1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketahanan Varietas Pisang Lokal terhadap Penyakit Sigatoka Resistance of Local Banana Variety toward Sigatoka Disease Mariana* , Rodinah, Mirwan Setiadi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru 70714
ABSTRAK
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Penyakit sigatoka pada pisang menyebabkan buah menjadi kecil dan pematangan buah yang tidak merata. Uji ketahanan varietas pisang terhadap penyakit sigatoka belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mempelajari ketahanan beberapa varietas pisang terhadap penyakit sigatoka. Patogen diisolasi dan diidentifikasi dari daun pisang kapas dengan gejala sigatoka yang parah. Inokulum disiapkan dengan memperbanyak patogen pada media PDA. Inokulasi menggunakan fragment miselium. Suspensi dinokulasikan pada permukaan bawah helaian daun pisang dengan ukuran 5 x 5 cm. Varietas uji yang digunakan sebanyak 11 varietas pisang lokal yang tumbuh di Kalimantan Selatan. Tingkat ketahanan ditentukan berdasarkan tahapan gejala. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat ketahanan. yakni rentan ( Awak, Jaranang, Kapas, Mas, dan Paikat), agak tahan (Ambon, Kepok, Mas Bantan, Mauli, dan Talas), dan tahan (Tarati). Masa inkubasi berkisar antara 2 – 8 hari, Masa inkubasi yang semakin panjang akan diiringi dengan tingkat ketahanan yang semakin baik (tinggi). Masa inkubasi juga berkorelasi negatif kuat terhadap intensitas penyakit,. Kerapatan stomata dengan masa inkubasi maupun intensitas penyakit berkorelasi lemah. Laju perkembangan penyakit tertinggi terjadi di awal perkembangan penyakit, dan cenderung menurun dipengamatan selanjutnya, kecuali varietas Awak dan Tarati. yang laju perkembangan penyakit tertinggi masing-masing pada pengamatan ke 2 dan ke 3
31
ABSTRACT
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Sigatoka disease in banana causes the fruit to be small and ripening in unison. Test the resistance of the varieties of bananas to the Sigatoka disease has not been done. This study aims to test and study the resistance of some varieties of bananas to the Sigatoka disease. Pathogens were isolated and identified from the leaves of Kapas variety with severe symptoms of Sigatoka disease. Inoculum is prepared with the multiplication of pathogens on PDA medium. Inoculation was carried out using mycelial fragment. The method is based on the delivery of weighed slurries of fragmented mycelia by brush to 5-by-5-cm areas on the abaxial surface of banana leaf blades, were assessment of symptoms used to select eleven local varieties in south Kalimantan. The results showed there were differences in the level of resistance. ie susceptible (Awa, Jaranang, Kapas, Mas, and Paikat), partial resistant (Ambon, Kepok, Mas Bantan, Mauli, and Talas), and resistant (Tarati). The incubation period ranges from 2-8 days, the longer the incubation period will be depended by
Kata Kunci : Masa Inkubasi,intensitas penyakit, Sigatoka,
43 44 45 46 47
increasing resistance.. The incubation period is also a strong negative correlation to the intensity of the disease ,. Stomatal density and incubation period as well as the intensity of the disease correlate weakly. The highest rate of disease progression occurred in the early development of the disease, and tend to decrease in the next observation, except varieties Awa and Tarati. the highest disease progression at each observation and to 2 to 3
48
Key word : Incubation period, Disease Resistance,
49 50 51 52 53
*Alamat penulis korespondensi : Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Jl. Jend. A. Yani km 36 Kotak Pos 1028, Banjarbaru70714 Tel: 0511-4777392, Faks : 0511-4777392 Surel:
[email protected]
54
PENDAHULUAN
55
Penyakit sigatoka disebabkan cendawan Mycosphaerella musicola (Sigatoka Kuning)
56
bentuk anamorf dari Pseudocercospora musae (Zimmerm.) Deighton dan Mycosphaerella fijiensis
57
(Sigatoka Hitam). Serangan penyakit ini pada pertanaman pisang dapat menyebabkan penurunan
58
hasil 30 – 50 %, serta menurunkan kualitas buah.
