Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 126–134
ISSN 2085-4242
Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo Asosiasi Psikologi Penerbangan Indonesia—Himpunan Psikologi Indonesia Fatigue is frequently considered as one of the influential factors for aviation safety. Pilots and aviation technicians are likely to suffer from fatigue. The technicians are responsible for aircraft maintenance. This article is intended to explore some studies about fatigue. This article tries to find the clear definitions of fatigue, its causes, its clear indicators, and its influence to psychological aspects related to performance failure especially pilots' performance failure. The article is closed with some tips to avoid the performance failure due to fatigue and some tips to overcome fatigue. Keywords:
fatigue,
performance,
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat (accidents) yang meningkat. Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat disebabkan karena berbagai kemungkinan. Salah satunya karena kegagalan pada mesin pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya insiden atau kecelakaan penerbangan dapat timbul karena kesalahan di tingkat individu (penerbang atau awak pesawat lainnya) atau pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal dengan air traffic controller (ATC). Salah satu kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat individu ini adalah kelelahan individu atau sering dikenal dengan istilah “fatigue”. Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan sekaligus
aviation
safety,
accident
mempromosikan derajat keselamatan penerbangan adalah upaya yang penting. Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya, sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang dapat menjadi indikator fatigue, dan pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang berhubungan dengan kegagalan performance seseorang dan/atau penerbang pada khususnya. Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya pencegahan penurunan performance karena sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat menghadapi dan mengatasi fatigue. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pemahaman tentang timbulnya fatigue dan pengaruhnya terhadap performance yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden atau accident antara kasus kecelakaan yang satu dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini merupakan kajian literatur yang didasarkan atas penelitian empirik maupun studi kasus. 126
KESELAMATAN PENERBANGAN
Fatigue Secara harafiah, fatigue dapat diartikan secara sederhana sebagai kelelahan yang sangat (deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif. Bila dikaitkan dengan pengalaman “seperti apa sebenarnya fatigue itu?”, pengertiannya menjadi bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering dihubungkan dengan kondisi kurang tidur, kondisi akibat tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli lainnya sering mengaitkan fatigue dengan perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya perhatian bersifat temporer, dan menurunnya respon psikomotor; atau berhubungan dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan menurunnya efisiensi performance dan skill; atau, berhubungan dengan menurunnya performance sebagai hasil dari akumulasi stresstres penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan dengan kondisi non-patologis yang dapat membuat kemampuan seseorang menurun dalam mempertahankan kinerja yang berhubungan dengan stres fisik maupun mental; atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet lag). Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue jangka panjang (long-term fatigue/chronic fatigue). Short-term fatigue sering dihubungkan dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan dengan kurang tidur atau istirahat, kerja fisik atau mental yang berlebihan, periode waktu tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag. Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan dapat diatasi dengan tidak terbang dan beristirahat yang cukup.
127
Long-term fatigue atau fatigue yang bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah penyebab yang bervariasi, termasuk tidak fit, baik fisik maupun mental; kondisi stres, baik karena masalah pekerjaan ataupun rumah tangga; kekhawatiran finansial, dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif, artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup, namun yang lainnya tidak; bisa juga terjadi pada seorang penerbang dalam hal mana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana. Terdapat beberapa situasi yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi fatigue. Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun psikologis. Secara umum, fatigue merupakan hasil dari konsumsi resources, baik fisik dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau menurunnya kinerja (drop of performance). Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai penyebab terjadinya fatigue, antara lain kebutuhan tidur (baik karena kurang tidur atau terganggu), jadwal waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization, posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama, kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan, cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman, noise atau kebisingan, vibration, hypoxic environments (perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur), akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu (seperti caffeine, alkohol, antihistamines), accelerative forces and Grelated stress, stres-stres psikologis yang
128
MUSTOPO
berhubungan dengan situasi kerja maupun misimisi penerbangan khususnya di lingkungan militer. Selain memahami sebab-sebab timbulnya fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari timbulnya fatigue. Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan simtom-simtom penurunan performance yang disebabkan fatigue (Rosekind, Gregory, