KESENJANGAN ANTARA TEORI DAN PRAKTIK DALAM PENDESAINAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
Moeljadi Pranata Jurusan Seni dan Desain - Universitas Negeri Malang
ABSTRACT Instructional Multimedia has grown rapidly since the early 1990s. Although such practices do not take advantage of designing the message clear formal theory. The purpose of this article is to provide a coherent contribution to the development of this theoretical structure. This article deals with how to form the theoretical basis for the systematic design of instructional multimedia. When learning is seen as a complex process that occurs in our cognitive systems, designing instructional multimedia message should heed cognitive theories as the basis for its design. Keywords: instructional multimedia, design message, multimedia theories ABSTRAK Multimedia pembelajaran telah berkembang dengan sangat cepat sejak awal tahun 1990-an. Meskipun demikian praktik perancangan desain pesannya belum memanfaatkan teori formal yang jelas. Tujuan artikel ini adalah untuk menyediakan kontribusi koheren ke arah perkembangan struktur teoritis ini. Artikel ini berkaitan dengan bagaimana cara membentuk dasar teoritis sistematis bagi desain multimedia pembelajaran. Ketika belajar dipandang sebagai suatu proses kompleks yang terjadi dalam sistem kognitif kita, pendesainan pesan multimedia pembelajaran mestinya mengindahkan teori-teori kognitif sebagai landasan perancangannya. Kata kunci: multimedia pembelajaran, desain pesan, teori-teori multimedia
Tidak setiap desain pesan multimedia pembelajaran berpotensi tinggi untuk membelajarkan siswa. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh Merrill (1996), sebagian diantaranya tidak membelajarkan: “However, much of the multimedia being produced is merely information or entertainment but not instruction.” Bertolak dari pandangan konstruktivistik, Mayer (1996) berpendapat bahwa multimedia yang membelajarkan ialah multimedia yang memampukan penggunanya untuk memperoleh skor yang tinggi untuk tes retensi maupun tes transfer. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan, misalnya meta-
analisis yang dilakukan oleh Dillon & Gabbard (1998) terhadap artikel-artikel hasil penelitian multimedia pembelajaran terbitan ERIC antara tahun 1990-1996, juga penelitian yang dilakukan oleh Kalyuga dkk. (2000) serta Mayer & Anderson (1992) menyimpulkan bahwa multimedia pembelajaran memiliki kemanfaatan yang berbeda untuk setiap pebelajar tergantung atas karakteristik spesifik mereka. Multimedia pembelajaran bisa menguntungkan hanya di bawah keadaan-keadaan yang didesain dengan baik dan memiliki konsekuensikonsekuensi negatif di bawah keadaan-keadaan lain.
Kecenderungan Praktik Pendesainan Kemajuan pesat teknologi informasi dan komputer-grafis telah meningkatkan daya tarik informasi pada multimedia secara fantastis. Revolusi di bidang ini telah menyediakan berbagai kemungkinan untuk menghadirkan image-image yang sebelumnya dianggap musykil. Teknologi telah memudahkan banyak kalangan
untuk mampu memproduksi
multimedia pembelajaran secara sangat menarik dan atraktif. Kontribusi teknologi mutakhir telah memicu pendesainan pesan sesuatu informasi secara lebih menarik. Sebuah informasi, misalnya informasi ilmiah, yang semula dipandang sulit untuk dimengerti, kering, serta membosankan dapat diredesain berbasiskan teknologi komputer grafis dengan memadukan beberapa elemen visual dan auditori sehingga tampak realistik, menarik perhatian, serta enak untuk dipelajari. Bahkan, multimedia telah menghadirkan image dan auditori sampai pada tingkat hyper-realistik dan hyper-estetik. Virtual reality, misalnya, mampu memediai penggunanya dengan membawanya secara simulatif memasuki relung-relung organ jantung manusia untuk menemukan terjadinya disfungsi pada sistem arteri. Kecanggihan teknologi informasi dan komputer grafis itu pada gilirannya mendorong dan dimanfaatkan oleh para desainer, amatir maupun profesional, untuk merancang desain pesan multimedia secara fantastis dengan menambahkan elemen-elemen visual maupun auditori pada materi esensial pembelajaran. Namun demikian, sebenarnya multimedia pembelajaran bukanlah sekedar artefak yang estetik-seduktif atau teknis-mekanistik
untuk
sekedar
mencurahkan
informasi.
Perancangan
multimedia
pembelajaran yang berbasiskan pada desain pesan yang estetik-seduktif memang berpotensi untuk meningkatkan daya tarik pesan namun belum terbukti secara signifikan dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Sejalan dengan itu, Stokes (2003) mengingatkan, “The use of visuals in education, although consistently shown to aid in learning, must be carefully planned. The use of visuals that steer the learner to the excitinf or entertaining aspects of presentation rather than encouraging thougtful analysis of the underlying meaning may interfere with the intent of the lesson.”
Selama ini multimedia pembelajaran sering dipandang hanya sebagai medium yang mengantarkan pesan dari desainer pembelajaran kepada siswa. Multimedia dengan konsep tradisional ini disusun berdasarkan metode instruksiovisme yaitu sebagai penyampai informasi, komunikator pengetahuan, atau tutor bagi siswa. Sebagian pendukung instruktivisme memandang bahwa pendesainan pesan multimedia merupakan masalah teknis, bukan masalah keilmuan; karena itu pembelajaran dengan multimedia dipandang sebagai peristiwa ‘mengalami’ informasi, transfer informasi. Namun, ketika pembelajaran hanya dipandang sebagai masalah desain informasi seperti itu maka dalam pembelajaran bermedia siswa tak lebih dari penerima pesan yang pasif. Jika pendesainan pesan multimedia mengabaikan akses kognitif siswa maka siswa tidak memiliki input partnership intelektual dengan multimedia yang bersangkutan. Pendesainan pesan yang berbasiskan metode teknismekanistik telah menunjukkan hasil-hasil yang tidak konsisten (Hannafin dkk., 1996; Jonassen & Reeves, 1996).
