KESETARAAN PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT BAWEAN GRESIK JAWA TIMUR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Moh. Ikhwan Mufti 107044201799
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H /2011 M
KESETARAAN PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT BAWEAN GRESIK JAWA TIMUR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Moh. Ikhwan Mufti NIM: 107044201799
Di Bawah Bimbingan:
Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA NIP: 1950 0361 9760 31001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K
A R T A
1432 H /2011 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 April 2011
Moh. Ikhwan Mufti
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul KESETARAAN PEMBAGIAN WARIS ADAT BAWEAN GRESIK JAWA TIMUR, telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah.
Jakarta, 31 Mei 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof.Dr.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN Ketua
Sekertaris
Pembimbing
Penguji I Penguji II
: Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA NIP: 1950 0361 9760 3100
: (.................................)
: Hj.Rosdiana, MA NIP. 1969 0610 2003 122001
: (.................................)
: Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA NIP. 1950 0361 9760 3100
: (.................................)
: Prof.Dr.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012
: (.................................)
: Afwan Faizin, MA NIP. 19651119 199803 1 002
: (.................................)
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i walmursalīn Muhammad SAW. Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yaitu: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA dan Hj. Rosdiana, MA., selaku ketua dan sekertaris Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. v
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., atas waktu, perhatian serta doa selama proses bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sehat dan selalu menjadi suri taudalan bagi kami. 4. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat. 5. Segenap Staf, Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan kemudahan penulis dalam mencari referensi. 6. Kedua orang tua ayah Mufdhalah (Alm) dan umi Wati’ah (Alm) yang telah merawat dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih syang dan tentu biaya yang sangat besar untuk pendidikan penulis. Penulis berjanji tidak akan mengecewakan kalian berdua. Anakmu hanya bisa mendoakan, semoga Allah memberikan yang layak disisi-Nya. Amin 7. Kepada kakakku: Khairus Sholeh, Dr. Syahrul A’dam, MA, Masni, A.Ma, Sakdallah, S. Psi, M. Si, Mahmud dan juga semua kakak ipar dan kepanonakan. Terima kasih yang telah memberikan semangat serta dukungan, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Kepada K.H. Bajuri Yusuf, K.H. R. Ahmad Buang Aziz, K.H. hazin Zainuddin, dan Abd. Kamil, selaku pihak yang telah bersedia penulis wawancarai sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. vi
9. Kepada teman-teman AKI 2007, yang telah banyak memberikan motivasi serta gagasan dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah membalas semua amal baik dengan pahala yang berlipat ganda. Jakarta: 27 Jumadil Akhir 1432 H 29 Mei 2011 M
( Penulis )
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..…………………………………………...………………... i PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………..……………....ii PERNYATAAN KEASLIAN..…………………………………………………..iii LEMBAR PENGESAHAN……………..…………………………..……………iv KATA PENGANTAR…………………………………………….……..….….…v DAFTAR ISI ……………………………………………………………..…....…ix BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………..………1 A. Latar Belakang Masalah………………………………………….…..1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah...................................6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………..……..7 D. Metodologi dan Teknik Penelitian ……………………………….…..8 E. Studi Review Terdahulu....……………………………………...…..11 F. Sistematika Penulisan…………………………………………….....13
BAB II KEWARISAN, HUKUM WARIS ADAT DAN KESETARAAN HUKUM WARIS……………………………………………..………..15 A. Pengertian Kewarisan…………………………………………….....15 B. Dasar Hukum Kewarisan Dalam Fiqih dan Hukum Perdata...….......17 C. Sistem
Kekeluargaan
dalam
Hukum
waris.......…………………….............................................................22 D. Pengertian Hukum Adat…………………………………………….23 E. Hukum Waris Adat……………………………………………….....27 F. Kesetaraan dalam Hukum Waris…….……………………………...29
viii
BAB III POTRET MASYARAKAT BAWEAN……………………………..33 A. Letak Geografis Bawean………………………………….………33 B. Sejarah Singkat Bawean……………………………………...…...38 C. Keadaan Demografis……………………………………………....39 BAB IV
PEMBAGIAN
HARTA
WARIS
BERDASARKAN
ADAT
BAWEAN……………………………………………………..………49 A. Cara Pembagian Harta Waris Adat Bawean …………….………..49 B. Kedudukan
Laki-Laki
Dan
Perempuan
Adat
Bawean…………………………………….………………………52 C. Proses Pembagian Harta Waris...……….……..……………….…53 D. Orang-Orang
yang
Di
Undang
dalam
Pembagian
Harta
Waris…………………………………………………………....…55 E. Dasar
Hukum
Pembagian
Waris
Menurut
Adat
Bawean………………………………………………………..…...57 F. Pendapat Ulama Setempat Tentang Pembagian Waris Menurut Adat Bawean……………………………………………………..….…..58 G. Analisa Penulis ……………………………………………………60 BAB V PENUTUP ……………………………………………………………..71 A. Kesimpulan.……………………………………………………….71 B.
Saran……………………………………………………………...73
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….74 LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
-
Surat Permohonan Dosen Pembimbing…………………………………...78
-
Surat Permohonan Data/Wawancara …………………………………….79
-
Hasil Wawancara dengan K.H. Bajuri Yusuf…………………………….80
-
Hasil Wawancara dengan K.H. R. Ahmad Aziz………………………….84
-
Hasil Wawancara dengan K.H. Hazin Zainuddin…………………………87
-
Hasil Wawancara dengan Abdul Kamil…………………………………..90
-
Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. Bajuri Yusuf………………………………………………………………………93
-
Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. R. Ahmad Aziz.............................................................................................................94
-
Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. Hazin Zainuddin………………………………………………………………….95
-
Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh Abdul Kamil……96
-
Surat Keterangan Desa Lebak……………………………………………97
-
Surat Keterangan Desa Kepuh Legundi…………………………………..98
-
Surat Keterangan Desa SawahMulya……………………………………..99
-
Surat Keterangan Desa Kumalasa……………………………………….100
-
Lampiran Peta Bawean………………………………………………..…101
-
Lampiran Peta Provinsi Jawa Timur………………………………….…102
x
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. 1 Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara orang tuanya, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.2 Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat dan patuh kepada ketentuan syariat dalam seluruh totalitas kehidupannya.3 Demikian pula kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya (fardhu kifayah). Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang
1
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2002), cet. II, hal.1. 2
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1.
3
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1.
1
2
menyangkut
hak
para
keluarganya
(ahli
waris)
terhadap
seluruh
harta
peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (Baitul Mal) pun, dalam keadaaan tertentu, mempunyai hak atas peninggalan tersebut.4 Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, dikelan dengan nama hukum waris. Dalam syariat Islam ilmu tersebut terkenal dengan ilmu mawaris, fiqh mawaris atau faraidh.5 Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas dan tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.6 Allah telah menentukan bagian warisan kepada orang yang berhak dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan diri mereka.7 Dalam surat an-Nisa' ayat 34 dijelaskan Laki-laki dijadikan pemimpin bagi wanita dan mereka dilebihkan atas wanita karena dua perkara, yaitu anugerah Allah dan karena usaha mereka (dengan ijin-Nya).8 4
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1.
5
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1.
6
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2008), cet.
IX, hal.1. 7
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, hal.1.
3
Karena anugerah Allah azza wa jalla, kaum laki-laki diberi kelebihan pada diri mereka yaitu akal yang sempurna, baik dalam mengatur dan diberi kekuatan yang lebih dalam berbuat dan taat. Oleh karena itu kaum laki-laki diberi keistimewaan di atas kaum wanita dengan angkat sebagai nabi, sebagai pemimpin, menegakkan syi'ar –syiar (Islam) dan kesaksian dalam semua permasalahan, wajib berijtihad, menegakkan shalat Jum'at dan sejenisnya, juga mereka dijadikan sebagai ahli waris yang mendapatkan bagian 'Ashabah, mendapatkan bagian warisan yang lebih dan sejenisnya.9 Karena usaha, mereka yaitu kaum laki-laki memberikan harta kepada wanita ketika menikahi mereka dengan memberikan mahar dan nafkah dalam kebutuhan hidupnya.10 Dalam bagian warisan laki-laki dibedakan dengan bagian perempuan yaitu bagian laki-laki sepertinya dua orang perempuan, sebagaimana ketika ahli waris terdiri dari anak-anak kandung dari jenis laki-laki dan perempuan. Terkadang bagian anak laki-laki disamakan dengan bagian anak perempuan ketika ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan perempuan ketika ahli waris terdiri dari beberapa anak laki-laki dan dari anak-anak ibu (saudara-saudara yang seibu), dan bahkan terkadang bagian
8
Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, penerjemah Abu Nahiyah Muhaimin, (Jakarta: Ash-Shaf Media, 2007), cet.I, Hal.X-Xi. 9
Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Hal.XI. 10
Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Hal.XI.
4
wanita lebih banyak dari bagian laki-laki seperti ketika ahli waris terdiri dari seorang suami, seorang ibu dan seorang bapak, maka dalam masalah in bagian ibu lebih banyak dari bagian bapak, hanya saja masalah ini diperselisihkan oleh para oleh para imam.11 Hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengandung dualisme hukum, yaitu ada pasal yang menjelaskan menjelaskan bahwa bagian laki-laki dengan bagian perempuan adalah dua berbanding satu dan juga bisa juga dengan jalur perdamaian. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 mengatur bahwa besaran bagian harta warisan bagi anak laki-laki dan perempuan. Kepastian ketetapannya tetap berpegang teguh pada norma surat An-Nisa' ayat 11. Namun dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 membuka kemungkinan untuk menyimpang melalui jalur perdamaian. Dalam pasal ini disebutkan bahwa patokan penerapan besarnya bagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Bagian anak laki di bandingkan dengan bagian anak perempuan adalah dua
berbanding satu (2:1). b.
Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian
yang menyimpang dari ketentuan pasal 176. 12 11
Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Hal. XI. 12
Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.68.
5
Dalam gejala sosiologis yang di ketengahkan masyarakat Bawean adalah yaitu mereka mendukung emansipasi wanita Bawean. Mereka dalam masalah pendidikan, wanita mengambil porsi yang sama.13 Berkaitan dengan masalah warisan, setelah penulis melakukan observasi sementara, menyebutkan bahwa masalah pembagian waris di Bawean menggunakan waris Bawean. Pembagian waris Bawean, untuk porsi pembagiannya adalah 1:1 yaitu untuk laki-laki mendapat satu bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian, pembagian waris berdasarkan waris adat Bawean apabila tidak ada sengketa dalam pembagiannya. namun apabila ada sengketa dalam pembagian harta warisan tersebut, maka pembagiannya tidak diselesaikan dengan menggunakan pembagian waris adat Bawean, melainkan di selesaikan di Pengadilan Agama. Jadi penyelesaian masalah kewarisan dengan porsi 1:1 bisa diterapkan apabila tidak ada sengketa diantara pihak-pihak yang berhak menerima warisan. Dengan adanya dualisme hukum yang ada dalam KHI pasal 176 dan 183, untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang kewarisan yang digunakan masyarakat Bawean,
maka penulis mencoba untuk meneliti praktek dilapangan
berkaitan waris tersebut. dan penulis menemukan dalam masyarakat yaitu khususnya masyarakat Bawean yang membagi harta warisan dengan menggunakan formasi 1:1. Maka penulis mengambil judul: KESETARAAN PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT BAWEAN GRESIK JAWA TIMUR.
13
hal.211.
Jacob Vredenbergt, Islam dan Bawean. Penerjemah A.B. Lapian, (Jakarta: INIS, 1990),
6
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1.
Batasan Masalah Menurut A. Chaedar al-Wasilah mengatakan bahwa dalam sebuah penelitian
diperlukan adanya titik fokus untuk membatasi masalah atau limitasi dari penelitian, pembatasan tersebut dimaksudkan untuk membangun pagar sekeliling lahan penelitian, membangun criteria inklusif atau ekslusif dalam penelitian, dan memudahkan cara kerja sehingga tidak ada satupun yang mubadzir.14 Maka, untuk Mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis membatasi pembahasan ini pada masalah warisan. Dalam masalah warisan ini, menuliskan membatasi pada pembagian harta waris berdasarkan adat bawean dan untuk objek penelitian penulis membatasi objeknya hanya di Pulau Bawean. 2.
Rumusan Masalah Dalam pembagian harta waris semestinya aturan hukum Islam semestinya
bagian laki-laki dua bagian dari perempuan. Namun, dalam kenyataannya pembagian harta waris adat Bawean pembagian harta warisnya bagi sama yakni 1:1 yaitu satu bagian perempuan satu bagian dan laki-laki juga satu bagian. Adanya perbedaaan antara teori dengan praktik di masyarakat, maka penulis merinci rumusan masalahya dalam bentuk pertanyaan. Dibawah ini adalah beberapa pertanyaan dalam rumusan masalah yang terdapat dalam rumusan masalah, yaitu: 14
A. Chaidar al-Wasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Kualitatif, (Jakarta: Pustaka jaya, 2006), hal. 87.
7
a.
Bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris menurut adat Bawean?
b.
Apa dasar hukum pembagian waris menurut adat Bawean?
c.
Bagaimana pendapat ulama setempat tentang pembagian waris menurut adat?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah: a) Untuk mengetahui kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris berdasarkan adat Bawean. b) Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pembagian waris dengan menggunakan adat Bawean. c) Untuk mengetahui Pendapat ulama setempat tentang pembagian waris adat Bawean. 2. Manfaat Penulisan a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1. b. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil penelitian ini, khusunya penulis sendiri. c. Sebagai pengembangan wawasan mengenai masalah waris, terutama pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean. d. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat yang ingin mendalami masalah hukum kewarisan di Indonesia, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-antropologis mengingat data yang diperlukan persepsi dan perilaku masyarakat Pulau bawean mengenai perkara kewarisan. Karena persepsi terpengaruh oleh budaya-busaya maka penelitian menggunakan pendekatan antropologis,15 dan karena antara nilai-nilai budaya dengan perilaku adakalanya selaras dan adakalanya tidak selaraas atau bertentangan maka pendekatan sosiologi juga digunakan. 2. Jenis penelitian Berdasarkan pada tujuan penelitian, jenis penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, maka cara yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat penelitian lapangan (field research), yaitu upaya untuk mengungkap secara faktual "Kesetaraan Pembagian Waris Dalam Adat Bawean Gresik Jawa Timur". Secara mendetail penelitian ini untuk menemukan jawaban tentang pembagian harta waris yang berlaku dalam adat Bawean. Jadi bisa mengetahui secara jelas pelaksanaan pembagian harta waris dengan adat Bawean. 3. Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber data yaitu sumber data primer dan data skunder. Di bawah ini tentang penjelasan sumber data, yaitu: 15
T.O. Ihromi (Penerjemah), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2001), hal.236.
9
a)
Data primer yaitu data yang dihasilkan dari wawancara dengan tokoh masyarakat
Bawean yang mengerti seluk beluk tentang pembagian waris adat Bawean. Jadi, dapat menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. b) Data skunder, data yang didapat melalui studi kepustakaan yang dilakukan melalui penelusuran buku-buku, jurnal dan literatur lain yang berkenaan dengan masalah warisan dan juga tentang profil Pulau Bawean itu sendiri. 4. Teknik Pengumpul Data Teknik pengumpul data atau instrumen dalam penelitian sosial adalah suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diinginkan. Isntrumen biasaya digunakan oleh penelitin untuk menanyakan atau mengamati responden sehingga diperoleh informasi yang dibutuhkan. Instrumen penelitian antara lain dapat berbentuk kuisioner, petunjuk wawancara atau daftar isian, observasi, dan juga studi dokumentasi tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan.16 Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Observasi Dengan obsevasi ini penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian yaitu tentang pembagian waris berdasarkan adat Bawean. Untuk kevalidan data juga, menggunakan juga buku catatan lapangan. Pengamatan yang dilakukan difokuskan pada berbagai peristiwa yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. 16
Syamsir Salam dan Jaenal Arifin, Metodologi Penelitian sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), hal.64.
10
b. Wawancara Wawancara17 dilakukan dalam penelitian ini, yaitu wawancara terstruktur yang dilakukan secara mendalam yang ditulis secara sistematis, penulis menggunakan juga lembar catatan. Tujuan menggunakan catatan adalah untuk meminimalisir kemungkinan kekeliruan
penulis dalam mencatat hasil wawancara yang sudah
dilakukan. Jadi, hasil yang didapat oleh penulis dari hasil wawancara dengan menggunakan catatan kecil bisa mengurangi adanya kesalahan dalam menulis hasil wawancara tersebut. 5. Teknik Analisa Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata secara sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang kewarisan khususnya tentang kesetaraan pembagian waris dalam adat Bawean Gresik Jawa Timur dengan data-data yang diperoleh penulis dari observasi, wawancara dan studi dokumen sebagai upaya meningkatkan pemahaman penulis berkaitan dengan pembahasan. Dalam penelitian ini data-data yang terkumpul, selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola deskriptif analitis18 lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data kemudian dielaborasi dengan teori-teori yang berkaitan dengan hukum waris. 6. Teknik Penulisan 17
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis,dan Karakteristik dan Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo,2010 )Hal. 62. 18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000), cet. XII, hal. 178.
11
Teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007".19 E. Studi Review Terdahulu Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Review kajian terdahulu yag berkaitan dengan penulis diantaranya: Studi review kajian terdahulu yag pertama adalah skripsi dari Fatehah Binti Zulkafli, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008 dengan judul skripsi Pembagian harta pusaka menurut hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat perpatih di daerah Rembau propinsi Negeri Sembilan Malaysia. Di dalam skripsi ini pembahsannya masalah kedudukan harta warisan dalam adat perpatih di rembau, Tata cara pembagian harta pusaka menurut adat perpatih, pelaksanaan harta pusaka menurut hukum adat perpatih, juga membahas perbedaan sistem pembagian harta pusaka antara hukum Islam dan adat perpatih. Studi review kajian terdahulu yang kedua adalah skripsi Arif Rahman, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 dengan judul Skripsi : “Tradisi Pembagian Waris Di lingkungan 19
Djawahir Hejazziey (Editor), Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
12
Masyarakat Arab (Studi kasus dikampung Arab Tegal)”. Fokus bahasan pada skripsi ini adalah tentang tata cara pembagian harta waris berdasarkan adat arab Tegal, tentang tradisi waris adat arab Tegal, dan juga bentuk pembagian harta waris berdasarkan adat arab Tegal. Studi reviev kajian terdahulu yang ketiga adalah skripsi Siti Azizah Jurusan Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun
2009, judul skripsi : “Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Pada Masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)”. skripsi ini Membahas masalah bagaimana tata cara pembagian harta waris berdasarkan adat Betawi. Studi review kajian terdahulu selanjutnya adalah Ruri Hasan Jayati, skripsinya berjudul “Sikap Masyarakat Semanan Kali Deres Terhadap Hukum Waris Islam”. Ia mengatakan masyarakat di wilayah Semanan Kalideres menyambut dengan antusias terhadap penerapan hukum kewarisan Islam walaupun dalam kenyataannya hukum kewarisan Islam itu belum dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, pedahal pemahaman masyarakat terhadap hukum kewarisan cukup mengerti. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai penerapan pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Perbedaan dengan skripsi yang penulis teliti adalah dalam penelitian ini penulis meneliti tentang pembagian waris berdasarkan adat bawean, dari bagaimaa tata cara pembagiannya, kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian
13
waris adat Bawean, dan juga dasar hukum dari pembagian waris berdasarkan adat Bawean tersebut. F. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui bagaimana logika yang di pakai dalam penulisan skripsi ini, maka penulis paparkan sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari: Bab pertama adalah pemaparan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, review kajian terdahulu,
sistematika penulisan. Dari bab ini dapat
diketahui apa yang melatar belakangi pembahasan ini, kemudian juga bisa mengetahui batasan pembahasan dan juga rumusan masalah dalam skripsi ini. Selanjutnya juga untuk mengetahui apa metode yang dipakai, teknik penelitian apa yang di pakai, serta mengetahui bahasan-bahasan orang lain yang berkaitan dengan judul ini. Dalam review kajian terdahulu kita bisa mengetahui perbedaan karya kita dengan orag lain. Dalam bab ini juga di jelaskan tentang sistematika dalam penulisan skripsi ini. Bab kedua adalah pemaparan tentang teori-teori yang di mendukung pembahasa, skripsi ini. Dalam teori ini Membahas tentang kewarisan dan hukum adat yang terdiri dari beberapa sub bab yaitu tentang teori pembagian harta waris yang terdiri dari pengertian hukum waris, Dasar Hukum waris, sistem kekeluargaan dalam Hhukum waris, hukum waris adat, dan kesetaraan dalam hukum waris.
14
Bab ketiga tadalah pemaparan tentang objek penelitian yaitu tentang potret masyarakaat Bawean yang terdiri dari terdiri dari memuat letak geografis Bawean, Sejarah Singkat Bawean, dan keadaan Demografis. Bab keempat adalah bab yang memaparkan tentang hasil penelitian yang di peroleh di lapangan. Dalam bab ini Membahas masalah pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean yaitu cara pembagian waris adat Bawean, Kedudukan lakilaki dan perempuan dalam waris adat Bawean, dan juga analisis Penulis Tentang Pembagian Waris Adat Bawean. Bab Kelima adalah bab yag mejelaskan tentang kesimpulan dari penulisan skripsi ini dan juga saran yang ingin disampaikan. Dalam bab ini membasah tentang kesimpulan dan saran.
BAB II KEWARISAN DAN HUKUM WARIS ADAT A. Pengertian Kewarisan 1. Pengertian Hukum Kewarisan dalam Fikih Kata berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris.1 Ilmu faraidh atau mawaris dita'rifkan sebagai berikut:
ِﺻﻞِ اِﻟﻰَ ﻣَﻌﺮِﻓﺔِ ذَﻟِﻚَ وَﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﻗَﺪْرِ اﻟﻮَاﺟِﺐِ ﻣِﻦْ اﻟﺘَﺮْﻛَﺔ ِ ْاَﻟْﻔِﻘْﮫ ُاﻟْﻤُﺘَﻌَﻠﱠﻖُ ﺑِﺎ ْﻻِرْثِ وَﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ اﻟْﺤِﺴَﺎبِ اﻟﻤَﻮ 2
. ﻟِﻜُﻞﱢ ذِىْ ﺣَّﻖﱠ
"ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang tata cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap penilik hak pusaka. Hukum waris dalam Islam dalam Bahasa Arab dinamakan ilmu faraid artinya ilmu "pembagian", atau lebih jelas di artikan suatu ilmu yang menerangkan tata cara pembagian harta dari seseorang yang telah meninggal dengan pembagian-pembagian yang telah ditentukan untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.3 1 2
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal.11. Muhammad Asy-Syarbini, Mughnil Mukhtaj, (Kairo: Musthafa Al-Babil Halaby, 1958),
hal.3. 3
Saifuddin Arief, Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, (Jakarta: PP Darunnajah, 2007), hal. 5.
15
16
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan memgambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna “hal ihwal orag yang menerima harta warisan” dalam arti kedua mengandung kata “hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup”. Arti terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.4 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris merupakan hukum yang mengatur tentang perpindahan harta warisan dari orang yang meninggal kepada para ahli waris dan dengan keentuan bagian tertentu. 2.
Pengertian Kewarisan dalam Hukum Perdata Hukum waris (effercht) ialah hukum yang mengatur kedudukan harta kekayaan
seseorang
apabila
orang
tersebut
meninggal
dunia.
Wirjono
Prododikoro
menyebutkan pengertian warisan sebagai alasan apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang yang waktu meniggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Dalam lain perkataan, hukum waris dapat dirumuskan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang ditunjuk.5 4 5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.7.
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007), hal. 47.
17
Sebagaimana yang di kutip Oleh Sudarsono tentang definisi hukum waris yag didefinisikan oleh Ali Affandi, bahwa hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.6 B. Dasar Hukum dan Sumber Hukum Kewarisan 1. Dasar Hukum Kewarisan dalam Fikih Dasar dan sumber utama dari hukum Islam (fikih), sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi, ayatayat al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan dan juga ijtihad para ulama. Berikut ini adalah beberapa dasar hukum:7 a. Al-Qur'an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris, seperti yang tercamtum dalam Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lainnya.8 Q.S. An-Nisa' ayat 7 adalah sebagai berikut:
6
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 11-12.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal.7.
8
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, hal. 15.
18
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan ( Q.S. An-Nisa' ayat 7). Q.S. An-Nisa' ayat 11 adalah sebagai berikut:
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." Q.S. An-Nisa' ayat 176 adalah sebagai berikut:
19
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." Ayat-ayat diatas adalah ayat yang menjelaskan langsung tentang kewarisan dan masih ada banyak lagi ayat-ayat yang berkenaan dengan kewarisan yang dijadikan sebagai sumber dan juga dasar hukum kewarisan. b. Hadis, yaitu hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum waris. Hadis Nabi yang mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut: Hadis Dari Muhammad Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
ﻓَﻤَﺎ, ﺾ ﺑِﺄَ ْھﻠِﮭَﺎ َ َأﻟْﺤِﻘُﻮا َاﻟْ َﻔﺮَا ِﺋ: َﻋَﻦِْ اِﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎسٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻋَﻦِ اَﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠّﻰَ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠًﻢَ ﻗَﺎ ل 9
9
(ﻞ ذَﻛَﺮ )رَوَا ُه َاﻟْﺒُﺨَﺎ ِريﱡ ٍﺟ ُ َﻲ ﻓَﮭُ َﻮ ِﻟﺄَ ْوﻟَﻰ ر َ ِﺑَﻘ
Al-bukhori, Shahih Bukhari, (Kairo: Daar wa Mathba Asy-Sya'biy, T.t), juz. IV, hal. 181.
20
"Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin hussein menurut riwayat Imam Abu Daud:
ﻋَﻦْ ﻋِﻤْﺮَانَ ﺑْﻦ ﺣُﺴَﯿْﻦِ أَنﱠ رَﺟُﻞَ أﺗَﻰ اﻟﻨَﺒِﻲﱠ ﺻَﻠّﻰَ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَﻘَﺎ لَ أَنﱠ اِﺑْﻦَ ِا ﺑْﻦُِ ِا ﺑْﻨَﺘِﻰْ ﻣﺎَ تَ ﻓَﻤَﺎ 10
( ﻟِﻰْ ﻣِﻦْ ﻣِﯿْﺮَاﺛِﮫِ ﻓَﻘَﺎ لَ ﻟَﻚَ اﻟﺴﱞﺪُ سِ )رواه أﺑﻮ داو
"Dari 'Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatang nabi Saw. Sambil berkata: "bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang dapat dari harta warisannya". Nabi Berkata: "kamu mendapat seperenam". Hadis Nabi Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi:
,َﺴﻠِ ُﻢ َاﻟْﻜَﺎ ِﻓﺮ ْ ث َاﻟْ ُﻤ ُ ﻋَﻦْ ُا ﺳَﺎﻣَﺔَ ﺑْﻦِ زَﯾْﺪٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ َا نﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠّﻰَ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ َوﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎلَ ) ﻟَﺎ َﯾ ِﺮ 11
.(ْﺴﻠِﻢَ )رُوَاهُ اﻟﺘﱡﺮﻣِﺬِي ْ ث َاﻟْﻜَﺎ ِﻓ ُﺮ َاﻟْ ُﻤ ُ َوﻟَﺎ َﯾ ِﺮ
"Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw, bersabda: Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim". Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah juga menjelaskan tentang kewarisan yaitu: 12
( اَ ﻟْﻘَﺎ ﺗِﻞٌ ﻻ َﯾَﺮِ ثٌ )رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ:َﻰ ھُﺮَ ْﯾ َﺮ َة ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﻰﱠ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢْ ﻗَﺎل ْ ِﻋَﻦْ اَ ﺑ 10
Abu Daud, Sunanu Abi Dawud, Juz II, (Kairo: Mustafa Al-Babiy, 152), hal.109.
11
Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami'u Ash-Shahih, Juz IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy, 1938),
12
Ibnu Majah,Juz II, (Kairo: Mustafa Al-babiy, t.t) hal. 10.
hal. 432.
