya mempertahankan RTH.
Hal ini
Peubah yang memberikan
kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan ruang terbangun (RTB) pemicu UHI di Bogor.
Peningkatan UHI 1.0oC menyebabkan THI bertambah 4.8 hingga 5.0oC dan
menyebabkan penurunan fluks LE sebesar 32.7 hingga 33.2 Wm-2 sebaliknya meningkatkan fluks H sebesar 15.7 hingga 15.8 Wm-2.
Kata kunci: ruang terbuka hijau, urban heat island , temperature humidity index, jabotabek
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian mulai Juli 2005Juli 2007 mengenai keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island wilayah
JABOTABEK,
dengan
menggunakan
data
penginderaan
jauh.
Terimakasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ahmad Bey selaku pembimbing utama, kepada Dr. Alinda F.M. Zain atas perkenannya melanjutkan penelitian S3 yang bertema Distribution, stucture and function of urban green space in Southeast
Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan
Region (JABOTABEK), serta atas segala bantuan lainnya, juga penghargaan kepada Dr. Imam Santosa atas dorongan moril dan saran-sarannya. Penghargaan yang setinggi-tingginya pada pembimbing luar komisi pada saat ujian kualifikasi: Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. dosen Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Pada saat ujian tertutup Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB dan pimpinan sidang tertutup wakil dekan FMIPA Dr. Hasim, DEA, atas saran dan masukkannya. Serta pada saat ujian sidang terbuka Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr (Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-LPPM IPB) dan Dr. Erna Sri Adiningsih (Kepala Pusat Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN-Jakarta) beserta pimpinan sidang Dekan FMIPA-IPB, Dr. Hasim, DEA. Juga
penghargaan
sebesar-besarnya
kepada
BPPS-Dirjen
Dikti
Departemen Pendidikan RI yang memberikan beasiswa selama enam semester. Kepada semua pihak yang membantu baik rekan sesama staf dan penunjang di departemen maupun di lain fakultas di IPB serta di luar IPB. Serta kepada pihak keluarga yang mendukung dengan doa dan pengertiannya, terutama saat penulisan disertasi. Akhirnya, semoga apa yang dihasilkan mendapat ridho dari Yang Maha Kuasa. Amin. Bogor,
November 2007
Sobri Effendy
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera-Selatan pada tanggal 24 November 1964 oleh Ibu yang bernama Haunai dan Ayah (Almarhum) Muhd. Toyib.
Menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN 2, pendidikan menengah
pertama pada SMPN 1 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 1 semuanya di kota Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, Baturaja, Sumatera Selatan. Pendidikan tinggi strata satu diterima lewat jalur USMI/PMDK pada tahun 1994 di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan MeteorologiFMIPA-IPB. Diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama hingga sekarang.
Pada tahun 1994
hingga 1997 menyelesaikan pendidikan tinggi strata dua di IPB pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Pada tahun 2001 diterima di program studi Agroklimatologi-Sekolah Pascasarjana IPB lewat program BPPS 2001. Mengambil topik disertasi dengan judul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai ketua dan Dr. Ir. Alinda FM. Zain, M.Si. serta Dr. Ir. Imam santosa, M.S. sebagai anggota pembimbing. Selama proses penyelesaian disertasi penulis beserta pembimbing menulis jurnal terkait, dengan judul: Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Mengendalikan Suhu Udara dan Urban Heat Island di Jabotabek, pada jurnal terakreditasi Agromet Indonesia Volume XX No.1 Juni 2006. Serta membawakan makalah pada seminar: Menuju Jabodetabek Berkelanjutan pada tanggal 6 September 2007 di IPB-ICC (International Convention Center) Bogor dengan judul Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Urban Heat Island dan Nereca Energi Permukaan Wilayah Jabotabek.
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Erna Sri Adiningsih, M.Si. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Albedo (α)
λ
Perbandingan jumlah radiasi surya gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi surya gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut. Radiasi gelombang pendek dalam penelitian ini diekstrak dari kanal visible. Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan sebesar 11,5 µm nilai tengah dari kanal 6.
Bowen Ratio (β)
Perbandingan antara panas terasa (sensible heat flux) dengan energi untuk menguapkan air permukaan (latent heat flux), menggambarkan status kelembaban penutup permukaan.
c
Kecepatan cahaya 2.998 x 108 msec-1
CP
Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1K-1)
Digital Number (DN)
Nilai digital yang menggambarkan suatu tingkat kecerahan suatu obyek dalam data satelit, dinyatakan dalam satuan bit, dikenal juga dengan istilah nilai keabuan (grey value) dengan nilai bit antara 0-255.
ε
Emisivitas suatu obyek atau permukaan, menunjukkan daya emisi/pancar suatu obyek.
εa
Emisivitas udara daya emisi udara sebesar 0.938 x 10-5 Ta2 K-2
ea
Tekanan uap aktual (kPa)
es
Tekanan uap jenuh (kPa)
Fraksi Alfa (Fα)
Perbandingan antara fluks panas laten dengan radisi netto, indikator bagi besar atau kecilnya penggunaan energi bersih untuk proses penguapan.
GCP
Ground Control Point, titik kontrol di bumi yang dijadikan acuan untuk mengoreksi citra akibat kesalahan geometrik, biasanya ditentukan titik alami yang tidak cepat berubah, misal garis pantai atau bangunan yang bersejarah dan akan tetap dipertahankan seperti tugu Monas.
h
Konstanta Planck (6.26x10-34 J sec)
JABOTABEK
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi adalah suatu kawasan megapolitan dan menjadi wilayah Kawasan Strategi Nasional (KSN) bagi Indonesia.
JD
Julian Day, jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi data citra satelit pada tahun yang bersangkutan.
KPop
Singkatan dari kepadatan populasi, jiwa per km-2.
KKdr
Singkatan dari kepadatan kendaraaa dalam satuan unit km-2
LANDSAT TM
Land Satellite Thematic Mapper, satelit komersial yang dapat digunakan untuk memantau sumberdaya alam, yang pada awalnya digunakan dalam bidang geologi umum, namun berkembang pesat dan dapat diaplikasi pada bidang lain selain geologi.
LANDSAT ETM+
Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus, merupakan satelit komersial modifikasi dari TM dengan pengayaan pada kanal 8 (Panchromatic, dengan resolusi 15 x 15 m).
Latent Heat Flux (LE)
Perpindahan panas laten, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk menguapkan air di permukaan lewat proses evapotrasnpirasi, dengan satuan Wm-2.
N
Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0
NDVI
Normalized Difference Vegetation Index, salah satu indeks kehijauan suatu obyek dapat digunakan untuk memantau tingkat kekeringan dan kerapatan vegetasi.
NIR
Near Infra Red, suatu kanal pada satelit Landsat dengan panjang gelombang 0.76-0.90 μm.
PC
Personal Computer, merupakan istilah yang digunakan bagi seperangkat komputer lengkap dengan berbagai software untuk mengolah data, angka, gambar dan ekstrak data satelit.
PCA
Principle Component Analysis, sebuah metode statistika pengubah peubah prediktor yang saling berkorelasi erat menjadi peubah baru namun mampu menjelaskan total ragam peubah prediktor asal semaksimal mungkin, serta saling ortogonal.
Pixel
Picture Element, adalah ukuran unit luasan terkecil dari gambar yang diambil oleh penginderaan jauh, di mana satu pixel berarti satu data, untuk data Landsat satu pixel berukuran 30 x 30 m, 60 x 60 m dan 120 x 120 m, tergantung kanal yang digunakan.
raH
Tahanan
R
Red, sebuah kanal dari satelit Landsat pada cahaya yang dapat dilihat (visible) dalam warna merah dengan panjang gelombang 0.63-0.69 μm.
ρ air
Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3).
R2adj
Coefisien determination adjusted, koefisien determinasi terkoreksi menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model.
Radiasi Netto (Rn)
Energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan dengan satuan Wm-2.
RH
Relative Humidity, kelembaban relatif merupakan gambaran jumlah kandungan uap air di udara dalam satuan persen.
RTH perkotaan
Ruang Terbuka Hijau Kota (Urban Green Space), diartikan sebagai bagian dari ruang terbuka wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik, introduksi) dari tingkat rumput, semak hingga pohon guna mendukung manfaat langsung dan taklangsung seperti rasa nyaman, aman, indah dan sejahtera. Kawasan pedesaan atau pinggiran merupakan lawan kata dari urban.
Rural
aerodinamik (sm-1) Rosenberg (1974): raH = 31.9 × u −0.96 u: kecepatan angin normal pada ketinggian 1.2 m
RTB
Ruang Terbangun, merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu ruangan terbuka yang diisi oleh selain vegetasi seperti jalan, perkantoran, perumahan, serta berbagai atribut pelengkap kota, desa dan lain-lain dengan ciri permukaan keras dan kering.
RSin
Radiasi gelombang pendek dari matahari yang masuk ke permukaan bumi dalam satuan Wm-2.
RSout
Radiasi gelombang pendek dari matahari yang keluar dari permukaan bumi dalam satuan Wm-2.
Rlin
Radiasi gelombang panjang yang diterima permukaan merupakan pantulan dari atmosfer dan awan dalam satuan Wm-2.
Rlout
Radiasi gelombang panjang permukaan dalam satuan Wm-2.
S
Standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model.
Sensible Heat Flux (H)
Perpindahan panas terasa, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan secara konveksi, dengan satuan Wm-2.
Soil Heat Flux (G)
Perpindahan panas permukaan tanah, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman tanah melalui proses konduksi, dengan satuan Wm-2.
Sub-urban
Kawasan perbatas antara urban dan rural dikenal juga sebagai kota kecil atau kota yang mulai berkembang.
Suhu Permukaan (Ts)
Suatu gambaran energi yang terdapat pada suatu permukaan bumi, dengan satuan oC atau K.
Suhu Kecerahan (TB)
Brigthness Temperature, suatu gambaran energi permukaan yang dihitung berdasarkan tingkat kecerahan permukaan (obyek yang dikaji), dengan satuan oC atau K.
Suhu Udara (Ta)
Suatu gambaran energi yang terdapat di atmosfer atau udara dan dapat dirasakan oleh tubuh serta dapat diukur dengan termometer, dengan satuan oC atau K.
spektral radiance Lλ
Jumlah energi yang dipancarkan/dipantulkan suatu obyek per unit luas dan panjang gelombang tertentu.
spectral irradiance ( ESUN λ ) Td
Jumlah energi yang diterima suatu obyek per unit luas.
σ
yang
keluar
dari
Dew Point Temperature, suhu titik embun yaitu suhu yang tercapai saat terjadi pengembunan.
Tetapan Stefan-Bolztman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)
THI
Temperature Humidity Index, suatu indeks dengan satuan derajat Celsius sebagai besaran yang dapat dikaitkan dengan tingkat kenyamanan yang dirasakan populasi manusia di wilayah perkotaan.
Thermal Infrared
Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang memiliki panjang gelombang 10.40 hingga 12.50μm, dikenal sebagai kanal 6 untuk mengekstrak data suhu permukaan.
UHI
Urban Heat Island, merupakan fenomena di perkotaan yang menggambarkan peningkatan suhu udara perkotaan dibandingkan wilayah sekitar kota (rural/desa), secara visual pada gambar isoterm spasial di peta seperti sebuah pulau dengan isoterm tertinggi terjadi diperkotaan.
UCL
Urban Cover Layer, suatu lapisan yang menyelimuti perkotaan dan merupakan batas yang bertindak seperti selimut penyebab udara menjadi lebih panas di perkotaan.
Urban
Perkotaan, sebuah pusat keramaian dengan berbagai atribut pelengkap kota seperti jalan, gedung, pusat perbelanjaan, pemukiman dan lainnya.
Visible
Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 0.3 hingga 0.7 μm pada cahaya tampak biru, hijau dan merah (sering disingkat sebagai RGB: red, green, blue).
DAFTAR ISI No.
Text
Hal
ABSTRACT…………………………………………………………….
i
ABSTRAK……………………………………………………………
ii
PRAKATA…………………………………………………………….
iii
RIWAYAT HIDUP
iv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………….
x
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiv
I.
PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang........................................................................................
1
1.2.
Kerangka Pemikiran................................................................................
2
1.3.
Tujuan Penelitian....................................................................................
3
1.4.
Luaran Penelitian....................................................................................
3
1.5.
Kebaruan (Novelty)
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
5
2.1.
Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI)...............
5
2.2.
Keterkaitan RTH dengan UHI...............................................................
6
2.3.
Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI......................................
11
2.4.
Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI...............................
12
2.5.
Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI...................................
14
2.6.
Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi....................................
15
2.7.
Penginderaan Jauh.................................................................................
18
III.
BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN ..................................
23
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................
23
3.2.
Alat dan Bahan........................................................................................
25
3.3.
Metodologi Penelitian.............................................................................
26
3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara..........................
26
3.3.2. Kontribusi RTH, Kepadatan Populasi, RTB, dan Kepadatan Kendaraan terhadap UHI.....................................................
35
3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi.........................
39
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................
43
4.1.
Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat............................................
44
4.2.
Pendugaan Nilai RTH dari Landsat........................................................
50
4.3.
Penentuan Neraca Energi.......................................................................
52
4.4.
Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara...........................................
57
4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara.......................................
64
4.5.
Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI…….....
67
4.5.a. Pembahasan Fenomena UHI...................................................................
70
4.5.b. Simulasi dan Validasi Model Fenomena UHI....................................
72
4.6.
Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi.........................
73
4.6.a. Pembahasan Dampak UHI terhadap THI..............................................
76
4.6.b. Simulasi dan Validasi Model UHI dan THI.......................................
76
4.6.c. Dampak UHI terhadap Neraca Energi Permukaan...............................
78
4.6.d. Pembahasan Dampak UHI terhadap Fluks LE dan H...........................
80
4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi.......................
83
V.
SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
85
5.1.
Simpulan...............................................................................................
85
5.2.
Saran.....................................................................................................
86
VI.
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
88
LAMPIRAN..........................................................................................
98
1.
Analisis Komponen Utama....................................................................
98
2.
Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan kedua 103 dengan UHI setelah analisis rotasi varimax................................. Hasil Lengkap penentuan hubungan UHI dan THI................................ 104
3.
DAFTAR TABEL No.
Text
Hal
1.
Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK......................................
10
2.
Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK………………………
10
3.
Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan populasi perdekade wilayah JABOTABEK…………………………….
12
4.
Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah JABOTABEK............................................................................................
13
5.
Kepadatan kendaraan (unit/km2) perdekade wilayah JABOTABEK......
15
6.
Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah..........................................
16
7.
Selang kenyamanan beberapa negara .....................................................
17
8.
Studi aplikasi citra landsat yang dikaitakan dengan iklim kota............................................................................................................
21
9.
Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara......................
45
10.
Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004................................
47
11.
Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK.................................................
52
12.
Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model (S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004……………….
58
13.
Nilai kontanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu udara JABOTABEK……………………………………………………………
60
14.
Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar 5% di JABOTABEK.................................................................................
64
15.
Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK……………...
68
16.
Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total ragamnya untuk empat kota JABOTABEK……………………………………..
69
17.
Kontribusi peubah prediktor dalam persen terhadap UHI………………………………………………………………………
70
18.
Hasil simulasi dan validasi UHI empat kota JABOTABEK ...........................................................................................
19.
Nilai kontanta dan koefisien persamaan UHI dan THI JABOTABEK……………………………………………………………
73 74
20.
Perubahan THI akibat perubahan UHI berdasarkan interpretasi model persamaan JABOTABEK...........................................
75
21.
Hasil simulasi dan validasi THI empat kota JABOTABEK............................................................................................
77
22.
Nilai kontanta dan koefisien persamaan fluks LE, H dan UHI JABOTABEK……………………………………………………………
78
23.
Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di empat kota JABOTABEK.....
80
24.
Nilai rasio Bowen di empat kota JABOTABEK dibandingkan kota-kota lain......................................................................
81
25.
Rasio nilai LE, H dan G wilayah JABOTABEK......................................
82
26.
Simulasi dan Validasi nilai LE dan H JABOTABEK............................
83
DAFTAR GAMBAR No.
Text
Hal
1.
Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI ..............................
2
2.
Fenomena UHI di malam hari, suhu udara (garis tebal), suhu permukaan (garis putus-putus).........................................................
5
3.
Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas .........................................
6
4.
Fungsi RTH Perkotaan ............................................................................
7
5.
Wilayah studi............................................................................................
24
6.
Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara.............
27
7.
Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI..........................................
39
8.
Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H......................
42
9.
Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara…………………………
46
10.
Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat periode 1991, 1997 dan 2004…………………………………………...
49
Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK Periode 1991, 1997 dan 2004…………………………………………
51
11. 12.
19.
Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta………………………… Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor………………………… Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang……………………… Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi………………………… Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun 1991 (a) dan data tahun 1997 (b)……………………………………….. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991 untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil ekstraksi 1997 untuk data 1991 (b)............................................................................................ Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu udara (Ta) pada Tujuh wilayah kajian ............................................................................... Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH wilayah JABOTABEK...
20.
Persamaan terpilih dampak UHI terhadap THI........................................
74
21.
Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta (a dan b) Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f) dan Bekasi (g dan h)……………
79
13. 14 15 16. 17. 18.
53 54 55 56 59 59 61 63
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Ruang Terbuka Hijau (RTH) JABOTABEK berkurang 23% selama
periode 1972-1997. Dalam periode yang sama terjadi peningkatan ruang terbangun (RTB) sebesar 23% (Zain, 2002).
Pengurangan RTH diduga salah
satu penyebab peningkatan suhu udara. Diperlukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut. Peningkatan suhu udara perkotaan merupakan fenomena Urban Heat Island (UHI), yakni peningkatan suhu udara perkotaan (urban) dibandingkan wilayah suburban dan rural. Kajian UHI dengan pendekatan analisis data stasiun cuaca telah dilakukan oleh Hidayati (1990); Karyoto et al. (1992); Adiningsih (1997) dan Santosa (1998) didapatkan suhu udara kota Jakarta lebih tinggi 0.02-1.0 oC dibandingkan wilayah suburban/rural. Dalam studi yang bertema keterkaitan RTH dan UHI di wilayah
JABOTABEK
dilakukan
analisis
penginderaan jauh. Kelebihan penginderaan
dengan
menggunakan
data
jauh dalam hal penyediaan data
spasial rapat dengan akurasi baik serta cakupan wilayah yang luas telah dibuktikan oleh Streutker (2003). Sehingga keterbatasan jumlah stasiun cuaca konvensional secara spasial dapat ditutupi dengan penggunaan penginderaan jauh. Keunggulan lainnya dalam hal tersedianya multikanal, sehingga untuk sekali pengambilan data dapat dikeluarkan beberapa parameter secara bersamaan, dengan demikian penentuan hubungan keterkaitan antara RTH dan suhu udara menjadi potensial sebagai bahan kajian. Keterkaitan RTH dengan UHI dibuktikan oleh Oke (1998) dan McPherson (2000), keterkaitan kepadatan populasi dengan UHI dikaji oleh Stalling (2004) dan Pongracz et al.(2005), keterkaitan peningkatan ruang terbangun (RTB) dengan UHI dikemukakan oleh Belaid (2003) dan Weng (2003) serta keterkaitan kepadatan kendaraan dengan UHI diungkap oleh Adiningsih (1997) serta Yani dan Effendy (2003). Keberadaan RTH, populasi, RTB dan kepadatan kendaraan masing-masing secara terpisah terbukti sebagai penyebab UHI. Perlu ditelaah lebih jauh bagaimana kontribusi pengurangan RTH, kepadatan populasi,
2 peningkatan luasan RTB dan kepadatan kendaraan bila dikaji secara bersamaan. Sehingga dapat ditelaah lebih jauh kontributor paling dominan dari ke empat peubah yang secara terpisah berperanan besar terhadap UHI. Dampak UHI secara lokal terhadap perubahan kenyamanan dan neraca energi diungkap oleh Oke (1997) dan Voogt (2002), untuk wilayah nontropis. Perlu kajian dampak UHI terhadap Temperature Humidity Index (THI) untuk mengetahui perubahan kenyamanan dan kajian neraca energi permukaan perkotaan wilayah tropis, khususnya JABOTABEK.
Pemilihan kajian pada
wilayah JABOTABEK berdasarkan pada potensi terjadinya UHI lebih besar dan sebagai pusat pemerintahan serta sebagai aset nasional bangsa, diharapkan keluaran hasil penelitian bernilai strategis.
1.2.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang,
disusunlah kerangka pemikiran kajian kaitan RTH dengan UHI seperti yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI JABOTABEK Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan kerangka pemikiran penelitian didasarkan pada keberadaan RTH pada skala mikro memiliki fungsi ekologis dalam hal mengatur suhu udara, sehingga setiap kebijakkan mengubah RTH akan mengubah suhu udara.
Kajian suhu udara pada wilayah perkotaan merupakan
3 fenomena UHI. Fenomena UHI berdasarkan kajian pustaka disebabkan banyak faktor, selain RTH. Faktor lain tersebut di antaranya kepadatan populasi (KPop), luasan RTB dan kepadatan kendaraan (KKdr). menyebabkan terjadinya perubahan
Fenomena UHI diyakini
indeks kenyamanan (∆THI) dan juga
perubahan (∆) neraca energi permukaan. Permasalahan-permasalahan yang muncul dari kerangka pemikiran tersebut adalah: (1) Bagaimanakah bentuk hubungan fungsional antara RTH dan suhu udara? (2) Bagaimana kontribusi RTH, peningkatan kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI? (3) Bagaimana dampak UHI terhadap THI dan neraca energi? Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasar identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian sebagai berikut: 1. Menentukan bentuk
hubungan RTH dan suhu udara dengan
menggunakan data Landsat; 2. Mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI; 3. Mengkaji dampak UHI terhadap THI dan neraca energi.
1.4.
Luaran Penelitian Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema
keterkaitan RTH dengan UHI wilayah JABOTABEK antara lain: 1. Memperkaya pengetahuan bidang klimatologi terapan khususnya keterkaitan RTH dengan UHI, serta kajian dampak UHI terhadap THI dan neraca energi permukaan wilayah perkotaan. 2. Mengungkap potensi pemanfaatan penginderaan jauh, khususnya data Landsat dalam kajian Klimatologi Terapan.
4 3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait tentang pentingnya mempertahankan luasan RTH dalam menyusun rencana strategis pengembangan JABOTABEK.
1.5.
Kebaruan (novelty) Sedikitnya ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian
yang berjudul: Keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK adalah: (1)
Ditemukan keterkaitan RTH dengan suhu udara dalam bentuk persamaan kuantitatif. Sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan RTH mutlak bagi suatu kawasan perkotaan agar didapatkan suhu udara pada batasan nyaman bagi penghuni perkotaan.
(2)
Dapat diketahui secara bersamaan bahwa RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan berperan cukup besar dan nyata terhadap fenomena UHI perkotaan. Sehingga dapat diungkap bahwa setiap fenomena UHI disebabkan oleh peubah prediktor dominan yang berbeda. Hal ini terjadi akibat berbedanya karakteristik yang mendominasi setiap kota.
(3)
Upaya pengurangan UHI perkotaan secara nyata dapat memulihkan kondisi kenyamanan perkotaan melalui penurunan nilai indeks THI.
Ketiga hal tersebut diharapkan sedikitnya menyumbang informasi bagi berbagai pihak terutama bagi kelompok pengkaji kawasan JABOTABEK. Serta pihak-pihak pemerhati masalah lingkungan perkotaan dan para pengambil kebijakan.
5
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI) Menurut Voogt (2002) fenomena UHI merupakan gambaran peningkatan
suhu udara urban (perkotaan) pada urban cover layer (UCL) atau lapisan di bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah rural (pinggiran), khususnya di malam hari yang tenang dan cerah (Gambar 2). Dinamakan pulau panas karena bentuk fenomena UHI bila digambarkan secara spasial berbentuk isoterm seperti sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan areal sekitarnya (Gambar 3).