Basis Pendesainan: Instruktivisme vs Konstruktivisme Dalam konteks pembelajaran bermultimedia perbedaan dalam pandangan-pandangan belajar dan pembelajaran mempengaruhi bagaimana media dirancang dan digunakan dalam pembelajaran. Menurut pandangan instruktivisme, misalnya behaviorisme, desain pesan pembelajaran dan media pembelajaran seharusnya dirancang dan diaplikasikan secara sangat terstruktur. Hal ini dilatari oleh azas stimulus-respon yang menyatakan bahwa untuk mencapai suatu sasaran perilaku (prestasi) tertentu pembelajaran perlu ‘dibatasi’ dengan apa saja agar sasaran tersebut dapat tercapai. Jenis pembelajaran tipe ini menerapkan konsep pengajaran sponge dan banking yang menempatkan siswa sebagai penyerap dan penimbun informasi yang diberikan sampai adanya tes yaitu saat timbunan informasi yang diberikan itu diperas. Jadi, dalam pembelajaran bertipe instruksivisme ini pemerolehan pengetahuan lebih diarahkan pada penguasaan menyerap dan mengingat sebanyak-banyaknya informasi yang diberikan (kemampuan retensi). Berbeda dengan instruktivisme, tipe pembelajaran konstruktivisme berpendapat bahwa dalam belajar sangat mungkin siswa memanfaatkan pengetahuan yang sebelumnya telah dipelajarinya, meskipun sebelumnya hal itu belum pernah terungkapkan, dalam mengkonstruksi skema-skema mereka. Pengetahuan yang dikonstruksi tersebut tergantung atas informasi yang diketahui, jenis pengalaman belajar yang dilalui, serta bagaimana
informasi dan pengalaman itu diorganisasikan ke dalam struktur pengetahuan. Pembelajaran konstruktivistik antara lain diarahkan agar siswa memiliki kemampuan mentransfer informasi untuk mengkonstruksi sesuatu pengetahuan baru. Revolusi konstruktivistik menawarkan visi baru tentang pebelajar sebagai pengkonstruksi pemahaman yang aktif serta mengusulkan metode-metode baru pembelajaran bermedia yang memberikan tekanan pada aktivitas kognitif pebelajar. Duffy & Jonassen (1992) berpendapat bahwa pengkonstruktian pengetahuan tersebut merupakan proses desain yang difasilitasi pada saat siswa secara aktif mendesain pengetahuan. Siswa menjadi desainer pengetahuan ketika ia memfokuskan pada tujuan untuk memperoleh informasi, struktur yang mendasarinya, mengembangkan model, serta menggunakan argumen-argumen yang diperlukan oleh masalah pokok bagi penyesuaian desainnya. Dengan demikian, memproduksi pengetahuan lewat multimedia pembelajaran merupakan bentuk yang paling komplit dan memberdayakan konstruktivisme. Dengan mengkonstruksi siswa akan memperoleh pengetahuan yang serba lebih; sebaliknya, jika multimedia hanya didudukkan sebagai kontainer pencurah pengetahuan serta alat instruksi, siswa akan memperoleh pengetahuan yang statis dan ‘kering’. Akibatnya, jika proses interaksi antara siswa dengan multimedia merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan, mestinya pesan multimedia pembelajaran didesain dengan berbasiskan pada teori-teori kognitif agar ia mampu mengoptimalisasi kegiatan interaksi antara siswa dengan pesan pembelajaran.
Perbedaan Orientasi Pendesainan Menurut pandangan konstruktivisme, efek utama yang signifikan dari performansi multimedia adalah kognitif (Moreno & Mayer, 2000b; Jonassen dkk., 1996; Mayer, 1996). Hubungan fundamental antara performansi multimedia dan perilaku si pengguna dapat dipandang sebagai interaksi antara informasi yang ditampilkan dan pemrosesan informasi yang terjadi dalam kognisi manusia. Perbedaan-perbedaan dalam respon terhadap multimedia oleh karenanya dapat menghasilkan presentasi dan isi pesan yang berbeda-beda. Perbedaanperbedaan tersebut dapat merupakan hasil dari pemrosesan, penyimpanan, pengingatan ulang akan informasi yang identik namun dilakukan secara
berbeda oleh orang-orang yang
mengalaminya. Untuk alasan ini, kondisi desain pesan multimedia harus dispesifikasikan secara mendasar dimana para pengguna bereaksi dalam suatu cara tertentu terhadap pesanpesan yang disalurkan melalui multimedia tersebut.
