KETERKAITAN PADANG LAMUN SEBAGAI PEMERANGKAP DAN PENGHASIL BAHAN ORGANIK DENGAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO
IRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011
IRA NRP C551070011
ABSTRACT IRA. Interconnection of Seagrass Beds As a Producer and Organic Matter Trap and their relations with Macrozoobenthos Community Structure in Barrang Lompo Island Waters. Supervised by HARPASIS S SANUSI and NEVIATY P ZAMANI. Seagrass beds is one of ecosystem in coastal waters which is known for its high organic productivity. The productivity derives from litter fall, epiphyte, phytoplankton and suspended particles which trapped among seagrass. Organic material then undergoing a process of decomposition and becomes a source of nutrients. Furthermore, the nutrients will be used by seagrass itself and other aquatic organisms. Macrozoobenthos is a part of the organisms that served as a connector in material cycles and energy flow, from high-level producers to consumers in the waters. The presence of macrozoobenthos in seagrass bed, will enable to support higher fish production in coastal areas. From this starting point, these studies were conducted to analyze the connection between seagrass beds as a producer and organic matter traps and its influenced to macrozoobenthos community structure. The aim of this study is to know the effect of seagrass density toward the total organic material on the bottom substrate, to investigate the effect of seagrass density on the abundance of macrozoobenthos and to determine the influence of total organic material against macrozoobenthos abundance, as well as the rate of deposition of suspended particles (mg/cm2/day). Sampling were taken in the southeast and northeast part of Barrang Lompo Island. Result of the present study, showed that all of 2 stations in Barang Lompo Islands were dominated by 5 species of seagrasses such as Cymodocea serullata, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halodule uninervis, and Thalassia hemprichii. About 70 genera of macrozoobenthos have been found in all observed stations comprised of 53 families, 7 classes, and 4 phyla. Macrozoobenthos diversity index relatively higher in seagrass beds compared to bare area. However, homogenity index in seagrass beds as well as bare area was high and was relatively homogen. Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata and Syringodium isoetifolium are the main species in this area with high densitiy. Results of Principal Component Analysis (PCA) showed that seagrass with higher density were able to trap amount of total organic material in the substrate. Macrozoobenthos density were directly proportional with seagrass density and total organic material. Gastropods are commonly found in seagrass bed with higher density and higher total organic material. In contrast with the results mention above, bivalve are more common in bare area. Coastal waters with higher clay sediment concentration may able to trap higher suspended particles than those within sandy and silty sediment. Keywords: interconnection, seagrass bed, producer, organic matter trap, community structure, macrozoobentos, Barrang Lompo Island.
RINGKASAN PENELITIAN IRA. Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo. Di bimbing oleh HARPASIS S SANUSI dan NEVIATY P ZAMANI. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan pesisir yang memiliki produktivitas organik yang tinggi. Produktivitas tersebut berasal dari serasah yang telah membusuk, ditambah epifik dan fitoplankton yang ada di lamun serta partikel tersuspensi yang terperangkap di lamun. Bahan organik mengalami proses dekomposisi menjadi sumber nutrien yang akan digunakan kembali oleh lamun dan beberapa organisme yang ada di lamun. Makrozoobentos merupakan kumpulan organisme yang hidup di dasar perairan yang dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Keberadaan makrozoobentos dapat memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produksi perikanan di wilayah pesisir. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan lamun sebagai penghasil dan pemerangkap bahan organik dengan struktur komunitas makrozoobentos. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kerapatan lamun terhadap total bahan organik di substrat, menganalisis pengaruh kerapatan lamun terhadap kelimpahan makrozoobentos, menganalisis pengaruh total bahan organik terhadap kelimpahan makrozoobentos, serta mengukur laju pemerangkap partikel tersuspensi (mg/cm2/hari). Lokasi penelitian di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar dengan penempatan stasiun berdasarkan keberadaan lamun, dimana pada waktu surut air laut terendah, lamun masih terendam minimal 50 cm. Berdasarkan hasil observasi lapangan diperoleh 2 stasiun yaitu sebelah Tenggara dan Timur Laut. Pengambilan sampel waktu surut di masing-masing stasiun. Parameter yang diukur meliputi kondisi fisik lingkungan dan pengambilan beberapa sampel. Parameter lingkungan yang diukur yaitu pasang surut, kecepatan dan arah arus, serta kedalaman perairan. Parameter kolom air yang diukur meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat, dan pH. Parameter substrat yang diukur meliputi pH, C-Organik, BOT, nitrat, ortofosfat, dan tekstur sedimen. Pengambilan sampel untuk partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sedimen trap dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Parameter yang diukur meliputi berat sedimen, kandungan nitrat dan ortofosfat. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 5 jenis lamun yaitu Cymodocea serullata, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii. Lamun di lokasi penelitian termasuk komunitas campuran. Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii merupakan jenis yang sering ditemukan. Sementara Halodule uninervis memiliki frekuensi kemunculan yang rendah. Halophila minor hanya ditemukan di stasiun Timur Laut. Persen penutupan tertinggi di stasiun Tenggara adalah Thalassia hemprichii berkisar 1-75% dan persen penutupan terendah adalah Halodule uninervis yang berkisar 1%. Persen penutupan tertinggi di stasiun Timur Laut
v
adalah Cymodocea serullata yang berkisar 11-69%, disusul Syringodium isoetifolium berkisar 2-60%, dan Thalassia hemprichii berkisar 4-17%. Sementara persentase penutupan terendah adalah Halodule uninervis sebesar 0,3%. Laju pemerangkap partikel tersuspensi tertinggi terdapat di stasiun Tenggara dibandingkan dengan Timur Laut, yaitu berkisar 2,37-4,57 mg/cm2/hari (daerah lamun) dan berkisar 2,28-2,32 mg/cm2/hari (daerah tanpa lamun). Sementara di Timur Laut hanya berkisar 1,87-2,32 mg/cm2/hari (daerah lamun) dan 2,13-2,21 mg/cm2/hari (daerah tanpa lamun). Nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di daerah lamun dan daerah tidak ada lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan baik di stasiun Tenggara maupun Timur Laut. Namun, ada perbedaan yang signifikan yang terdapat pada nitrat dan ortofosfat yang terperangkap dalam sediment trap dengan yang mengendap di substrat serta di kolom air. Nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di sediment trap lebih tinggi yaitu berkisar 0,3-0,7 mg/kg (nitrat) dan 12,4-17,4 mg/kg (ortofosfat) dibandingkan dengan yang mengendap di substrat yang hanya berkisar 0,03-0,16 mg/kg (nitrat) dan 6,0-13,5 mg/kg (ortofosfat). Sementara nitrat dan ortofosfat yang ada di kolom air berkisar 0,03-0,32 mg/kg dan 0,26-1,11 mg/kg. Hasil identifikasi jenis makrozoobentos yang ditemukan sekitar 70 genera yang terdiri atas 53 famili, 7 kelas, dan 4 filum. Dari ke-70 genera tersebut, 46 genera berasal dari kelas Gastropoda, 2 genera dari kelas Skaphopoda, 16 genera dari kelas Bivalvia, 1 genera dari kelas Polikhaeta, 2 genera dari kelas Asteroidea, 2 genera dari kelas Ekhinoidea serta 1 genera dari kelas Malakostraka. Daerah lamun lebih banyak ditemukan kelas makrozoobentos dibanding daerah tanpa lamun. Daerah lamun ditemukan sekitar 7 kelas makrozoobentos yakni Gastropoda, Skaphopoda, Bivalvia, Polikhaeta, Asteroidea, Ekhinoidea, dan Krustasea. Sementara di daerah tanpa lamun hanya sekitar 3 kelas yakni Gastropoda, Bivalvia dan Ekhinoidea. Indeks keanekaragaman di daerah lamun lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies di daerah lamun lebih banyak yakni sekitar 111 spesies, sementara di daerah tanpa lamun hanya 31 spesies. Indeks keseragaman makrozoobentos di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Indeks keseragamannya menunjukkan kemerataan jumlah individu untuk setiap jenis yang ditemukan. Indeks dominansi makrozoobentos baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Nilai indeks dominansinya menunjukkan tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Perhitungan indeks penyebaran makrozoobentos menunjukkan pola penyebarannya yang merata/seragam. Berdasarkan analisis komponen utama diperoleh bahwa kerapatan lamun mempunyai korelasi positif yang kuat dengan total bahan organik sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun yang tinggi dapat mempengaruhi tingginya total bahan organik di substrat dan sebaliknya. Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata umumnya memiliki kerapatan yang tinggi. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah adalah Halodule uninervis. Variabel kerapatan lamun memiliki korelasi positif yang kuat dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,72. Ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos di substrat. Semakin tinggi
vi
kerapatan maka semakin melimpah makrozoobentos di substrat. Kerapatan lamun yang tinggi dapat mengakibatkan daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak sehingga terjadi sedimentasi bahan-bahan organik dan mencegah resuspensi. Selain itu, dapat dimanfaatkan sebagai habitat dan naungan makrozobentos, sehingga makrozoobentos dapat terlindungi dari pemangsaan, sinar matahari, dan kekurangan air. Variabel total bahan organik mempunyai korelasi yang kuat positif dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,84. Semakin tinggi bahan organik, semakin melimpah makrozoobentos. Bahan organik yang tinggi umumnya ditemukan di daerah lamun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi. Dengan demikian, tingginya kerapatan lamun dan bahan organik dapat mempengaruhi tingginya kelimpahan makrozoobentos di substrat. Jadi ada keterkaitan positif yang erat antara kerapatan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos. Kata kunci: Keterkaitan, padang lamun, penghasil, pemerangkap partikel tersuspensi, struktur komunitas, makrozoobentos, Pulau Barrang Lompo.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KETERKAITAN PADANG LAMUN SEBAGAI PEMERANGKAP DAN PENGHASIL BAHAN ORGANIK DENGAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO
IRA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Kelautan Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ix
Dosen Penguji dari Luar Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Dedi Soedarma, DEA
Judul Tesis Nama NRP
: Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo : Ira : C551070011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Harpasis S Sanusi, M.Sc Ketua
Dr.Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mayor Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian: 10 Juni 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan hidayah-Nya kepada hamba-Nya, sehingga diberikan kemampuan, kekuatan dan kesehatan yang baik untuk menyelesaikan tesis yang berjudul "Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo". Salam dan shalawat tak lupa pula penulis kirimkan kepada junjungan besar Nabiyyullah Muhammad SAW, yang merupakan teladan bagi seluruh umat manusia. Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tugas akhir ini, terdapat berbagai kendala yang dihadapi, namun semuanya dapat dijalani dengan bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc atas bantuan serta bimbingannya selama penelitian dan penyusunan tesis. Kepada Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama pelaksanaan penelitian, Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama penulis menempuh perkuliahan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada teman-teman Ilmu Kelautan 2007 yang selalu memberi inspirasi dan motivasi untuk segera meninggalkan dunia kampus, senang menjadi bagian dari kalian. Kepada adik-adik MSDC UNHAS atas bantuannya selama di lapangan dan rekan-rekan di Pondok Rizki untuk semangat yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda serta Ibunda atas perhatian, kasih sayang, bimbingan dan kesabarannya selama ini, dan tak lupa untuk seluruh keluarga. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
IRA
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 2 April 1982 dari ayah Drs. Bachari Rachman dan ibu Lena. Penulis merupakan putri ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis banyak menghabiskan masa kecil dan remaja di kota BauBau, Sulawesi Tenggara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Bau-Bau dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur SPMB. Penulis memilih Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dan lulus tahun 2005. Selama menempuh jenjang S1, penulis sempat menjadi asisten mata kuliah Dinamika Populasi. Tahun 2006 penulis diterima sebagai staf pengajar jurusan Perikanan di Universitas Haluoleo Kendari sampai sekarang. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan terdaftar sebagai mahasiswa program studi Ilmu Kelautan Jurusan Biologi Laut. Beasiswa pendidikan S2 diperoleh dari beasiswa BPPS Dikti. Sebagian biaya penulisan tesis diperoleh dari bantuan COREMAP.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….
Xv
1 PENDAHULUAN…………………………………………..................
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………….
2
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
3
1.4 Kegunaan Penelitian………………………………………………
3
1.5 Kerangka Pemikiran………………………………………………
4
2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….
5
2.1 Lamun………………………………………………………….....
5
2.1.1 Penyebaran Lamun………………………………………...
7
2.1.2 Fungsi dan Peran Lamun………………………………….
9
2.1.2.1 Produktivitas Primer………………………………
9
2.1.2.2 Mengurangi Gerakan Air…………………………
11
2.1.2.3 Habitat Organisme………………………………...
12
2.2 Makrozoobentos………………………………………………….
13
2.3 Faktor Lingkungan……………………………………………….
15
2.3.1 Suhu……………………………………………………….
15
2.3.2 Salinitas…………………………………………………...
16
2.3.3 Oksigen Terlarut…………………………………………...
16
2.3.4 pH………………………………………………………….
16
2.3.5 Nitrat……………………………………………………….
17
xiv
2.3.6 Ortofosfat………………………………………………….
17
2.3.7 Total Bahan Organik………………………………………
17
2.3.8 Padatan Tersuspensi ………………………………............
19
2.3.9 Tekstur Sedimen…………………………………………..
19
2.3.10 Pasang Surut………………………………………………
20
2.3.11 Kecepatan Arus…………………………………………...
20
2.3.12 Kedalaman Perairan……………………………………...
21
3 METODE PENELITIAN……………………………………………..
22
3.1 Waktu dan Tempat……………………………………………….
22
3.2 Alat, Bahan dan Metode Analisis…………………………….......
23
3.3 Pengambilan Data………………………………………………..
24
3.3.1 Observasi Lapangan dan Penentuan Stasiun………………
24
3.3.2 Sampel Air, Sedimen, dan Makrozoobentos………………
24
3.4 Analisis Data……………………………………………………..
25
3.4.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun……………………….
25
3.4.2 Kerapatan Jenis Lamun……………………………………
25
3.4.3 Persen Penutupan Lamun………………………………….
25
3.4.4 Persentase Komposisi Jenis Makrozoobentos……………..
26
3.4.5 Kelimpahan Makrozoobentos…………………………......
27
3.4.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos……..........
27
3.4.7 Keseragaman Jenis Makrozoobentos……………………...
27
3.4.8 Dominansi Jenis Makrozoobentos……………...................
28
3.4.9 Pola Sebaran Makrozoobentos…………………………….
28
3.5 Analisis Statistik……………………………………………….....
29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………….
30
4.1 Gambaran Umum Lokasi………………………………………...
30
xv
4.2 Faktor Lingkungan……………………………………………….
31
4.2.1 Fisika dan Kimia Kolom Air………………………………
32
4.2.2 Fisika dan Kimia Substrat…………………………………
34
4.3 Lamun…………………………………………………………....
36
4.3.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun………………………..
36
4.3.2 Kerapatan Jenis Lamun…………………………………….
37
4.3.3 Persentase Penutupan Lamun………………………………
39
4.4 Laju Pemerangkap Partikel Tersuspensi………………………….
40
4.5 Struktur Komunitas Makrozoobentos…………………………….
41
4.5.1 Persentase Komposisi dan Kelimpahan
41
Makrozoobentos…................................................................ 4.5.2 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi dan Pola Sebaran……………………………………………….
45
4.6 Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Lamun dan Makrozoobentos………………………………………………….
46
5 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….
52
5.1 Kesimpulan…………………………………………………….....
52
5.2 Saran……………………………………………………………...
52
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
53
LAMPIRAN……………………………………………………………...
58
DAFTAR TABEL Halaman 1 Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan…………………...
23
2 Klasifikasi penutupan lamun…………………………………………
26
3 Kategori persen penutupan total……………………………………...
26
4 Kategori indeks dispersi……………………………………………...
29
5 Parameter fisika-kimia kolom air di lokasi penelitian………………..
32
6 Parameter kimia substrat di lokasi penelitian………………………....
34
7 Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian……………….
36
8 Kerapatan jenis lamun (tegakan/m2) di lokasi penelitian……………..
38
9 Persen penutupan lamun (%) untuk seluruh jenis di lokasi
39
penelitian................................................................................................ 10 Partikel tersuspensi yang terperangkap pada sediment trap
40
di lokasi penelitian.................................................................................. 11 Kelimpahan berdasarkan kelas makrozoobentos (ind/m2)
44
di lokasi penelitian………………………………………………….. 12 Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominasi (C) dan pola sebaran (Id) di lokasi penelitan…………….
45
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka alur pemikiran…………………………………………….
4
2
Morfologi lamun……………………………………………………..
6
3
Distribusi lamun di dunia…………………………………………….
8
4
Rantai makanan dalam ekosistem lamun……………………………
10
5
Skema hubungan trofik dalam sistem padang lamun
14
di Teluk Westernport, Australia……………………………………. 6
Lokasi penelitian dan titik sampling pada stasiun Tenggara
22
dan Timur Laut di Pulau Barrang Lompo…………………………... 7
Persentase komposisi jenis lamun di lokasi penelitian………………
37
8
Persentase komposisi kelas makrozoobentos………………………..
42
9
Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen……………………………………….
48
10
Sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1xF2)………………
48
11
(a) Hubungan kerapatan lamun dan total bahan organik…………...
50
(b) Hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobentos… (c) Hubungan total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Desain perangkap partikel tersuspensi yang digunakan selama penelitian……………………………………………………………….
58
2 Data pengukuran parameter fisika-kimia air di lokasi penelitian……
59
3 Data pengukuran parameter kimia substrat di lokasi penelitian……….
60
4 Data pengukuran partikel tersuspensi di lokasi penelitian……………..
61
5 Data struktur komunitas lamun…………………………………….......
62
6 Arah dan kecepatan arus Pulau Barrang Lompo
63
bulan Februari, Maret, dan April 2010……………………………….. 7 Data komposisi makrozoobentos………………………………………
64
8 Data kelimpahan makrozoobentos……………………………………..
65
9 Data klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian………………….
72
10 Grafik pasang surut perairan Pulau Barrang Lompo
75
bulan Februari, Maret dan April 2010………………………………... 11 Hasil Analisis Komponen Utama……………………………………..
76
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan pesisir yang memiliki produktivitas tertinggi setelah terumbu karang. Produktivitas primer lamun dapat mencapai 2,7 g C/m2/hari, sementara terumbu karang hanya mencapai 0,8 g C/m2/hari (Hemminga dan Duarte 2000). Tingginya produktivitas lamun tak lepas dari peranannya sebagai habitat dan naungan berbagai biota, akar dan rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat menstabilkan dan mengikat sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak sehingga terjadi sedimentasi dari bahan-bahan organik dan mencegah resuspensi zat-zat organik dan inorganik. Selain itu, daunnya mendukung sejumlah besar epifik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lamun dapat berperan sebagai penyumbang bahan oganik dan pelindung garis pantai terhadap erosi di pesisir. Bahan organik merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Makrozoobentos merupakan kumpulan organisme yang sebagian atau seluruh hidupnya di dasar perairan yang dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Sebagaimana pernyataan Hutchings (1998) bahwa hewan bentik (Polikhaeta) dapat mendaur ulang, bioturbasi sedimen dan pemakan bahan organik. Proses dekomposisi merupakan hal yang penting di lamun. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang langsung dapat dikonsumsi oleh organisme bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air merupakan makanan pemakan penyaring. Pada gilirannya, hewan-hewan
tersebut akan
menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri atas berbagai jenis ikan dan invertebrata.
Oleh
karena
itu,
dapat
dikatakan
bahwa
keberadaan
makrozoobentos di lamun dapat memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produktivitas perikanan di wilayah pesisir.
2
1.2 Perumusan Masalah Lamun merupakan tumbuhan air yang memiliki sistem perakaran dan rhizoma yang intensif. Sistem rhizoma membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat mengurangi gerakan air serta mengendapkan partikel tersuspensi ke dasar perairan. Hasil eksperimen Hendriks et al. (2008) menunjukkan bahwa sekitar 27% momentum partikel tersuspensi hilang atau turun ke dasar perairan ketika bergesekan dengan daun lamun. Partikel yang mengendap ke dasar tersebut mengandung bahan organik. Selain itu, lamun dapat pula menghasilkan bahan organik melalui daun lamun yang telah membusuk serta melalui organisme yang hidup di lamun seperti epifik dan fitoplankton. Bahan organik yang ada di lamun merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien. Nutrien sangat dibutuhkan oleh organisme yang hidup di lamun termasuk makrozoobentos. Selain itu, nutrien sangat dibutuhkan pula oleh lamun itu sendiri. Bahan organik di lamun mengalami dekomposisi menjadi unsur yang lebih kecil, kemudian diuraikan kembali oleh mikroorganisme menjadi unsur yang lebih sederhana. Makrozoobentos dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Dengan demikian, makrozoobentos dan lamun secara bersama-sama dapat berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan di wilayah pesisir. Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu pulau dari Kepulauan Spermonde yang terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan yang memiliki padang lamun yang cukup luas. Hamparan padang lamunnya sekitar 44.974 Ha (Citra Satelit Landsat 2009). Kondisi lamun tersebut masih cukup baik. Namun, seiring dengan tingginya aktivitas di perairan dapat menimbulkan tekanan terhadap lamun. Rusak atau hilangnya lamun dapat mengakibatkan menurunnya atau hilangnya fungsi-fungsi ekologi yang mengarah ke penurunan biodiversitas biota laut, khususnya di perairan pantai serta penurunan produktivitas perikanan. Oleh karena itu, penelitian mengenai keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap dan penghasil bahan organik dengan struktur komunitas makrozoobentos perlu dilakukan.
3
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian sebagai berikut: 1
Menganalisis pengaruh kerapatan dan jenis lamun terhadap total bahan organik di substrat.
2 Menganalisis pengaruh kerapatan dan jenis lamun terhadap kelimpahan makrozoobentos. 3 Menganalisis pengaruh total bahan organik di substrat terhadap kelimpahan makrozoobentos. 4 Mengukur laju pemerangkap partikel tersuspensi (mg/cm2/hari). 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas atas informasi tentang peran padang lamun dalam memerangkap dan menghasilkan bahan organik, mengetahui hubungan lamun dengan struktur komunitas makrozoobentos serta memberikan manfaat dalam penggambilan kebijakan untuk pengelolaan Pulau Barrang Lompo dan usaha perikanan. 1.5 Kerangka Pemikiran Lamun merupakan tumbuhan air yang memiliki daun, rhizoma dan akar. Sistem rhizoma membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat membuat perairan menjadi tenang. Kondisi perairan yang tenang mengakibatkan banyak partikel tersuspensi di kolom air turun ke dasar. Partikel tersuspensi tersebut mengandung bahan organik. Selain itu, lamun dapat pula menghasilkan bahan organik melalui daun lamun yang telah membusuk. Bahan organik merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien yang sangat dibutuhkan oleh lamun dan organisme yang berasosiasi dengan lamun termasuk makrozoobentos. Makrozoobentos dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Dengan demikian, makrozoobentos dan lamun secara bersama-sama dapat berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan di wilayah pesisir. Secara skematik kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Lamun Habitat
Organisme yang Berasosiasi
Daun
Perairan Tenang
Serasah
Partikel Tersuspensi Turun Ke Dasar Partikel Tersuspensi
Rhizoma & Akar
Mengikat & Mengendapkan
Bahan Organik Makrozoobentos
Sumber Nutrien Meningkatkan Biodiversity
Meningkatkan Produktivitas Perikanan
Gambar 1 Kerangka alur pemikiran
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Lamun atau disebut juga ilalang laut merupakan tumbuhan yang unik, karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi sepenuhnya hidup di dalam perairan dengan salinitas yang tinggi. Lamun digolongkan dalam tumbuhan tingkat tinggi karena memiliki akar, batang (rhizoma), daun dan bunga sejati. Beberapa ahli mendefenisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga yang hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. Klasifikasi lamun dapat dilakukan berdasarkan karakter tumbuhan. Di daerah tropis genera lamun memiliki morfologi yang berbeda, sehingga dapat dijadikan pembeda antar spesies dengan berdasar pada gambaran morfologi dan anatominya. Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den hartog (1970) sebagai berikut : Divisi Kelas Famili Subfamili Genus Subfamili Genus Subfamili Genus Famili Subfamili Genus
: : : : : : : : :
Anthophyta Angiospermae Potamogetonacea Zosteroideae Zostera, Phyllospadix, Heterozostera Posidonioideae Posidonia Cymodoceoideae Halodule, Cymodoceae, Syringodium, Amphibolis, Thalassodendron : Hydrocharitacea : Hydrocharitaceae : Enhalus, Halophila, Thalassia
Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dimana hampir semua genera mempunyai rhizoma yang berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) serta berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang, kecuali genus Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong. Gambaran morfologi lamun dapat dilihat Gambar 2. Keanekaragaman bentuk organ sistem
6
vegetatif ini dapat digunakan untuk membedakan antar spesies. Selain itu, perbedaan morfologi dan anatomi akar dapat juga digunakan untuk taksonomi. Akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Lamun Halophila ovalis dapat mengeluarkan oksigen melalui akarnya, sedangkan Thallassia testudinum terlihat lebih baik di kondisi anoksik. Menurut Larkum et al. (1989) bahwa transpor oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksik di sedimen (Enriquez et al. 2001). Pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan bentuk adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi. Dengan demikian, pelepasan oksigen oleh akar secara tidak langsung dapat mempercepat dekomposisi bahan organik yang terendap dan membantu perkembangan organisme bentik (Herkul dan Kotta 2009).
Gambar 2 Morfologi lamun (Sumber: Hemminga dan Duarte 2000).
7
Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta berbuku-buku. Di buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Buku tersebut pula, tumbuh akar. Akar dan rhizoma berfungsi untuk menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut, sehingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Struktur rhizoma dan batang memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup di habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Namun, genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Selain itu, lamun dilengkapi pula dengan ligula. Ligula berfungsi sebagai penyokong dan untuk melindungi daun muda yang baru tumbuh, sehingga tidak mudah kemasukkan air. Anatomi yang khas pula dari daun lamun yaitu ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon, sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut untuk dapat langsung disalurkan kepada sel-sel fotosintesis tanpa harus melalui sistem perakaran. 2.1.1 Penyebaran Lamun Umumnya lamun tumbuh di perairan dangkal yang tersusun oleh lumpur, pasir, pecahan karang mati, campuran dari dua atau ketiganya, bahkan ada yang tumbuh di atas batu massive. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang lebih besar hingga menyerupai padang (seagrass bed) dalam dimensi yang cukup luas. Lamun mempunyai sebaran yang cukup luas mulai dari benua Artik sampai ke benua Afrika dan Selandia Baru. Menurut Kuo dan McComb (1989) bahwa di seluruh dunia ada 58 jenis lamun dengan konsentrasi utama didapatkan di wilayah Indo-Pasifik. Lamun tersebut terdiri atas empat famili yaitu Zosteraceae (17 jenis), Posidonaceae (9 jenis), Cymodoceae (17 jenis),
8
Hydrocharitaceae (15 jenis). Gambaran distribusi lamun di dunia dapat dilihat Gambar 3.
Gambar 3 Distribusi lamun di dunia (Sumber: Hemminga dan Duarte 2000). Di Indonesia dijumpai dua famili, yaitu Potamogetonaceae (6 jenis) dan Hydrocharitaceae (6 jenis) (Kiswara 1997). Adapun jenis-jenis lamun yang ditemukan di Indonesia, yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalasodendron ciliatum. Ada pula jenis lamun yang penyebarannya sangat terbatas yaitu jenis Thallassodendron ciliatum yang hanya terdapat di Indonesia Timur dan Sumatera (Riau), dan jenis Halophila spinulosa hanya terdapat di Kepulauan Riau, Anyer, Baloran Utara dan Irian, serta jenis Halophila decipens hanya terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Sumbawa dan Kepulauan Aru (Den hartog 1970). Dua jenis lamun yang diduga ada di Indonesia, namun belum dilaporkan, yaitu Halophila beccarii dan Ruppia maritime (Kiswara 1997). Pulau Barrang Lompo memiliki padang lamun yang cukup luas dan berada di bagian Barat, Selatan/Tenggara, dan Utara Pulau (Citra Satelit Landsat 2009). Lamun tersebut meliputi 2 famili yakni Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae, dimana terbagi lagi atas 5 genera dan 8 jenis. Persentase penutupan lamun berturut-turut didominasi oleh Thalassia hemprchii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan Halophila ovalis, sedangkan untuk kerapatan yang tertinggi pada Thalassia, menyusul Halodule, Enhalus dan Halophila (Pemkot Makassar 2004).
9
2.1.2 Fungsi dan Peran Lamun Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif, karena dapat berperan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal. Menurut beberapa hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 2.1.2.1 Produktivitas Primer Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi di ekosistem pesisir. Produktivitas primer lamun dapat mencapai 2,7 g C/m2/hari (Hemminga dan Duarte 2000). Di Pulau Barrang Lompo, produktivitas total lamun Enhalus acoroides mencapai 12,083 g/m2/hari dan Thalassia hemprichii sekitar 16,391 g/m2/hari (Supriadi 2002). Tingginya produktivitas lamun berkaitan erat dengan tingginya laju produktivitas organisme yang berasosiasi dengan padang lamun. Di lamun, terdapat sejumlah hewan herbivora atau detrivora. Hal ini didukung oleh pernyataan Supriharyono (2000) bahwa produktivitas primer pada ekosistem padang lamun, selain bersumber dari tumbuhan lamun itu sendiri juga berasal dari alga dan fitoplankton yang menempel di daun lamun (epifit) atau di sekitar perairan tersebut. Organisme yang berasosiasi dengan lamun memberikan kontribusi yang berbeda-beda. Menurut Asmus dan Asmus (1985) bahwa produktivitas primer kotor lamun sekitar 473 g C/m2/tahun terdiri atas 1,79% berasal dari epifit dan 19% mikrofitobentos. Gacia et al. (2003), partikel tersuspensi yang terendap di lamun rata-rata <200 g/m2/hari dan mengandung bahan organik sekitar <18%. Danovaro et al. (2002), sedimen di lamun mengandung bahan organik, konsentrasi kloropigmen dan biomassa bakteri yang tinggi. Lamun dapat memproduksi sekitar 65-85 % bahan organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan ke perairan sebanyak 10-20% (Fachruddin 2002). Di lamun, konsumen umumnya Polikhaeta dan Moluska (kerang-kerangan), yang bertindak sebagai herbivora dan Dekapoda (kepiting) yang bertindak sebagai karnivora. Keberadaan organisme tersebut memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produksi perikanan
10
di wilayah pesisir. Dengan demikian, lamun merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis biota laut khususnya nekton, dan merupakan stok bagi daerah fishing ground. Untuk melihat rantai makanan dalam padang lamun dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Sumber: Fortes 1989). Mekanisme lamun dalam mempertahankan produktivitasnya yang tinggi di perairan oligotrofik dimulai dengan peningkatan pengendapan dan retensi sedimen, diikuti dengan peningkatan mineralisasi, setelah itu barulah dimulai penyerapan nutrisi oleh lamun (Evrald et al. 2005). Oleh karena itu, peningkatan kepadatan kanopi lamun sangat penting guna meningkatkan kemampuan lamun memerangkap partikel tersuspensi (seston) dan memyiapkan penyimpanan biomassa yang akan digunakan (Baron et al. 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh Hendriks et al. (2008) yang mengatakan bahwa sekitar 27% momentum partikel tersuspensi hilang atau turun ke dasar ketika bertubrukkan dengan lamun. Menurut Agawin dan Duarte (2002) bahwa dari sekitar 70% partikel tersuspensi yang terperangkap di lamun, sekitar 5% secara fisik menempel pada permukaan daun. Partikel tersebut juga berasal dari pencernaan protozoa (ciliata dan amuba) yang tinggal di permukaan daun.
11
2.1.2.2 Mengurangi Gerakan Air Lamun dapat pula berperan untuk mengurangi gerakan air, sehingga di bagian bawah air menjadi tenang. Kemampuan lamun dalam mengurangi gerakan air tergantung pada kepadatan dan ketinggiannya. Sebagaimana pendapat Komatsu et al. (2004) bahwa Enhalus acoroides lebih besar berperan dalam mengurangi gerakan air dibandingkan dengan Thallasia hemprichii. Pendapat tersebut diperkuat oleh Folkard (2005) bahwa bentuk lamun dapat mengurangi gerakan air. Penelitian untuk melihat pengaruh kerapatan lamun dalam mengurangi gerakan arus telah banyak dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan lamun buatan (artifisial). Jika dibandingkan antara lamun alami dan artifisial, maka padang lamun
artifisial mempunyai persamaan dengan padang lamun alami
dalam proses sedimentasi, dimana keduanya dapat meredam gerakan air dan menjebak bahan-bahan yang tersuspensi dalam massa air, sehingga dapat mengendapkan bahan tersuspensi tersebut, dan lama-kelamaan pengendapan bahan tersuspensi ini dapat menimbulkan akumulasi sedimen yang berukuran halus pada areal padang lamun. Perbedaan antara padang lamun alami dan padang lamun artifisial dalam proses sedimentasi adalah terletak pada adanya kemampuan padang lamun alami mengakumulasi material-material yang terendapkan menjadi substrat sekaligus menstabilkannya, sebab padang lamun alami mempunyai struktur perakaran yang berkembang dan saling menyilang. Di Pulau Barrang Lompo, penelitian tentang peran lamun artifisial dalam memerangkap partikel tersuspensi pernah dilakukan. Ternyata kepadatan daun lamun artifisial berpengaruh terhadap kemampuannya memerangkap sedimen, semakin tinggi kepadatan daun lamun artifisial semakin banyak sedimen yang terperangkap (Ukkas et al. 2000). Padang lamun artifisial sekalipun mampu mengakumulasi material-material yang mengendap, tetapi tidak mampu menstabilkannya, karena lamun artifisial tidak mempunyai sistem perakaran, sehingga diduga bahwa akumulasi sedimen pada dasar perairan di padang lamun artifisial lebih kecil, sebab bahan-bahan yang telah mengendap di padang lamun artifisial dapat terangkut lagi oleh gerakan air. Jadi, peran lamun alami dalam
12
mengurangi kecepatan arus dan proses pengendapan partikel tersuspensi sangat penting. Peran lamun dalam mengurangi gerakan air sangat menguntungkan lamun itu sendiri dan organisme yang hidup di dalamnya. Umumnya gerakan air mempunyai pengaruh yang kuat terhadap metabolisme dan daya tahan fisik lamun terhadap lingkungan serta berpengaruh pula pada sedimentasi dan resuspensi (Gacia dan Duarte 2001). Resuspensi berkurang dan perairan menjadi jernih, sehingga dapat dikatakan bahwa lamun dapat mengurangi erosi di wilayah pesisir. 2.1.2.3 Habitat Organisme Tingginya produktivitas organik dan perairan di sekitarnya menjadi tenang, mengakibatkan banyak organisme yang menjadikan lamun sebagai tempat tinggal sementara (juvenil) maupun dewasa. Adapula beberapa organisme memanfaatkan lamun sebagai tempat mencari makan, tumbuh besar dan memijah. Organisme yang ditemukan di lamun, antara lain berbagai Ikan herbivora, Ikan karang, Penyu, Dugong, Gastropoda, Krustasea, Polikhaeta, dan Ekhinodermata. Sistem rhizoma dan akar lamun dapat mengikat dan menstabilkan permukaan sedimen, sehingga lamun tumbuh kokoh di dasar perairan. Dasar perairan yang stabil sangat menguntungkan bagi organisme yang hidup di dasar, seperti makrozoobentos. Adapun daun lamun yang ada di kolom air dapat menjadi tempat berlindung dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga) serta dapat menutupi organisme yang ada di lamun dari panas matahari. Betapa besar manfaat yang diperoleh organisme yang hidup di lamun. Hal ini didukung oleh Fredriksen et al. (2010) yang mengatakan bahwa organisme yang ditemukan di padang lamun dua kali lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki lamun. Keterkaitan lamun dengan populasi ikan menjelaskan tentang peranan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, dalam hal ini lamun di lingkungan pesisir dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan plankton yaitu: mensuplai makanan dan zat hara ke ekosistem perairan, membentuk sedimen dan berinteraksi dengan terumbu karang, memberikan tempat untuk berasosiasinya berbagai flora dan fauna dan mengatur pertukaran air (Fortes 1989). Selain ikan
13
bernilai ekonomi, banyak pula organisme lain yang ditemukan di lamun. Menurut Putra (2004) bahwa sekitar 18 famili ikan-ikan karang yang berasosiasi dengan lamun di Pulau Barrang Lompo. Sementara Kamri (2004) menemukan sekitar 24 spesies Krustasea yang terdiri atas 16 spesies Udang dan 8 spesies Kepiting yang berasosiasi dengan lamun. Ikan-ikan karang yang berada di padang lamun sebagai penghuni sementara/transit untuk mencari makan. Sementara ikan-ikan yang merupakan penghuni penuh di padang lamun dan menjadikan padang lamun sebagai tempat tinggal, yaitu jenis ikan dari famili Gerreidae dan Siganidae. Krustasea yang ditemukan di padang lamun Pulau Barrang Lompo baik jenis Udang maupun jenis Kepiting merupakan jenis Krustasea yang menjadikan daerah padang lamun sebagai tempat untuk tumbuh dan mencari makan. Krustasea jenis Udang yang ditemukan lebih banyak berasal dari famili Penaeidae yang kebanyakan bernilai ekonomi dan jenis kepiting yang ditemukan lebih banyak berasal dari famili Portunidae yang juga bernilai ekonomi (Kamri 2004).
2.2 Makrozoobentos Makrozoobentos merupakan kumpulan banyak organisme yang menjadi bagian dari zoobentos yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Seperti halnya di ekosistem yang lain, makrozoobentos di lamun berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik dan lamun sampai konsumen tingkat tinggi. Sebagaimana pernyataan Hutchings (1998) bahwa hewan bentik (Polikhaeta) dapat mendaur ulang, bioturbasi sedimen dan pemakan bahan organik. Lamun dapat berperan menjadi penghubung antara kolom air dan sedimen. Hal ini terkait dengan akarnya yang berada di sedimen dan daunnya yang berada di kolom air. Menurut Baron et al. (2004) bahwa lamun dapat bertindak sebagai penghubung antara komunitas pelagik dan bentik, yaitu dengan menjebak partikel tersuspensi (karbon organik seston). Terdapat hubungan timbal balik antara lamun dengan beberapa organisme yang hidup di sedimen, contohnya Bivalvia. Menurut Peterson dan Heck (2001) bahwa Bivalvia yang hidup di lamun memiliki ukuran
14
tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan yang hidup di daerah tanpa lamun. Manfaat yang diperoleh lamun dengan adanya Bivalvia yaitu perubahan sedimen dan tingkat nutrien, perubahan morfologi dan produktivitas lamun serta perubahan beban epifit pada daun. Skema hubungan trofik lamun dan beberapa organisme yang hidup didalamnya dapat dilihat Gambar 5.
Gambar 5 Skema hubungan trofik dalam sistem padang lamun di Teluk Westernport, Australia (Sumber: Mann 2000). Makrozoobentos yang termasuk jenis Gastropoda, Bivalvia dan Polikhaeta dapat langsung memanfaatkan detritus yang berasal dari plankton dan tumbuhan lamun yang mati, bakteri, dan bahan organik lain yang terakumulasi dalam sedimen atau terkubur/terjebak di sela-sela butiran pasir dan lumpur sebagai sumber makanan. Makrozoobentos dapat pula memanfaatkan meiofauna sebagai sumber makanan karena ukurannya lebih kecil. Sebagaimana pendapat Mann (2000) yang menjelaskan bahwa sekitar 5-10% produksi lamun diperkirakan diambil oleh Amphipoda dan Isopoda, 10% dikeluarkan dari area, 75% mati dan menghasilkan bahan organik partikel (POM), dan 5% menjadi bahan organik
15
terlarut (DOM). Selanjutnya, 20% dari POM diubah bentuknya menjadi DOM selama proses dekomposisi. Bakteri menggunakan 70% POM dan 80% DOM, sedangkan sisanya 10% detritus digunakan oleh pemakan detritus. Lamun mengandung sejumlah besar detritus. Detritus tersebut membantu dalam mendekomposisi bahan organik. Laju dekomposisi serasah daun lamun berbeda-beda tergantung jenisnya. Di Pulau Barrang Lompo, dekomposisi serasah daun Enhalus acoroides lebih tinggi dibandingkan dengan Thalassia hemprichii (Supriadi dan Arifin 2005). Daun lamun dapat menyumbang bahan organik melalui serasahnya. Daun lamun yang memanjang seperti pita terjuntai ke bawah dapat pula berperan sebagai jalan bagi makrozoobentos bermigrasi dari sedimen ke daun lamun. 2.3 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan dapat menjadi faktor yang membatasi kehidupan lamun dan makrozoobentos. Faktor lingkungan tersebut antara lain, suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrat, ortofosfat, total bahan organik, padatan tersuspensi, tekstur sedimen, pasang surut, kecepatan arus, kedalaman perairan. 2.3.1 Suhu Suhu merupakan faktor fisik yang berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan dan dapat mempengaruhi sifat fisik-kimia perairan serta fisiologi organisme. Suhu dapat menjadi faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologi organisme seperti migrasi, pemijahan, kecepatan proses perkembangan embrio serta kecepatan bergerak. Suhu air permukaan di perairan Nusantara kita umumnya berkisar antara 28-31 oC (Nontji 2002). Kisaran ini merupakan kisaran yang optimum untuk pertumbuhan lamun dan kehidupan makrozoobentos. Lamun memiliki kisaran pertumbuhan berkisar 28-30 oC (Zimmerman 1987) dan suhu yang kritis bagi makrozoobentos berkisar 35-40 oC (Hawkes 1978), karena dapat menyebabkan kematian.
16
2.3.2 Salinitas Perubahan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosis, sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi. Lamun memiliki tolerasi yang berbedabeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas antara 10-40%o. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis lamun. Perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap perkembangan beberapa jenis makrozoobentos sejak larva sampai dewasa. 2.3.3 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut berperan dalam proses metabolisme makro dan mikroorganisme dengan memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Sumber utama oksigen terlarut di perairan adalah berasal dari: 1) Aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air (lamun) dan fitoplankton; 2) Difusi oksigen secara langsung dari udara ke dalam air melalui lapisan permukaan, sehingga proses aerasi dapat berlangsung terus; 3) Agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya ombak atau gelombang; 4) Aliran air/arus; dan 5) Melalui air hujan. Sementara, kandungan oksigen terlarut dapat berkurang disebabkan oleh: 1) Respirasi biota perairan; 2) Pemakaian dalam proses dekomposisi bahan organik secara biokimia; 3) Pemakaian dalam proses dekomposisi bahan anorganik secara kimia; 4) Kenaikan suhu dan salinitas terutama pada daerah pasang-surut. 2.3.4 pH Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasahan. Nilai pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer), yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang di kandungnya. Perairan dengan pH kurang dari 6 akan menyebabkan organisme bentik dan larva tidak dapat hidup dengan baik, bahkan jika mencapai pH 4 dapat mematikan organisme yang hidup di perairan
17
normal. Menurut Odum (1993) bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan. 2.3.5 Nitrat Nitrat merupakan hara makro yang dibutuhkan organisme perairan. Sumber utama nitrat berasal dari erosi tanah, limpasan dari daratan, buangan sampah (Chester 1990). Selain itu, nitrat juga berasal dari permukaan air selama produktivitas primer, ketika tumbuhan mati dan terdekomposisi kemudian nitrat terdegenerasi ke kolom air (Millero dan Sohn 1992). 2.3.6 Ortofosfat Fosfat yang diserap oleh organisme atau jasad nabati dalam bentuk ortofosfat. Di laut, fosfat berasal dari hasil dekomposisi organisme yang sudah mati. Fosfat juga banyak terdapat di batu karang dan fosil yang terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Perairan yang mengandung fosfat tinggi melebihi kebutuhan normal organisme nabati yang ada dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Peranan fosfat yakni: 1) Berperan dalam transfer energi di dalam sel yang terdapat ATP dan ADP; 2) Fosfor dalam bentuk ortofosfat yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan air. 2.3.7 Total Bahan Organik Bahan organik penting dalam sedimen, karena berpengaruh terhadap kehidupan di lingkungan sedimen. Senyawa organik sebagian besar terdapat dalam jaringan organisme. Bahan organik memainkan peranan yang sangat penting dalam fungsi ekosistem yaitu sebagai sumber makanan dan energi bagi organisme heterotrof, yang pada akhirnya akan berfungsi dalam resiklus nutrien dalam ekosistem. Bahan organik yang disuplai ke sedimen laut berasal dari dua sumber utama, yaitu berasal dari sistem sedimen itu sendiri (autochthonous) dan berasal dari luar sistem sedimen (allochthonous) yang disuplai dari ekosistem lain. Input
18
bahan organik ke sedimen laut dangkal yang berasal dari autochthonous ada dua, yaitu fraksi hidup dan fraksi bukan hidup. Fraksi hidup terdiri atas mikrofita bentik atau fitoplankton yang mempunyai peran utama dalam menghasilkan bahan organik melalui aktivitas fotosintesis. Makrofita dalam bentuk makroalga atau komunitas lamun (seagrass) dapat membentuk sistem yang produktif untuk menghasilkan bahan organik. Fraksi bukan hidup meliputi organisme yang mati, sisa-sisa hasil metabolisme sel terluar terutama fitoplankton, zat buangan (ekskresi) zooplankton dan organisme besar lainnya, ekskresi tumbuhan, penguraian organisme perairan dan daratan, bangkai, humus, detritus dan debris, kumpulan organik dari berbagai tipe, dan partikel organik kompleks lainnya, baik dalam ukuran partikel besar, kecil maupun terlarut. Suplai bahan organik ke sedimen yang berasal dari allochthonous yaitu, masukan dari daratan melalui sungai, run-off, dan aktivitas manusia. Selain itu, senyawa organik yang terakumulasi ke dalam sedimen juga dapat berasal dari atmosfer yang ditransfer ke laut melalui hujan dan debu yang jatuh ke dalam laut, yang selanjutnya mengalami proses pengendapan di sedimen (Chester 1990; Millero dan Sonh 1992). Lamun dapat hidup di daerah yang kaya maupun yang miskin bahan organik. Namun, ada perbedaan morfologi antara lamun yang hidup di daerah yang kaya dengan yang miskin bahan organik. Sebagaimana menurut Wicks et al. (2009) bahwa lamun yang hidup di sedimen yang kaya bahan organik cenderung lebih mudah terlepas dari substrat dibandingkan dengan lamun yang hidup di sedimen pasir yang miskin bahan organik. Lamun yang tumbuh di sedimen miskin organik secara signifikan memiliki daun yang pendek dan sempit dibandingkan dengan yang hidup di sedimen yang kaya bahan organik (Lee dan Dunton 2000). Akumulasi dan proses pengendapan bahan organik di sedimen berhubungan dengan proses percampuran (mixing process) dari partikel sedimen tersebut pada saat tenggelam. Pada kondisi sedimen yang banyak menerima masukan bahan organik dapat menyebabkan berkurangnya stabilitas sedimen. Hal ini disebabkan oleh pertemuan antara bahan organik dengan lumpur dapat merusak matriks sedimen, sehingga stabilitas sedimen berkurang.
19
Detritus dan partikel organik yang terakumulasi ke dalam sedimen, nasibnya bergantung kepada laju penenggelaman dan jumlah oksigen yang tersedia dalam ruang interstisial. Pada area yang cukup konsentrasi oksigen, bahan organik diasimilasi
oleh
pemakan
suspensi
(suspension
feeder)
dan
pemakan
deposit/detritus (detritivores/deposit feeder) atau didekomposisi oleh bakteri heterotrof aerob (dekomposer). 2.3.8 Padatan Tersuspensi Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat, dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Perairan yang materi tersuspensinya tinggi dapat mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air, kekeruhan air meningkat. Terhalangnya cahaya masuk ke dalam perairan menyebabkan proses fotosintesis fitoplankton dan lamun menjadi terhambat, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser tersebut. Zat tersuspensi dapat pula mengurangi kelarutan oksigen dalam perairan. Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam lingkungan bentik. 2.3.9 Tekstur Sedimen Tekstur adalah suatu kenampakan yang berhubungan erat dengan ukuran, bentuk butir, dan susunan komponen mineral-mineral penyusunnya. Tekstur sedimen yaitu hubungan bersama antara ukuran butir dalam batuan. Partikel mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai halus. Ukuran butir sedimen sangat penting dalam mengontrol kemampuan sedimen untuk menahan dan mensirkulasi air dan udara. Sirkulasi air melalui ruang pori sedimen adalah penting karena pergerakan air ini dapat memperbaharui suplai oksigen dan suplai makanan serta dapat mencegah kondisi kekeringan bagi makrozoobentos. Ukuran sedimen dapat pula berpengaruh terhadap kandungan bahan organik. Oleh karena itu, karakteristik sedimen mempengaruhi distribusi, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme. Karakteristik sedimen dapat pula menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses produksi lamun. Sedimen yang memiliki
20
ukuran butiran lebih kecil (liat/lumpur) umumnya mampu menyimpan nutrien lebih besar dibanding pasir/campuran pasir lumpur. 2.3.10 Pasang Surut Pasang surut dapat berpengaruh terhadap proses produksi bahan organik lamun melalui fotosintesis. Pada saat surut, lamun yang ada di perairan dangkal akan terekspos, sehingga daun yang ada di permukaan air akan terpapar cahaya dengan intensitas yang tinggi, kemudian daun tersebut dapat mengalami kekeringan/terbakar. Selain itu, pada saat surut sebagian besar daun akan terlipat, sehingga tidak memungkinkan berlangsungnya proses fotosintesis secara maksimal. Pengaruh pasang surut terhadap organisme di daerah intertidal yakni, lamanya terkena udara terbuka ketika surut dapat menyebabkan kemungkinan organisme mengalami kekeringan (kehilangan air), dan dapat mengakibatkan irama tertentu dalam kegiatan organisme misalnya mencari makan, memijah dan kegiatan lainnya.
2.3.11 Kecepatan Arus Kecepatan arus dapat berpengaruh terhadap tipe sedimen suatu perairan, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas makrozoobentos yang ada. Arus yang kuat menunjukkan sedimen batu atau kerikil dan pasir, sedangkan arus yang lemah menunjukkan dasar lumpur atau tanah organik. Arus dapat pula berpengaruh besar terhadap tekanan parsial oksigen di lamun, sehingga memegang peranan penting pada daerah yang kondisi oksigennya rendah di kolom air (Binzer 2005). Kecepatan arus dapat pula mempengaruhi fotosintesis dan penyerapan nutrien di sekitar padang lamun (Abdelrhman 2003). Albeson dan Danny (1997) menambahkan bahwa kecepatan arus dapat mempengaruhi sukses tidaknya propagul dan larva menetap. Kecepatan arus dan ukuran partikel sedimen mempengaruhi kemampuan lamun dalam memerangkap dan mengendapkan partikel-partikel tersuspensi. Menurut van Duin et al. (2001), bahwa partikel pasir dapat mengendap pada
21
kecepatan <0,20 m/s, sedangkan partikel kerikil mengendap pada kecepatan yang lebih tinggi yaitu <1 m/s, lanau dan lempung hanya akan mengendap jika kecepatan arus sangat rendah. 2.3.12 Kedalaman Perairan Kedalaman mempengaruhi sebaran lamun dan makrozoobentos di perairan. Lamun dapat hidup sampai kedalaman dimana sinar matahari cukup untuk membantu melakukan proses fotosintesis. Kedalaman berpengaruh terhadap pengadukan massa air dan proses sedimentasi, kemudian proses sedimentasi akan mempengaruhi karakteristik serta kandungan bahan organik pada substrat atau sedimen
sebagai
habitat
makrozoobentos.
