Kesulitan dan Tantangan Penelitian di Indonesia† (Kasus Fisika Nuklir & Partikel Teori) Terry Mart‡ Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424 Abstrak Makalah ini membahas kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh penulis (yang dapat mewakili peneliti di Indonesia) dalam melaksanakan penelitian fisika nuklir dan partikel teori. Beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan tersebut dibahas secara populer. Makalah ini juga mengajukan beberapa usulan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Abstract This paper presents some problems and challenges faced by the autor in perfoming research in theoretical nuclear and particle physics. The factors behind these problems are discussed in a popular way. Several recommendations to overcome these difficulties are proposed.
1. Pendahuluan Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengabaikan penelitian dasar karena negara yang kuat dalam penelitian dasar akan dapat menjadi negara yang sangat kuat pengembangan teknologinya. Hal ini akan sangat jelas jika kita melihat negara berkembang seperti Cina, India, dan Pakistan. Demikian sambutan ketua LIPI yang ditulis harian Kompas 10 September 2003. Sambutan Menristek, yang kala itu tidak sempat hadir, juga tidak kalah hangatnya, yang pada intinya menekankan perlunya perhatian pada pengembangan ilmuilmu dasar. Semula saya tak terusik sama sekali dengan sambutan-sambutan tersebut. Toh sudah selayaknya sambutan dalam suatu kongres membesarkan hati para peneliti yang hadir pada pembukaan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) VIII di Jakarta, atau bagi yang sempat membaca berita tersebut [1]. Namun, besoknya saya mulai terusik oleh sambutan Presiden [2] yang pada dasarnya menambah beban pemikiran para peneliti di republik ini yang sudah setengah sekarat hidupnya atau yang sudah setengah ganti haluan untuk menyambung hidup mereka. Presiden kita pada dasarnya meminta para ilmuwan untuk memikirkan, mengapa bangsa kita dahulu mampu membangun Borobudur? Mengapa kita dahulu bisa dan tercatat, mengapa sekarang tidak? Dahi saya berkerenyit, tampaknya Presiden kita kurang menerima informasi betapa pimpinan negara berkembang seperti Cina begitu getolnya mendukung penelitian ilmu dasar dan tidak melepaskan masalah tersebut semata-mata kepada para ilmuwan mereka. †
Makalah undangan yang dipresentasikan pada seminar Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dengan tema: Challenges, Opportunities and Innovation Through R&D in the Pharmaceutical Industries, Widya Graha LIPI, Jakarta, 23 Juni 2007. ‡ Alamat e-mail:
[email protected]
Saya kembali teringat wawancara majalah Science [3] dengan Jiang Zemin tahun 2000 lalu. Ketika diwawancarai Jiang menekankan bahwa tidak akan ada bom atau reaktor nuklir jika tidak ada teori kuantum. Dengan bangga ia bercerita pada Science bahwa Cina telah membangun instalasi-instalasi penelitian berskala besar seperti Beijing Electron Positron Collider, Akselerator Ion Berat Lanzhou, serta fasilitas Tokamak (untuk penelitian reaksi fusi). Cina juga telah mengusahakan untuk membuat suasana ilmiah sekondusif mungkin bagi sekitar 110.000 ilmuwan yang kembali ke tanah air mereka setelah banyak menimba ilmu di negara-negara maju. Jumlah tersebut hanyalah sepertiga dari jumlah mahasiswa dan ilmuwan yang berangkat keluar Cina antara tahun 1978 1999. Sisanya menetap di luar negeri bekerja di institusi penelitian, universitas, industri, serta sektor lain. Dengan SDM yang ada Cina saat itu telah menandatangani kerjasama penelitian ilmiah dengan 95 negara dan berpartisipasi pada sekitar 800 proyek ilmiah yang diluncurkan oleh institusi-institusi internasional. 