Ketika
tujuan
pembelajaran
berorientasi
konstruktivistis
maka
isu
sentral
pembelajaran bermultimedia adalah mengkondisi pengguna agar mampu memanfaatkan apa yang mereka pelajari (transfer) dan bukan sekedar menyerap dan menyimpan informasi (retensi). Karakteristik yang membedakan seseorang yang belajar dengan memahami dari seseorang yang belajar secara hafalan adalah kemampuannya untuk terlibat dalam transfer pemecahan masalah. Kemampuan transfer pemecahan masalah ialah kemampuan pengguna untuk menerapkan apa yang telah dipelajari pada suatu situasi yang baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Mayer & Wittrock (1996) yang menyatakan bahwa transfer pemecahan masalah muncul ketika seseorang memakai pengalaman belajar terdahulu untuk membuat solusi bagi masalah baru. Ketika tujuan pembelajaran bermultimedia adalah mengkondisi pengguna agar mampu memanfaatkan secara maksimal apa yang telah mereka pelajari maka salah satu isu sentral perancangan multimedia pembelajaran ialah pencarian format desain pesan multimedia yang berpotensi membelajarkan kemampuan retensi dan transfer pemecahan masalah. Isu pengembangan potensi transfer pemecahan masalah ini penting mengingat belajar dan pembelajaran dalam hal ini dipandang bukan sekedar transfer informasi dan desain pembelajaran bukan subset desain informasi. Berbeda dengan desain informasi, bidang desain pembelajaran memiliki akar filosofis dalam sejumlah disiplin ilmunya, termasuk psikologi, ilmu komputer, teknik, bisnis, dan kependidikan. Selain itu, keilmuan desain pembelajaran juga menggunakan prosedur desain yang telah didasarkan pada hasil penelitian-penelitian yang solid. Karena itu, penelitian ini bertolak dari perspektif pendesainan pesan sebagai sub-domain desain pembelajaran. Dalam teori pendesainan pesan multimedia pembelajaran yang berkembang, yang didasarkan pada konstruktivisme, multimedia dapat dipandang sebagai teknologi kognitif yang memampukan siswa sebagai seorang pengkonstruksi pengetahuan yang secara aktif mengintegrasikan dan memaknai pesan-pesan pembelajaran secara produktif. Dalam konteks ini, proses kognitif utama dalam diri siswa terdiri atas menyeleksi informasi yang relevan, mengorganisasikan informasi itu ke dalam representasi koheren, serta mengintegrasikan representasi-representasi itu dengan pengetahuan yang sudah ada. However, the enormous potential of cognitive tools can only be realized within a constructivist framework for learning. Moreover, the nature and source of the task become paramount in such an environment. Past failures of “tool” approaches to using computers in education can be largely attributed to the relegation of the tools so traditional academic tasks set by teachers or the curriculum within the context of outmoded instructivist pedagogy” (Jonassen & Reeves, 1996).
Oleh sebab itu, bertolak dari pandangan-pandangan tersebut di atas, tema utama dari pengembangan teori pendesainan pesan multimedia pembelajaran adalah sejauhmana desain pesan mampu mempengaruhi tingkat pemahaman siswa dalam proses kognitif yang dibutuhkannya untuk sebuah pembelajaran bermakna dalam sistem pemrosesan informasi dalam kognitif siswa. Penulis berpandangan bahwa multimedia pembelajaran merupakan teknologi kognitif yang memperkeras dan mereorganisasikan cara berpikir pengguna. Teknologi kognitif ialah teknologi, berwujud atau tidak berwujud, yang meningkatkan kekuatan kognitif manusia selama ia berpikir, memecahkan masalah, dan belajar. Ketika siswa memanfaatkan multimedia sebagai teknologi kognitif ia melepaskan beban beberapa tugas menghafalkan yang tidak produktif serta memungkinkannya untuk berpikir secara lebih produktif. Dengan demikian, siswa diberdayakan untuk lebih dari sekedar mampu memahami berbagai interpretasi dalam proses menggunakan ide-ide orang lain yang diungkapkan lewat multimedia bagi upaya mencapai interpretasinya sendiri. Selama ini, teknologi pengajaran yang berbasiskan teori instruktivistik telah secara antusias menggunakan multimedia ke dalam ruang kelas, tetapi bukannya melibatkan para pebelajar dalam tugas-tugas otentik melainkan cenderung “mengajar” siswa-siswa tentang rangkaian perintah di luar konteks yang berarti. Karena itu, tidak terlalu mengejutkan jika dampak penggunaan multimedia dalam pembelajaran tak seperti yang diharapkan. Sebenarnya, kekuatan riil multimedia untuk mereformasi pembelajaran bukan terletak pada kecanggihannya untuk menyampaikan informasi melainkan ketika para pebelajar secara aktif menggunakannya sebagai teknologi kognitif.
Hal ini sejalan dengan pendapat Salomon
(1999) yang menyatakan bahwa “No important impact can be expected when the same old activity is carried out with a technology that makes it a bit faster or easier; the activity itself has to change.” Multimedia yang karena kehadiran elemen-elemen seduktif cenderung tampil secara lebih menarik dan atraktif tanpa dipertanyakan telah disokong sebagai sebuah kemajuan dalam bidang teknologi pembelajaran. Hal ini antara lain tampak dari temuan-temuan penelitian (misalnya Nielsen, 1995; Najjar, 1996; Mitchell, 2000) sebagai berikut: a) multimedia memudahkan akses nonlinier informasi yang sangat banyak; b) multimedia meningkatkan hasil belajar, c) pengguna dapat menjelajahi informasi lebih dalam sesuai dengan permintaan pengguna; d) multimedia menyajikan interaksi dengan materi pembelajaran yang dapat diakses langsung; e) multimedia memikat perhatian dan memiliki
daya tarik yang tinggi untuk digunakan; dan f) multimedia mewakili bentuk alami proses pemikiran manusia. Sebaliknya, analisis-meta yang dilakukan oleh Dillon & Gabbart (1998), misalnya, terhadap serangkaian penelitian tentang multimedia menyimpulkan teknologi tersebut belum menunjukkan bukti bahwa ia secara signifikan dapat memecahkan masalah pembelajaran sebagaimana yang dijanjikan. Selanjutnya, kajian yang sama yang dilakukan oleh McKnight dkk. (1996) menyimpulkan bahwa bukti empiris bagi keuntungan penggunaan multimedia tidak menjanjikan. Bahkan, Chen & Rada (1996) menegaskan bahwa terobosan yang dijanjikan oleh kemanfaatan multimedia lebih mengacu pada mitos daripada kenyataan. Berbagai kritik atas kegagalan penggunaan multimedia untuk memperbaiki pengajaran dan pembelajaran tersebut antara lain disebabkan pendesainan multimedia diserahkan pada jasa pedagogi “instructivist” tradisional (Jonassen & Reeves, 1996) atau jasa ‘artis grafis’ yang memang tidak memiliki dasar keilmuan pendesainan pesan pembelajaran (Rowntree, 1982). Sejalan dengan hal tersebut Merrill (1996) menyatakan sebagai berikut. Businesses assign engineers, personnel managers, and salespersons to their training departments and direct them to develop training materials. Product knowledge or production skill is assumed to the only knowledge required to develop training materials. They seldom believe that specialized training in learning and instruction is necessary.