Oleh
karena
itu,
sebaran
makrozoobentos dipengaruhi juga oleh kedalaman suatu perairan. Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat dengan stratifikasi suhu secara vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan oksigen terlarutt serta zat-zat hara. Karakteristik kimia fisika perairan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman biota dalam suatu perairan (Nontji 2002).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar. Analisis sampel di Laboratorium Oseanografi Kimia dan Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin, Makassar. 1 1 9 ° 1 9 '3 0 "
1 1 9 ° 1 9 '4 5 "
1 1 9 ° 2 0 '0 0 "
P . S ul a w e s i
M a n a do
N
G o r o n t a lo
5 ° 2 '3 0 "
5 ° 2 '3 0 "
1 1 9 ° 1 9 '1 5 "
Pa lu
L o k a s i P e n e li t ia n
Ke n d a r i M a ka s s a r
5 ° 2 '4 5 "
5 ° 2 '4 5 "
# Y
# Y
D1
D2
D B
c
c
B2
# Y
B5
# Y
B4
# Y
B3 # Y
S t . T im u r L a u t B1
# Y
5 ° 3 '0 0 "
5 ° 3 '0 0 "
P. B aran g lo m p o Î
C
# Y
c A
# Y
C1
C2
c
St. T eng gar a
A2
# Y
A5
# Y
# Y
A4
# Y
Î
D e rm a g a
A3 # Y
5 ° 3 '1 5 "
G a ris P a nta i P em u k i m an T u tu p an S u b s tr a t : K ar a n g H id u p La m u n S um b e r P e t a : C i tra S a te lit L a n d s a t E T M + 7 T a hu n 2 0 0 9
1 1 9 ° 1 9 '1 5 "
1 1 9 ° 1 9 '3 0 "
200
0
P as ir
2 0 0 M e t e rs
1 1 9 ° 1 9 '4 5 "
R u b b e r/K a ra n g M a t i
1 1 9 ° 2 0 '0 0 "
Gambar 6 Lokasi penelitian dan titik sampling pada stasiun Tenggara dan Timur Laut di Pulau Barrang Lompo (Sumber: Citra Satelit Landsat 2009).
5 ° 3 '1 5 "
A1
23
3.2 Alat, Bahan, dan Metode Analisis Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan Parameter a Lapangan - Sampel makrozoobentos
- Sampel lamun - Sampel air laut - Sampel sedimen - Kecepatan dan arah arus - Kedalaman - Pasang surut - Partikel tersuspensi b Laboratorium - Kimia dan fisika air - BOT (mg/l) - Ortofosfat (mg/l) - Nitrat (mg/l) - Salinitas (o/oo) - pH - Suhu (oC) - TSS (mg/l) - Oksigen Terlarut (mg/l) - Kimia dan fisika substrat - TOC (%) - BOT (%) - Nitrat (mg/l) - Ortofosfat (mg/l) - pH - Tekstur sedimen (%)
Alat/Bahan/Metode analisis
Ket
Ekman grab (20x20 cm), sieve net (1 mm), alkohol 70%, coolbox, lup, mikroskop, buku identifikasi Transek kuadran (50x50 cm), rool meter Botol sampel Corer (10 cm), kantong sampel Floating dredge, kompas, stop watch Palem skala Tiang pasang surut Pipa paralon (5 inci)
In situ
Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer Refractometer pH meter (Hanna Instrument) Termometer Gravimetrik DO meter
Lab Lab Lab In situ Lab In situ Lab In situ
Titrimetrik Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer pH meter Saringan bertingkat
Lab Lab Lab Lab Lab Lab
In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ
24
3.3 Pengambilan Data 3.3.1 Observasi Lapangan dan Penentuan Stasiun Observasi lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi umum daerah penelitian. Penempatan stasiun berdasarkan keberadaan lamun, dimana waktu surut air laut terendah, lamun masih terendam minimal 50 cm. Dari hasil observasi lapangan diperoleh 2 stasiun yaitu di sebelah Tenggara dan Timur Laut. 3.3.2 Sampel Air, Sedimen, dan Makrozoobentos Pengambilan sampel air laut menggunakan botol sampel di kedalaman sekitar 20 cm di bawah permukaan air laut. Sampel air dimasukkan dalam coolbox dan dianalisis ke laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan waktu surut di masing-masing stasiun. Parameter yang diukur terdiri atas suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat, dan pH. Parameter lingkungan yang diukur terdiri atas pasang surut, kecepatan dan arah arus, serta kedalaman perairan. Pengambilan sampel di substrat menggunakan corer yang berdiameter 10 cm. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox, kemudian dibawa ke laboratorium. Parameter yang diukur terdiri atas pH, C-Organik, BOT, nitrat, ortofosfat, dan tekstur sedimen. Selanjutnya, pengambilan sampel untuk partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sedimen trap dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Parameter yang diukur terdiri atas berat sedimen, nitrat dan ortofosfat. Pengambilan sampel makrozoobentos menggunakan ekman grab bukaan 20x20 cm pada saat surut terendah. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada saat surut terendah. Sampel yang telah diambil, kemudian disaring dengan menggunakan sieve net berukuran 1 mm. Organisme makrozoobentos yang tersaring dimasukkan ke dalam kantong sampel, kemudian diberi pengawet alkohol 70%. Identifikasi makrozoobentos secara langsung di lapangan dengan bantuan lup. Sampel yang sulit diidentifikasi, dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengidentifikasian makrozoobentos ini berdasarkan petunjuk Abbot (1991); Dance (1977); Dharma (1988, 1992); Roberts et al. (1982).
25
3.4 Analisis Data 3.4.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu jenis lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Nilainya dihitung dengan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990): P = Ni x 100% N Dimana : P : Persentase setiap lamun (%) Ni : Jumlah setiap spesies i N : Jumlah total seluruh spesies 3.4.2 Kerapatan Jenis Lamun Kerapatan jenis yaitu jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas. Kerapatan lamun dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990): D = ∑ ni A Dimana: D : Kerapatan jenis (tegakan/m2) ni : Jumlah tegakan spesies i (tegakan) A : Luas transek kuadran (m2) 3.4.3 Persen Penutupan Lamun Penutupan lamun merupakan luasan area yang ditutupi oleh lamun. Persen penutupan lamun dapat dihitung dengan menggunakan metode Saito dan Atobe sebagai berikut (English et al. 1994): C = ∑ (mi.fi) ∑f Dimana: C : Persen penutupan lamun (%) mi : Persen nilai tengah kelas ke-i fi : Frekuensi kemunculan jenis (jumlah sub-transek yang memiliki kelas yang sama untuk spesies ke-i) f : Jumlah keseluruhan sub-transek
26
Penentuan kategori persen penutupan lamun dan nilai tengah yaitu mengunakan kategori klasifikasi tutupan lamun seperti pada Tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2 Klasifikasi penutupan lamun (English et al. 1994) Kelas
Bagian yang tertutupi lamun
Persentase yang tertutup (%)
Nilai tengah (%) Mi
5
½ - semua
50 - 100
75
4
¼-½
25 - 50
37,5
3
1/8 – 1/4
12,5 - 25
18,75
2
1/16 – 1/8
6,25 – 12,5
9,3
1
< 1/16
< 6,25
3,13
0
Tidak ada
0
0
Nilai persen penutupan total digunakan untuk mengetahui kondisi lamun berdasarkan kriteria yang disajikan dalam Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3 Kategori persen penutupan total (Brower et al. 1990) Persen penutupan total C < 5%
Kategori Sangat jarang
5% ≤ C < 25%
Jarang
25% ≤ C < 50%
Sedang
50% ≤ C < 75%
Rapat
C ≥ 75%
Sangat rapat
3.4.4 Persentase Komposisi Jenis Makrozoobentos Komposisi spesies makrozoobentos ditentukan oleh setiap individu yang didapat dari masing-masing stasiun disusun dalam tabel (tabulasi), kemudian masing-masing dijumlahkan sesuai dengan banyaknya individu yang didapatkan di lapangan. Komposisi makrozoobentos dinyatakan dalam persen, yaitu sebagai proporsi spesies makrozoobentos dalam kelompok taksonomi (kelas) yang terdapat di setiap stasiun.
27
3.4.5 Kelimpahan Makrozoobentos Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan luas atau volume. Menurut Odum (1993), kelimpahan makrozoobentos biasanya dinyatakan dalam satuan meter persegi. Secara matematis kelimpahan makrozoobentos untuk masing-masing stasiun dihitung sebagai berikut: D = 10000 a/b Dimana: D : Kelimpahan individu (individu/m2) a : Jumlah makrozoobentos yang dihitung (individu) dalam b b : Luas bukaan ekman grab (cm2) (1 m2 = 10.000 cm2) 3.4.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya, dan akan menyatakan struktur komunitasnya. Keanekaragaman makrozoobentos dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Odum 1993): H’ = - ∑ Pi ln Pi ; Pi= ni/N Dimana : H’ : Indeks keanekaragaman jenis Pi : ni/N (Proporsi spesies ke-i) ni : Jumlah individu jenis N : Jumlah total individu Semakin besar nilai indeks keanekaragaman maka semakin tinggi keanekaragaman jenisnya, berarti komunitas biota di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominansi oleh satu atau dua jenis.
3.4.7 Keseragaman Jenis Makrozoobentos Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan penyebaran spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini dihitung dengan rumus Indeks Evennes (Odum 1993) sebagai berikut: E = H’/ln S Dimana : E : Indeks keseragaman jenis S : Jumlah jenis organisme
H’: Indeks keanekaragaman jenis
28
Semakin kecil nilai indeks keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah jenis antar spesies tidak menyebar merata, dan sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, berarti jumlah antar spesies semakin menyebar merata. 3.4.8 Dominasi Jenis Makrozoobentos Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan indeks persamaan Simpson (C). Persamaan indeks dominasi Simpson digunakan untuk mengetahui spesies-spesies tertentu yang mendominasi komunitas (Odum 1993), sebagai berikut: ni
C
Dimana :
2
N
C : Indeks dominansi ni : Jumlah individu setiap jenis N : Jumlah total individu
Nilai indeks dominansi mempunyai kisaran antara 0-1. Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi. Semakin mendekati nilai 1 berarti semakin tinggi tingkat dominansi oleh spesies tertentu. 3.4.9 Pola Sebaran Makrozoobentos Pola sebaran individu makrozoobentos diketahui dengan menggunakan Indeks Dispersi Morisita (Brower et al.1990) sebagai berikut: Id
n
X X
2 2
X X
Dimana : Id : Indeks Dispersi Morisita n : Jumlah ulangan pengambilan sampel ∑X : Total dari jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat (X1 + X2 + …) 2 ∑X : Total dari kuadrat jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat (X12 + X22 +…)
29
Pola dispersi makrozoobentos ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti yang tersaji dalam Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Kategori indeks dispersi Pola Sebaran (Id)
Kategori
Id < 1
Seragam
Id = 1
Acak
Id > 1
Mengelompok
3.5 Analisis Statistik Data yang diperoleh dikelompokkan menurut stasiun dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan dengan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA). Analisis komponen utama berguna untuk mereduksi data, sehingga lebih mudah untuk menginterpretasikan data-data tersebut.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau di kawasan Kepulauan Spermonde, yang berada pada posisi 119o 19’ 48’’ BT dan 05o 02’ 48’’ LS dan merupakan salah satu Kelurahan yang ada dalam wilayah Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar (Pemkot Makassar 2004). Jumlah penduduknya cukup padat mencapai 4.442 jiwa bulan Maret tahun 2010, dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang cukup baik. Jarak pulau tersebut dari Ibu Kota Propinsi (Makassar) yaitu 12 km, yang dapat ditempuh dalam waktu + 45 menit dengan menggunakan perahu motor. Pulau Barrang Lompo terletak di sebelah Barat kota Makassar. Secara administrasi Kelurahan Barrang Lompo memiliki luas wilayah sekitar 22.798 Ha. Sistem administrasi pemerintahan Kelurahan Barrang Lompo dibagi menjadi 2 lingkungan, 4 Rukun Warga (RW) dan 21 Rukun Tetangga (RT). Adapun batas wilayah administrasi Kelurahan Barrang Lompo yaitu: sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Barrang Caddi (Pulau Barrang Caddi), sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Mattiro Deceng (Pulau Badi), sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Barrang Caddi (Pulau Bone Tambu), sebelah Timur berbatasan dengan Kota Makassar. Keadaan
topografi
daratan
pulau
relatif
rata
dengan
ketinggian
dari permukaan laut ± 2 meter dan ± 80% daratan Pulau berpasir halus, sisanya bertanah dan berlumpur dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Khusus daerah bagian Barat dan sebagian daerah Selatan berpasir halus warna putih kecokelatan dan sebagian daerah Selatan, Timur dan Utara berpasir halus dan berwarna gelap, tidak terdapat batu-batuan yang besar. Ukuran butiran pasirnya relatif halus, hal ini menandakan bahwa ombak dan gelombang di depan pantai relatif tenang. Sisi Timur Pulau dijadikan dermaga utama tempat bersandarnya kapal-kapal besar karena perairannya cenderung dalam meskipun keadaan surut. Sementara perairan sisi lainnya cenderung dangkal (sekitar 0,3 m saat surut), dengan reef top yang cukup jauh menjorok ke luar. Di daerah reef top tersebut didominasi oleh
31
pasir sekitar 51% dan lamun sekitar 28%. Di antara rimbunan lamun ditemukan juga alga sekitar 10%, spons sekitar 2%, dan karang-karang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karang hidup yang ditemukan hanya sekitar 1%. Selain itu, penutupan karang mati (dead coral) sekitar 1%, pecahan karang (rubble) sekitar 2%, sedangkan karang mati yang telah ditutupi alga (dead coral with alga) sekitar 5% (Pemkot Makassar 2004). Pulau Barrang Lompo memiliki padang lamun yang cukup luas dengan hamparan lamun yang membentuk daratan. Sebelum mencapai tubir, di bagian Timur dan Utara terlihat relatif landai dengan kemiringan sekitar 15%, sebaliknya di bagian Barat dan Selatan lebih curam dengan kemiringan 20% atau lebih. Di beberapa tempat seperti di bagian Barat dan Selatan terdapat tubir, dimana kedalamannya menurun secara drastis. Padang lamun yang cukup luas berada di bagian Barat, Selatan/Tenggara, dan Utara Pulau. Sementara di bagian Timur tidak terdapat padang lamun. Jenis lamun di Pulau Barrang Lompo meliputi 2 famili yakni Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae, dimana terbagi lagi atas 5 genera dan 8 jenis. Persentase penutupan lamun berturut-turut didominasi oleh Thalassia hemprchii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan Halophila ovalis. Kerapatan tertinggi terdapat pada jenis lamun Thalassia hemprichii, menyusul Halodule uninervis, Enhalus acoroides dan Halophila minor (Pemkot Makassar 2004). Thallasia hemprichii memiliki kerapatan berkisar 200-700 tegakan/m2 (Supriadi 2002) dan berkisar 344-520 tegakan/m2 (Parada 2002). 4.2 Faktor Lingkungan Parameter lingkungan yang diukur hanya sebatas faktor yang menjadi pembatas pertumbuhan dan distribusi lamun serta makrozoobentos. Parameter kolom air yang diukur meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat dan pH. Parameter kolom air yang diukur pada stasiun Tenggara dan Timur Laut digabung antara daerah lamun dan daerah tanpa lamun. Hal ini disebabkan oleh kolom air yang cenderung konstan. Parameter substrat yang diukur, yaitu pH, C-Organik, total bahan organik, nitrat, ortofosfat dan tekstur sedimen.
32
4.2.1 Fisika dan Kimia Kolom Air Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia kolom air di Pulau Barrang Lompo. Suhu berperan dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi organisme air (Odum 1993). Berdasarkan hasil pengukuran suhu menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara stasiun Tenggara dan Timur Laut serta masih berada dalam kisaran yang normal untuk daerah tropis. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 28-30 oC (Zimmerman 1987), dan berkisar 35-40 oC merupakan suhu yang kritis bagi makrozoobentos karena dapat menyebabkan kematian (Hawkes 1978). Tabel 5 Parameter fisika-kimia kolom air di lokasi penelitian Parameter Suhu Salinitas DO TSS BOT Nitrat Ortofosfat pH
Unit
Stasiun Timur Laut
Kisaran
Rerata
Kisaran
Rerata
C
29-31
30
30-31
30,5
/oo
30-34 3,25-4,21 33,0-45,1 36,7-79,6 0,03-0,22 0,44-1,11 8,18-8,33
32 3,7 39,2 57,7 0,1 0,6 8,18-8,33
30-32 2,42-3,87 11,0-44,7 46,1-111,2 0,03-0,32 0,26-0,90 8,20-8,29
31 3,1 27,9 78,7 0,2 0,6 8,20-8,29
o o
Stasiun Tenggara
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Salinitas stasiun Tenggara dan Timur Laut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kisaran tersebut berkisar 30-34 o/oo dan masih layak untuk kehidupan lamun dan biota yang ada didalamnya (makrozoobentos). Salinitas untuk lamun berkisar antara 24-35o/oo (Hillman et al.1989). Salinitas tidak berpengaruh terhadap faktor-faktor biotik lamun karena umumnya lamun dapat mentolerir salinitas secara luas. Oksigen terlarut (DO) berperan dalam proses metabolisme makro dan mikroorganisme dengan memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Berdasarkan hasil pengukuran, stasiun Tenggara memiliki kadar oksigen terlarut berkisar 2,42-3,87 mg/l dan Timur Laut berkisar 3,25-4,21 mg/l. Oksigen terlarut di stasiun Tenggara dan Timur Laut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Oksigen terlarut tersebut termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan kadar oksigen terlarut yang ditetapkan oleh baku mutu air
33
laut untuk biota laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004) yaitu berkisar >5 mg/l. Tingginya oksigen terlarut di stasiun Tenggara dan Timur Laut kemungkinan karena berada di daerah pasang surut. Hasil pengukuran padatan tersuspensi (TSS), diperoleh stasiun Tenggara memiliki padatan tersuspensi berkisar 33,0-45,1 mg/l lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Timur Laut yang berkisar 11,0-44,7 mg/l. Tingginya partikel tersuspensi di stasiun Tenggara disebabkan oleh proses pengadukan, dimana masih berada di zona pasang surut dan kedalaman perairannya lebih dangkal yakni sekitar 1-2 meter dibandingkan dengan stasiun Timur Laut yang memiliki kedalaman sekitar 3-4 meter. Sementara total bahan organik (BOT) di stasiun Tenggara lebih rendah yakni berkisar 36,7-79,6 mg/l dibandingkan dengan Timur Laut yang berkisar 46,1-111,2 mg/l. Total bahan organik lebih tinggi di stasiun Timur Laut diduga karena berdekatan dengan pemukiman. Konsentrasi nitrat dan ortofosfat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara stasiun Tenggara dan Timur Laut. Nitrat dan ortofosfat di stasiun Tenggara berkisar 0,03-0,22 dan 0,03-0,32 mg/l, sementara Timur Laut berkisar 0,44-1,11 dan 0,26-0,90 mg/l. Berdasarkan baku mutu (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004), nilai nitrat dan ortofosfat yang diperoleh termasuk diatas nilai nitrat dan ortofosfat baku mutu yang telah ditetapkan, dimana nilai nitrat dan ortofosfat baku mutu untuk biota laut sekitar 0,015 mg/l dan 0,008 mg/l. Nilai pH yang terukur berkisar 8,18-8,33. Nilai ini merupakan kisaran yang normal bagi pH air laut Indonesia, dimana menurut Nontji (2002) bahwa kisaran yang normal untuk perairan Indonesia berkisar 6,0-8,5. Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, nilai pH di lokasi penelitian masih layak untuk kehidupan biota laut, dimana pH baku mutu untuk biota laut sekitar 7-8,5. Perubahan pH perairan laut biasanya sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan.
