Working Paper Series No. Bulan 20..
Keterbukaan Sistem Puskesmas, Modal Sosial Dan Kemandirian Posyandu Gita Setyawati, Mubasysyir Hasanbasri, Arie Sujito
Abstract Background. The positive role of community based primary health care in improving child health has been widely reported. In Indonesia, Posyandu (post of integrated health service) is the prime example of community-based primary health care having strategic role in reducing child mortality. Posyandu is undertaken by local health volunteer and funded by community itself. However, very little is known about the background shaping the willingness of community to cooperatively sustain the Posyandu. Objective. This research examines the role of community social capital in sustaining health service delivery through Posyandu in Indonesia after the Asian economic crisis 1998. Method. We used the Indonesia Family Life Survey (IFLS) wave 3 collected in the year 2000. The sustainability of Posyandu was measured by the extent of health service delivery by local cadres and the amount of financial resources raised from the community. Social capital was measured by community membership of available social groups. We used X2 test to analyze statistical association between the variables and Posyandu sustainability. Finally, logistic regression was used to gauge their effects on sustainability. Result. We found a significant association between social capital and local cadre volunteering and community financing. And in logistic regression we found social capital to show a strong effect in sustaining Posyandu’s operation. Conclusion. The existence of social capital manifested by social groups and high community membership enables community to have effective self-organizing capacity facilitating them to manage beneficial social activities. Health center should work with and not against this local potential by strengthening local processes in the community and by tapping local knowledge and skills. Keywords: Social capital, community based primary health care, sustainability, local selforganizing, health center PENDAHULUAN Permasalahan gizi di usia pertumbuhan termasuk salah satu faktor yang melatarbelakangi rendahnya kualitas generasi muda. Selain alasan kemiskinan dan tingkat kerawanan pangan yang tinggi, permasalahan gizi kurang memiliki kaitan erat dengan pemanfaatan dari pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Implementasi pelayanan kesehatan berbasis masyarakat cukup efektif dalam meningkatkan kesehatan anak di Negara-negara berkembang [1]. Peran positif dari pelayanan berbasis masyarakat ini telah banyak di teliti. Peran kader lokal dalam rehabilitasi anakanak balita yang mengalami gizi kurang, penanganan diare, dan penyampaian pengetahuan kesehatan kepada ibu-ibu terbukti mampu meningkatkan kesehatan anak dengan efektif [1]. Pembentukan dari model pelayanan ini adalah untuk memperluas jaringan pelayanan kesehatan bagi kelompok-kelompok lemah seperti kaum minoritas, wanita, anak-anak, dan kaum lanjut usia. Di sisi lain, pelayanan ini mampu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam hal kesehatan [2]. Keterlibatan masyarakat dalam proses pemberian pelayanan kesehatan mampu menjaga keberlanjutan program dan hal ini akan memberikan dampak positif dalam penurunan angka kematian bayi dan balita di Bolivia [3]. Sementara itu di Cameroon, upaya peningkatan status gizi 1
Working Paper Series No. Bulan 20..