Pada dasarnya, kritikan-kritikan terhadap kegagalan penggunaan multimedia pembelajaran itu utamanya diarahkan pada pendesainan pesan multimedia yang dipandang cenderung telah mengabaikan karakteristik-karakteristik kognitif atau predisposisional dari para pengguna. Dalam hal ini Salomon dkk. (1991) menyatakan “The cognitive effects with computer tools greatly depend on the mindful engagement of learners in the tasks afforded by these tools.” Selain itu, pendesainan multimedia terjebak pada harapan yang palsu dan berlebihan tentang pembelajaran yang menyenangkan. “One of the false promises of many previous instructional innovations has been to make learning fun and easy” (Jonassen & Reeves, 1996). Media yang menyenangkan (entertaining) saja belum tentu membelajarkan. Sejalan dengan itu, Adams & Hamm (2000) mengingatkan, “Media that appealed to the senses of vision and hearing with stunning immediacy were viewed as particularly dangerous to the uninformed.” Multimedia boleh menyenangkan, memudahkan, namun lebih daripada itu ia harus mampu menstimulasi tantangan-tantangan berpikir sebagaimana ciri sebuah pembelajaran yang unggul.
Kesenjangan Teoritik Dalam praktik selama ini pendesainan multimedia pembelajaran cenderung menganut teori desain estetik pada pendesainan pesan. Teori ini memandang bahwa penerapan prinsipprinsip estetik pada desain pesan esensial dapat meningkatkan dan atau mempertahankan daya tarik pesan. Penambahan elemen-elemen visual dan atau auditori untuk tujuan estetik tersebut memang telah terbukti mampu meningkatkan atensi pengguna untuk berinteraksi dengan multimedia. Pandangan-pandangan pendesainan pesan berbasis teori estetik tersebut biasanya bertolak dari asumsi bahwa dibutuhkan penambahan-penambahan elemen visual dan atau auditori yang menarik (entertaining) pada multimedia pembelajaran agar proses interaksi pembelajaran lebih menarik. Selain itu, penambahan elemen-elemen tersebut akan berakibat pada peningkatan level pembangkit pengguna sehingga akan terdapat lebih banyak materi yang dapat diolah sehingga hal ini diduga akan berakibat pada performansi yang lebih sempurna pada kemampuan retensi dan transfer. Untuk menguji efek penambahan elemen-elemen estetik ini telah dilakukan serangkaian luas studi-studi untuk memahami hubungan antara atensi dan pamahaman dalam latar tontonan tv (Collins, 2002; Kozma, 1991). Meskipun penelitian-penelitian tersebut diadakan hanya dengan menggunakan
subjek penelitian dalam keadaan-kondisi
pembelajaran yang kebetulan atau insidental, sebuah kerangka kerja teoretikal terbentuk untuk menjelaskan bagaimana perhatian penonton bisa dikontrol dengan penggunaan aspekaspek formal seperti teknik-teknik visual atau auditori seperti zoom, pace, level aksi, efekefek suara, warna, musik, dan sebagainya, yang berbeda atau terpisah dari isi presentasinya serta dapat digunakan untuk pesan-pesan yang berbeda (Huston & Wright, 1983). Dalam hal ini Anderson dan Lorch (2003) telah menemukan bukti bahwa perhatian subjek penelitian selama pertunjukan tv tidak berkesinambungan dan periodik, dengan aspek-aspek audio dari medium berperan sebagai aksi-aksi untuk menarik kembali atensi mereka. Dalam penelitiannya Allwit dkk. (1980) menggunakan subjek anak-anak, mereka menemukan bahwa efek-efek suara secara khusus telah diasosiasikan dengan atensi yang naik ke level presentasi. Meskipun penggunaan musik dalam presentasi-presentasi visual secara umum telah menunjukkan sedikit efek positif pada proses pembelajaran, hanya didapati sejumlah kecil studi dimana efek positif ditemukan. Secara ringkas, kerangka kerja yang bisa digeneralisasi dan diperoleh dari beberapa penelitian tersebut sejalan dengan pendapat Kozma (1991), “This research paints a picture of television viewers who monitor a presentation at a low level of engagement, there moment-to-moment visual atentation periodically attracted by salient audio cues and maintened by the meaningfulness of the
material. This creates a window of cognitive engagement.“ Aspek-aspek perseptual auditori tak hanya mendatangkan dan terus mempertahankan atensi tetapi bisa membantu dalam seleksi materi isi untuk diolah lebih lanjut. Namun, apa yang dikemukakan Kozma tersebut di atas tak hendak mengatakan bahwa penambahan-penambahan apa pun tak akan mericuhi atensi dan (utamanya) proses pemahaman. Penambahan-penambahan itu, meski hyper-estetik misalnya, ada pada jalur fungsi yang jelas yaitu hanya mempertahankan kemenarikan materi yang dipresentasikan. Sementara itu, efek dari penambahan atau tampilan visual yang seduktif ditunjukkan oleh beberapa studi berikut ini. Mayer dkk. (1995) yang membandingkan kemampuan matematika para siswa Jepang dan Amerika Serikat menemukan bahwa kemenarikan visual yang berlebihan (seduktif) ternyata berpengaruh negatif pada hasil belajar siswa. Samuels (1970) yang mereview penelitian-penelitian hubungan antara paduan pesan dalam bentuk visual (ilustrasi) dan verbal (teks tertulis) menyimpulkan bahwa pembaca teks tulis yang kurang pandai terganggu oleh gambar. Meta-analisis yang dilakukan oleh Levin (1987) terhadap 87 kajian empirik tentang hubungan fungsi gambar (dekorasi, representasi, organisasi, interpretasi, dan informasi) dengan hasil belajar menemukan bahwa hanya fungsi dekorasi yang tak menunjukkan efek positif terhadap hasil pembelajaran. Tampaknya, penambahan elemen-elemen visual dan atau auditori pada desain pesan esensial, yang diarahkan untuk sekedar menjalankan fungsi dekoratif atau tak relevan dengan materi esensial, diduga bisa mericuhi proses pemahaman dalam sistem kognitif pengguna. Seperti telah diterima secara luas, pendekatan pengolahan informasi menitikberatkan pada sistem memori manusia untuk mendapatkan, mengkodekan, memanggil kembali, dan menggunakan informasi. Sistem memori dibedakan ke dalam tiga struktur penyimpanan utama yaitu pencatat sensori (sensory register), memori jangka pendek (short term memory), dan memori jangka panjang (long term memory). Masing-masing struktur memori sinonim dengan jenis pemrosesan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua model pemrosesan informasi yang dominan yaitu model pengkodean tunggal (single-coding model) dan model pengkodean ganda (dual-coding model). Moore dkk. (1996) menyatakan bahwa “To understand how an individual is able to interpret information, the researcher must first focus on decitions made at each memory storage structure”. Menurut Baddeley (1992) juga Moreno dan Mayer (1999) teori pengkodean ganda (dual coding theory) dan teori muatan kognitif (cognitive load theory) menyediakan sebuah model yang berguna untuk menguji suatu aspek penting dari pemrosesan ganda desain pesan visual-auditori multimedia pembelajaran. Model tersebut didasarkan pada tiga asumsi utama:
(a) para pengguna mempunyai sedikitnya dua ‘channel’ pengolahan informasi yang berbeda, yaitu memori kerja visual dan memori kerja auditori; (b) tiap ‘channel’ tipe memori kerja tersebut memiliki kapasitas terbatas; dan (c) langkah-langkah utama dari proses kognitif diantara kedua ‘channel’ itu (atau pada tiap tipe memori kerja) mencakup pemilihan materimateri yang relevan untuk proses atau pengolahan lebih lanjut, pengorganisasian materimateri yang terpilih ke dalam representasi yang koheren, dan pengintegrasian representasirepresentasi verbal dan visual satu sama lain dan dengan materi yang relevan dari memori jangka panjang. Menurut model ini proses pembelajaran terjadi pada saat pengguna aktif mengkonstruksi representasi pengetahuan dalam memori kerja (working memory). Dalam konteks tersebut, peran desainer pesan multimedia adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang mengkondisi pengguna berinteraksi dengan materi, termasuk mendukung proses pemilihan, pengaturan, dan pengintegrasian informasi bagi pengguna. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa format desain pesan multimedia menentukan proses dan produk pembelajaran yang efektif. Para penganut teori pendesainan pesan berbasis teori kognitif percaya bahwa informasi dapat disampaikan secara baik jika pesan dikemas dalam bentuk paduan visual dan verbal. Anglin dkk. (1996) mereview temuan beberapa meta-analisis yang dilakukan oleh para peneliti dari kurun waktu tahun 1955 sampai dengan 1994. Berdasarkan temuan penelitian tersebut mereka menyimpulkan bahwa paduan elemen visual dan elemen verbal memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil pembelajaran. Sementara itu Mayer dan para koleganya (misalnya Mayer, 1989; Mayer & Gallini, 1990; Mayer & Anderson, 1991, 1992; serta Mayer & Sims, 1994) telah mengadakan serangkaian eksperimen dan menemukan bukti yang kuat bahwa paduan elemen visual dan verbal yang dikemas secara esensial telah meningkatkan hasil belajar siswa.
Perspektif Teori Baru Sejalan dengan temuan-temuan baru di bidang psikologi kognitif, saat ini studi-studi tentang perancangan multimedia pembelajaran diarahkan untuk mengeksplorasi bagaimana otak merespon stimulus-stimulus pesan multimedia. Menurut cognitive theory, misalnya, dalam memproses informasi memori kerja (working memory) hanya bisa memproses sejumlah kecil informasi. Gagasan utama cognitive load theory) ialah bahwa limitasi-limitasi memori kerja seharusnya menjadi pokok pertimbangan ketika hendak mendesain pesan multimedia pembelajaran. Teori ini berpandangan bahwa hanya sedikit elemen informasi
yang bisa diolah dalam memori kerja pada setiap saat. Terlalu banyak elemen bisa terlampau membebani memori kerja sehingga menurunkan keefektifan pemrosesan. Jika seseorang diharuskan untuk membagi perhatian mereka di antara, dan mengintegrasikan secara mental, dua atau lebih sumber-sumber informasi paduan verbal-auditori yang tak berhubungan dan secara berlebihan, proses ini menempatkan suatu ketegangan yang tak perlu pada memori kerja yang terbatas dan menghambat proses pembelajaran. Sementara itu, jika format-format terintegrasi secara fisikal maka bagian-bagian sumber informasi akan secara langsung saling melekat menurut komponen-komponen yang sesuai satu dengan lainnya. Integrasi fisikal dari elemen-elemen yang berkaitan akan mengurangi proses mencari-dan-mencocokkan sehingga dapat mengurangi beban memori kerja. Ditegaskan pula bahwa presentasi auditori dan visual yang terkombinasi dapat menyediakan cara alternatif berkaitan dengan format-format perhatian-terbagi. Meskipun masih diharuskan untuk mengkoordinasikan informasi dari sumber-sumber auditori dan visual yang berlainan masih terdapat lebih banyak memori kerja yang efektif yang berhubungan dengan integrasi informasi daripada jika berkaitan dengan format visual saja yang ekivalen. Dengan demikian, menyajikan sejumlah sumber informasi secara simultan, bahkan di dalam format yang terintegrasi (contoh: gambar dan teks yang diintegrasikan secara fisikal), tidak selalu bisa efektif, khususnya jika beberapa informasi yang akan diolah itu tidak diperlukan dan berlebihan. Berdasarkan temuan risetnya Chandler dan Sweller (1991), juga Bobis dkk. (1993) serta Sweller dan Chandler (1994) menyimpulkan bahwa eliminasi (daripada integrasi) terhadap sumber-sumber informasi yang berlebihan mungkin bisa menguntungkan proses pembelajaran. Jika informasi yang berlebihan itu diintegrasikan dengan informasi yang esensial, maka diduga dapat menimbulkan muatan atau beban kognitif tambahan yang mengganggu proses pembelajaran. Beban muatan berlebih juga bisa terjadi karena adanya redundansi pada desain pesan multimedia. Redundansi muncul ketika pengguna multimedia menerjemahkan dan mengkoordinasikan sumber-sumber ganda informasi yang sebenarnya tidak perlu. Aktivitas ini menuntut aktivitas secara mental dan, bagi pengguna yang seharusnya dapat memahami sumber informasi esensial, penyajian yang disertai sumber-sumber lain akan menimbulkan muatan kognitif yang tak berhubungan. Efek redundansi umumnya muncul di bawah kondisikondisi dimana sumber pesan esensial menerima pesan tambahan yang secara kognitif memberikan beban tambahan dan yang sebenarnya tidak diperlukan. Mengenai pesan yang tak perlu, Sebenarnya, pengurangan muatan kognitif bisa dicapai dengan menghilangkan pesan berlebihan dan dengan begitu membebaskan sumber-sumber pesan esensial dari efek