34
Beberapa parameter yang diukur di kolom air stasiun Tenggara dan Timur Laut menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, seperti suhu, salinitas,nitrat, ortofosfat dan pH. Sementara parameter yang menunjukkan perbedaan yang signifikan, yaitu TSS dan BOT. 4.2.2 Fisika dan Kimia Substrat Parameter fisika dan kimia substrat yang diukur di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan pengukuran pH, di stasiun Tenggara berkisar 7,58-7,77 dan stasiun Timur Laut berkisar 7,63-7,7. pH antara stasiun Tenggara dan Timur Laut baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Tabel 6 Parameter kimia substrat di lokasi penelitian Parameter Unit pH C Organik Rerata BOT Rerata Nitrat Rerata Ortofosfat Rerata Pasir Rerata Debu Rerata Liat Rerata
% % mg/kg mg/kg % % %
Stasiun Tenggara Lamun Tanpa Lamun 7,58-7,77 7,47-7,65 0,15-0,39 0,12-0,12 0,3 0,12 1,75-7,33 0,94-1,14 1,04 4,5 0,13-0,16 0,05-0,08 0,1 0,07 13,1-13,5 7,05-10,3 13,3 8,68 65-75 70-72 70 71 8-15 10-11 10,5 10 13- 27 17-20 18,5 20
Stasiun Timur Laut Lamun Tanpa Lamun 7,63-7,7 7,58-7,67 0,23-0,41 0,1-0,12 0,3 0,11 2,67-5,98 0,59-0,96 4,3 0,8 0,12-0,14 0,03-0,04 0,13 0,04 6,0-8,1 12,5-13,5 13 7,05 73-79 65-81 73 76 10-18 11-13 14 12 5-19 10-14 12 12
Kandungan C-organik substrat menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik hasil dekomposisi maupun bahan organik yang terbawa oleh arus air dan mengendap ke substrat. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh kandungan C-organik di stasiun Tenggara dan Timur Laut menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Namun, ada perbedaan yang signifikan antara daerah lamun dan daerah tanpa lamun. Daerah tanpa lamun memiliki C-organik yang lebih rendah yaitu 0,12%, sementara daerah yang ada lamun berkisar 0,15-0,39% (Tenggara)
35
dan 0,23-0,41% (Timur Laut). Hal ini disebabkan oleh lamun yang menghasilkan karbohidrat non struktural labil yang dapat dirombak oleh bakteri menjadi karbon. Ditambah pula, dilamun banyak bahan organik dan bakteri yang merupakan sumber karbon (Jones et al. 2003). Kandungan total bahan organik (BOT) di daerah lamun stasiun Tenggara dan Timur Laut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Stasiun Tenggara berkisar 1,75-7,33% sedangkan Timur Laut berkisar 2,67-5,98%. Begitu pula dengan kandungan nitrat dan ortofosfatnya menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, dimana stasiun Tenggara memiliki nitrat dan ortofosfat berkisar 0,13-0,16 mg/kg dan 13,1-13,5 mg/kg sedangkan Timur Laut berkisar 0,12-0,14 mg/kg dan 12,3 mg/kg. Daerah tanpa lamun memiliki total bahan organik, nitrat dan ortofosfat yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lamun. Total bahan organik daerah tanpa lamun berkisar 0,59-1,14%, nitrat dan ortofosfat berkisar 0,03-0,08 mg/kg dan 6,0-10,3 mg/kg. Nitrat dan ortofosfatnya menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara stasiun Tenggara dan Timur Laut. Tipe substrat ditentukan oleh perbandingan kandungan pasir, liat, dan debu. Dilihat dari kedua stasiun, kandungan pasir dalam substrat lebih dominan dibanding debu dan liat. Stasiun Tenggara daerah lamun maupun daerah tanpa lamun mempunyai persen liat lebih tinggi dibanding Timur Laut. Sementara stasiun Timur Laut memiliki persen pasir dan debu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Tenggara. Hal ini disebabkan oleh ombak dan gelombang di stasiun Tenggara dan Timur Laut relatif tenang, sehingga masih memungkinkan partikel berukuran kecil seperti debu dan liat mengendap ke dasar perairan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus di Tenggara dan Timur Laut berkisar 0,26-0,33 m/dtk dan 0,058-0,062 m/dtk. Kecepatan arus berpengaruh terhadap ukuran partikel yang mengendap. Sebagaimana pendapat van Duin et al. (2001) bahwa partikel pasir dapat mengendap pada kecepatan <0,2 m/dtk dan partikel-partikel yang berukuran lebih kecil dibanding pasir dapat mengendap pada kecepatan arus yang sangat rendah. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kecepatan arus di stasiun Tenggara dan Timur Laut.
36
Parameter fisika dan kimia substrat yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara stasiun Tenggara dan Timur Laut yaitu tekstur sedimen. Stasiun Tenggara memiliki persen liat yang tinggi sedangkan Timur Laut terdapat pasir dan debu yang tinggi. 4.3 Lamun 4.3.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau Barrang Lompo, didapatkan 5 jenis lamun yang berasal dari 2 famili, yaitu famili Potamogetonaceae, yang terdiri dari spesies Cymodocea serullata, Syringodium isoetifolium dan famili Hidrocaritaceae yang terdiri dari, Halophila minor, Halodule uninervis, dan Thalassia hemprichii. Hasil penelitian Kamri (2004) menemukan sekitar 6 spesies lamun di Selatan, 5 spesies di Barat dan 3 spesies di Utara. Ini menunjukkan bahwa lamun di Pulau Barrang Lompo termasuk tipe campuran. Banyaknya spesies lamun di pulau ini berbeda dengan survei yang telah dilakukan Erftemeijer dan Middelburg (1993) di Kepulauan Spermonde yang menemukan 11 spesies lamun. Campuran beberapa spesies lamun dalam suatu lokasi sering didapatkan di padang lamun Indonesia. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5
Jenis Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Halodule uninervis Halophila minor
Tenggara √ √ √ √ -
Stasiun Timur Laut √ √ √ √ √
Lamun stasiun Tenggara dan Timur Laut tumbuh baik dan saling berasosiasi, sehingga membentuk suatu padang lamun. Hal ini diduga karena kedua daerah tersebut berdekatan dengan ekosistem terumbu karang, sehingga padang lamun dapat terlindung dari hempasan ombak yang kuat, dan juga adanya suplai nutrien dari ekosistem terumbu karang di depannya.
37
Persentase komposisi jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Stasiun Tenggara, jenis lamun yang memiliki komposisi terbesar adalah Thalassia hemprichii sebesar 42%, Syringodium isoetifolium sebesar 33% dan Cymodocea serullata sebesar 24%. Sementara Halodule uninervis memiliki persentase komposisi jenis yang rendah yakni 1%. Stasiun Timur Laut, jenis Sringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata yang memiliki persentase komposisi jenis yang terbesar yakni sebesar 57% dan 32%. Jenis Thalassia hemprichii, Halophila minor dan Halodule uninervis memiliki persentase komposisi yang kecil yakni sebesar 6%, 5% dan 0%.
Lamun St Tenggara
Lamun St Timur Laut
Gambar 7 Persentase komposisi jenis lamun di lokasi penelitian Sringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Cymodocea serullata merupakan jenis lamun yang paling sering ditemukan di stasiun Tenggara dan Timur Laut. Hal ini disebabkan oleh ketiga jenis lamun tersebut memiliki daya tahan yang kuat terhadap berbagai gangguan seperti padatan tersuspensi. Sementara Halophila minor memiliki persentase jenis yang rendah dan tidak ditemukan di stasiun Tenggara. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bentuk morfologinya yang sangat kecil dibandingkan dengan jenis yang lain, sehingga sulit diamati apalagi dalam kondisi padatan tersuspensi yang tinggi dalam perairan. 4.3.2 Kerapatan Jenis Lamun Berdasarkan kisaran kerapatan lamun, stasiun Tenggara terdapat 3 jenis lamun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi yakni, jenis daun bertipe bulat
38
seperti lidi (Syringodium isoetifolium) berkisar 260-368 tegakan/m2, tipe daun berbentuk pita ukuran sedang (Cymodocea serrulata) berkisar 40-292 tegakan/m2 dan tipe daun berbentuk daun normal (Thalassia hemprichii) berkisar 36-580 tegakan/m2. Sementara kerapatan terendah adalah bertipe daun pita kecil (Halodule uninervis) berkisar 24 tegakan/m2. Stasiun Timur Laut ditemukan hanya 3 jenis lamun yang memiliki kerapatan jenis yang tinggi, yakni Syringodium isoetifolium berkisar 112-616 tegakan/m2 dan Cymodocea serrulata berkisar 112-280 tegakan/m2. Kerapatan terendah adalah Halodule uninervis sekitar 8 tegakan/m2. Jenis lamun bertipe daun bulat kecil (Halophila minor) hanya ditemukan di Timur Laut berkisar 200 tegakan/m2. Kerapatan jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat Tabel 8. Tabel 8 Kerapatan jenis lamun (tegakan/m2) di lokasi penelitian Stasiun Tenggara Tanpa Lamun lamun Kisaran
Rerata
Thalassia hemprichii
36-580
158
Syringodium isoetifolium
260-368
Cymodocea serullata
Jenis Lamun
Halodule uninervis Halophila minor
Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun Kisaran
Rerata
-
72-136
104
-
314
-
112-616
364
-
40-292
166
-
112-280
196
-
24
24
-
8
8
-
-
-
-
200
200
-
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa setiap jenis lamun memiliki kerapatan jenis yang berbeda-beda. Kerapatan jenis lamun per satuan luas sangat bervariasi tergantung kepada jenis lamun. Hal ini disebabkan oleh masing-masing spesies lamun memiliki tipe morfologi daun yang berbeda. Selain itu, disebabkan pula oleh tipe substrat yang berbeda. Stasiun Tenggara mempunyai tipe substrat pasir liat debu sementara Timur Laut memiliki tipe substrat pasir debu liat. Tipe substrat berperan dalam mengelolah nutrien dan kestabilan lamun di perairan. Sebagaimana menurut Kiswara (1997) bahwa kerapatan lamun juga dipengaruhi oleh kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat.
39
4.3.3 Persentase Penutupan Lamun Persen penutupan menggambarkan tingkat penutupan/penaungan ruang oleh lamun. Informasi mengenai penutupan sangat penting untuk mengetahui kondisi ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada. Nilai kerapatan saja belum tentu dapat menggambarkan tingkat penutupan suatu spesies karena nilai penutupan selain dipengaruhi oleh kerapatan juga sangat erat kaitannya dengan tipe morfologi spesiesnya. Persentase penutupan lamun yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Persen penutupan lamun (%) untuk seluruh jenis di lokasi penelitian Stasiun Tenggara Tanpa Lamun lamun
Jenis lamun
Kisaran
Rerata
Thalassia hemprichii
1-75
38
Syringodium isoetifolium
8-29
Cymodocea serullata
Stasiun Timur laut Tanpa Lamun lamun Kisaran
Rerata
-
4-17
10,5
-
18,5
-
2-60
31
-
3-17
10
-
11-69
40
-
Halodule uninervis
1
1
-
0,3
0,3
-
Halophila minor
-
-
-
6
6
-
Persen penutupan di stasiun Tenggara, Thalassia hemprichii memiliki persen penutupan tertinggi yakni berkisar 1-75% dan penutupan terendah adalah Halodule uninervis yang berkisar 1%. Sementara di stasiun Timur Laut, Cymodocea serullata memiliki persen penutupan tertinggi yakni berkisar 11-69%, disusul Syringodium isoetifolium berkisar 2-60%, Thalassia hemprichii berkisar 4-17%. Persentase penutupan terendah adalah Halodule uninervis sebesar 0,3%. Persen penutupan yang diperoleh ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Kamri (2004), yang menemukan Thalassia hemprichii dengan persentase penutupan sekitar 70%, Cymodocea
serullata sekitar 21,45%,
Halodule uninervis sekitar 1,45%, dan Syringodium isoetifolium sekitar 0,06%. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi pengukuran. Secara garis besar Tabel 9 menunjukkan bahwa persen penutupan di Tenggara lebih rendah dibandingkan dengan Timur Laut. Hal ini disebabkan oleh partikel tersuspensinya (TSS) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Timur Laut.
Padatan tersuspensi
yang tinggi
dapat
menghalangi
fotosintesis.
40
Sebagaimana pendapat Gruber (2010) bahwa cahaya dapat membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan lamun. Material tersuspensi yang melayang-layang dalam kolom air akan melekat pada helaian daun lamun, sehingga dapat menghalangi cahaya matahari yang digunakan untuk fotosintesis. Apabila proses fotosintesis terganggu dapat mengakibatkan pertumbuhan lamun menjadi terganggu. Hal ini didukung pula oleh tingginya liat yang ditemukan di Tenggara. 4.4 Laju Pemerangkap Partikel Tersuspensi Laju pemerangkap partikel tersuspensi yang tertinggi dalam sediment trap terdapat di daerah lamun stasiun Tenggara yakni berkisar 2,37-4,57 mg/cm2/hari. Begitu pula dengan ortofosfatnya lebih tinggi di lamun stasiun Tenggara yakni berkisar 13,5-17,4 mg/l. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persen liat di stasiun Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan Timur Laut, sehingga diduga terperangkap ke dalam sediment trap. Dari hasil pengukuran TSS diperoleh di stasiun Tenggara lebih tinggi (Tabel 5). Partikel tersuspensi yang terperangkap pada sediment trap di lokasi penelitian dapat dilihat di Tabel 10. Tabel 10 Partikel tersuspensi yang terperangkap pada sediment trap di lokasi penelitian Parameter Unit Partikel tersuspensi Rerata Nitrat Rerata Ortofosfat Rerata
mg/cm2/hari mg/kg mg/kg
Stasiun Tenggara Lamun Tanpa lamun 2,37-4,57 2,28-2,32 3,5 2,3 0,3-0,5 0,3-0,4 0,4 0,4 13,5-17,4 12,4-13,6 15,5 13,0
Stasiun Timur Laut Lamun Tanpa lamun 1,87-2,32 2,13-2,21 2,10 2,2 0,4-0,7 0,4-0,4 0,55 0,4 13,3-14,9 12,9-13,1 14,10 13,0
Tingginya partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sediment trap di lamun stasiun Tenggara, selain disebabkan oleh liatnya yang tinggi, juga didukung oleh bentuk topografinya yang membentuk cekungan, sehingga dengan tipe pasang surut Pulau Barrang Lompo yang semi diurnal (Lampiran 10), maka partikel-partikel tersuspensi lebih banyak mengendap. Sementara daerah tanpa lamun, partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sediment trap tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara stasiun Tenggara dan Timur Laut.
41
Tabel 10 menunjukkan pula bahwa nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di sediment trap memiliki perbedaan yang tidak signifikan antara daerah lamun dan tanpa lamun. Namun terdapat perbedaan yang signifikan antara nitrat dan ortofosfat di kolom air dan di substrat baik di stasiun Tenggara maupun Timur Laut (daerah lamun dan tanpa lamun). Nitrat dan ortofosfat yang terperangkap dalam sediment trap lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di kolom air dan di substrat. Nitrat dan ortofosfat yang berada di substrat dapat dilihat pada Tabel 6 dan yang berada di kolom air di Tabel 5. Hal ini diduga karena nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di sediment trap belum banyak dimanfaatkan oleh organisme karena terlindung oleh tabung pemerangkap. Sementara yang berada di kolom air dan substrat telah banyak dimanfaatkan oleh organisme. Jadi laju partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sediment trap di Pulau Barrang Lompo bagian Tenggara dan Timur Laut berkisar 1,87-4,57 mg/cm2/hari. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan data pengukuran tahun 2004 yang memperoleh laju partikel tersuspensi sekitar 0,5-3,0 mg/cm2/hari. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan laju pemerangkap partikel tersuspensi di Pulau Barrang Lompo. 4.5 Struktur Komunitas Makrozoobentos 4.5.1 Persentase Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobentos Hasil identifikasi jenis makrozoobentos yang ditemukan di Pulau Barrang Lompo berjumlah 70 genera yang terdiri atas 53 famili, 7 kelas dan 4 filum. Dari ke-70 genera tersebut, 46 genera berasal dari kelas Gastropoda, 2 genera dari kelas Skaphopoda, 16 genera dari kelas Bivalvia, 1 genera dari kelas Polikhaeta, 2 genera dari kelas Asteroidea, 2 genera dari kelas Ekhinoidea serta 1 genera dari kelas Malakostraka. Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa di daerah lamun komposisi kelas Gastropoda paling sering ditemukan baik di stasiun Tenggara dan Timur Laut yakni sebesar 68% dan 74 %. Disusul kelas Bivalvia sebesar 17% dan 19%, kelas Skaphopoda sebesar 6% dan 7%. Kelas makrozoobentos yang paling jarang ditemukan adalah kelas Asteroidea dan Polikhaeta untuk stasiun Tenggara sedangkan Timur Laut adalah kelas Ekhinoidea, Asteroidea dan Krustasea.