21
"Dari Abu Hurairah dar Nabi Muhammad Saw. Bersabda: "orang yang membunuh tidak bisa menjadi ahli waris ". c.
Ijtihad Para Ulama Meskipun Al-Quran dan al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad. Yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur'an maupun alHadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waris), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suamin atau istri dan sebagainya.13 2.
Dasar Hukum Kewarisan Perdata M. Idris Mulyo Menjelaskan dalam bukunya Perbandingan Hukum
Kewarisann Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri bahwa dasar hukum dan sumber kewarisan Perdata adalah Kitab Undang-Undang Hukum perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang mewaris di-identikka dengan hak kebendaan, sedangka ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke-II KUH Perdata (tentang kebendaan).14
13
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahud, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 22. 14
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Huku Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisa Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1992), 74.
22
Berdasarkan pasal 528 BW, hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan pasal 584 menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam BW, penempatannya dimasukkan dalam Buku II BW tentang kebendaan (Pasal 830 s/d 1130).15 Dapat penulis simpulkan bahwa sumber hukum waris perdata adalah BW (Burgerlijk Wetboek) terdapat dalam pasal 528 BW yang dijadikan dasar hukum C.
Sistem Kekeluargaan Dalam Hukum Waris Menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh A-Yasa Abu Bakar bahwa sistem
kewarisan tidak terlepas dari bentuk kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan berpangkal pada sistem (prinsip keturunan yang pada gilirannya dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan).16 Pada pokoknya ada tiga macam sistem keturunan dalam sistem kekeluargaan yang berkaitan dengan hokum waris, yaitu: a.
Sistem Kekeluargaan Patrilineal, Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan wanita di dalam pewarisan. Jadi, dalam sistem kekeluargaan patrineal garis ketrurunan ditarik dari garis bapak. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan patrilinial adalah (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).17 15
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal.51.
16
Al Yasa AbuBakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), hal.16. 17
Absar Surwansyah وSuatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat Bangko Jambi, (Tesis S2 Program Studi Kenotariatan PascaSarjana Universitas Diponegoro, 2005), hal. 9.
23
b.
Sistem Kekeluargaan Matrilineal Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan pria di dalam pewarisan. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan matrineal adalah Minangkabau, Enggano Timor. 18
c.
Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral19 Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan parental atau bilateral adalah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.
D.
Hukum Adat Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Pendapat lain yang menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta a (berarti bukan) dan dato (yang artinya "sifat kebendaan)". Dengan demikian , maka adat sebenarnya berarti sifat immateril: artinya adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.20 Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,menjelaskan dalam tesisnya yang berjudul Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, berkenaan tentang hukum
18
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Jakarta: LKiS, 2005), hal. 82. 19
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris,
20
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hal. 70.
hal. 82.
24
adat, bahwa hukum adat Hukum adat mengatur tentang hukum perkawinan adat, hukum waris adat, dan hukum perjanjian adat.21 Para pakar akademisi mendefinisikan hukum adat dengan berbeda, berikut adalah beberapa pengertain/definisi dari para kara akademisi: Menurut C. Van Vollenhoven, Hukum adat adalah aturan-aturan hukum yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan "hukum") dan di lain pihak di kodifikasi (maka dikatakan “adat”).22 Menurut Ridwan Halim, Hukum adat adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang berbhineka tunggal ika, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.23
Soerjono Soekanto mendefinisikan hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya, sebagian bagian kelengkapannya.
Adat
21
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, Tesis: Undip Semarang, 2005, hal. 10. 22
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
hal.5. 23
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal 9.
25
selengakapnya ialah seluruh kebudayaan yang berkaidah sebagaimana tumbuh dan dikenal dalam masyarakat hukum adat.24 Menurut B. Ter Harr Bzn mendefinisikan hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa (dengan tanpa termasuk surat-surat perintah raja-raja, kepala adat dan sebagainya) dari para fungsionalis hukum (misalnya hakim adat, kepala ada, kepala desa, dan sebagainya), yang langsung berdasarkan pada ikatan-ikatan struktural dalam masyarakat daan ikatan-ikatan lainnya dalam hubungannya antara satu sama lain dan dalam ketentuan yang timbal balik. 25 Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan atas dasar alam pikiran masyarakat Indonesia yang sudah jelas berbeda dengan alam pikiran masyarakat lain (hukum Barat). Jadi, hukum adat yang dipakai oleh masyarakat Indonesia berasal dari kebiasan masyarakat Indonesia. 26 Untuk lebih memahami tentang hukum adat, berikut ini adalah beberapa karakter/corak dari hukum adat, yaitu:
24
Soerjono Soekanto,Kedudukan dan peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Kurnia Esa, 1982), hal. 30. 25 26
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, hal. 10.
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, hal. 12.
26
- Keagamaan (Religius Magis) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur atau perpaduan kata yang mengandung unsure beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animism, pantangan, ilmu ghaib dan lain-lainnya. 27 - Kebersamaan, mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, Manusia menurut hukum merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat dan memperhatikan kepentingan sesama anggota keluarga, kerabat dan tetangga atas dasar tolong menolong, serta saling membantu satu sama lain.28 - Serba konkret dan serba jelas, artinya hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak tersembunyi atau samar-samar, antara kata-kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata.29 -
Visual maksudnya, pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan (mengadaklan) perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); Misalnya adanya pemberian "uang muka atau uang panjer" dalam hubungan hukum jual beli.30
- Tidak dikodifikasi, artinya tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab undangundang menurut sistem hukum tertentu. 31 - Bersifat tradisional, artinya bersifat turun temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan dan dihormati.
27
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, hal. 35.
28
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 23.
29
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, hal 23.
30
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, hal. 35.
31
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, 1994), hal 23.
27
- Dapat berubah, biasanya perubahan tersebut terjadi karena adanya perkembangan zaman, perubahan keadaan tempat dan waktu. - Mampu menyesuaikan diri dalam keadaan-keadaan yang baru. - Terbuka dan sederhana, artinya dapat menerima unsur-unsur yang datang dari luar sepanjang unsur-unsur asing itu tidak bertentangan dengan pandangan hidup kita dan ia bermanfaat bagi kehidupan masyarakat serta tidak sukar untuk menerima dan melaksanakannya. Namun jika unsur-unsur dari luar tersebut tidak sesuai dengan pikiran masyarakat, akan dapat ditolak oleh masyarakat tersebut.32
E.
Hukum waris Adat Menurut Hilman Hadikusuma definisi dari hukum adat adalah sebagian dari ilmu
pengetahuan tentang hukum adat yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan. Sebagai ilmu pengetahuan ia mememrlukan penguraian yang sistematis, yang tersusun bertautan antara yang satu dan yang lain sebagai kesatuan. Ilmu pengetahuan menuntut adanya kebenaran yang objektif, walaupun sesungguhnya kebenaran dalam ilmu sosial itu dipengaruhi oleh perkembangan keadaan.33
Menurut Ter Haar dan dikutip oleh Torop Eriyanto Sabar Nainggolan mendefinisikan Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan atau hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang
32
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 23.
33
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, hal 14.
28
berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi berikutnya sebagai kelanjutan dari peralihan harta yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. 34 Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan perihal/perpindahan hartakekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut: a.
Hak Purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
b.
Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris;
c.
Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.
d.
Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
e.
Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu: penyelenggaraan pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya. 35 Asas-asas hukum waris adat adalah: 34
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, hal.22. 35
Imam Sudiyat, Hukum Adat sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), cet. II, Hal. 1515.
29
1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri. 2. Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak. 3. Asas kerukunan dan kekeluargaan. 4. Asas musyawarah dan mufakat. 5. Asas keadilan dan parimirma. 36 Jadi, asas ini banyak dipakai oleh hukum waris hukum adat adalah asas yang tercantum di atas. Karena hukum waris adat lebih mengutamakan kebersamaan dan juga kekeluaargaan.
F. Kesetaraan dalam Hukum Waris Kesetaraan dalam hukum waris berkaitan dengan masalah jender yaitu berkaitan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Arskal Salim Dkk dalam Bukunya Demi Keadilan dan Kesetaraan bahwa persoalan keadilan jender dalam masalah Kewarisan Islam selalu menjadi Isu kontroversial. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang sudah diterima tanpa mempertanyakan lagi (taken for granted) bahwa hak waris anak perempuan setengah dari hak waris anak laki-laki. Karenanya, setiap upaya penerapan hukun yang berbeda dari doktrin ini secara
36
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, hal.22.
30
normatif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.37 Namun upaya untuk menafsirkan ketentuan itu tak henti-hentinya dilakukan sepertui oleh pemikir dan ulama kontemporer. Semuanya mencari solusi bagaimana rasa keadilan dapat diterapkan. Dan, jika rasa keadilan dapat tidak dapat terpenuhi, tak mengherankan bila masyarakat pergi ke pengadilan untuk meminta penetapan atau putusan yang adil. Fikih Indonesia sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menawarkan konsep keadilan kedudukan antara anak lakilaki dan anak perempuan. Keinginan itu tidak lantas terjelma dalam kesetaraan porsi yang harus diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan dalam warisan, tetapi dapat terlihat pada kesamaan kedudukan dalam menghalangi pihak lain untuk menerima warisan dari orang tua mereka. Meski tidakmengakomodasi ketentuan satu banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan, KHI menetapkan bahwa anak, tanpa menyebutkan jenis kelaminnya, dapat menghalangi saudara pewaris untuk memperoleh warisan. Ketentuan kesetaraan kedudukan anak lelaki dan perempuan ini dipahami dari aturan KHI yang menetapkan bahwa saudara pewaris baru berhak menerima warisan manakala pewaris tidak mempunyai anak. Aturan ini memberikan pemahaman bahwa jika ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris dikeludikeluarkan dari lingkaran kelompok yang berhak atas warisan. Ketentuan ini merupakan salah satu upaya KHI untuk menempatkan kesetaraan posisi 37
Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSHUKHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Asia Foundation, 2009).hal. 79-80.
31
perempuan dengan laki-laki. Sangatlah menarik bahwa secara normatif para hakim di tiga daerah ini selalu berpegang pada ketentuan yang digariskan Al Qur’an dan penafsiran para ulama klasik yang tak beranjak jauh dari ketentuan Al Qur’an, yaitu 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Namun di tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya parsial yang bertujuan menerapkan hukum waris secara kontekstual.38 Hazairin berbeda pendapat tentang pembagian harta waris. Menurut Hazairin bahwa pembagian waris dengan secara bilateral mengarah kepada persoalan bilateral sebagai pengganti patrinial di mana keutamaan garis keturunan adalah ibu-bapak tanpa menggugat perbandingan bagian-bagian antara laki-laki da waita 2:1, maka Munawir Sjadali menfokuskan perhatiannya kepada konsep "egalitarianisme" sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengaan ditandainya bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita. Dengan kata Hazairin menggugat pola penafsiran teksteks suci selama ini terhadap patrinial melewati konteks kesejarahannya, maka Munawir Syadjali menggugat konsep keadilan lama ketika berhadapan dengan konsekuensi baru zaman dalam kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda.39 Munawir Syadzali yaitu pembagian harta waris secara bagi rata bukan parental. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi
38
Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, hal. 80. 39
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), Cet. I, hal 6.
32
(bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. 40
Munawir Syadjali dalam bukunya yang berjudul Ijtihad Kemanusiaan dikemukakan bahwa dalam pembagian harta waris para tokoh agama atau pakar hukum waris cenderung untuk
tidak mau dikatakan melanggar faraidh. Mereka
mencari jalan keluar dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak mereka dengan bagi sama besar antara anak laki-laki dan perempuan semasa mereka masih hidup sebagai hibah. Sementara itu, mereka melupakan implikasinya yang cukup gawat bahwa dengan menempuh cara tersebut secara tidak langsung mereka mengakui bahwa hukum waris Islam tidak sesuai lagi dengan keadilan, jika diterapkan pada masyarakat kita sekarang. Tegasnya, menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam.41 Kalau penafsiran Al-Qur'an itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Mislanya memahami surah al-Nisa' ayat 176, yang menyatakan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat an-nahl ayat 90 yang berbunyi: " Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,…". Tegasnya, kita diharapkan agar memanfaatkan akal dan nalar kita untuk menilai apakah suatu
40
Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988), Hal. 1-11. 41
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 62.
33
ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.42
42
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, hal. 26-27.
BAB III POTRET MASYARAKAT BAWEAN A. Geografi Pulau Bawean Jika kita melihat peta Propinsi wilayah Jawa Timur, maka nampak jelas beberapa pulau kecil yang ada di sekitar wilayah ini. Seperti diantaranya: Pulau Madura, Pulau Sapudi, Pulau Nusaburung, Pulau Raas, dan Pulau Bawean sendiri. Disamping masih terdapat pulau-pulau kecil lainnya yang masih belum berpenghuni.1 Secara politis dan administratif, Pulau Bawean termasuk dalam wilayah kerja Pemerintah Kabupaten Gresik dan merupakan salah satu wilayah kerja
paling
terpencil, yang terletak di tengah lautan antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.2 Luas Pulau Bawean adalah 196, 27 Km2, sedangkan secara geografis Pulau Bawean terletak antara: 112 0 32’ – 112 0 44’ Bujur Timur 5 0 43’ – 5 0 5’ Lintang Selatan tinggi tempat antara 0 – 646 m di atas permukaan laut, Sebelah barat berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa.3 Dengan letak geografis yang seperti itu, Pulau Bawean mempunyai peran penting dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dari Timur sampai Barat yang
1
Jacob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore) (Jakarta: INIS, 1990), hal. 13. 2
J acob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore),
hal. 13. 3
Jacob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore),
hal. 13.