59
menyebabkan buah matang lebih awal. Awalnya diketahui bahwa toksin tersebut bersifat lifofilik
60
kemudian ada juga toksin yang bersifat hidrofilik. 2,4,8-trihydroxytetralone adalah fitotoksin yang
61
di hasilkan oleh M. Fijiensis, bersifat non spesifik inang dan lipophilic.yang dapat memepengaruhi
62
permeabilitas membran sel inang (Cruz-Cruz et al., 2011). Disamping itu, Juglone juga merupakan
63
toksin yang secara in vitro
64
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap black sigatoka (Reyes-Borja et al., 2005).
65
Berkurangnya area fotosintesis karena bercak dan meranggasnya daun berakibat produksi buah
66
yang kecil. Menurut Hidalgo et al (2006) terjadi penurunan net fotosinsis pada tingkat penyakit yan
67
semakin tinggi.
68
dikendalikan dengan baik akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Di Costa Rica biaya
69
nuntuk pengendalian sigatoka mencapai US$900-1,500/ha/tahun. Dengan demikian penyakit ini
Produksi toksin oleh M. fijiensis dapat
dengan sinar gamma dapat dikurangi pengaruhnya sehingga
Walaupun penyakit ini tidak mematikan tanaman namun apabila tidak
70
perlu diwaspadai karena sampai saat ini perhatian terhadap penyakit ini kurang bahkan tidak
71
diperhatikan. Sedangkan di negara lain seperti pada Taiwan Banana Research Institute (TBRI) telah
72
melalukan penelitian intensif untuk pengendalian Black Sigatoka diantaranya adalah dengan
73
intoduksi varietas tahan (ICDF, 2013).
74
Perakitan varietas tahan memerlukan adanya gen tahan yang terdapat pada berbagai varietas
75
pisang. Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang. Lebih dari 200 jenis
76
pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada Indonesia untuk
77
dapat memanfaatkan sebagai sumber gen tahan dan memilih jenis pisang komersial yang
78
dibutuhkan oleh konsumen. Di Kalimantan Selatan,setidaknya terdapat 9 jenis pisang yang banyak
79
tumbuh subur dan banyak diusahakan yakni Pisang Mauli, Pisang Kapas, Pisang Talas Gunung,
80
Pisang Manurun, Pisang Raja, Pisang Awak, Pisang Nangka, Pisang Jaranang Merah, dan Pisang
81
Ambon Lumut (Nisa et al., 2010). Penggunaan varietas tahan, selain dapat dipadukan dengan
82
beberapa teknik pengendalian lain, juga secara ekonomis dan ekologis lebih menguntungkan
83
dibanding dengan pestisida kimia. Uji ketahanan terhadap penyakit pisang selain ditujukan untuk
84
pengembangan varietas tahan yang akan digunakan dalam pengendalian penyakit, juga merupakan
85
langkah awal untuk menyelamatkan kekayaan hayati plasma nutfah pisang dari serbuan teknologi
86
pengendalian penyakit dengan pestisida kimia yang tidak bijaksana. Salah satu akibatnya patogen
87
akan semakin ganas. sehingga varietas tertentu akan punah beserta gen tahan yang dikandungnya..
88
Kompenen dari uji ketahanan diantaranya adalah masa inkubasi, dan intensitas penyakit (Leiva-
89
Mora, 2015). Sampai saat ini ketahanan pisang terhadap Sigatoka perlu dievaluasi terutama untuk
90
pisang lokal untuk meningkatkan produksi baik secara kuntitatif maupun kualitatif.. Adapun yang
91
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan beberapa varietas pisang lokal
92
terhadap penyakit bercak sigatoka, Komponen ketahanan yang juga dipelajari adalah lamanya masa
93
inkubasi, Intensitas penyakit, laju perkembangan infeksi penyakit dan kerapatan stomata sebagai
94
komponen ketahanan struktural tanaman.
95
BAHAN DAN METODE
96
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Fitopatologi Jurusan Hama
97
Penyakit Tamanan Fakultas Pertanian Banjarbaru, pada bulan Februari sampai dengan Agustus
98
2014.
99
Sumber inokulum diambil dari daun pisang dengan gejala penyakit sigatoka pada tahap
100
perkembangan penyakit yang parah yakni hampir seluruh helai daun mengering. Untuk isolasi,
101
gejala yang digunakan merupakan stage 3-4 yakni gejala bercak berwarna coklat gelap hingga hitam
102
hingga bercak yang berbentuk agak elips pada stage ini konidia dan konidiofor cendawan telah
103
terbentuk (PaDIL, 2009). Pemurnian dan perbanyakan sumber inokulum pada media Potato
104
Dextrose Agar. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan metode fragment miselium dari biakan
105
yang berumur 7 hari. Suspensi dibuat dengan dosis 12 mg/ml (Donzelli dan Churchill, 2007).