Gambar 2. Fenomena UHI di malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal), suhu permukaan (garis putus-putus) Sumber: Voogt (2002)
6
Gambar 3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas Sumber: Voogt (2002)
Beberapa hasil kajian UHI mencatat bahwa perbedaan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0.02-1oC dibandingkan daerah daerah sekitarnya (daerah pinggiran/rural) di kota-kota tropis (Hidayati, 1990; Karjoto, et al. , 1992; Santosa, 1998; Mulyana et al. (2003). Di negara subtropis fenomena UHI lebih dirasakan pada musim semi dan musim panas, terutama di malan hari. Suhu udara lebih tinggi sekitar 3-5oC hingga dapat mencapai 8-10oC sementara di siang hari hanya berbeda 1-2oC. Hasil ini merupakan kesimpulan dari berbagai riset di negara-negara bagian USA yang dilakukan Givoni (1998), bahkan di Houston, Texas (USA) oleh Streuker (2003) hanya mendapatkan peningkatan sebesar 0.8oC periode 1987-1999 pada siang hari berdasarkan data satelit; di Kota Gothenburg, Swedia oleh Svenson dan Eliasson (2002) sebesar 4-8oC di saat malam yang tenang dan cerah, sementara pada kondisi berangin dan berawan peningkatan suhu udara perkotaan hanya sebesar 2.5oC.
Sedangkan di Kota Phoenix (Arizona, USA) suhu udara malam
hari meningkat sebesar 5oC, di siang hari sebesar 3.1oC (Baker, et al. 2003).
2.2.
Keterkaitan RTH dengan UHI Berdasarkan lokasinya RTH di JABOTABEK lebih tepat diartikan sebagai
RTH perkotaan (urban green space), Zain (2002) menambahkan kata urban karena antara manusia dan RTH JABOTABEK terjalin interaksi yang erat,
7 sehingga RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan (Nurisjah et al., 2005). Nurisjah et al., (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. Fungsi RTH Perkotaan Sumber: Nurisjah et al., (2005) Hasil kajian Purnomohadi (1995) terhadap peran RTH dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta mendapakan hasil: RTH mampu menekan emisi CO, NOx dan Pb (melampaui baku mutu KepMenLH 02/1998) dari sektor transportasi (90%), industri (7%), sampah kota (3%) dan rumah tangga (< 1%) masing-masing sebesar 3%, 2% dan menekan emisi Pb sebesar 2% terhadap bobot emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas seperti NOx (termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap panas 300 kali dibandingkan CO2) akan mengurangi dampak pemanasan baik lokal, maupun regional seperti fenomena UHI. Kajian Santosa dan Bey (1992) menemukan keberadaan Kebun Raya Bogor tetap nyaman terjaga dari pengaruh pembangunan fisik dan padatnya lalu
8 lintas kota dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami, sementara THI di sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga Kebun Raya Bogor tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah akibat pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan.
Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk
memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga kehadiran RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH. Tipe RTH yang banyak terdapat di Jawa Barat berupa kebun berbagai tanaman hortikultura di sekitar rumah dikenal dengan istilah home garden menyebabkan turunnya suhu udara 0.5-1oC serta meningkatkan RH 3-4% di bandingkan lahan terbuka
(Koesmaryono, et al. 2000).
Hal ini berarti
keberadaan RTH mampu meredam fenomena UHI serta mempertahankan THI pada batas nyaman. Hasil riset lapangan Zain (2002) kawasan JABOTABEK mengidentifikasi sedikitnya 9 tipe RTH: tanaman di gedung pemerintahan, tanaman di areal pusat bisnis, tanaman di areal industri, taman, RTH di pemukiman kota, RTH pemukiman pinggiran kota, pedesaan, areal sawah, serta hutan kota. Masingmasing tipe berbeda dalam efektivitasnya mengurangi suhu udara, berdasar kajian Irwan (1994) bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan vegetasi (rumput, semak dan pohon) dapat mengurangi kebisingan sebesar 6%30%, debu sebesar 38%-68%, dan suhu udara di bawah tajuk sebesar 0.1-0.5oC dibandingkan RTH bergerombol, dan berbentuk jalur. Hal yang sama diungkap Misawa (1994) tentang efektivitas jalur hijau dengan lebar lebih dari 2 km, dengan kombinasi vegetasi rumput, semak dan pohon mampu meredam 75% debu perkotaan. Namun keberadaan RTH di banyak kota terancam oleh penyebab pengurangan RTH seperti, meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan pemukiman, perluasan kota serta industri (Sudha and Ravindranath, 2000), meledaknya populasi (Oke, 1982; Shosshany and Goldshleger, 2002) serta urbanisasi (Ghosh, 1998; Murakami, et al., 2005). Akibatnya terjadi fenomena UHI yang berdampak pada perluasan wilayah tidak nyaman.
Hal serupa
9 didapatkan oleh Khomarudin (2005) untuk kota Surabaya dan sekitarnya, dengan menggunakan data Landsat dan NOAA secara visual akibat perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan perkotaan meningkatkan suhu udara yang berimplikasi pada meluasnya UHI.
Namun hubungan secara empiris lewat persamaan
matematika belum ditemukan. RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten (latent heat) sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara (sensible heat).
Akibatnya pada lahan bervegetasi
cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu, Moll (1997) merekomendasikan kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Penghitungan tersebut didasarkan pada perhitungan neraca energi yaitu konversi radiasi netto lebih banyak digunakan untuk panas laten, sehingga mengurangi porsi sensible heat, akan efektif bila luasan RTH 40% dari luasan lokasi kota. Melalui kombinasi penaungan dan pendinginan udara lewat transpirasi, RTH dapat digunakan untuk mencegah UHI akibat perkembangan area perkotaan (Grimmond et al., 1996, Ca et al., 1998, Spronken-Smith dan Oke, 1998). Selama kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2 di atmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global (McPherson, 2000). Selain RTH, badan air juga dapat mengontrol UHI, karena energi netto secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat proses evaporasi, sehingga energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah menimal, khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert (1990) di Jerusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al. (1999). Hasil penelitian terbaru mengenai luasan (ha) dan proporsi RTH (%) didasarkan pada analisis citra Landsat disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan 2 sebagai berikut:
10 Tabel 1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK KABUPATEN / KOTA
Luas Ruang Terbuka Hijau (ha)
1972 1983 Kab. Bogor 269.145 264.479 Bogor 10.401 9.885 Kab. Bekasi 66.843 62.530 Bekasi 16.414 15.836 Depok 16.780 18.090 Kab. Tangerang 62.427 77.551 Tangerang 9.997 8.219 DKI Jakarta 32.709 20.012 Sumber: Agrissantika, et al. (2007)
1992 260.178 8.060 83.280 14.618. 17.533 82.739 8.468 17.956
Luas Wilayah (ha)
2000 230.324 5.587 71.892 8.977 12.935 60.687 5.053 10.190
2004 234.945 4.912 77.904 7.240 9.780 66.601 3.820 7.166
279.382 11.342 126.738 22.683 19.991 112.612 18.538 63.533
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa hingga 2005 semua wilayah kabupaten secara luasan (ha) dan proporsi luasan RTH (%) masih mempunyai potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam fenomena UHI. Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki wilayah kabupaten masih cukup luas, terutama di Kabupaten Bogor luasan RTHnya 234.945 ha atau 85% dari total luas wilayah diikuti Kabupaten Bekasi dan Tangerang masing-masing 77.904 ha (61%) dan 66.601 ha (59%).
Sedangkan
wilayah perkotaan berada pada proporsi di bawah 50%, dengan RTH terendah di kota DKI Jakarta sebesar 11%. Tabel 2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK KABUPATEN / KOTA
Kab. Bogor Bogor Kab. Bekasi Bekasi Depok Kab. Tangerang Tangerang DKI Jakarta
Proporsi Ruang Terbuka Hijau 1972 96% 92% 53% 72% 84% 55% 54% 51%
Sumber: Agrissantika, et al. (2007)
1983 95% 87% 49% 70% 90% 69% 44% 31%
1992 93% 71% 66% 64% 88% 73% 46% 28%
2000 82% 49% 57% 40% 65% 54% 27% 16%
2005 84% 43% 61% 32% 49% 59% 21% 11%
11 2.3.
Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI Peningkatan populasi secara langsung lewat emisi panas tubuh dan secara
tidak langsung melalui aktivitas penghasil gas rumah kaca, terbukti secara lokal menyebabkan peningkatan suhu udara (Tso, 1996; Jauregui et al. 1997; Tayanc dan Toros, 1997; Brandsma et al. 2003; Chung et al. 2004; Mihalakakou et al. 2004, Stalling, 2004; Zhou, 2004). Intensitas UHI cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan atau luasan perkotaan (Park, 1986; Yamashita et al., 1989; Chow, 1992; Hogan dan Ferrick, 1998; Magee et al. 1999; Philandras et al. 1999, Torok et al. 2001; Hinkel et al. 2003. Di Amerika Utara dan kota-kota di Eropa, Oke (1973) berhasil membuat model regresi dengan peubah prediktor tunggal ukuran populasi, sebesar 70% dapat menjelaskan peubah intensitas UHI. Dilanjutkan hasil penelitian Karl et al. (1988) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1oC setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Pada skala regional Kukla et al. (1986) mencatat peningkatan suhu udara perkotaan sebesar 0.12oC perdekade pada rentang periode 1941-1980.
Sebagai penelitian pionir, Viterito
(1991) menduga peningkatan suhu udara perkotaan secara global di Amerika Serikat sebesar 0.19oC akibat penambahan populasi 200 ribu jiwa atau lebih pada tahun 2035. Besaran UHI hasil penelitian yang dilakukan Pongracz et al. (2005) di 10 kota terpadat di Hungaria, Budapest didapatkan antara 1.2-2.1
o
C dengan
menggunakan hasil ektraks data satelit Terra, dengan sensor MODIS. Pongracz menyimpulkan fenomena UHI yang terjadi di 10 kota Hungaria, Budapest disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah penduduk. Besaran (magnitude) UHI tertinggi 2.1 oC disumbangkan oleh kota terpadat, sedangkan terendah 1.2 oC tercatat di kota berpopulasi terendah. Hasil penelitian terbaru di JABOTABEK mengenai populasi dan potensi kepadatan penduduk dari tahun 1961 hingga 2004 disajikan pada Tabel 3.
12 Tabel 3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan populasi perdekade wilayah JABOTABEK Lokasi Jakarta Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Bogor Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Tangerang Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Bekasi Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2)
1961
1971
1981
1991
2000
2004
2.906.533 592
4.576.009 587
6.555.954 657
8.729.700 661
8.385.639 661
8.725.830 661
4.910
7.796
9.971
10.750
12.681
13.195
1.468.248 3.020
1.864.652 3.020
2.823.201 3.021
4.248.038 3.379
5.379.279 3.463
5.594.078 3.463
486
617
935
1.257
1.553
1.615
850.390 1.325
1.066.695 1.325
1.515.677 1.325
2.93.653 1.399
4.107.282 1.414
4.682.948 1.414
642
805
1.144
2.097
2.905
3.312
692.817 1.600
830.721 1.599
1.205.108 1.284
2.244.292 1.484
3.328.127 1.484
3.864.525 1.484
433
520
939
1.512
2.243
2.604
Sumber: Rustiadi, et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 3 dan dikaitkan dengan hasil penelitian Oke (1973); Karl et al. (1988); Kukla et al. (1986); Viterito (1991) serta Pongracz et al. (2005), maka potensi UHI meningkat lebih besar di Jakarta diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor, bila dikaitkan dengan kepadatan populasi setiap kota.
2.4.
Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI Modifikasi RTH menjadi RTB salah satu penyebab utama terjadinya
fenomena UHI (Lo, et al., 1997). Yamashita dan Sekine (1991) menemukan bahwa perubahan penggunaan lahan (land use change) dari RTH menjadi RTB menjadi penyebab terjadi pemanasan secara lokal hingga regional. Skinner dan Majorowichz (1999) meneliti selama abad 20 telah tejadi perubahan RTH, khususnya hutan menjadi RTB akibat penebangan berakibat pada peningkatan suhu udara pada periode yang sama. Sehingga modifikasi RTH
13 menjadi RTB diduga menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan di Cordillera barat daya Canada hingga Texas.
Sedangkan Narisma dan Pitman (2003)
mengobservasi dampak perubahan penutupan lahan menyebabkan peningkatan suhu udara maksimum pada skala lokal di kawasan Australia. Analisis dampak perubahan permukaan terhadap UHI secara lokal ditelaah oleh Kim (1992); Quattrochi dan Ridd (1994); Aseada et al. (1996); Schlatter dan Wilson (1997); Condella (1998); Unger et al.(2001); Belaid (2003) dan Weng (2003).
Secara umum kajian-kajian tersebut menduga bahwa perubahan
permukaan lahan berdampak pada peningkatan suhu secara lokal hingga 1.7-2.2oC untuk RTB di musim panas, hingga 5.6oC di pusat RTB pada musim dingin. Hasil studi di utara China oleh Zhao dan Zeng (2002), di New Orleans oleh Sailor dan Fan (2002) dan di perkotaan dekat pantai oleh Atkinson (2003) mencoba mengungkapkan bahwa material bangunan yang banyak dipakai pada RTB sangat efektif dalam menyerap radiasi surya dan meradiasi energi balik ke atmosfer dekat permukaan menyebabkan percepatan peningkatan suhu udara di atasnya. Hal ini terjadi akibat secara bersama-sama, baik albedo, konduktivitas panas dan kapasitas panas pada RTB mendukung pemanasan udara di atasnya pada skala kajian lokal, regional dan global. Hasil penelitian terbaru mengenai dinamika luasan lahan terbangun (RTB) di kawasan JABOTABEK disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah JABOTABEK Tahun 1961 1971 1981 1991 2001 2004
Jakarta 19 27 35 50 69 73
Bogor 4 5 6 14 28 32
Tangerang 30 33 35 38 43 47
Bekasi 24 26 28 35 38 42
Sumber: Agrissantika et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 4 kawasan potensial mengalami UHI terbesar terjadi di Jakarta, diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor bila dikaitkan dengan luasan RTB masing-masing kota.
14 2.5.
Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI Kepadatan kendaraan secara langsung mengemisikan panas lewat proses
pembakaran pada saat kendaraan melaju ataupun macet, bahkan pada saat macet dapat lebih besar mengemisikan panas dibandingkan pada saat melaju. Secara tidak langsung kepadatan kendaraan menyumbang fenomena UHI lewat emisi gas rumah kaca khususnya NOx. Kemampuan NOx dalam menangkap panas sebesar 300 kali lipat diabndingkan gas CO2, karenanya pada skala lokal dan regional sektor transportasi menjadi emiter terbesar bagi peningkatan UHI. Bila ditinjau dari skala ruang kajian, maka dampak langsung kepadatan kendaraan terhadap UHI terjadi pada skala lokal hingga regional, sedangkan dampak tidak langsung kepadatan
kendaraan
kontribusinya
terhadap
pemanasan
global
dunia
menyumbang 24% secara total dari sektor energi atau terbesar kedua setalah akitivitas industri. Bahkan di beberapa kota negera berkembang seperti Jakarta, Surabaya, Bangkok, Manila sektor transportasi memberikan kontribusi paling utama dari sektor energi terhadap pemanasan global. Pada kajian yang dilakukan oleh Purnomohadi (1995); Adiningsih (1997), didapatkan bahwa pengemisi gas rumah kaca terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi perkotaan, khususnya di Jakarta.
Sehingga aktivitas transportasi
padat disertai kemacetan secara langsung mengakumulasikan sejumlah panas dan secara tidak langsung mengemisikan gas rumah kaca ke udara, berdampak terhadap terakumulasinya panas, sehingga fenomena UHI terjadi di Jakarta. Pendapat yang sama pada kota lebih kecil dari Jakarta yaitu kota Depok, didapatkan hasil bahwa fenomena UHI telah terjadi di kawasan Depok. Diduga faktor penyebab utama fenomena UHI tersebut adalah telah terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca penyebab peningkatan panas perkotaan dengan kontribusi terbesar dari sektor transportasi darat (Yani dan Effendy, 2003). Hasil dokumentasi terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber termasuk data dari Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) tahun 2005 jumlah unit kendaraan serta kepadatan (unit/km2) disajikan pada Tabel 5.
15
Tabel 5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) per-dekade wilayah JABOTABEK Lokasi Jakarta Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Bogor Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Tangerang Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Bekasi Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2)
2001
2004
1961
1971
1981
1991
37.855 592
42.855 617
47.855 657
83.445 661
64
69
73
126
267
335
7.078 3.020
8.078 3.020
9.078 3.021
25.008 3.379
44.807 3.463
58.249 3.463
2
3
3
7
13
17
43.069 1.325
103.069 1.325
163.069 1.325
224.069 1.399
33
78
123
160
205
273
9.294 1.600
11.294 1.599
13.194 1.284
32.324 1.484
68.331 1.484
90.880 1.484
6
7
10
22
46
61
176.442 234.668 661 661
289.866 385.522 1.414 1.414
Sumber: Yani dan Effendy, (2003) dan DLLAJ Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, 2005
Berdasar Tabel 5, dapat dilihat bahwa wilayah Jakarta yang paling potensial dalam peningkatan UHI bila dikaitkan dengan tingkat kepadatan kendaraan.
Hasil penelitian 3 tahun terakhir, didapatkan data peningkatan
kendaraan rata-rata sebesar 11% pertahun dengan dominasi kendaraan roda dua (Ernawi, 2007).
2.6.
Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi Dampak UHI secara lokal di wilayah beriklim dingin dan beriklim panas,
dikemukan oleh Oke (1997), Givoni (1998) dan Voogt (2002). Secara rinci disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 terlihat bahwa dampak UHI terhadap kenyamanan, penggunaan energi, polusi udara, penggunaan air dan aktivitas biologis bernilai negatif di wilayah beriklim panas, sedangkan wilayah beriklim dingin UHI berdampak positif bagi kenyamanan, penggunaan energi dan aktivitas biologis
16 saat musim dingin dan gugur. Dampak positif dirasakan karena suhu udara di musim dingin dan gugur menjadi tidak sedingin jika tanpa UHI. Tabel 6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah Dampak Kenyamanan manusia Penggunaan energi Polusi udara Penggunaan air Aktivitas biologis
Wilayah iklim dingin Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas Negatif Negatif Positif
Wilayah iklim panas Negatif sepanjang tahun Negatif sepanjang tahun Negatif Negatif Negatif
Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI. Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975), pada wilayah tropis.
Mulyana (2003)
mengaplikasikan rumusan tersebut untuk kajian aspek kenyamanan terhadap perkembangan perkotaan Bandung. Penggunaan Rumus Nieuwolt di Colombo, Sri Lanka, secara empiris mengaitkan hubungan THI dan kenyamanan populasi. Pada THI antara 21-24 oC terdapat 100% populasi menyatakan nyaman, THI antara 25-27oC hanya 50% populasi merasa nyaman, serta pada THI > 27oC sebanyak 100% populasi merasa tidak nyaman (Emmanuel, 2005). Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 7.
17 Tabel 7. Selang kenyamanan beberapa negara Negara Indonesia Malaysia India USA bagian utara
Pustaka
Selang kenyamanan THI (oC) 20-26 21-26 21-26 20-22
USA bagain selatan
21-25
Daratan Eropa England
20-26 14-19
Mom, 1947 Webb, 1952 Malhotra, 1955 American Society of heating AC Engineers, 1955 American Society of heating AC Engineers, 1955 McFarlane, 1958 Bedford, 1954
Berdasar Tabel 7 terlihat bahwa wilayah kajian tidak hanya wilayah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan India, juga negara subtropis (USA bagian Utara, USA bagian selatan, daratan Eropa dan England).
Dari Tabel 7 terlihat untuk
wilayah tropis kisaran kenyamanan berada pada rentang nilai THI 20 hingga 26 o
C, nilai ini konsisten pada kedua negara tropis, kecuali Indonesia. Sedangkan
untuk wilayah subtropis didapatkan variasi yang signifikan. Untuk USA utara pada kisaran nyaman pada rentang THI begitu sempit 20-22oC. Berbeda dengan USA selatan antara 21-25oC. Sementara di daratan Eropa hampir sama dengan Indonesia batas nyaman pada THI 20-26oC, kecuali England batas nyaman pada nilai THI < 20 yakni 14-19oC.
Keragaman ini terjadi terkait dengan latar
belakang lokasi pemukiman responden populasi.
Misalnya Inggris wilayah
o
lintang tinggi dengan nilai THI selalu rendah (< 20 C), sehingga tatkala nilai THI > 20oC semua responden menyatakan sudah tidak nyaman. Menurut Tapper (2002) Radiasi netto permukaan bumi merupakan gambaran dari kesetimbangan antara gelombang radiasi pendek yang datang (Rsin) dikurangi yang pergi (Rsout) ditambah radiasi gelombang panjang yang datang (Rlin) dikurangi yang pergi (Rlout). Neraca energi penting dikaji karena dapat dijadikan sebagai penciri kondisi iklim lokal/regional suatu lokasi, yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan udara, fluks pemanasan tanah dan fluks pemanasan laten (untuk evaporasi) (Sellers et al, 1997; Katlthoff et al, 1999).
18 Ciri kota dibandingkan desa akan sangat berbeda dalam hal konversi radiasi netto untuk ketiga hal baik sebagai pemanas udara, pemanas permukaan maupun sebagai penguap air.
Khomarudin (2005) mengkaji Kota Surabaya
menemukan ciri neraca energi kota pada besarnya komponen radiasi netto dipakai untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab makin meluasnya fenomena UHI di perkotaan. Tiga konsep yang dikembangkan untuk mengkaji penggunaan neraca energi perkotaan: (1) Konsep Albedo (α) yaitu, rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi yang datang
pada permukaan.
Permukaan yang terang dan kering dicirikan oleh nilai albedo yang tinggi. (2) Konsep Rasio Bowen (β) (Ohmura, 1982; Perez et al, 1999) yaitu, rasio antara fluks untuk memanaskan udara dengan fluks penguapan.
Permukaan kering
dicirikan nilai β yang tinggi. (3) Konsep Fraksi Alfa (Fα) dikembangkan oleh Jarvis (1981) yaitu, rasio antara fluks penguapan dengan radiasi neto. Nilai Fα indikator besar-kecilnya jumlah energi Rn yang dipakai untuk penguapan. 2.7.
Penginderaan Jauh Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di
Indonesia adalah Landsat (51%), disusul citra SPOT (19%), Foto udara (13%), Radarsat (9%), JERS (8%), GMS (0.4%), dan jenis citra lain (0.6%), dengan pengguna dari pemerintah, lembaga perguruan tinggi/peneliti dan pihak swasta (Hanggono, et al. 2000). Penggunaan Landsat yang relatif tinggi karena beberapa keunggulannya (EROS, 1995), seperti cakupan datanya yang luas (185 x 185 km) dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari sehingga terjaga kekontinuan datanya, dengan resolusi (30 x 30 m), cukup baik bagi kajian karakteristik permukaan dengan data lebih rapat secara spasial, serta dengan multi spektral, objek yang sama diambil dengan multi kanal menghasilkan keluaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data. Sehingga hubungan dan penyusunan persamaan secara kuantitatif dapat dilakukan antara RTH dengan suhu udara. Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh
19 dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah sensor thermal Infrared. Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm, merupakan kisaran radiasi infrared. Itulah sebabnya maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada spektrum antara 8–14 μm (Sutanto, 1999). Hasil riset dalam negeri telah banyak mengungkapkan keunggulan penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam hal cakupan spasial yang luas, historis data terjaga serta pengamatan yang tidak terlalu banyak,
Risdiyanto
(2001) telah memonitor data cuaca di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data satelit NOAA,
Khomarudin (2005) menduga evapotranspirasi skala regional
menggunakan data satelit penginderaan jauh dipadukan antara data NOAA dan Landsat TM untuk wilayah Surabaya. Kajian spesifik menggunakan penginderaan jauh dan teknik model GIS (Geographic Information System) untuk menganalisa UHI skala lokal dilakukan oleh Vukovich (1983), Balling dan Brazel (1998), Weng (2001), Streutker (2002) serta Xu dan Chen (2004).
