BREAKING BAD NEWS dr. Dewi Nur Fiana, dr. T.A. Larasati, M.Kes.
A.
TEMA Keterampilan Komunikasi Penyampaian Kabar Buruk.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN 1.
Mahasiswa mampu menyampaikan kabar buruk dengan cara yang baik.
2.
Mahasiswa mampu mengetahui emosi pasien dan berempati kepada pasien.
C. LEVEL KOMPETENSI No.
Jenis Keterampilan
1. 2. 3. 4. 5.
Assessment of mental status Educating, advising and coaching of individuals and groups Making a management plan Therapeutic consultation Reporting and making report
Level kompetensi 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
D. ALAT DAN BAHAN 1.
Kursi 2 buah
2.
Sapu tangan/tissu
1
E.
SKENARIO Pak Purno berusia 66
tahun mengeluhkan berat
badannya yang terus menurun dan sering merasa lelah. Selama ini ia tidak pernah memeriksakan kesehatannya karena ia merasa penyakitnya tidak berat. Pak Purno baru memeriksakan kesehatannya setelah sering mengalami diare dengan feses bercampur lendir dan darah, terkadang bewarna hitam. Setelah dirujuk dari puskesmas di kampungnya dan dirawat di RSU Pak Purno menjalani serangkaian pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pak Purno menderita Ca Colon stadium 3. Bagaimanakah cara dokter menyampaikan berita ini ke Pak Purno? F.
DASAR TEORI Menyampaikan kabar buruk kepada pasien dapat menjadi pekerjaan yang sulit bagi seorang dokter. Strategi S-P-I-K-E-S yang akan dijelaskan merupakan sebuah strategi yang sederhana dan mudah dipelajari yang dapat digunakan untuk menyampaikan kabar buruk dan membantu pasien untuk meresponnya dengan baik. 1.
Definisi ‘Kabar Buruk’ Penting sekali bagi seorang dokter untuk dapat mendefinisikan kabar buruk. Mengidentifikasikan mengapa kabar tersebut akan dirasakan buruk oleh pasien. Pada dasarnya efek dari buruknya suatu kabar akan berbanding lurus dengan perubahan harapan pasien.
2
Definisi praktis dari kabar buruk adalah kabar yang secara drastis dan serius mengubah pandangan pasien mengenai masa depannya, contohnya tentang terminal illnes, diagnosa penyakit kronis, keganasan atau hasil pemeriksaan yang abnormal. Kabar buruk akan berdampak pula tidak hanya pada kehidupan pasien, tetapi juga kehidupan keluarganya. Sebagai seorang dokter, kita tidak dapat mengetahui bagaimana reaksi pasien terhadap kabar yang disampaikan hingga kita mengetahui persepsi mereka mengenai kondisi kesehatannya. Aturan yang sangat beharga dalam hal ini adalah “Sebelum menyampaikan kabar, galilah terlebih dahulu persepsi mereka”. 2.
Alasan mengapa penyampaian kabar buruk dengan cara yang tepat menjadi penting: a. Sering dilakukan dan dapat merupakan pekerjaan yang sulit. Penyampaian kabar buruk dapat menjadi tugas yang sulit apabila: Dokter tidak berpengalaman. Pasien masih berusia muda. Terbatasnya harapan akan keberhasilan terapi. b. Pasien berhak mengetahui kebenaran. c. Ethical dan legal Imperatives Dokter tidak dapat menahan informasi medis walaupun informasi tersebut dicurigai akan mempunyai efek yang tidak baik terhadap pasien. d. Hasil klinis 3
Pada umumnya pasien mengharapkan informasi yang akurat sehingga mereka dapat menentukan keputusan yang tepat dan penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Gambar 19. Bad breaking bad news. G. PROSEDUR Beberapa metode dalam menyampaikan kabar buruk, di antaranya metode SPIKES. Strategi 6 langkah SPIKES dalam menyampaikan kabar buruk: S – SETTING UP the Interview, Listening Skills P – Patient’s Perception (assessing the patient's perception) I – Invitation to share Information K – Knowledge transmission (giving knowledge and information to the patient) 4
E – Explore Emotions and Empathize S – Summarize and Strategize Langkah 1. S – SETTING UP the Interview, Listening Skills Sebelum menyampaikan kabar buruk kepada pasien, perlu adanya persiapan untuk menjamin kelancaran penyampaian informasi kepada pasien, sebagai berikut:
Persiapkan Diri Sendiri Dokter sebagai penyampai „bad news‟ mempersiapkan mental terlebih dahulu agar tidak ikut larut dalam emosi pasien nantinya, namun tetap berempati sebagaimana mestinya. Penting kita ingat bahwa walaupun kabar yang akan kita sampaikan akan terdengar sangat buruk bagi pasien, tetapi dengan mengetahui kabar tersebut, pasien dapat terbantu untuk merencanakan kelanjutan hidupnya di masa yang akan datang.
Perkenalkan Diri Yang harus dihindari: tampak nervous di hadapan pasien, bahkan sebelum menyampaikan kabar buruk. Tips: siapkan tissue di saku, untuk diberikan pada pasien bila pasien menangis.
Privasi Pasien Penyampaian kabar buruk tidak boleh dilakukan di tempat yang ramai atau banyak orang. Hendaknya dilakukan di tempat tenang yang tertutup seperti kamar praktek ataupun dengan menutup tirai di sekeliling tempat tidur pasien.
Libatkan Pendamping 5
Untuk menghindari kesan kurang baik yang dapat muncul bila pasien dan dokter berada di tempat tertutup (untuk menjaga privasi), diperlukan satu pendamping. Yang dapat menjadi pendamping: -
Keluarga terdekat pasien satu saja, apabila terlalu banyak dapat menyulitkan dokter untuk menangani emosi dan persepsi banyak orang sekaligus. Pendamping sebaiknya merupakan pilihan dari pasien sendiri.
-
Perawat atau dokter muda yang ikut terlibat dalam perawatan pasien.
-
Perkenalkan pendamping kepada pasien, jika bukan keluarga pasien.
Posisi Duduk Posisi pasien dan dokter sebaiknya setara. Dokter menyampaikan kabar buruk dalam posisi duduk. Tujuan: untuk menghilangkan kesan terburu-buru dalam penyampaian dan kesan dokter berkuasa serta memojokkan pasien. Apabila baru dilakukan pemeriksaan terhadap pasien, sebaiknya pasien diminta untuk mengenakan pakaiannya terlebih dahulu.
Membangun Hubungan dengan Pasien Hal ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahasa non verbal selayaknya bila perlu untuk menunjukkan empati misalnya menjaga kontak mata ataupun menyentuh bahu atau lengan pasien (apabila pasien nyaman dengan ini).
6
Listening, Mendengarkan Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya persiapkan kemampuan „mendengar‟, secara prinsip meliputi: -
Silence Jangan memotong kata-kata pasien ataupun berbicara tumpang tindih dengan pasien.
-
Repetition Ulangi kata-kata pasien atau berikan tanggapan, untuk menunjukkan
pemahaman
terhadap
apa
yang
ingin
disampaikan pasien.
Availability Dokter harus ada di tempat mulai awal hingga akhir penyampaian kabar buruk Jangan sampai ada gangguan berupa interupsi, seperti: -
Ada sms, telepon, atau sekedar missed call saja. Matikan hp, atau aktifkan mode silent.
-
Ada tamu – minta bantuan pada perawat untuk mengatasi tamu yang mungkin datang.
Langkah
2. P
–
Patient’s
Perception
(Assessing
the Patient's Perception) Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya dokter mengetahui persepsi pasien terhadap:
Kondisi medis dirinya sendiri Tanyakan sejauh mana informasi yang pasien ketahui tentang penyakitnya beserta kemungkinan terburuk yang ditimbulkan oleh 7
penyakit tersebut. Dokter dapat menggunakan pertanyaan terbuka untuk menggali persepsinya. Contoh “Apa yang anda ketahui mengenai kondisi medis anda saat ini?” atau “Tahukah Anda mengapa kami melakukan MRI terhadap Anda?”
Harapannya terhadap hasil medikasi yang ia tempuh
Tanyakan perkiraan pasien terhadap hasil medikasi Tujuan mengetahui harapan pasien terhadap hasil medikasi yang ia empuh dan perkitaannya terhadap hasil medikasi bukan semata-mata untuk mengubah persepsi pasien agar sesuai dengan kenyataan, melainkan sebagai jalan untuk menilai kesenjangan antara persepsi dan harapan pasien dengan kenyataan sebagai pertimbangan penyampaian kabar buruk agar tidak terlalu membuat pasien terguncang.
Langkah 3. I – Invitation to Share Information
Tanyakan apakah pasien ingin tahu perkembangan mengenai keadaannya atau tidak. Apabila pasien menyatakan diri belum siap, pertimbangkan untuk menyampaikan di waktu lain yang lebih tepat dan minta pasien untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu.
Apabila pasien menyatakan ingin tahu perkembangan mengenai keadaannya, tanyakan sejauh mana ia ingin tahu, secara umum ataukah mendetail.
Langkah 4. K – Knowledge Transmission (Giving Knowledge and Information to the Patient)
8
Sebelum menyampaikan kabar buruk, lakukan „warning shot‟ sebagai pembukaan katakan pada pasien bahwa ada „kabar buruk‟ yang akan disampaikan pada pasien.
Cara penyampaian: -
Gunakan kalimat yang halus, contohnya “Ada berita yang kurang baik yang harus kami sampaikan kepada Bapak/Ibu”
-
Gunakan bahasa yang sama dan hindari jargon medis.
-
Bila bahasa pasien berbeda, gunakan penerjemah yang kompeten. Penerjemah sebaiknya: o Mengerti
dan
dapat
menggunakan
bahasa
yang
menggunakan
bahasa
yang
digunakan pasien. o Mengerti
dan
dapat
digunakan dokter. o Dapat mengemas jargon-jargon medis ke dalam bahasa yang dimengerti pasien sebaiknya perawat atau dokter muda. o Bukan merupakan keluarga pasien.
Sampaikan informasi sedikit demi sedikit (bertahap). -
Setiap menyampaikan sepenggal informasi, nilai ekspresi dan tanggapan pasien, beri waktu pasien untuk bertanya ataupun sekedar mengekspresikan emosinya.
-
Bila kondisi pasien tampak memungkinkan untuk menerima informasi tahap selanjutnya, teruskan penyampaian informasi.
-
Bila pasien tampak sangat terguncang hingga tidak memungkinkan untuk menerima lebih banyak informasi lagi,
9
pertimbangkan penyampaian ulang kabar buruk di lain waktu sambil mempersiapkan pasien.
Sampaikan dengan intonasi yang jelas namun lembut, tempo yang tidak terlalu cepat dengan jeda untuk memberikan kesempatan pada pasien dalam mencerna kalimat yang ia terima.
Lakukan pemilihan kata-kata dalam penyampaian dan hindari kalimat yang membuat pasien putus asa dan dilingkupi kemarahan seperti “Anda mempunyai penyakit kanker yang sudah sangat parah sekali, apabila Anda tidak segera diobati, Anda akan meninggal segera”. Jika progosis buruk, hindari kalimat “Maaf sekali, tidak ada yang bisa kami lakukan lagi untuk mengatasi penyakit Anda”, karena kalimat seperti ini tidak sesuai kenyataan bahwa terkadang pasien dapat menjalani pengobatan untuk menghilangkan gejala atau penghilang rasa sakit.
Langkah 5. E – Explore Emotions and Empathize Mengetahui respon emosi pasien merupakan tantangan tersendiri karena beragamnya karakter pasien yang dapat kita temui. Respon pasien bisa mulai dari diam saja, tidak percaya, menyangkal, menangis ataupun marah. Untuk mengetahui emosi pasien dan berempati kepada pasien dapat dilakukan dengan 4 tahap: 1. Mengamati selalu ekspresi dan emosi pasien (terlihat sedih, diam saja, atau shock).
10
2. Nilai sejauh mana kondisinya. Contoh: apabila pasien terlihat sedih dan terdiam, dokter dapat menanyakan apa yang sedang pasien pikirkan atau rasakan. 3. Mengindentifikasikan apa yang mendasari perubahan emosinya (informasi mana yang merubah emosinya). Apabila dokter tidak yakin, kita dapat bertanya kembali untuk memastikan. 4. Setelah memberikan pasien waktu untuk mengekspresikan emosinya, dokter harus dapat membuat pasien mengetahui bahwa anda berempati pada situasi klinis yang dihadapinya, misalnya dengan menunjukkan bahasa non verbal. Langkah 6. S – Summarize and Strategize Di akhir percakapan, review kembali percakapan secara keseluruhan:
Simpulkan „kabar buruk‟ yang tadinya disampaikan secara bertahap (sedikit demi sedikit).
Simpulkan juga tanggapan yang diberikan pasien selama kabar buruk disampaikan (tunjukkan bahwa dokter mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikan pasien).
Berikan pasien kesempatan bertanya.
Berikan feed back.
Percakapan yang ada harus terdokumentasi dalam rekam medis pasien. Harus tertera dengan jelas: -
Apa yang telah dikatakan atau disampaikan, dan kepada siapa.
-
Menjelaskan terms used – tumor, massa, dll. 11
-
Informasi spesifik mengenai pilihan terapi dan prognosis.
-
Manfaatkan layanan interdisiplin misalnya pembimbing rohani.
Diskusikan rencana untuk menindaklanjuti kabar buruk yang telah disampaikan pada pasien. Untuk mengajak pasien ikut serta (pro aktif) dalam medikasi terhadap dirinya (both doctor and patient will play role to take next steps).
H. DAFTAR PUSTAKA 1) 2)
I.
National Council For Hospice and Specialist Palliative Care Service. Breaking bad news regional guidelines, departement of health-social services and public safety. Belfast; 2003. http://dyahchimu.wordpress.com/2009/05/03/breaking-bad-newsbuckman‟s-6-step-guide/. Diakses pada 6 Maret 2011.
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prosedur/Aspek Latihan Interpersonal Skill Langkah 1. Setting Up the Interview Perkenalkan diri (persiapan mental). Menjaga privasi pasien. Melibatkan pendamping. Mempersilahkan pasien untuk sama-sama duduk. Langkah 2. Patient’s Perception Menggali persepsi pasien terhadap kondisi medisnya dan harapannya pengobatan. Langkah 3. Invitation to Share Informations Menanyakan apakah pasien ingin tahu perkembangan mengenai keadaannya atau tidak. Dan menanyakan sejauh mana pasien ingin tahu secara mendetil atau tidak. Langkah 4. Knowledge Transmission
Umpan Balik
12
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Melakukan „warning shot‟ sebagai pembukaan. Menggunakan bahasa yang sama dan menghindari jargon medis. Menyampaikan informasi secara bertahap. Langkah 5. Explore Emotions and Empathize Menunjukkan empati kepada pasien. Menggunakan bahasa non verbal. Langkah 6. Summarize and Strategize Mendokumentasikan penyampaian dalam rekam medis beserta pilihan terapi dan diagnosis.
13
PROSEDUR PEMASANGAN INFUS INTRAVENA (IV-LINE) dr. Rika Lisiswanti, dr. Oktadoni Saputra, dr. Dina Tri Amalia, dr. Imam Ghazali, SpAn
A. TEMA Prosedur Pemasangan Infus intravena B.
TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mampu melakukan prosedur pemasangan infus intravena pada model 2. Mampu menjelaskan tujuan pemasangan infus 3. Mampu memahami jenis-jenis cairan infus 4. Mampu menghitung tetesan cairan infus
C. ALAT DAN BAHAN
Jarum infus (vena kateter) no. 18F, 20F Infus set Cairan NaCL, RL Tiang/Standar infus Torniket Manikin lengan Bengkok Antiseptik : Kapas alkohol, betadin Plester Gunting Kasa steril Handskoon Tempat sampah plasitik
14
D. SKENARIO Seorang pasien, laki-laki, 19 tahun, dibawa keluarganya ke klinik Anda, dengan keluhan muntah-muntah, demam, BAB cair sebanyak 7 kali. Pasien terlihat lemas, pucat dan lesu. Anda segera melakukan penanganan awal dengan memasang jalur intravena dan segera merujuk pasien ke rumah sakit. E. DASAR TEORI Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melakukan infus /IV line, yaitu: keadaan disekitar vena, indikasi dan lamanya infus, jumlah dan jenis cairan yang akan dimasukkan, vena-nya sendiri dan kondisi serta kenyamanan pasien secara keseluruhan. Vena untuk akses perifer adalah vena-vena superfisial dari anggota gerak atau bagian kepala (bayi infant). Umumnya dipilih vena pada: pergelangan tangan bagian depan (vena basilika, sepalika), disekitar cekungan kubiti (antekubiti, sepalika, basilika), di sekitar area a.radialis, tangan, paha (femoralis, saphoneus), di kaki dan di kepala (bayi infant dan usia lanjut) Tujuan Utama Terapi Intravena: 1.
Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh 2.
Memberikan obat-obatan dan kemoterapi
3.
Transfusi darah dan produk darah
4.
Memberikan nutrisi parenteral dan suplemen nutrisi
15
Gambar Catheterisasi Intra Vena Sumber : www. Fotosearch.com
Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena Keuntungan: 1.
Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.
2.
Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan
3.
Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi
4.
Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari
5.
Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis 16
Kerugian: 1.
Tidak bisa dilakukan “Drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi
2.
Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “Speeed Shock”
3.
Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
4.
Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu
5.
Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia
6.
Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan
Pemilihan ukuran jarum kateter infus (Venocath/Abbocath) 1.
Ukuran 16 Indikasi : dewasa bedah, trauma, perlu banyak cairan
2.
Ukuran 18 Indikasi : anak dan dewasa, darah dan komponen darah, cairan kental.. sekarang dianjurkan ukuran 18 sebagai standar
3.
Ukuran 20 Indikasi : anak dan dewasa, semua jenis cairan, komponen darah, cairan kental
4.
Ukuran 22 Indikasi ; bayi dan anak-anak, dewasa usia lanjut, semua jenis cairan
5.
Ukuran 24, 26 Indikasi : neonatus, bayi, anak, usia lanjut, semua cairan infus, untuk tetesan cairan yang lambat, vena yang kecil.
17
Gambar Infus Set yang terpasang Sumber :: www. Fotosearch.com
Cairan Tubuh Di dalam tubuh terlarut zat-zat sebagai berikut : 1.
Elektrolit
2.
Non-elektrolit :
Berat molekul kecil : glukosa
Berat molekul besar : protein
Elektrolit terpenting dalam air ekstrasel adalah Na+ dan Cl- sedangkan dalam air intrasel adalah K+ dan fosfat ion. Kebutuhan air dan elektrolit setiap hari: Pada orang dewasa :
Air : 30-35 ml/kbBB. Kenaikan suhu 10 C ditambah 10-15 %
Na+: 1,5mek/KgBB(100mek/hari atau 5,9 gr)
K+: 1 mek/kgBB (60 mek/hari atau 4,5 gr) 18
Pada anak dan bayi: Air sesuai dengan berat badan :
0-10 kg : 100 ml/kgbB
10-20 kg : 1000 ml/kgBB+50ml/kgBB diatas 10 kg
Lebih 20 kg: 1500ml/kgBB+20ml/kg di atas 20 kg
Na+
: 2 meq/kgBB
K+
: 2 meq/kgBB
Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran air: Air masuk: Minuman
Air keluar: : 800-1700 ml
Urine
: 600-
: 500-1000 ml
Tinja
: 50-
: 200-300 ml
Insensible loss
: 850-
1600 ml Makanan 200 ml Hasil Oksidasi 1200 ml Tujuan terapi cairan: 1.
Untuk mengganti kekurangan air dan elektrolit
2.
Untuk memenuhi kebutuhan
3.
Untuk mengatasi syok
4.
Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan
19
Cairan yang sering digunakan dalam terapi : 1. Cairan elektrolit (kristaloid)
BM rendah ( < 8000 Dalton ) dengan atau tanpa glukosa
Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler
Sesuai dengan penggunaannya, cairan kristaloid dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk pemeliharaan, pengganti dan tujuan khusus.
Cairan pemeliharaan : mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:
Dewasa
: 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak
: 2-4 ml/kg/jam
Bayi
: 4-6 ml/kg/jam
Neonatus : 3 ml/kg/jam
Sebagian cairan pengganti ini adalah cairan yang hipotonik dengan perhatian khusus pada natrium karena cairan yang hilang dengan cara ini sangat sedikit. Cairan yang digunakan untuk pemeliharaan, misalnya : dekstrosa 5 % dalam NaCl 0,45% (D5NaCL 0,45). Untuk mengganti cairan ini dapat juga digunakan cairan non elektrolit misalnya misalnya Dekstrosa 5% dalam air (D5W). Cairan pengganti: untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuetrasi atau proses patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites, drainase lambung)
20
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium misalnya dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9%. D5 NaCl Cairan untuk tujuan khusus: cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya : natrium bicarbonat 7,5 %, NaCl 3 %, dll. 2. Cairan non elektrolit Contoh dekstrosa 5%, 10% digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan kalori, dapat juga digunakan sebagai cairan pemeliharaan 3. Cairan koloid
BM tinggi ( > 8000 Dalton )
Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler
Disebut juga plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume intravaskuler. Sehingga cairan ini digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan intravaskuler.
Contoh : Dekstran, haemacel, hydroxyethyl starch, albumin,plasma, darah.
Cara Menghitung Tetesan Infus Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada pasien dengan bantuan perangkat infus. Tindakan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan pengobatan dan pemberian makanan.
21
Berikut penjelasan dan contoh bagaimana cara menghitung tetesan cairan infus: a. Dewasa: (makro dengan 20 tetes/ml) Tetesan permenit =
(
)
(
)
Tetesan permenit =
atau
Keterangan: Faktor tetesan infus bermacam-macam, hal ini dapat dilihat pada label infus (10 Tetes/menit, 15 tetes/menit dan 20 tetes/menit). Contoh: Seorang pasien dewasa diperlukan rehidrasi dengan 1000 ml (2 botol) dalam 1 jam maka tetesan per menit adalah: Jawab : Tetesan permenit= 1000 ml /1 X 3 = 333/menit, atau Tetesan permenit= 1000 ml x 20 / 1 x 60 menit = 333/menit b. Anak: Tetesan permenit (mikro) =
(
)
Contoh: Seorang pasien neonatus diperlukan rehidrasi dengan 250 mikroL dalam 2 jam, maka tetesan per menit adalah: Jawab : Tetesan permenit (mikro) = 250 / 2 = 125 tetes permenit Komplikasi pemasangan infus: Hematoma 22
Hematoma adalah darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi : Infiltrasi adalah masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. Tromboflebitis Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar Emboli udara Emboli udara yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah. Komplikasi lain pemberian cairan melalui infus: Rasa perih/ sakit, Reaksi alergi, Reaksi pirogenik disebabkan karena kontaminasi peralatan intravena dan larutan yang digunakan dengan bakteri, serta kelebihan dan beban sirkulasi karena infus cairan terlalu cepat (anakanak dan lansia lebih rentan). F. PROSEDUR 1. Interaksi dokter-pasien Sebelum memulai tindakan, dokter harus membina sambung rasa dan komunikasi yang baik dengan pasien. Selain untuk membantu 23
kelancaran tindakan juga untuk aspek medikolegal di kemudian hari. Lakukanlah Informed-Consent yang baik dengan memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang tindakan yang akan dilakukan; prosedur, tujuan tindakan (pemasangan infus), dampak jika tidak dilakukan tindakan, efek samping, kemungkinan komplikasi, dll. Kemudian mintalah persetujuan dari pasien. Untuk prosedur yang invasif diharapkan dokter membuat dan mengisi lembar informed consent secara tertulis. 2. Persiapan Alat Prosedur selanjutnya adalah mempersiapkan alat. Pertama-tama kita harus
mengecek
kelengkapan
alat-alat
yang
diperlukan dan
memastikannya siap pakai. Mulailah memotong plester untuk persiapan, memilih jarum/kateter vena yang sesuai ukuran (disarankan menggunakan ukuran yang besar misalnya no. 18), mempersiapkan spalk (hanya untuk pasien anak/bayi yang dimungkinkan banyak melakukan gerakan setelah infus terpasang), membuka plastik flabot infus dan infus set, serta menghubungkannya dengan menusukkan secara tegak lurus. Gantunglah pada tiang infus, tekan chamber sampai terisi setengahnya, bukalah klem pengunci pada infuse set dan alirkanlah cairan infuse ke bengkok sampai semua daerah selang tidak ada lagi udara. Kemudian klem dikunci lagi sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan. Sekali lagi, pastikan tidak ada udara di selang infus karena bisa menyebabkan emboli pada pasien dan menyebabkan kematian. Rangkaian persiapan diatas tetap harus memperhatikan prosedur asepsis, dimana bagian-bagian yang steril 24
tidak boleh bersentuhan dengan yang non-steril tanyakan pada instruktur saudara saat latihan. (Catt : Prosedur ini dapat menyebabkan saudara gagal saat ujian OSCE) 3. Prosedur Pencegahan infeksi Prosedur pencegahan infeksi menjadi hal prinsipil yang harus diperhatikan dalam prosedur pemasangan infus. Mulai dari tahap persiapan sampai selesai pemasangan, pastikan kita selalu dengan prinsip asepsis. Sampah plastik dengan medis juga harus dipisahkan. Setelah
persiapan
kita
melakukan
cuci
tangan
memakai
sabun/antiseptik dengan prosedur WHO dan memasang handschoen. Preparasi kulit dengan kapas alkohol juga harus steril. Prosedur pencegahan infeksi bertujuan untuk melindungi pasien dan juga tenaga medis yang melakukan tindakan. 4. Identifikasi vena Identifikasi vena sudah bisa kita lakukan saat mulai komunikasi/ persiapan dengan pasien. Instruksikan pasien menggenggam tangan yang mau kita cari venanya. Mulailah dari distal dan raba/carilah vena yang cukup besar dan jelas terlihat/raba, yang lurus dan tidak bercabang, tidak di persendian. Jika kesulitan mulailah bergerak mencari kearah yang lebih proksimal atau berpindah ke lengan yang sebelahnya.