106
Masa Inkubasi diamati dengan menghitung lamanya waktu (hari) yang diperlukan
107
cendawan dari diinokulasikan hingga munculnya gejala awal (stage 1) . Intensitas penyakit (%)
108
dihitung dengan rumus index Mc Kinney (dalam Bellotte et al., 2009) interval pengamatan 3 hari
109
selama 7 kali pengamatan.
110 111 112 113 114 115 116 117 118
(n x v ) I = ---------------------- x 100 (%) Z x N I = Intensitas Serangan n = jumlah daun dari tiap katagori serangan v = nilai skala tiap katagori serangan Z = nilai skala dari katagori serangan tertinggi N = jumlah daun yang diamati
119 120
Kategori skor yang digunakan untuk pengukuran intensitas penyakit berdasarkan sistem skoring menurut stover yang dimodifikasi oleh Gauhl (Donzelli dan Churchill, 2007).(Tabel 1)
121
Penentuan klasifikasi tingkat ketahanan berdasarkan tingkat gejala dan deskripsi gejala dari
122
tingkat perkembangan penyakit (Tabel 2). katagori ketahanan mengikuti Fullerton dan Olsen
123
(1995) yaitu Resisten = stage 0-1, Partial Resinten = stage 2-3, dan Susceptable = stage 4-5.
124
HASIL
125
Intensitas penyakit pada berbagai varietas beragam Pada pengamatan pertama intensitas
126
serangan penyakit tertinggi pada varietas Mauli, sedangkan di akhir pengamatan yang tertinggi
127
ialah pada varietas Kapas, Mauli, Mas, dan Jaranang,. Pada varietas Ambon, Awak, Mas Bantan,
128
Talas, dan Tarati peningkatan inensitas tertinggi terjadi pada pengamatan ke 4 dan di pengamatan
129
ke 2 untuk varietas lainnya. Namun perkembangan intensitas melambat pada pengamatan
130
selanjutnya (Tabel 3).
131
Korelasi antara masa inkubasi dengan intensitas penyakit di akhir pengamatan menunjukan
132
nilai negatif, artinya masa inkubasi yang semakin panjang maka intensitas serangan akan semakin
133
rendah. (Gambar 1). Berdasarkan nilai R, hubungan kedua faktor tersebut dikatakaan kuat yakni
134
55,02 % (R= -0,5502). Namun faktor masa inkubasi hanya mampu menjelaskan faktor intensitas
135
serangan sebesar 30,27 % (R2 = 0,3027). Hal ini juga ditunjukkan pada varietas pisang dengan
136
masa inkubasi yang semakin panjang maka tingkat ketahanannya pun akan semakin tinggi. Masa
137
inkubasi terpanjang ialah pada varietas Tarati, yakni 8 hari setelah inokulasi dan dikategorikan
138
sebagai varietas tahan. Sedangkan pada varietas lain masa inkubasinya lebih singkat sehingga
139
tingkat ketahanan pun dikategorikan lebih rendah, yakni agak tahan dan rentan. Masa inkubasi yang
140
semakin panjang akan memberikan respon tingkat ketahanan yang lebih baik (tinggi) (Tabel 3).