Penggunaan penginderaan jauh pada wilayah
perkotaan untuk mengevaluasi besaran UHI dilakukan oleh Johnson et al. (1994), Nichol (1996), dan Weng (2003).
Klasifikasi tutupan lahan serta kaitannya
dengan UHI dikaji oleh Kim (1992), Lo dan Quattrochi (2003), Hawkins et al. (2004) dan Weng dan Yang (2004). Semua penelitian mengungkapkan potensi penggunaan penginderaan jauh untuk menganalisis fenomena UHI mendapatkan hasil yang baik dan akurat, meskipun tetap harus didukung oleh data observasi lapang di stasiun klimat sebagai data referensis.
Bahkan Yang (2000)
menggunakan penginderaan jauh dengan alasan membutuhkan data spasial yang rapat dan akurat bagi kajian simulasi keseimbangan neraca energi permukaan desa-kota
di Nebraska timur.
Sementara data dari stasiun yang ada dapat
digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkalibrasi hasil pendugaan data dari ekstraksi Landsat. Voogt dan Oke (2003) mencatat penggunaan satelit saat ini dengan peningkatan pada resolusi spektral dan spasial, sehingga detil permukaan perkotaan penyebab UHI dapat dikaji, serta peningkatan pada resolusi kanal
20 termal digunakan untuk mengkaji iklim wilayah perkotaan. Bahkan BenDor dan Saaroni (1997) di Tel Aviv, Israel dengan menggunakan spasial kanal termal dengan resolusi sangat tinggi dapat mengkaji mikrostruktur permukaan kota, sehingga dapat dilakukan kajian iklim mikro perkotaan. Penginderaan jauh digunakan juga untuk mengkaji hubungan vegetasi dengan suhu permukaan oleh Gallo et al. (1993), Friedl dan Davis (1994), Gallo dan Owen (1999) serta Gallo et al. (2002). Kajian tentang hubungan vegetasi dengan suhu permukaan menggunakan NDVI dilakukan oleh Nichol (1994), Gallo dan Tarpley (1996), Owen et al. (1998), Quattrochi dan Ridd (1998). Kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Kajian
model
pendugaan
berdasarkan
persamaan
menghitung komponen neraca energi, dilakukan oleh Dibella et al. (2000) dan Pielke Sr, et al. (2002).
empiris
untuk
Xinmei et al. (1993),
Hasil kajian neraca energi
cukup akurat bila luasan wilayah kajian mencakup kawasan yang luas (regional) dengan tutupan lahan homogen misalnya bila mengkaji skala perkebunan yang luas, areal padang pengembalaan dan kawasan hutan dengan tanaman sejenis, kawasan kota besar.
Sedangkan penggunaan lahan dengan tanaman campuran,
skala kajian yang lokal, dan areal pedesaan didapatkan hasil hitungan komponen neraca energi yang kurang akurat.
Hal ini terjadi karena pengideraan jauh
didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel dijumpai berbagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan tertentu yang secara rata-rata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya, misalkan pixel tersebut dianggap sebagai RTB padahal di dalamnya ada RTH, ada badan air, namun secara rata-rata lebih dominan RTB. Pada kurun waktu 11 tahun sejak 1990 hingga tahun 2000 Voogt dan Oke (2003) membuat intisari tentang kajian iklim perkotaan yang menggunakan penginderaan jauh, khususnya mengekstrak data Landsat, disajikan pada Tabel 8.
21 Tabel 8. Studi aplikasi citra Landsat yang dikaitkan dengan iklim kota Peneliti (tahun) Carnahan and Larson (1990) Kim (1992) Aniello, et al. (1995) Iino dan Hoyano (1996) Lougeay, et al. (1996) Nichol (1996) Gallo dan Owen (1998) Nichol (1998) Parlow (1999) Wald and Baleynaud (1999)
Aplikasi Perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural Model neraca energi urban Distribusi spasial suhu permukaan urban dan suhu permukaan vegetasi Model neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS Pola suhu berkaitan dengan tipe lahan Bentuk spasial suhu permukaan kaitannya dengan morfologi urban Identifikasi multispektral ruang perkotaan untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar Pendugaan suhu permukaan dinding dengan remote sensing menyusun suhu urban secara tiga dimensi Model neraca energi urban menggunakan metode spektral Evaluasi kualitas udara menggunakan metode remote sensing
Sumber: Voogt dan Oke (2003)
Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data Landsat.
Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji
karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995) mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi. Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau kaitan ouput yang satu dengan output yang lain. Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk
22 wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban dengan pendekatan spektral.
Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh
dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga kajian potensi kekeringan dapat dilakukan. Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999).
Dari tema ketiga diperoleh hasil
bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data penginderaan jauh. Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree (2006).
Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi
Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003 sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten), semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.
.
23
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian meliputi dua tahapan: Tahap pertama kajian pustaka dimulai
periode Juni 2005 hingga Desember 2005.
Tahap kedua pengumpulan,
pengolahan, analisis, interpretasi, kalibrasi dan verifikasi data serta penulisan laporan dimulai Januari 2006 hingga Juli 2007 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPAIPB dan di Laboratorium Perencanaan Lanskap-Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB.
Wilayah kajian melingkupi JABOTABEK (tiga
provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) seperti terlihat pada Gambar 5. Wilayah JABOTABEK seperti yang tersaji pada Gambar 5 meliputi empat kota besar Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dan tiga Kabupaten yakni, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Jadi secara administrasi meliputi tujuh wilayah otonomi (termasuk Depok).
Wilayah JABOTABEK meliputi 6 752 km2,
merupakan metropolitan terbesar di Indonesia. Membentang dari pantai utara hingga pegunungan di selatan. Terbagi menjadi tiga bentuk lahan, pesisir pantai, dataran dan kawasan perbukitan. Kawasan pesisir pantai dengan topografi landai berada pada ketinggian 0-25 m dpl di sebelah utara meliputi pantai Utara Jakarta hingga Jakarta Selatan, kabupaten Bekasi di sebelah Timur dan kabupaten Tangerang di sebelah barat. Kawasan dataran dengan topografi bergelombang dengan ketinggian antara 25-200 m dpl meliputi, bagian tengah meliputi kota Tangerang, Depok dan Bekasi.
Serta kawasan perbukitan dengan topografi
berbukit/bergunung dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl sebelah selatan meliputi kota dan kabupaten Bogor. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, maka wilayah kota ditetapkan harus memiliki 30% RTH, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
Ruang terbuka hijau publik
24 merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pemukiman, perdagangan, jasa, industri, dan
wisata kota, Bogor wilayah kota bagi pemukiman, jasa dan
perdagangan, sehingga mempertahankan RTH pada batas minimal sesuai ketentuan UU No. 26 tahun 2007. Kota Tangerang diarahkan bagi kawasan industri, perdagangan, jasa dan pemukiman serta Bekasi bagi pemukiman, jasa dan perdagangan. Sementara wilayah kabupaten baik Bogor, Tangerang maupun Bekasi bagi kawasan industri, pertanian tanaman pangan, dan wisata alam secara tidak langsung akan memiliki luasan RTH lebih dari 30%. Sehingga ciri kota dan kabupaten didasarkan pada luasan RTH akan semakin nyata.
3.2.
Gambar 5. Wilayah studi Alat dan Bahan
25 Seperangkat PC sebagai instrumen untuk menganalisis dan mengekstrak data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara dan THI. Bahan – bahan yang digunakan antara lain: • Citra Landsat path/raw : 122/64-65 (JABOTABEK) akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004 digunakan sebagai bahan untuk diektraks menjadi data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara, serta THI. Sebagai penelitian lanjutan pemilihan Landsat mengikuti penelitian terdahulu yakni 1972, 1983, 1991, dan 1997. Untuk Landsat 1972 dan 1983 belum mempunyai kanal termal sehingga ekstraksi suhu permukaan, suhu udara dan THI tidak dapat dilakukan. Sebagai tambahan data adalah Landsat 2004, merupakan tahun terakhir dari data Landsat yang tersedia (saat penelitian berlangsung). •
Tahun 1991 menjadi tahun awal bagi perkembangan pesat wilayah JABOTABEK sehingga diduga menggambarkan kondisi awal terjadinya peningkatan suhu udara akibat RTH mulai berkurang. Tahun 1997 merupakan kondisi terakhir perkembangan pesat JABOTABEK akibat krisis ekonomi yang melanda.
Sedangkan tahun 2004 adalah data terbaru pada periode
pengolahan data penelitian yang dapat diekstrak, diharapkan memberikan gambaran tentang kondisi terakhir bagi peningkatan suhu udara dan juga laju pengurangan RTH pasca kebangkitan Indonesia dari krisis ekonomi.
Bulan
Juli dipilih, karena pada bulan tersebut kondisi perawanan di JABOTABEK pada titik terendah sehingga ekstraksi Landsat bagi kajian suhu udara dan klasifikasi lahan menjadi lebih mudah secara visual dengan akurasi yang lebih baik. •
Peta spasial administrasi JABOTABEK skala 1: 25.000 digunakan sebagai
•
bahan cropping atau pemotongan wilayah kajian. Data jumlah penduduk dan kendaraan di JABOTABEK periode 1970-2004 digunakan sebagai input data analisis regresi berganda.
•
Data suhu udara periode 1970-2004 wilayah JABOTABEK sebagai data referensi dan kalibrasi hasil estimasi suhu udara luaran ekstrak Landsat, serta data suhu udara 2005 sebagai bahan verifikasi model. Stasiun yang tersedia di wilayah JABOTABEK meliputi 12 stasiun iklim: No.
Nama Stasiun
Elevasi
Posisi Lintang-Bujur
26 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 3.3.
Tanjung Priok Jakarta Obs. Cengkareng Halim Perdana Kusuma Ciledug Curug, Tangerang Cibinong Atang Sanjaya Cimanggu Darmaga Kampus Baranangsiang Muara
(m dpl) 2.4 8.0 14.0 26.0 26.2 46.0 125.0 161.4 240.0 250.0 250.0 260.0
06°06’S-106°53’T 06°09’S-106°51’T 06°11’S-106°06’T 06°16’S-106°49’T 02°54’ S-104o42’T 06°14’S-106°39’T 06°24’S-106°49’T 06°33’S-106°46’T 06°34’S-106°47’T 06°30’S-106°45’T 06°35’S-106°48’T 06°40’S-106°47’T
Metodologi Penelitian
Berdasarkan tiga tujuan yang ingin dicapai, maka disusun langkah-langkah penelitian, dengan uraian sebagai berikut: 3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara Untuk mempermudah memahami langkah-langkah penelitian maka pada setiap tahapan disajikan bentuk diagram alir pada Gambar 6 berikut:
27 Citra Landsat
Kanal 3,4
Koreksi citra
Peta administrasi
Cropping wilayah JABOTABEK
Kanal 6
Kanal 1,2,3
NDVI
Neraca Energi
Persamaan NDVI dan RTH
Ts
Ta Dugaan
Ta Observasi
tidak
RTH bangkitan
Kalibrasi ya
RTH
tidak
Ta terkalibrasi
tidak
Penentuan bentuk hubungan ya
Persamaan Terpilih tidak
Validasi ya
Aplikasi
Gambar 6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara Pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut:
•
28 Data Citra Landsat 5 akuisisi 1 Juli 1991, Landsat 5 akuisisi 20 Juli 1997 serta Landsat 7 akuisisi 23 Juli 2004, dilakukan pemulihan citra (image restoration) meliputi koreksi radiometrik dari pengaruh atmosfer dengan cara membentangkan nilai digital number (DN) dikenal juga sebagai grey value pada nilai terendah pada angka nol dan nilai tertinggi pada angka 255, dengan cara melihat nilai histogram setiap kanal (band).
Dari
histogram dapat diketahui nilai terendah pixel yang tidak merespon spektral atau paling lemah dalam merespon spektral harusnya bernilai nol, apabila tidak maka nilai penambahan (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer. Koreksi dilakukan dengan mengurangkan semua nilai dengan besarnya offset tersebut.
Lalu dilakukan koreksi
geometrik agar distorsi saat pengambilan citra dapat dikoreksi dan sesuai dengan sistem ordinat di bumi. Ada dua cara koreksi geometrik, pertama dikenal sebagai Regristrasi yakni mengoreksi citra dengan citra yang telah dikoreksi dan kedua dikenal dengan Rektifikasi yaitu mengoreksi citra dengan peta sebagai acuan, pada penelitian dipilih cara kedua. Ditentukan sekitar 10 titik GCP (Ground Control Point) yang tersebar merata mewakili setiap sudut citra baik atas, bawah, kanan dan kiri serta tengah. Kemudian bila nilai RMS (Root Mean Square) di bawah 0.5 proses koreksi selesai.
Koreksi terakhir dilakukan penajaman citra (image
enhanchement) meliputi penajaman kontras, pewarnaan semu, dan penapisan agar mudah melakukan interpretasi secara visual. •
Pemotongan citra dengan menggunakan peta digital administrasi JABOTABEK 1991, 1997 dan 2004 sesuai dengan data citra yang akan dipotong.
•
Pada kanal 3 dan 4 dilakukan ekstraksi nilai NDVI dengan menerapkan Rumus:
•
NDVI=(NIR - R) / (NIR + R). Berdasarkan Persamaan yang didapatkan Zain (2002):
•
Persen RTH = 382.4 NDVI + 20.793, data RTH (%) dibangkitkan sebagai peubah prediktor. Pada kanal 1, 2 dan 3 diekstrak neraca energi sehingga didapatkan nilainilai Rs in, Rs out dan Rl in, Rl out sehingga didapat Rn. Berdasarkan Rn
29 didapatkan G, H dan LE, secara rinci diterangkan pada akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan. •
Pada kanal 6 diekstrak nilai suhu permukaan, secara rinci diterangkan pada akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.
•
Berdasarkan suhu permukaan dan fluks energi H diekstrak nilai suhu udara (Ta). Agar sesuai dengan data observasi dari 12 stasiun iklim dilakukan kalibrasi terhadap suhu udara hasil ekstraksi, dengan cara analisis regresi.
•
Data RTH bangkitan dan Ta yang telah terkalibrasi diekspor menjadi data tabel untuk diolah lebih lanjut, yakni penentuan bentuk hubungan.
•
Penentuan bentuk hubungan suhu udara dan RTH dengan mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah linier, kuadratik atau kubik. Sebagai dasar pemilihan model persamaan adalah melihat pola penyebaran data yang paling mendekati garis model persamaan, nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S). Koefisien determinasi terkoreksi merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka.
Koefisien determinasi terkoreksi
menunjukkan besarnya ragam atau variasi
peubah respon yang dapat
dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model.
Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran
besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model (Drapper dan Smith, 1992).
Setelah persamaan
terpilih dilakukan uji regresi baik konstanta (slope) maupun koefisien persamaan. Dilanjutkan validasi persaman untuk mengetahui output nilai dugaan dengan data observasi. Setelah validasi persamaan yang terpilih dapat diaplikasikan atau direkomendasikan.
Adapun tahapan dan rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan data suhu udara adalah sebagai berikut:
30 (1)
Pendugaan Suhu Permukaan (Surface Temperature) Estimasi suhu permukaan dari citra Landsat menggunakan kanal enam
pada kisaran panjang gelombang 10.40 hingga 12.50μm, dikenal sebagai kanal thermal infrared . Meliputi tahap-tahap sebagai berikut: (a)
Konversi Digital Number (DN) ke nilai Spectral Radiance Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari
nilai DN, dirumuskan USGS (2003): ⎡ ⎤ Lmax λ − Lmin λ Lλ = ⎢ ⎥ × QCALmax − QCALmin + Lmin λ ..…............................(1) ⎢⎣ QCALmax − QCAlmin ⎥⎦
(
)
Keterangan:
Lλ QCAL Lminλ
= = =
Spectral radiance pada kanal ke-λ (Wm-2sr-1μm-1) Nilai digital number kanal ke-λ Nilai minimum spectral radiance kanal ke-λ
Lmaxλ
=
Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-λi
QCALmin
=
QCALmax
=
Minimum pixel value 1 (LPGS Products) 0 (NLAPS Products) Maksimum pixel value (255)
(Semua nilai Lmin, Lmax, QCALmin dan QCALmax untuk setiap kanal baik untuk Landsat TM maupun ETM+ terdapat pada Landsat User Handbook, USGS 2003)
(b)
Konversi nilai spectral radiance (Lλ) ke Brightness Temperature (TB) Persamaan menggunakan dua konstanta kalibrasi, K1= 666.09 Wm-2sr-
1
μm-1 dan K2 = 1282.71K untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K1=
607,76 Wm-2sr-1μm-1 dan K2 = 1260.56K, dirumuskan Planck: TB =
(c)
K2 ⎛ K1 ⎞ + 1⎟ ln ⎜ ⎝ Lλ ⎠
……………….…...… ...................................... (2)
Konversi Brightness Temperature (TB) ke suhu permukaan (Ts) Persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang ditentukan
pertama kali oleh Artis dan Canahan (1982) serta Weng (2001):
31
TB Ts = λ TB 1+ x ln ε ∂ Keterangan: TS
.........................................................................(3)
∂ h c
= Suhu permukaan (K) Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan sebesar 11,5 µm nilai tengah = dari kanal 6 = hc/σ (besarnya =1.438 x 10-2 mK) = Konstanta Planck's (6.26x10-34 J sec) = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m.sec-1)
σ
= Konstanta Stefan-Boltzman (1.38 x 10-23 JK-1)
ε
=
λ
Emisivitas objek, untuk lahan RTH=0.95 sedangkan non-RTH=0.92 (Weng, 2001) = Suhu kecerahan (brightness temperature)
TB
2.
Penentuan Neraca Energi:
(a).
Radiasi Netto dan Albedo Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari
dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar. Dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
Rn = R in − R out + R in − R out .....….................................................(4) s s l l Diuraikan menjadi: Rn = (1 − α ) Rsin + ε aσTa4 0.7(1 + 0.17 N 2 ) − εσTs4 ...................................(5) Keterangan: Rn Rsin Rsout Rlin Rlout α Ts Ta ε εa σ N
: : : : : : : : : : : :
Radiasi netto (Wm-2) Radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2) ekstraksi Landsat Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2) Radiasi gelombang panjang yang datang (Wm-2) Radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2) Albedo permukaan (diturunkan dari ekstraksi Landsat) Suhu permukaan (K) (diturunkan dari ekstraksi Landsat) Suhu udara (K) (diduga dari ekstraksi Landsat) Emisivitas permukaan (Weng, 2001) Emisivitas udara (0.938 x 10-5 Ta2 K-2) Tetapan Stefan-Bolztman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4) Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0
Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan ( R s out ), dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang
gelombang pendek.
32 Pada citra Landsat kisaran panjang gelombang pendek
diterima oleh kanal visible (1,2 dan 3). Persamaan yang digunakan mengikuti persamaan 1 dengan nilai QCAL, Lmin dan Lmax untuk kanal 1,2 dan 3. Albedo ( α ) merupakan perbandingan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan dengan radiasi radiasi gelombang pendek yang datang pada permukaan tersebut dirumuskan sebagai:
α=
Rs out Rsin
...... ……………………………………..................(6)
Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2003) dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti: Jarak astronomi bumi-matahari (d), rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu ( ESUN λ ), Spektral Radiance (Lλ), dan sudut zenith matahari ( Cos θ ), dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
α=
π .Lλ .d 2
ESUN λ .Cos θ
..........................… ........................................ ....(7)
Untuk menghitung nilai d2 perlu diketahui JD (Julian Day) artinya jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi data citra satelit pada tahun yang bersangkutan. Persamaan yang digunakan:
d 2 = (1 − 0.01674 × Cos (0.9856( JD − 4)) ) .............................................. (8) 2
Pada data satelit, diketahuinya nilai albedo dan jumlah energi radiasi gelombang pendek yang di pantulkan oleh suatu permukaan. Sehingga besarnya Radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan dapat dirumuskan berdasarkan persamaan berikut:
R sin =
Rsout
α
………………………...................................................... (9)
Satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek masih dinyatakan dalam satuan Wm-2steradian-1μm-1. Hal ini menyatakanan laju perpindahan energi (W, Watts) yang terekam oleh sensor per m-2 luas permukaan, untuk 1 steradian
33 (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per-unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran. Langkah selanjutnya mengkonversi Wm-2steradian-1μm-1 menjadi satuan energi Wm-2, agar dapat dilakukan perhitungan lanjut dengan parameter lainnya. Untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi, maka nilai radiasi adalah fungsi dari nilai irradians yang terbebas dari besaran arah dan disebut sebagai radiasi Isotopic. Fungsi perhitungan adalah integral terhadap dΩ yang menghasilkan persamaan berikut:
E = πd 2 ……………..……........ ........................................................( 10) Keterangan: E = Energi (Wm-2 μm-1) π = 3.14 d = Jarak bumi matahari dalam satuan astronomi. Untuk menghilangkan unsur panjang gelombang (μm-1) maka perlu dikalikan dengan nilai tengah panjang gelombang dari masing-masing kanal. Radiasi gelombang panjang yang dipantulkan (Rlout) dapat diturunkan dari persamaan Stefan-Boltzman, dimana ε
= emisivitas, Ts merupakan Suhu
permukaan objek (K) dan σ =Tetapan Stefan-Boltzmann (5.67x10-8 Wm-2 K-4):
Rlout = εσTs4
.......……….......................................................... (11)
Radiasi gelombang panjang yang datang (Rlin) merupakan emisi dari atmosfer, uap air dan awan diperhitungkan dengan menggunakan persamaan: Rlin = ε aσTa 0.7(1 + 0.17 N 2 ) dapat juga menggunakan persamaan Stull (1995):
Rlin = Rl netto− Rlout = 98.5(1 − 0.1σH − 0.3σM − 0.6σL) − Rlout Di mana σH, σM dan σL adalah persentase penutupan awan tinggi, menengah dan rendah. Karena data Landsat yang diolah cerah tanpa awan, sehingga persamaan menjadi:
Rlin = 98.5 − Rlout
.........................................................................(12)
Di mana 98.5 adalah konstanta dengan satuan Wm-2. b.
Fluks Panas Tanah (Soil Heat Flux) Fluks panas tanah adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada
permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah.
34 Secara umum FAO (1998), menghitung nilai G pada saat siang hari sebesar 0.1Rn, sementara Allen et al (2001) dan Chemin (2003) menghitung soil heat flux dari radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai berikut: G Ts = (0.0038α + 0.0074α 2 )(1 − 0.98 NDVI 4 ) ……….…………………13) Rn α Keterangan: G Rn Ts α NDVI
c.