33
34
sejak dahulu sudah merupakan alur laut internasional. Sedangkan dari sudut wilayah udara, Pulau Bawean juga merupakan jalur lalulintas udara yang banyak dilalui berbagai penerbangan, baik domestik atau Internasional.4 Pulau Bawean mempunyai luas wilayah 196, 27 Km2, terdiri dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. 1. Wilayah Kecamatan Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu: Sawah Mulyo, Kota Kusuma, Sungai Rujing, Gunung Teguh, Patar Selamat, Daun, Balik Terus, Sidogendung Batu, Kebun Teluk Dalam, Sungai Teluk, Bulu Lanjang, Lebak, Pudakit, Komalasa, Suwari, dan Dekat Agung. 2. Wilayah Kecamatan Tambak terdiri dari 13 desa, yaitu: Tambak, Pekalongan, Sukalela, Sukaoneng, Kelompang Gubug, Gelam, Teluk Jati Dawang, Tanjung Ori, Paromaan, Gerejek, Diponggo, Kepuh Teluk, dan Kepuh Legundi.5 Pulau Bawean terbentuk dari sisa-sisa gunung berapi tua, sekitar 85% terdiri atas lapisan sidemen (batuan tua) yang diantaranya batu kapur, lapisan pasir, tanah liat dan batu alam. Juga ada beberapa buah gunung seperti: Gunung Raje, Gunung Nangka, Gunung Lumut, Gunung Totoghi dan Gunung Tingghi (menangis) yang tertingginya 655 m. Bentangan pegunungan ini berada di tengah-tengah Pulau Bawean dengan keterjalan lereng antara 5 hingga 75 m.
4
Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean, (Surabaya: FP3B, 2003), hal. 3.
5
Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean, hal. 3.
35
Di tahun 1934, areal pegunungan yang banyak ditumbuhi
pepohonan,
ditebang dan diganti dengan pohon jati. Hal ini kembali terjadi pada tahun 1960-an. Hanya di sekitar puncak gunung dan areal tanah yang sangat terjal yang bebas dari penanaman pohon jati.6 Berdasarkan hasil pemetaan penghunian tanah Kecamatan di wilayah Pulau Bawean, secara keseluruhan jenis penggunaan tanah berikut luas masing-masing adalah: TABEL I PEMBAGIAN PENGHUNIAN TANAH BAWEAN7 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Penghunian Tanah Kampung/perumahan Sawah Ladang/tegal Kebun campuran Perkebunan Hutan Tambak/kolam ikan Danau/rawah
Jumlah
Luas/Ha 2.492 3.152 73 35 7.585 4.557 755 75 955.786
Menurut Dr. Gono Semiadi dari Puslitbang LIPI Bogor dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa; Hutan Bawean terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: hutan primer, hutan sekunder dan hutan jati. Sedangkan hutan jati dapat
6
Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean (Surabaya: FP3B, 2003), hal. 3.
7
Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean (Surabaya: FP3B, 2003), hal. 3.
36
dibagi dua kelompok yaitu hutan jati yang bersemak sebagai akibat adanya penebangan serta hutan jati terbuka, dimana dasar hutan tidak tertutup oleh apapun kecuali pohon jati. Lebih lanjut dikatakan juga, dengan keadaan demikaian Pulau Bawean termasuk dalam katagori beriklim kering tipe C. 8 Keadaan
suhu hampir merata sepanjang masa, tanpa adanya fluktuasi
(perubahan) yang terlalu tinggi dengan rata-rata suhu maksimum 320 C dan suhu minimum 220 C. Curah hujan tertinggi antara bulan Januari hingga bulan Maret yang disertai dengan angin kencang dan baru berakhir pada bulan April. Pulau Bawean yang mempunyai luas 196,27 km, masih dikelilingi oleh pulau-pulau kecil antara lain: Pulau Manukan, pulau Gili, Pulau Noko, Pulau Selayar, Pulau Cina, Pulau Nosa dan Pulau Karang Bile. Namun dari keberadaan pulau-pulau kecil ini, mayoritas tidak berpenghuni. Sisanya ditumbuhi hutan dan hamparan pasir putih yang luas. 9 Menurut laporan penelitian Sally Suhonggo dari Universitas Kristen Petra Surabaya yang pernah mengadakan penelitian wisata di Pulau Bawean, bahwa secara topografi (pemetaan), 12,32%. Pulau Bawean merupakan daerah pantai dan luas areal yang berbentuk perbukitan, memiliki bukit sebanyak 99 buah dengan ketinggian mencapai 500 m di atas permukaan laut. Disebutkan pula bahwa kondisi topografi Pulau Bawean mempunyai tingkat kemiringan yang beraneka ragam antara 0 - 40%. Adapun sebagian besar wilayahnya berada di pesisir pantai sebelah utara Kecamatan
8
Gono Semiadi, Sifat Biologi Rusa Bawean dan Pengembangan Model Pembudidayaannya Untuk Tujuan Konservasi Satwa Langka Endemik (Bogor: LIPI, 1999) hal. 13. 9
Gono Semiadi, Sifat Biologi, hal. 14.
37
Tambak. Kemiringan 0-8% berada dibagian selatan Kecamatan Sangkapura, sedangkan 40% merupakan gugusan gunung yang terdapat dibagian tengah Pulau Bawean. 10 Dengan
kondisi alam yang seperti itu, yakni dengan bebukitan, timbul
konsekuensi logis pengembangan, baik secara fisik maupun sumberdaya manusianya. Drs. Soenarto, kepala dinas P dan K Kabupaten Gresik pernah mengatakan bahwa “kondisi alam Pulau Bawean
yang berbukit bukit, telah membuat berbagai
permasalahan dalam proses belajar mengajar”. Bahkan, berangkat ke sekolah saja, kadang masih timbul kesulitan, yakni tempat yang jauh dan jalan yang susah di lewati, sehingga para guru yang bertugas, banyak yang mengeluh lantaran kondisi alam yang demikian. 11 Untuk memaksimalkan pembangunan ini, sebetulnya pemerintah telah mengalirkan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Pembangunan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di Sangkapura, misalnya, telah menelan biaya milyaran rupiah; begitu juga dengan pembangunan jalan lingkar keliling Pulau Bawean dan obyekobyek wisata.12 Dalam rangka menyambut diterapkannya Undang-Undang Otonomi Daerah 2001, Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, mulai memberdayakan potensi yang ada 10
Sally Suhonggo dkk. Obyek-Obyek Wisata Bahari di Bawean Potensi dan Pengembangannya (Surabaya Universitas Kristen Petra 1995), hal. 6. 11
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pulau Bawean Gresik Jawa Timur Tahun 2002-2003), (Jakarta: Tesis Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), Hal. 26. 12
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 26.
38
di daerah, baik sektor industri, maritim, perdagangan, terutama pariwisata yang di nilai cukup dan mampu menarik wisatawan dan mempunyai prospek yang cerah.13 B. Sejarah Singkat Bawean Nama asal dari Pulau Bawean adalah Pulau Majedi. K.H.R. Abdurrahman Badruddin di dalam bukunya “Sekilas Lintas Pulau Bawean”, menyebutkan bahwa nama Bawean berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari kata: Ba - We – An. Ba: berarti sinar, We berarti matahari, dan An berarti ada. Secara keseluruhan Bawean mengandung arti: “ada sinar matahari”. 14 Nama Bawean mulai digunakan pada tahun 1350 M, ketika ada beberapa pendatang dari pantai utara pulau Jawa ke pulau ini. Sedangkan orang-orang asing atau para turis menyebutnya dengan istilah Pulau Boyan. Begitu juga putra putri keturunan Bawean yang dilahirkan dan dibesarkan di Malaysia, Singapura, ataupun di Australia, istilah Boyan lebih akrab bagi mereka, sehingga lahirlah apa yang disebut suku Boyaness di Singapura.15 Namun, media-media massa di Indonesia memberi julukan pulau ini dengan Pulau Putri atau Pulau Perempuan. Julukan ini diberikan karena jumlah mayoritas penghuni yang tinggal menetap di Bawean rata-rata adalah kaum perempuan. Pendapat lain diungkapkan oleh Immanuel Subangun, seorang wartawan Kompas,
13
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 26.
14
Abdurrahman Badruddin, Sekilas Lintas Pulau Bawean (Bawean: YAPI Umma, 1985), hal.
7. 15
Zulfa Usman, Kisah Kisah Pulau Putri (Next Generation Fundatiaon, Perwakialan Bawean: 1992), hal. 12.
39
pada tahun 1976, menyebut Pulau Bawean sebagai “Pulau Kelahiran dan Kematian”. Sebutan ini merupakan sindiran bagi orang Bawean, bahwa mereka menempati Bawean ketika mereka dilahirkan, dan selebihnya mereka datang kembali ketika mereka akan menghabisi masa tuanya, menjelang kematian mereka. 16 C. Demografi Masyarakat Bawean 1. Jumlah Penduduk Menurut hasil sensus penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk Pulau Bawean mencapai 70.242 jiwa yang tersebar di Kecamatan Tambak sebanyak 24.488 jiwa dan di Kecamatan Sangkapura 45.754 jiwa.17 Penduduk Bawean semuanya berkewarga negaraan Indonesia (WNI) dan tidak ada warga asing (WNA). Kecamatan sangkapura:
laki-laki : 21.791 perempuan: 23.963 laki-laki
danperempuan: 45.754 sex ratio: 90,94 dan kecamatan Tambak : laki-laki: 11.393, perempuan: 13.095 laki-laki dan perempuan : 24.488 sex rasio: 87,00. Wilayah Bawean hampir sama dengan wilayah eks pembantu bupati Sidayu, dua kecamatan di wilayah Bawean yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak juga memiliki laju pertumbuhan
penduduk dibawah 1 persen, yaitu masing 0,69 persen dan 0,59
persen. 18
16
Zulfa Usman, Kisah Kisah Pulau Putri, hal. 12.
17
http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jatim/3525.pdf , artikeldi akses pada tanggal 1 April
18
http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jatim/3525.pdf , artikeldi akses pada tanggal 1 April
2011. 2011.
40
2. Pendidikan Masyarakat Bawean Masyarakat Pulau Bawean mempunyai gairah yang tinggi dalam persoalan pendidikan. In iditunjukkan dengan maraknya lembaga pendidikan, dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Selain sekolah formal juga terdapat pesantren di hampir semua desa di Bawean. Secara lengkap kondisi pendidikan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :19 Jumlah Sekolah di Pulau Bawean 67
70 60
47
50 40
36
36
Jumlah 30 20
14 6
MA
SMU
4
MTs
Pesantren
MI
SD
0
TK
10
SLTP
6
Jenis dan Tingkatan Sekolah
Selain pelajar yang belajar di Pulau Bawean, mereka yang hidup dalam ekonomi kuat banyak yang melanjutkan pendidikannya di tanah Jawa, baik di pesantren maupun di sekolah-sekolah formal. Sebut saja, Sidogiri, Tebuireng, Nurul Jadid, Nurjo, Darul Lughah wadda’wah, Tambak Beras, dan Langitan merupakan pesantren yang banyak diminati santri Bawean, begitu juga dengan sekolah-sekolah formal terutama tingkat SLTA juga menjadi incaran pelajar Bawean. Walaupun di
19
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita, (Jakarta: Pustaka Lazuardi, 2005), hal. 22.
41
Bawean tidak banyak Perguruan Tinggi, bukan berarti bahwa di Bawean miskin sarjana, justru banyak sekali sarjana di Pulau Bawean. Mereka menjadi mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi terkenal di tanah air baik di negeri maupun swasta, baik Peguruan tinggi umum maupun agama. Sebut saja IAIN Sunan Ampel Surabaya, STAIN Malang, UIN Jakarta, IPB, UNPAD, UNAIR, UNIBRAW, UNTAG, UBAYA, UNITOMO, UNM, UMM, IIQ, PTIQ, bahkan tidak sedikit juga yang melanjutkan pendidikannya ke luar negeri seperti Malaysia, Irak, Australia, Amerika dan lain sebagainya.20 3. Perekonomian Masyarakat Bawean Perekonomian Pulau Bawean terkonsentrasi pada bidang sektor pertanian tanaman pangan, perikanan, perkebunan dan home Industri. Produksi yang cukup potensial dalam bidang pertanian adalah: Padi, Ubi Jalar, Ubi Kayu, Kacang Tanah, Jagung dan sukun. Sukun Pulau Bawean juga terkenal karena kualitas dan dagingnya. Sedangkan dalam bidang perikanan, secara geografis sangat berpotensi sebagai penghasil ikan laut yang banyak, terutama di Pulau Gili. Ikan yang banyak didapatkan di daerah ini adalah tongkol (tuna), kerapu, layang dan benggol yang biasa dijadikan ikan pindang.21 Peternakan yang ada di Bawean adalah sapi, kerbau, kambing, dan kuda. Dulu, sapi Bawean sampai dikirim ke beberapa tempat di Indonesia, seperti Tanjung
20
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita,
21
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 30.
hal.23.
42
Pinang, Bangka dan lainnya, tetapi belakangan ini pengiriman sapi tersebut tidak terjadi lagi, sebab semakin sedikit orang yang memelihara ternak, kebanyakan generasi muda lebih sendang merantau dibandingkan harus beternak di Bawean.22 Budi daya lain yang saat ini juga sedang dikembangkan adalah: Kayu Jati Mas, rumput laut yang bisa dijumpai di desa Dusun Dedawang Desa Teluk Jati Dawang yang kemudian di eksport ke Surabaya.23 Industri kecil yang ada berupa anyaman tikar pandan dan industri batu onik. Anyaman tikar Bawean, pada dasarnya mempunyai warna dan motif yang bagus, tetapi bentuk-bentuknya masih sangat sederhana, yakni hanya berupa tikar dan sajadah, belum mampu membuat bentuk-bentuk unik lainnya. Pengelolaannyapun juga dilakukan secara individual dan hanya dijadikan kerja sampingan, sehingga hasilnya juga sangat kecil. Kalaupun mau dikelola secara khusus dalam jumlah yang banyak, bahan mentahnya yang berupa pandan juga belum dikembangkan secara baik, sehingga boleh jadi akan kehabisan bahan mentah. Sampai saaat ini, kerajinan anyaman tikar tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua, sedangkan generasi mudanya sudah berminat untuk mempelajari teknik anyaman tersebut. Barangkali kalau tidak segera mendaptkan perhatian secara serius dalam waktu-waktu ke depan akan punah.24
22
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita,
hal.23-24.
hal.25.
23
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 31.