anak melalui penguatan kader kesehatan lokal dan menekankan misi kesehatan di dalam kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat [4]. Salah satu contoh utama dari penerapan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat di Indonesia adalah posyandu. Posyandu memiliki peran strategis dalam menurunkan angka kematian anak baik melalui upaya peningkatan status gizi balita maupun dengan peningkatan pengetahuan ibu balita. Partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci keberhasilan posyandu [5]. Posyandu merupakan salah satu strategi puskesmas untuk mempermudah masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan dasar terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, seperti penimbangan balita, imunisasi, penanganan diare, atau pelayanan keluarga berencana (KB). Sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat, posyandu diharapkan dapat mandiri dalam memberikan pelayanan, baik pada penyediaan sumberdaya manusia maupun dana kegiatan. Namun meskipun demikian, tidak banyak penelitian yang mencoba mengungkap fakta sosial yang melatarbelakangi kesediaan masyarakat untuk bekerjasama menjaga keberlanjutan pelayanan kesehatan melalui posyandu. Masyarakat secara alami memiliki substansi lokal yang mampu memfasilitasi warga untuk saling berinteraksi. Jaringan yang terbentuk diantara mereka dapat mendorong pada kesinambungan berbagai aktifitas sosial. Sehingga, salah satu dimensi modal sosial yang berupa jaringan lokal tersebut akan mampu menjaga berbagai pelayanan public [6]. Dewasa ini berkembang pemahaman baru di dunia kesehatan masyarakat bahwa elemen-elemen sosial di dalam masyarakat mampu memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan. Modal sosial merupakan salah satu dari elemen sosial tersebut [7]. Modal sosial dimaknasi sebagai satu kesatuan elemen-elemen sosial dalam struktur masyarakat yang mampu memfasilitasi individu maupun kelompok untuk melakukan aktivitas positif didalamnya melalui 3 bentuk utama yaitu munculnya kepercayaan dan hubungan timbal balik, penyaluran informasi, serta norma dan sangsi yang disepakati [8]. Penelitian di Negara-negara berkembang menunjukkan bahwa modal sosial merupakan faktor penopang keberlanjutan program-program berbasis masyarakat [9]. Studi tentang pengembangan program air bersih di Indonesia, Honduras, Bolivia, Pakistan and Uganda membuktikan bahwa modal sosial memberikan kontribusi besar dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan dari program tersebut dan hal ini memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat itu sendiri [10]. Dari paparan tersebut maka penelitian ini ingin menggali dampak positif dari keberadaan modal sosial di masyarakat terhadap kemandirian posyandu. Selain itu, penelitian ini juga melihat pengaruh intervensi puskesmas terhadap posyandu. METODE PENELITIAN Sumber Data The Indonesia Family Life Survey (IFLS) merupakan data longitudinal. Survei ini diawali pada tahun 1993 dan selanjutnya disebut sebagai survei IFLS gelombang 1, tahun 1997 sebagai survei IFLS gelombang 2, tahun 2000 merupakan survei IFLS gelombang 3, dan tahun 2007 sebagai survei IFLS gelombang 4. Data IFLS meliputi 13 propinsi yang terdiri dari 4 propinsi di Pulau Sumatra (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan Lampung), 5 propinsi di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta), dan 4 propinsi dari pulau di wilayah tengah dan timur (Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan). Dari ketigabelas propinsi tersebut, 321 wilayah cacah dipilih secara random dari sampel SUSENAS tahun 1993 [11]. Penelitian ini bersifat cross sectional yang hanya menggunakan data survei IFLS gelombang 3 dengan semua data wilayah cacah. Pemilihan IFLS gelombang 3 atas dasar adanya penerapan revitalisasi posyandu pada tahun 1998 di seluruh Indonesia, dan penelitian ini ingin melihat bahwa ada elemen sosial di masyarakat
2
Working Paper Series No. Bulan 20..