25
5. Prosedur pemasangan Infus Setelah memasang torniket di sebelah proksimal (kurang lebih 5-15 cm di atas tempat insersi jarum), pakailah handschoen serta mintalah pasien mengepalkan tangannya sekali lagi. Raba vena pasien dan tentukan titik tempat tusukan, sterilisasi dengan mengoleskan kapas alkohol dengan arah melingkar dari dalam ke luar tempat tusukan (jangan direpalpasi). Lepaskan tutup kanul, pegang lengan pasien dengan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena ± 5 cm (regangkan kulit). Tusukkanlah vena catheter pada kulit dengan jarak ±0,5 cm dibawah vena yang dituju, dengan sudut 20-30o , tusukkan jarum dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Untuk mengurangi rasa sakit, tusukkan kateter di pori-pori kulit. Arahkan kateter untuk menembus kulit dan vena sampai terlihat aliran balik darah (backflow +). Dorong kateter kedalam vena sedikit demi sedikit (kira-kira ¼-1/2 inchi) sebelum melepas stylet/ jarum penuntun (teknik sliding). Pastikan kateter masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah dari kateter. Jika aliran darah (+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya. Kemudian lepaskan torniquet, tekan daerah sekitar vena dimana jarum dilepaskan. kemudian sambungkan dengan ujung selang infus. Aktifkan dengan membuka klem pengatur tetesan. Jika pemasangan berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar. Fiksasi port de entre kateter dengan plester, kateter dan selang infus dengan sebelumnya menaruh kassa steril yang dioles betadine diatas muara tusukan. Fiksasi dengan plester atau hipafix. Kadang pada anakanak/bayi perlu kita tambahkan spalk untuk fiksasi agar kateter tidak 26
lepas/tercabut. Aturlah jumlah tetesan sesuai dengan kebutuhan. Bersihkan sisa sampah. Pisahkan sampah tajam, medis dan non medis. Buka handskoon dengan cara yang benar dan buanglah pada tempat sampah medis. Kemudian cuci tangan kembali. 6. Professionalism Akhirilah prosedur pemasangan infus dengan baik. Jelaskan kepada pasien bahwa infuse sudah terpasang baik, hal apa saja yang harus dilakukan atau dihindari. Tunjukkanlah sikap professional, percaya diri dan menghormati pasien selama tindakan. Berhati-hati dan minimalisasi kesalahan/error tetapi tidak terkesan lamban. Akhirnya ucapkanlah terimakasih kepada pasien atas kerjasamanya. G. DAFTAR PUSTAKA 1.
www. Artikel Kesehatan FK Unhas.com
2.
Muhiman M, Thalib Roesli, dkk. 2004. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
3.
Weinstein, SM (ed.), 2001. Plumer‟s principles and practice of intravenous therapy. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. (III)
H. CEKLIST PENILAIAN PROSEDUR PEMASANGAN INFUS No 1 2
Aspek Penilaian
Umpan Balik
INTERPERSONAL Komunikasi dokter-pasien (sambung rasa & informed consent) CONTENT Persiapan Alat 27
3
4 5
Memotong plester untuk persiapan Memilih jarum/kateter vena yang sesuai ukuran (disarankan untuk memasang jarum dengan ukuran yang besar, standarnya no.18 atau 16) Mempersiapkan spalk (hanya untuk pasien anak/bayi yang dimungkinkan banyak melakukan gerakan setelah infuse terpasang/ fiksasi) Membuka plastik flabot infus dan infus set, serta menghubungkannya dengan menusukkan secara tegak lurus. Gantunglah pada tiang infus Tekan chamber sampai terisi setengahnya, bukalah klem pengunci pada infus set dan alirkanlah cairan infuse ke bengkok sampai semua daerah selang tidak ada lagi udara kemudian klem dikunci lagi. Memastikan tidak ada gelembung udara pada selang infus
Identifikasi Vena dan Fiksasi Proksimal Minta pasien mengepalkan tangan. Tentukan vena yang akan menjadi titik tusukan dengan mempalpasi
Bila sudah yakin, pasanglah torniquet di sebelah proksimal tempat insersi jarum
Prosedur Pencegahan Infeksi
Cuci tangan WHO dengan sabun antiseptik lalu pasang handschoen
Melakukan Prosedur Pemasangan Infus
Minta pasien mengepalkan tangannya sekali lagi. Raba vena pasien dan tentukan titik tempat tusukan, sterilisasi dengan mengoleskan kapas alkohol dengan arah melingkar dari dalam ke luar tempat tusukan (jangan direpalpasi).
Lepaskan tutup kanul, pegang lengan pasien dengan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena ± 5 cm (regangkan kulit).
6
7
28
8
9
10
Dorong kateter kedalam vena sedikit demi sedikit (kira-kira ¼-1/2 inchi) sebelum melepas stylet (jarum penuntun) teknik sliding
Pastikan kateter masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah dari kateter. Jika aliran darah (+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya.
Kemudian lepaskan torniquet, tekan daerah sekitar vena dimana jarum dilepaskan.
Sambungkan dengan ujung selang infus. Aktifkan dengan membuka klem pengatur tetesan. Jika pemasangan berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar. Fiksasi port d entre dengan plester, fiksasi kateter dan selang infus dengan sebelumnya menaruh kassa steril yang dioles betadine diatas muara tusukan kemudian dengan plester atau hipafix. Fiksasi bisa dengan berbagai metode dengan memperhatikan sterilitas dan kekuatan fiksasi Aturlah jumlah tetesan sesuai dengan kebutuhan. Bersihkan peralatan dan sisa sampah
11
12
13 14
15 16 17 18
Tusukkan vena kateter pada kulit dengan jarak ±0,5 cm dibawah vena yang dituju, dengan sudut 20-30o , posisi lubang jarum menghadap ke atas. (cat : untuk mengurangi rasa sakit, tusukkan tepat di pori kulit) Arahkan kateter untuk menembus kulit dan vena sampai terlihat aliran balik darah (backflow +).
Cuci tangan kembali. PROFESIONALISME Melakukan tindakan secara professional
29
INTUBASI ENDOTRAKEAL dr. Imam Ghazali, SpAn, dr. Khairun Nisa, M.Kes., AIFO, dr. Maya Ganda R A.
TEMA Ketrampilan Prosedural Intubasi Endotrakeal.
B.
TUJUAN 1. Dapat melakukan intubasi endotrakeal dengan benar. 2. Melakukan penilaian jalan nafas pasien (airway management). 3. Mampu melakukan reposisi untuk persiapan pemasangan endotrakeal tube (ETT). 4. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dari ETT. 5. Mampu menjelaskan tujuan, obat-obatan, dan komplikasi pemasangan ETT 6. Mampu mengevaluasi hasil pemasangan ETT.
C.
LEVEL KOMPETENSI No. 1.
D.
Jenis Kompetensi Intubasi
Level Kompetensi 1 2 3 4
ALAT DAN BAHAN 1. Manekin 2. Masker penutup hidung dan mulut 3. Handschoen 30
4. Laringoskop 5. Pipa endotrakeal 6. Pipa orofaring atau nasofaring 7. Stilet 8. Plester dan gunting 9. Suction Alat untuk ETT adalah STATIC S = scope, stetoskop, laringoskop (blade dengan 3 ukuran) T = tube, min 3 ukuran (laki : 6, 6 ½, 7) (wanita : 5, 5 ½, 6) A = oropharyngeal airway, sblm pemasangan intubasi pemberian oksigenasi (memasukkan blade butuh oksigen), selama 3 menit T = tape, selotip/ plester I = introducer (mandrin, stilet) C = connector (mesin)
(b)
(a) (c) Gambar 20. (a) Laringoskop; (b) Pipa endotrakeal; (c) Pipa endotrakeal dengan stilet 31
E.
SKENARIO Seorang pasien, pria, 20 tahun, dibawa ke UGD RSP Unila dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan mobil. Dari pemeriksaan, airway pasien mengalami gangguan sehingga Anda memutuskan untuk memasang ETT di UGD.
F.
DASAR TEORI Patensi jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi, dan menghindari aspirasi merupakan tujuan utama manajemen pengelolaan jalan nafas. Pengelolaan jalan nafas/airway management merupakan aspek yang penting dalam menangani kasus emergensi. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakeal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakeal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.
32
Gambar 21. Posisi setelah terpasang intubasi endotrakeal. Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakea. Pada intinya, intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,2002). Tujuan Intubasi Endotrakeal Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakeal: a.
Mempermudah pemberian anestesia. 33
b.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.
c.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh, dan tidak ada refleks batuk).
d.
Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e.
Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f.
Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotrakeal Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele (2002), antara lain: a.
Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
c.
Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
d.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e.
Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f.
Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah 34
sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. g.
Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan.
h.
Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
i.
Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
j.
Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
k.
Tracheostomni.
l.
Pada pasien dengan fiksasi vocal chords. Selain intubasi endotrakeal diindikasikan pada kasus-kasus
di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakeal pada beberapa kasus non-surgical, antara lain: a.
Asfiksia neonatorum yang berat.
b.
Untuk melakukan resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c.
Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d.
Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e.
Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
f.
Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan. Menurut Gisele (2002) ada beberapa kontra indikasi bagi
dilakukannya intubasi endotrakeal, antara lain: 35
a.
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
b.
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Komplikasi akibat Pemasangan ETT Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi, antara lain: a.
Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial, serta malposisi laringeal cuff.
b.
Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c.
Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d.
Malfungsi tuba berupa perforasi cuff. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal, antara lain:
a.
Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
b.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
c.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.
36
Komplikasi setelah ekstubasi, antara lain: a.
Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
b.
Gangguan refleks berupa spasme laring.
Obat obatan yang Digunakan a.
Suxamethonim (Succinil Choline) sudah jarang di Indonesia, short acting muscle relaxant dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi. Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b.
Thiophentone non depolarizing relaxant: metode yang bagus untuk direct vision intubation.
c.
Cyclopropane: mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d.
I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
e.
N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f.
Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otototot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g.
Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut: 37
Menghisap lozenges anagesik.
Spray mulut, faring, cord.
Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada neonatus dapat diintubasi tanpa anestesi. Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakeal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan:
Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher. 38
G.
PROSEDUR Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan, antara lain: a.
Persiapan Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
Gambar 22. Posisi sniffing in the air position. Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut 39
sebagai sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher. b.
Oksigenasi Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c.
Laringoskop Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari telunjuk menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut dengan luas; bisa juga dengan cross finger) dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri ke arah kanan dan lapangan pandang akan terbuka sampai
terlihat
epiglotis.
Kemudian
baru
lengan
kiri
mengangkat. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
40
41
Gambar 23. Teknik memasukkan laringoskop. d.
Pemasangan pipa endotrakeal Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Gunakan ETT yang memiliki marker (tanda hitam) sebagai batas memasukkan ETT di epiglotis cari
42
Gambar 24. Pipa endotrakeal dimasukkan melalui pita suara. e.
Mengontrol letak pipa Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop di 5 titik (atas kanan-kiri, bawah kanan kiri, tengah bawah epigastrium), diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
43
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup f.
Ventilasi Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
H.
DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4)
5) 6) 7) 8)
I.
Anonim. Endotrakeal intubation. 2002. Available from http://www.medicinet.com Dobson MB. Penuntun praktis anestesi. Jakarta: EGC; 1994. Earley T. Anatomy and physiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1995. Halliday HL. Endotrakeal intubation at birth for preventing morbidity and mortality in vigorous, meconium-stained infants bord at term. 2002. Available from http://www.updatesoftware.com Hendrickson G. 2002. Intubation. Available from http://www.health.discovery.com Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. Prazeres GA. Orotracheal intubation. 2002. Available from http://www.medstudents.com William RP. Gray‟s anatomy. New York: Churchil Livingston; 1995.
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No. 1.
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI
Umpan Balik
INTERPERSONAL Senyum, salam, sapa 44
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
8. 9.
10. 11. 12.
13. 14. 15. 16.
Informed consent KONTEN Menyiapkan alat. Mengatur posisi pasien. Cuci tangan WHO. Pemakaian masker dan handschoen. Oksigenisasi dengan ambubag dan sungkup selama 2-3 menit Pemasangan ETT: - Tangan kanan membuka mulut pasien (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari telunjuk menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut dengan luas; bisa juga dengan cross finger) - Tangan kiri memegang laringoskop. - Masukkan blade dari sebelah kiri mulut ke kanan sampai terlihat uvula dan epiglottis, kemudian baru mengangkat blade. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis. Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah, sampai tanda batas atau minimal seluruh bagian balooning sudah masuk. Isi balon ETT dengan spuit kosong. Sambungkan ETT dengan ventilator/ambubag. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop pada 5 titik (paru atas dan bawah kanan dan kiri, serta di tengah di bawah epigastrium) untuk memastikan bahwa ETT tidak masuk ke esofagus, terlalu kanan atau kiri dari bronkus. Fiksasi menggunakan plester. Pasang mayo untuk menghindari ETT tergigit. PROFESIONALISME Melakukan dengan penuh percaya diri. Melakukan dengan kesalahan minimal.