24
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita,
43
Di samping hal di atas, sebagian besar perekonomian penduduk masih ditunjang dari penerimaan hasil kerja para perantau di luar negeri, seperti; Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan Perkapalan (para pekerja di kapal asing).Pulau Bawean sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, di antaranya potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar. Lahan pertanian yang subur adalah potensi alam tersendiri, yang jika dimanfaatkan secara maksimal sangat menunjang perekonomian masyarakat.25 Bila mau jujur ada potensi yang patut untuk dikembangkan di Bawean bila dikelola dengan profesional, yaitu wisata. Di Bawean banyak terdapat tempat-tempat wisata yang unik yang tidak kalah dengan yang ada di Jawa maupun Bali, baik berupa wisata bahari, wisata alam dan wisata relegi. Tempat wisata bahari misalnya ada banyak pantai dan pulau-pulau kecil yang sangat indah seperti pantai Bayangkari, Pasir Putih, Pulau Cina, Pulau Noko, Tajung Gaang, Pantai Ria dan pulau Gili baik Gili Barat maupun Gili Timur, dan bisa dibikin hotel terapung. Tempat wisata alam seperti telaga Kastoba, air terjun laccar dan Kuduk-kuduk. Sedangkan tempat wisata relegi antara lain kuburan Waliyah Zainab, Kuburan Maulana Umar Mas’ud, Kuburan Sunan Bonang (jujuk Tampo), dan kuburan jujuk Champa, dan budayabudaya agama masyarakat Bawean, seperi tari Samman, Mandiling, serta Upacara
25
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 31.
44
peringatan maulid Nabi Saw (dalam bahasa yang Bawean di kenal dengan Molod) dan juga masih banyak pula budaya-budaya Bawean lainnya.26 Pengembangan parawisa tersebut satu sisi memang menguntungkan, tapi pada sisi lain akan banyak membawa dampak-dampak negatif dari budaya pengunjung. Apabila masyarakata Bawean siap dengan berbagai dampaknya, maka pembukaan Bawean sebagai pulau pariwisata bisa menjadi pilihan yang tepat dalam menghidupkan perekonomian di Bawean, sebab gairah dari sektor pariwisata akan merembet kepada sektor-sektor lainnya.Untuk pelihat perekonomian di Bawean, dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk. Secara lebih rinci mata pencaharian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel : 27 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 14000
13207
12000 9719
8000
6899
6000 3790
Nelayan
Pengrajin
450
250
Perikanan Darat
575
350
Peternak
Swasta
Wirausaha
1073
38
Petani
825
TNI-POLRI
0
PNS
2000
Jasa
4000
Pedagang
Jumlah
10000
Jenis Mata Pencaharian
26
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita,
27
Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita,
hal.26. hal.27.
45
4. Agama Masyarakat Bawean Penduduk Pulau Bawean seluruhnya memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat agama ini sejak awal terbentuknya masyarakat Bawean. Penyebar Islam pertama kali di Pulau Bawean adalah Syekh Maulana Umar Mas’ud pada tahun 1601.28 Penghayatan agama Islam bagi masyarakat sangat kuat sekali. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sarana ibadah yang sangat besar, yakni di setiap desa terdapat lebih dari satu Masdjid, Mushala dan langgar.29 5. Bahasa dan Sosial Budaya Masyarakat Bawean. Bahasa masyarakat Pulau Bawean sangat dekat dengan Bahasa Madura. Boleh jadi, Bahasa Bawean ini merupakan rumpun Bahasa Madura Perbedaannya terletak pada lahjah (intonasi) dan sejumlah kata-katanya. Di desa Ponggo Kecamatan Tambak, penduduknya menggunakan bahasa Jawa dengan lajnah Bawean. Bahasa Bawean di ajarkan pada Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah dalam mata pelajaran Bahasa Daerah.30 M.
Natsir
Abrari
sebagai
Budayawan
Bawean
mengatakan,
bila
mendengarkan sekilas bahasa Bawean seperti mirip dengan bahasa Madura, padahal kalau kita teliti terasa sekali ketidaksamaaan dan perbedaannya.Menurutnya, perbedaan bahasa Bawean dengan bahasa Madura yang amat terasa adalah dari segi 28
Zulfa Usman, Kisah, hal. 18.
29
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 34.
30
Zulfa Usman, Kisah, hal. 18.
46
pengucapan, pelafalan dan intonasi."Belajar bahasa Bawean perlu juga kepekaan pendengaran dan cara pelafalan. Kata deun yang berarti daun, dan kata Dheun yang berarti desa Daun. Atau kata beje yang berarti waktu, bheje yang berarti buaya dan bejhe yang berarti baja,"katanya.31 Secara sosologis, penduduk Bawean adalah pembauran dari beberapa suku, yang berasal dari; Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Pelembang dan Madura. Pembauran ini tidak hanya pada orang-orangnya saja, melainkan juga budaya dan bahasanya. Pengaruh Madura sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Bawean, terutama dari penggunaan bahasa sehari-hari. Ini karena penduduk umumnya adalah berasal dari Madura. Namun, akhirnya mereka membentuk budaya sendiri yang terpisah.Mereka pun enggan disebut sebagai orang Madura meski generasi sebelumnya berasal dari Madura. “Bawean, ya Bawean. Madura, ya Madura. Jadi orang Bawean bukan orang Madura”.32 Walau pengaruh Madura sangat kental, tapi ada beberapa kelompok lain yang sejak lama tinggal di Bawean. Mereka adalah penduduk Sulawesi dan nelayan Bugis yang selalu mencari ikan di sekitar pulau Bawean. Mereka ini rata-rata telah tinggal lama bahkan sudah menetap. Selain itu, ada juga pedagang yang berasal dari Palembang, yang dikenal oleh orang Bawean dengan sebutan penduduk Kemas. Menurut cerita beberapa tokoh masyarakat, dahulu penduduk Kemas adalah pengusaha-pengusaha kaya. Tapi, sekarang jumlahnya sedikit. Yang kaya justru 31
Artikel ini di akses dari Http:// www.bawean.net pada tanggal 21 Maret 2011.
32
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 35.
47
masyarakat Bawean sendiri yang bekerja di Malaysia dan Singapura.Karena sebagian besar kaum laki-lakinya merantau, penduduk yang tinggal Bawean lebih didominasi oleh kaum perempuan, sehingga, istilah lain untuk nama pulau Bawean disebut “Pulau Putri”.33 “Pulau Bawean, Pulau Putri, tidak merantau bisa jadi alasan cerai”. Itulah salah satu judul tulisan yang ditulis di harian KOMPAS. Bagi orang Bawean, kata "merantau’ memiliki arti tersendiri yang obsesif. Meski hanya pergi dalam beberapa waktu saja, misalnya beberapa tahun atau beberapa bulan, yang penting, sudah pernah merantau/ menginjakkan kakinya di negeri orang, entah ke-Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Australia ataupun ke negara Lainnya. Biasanya mereka lebih bangga, jika melakukan perantauan ke luar negeri. Apalagi dalam waktu yang cukup lama. Tampaknya, merantau telah jadi keharusan atau tuntutan tak langsung bagi penduduk Pulau Bawean. Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi merantau ini dilakukan oleh orang-orang Bawean.34 Menurut hasil sensus penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk Pulau Bawean mencapai 70.242 jiwa yang tersebar di Kecamatan Tambak sebanyak 24.488 jiwa dan di Kecamatan Sangkapura 45.754 jiwa.35 Namun diperkirakan jumlah warga Bawean yang ada diluar negeri ada sekitar 200.000 jiwa, melebihi yang tinggal di Pulau Bawean. Sementara itu menurut Jacob Vredenbergt dari Universitas Leiden, 33
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 36.
34
Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 26.
35
2011.
http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jatim/3525.pdf , artikeldi akses pada tanggal 1 April
48
pada tahun 1879, orang Bawean di Singapura sudah ada sekitar 763 jiwa. Tahun 1957 melonjak menjadi 22.167 jiwa. Sedangkan menurut PBS (Persatuan Bawean Singapura), warga Bawean yang ada di Singapura sekitar 70.000 jiwa. Selebihnya, juga dijelaskan bahwa tradisi merantau orang-orang Bawean ini di perkirakan terjadi pada abad ke-18 dan terus berlanjut sampai sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dibeberapa pedukuhan seperti: dusun Lebak, Gunung-Gunung, Tandel, Teluk Dalam, Diponggo, Tanjung Ori serta di pedukuhan lainnya, hampir disetiap rumah tangga mempunyai anggota keluarga yang ada diperantauan, seperti di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Batam, Riau. Tapi, yang paling banyak ada di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Ausrtalia, Brunai Darussalam dan Vietnam.36 Beberapa daerah bisa diungkapkan di sini. Untuk masyarakat Desa Diponggo, kebiasaan masyarakatnya cenderung merantau ke Jakarta; Desa Pudakit ke Solo, Tulungagung dan Malaysia; Desa Teluk Dalam ke Singapura; Desa Lebak, masyarakatnya banyak yang ke kepulauan Cristmas Autralia, Singapura dan Malaysia. Bahkan, di Singapura ada sebutan boyanese untuk orang Bawean yang tinggal di sana. Hal ini di sebabkan komunitas Bawean biasanya berkumpul di dalam satu daerah untuk memudahkan sosalisasi dan mengembangkan kebersamaan di perantauan atau di negeri orang.37
36
Jacob Vanderberg. Bawean... hal. 92.
37
Jacob Vanderberg. Bawean... hal. 92.
BAB IV PEMBAGIAN HARTA WARIS BERDASARKAN ADAT BAWEAN A. Cara Pembagian Harta Waris Berdasarkan Adat Bawean Dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean ada beberapa pembagian, tergantung daerah mana pembagian harta warisan. Dalam pembagian harta waris ada dua cara untuk membaginya yaitu pembagian waris dengan menggunakan hukum waris Islam dan pembagiann waris menggunakan hukum waris adat (urf) Bawean.1 1.
Pembagian waris berdasarkan Hukum waris Islam Di Pulau Bawean sebagian masyarakat tetap menggunakan hukum waris
Islam atau yang biasa disebut oleh masyarakat Bawean dengan sebutan hukum waris syariat. Sebelum dilakukan pembagian harta waris akan disepakati dulu dengan menggunakan hukum waris apa, hukum waris Islam atau hukum waris adat (secara mufakat/musyawarah). Setelah ada kesepakatan dalam pembagian waris, maka nanti akan dibagi sesuai dengan hasil kesepakatan ahli waris. Apabila menggunakan hukum waris Islam, maka akan digunakan hukum waris Islam sesuai dengan ketentuan AlQur'an dan Hadis, dan fikih.2
1
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 2
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
49
50
Dalam pembagian harta waris menggunakan hukum waris Islam, masyarakat Pulau Bawean mengenal suatu pepatah atau kaidah yang digunakan masyarakat Bawean yaitu "lalake nongtong Babine nyoon",3 artinya laki-laki mikul dan perempuan menjinjing. maksud dari kaidah tersebut adalah pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean bahwa perempuan mendapatkan satu bagian dan laki-laki mendapatkan dua bagian. Dalam pembagian dengan menggunakan cara ini, sesuai dengan ketentua hukum waris Islam. Semua responden yang penulis telah wawancarai sepakat bahwa pembagian harta waris secara syariat/fikih masih dilaksanakan di Pulau Bawean.4 2. Pembagian Secara Musyawarah/mufakat (Adat Bawean) Dalam pembagian harta waris dengan cara musyawarah mufakat didasarkan pada kesepakatan ahli waris untuk membagi secara bagi rata. Sistem yang dipakai adalah sistem kekeluargaan. Jadi, apabila semua ahli waris sepakat untuk dibagi menggunakan hukum waris adat Bawean maka bisa dibagikan secara langsung dengan formasi satu banding satu (1:1) yaitu satu bagian untuk perempuan dan satu bagian untuk laki-laki.5
3 4
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 5
26 Maret 2011.
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
51
Menurut pendapat K.H. R. Ahmad Buang Aziz dan K. Hazin Zainuddin bahwa sebelum adanya pembagian secara mufakat/musyawarah, harus dijelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam. Setelah dijelaskan tentang hukum waris Islam namun para ahli waris ingin membagikan secara hukum waris adat (secara mufakat/musyawarah), maka harta waris bisa dibagi dengan menggunakan dengan hukum waris adat.6 Menurut keterangan dari K.H. Bajuri Yusuf dan Abd. Kamil menjelaskan bahwa dalam pembagian urf ini dilaksanakan sebagaimana pembagian secara musyawarah/kesepakatan. Jadi, tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam namun langsung bermusyawarah untuk menentukan apakah akan menggunakan hukum waris Islam atau hukum waris adat. Apabila menggunakan hukum waris Islam, setelah adanya kesepakatan ahli waris harta warisannya bisa dibagi dengan bagi rata.7 Menurut K. Hazin Zainuddin pembagian harta waris dengan bagi rata merupakan kerelaan pihak laki-laki kepada perempuan. Jadi, bagi rata merupakan sedekah atau pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang seharusnya perempuan hanya mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.8
6
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
26 Maret 2011.
7
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
8
Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
52
B. Kedudukan Laki-Laki Dan Perempuan Dalam Pembagian Waris Adat Bawean Dalam pembagian harta waris waris berdasarkan adat Bawean bahwasanya kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masalah kewarisan menggunakan adat Bawean disamakan. Hal ini bisa dilakukan jika terjadi kesepakatan dengan menggunakan hukum adat. Untuk formasi pembagiannya adalah laki-laki dan perempuan bagiannya disamakan yaitu satu banding satu (1:1). Maksud dari formasi 1:1 yaitu satu bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Hal ini bisa dibagi secara rata apabila terjadi kesepakatan diantara ahli waris.9 Namun pembagian harta warisan tersebut tidak bisa dibagi apabila ada sengketa terhadap pembagiaan harta warisan tersebut. apabila ada sengketa terhadap pembagian harta waris, maka akan mengundang tokoh agama untuk diadakan kesepaakatan dalam pembagiannya, akan dibagi secara syariat atau dibagi secara kekeluargaan (bagi rata). Maka apabila sudah terjaadi kesepakatan maka akaan dibagi secara rata.10 Bahwa dalam pembagian hukum adat pembagian waris diselesaikan dengan kekeluargaan.
Jadi
kedudukan
antara
seorang
laki-laki
dan
perempuan
disamakan/setara. Menurut K.H. Hazin Zainuddin kesetaraan tersebut merupakan 9
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 10
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011.