141
Tingkat intensitas serangan penyakit bercak Sigatoka pada tiap varietas pisang berbeda-
142
beda. Pada pengamatan pertama intensitas serangan penyakit tertinggi ialah pada varietas Mauli,
143
yakni 20%. Sedangkan di akhir pengamatan intensitas penyakit tertinggi ialah pada varietas Kapas,
144
Mauli, Mas, dan Jaranang, yakni masing-masing 71,67 %, 56,67 %, 51,67 % dan 51,67 % (Lihat
145
Tabel 4). Pada varietas Ambon, Awak, Mas Bantan, Talas, dan Tarati peningkatan inensitas
146
tertinggi terjadi pada pengamatan ke 4 dan di pengamatan ke 2 untuk varietas lainnya. Namun
147
perkembangan intensitas melambat pada pengamatan selanjutnya.(Gambar 2)
148
Kerapatan stomata dan intensitas penyakit berkorelasi negatif, yang artinya intensitas
149
serangan semakin rendah apabila kerapatan stomata meningkat. Antara kerapatan stomata dan
150
intensitas serangan berkorelasi negatif, yang artinya intensitas serangan semakin rendah apabila
151
kerapatan stomata meningkat.. Namun dilihat dari nilai R yang kurang dari 0,5 (R = -0,2553) maka
152
hubungan kedua faktor tersebut dikategorikan lemah. Dan kerapatan stomata hanya mampu
153
menjelaskan faktor intensitas serangan sebesar 6,25 % (R2= 0,0625). (Gambar 3)
154
PEMBAHASAN
155
Lamanya masa inkubasi pada penelitian ini lebih singkat dibandingkan dengan hasil
156
penelitian Taylor (2005), bahwa masa inkubasi dari cendawan M. fijiensis berkisar antara 8-10 hari
157
setelah inokulasi. Menurut Donzelli dan Churchill (2007), masa inkubasi M. fijiensis di lapangan
158
berkisar antara 10-14 hari setelah inokulasi dan 35 hari pada kondisi iklim kering, serta berkisar
159
antara 12-21 hari apabila diletakkan di rumah kaca . Singkat ataupun panjangnya masa inkubasi
160
tersebut dipengaruhi beberapa faktor, khususnya dipengaruhi oleh tingkat ketahanan tanaman inang
161
disamping virulensi patogen. Hasil uji korelasi yang kuat antara masa inkubasi dan intensitas
162
penyakit menunjukkan bahwa masa inkubasi merupakan komponen dari ketahanan tanaman
163
terhadap penyakit sigatoka (Leiva-Mora, 2015) Dilihat dari singkatnya masa inkubasi (2 – 8 hari
164
setelah inokulasi) ini diduga juga disebabkan oleh tingkat virulensi cendawan M. fijiensis yang
165
tinggi. Tingkat virulensi dapat ditentukan dengan pengamatan masa inkubasi, Manzila et al. (2013)
166
menunjukkan bahwa isolat virus tungro asal Sumedang dan Bali memiliki virulensi lebih tinggi
167
dibandingkan dengan isolat Bogor berdasarkan pengamatan masa inkubasi, dan tingkat keparahan
168
penyakit Hal ini seperti yang dibuktikan Craenen (2002), bahwa antara masa inkubasi memiliki
169
keterkaitan yang erat dengan tingkat ketahanan, Tingkat ketahanan semakin tinggi maka masa
170
inkubasi akan semakin panjang. Hal ini juga dikemukakan oleh Browne et al.(2005) bahwa masa
171
inkubasi penyakit blight fusarium akan semakin panjang pada varietas gandum yang lebih tahan.
172
Kerapatan stomata merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan tanaman
173
terutama untuk sebagian patogen yang penetrasinya melalui stomata.
174
Prakasam (2012) Mycosphaerella musicola masuk melalui stomata yang terbuka.
175
korelasi antara kerapatan stomata dengan intensitas penyakit dan masa inkubasi pada penelitian ini
176
menunjukkan bahwa ada faktor ketahanan lain yang berperan lebih dominan. Secara lebih rinci
177
Pada kultivar pisang tahan, reaksi hipersensitif segera terjadi setelah infeksi dan Tinggi atau
178
rendahnya intensitas serangan ini diantaranya dipengaruhi oleh kemampuan tanaman inang untuk
179
membatasi aktivitas patogen, seperti melalui, reaksi hipersensitif.
180
menjelaskan bahwa pada interaksi tanaman pisang dengan M. Fijiensis yang tidak kompatibel
181
(reaksi tahan), kematian sel penjaga stomata terjadi diawal, dan terjadi penumpukan senyawa
182
dengan elektron yang padat mengelilingi tempat infeksi M. Fijiensis pada kultivar Yangambi km5.
183
Kurangnya peran kerapatan stomata terhadap intensitas penyakit dijelaskan oleh Kema et al.,
184
(1996), bahwa tabung kecambah cendawan Mycosphaerella bisa menyeberangi stomata tanpa
185
melakukan penetrasi. Berbeda dengan kerapatan stomata, ternyata toksin berperan dalam ketahanan
186
tanaman pisang terhadap sigatoka. Pisang yang tahan terhadap toksin juga tahan terhadap penyakit.