45
PENGELUARAN BENDA ASING dr. Fatah Satya Wibawa, Sp.THT-KL, dr. Muklis Imanto, SpTHT, dr. Rasmi ZO
A.
TEMA Ekstraksi Corpus Alienum Hidung dan Telinga.
B.
TUJUAN Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa mampu mengidentifikasi pasien dengan corpus alienum telinga dan hidung serta dapat melakukan tindakan dan terapi. Tujuan Instruksional Khusus
C.
1.
Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum telinga.
2.
Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum hidung.
LEVEL KOMPETENSI Level Kompetensi
No.
Jenis Kompetensi
1.
Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret.
1
2
3
4
2.
Pengambilan benda asing di telinga
1
2
3
4
3.
Pengambilan benda asing dari hidung
1
2
3
4
46
D.
ALAT DAN BAHAN 1.
Meja dan kursi periksa
2.
Lampu kepala
3.
Spekulum
4.
Otoskop
5.
Forcep cunam/forcep aligator
6.
Manekin hidung dan telinga
7.
Pinset berujung lancip/pinset bayonet
8.
Pengait ujung tumpul/haak (a)
(b)
(c) (d)
Gambar 25. (a) Forsep alligator; (b) Spekulum; (c) Pinset bayonet; (d) Hook extractor E.
SKENARIO Seorang anak perempuan berusia 4 tahun diantar oleh ibunya datang ke praktek dokter umum dengan keluhan hidung sebelah kanan kemasukan biji jagung setelah bermain dengan 47
kakaknya hari ini. Ibu pasien juga mengatakan ada sisa cotton bud pada telinga kanan. Keluhan lain disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital N 90x/menit, RR 22x/menit, T 38°C. Pada pemeriksaan menggunakan spekulum dan otoskop tampak biji jagung dan cotton bud. F.
DASAR TEORI CORPUS ALIENUM TELINGA Benda asing (corpus alienum) yang berada di liang telinga bervariasi sekali. Lebih sering terjadi pada anak tetapi dapat pula terjadi pada dewasa. Bisa berupa benda mati, benda hidup, binatang, komponen tumbuhan dan mineral. Kacang hijau, manik, mainan, baterai jam tangan, dan karet penghapus banyak ditemukan pada pasien anak-anak. Pasien dewasa seringkali berupa potongan korek api dan binatang, seperti kecoa, semut, dan nyamuk. Beberapa faktor penyulit pengeluaran benda asing dari liang telinga, yaitu:
Tidak kooperatif Pasien yang tidak kooperatif terutama anak-anak berisiko dan berpotensi besar terjadi kerusakan gendang telinga dan struktur telinga tengah lainnya pada penanganan yang tidak hati-hati.
Edema Edema liang telinga yang disebabkan trauma dapat menghambat pengeluaran benda asing (corpus alienum).
Benda hidup 48
Benda organik Benda organik akan membesar bila kita membiarkannya lama dan kondisi lembab di liang telinga.
Kegagalan. Usaha yang gagal dapat mendorong benda asing (corpus alienum) lebih ke dalam liang telinga. Usaha mengeluarkan benda asing seringkali malah
mendorongnya lebih ke dalam. Mengeluarkan benda asing haruslah hati-hati. Bila kurang hati-hati atau bila pasien tidak kooperatif, beresiko trauma yang merusak membran timpani atau struktur telinga tengah. Anak harus dipegang sedemikian rupa sehingga tubuh dan kepala tidak dapat bergerak bebas. Bila masih hidup, binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan memasukkan tampon basah keling telinga lau meneteskan cairan (misalnya rivanol atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat. Benda asing berupa baterai jam tangan, sebaiknya jangan dibasahi mengingat efek korosif yang ditimbulkan. Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait serumen, sedangkan yang kecil diambil dengan cunam atau oinset berujung lancip. Kontraindikasi relatif, yaitu apabila pasien tidak kooperatif. Jika kontraindikasi relatif ada, maka pasien dirujuk ke dokter spesialis THT. Komplikasi: Otitis eksterna (radang telinga luar) 49
Otitis media jika corpus alienum menimbulkan perforasi spontan Kerusakan telinga tengah dan telinga dalam Teknik pengeluaran benda asing dari liang telinga, antara lain:
Benda hidup. Harus dimatikan terlebih dahulu sebelum kita keluarkannya. Masukkan tampon basah ke dalam liang telinga lalu tetesi cairan, misalnya larutan rivanol dan biarkan selama 10 menit.
Tidak kooperatif. Pegang kepala anak. Anestesi umum dapat kita lakukan pada kasus tertentu.
Gambar 26. Cara memegang kepala anak.
Irigasi. Gunakan air bersih yang sesuai suhu tubuh.
Pinset.
50
Gambar 27. Pengambilan benda asing menggunakan pinset.
Kapas yang terpilin.
Pengait serumen. Gunakan untuk mengeluarkan benda asing (corpus alienum) yang besar.
Gambar 28. Penggunaan cunam pengait.
Cunam atau pengait. Gunakan pada benda asing (corpus alienum) yang kecil.
51
Penanganan serumen obturan. Serumen dapat diambil langsung dengan hook extraction atau diirigasi lebih dahulu. Jika serumen keras dapat ditetesi dengan tetes nitrogliserin atau minyak zaitun (oleum olivarum) selama beberapa hari agar serumen melunak sehingga mudah diekstraksi.
Gambar 29. Cara irigasi serumen obturans.
Telinga diirigasi dengan air bersih non bakteriologis pada suhu 37º C sama dengan suhu tubuh agar tidak terjadi trauma fisik dengan menggunakan syringe telinga dengan kanula tumpul. Air hanyalah diarahkan ke posterosuperior agar tidak mengenai membrane timpani secara langsung. Setelah irigasi harus diikuti dengan evaluasi, yaitu pemeriksaan otoskopi ulang.
52
CORPUS ALIENUM HIDUNG Corpus alienum pada hidung sering terjadi pada anak-anak yang suka memasukkan benda-benda apa saja ke dalam lubang hidung, seperti biji kacang, jagung, dan benda lain yang luput dari perhatian orang tua. Jika benda yang masuk agak ringan maka anak dapat disuruh mengeluarkan sendiri seperti mengeluarkan ingus tapi ini bisa dilakukan kalau anaknya sudah mengerti atau sudah besar dan tidak cengeng. Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi serta ditenukan rinolith. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Jika demikian, dalam menghisap mukopus haruslah hati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk. Mengeluarkan benda asing dari lubang hidung dapat dilakukan namun sangat tergantung apakah anak dapat diajak kerja sama atau tidak, kalau benda asingnya masih dapat terlihat maka berarti belum jauh kedalam. Posisi anak dalam pangkuan seseorang yang seperti memeluk kedua tangan dipegang dan seorang lagi memegang kepala anak dengan muka agak didongakkan jadi dokter atau perawat bisa mengintip kedalam lubang hidung dan 53
memasukkan pengait untuk menarik benda yang masuk ke lubang hidung. Pemilihan alat tergantung jenis benda asingnya. Jika terjadi kegagalan maka rujuklah ke dokter spesialis THT.
Gambar 30. Cara memegang anak untuk pengambilan benda asing hidung. Komplikasi yang mungkin terjadi, diantaranya:
Sinusitis
Aspirasi Pengeluaran benda asing dari hidung adalah dengan
menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara tersebut, benda asing akan terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”. 54
Gambar 31. Teknik pengambilan benda asing di hidung. Penanganan yang salah bila mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara tersebut, benda asing dapat terus masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat. 55
Setelah dilakukan ekstraksi dilakukan evaluasi ulang dan apakah ada komplikasi akibat tindakan yang dilakukan. Pemberian antibiotik sistemik selama 5 – 7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus. G.
PROSEDUR Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari liang telinga: 1.
Informed consent
2.
Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada telinga.
3.
Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4.
Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga.
5.
Melakukan tindakan ekstraksi benda asing.
Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari hidung: 1.
Informed consent
2.
Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada hidung.
3.
Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4.
Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga.
5.
Melakukan tindakan ekstraksi benda asing.
56
H.
DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4)
I.
Sosialisman H. Kelainan telinga luar dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Kurnaedi W, Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional XII. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 1999. Boies HA. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 1997.
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No. 1.
2. 3. 4. 5.
6.
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI
Umpan Balik
INTERPERSONAL Membina sambung rasa (senyum, salam, sapa, dan menunjukkan sikap kesediaan meluangkan waktu untuk berbicara dengannya, kesejajaran). Informed consent KONTEN Persiapan alat. Cuci tangan tangan WHO, pakai handschoen. Pengangkatan Corpus Alienum Telinga Memposisikan pasien dengan baik, orang tua membantu dengan satu tangan memeluk kepala pasien kedada orang tuanya, dan tangan yang lain memegang badan agar telinga menghadap ke arah dokter. Angkat daun telinga bagian atas dan lihat dengan menggunakan otoskop dan mengidentifikasi secara 57
7.
8.
9. 10.
11. 12. 13.
pasti benda apa yang terdapat pada telinga. Ekstraksi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai. Pengangkatan Corpus Alienum Hidung Memposisikan anak dalam pangkuan orang tua dan membelakanginya. Orang tua memeluk badan dan kedua tangannya serta mengusahakan agar kepala anak agak mendongak dengan cara tangan yang satu mendorong ringan dagu dan memfiksasi dagu. Tangan yang lainnya memegang kepala. Gunakan spekulum dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada hidung. Ekstrasi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai. PROFESIONALISME Melakukan dengan penuh percaya diri. Menyampaikan semua informasi sesuai dengan konteksnya (clinical reasoning). Melakukan dengan kesalahan minimal.
58
PEMASANGAN TAMPON HIDUNG dr. Maya GR, dr. Fatah Satya W, Sp.THT-KL, dr. Muklis Imanto, SpTHT
A.
TEMA Keterampilan Klinis Pemasangan Tampon Hidung.
B.
TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti CSL ini, diharapkan mahasiswa mampu: 1. Menentukan diagnosis epistaksis anterior dan epistaksis posterior 2. Melakukan pemasangan tampon hidung anterior 3. Melakukan pemasangan tampon hidung posterior 4. Melakukan pemasangan tampon hidung dengan balon kateter Foley
C.
LEVEL KOMPETENSI No. 1.
D.
Jenis Kompetensi Menghentikan perdarahan hidung
Level Kompetensi 1
2
3
4
ALAT DAN BAHAN 1.
Lampu kepala
2.
Spekulum hidung
3.
Pinset bayonet
4.
Tampon vaselin rol 59
5.
Tampon Bellocq
6.
Kateter Foley
7.
Forsep ring
8.
Suction
9.
Lidocain spray 2 – 4%
10. Adrenalin 1/5.000 – 1/10.000 11. Handschoen 12. Spuit 10 cc dan larutan salin 13. Jelly lubrikan 14. Plester dan gunting E.
SKENARIO Seorang pasien, pria, 18 tahun, seorang mahasiswa, datang ke UGD RSP Unila dengan keluhan perdarahan di hidung kanan. Pasien mengaku terlibat perkelahian dengan mahasiswa lainnya. Anda segera memeriksa dan memutuskan untuk memasang tampon hidung.
F.
DASAR TEORI Epistaksis atau perdarahan hidung banyak dijumpai, baik pada anak maupun usia lanjut. Seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis. Tetapi epistaksis yang berat, meskipun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. 60
Gambar 32. Vaskularisasi hidung. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang jelas disebabkan oleh trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, dan pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital. Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu 1.
Epistaksis masif ; perdarahan pada hidung yang masih berlangsung pada saat diperiksa pasang tampon
2.
Epistaksis laten : perdarahan pada hidung namun saat diperiksa sudah tidak tampak perdarahan aktif sehingga untuk penatalaksanaannya jangan diberi manuver apapun cukup observasi saja yang selanjutnya akan dilakukan evaluasi sumber perdarahan beberapa hari setelahnya. 61
Tabel 1. Penyebab perdarahan hidung.
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior. Kebanyakan berasal dari Pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan dan dapat berhenti sendiri. Epistaksis posterior. Dapat berasal dari a. etmoidalis posterior atau a. sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya a. sfenopalatina.
62
Gambar 33. Epistaksis anterior dan posterior. Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari sumbernya, apakah perdarahan anterior atau posterior. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk tegak, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah, posisikan dengan setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah. Pasien anak dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. Sumber perdarahan dicari dengan 63
membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 – 1/10.000 (kontraindikasi pada penderita hipertensi)
dan lidocain 2%
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
Gambar 34. Posisi tubuh ketika terjadi epistaksis. Perdarahan hidung anterior dan posterior juga bisa dibedakan dengan cara berikut. Pasien diminta untuk duduk tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit. Pasien 64
diminta bernafas melalui mulut lalu mencondongkan badannya ke depan. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring. Jika ada, berarti terjadi perdarahan posterior. Menghentikan Perdarahan Epistaksis Anterior Jika epistaksis anterior tidak bisa berhenti sendiri, dapat dilakukan penekanan hidung selama 10 – 15 menit. Jika tidak berhasil, dilakukan kaustik dengan larutan AgNO3 25 – 30%. Bila masih tidak berhasil, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kassa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat tampon dimasukkan atau dicabut. Tampon yang dipakai adalah tampon rol yang dibuat dari kassa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, kemudian harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru. Cara mempersiapkan tampon rol adalah sebagai berikut: 1.
Vaselin salep dipanaskan di dalam kom hingga mencair.
2.
Celupkan tampon rol ke dalam vaselin yang sudah mencair, lalu dibolak-balikkan agar vaselin melekat secara merata. 65
3.
Tampon rol diangkat dan dibiarkan dingin sehingga vaselin pada tampon rol akan membeku kembali. a.
b.
66
c.
Gambar 35. Cara melakukan pemasangan tampon anterior.
67
Gambar 36. Prosedur pemasangan tampon anterior
Epistaksis Posterior Perdarahan posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior, dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kassa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu 68
sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Gambar 36. Tampon Bellocq. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
69
Gambar 37. Cara pemasangan tampon posterior (tampak samping).
70
a.
b.
c.
Gambar 38. Cara pemasangan tampon posterior (tampak depan). Bila perdarahan berat pada kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan 2 kateter masing-masing melalui cavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah71
tengah nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam cavum nasi.
Gambar 39. Tampon anterior-posterior. Balloon Tamponade Pemakaian
tampon
balon
lebih
mudah
dilakukan
dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior konvensional, tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 – 16 F diletakkan di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. 72
Kemudian balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kassa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
Gambar 40. Tampon balon.
73
Gambar 41. Tampon menggunakan kateter Foley. Komplikasi Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. G.
PROSEDUR 1.
Senyum, sapa, salam
2.
Informed consent
3.
Mengatur posisi pasien, yaitu posisi duduk tegak. Kalau keadaannya lemah, posisikan dengan setengah duduk atau 74
berbaring dengan kepala ditinggikan. 4.
Menyiapkan alat.
5.
Cuci tangan WHO
6.
Memakai handschoen.
7.
Membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan menggunakan suction, lalu mencari sumber pendarahan.
8.
Memasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 – 1/10.000 dan lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung.
9.
Tampon dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
10. Atau, pasien diminta untuk duduk tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit. 11. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu mencondongkan badannya ke depan. 12. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring. 13. Pemasangan tampon anterior a.
Membuka nares anterior menggunakan spekulum hidung.
b.
Ujung tampon vaselin rol (atau setumpuk tampon rol yang sudah dilipat-lipat sepanjang perkiraan panjang cavum nasi anterior) dijepit menggunakan pinset bayonet, lalu dimasukkan sepanjang dasar nares anterior. Pinset bayonet yang menjepit tidak boleh melebihi panjang tampon rol agar pinset tidak melukai cavum nasi. 75
c.
Lepaskan pinset bayonet dari tampon rol dan spekulum hidung dari nares anterior.
d.
Gunakan spekulum hidung untuk mendorong dan menahan tampon rol pertama ke arah atas, lalu masukkan kembali tampon rol selanjutnya ke sepanjang dasar nares anterior.
e.
Pemasangan diteruskan hingga seluruh cavum nares anterior terisi penuh.
f.
Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.
14. Pemasangan tampon posterior a.
Kateter diolesi jelly lubrikan.
b.
Masukkan kateter karet dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut menggunakan forsep ring.
c.
Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya.
d.
Benang yang keluar kemudian ditarik, dan tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring.
e.
Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares anterior.
f.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara 76
longgar pada pipi pasien. 15. Tampon balon kateter Foley a.
Olesi kateter Foley no. 12 – 16 F dengan jelly lubrikan atau salep antibiotik.
b.
Kateter Foley dimasukkan ke dalam hidung, di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring.
c.
Balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.
d.
Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
H.
DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Naval Hospital Jacksonville, Jacksonville, Florida. 2005 [cited 2013 Oct 07]. Available from http://www.aafp.org Mangunkusumo E, Wardani R. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: FK UI; 2007. Young TK, Hall R. The occasional management of epistaxis. Can J Rural Med. 2010;15(2):70 – 4. Zieve D, Eltz DR. Hemoragia nasal. University of Maryland Medical Center. 2011 [cited 2013 Oct 17]. Available from http://umm.edu Epistaxis Treatment–Anterior Packing. 2013 [cited 2013 Oct 17]. Available from http://5minuteconsult.com Epistaxis. 2011. [cited 2013 Oct 07]. Available from http://bestpractice.bmj.com
77
I.
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16. 17. 18.
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI
Umpan Balik
INTERPERSONAL Senyum, salam, sapa Informed consent KONTEN Mengatur posisi pasien. Menyiapkan alat. Cuci tangan WHO. Pemakaian handschoen. MENENTUKAN JENIS EPISTAKSIS Membersihkan hidung dari darah, lalu mencari sumber pendarahan. Memasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 – 1/10.000 dan lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung. Pasien diminta untuk duduk tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu mencondongkan badannya ke depan. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring. PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR Membuka nares anterior menggunakan spekulum hidung. Ujung tampon rol (atau setumpuk tampon rol yang sudah dilipat-lipat sepanjang perkiraan panjang cavum nasi anterior) dijepit menggunakan pinset bayonet, lalu dimasukkan sepanjang dasar nares anterior. Lepaskan pinset bayonet dari tampon rol dan spekulum hidung dari nares anterior. Gunakan spekulum hidung untuk mendorong dan menahan tampon rol pertama ke arah atas, lalu masukkan kembali tampon rol selanjutnya ke sepanjang dasar nares anterior. Pemasangan diteruskan hingga seluruh cavum nares anterior terisi penuh. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Bila perdarahan 78
19. 20. 21.
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
29. 30.
masih belum berhenti, dipasang tampon baru. PEMASANGAN TAMPON POSTERIOR Kateter diolesi jelly lubrikan. Masukkan kateter karet dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut menggunakan forsep ring. Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya. Benang yang keluar kemudian ditarik, dan tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares anterior. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. PEMASANGAN TAMPON BALON KATETER FOLEY Olesi kateter Foley no. 12 – 16 F dengan jelly lubrikan atau salep antibiotik. Kateter Foley dimasukkan ke dalam hidung, di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. PROFESIONALISME Melakukan dengan penuh percaya diri. Melakukan dengan kesalahan minimal.
79
RESUSITASI JANTUNG PARU dr. Maya GR, dr. Imam Ghazali, SpAn A.
TEMA Keterampilan Klinis Resusitasi Jantung Paru.
B.
TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Melakukan penilaian awal situasi dan kondisi pasien, menentukan henti nafas dan henti jantung. 2. Melakukan kompresi dada. 3. Memberikan nafas buatan. 4. Mengevaluasi keberhasilan resusitasi.
C.
LEVEL KOMPETENSI No. 1.
D.
Jenis Kompetensi Bantuan Hidup Dasar
Level Kompetensi 1 2 3 4
ALAT DAN BAHAN 1.
Mannequin RJP dewasa
2.
CPR breathing mask
3.
Kapas
4.
Alkohol
Gambar 42. CPR breathing mask 80
E.
SKENARIO Anda seorang dokter umum yang sedang jaga malam di RS daerah. Tiba-tiba ada panggilan dari ruangan perawatan. Keluarga pasien melaporkan bahwa pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri. Setelah memastikan bahwa nadi tidak teraba, Anda segera mengaktifkan kode biru, dan melakukan resusitasi jantung paru.
F.
DASAR TEORI Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Dari survei yang dilakukan WHO pada 2004, diperkirakan sebanyak 17,1 juta orang meninggal (29,1% dari jumlah kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Manifestasi komplikasi penyakit jantung dan pembuluh darah yang paling sering diketahui dan bersifat fatal adalah kejadian
henti
jantung
mendadak.
Untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup, terutama jika henti jantung mendadak tersebut disaksikan, maka tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) harus secepatnya dilakukan. Bantuan hidup jantung dasar sering didengar dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). BHD merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang penolong ataupun lebih secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan BHD adalah memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi 81
yang efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau telah tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardiac Life Support [ACLS]) atau tindakan dihentikan karena tidak ada respon dari penderita setelah dilakukan beberapa saat. Apabila kita dapat melakukan Bantuan Hidup Jantung Dasar dengan baik dan tepat, maka kita dapat mengharapkan bahwa: 3.
Henti jantung dapat dicegah dan perujukan dapat cepat dilaksanakan.
4.
Fungsi jantung paru dapat diperbaiki dengan menggunakan AED (automated external defibrillation) dan kompresi.
5.
Otak dapat dijaga dengan baik karena suplai darah ke otak dapat terpelihara selama dilakukan bantuan sampai bantuan lanjut tiba. Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA menekankan fokus bantuan hidup dasar pada 3 rantai pertama dari 5 Rantai Kelangsungan Hidup: 1.
Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (early acces).
2.
Resusitasi jantung paru segera (early cardiopulmonary resuscitation).
3.
Defibrilasi segera (early defibrillation).
4.
Perawatan kardiovaskular lanjutan yang efektif (effective ACLS).
5.
Penanganan terintegrasi pasca henti jantung (integrated post cardiac arrest care). 82
Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti: Henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan Pertolongan dapat tidak dilakukan bila: 1.
Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangani oleh penderita dan keluarga penderita.
2.
Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat pengobatan secara optimal.
3.
Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi, misalnya bayi prematur, anensefali, atau kelainan kromosom seperti trisomi 13.
Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan 1.
Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat, dekapitasi, atau pembusukan.
2.
Upaya RJP dengan risiko membahayakan penolong.
3.
Penderita dengan truma yang tidak bisa diselamatkan, seperti hangus terbakar, dekapitasi, hemikorporektomi.
Kapan Menghentikan RJP 1.
Penolong sudah melakukan BHD atau lanjut secara optimal, antara lain RJP, defibrilasi, pemberian vasopressin atau epinefrin intravena, membuka jalan nafas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan bantuan jalan nafas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan irama sesuai dengan pedoman yang ada. 83
2.
Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susunan sistem saraf pusat.
3.
Kejadian henti jantung tidak disaksikan penolong.
4.
Penolong telah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih.
5.
Penderita yang tidak respons setelah dilakukan Bantuan Hidup Jantung Lanjut minimal 20 menit.
6.
Secara etik, penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang layak untuk memperpanjang usaha pertolongan (misalnya karena konsekuensi psikologis dan emosional). Juga menerima alasan klinis untuk mengakhiri resusitasi dengan segera (karena kemungkinan hidup kecil).
Teknik Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar Urutan prosedur BLS adalah D – R – C – A – B (danger-responsivecirculation-airway-breathing)
Danger (Penilaian Situasi) Langkah awal sebelum memulai melakukan resusitasi adalah menilai situasi apakah keadaan lingkungan cukup aman bagi penolong, misal adanya bahan toksik, aliran listrik, bahaya kebakaran, peledakan, atau runtuhan bangunan. Pastikan keselamatan penolong dan pasien terjamin. 84
Responsive (Penilaian Respon) Penilaian respon dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian respon dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan penderita sambil berteriak memanggil penderita. Hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respon penderita:
Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respon yang diberikan, maka usahakan tetap mempertahankan posisi seperti pada saat ditemukan (kecuali ada bahaya pada posisi tersebut), atau diposisikan ke dalam posisi mantap (recovery position); sambil terus melakukan pemantauan tanda-tanda vital sampai bantuan datang.
Posisi supine bisa dengan mengganjal spine/ punggung, pasien aman/ safety, airway lapang dan aman sepanjang masa (ekstensi), dengan memiringkan kepala ke kanan atau kiri.
Posisi mantap merupakan pertolongan yang ditujukan untuk mempertahankan jalan napas bebas dari sumbatan pangkal lidah
dan
memperkecil
kemungkinan
aspirasi
isi
lambung/muntahan. Caranya sebagai berikut: -
Lengan yang dekat penolong diluruskan ke arah kepala.
-
Lengan yang satunya menyilang dada, kemudian tekankan tangan tersebut ke pipinya. 85
-
Dengan tangan penolong yang lain, raih tungkai jauh tepat di atas lutut dan angkat.
-
Tarik tungkai hingga tubuh pasien terguling ke arah penolong.
Baringkan
miring
dengan
tungkai
atas
membentuk sudut dan menahan tubuh dengan stabil agar tidak menelungkup. -
Periksa pernapasan secara teratur.
Gambar 43. Cara melakukan posisi mantap.
Bila penderita tidak memberikan respon serta tidak bernafas atau bernafas tidak normal (gasping), maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung. Langkah selanjutnya yang 86
perlu dilakukan adalah melakukan aktivasi sistem layanan gawat darurat. Pengaktifan Sistem Layanan Gawat Darurat Setelah dilakukan pemeriksaan kesadaran penderita dan tidak didapatkan respon dari penderita, hendaknya penolong meminta bantuan orang terdekat untuk menelepon sistem layanan gawat darurat (atau sistem kode biru di RS). Bila tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, maka sebaiknya penolong menelepon sistem layanan gawat darurat (atau 118). Saat melaksanakan percakapan dengan petugas layanan gawat darurat, hendaknya dijelaskan lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan ke penderita. Untuk kasus trauma, tenggelam, dan overdosis pada dewasa, atau anak, sebaiknya penolong melakukan bantuan RJP selama 1 menit sebelum menghubungi sistem gawat darurat.
Circulation (Kompresi Jantung) Sebelum melakukan kompresi dada pada penderita, penolong harus melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi saat akan dilakukan pertolongan. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik. Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukanlah hal yang mudah dilakukan, bahkan tenaga kesehatan yang menolong mungkin memerlukan 87
waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut nadi, sehingga:
Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan oleh penolong awam dan langsung mengasumsikan penderita mengalami henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak, atau tidak merespon, tidak bernafas, atau bernafas tidak normal.
Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 – 3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada).
Jika tidak teraba nadi dalam 10 detik, mulai lakukan kompresi.
Gambar 44. Cara meraba arteri karotis. Kompresi dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum. Hal ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan 88
langsung pada dinding jantung. Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada, antara lain: -
Frekuensi kompresi minimal 100 kali per menit.
-
Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
-
Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi (complete chest recoil).
Gambar 45. Complete chest recoil saat RJP. -
Seminimal
mungkin
melakukan
interupsi
(minimizing
interruption). -
Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.
Cara melakukan kompresi dada: -
Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras.
-
Lutut penolong berada di sisi bahu penderita.
-
Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.
89
Gambar 46. Posisi penolong ketika melakukan RJP. -
Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
Gambar 47. Menentukan titik kompresi RJP. -
Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.
90
Gambar 48. Posisi tangan saat melakukan RJP. -
Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.
Airway Pada penderita yang tidak sadarkan diri, maka tonus-tonus otot tubuh akan melemah termasuk otot rahang dan leher. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lidah dan epiglotis terjatuh ke belakang dan menyumbat jalan nafas. Jalan nafas dapat dibuka oleh penolong dengan metode:
Teknik angkat kepala-angkat dagu (head tilt-chin lift) pada penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher.
91
Gambar 49. Teknik head tilt-chin lift.
Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt-chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (jaw thrust).
92
Gambar 50. Jaw thrust.
Breathing Pemberian nafas bantuan dilakukan setelah jalan nafas terlihat aman. Tujuan primer pemberian bantuan nafas adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Dilakukan dengan metode: 1.
Mulut ke Mulut Merupakan metode yang paling mudah dan cepat. Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan penolong. Cara melakukan:
Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk.
93
(a)
(b)
Gambar 51. (a) Head tilt-chin lift (b) Sembari mempertahankan head tilt-chin lift, tutup hidung dan tutup mulut penderita dengan mulut penolong.
Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan
rapat
bibir
penolong
melingkari mulut
penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai dada terangkat.
Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
2.
Mulut ke Hidung Nafas bantuan dilakukan bila pernafasan mouth-to-mouth sulit dilakukan, misalnya karena trismus. Caranya adalah katupkan mulut penderita disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernafasan mouth-to-mouth. Buka mulut penderita ketika ekshalasi.
94
Gambar 52. Bantuan nafas mulut ke hidung. 3.
Mulut ke Sungkup Penolong menghembuskan udara melalui sungkup yang diletakkan di atas dan melingkupi mulut dan hidung penderita. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan, sehingga muntahan dan warna bibir penderita dapat terlihat. Cara melakukan:
Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang kedua ibu jari.
Lakukan head tilt-chin lift/jaw trush, tekan sungkup ke muka penderita dengan rapat, kemudian hembuskan udara melalui lubang sungkup sampai dada terangkat.
Hentikan hembusan dan amati turunnya pergerakan dinding dada.
95
Gambar 53. Bantuan nafas menggunakan CPR breathing mask. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan nafas, antara lain:
Memberikan nafas bantuan dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
Tunggu dada kembali turun penuh sebelum memberi tiupan berikutnya (2 – 4 detik).
Pada kondisi terdapat 2 orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan alat untuk mempertahankan jalan nafas (seperti pipa endotrakeal, combitube, atau sungkup laring), maka nafas bantuan diberikan setiap 6 – 8 detik, sehingga menghasilkan pernafasan dengan frekuensi 8 – 10 kali/menit. 96
Penderita dengan hambatan jalan nafas atau komplians paru buruk memerlukan bantuan nafas dengan tekanan yang lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.
Pemberian nafas bantuan yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan distensi lambung serta komplikasinya, seperti reurgitasi dan aspirasi. Komplikasi yang mungkin terjadi saat melakukan BHD,
antara lain: 1.
Aspirasi reurgitasi
2.
Fraktur costae-sternum
3.
Pneumothoraks, hematothoraks, kontusio paru
4.
Laserasi hati atau limpa
Bantuan Hidup Dasar dengan 2 Penolong Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan BHD dengan 2 penolong, yaitu: 1.
Tiap penolong harus mengerti peranan masing-masing. Satu orang penolong memberikan pernafasan bantuan, sedangkan penolong yang lain melakukan kompresi dada. Bila penolong ke dua tiba di tempat kejadian saat pertolongan sedang dilakukan oleh penolong pertama, maka penolong ke dua memberikan bantuan setelah penolong pertama melakukan 1 siklus bantuan yang diakhiri dengan 2 nafas bantuan.
2.
Penolong yang melakukan kompresi dada memberikan pedoman dengan cara menghitung dengan suara keras.
3.
Sebaiknya perputaran penolong dilakukan setiap 5 siklus. 97
Sebelum melakukan perpindahan tempat, penolong yang melakukan kompresi memberikan aba-aba bahwa akan dilakukan perpindahan tempat setelah kompresi ke-30 yang dilanjutkan pemberian 2 nafas bantuan. Penolong yang memberikan nafas bantuan segera mengambil tempat di samping penderita untuk melakukan kompresi. Hal tersebut terus berlanjut sampai bantuan dinyatakan boleh dihentikan.
Gambar 54. Resusitasi jantung paru dengan 2 orang penolong. G.
PROSEDUR 1.
Memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan.
98
2.
Memeriksa kemampuan respon penderita (dengan berteriak memanggil dan menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita).
3.
Meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem layanan gawat darurat (atau sistem kode biru di rumah sakit). Bila tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, penolong menelepon sistem layanan gawat darurat. Jelaskan lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan ke penderita.
4.
Melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi.
Pemeriksaan dengan melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik.
Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 – 3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada).
5.
Informed consent (jika ada pihak keluarga).
6.
Circulation: melakukan kompresi dada.
Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras.
Lutut penolong berada di sisi bahu penderita.
Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.
99
Menentukan
lokasi
kompresi
dada
dengan
cara
meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.
Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.
Melakukan high quality CPR. -
Frekuensi kompresi minimal 100 kali per menit.
-
Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
-
Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi (complete chest recoil).
-
Seminimal mungkin melakukan interupsi (minimizing interruption).
7.
Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.
Airway: pembukaan jalan nafas menggunakan head tilt-chin lift maneuver (mendorong kepala ke belakang sambil mengangkat dagu).
Meletakkan telapak tangan ke dahi penderita.
Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan.
Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang rahang penderita.
100
Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi penderita secara bersamaan sampai kepala pasien pada posisi ekstensi.
8.
Breathing: pemberian nafas bantuan.
Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk.
Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan
rapat
bibir
penolong
melingkari mulut
penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai dada terangkat.
Memberikan 2 kali nafas bantuan masing-masing dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
9.
Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis.
10. Penolong terus melakukan RJP hingga AED (automated external defibrillator) tiba, atau hingga terjadi ROSC (return of spontaneous circulation), atau penolong kelelahan sehingga kalau diteruskan akan membahayakan penolong. 101
11. Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan pasien dalam posisi mantap. H.
DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4)
Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta; 2012. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku panduan kursus bantuan hidup jantung dasar. Edisi 2013. Jakarta; 2013. Ramadhian MR, Hanriko R, Oktaria D. Buku CSL blok neurobehaviour. Bandar Lampung: Penerbit Internal FK Unila; 2011. Schoolfield B. Highlights of the 2010 American heart association guidelines for CPR and ECC. 2010. Tabel 2. Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar
102
Dewasa Pengenalan awal
Urutan BHD Frekuensi Kedalaman kompresi Recoil dinding dada Interupsi kompresi Jalan nafas Kompresi Ventilasi
Defibrilasi
Rekomendasi Anak Tidak sadarkan diri Tidak bernafas atau gasping
Bayi
Tidak ada nafas atau bernafas tidak normal (misalnya gasping) Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan) C-A-B C-A-B C-A-B Minimal 100 kali/menit Minimal 5 cm (2 inch) Minimal 1/3 diameter AP Minimal 1/4 diameter AP dinding dada (sekitar 5 cm/2 dinding dada (sekitar 4 inch) cm/1.5 inch) Recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi. Untuk penolong terlatih, pergantian posisi kompresor setelah 2 menit. Interupsi kompresi seminimal mungkin. Interupsi terhadap kompresi tidak lebih dari 10 detik. Head tilt-chin lift Jaw thrust (pada kecurigaan trauma leher) 30 : 2 30 : 2 (1 penolong) 30 : 2 (1 penolong) (1 atau 2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja. Pada penolong terlatih tanpa alat bantu nafas lanjutan, berika 2 kali nafas buatan setelah 30 kompresi. Bila terpasang alat bantu nafas lanjutan, berikan nafas setiap 6 – 8 detik (8 – 10 kali/menit). Penderita ROSC, nafas diberikan setiap 5 – 6 detik (10 – 12 kali/menit). Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin. Interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut listrik. Lanjutkan RJP, diawali dengan kompresi segera setelah kejut listrik.
103
Gambar 55. Algoritma bantuan hidup dasar untuk petugas kesehatan.
104
I.
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No. 1. 2. 3.
4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Aspek
Umpan Balik
Memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan. Memeriksa kemampuan respon penderita. Meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem layanan gawat darurat. Bila tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, penolong menelepon sistem layanan gawat darurat. Jelaskan lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan ke penderita. Melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi. Melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik. Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 – 3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada). Informed consent (jika ada pihak keluarga). CIRCULATION Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras. Lutut penolong berada di sisi bahu penderita. Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan. Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan. Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di bagian setengah bawah sternum. Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan. Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan. Melakukan high quality CPR. - Frekuensi kompresi minimal 100 kali per menit. - Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi). - Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi (complete chest 105
recoil). Seminimal mungkin melakukan interupsi (minimizing interruption). - Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan. AIRWAY Meletakkan telapak tangan ke dahi penderita. Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan. Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang rahang penderita. Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi penderita secara bersamaan sampai kepala pasien pada posisi ekstensi. BREATHING Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk. Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai dada terangkat. Memberikan 2 kali nafas bantuan masing-masing dalam waktu 1 detik. Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada. Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi. Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi. Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis. Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan pasien dalam posisi mantap. Cek kembali nadi setiap 2 menit. PROFESIONALISME Melakukan dengan penuh percaya diri. Melakukan dengan kesalahan minimal. -
14.
15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
-
106
VISUM ET REPERTUM dr. Winda Trijayanthi U, SH., dr. Exsa H, dr. Handayani D.U., Sp.F
A.
TEMA PEMBELAJARAN Keterampilan pemeriksaan luar dan pembuatan Visum Et Repertum (VER)
B.
TUJUAN 1. Mahasiswa
mampu
mendeskripsikan
dan
menentukan
klasifikasi luka. 2. Mahasiswa mampu menyusun hasil pemeriksaan. 3. Mahasiswa mampu menarik kesimpulan dari hasil pemeriksaan. 4. Mahasiswa mampu membuat VER. C.
LEVEL KOMPETENSI No. 1. 2.
D.
Kompetensi Visum Et Repertum Traumatologi
Level Kompetensi SKDI Target Capaian 4 4 4 4
ALAT DAN BAHAN 1.
Foto-foto luka
2.
Form Status Pasien (Skesta Tubuh)
3.
Form VER
4.
Meteran 107
E.
SKENARIO Seorang perempuan datang ke Pusat Pelayanan Terpadu Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sendiri, dengan membawa surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian Sektor Kedaton, dengan suratnya nomor: R/35/I/2015/SEKTOR KDT, surat ditujukan kepada Kepala RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan VER. Pada saat pemeriksaan pada hari Jum‟at tanggal 6 Agustus tahun 2015 pukul 19.00 WIB, korban datang dengan ditemani oleh kakak kandung korban ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Korban mengaku telah diinjak kaki kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban) pada tanggal 6 Agustus tahun 2015 pukul 16.00 WIB di rumah korban. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum korban baik, kesadaran penuh, emosi stabil, dan kooperatif. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/m, pernapasan 20 x/m, dan suhu 36.5 °C. Pada pemeriksaan korban ditemukan memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka lecet pada punggung sisi kiri Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, dan tidak dilakukan tindakan atau diberikan pengobatan. F.
DASAR TEORI Definisi VER VER berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. VER adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis 108
terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Dasar Hukum VER
Lembaran Negara tahun 1973 No. 350 pasal 1 dan pasal 2
Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2
KUHAP Pasal 133
KUHAP pasal 6 (1)
Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983
Pasal 179 KUHAP.
Peranan dan Fungsi VER
VER adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP.
VER turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia sehingga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
VER juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan.
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VER berguna untuk mengungkapkan perkara.
Bagi penuntut umum (jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan.
109
Bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.
Perbedaan VER dengan Rekam Medis Catatan medis terikat dengan sumpah dokter menurut Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1996 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum dalam Pasal 322 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). VER di buat berdasarkan undang-undang yaitu Pasal 120, 179,133 ayat 1 KUHP, maka dokter tidak dapat di tuntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana di atur dalam Pasal 322 KUHP meskipun dokter membuat nya tanpa seizin pasien.
110
Struktur dan Isi VER Setiap VER harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut: a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa. b. Bernomor dan bertanggal. c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah). d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. e. Tidak
menggunakan
singkatan,
terutama
pada
waktu
mendeskripsikan temuan pemeriksaan. f. Tidak menggunakan istilah asing. g. Ditandatangani dan diberi nama jelas. h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut. i.
Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan.
j.
Hanya diberikan kepada penyidik peminta VER. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi VER masing-masing asli.
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun. Pada umumnya VER dibuat mengikuti struktur sebagai berikut: 1.
Pro Justitia Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VER tidak perlu bermeterai. Contoh :
111
RUMAH SAKIT dr. H. ABDUL MOELOEK INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK Jl. Dr. Rifa‟i No 6, Bandar Lampung, Lampung Nomor Lampiran Perihal
: 353/ / 4.13/ I/ 2015 : : Hasil Pemeriksaan Visum et Repertum a/n : ......................................................
PRO JUSTITIA Bandar Lampung, 7 Agustus 2015 VISUM ET REPERTUM
2.
Pendahuluan Pendahuluan memuat: identitas pemohon VER, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VER, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, di mana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya VER, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit. Contoh:
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Winda Trijayanthi Utama dokter di Ruma h Sakit dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, berdasarkan atas permintaan tertulis dari ............................., pangkat AIPTU,NRP.........................,jabatan ............. .................,atas nama Kepala Kepolisian ...................,dengan suratnya nomor:.......... ...................., tertanggal Enam Agustus Dua Ribu Lima Belas mengenai perminta an visum tersebut di atas, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal Ena m Agustus Dua Ribu Lima Belas, bertempat di Rumah Sakit dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung telah melakukan pemeriksaan atas korban yang menurut surat pe rmintaan visum tersebut adalah :--------------------------------------------------------------------112
Nama Inisial Umur Jenis Kelamin Warga Negara Pekerjaan Agama Alamat
3.
: --------------------------------------------------------------------------------: -----------------tahun.-------------------------------------------------------: --------------------------------------------------------------------------------: --------------------------------------------------------------------------------: --------------------------------------------------------------------------------: --------------------------------------------------------------------------------: ---------------------------------------------------------------------------------
Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya, serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari: a.
Hasil
pemeriksaan
pemeriksaan,
baik
yang
memuat
pemeriksaan
seluruh fisik
hasil
maupun
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
113
b.
Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang diambil.
c.
Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
d.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur, yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.
Contoh: HASIL PEMERIKSAAN :--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Korban datang dalam keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, dan kooperatif. Tekanan darah seratus duapuluh per delapanpuluh milimeter air raksa. Laju nadi delapan puluh dua kali permenit. Laju pernafasan dua puluh kali permenit. Suhu tigapuluh enam koma lima derajat selsius--------------------------------------------------------------------------------------2. Pada korban ditemukan-------------------------------------------------------------------------a. Pada dahi sisi kanan, lima sentimeter dari garis pertengahan depan, tiga ko ma lima sentimeter dibawah tumbuh rambut depan, terdapat memar berw arna kebiruan dengan ukuran tiga kali dua koma lima sentimeter--------------b. Pada leher sisi kanan, lima koma lima sentimeter dari garis pertengahan bel akang, tiga sentimeter dibawah batas tumbuh rambut belakang, luka lecet t ekan berbentuk kuku, berwarna kemerahan dengan luas area dua koma lim a kali satu koma lima sentimeter 114
c. Pada punggung sisi kiri, nol koma lima sentimeter dari garis pertengangah belakang, dua belas sentimeter dibawah puncak bahuterdapat luka lecet be rwarna kemerahan dengan ukuran dua koma lima kali satu sentimeter------d. Pada punggung sisi kiri, tiga belas sentimeter dari garis pertengahan belaka ng, dua belas sentimeter dibawah puncak bahu, terdapat luka lecet ber warna kemerahan berbentuk bulat dengan ukuran diameter satu sentimeter 3. Terhadap korban tidak dilakukan pemeriksaan penunjang perawatan luka dan pengobatan---------------------------------------------------------
4.
Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VER, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VER tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Contoh:
KESIMPULAN :---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan seorang korban perempuan berumur kurang lebih .............. tahun ini ditemukan memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka lecet pada punggung sisi kiri akibat kekerasan tumpul. Luka tersebut tidak menimbulkan halangan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
5.
Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika
menerima
jabatan
atau
dibuat
dengan 115
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan.
Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VER
Contoh: Demikianlah Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenarnya dan menggunakan keilmuan saya yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah jabatan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dokter Pemeriksa,
dr. Winda Trijayanthi Utama, S.H. NIP. 19870108 201404 2 002
Tata Laksana VeR pada Korban Hidup 1.
Ketentuan standar dalam penyusunan VER korban hidup. a.
Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.
b.
Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
c.
Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik harus
116
dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2). d.
Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2.
3.
Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik a.
Dokter
b.
Perawat
c.
Petugas Administrasi
Tahapan-tahapan dalam pembuatan VER pada korban hidup: a.
Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
b.
Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/VER Kriteria tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SPV, sebagai berikut: 1)
Setiap pasien dengan trauma
2)
Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3)
Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4)
Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5)
Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
c.
Pemeriksaan korban secara medis
d.
Pengetikan surat keterangan ahli/VER oleh petugas administrasi
memerlukan
perhatian
dalam
bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan 117
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Contoh: “Pada pipi kanan 2 sentimeter dari sumbu wajah, 2 sentimeter di bawah mata terdapat luka robek, tepi tidak rata panjang lima sentimeter lebar satu sentimeter dalam nol koma lima sentimeter, tidak teraba derik tulang.-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------e.
Undang-undang
menentukan
bahwa
yang
berhak
menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. f.
Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa kepada penyidik dengan menggunakan berita acara.
g.
Surat keterangan ahli/visum etrepertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja.
G.
PROSEDUR 1.
Sapalah klien, membina sambung rasa.
2.
Melakukan anamnesis, untuk menanyakan alasan klien datang.
3.
Menanyakan dan memeriksa surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV) kepada klien.
4.
Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent secara lisan dan tulisan (terdokumentasi). 118
5.
Melakukan pemeriksaan dan dokumentasi bahan bukti (baju robek, tempat darah, dll)
6.
Melakukan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital klien.
7.
Mulai melakukan pemeriksaan luar Mendokumentasikan luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan Whole body : berisi dokumentasi ada/tidaknya kerusakan Regional
: berisi dokumentasi kerusakan dengan
jaringan sekitarnya Close Up
: berisi dokumentasi kerusakan
J. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah. K. Menilai letak/lokasi luka secara anatomis. L. Menilai absis dan ordinat dari luka. M. Menilai jenis luka dan jumlah luka. N. Menilai karakteristik luka. Batas Luka: bentuk luka, luka perbatasan, ujung luka runcing atau tumpul Luas dalam batas luka: lereng interior, jenis jaringan, jaringan bridging, basis od luka Wilayah di sekitar perbatasan luka: memar, bekuan darah, jelaga, tattoage; dll O. Menilai ukuran luka (panjang, lebar, kedalaman) 8.
Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu.
9.
Melakukan tindakan, perawatan dan pengobatan bila perlu. 119
10. Membuat kesimpulan dari hasil pemeriksaan. 11. Membuat menjadi sebuah VER korban hidup.
120
121
122
123
H.
DAFTAR PUSTAKA 1)
Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The quality of VER of the living victims in Arifin Achmad General Hopital during January 2004 – September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19 – 22. 124
2) 3) 4) 5) 6) 7)
I.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. Dorland‟s Ilustrated Medical Dictionary E-Book 32nd edition. Elsevier Health Science. 2011. Dolinak D, Evan et al. Forensic Pathology Principle and Practice. Elsevier Academic Press. London. 2005 Hamdani N. Ilmu kedokteran kehakiman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1992. Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2003. Skhrum, Micheal J, David A Ramasay et al. Forensic Pathologic of Trauma: Common Problem for the Pathologist. Human Press. New Jersey. 2007
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No 1. 2. 3. 4, 5. 6. 7.
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa. Anamnesis untuk menanyakan alasan klien datang. Menanyakan dan memeriksa surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV) kepada klien. Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent secara lisan dan tulisan (terdokumentasi). ITEM PROSEDURAL Melakukan pemeriksaan dan dokumentasi bahan bukti (baju robek, tempat darah, dll) Melakukan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital klien. Pemeriksaan Fisik atau Pemeriksaan Luar Mendokumentasi luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan. Whole body : berisi dokumentasi ada/tidaknya kerusakan Regional : berisi dokumentasi kerusakan dengan
Umpan Balik
125
8. 9. 10 11 12
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
jaringan sekitarnya Close Up : berisi dokumentasi kerusakan Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah. Menilai letak/lokasi luka secara anatomis. Menilai absis dan ordinat dari luka. Menilai jenis luka dan jumlah luka. Menilai karakteristik luka. Batas Luka : bentuk luka, luka perbatasan, ujung luka runcing atau tumpul Luas dalam batas luka : lereng interior, jenis jaringan, jaringan bridging, basis od luka Wilayah di sekitar perbatasan luka : memar, bekuan darah, jelaga, tattoage; dll Menilai ukuran luka (panjang, lebar, kedalaman) Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu. Melakukan tindakan, perawatan dan pengobatan bila perlu. Membuat Visum et Repertum Pro Justisia dan Pendahuluan Hasil pemeriksaan Kesimpulan dan penutup ITEM PROFESIONALISME Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien.
126
SURAT KETERANGAN KEMATIAN dr. Winda Trijayanthi Utama, S.H.
A.TEMA PEMBELAJARAN Keterampilan pembuatan Surat Keterangan Kematian. B.TUJUAN Setelah mempelajari keterampilan medik mengenai Surat Keterangan Kematian ini, mahasiswa diharapkan: 1.
Memahami ketentuan membuat Surat Keterangan Kematian.
2.
Dapat membuat/mengisi format Surat Keterangan Kematian dengan benar.
C.LEVEL KOMPETENSI
No. 1. 2.
Kompetensi Pembuatan surat keterangan medis Penerbitan Sertifikat Kematian
Level Kompetensi SKDI Target Capaian 4A 4 4A 4
D.ALAT DAN BAHAN Form Surat Keterangan Kematian
127
E.
SKENARIO Seorang pengemudi mobil truk terlibat kecelakaan tunggal dengan menabrak tembok beton fly over di antasari. Saat sampai di IGD pasien sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Kemudian anda selaku dokter jaga melakukan pemeriksaan dan pembuatan surat keterangan kematian.
F.
DASAR TEORI 1.
Surat Keterangan Kematian 1.1 Definisi Surat keterangan kematian adalah surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Surat keterangan kematian ini berisi identitas, saat kematian, dan sebab kematian.
Kewenangan
penerbitan
surat
keterangan
kematian ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya dan memenuhi syarat administratif untuk menjalankan praktik kedokteran. Surat Keterangan Kematian juga dapat didefinisikan sebagai surat keterangan yang diberikan oleh seorang dokter secara professional mengenai keadaan tertentu
yang
diketahuinya
dan
dapat
dibuktikan
kebenarannya.