53
pemberian dari pihak laki-laki pada pihak perempuan yang seharusnya tidak mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki.11 C. Proses Pembagian Harta Waris Berdasarkan Adat Bawean Sebelum adanya proses pembagian harta waris, maka yang harus diselesaikan adanya masalah pengurusan jenazah dan juga hutang dari orang yang meninggal. Sebelum pembagian harta waris, maka harus di bagikan tirkah pada yang berhak seperti kepada orang yang memandikan. Tidak semua orang yang memandikan mendapatkan bagian dari tirkah tersebut. orang yang mendapatkan harta tirkah tersebut adalah orang yang memandikan mayit dan ia yang berada di sebelah tengah untuk membersihkan kotoran dari anus si mayit dan juga membersihkan alat kelaminnya. itu mendapatkan hadiah dalam adat Bawean yang biasa di sebut dengan Tanah pekelaan. Tanah pakelaan adalah hadiah tanah yang di dapat seseorang yang telah memandikan mayit (pewaris) dan ia rela untuk membersihkan kotorannya dan anusnya dan juga alat kelaminnya, maka orang tersebut berhak untuk mendapatkan tanah yang biasa disebut masyarakat Bawean dengan sebutan tanah pakelaan.12 Setelah pemberian hadiah diberikan pada orang yang memandikan, langkah selanjutnya adalah pemberian rumah kepada anak perempuan atau laki-laki yang merawat orang yang tuanya, maka ia berhak mendapatkan rumah yang ditinggalinya
11
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 12
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011
54
bersama orang tua yang dirawat olehnya. Biasanya rumah ini diberikan oleh orang tuanya yang perempuan setelah meninggal dunia. Rumah diberikan kepada anak yang merawat orang tuanya sebagai rasa terima kasih terhadap dia yang rela merawat beliau sampai akhir hayat.13 Menurut keterangan dari bahwa dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean biasanya dilakukan setelah para pewaris meninggal, biasanya dilakukan setelah 7 hari atau setelah 40 hari.14 Berbeda dengan pernyataan dari K.H. R. Ahmad Buang Aziz, K.H. Bajuri Yusuf menjelaskan bahwa bagian harta waris tidak akan dibagi sebelum bapak dan ibunya meninggal.15 Untuk proses pembagiannya adalah pertama mengundang para ahli waris, lurah, kepala dusun, ahli tafsir harga, dan juga tokoh masyarakaat di desa tersebut. setelah dikumpulkan maka akan di tanyaakan apakah akan menggunakan adat (sistem kekeluargaan/ bagi rata) atau dibagi dengan secara syariat/menurut fikih. Apakah telaah ditentukan maka akan dibagikan sesuai dengan mufaakaat/musyawarah yang telah dilakukan. Apaabila dibagi dengan sistem kekeluargaan maka akan dibagi rata kepada ahli waris yang berhak menerima harta warisan tersebut.16
13
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
14
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011.
15
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
16
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
55
D. Orang-Orang Yang di undang dalam Pembagian Waris Dalam pembagian harta waris biasanya dilakukan bersama ahli waris dan juga pihak-pihak yang harus di undang dalam pembagian waris tersebut. Beberapa pihak yang harus di undang adalah: 17 1.
Ahli waris Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sesuia dengan
ketentuan Islam. Ahli waris di undang untuk melakukan pembagian harta waris. Maka harus diundang. 2.
Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat sebagai orang yang diberikan wewenang oleh ahli waris
untuk membagikan harta warisan. Tokoh masyarakat akan membagikan sesuai dengan kesepakatan para ahli waris.18 3.
Kepala dusun Kepala dusun adalah sebagai aparat yang ada didusun tersebut, sebagai orang
yang menjadi saksi dalam pembagian tersebut.. 19
17
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 18
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 19
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
56
4.
Ahli tafsir harga, Ahli tafsir harga Berfungsi sebagai ahli tafsir harga atas harta yang akan
dibagikan. Agar apabila setelah terjadi pembagian harta waris, bagian yang diterima sesuai dengan harga barang yang ada di masyarakaat tersebut.20 5.
Lurah Lurah berfungsi sebagai aparat yang apabila terjadi balik nama terhadap harta
warisan yang telah dibagikan, maka lurah bisa langsung mengetahui harta tersebut jatuh pada siapa dan bisa langsung merubah nama pada harta warisan tersebut.21 6.
Saksi dari kerabat Saksi dari kerabat berfungsi sebagai saksi, agar apabila ada sengketa terhadap
harta setelah dibagikan maka bisa diperjelas dengan adanya saksi. Maka apabila ada masalah dikemudian hari tentang masalah tentang pembagian waris tersebut, maka akan dihadirkan saksi yang telah menyaksikan pembagian waris tersebut. 22 Itulah orang-orang yang harus diundangdalam pembagian waris. Namun bisa saja dalam pembagian harta waris tidak mengundang tokoh masyarakat, lurah, RW,
20
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011.
26 Maret 2011.
21
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 22
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
57
ahli tafsir harga, namun hanya dibagi oleh para kerabat adari ahli waris yang bersangkutan.23 E. Dasar Hukum Pembagian Waris Menurut Adat Bawean Berdasarkan dari keterangan para narasumber yang penulis wawancarai, bahwa dasar hukum yang dipakai dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean berbeda pendapat, namun dari perbedaan pendapat diantara mereka, terdapat juga kesamaan.24 Menurut pendapat K.H. Bajuri Yusuf bahwa dasar hukum yang dipakai dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean adalah bit-tarodhi yaitu adanya keridhaan dari para ahli waris untuk membagikan harta waris secara bagi rata berdasarkan musyawarah mufakat. Jadi, dengan adanya musyawarah mufakat dan keridhaan, maka harta waris bisa dibagikan.25 K.H. Hazin Zainuddin dan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, juga menjelaskan bahwa dasar hukum yang dipakai dalam hukum waris adat Bawean (secara kekeluargaan) adalah kesepakatan dari pihak keluarga untuk membagikan secara bagi
23
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 24
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 25
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
58
rata pada semua ahli waris dengan catatan semua pihak keluarga sama-sama ridha untuk membagikan secara kekeluargaan atau bagi rata..26 Abd. Kamil mengatakan bahwa dasar hukum yang dipakai dari hukum waris berdasarkan adat Bawean adalah bil-maslahah yaitu demi kemaslahatan semua ahli waris yang menerima harta waris. Hal tersebut ditetapkan dengan adanya musyawarah mufakat dari pihak keluarga yang menerima harta warisan.27 Dari semua narasumber yang diwawancarai terdapat kesamaan dalam hal dasar hukum yang dipakai. Dasar hukum yang dipakai menganut asas bahwa dalam pembagian harta waris didasarkan adanya kesepakatan, keridhaan, kemaslahatan bagi semua ahli waris sehingga tidak perselisihan kemudian hari.28 F. Pendapat Ulama Setempat Tentang Pembagian Waris Menurut Adat Bawean Ulama Bawean berbeda pendapat tentang pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean, ada yang setuju untuk membagikan secara langsung dengan pembagian waris adat Bawean (secara kekeluaargaan) dan ada juga yang mensyaratkan ada penjelasan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam baru diselanjutnya apabila mereka tetap bersikukuh untuk melaksanakan secara kekeluaargaan, maka bisa 26
Wawancara pribadi dengan K.H Buang. Bawean, 12 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. 27 28
Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011.
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
59
dilaksanakan
dengan
menggunakan
hukum
waris
adat
Bawean
(secara
kekeluaragaan/secara musyawarah mufakat).29 Menurut K.H. Bajuri Yusuf bahwa pembagian waris secara kekeluargaan bisa langsung dibagikan tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam. Jadi tergantung dari kesepakatan ahli waris akan dibagi dengan menggunakan hukum waris Islam atau dibaagi menggunakan hukum waris adat (secara kekeluargaan). Jadi, cara pembagiaan yang telah disepakati ahli waris ayang akan dilaksanakan.30 Senada dengan pernyataan di atas, Abd. Kamil menyatakan bahwa pembagian harta waris bisa dibagi langsung sesuai dengan kesepakatan dari pihak keluarga, hdibagi dengan hukum waris adat (secara kekeluargaan) atau secara hukum waris Islam.31 Menurut K.H. R. Ahmad Buang Aziz, dan K.H. Hazin Zainuddin menjelaskan bahwa dalam pembagian waris harus mendahulukan hukum waris Islam dahulu, yaitu dengan menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam. Setelah dijelaskan, maka diadakan kesepakatan akan menggunakan hukum waris apa. Setelah
29
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 30
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011.
31
Wawancara pribadi dengan Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011.
60
disepakati dengan menggunakan hukum waris apa, kemudian bisa dibagi sesuai dengan kesepakatan ahli waris. 32 G. Analisa Penulis Dalam pembagian harta waris di Bawean terdapat dua cara pembagian yaitu pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam dan juga pembagian harta waris berdasarkan hukum waris adat Bawean (secara kekeluargaan/secara musyawarah mufakat). Tergantung pada kebiasaan yang ada pada tiap desa di pulau Bawean. Bahwa dalam pembagian harta waris didasarkan adanya kesepakatan dari semua ahli waris untuk menentukan cara pembagian yang mana yang akan digunakan. Hal ini di sebabkan sistem kekeluargaan yang sangat kuat, sehingga keluarga-keluarga pada masyarakat pada masyarakat Bawean menggunakan hukum waris adat (secara kekeluargaan). Dengan menggunakan forrmasi pembagian 1:1 yaitu satu bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Jadi, bagian antara anak laki-laki dan perempuan disamakan bagiannya.33 Hukum kewarisan adat tercipta kerena budaya hukum dari masyarakat Bawean sendiri. Budaya hukum merupakan budaya menyeluruh dari sebuah masyarakat sebagai kesatuan pandangan, sikap, dan perilaku. Maka dari itulah, adat
32
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 12 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 33
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
61
bawean tercipta karena adanyaa kesatuan pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat Bawean.34 Lawrance M. Friedman mendefinikan budaya hukum sebagai "seluruh gagasan yang ada pada masyarakat tertentu tentang hukum dan tempatnya dalam tatanan sosial, termasuk praktek-praktek hukum, sikap masyarakat terhadap hukum, dan kemauan/ketidakmauan masyarakat melakukan litigasi, dsb.35 Menurut Pitirim Sorokin pernah pula mengemukakan teori tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-tahapan tertentu yag dilalui oleh masyarakat.36 Dalam bingkai kaidah taghayyur al-hukm bi tagayyur al-azminat wa alamkinat, perubahan hukum Islam adalah sebuah kewajaran. Bahkan perubahan hukum, secara sosiologis adalah suatu obyek-subyek keniscayaan ketika ketentuan hukum (hukum dan perilaku masyarakat) yang diaturnya. Imam Syafi'I (w. 204 H) telah mencontohka melalui praktek qawl qadim (pendapat lama) saat beliau berada di Kufah, dan qawl jadid (pendapat baru) setelah pindah menetap di Mesir.37 Dalam ketentuan Al-Qur'an dijelaskan bahwa 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. namun dalam tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya
34
Dewi Sukarti, Penyelesaian Perkara Waris di Basemah: Dualisme Hukum Waris antara Hukum Adat Basemah dan Hukum Positif, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), hal.45. 35
Roger Cotterrell, The Sosiology of Law, (Edinburg: Buttter, 1990), hal.23.
36
Soerjono Soekanto,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), ed. 1, hal.107. 37
Noryami Aini,Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang-Undang No. .1 Tahun 1974 dalam Konteks Perubahan Sosial, Syariah: Jurnal Ilmu Hukum Vol.7/no.1, (2007), hal.6.
62
parsial yang bertujuan menerapkan hukum waris secara kontekstual. Tidak hanya dalam hukum adat saja upaya itu dilakukan, namun juga pada hakim juga melakukan upaya tersebut. contoh: para hakim mahkamah Syar'iyah Aceh yaitu dengan tegas menyatakan bahwa warisan islam bahwa mengikuti aturan hukum kewarisan Islam sebagaimana yang terekam dalam Al-Qur'an dan kitab-kitab fikih klasik. Namun, juga seperti diakui oleh para hakim pembagian waris yang diatur oleh hukum adat seperti pemberian hibah kepada anak perempuan berupa tanah rumah dan pekarangannya yang dipraktikkan dalam masyarakat Aceh Besar, Pidie, dan lamno mereka terima sebagai ketentuan yang tidak bertentangan dengan aturan agama.38 Dalam KHI dijelaskan pada pasal 183 Kompilasi Hukum Islam bahwa melalui pasal ini, ada kemungkinan untuk menyimpang melalui jalur perdamaian. Dalam pasal ini disebutkan bahwa patokan penerapan besarnya bagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Bagian anak laki di bandingkan dengan bagian anak perempuan adalah du
berbanding satu (2:1). b.
Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian
yang menyimpang dari ketentuan pasal 176. 39
38
Salim Arskal, DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSHUKHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Asia Foundation, 2009), Hal.81. 39
Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.68.
63
Maka dengan adanya pasal ini, tidak menutup kemungkinan seseorang yang menginginkan harta warisnya dibagi melalui jalur perdamaian bisa dilakukan yaitu dengan kesepakatan semua ahli waris yang berhak menerima.40 Berdasarkan teori diatas bahwa pembagian secara kekeluargaan yang ada di Bawean tidak menyalahi aturan/undang-undang dikarenakan dalam KHI juga menjelaskan bahwa menyimpang dari aturan 2:1 satu tidak ada larangan.41 Di Indonesia hingga sekarang, konflik tentang hukum waris Islam terutama antara kelompok tradisional dengan kalangan yang menamakan dirinya kelompok modernis masih merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum waris Islam, walaupun dapat dipastikan doktrin fiqh waris Sunni pro-Syafi’I yang banyak dianut dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terkait dengan kesejarahannya yang panjang sejak masuknya Islam di Indonesia. Doktrin fiqh waris ssunni pro-Syafi’i hingga sekarang masih mewarnai dan menjadi pedoman yuridis para
hakim di
Pengadilan Agama. Munculnya Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil lokakarya ulama Indonesia yang dituangkan dalam Inpres No.1 1991 merupakan fakta keberadaan fiqh sunni versi Syafi’I, walaupun pda bagian-bagian tertentu di dalamnya ditemukan refleksi-refleksi pemikiran baru untuk mengisi ruang kosong dalam rangka penyesuaian dengan kondisi-kondisi di Indonesia.42
40
Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, hal. 68. 41
Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, hal. 68. 42
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal.3.
64
Hazairin pada tahun 60-an telah menawarkan reinterpretasi baru terhadap kewarisan Islam yang selama ini menjadi doktrin keagamaan sebagai warisan intelektual klasik. Hazairin
telaah menkonfirmasikan bahwa doktrin sunni yang
selama ini dipegang oleh kaum muslimin Indonesia bercoraak paatriliialistik sedangkan yang dikehendaki al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral.43 Secara faktuaal menurut Hazairin bentuk masyarakat yang dikehendaki al-Qur’an juga bilateral sekaligus isyarat langsung terhadap fenomena hukum kewarisan Islam yang sesungguhnya. Penafsiran hukum kewarisan yang merefleksikan sistem kewarisan paatrinial dalam doktri Sunni merupakan adanya pengaruh cultural bangsa Araab yang bercorak patrinial. Disamping para pemikir muslim klasik hidup dalam sossio kulturaal patrinial. Kenyataannya ini berakibaat beberapa konstruksi hukum waris Islam dalam hal-hal penafssiran ulang agar sesuai dengan corak hukum waris bilateral sebagaimana yang sesungguhnya dipresentasikaan al-Qur’an. Bentuk pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean merupakan tata cara dan sistem tersendiri. Dengan adanya perbedaan dari yang lain ini maka terdapat kesamaan dan juga perbedaan dengan pembagian waris Islam. Dalam sistem pembagian harta waris Islam pembagian harta warisnya 2:1 yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan sedangkan dalam pembagian waris adat
43
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (t.t: IND HILL-CO, 1987), hal. 2-3.
65
(secara kekeluargaan) adalah 1:1, yaitu satu bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan.44 Pada akhirnya, walaupun Hazairin telah memeparkannya secara khusus apa dan bagaimana sistem kewarisan bilateral dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan Bilateral al-Qur’an secara rinci disamping berbagai ceramah ilmiahnya dalam pertemuan ilmiah tingkat nasional hingga sekarang boleh jadi masih merupakan sesuatu dalam lingkaran ide. Seluruh yang dikehendaki Hazairin masih merupakan suatu yang amat berat bagi kalangan tradisional Islam Indonesia.45 Pembelaan terhadap pendapat Hazairin dikemukakan dalam berbagai diskusi ilmiah. Dalam studi kajian-kajian hukum waris, teori Hazairin merupakan teori baru, dimana ia telah mengembangkan prinsip-prinsip sosiologi dan antropilogi dan secara jujur lewat refleksi ilmiah telah membentangkan sisi realistis ketika wahyu sebagai dokumen suci bersentuhan dengaan masyarakat Arab. Disini dapat dikatakan wahyu telah mengaksikan dekosntruksi sistem kekeluargaan masyarakat Arab ketika itu yang bercorak tribialisme-kesukuan untuk menggantikaannya dengan sistem egalitarisme dan mengaajarkan sistem rasional kehidupan social. Dengan demikian Hazairin telah
44
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan, Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011. 45
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal.4-5.
66
mendudukkan hukum kewarisan sebagaimana bagian pokoknya dari sistem kekeluargaan.46 Dipenghujung tahun 80-an, Munawir Syadzali yang ketika itu menjabat Menteri Agama RI melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum waris. Sutau yang sangat sederhana tetapi sangat mendasar di mana ia menginginkan “jika perlu” bagian 2:1 antara kaum laki-laki dengan kaum wanitaa disamakan menjasi 1:1. Gagasan ini menjadi polemik yang berkepanjangan.47 Sebenarnya yang menjadi persoalan bukannyaa hanya pada pokok persoalan 2:1 menjadi 1:1 tetapi juga dalaam konsekuensi-konsekuensi baru yang merupakan akibat langsung perubahan tersebut. Bagian istri dan suami juga akan berubah dari sistem pembagian semulaa sebagaimana pula halnya terhadap ayah dan ibu. Konsekuensi lainnya adalah kemungkinaan keharusan bersamanya cucu pancar lakilaki juga cucu pancar perempuan dalam kesatuan derajaat yang sebelumnya fiqh klasik membedakannya dalam gariss keutamaan. Bila ijtihad Hazairin mengarah kepaada persoalan bilateral sebagai pengganti patrinial di mana keutamaan garis keturunan adalah ibu-bapak tanpa menggugat perbandingan bagian-bagian antara laki-laki da waita 2:1, maka Munawir Sjadali menfokuskan perhatiannya kepada konsep "egalitarianisme" sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengaan ditandainya
bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita. Dengan kata
46
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tintamas, 1982),
47
Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
hal.11. hal.1-11.
67
Hazairin menggugat pola penafsiran teks-teks suci selama ini terhadap patrinial melewati konteks kesejarahannya, maka Munawir Syadjali menggugat konsep keadilan lama ketika berhadapan dengan konsekuensi baru zaman dalam kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda.48 Munawir Syadzali dalam Bukunya yang berjudul ijtihad kemanusiaan menjelaskan bahwa kita telah mendapat banyak contoh dan juga pembenaran untuk mempergunakan akal budi dalam memahami untuk kemudian melaksanakan ajaran dan hukum Islam prinsip bahwa pelaksanaan hukum Islam itu dapat berubah atau berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan budaya.49 Dalam Al-Qur'an surah al-Hujurat ayat 13 berbunyi: !!!!!!!!! !!! !!!!!!!!
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." Ayat itulah yang oleh kita umat Islam diperguakan sebagai dasar bagi keyakinan bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan antara manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau tingkat yang didasarkan atas kebangsaaan, kesukuan dan
48
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 6.
49
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, hal. 58.
68
keturunan. Di mata Allah semua manusia itu mempunyai tidak lebih tinggi dari orang-orang bukan Arab dan yang membedaka tingkat antara mereka adalah kadar ketaqwaan kepada Allah.50 Suatu hal yang tampaknya kurang mendapat perhatian kita adalah bahwa ayat juga mengisyaratkan persamaan kedudukan antara pria dan wanita yang merupakan asal dari umat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku itu. Kalau umat manusia yang lahir dari pasangan suami-istri itu menikmati persamaan kedudukan di antara mereka, maka logikanya sepasang suami-istri dari mana umat manusia itu berasal juga meimiliki persamaan kedudukan di antara merekaa berdua, tanpa perbedaan yang didasarkan atas kelamin. Singkatnya, menurut Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan itu sama.51 Munawir Syadzali mengatakan tentang penafsiran al-Qur'an khusunya berkaitan dengan kewarisan. Pendapat Munawir Syadzali bahwa penafsiran AlQur'an itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Misalnya memahami surah al-Nisa' ayat 176, yang menyatakan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat an-nahl ayat 90 yang berbunyi: " Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,…". Tegasnya, kita diharapkan agar memanfaatkan akal dan nalar kita untuk menilai 50
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, hal. 59.
51
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, hal. 59.
69
apakah suatu ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.52 Polemik hukum waris Islam yang mungkin juga agak menggelitik adalah persoalan mengenai persentuhan dengan hukum adat. Munculnya teori receptio in complexu, teori receptie, dan teori receptio a contrario—suatu konflik keberaadaan hukum waris Islam ketika bersentuhan dengan hukum kewarisan adat di Indonesia. Sehingga melahirkan beberaapa konsekuensi, diantaraanya adalah sikap kekeraabatan di antara mereka sejak lamaa telah terpupuk dan bisa jadi, ketikaa huku Islam diterapkan merekaa memeluk agama islaam akan melaksakannya dengaan membuka kemungkinan perdamaian pembagian harta warisan, jika ini yang dianggap kurang produktif adalah situasi yang aakan mendukung terjadinya perdamaiaan pembagian (Islah).53 Bagaimanapun, pola keadilan tersebut selaalu akaan ditolak oleh kelompok tradisional Islam. Menurut tradisional Islam, disini hukum Islam telah sempurna dan tidak pernah aakaaan berkompromi terhadap segala kesepakatan ahli waris lewat jalur Islah ataupun penghibaan untuk niat pelebihan bagi ahli waris tertentu sepeninggalnya.54 Namun kelompok Islam Modernis berpendapat bahwa kesetaraan dalam pembagian waris diperbolehkan dan juga seperti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 183 yang memperbolehkan adanya perdaiaman. 52
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, hal. 26-27.
53
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 6-7.
54
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 9.
70
Dalam pembagian harta wari berdasarkan kekeluargaan pada adat Bawean juga memperbolehkan adanya perdamaian dengaan mengadakan kesepakatan semua ahli waris yang didasarkan adanya musyawarah mufakat, adanya keridhaaan, dan kemaslahatan bagi semua. Sehingga,
ahli waris untuk bisa membagikan harta
tersebut dengan bagi rata dan tanpa melahirkan pertengkaran diantara ahli waris yang satu dengan yang lainnya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari seluruh pembahasan yang telah dikemumukan pada bab sebelumnya, pada akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kedudukan antara laki-laki dalam perempuan dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean Dalam kewarisan menggunakan pembagian harta waris berdasarkan adat
Bawean (Secara Musyawarah/mufakat/ secara kekeluargaan) adat Bawean kedudukan antara laki-laki dalam perempuan adalah disamakan antara hak laki-laki dan perempuan. dengan adanya kesepakatan untuk membagi rata harta warisan, maka bagiannya antara laki-laki dan perempuan sama. Namun, apabila mereka berkehendak untuk membagi warisn secara hukum waris Islam, maka sesuai dengan hukum waris Islam bahwa bagian laki-laki lebih besar dari pada bagian perempuan yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. 2.
Dasar hukum yang dipakai dalam pembagian hukum waris berdasarkan adat Bawean Dasar hukum yang dipakai dalam pembagian hukum waris berdasarkan adat
Bawean adalah kesepakatan/mufakat. Para tokoh masyarakat Bawean berbeda dalam menyebutkan dasar hukumnya. Menurut K.H. Bajuri Yusuf, K.H. Buang, dan K.H, Hazen mengatakan bahwa dasar hukum kewarisan kekeluargaan atau secara
71
72
musyawarah muafakat adalah bit-tarodhi. Bit tarodhi yaitu sama-sama rela/ridha antara ahli waris laki dan perempuan. Abd. Kamil mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah bil-maslahah yaitu untuk kemaslahatan semua keluarga dan tanpa adanya pertengkaran dan adanya kesepakatan untuk di bagi rata, maka harta warisan bisa dibagi dengan bagi rata. Tokoh masyarakat yang lain menyebutkan bahwa dasar hukum yang dijadikan acuan adalah adanya musyawarah mufakat yaitu kesepakatan antara ahli waris dengan jalan musyawarah untuk dibagi secara rata. Ketiga dasar hukum tersebut mempunyai titik kesamaan yaitu bahwa dalam membagi harta waris didasarkan adanya keridhaan, kesepakatan dan juga kemaslahatan bagi semua ahli waris. 3.
Pendapat Ulama Bawean Tentang Pembagian waris berdasarkan Adat bawean Ulama Bawean berbeda pendapat tentang pembagian harta waris berdasarkan
adat Bawean. Menurut K.H. Buang dan K.H. Hazen berpendapat bahwa dalam pembagian waris harus mendahulukan hukum waris Islam yaitu dengan menjelaskan tentang pembagian hukum waris Islam. Setelah dijelaskan tentang hukum waris Islam kemudian diadakan musyawarah dengan semua ahli waris dan akan ditentukan dengan menggunakan hukum waris apa. Setelah ada kesepakatan maka harta waris dibagikan kepada ahli waris. Berbeda dengan pendapat di atas, K.H. Bajuri Yusuf dan Abd. Kamil berpendapat bahwa dalam pembagian waris tidak harus menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam tetapi bisa langsung dibagi berdasarkan
73
adat Bawean. Jadi, tergantung kesepakatan ahli waris akan menggunakan hukum waris apa, hukum waris Islam atau hukum waris adat. B.
Saran Masalah kewarisan merupakan masalah yang sangat pokok yang akan dialami
oleh umat muslim. Dengan penelitian secara seksama persepsi itu dapat diminimalisir bahkan dihilangkan jika setiap orang, badan hukum atau lembaga lainnya yang memiliki tanggung jawab untuk introspeksi diri dan saling mengingatkan. Maka itu terdapat beberapa saran yang dapat diuraikan, yaitu: 1.
Keseteraan dalam pembagian harta waris perlu disosialisasikan melalui khatibkhatib dalam khutbah Jum’at. Maka, dengan adanya sosialisasi melalui media tersebut, maka akan lebih dikenal masyarakat dan mungkin juga bisa dipraktikkan.
2.
Para praktisi hukum hendaknya memasukkan kesetaraan dalam pembagian harta waris dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah atau yang sederajat, Madrasah Aliyah atau yang sederajat dan kurikulum-kurikulum sekolah yang lain.
3.
Pembagian harta waris hendaknya dibagi berdasarkan atas kesepakatan keluarga, agar tidak menimbulkan percekcokan dalam pembagiannya, karena masalah warisan adalah masalah muamalah yang bisa diselesaikan dengan cara musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA AbuBakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: INIS, 1998. Al-Bukhori, Shahih Bukhari, Kairo: Daar wa Mathba Asy-Sya'biy, juz. IV, T.t. Adam, Syahrul, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita, (Jakarta: Pustaka Lazuardi, 2005. Al Irsad, Fathan, Neropong Wisata Bawean, Surabaya: FP3B, 2003. Al-Wasilah, A., Chaidar, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Kualitatif, Jakarta: Pustaka jaya, 2006. Arief, Saifuddin, Praktek Pembagian harta peninggalan Berdasarkan Hukum waris Islam, Jakarta: PP Darunnajah, 2007. Asy-Syarbini, Muhammad, Mughnil Mukhtaj, Kairo: Musthafa Al-Babil Halaby, 1958. Al-Tirmidziy, Abu Musa, Al-Jami'u Ash-Shahih, Juz IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy, 1938. Al-Utsmaimin, Muhammad bin Shaleh, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam. penerjemah Abu Nahiyah Muhaimin, Jakarta:Ash-Shaf Media, cet.I, 2007. Badruddin, Abdurrahman, Sekilas Lintas Pulau Bawean, Bawean: YAPI Umma, 1985. Bisri, Cik Hasan (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Cotterrell, Roger, The Sosiology of Law, Edinburg: Buttter, 1990. Daud, Abu, Sunanu Abi Dawud, Juz II, Kairo: Mustafa Al-babiy, 152.
74
75
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Jakarta: LKiS, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Halim, Ridwan, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Tintamas, 1982. Hejazziey, Djawahir, (Editor), Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Ihromi, T.O., (Penerjemah), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2001. Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007. Majah, Ibnu, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, Kairo: Mustafa Al-babiy, t.t. Muhibbin Moh., dan Abdul Wahud, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XII, Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000. Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pulau Bawean Gresik Jawa Timur Tahun 2002-2003), Jakarta: Tesis Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif Jenis,dan Karakteristik dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2010. Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, t.t: IND HILL-CO, 1987. Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1992.
76
Salam, Syamsir dan Jaenal Arifin, Metodologi Penelitian sosial, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006. Salim, Arskal, DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, Jakarta: PUSHUKHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Asia Foundation, 2009. Sarmadi, A. Sukris, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, cet. I, Jakarta: RajaGrafindo, 1997. Semiadi, Gono, Sifat Biologi Rusa Bawean dan Pengembangan Model Pembudidayaannya Untuk Tujuan Konservasi Satwa Langka Endemik, Bogor: LIPI, 1999. Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 2003. Soekanto,Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Sudiyat, Imam, Hukum Adat sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, Cet. II, 1981. Sudiyat, Imam, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1985. Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan R&D, Bandung Alfabeta, 2006. Suhonggo, Sally, dkk. Obyek-Obyek Wisata Bahari di Bawean Potensi dan Pengembangannya, Surabaya Universitas Kristen Petra 1995. Dewi Sukarti, Penyelesaian Perkara Waris di Basemah: Dualisme Hukum Waris antara Hukum Adat Basemah dan Hukum Positif, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2010. Sjadzali, Munawir, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988. Sjadzali, Munawir, Ijtihad kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.
77
Surwansyah, Absar, Suatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat Bangko Jambi, Tesis S2 Program Studi Kenotariatan PascaSarjana Universitas Diponegoro, 2005. Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004. Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offest, Cet. IX, 2008. Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gema Media Pratama, ,cet. II, 2002. Vredenbergt, Jacob, Islam dan Bawean, Penerjemah A.B. Lapian, Jakarta: INIS, 1990. Zulfa, Usman, Kisah Kisah Pulau Putri, Bawean: Next Generation Fundatiaon, Perwakialan, 1992. Jurnal, Internet dan Wawancara Aini, Noryami, Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam Konteks Perubahan Sosial, Syariah: Jurnal Ilmu Hukum Vol.7/no.1, 2007. Http://Www.Bps.Go.Id/Hasilsp2010/Jatim/3525.Pdf di akses pada tanggal 1 April 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainudin, Bawean, 19 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz, SH, Bawean, 26 Maret 2011. Wawancara pribadi dengan Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011.
HASIL WAWANCARA Nama Hari/tanggal Waktu Tempat 1.
: K.H. Bajuri Yusuf : Selasa, 15-02-2011 : 09.40-11.00 : di Rumah K.H. Bajuri Yusuf
Bagaimana sejarah atau histori waris adat Bawean? Jawab: pembagian harta waris berdasarkan adat bawean didasarkan pada kesepakatan keluarga (Musyawarah mufakat). Asalkan ada kesepakatan untuk membagikan harta berdasarkan adat Bawean (secara bagi rata), maka harta waris tersebut langsung akan dibagi berdasarkan adat. Bagi yang tidak menginginkan cara berdasarkan adat Bawean, maka dia bisa membagi dengan hukum Islam.
2.
Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: Penyebab pembagian masyarakat Bawean tidak menggunakan hukum waris Islam adalah karena adanya kesepakatan dari pihak keluarga ahli waris untuk membagikan secara musyawarah mufakat atau secara adat Bawean yaitu membagi waris dengan cara bagi rata. Maka harta waris akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan dan pembagian ini dilakukan karena pihak keluarga sama-sama rela untuk menerima bagian yang sama dalam membagi harta waris tersebut.
3.
Selain pembagian waris adat Bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai? Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian waris yang digunakan adalah hukum waris Islam. Tergantung pada kesepakatan keluarga untuk membagikan harta waris tersebut dengan menggunakan musyawarah mufakat atau hukum waris Islam.
4.
Apa dasar hukum waris adat bawean? Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut. jadi apabila para ahli waris bersepakat untuk membagikan harta warisan tersebut dengan membagikan harta waris berdasarkan adat.
5.
Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean? Jawab: Praktek pembagian harta waris adat di Bawean yang berada didesa ini bahwa tergantung dengan rmufakat yang dilaksanakan yaitu membagikan harta waris berdasarkan adat (musyawarah mufakat/bagi rata) maka akan dibagikan berdasakan adat atau dibagi rata. Prkatek yang ada di daerah sekitar beliau tinggal lebih banyak dilaksanakan hukum waris dengan menggunakan hukum waris adat (kekeluargaan).
6.
Apa masih digunakan hukum waris adat sampai sekarang ? Jawab: Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun selain menggunakan hukum adat (musyawarah mufakat) juga dilaksanakan hukum waris Islam.
7.
Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: Untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.
8.
Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut? Jawab: Yang di undang dalam pembagian waris adalah:
-
Lurah
-
Ketua dusun (RT/RW)
-
Ahli waris
-
Ahli tafsir harga dalam kampung/desa tersebut
-
Tokoh adat
-
Saksi dari kerabat
9.
Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan? Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. Sesuai dengan bagian seperti yang dalam hukum waris Islam.
10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam? Jawab: Karena adanya kesepakatan untuk menggunakan hukum waris adat, maka akan menggunakan hukum waris adat. Dan apabila ada kesepakatan untuk menggunakan hukum waris Islam maka akan digunakan hukum waris Islam. 11. Apa motifnya? Jawab: motifnya adalah keadilan. 12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya? Jawab: motif keadilan untuk menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan. Bawean, 15-02-2001 TTD
(K.H. Bajuri Yusuf )
Nama Hari/tanggal Waktu Tempat
HASIL WAWANCARA : K. H.Ahmad Buang Aziz, SH : : :
1. Bagaimana sejarah atau histori waris adat Bawean? Jawab: Hukum waris Islam yang banyak di pakai memang didasarkan pada syariat Islam, namun pembagiannya bisa saja dibagi dengan pembagian bit-tarodhi yaitu pembagian yang didasarkan kesepakatan keluarga untuk selanjutnya dibagi rata. Hukum bit-tarodhi ini ditempuh karena adanya kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara kekeluargaan. 2.
Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat Bawean? Jawab: Pembagian waris yang dipakai tetap memang waris Islam, namun pembagian boleh dibagi dengan pembagian waris secara bit- tarodhi yaitu pembagian secara bagi rata. Jadi hukum waris Islam lebih ditekankan untuk digunakan, namun setelah dijelaskan tetap saja ingin membaginya secara kekeluargaan maka akan dibagi secara kekeluargaan.
3.
Selain pembagian waris adat bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai? Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian juga dilaksanakan dengan hukum Islam.
4.
Apa dasar hukum waris adat bawean? Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut, untuk membagikan harta secara adat.
5.
Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean? Jawab: praktek pembagian harta waris adat di Bawean yang berada didesa ini bahwa menekankan pada hukum waris Islam, namun setelah dijelaskan mereka tetap bermufakat untuk membagikan harta waris berdasarkan adat (musyawarah mufakat/bagi rata) maka akan dibagikan berdasakan adat atau dibagi rata. Dan hukum waris Islam dan juga hukum adat juga banyak dilaksanakan. Untuk daerah sekitar daerah beliau lebih banyak ditekankan hukum waris Islam.
6.
Apa masih digunakan hukum waris adat sampai sekarang? Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun menurut narasumber bahwa di Desa tersebut lebih ditekankan pada pembagian waris berdasarkan Syariat Islam. Namun apabila tetap saj ingin membagikan dengan hukum adat (secara kekeluargaan), maka akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
7.
Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.
8.
Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut? Jawab: Yang di undang dalam pembagian waris adalah: -
Lurah
-
Ketua dusun (RT/RW)
-
Ahli waris
-
Ahli tafsir harga dalam kampung/desa tersebut
9.
Tokoh agama/Adat
Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan? Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. sesuai dengan bagiaan seperti yang dalam hukum waris Islam.
10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam? Jawab: Hukum waris adat digunakan digunakan karena adanya kesepakaant dari para ahli waris untuk menggunakan pembagian secara kekeluargaan. Namun terlebih dahulu dijelaskan hukum waris Islam. 11.
Apa motifnya? Jawab: motifnya adalah keadilan.
12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya? Jawab: motif keadilan untuk menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan. Dan juga motifnya didasarkan pada kesepakatan keluarga. Bawean, 12-02-2001 TTD
(H. Zakariya)
Nama Hari/tanggal Waktu Tempat
HASIL WAWANCARA : : Jum'at, 19-02-2011 : 09.30-11.00 WIB : di Rumah
1. Bagaimana sejarah atau histori waris adat bawean? Jawab: Hukum waris Islam yang banyak di pakai memang didasarkan pada syariat Islam, namun pembagiannya bisa saja dibagi dengan pembagian bit-tarodhi yaitu pembagian yang didasarkan kesepakatan keluarga untuk selanjutnya dibagi rata. Hukum adat yang ada di Bawean di hayati dari hukum Islam. Jadi awalnya diberikan penjelasan tentang hukum waris Islam, namun apabila mereka bersepakat untuk membagi dengan hukum adat (hukum kekeluargaan), maka bisa dibagi dengan hukum waris adat. 2.
Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: Pembagian waris yang dipakai tetap memang waris Islam, namun pembagian boleh dibagi dengan pembagian waris secara bit- tarodhi yaitu pembagian secara bagi rata. Dengan menjelaskan hukum waris Islam terlebih dahulu. Jadi setelah itu ada disepakati dengan pembagian apa harta waris tersebut dibagi.
3.
Selain pembagian waris adat bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai? Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian juga dilaksanakan dengan hukum Islam.
4.
Apa dasar hukum waris adat bawean? Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut.
5.
Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean? Jawab: sama-sama banyak dilaksanakan oleh masyarakat Bawean baik hukum waris Islam dan juga hukum waris adat (hukum kekeluargaan).
6.
Apa masih digunakan sampai sekarang? Jawab; Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun selain menggunakan hukum adat (musyawarah mufakat) juga dilaksanakan hukum waris Islam.
7.
Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: Untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.
8.
Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut? Yang di undang dalam pembagian waris adalah:
-
Lurah
-
Ketua dusun (RT/RW)
-
Ahli waris
-
Ahli tafsir harga dalam kampung/desa tersebut
9.
Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan? Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. Sesuai dengan yang ada dalam pembagian waris Islam.
10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam? Jawab: menurut beliau, hukum waris adat dipakai ketika ada perselisihan dalam pembagian waris. 11.
Apa motifnya? Jawab: motifnya adalah keadilan.
12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya? Jawab: motif keadilan untu menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan. Bawean, 19-02-2011 TTD
(………………………….)
Nama Hari/tanggal Waktu Tempat
HASIL WAWANCARA : Abdul Kamil : Selasa, 22-02-2011 : 12.52-13.30 WIB : di Rumah Abd. Kamil
1. Bagaimana sejarah atau histori waris adat bawean? Jawab: Hukum waris Islam yang banyak di pakai memang didasarkan pada syariat Islam, namun pembagiannya bisa saja dibagi dengan pembagian bit-tarodhi yaitu pembagian yang didasarkan kesepakatan keluarga untuk selanjutnya dibagi rata. Jadi kesepakatan antara ahli waris dijadikan patokan dengan menggunakan cara apa untuk membagi harta waris tersebut. 2.
Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: Pembagian waris yang dipakai tetap memang waris Islam, namun pembagian boleh dibagi dengan pembagian waris secara bit- tarodhi yaitu pembagian secara bagi rata. Jadi pembagian hukum waris dengan hukum adat (secara kekeluargaan) bisa dilaksanakan apabila ada kesepakatan dari semua ahli waris untuk membagikan dengan cara tersebut.
3.
Selain pembagian waris adat bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai? Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian juga dilaksanakan dengan hukum Islam.
4.
Apa dasar hukum waris adat bawean? Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut. dan juga lil-maslahah yaitu dengan haarta waris tersebut didasarkan adanya kesepakatan
(Islah). Jadi apabila telah sepakat dengan menggunakan hukum waris adat (hukum kekeluargaan), maka akan dibagikan dengan cara tersebut. 5.
Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean? Jawab: untuk yang lebih banyak digunakan di daerah tersebut adalah hukum waris Islam. Namun dalam daerah tersebut juga tak sedikit yang menggunakan hukum waris adat (hukum kekeluargaan).
6.
Apa masih digunakan sampai sekarang? Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun menurut narasumber bahwa di desa tersebut lebih ditekankan pada pembagian waris berdasarkan Syariat Islam. Jadi sampai sekarang masih tetap dilaksankan waris berdasarkan adat.
7.
Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean? Jawab: untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.
8.
Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut? Yang di undang dalam pembagian waris adalah:
-
Lurah
-
Ketua dusun (RT/RW)
-
Ahli waris
-
Ahli tafsir harga dalam kampung/desa tersebut
-
Tokoh adat/agama
9.
Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan? Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. sesuai dengan bagiaan seperti yang dalam hukum waris Islam.
10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam? Jawab: Hukum waris adat dipakai ketika ada perselisihan dalam pembagian waris. Jadi apabila keluarga sudah sepakat untuk
menggunakan hukum adat (hukum
kekeluargaan), maka dilaksanakan dengan hukum adat. Sebaliknya, apabila pembagian hukum waris Islam yang menjadi kesepakatn, maka akan dilaksanakan sebagaimana kesepakatan. 11.
Apa motifnya? Jawab: motifnya adalah keadilan.
12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya? Jawab: motif keadilan untu menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan. Motifnya adalaah bit-tarodhi dan juga lil maslahah yaitu didasarkan kemaslahatan dan juga kesepakatan. Bawean, 22-02-2001 TTD
(Abd. Kamil)