Menurut Kannan and Lemahnya
Lepoivre et al (2002)
187
Toksin (2,4,8-trihydroxyltetralone or 2,4,8-tht) yang diisolasi dari M. fijiensis berperan penting
188
dalam perkembangan gejala bercak daun (Hoss dalam Craenen and Ortiz, 2002).
189
Kematian yang cepat dari beberapa sel inang, dihubungkan dengan blokade perkembangan
190
infeksi patogen yang disebut dengan reaksi hipersensitif. Ini diasumsikan adanya reaksi gen tahan
191
inang untuk gen virulen patogen. Menurut Etebu (2011) gen ketahanan terhadap penyakit bercak
192
Sigatoka bersifat resesif, sedangkan gen rentan bersifat dominan. Sehingga meskipun pada tanaman
193
rentan terdapat gen tahan, namun ekspresi dari gen ini akan tertutupi oleh gen rentan, sehingga
194
tingkat ketahanan tanaman tersebut menjadi rentan. Inilah salah satu hal yang menyebabkan dalam
195
penelitian ini varietas yang dikategorikan rentan lebih banyak dibandingkan varietas tahan.
196 197
DAFTAR PUSTAKA
198 199 200 201
Bennett, R.S. and P.A. Arneson. 2003. Black Sigatoka of bananas and plantains. http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/lessons/fungi/ascomycetes/Pages/BlackSigatoka .aspx
202 203 204 205 206 207
Bellotte J.A.M., K.C. KupperII; D. RinaldoI; A. de SouzaI; F.D. PereiraI; A.de Goes, 2009. Acceleration of the decomposition of Sicilian lemon leaves as an auxiliary measure in the control of citrus black spot. Tropical Plant Pathology. Trop. plant pathol..34 (2) . Online version ISSN 1983-2052. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1982-56762009000200001 (diakses 10 Maret 2013)
208 209 210 211 212
Browne R. A.,J. P. Murphy, B. M. Cooke D. Devaney, E. J. Walsh, C. A. Griffey, J. A. Hancock, S. A. Harrison, P. Hart, F. L. Kolb, A. L. McKendry, E. A. Milus, C. Sneller, D. A. Van Sanford. 2005. Evaluation of Components of Fusarium Head Blight Resistance in Soft Red Winter Wheat Germ Plasm Using a Detached Leaf Assay. Plant Disease 89 (4) : 404 -411
213 214 215 216
Cruz-Cruz. C. A., Garcıa-Sosa, K., Escalante-Erosa, F., Pena-Rodrıguez, L.M. 2011. Physiological effects of the hydrophilic phytotoxins produced by Mycosphaerella fijiensis, the causal agent of black sigatoka in banana plants. J Gen Plant Pathol 77 : 93–100
217 218
Craenen, K., dan R. Ortiz. 2002. Genetic improvement for a sustainable management of resistance. Prosiding Internasional Mycospherella leaf spot disease of bananas : present
219 220
status and outlook di San Jose, Costarica, 20-23 Mei 2002. International Network for the Improvement of Banana and Plantain, Montpellier. France.
221 222
Donzelli, B. G. G, dan A. C. L. Churchill. 2007. A Quantitative Assay Using Mycelial Fragments to Assess Virulence of Mycosphaerella fijiensis. Phytopathology 97 : 916-929.
223 224
Etebu, E. dan W. Young-Harry. 2011. Control of Black Sigatoka Disease : Challenges and Prospects. African Journal of Agricultural Research. 6 (3) : 508-514.
225 226 227
Fullerton R.A. dan T.L. Olsen. 1995. Pathogenic variability in Mycosphaerella fijiensis Morelet, cause of black Sigatoka in banana and plantain. New Zealand Journal of Crop and Horticultural Science 23:39-48
228 229
Hermanto. 2011. Pests and Disease Remain the Main Complain of Banana Farmer in Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok.
230 231 232
Kannan, C and V. Prakasam. 2012. Ultra structural studies on the infection process of Mycosphaerella musicola-causal agent of yellow sigatoka on banana. Indian Phytopath. 65 (2) : 192-195
233 234 235 236
ICDF (Internatiol Coorporation and Development Fund). 2013. Banana Black Sigatoka Disease Prevention and Treatment Project (St. Lucia) http://www.icdf.org.tw/ct.asp?xItem=18907&CtNode=29823&mp=2 (diakses 23 November 2015.