: : : : :
Fluks energi untuk memanaskan permukaan secara konduksi (Wm-2) Radiasi netto (Wm-2) Suhu permukaan (K) (diturunkan dari ekstraksi Landsat) Albedo permukaan (diturunkan dari ekstraksi Landsat) Normalized Difference Vegetation Index (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
Fluks Panas Udara (Sensible Heat Flux) Fluks panas udara adalah sejumlah energi dari radiasi netto yang
digunakan untuk memanaskan udara, dikenal sebagai sensible heat flux disingkat fluks H. Dihitung berdasarkan persamaan neraca energi permukaan Rn = H + G + λE
dan persamaan Bowen ratio β =
H= (d)
H , sehingga diperoleh: λE
β ( Rn − G ) .............…….…. ....... .................................................(14) 1+ β
Fluks Panas Laten Fluks panas laten adalah sejumlah energi radiasi netto yang digunakan
bagi proses penguapan dari permukaan dikenal sebagai latent heat flux, disingkat fluks LE.
Berdasarkan persamaan Rn = H + G + λE, fluks panas laten dapat
ditentukan nilainya mengikuti rumusan berikut:
λE = Rn − G − H .........................…...…………...…...……………(15)
3.
Penentuan Suhu Udara Suhu udara dapat diduga dari nilai sensible heat flux (Montheith dan
Unsworth 1990):
H=
ρairC p (Ts − Ta ) raH
35 ……….............….. .........................................(16)
Berdasarkan persamaan 17, dapat ditentukan persamaan untuk menduga suhu udara (Ta) sebagai:
⎡ H × raH ⎤ Ta = Ts − ⎢ ⎥ ............................................................................... (17) ⎣⎢ ρ air × C p ⎦⎥ Keterangan: H
= = = = =
ρ air CP Ts Ta
Fluks pemanasan udara (Wm-2) Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3) Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1K-1) Suhu permukaan (K) Suhu udara (K) Tahanan aerodinamik (sm-1) Rosenberg (1974):
=
raH
raH = 31.9 × u −0.96 u: kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m untuk RTB=1.79 ms-1 dan RTH=1.41 ms-1
3.3.2. Kontribusi RTH, Kepadatan Populasi, RTB, dan Kepadatan Kendaraan terhadap UHI Tahap ini dilakukan untuk menguji apakah fenomena UHI dominan disebabkan oleh RTH atau selain RTH, dengan menggunakan model persamaan regresi berganda. Nilai UHI didapatkan dari persamaan berikut: UHI = (Taurban -Tasuburban/rural dalam oC) ……………………………….(18) Di mana: Peubah UHI dianalisis dari empat kota: • Taurban meliputi: Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
•
Tasuburban meliputi kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi
Sehingga dapat dilihat intensitas UHI terbesar pada empat wilayah kota, dengan pembanding wilayah kabupaten (rata-rata nilai tiga kabupaten) yang sama. Penentuan peubah prediktor RTH(%), kepadatan populasi (KPop), luasan ruang terbangun (RTB:%) dan kepadatan kendaraan (KKdr) berdasarkan hasil kajian pustaka bahwa secara terpisah ke-empat peubah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan UHI. Adapun bentuk model persamaan regresi berganda sebagai berikut:
Yi=f(X1i , X2i, ..., Xni, εi) ......................................................(19) Di mana Yi merupakan peubah respon (UHI), merupakan fungsi dari peubah prediktor (X) satu hingga ke n (n=4), dan εi (sisaan atau error). Adapun penentuan bentuk akhir persamaan regresi ditetapkan melalui langkah-langkah pengujian:
36 a. Uji plot tebaran data (scatterplot matrix) dilakukan secara simultan sehingga tidak hanya pola hubungan antara Y dengan masing-masing Xi tetapi juga pola hubungan antar peubah Xi. Plot kebebasan antar Xi pada regresi berganda perlu diketahui apakah peubah-peubah bebasnya tidak saling berkorelasi (multicolinearity). Karena ada korelasi nyata antara peubah prediktor dilakukan metode Principal Components
Analysis (PCA) sebuah metode statistika yang mengubah peubahpeubah prediktor asal menjadi peubah prediktor baru, lebih sederhana karena jumlah peubah lebih sedikit, namun mampu menjelaskan total ragam peubah-peubah prediktor asal semaksimal mungkin, dikenal oleh Hotelling (1935).
Kemudian dilakukan rotasi varimax, untuk
mengetahui kontribusi peubah prediktor. b. Langkah-langkah analisis komponen utama meliputi delapan tahap (Haan, 1979; Siswadi dan Raharjo, 1998; von Storch and Zwiers, 1999) sebagai berikut: 1. Penghitungan matriks korelasi R peubah asal (RTH, KPop, RTB dan KKdr yang berbeda besaran satuannya) dengan rumusan:
R= di mana:
( x' x) (n − 1) R x x’ n
…………………………......………......(20) : matrix korelasi : matrix data asal yang sudah distandardisasi : matrix transpose (berbentuk vektor) : banyaknya data tiap variabel
2. Penghitungan akar ciri (eigen value) λ j dengan rumusan:
R − λjI = 0 di mana:
R λj I │R- λjI│
..................................................................(21) : ordo matrix korelasi : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen j : matrix identitas yang berordo sama : determinasi dari matrix R- λjI
3. Penghitungan persentase keragaman peubah asal ke-i yang diterangkan oleh komponen utama ke-j 2 s XiZj = aij2λ j × 100% ............................................................(22)
37 di mana: s2XiZj
a2ij λj
: ragam dari peubah asal x ke-i yang dijelaskan oleh komponen utama (PCA) ke-j elemen ke-i dari vektor eigen ke-j : : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen j
4. Penentuan komponen utama penting, dengan dasar bila nilai akar ciri > 1 atau bila persentase keragaman kumulatif mencapai ≥ 80% . 5. Penghitungan koefisien korelasi (factor loading), dengan rumusan: Lij = Aλ0j.5
................................................................ .....(23)
di mana: Lij : matrix loading (koefisien korelasi) antara peubah asal x ke-i dengan PCA ke-j A : matrix eigen (matrix yang elemen-elemen merupakan elemen vektor eigen λj0.5 : matrix akar nilai akar ciri (eigen value) ke-j 6. Rotasi koefisien korelasi berdasarkan persamaan:
L* = LT ..........................................................................(24) di mana: L* : matrix loading (korelasi) yang telah dirotasi L : matrix loading asal T : matriz orthogonal dengan sifat T’T=I I (matrix Identitas) atau matrix ortogonal yang merotasi matrix L
7. Penghitungan koefisien pembobot (characteristic vector) a 'j dengan persamaan:
( R − λ j I )a j = 0 .............................................................(25) di mana: R λj I aj
: matrix korelasi : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen ke-j : matrix identitas yang berordo sama : koefisien pembobot untuk komponen ke-j
8. Penentuan skor komponen utama Z, dengan rumusan: Z = AX .........................................................................(26)
38 di mana: Z : matrix PCA A : matrix akar ciri (nilai eigen) X : matrix data asal Delapan tahapan tersebut dilakukan dengan bantuan PC, secara lengkap analisis komponen utama diuraikan pada Lampiran 1. c. Menentukan persamaan antara peubah respon dengan peubah prediktor yakni antara UHI dengan peubah prediktor hasil rotasi serta uji paramater baik konstanta maupun koefisien persamaan. Menghitung kontributusi dominan setiap peubah prediktor terhadap UHI, pada ke empat kota. Sehinga diperoleh gambaran tantang karakteristik setiap kota. d. Simulasi dan validasi, bertujuan untuk melihat kecenderungan UHI di masa mendatang yaitu tahun 2005, 2015 dan 2025. Untuk simulasi tahun 2005 dapat dilakukan sekaligus validasi dengan membandingkan antara nilai simulasi hasil dugaan yang didapatkan dari persamaan dengan hasil pengukuran (observasi lapang) pada lokasi dan tahun yang sama. Validasi dilakukan dengan cara visual dengan membandingkan nilai dugaan dengan nilai observasi pada sistem ordinat sumbu x dan y, serta ditentukan besarnya korelasi atau koefisien determinasi antara keduanya. Bila hasil validasi baik dicirikan oleh besarnya nilai korelasi atau koefisien determinasi maka persamaan terpilih dapat diaplikasikan dan direkomendasikan pada berbagai pihak terkait. Secara grafis uraian metodologi tujuan dua disajikan pada Gambar 7.
39 Penentuan Peubah Respon dan Prediktor
UHI
RTH
KPop
RTB
KKdr
(Y)
(X1 )
(X2 )
(X3 )
(X4 )
Uji korelasi ya
PCA dan Rotasi Varimax tidak
Peubah prediktor hasil rotasi tidak
Regresi Berganda
Kontribusi prediktor terhadap UHI
Simulasi dan Validasi ya
Aplikasi dan Rekomendasi
Gambar 7. Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI
3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi
Untuk mencapai tujuan ketiga, selain melakukan kajian terhadap dampak fenomena UHI terhadap indeks kenyamanan (THI dalam oC), dan neraca energi khususnya untuk latent heat flux atau menguapkan air ke atmosfer (fluks LE dalam Wm-2) dan sensible heat flux untuk memanaskan udara secara konveksi (fluks H dalam Wm-2). Untuk mendapatkan data THI diturunkan dari data kelembaban udara (RH) dan suhu udara mengikuti persamaan-persamaan sebagai berikut: 1. Pendugaan Kelembaban Relatif (RH)
40 Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam udara. Umumnya kelembaban udara dinyatakan dengan kelembaban relatif (RH), dengan persamaan:
RH =
ea × 100 …....………............................................................(27) es
Keterangan: RH ea es
= = =
Kelembaban relatif (%) Tekanan uap aktual (kPa) Tekanan uap jenuh (kPa)
Tekanan uap jenuh (es) merupakan fungsi dari suhu udara (Allen, et.al ,1998), secara empiris dapat dituliskan: ⎡ 17.27Ta ⎤ es = 0.6108 exp ⎢ ⎥ ..................................................................(28) ⎣ Ta + 237.3 ⎦
Keterangan: Ta = es =
Suhu udara (oC) Tekanan uap jenuh (kPa)
Tekanan uap aktual (ea) dapat dihitung dari titik embun (Td) yang secara empiris dapat dituliskan sesuai persamaan 29, dengan Ta diganti Td. ⎡ 17.27Td ⎤ ea = 0.6108 exp ⎢ ⎥ .................................................................(29) ⎣ Td + 237.3 ⎦
2.
Pendugaan THI (Temperature Humidity Index) Penentuan THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembaban
(RH) dengan persamaan (Nieuwolt 1975):
THI = 0,8Ta +
( RH × Ta ) ...................................................................(30) 500
Keterangan: THI Ta RH
3.
= = =
Temperature Humidity Indeks (oC) Suhu udara (oC) Kelembaban relatif udara (%)
Pendugaan Neraca Energi Permukaan
41 Prosedur untuk mendapatkan neraca energi (lihat pada prosedur ekstraksi citra Landsat kanal 1,2 dan 3) menggunakan persamaan 4 hingga 16. Setelah radiasi netto didapatkan, dilanjutkan dengan penghitungan setiap bagian energi berturut-turut G (untuk memenasakan permukaan secara konduksi), H (untuk memanaskan udara secara konveksi) dan LE (untuk menguapkan air permukaan). 4.
Penentuan Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi Untuk mendapatkan bentuk hubungan dampak UHI terhadap THI dan
neraca energi adalah dengan analisis regresi.
Penentuan persamaan terpilih
dengan melihat nilai koefisien determinasi dan standar deviasi model persamaan. Dilanjutkan simulasi dan validasi persaman untuk melihat kecenderungan nilai THI dan fluks LE dan H di masa mendatang (2015 dan 2025) sekaligus membandingkan output nilai dugaan dengan data observasi atau membandingkan dengan hasil penelitian lain untuk tahun 2005.
Bila hasil validasi dianggap baik
persamaan dapat diaplikasikan dan direkomendasikan kepada berbagai pihak terkait. Metodologi untuk mencapai tujuan ketiga secara grafis disajikan pada Gambar 8.
42 Kajian dampak UHI
Peubah prediktor(X1 )
Ekstrak nilai RH
Ekstraks neraca energi
Rumus THI
Penentuan fluks LE dan H
THI (Y1 )
LE (Y2 )
H (Y3 )
Menentukan bentuk hubungan UHI dan THI serta LE dan H tidak
Persamaan terpilih
Simulasi dan Validasi ya
Aplikasi dan Rekomendasi Gambar 8. Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H
43 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan tentang hasil yang diperoleh berdasarkan pada tiga tujuan kajian yang hendak dicapai. Ringkasan uraian hasil dan pembahasan dapat disarikan sebagai berikut: (1) Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan terpilih nonlinier. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih mempunyai pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau berkurangnya suhu udara dengan laju yang tidak sama. Setiap pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara lebih besar dibandingkan dengan penambahan RTH.
Hasil ini
membuktikan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Ditemukan pula bahwa setiap penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten. (2) Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, banyaknya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan RTB pemicu UHI di Bogor.
Ke-empat peubah prediktor
(RTH, populasi, RTB dan kendaraan) terbukti secara bersamaan mempunyai kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor. Kontribusi keempat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan peubah di luar keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut. (3a) Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI. Peningkatan UHI 0.2-1.0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam, setelahnya terjadi peningkatan THI makin landai. Upaya pengurangan UHI hanya sebesar 0.4oC berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan peningkatan UHI 1.2oC. Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi bagi peningkatan kenyamanan kota. (3b) Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier. Setiap peningkatan UHI menyebabkan pengurangan penggunaan radiasi netto untuk fluks LE (latent heat flux) sebaliknya menambah penggunaan radiasi netto untuk fluks H (sensible heat flux). Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI menyebabkan berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan (LE) sebaliknya meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara (H). Indikator yang dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan
44 RTH menjadi RTB adalah nilai Rasio Bowen makin besar sementara nilai Fraksi Alfa makin kecil, pertanda makin berkurangnya RTH. 4.1.
Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat
Suhu udara dugaan yang diektrak dari Landsat tahun 1991, 1997 dan 2004 merupakan nilai suhu udara pada tujuh wilayah kajian, yakni Jakarta, kota Bogor, kabupaten Bogor, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi dan kabupaten Bekasi. Nilai suhu udara yang diekstrak merupakan gambaran suhu udara yang terekam pada saat pukul 10.00 WIB, saat pengambilan citra Landsat tepatnya saat akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004. Suhu udara terendah dari suhu udara dugaan hasil ekstrak Landsat 1991,
1997 dan 2004 menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada hasil pengukuran di 12 stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang sama, yakni stasiun Tanjung Priok, Jakarta Obs., Cengkareng, Halim Perdana Kusuma, Ciledug, Curug, Tangerang, Cibinong, Atang Sanjaya, Cimanggu, Darmaga, Kampus Baranangsiang dan Muara. Begitupula untuk suhu tertinggi didapatkan hasil pengukuran yang lebih tinggi.
Sehingga mutlak dilakukan
kalibrasi, agar data hasil ekstrak Landsat sesuai dengan data observasi. Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor suhu dugaan hasil ektraks Landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK.
Metode yang diterapkan adalah
mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah berbentuk linier, kuadratik atau kubik dengan dasar nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S).
Koefisien determinasi yang disesuaikan
merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka dibandingkan koefisien determinasi saja. Koefisien determinasi yang disesuaikan menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model. Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). analisis persamaan terpilih disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut: Tabel 9. Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara
Hasil
45 Parameter STK 1991 Hubungan Linier R2adj S Hubungan Kuadratik R2adj S Hubungan Kubik R2adj S
TAHUN 1997
KETERANGAN 2004
93% 0.53
90% 0.62
95% 0.46
94% 0.49
93% 0.52
96% 0.39
94% 0.47
93% 0.52
98% 0.30
terpilih
Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 1991, 1997 dan 2004 persamaan kalibrasi yang digunakan adalah hubungan kubik karena memiliki nilai koefisien determinasi (R2adj) tertinggi dan jumlah kuadrat sisa (S) terendah. Adapun bentuk model persamaan terpilih disajikan secara grafik pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa untuk ketiga tahun data, secara konsisten bentuk persamaan yang menghasilkan kriteria terbaik, yaitu R2adj tertinggi dan S terendah pada persamaan non-linier kubik. Meskipun hasilnya memadai dan baik namun bila dicermati sebaran data pada Gambar 9 tersebut cenderung nilai hasil digaan ekstraksi Landsat pada ketiga tahun data dominan berada di bawah garis persamaan. Kecenderungan seperti ini dikenal dengan dugaan yang under estimated.
Sehingga kalibrasi nilai dugaan mutlak dilakukan
agar hasil dugaan sesuai dengan hasil observasi.
46
Gambar 9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara Setelah dilakukan kalibrasi maka data suhu terkalibrasi dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut:
47 Tabel 10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004 No.
Kisaran Suhu Udara Sebelum Kalibrasi (oC)
1.
19.7-31.9
2.
18.7-33.5
3.
18.9-33.3
Rataan Suhu Kisaran Suhu Udara Sebelum Udara Setelah Kalibrasi Kalibrasi o ( C) (oC) Tahun 1991 25.8 26.2-30.7 Tahun 1997 26.1 26.6-33.0 Tahun 2004 26.5 26.0-32.4
Rataan Suhu Udara Setelah Kalibrasi (oC) 26.7 27.2 27.5
Dari Tabel 10 dapat dijelaskan sebagai berikut: •
Nilai kisaran suhu udara terendah dan tertinggi sebelum dikalibrasi dengan data hasil observasi pada waktu yang sama dengan pengambilan citra, terlihat pada selang yang lebih lebar. Nilai terendah tahun 1991 mencapai 19.7, tahun 1997 tercatat 18.7 dan 2004 sebesar 18.9oC, sedangkan tertinggi tercatat di tahun 1991 sebesar 31.9, tahun 1997 mencapai 33.5 sedangkan tahun 2004 tercatat sebesar 33.3oC. Nilai ini perlu dikoreksi karena tidak sesuai dengan suhu hasil observasi. Ketidaksesuaian dengan hasil observasi disebabkan adanya pengaruh pada saat pengambilan citra. Sebagai contoh akibat adanya awan berdampak pada suhu udara yang lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti seng berdampak pada suhu terukur lebih tinggi.
•
Suhu udara setelah kalibrasi berada pada kisaran yang sesuai hasil observasi di 12 stasiun cuaca yang tersebar di kawasan JABOTABEK dengan nilai berkisar antara 26.2-30.7oC untuk tahun 1991, antara 26.633.0oC ditahun 1997 dan antara 26.0-32.4oC.
•
Nilai suhu udara rataan sebelum dikalibrasi juga lebih rendah dari nilai rata-rata hasil observasi sehingga sebelum dikalibrasi suhu udara rataan dari data tahun 1991 sebesar 25.8, tahun 1997 meningkat menjadi 26.1 dan tahun 2004 kembali meningkat menjadi sebesar 26.5oC. Berdasarkan data tersebut maka dapat dinilai bahwa suhu udara dugaan rata-rata dari ekstraksi data Landsat dari tiga tahun data terjadi under estimated bila
48 dibandingkan dengan nilai observasi hal ini terlihat pada Gambar 9, sebaran titik pada ketiga tahun data lebih dominan berada di bawah garis persamaan. Nilai suhu udara rataan setelah dikalibrasi sesuai dengan nilai rataan hasil observasi yaitu sebesar 26.7 pada tahun 1991, menjadi 27.2 pada tahun 1997 meningkat menjadi 27.5oC di tahun 2004. Untuk lebih memperjelas distribusi atau sebaran suhu udara pada setiap lokasi, maka suhu terkalibrasi disajikan secara spasial pada Gambar 10.
Tahun
1991 sebaran nilai suhu terendah (warna putih) paling luas dan mendominasi wilayah JABOTABEK, terutama di sebelah utara (adanya badan air) dan sebelah selatan (kabupaten dan kota Bogor, sebagai indikasi masih luasnya RTH) pada tahun tersebut. Warna putih makin berkurang di tahun 1997 dan 2004, hanya terlihat di sebelah selatan (kabupaten Bogor) yaitu lahan dengan RTH hutan dan sedikit di sebelah timur (badan air) tepatnya di kabuapetn Bekasi. Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada tahun 1991 warna merah tua indikasi bagi nilai suhu udara tertinggi, tersebar di empat kota DKI Jakarta dengan luasan terbesar, disusul Tangerang, Bekasi dan luasan paling rendah kota Bogor. Landsat 1997 terlihat warna merah terang makin meluas ke arah kabupaten, namun paling merah tua atau suhu tertinggi tetap berada pada empat kota. Hal yang sama terjadi pada Landsat 2004, dengan luasan warna merah makin melebar ke kabupaten Bekasi dan Tangerang bahkan mulai menyebar ke selatan ke arah kabuapetn Bogor. Meskipun demikian pada tahun 2004, suhu tertinggi 32.4oC (warna merah tua) terdapat di empat kota besar dengan luasan terbesar di DKI Jakarta, disusul kota Bekasi, dan Tangerang serta di kawasan selatan di kota Bogor
49
(a) 1991
(b) 1997
(c) 2004
Gambar 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat periode 1991, 1997 dan 2004
50 4.2.
Pendugaan Nilai RTH dari Landsat
Persamaan Zain (2002) untuk menduga nilai persen RTH dari nilai NDVI digunakan untuk membangkitkan data persentase RTH wilayah JABOTABEK. Maka didapatkan nilai persentase RTH setiap lokasi berdasarkan nilai NDVI. Metode yang digunakan adalah mencari bentuk persamaan antara peubah prediktor (NDVI) yang didapatkan dari pengolahan data Landsat sedangkan data persentase RTH diduga dari data foto udara di lokasi yang sama.
Adapun
persamaan yang dihasilkan Zain (2002) untuk wilayah JABOTABEK seperti yang telah diuraikan pada bab Metodologi. Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa pada saat nilai NDVI sama dengan satu didapatkan nilai presentase RTH 100%, nilai NDVI 0 setara dengan nilai persen RTH 21%, sedangkan pada saat nilai NDVI= 0.05 hingga -1 setara dengan presentase RTH sebesar 0% dengan kata lain merupakan RTB atau lahan terbuka (dapat berupa lahan kosong atau lahan urban). Sebaran nilai RTH dalam persen secara spasial dalam bentuk peta hasil ekstraksi citra Landsat disajikan pada Gambar 11.
Berdasarkan Gambar 11
dapat diuraikan sebagai berikut: •
Nilai RTH berkisar antara 0-100%. Nilai RTH 0% terlihat pada gambar dengan warna merah tua terdapat di empat kota, DKI Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Warna merah tua yang mengindikasikan RTH 0% makin melebar pada tahun 2004 dibandingkan 1997 dan 1991.
•
Nilai RTH 100% dengan warna hijau gelap terdapat di sebelah barat di kabupaten Tangerang, sebelah timur di kabupaten Bekasi dan di selatan di kabupaten Bogor dengan luasan makin mengecil pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1997 dan 1991.
•
Nilai rataan RTH(%) pada tiga tahun data disajikan pada Tabel 11.
51
(a) 1991
(b) 1997
Gambar 11. Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK Periode 1991, 1997 dan 2004
52 Tabel 11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK Tahun 1991 1997 2004
RTHmin(%) 0 0 0
RTHmax(%) 100 100 100
RTHrataan(%) 61 57 50
STD 11.5 10.3 09.6
Sumber: hasil olahan data Landsat
Berdasar Tabel 11 didapatkan rataan RTH makin menurun dari tahun 1991 sebesar 61%, pada tahun 1997 turun sebesar 4% menjadi 57% dan pada tahun 2004 kembali berkurang 7% menjadi 50%.
4.3.
Penentuan Neraca Energi
Neraca energi yang didapatkan dari hasil kuantifikasi citra landsat dapat menjelaskan kontribusi nergi netto dari matahari yang dipakai untuk tiga kebutuhan, yaitu pemanasan udara (fluks H) yang banyak mempengaruhi suhu udara, pemanasan permukaan (fluks G), serta fluks untuk menguapkan air (LE). Hasil secara keseluruhan disajikan pada Gambar 9-12, dalam bentuk boxplot. Penyajian dalam bentuk boxplot lebih efisien dalam memvisualkan data dalam satu tampilan gambar terdapat lima data penyajian, data median (50% data), median atas (75% data), median bawah (25% data), data maksimum (tertinggi) dan data terendah (minimum), bahkan ada informasi data pencilan (outlier). Kondisi Fluks H yang digunakan untuk memanaskan udara (terukur oleh termometer). Fluks G mepakan prioritas penggunaan pertama bagi radiasi netto di lahan RTB disusul oleh penggunaan untuk fluks H, hal inilah yang menyebabkan tingginya suhu pemukaan dan suhu udara di lahan RTB dibandingkan lahan RTH.
Sebaliknya fluks LE merupakan prioritas pertama
penggunaan radiasi netto di lahan RTH untuk proses penguapan akibat lahan ini banyak mengandung air pada permukaannnya. Penjelasan ini dipertegas Gambar 12-15 di empat lokasi Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Dari Gambar 12
untuk wilayah Jakarta, Gambar 13 untuk Bogor, Gambar 14 untuk Tangerang dan Gambar 15 untuk Bekasi menunjukkan pola yang sama.
53
a. Rn, H, G dan LE RTB-JKT91
b. Rn, H, G dan LE RTH-JKT91
c. Rn, H, G dan LE RTB-JKT97
d. Rn, H, G dan LE RTH-JKT97
e. Rn, H, G dan LE RTB-JKT04
f. Rn, H, G dan LE RTH-JKT04
Gambar 12. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta
54
a. Rn, H, G dan LE RTB-BGR91
b. Rn, H, G dan LE RTH-BGR91
c. Rn, H, G dan LE RTB-BGR97
d. Rn, H, G dan LE RTH-BGR97
e. Rn, H, G dan LE RTB-BGR04
f. Rn, H, G dan LE RTH-BGR04
Gambar 13. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor
55
a. Rn, H, G dan LE RTB-TGR91
b. Rn, H, G dan LE RTH-TGR91
c. Rn, H, G dan LE RTB-TGR97
d. Rn, H, G dan LE RTH-TGR97
e. Rn, H, G dan LE RTB-TGR04
f. Rn, H, G dan LE RTH-TGR04
Gambar 14. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang
56
a. Rn, H, G dan LE RTB-BKS91
b. Rn, H, G dan LE RTH-BKS91
c. Rn, H, G dan LE RTB-BKS97
d. Rn, H, G dan LE RTH-BKS97
e. Rn, H, G dan LE RTB-BKS04
f. Rn, H, G dan LE RTH-BKS04
Gambar 15. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi Dari Gambar 12-15 pada ke empat lokasi terlihat bahwa tipe lahan RTH menyimpan energi radiasi netto lebih besar dibandingkan dengan nilai radiasi netto yang disimpan tipe lahan RTB. Hal ini menunjukkan adanya penggunaan radiasi selain komponen fluks G, H dan LE yaitu fluks P yang digunakan tumbuhan berklorofil untuk melakukan fotosintesis.
Komponen P ini jarang
57 diperhitungkan dalam konsep neraca energi, karena nilai penggunaan fluks P dianggap kecil dan dapat diabaikan. Meskipun pada kenyataannya pada lahan RTH
yang didominasi vegetasi tetap melakukan aktivitas fotosíntesis dan
menyebabkan nilai radiasi netto pada tipe lahan RTH relatif lebih besar. Gambaran penggunaan komponen radiasi netto untuk fluks G pemanasan pemukaan, fluks H (pemanasan udara) dan fluks LE (penguapan air permukaan) dapat secara rinci dilihat pada Gambar 12-15 di ke empat lokasi menunjukkan kecenderungan yang sama di mana Rn di lahan RTH penggunaan terbesar untuk fluks penguapan air (LE).
Sedangkan penggunaan Rn di lahan RTB baik di
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi mempunyai pola yang sama dalam hal prioritas utama untuk fluks G dan H, sehingga fenomena urban heat island terjadi.
4.4.
Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara
Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dan suhu udara pada tahun 1991, 1997 dan 2004 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kubik. Bentuk persamaan non-linier kubik dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) tertinggi serta nilai standar deviasi model (S) terendah. Secara rinci hasil analisis disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12 tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan yang sama pada ketiga tahun data baik 1991, 1997 dan 2004. Semua persamaan antara RTH dan suhu udara, secara konsisten nilai koefisien determinasi tertinggi dan nilai standar deviasi model terendah terdapat pada persamaan non-linier kubik. Analisis lanjut berupa validasi model, untuk memastikan model mana yang paling baik dalam menduga nilai sebenarnya (nilai observasi lapang). Validasi model persamaan dilakukan cara membandingkan antara hasil keluaran model dengan menggunakan data di luar data penyusunan model persamaan dengan hasil pengukuran lapangan. Kedua data disajikan secara grafis dengan sumbu x merupakan nilai keluaran model dan sumbu y merupakan nilai hasil pengukuran lapang.
Kemudian dilakukan uji statistika untuk mengetahui
besarnya nilai korelasi atau nilai koefisien determinasi antara kedua peubah
tersebut.
58 Makin besar nilai korelasi atau nilai kuadrat korelasi (koefisien
determinasi) maka makin baik model yang diuji. Tabel 12. Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model (S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004 No
WILAYAH
LINIER S R2adj
KUADRATIK R2adj S
KUBIK R2adj S
1. JAKARTA
Tahun 1991 85 0.15
95
0.08
98
0.03
2. KOTA BOGOR
87
0.15
95
0.08
3. KAB BOGOR 4. KOTA TANGERANG
84 87
0.15 0.15
95 95
0.05 0.11
5. KAB TANGERANG
87
0.12
94
0.05
6. KOTA BEKASI
85
0.09
95
0.07
99 99 98 91 96
0.02 0.02 0.02 0.02 0.04
7. KAB BEKASI
87
0.12
94
0.05
96
0.04
1. JAKARTA
Tahun 1997 86 0.14
96
0.07
99
0.04
2. KOTA BOGOR
88
0.17
96
0.05
3. KAB BOGOR 4. KOTA TANGERANG 5. KAB TANGERANG
85 88 88
0.17 0.14 0.11
95 96 95
0.04 0.10 0.04
6. KOTA BEKASI
86
0.08
96
0.06
99 99 99 99 99
0.03 0.02 0.03 0.02 0.02
7. KAB BEKASI
88
0.11
95
0.07
99
0.03
1. JAKARTA
Tahun 2004 85 0.11
97
0.05
98
0,04
2. KOTA BOGOR
89
0.16
97
0.04
99
0,01
3. KAB BOGOR 4. KOTA TANGERANG 5. KAB TANGERANG
86 89 89
0.16 0.13 0.10
96 97 96
0.03 0.09 0.03
99 99 99
0,01 0,01 0,01
6. KOTA BEKASI
87
0.07
97
0.05
99
0,02
7. KAB BEKASI
89
0.10
96
0.03
99
0,02
Hasil validasi model persamaan hasil ektraksi Landsat 2004, mampu menduga sebesar 98% data suhu udara hasil ekstraksi Landsat 1991 mendekati nilai aktual 1991 dan menduga sebesar 98% suhu udara hasil ekstraksi Landsat 1997 mendekati nilai aktual 1997 disajikan secara grafis pada Gambar 16. Sedangkan validasi model hasil ekstraksi Landsat 1991 ketika divalidasi untuk data 1997 hanya sebesar 78% data dugaan mendekati aktual selebihnya
59 under estimate serta hasil validasi model hasil ekstraksi Landsat 1997 untuk data 1991 hanya sebesar 77% data dugaan mendekati data aktual 1991 selebihnya terjadi over estimate disajikan pada Gambar 17.
(a)
(b)
Gambar 16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun 1991 (a) dan data tahun 1997 (b)
(a)
(b)
Gambar 17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991 untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil ekstraksi 1997 untuk data 1991 (b) Berdasarkan hasil validasi model, ditetapkan model persamaan antara RTH dan suhu udara adalah model persamaan hasil ektraksi data Landsat tahun 2004.
Adapun bentuk model persamaan terpilih untuk wilayah JABOTABEK
antara RTH dan suhu udara, secara umum dapat dituliskan sebagai: Y=bo – b1X + b2X2 – b3X3 Di mana Y merupakan suhu udara (oC) dan X merupakan RTH (%), uji regresi nilai konstanta bo dan koefisien b1, b2 dan b3 disajikan pada Tabel 13.
60 Tabel 13. Nilai konstanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu udara JABOTABEK No. Wilayah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jakarta Kota Bogor Kab. Bogor Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Bekasi Kab. Bekasi
bo 27.5** 27,4** 27,2** 27,4** 27,2** 27,3** 27,2**
Nilai konstanta dan koefisien b1 b2 b3 -3 -4 7,4x10 ** 2,2x10 ** 4,0x10-6** 8,2x10-3** 1,5x10-4** 2,0x10-6** 8,4x10-3** 1,5x10-4** 2,0x10-6** 1,6x10-2** 2,7x10-4** 3,0x10-6** 1,2x10-2** 2,0x10-4** 2,0x10-6** 4,8x10-3** 2,8x10-4** 1,0x10-6** 3,8x10-3** 4,9x10-4** 1,0x10-6**
Keterangan: angka yang diikuti tanda ** , sangat nyata pada taraf α=1%
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa nilai bo sebagai konstanta persamaan merupakan nilai suhu udara secara alami bila tanpa pengaruh RTH.
Jakarta
sebagai kota terbesar memiliki nilai tertinggi sebesar 27.5, diikuti kota Bogor dan Tangerang dengan nilai sebesar 27.4, lalu kota Bekasi sebesar 27.3 serta ketiga wilayah kabupaten dengan nilai suhu udara alami terendah dengan besaran yang sama, yaitu sebesar 27.2oC. Sementara nilai b1, b2 dan b3 merupakan koefisien bagi RTH, RTH kuadrat dan RTH kubik, juga memiliki besaran koefisien yang sama kecuali untuk kota dan kabupaten Tangerang pada koefisien b1. Bentuk persamaan dalam bentuk grafis disajikan pada Gambar 18 untuk kota Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi. Berdasar Gambar 18 makin memperjelas arti nilai bo sebagai titik potong dengan sumbu Y atau dapat dikatakan nilai suhu udara saat RTH bernilai 0%.
Persamaan hanya
berlaku untuk kisaran RTH 0 hingga 80%. Pada nilai RTH 80% hingga 100% nilai suhu udara relatif sama. Nilai suhu udara di Jakarta pada saat RTH mencapai 80% adalah sebesar 26.5oC nilai ini besarnya sama dengan nilai suhu udara ratarata wilayah Indonesia dengan ketinggian 0 m dpl (di atas permukaan laut). Nilai yang sama untuk kota Bogor dan Tangerang, sementara kota Bekasi dan kabupaten Bogor sebesar 26.4 serta kabupaten Tangerang dan Bekasi sebesar 26.3oC. Tidak mudah untuk membuat interpretasi persamaan terpilih secara langsung. Untuk itu disajikan grafik perubahan RTH dan dampaknya terhadap perubahan suhu udara untuk ketujuh wilayah kajian, disajikan pada Gambar 19.
61
(a) Jakarta
(b) Kota Bogor
(c) Kab. Bogor
(d) Kota Tangerang
(e) Kab. Tangerang
(f) Kota Bekasi
(g) Kab. Bekasi
Gambar 18. Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu udara (Ta) pada tujuh wilayah kajian
62 Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa peningkatan suhu udara terjadi saat RTH berkurang, sebaliknya pada saat penambahan RTH terjadi penurunan suhu udara.
Hal menarik adalah laju kenaikan suhu udara lebih tajam dibandingkan
laju penurunannya, hal ini menunjukkan resiko pengurangan RTH terhadap peningkatan suhu udara, lebih besar dibandingkan upaya penambahan RTH. Hal ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi pengambil kebijakan tata kota, bahwa setiap pengurangan RTH menyebabkan konsekuensi bagi peningkatan suhu udara dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan upaya penambahan RTH. Sehingga harus lebih berhati-hati dalam setiap keputusan mengalihfungsikan RTH menjadi ruang terbangun (RTB). Atau dapat dikatakan bahwa upaya untuk mempertahakan luasan RTH memerlukan pengorbanan yang lebih besar dibandingkan dengan upaya penambahan RTH, namun memberikan hasil yang lebih baik dalam hal mempertahankan nilai suhu udara pada kisaran rata-rata yang nyaman bagi sebuah kota. Tanda panah pada Gambar 19, menunjukkan mulai terjadi peningkatan tajam. Terlihat untuk Jakarta peningkatan suhu udara dengan laju tajam pada saat RTH berkurang sebesar 30%. Untuk Bogor baik kota maupun kabupaten pada pengurangan RTH 30%, kota dan kabupaten Tangerang pada saat nilai RTH berkurang 15% dan 20% serta kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH sebesar 35%. Secara rata-rata nilai pengurangan RTH pada titik kritis (tanda panah) untuk kawasan JABOTABEK sebesar 28%. Bila nilai 28% dilampaui menyebabkan laju peningkatan suhu udara lebih tajam. Laju kenaikan suhu udara yang tajam mengindikasikan perubahan suhu yang terjadi setiap pengurangan RTH lebih besar dua kali lipat dibandingkan laju yang landai.
Sedangkan
pengurangan RTH dari 0-28% berakibat pada laju peningkatan suhu udara landai. Peningkatan yang landai indikasi bagi peningkatan suhu udara yang lebih kecil. Penyajian secara kuantitatif setiap perubahan RTH 5% untuk ketujuh wilayah di JABOTABEK disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 dapat diperjelas titik kritis (tanda panah) pengurangan RTH pada angka yang dicetak tebal. Untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor pada pengurangan RTH 30%, kota dan kabupaten Tangerang pada pengurangan RTH sebesar 15 dan 20% serta kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH sebesar 35%.
63
(a) Jakarta
(b) Kota Bogor
(c) Kab. Bogor
(d) Kota Tangerang
(e) Kab. Tangerang
(f) Kota Bekasi
(g) Kab. Bekasi
Gambar 19. Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH Wilayah JABOTABEK
64 Tabel 14. Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar 5% di JABOTABEK No
∆RTH (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
-50 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 +5 +10 +15 +20 +25 +30 +35 +40 +45 +50
∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) JKT Kota Kab. BGR BGR
1.4 1.1
0.9 0.7 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3
1.0 0.9 0.7 0.6 0.4 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3
1.0 0.9 0.7 0.6 0.4 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3
∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) Kota Kab Kota Kab. TGR TGR BKS BKS
1.8 1.5 1.3 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3 -0.4 -0.4 -0.4 -0.5
1.3 1.1 0.9 0.8 0.6 0.5 0.3 0.2 0.1 0.1 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3 -0.3 -0.4
0.5 0.4 0.3 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3
0.4 0.4 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2
4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara
Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton (Holman and White, 1992) yang dapat dinyatakan secara matematis sebagai:
q = hA(To − T1 ) di mana, q adalah laju transfer panas melalui konveksi, h koefisien transfer panas melalui konveksi, A luasan permukaan yang dikaji, To suhu udara pada kondisi awal, T1 suhu udara pada kondisi akhir. Bila dikaji nilai perubahan suhu udara rumusan tersebut dapat dituliskan kembali sebagai:
ΔT =
q hA
65 Pada saat nilai q kita asumsikan tetap dan luasan (A) RTH berkurang maka nilai perubahan suhu udara menjadi besar, hal ini berarti suhu akhir lebih besar dari pada suhu awal, sehingga pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara. Sementara pada saat terjadi penambahan RTH nilai A pada rumus di atas menjadi lebih besar yang membawa dampak terhadap makin kecilnya ∆T atau nilai suhu udara akhir
mendekati nilai awal, dengan kata lain suhu udara
mengalami pendinginan akibat penambahan RTH. Sedangkan penyebab laju penambahan suhu akibat pengurangan RTH mempunyai laju lebih besar (tajam) dibandingkan laju pendinginan suhu udara akibat panambahan RTH adalah disebabkan pada saat RTH bertambah proses penutupan lahan urban dengan vegetasi baru tidak serta merta tertutup atau setara dengan penutupan RTH yang sudah ada. Diperlukan proses pertumbuhan yang memerlukan waktu tahunan untuk mencapai fase dewasa atau menaungi permukaan. Sehingga laju pendingan berjalan lebih lambat, terindikasi pada nilai suhu akhir berkurang sedikit dibandingkan suhu udara mula-mula, yaitu setiap penambahan RTH 50%
suhu udara berkurang sebesar 0.2 hingga 0.5oC.
Sedangkan pada saat terjadi pengurangan RTH maka serta merta permukaan lahan urban terbuka dari naungan dalam waktu relatif singkat berakibat pada laju transfer panas ke udara di atasnya lewat konveksi juga menjadi lebih cepat. Akibatnya nilai perubahan suhu (∆T) menjadi besar
berdampak pada laju
pemanasan suhu udara lebih besar dengan indikasi nilai suhu udara akhir bertambah banyak dibandingkan suhu udara mula-mula, yakni setiap pengurangan RTH 50% suhu udara bertambah sebesar 0.4-1.8oC. Perbandingan
laju
penambahan/pengurangan
suhu
udara
akibat
pengurangan/penambahan RTH untuk ke empat kota, laju terbesar baik penambahan maupun pengurangan suhu udara terjadi di Tangerang, disusul Jakarta, Bogor dan Bekasi. Tangerang merupakan kota yang permukaannya lebih kering (luasan badan air lebih kecil dibandingkan dengan Bekasi, Jakarta dan Bogor) sehingga laju penambahan dan pengurangan suhu udara menjadi lebih cepat terindikasi pada ∆T yang lebih besar dibandingkan tiga kota lainnya. Pada permukaan yang relatif kering radiasi netto dominan digunakan untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya dibandingkan untuk
66 penguapan. Sehingga udara menjadi lebih cepat panas pada saat RTH berkurang dan cepat dingin pada saat RTH bertambah. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Oke, et al., (1991) dan Voogt (2002). Sebaliknya Bogor dan Bekasi, mempunyai permukaan yang lebih basah karena banyak vegetasi (Bogor) dan lebih banyak badan air (Bekasi). Dampak permukaan yang lebih basah adalah laju pemanasan dan pendinginan udara menjadi lebih kecil, seperti yang terlihat untuk kota Bekasi setiap RTH bertambah 50% suhu berkurang 0.3oC dan setiap RTH berkurang 50% suhu udara meningkat 0.5oC, bandingkan dengan Tangerang (suhu berkurang 0.5oC dan meningkat sebesar 1.8oC), Jakarta (suhu berkurang 0.3oC dan meningkat sebesar 1.4oC) serta Bogor (suhu berkurang 0.3oC dan meningkat sebesar 1.0oC).
Hal ini
menunjukkan pentingnya mempertahankan bahkan menambah luasan RTH dan badan air, karena udara cenderung menjadi lebih lembab. Udara lembab menjadi penyebab peningkatan atau penurunan suhu udara menjadi lebih kecil pada setiap pengurangan atau penambahan RTH dibandingkan udara kering. Sementara perbandingan antara wilayah kota dan kabupaten, baik yang terjadi di Tangerang maupun Bekasi mempunyai kecenderungan yang sama, yakni laju pendinginan udara di kota menjadi lebih besar pada setiap penambahan persentase RTH yang sama bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Begitu pula laju pemanasan, lebih besar terjadi di kota untuk setiap pengurangan persentase RTH yang sama, bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Contoh untuk kota dan kabupaten Tangerang setiap penambahan RTH 50% terjadi pengurangan suhu udara sebesar 0.5oC (di kota) dan 0.4oC (di kabupaten). Setiap pengurangan RTH 50% terjadi penambahan suhu udara sebesar 1.8oC (di kota) dan 1.3oC (di kabupaten).
Hal yang sama terjadi di Bekasi, hal ini disebabkan
pengurangan RTH di kota lebih besar dibandingkan RTH kabupaten. Perubahan permukaan dari RTH yang relatif basah menjadi RTB yang relatif kering di perkotaan berdampak makin keringnya udara di atas perkotaan. Akibatnya setiap pengurangan atau penambahan RTH berdampak lebih besar pada peningkatan atau penurunan suhu udara.
Hal ini terjadi karena udara kering merupakan
konservator panas yang buruk, cenderung cepat panas dan cepat dingin dengan pengurangan dan penambahan RTH.
67 Namun terdapat pengecualian untuk Bogor, di mana wilayah kota dan kabupaten mempunyai kecenderungan nilai yang sama, diduga keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai RTH memberikan kontribusi positif bagi meredam panasnya perkotaan. Hasil ini didukung hasil penelitian Santosa dan Bey (1992) tentang dampak keberadaan Kebun Raya bagi kenyamanan iklim mikro perkotaan. Titik kritis pengurangan RTH untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor sebesar 30%, artinya setiap pengurangan RTH melampuai batas tersebut maka akan terjadi kenaikan suhu udara dengan laju yang besar atau dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan RTH di bawah 30%. Hal yang sama berlaku untuk kota dan kabupaten Tangerang pada batas kritis pengurangan RTH yang lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara kota dan kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35%.
Secara rata-rata wilayah JABOTABEK
mempunyai titik kritis pengurangan RTH sebesar 28%. Hasil ini memberikan tambahan informasi bahwa kajian keterkaitan RTH dan suhu udara dengan asumsi hanya RTH yang berpengaruh terhadap suhu udara, ditemukan titik kritis pengurangan RTH sebesar 28% atau mendekati 30% sesuai dengan acuan yang ditetapkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. wilayah kota ditetapkan harus memiliki 30% RTH, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. 4.5.
Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI
Hasil analisis korelasi antara sesama peubah prediktor dan antara peubah prediktor dengan peubah respon (UHI) baik di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, disajikan pada Tabel 156. Berdasar Tabel 15 terlihat bahwa antar peubah prediktor terdapat korelasi sangat nyata (multicolinearity). Karena itu analisis dilanjutkan dengan analisis komponen utama (PCA), untuk mengatasi masalah multicolinearity. Berdasarkan Tabel 15 terlihat pula bahwa korelasi UHI dengan keempat peubah prediktor juga relatif besar antara 71-87%. Hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 16. Berdasar Tabel 16 jumlah peubah baru (komponen utama) diputuskan pada dua peubah baru, namun mampu menjelaskan keragaman total peubah asal dengan maksimal yakni sebesar 99%. Tabel 15. Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK
68 Peubah Kota Jakarta RTH Kepadatan Populasi RTB Kepadatan Kendaraan Kota Bogor RTH Kepadatan Populasi RTB Kepadatan Kendaraan Kota Tangerang RTH Kepadatan Populasi RTB Kepadatan Kendaraan Kota Bekasi RTH Kepadatan Populasi RTB Kepadatan Kendaraan
UHI
RTH
-0.870** 0.768**
-0.966**
0.869** 0.871**
-1.000** -0.971**
-0.781** 0.719**
-0.928**
0.721** 0.713**
-0.978** -0.972**
-0.834** 0.785**
-0.953**
0.788** 0.766**
-0.969** -0.938**
-0.871** 0.768**
-0.890**
0.836** 0.772**
-0.981** -0.828**
Kepadatan Populasi
RTB
0.967** 0.855**
0.970**
0.935** 0.962**
0.992**
0.956** 0.975**
0.984**
0.921** 0.976**
0.846**
Keterangan: ** : sangat nyata pada taraf α=1 %
Pada analisis PCA korelasi peubah baru komponen utama pertama yaitu, (Z’1) saling ortogonal dengan komponen utama kedua (Z’2), membuat setiap peubah asal dibuat maksimal pada komponen utama pertama dan minimal pada komponen utama kedua, sehingga secara total kontribusi setiap peubah asal dibuat intermediat. Sebagai contoh berdasarkan Tabel 9 untuk Jakarta pada peubah kendaraan pada komponen utama pertama diurutan pertama sebesar 86%, sedangkan pada komponen utama kedua peubah kendaraan berada pada urutan keempat (terakhir) sebesar 52%, sehingga secara rata-rata kontribusi kendaraan terhadap UHI pada besaran yang intermediat. Hal sama terjadi pada ketiga peubah prediktor yang lain. Sehingga untuk mendapatkan kontribusi peubah asal yang paling dominan terhadap UHI, analisis dilanjutkan dengan rotasi varimax. Tabel 16. Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total ragamnya untuk empat kota JABOTABEK Peubah
Z’1
Z’2
Total
69 Kota Jakarta KKdr RTH RTB KPop Ragam Persen Ragam Kota Bogor RTH RTB KKdr KPop Ragam Persen Ragam Kota Tangerang KKdr KPop RTB RTH Ragam Persen Ragam Kota Bekasi RTH RTB KPop KKdr Ragam Persen Ragam
86 -72 71 52 2.0211 50
-52 70 -71 -86 1.9742 49
3.9953 99
-82 81 76 57 2.2315 56
56 -56 -65 -82 1.7365 43
3.9680 99
82 77 72 -58 2.1315 53
-57 -62 -68 81 1.8223 46
3.9538 99
-87 85 59 46 2.0366 51
48 -52 -81 -89 1.9325 48
3.9691 99
Hasil analisis rotasi varimax mampu membuat kontribusi setiap peubah asal terlihat saling mendominasi, meskipun perbedaan dominasi tidak berbeda jauh. Secara rinci bentuk persamaan regresi berganda dan besarnya kontribusi prediktor terhadap UHI disajikan pada Lampiran 2 dan hasil singkatnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Kontribusi peubah prediktor dalam persen terhadap UHI No. 1 2. 3. 4. 5
PEUBAH RTH KPop RTB KKdr Total
JKT 20 17 19 22 78
BGR 14 13 15 14 56
TGR 19 16 18 16 69
BKS 23 19 22 17 81
RATAAN 19.0 16.3 18.5 17.3 71.0
Berdasarkan Tabel 17, terlihat untuk Jakarta, peningkatan UHI dipicu meningkatnya kepadatan kendaraan (22%), diikuti oleh peubah pengurangan RTH (20%), penambahan RTB (19%) dan kepadatan populasi (17%). Sementara
70 fenomena UHI di Bogor dominasi dipicu oleh makin luasnya RTB (15%), diikuti oleh pengurangan RTH dan padatnya kendaraan masing-masing sebesar 14% serta padatnya populasi (13%). Fenomena UHI di Tangerang kontribusi terbesar akibat pengurangan RTH sebesar 19%, diikuti perluasan RTB (18%) serta padatnya populasi dan kendaraan masing-masing sebesar 16%. Begitupun fenomena UHI di Bekasi dipicu oleh berkurangnya keberadaan RTH sebesar 23%, diikuti perluasan RTB (22%), padatnya populasi (19%) dan padatnya kendaraan (17%). 4.5.a. Pembahasan Fenomena UHI Berdasarkan Tabel 17, nilai dominasi peubah prediktor terhadap UHI, secara persentase relatif tidak berbeda jauh, hal ini disebabkan korelasi antar peubah prediktor sangat nyata, sehingga metode rotasi varimax hanya mampu menonjolkan dominasi peubah yang satu dari yang lain dengan perbedaan relatif kecil. Berdasarkan Tabel 17, terlihat untuk Jakarta, peningkatan UHI seiring dengan meningkatnya kepadatan kendaraan, diikuti oleh peubah pengurangan RTH, penambahan RTB dan kepadatan populasi. Padatnya kendaraan mendominasi UHI di Jakarta didukung oleh hasil analisis Ernawi (2007) bahwa laju peningkatan kendaraan kota Jakarta untuk berbagai jenis kendaraan bermotor meningkat dengan laju 11% pertahun, peningkatan untuk dua tahun terakhir didominasi oleh kendaraan roda dua. Sektor transportasi perkotaan pada beberapa kajian (Purnomohadi, 1995; Adiningsih, 1997) pengemisi gas rumah kaca terbesar. Emisi gas rumah kaca dari transportasi baik dengan bahan bakar solar maupun bensin adalah NOx. NOx merupakan gas rumah kaca yang mempunyai daya 300 kali lipat dalam menyerap panas dibandingkan gas CO2, akibatnya pada skala lokal hingga regional, akitivitas transportasi menjadi pengemisi terbesar dari sektor energi mengalahkan sektor industri. Hal lain yang memperbesar dampak aktivitas transportasi adalah kepadatan disertai kemacetan secara langsung mengakumulasikan sejumlah panas dan secara tidak langsung mengemisikan gas rumah kaca (NOx) ke udara dalam jumlah yang lebih besar sehingga secara total mengalahkan peubah lain sebagai penyebab UHI Jakarta, hal serupa terjadi di Depok hasil kajian Yani dan Effendy, 2003. Fenomena UHI di Bogor dominasi dipicu oleh makin luasnya RTB, hal ini didukung oleh Carolita et al (2002) dan Sitorus et al (2005) di wilayah JABOTABEK ditemukan bahwa RTH Bogor berupa ladang dan tegalan banyak beralih fungsi menjadi areal pemukiman, perdagangan dan jasa serta atribut perkotaan lainnya. Sehingga konsisten dengan penelitian ini perluasan ruang terbangun (RTB) menjadi kontribusi dominan bagi fenomena UHI di Bogor. Fenomena UHI di Tangerang kontribusi terbesar akibat pengurangan RTH, berbeda dengan Bogor, berkurangnya RTH di Tangerang beralih menjadi kawasan industri, pemukiman dan perdagangan dan jasa. Tipe RTH yang banyak beralih fungsi berupa lahan persawahan (Sitorus et al., 2005), hal serupa yang terjadi di Bekasi. Fenomena UHI di Bekasi dipicu oleh berkurangnya keberadaan RTH beralih menjadi pemukiman, jasa dan perdagangan. Tipe RTH yang banyak beralih fungsi berupa lahan persawahan (Sitorus et al., 2005). Total korelasi ke-empat prediktor tertinggi terdapat di Bekasi (81%) disusul Jakarta (78%), Tangerang (69%) dan terendah di Bogor (56%). Rendahnya
71 korelasi di Bogor disebabkan terdapat peubah lain penyebab UHI, yaitu ketinggian (altitude). Kawasan kota Bogor di kelilingi wilayah kabupaten yang mempunyai ketinggian 50 m hingga 3 000 m di atas permukaan laut. Laju penurunan suhu adiabatik kering menunjukkan bahwa setiap peningkatan ketinggian tempat 100 m dpl suhu akan berkurang sebesar 0.65oC. Laju penurunan suhu dengan bertambahnya ketinggian tempat lebih dominan mempengaruhi fenomena UHI di Bogor dibandingkan ke-empat peubah yang dikaji. Sehingga faktor ketinggian tempat menjadi penyebab rendahnya total korelasi ke-empat peubah prediktor (RTH, kepadatan populasi, RTB dan kendaraan) terhadap UHI di kota Bogor. Secara rata-rata pengurangan RTH merupakan faktor dominan penyebab UHI di ke empat kota diikuti oleh RTB, KKdr serta terakhir Kpop. Penelitian ini menunjukkan bahwa keempat peubah prediktor, seperti pengurangan RTH, perluasan RTB, KKdr dan Kpop secara bersama memberikan kontribusi terhadap UHI perkotaan rata-rata sebesar 71% dengan kisaran 56 hingga 81%. Tidak maksimalnya nilai total korelasi keempat prediktor terhadap UHI, mengindikasikan adanya faktor lain berperan terhadap UHI. Faktor lain selain keempat peubah prediktor tersebut diduga ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude) khususnya untuk kota Bogor dengan kisaran ketinggian 200-450 m dpl. 4.5.b. Simulasi dan Validasi Model Fenomena UHI Untuk mendapatkan gambaran tentang kelayakan model persamaan UHI dan empat peubah prediktor RTH, kepadatan populasi, luasan RTB dan kepadatan kendaraan, dilakukan simulasi dan validasi. Hasil simulasi UHI di empat kota JABOTABEK disajikan pada Tabel 18, untuk melihat kecenderungan di masa datang (simulasi tahun 2015 dan 2025) serta untuk validasi (simulasi 2005). Berdasar Tabel 18 didapatkan hasil validasi model dengan membandingkan nilai simulasi 2005 dengan hasil observasi. Didapatkan hasil memadai di mana nilai simulasi pada kisaran nilai UHI hasil observasi, misal untuk Jakarta hasil simulasi sebesar 1.2 oC sedangkan hasil observasi berkisar 1.1-1.3 oC. Hasil simulasi untuk tahun 2015 hingga 2025 didapatkan besaran (magnitude) UHI tertinggi tetap akan terjadi di Jakarta, disusul Tangerang, Bekasi dan Bogor. Hal ini terjadi karena asumsi laju pengurangan RTH, peningkatan populasi, perluasan RTB dan kepadatan kendaraan pertahun tertinggi terjadi di Jakarta.
Tabel 18. Hasil simulasi dan validasi UHI empat kota JABOTABEK No. 1
2
KOTA Jakarta 2005 2015 2025 Bogor 2005 2015
UHI (oC) SIMULASI*
UHI (oC) OBSERVASI**
1.2 1.5 1.8
1.1-1.3
0.8 1.0
0.7-0.9
72 2025 Tangerang 2005 2015 2025 Bekasi 2005 2015 2025
3
4
1.2 1.1 1.4 1.7
1.1-1.3
1.1 1.3 1.6
1.0-1.2
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi ** nilai UHI rata-rata hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI 2005 di empat kota ( Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi)
4.6.
Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi
Dampak UHI terhadap THI atau indeks kenyamanan ditentukan berdasarkan analisis regresi.
Uraian analisis pemilihan persamaan hubungan
antara UHI dan THI secara lengkap disajikan pada (Lampiran 3). Penentuan persamaan terpilih berdasarkan pada pola sebaran data, nilai koefisien determinasi terkoreksi tertinggi dan nilai standar deviasi model terendah. Model persamaan terpilih untuk empat kota di JABOTABEK dapat dituliskan secara umum sebagai: Y=bo + b1X-b2X2+b3X3 Di mana Y adalah THI(oC), X sebagai UHI(oC) dan bo adalah konstanta persamaan serta b1, b2 dan b3, adalah koefisien-koefisien persamaan. Hasil uji regresi terhadap konstanta dan koefisien persamaan disajikan secara tabular pada Tabel 19. Konstanta bo merupakan nilai THI saat UHI bernilai 0 atau saat UHI tidak berpengaruh terhadap THI, terlihat Jakarta dan Bogor sebesar 20.8, sedangkan Tangerang dan Bekasi sebesar 20.7oC. Nilai ini merupakan nilai pada kisaran nyaman bagi manusia pada kehidupan alami tanpa penggunaan AC. Tabel 19. Nilai konstanta dan koefisien persamaan THI dan UHI JABOTABEK No. Wilayah 1. 2. 3. 4.
Jakarta Kota Bogor Kota Tangerang Kota Bekasi
bo 20.8** 20.8** 20.7** 20.7**
Nilai konstanta dan koefisien b1 b2 10.0** 6.6** 9.7** 6.5** 9.8** 6.5** 9.9** 6.5**
Keterangan: angka yan diikuti tanda ** : sangat nyata pada taraf α=1%
b3 1.6**
1.6** 1.6** 1.6**
73 Secara grafis model persamaan dampak UHI terhadap THI disajikan pada Gambar 20.
Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa laju peningkatan THI (nilai
kenyamanan) mengalami laju cepat pada saat perubahan UHI dari 0 hingga 1.0oC. Setelah UHI meningkat melebihi nilai 1.0oC (tanda panah pada gambar) peningkatan THI mulai landai. Interpretasi model persamaan UHI dan THI secara kuantitatif disajikan secara tabular pada Tabel 20.
(a) Jakarta
(b). Bogor
(c). Tangerang
(d). Bekasi
Gambar 20. Persamaan terpilih dampak UHI terhadap THI Tabel 20. Perubahan THI akibat perubahan UHI berdasarkan intepretasi model persamaan JABOTABEK No 1 2 3 4
∆UHI (oC) 1.6 1.4 1.2 1.0
∆THI (oC) JKT 5.7 5.5 5.3 5.0
∆THI (oC) BGR 5.4 5.2 5.0 4.8
∆THI (oC) TGR 5.6 5.4 5.2 4.9
∆THI (oC) BKS 5.8 5.5 5.3 5.0
74 5 6 7 8 9 10 11
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4
4.6 4.0 3.0 1.7 0.0 -2.3 -5.2
4.4 3.8 2.9 1.7 0.0 -2.2 -5.0
4.5 3.9 3.0 1.7 0.0 -2.2 -5.1
4.6 3.9 3.0 1.7 0.0 -2.3 -5.1
Berdasarkan Tabel 20 terlihat pada angka yang dicetak tebal, bahwa setelah peningkatan UHI sebesar 1.0oC terjadi peningkatan THI mulai melandai jika dibandingkan dengan peningkatan THI pada perubahan UHI sebesar 0.2 hingga 1.0oC. Laju peningkatan THI setelah 1.0oC hanya 0.2 hingga 0.3oC setiap kenaikan UHI 0.2oC, sedangkan sebelumnya peningkatan THI berkisar antara 0.4 hingga 1.7 oC. Interpretasi model persamaan hubungan UHI dan THI JABOTABEK berdasar Tabel 20 adalah, THI kota Jakarta bertambah dengan meningkatnya UHI dengan laju non-linier, penambahan UHI 0.2 hingga 1.6oC menyebabkan peningkatan THI 1.7 hingga 5.7oC, sedangkan di Bogor, peningkatan THI 1.7 hingga 5.4oC, di Tangerang peningkatan THI sebesar 1.7 hingga 5.6oC, serta Bekasi peningkatan THI sebesar 1.7 hingga 5.8oC. Sebaliknya pada pengurangan UHI diikuti dengan penurunan nilai THI di mana pengurangan UHI sebesar 0.4oC menyebabkan penurunan nilai THI yang cukup besar setara dengan nilai saat UHI meningkat 1.2oC. Artinya setiap upaya penekanan dampak UHI menghasilkan nilai THI yang sangat nyata berkurang, makin kecil nilai THI makin nyaman bagi setiap populasi.
4.6.a. Pembahasan Dampak UHI terhadap THI
Berdasarkan hasil pada empat kota JABOTABEK secara konsisten didapatkan bentuk hubungan non-linier kubik, berbanding lurus, di mana setiap kenaikan UHI berdampak pada kenaikan nilai THI, dan berlaku sebaliknya. Laju peningkatan THI paling besar pada saat perubahan UHI dari 0.2-1.0oC. Setelah peningkatan UHI 1.0oC peningkatan nilai THI mulai landai.
Sebaliknya
75 pengurangan UHI menyebabkan penurunan tajam nilai THI, di mana pengurangan UHI sebesar 0.4oC berdampak setara dengan penambahan UHI sebesar 1.2oC. Hal ini indikasi pentingnya penurunan UHI dengan cara menekan peningkatan suhu perkotaan, sehingga besaran UHI menjadi lebih rendah. Upaya menekan peningkatan suhu perkotaan dapat dilakukan dengan penambahan luasan RTH atau badan air, pembatasan laju urbanisasi (kepadatan populasi), menekan perluasan RTB secara horisontal dan menekan kepadatan kendaraan. Peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan peningkatan THI sebesar 4.8oC (Bogor), 4.9oC (Tangerang) dan 5.0oC (Jakarta dan Bekasi).
Peningkatan
THI di Bogor paling rendah disebabkan keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai salah satu bentuk RTH mempunyai fungsi peredam dampak UHI kota Bogor, hasil ini didukung oleh temuan Santosa dan Bey (1992). Pada tahun kajian dilakukan keberadaan Kebun Raya memberikan dampak terhadap kenyamanan kota. Namum saat ini dengan laju peningkatan UHI yang diikuti peningkatan THI di kota Bogor hampir mendekati tiga kota JABOTABEK lainnya. Sehingga dampak UHI kota mengancam kelestarian kebun Raya Bogor itu sendiri, berdasarkan fakta pada saat kemarau air dari sungai Ciliwung mengecil diikuti dengan pengeringan saluran irigasi dalam lokasi kebun Raya Bogor (Yusuf, et al., 2007).
4.6.b. Simulasi dan Validasi Model UHI dan THI
Untuk menilai kecenderungan di masa mendatang dan sekaligus melakukan validasi terhadap model persamaan yang didapatkan antara THI dan UHI di empat kota JABOTABEK, dilakukan simulasi dan validasi terhadap nilai UHI pada tahun 2005, 2015 dan 2025.
Adapun hasil simulasi dan validasi
disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21 hasil validasi model didapatkan hasil yang baik, di mana nilai simulasi tahun 2005 berada pada nilai kisaran hasil perhitungan berdasarkan observasi pada tahun yang sama.
Nilai THI yang didapatkan
berdasarkan simulasi dengan asumsi semua peubah prediktor yang mempangaruhi
76 UHI seperti RTH, populasi, RTB, dan kendaraan meningkat dengan laju yang sama dengan periode data 1970-2004. Semua nilai simulasi baik 2005 maupun tahun 2015 dan 2025 di empat kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi bila dikaitkan dengan rasa nyaman pada populasi manusia berada pada tingkat cukup nyaman (nilai THI antara 2527). Diduga bila laju perubahan ke-empat prediktor tidak segera diatasi maka dapat dipastikan semua wilayah akan menjadi tidak nyaman atau dengan kata lain nilai THI melampaui angka 27. Tabel 21. Hasil simulasi dan validasi THI empat kota JABOTABEK No. 1
2
3
4
KOTA Jakarta 2005 2015 2025 Bogor 2005 2015 2025 Tangerang 2005 2015 2025 Bekasi 2005 2015 2025
THI (oC) SIMULASI*
THI (oC) OBSERVASI**
26.0 26.3 26.6
25.5-26.1
25.2 25.6 25.8
25.0-25.3
25.3 25.8 26.0
25.2-25.6
25.2 25.7 26.0
25.1-25.5
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi ** nilai THI hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI 2005 di empat kota( Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi)
4.6.c. Dampak UHI terhadap Neraca Energi Permukaan
Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H untuk ke empat kota JABOTABEK menghasilkan model persamaan linier. Bentuk persamaan regresi terpilih dampak UHI terhadap fluks LE dan H dapat dituliskan sebagai:
77 Y = bo – b1X ..............( model UHI dan fluks LE) Y = bo + b1X ............. (model UHI dan fluks H) Di mana Y adalah masing-masing sebagai fluks LE dan H dalam Wm-2 sedangkan X adalah UHI (oC), serta bo sebagai konstanta model, yakni nilai fluks LE atau fluks H pada saat UHI bernilai nol, dan b1 sebagai koefisien model persamaan. Secara rinci nilai konstanta dan koefisien model serta hasil uji regresi disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai konstanta dan koefisien persamaan fluks LE, H dan UHI JABOTABEK No. Wilayah 1. 2. 3. 4.
Jakarta Kota Bogor Kota Tangerang Kota Bekasi
bo (LE) 122.3** 122.7** 122.5** 123.3**
Nilai konstanta dan koefisien bo (H) b1(LE) 32.7** 51.8** 33.0** 51.6** 32.9** 51.9** 33.2** 51.8**
b1(H) 15.7** 15.7** 15.7** 15.8**
Keterangan: angka yang diikuti tanda ** : sangat nyata pada taraf α=1%
Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H dalam bentuk gambar disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 terlihat model persamaan terpilih antara fluks LE dan H dengan UHI untuk keempat kota dalam bentuk linier. Model persamaan fluks LE dan UHI berbentuk linier berbanding terbalik antara fluks LE dan UHI, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti dengan pengurangan nilai fluks LE. Hal sebaliknya pada model persamaan fluks H dan UHI, berbentuk linier berbanding lurus, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti oleh kenaikan penggunaan fluks H, indikasi bagi makin hangatnya udara di atas permukaan perkotaan.
(a)
(b)
78
(c)
(d)
(e)
(f)
(g) (h) Gambar 21. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta (a dan b) Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f) dan Bekasi (g dan h)
4.6.d. Pembahasan Dampak UHI terhadap Fluks LE dan H Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan untuk fluks LE digunakan
sebagai energi untuk menguapkan air permukaan dan fluks H dipakai untuk memanaskan udara secara konveksi.
Hasil yang didapatkan di empat kota
JABOTABEK ditampilkan dalam bentuk tabular berikut: Tabel 23. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di empat kota JABOTABEK Peubah Prediktor
Peubah Respon Jakarta
Peubah Respon Bogor
79
∆UHI (oC)
∆LE (Wm-2)
1.0 Peubah Prediktor
32.7 15.7 Peubah Respon Tangerang
∆UHI (oC)
1.0
∆H (Wm-2)
∆LE (Wm-2)
∆H (Wm-2)
33.0 15.7 Peubah Respon Bekasi
∆LE (Wm-2)
∆H (Wm-2)
∆LE (Wm-2)
∆H (Wm-2)
32.9
15.7
33.2
15.8
Berdasarkan Tabel 23, peningkatan fenomena UHI di Jakarta sebesar o
1.0 C menyebabkan penurunan penggunaan energi netto untuk mengevaporasikan sejumlah air permukaan (latent heat flux; LE) sebesar 32.7 Wm-2 sebaliknya terjadi peningkatan untuk memanaskan udara (sensible heat flux; H) sebesar 15.7 Wm-2, hal ini mengindikasikan peningkatan UHI menyebabkan penggunaan energi akan semakin besar bagi pemanasan udara, sebaliknya makin berkurang untuk menguapkan air. Hal serupa terjadi di kota Bogor, Tangerang dan Bekasi. Peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan penurunan nilai fluks LE terbesar di Bekasi diikuti Bogor, Tangerang dan Jakarta, masing-masing sebesar 33.2, 33.0, 32.9 dan 32.7 Wm-2 dan Fluks H digunakan untuk memanaskan udara secara konveksi terbesar di Bekasi, diikuti Bogor, Jakarta dan Tangerang masingmasing sebesar 15.8 dan 25.7 Wm-2. Untuk menilai karakteristik permukaan apakah memiliki RTH atau badan air dengan indikator permukaan lebih basah atau permukaan lebih kering akibat luasnya RTB, digunakan konsep Rasio Bowen (β), Ohmura (1982) dan Perez et al. (1999), yaitu rasio antara fluks untuk memanaskan udara (H) dengan fluks
untuk penguapan (LE). Permukaan yang kering dicirikan oleh nilai β yang tinggi (>1) sebaliknya bila nilai β rendah (< 1) sebagai indikasi permukaan lokasi kajian masih terdapat RTH dan atau badan air. Nilai rasio Bowen untuk keempat kota disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Nilai Rasio Bowen (β) di empat kota JABOTABEK dibandingkan kota-kota lain No. 1. 2. 3.
Kota Jakarta (kemarau) Bogor (kemarau) Tangerang (kemarau)
Rasio Bowen (β) 0.86 0.84 0.85
80 4. 5. 6. 7. 8.