redundansi. Jika, misalnya, sebuah paduan animasi-narasi sudah cukup lengkap dan mudah dipahami, maka elemen tambahan apapun yang berusaha menjelaskan dan atau membuat performansinya lebih menarik tetapi yang tidak berisi informasi pelengkap akan berlebihan dan karenanya mesti dihilangkan. Studi-studi terdahulu (Pranata, 2011; 2012) yang menguji bagaimana siswa mempelajari penjelasan-penjelasan ilmiah dari paduan elemen verbal dan visual menemukan bahwa penambahan kalimat-kalimat yang tak ada hubungannya atau gambar-gambar yang disebut detil-detil seduktif berakibat pada performansi retensi dan transfer yang lebih buruk, bahkan ketika materi-materi tambahan itu dimaksudkan untuk menjadi menarik atau menghibur. Sejalan dengan itu, ternyata penjelasan-penjelasan yang disajikan dalam beberapa format secara simultan (teks, diagram, dan tabel) menimbulkan efek perhatian terbagi dan berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa. Efek perhatian terbagi yang merugikan seperti itu juga ditemukan oleh beberapa peneliti lainnya. Seperti telah dijelaskan, dalam konteks penggunaan multimedia pembelajaran, pengguna secara kognitif dihadapkan pada masalah mengintegrasikan elemen-elemen materi multimodal ke dalam suatu pengalaman bermakna. Elemen-elemen tersebut, sebagai sumbersumber informasi, merupakan paduan bentuk-bentuk visual (misalnya gambar, teks, animasi, video), dan auditorial (misalnya narasi, musik, sound-effect). Bertolak dari teori pengkodean ganda (dual-coding theory) dan teori muatan kognitif (cognitive load theory), limitasi-limitasi memori kerja (working memory) semestinya menjadi pertimbangan utama ketika desainer memilih dan mengkonstruksi elemen-elemen desain pesan multimedia tersebut. Desain pesan multimedia yang memuat banyak bentuk dan ragam elemen akan dapat menimbulkan perhatian terbagi sehingga membebani memori kerja dan menurunkan keefektifan pengolahan informasi. Karena itu, menyajikan sejumlah elemen pesan secara simultan, bahkan di dalam format terintegrasi, tidak selalu bisa efektif, khususnya jika beberapa informasi yang akan diolah itu tidak diperlukan dan berlebihan. Sebagai simpulan, elemen tambahan apa pun yang tidak diperlukan atau yang tidak terintegrasi dengan elemen-elemen lainnya untuk membuat materi mudah dimengerti akan menurunkan kapasitas memori kerja yang efektif dan karenanya mempengaruhi proses belajar dari elemen-elemen terpenting. Karena elemen penting yang diseleksi bagi pengolahan lebih lanjut menjadi lebih sedikit, maka hasilnya adalah performansi lebih buruk pada kemampuan retensi. Selanjutnya, ketika siswa-siswa memfokuskan kapasitas pengolahan visual mereka yang terbatas itu pada penerimaan tambahan elemen visual yang didapat, mereka memiliki sedikit sisa kapasitas untuk membangun representasi visual yang
koheren dan untuk menghubungkannya dengan representasi-representasi yang lain. Hasilnya adalah performansi yang lebih jelek akan terjadi pada kemampuan transfer. Pada prinsipnya, pembelajaran dengan modalitas ganda hanya menguntungkan di bawah keadaan-keadaan yang ditentukan dengan baik dan memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif di bawah keadaan-keadaan yang lain. Sementara itu, temuan beberapa penelitian seperti telah diuraikan sebelumnya, telah menemukan bukti bahwa efek penambahan elemenelemen terhadap desain pesan esensial menunjukkan hasil-hasil yang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan itu disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu penyebab yang diduga cukup dominan mempengaruhinya adalah faktor karakteristik pengguna multimedia. Seperti diketahui, efek utama yang signifikan dari desain pesan multimedia adalah kognitif. Hubungan fundamental antara multimedia dengan perilaku pengguna bisa dipandang sebagai interaksi antara informasi yang ditampilkan dengan pemrosesan informasi manusia. Jika demikian, perbedaan-perbedaan dalam reaksi terhadap multimedia oleh karenanya dapat menghasilkan - di satu sisi dari presentasi atau dari sisi yang lain isinya - informasi yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat merupakan hasil dari pemrosesan, penyimpanan, dan pengingatan ulang akan informasi yang identik namun dilakukan secara berbeda oleh orang-orang yang mengalaminya. Untuk alasan ini, maka kondisi desain pesan multimedia harus dispesifikasikan secara mendasar dimana para pengguna bereaksi dalam suatu cara tertentu yang dipresentasikan oleh multimedia. Sungguhpun begitu, agar multimedia dapat menjalankan fungsi pembelajarannya maka desain pesan harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik spesifik penggunanya. Desain pesan dengan format tertentu bisa jadi hanya cocok untuk mereka yang memiliki memiliki kemampuan dan atau ways of knowing tertentu tetapi bukan untuk mereka yang memiliki kemampuan dan atau ways of knowing lainnya. Jadi, desain pesan multimedia pembelajaran dengan format tertentu akan cocok dengan pengguna yang karakteristik tertentu pula tetapi bukan untuk pengguna dengan karakteristik lainnya; hal ini termasuk jika ke dalam format desain pesan esensial itu ditambahi dengan elemen-elemen lain, seduktif maupun redundan. Bertolak dari asumsi tersebut di atas, serta sesuai dengan cognitive load theory maka desain pesan esensial yang ditambahi dengan elemen-elemen tertentu, seduktif maupun redundan, tak akan membebani pemrosesan informasi dalam memori kerja pengguna yang memiliki literasi dominan yang sesuai dengan karakteristik desain pesan tersebut sehingga penambahan-penambahan tersebut diduga tak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar pengguna tersebut. Hal ini tentu saja tak berlaku bagi pengguna yang memiliki
