“kesepakatan “ dalam masyarakat terhadap penyalahgunaan NAPZA perbuatan jahat yang harus diberantas dengan pendekatan hukum (saja) ;
“Semangat” pemberantasan penyalahgunaan dengan mengkriminalisasi ( berikan hukuman seberat-beratnya) dengan harapan timbulnya efek jera dan sebagai “peringatan” bagi masyarakat untuk tidak melakukan hal yang sama.
“Semangat” ini seolah menafikan fakta bahwa penyalahgunaan NAPZA berkaitan erat dengan kondisi kesehatan jiwa seseorang.
Sehat jiwa?... Tidak hanya semata ketiadaan gejala penyakit kejiwaan pada seseorang ( dari gejala ringan hingga akut) Namun keadaan dimana seseorang memiliki sikap positif terhadap dirinya, memiliki rasa bahagia, optimis, kemampuan menyikapi dan menghadapi permasalahan.
Apakah pengguna NAPZA (penyalahguna) memiliki sikap seperti ini? Kalangan psikiatri “sepakat” bahwa dalam kasus penyalahgunaan NAPZA, terdapat gangguan kepribadian yang dalam kondisi seperti ini cenderung lebih mudah untuk menyalahgunakan NAPZA.
Hal ini merupakan alasan kuat bahwa upaya mengatasi penyalahgunaan NAPZA tidak semata menggunakan pendekatan hukum namun HARUS dilakukan secara komprehensif dengan pelibatan bidang (disiplin keilmuan) lain. Salah satunya adalah Kesehatan Jiwa.
Terdapat berbagai penyebab penyalahgunaan NAPZA diantaranya : Pada kaum remaja tingginya keinginan mencoba (coba-coba) sesuatu yang baru; Anggapan yang salah bahwa menggunakan NAPZA adalah gaya hidup modern (gaul); Rendahnya toleransi diri dalam menghadapi beban hidup sehingga ingin mencari jalan keluar (walau sesaat dan sesat), sangat berkaitan dengan status kesehatan jiwa seseorang; Mudahnya mendapatkan (peredaran gelap) dan murahnya NAPZA ( pola pemasaran “paket hemat” terbukti mampu menjaring potential user); Anggapan yang salah bahwa NAPZA dapat digunakan sesaat saja, tidak akan menimbulkan ketergantungan; Semakin rapuhnya penanaman nilai-nilai bagi kaum remaja.
Dari sisi pendekatan kesehatan jiwa, pemakaian zat psikoaktif dapat dibagi kedalam beberapa golongan : Experimental use (coba-coba) yaitu pemakaian zat yang tujuannya ingin mencoba, sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Social use, atau di sebut juga recreational use , menggunakan NAPZA untuk hiburan. Situational use yaitu penggunaan zat pada saat mengalami ketegangan, kekecewaan, kesedihan, rasa putus asa, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Abuse atau penyalahgunaan, yaitu pola penggunaan yang telah mencapai tahap terganggunya fungsi sosial. Dependent use atau ketergantungan yaitu gejala putus zat
Penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan adiksi ketergantungan baik fisik maupun psikis. Saat ketergantungan fisik telah disembuhkan, tidak serta merta ketergantungan psikis berakhir.
Kondisi sehat jiwa dalam tahap ini menjadi lebih buruk, jika sebelum menggunakan ia mengalami gangguan (kejiwaan) terlebih setelah ia menggunakan dan menimbulkan adiksi. 10% tempat tidur di 33 (tiga puluh tiga) Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia untuk penderita penyalahgunaan NAPZA
efektivitas penggunaannya masih rendah karena adanya keengganan bagi penyalahguna NAPZA mendapatkan perawatan bersamasama dengan penderita gangguan jiwa.
Bagaimana pendekatan kesehatan jiwa dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA? Idealnya digunakan dalam seluruh tahapan Pencegahan , melalui edukasi (individu, keluarga, masyarakat) Penghukuman, (baik berupa pemidanan maupun perintah rehabilitasi/menjalani perawatan) dilakukan upaya pemulihan kesehatan jiwa.
Bagaimana kondisi saat ini ? -terpidana penyalahgunaan NAPZA yang masuk ke lapas tidak mendapatkan perawatan untuk menghentikan efek ketergantungannya sehingga upaya pemulihan tidak bisa dilakukan. - tidak adanya pembedaan perlakuan dalam lapas antara pengedar dan pemakai menjadi permasalahan lain dalam upaya rehabilitasi terpidana. - Perintah rehabilitasi,bagaimana pelaksanannya? - Penderita gangguan jiwa mengalami stigmatisasi dan diskriminasi, demikian juga terhadap pengguna NAPZA. (penyebab ketiadaan data penyalahgunaan NAPZA dikaitkan dengan kesehatan jiwa)