42
Banyaknya kelas Gastropoda yang ditemukan di daerah lamun disebabkan oleh daerah lamun banyak memiliki bahan organik. Bahan organik berupa detritus berasal dari plankton dan tumbuhan lamun yang mati, bakteri, dan bahan organik lain yang terakumulasi dalam sedimen atau terkubur/terjebak di sela-sela butiran pasir dan lumpur. Detritus tersebut dimanfaatkan oleh organisme detritus feeder sebagai bahan makanan utama. Gastropoda umumnya pemakan detritus/deposit (detritivores/deposit feeder). Bahan organik di daerah lamun lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Bahan organik yang ditemukan di lamun (stasiun Tenggara dan Timur Laut) sekitar 4,3-4,5%. Tingginya Gastropoda di daerah lamun ditemukan pula oleh Klumpp et al. (1992). Ia menemukan sekitar 20-60% biomassa epifit di padang lamun Filipina dimanfaatkan oleh komunitas epifauna yang didominasi oleh Gastropoda.
Lamun (Stasiun Tenggara)
Tanpa Lamun (Stasiun Tenggara)
Lamun (Stasiun Timur Laut)
Tanpa Lamun (Stasiun Timur Laut)
Gambar 8 Persentase komposisi kelas makrozoobentos
43
Selain itu, di daerah lamun guguran daun-daunnya tidak seluruhnya menjadi detritus, tetapi ada juga yang menjadi bahan organik terlarut, yang kemudian dimanfaatkan oleh fitoplankton. Fitoplankton dimakan oleh zooplankton sebagai konsumen tingkat pertama, yang selanjutnya dimakan oleh ikan sedang, dan pada akhirnya transpor energi dan materi akan masuk ke dalam rantai makanan detritus. Daerah tanpa lamun banyak ditemukan kelas Bivalvia baik di stasiun Tenggara maupun Timur Laut yakni berkisar 35% dan 69%. Hal ini disebabkan oleh bahan organik yang ditemukan di daerah lamun sangat rendah. Bahan organik di daerah tanpa lamun berkisar 0,8-1,04%. Bahan organik di daerah tanpa lamun hanya berasal dari partikel tersuspensi di kolom air yang terbawa oleh arus atau ombak. Bivalvia termasuk filter feeder, yaitu menyaring makanan di kolom air. Komposisi terkecil makrozoobenthos adalah dari kelas Krustasea. Hal ini disebabkan oleh organisme dari kelas Krustasea yang mobile, menyebabkan organisme dari kelas ini berpindah-pindah untuk mencari makan, mengingat organisme dari kelas ini merupakan kelompok organisme pemakan bahan-bahan suspensi yang berasal dari plankton dan bahan organik lainnya yang terbawa oleh arus dan gelombang, sehingga membutuhkan pergerakan aktif dalam mencari makanan (Nybakken 1992). Di daerah lamun dan daerah tanpa lamun ada beberapa spesies yang ditemukan paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan spesies lainnya. Spesies kelas Gastropoda yang paling banyak ditemukan di lamun stasiun Tenggara ada 5 spesies yaitu Viriola sp berjumlah 145 individu, Mitra pelliserpentis-pelliserpentis dan Turbo coomansis masing-masing berjumlah 102 individu, Siphonaria javanica berjumlah 94 individu, Atys cylindricus berjumlah 77 individu. Sementara yang berasal dari kelas Bivalvia ada 3 spesies yakni Placemen calophylum berjumlah 85 individu, Condakia tigerina dan Tellina radiata masing-masing berjumlah 60 individu. Kelas Skaphopoda ada 1 spesies yaitu Dentalium longitosum berjumlah 119 individu. Kelas Asteroidea ada 1 spesies yakni Linckia laevigata berjumlah 26 individu. Kelas Ekhinoidea ada 1 spesies yaitu Diadema sitosum berjumlah 68 individu.
44
Daerah lamun stasiun Timur Laut, kelas Gastropoda yang paling banyak ditemukan ada 3 spesies yaitu Cerithium balteatum berjumlah 77 individu, Nerita insculpta dan Atys cylindricus masing-masing berjumlah 60 individu. Kelas Bivalvia ada 2 spesies yakni Condakia tigerina berjumlah 70 individu, Condakia punctata berjumlah 60 individu. Kelas Skaphopoda ada 1 spesies yaitu Dentalium logitosum berjumlah 85 individu. Kelas Asteroidea tidak ditemukan. Kelas Ekhinoidea ada 1 spesies yaitu Diadema sitosum sebanyak 9 individu. Kelimpahan kelas makrozoobentos yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat Tabel 11. Tabel 11 Kelimpahan berdasarkan kelas makrozoobentos (ind/m2) di lokasi penelitian Parameter Gastropoda Rerata Skaphopoda Rerata Bivalvia Rerata Polikhaeta Rerata Asteroidae Rerata Ekhinoidae Rerata Krustasea Rerata
Stasiun Tenggara Lamun Tanpa Lamun 239-604 34-68 422 51 26-51 39 43-204 34 124 34 9-34 22 9-17 13 9-43 9 26 9 9-26 18
Stasiun Timur Laut Lamun Tanpa Lamun 230-451 17-43 341 30 17-51 34 26-119 68 73 68 9-17 13 9 9 -
-
Daerah tanpa lamun stasiun Tenggara, kelas Gastropoda yang paling banyak ditemukan ada 1 spesies yaitu Conus (Asprella) sulcatus berjumlah 17 individu. Kelas Bivalvia ada 2 spesies yaitu Condakia punctata sebanyak 26 individu dan Dosinia fibula sebanyak 17 individu. Kelas Skaphopoda tidak ditemukan. Kelas Polikhaeta ada 1 spesies yaitu Nereis diversicolor berjumlah 51 individu. Kelas Asteroidea ada 2 spesies yaitu Linckia Laevigata dan Asterias astrubs masingmasing berjumlah 9 individu. Kelas Ekhinoidea ada 1 spesies yaitu Diadema sitosum berjumlah 17 individu.
45
Kelas Gastropoda di daerah tanpa lamun stasiun Timur Laut, tidak ditemukan spesies yang lebih banyak. Masing-masing spesies berjumlah hampir sama yakni sekitar 9 individu. Kelas Bivalvia yang paling banyak ditemukan ada 1 spesies yakni Tellina radiata berjumlah 26 individu. Kelas Polikhaeta ada 1 spesies yakni Nereis diversicolor berjumlah 45 individu. Kelas Polikhaeta dan Ekhinoidea tidak ditemukan. 4.5.2 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi dan Pola Sebaran Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi spesies merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu perairan berdasarkan komposisi biologi. Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis
yang
diperoleh
(Odum
1993).
Tabel
12
menunjukkan
indeks
keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominansi (C) dan pola sebaran (Id) makrozoobentos yang ditemukan di lokasi penelitian. Tabel 12 Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominasi (C) dan pola sebaran (Id) di lokasi penelitian Parameter
Tenggara Lamun
Keanekaragaman (H’) Rerata Keseragaman (E) Rerata Dominansi (C) Rerata Pola sebaran (Id) Rerata
Timur Laut
3,44-3,74
Tidak ada lamun 2,27-2,46
Lamun 3,28-3,86
Tidak ada lamun 2,16-2,35
3,59
2,37
3,57
2,26
0,95-0,98
0,99-0,99
0,96-0,99
0,98-0,99
0,97
0,99
0,98
0,99
0,03-0,04
0,09-0,11
0,02-0,04
0,10-0,12
0,04
0,1
0,03
0,11
0,03-0,06
0,04-0,05
0,01-0,07
0,07-0,08
0,05
0,05
0,04
0,08
Tabel 12 dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman di daerah lamun lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies yang ditemukan di daerah lamun lebih banyak dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Daerah lamun jumlah spesies yang ditemukan sekitar 111
46
spesies sementara daerah tanpa lamun sekitar 31 spesies. Tingginya jumlah spesies di daerah lamun disebabkan oleh banyaknya bahan organik dan ortofosfat yang ditemukan dalam substrat. Di daerah lamun (stasiun Tenggara dan Timur Laut) total bahan organik yang ditemukan sekitar 4,3-4,5% dan ortofosfat sekitar 12,5-13,5 mg/kg. Sementara daerah tanpa lamun total bahan organiknya hanya sekitar 0,8-1,04% dan ortofosfat sekitar 6,0-10,3 mg/kg. Indeks keseragaman makrozoobentos di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Indeks keseragamannya cenderung mendekati nilai 1. Ini menunjukkan bahwa di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun memiliki kemerataan jumlah individu untuk setiap jenis yang ditemukan. Indeks dominansi makrozoobentos daerah lamun maupun tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Nilai indeks dominansinya termasuk rendah, dimana nilai indeks dominansinya cenderung mendekati nilai 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Sementara berdasarkan perhitungan indeks penyebaran makrozoobentos menunjukkan nilai yang
kurang
dari
1.
Ini
menunjukkan
bahwa
pola
penyebarannya
merata/seragam. Seragam disini dapat diartikan sebagai seragam dengan pola sebaran acak, yakni didalam sebaran jenis yang acak terdapat jenis-jenis yang seragam sebarannya. Jadi yang membedakan daerah lamun dan tanpa lamun (stasiun Tenggara dan Timur Laut) yaitu keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos, dimana daerah lamun memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang tinggi sedangkan daerah tanpa lamun memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang rendah. Sementara indeks keseragaman dan dominansi serta pola penyebarannya cenderung sama antara daerah lamun dan daerah tanpa lamun. 4.6 Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Lamun dan Makrozoobentos Berdasarkan analisis deskriptif antar stasiun (stasiun Tenggara dan Timur Laut)
daerah
lamun
dan
tanpa
lamun
diperoleh
bahwa
kelimpahan
makrozoobentos lebih tinggi di daerah lamun dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Begitupula total bahan organiknya lebih tinggi ditemukan di daerah lamun
47
dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Sementara untuk melihat keterkaitan antara kerapatan lamun, total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos dalam substasiun (stasiun Tenggara dan Timur Laut) digunakan analisis PCA. Stasiun Tenggara dan Timur Laut terdiri atas daerah lamun dan daerah tanpa lamun. Daerah lamun (stasiun Tenggara) terdiri atas lima substasiun yaitu A1, A2, A3, A4 dan A5, sedangkan daerah tanpa lamun terdiri atas C1 dan C2. Daerah lamun (stasiun Timur Laut) terdiri atas substasiun B1, B2, B3, B4 dan B5, sedangkan daerah tanpa lamun terdiri atas substasiun D1 dan D2. Parameter yang digunakan dalam analisis PCA adalah kelimpahan makrozoobentos (KM), kerapatan lamun (KL), persen penutupan (PP), total bahan organik (BO), C-organik (CO), nitrat (NI), ortofosfat (OF), pasir (PA), Liat (LI), debu (DE), dan pH (pH). Parameter-parameter tersebut diintegrasikan, sehingga akan diperoleh nilai matriks hubungan antar parameter, akar cirri, dan nilai kumulatif ragam. Berdasarkan hasil PCA, diperoleh total informasi yang diberikan sebesar 75,15%. Komponen utama pertama (F1) dengan nilai akar ciri (eigenvalue) sebesar 6,098 dapat menjelaskan informasi yang ada sebesar 55,435%. Komponen utama kedua (F2) sebesar 2,169 dapat menjelaskan informasi yang ada sebesar 19,716%. Komponen utama pertama (F1) terdiri atas kelimpahan makrozoobentos, kerapatan lamun, persen penutupan, total bahan organik, C-organik, nitrat, ortofosfat. Komponen utama kedua (F2) terdiri atas pasir dan liat. Analisis komponen utama korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen (Gambar 9) bila ditampilkan dengan sebaran substasiun (Gambar 10) maka diperoleh 4 bagian, yang menjelaskan kedekatan/penciri antar substasiun. Bagian pertama terdiri atas substasiun A1, A2, B1 dan B3 yang memiliki penciri kerapatan lamun yang tinggi, kelimpahan makrozoobentos yang tinggi, total bahan organik yang tinggi dan C-organik yang tinggi. Bagian kedua terdiri atas substasiun B2, B4 dan B5 yang dicirikan oleh pasir yang tinggi dan liat yang rendah. Bagian ketiga terdiri atas substasiun A3, A4 dan A5 yang dicirikan oleh debu yang rendah dan kerapatan lamun yang rendah. Bagian ketiga terdiri substasiun C1, C2, D1 dan D2 yang dicirikan oleh kelimpahan makrozoobentos yang rendah, total bahan organik yang rendah, C-organik yang rendah, nitrat dan
48
ortofosfat yang rendah. Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1 dan F2) dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9 Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen
Observations (axes F1 and F2: 75,15 %) 4
A4
3
F2 (19,72 %)
2
C1 B1
1 0 C2 D1
A5
A1
A2
A3
B3
-1
B2 B4 B5
-2D2 -3 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
F1 (55,43 %)
Gambar 10 Sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1xF2) Hasil analisis korelasi PCA menunjukkan bahwa variabel kerapatan lamun mempunyai korelasi positif yang kuat dengan total bahan organik sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun yang tinggi dapat mempengaruhi tingginya total bahan organik dan sebaliknya. Ini ditunjukkan oleh substasiun A1,
49
B3, B1 dan A2 yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi ternyata memiliki kandungan organik yang tinggi pula. Substasiun A1 (964 tegakan/m2) memiliki kandungan bahan organik sebesar 7,33%, B3 (844 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 5,25%, B1 (756 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 5,98%, dan A2 (496 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 4,50%. Sementara lamun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Substasiun A3 (128 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 2,83%, A4 (292 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 2,25%, dan A5 (36 tegakan/m2) mempunyai bahan organik sebesar 1,75%. Pengaruh kerapatan lamun dengan bahan organik dapat pula dilihat pada Gambar 11a. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa beberapa substasiun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi terdapat total bahan organik yang tinggi. Sementara substasiun tanpa lamun terjadi penurunan drastis total bahan organik. Total bahan organik daerah tanpa lamun yakni substasiun C1 memiliki kandungan bahan organik sebesar 1,14 %, C2 sebesar 0,94%, D1 sebesar 0,96 dan D2 sebesar 0,59%. Variabel kerapatan lamun mempengaruhi keberadaan bahan organik di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi mempunyai biomassa dan produktivitas daun yang tinggi. Sebagaimana pendapat (vonk Arie et al. 2008) bahwa semakin tinggi kerapatan tunas maka semakin tinggi pula biomassa dan produktivitas daunnya dibandingkan dengan kerapatan tunas yang rendah (jarang). Selain itu, lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat membuat perairan menjadi tenang, sehingga partikel tersuspensi di kolom air dapat mengendap ke dasar. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat pula mengurangi resuspensi di perairan. Akar dan rhizoma lamun dapat mencengkeram sedimen di dasar perairan, sehingga meminimalkan sedimen tersebut naik ke kolom air. Sebagaimana pendapat Gacia dan Duarte (2001) bahwa lamun dapat mengurangi resuspensi sekitar 85-95% di perairan. Hubungan kerapatan lamun, total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat di Gambar 11a, 11b, dan 11c.
8 6
1000
4 500
2
0
0 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Substasiun Bahan Organik
1500
1000
1000
500
500 0
0 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Substasiun
Total Bahan Organik (%)
Kerapatan Lamun
Kelimpahan Makrozoobentos
8 6 4 2 0
1000 500 0 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Substasiun Bahan Organik
Kelimpahan makrozoobentos(ind/m2)
Kerapatan lamun(tegakan/m2)
Kerapatan Lamun
Total bahan organik (%)
1500
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2)
Kerapatan lamun (tegakan/m2)
50
Kelimpahan Makrozoobentos
Gambar 11 (a) Hubungan kerapatan lamun dan total bahan organik (b) Hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobentos (c) Hubungan total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos
51
Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi terdiri atas Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah terdiri atas Halodule uninervis. Thalassia hemprichii dan Cymodocea serullata memiliki daun yang panjang dan lebar sementara Syringodium isoetifolium memiliki bentuk daun bulat seperti lidi dan daunnya tumbuh sangat rapat. Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi tergantung jenisnya. Karena masing-masing jenis lamun memiliki tipe morfologi daun yang berbeda. Berdasarkan analisis PCA, diperoleh variabel kerapatan lamun memiliki korelasi positif yang kuat dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,72. Dalam bentuk gambar grafik hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11b. Substasiun A1, B1, B3 dan A2 yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang tinggi. Sebaliknya, substasiun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 terdapat makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang rendah. Bahkan terjadi penurunan yang drastis terhadap kelimpahan makrozoobentos pada substasiun tanpa lamun (C1, C2, D1 dan D2). Ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun menjadi habitat hidup, tempat berlindung dan mencari makan makrozoobentos. Apabila kerapatan lamunnya tinggi, makrozoobentos dapat terlindung dari pemangsaan organisme lain, dari panas matahari, dan dari arus serta ombak yang kuat. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah atau tanpa lamun, kurang melindungi makrozoobentos dari pemangsaan serta kemampuan untuk mengurangi gerakan air sangat rendah, sehingga dapat menghanyutkan makrozoobentos. Total bahan organik yang tinggi di substrat dapat menaikkan kelimpahan makrozoobentos. Total bahan organik mempunyai korelasi yang kuat positif dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,84. Gambar grafik hubungan total bahan organik dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11c. Ternyata substasiun yang memiliki total bahan organik yang tinggi, ditemukan makrozoobentos yang melimpah seperti di substasiun A1, B3, B1 dan A2. Substasiun A1, A3, B1 dan A2 ini memiliki pula kerapatan yang tinggi. Jadi
52
kerapatan yang tinggi tak lepas dari tingginya kandungan total bahan organik yang dimiliki. Dengan tingginya kerapatan lamun dan bahan organik dapat memicu tingginya kelimpahan makrozoobentos di substrat. Jadi ada keterkaitan positif yang
erat
antara
makrozoobentos.
kerapatan
lamun,
bahan
organik
dan
kelimpahan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian sebagai berikut: 1 Jenis lamun Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata dan Syringodium isoetifolium merupakan jenis yang paling sering ditemukan dan dominan. Ketiga jenis lamun tersebut memiliki kerapatan yang tinggi. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata mampu memerangkap total bahan organik yang tinggi di substrat. 2 Kerapatan dan total bahan organik yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang melimpah dibandingkan dengan kerapatan dan bahan organik yang rendah. 3 Kelas Gastropoda lebih banyak ditemukan di daerah lamun yang memiliki kerapatan dan total bahan organik yang tinggi. Sementara kelas Bivalvia banyak terdapat di daerah tanpa lamun. 4
Perairan yang memiliki tekstur sedimen liat yang tinggi ternyata mampu memerangkap partikel tersuspensi yang tinggi dibandingkan dengan perairan yang memiliki tekstur sedimen pasir dan debu yang tinggi.