literasi dominan yang tak sesuai dengan karakteristik elemen-elemen tambahan tersebut. Jadi, informasi dalam format pesan secara visual, esensial maupun dengan tambahan elemenelemen visual lainnya, diduga tak berpengaruh secara signifikan terhadap pemrosesan informasi dalam kognitif pengguna berliterasi visual dominan; hal ini tak berlaku pada pengguna yang memiliki literasi verbal dominan. Sebaliknya, informasi dalam format pesan secara verbal, esensial maupun dengan tambahan elemen-elemen verbal lainnya, diduga tak berpengaruh secara signifikan terhadap pemrosesan informasi dalam kognitif pengguna berliterasi verbal dominan. Seseorang yang berbakat pada suatu bidang yang dipelajari akan memiliki peluang untuk berhasil lebih besar bila dibandingkan dengan orang lain yang kurang berbakat pada kondisi belajar yang sama. Ia memberikan contoh bahwa seseorang yang berbakat tinggi di bidang matematika memiliki peluang untuk berhasil memecahkan soal matematika secara lebih baik dibandingkan orang lain yang memiliki bakat rendah di bidang yang sama. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Mayer & Sims (1994) menemukan bahwa pengguna multimedia yang memiliki kemampuan spatial tinggi memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibandingkan pengguna yang memiliki kemampuan spatial yang rendah. Sehubungan dengan itu, seseorang yang memiliki bakat berpikir visual tinggi, misalnya, diduga akan memiliki peluang berhasil secara lebih besar dibandingkan orang lain yang memiliki bakat berpikir visual rendah jika mereka mempelajari informasi sama yang dikemas dalam format pesan visual. Selain itu, hasil belajar seseorang yang memiliki bakat berpikir visual yang tinggi diduga tak lebih buruk daripada orang lain yang memiliki bakat berpikir visual rendah jika mereka mempelajari informasi sama yang dikemas dalam format desain pesan esensial dengan tambahan elemen-elemen visual tak relevan. Efek penambahan elemen-elemen visual seduktif pada desain pesan esensial diduga lebih berpengaruh terhadap pengguna berliterasi verbal dominan daripada pengguna berliterasi visual dominan. Sebaliknya, efek penambahan elemen-elemen verbal redundan pada desain pesan esensial diduga lebih berpengaruh terhadap pengguna berliterasi visual dominan daripada pengguna berliterasi verbal dominan. Sejalan dengan itu, efek penambahan elemen-elemen visual seduktif maupun verbal redundan pada desain pesan esensial tersebut diduga lebih berpengaruh terhadap pengguna multimedia yang memiliki bakat berpikir visual rendah daripada pengguna memiliki bakat berpikir visual tinggi. Akhirnya, sudah semestinya jika seiring dengan perkembangan teknologi-teknologi multimedia canggih seperti yang sedang berlangsung saat ini, penelitian-penelitian tentang belajar, pembelajaran, dan multimedia membutuhkan dan telah menuju ke arah-arah yang
baru. Arah-arah baru tersebut menuju pada upaya untuk memahami bagaimana proses-proses pembelajaran, belajar, dan kognitif dipengaruhi oleh desain pesan serta bagaimana elemenelemen desain pesan terintegrasi membentuk konteks-konteks untuk proses belajar. Ketika minat serta arah penelitian telah berubah, banyak gagasan tradisional mengenai pendesainan dan pengajaran juga akan berubah: dari belajar dari media menuju belajar dengan media. Dalam hal ini, Hannafin (1996) menegaskan sebagai berikut. Often research has examined teaching, learning, or technology as discrete, separate elements. It has become increasingly important to clarify the interdependent nature of these elements. Research on teaching, learning, and technological processes will help researchers to understand better how, when, why, and for what purposes elements should be combined. It will also help develop rasionales and beliefs for designing and developing learning systems. The outcomes of this research should produce better ways for teachers to teach, students to learn, and technologies to support the prosecces of teaching, learning, and thinking. Sesungguhnya, penelitian dan pengembangan desain pesan multimedia pembelajaran sedang membutuhkan perspektif teoritikal baru. Suatu kerangka teori yang jelas berbeda dari sekedar menyajikan pesan secara estetik dan atau rasional. Penutup Secara
tradisional
multimedia
pembelajaran
disusun
berdasarkan
metode
instruksionisme: sebagai penyampai informasi, komunikator pengetahuan, atau tutor bagi pebelajar. Dalam hal ini pebelajar didudukkan secara pasif, tidak memiliki input partnership intelektual dengan media yang bersangkutan. Menurut konstruktivisme, pemerolehan pengetahuan merupakan proses desain, yang difasilitasi saat pebelajar secara aktif mendesain pengetahuan daripada menginterpretasi atau mengkodekan. Pebelajar menjadi desainer pengetahuan ketika ia memfokuskan pada tujuan untuk memperoleh informasi, struktur yang mendasarinya, mengembangkan model, serta menggunakan argumen-argumen yang diperlukan oleh masalah pokok bagi penyesuaian desainnya. Dengan demikian, memproduksi pengetahuan lewat produk multimedia merupakan bentuk yang paling komplit dan memberdayakan. Dengan mengkonstruksi multimedia yang berbasiskan pada pengetahuan pebelajar akan menemukan pengetahuan yang serba lebih. Sementara itu, jika multimedia hanya didudukkan sebagai kontainer pencurah pengetahuan serta alat instruksi, pebelajar akan memperoleh pengetahuan yang statis dan ‘kering’. Tulisan ini menekankan, multimedia seharusnya digunakan sebagai alat untuk membantu pebelajar menguasai lebih dari batas pikirannya, seperti memori, pemikiran, dan pemecahan masalah. Multimedia juga bisa
berfungsi sebagai teknologi kognitif untuk memperkeras dan mereorganisasikan cara mereka berpikir. Untuk tujuan tersebut perancangan multimedia pembelajaran tidak dapat hanya dilandasi oleh sekedar asumsi-asumsi melainkan mengacu pada teori-teori formal yang telah teruji keterandalannya.