Bekasi (kemarau) Palu (kemarau) * Nagoya (summer)** Mexico*** New Zealand (summer)****
0.85 1.05 1.10 0.88 1.09
Keterangan: * (Nur, 2004) ** Kato dan Yamaguchi (2005) ***Oke et al. (1999) dan ****Spronken-Smith (2002)
Berdasar Tabel 24 kota Jakarta memiliki nilai Rasio Bowen terbesar yaitu 0.86 dibandingkan ketiga kota JABOTABEK. Semua nilai lebih kecil dari satu sebagai indikasi bahwa keberadaan RTH atau badan air masih cukup memadai. Nilai Rasio Bowen untuk kota Bogor terendah dibandingkan ketiga kota JABOTABEK, sebagai indikasi keberadaan RTH masih lebih baik (Oke, 1983). Hasil ini terbukti kebenarannya, berdasarkan hasil kajian Agrissantika, et al. (2007) didapatkan nilai RTH untuk kota Bogor, Bekasi, Tangerang dan Jakarta untuk tahun 2005 masing-masing sebesar 43%, 32%, 21% dan 11%. Perubahan RTH menjadi RTB di perkotaan berakibat pada permukaan menjadi lebih kering. Permukaan yang kering menjadi penyebab penggunaan radiasi netto lebih besar digunakan bagi peningkatan panas terasa, yang berakibat pada makin meningkatnya suhu udara.
Kota Palu merupakan wilayah tropis
terkering di Indonesia memiliki nilai Rasio Bowen lebih besar dari satu. Nilai ini hampir sama dengan nilai Rasio Bowen kota-kota di subtropis pada musim panas seperti Nagoya dan New Zealand. Indikasi nilai Rasio Bowen di atas satu adalah kurangnya RTH atau badan air pada permukaan kota, sehingga radiasi netto lebih besar digunakan bagi pemanasan udara. Sementara kota Mexico yang juga negara tropis nilai Rasio Bowen sebesar 0.88 lebih besar 0.02 dibandingkan nilai rasio Bowen kota Jakarta.
Hal ini
mengindikasikan keberadaan RTH di kota Mexico relatif lebih rendah dibandingkan RTH kota Jakarta. Untuk melihat rasio nilai latent heat flux, sensible heat flux dan soil heat flux terhadap radiasi netto (Rn) yang diterima permukaan maka dilakukan
penghitungan. Hasil perhitungan rasio LE, H dan G terhadap Rn disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Rasio nilai LE, H dan G kota JABOTABEK
81 No.
Kota
H/Rn
G/Rn
Jakarta
LE/Rn atau Fraksi Alfa (α) 0.50
1.
0.41
0.09
2.
Bogor
0.52
0.39
0.09
3.
Tangerang
0.50
0.41
0.09
4.
Bekasi
0.51
0.40
0.09
5.
Palu*
0.44
0.46
0.10
* sumber: Nur (2004)
Rasio antara fluks LE dengan radiasi netto dikenal juga sebagai Fraksi Alfa (α) oleh Jarvis (1981).
Fraksi Alfa merupakan indikator kemampuan
vegetasi atau RTH untuk memanfaatkan energi tersedia dalam proses evapotranspirasi atau penguapan. Berdasarkan Tabel 25 rasio LE/Rn atau Fraksi Alfa kota Bogor sebesar 52%, diikuti Bekasi 51%, Jakarta dan Tangerang masingmasing sebesar 50%, dibandingkan dengan Palu hanya 44%. Nilai α yang besar indikasi bagi kemampuan permukaan dalam memanfaatkan radiasi netto untuk penguapan masih baik, akibat permukaan masih relatif besar tertutupi RTH atau badan air. Hal sebaliknya terjadi pada rasio H/Rn, yaitu bagian energi netto yang digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan secara konveksi. Kota Palu terbesar pertama sebesar 46%, diikuti oleh Jakarta dan Tangerang 41%, Bekasi 40% dan terendah kota Bogor hanya sebesar 39%. Makin besar nilai rasio H/Rn indikasi bagi makin besarnya nilai suhu udara, dan sebaliknya. Sementara rasio G/Rn untuk neraca energi yang dihitung pada siang hari nilainya berkisar 9 hingga 10%.
Hasil perhitungan pada penelitian di kota
JABOTABEK dan kota Palu ini sesuai dengan hasil perhitungan FAO (1998), nilai G pada saat siang hari sebesar 0.1Rn, hal serupa ditemukan Kato dan Yamaguchi (2005) bahwa nilai fluks G sebesar cgRn, di mana cg merupakan kontanta permukaan yang nilainya tergantung pada nilai kapasitas dan konduktivitas panas permukaan. Untuk permukaan kota cg didapatkan sebesar 0.7-1.0. Sehingga besarnya fluks G atau soil heat flux atau rasio antara fluks G dan Rn di perkotaan subtropis berkisar antara 7 hingga 10%.
82 4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi
Untuk menilai kecenderungan nilai fluks LE dan H di masa mendatang dan sekaligus melakukan vealidasi terhadap model persamaan yang didapatkan antara fluks LE, H dan UHI di empat kota JABOTABEK. Maka dilakukan simulasi dan validasi model persamaan dengan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Simulasi dan validasi nilai LE dan H JABOTABEK No. 1
2
3
4
KOTA Jakarta 2005 2015 2025 Bogor 2005 2015 2025 Tangerang 2005 2015 2025 Bekasi 2005 2015 2025
Simulasi* Fluks LE(Wm-2)
Simulasi* Fluks H(Wm-2)
83.0 (82.2-83.5) 73.8 64.6
70.7 (70.3-70.9) 75.1 79.5
95.3 (95.0-95.6) 88.8 82.3
68.9 (68.7-69.0) 73.6 78.3
86.3 (85.7-86.5) 76.4 66.6
69.2(69.0-69.8) 73.9 78.6
87.8 (87.5-88.0) 78.8 69.7
68.7(68.4-68.9) 73.0 77.3
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi Angka dalam kurung ( ) nilai fluks LE dan H hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI 2005 di empat kota( Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Berdasar Tabel 26 terlihat kecenderungan nilai fluks LE makin berkurang sebagai contoh untuk fluks LE Jakarta, 83.0 Wm-2 pada tahun 2005, menjadi 73.8 Wm-2 pada 2015 dan hanya 64.6 Wm-2 pada 2025. Begitupun yang terjadi di tiga kota lainnya, hal ini merupakan indikasi peningkatan UHI menyebabkan penggunaan energi penguapan (LE) makin berkurang, sehingga memperbesar penggunaan energi panas terasa (H), 70.7 Wm-2 pada 2005 menjadi 75.1 Wm-2 di tahun 2015 dan sebesar 79.5 Wm-2 pada tahun 2025. Pengurangan nilai fluks LE dan makin bertambahnya fluks H, merupakan indikator telah terjadi perubahan RTH menjadi RTB, sehingga karakteristik permukaan semula lebih basah menjadi lebih kering.
Kondisi kering
menyebabkan penguapan menjadi berkurang, sehingga energi radiasi netto digunakan lebih besar untuk memanaskan udara (fluks H).
83 Validasi dilakukan dengan membandingkan nilai hasil perhitungan fluks LE dan H berdasarkan data hasil observasi.
Nilai perhitungan berdasarkan
observasi berupa angka dalam kurung mendampingi angka simulasi 2005. Hasil yang didapat cukup baik di mana angka simulasi berada pada kisaran nilai observasi untuk ke empat kota JABOTABEK.
84 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan
Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan terpilih nonlinier untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang serta Bekasi. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih mempunyai pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya.
Setiap pengurangan 50% RTH
menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC. Hasil ini membuktikan akan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Titik kritis pengurangan RTH untuk wilayah JABOTABEK sebesar 28%, bila nilai tersebut terlampaui maka terjadi kenaikan suhu udara dengan laju yang tajam (dua kali lebih besar dibandingkan perubahan awal). Ditemukan pula bahwa setiap penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten. Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan urban pemicu UHI di Bogor. Secara rata-rata pengurangan RTH menjadi faktor dominan penyebab UHI pada keempat kota JABOTABEK, diikuti oleh makin luasnya RTB, kepadatan kendaraan (KKdr) serta kepadatan populasi (Kpop). Ke-empat peubah prediktor tersebut secara bersamaan terbukti mempunyai kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor. Kontribusi ke-empat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan peubah di luar keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut. Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI. Peningkatan UHI 0.2-1.0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam, setelahnya terjadi peningkatan THI makin landai.
Upaya pengurangan UHI hanya
sebesar 0.4oC berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan peningkatan UHI 1.2oC.
Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan
85 membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi bagi peningkatan kenyamanan kota. Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier. Setiap peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan pengurangan penggunaan radiasi netto untuk fluks LE (latent heat flux) sebesar 32.7-33.2 Wm-2 sebaliknya menambah penggunaan radiasi netto untuk fluks H (sensible heat flux) sebesar 15.7-15.8 Wm-2. Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI menyebabkan berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan (LE) sebaliknya meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara (H).
Indikator yang
dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan RTH menjadi RTB adalah nilai rasio Bowen makin besar dan nilai fraksi Alfa makin kecil pertanda makin berkurangnya RTH. Penggunaan data penginderaan jauh untuk menutupi kekurangan kerapatan stasiun cuaca, dinilai mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun cuaca sebagai bahan referensis atau rujukan, yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi atau memvalidasi model-model pendugaan berdasarkan ekstrasi data penginderaan jauh. 5.2.
Saran
Untuk mengurangi peningkatan UHI sudah saatnya melakukan secara bersamaan terhadap ke-empat faktor pemicu UHI. Sehingga upaya menekan UHI tidak hanya menambah luasan RTH, tetapi juga membatasi laju urbanisasi, RTB ke arah horisontal dan jumlah kendaraan. Penambahan luasan RTH melalui mekanisme penerapan UU No. 26 tahun 2007 dengan ancaman pidana dan denda bagi pelanggar ketentuan luasan RTH minimal yang ditetapkan untuk setiap kawasan perkotaan, dan penghargaan bagi pelaksana dinilai akan efektif bila disertai penegakkan hukum yang berwibawa tanpa pilih kasih dan pengawasan pelaksanaan di lapang secara rutin dan kontinu. Pengawasan pelaksanaan UU ini hendaknya melibatkan segenap individu termasuk masyarakat dan LSM yang ada.
Serta dibuka akses pengaduan yang
mempermudah setiap ditemukan pelanggaran di lapangan.
86 Pembatasan laju urbanisasi akan efektif bila dilakukan peningkatan potensi desa menjadi kota kecil atau kawasan budidaya.
Kota kecil atau kawasan
budidaya yang tersedia siap menyerap tenaga kerja dengan fasilitas memadai sehingga tidak semua orang tertarik ke kota. Penataan RTB ke arah vertikal bagi pengembang-pengembang pemukiman di wilayah JABOTABEK sudah harus dilaksanakan sehingga tekanan alih fungsi RTH makin berkurang. Pembatasan RTB ke arah horisontal juga memberikan ruang yang cukup bagi ketersedian RTH baik RTH publik yang diupayakan oleh pemerintah kota/kabupaten, maupun RTH privat pada setiap lahan milik masyarakat dan swasta.
Sehingga setiap individu dapat menyediakan sekitar
30% RTH dari total lahan yang dimiliki. Penyediaan transportasi publik yang nyaman perlu terus diupayakan agar menekan penggunaan kendaraan pribadi. Di samping membuat aturan perpajakan yang memberatkan bagi pemilik kendaraan pribadi dengan kepemilikan kendaraan pribadi bila melampaui jumlah tertentu.
87
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, E.S. 1997. Perkembangan perkotaan dan dampaknya terhadap kualitas udara dan iklim di Jakarta dan sekitarnya. Majalah Lapan No. 68: 38-52. Agrissantika, T., E. Rustiadi dan D.P.T. Baskoro. 2007. Model dinamika spasial ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan JABODETABEK). Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek Berkelanjutan. IPB ICC. Bogor. Allen, et al., 1998. Crop evapotranspiration - guidelines for computing crop water requirements - FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Allen, et al. 2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right Management and Compliance with Multi State Water Compacts. Univ. of Idaho, Kimberly, ID 83341. Asaeda, T. and A.Wake. 1996. Heat storage of pavement and its effect on the lower atmosphere. Atmospheric Environment 30(3): 413-427. Atkinson, B.W. 2003. Numerical modelling of urban heat island intensity. Boundary-Layer Meteorology 109(3): 285-310. Baker, L.A. et al. 2002. Urbanization and warming of Phoenix (Arizona, USA):impacts, feedbacks and mitigation. Urban Ecosystem 6: 193-203. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. Balling, R.C., and S.W. Brazel. 1988. High resolution surface temperature patterns in a complex urban terrain. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 54(9): 1289-1293. Belaid, M.A. 2003. Urban-rural land use change detection and analysis using GIS and technologies. 2nd FIG Regional Conference, Marrakech, Morocco, December 2-5. BenDor, E. and H. Saaroni. 1997. Airborne video thermal radiometry as a tool for monitoring microscale structures of the urban heat island. International Journal of Remote Sensing 18(14): 3039-3053. Brandsma, T., G.P. Können, H.R.A. Wessels. 2003. Emperical estimation of the effect of urban heat advection on the temperature series of The Netherlands. International Journal of Climatology 23(7): 829-845. Ca, V.T., T. Asaeda, and E.M. Abu. 1998. Reductions in air conditioning energy caused by a nearby park. Energy and Buildings 29(1): 83-92.
88 Carolita, I., A.M. Zain, E. Rustiadi dan B.H. Trisasonko. 2002. The Land use pattern changes of JABOTABEK region. Jurnal IRSA. IRSA International Conference 4th. Bali 20-21 Juli 2002. Fusion of Spatiotemporal Remotely Sensed Chemin, Y.H. 2003. Evapotranspiration by Data Assimilation for Irrigation Performance. Asian Institute of Technologies Bangkok, Thailand.
Chow, S.D. 1992. The urban climate of Shanghai. Atmospheric Environment, Part B Urban Atmosphere. 26(1): 9-15. Chung, U., J. Choi, and J.I. Yun, 2004. Urbanization effect on the observed change in mean monthly temperatures between 1951-1980 and 1971-2000 in Korea.Climatic Change 66(1-2): 127-136. Condella, V. 1998. Climate islands. Earth 7(1): 54-56. Dibella, CM., C.M. Rebella and J.M. Paruelo. 2000. Evapotranspiration using NOAA AVHRR imagery in Pampa Region of Argentina. Int. J. Remote Sensing (21) 4: 791-797. Draper, N.R. and H. Smith. 1992. Applied regression analysis (second edition). Alih bahasa. Sumantri, B. PT Gramedia. Jakarta. Emmanuel, R. 2005. Thermal confort implications of urbanization in a warmhumid city: the Colombo Metropolitan Region (CMR), Sri Lanka. Building and Environment (40): 1591-1601. Elsevier, Ltd. Ernawi, I.S. 2007. Implikasi UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 terhadap pembangunan JABODETABEK yang berkelanjutan. Seminar Menuju JABODETABEK Berkelanjutan, Bogor 6 September 2007. EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls, USA, South Dakota. October 31-November 2, 1995. FAO. 1998. Crop evapotranspiration guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Gallo, K.P., A.L. Mcnab, T.R. Karl, J.F. Brown, J.J. Hood, and J.D. Tarpley. 1993. The use of a vegetation index for assessment of the urban heatisland effect. International Journal of Remote Sensing 14(11): 2223-2230. Gallo, K.P, and J.D. Tarpley. 1996. The comparison of vegetation index and surface temperature composites for urban heat island analysis. International Journal of Remote Sensing 17(15): 3071-3076.
89 Gallo, K.P and T.W. Owen. 1999. Satellite-based adjustments for the urban heat island temperature bias. Journal of Applied Meteorology 38(6): 806-813. Gallo, K.P, J.O. Adegoke, T.W. Owen, and C.D. Elvidge. 2002. Satellite-based detection of global urban heat- island temperature influence. Journal of Geophysical Research-Atmospheres 107(D24): 4776pp. Ghosh, S. 1998. Perspectives on the environment new opinion. Int.J.Breute et al. (Eds.) Urban Ecology. Springer, Berlin. 25-30pp. Givoni, B. 1998. Climate considerations in building and urban design. Int. Thomson Publishing, Inc. USA. 464pp. Grimmond, C.S.B., C. Souch, and M.D. Hubble. 1996. Influence of tree cover on summertime surface energy balance fluxes, San Gabriel Valley, Los Angeles. Climate Research 6(1): 45-57. Haan, C.T. 1979. Statistical methods in Hydrology. The Iowa State University Press. Iowa. Hanggono A., K. Bambang, Suhud, A. Rasjid dan S. Murad. 2000. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh di Indoensia pada tahun 2000. Jakarta. Seminar Internasional 11-12 April 2000. Hardegree, L. C. 2006. Spatial Characteristics Of The Remotely-Sensed Surface Urban Heat Island In Baton Rouge, LA: 1988-2003. [A Dissertation] Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. Hawkins, T.W., W.L. Stefanov, W. Bigler, and E.M. Saffell. 2004. The role of rural variability in urban heat island determination for Phoenix, Arizona. Journal of Applied Meteorology 43(3): 476-486. Hidayati , R. 1990. Kajian prilaku iklim Jakarta. Perubahan dan Perbedaan dengan daerah Sekitarnya. [Tesis] Pascasarjana-IPB. Tidak Dipublikasikan. Hinkel, K.M., F.E. Nelson, A.F. Klene, and J.H. Bell. 2003. The urban heat island in winter at Barrow, Alaska. International Journal of Climatology 23(15): 1889-1905. Hogan, A.W. and M.G. Ferrick. 1998. Observations in non-urban heat islands. Journal of Applied Meteorology 37(2): 232-236. Holman, J.P and P.R.S.White. 1992. Heat Trensfer. 7th Ed. in SI unit. McGrawHill Inc. UK. 713pp. Hotteling. 1936. Relation between two sets of variates. Biometrika. 28: 321-377.
90 Irwan, Z.D. 1994. Peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan kota: studi kasus lokasi pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB.Bogor Jarvis, PG. 1981. Stomata conductance, gaseous exchange and transpiration. In J. Grace (eds) Plant and their atmospheric environment. Blackwell Scientific Publications. London. 21stSymposium of the British Ecological Society. 175-200pp. Jauregui, E. 1997. Heat island development in Mexico City. Atmospheric Environment 31(22): 3821-3831. Johnson, G.L., J.M. Davis, T.R. Karl, A.L McNab, K.P. Gallo, J.D. Tarpley, P. Bloomfield. 1994. Estimating urban temperature bias using polarorbiting satellite data. Journal of Applied Meteorology 33(3): 358-369. Kalthoff N, et al. 1999. Analisis of energy balance components as function of orography and land use and comparison of result with the distribution of variables influencing local climate. Theor. Appl. Climatol. 62: 65-84. Karjoto, et al. 1992. Kota sebagai pusat panas (City as an Urban Heat Island). Prosiding Seminar Sehari Iklim Perkotaan. PERHIMPI. Jakarta. Kato, S and Y. Yamaguchi. 2005. Analysis of urban heat island effect using ASTER and ETM+ Data: Separation of anthropogenic heat discharge and natural heat radiation from sensible heat flux. Remote Sensing of Environment 99: 44-54. Karl, T.R., H.F. Diaz and G. Kukla. 1988. Urbanization: Its detection and effect in the United States climate record. Journal of Climate 1: 1099-1123. Khomarudin, M.R. 2005. Pendugaan evapotranspirasi skala regional menggunakan data Satelit penginderaan jauh [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Kim, H.H., 1992: Urban Heat Island. International Journal of Remote Sensing 13(12), 2319- 2336. Koesmaryono, Y., et al. 2000. Home garden as a complex agroecosystem facing global change: study on microclimate at some home garden types in Indonesia. Case at desa Sukatani, Sukaraja, Subdistrict, Bogor. Departemen Geomet-FMIPA-IPB and BIOTROP. Bogor. Kukla, G., J. Gavin and T.R. Karl. 1986. Urban Warming. Journal of Climate and Applied Meteorology 25(9): 1265-1270. Lo, C.P. and D.A. Quattrochi. 2003. Land use and land cover change, urban heat island phenomenon, and health implications: A remote sensing approach. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(9): 1053-1063.
91 Lo, C.P. , and J.C. Luvall. 1997. Application of high-resolution thermal infrared remote sensing and GIS to assess the urban heat island effect. International Journal of Remote Sensing 18(2): 287-304. Magee, N., J. Curtis, and G. Wendler. 1999. The urban heat island effect at Fairbanks, Alaska. Theoretical and Applied Climatology 64(1-2): 39-47. McPherson, G.E. 2000. Urban Forests and Climate Change. Global Climate Change and the Urban Forest. Franklin Press, Inc., Baton Rouge, LA. 5869pp. Mihalakakou, G., M. Santamouris, N. Papanikolaou, C. Cartalis, and A. Tsangrassoulis. 2004. Simulation of the urban heat island phenomenon in Mediterranean climates. Pure and Applied Geophysics 161(2): 429-451. Misawa, A. 1994. Studi-studi dasar struktur tanaman sabuk penyangga tepi jalan bagi preservasi lingkungan kehidupan. Chiba University, Tokyo, Japan. America’s Urban Forests: Growing Concerns. Moll, G. 1997. Forests 103(3): 15-18.
American
Monteith, J.L. and Unsworth M.H. 1990. Principles of environmental physics. 2nd. Edward Arnold. London. Mulyana et al. 2003. Aplikasi iklim terhadap perkembangan urban, metropolitan Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim – LAPAN. Bandung. Murakami A., A.M. Zain, K. Takeuchi, A. Tsunekare dan S. Yakota. 2005. Trends in urbanization and pattern of land use in the Asian mega cities Jakarta, Bangkok, and Metro Manila. Landscape and Urban Planning. 2005(70): 251-259. Elsevier. Nieuwolt, S. 1975. Ttropical climatology, an introduction to the climate low latitude. John Willey & Sons. New York. Nichol, J.E. 1994. A GIS-based approach to microclimate monitoring in Singapore’s high-rise housing estates. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 60(10): 1225-1232. Nichol, J.E. 1996. High Resolution surface temperature patterns related to urban morphology in a tropical city: a satellite-based study. Journal of Applied Meteorology 35(1): 135-146. Nur, M.S. 2004. Neraca Energi dan Air di kawasan Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana-IPB.
92 Nurisjah, S., Setiahadi, A.M. Zain dan Qadarian. 2005. Ruang terbuka hijau wilayah perkotaan. Makalah diskusi Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan. Bappeda Bogor. 8 pp. Ohmura, A. 1982. Objectives criteria for rejecting data for Bowen Ratio flux calculation. J. Apll.Meteorol. 21: 595-598. Oke, T.R. 1973. City size and the urban heat island. Atmospheric Environment 7(8): 769-779. Oke, TR. 1982. The energetic basis of urban heat island. J. of the Royal Meteorol. Society. 108(455): 1-24. Oke, TR. et al. 1991. Simulation of surface urban heat island under ideal condition at night. Part2: Diagnosis of causation. Bound. Layer Meteorol. 56: 339-358. Oke, T.R. 1997. Urban climate and global change, in Applied Climatology: Priciples and Practices, eds A Perry & R Thompson. London, 273-287pp. Oke, T.R., A. Spronken-Smith, E. Jauregui, and C.S.B. Grimmond. 1998. The energy balance of central Mexico City during the dry season. Atmospheric Envirionment 33(24-25): 3919-3930. Owen T.W, T.N. Carlson, and R.R. Gillies. 1998. An assessment of satellite remotelysensed land cover parameters in quantitatively describing the climatic effect of urbanization. International Journal of Remote Sensing 19(9): 1663-1681. Park, H.S. 1986. Features of the heat island in Seoul and its surrounding cities. Atmospheric Environment 20(10): 1859-1866. Philandras, C.M., D.A. Metaxas, and P.T. Nastos. 1999. Climate variability and urbanization in Athens. Theoretical and Applied Climatology 63(1-2): 65-72. Perez, PJ., F. Castellvi, M. Ibanez and J.I. Rosell. 1999. Assessment of reliability of Bowen ratio method for partioning fluxes. Agric. For. Meterol. 97: 141150. Pielke Sr. et al. 2002. The influence of land-use change and landscape dynamics on the climate system: relevante to climate-change policy beyond the radiative efect of greenhaous gases. Phil. Trans. R. Soc. Lond. A(360): 1705-1719. Pongracz, R et al. 2005. Remotely sensed thermal information applied to urban climate analysis. Advances in Space Research. Article in press. Elsivier Ltd.