2. Sulitnya Menerima Kenyataan di Indonesia Mungkin semua peneliti ilmu-ilmu dasar mengetahui bagaimana sulitnya untuk tetap survive berkarir di bidang ini. Apa yang terlihat sebelas tahun lalu adalah surga impian para peneliti. Dana penelitian berorde ratusan juta rupiah berlimpah yang jika dikurskan pada saat itu setara dengan ratusan ribu Dollar US. Dengan secuil proposal, universitas tempat saya bekerja bersedia membayar separuh dari biaya tiket untuk konferensi di Amerika. Namun, malangnya, surga tersebut berubah seketika saat negara kita mulai dilanda krisis moneter. Sejak saat itu saya mulai rajin menerima undangan penelitian atau konferensi ke luar negeri dengan catatan seluruh biaya harus ditanggung oleh kolega saya di sana. Saya sampaikan ke mereka bahwa untuk membeli tiket pesawat pun saya sudah tidak mampu. Untungnya, mereka dapat menerima kenyataan tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya untuk tetap konsisten di bidang ini. Saya juga tidak dapat menahan salah seorang staf dari grup saya yang mendapat posisi sebagai research associate di salah satu universitas di Amerika untuk tetap tinggal di republik ini karena saya tidak dapat menjanjikan apa-apa. 3. Penelitian Teori pun Sulit Banyak yang berpendapat bahwa ilmuwan di negara kita yang bergerak di bidang teori fisika atau kimia dapat lebih mudah berkontribusi di komunitas internasional. Tentu saja pendapat ini sangat menyesatkan, karena sepanjang pengamatan saya belum pernah terlihat ada seorang ilmuwan teori di negara ini yang dapat bertahan di taraf internasional secara konsisten hingga ia memasuki masa pensiun. Banyak pula anggapan bahwa seorang teoritikus hanya membutuhkan selembar kertas dan sebatang pensil, sehingga biaya penelitian sangat murah. Anggapan ini sama gegabahnya dengan anggapan bahwa seorang petani hanya membutuhkan sebatang cangkul dan sebidang tanah untuk dapat menjadi pengekspor beras yang dapat bersaing di
pasar internasional. Atau, sama bahayanya dengan anggapan bahwa seorang polisi hanya butuh sepucuk pistol dan selembar baju seragam untuk dapat membongkar jaringan teroris internasional. Justru apa yang saya lihat adalah kebalikannya. Banyak sekali peneliti-peneliti eksperimental dapat berkarya di taraf internasional secara konsisten hingga mereka memasuki masa pensiun. Dua di antara mereka yang sangat mudah saya ingat adalah Prof. Muhammad Barmawi dan Prof. Tjia May On dari ITB Bandung. Lalu apa yang membuat penelitian bidang teori sulit dilakukan di negara kita. Jawabannya pernah dilontarkan oleh Prof. Tjia: you have to be unusual [4]. Beliau sendiri aslinya adalah seorang fisikawan partikel teori, namun karena kondisi saat itu ia (bersama-sama dengan Prof. Barmawi) beralih ke eksperimen. Sulitnya penelitian teori itu pertama-tama diakibatkan oleh kurangnya dukungan dana dan infrastruktur. Jangankan dukungan pihak industri, tengok saja yang namanya Riset Unggulan RUT, RUK, RUI serta RU-RU lain. Tidak ada satu pun yang dapat dimasuki oleh peneliti teori jika ia tetap konsisten dengan bidangnya. Sementara itu, rata-rata kolega penelitian saya di Amerika memiliki grant penelitian pribadi sebesar 200.000 Dollar US untuk penelitian selama tiga tahun di samping beberapa grant lain dari kelompok serta departemen mereka. Dengan grant tersebut mereka bebas mengunjungi konferensi-konferensi di mana saja, menggaji mahasiswa program doktor untuk membantu penelitian mereka, mengundang peneliti tamu, membeli peralatan pendukung seperti komputer atau sofware, dan lain-lain.
Gambar 1. Rendahnya jumlah publikasi riset dari Indonesia di bidang fisika partikel dibandingkan dengan negara tetangga [5]. Hal yang sama terjadi di mayoritas bidang riset. Siapa yang bertanggung jawab?