yang lebih mampu mempengaruhi kemandirian posyandu dibandingkan penerapan revitalisasi tersebut. Variabel Terikat dan Variabel Bebas Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian posyandu. variabel tersebut ditentukan dengan menggunakan kuesioner survei rumahtangga IFLS gelombang 3. Posyandu dikatakan mandiri apabila posyandu tersebut melaksanakan kegiatan minimal 8 kali dalam satu tahun, kader aktif di setiap kegiatan lebih dari 5 orang, dan sumber dana kegiatan berasal dari masyarakat. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari variabel modal sosial yang dimanifestasikan dengan variabel kelompok sosial dan partisipasi masyarakat. Keberadaan kelompok sosial dan partisipasi masyarakat didalamnya diukur dengan 2 pertanyaan yaitu apakah saudara mengetahui bahwa dalam 12 bulan ini aktivitas kelompok sosial dilaksanakan di desa ini dan yang kedua apakah selama 12 bulan ini saudara berpartisipasi dalam kegiatan sosial tersebut. Selain itu penelitian ini juga melihat pengaruh dari faktor intervensi puskesmas yang diukur dari 3 pertanyaan yaitu apakah berapa kali dalam satu tahun terakhir posyandu ini telah dikunjungi oleh puskesmas, apakah ada program revitalisasi posyandu pada tahun 1998 atau sejak tahun 1998, selama ini bantuan apa sajakah yang diperoleh dari puskesmas, dan berapa jumlah rata-rata kader yang datang setiap kali posyandu beroperasi. Analisis Data Data ini dianalisis dengan menggunakan STATA versi 11.0. Untuk melihat dampak dari variabel modal sosial dan intervensi puskesmas terhadap kemandirian posyandu digunakan uji regresi logistik dengan menggunakan tingkat kemaknaan p<0.05 dan confidence interval (CI) 95 persen. Sebelum uji regresi dilakukan peneliti melakukan uji spearman dari variabel-variabel sistem puskesmas dan modal sosial terhadap kemandirian posyandu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya multi kolinearitas. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menganalisis 628 sampel posyandu dari data IFLS 3. Dari sampel tersebut diketahui bahwa posyandu mandiri di Indonesia masih rendah (Tabel 1). Tabel 1. Kemandirian posyandu di Indonesia pada tahun 2000 Posyandu - Posyandu tidak mandiri - Posyandu mandiri
n 472/628 156/628
% 75,2 24,8
Pemanfaatan sumber lokal seperti kader dan dana masyarakat merupakan penentu utama tercapainya kemandirian. Hasil analisis terhadap komponen-komponen kemandirian menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kader aktif yang cukup dalam melaksanakan posyandu yaitu sekitar 54% dan pendanaan kegiatan dari masyarakat mencapai 36% (Tabel 2). Hal ini memberikan indikasi adanya proses-proses lokal yang terjadi di masyarakat dalam upaya mejaga keberlanjutan program.
3
Working Paper Series No. Bulan 20..
Tabel 2. Komponen kemandirian posyandu berdasarkan ketentuan Departemen Kesehatan Komponen kemandirian posyandu Intensitas kegiatan pertahun - 1 – 8 kali - Lebih dari 8 kali Jumlah Kader Aktif - 1 – 4 kader - Lebih dari 4 kader Sumber dana - Iuran warga - Puskesmas - Sumber lain - Tidak ada sumber dana
n
%
5 623
0,8 99,2
290 338
46,2 53,8
226 189 181 32
36,0 30,1 28,8 5,1
Untuk mempermudah proses pengembangan jaringan pelayanan kesehatan dari puskesmas ke masyarakat melalui posyandu, maka seharusnya intervensi-intervensi yang diberikan puskesmas mampu mendorong posyandu untuk mencapai tahap mandiri. Namun penelitian ini menunjukkan bahwa upaya revitalisasi, kunjungan kegiatan, dan bantuan yang diberikan puskesmas tidak mampu mendorong posyandu untuk lebih mandiri (Tabel 3). Tabel 3. Odd Ratio dari variabel sistem terbuka dan variabel modal sosial terhadap kemandirian posyandu Variabel sistem terbuka Kemandirian Posyandu OR Nilai p 95% CI Kunjungan puskesmas** - Kurang dari 10 kali 1,00 - Lebih dari 10 kali 0,74 0,19 0,4785 – 1,1573 Revitalisasi posyandu - Tidak dilakukan 1,00 - Dilakukan 1,01 0,95 0,6985 – 1,4683 Bantuan puskesmas - Tidak ada 1,00 - Ada 1,00 0,98 0,6546 – 1,5412 Training kader - Tidak dilakukan 1,00 - Dilakukan 0,01* 1,3578 – 10,9398 3,85 keanggotaan masyarakat dalam kelompok sosial: - Rendah 1,00 - Tinggi 0,001* 1,3352 – 3,0715 2,03 Kepercayaan & hubungan timbal balik: - Rendah 1,00 - Tinggi 1,57 0,073 0,9583 – 2,5663 (*) menunjukkan bahwa hubungan bermakna (α<0,05)
4
Working Paper Series No. Bulan 20..