5.2 Saran Perlu dilakukan pengukuran komposisi organik dan inorganik yang terperangkap di sediment trap baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun untuk mengetahui kontribusi yang berasal dari partikel tersuspensi di kolom perairan.
DAFTAR PUSTAKA Asmus H, Asmus R. 1985. The importance of grazing food chain for energy flow and production in three intertidal sand bottom communities of the northern Wadden Sea. Helgolnder Meeresunters 39: 273-301. Abbot RT. 1991. Seashells of Southeast Asia. Scotland: Tynron Press. Abelson A, Danny M. 1997. Settlement of marine organisms in flow. Annu. Rev. Ecol. Syst. 28: 317-339. Agawin NSR, Duarte CM. 2002. Evidence of direct particle trapping by a tropical seagrass meadow. Estuaries 25: 1205-1209. Abdelrhman MA. 2003. Effect of eelgrass Zostera marina canopies on flow and transport. Marine Ecology Progress Series 248: 67-83. Brower JE, Zar JH, Ende von CN. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. Dubuque: WCB Publishers. Baron C, Marba N, Terrados J. 2004. Community metabolism and carbon budget along a gradient of seagrass (Cymodocea nodosa) colonization. Limnology and Oceanogrphy. 49(5): 1642-1651. Binzer T, Borum M, Pedersen O. 2005. Flow velocity affects internal oxygen conditions in the seagrass Cymodocea nodosa. Aquatic Botany 83: 239-247. Baron C, Middelburg JJ, Duarte CM. 2006. Phytoplankton trapped within seagrass (Posidonia oceanica) sediments are a nitrogen source: An in situ isotope labeling experiment. Limnonogy and Oceanogrphy 51(4): 16481653. Chester R. 1990. Marine geochemistry. Department of Earth Science University of Liverpool. London: UNWIN HYMAN. Den hartog C. 1970. The Sea-grasses of the world. Amsterdam: North-Holland Publisher. Dance SP. 1977. the Encyclopedia of shells. Poole Dorset: Blandford Press. Dharma B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I. Jakarta: PT Sarana Graha. -------------1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Jakarta: PT Sarana Graha. Danovaro R, Gambi C, Mirto S. 2002. Meiofaunal production and energy transfer efficiency in a seagrass Posidonia oceanica bed in the western Mediterranean. Marine Ecology Progress Series 234: 95-104.
55
Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecology Progress Series 102: 187-198. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey mannual for tropical marine resource. Townville, Australia: ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources by Australian Institute of Marine science. Enriquez S, Marba N, Duarte CM, van Tussenbroek BI, Gayes-Zavala G. 2001. Effects of seagrass Thalassia testudinum on sediment redox. Marine Ecology Progress Series 219: 149-158. Evrald V, Kiswara W, Bouman TJ, Middelburg. 2005. Nutrient dynamics of seagrass ecosystems: 15N evidence for the importance of particulate organic matter and root systems. Marine Ecology Progress Series 295: 49-55. Fortes M.D. 1989. Seagrasses: A Resource Unknown in The Asean Region. Iccarm Education, Manila, Philippines.
Fahruddin 2002. Pemanfaatan, ancaman, dan isu-isu pengelolaan ekosistem padang lamun (makalah falsafah sains). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Folkard AM. 2005. Hydrodynamics of model Posidonia oceanic patches in shallow water. Limnology and Oceanography 50 (5): 1592-1600. Fredriksen S, de Backer A, Bostrom C, Christie H. 2010. Infauna from Zostera marina L. meadows in Norway. Differences in vegetated and unvegetated areas. Marine Biology Research 6: 189-200. Gacia E, Duarte CM. 2001. Sediment retention by a Mediterranean Posidonia oceanica meadow: the balance between deposition and resuspension. Estuarine, Coastal and Shelf Science 52: 505-514. Gacia E, Duarte CM, Marba N, Terrados J, Kennedy H, Fortes MD. 2003. Sediment deposition and production in SE-asia seagrass meadows. Estuarine, Coastal and Shelf Science 56: 909-919. Gunawan AW, Suminar S, Laksmi A. 2008. Pedoman penyajian karya ilmiah. Ed: ke-2. Bogor: IPB press. (Acuan penulisan tesis) Gruber RK, Kemp WM. 2010. Feedback effects in a coastal canopy-forming submersed plant bed. Limnoogy and Oceanogrphy. 55(6) : 2285–2298. Hawkes HA. 1978. Invertebtrates as indicator of river water quality. Toronto: John Willey and Sons.
56
Hillman K, Walker DJ, Larkum AWD, Mc Comb AJ. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier. Hutchings P. 1998. Biodiversity and functioning of polychaetes in benthic sediments. Biodiversity and Conservation 7: 1133-1145. Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass ecology. Cambridge University Press. Hendricks IE, Sintes T, Bouma TJ, Duarte CM. 2008. Experimental assessment and modeling evaluation of the seagrass Posidonia oceanic on flow and particle trapping. Marine Ecology Progress Series 356: 163-173. Herkul K, Kotta J. 2009. Effects of eelgrass (Zostera marina) canopy removal and sediment addition on sediment characteristics and benthic communities in the Northern Baltic Sea. Marine Ecology 30: 74-82. Jones WB, Cifuentes LA, Kaldy JE. 2003. Stable carbon isotope evidence for coupling between sedimentary bacteria and seagrasses in a sub-tropical lagoon. Marine Ecology Progress Series 255: 15-25. Kuo J, McComb AJ. 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of seagrasses: a treatise on the biology of seagrasses with special refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier. Klumpp WH, Salita-Espinosa J, Fortes MD. 1992. The Role of epiphytic periphyton and macroinvertebrate grazers in the trophic flux of a tropical seagrass community. Aquatic Botany 43: 327-349. Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. Inventarisasi dan evaluasi potensi laut pesisir II. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan-LIPI. Komatsu T, Umezawa Y, Nakakoka M, Supanwahid C, Kanamoto Z. 2004. Water flow and sediment in Enhalus acoroides and other seagrass beds in the Andaman Sea, off Khao Bae Na, Thailand. Coastal Marine Science 29: 62-68. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut. Kamri M. 2004. Studi ekologi krustasea yang berasosiasi dengan padang lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo Kota Makassar (Skripsi).Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
57
Larkum AWD, Den hartog C. 1989. Evolution and Biogeography of Seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier. Lee KS, Dunton KH. 2000. Effects of nitrogen enrichment on biomass allocation, growth, and leaf morphology of the seagrass Thalassia testudinum. Marine Ecology Progress Series 196: 39-48. Millero FJ, Sohn LS. 1992. Chemical oceanography. Boca Raton Ann Arbor London: CRC Press. Mann KH. 2000. Ecology of coastal waters: with implication for management. Ed: ke-2. Massachusetts: Blackwell Scientific Inc. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nontji A. 2002. Laut nusantara. Jakarta: Djambatan. Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Ed: ke-3. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Peterson JB, Heck KL. 2001. Positive interactions between suspension-feeding bivalves and seagrass-a facultative mutualism. Marine Ecology Progress Series 213: 143-155. Parada M. 2002. Kepadatan dan produksi lamun Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichii di Pulau Barrang Lompo dan Bone Batang Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Putra M. 2004. Komposisi jenis dan distribusi ikan pada ekosistem padang lamun di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Pemkot Makassar. 2004. Laporan status lingkungan hidup pemerintah Kota Makassar Tahun 2004. Buku 2 Parameter Basis Data. 211 halaman. Roberts D, Soemodihardjo S, Kastoro W. 1982. Shallow water marine Molluscs of North-West Java. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pegelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Supriadi. 2002. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (LINN. F) ROYLE dan Thalassia hemprichii (EHRENB) ASCHERSON di Pulau Barrang Lompo Makassar (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
58
Supriadi, Arifin. 2005. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di Pulau Barrang Lompo Makassar. Torani 15(1): 59-64. Ukkas M, Jalil AR, Tuwo A, Mursalim. 2000. Pengaruh kepadatan lamun artifisial terhadap sedimentasi di Perairan Pulau Barrang Lompo. Torani 10 (1): 24-29. Van Duin EHS, Blom G, Los FJ, Maffione R, Zimmerman R, Cerco CF, Dortch M, BestElly PH. 2001. Modeling underwater light climate in relation to sedimentation, resuspension, water quality and eutrotrophic growth. Hydrobiologia 444: 25-42. vonk Arie J, Middelburg J, Stapel J, Bouma TJ. 2008. Dissolved organic Nitrogen uptake by Seagrass. Limnology and Oseanography 53: 242-248. Wicks EC, Koch EW, O’neil JM, Elliston K. 2009. Effects of sediment organic content and hydrodynamic conditions on the growth and distribution of zostera marina. Marine Ecology Progress Series 378: 71-80. Zimmerman RC, Smith RD, Alberte RS. 1987. Is growth of the Eelgrass nitrogen limited? a numerical simulation of effect of light and nitrogen on the growth dynamics of Zostera marina. Marine Ecology Progress Series 41:167-176.
Lampiran 1 Desain perangkap partikel tersuspensi yang digunakan selama penelitian
Lampiran 2 Data pengukuran parameter fisika-kimia air di lokasi penelitian Stasiun
Parameter Tenggara
Timur Laut
o
Suhu ( C)
30,0
30,5
Salinitas (o/oo)
32,0
31,0
DO (mg/l)
3,7
3,1
TSS (mg/l)
39,1
27,9
BOT (mg/l)
59,6
78,7
Nitrat (mg/l)
0,1
0,2
Ortofosfat (mg/l)
0,8
0,6
pH
8,3
8,2
60
61
Lampiran 3 Data pengukuran parameter kimia substrat di lokasi penelitian
Stasiun
Tenggara
Timur Laut
Substasiun A1 A2 A3
pH 7,69 7,77 7,63
Corganik (%) 0,39 0,30 0,21
A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2
7,58 7,65 7,47 7,65 7,64 7,63 7,63 7,70 7,64 7,58 7,69
0,18 0,15 0,12 0,12 0,41 0,38 0,38 0,36 0,23 0,12 0,10
BOT Nitrat Ortofosfat (%) (mg/kg) (mg/kg) 7,33 0,16 13,48 4,50 0,15 13,05 2,83 0,15 13,23 2,25 1,75 1,14 0,94 5,98 3,29 5,25 3,10 2,67 0,96 0,59
0,13 0,15 0,08 0,05 0,14 0,13 0,12 0,14 0,14 0,03 0,04
13,50 13,20 10,30 7,05 12,78 12,95 13,17 13,48 12,52 8,10 6,01
Pasir (%) 68 70 75
Debu (%) 15 12 10
Liat (%) 17 18 15
65 75 70 72 65 78 70 81 81 73 79
8 12 10 11 16 12 18 10 14 13 11
27 13 20 17 19 10 12 9 5 14 10
Jenis sedimen Lempung berpasir Lempung berpasir Pasir berlempung Lempung liat berpasir Pasir berlempung Lempung berpasir Lempung berpasir Pasir berlempung Pasir Pasir berlempung Pasir Pasir Pasir Pasir
61
62
Lampiran 4 Data pengukuran partikel tersuspensi di lokasi penelitian
Stasiun
Lamun Tenggara Tidak ada lamun
Lamun Timur Laut Tidak ada lamun
Substaisun A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2
Berat (g) 504 345 261 304 295 255 251 221 223 225 205 255 243 235
Luas penampang (cm2) 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6 126,6
Laju pengendapan (mg/cm2/hari) 4,57 3,13 2,37 2,76 2,68 2,32 2,28 2,01 2,02 2,04 1,87 2,32 2,21 2,13
Nitrat (mg/kg)
Ortofosfat (mg/kg)
0,4 0,5 0,4 0,3 0,4 0,4 0,3 0,7 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4
17,6 13,9 14,0 13,5 13,8 13,6 12,4 13,9 13,9 14,9 14,7 13,3 13,1 12,9
62
63
Lampiran 5 Data struktur komunitas lamun Krptn Jenis
% Jenis
% Penutupan
580 260 124 964
59,92 26,86 12,81 100,00
75,00 8,25 3,70 86,95
Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Halodule uninervis Total
64 368 40 24 496
12,90 74,19 8,064 4,839 100
3,377 28,5 2,626 0,501 35,004
A3
Thalassia hemprichii Total
128 128
100 100
27 27
A4
Cymodocea serullata Total
292 292
100
17,02 17,02
Thalassia hemprichii Total
36 36
100 100
1,127 1,127
-
-
-
St
Jenis Lamun
Tenggara A1 Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Total A2
A5
C1 C2
-
St
Jenis Lamun
Timur Laut B1 Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Halodule uninervis Total
Krptn Jenis
% Jenis
% Penutupan
136 428 184 8 756
17,99 56,61 24,34 1,06 100
17,00 60,00 17 0,25 94,25
B2
Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Total
404 312 716
55,80 43,09 100,00
60 29,5 89,5
B3
Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Thalassia hemprichii Total
508 264 72 844
60,19 31,28 8,53 100,00
37,5 33 3,752 74,252
B4
Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Total
616 136 752
81,92 18,09 100,00
37,5 11,1 48,6
B5
Syringodium isoetifolium Cymodocea serullata Halophila minor Total
112 280 200 592
18,92 47,30 33,78 100,00
1,878 69 6,378 77,256
D1 D2
-
-
-
-
63
64
Lampiran 6 Arah dan kecepatan arus Pulau Barrang Lompo bulan Februari, Maret, dan April 2010 Pola Arus Sekitar P. Barranglompo Bulan Febuari
Pola Arus Sekitar P. Barranglompo Bulan Maret
-4.2
-4.4
-4.4
-4.6
-4.6
Lintang (Derajat Desimal)
Lintang (Derajat Desimal)
-4.2
-4.8
-5 P. Baranglompo
-5.2
-5.4
-4.8
-5 P. Baranglompo
-5.2
-5.4 Kecepatan Arus (knot)
-5.6
-5.8
Kecepatan Arus (knot)
-5.6
0.1 0.5 0.7 1 1.5
0.1 0.5 0.7 1 1.5
-5.8
Sumber :
117.6
117.8
118
118.2
118.4
118.6
118.8
119
119.2
119.4
119.6
Sumber :
Arus JODC periode 1906-1984
117.6
117.8
118
118.2
Bujur (Derajat Desimal)
118.4
118.6
118.8
119
119.2
119.4
119.6 Arus JODC periode 1906-1989
Bujur (Derajat Desimal)
Arah dan kecepatan arus sekitar Pulau Barrang Lompo bulan Februari 2010
Arah dan kecepatan arus sekitar Pulau Barrang Lompo bulan Maret 2010 Pola Arus Sekitar P. Barranglompo Bulan April
-4.2
-4.4
Lintang (Derajat Desimal)
-4.6
-4.8
-5 P. Baranglompo
-5.2
-5.4 Kecepatan Arus (knot)
-5.6
0.1 0.5 0.7 1 1.5
-5.8
117.6
117.8
118
118.2
118.4
118.6
118.8
Bujur (Derajat Desimal)
119
119.2
119.4
119.6
Sumber : Arus JODC periode 1905-1977