128
1.2 Dasar hukum surat keterangan kematian 1. Bab I Pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”. 2. Bab II Pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia” 3. Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan palsu 4. Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji 1.3 Dasar hukum surat keterangan kematian 1. Bab I Pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”. 2. Bab II Pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia” 3. Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan palsu
129
4. Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji 1.4 Peran dokter 1. Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen: sirkulasi, respirasi dan neurologi) 2. Melengkapi surat keterangan kematian bagian medis (menuliskan sebab kematian, jika diperlukanà otopsi) 3. Jika jenazah tidak dikenal à membantu identifikasi 1.5 Instruksi pengisian surat keterangan kematian Dalam melengkapi surat keterangan kematian, perlu dilakukan sesuai guideline : 1. Menggunakan formulir ter-update yang diterbitkan pemerintah 2. Isi semua item, ikuti petunjuk pengisian setiap item 3. Buat surat dengan jelas dengan tinta hitam 4. Jangan gunakan singkatan kecuali ada instruksi khusus pada pengisian item 5. Konfirmasikan ejaan penulisan nama terutama nama yang homofon (beda ejaan penulisan tapi sama pengucapannya) seperti : Edi, Edy, Eddie dsb 6. Dapatkan semua tanda tangan yang diperlukan. Tidak boleh menggunakan tanda tangan cap atau print 7. Jangan mengubah formulir 130
8. Jangan menduplikasi/membuat 2 surat keterangan kematian yang sama. Jika diperlukan, bisa dicopy yang selanjutnya di sahkan bahwa hasil copy tersebut sesuai dengan aslinya 1.6 Bagian medis surat keterangan kematian Bagian medis surat keterangan kematian adalah bagian dalam surat keterangan kematian yang harus diisi oleh dokter. Dalam formulir surat keterangan USA, bagian medis ini adalah item nomor 24-50. Bagian ini diantaranya memuat: 1. Tanggal dan waktu dikatakan meninggal 2. Tanggal dan waktu kematian 3. Apakah kasus dirujukkan ke pemeriksa medis atau koroner 4. Bagian penyebab kematian meliputi penyebab, cara, penggunaan rokok, status kehamilan 5. Item injuri untuk kasus karena injuri 6. Tanda tangan dan nama terang dokter 2.
Pemeriksaan tanda kematian 2.1 Tanda kematian dini 2.1.1
Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti 131
selama 10 menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu
dilakukan
pemeriksaan
dengan
cara
mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar. Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut
setelah
nafas
terhenti,
selain
disebabkan ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan. 2.1.2
Refleks cahaya dan kornea mata hilang Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.
132
2.1.3
Kulit pucat Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.
2.1.4
Terjadi relaksasi otot Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah
kematian
,
otot-otot
polos
akan
mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan mengalami
iris
dilatasi.
dan Oleh
sfincter karena
ani itu
akan bila
menemukan anus yang mengalami dilatasi harus 133
hati-hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong. 2.2 Tanda kematian lanjut 2.2.1
Algor Mortis (Penurunan Suhu Tubuh) Adalah penurunan suhu mayat. Suhu mayat dapat berubah karena ada beda suhu tubuh dengan suhu lingkungan, tubuh sudah tidak ada metabolisme dan tidak ada sirkulasi yang meratakan suhu tubuh. Dipengaruhi oleh : baju, usia,sakit sebelumnya, dan lingkungan. Secara kasar dapat dikatakan rata-rata penurunan suhu pada jam pertama adalah 2 derajat C dan 1 derajat C setelah mencapai keseimbangan dengan suhu lingkungan (Idries dan Tjiptomartono,2008). Pengukuran suhu mayat : termometer raksa dimasukkan ke dalam rektal sedalam 10 cm selama 3 menit a. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem b. Badan dingin setelah 12 jam post mortem c. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem
134
2.2.2
Livor Mortis (Lebam Mayat) Adalah warna yang muncul pada kulit orang yang sudah mati Dengan patofisiologi dikarenakan adanya gravitasi bumi sehingga darah menempati bagian tubuh terbawah, intensitas dan luasnya berangsur-angsur bertambah sehingga akhirnya menetap. Membentuk warna merah ungu (livide). Terjadi
akibat
proses
gravitasi
setelah
sirkulasi berhenti (mati somatis) a. 20 - 30 menit PM
: mulai tampak
b. ½ - (8-12) jam PM
:
hilang pada
penekanan c. >(8-12 jam) PM 2.2.3
: menetap
Rigor Mortis (Kaku Mayat) Terjadi sesuai dengan teori ATP a.
2 jam PM
: mulai dapat
ditemukan b.
2 - (8-12) jam PM
: mudah dilawan
c.
(8-12) - 24 jam PM
: lengkap sukar
dilawan (puncak) d.
>24 jam PM
:
mulai
menghilang (fase relaksasi sekunder) Mulai dari sendi dengan otot kecil. 2.2.4
Dekomposisi (Pembusukan) Terjadi segera setelah kematian seluler, baru tampak ±24 jam pasca mati berupa warna 135
kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dengan dinding perut.
G.
2.2.5
Mummifikasi
2.2.6
Adiposera
PROSEDUR 1.
Sapalah pengantar atau keluarga klien, membina sambung rasa.
136
2.
Melakukan alloanamnesis, untuk menanyakan alasan kematian klien.
3.
Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent. kepada pengantar atau keluarga secara lisan dan tulisan (terdokumentasi)
4.
Pemeriksaan tanda kematian klien 4.1 Tanda kematian dini 4.1.1
Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
4.1.2
Refleks cahaya dan kornea mata hilang
4.1.3
Kulit pucat
4.1.4
Terjadi relaksasi otot
4.2 Tanda kematian lanjut
5.
4.2.1
Algor Mortis (Penurunan suhu tubuh)
4.2.2
Livor Mortis (Lebam mayat)
4.2.3
Rigor Mortis (Kaku mayat)
4.2.4
Dekomposisi (Pembusukan)
4.2.5
Mummifikasi
4.2.6
Adiposera
Menuliskan tanggal dikatakan meninggal oleh pemeriksa atau tanggal meninggal sebenarnya. Tuliskan tanggal, bulan (tidak boleh disingkat atau disimbolkan dengan angka), dan tahun (4 digit)
6.
Waktu dikatakan meninggal oleh pemeriksa
137
Tuliskan jam berapa dan menit keberapa dalam sistem 24 jam tanpa pemisah. Contoh : 0345 (berarti jam 3 lewat 45 menit), 2013 (jam 8 malam lebih 13 menit) dst 7.
Menuliskan tempat kematian (RS, Kota, Kabupaten)
8.
Menuliskan Nomor Rekam Medis klien.
9.
Menuliskan identitas klien: 9.1 Nama lengkap klien. 9.2 Umur
klien(dalam
......
tahun......bulan.....hari......jam/menit/detik) 9.3 Tempat tinggal (kota/kabupaten) 9.4 Pekerjaan 9.5 Bangsa 9.6 Jenis kelamin 10. Menuliskan sebab kematian Tahap 1 Masukkan data rantai kejadian penyakit, injuri, komplikasi yang secara langsung menyebabkan kematian. Dilarang memasukkan kondisi terminal seperti cardiac arrest, respiratory arrest atau vibrilasi ventrikel tanpa menuliskan etiologinya. Dilarang
menuliskan
singkatan.
Hanya
boleh
memasukkan 1 penyebab pada 1 garis. Tambahkan garis tambahan (item e.) jika perlu. Tahap 1.1 a.
Tuliskan
final
disease
yang
menyebabkan
kematian 138
b.
Tuliskan immediate cause yang menyebabkan kondisi pada baris a.
c.
Tuliskan underlying cause yang menyebabkan kondisi pada baris b, dan seterusnya.
Jadi, nantinya dapat dibaca penyebab kematiannya adalah a. yang terjadi karena b. yang terjadi karena c. Di sebelah kanan tahap 1.1 ini terdapat kolom interval perkiraan onset kematian dari setiap penyebab yang dituliskan (Tahap 1.2) Catatan : Jika final diseasenya berupa neoplasma, tuliskan juga lokasi primernya, benign atau malignant, tipe sel, grade dan bagian/lobus organ yang terlibat. Contoh squamous cell carcinoma primer differensiasi baik, paru, lobus kiri atas Tahap 1.2 Tuliskan lamanya (kira-kira) mulai sakit hingga meninggal dunia. Contoh penulisan :
139
Tahap 1.1 a. pulmonary embolism b. congestive heart failure c. acute myocard infarction Tahap 1.2 Menit 4 hari 7 hari Tahap 2 Menuliskan kondisi signifikan lain yang mendukung penyebab kematian tapi tidak menjadi underlying cause pada part 1. Contoh penulisan : Diabetes mellitus, hipertension Tahap 3 Menuliskan keterangan-keterangan khusus untuk: MATI KARENA RUDAPAKSA (violent/death) Macam-macam rudapaksa (bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, dsb) Cara kejadian rudapaksa Sifat jejas Tahap 4 Menuliskan kelahiran kematian (stillbirth) Apakah ini janin lahir-mati : Ya atau Tidak Sebab kelahiran mati ............................... 11. Melakukan pemeriksaan dalam (autopsy) bila perlu. 12. Menuliskan tempat (kota/kabutapen) dan tanggal pemeriksaan.
Buku Panduan CSL Tahun ke-4
140
13. Menuliskan nama dan tanda tangan (sertifier atau pembuat keterangan). 14. Membuat menjadi sebuah surat keterangan kematian. H.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
I.
Nurhantari Y. 2010. Slide Kuliah “Surat Keterangan Kematian”. Yogyakarta : FK UGM Suciningtyas M. 2011. Slide Kuliah “Death Sertification”. Yogyakarta : FK UGM CDC. 2003. Physician’s Handbook on Medical Sertification of Death. Maryland : Department of Health and Human Resources, National Center for Health Statictics
EVALUASI CEKLIST LATIHAN
No. 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI
Umpan Balik
ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa. Alloanamnesis untuk menanyakan alasan kematian klien. Informed consent, kepada pengantar atau keluarga secara lisan dan tulisan (terdokumentasi). PEMERIKSAAN TANDA KEMATIAN KLIEN Tanda kematian dini Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti Refleks cahaya dan kornea mata hilang : Midriasis maksimal Kulit pucat Terjadi relaksasi otot Tanda kematian lanjut Algor Mortis (Penurunan suhu tubuh) Livor Mortis (Lebam mayat)
Buku Panduan CSL Tahun ke-4
141
11. 12. 13. 14. 15.
16.
17. 18. 19.
20.
21. 22.
Rigor Mortis (Kaku mayat) Dekomposisi (Pembusukan) Mummifikasi Adiposera ITEM PROSEDURAL PENGUMPULAN DATA Menuliskan tanggal dikatakan meninggal oleh pemeriksa atau tanggal meninggal sebenarnya. Tuliskan tanggal, bulan (tidak boleh disingkat atau disimbolkan dengan angka), dan tahun (4 digit) Waktu dikatakan meninggal oleh pemeriksa Tuliskan jam berapa dan menit keberapa dalam sistem 24 jam tanpa pemisah. Contoh : 0345 (berarti jam 3 lewat 45 menit), 2013 (jam 8 malam lebih 13 menit) dst Menuliskan tempat kematian (RS, Kota, Kabupaten) Menuliskan Nomor Rekam Medis klien. Menuliskan identitas klien: a. Nama lengkap klien. b. Umur klien(dalam ...... tahun......bulan.....hari......jam/menit/detik) c. Tempat tinggal (kota/kabupaten) d. Pekerjaan e. Bangsa f. Jenis kelamin PEMERIKSAAN SEBAB KEMATIAN a. Tuliskan final disease yang menyebabkan kematian b. Tuliskan immediate cause yang menyebabkan kondisi pada baris a. c. Tuliskan underlying cause yang menyebabkan kondisi pada baris b, dan seterusnya. Tuliskan lamanya (kira-kira) mulai sakit hingga meninggal dunia. Menuliskan kondisi signifikan lain yang mendukung penyebab kematian tapi tidak menjadi underlying cause pada tahap 1.
Buku Panduan CSL Tahun ke-4
142
23.
24.
25. 26. 27
Menuliskan keterangan-keterangan khusus untuk: MATI KARENA RUDAPAKSA (violent/death) Macam-macam rudapaksa: (bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, dsb) Cara kejadian rudapaksa: ....................................................................... Sifat jejas: ............................................................................................... Menuliskan kelahiran kematian (stillbirth) Apakah ini janin lahir-mati : Ya atau Tidak Sebab kelahiran mati ............................... MEMBUAT SURAT KETERANGAN KEMATIAN Menuliskan tempat (kota/kabutapen) dan tanggal pemeriksaan. Menuliskan nama dan tanda tangan (sertifier atau pembuat keterangan). ITEM PROFESIONALISME Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien dan keluarga/pengantar klien
Buku Panduan CSL Tahun ke-4
143
KETERAMPILAN KLINIK KOMPREHENSIF
Keterampilan klinik komprehensif akan diselenggarakan dalam 10 kali pertemuan. Keterampilan klinik komprehensif dibagi berdasarkan sistem tubuh, yaitu : 1.
Sistem endokrin, metabolik dan nutrisi
2.
Sistem sensori (THT dan Mata)
3.
Sistem Genitourinaria
4.
Sistem hemoimunologi dan TID
5.
Sistem reproduksi (obstetri dan ginekologi)
6.
Sistem kardiovaskular
7.
Sistem respiratorius
8.
Sistem gastrointestinal
9.
Sistem integumen (dermatologi)
10. Sistem muskuloskletal 11. Sistem syaraf (neurologi) 12. Sistem psikiatri
Dalam pelaksanaan keterampilan klinik komprehensif mahasiswa dianjurkan belajar secara aktif, yaitu menyiapkan jenis kasus dan keterampilan yang dirasa perlu untuk dipelajari lagi secara mendalam. Instruktur memfasilitasi mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi. Setelah itu lalu dilakukan umpan balik oleh instruktur dan mahasiswa.
Buku Panduan CSL Tahun ke-4
144