237 238 239
Leiva-Mora, M ., Capó Y,A., Suárez M.A., Martín M.C., Roque B., Méndez E.M.. 2015. Components of resistance to assess Black Sigatoka response in artificially inoculated Musa genotypes. Revista de Protección Vegetal 30 (1); 60-69
240 241
Manzila, I. , Priyatno,T.P., Hanarida, I. 2013. Ketahanan Galur Padi Hibrida Potensi Hasil Tinggi terhadap Penyakit Tungro. Jurnal Fitopatologi Indonesia 9 (3) : 77–83
242 243
Nisa, C. Badruzsaufari. dan E. Wijaya. 2010. Penentuan Genom Fenetik Kultivar Pisang yang Tumbuh Di Kalimantan Selatan. Ziraa’ah. 29 (3) : 188- 192
244 245
PaDIL (Pest and Disease Image Library). 2009. Diagnostic Methods for Black Sigatoka Mycosphaerella fijiensis. http://www.PaDIL.gov.au. (diakses 16 Oktober 2013)
246 247 248 249
Reyes-Borja, W.O, Degi,K. Nagatomi, S.,Sekozawa, K., Sugaya, S., and Gemma,H. 2005. Identification of Banana Mutants Resistant to Juglone, a Toxin Produced in Black Sigatoka Disease, Using Gamma Rays Coupled with In Vitro Techniques. Jpn. J. Trop. Agr. 49(1): 38-44
250 251
Taylor, M. K. 2005. Caharacterisation of Potential Fungal Disease Resistance Genes in Banana. Thesis. Molecular Biotechnology. Quesland University of Technology.
252 253 254 255
256 257 258 259
Tabel 1. Nilai skor berdasarkan sistem skoring menurut stover yang dimodifikasi oleh Gauhl (Donzelli dan Churchill, 2007).
Skor
Luas Permukaan Daun Terserang
1
<1%
2
1-5 %
3
5-15 %
4
15-33 %
5
33-50 %
6
> 50 %
260 261 262
Tabel 2. Perkembangan gejala penyakit sigatoka (Fullerton dan Olsen, 1995) Stage
Deskripsi
0
Tidak terdapat gejala
1
Bercak berwarna kemerahan di bawah permukaan daun. Tidak terdapat gejala di atas permukaan daun.
2
Bercak berwarna kemerahan, beraturan atau tidak beraturan pada bawah permukaan daun. Tidak terapat gejala di atas permukaan daun.
3
Bagian bercak terlihat pada permukaan daun bagian atas.
4
Bercak hitam atau coklat, terkadang disertai halo kuning atau klorosis. Kadang terdapat bagian bercak berwarna hijau.
5
Bercak hitam dengan bagian tengah berwarna abu-abu. Daun mengalami nekrotik, terkadang jatuh
263
Tabel 3. Hasil Pengamatan Masa Inkubasi, Kerapatan Stomata, dan Intensitas Penyakit. No. Varietas
264
Masa Inkubasi (hari) 5
Intentas Penyakit (%) 20,00
Kerapatan Stomata (Stomata/mm) 139
Tingkat Ketahanan
1
Ambon
Agak Tahan
2
Awak
7
31.67
158
Rentan
3
Jaranang Habang
2
51.67
111
Rentan
4
Kapas
3
71.67
111
Rentan
5
Kepok
5
28.33
178
Agak Tahan
6
Mauli
2
56.67
127
Agak Tahan
7
Mas
4
51.67
175
Rentan
8
Mas bantan
4
28.33
94
Agak Tahan
9
Paikat
2
31.67
151
Rentan
10
Talas
5
15.00
139
Agak Tahan
11
Tarati
8
28.33
138
Tahan
265 266 267
Gambar 1. Kurva Hubungan Antara Masa Inkubasi dengan Intensitas Serangan Penyakit Bercak Sigatoka.
268 269 270
Gambar 2. Grafik Intensitas Penyakit (%) dari Awal Hingga Akhir Pengamatan.
271 272 273 274
Gambar 3. Kurva Hubungan Antara Kerapatan Stomata dengan Intensitas Serangan Penyakit bercak Sigatoka.