Cetak tebal menunjukkan peluang dari variabel dalam menghasilkan posyandu mandiri Training kader merupakan satu-satunya variabel yang memiliki kemungkinan dalam menghasilkan posyandu mandiri hingga mencapai 4 kali (nilai p 0,01). Hal ini menegaskan bahwa intervensi puskesmas yang bersifat membangun kapasitas memiliki peran penting dalam proses-proses menuju kemandirian. Masyarakat yang hidup dalam lingkungan dengan modal sosial tinggi memiliki kearifan lokal yang mampu menjaga keberlanjutan berbagai aktifitas yang memiliki manfaat untuk bersama. Tabel 3 menunjukkan bahwa modal sosial yang dimanifestasikan dengan keanggotaan masyarakat dalam kelompok sosial mampu memberikan peluang yang cukup besar dalam menghasilkan posyandu mandiri. PEMBAHASAN Kelompok-kelompok sosial di masyarakat dan partisipasi warga dalam kegiatan tersebut adalah salah satu manifestasi dari modal sosial. Norma yang terbentuk dalam kelompok sosial ini mampu memfasilitasi proses-proses koordinasi, pembagian tugas dan tanggungjawab, serta membentuk komitmen yang disepakati. Masyarakat yang terbiasa hidup dalam lingkungan tersebut memiliki kapasitas pengelolaan diri (self-management) yang cukup baik [12]. Didalam masyarakat yang memiliki kelompok sosial dan partisipasi yang tinggi seperti ini, berbagai program pengembangan masyarakat seperti posyandu dapat tumbuh mandiri dan berkembang lebih baik. Masyarakat mampu melakukan identifikasi kebutuhan posyandu, perencanaan kegiatan, penetapan prioritas, implementasi, hingga proses evaluasi. Proses manajemen tersebut dilakukan secara kolektif dan merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat dengan menyesuaikan kondisi lokal. Selain kemampuan swatata, posyandu di daerah yang memiliki kelompok sosial dan partisipasi ini dapat lebih mandiri karena adanya sikap kerjasama dan kesukarelaan yang tinggi dalam implementasi program. Didalam masyarakat ini posyandu dipandang bukan sebagai kegiatan perorangan, namun sebagai kegiatan yang dapat memberikan manfaat bersama dan memiliki tujuan untuk kepentingan warga. Masyarakat menyadari bahwa keberhasilan posyandu tergantung oleh peran aktif masyarakat itu sendiri. Sikap kerjasama dan sukarela ini muncul karena didalam masyarakat tersebut terdapat ikatan internal (networking) yang kuat [13]. Penelitian di Samoa membuktikan bahwa keberhasilan pelayanan kesehatan dasar sangat ditentukan oleh peran aktif kaum perempuan sebagai sukarelawan lokal di wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena masih kuatnya ikatan internal diantara masyarakat Samoa sehingga sikap peran aktif ini muncul atas dasar kesadaran akan adanya manfaat bersama yang akan diperoleh dari pelayanan kesehatan dasar tersebut [14]. Kemandirian posyandu tidak terlepas dari kemampuan para kader didalamnya. Peningkatan kualitas kader posyandu akan menentukan kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini dikarenakan kader memiliki peran yang sangat besar dalam mentransfer pengetahuan kesehatan kepada warga masyarakat. Penelitian di India membuktikan bahwa kegiatan pembangunan kesehatan yang berbasis pada pemberdayaan kader masyarakat mampu menurunkan kasus penyakit kronis seperti TBC, malaria, dan penurunan kematian bayi [15]. Interaksi sosial yang melekat di masyarakat memungkinkan terjadinya transfer informasi diantara internal para kader maupun antara kader dengan warga, terutama ibu balita. Pengetahuan dan kemampuan ibu-ibu balita dapat berkembang dengan adanya mekanisme ini. Hal tersebut memberikan pengaruh positif terhadap kesediaan ibu balita untuk datang ke posyandu. Penelitian di kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa kader yang tidak terampil diduga menjadi penyebab rendahnya utilisasi posyandu oleh ibu balita [16] sedangkan di kabupaten Kampar dan Belawan utilisasi posyandu dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan kader dalam memberikan penyuluhan gizi [17]. Informasi
5
Working Paper Series No. Bulan 20..
merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam melakukan sebuah aktifitas dan modal sosial memiliki potensi untuk memfasilitasi proses pertukaran informasi tersebut. Kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat dan berbagai partisipasi yang terjadi dapat menjadi input eksternal dan merupakan modal dalam pencapaian program puskesmas melalui proses-proses pengembangan masyarakat. Penekanan dari proses ini adalah peningkatan kapasitas masyarakat untuk menjadi mandiri dan mampu mengelola berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki masyarakat dimana struktur-struktur yang dikembangkan harus mampu berlanjut dalam jangka panjang. Pembentukan berbagai kegiatan berbasis masyarakat seperti posyandu merupakan salah satu manifestasi dari proses ini. Dalam kegiatan tersebut masyarakat lebih ditempatkan sebagai pelaku utama kegiatan manajemen. Ketersediaan modal sosial yang tinggi di masyarakat memungkinkan proses-proses ini dapat berjalan dengan lebih baik. Adanya ikatan sosial yang kuat, sikap kooperatif, dan adanya proses transfer informasi antar warga merupakan modal dalam program pengembangan posyandu. Proses pengembangan tersebut harus selalu berupaya memaksimalkan partisipasi dimana setiap entitas dalam masyarakat terlibat secara aktif dalam proses-proses identifikasi masalah, pengambilan keputusan serta cara-cara pencapaiannya, sedangkan pihak pemerintah merupakan pendukung dan fasilitator dari proses tersebut [18]. Penelitian ini menegaskan bahwa puskesmas pelu lebih memahami penerapan prinsipprinsip pengembangan masyarakat dalam memberikan intervensi kepada posyandu. Salah satu prinsip penting dalam hal ini adalah pelibatan masyarakat dalam mengidentifikasi permasalahan kesehatan dan mengimplementasikan keputusan-keputusan yang disepakati. Proses ini memungkinkan adanya penguatan kapasitas dan jejaring di masyarakat, pemanfaatan sumbersumber lokal dan menjamin kepemilikan pelayanan oleh masyarakat [18]. Melalui proses ini maka terjadi sinergi antara pemerintah, yang dalam hal ini adalah puskesmas bersama intervensinya, dengan masyarakat sebagai penyelenggara kegiatan. Berbagai upaya pemerintah tidak akan membawa manfaat jika motivasi di level masyarakat terabaikan. Hal ini mengisyaratkan untuk mencapai keberhasilan program diperlukan komitmen dari pemerintah dan tindakan kooperatif dari level grass-root [19]. KESIMPULAN Keberadaan modal sosial di masyarakat yang dalam penelitian ini ditunjukkan dengan kelompok sosial dan partisipasi masyarakat mampu meningkatkan kemandirian posyandu di Indonesia. Hal ini dikarenakan daerah yang memiliki modal sosial tinggi masyarakat lokal didalamnya memiliki kemampuan pengelolaan-diri yang memungkinkan masyarakat mampu melakukan identifikasi masalah, perencanaan kegiatan, penetapan prioritas, implementasi, hingga proses evaluasi. Selain itu adanya ikatan internal yang kuat menyebabkan masyarakat melakukan aktifitas sosial dengan dilandasi sikap kerjasama dan kesukarelaan. Keberadaan kelompokkelompok sosial dan berbagai partisipasi yang terjadi ini dapat menjadi input dan merupakan modal dalam pencapaian program puskesmas melalui proses-proses pengembangan masyarakat. SARAN Pendekatan yang diterapkan puskesmas sebaiknya tidak bersifat birokratis dan mekanis namun lebih bersifat partisipatif yang bertumpu pada modal sosial karena eksistensi modal sosial mampu menjadi kontrol dalam implementasi program-program puskesmas. Langkah nyata yang dapat dilakukan oleh puskesmas dalam mengembangkan program posyandu tersebut yaitu dengan mengintegrasikan program tersebut ke dalam kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat dan menempatkan para professional kesehatan dari puskesmas bukan sebagai aktor ahli namun sebagai fasilitator dalam pelaksanaan program. 6
Working Paper Series No. Bulan 20..