Dukungan infrastruktur juga masih lemah. Untuk tetap dapat survive di bidang ini seorang peneliti harus selalu berada dekat dengan komunitasnya. Komunikasi dengan internet memang membantu, namun tidak seefektif jika para peneliti dapat bertatap muka, duduk bersama-sama dengan koleganya dari mancanegara untuk mendiskusikan problem penelitiannya tanpa diganggu pekerjaan-pekerjaan lain. Perkembangan penelitian teori sangat cepat, jauh lebih cepat dari penelitian eksperimen. Sebagai contoh, baru-baru ini di bidang saya ditemukan partikel baru yang disebut partikel pentaquark [6]. Di tengah kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa program sarjana, serta rapat-rapat administratif lain saya menyempatkan diri menghitung produksi pentaquark dengan menggunakan foton dan membuat program komputernya. Satu minggu kemudian, sebelum saya sempat menulis paper, penelitian yang sama telah dipublikasi di sebuah preprint server. Saya kalah cepat karena penelitian hanya sepertiga bagian dari tugas saya. Itu pun dalam kondisi ideal, biasanya hanya sepersepuluh atau seperseratus bagian! Faktor lain yang memang alami adalah faktor publikasi. Mungkin karena membuat suatu teori jauh lebih cepat dibandingkan dengan melakukan eksperimen, konsekuensinya hanya sekitar 20% paper di bidang ini yang diterima untuk di publikasi di jurnal-jurnal internasional, sementara sisanya ditolak. Hal yang berbeda terjadi pada penelitian eksperimen, di mana hanya sekitar 20% paper eksperimen yang ditolak. Kesemua problem di atas mungkin bukan apa-apa jika dibandingkan dengan problem kreativitas. Dibutuhkan kreativitas yang sangat tinggi untuk menghasilkan model-model teori yang dapat diterima oleh komunitas internasional karena persaingan sudah sangat ketat, padahal justru kelemahan kita --mungkin hampir di segala bidang-- adalah pada permasalahan ini. 4. Olimpiade Fisika Sebenarnya Jika kita amati apa yang menjadi tren di bidang “sains” di republik ini tidak lain adalah olimpiade sains (fisika, kimia, matematika, dan lain-lain). Tidak ada yang salah dengan olimpiade ini, bahkan saya banyak mengambil manfaat seperti misalnya saat ini departemen kami memiliki beberapa alumni olimpiade tersebut yang memang sangat berprestasi. Namun, apa yang berkembang di opini publik mungkin layak untuk dicermati. Berapa puluh atau ratus milyar dana total yang dihabiskan untuk kegiatan olimpiade tersebut, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional. Bandingkan dengan berapa besar dana total yang kita keluarkan untuk riset, kegiatan “sains” yang sebenarnya. Namun, bagi orang tua, sekolah, kabupaten, kota, atau provinsi, keberhasilan dalam olimpiade ini merupakan pencapaian yang sudah bersifat holistik. Rancunya prestasi bangsa ini juga direfleksikan oleh pertanyaan beberapa tetangga saya tentang hadiah Nobel yang sudah diterima salah satu pelajar kita, ketika mereka membaca tentang keberhasilan tim Indonesia pada olimpiade “The First Step to Nobel Prize”. Apa yang disebut dengan prestasi anak bangsa kita sebenarnya tercermin pada Gambar 1 dan Tabel 1 di atas. Dari Gambar 1 terlihat jelas bahwa secara ilmiah kita termasuk “terbelakang” dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Vietnam yang kalah dalam hal kemakmuran, justru masih jauh di atas kita untuk urusan riset. Jelas bahwa
jumlah penduduk yang banyak bukan merupakan jaminan untuk urusan ini. Tabel 1 lebih mengkhususkan pada kualitas riset fisika partikel yang dihasilkan di dalam suatu negara. Meski kita boleh bangga berada di “atas” Singapura, namun Tabel ini (yang sangat berkorelasi dengan hadiah Nobel) memperlihatkan bahwa kemenangan tim kita atas olimpiade-olimpiade tingkat internasional tidak ada korelasi sama sekali dengan the real physics olympiad! Tabel 1. Topcite Olympics 2004 yang menempatkan Amerika pada peringkat teratas sebagai negara penghasil paper penting terbanyak di dunia [7].
No Urut
Negara
1000+
500+
100+
50+
Total paper
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 .. 14 .. 23 .. 26 .. 28 .. 47 .. 52 .. 55 .. 58 .. 61 .. 64 .. 71
USA Swiss Rusia Inggris Jerman Itali Perancis Kanada Swedia Jepang ………. Korea ………. India ………. Kolombia ……….. Cina ……… Iran ………. Pakistan ……….. Filipina ……….. Indonesia ………… Vietnam ……….. Singapura ………. Sri Lanka
98 18 17 10 10 9 7 6 6 4 . 2 . 1 . 1 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0
393 59 60 66 39 44 47 23 12 33 … 4 … 1 … 1 . 1 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0 . 0
5467 1348 790 1075 1268 858 835 363 185 492 …. 86 … 118 … 12 .. 70 .. 5 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 0
12572 3257 1843 2751 3491 2277 2158 932 476 1328 …… 267 ….. 362 …. 37 …. 274 … 15 .. 5 . 5 . 4 . 2 . 1 . 1
198007 43426 61366 38789 69268 46813 37411 18673 7132 42606 ……. 5250 …… 13783 …….. 591 ……. 12633 ……. 767 …. 523 …. 83 … 87 … 172 … 226 … 25
GDP per Kapita (US $) 35819 31563 9340 25293 26505 24793 25589 28658 25568 27905 ……. 13430 ……. 2534 ……. 6432 …… 4428 …… 6678 …… 2063 …… 4207 …… 2822 …… 2241 …….. 22783 …….. 3697
Beberapa tahun yang lalu, fisikawan dari Universitas California Jorge Hirsch mengusulkan parameter yang ia sebut index-h. Index ini menghubungkan jumlah kutipan (citation number) dengan berapa banyak paper yang memiliki kutipan tertinggi [8]. Metode Hirsch ini menghindari beberapa kritik yang diajukan terhadap faktor dampak (impact factor) atau pun metode jumlah kutipan yang saat ini sangat kontroversial dalam menghitung kinerja seorang ilmuwan. Jika dihubungkan dengan jumlah penerima Nobel (fisika) dalam 20 tahun terakhir Hirsch menemukan sesuatu yang “menarik”. Dari
Gambar 2 terlihat bahwa penghargaan Nobel tidak pernah diperoleh ilmuwan melalui “satu pukulan keberuntungan”, melainkan melalui serentetan penelitian yang berkesinambungan yang secara kumulatif menghasilkan indeks-h lebih besar dari 25. Indeks sebesar ini menyatakan bahwa sang ilmuwan memiliki lebih dari 25 paper yang masing-masing memiliki lebih dari 25 kutipan. Intinya adalah: mimpi besar jika bangsa ini mendambakan memperoleh hadiah Nobel, sementara para ilmuwannya tidak melakukan penelitian berlevel internasional secara intensif.
Gambar 2. Jumlah penerima hadiah Nobel dalam dua puluh tahun terakhir sebagai fungsi dari indeks-h.
5. Kurangnya Ambisi dan Wawasan Fisikawan Pakistan peraih hadiah Nobel almarhum Abdus Salam pernah mengatakan bahwa salah satu kelemahan ilmuwan di negara-negara berkembang adalah kurangnya ambisi untuk menguasai sains dan teknologi [9]. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang budaya serta kurangnya wawasan sains dari para pemimpinnya. Tentu saja Abdus Salam saat itu tidak mengharapkan dibangunnya sebuah akselerator besar di salah satu negara Arab, namun ia sangat menyayangkan mengapa fisikawan dari negara-negara kaya Timur Tengah ini tidak mau bergabung dengan pusat penelitian nuklir besar di Eropa (CERN), sementara Yunani yang relatif lebih miskin mau bergabung dengan CERN dengan membayar kontribusi yang disesuaikan dengan GNP mereka [9]. Apa yang terjadi dengan ilmuwan di negara kita? Saya kira kondisinya saat ini lebih parah dari kondisi di negara-negara Timur Tengah. Sebagian ilmuwan kita telah berpikir pragmatis dan instan. Ditambah lagi dengan gaya berpikir peninggalan Orde Baru yang juga sudah merasuk ke lingkungan ilmiah, sehingga penelitian hanya sekadar dibuat sebagai formalitas untuk kenaikan pangkat, memperoleh tambahan pemasukan dari dana penelitian, dan lain-lain. Minim sekali ambisi ilmuwan kita untuk menekuni suatu bidang penelitian secara serius hingga ke jenjang internasional. Faktor lain yang juga kurang mendukung adalah minimnya wawasan sains dari para pemimpin republik ini. Tidak pernah terdengar gagasan cemerlang dari para pemimpin
bahwa investasi di bidang ilmu dasar merupakan tabungan masa depan yang sangat berharga. Para pemimpin juga berpikir instan, untuk apa membiayai penelitian yang mengawang-awang dan tidak membumi namun membutuhkan biaya mahal. Ada pula anggapan bahwa penelitian ilmu dasar tidak mendukung pembangunan nasional karena saat ini tidak dibutuhkan rakyat dan penelitian ilmu dasar seharusnya digali dari tradisi dan kejayaan bangsa di masa lalu. Kesemuanya menunjukkan kurangnya wawasan sains dari para pemimpin republik ini. 6. Bukan Hanya Misi Sosial Banyak orang beranggapan bahwa misi yang diemban oleh peneliti ilmu dasar adalah misi sosial, karena sifat ilmu dasar yang lebih ditujukan untuk menyibak rahasia alam atau menjelaskan mekanisme proses-proses yang berlangsung di alam. Banyak pula yang beranggapan bahwa penelitian ilmu dasar hanyalah untuk memuaskan dahaga keingintahuan para ilmuwan. Pendapat ini tentu saja tidak bisa disalahkan, karena memang kedua hal tersebut merupakan pemicu utama aktivitas penelitian di bidang ini. Namun, manfaat penelitian tidak hanya berhenti di sana. Penelitian ilmu dasar tidak pernah henti-hentinya mendorong manusia hingga ke batas kemampuannya (pushing to the limit). Di dalam penelitian fisika partikel, misalnya, dibutuhkan medan magnet dan listrik sekuat mungkin guna mendorong partikel untuk bergerak secepat mungkin sambil menjaga lintasannya seakurat mungkin. Untuk membuat medan magnet yang sangat kuat dibutuhkan superkonduktor yang sangat stabil serta pendingin untuk temperatur sangat rendah. Teknologi yang ada kadang-kadang belum dapat mengakomodir keperluan ini. Namun, keterbatasan teknologi sering melahirkan inovasi-inovasi baru yang memiliki aplikasi luas meski tidak pernah diduga sebelumnya, seperti pendinginan dengan medan magnet, misalnya [10]. Tengok pula lahirnya World Wide Web yang kini sudah sangat populer di masyarakat awam sekalipun, yang pada mulanya dipicu oleh keperluan para eksperimenter di laboratorium partikel dan nuklir Eropa CERN untuk dapat mengakses hasil eksperimen dari mancanegara secara cepat [11]. Penelitian Lattice QCD dalam fisika partikel, misalnya, memerlukan komputasi berkecepatan tinggi karena akurasi hasil perhitungan sangat bergantung pada kemampuan numerik komputer yang dipakai [12]. Namun, semakin besar komputer yang dioperasikan semakin besar pula dana yang diperlukan. Untuk menekan biaya para ilmuwan kemudian beralih ke komputer PC paralel dengan sistem operasi berbasis Linux yang bersifat gratis. Dengan demikian dana yang ada dapat dipakai untuk menghasilkan komputer dengan kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan dengan superkomputer yang dapat dibeli dengan harga yang sama [12]. Jadi, interaksi eksperimen pada penelitian dasar dengan teknologi canggih sangat erat. Wajar jika hanya negara-negara maju yang memiliki infrastruktur teknologi kuat dapat dengan mudah membangun instalasi penelitian dasar berskala besar. Meski demikian, dengan dukungan yang kuat dari pemerintahnya, negara berkembang seperti Cina juga dapat berpartisipasi.
Patut juga dicatat bahwa meski interaksi dengan teknologi cukup erat, penelitian dasar di seluruh manca negara didanai sepenuhnya dari pihak pemerintah karena tidak (atau hingga saat ini belum) ada industri yang tertarik untuk memproduksi quark, kaon, partikel Higgs, dan lain-lain. 7. Apa yang Harus Kita Lakukan? Selama ini, kekurangan dana baik untuk penelitian maupun untuk biaya hidup si peneliti telah menjadi semacam “excuse” untuk tidak melakukan riset. Meski di satu sisi anggapan ini dapat benar, namun disisi lain anggapan ini dapat menjadi berbahaya. Untuk dapat melakukan penelitian, bukan hanya biaya yang diperlukan. Kemampuan sang peneliti serta lingkungannya merupakan faktor yang sangat menentukan. Jika dana ada namun sang peneliti tidak mampu melakukan penelitian sendiri (karena selalu dibimbing oleh peneliti senior atau mantan Profesornya) tentu saja penelitian tidak akan jalan. Jika lingkungan tidak menghargai penelitian atau peraturan yang ada tidak tidak memaksa peneliti untuk melakukan penelitian, maka si peneliti akan kehilangan motivasi. Dengan kondisi yang ada saat ini, tampaknya bukan hanya uang yang menjadi masalah penelitian di Indonesia. Sudah saatnya kita menata ulang manajemen riset kita (yang mungkin belum pernah ada). Transformasi beberapa universitas negeri menjadi BHMN serta komitmen beberapa universitas untuk menjadi research university merupakan momen yang sangat potensial untuk digunakan. Para profesor sebagai ujung tombak penelitian harus di”paksa” untuk profesional. Keprofesionalan mereka dapat dengan mudah diukur dari lamanya waktu yang mereka habiskan di laboratorium dibandingkan waktu yang dihabiskan di luar sebagai konsultan, dosen, atau rektor universitas swasta, misalnya. Para profesor harus dikembalikan ke tempat mereka yang sangat terhormat (meminjam kata-kata Dr. Suhardjo Poertadji, mantan dekan FMIPA UI) yaitu di laboratorium untuk melakukan penelitian dan membimbing kandidat doktor serta mempublikasikan hasil riset mereka di jurnal ilmiah internasional [13]. Hal yang sama juga harus dilakukan pada para Profesor Riset di lembaga-lembaga riset nasional. Beberapa tahun lalu saya pernah mengusulkan istilah peneliti militant [14]. Militan bukanlah suatu sifat yang jelek jika kita masukkan ke dalam dunia riset. Dalam kondisi infra-struktur dan keuangan yang serba terbatas tidak ada cara lain bagi pemerintah kita selain memperkerjakan para peneliti militan. Apa yang saya maksud dengan peneliti militan ini adalah peneliti yang sanggup hidup di bawah garis kemakmuran (bukan garis kemiskinan) sambil melakukan penelitian yang bertaraf internasional. Peneliti yang realistis dan pragmatis tentu saja hanya akan berhasil di negara maju, namun seorang peneliti militan akan menggunakan segenap cara untuk terus eksis dalam komunitasnya. Proses penetapan riset unggulan harus bersifat bottom-up. Selama ini proses tersebut dilakukan oleh para birokrat (top-down). Kalaupun melibatkan segelintir peneliti, maka hanya peneliti kalangan atas yang didengar. Sementara keinginan serta keunggulan
mayoritas para peneliti yang berkutat di dalam laboratorium tidak pernah diketahui. Proses yang terjadi selama ini dapat diibaratkan membangun atap rumah tanpa mempedulikan tiang dan pondasinya. Agar dapat bersifat bottom-up pemerintah harus memfasilitasi pembentukan dan pertemuan (berupa workshop) para peneliti sebidang. Jika para peneliti sebidang sudah sering bertemu maka mereka dapat mengetahui dimana kekuatan mereka, dan informasi ini dapat diteruskan ke atas. Jadi fondasi penelitian yang kokoh dapat dibentuk. Riset unggulan tidak boleh hanya ditentukan dari kebutuhan mendesak bangsa atau negara, namun juga harus digariskan sesuai dengan keunggulan para peneliti di republik ini. Sebagai negara maju, Jepang misalnya, tentu saja membutuhkan pesawat-pesawat