KETERBUKAAN KOMUNIKASI ANTAR PIMPINAN DAN BAWAHAN DITINJAU DARI TINGKAT KEPANGKATAN PADA SAT OBVIT POLRESTA YOGYAKARTA Ablyno Restano M. Y.1 dan Flora Grace P.2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract The purpose of this study was to determine whether there is open communication between leaders and subordinates in terms of the level of rank on Sat Obvit Yogyakarta Police. The subjects were members of the Police on Sat Obvit Yogyakarta, amounting to 40 people. Methods of data collection using a questionnaire developed from Likert Scale models to see the difference between the Bintara communication with chief officers. Before the analysis of Independent Samples ttest, subject to prior description, data description, and test assumptions include normality test and homogeneity test. The results showed that there are differences in the perception of the average police on the openness of communication between leaders and subordinates in terms of the level of rank (chief officers and Bintara) are determined by individual characteristics, figure leader, leadership style, and a tiered hierarchy of rank and within. This is shown by the results of the test t = 2.441 and p = 0.020 (p <0.05) was also supported by the mean-commissioned officers at 148.185 while the mean of 168.600. Key words: open communication, leadership, subordinates
1
Penulis pertama adalah alumnus program studi S1 Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (email:
[email protected]). 2 Penulis kedua dosen tetap di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (email: dgrace_
[email protected]). Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
1
PENDAHULUAN Setiap organisasi didirikan untuk tujuan tertentu (Tjiptono, 1996). Salah satu cara dalam rangka menggapai tujuan ialah melalui pemimpin dengan kepemimpinannya (Manullang, 2006), terutama terkait dengan kemampuan dan ketrampilannya dalam berkomunikasi secara terbuka baik antar pimpinan, pimpinan dengan bawahan, serta antar bawahan (Baron, 2001). Keterbukaan komunikasi dengan demikian memiliki arti penting dalam organisasi, tidak terkecuali institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Secara historis, Polri selama berpuluh tahun merupakan organisasi di bawah bayang-bayang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sehingga kehilangan kemandirian dan jati dirinya sebagai penegak hukum (Pane, 2003). Sejak ditetapkannya perubahan kedua Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/2009 maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing–masing (Taba, 2004). Perubahan ini berimplikasi pada komunikasi antar pimpinan dan bawahan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia yang semula bersifat searah kini berubah menjadi dua arah (Pane, 2003). Meski telah terjadi perubahan substansial dalam tubuh Polri, namun pada praktiknya masih terdapat monolisme komunikasi sebagaimana organisasi berciri militeristik. Tuntutan dan kebutuhan terhadap keterbukaan komunikasi sesuai paradigma perubahan Polri di era reformasi menjadi sebatas wacana belaka. Hal ini tercermin melalui, misalnya: 1. Para pemimpin hanya berdiskusi dengan jajaran pimpinan atau sejawatnya saja. Seorang bawahan sangat jarang diajak berdiskusi langsung dan hanya menerima hasil diskusi tersebut. 2. Pada proses penugasan, pimpinan langsung menunjuk bawahan tanpa didahului proses diskusi sebelumnya. Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
2
3. Pada konteks pendidikan jurusan, pemimpin langsung menunjuk bawahan tanpa disertai mekanisme penawaran, dialog, serta persetujuan dari bawahan yang ditunjuk tersebut. 4. Pada mekanisme mutasi di tingkat bawahan, proses yang terjadi juga terkadang tanpa keterbukaan komunikasi antara pimpinan dengan bawahan yang hendak dimutasikan. Sehingga, hasil mutasi jabatan dan fungsi tidak disesuaikan dengan kapasitas anggota yang dipermutasikan, seperti tugas, fungsi, dan jabatan yang tidak sesuai dengan spesifikasi akademik (gelar kesarjanaan).
Beberapa contoh praktik komunikasi di organisasi kepolisian tersebut, dipahami secara berbeda oleh jajaran pimpinan dan bawahan. Sumarani (2001) menyatakan bahwa adanya perbedaan tingkat kepangkatan yang berjenjang, semakin tinggi pangkat seorang bawahan akan menilai keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan lebih baik dibandingkan yang masih rendah. Selanjutnya, penelitian ini difokuskan pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sat Obvit (Satuan Objek Vital) Polresta Yogyakarta.