DAFTAR PUSTAKA 1. Perry, H., Freeman P., Gupta S., & Rassekh B.M. (2009) How Effective Is CommunityBased Primary Health Care In Improving The Health Of Children. A Review of The Evidence, American Public Health Association. Diakses 15 Februari 2010 2. World Health Organization (2004) Comprehesive Community- and Home- Based Health Care Model, New Delhi, India. Diakses 22 Juli 2008 3. Perry, H., Shanklin D., S., & Schroeder D., G. (2003) Impact Of a Community-Based Comprehensive Primary Healthcare Programme On Infant and Child Mortality In Bolivia. Journal Health Population Nutrition 4:383-395. Diakses 10 Desember 2009 4. Plan (2009) Community Approaches To Child Health in Cameroon: Applying The Community-Based Integrated Management of Childhood Illness (C-IMCI) Frameworks. Rhode Island, USA. Diakses 15 Februari 2010 5. Muninjaya, G. A. A. (2004) Manajemen Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 6. Adger, N. (2003) Social Capita, Collective Action, and Adaptation to Climate Change. Economic Geography 79: 387-404. Diakses 6 Maret 2010 7. Baum, F. (1999) Social Capital: Is It Good For your Health? Issue For a Public Health Agenda. J Epidemiol Community Health 53: 195-196. Diakses 8 Februari 2009 8. Coleman, J. S. (1988) Social Capital in The Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology 94: S95-S120. Diakses 10 September 2008 9. Bhuiyan, A.H. & Evers Hans-Dieter (2004) Social Capital and Sustainable Development: Theories and Concepts. ZEF Working Papers Series, Center For Development Research, Germany. Diakses 26 Maret 2009 10. Kähkönen, S. (1999) Does Social Capital Matter in Water Sanitation Delivery. Social Capital Initiative Working Paper No.9, The World Bank. 11. Strauss, J., Beegle K., Sikoki B., Dwiyanto A., Herawati Y., & Witoelar F (2004) The Third Wave of Indonesia Family Life Survey: Overview and Field Report. WR144/1NIA/NICHD. Diakses 6 Juni 2009 12. Fukuyama, F. (2000) Social Capital and Civil Society International Monetary Fund Working Paper WP/00/74. Diakses 20 September 2008 13. Health Development Agency (2004) Social Capital. United Kingdom. Diakses 27 Desember 2009 14. Lavea, L. (1983) Health Care In Samoa. World Health Forum 4:315. Diakses 26 Juni 2009 15. Hossain, S.M.M., Abbas B., Alia R.K., & Iyorlumun U. (2004) Community Development and Its Impact On Health: South Asian Experience. BMJ 328:830-833. Diakses 26 Juni 2009 16. Irawati, A. (2006) Penelitian Kajian Revitalisasi Posyandu Pada Masyarakat Nelayan Dan Petani di Propinsi Jawa Timur. http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id. 17. Moedjianto, T. T. (2001) Efektifitas Kartu Menuju Sehat (KMS) Anak Balita sebagai Sarana Penyuluhan Gizi di Posyandu. http://www.litbang.depkes.go.id. 18. Ife, J. & Frank T. (2006) Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalization. Pearson Education, Australia. 19. Baum, F. (2007) Cracking The Nut Of Health Equity: Top Down and Bottom Up Pressure For Action On The Social Determinants Of Health. Promotion And Education 2:90-95. Diakses 7 Januari 2010
7