93 Purnomohadi, S. 1995. Peran ruang terbuka hijau dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB.Bogor. Quattrochi, D.A. 1994. Measurement and analysis of thermal energy responses from discrete urban surfaces using remote sensing data. International Journal of Remote Sensing 15(10): 1991-2022. Quattrochi, D.A. and M.K. Ridd. 1998. Analysis of vegetation within a semi-arid urban environment using high spatial resolution airborne thermal infrared remote sensing data. Atmospheric Environment 32(1): 19-33. Quattrochi, et al. 2000. A Decision support information system for urban landscape management using thermal infrared data. Photogrametric Engineering and Remote Sensing. 66(10): 1195-1207. Risdiyanto, I. 2001. Weather monitoring model based on satellite data. [Thesis] MIT- program. Pascasarjana-IPB. Rosenberg, N.J. 1974. Microclimate: The Biological Environment. John Willey and Sons. New York. Rustiadi, E., D.R. Panulu dan S. Saefulhakim. 2002. Analisis kecenderungan dan dampak sub-urbanisasi di wilayah JABOTABEK. Suatu upaya pengembangan model pengembangan wilayah metropolitan. P4W-Instiut Pertanian Bogor. Bogor. Rustiadi, E. et al. 2007. Analisis spasial permasalahan pembangunan kawasan Jabodetabek. Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek Berkelanjutan. IPB ICC. Bogor. Santosa, I dan Bey, A. 1992. Kenyamanan Kebun Raya Bogor sebagai tempat rekreasi ditinjau dari segi iklim mikro dan kualitas udara. LPPM-IPB dan Dirjen Dikti DepDikBud RI. Bogor. Santosa, I. 1998. Pulau panas (heat island) Wilayah JABOTABEK. Jurusan Geofisika dan Meterologi-FMIPA-IPB. Bogor. Sailor, D.J. and H.L Fan. 2002. Modeling the diurnal variability of effective albedo for cities. Atmospheric Environment 36(4): 713-725. Schlatter, T. and C. Wilson. 1997. Heat islands. Weather wise 49(46). Shafir, H. and P. Alpert. 1990. On the urban orographic rainfall anomaly in Jerusalem-A numerical study. Atmospheric Environment, Part B-Urban Temperature 24(3): 365-375. Seller, PJ. et al. 1997. Modeling the exchange of energy, water and carbon between continents and the atmosphere. Science 275: 502-509.
94 Shoshany, M and N. Goldshleger. 2002. Land-use and population density change in Israel 1950-1990: analysis of regional and local trends. Landuse policy 19: 123-133. Pergamon Press Ltd. Siswadi dan B. Suharjo. 1998. Analisa eksplorasi data peubah ganda. Jurusan Matematika. FMIPA-IPB. 87 halaman. Sitorus, J., E. Rustiadi, dan M. Ardiansyah. 2005. Analisis pola spasial perubahan penggunaan lahan dan suburbanisasi di kawasan JABOTABEK periode 1992-2000. Jurnal LAPAN 2005. 6-20 pp. Skinner, W.R. and J.A. Majorowicz. 1999. Regional climatic warming and associated twentieth century land-cover changes in north-western North America. ClimateResearch 12(1), 39-52. Spronken-Smith, R.A. and T.R. Oke. 1998. The thermal regime of urban parks in two cities with different summer climates. International Journal of Remote Sensing 19(11): 2085-2104. Stallings, J.A. 2004. Characteristics of urban lightning hazards for Atlanta, Georgia. Climatic Change 66(1-2): 137-150. Streutker, D.R. 2003. Satellite-measured growth of urban heat island of Houston, Texas. Elsevier Science 18pp. Stull, R.B. 1995. Meteorology Today for Scientists and Engineers, a Technical Companion Book. West Publishing Company Co. USA. 385 pp. Sutanto. 1999. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Svensson, M.K and I. Eliasson. 2002. Diurnal air temperature in built-up areas in relation to urban planning. Landscape & urban planning. Elsevier 61: 37-54. Tapper, N. 2002. Modifying earth’s heat balance: forcing for climate change on earth,lecture 5 in Monash University. http://www.monash.edu.au/download in April 29th 2002 Tayanc, M. and H. Toros. 1997. Urbanization effects on regional climate change in the case of four large cities of Turkey. Climate Change 6(1): 59-69. Torok, S. J., C.J.G. Morris, C. Skinner, and N. Plummer. 2001. Urban heat island features of southeast Australian towns. Australian Meteorological Magazine50(1): 1-13. Tso, C.P. 1996. A survey of urban heat island studies in two tropical cities. Atmospheric Environment 30(3): 507-519.
95 Unger, J., Z. Sumeghy, A. Gulyas, Z. Bottyan, and L. Mucsi. 2001. Land-use and meteorological aspects of the urban heat island. Meteorological Applications 8(2): 189-194. Landsat 7 science data users handbook USGS. 2003. http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbook/handbook_htmls. [31 Juli 2004]
Viterito, A. 1991. Future warming for United States cities. Population and Environment 13(2): 101-111. von Storch, H dan F.W. Zweirs. 1999. Statistical analysis in climate research. Cambridge Univ. Press. Cambridge. Voogt, J.A. 2002. Urban heat island: causes and consequences of global environmental change. John Wiley and Sons, Ltd. Chichester. 660-666pp. Voogt, J.A and T.R Oke. 2003. Thermal remote sensing of urban climates. Remote Sensing of Environment (86): 370-384 Vukovich, F.M. 1983. An analysis of the ground temperature and reflectivity pattern about St. Louis, Missouri, using HCMM satellite data. Journal of Climate and Applied Meteorology 22(4): 560-571. Weng, Q. 2001. A remote sensing –GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperatue in the Zhujiang Delta. Int. J. Remote sensing, 2001. 22(10): 1999-2014. Weng, Q.H. 2003. Fractal analysis of satellite-detected urban heat island effect. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(5): 555-566. Weng, Q.H., and S.H Yang. 2004. Managing the adverse thermal effects of urban development in a densely populated Chinese city. Journal of Environmental Management 70(2): 145-156. Xinmei H, Lyons TJ, Smith RCG, Hacker JM, and Schwerdtfeger P. 1993. Estimation of surface energy balance from radiant surface temperature and NOAA AVHRR Sensor reflectances over agricultural and native vegetation. J. Appl. Meteorol. (32): 1441-1449. Xu H.Q. and B.Q. Chen. 2004. Remote sensing of the urban heat island and its changes in Xiamen City of SE China. Journal of Environmental SciencesChina 16(2): 276-281. Yamashita, S. and K. Sekine, 1991: Some studies on the earth’s surface conditions relating to the urban heat island. Energy and Buildings 15(1-2), 279-288.
96 Yamashita, S, K. Sekine, M. Shoda, K. Yamashita, and Y. Hara. 1986. On relationships between heat island and sky view factor in the cities of Tama River basin, Japan. Atmospheric Environment 20(4): 681-686. Yang, L.M. 2000. Integration of a numerical model and remotely sensed data to study urban/rural land surface climate processes. Computers and Geosciences 26(4): 451-468. Yani, M dan S. Effendy. 2003. Assessment of carbon emission from industries and transportation, a case study at Depok City, Java. Environmental research center-Bogor Agricultural University and Osaka Gas Foundation of International Cultural Exchange. Yusuf, K., R. Mashudi, dan N. Isnaeni. 2007. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota sebagai salah satu upaya pembangunan kota Bogor yang berkelanjutan. Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek Berkelanjutan. IPB ICC. Bogor. Zain, A.F.M. 2002. Distribution, stucture and function of urban green space in Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK). [Doctoral Degree Program]. Departement of Agricultural and Environmental Biology. The University of Tokyo. Zhao M. and X.M. Zeng. 2002. A theoretical analysis on the local climate change induced by the change of land use. Advances in Atmospheric Sciences 19(1): 45-63. Zhou, L.M., R.E. Dickinson, Y.H. Tian, J.Y. Fang, Q.X. Li, R.K. Kaufmann, C.J. Tucker, R.B. Myeni. 2004. Evidence for a significant urbanization effect on climate in China. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 101(26): 9540-9544.
97
LAMPIRAN
98 Lampiran 1.
Analisis Komponen Utama
Analisis komponen utama atau dikenal sebagai Principal Components Analysis (PCA) sebuah metode statistika yang mengubah peubah-peubah
prediktor menjadi peubah prediktor baru yang lebih sedikit namun mampu menjelaskan total ragam peubah-peubah prediktor semaksimal mungkin, dikenal pertama kali oleh Pearson (1902) dan Hotelling (1935), serta diterapkan pada kajian meteorologi oleh Lorenz (1956). Analisis PCA diaplikasi apabila terdapat korelasi antar peubah prediktor. Dengan menerapkan metode PCA, permasalahan multicorenial (ada korelasi antar peubah prediktor dalam analisis regresi) dapat diatasi. Dilanjutkan dengan rotasi varimax sebuah rotasi yang dilakukan oleh matrix orthogonal untuk melihat
kontribusi dominan
setiap peubah prediktor awal dan peubah baru yang
terbentuk, karenanya analisis ini dinamakan pula sebagai metode Emperical Orthogonal Functin (EOF).
Analisis komponen utama biasanya digunakan untuk: 1) mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda, 2) mengurangi dimensi himpunan peubah asal yang biasanya banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang tidak berkorelasi, dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman data asal, 3) menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi relatif kecil. Lebih lanjut dijelaskan, peubah baru tersebut disebut komponen utama yang mempunyai ciri-ciri: 1) merupakan kombinasi linier terbobot dari peubab-peubah asal, 2) jumlah kuadrat koefisien dalam kombinasi linier tersebut bernilai satu, 3) tidak berkorelasi (orthogonal), dan 4) mempunyai ragam berurutan dari yang terbesar ke yang terkecil.
Jadi
tujuan utama analisis komponen utama adalah menjelaskan sebanyak mungkin ( ≥ 80%) jumlah ragam data asal dengan sesedikit mungkin komponen utama. Menurut Haan (1979) jika peubah asal X yang berukuran p ditransformasi menjadi peubah Z yang berukuran j, yang disebut komponen utama, dalam bentuk notasi matriks dituliskan sebagai:
Z = AX ...................................................................................................(1) dengan A adalah matriks yang melakukan transformasi peubah asal X, maka vektor komponen utama Z dapat ditentukan.
99 Komponen utama pertama adalah kombinasi linier terbobot peubah asal yang menunjukkan keragaman data terbesar, dan ditulis sebagai: z1 = a11 x1 + a12 x2 + ... + a1 p x p
................................................................(2)
atau: z1 = a1 ' x
adalah koefisien pembobot (characteristic vector), yaitu vektor
dengan a1 '
normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama pertama bernilai maksimum. Keragaman komponen utama pertama dirumuskan sebagai: p
p
s z21 = ∑∑ ai1a j1sij ....................................................................................(3) i =1 j =1
atau:
s z21 = a1' Sa1 dengan S adalah matriks kovarians jika bila semua peubah yang dikaji memiliki besaran yang sama. Komponen utama yang kedua merupakan kombinasi linier terbobot peubah asal yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Komponen utama kedua memaksimumkan sisa keragaman data setelah komponen utama pertama, dituliskan sebagai:
z2 = a21 x1 + a22 x2 + ... + a2 p x p ..................................................................(4) atau:
z2 = a2' x dengan a2' adalah pembobot, yang dipilih sedemikian rupa sehingga keragaman komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap koefisien pembobot a1 ' dan keragaman komponen kedua ditulis sebagai: p
p
s z22 = ∑∑ ai 2 a j 2 sij i =1 j =1
.....................................................................................(5)
atau:
s z22 = a2' Sa2 Agar ragam komponen kedua maksimum dan ortogonal terhadap koefisien pembobot a1 ' harus dipilih dengan batasan:
100
a2' a2 = 1 a1' a 2 = 0 ...................................................................................................(6) Sehingga z1 dan z2 tidak berkorelasi. Secara umum komponen utama ke-j dapat dituliskan sebagai:
z j = a j1 x1 + a j 2 x2 + ... + a jp x p ...................................................................(7) atau: z j = a 'j x
Koefisien pembobot a 'j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama ke-j maksimum, serta ortogonal terhadap koefisien pembobot ai' dari komponen utama ke-i. Ragam komponen utama ke-j adalah:
s zj2 = a 'j Sa j ...............................................................................................(8) dengan batasan:
a 'j a j = 1 ai' a j = 0 Untuk i=j dan i,j=1,2,3,4 ...., p. Jika peubah-peubah asal memiliki satuan atau besaran yang berbeda maka digunakan matriks korelasi R. Jika digunakan matriks korelasi maka nilai-nilai peubah asal ditransformasikan menjadi nilai-nilai baku, yakni:
X ij =
( xij − x j )
s xj
.......................................................................................(9)
Koefisien pembobot a 'j dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan berikut: ( S − λ j I )a j = 0 ...................................................................................... (10) dengan λ j adalah akar ciri (characterstic root) atau dikenal sebagai eigen value ke-j. persamaan 10 akan menghasilkan vektor a j ≠ 0
S − λjI = 0 .
jika dipenuhi syarat:
101 Jika persamaan 10 digandakan dengan vektor a j akan menghasilkan: a 'j Sa j = a 'j λ j Ia j
a 'j Sa j = λ j
sZj2 = λ j ..................................................................................................(11)
Dengan demikian ragam komponen utama ke-j adalah akar ciri ke-j matriks peragam S.
Jumlah akar ciri dari persamaan 10 adalah sebanyak p untuk
i=1,2,3,...,p peubah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p . Teras matriks S adalah sama dengan penjumlahan dari akar ciri: p
trS = ∑ λ j ............................................................................................(12) j =1
Jika digunakan matriks korelasi, maka persamaan ciri untuk mencari koefisien pembobot a j berubah menjadi: ( R − λ j I )a j = 0 .....................................................................................(13) Persamaan ini akan menghasilkan a j ≠ 0 jika dipenuhi syarat
R − λjI = 0 .
Jumlah akar ciri yang diperoleh sebanyak p buah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p . Teras matriks R merupakan penjumlahan akar cirinya. Besarnya persamaan komponen utama ke-j diukur dengan besarnya keragaman total yang dapat diterangkan oleh komponen utama ke-j, yakni sebesar:
λj trR
x100%
..........................................................................................(14)
Keragaman peubah asal yang diterangkan masing-masing komponen utama adalah: 2 s XiZj = aij2λ j .............................................................................................(15)
Persentase keragaman peubah ke-i yang diterangkan oleh komponen utama ke-j adalah: 2 s XiZj = aij2λ j x 100% ................................................................................ (16)
102 Nilai tersebut dapat memperlihatkan pengelompokan peubah asal, jika semakin besar nilai yang didapat maka semakin dekat hubungan antara peubah asal dengan komponen utama bersangkutan. Ukuran yang sering dipakai untuk menilai keeratan hubungan antara peubah asal dan komponen utama adalah koefisien korelasi yang dikenal sebagai
factor loading: Lij = Aλ0j.5 ..............................................................................................(17) Jika matriks kovarian atau peragam S yang digunakan, maka factor loadingnya menjadi:
Lij =
Aλ0.5 S xi
.............................................................................................(18)
Karena nilai factor loading sering intermediat sehingga sulit mencari peubab yang dominan maka dilakukan rotasi. Metode rotasi yang umum digunakan adalah rotasi varimax yang ditemukan oleh Kaiser (1958). Adapun tujuan dilakukan rotasi varimax untuk mencapai struktur sederhana yang dilakukan dengan memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan mempunyai korelasi mendekati satu dengan sebuah faktor, dan mendekati nol pada faktor yang lain.
Factor loading yang telah dirotasi didapat dari hubungan:
L* = LT ..................................................................................................(19) untuk L * factor loading yang telah dirotasi, L adalah factor loading yang belum dirotasi dan T adalah matriks orthogonal yang memiliki sifat T’T=I dengan I matriks identitas. Untuk menentukan jumlah komponen utama yang akan dipilih biasanya digunakan persentase keragaman kumulatif atau nilai akar ciri dari komponen utama.
Biasanya dengan pertimbangan bila persentase keragaman kumulatif
mencapai ≥ 80% atau nilai akar ciri komponen utamanya > 1.
103 Lampiran 2. Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan kedua dengan UHI setelah analisis rotasi varimax Untuk Jakarta dengan persamaan sebagai berikut: UHI (oC) = 0.517 + 0.428 W’1 – 0.254 W’2 Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah dari sebesar 78% disumbang oleh: W’1 dan W’2 1. Kepadatan kendaraan sebesar 22% 2. RTH sebesar 20% 3. Luasan RTB sebesar 19% 4. Kepadatan populasi sebesar 17% Untuk Bogor dengan persamaan sebagai berikut: UHI (oC) = 0.394 + 0.241 Z’1 – 0.181 Z’2 Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1 dan Z’2 sebesar 56% disumbang oleh: 1. RTB sebesar 15% 2. RTH sebesar 14% 3. Kendaraan sebesar 14% 4. Populasi sebesar 13% Untuk Tangerang dengan persamaan sebagai berikut: UHI (oC) = 0.332 + 0.177 Z’1 - 0.261 Z’2 Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1 69 % disumbang oleh: dan Z’2 RTH sebesar 1. RTH sebesar 19% 2. RTB sebesar 18% Populasi sebesar 16% 3. 4. Kendaraan sebesar 16% Untuk Bekasi dengan persamaan sebagai berikut: UHI (oC) = 0.437 + 0.373 Z’1 - 0.248 Z’2 Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1dan Z’2 RTH sebesar 81 % disumbang oleh: RTH sebesar 23% 1. 2. RTB sebesar 22% Populasi sebesar 19% 3. 4. Kendaraan sebesar 17%
104 Lampiran 3. Hasil lengkap penentuan hubungan UHI dan THI (a) Regresi linier JAKARTA: Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC) The regression equation is THI-JKT = 22.29 + 2.947 UHI-JKT(oC) S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0% Analysis of Variance Source DF Regression 1 Error 33 Total 34 9
SS 80.8646 11.6618 2.5264
MS 80.8646 0.3534
F 228.83
P 0.000
(b) Regresi nonlinier (KUADRATIK) JAKARTA Polynomial Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC) The regression equation is THI-JKT = 21.17 + 7.195 UHI-JKT(oC) - 2.493 UHI-JKT(oC)**2 S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1% Analysis of Variance Source DF Regression 2 Error 32 Total 34
SS 90.9016 1.6248 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370
MS 45.4508 0.0508
F 895.15
F 228.83 197.68
P 0.000 0.000
P 0.000
(c) Regresi nonlinier (KUBIK) JAKARTA Polynomial Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC) The regression equation is THI-JKT = 20.76 + 9.979 UHI-JKT(oC) - 6.571 UHI-JKT(oC)**2 + 1.584 UHI-JKT(oC)**3 S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9% Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 3 31 34
SS 91.6392 0.8872 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370 Cubic 1 0.7376
MS 30.5464 0.0286
F 1067.34
F 228.83 197.68 25.77
P 0.000 0.000 0.000
P 0.000
105 (d) Regresi linier BOGOR: Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC) The regression equation is THI-BGR = 22.14 + 2.947 UHI-BGR(oC) S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0% Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 33 34
SS 80.8646 11.6618 92.5264
MS 80.8646 0.3534
F 228.83
P 0.000
(e) Regresi nonlinier (KUADRATIK) BOGOR Polynomial Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC) The regression equation is THI-BGR = 21.11 + 7.091 UHI-BGR(oC) - 2.493 UHI-BGR(oC)**2 S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1% Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 32 34
SS 90.9016 1.6248 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370
MS 45.4508 0.0508
F 228.83 197.68
F 895.15
P 0.000
P 0.000 0.000
(f) Regresi nonlinier (KUBIK) BOGOR Polynomial Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC) The regression equation is THI-BGR = 20.75 + 9.706 UHI-BGR(oC) - 6.471 UHI-BGR(oC)**2 + 1.584 UHI-BGR(oC)**3 S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9% Analysis of Variance Source DF Regression 3 Error 31 Total 34
SS 91.6392 0.8872 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370 Cubic 1 0.7376
MS 30.5464 0.0286
F 1067.34
F 228.83 197.68 25.77
P 0.000 0.000 0.000
P 0.000
106 (g) Regresi linier TANGERANG: Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC) The regression equation is THI-TGR = 22.17 + 2.947 UHI-TGR(oC) S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0% Analysis of Variance Source DF Regression 1 Error 33 Total 34
SS 80.8646 11.6618 92.5264
MS 80.8646 0.3534
F 228.83
P 0.000
(h) Regresi nonlinier (KUADRATIK) TANGERANG: Polynomial Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC) The regression equation is THI-TGR = 21.11 + 7.130 UHI-TGR(oC) - 2.493 UHI-TGR(oC)**2 S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1% Analysis of Variance Source DF Regression 2 Error 32 Total 34
SS 90.9016 1.6248 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370
MS 45.4508 0.0508
F 895.15
F 228.83 197.68
P 0.000 0.000
P 0.000
(i)Regresi nonlinier KUBIK) TANGERANG: Polynomial Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC) The regression equation is THI-TGR = 20.73 + 9.809 UHI-TGR(oC) - 6.509 UHI-TGR(oC)**2 + 1.584 UHI-TGR(oC)**3 S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9% Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 3 91.6392 30.5464 Error 31 0.8872 0.0286 Total 34 92.5264 Sequential Analysis of Variance Source DF SS F P Linear 1 80.8646 228.83 0.000 Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000 Cubic 1 0.7376 25.77 0.000
F 1067.34
P 0.000
107 (j) Regresi linier BEKASI Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC) The regression equation is THI-BKS = 22.21 + 2.947 UHI-BKS(oC) S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0% Analysis of Variance Source DF Regression 1 Error 33 Total 34
SS 80.8646 11.6618 92.5264
MS 80.8646 0.3534
F 228.83
P 0.000
(k) Regresi non-linier (KUADRATIK) BEKASI Polynomial Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC) The regression equation is THI-BKS = 21.12 + 7.170 UHI-BKS(oC) - 2.493 UHI-BKS(oC)**2 S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1% Analysis of Variance Source DF Regression 2 Error 32 Total 34
SS 90.9016 1.6248 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370
MS 45.4508 0.0508
F 895.15
F 228.83 197.68 0.000
P 0.000
P 0.000
(l) Regresi nonlinier (KUBIK) BEKASI: Polynomial Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC) The regression equation is THI-BKS = 20.72 + 9.914 UHI-BKS(oC) - 6.547 UHI-BKS(oC)**2 + 1.584 UHI-BKS(oC)**3 S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9% Analysis of Variance Source DF Regression 3 Error 31 Total 34
SS 91.6392 0.8872 92.5264
Sequential Analysis of Variance Source DF SS Linear 1 80.8646 Quadratic 1 10.0370 Cubic 1 0.7376
MS 30.5464 0.0286
F 1067.34
F 228.83 197.68 25.77
P 0.000 0.000 0.000
P 0.000