A. Keterbukaan Komunikasi Pengertian Keterbukaan Komunikasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dan penerima untuk mengubah tingkah laku. Pengirim dan penerima pesan dapat berupa individu, kelompok, atau organisasi (Lih. Citrobroto, 2002; Wursanto, 2002; Hartini, 1999). Keterbukaan merupakan salah satu sikap yang menentukan keefektifan komunikasi (Liliweri, 2001). Keterbukaan komunikasi adalah sikap dari komunikator dan komunikan yang bersedia membuka semua informasi yang mereka miliki dan bersedia pula menerima semua informasi yang relevan dari pihak lain dalam rangka interaksi pribadi. Model-model Komunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses yang memperlihatkan keterkaitan antar komponen sehingga membentuk sebuah model komunikasi. Terdapat 2 (dua) model komunikasi, Model Lasswell dan Model Goldhaber. Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
3
Komunikasi
Organisasi.
Komunikasi
organisasi
adalah
proses
menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah (Goldhaber, 2006). Dari definisi ini terkandung tujuh konsep kunci yaitu: proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian. Jaringan Komunikasi Formal. Organisasi adalah komposisi sejumlah orang-orang yang menduduki posisi atau peranan tertentu dan di antara orangorang tersebut saling terjadi pertukaran pesan. Pertukaran pesan itu melalui jalan tertentu yang dinamakan jaringan komunikasi (Muhammad, 2001). Bila pesan mengalir melalui jalan resmi yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau oleh fungsi pekerjaan maka pesan itu menurut jaringan komunikasi formal. Arah pesan dalam jaringan komunikasi formal biasanya mengalir dari atas ke bawah (Downward Communication), dari bawah ke atas (Upward Communication), dan secara horizontal. Teknik Komunikasi Organisasi. Komunikasi dalam organisasi pada hakikatnya adalah proses komunikasi antar manusia yang terlibat dalam manajemen untuk mengubah dan membina perilaku sesuai dengan tujuan organisasi. Komunikasi dalam organisasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik, tergantung pesan yang hendak disampaikan dan efek yang diharapkan. Hartini (1999) menyebutkan tiga teknik komunikasi organisasi, yaitu: komunikasi informatif, komunikasi persuasif, dan komunikasi instruktif. Penilaian Bawahan Mengenai Keterbukaan Komunikasi. Keterbukaan merupakan salah satu sikap yang menentukan keefektifan komunikasi disamping empati, merasa positif, memberi dukungan, dan merasa seimbang (Liliweri, 2001). Salah satu sikap yang menentukan keefektifan komunikasi antara pimpinan dengan bawahan adalah sikap keterbukaan dari kedua belah pihak. Keterbukaan komunikasi antara pimpinan dan bawahan di suatu organisasi dalam kaitannya dengan penilaian bawahan diartikan sebagai sikap, pendapat, dan pandangan bawahan atas tingkat keterbukaan komunikasi antara pimpinan terhadap bawahan (downward) maupun dari bawahan terhadap pimpinan (upward). Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
4
B. Tingkat Kepangkatan Polri. Peraturan perundang–undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum UU No. 2 Tahun 2002 ini berlaku adalah UU No. 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No. 28 Tahun 1997 ini masih mengacu kepada UU No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Dalam UU No. 28 tahun 1997 ini watak militer terasa sangat dominan yang pada gilirannya berpengaruh pula pada sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan (Taba, 2004). Polri selama berpuluh tahun masuk jajaran ABRI sehingga kehilangan kemandirian dan jati dirinya sebagai penegak hukum. Pada rentang masa tersebut Polri terlatih berdisiplin tinggi yang militeristik, akibatnya perintah atasan sering tidak boleh dipertanyakan meskipun jelas–jelas bertentangan dengan hukum atau kepatutan yang manusiawi. Dalam hal ini komunikasi hanya bersifat searah, bawahan harus melaksanakan apapun yang diperintah atasannya (Pane, 2003). Sejak ditetapkannya perubahan kedua Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/2009 maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing–masing (Taba, 2004). UU No. 2 Tahun 2002 ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perubahan ini berimplikasi pada komunikasi antar pimpinan dan bawahan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia dari kebiasaan komunikasi searah menjadi bersifat dua arah (Pane, 2003). Jenjang kepangkatan dalam Polri adalah, berikut; Golongan I (Tamtama): Bhayangkara Dua, Bhayangkara Satu, Bhayangkara Kepala, Ajun Brigadir Polisi Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
5
Dua, Ajun Brigadir Polisi Satu, Ajun Brigadir Polisi; Golongan II (Bintara): Brigadir Polisi Dua, Brigadir Polisi Satu, Brigadir Polisi, Brigadir Polisi Kepala, Ajun Inspektur Polisi dua, Ajun Inspektur Polisi Satu; Golongan III (Perwira Pertama): Inspektur Polisi Dua, Inspektur Polisi Satu, Ajun Komisaris Polisi; Golongan IV (Perwira Menengah dan Perwira Tinggi), Perwira Menengah: Komisaris Polisi, Ajun Komisaris Besar Polisi, Komisaris Besar Polisi; Perwira Tinggi terdiri atas: Brigadir Jenderal Polisi, Inspektur Jenderal Polisi, Komisaris Jenderal Polisi, Jenderal Polisi. Demi mempermudah penelitian, jenjang kepangkatan tersebut dalam penelitian dikelompokkan menjadi Golongan I dan II dimasukkan kelompok Bintara, serta Golongan III dan IV dimasukkan kelompok Perwira.