terbang komersial berukuran besar. Meski mereka memiliki teknologi dan sumber daya manusia untuk itu, mereka menyadari bahwa mereka kurang unggul untuk bersaing dengan Boeing, Mc Donnel Douglas, atau pun Airbus. Kolaborasi riset internasional harus digalakkan. Harus diakui bahwa cara paling efektif untuk mendongkrak kualitas riset kita adalah melalui kolaborasi internasional, karena para peneliti akan dipaksa untuk melakukan riset berkualitas dan belajar dari kolega mereka yang jauh lebih mapan. Namun, patut disadari juga bahwa menjalin kerjasama internasional bukanlah hal mudah, terutama jika kita ingin bekerjasama dengan kelompok peneliti dari universitas papan atas di negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa, yang selain memiliki sumber dana besar juga telah memiliki SDM unggul. Meski demikian, kita masih dapat berharap dari beberapa institusi riset mapan yang memiliki program-program bantuan (charity) bagi peneliti dari negara berkembang. Pilihan selanjutnya tentu saja dengan second-class university, yang jauh lebih baik daripada tidak sama sekali Kriteria riset yang baik pun harus dikaji ulang. Agak sulit untuk mendapatkan kriteria baku bagi semua disiplin ilmu, namun untuk bidang sains dan teknologi tampaknya riset yang baik akan menghasilkan paling tidak satu dari tiga poin berikut [15]: 1. Produk atau inovasi baru yang dapat langsung dipakai oleh industri (bukan hanya sebatas prototipe), 2. Paten, 3. Publikasi di jurnal internasional. Akhirnya penghargaan untuk hasil penelitian berskala internasional juga harus ditingkatkan. Kita harus membuang jauh-jauh ide bahwa penelitian yang “membumi” [16] jauh lebih baik dilakukan di republik ini. Segala jenis penelitian, asal dilakukan dengan kaidah dan kualitas yang diakui internasional akan dapat “dijual” dan sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia. 8. Kesimpulan Dari pembahasan di atas jelas bahwa problem penelitian di Indonesia bukanlah hal sederhana. Solusinya pun tidak sederhana, karena banyak faktor yang “mendukung” problem tersebut, mulai dari si peneliti hingga system yang berlaku di republik ini. Meski
demikian bukan berarti tidak ada jalan keluar dari permasalahan besar ini. Dari beberapa rekomendasi yang diajukan di atas terlihat bahwa peran serta pemerintah merupakan kunci keberhasilan kita untuk melewati tantangan ini. Daftar Acuan [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16]
“Jangan Abaikan Penelitian yang Bersifat Fundamental”, Kompas, 10 September 2003. “Presiden: Kipnas Jangan Sebatas Lahirkan Pemikiran-pemikiran Teoritis”, Kompas, 11 September 2003. David C. Stolinsky and Ellis Rubinstein, “China's Leader Commits to Basic Research, Global Science”, Science 289, 548, 2000. Salomo Simanungkalit, “Tjia May On”, Kompas, 31 Maret 2002. SLAC Library, Stanford University, USA, http://www.slac.stanford.edu/spires. Terry Mart, “Photoproduction of Pentaquark in Feynman and Regge Theories”, Physical Review C 71, 022202, 2005. Lihat Ref. [5]. Jorge E. Hirsch, “An Index to Quantify an Individual’s Scientific Reseacrh Output”, Proceedings National Academy of Science 46, 16569, 2005. Physics in Pakistan, News from ICTP 94, 6, 2000. Domenico Campi, “CMS: a super solenoid is ready for business”, Cern Courier, March 2007. Robert Cailliau and Helen Ashman, “Hypertext in the Web - a History”, ACM Computing Surveys 31, 4, 1999. Don Holmgren, “Tackling the challenge of lattice QCD”, Cern Courier, February 2006. Suhardjo Poertadji, “Inilah Pencelik Mata Itu”, Kompas Senin, 26 April 2004. Terry Mart, “Manajemen Riset Kita Salah”, Kompas, Rabu, 9 Maret 2005. Terry Mart, “Iptek Indonesia di Titik Nadir, Tanggung Jawab Siapa?”, Kompas, Senin, 08 Mei 2006. Zeily Nurachman, “Membumikan Topik Penelitian”, Kompas, 12 Februari 2004. ------------------ ooo O ooo ------------------