Arah dan kecepatan arus sekitar Pulau Barrang Lompo bulan April 2010
64
65
Lampiran 7 Data komposisi makrozoobentos Komposisi (ind/m2) Stasiun Tenggara Kelas
Gastropoda Skaphopoda Bivalvia Polikhaeta Asteroidae Ekhinoidae Krustasea Jumlah
Lamun A1 604 42,5 204 34 42,5 17 944
A2 391 51 179 8,5 17 646
A3 366 26 43 34 26 493
A4 451 42,5 51 8,5 8,5 561
A5 239 26 94 8,5 8,5 375
Stasiun Timur Laut Tanpa lamun C1 C2 68 34 34 34 17 8,5 9 111 94
Lamun B1 306 51 85 8,5 451
B2 230 17 60 306
B3 451 26 26 8,5 8,5 519
B4 340 17 77 8,5 442
B5 289 34 119 17 459
Total Tanpa (ind/m2) lamun D1 D2 17 43 3826 331,5 68 68 1139 93,5 42,5 110,5 51 85 111 5594
65
66
Lampiran 8 Data kelimpahan makrozoobentos Stasiun Tenggara No
Spesies
Lamun A1
1
2
3
4 5
6
7
8
Gastropoda Turbidinae Astraea rhodostoma Nerita insculpta Hamineidae Atys cylindricus Atys naucum Conidae Conus terebra Conus (Asprella) sulcatus Conus monile Conus coffaea Conus sp Conus magus Conus caracteristicus Coralliophila Coralliophila solutistoma Cerithiidae Cerithium balteatum Cerithium salebrosum Cerithium lifuense Cerithium alveolum Rhinoclavis vertagus Rhinoclavis aspera Cypraeidae Cyprea asellus Cyprea eburnea Triphoidae Inifloris lifuana Viriola sp Crossopoma nieli Potamididae Cerithidae cingulata
A2
34 17 8,5 8,5 17
26
A3
A4
8,5
8,5
26 17
17 17
8,5 8,5 8,5
A5
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
17 17
17 8,5
8,5
8,5
17
17
8,5 17
17 17
17 8,5
8,5 17
8,5 8,5 17
8,5 8,5
17
8,5
17
8,5
76,5
17 17 8,5
8,5
127,5 59,5 85 42,5 42,5 76,5
17 8,5
8,5 17
8,5
17 110,5 8,5
144,5 127,5
8,5 8,5
8,5
17 8,5 8,5 34
17
8,5
17 26
8,5 8,5 8,5
8,5
17
8,5 8,5 8,5 8,5
8,5 17 8,5
8,5
17
8,5
8,5 8,5 8,5
17
8,5 34 43 43
17
17
43 8,5
17 26 8,5
17
8,5
8,5 17 8,5
8,5 8,5
8,5 8,5 8,5 8,5
25,5 17 17 17
25,5 17
8,5 8,5
17
Tot
8,5 8,5
8,5 17
Tanpa lamun D1 D2
17 8,5
8,5 17 17 8,5 17
17
8,5
8,5
8,5
8,5 8,5 8,5 8,5
8,5 8,5
51 85 51 51 25,5 17 8,5
8,5 42,5 127,5 195,5 127,5 85
66
67
Lampiran 8 (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Stasiun Tenggara No
Spesies
Lamun A1
9
10
11
12 13 14
15 16 17
18 19
Fissurellidae Diodora sieboldii Diodora sp Diodora lincolnensis Domiporta Domiporta filaris Domiporta praestantissima Buccinidae Euthria sp Phos roseatus Pisania ignea Nassaria pusilla Columbellidae Euplica varians Epitoniidae Epitonium aculaetum Eulimidae Eulima porita Melanella teinostoma Haliotidae Haliotis sp Littorinidae Littoraria intermedia Mitridae Mitra pelliserpentis pellisertentis Mitra doliolum Mitra tabaluna Mitra proscissa Mitra fraga Mitra litterata Volutidae Melo-melo Muricidae Maculotriton serriale Orania walkeri
A2
A3
8,5
A4
A5
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
8,5
17
17
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5 8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5 8,5
17
17
8,5
17
8,5
8,5
26
17
8,5
26 8,5
26
8,5
8,5
8,5
17
17
8,5
8,5
8,5 8,5
51
8,5
17 8,5
8,5
17
8,5 8,5
25,5
8,5
17
8,5
8,5
8,5
102
8,5
59,5 8,5
8,5
102
8,5
161,5 34 25,5 8,5 59,5 8,5
17 8,5 8,5
17
17 8,5
17
25,5 8,5 76,5 8,5
8,5 17
8,5
42,5 25,5 34
8,5
8,5 17
Tot
25,5 8,5
8,5 8,5
Tanpa lamun D1 D2
8,5
8,5
8,5
8,5 8,5
8,5 8,5
67
68
Lampiran 8 (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Stasiun Tenggara No
Spesies
Lamun A1
20
Nassariidae Nassarius (Zeunis) complus Nassarius (Niotha) sp Nassarius sp
21
Naticidae
22
Natica sp Polinices sebae Polinices (Neverito) peselephati Polinices mammila Olividae Oliva tersselata Oliva-oliva Terebra babylonia Terebra sp
23
24 25 26 27 28 29
A2
A3
A4
A5
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
8,5
8,5 17 8,5
8,5 8,5
17
8,5
8,5 8,5
8,5
17
8,5 8,5
8,5
8,5 17
8,5
8,5
8,5
8,5 17 8,5 8,5
8,5 17
Tot
25,5 25,5 42,5 17 8,5 34 17
8,5 8,5
Tanpa lamun D1 D2
17 8,5
8,5 8,5
8,5 51 76,5 25,5
Pyramidellidae Pyramidella sp Turbo coomansi Subulinidae Paropeas sp Acteonidae Pupa solidula
26 34
8,5
26
17 17
17
8,5
8,5
17
8,5
26
8,5
17 8,5
8,5
8,5
51 136
8,5
8,5
93,5
8,5
8,5
Ringicullidae Ringicula semistriata Rissoidae Rissoina bruguerei Strombidae Strombus sp Siphonariidae Siphonaria javanica
8,5
8,5
17 8,5
43
17
17
8,5
8,5
8,5
59,5
8,5
17
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
119
68
69
Lampiran 8 (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Stasiun Tenggara No
Spesies
Lamun A1
30 31 32 33 34
35
Cirridae Truchus historio Trochidae Trochus sp Triphoridae Triphora perversa Triviidae Trivia oryza Costellariidae Vexillum exasperatum Vexillum lyratum Vexillum acupictum Vexillum pacificum Ariophantidae Xesta tomiana Total Jumlah spesies
A2
A3
A4
A5
36
8,5
34
8,5
17
8,5
17
8,5
37
8,5
17
8,5 8,5
8,5
8,5
17 391 29
366 27
8,5 451 36
247 23
Lamun
8,5
68 7
34 4
8,5
8,5
8,5 8,5
306 23
230 22
8,5 451 38
8,5 340 27
25,5
8,5 8,5
34 8,5 25,5 42,5
289 34
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
A1
A2
A3
A4
A5
8,5 34
8,5 26
8,5 17
17 26
8,5 17
51
8,5 8,5
17
43 2
17 51 3
26 2
43 2
26 2
51 1
17 2
8,5 26 2
93,5
8,5
8,5
8,5 8,5
604 30
76,5
8,5 8,5
Tot
8,5 8,5
17
8,5
Spesies
Skaphopoda Dentaliidae Dentallium inaequicostatum Dentallium longitosum Laevidentaliidae Laevidentalim philippinarum Total Jumlah spesies
Tanpa lamun D1 D2
8,5
Stasiun Tenggara No
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
17 2
43 5
Tanpa lamun D1 D2
42,5 3834 307
Tot
8,5
17 8,5
85 204
8,5 17 2
8,5 34 3
43 332 21
69
70
Lampiran 8 (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Stasiun Tenggara No
38
39
40
41 42
43
44 45
Spesies
Bivalvia Lucinidae Codakia punctata Condakia tigerina Pectinidae Chlayms cloacata Chlayms albolineata Veneridae Calista (Costacallista) erycina Dosinia derupta Dosinia fibula Dosinia variegata Dosinia victorie Dosinia juvenilis Pitar alabastrum Pitar (Pitirina) citrinus Placamen tiara Placamen calophyllum Timoclea marica Anomioidea Enigmonia aenigmatica Fimbriidae Fimbria fimrbiata Fimbria sowerbyil Carciidae Fragum tinedo Vasticardium subrugosum Trachycardium subrugosum Pholadomyoida Lioconcha ornata Modulidae Modiolus micropterus
Lamun A1
A2
17 8,5
17 26
A3
A4
A5
8,5 17
17 8,5
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Timur Laut Tanpa Lamun lamun C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5
8,5
17
17 25,5
17 8,5
17 25,5
8,5 17
Tanpa lamun D1
D2
8,5 17
8,5 8,5
8,5 17
8,5
17 8,5
17
8,5
8,5 17
8,5
8,5
8,5
8,5 8,5
17 8,5 8,5
8,5
8,5 8,5
8,5 8,5
8,5 8,5
8,5 43
17
8,5 8,5
8,5
8,5
17
8,5
17
8,5
8,5
8,5 17
8,5
8,5 8,5
8,5
59,5 17 42,5 34 17 68 17 8,5 102 8,5 42,5 8,5 34 8,5 17
8,5
8,5
17
153 153 8,5 17
8,5
8,5 17
Tot
8,5
17
8,5
8,5
17
8,5
8,5
34
70
71
Lampiran 8 (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Tenggara No
46
Spesies
Lamun A1
A2
A3
8,5
17
8,5
17
8,5
A4
A5
Lamun B1
B2
B3
B4
B5
8,5
8,5
8,5
17
8,5
8,5
Tanpa lamun D1 D2
Tot
Spondliidae Spondylus multimuricatus
47
Stasiun Timur Laut Tanpa lamun C1 C2
51
Tellinidae Tellina radiata Tellina remies Tellina timorensis
8,5
26
8,5
17
111
8,5
59,5
8,5 8,5
8,5
17
8,5
Tellina (Laciolina) timorensis
8,5
Total
179
128
43
26
68
26
17
34
34
17
8,5 34
94
51
60
832
17
Jumlah spesies
15
12
5
5
8
4
3
7
4
3
6
11
7
6
96
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Tenggara No
Spesies
Stasiun Timur Laut
Lamun A1
A2
A3
A4
A5
Tanpa lamun C1 C2
Lamun B1
B2
B3
B4
B5
Tanpa lamun D1 D2
Tot
Polikhaeta 48
Nereidae Nereis diversicolor
34
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
17
93,5
Total
34
8,5
8,5
8,5
8,5
8,5
17
93,5
Jumlah spesies
1
1
1
1
1
1
1
7
Asteroidae 49
Ophidiasteridae
50
Asteriidae
Linckia laevigata
17
8,5
8,5
8,5
Total
17
8,5
17
42,5
Jumlah spesies
1
1
2
4
Asterias astrubs
8,5
34
71
72
Lampiran 8. (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos) Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Tenggara No
Spesies
A5
34
8,5
8,5
8,5
8,5
93,5
Lamun A1
A2
Stasiun Timur Laut Tanpa lamun C1 C2
A3
A4
Lamun B1
B2
B3
B4
B5
Tanpa lamun D1 D2
Tot
Ekhinoidae 51
Diadematidae Diadema setosum
52
26
Dendrasteridae Dendraster excentricus
17
17
Total
43
34
8,5
8,5
8,5
8,5
111
Jumlah spesies
2
1
1
1
1
1
7
17
26
8,5
51
Total
17
26
8,5
51
Jumlah spesies
1
1
1
3
Krustasea 53
Geneplacidae Carcinoplax sp
Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) Stasiun Tenggara No
Spesies
Stasiun Timur Laut
A1
A2
A3
A4
A5
Tanpa lamun C1 C2
Total keseluruhan
944
646
493
561
375
111
Jumlah total spesies
51
46
36
45
35
12
Lamun
B1
B2
B3
B4
B5
Tanpa lamun D1 D2
94
450,5
306
519
442
459
85
111
5698
10
32
28
45
36
49
9
11
113
Lamun
Tot
72
73
Lampiran 9 Data klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian Kingdom
Filum
Klas
Ordo
Famili
Genus
Spesies Dosinia derupta Dosinia fibula
Dosinia
Dosinia variegata Dosinia victorie Dosinia juvenilis
Veneridae Placamen Pitar Calista Veneroida
Lucinidae
Condakia
Placamen tiara Placamen calophyllum Pitar alabastrum Pitar (Pitirina) citrinus Calista (Costacallista) erycina Codakia punctata Condakia tigerina Tellina radiata
Tellinidae
Bivalvia
Fimbriidae
Tellina
Fimbria Fragum
Carciidae Animal
Moluska Pholadomyoida Chamida
Veneridae
Tellina remies Tellina timorensis Tellina (Laciolina) timorensis Fimbria fimrbiata Fimbria sowerbyil
Vasticardium
Fragum tinedo Trachycardium subrugosum Vasticardium subrugosum
Lioconcha
Lioconcha ornata
Timoclea
Timoclea marica Spondylus multimuricatus
Trachycardium
Ostreoida
Spondlidae
Ostreoidae
Pectinidae
Chlamys
Anomioidea
Anomiidae
Enigmonia
Enigmonia aenigmatica
Modulidae
Mytilidae
Modulus
Modiolus micropterus
Fissurellidae
Diodora
Spondylus
Chlayms cloacata Chlayms albolineata
Diodora sieboldii Diodora sp Diodora lincolnensis Archaeogastrophoda
Cirridae Trochidae
Trochus
Turbinidae
Astraea
Astraea rhodostoma
Nerita
Nerita insculpta
Gastropoda
Truchus historio Trochus sp
Conus terebra Conus (Asprella) sulcatus Neogastropoda
Conidae
Conus
Conus monile Conus coffaea Conus sp Conus magus Conus caracteristicus
74
Lampiran 9 (Lanjutan klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian) Kingdom
Filum
Klas
Ordo
Famili
Nassariidae
Genus
Nassaria
Spesies Nassarius (Zeunis) complus Nassarius (Niotha) sp Nassarius sp
Buccinidae
Phos
Phos roseatus
Gari
Pisania ignea
Euthria Nassaria
Euthria sp
Vexillum
Vexillum lyratum
Neogastropoda Costellariidae
Nassarius pusilla Vexillum exasperatum Vexillum acupictum Vexillum pacifitum
Terebra Olividae Oliva Volutidae
Melo
Coralliophilidae
Coralliophila
Terebra babylonia Terebra sp Oliva tersselata Oliva-oliva Melo-melo Coralliophora solutistoma Mitra pelliserpentis pellisertentis Mitra doliolum
Mitra Animal
Moluska
Gastropoda
Mitra tabaluna Mitra proscissa
Mitridae
Mitra fraga Mitra litterata Domiporta
Domiporta filaris Domiporta praestantissima
Columbellidae
Euplica
Muricidae
Maculorithon
Euplica varians Maculotriton serriale
Orania
Orania walkeri
Inifloris
Inifloris lifuana
Viriola
Viriola sp
Crossopoma
Crossopoma nieli
Naticidae
Natica
Natica sp
Strombidae
Strombus
Strombus sp
Rissoidae
Rissoina
Rissoina bruguerei
Eulima
Neotaenioglossa Triphoridae
Epitoniidae
Epitonium
Littorinidae Ariophantidae
Littoraria
Eulima porita Melanella teinostoma Epitonium aculaetum Littoraria intermedia
Xesta
Xesta tomiana
Cypraeidae
Cyprae
Eulimidae
Melanella
Cypreas aseilus Cyprea eburnea
75
Lampiran 9 (Lanjutan klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian) Kingdom
Filum
Klas
Ordo
Famili
Genus
Cerithium Cerithiidae
Rhinoclavis Neotaenioglossa Potamididae
Cerithidae
Naticidae
Polinices
Triphoridae
Triphora
Polinices sebae Polinices (Neverito) peselephati Polinices mammila Triphora perversa
Triviidae
Trivia
Trivia oryza
Hamineidae
Atys
Gastropoda Moluska
Cephalaspidae Animal
Heterostropha
Ekhinodermata
Krustasea
Atys cylindricus
Ringiculidae
Ringicula
Atys naucum Ringicula semistriata
Acteonidae
Pupa
Pupa solidula
Pyramidella
Pyramidella sp
Turbo
Turbo coomansi Paropeas sp Siphonaria javanica
Pyramidellidae
Stylommatophora
Subulinidae
Paropeas
Pulmonata
Siphonariidae
Siphonaria
Vetigastropoda
Haliotidae
Haliotis
Dentaliidae
Dentalium
Laevidentaliidae
Laevidentalim
Aciculata
Nereidae
Nereis
Valvatida
Ophidiasteridae
Linckia
Forcipulatida
Asteriidae
Asterias
Cidaroidea
Diadematidae
Diadema
Ekhinoidae
Clypeasteroida
Dendrasteridae
Dendraster
Asterias astrubs Diadema setosum Dendraster excentricus
Malakostraka
Decapoda
Geneplacidae
Carcinoplax
Carcinoplax sp
Skaphopoda
Anelida
Spesies Cerithium balteatum Cerithium salebrosum Cerithium lifuense Cerithium alveolum Rhinoclavis vertagus Rhinoclavis aspera Cerithidae cingulata
Polikhaeta
Asteroidae
Dentaliida
Haliotis sp Dentallium inaequicostatum Dentallium longitosum Laevidentalim philippinarum Nereis diversicolor Linckia laevigata
76
Pasang surut
Pasang surut
Lampiran 10 Grafik pasang surut perairan Pulau Barrang Lompo bulan Februari, Maret dan April 2010 Bulan Februari 2010 2 1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bulan Maret 2010 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Pasang surut
Bulan April 2010 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
76
77
Lampiran 11 Hasil Analisis Komponen Utama A Semi Matriks Korelasi Variables KM KL PP PA DE LI BO CO NI OF PH
KM
KL
PP
PA
DE
LI
1 0,717 0,602 -0,326 0,303 0,169 0,839 0,666 0,824 0,777 0,459
1 0,933 -0,099 0,590 -0,191 0,876 0,957 0,658 0,658 0,385
1 -0,053 0,644 -0,262 0,826 0,912 0,635 0,603 0,271
1 -0,190 -0,879 -0,422 -0,150 -0,081 -0,176 0,227
1 -0,302 0,649 0,567 0,172 0,174 0,187
1 0,094 -0,130 -0,005 0,086 -0,311
BO
CO
NI
OF
1 0,891 1 0,687 0,678 1 0,657 0,685 0,944 1 0,392 0,395 0,340 0,151
PH
1
B Akar penciri dan Persen Ragam pada dua sumbu utama (F1-F2) s Akar ciri Ragam (%)
F1 6,098 55,435
F2 2,169 19,716
77