C. Keterbukaan Komunikasi antar Pimpinan dan Bawahan Ditinjau dari Tingkat Kepangkatan pada Sat Obvit Polresta Yogyakarta Tingkat kepangkatan anggota Polri sangat berpengaruh terhadap penilaian mereka mengenai keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan. Perwira akan menilai bahwa ada keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan dalam Polri, karena Perwira sering diajak pimpinan mendiskusikan mengenai pekerjaannya, sebaliknya Bintara akan menilai bahwa tidak ada keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan, karena Bintara jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan institusi. Bintara lebih banyak bekerja atas dasar perintah dibandingkan karena inisiatifnya sendiri.
METODE Subjek penelitian adalah para anggota Polri pada Sat Obvit Polresta Yogyakarta yang berjumlah 40 orang dan dengan demikian menjadi populasi penelitian (semua anggota Polri Sat Obvit Polresta Yogyakarta). Mengingat jumlahnya kurang dari 100 orang, maka penelitian idealnya dilakukan terhadap semua populasi, tidak boleh hanya dilakukan terhadap sampel (Lih. Arikunto, 1999).
Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
6
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner pengembangan dari model skala Likert yang telah dimodifikasi dengan menghilangkan kategori jawaban ragu–ragu atau tidak ada jawaban. Pilihan jawaban subjek terdiri atas empat kategori, yaitu: Sangat setuju (SS), Setuju (S), Tidak setuju (TS), dan Sangat tidak setuju (STS). Kuesioner mengenai keterbukaan komunikasi ini memuat kategori komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dari pimpinan kepada bawahan akan memuat lima ciri, yaitu: Instruksi tugas, Rasional, Ideologi, Informasi, dan Balikan; sedangkan dari bawahan kepada atasan memuat empat ciri, yaitu: Laporan kerja, Laporan masalah, Feedback, dan Apresiasi. Data dianalisis secara statistik melalui uji komparatif atau uji perbedaan yaitu menggunakan independent sample t-test dengan Program SPSS 16.0 for Windows. Pemilihan metode dalam penelitian ini karena hendak melihat perbedaan komunikasi antara kelompok Bintara dengan Perwira. Uji validitas untuk skala Keterbukaan Komunikasi antara butir dengan total yang berkisar antara 0.304 hingga 0.805. Estimasi reliabilitas Alpha Cronbach adalah 0,963.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian memperlihatkan terdapat perbedaan rata-rata persepsi polisi mengenai keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan ditinjau dari tingkat
kepangkatan
(perwira
dan
bintara).
Perwira
cenderung
lebih
mempersepsikan adanya keterbukaan komunikasi antara pimpinan dan bawahan dibandingkan bintara. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji t = 2,441 dan p = 0,020 (p < 0,05) juga didukung oleh mean bintara sebesar 148,185 sedangkan mean perwira sebesar 168,600. Penyebab lain munculnya perbedaan persepsi tentang keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan turut ditentukan pula oleh karakteristik individu dan figur pemimpin beserta gaya kepemimpinannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak semua perwira atau bintara mempunyai persepsi yang sama.
Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
7
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada perbedaan rata-rata persepsi anggota polisi mengenai keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan terbukti. Perbedaan persepsi tentang keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan diperlihatkan melalui perbedaan persepsi kelompok perwira dan bintara. Kelompok perwira mempersepsikan ada keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan. Kelompok bintara mempersepsikan keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan kurang. Perbedaan persepsi ini dipengaruhi oleh faktor kepangkatan,
karakteristik
individu,
dan
figur
pimpinan
beserta
gaya
kepemimpinannya. Berdasarkan hasil penelitian, berikut merupakan beberapa saran yang dapat dikemukakan, antara lain: Institusi Polri. Polri secara institusional, baik di tingkat pusat (Mabes Polri) hingga tingkat sektor (Polsek) agar selalu mengembangkan dan meningkatkan keterbukan komunikasi antar anggota Polri. Hal ini dalam kerangka perubahan institusi Polri sesui paradigma kemandirian Polri. Sat Obvit Polresta Yogyakarta. Jajaran Sat Obvit Polresta Yogyakarta disarankan mendukung penuh upaya perubahan paradigma baru Polri melalui kepeloporan dalam hal keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan bawahan (Perwira dan Bintara), tanpa memandang jenjang kepangkatan yang ada. Peneliti
selanjutnya.
Para
peneliti
selanjutnya
diharapkan
dapat
menyempurnakan penelitian ini dengan memperdalam penelitian, meliputi: dampak ketidakterbukaan komunikasi dalam institusi Polri terhadap kinerja anggota; pertimbangan pemilihan sampel, populasi, dan lokasi penelitian yang lain; kaitan antar variabel dan faktor-faktor lainnya, misalnya stres kerja, motivasi, kepercayaan diri, dan efektivitas kerja.
Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
8
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 1990. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara. Azwar, S. 2003. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R.A. 2001. Social Psychology: Understanding Human Interaction. Boston. Allyn and Bacon. Citrabroto. 2002 . Prinsip-Prinsip Berkomunikasi. Jakarta: Bharata . Effendy. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya. Fitri, Aulia. 2011. Pengaruh Keterbukaan Komunikasi Pimpinan Terhadap Motivasi Kerja Karyawan PT. Pelabuhan Indonesia I (persero) Cabang Belawan: Skripsi Tidak Terbit. Medan: Fakultas Komunikasi, UMSU. Goldhaber. 2006. Komunikasi Organisasi. Yogyakarta: Liberty. Goleman, Daniel. 2004. Primal Leadership, Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadi, Sutrisno. 1991. Metode Research. Jogja: Andi Ofset. Hartini, Nurul. 1999. “Studi Hubungan Antara Persepsi Bawahan Mengenai Kepemimpinan Atasan dengan Intensitas Komunikasi Bawahan Terhadap Atasan”. Insan. No.1 Thn. 1999. Jalaluddin Rakhmat. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya. Kepolisian Resort Kota Yogyakarta. 2009. Blueprint POLRESTA Yogyakarta Tahun 2010-2019. Yogyakarta: Polresta Yogyakarta. Lewis. 1987. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Manullang. 2006. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: Liberty. Miftah thoha. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Radjwali Press. Muhammad. 2001. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bina Aksara. Novita, Rizki Andina. 2004. Analisis Peran Komunikasi Antara Pimpinan dan Karyawan dalam Menciptakan Lingkungan Kerja yang Efektif pada PT. Cakrawala Andalas Televisi: Skripsi Tidak Terbit. Bogor: Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pace. 1989. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Erlangga. Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
9
Pane. 2003. Kepolisian Indonesia Dalam Era Reformasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Redding. 2004. Komunikasi dalam Organisasi. Yogyakarta: Liberty. Siagian. 2003. Teori Motivasi dan Berkomunikasi. Jakarta: Bina Aksara. Sumarani. 2001. “Sikap Karyawan Ditinjau dari Karakteristik Individu”, Makalah dalam diskusi rutin Kelompok Studi Dian. Yogyakarta. Suraninganung. 2003. “Jenis Kelamin dalam Kehidupan Sosial”. Mingguan Dian. No. 15. Thn. XXV, 5-12 April 2001, hlm 4. Taba. 2004. Kepolisian Indonesia Masa Depan: Harapan dan Kenyataan. Bandung: Remadja Rosdakarya. Tjiptono, Fandy. 1996. Strategi Bisnis dan Manajemen. Yogyakarta: Andi Offset. Wursanto. 2002. Etika Komunikasi Kantor. Yogyakarta: Kanisius.
Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011
ISSN: 2087-7641
10