Daftar Rujukan Alwitt, L.F., Anderson, D.R., Lorch, E.P., & Levin, S.R. 1990. Preschool children’s visual attention to attributes of television. Human Communication Research, 7, 52-67. Anderson, D., & Lorch, E.P. 1983. Looking at television: Action or reaction? Dalam J. Brian T. & D.R. Anderson (Eds.), Children’s understanding of television: Research on attention and comprehension. New York: Academic Press. Anglin, G.J., Towers, R.L. dan Levie W.H. 1996. Visual message design: The role of static and dinamyc illustrations. Dalam David H. Jonassen (Ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Association for Educational Communications and Technology-Simon & Schuster Macmillan. Baddeley, A. 1992. Working memory. Science, 255: 556-559. Chen, C. & Rada, R. 1996. Interacting with hypertext: A meta-analysis of experimental studies. Human Computer Interaction, 11: 125-156. Collins, W.A. 1982. Cognitive processing in television viewing. Journals of Communication, 14, 22-31. Dillon, A. dan Gabbard, R. 1998. Hypermedia as an educational technology: A review of the quantitative research literature on learner comprehension, control, and style. Review of Educational Research, 68(3): 322-349. Duffy, T.M., & Jonassen, D.H. 1992. Constructivistism: New implications for instructional technology. Dalam Duffy, T.M., & Jonassen, D.H. (Eds.), Constructivism and the Technology of Instruction: A Conversation. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Hannafin, M.J. 1996. Emerging technologies, ISD, and learning environments: critical perspectives. Educational Technology Research and Development, 7(3):6-10. Huston, A., & Wright, J. 1993. Children’s processing of television: The informative function of formal features. In J. Brian T. & D.R. Anderson (Eds.), Children’s understanding of television: Research on attention and comprehension. New York: Academic Press. Jonassen, D.H., Myers, J.M., McKillop, A.M. 1996. From constructivism to constructionism: Learning with hypermedia/multimedia rather than from it. Dalam Wilson, B.G. (Ed.), Constructivist Learning Environments. New Jersey: Educational Technology Publications.
Jonassen, D.H. 1999. Designing constructivist learning environments. Dalam Charles M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models (Volume II): A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Kalyuga, S., Chandler, P., Sweller, J. 2000. Incorporating learner experience into the design of multimedia instruction. Journal of Educational Psychology, 92(1): 126-136. Kozma, R.B. 1991. Learning with media. Review of Educational Research, 61, 179-211. Mayer, R.E. 1996. Learning strategies fo making sense out of expository text: The SOI model for guiding three cognitive processes in knowledge construction. Educational Psychologist, 8: 357-371. Mayer, R.E., & Wittrock, M.C. 1996. Problem-solving transfer. In D. Berliner & R. Calfee (Eds.), Handbook of Educational Psychology. New York: MacMillan. Merrill, M.D. 1996. Computer-based design for computer-aided instruction. Dalam Tjeerd Plomp & Donald P. Eli (Eds.), International Encyclopedia of Educational Technology, Second Edition. Cambridge, MA: Cambridge University Press. Mitchell, M. 2000. Constructing Multimedia: Benefits of Student-Generated Multimedia on Learning; http://imej.wfu.edu/articles/2000/2/05/index.asp. Moore, D.M., Burton, J.K., dan Myers, R.J. 1996. Multiple-channel communication: The theoretical and research foundations of multimedia. Dalam David H. Jonassen (Ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Association for Educational Communications and Technology-Simon & Schuster Macmillan. Najjar, L.J. 1996. Multimedia information and learning. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 5:129-150. Nielsen, J. 1995. Multimedia and Hypertext: The Internet and Beyond. Boston: AP Profesional. Pranata, M. 2003. Efek seduktif-redundansi desain pesan multimedia. Jurnal Desain Komunikasi Visual Nirmana, 5(1):1-19. Pranata, M. 2004. Efek redundansi: desain pesan multimedia dan teori pemrosesan informasi. Jurnal Nirmana, 6(2):171--182. Pranata, M. 2005. Efek tampilan visual seduktif desain pesan multimedia terhadap kemampuan transfer. Jurnal Nirmana, 7(2):118--125. Pranata, M. 2007. Desain Pesan Multimedia Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang dan Bayumedia Press. Pranata, M. 2010. Teori Multimedia Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang dan Bayumedia Press.
Rowntree, D. 1982. Education Technology in Curriculum Development. London: Harper & Row. Salomon, G. 1984. Television is “Easy” and Print is “Though”: The Differential Investment of Mental Effort in Learning as a Function of Perceptions and Attributions. Journal of Educational Psychology, 76(4): 647-658. Stokes, S. 2003. Visual literacy in teaching and learning: A literature perspective. Electronic Journal for the Integration of Technology in Education, 1(1): 10-19. http://ejite.isu.edu/volume1number1/pdfs/stokes.pdf.
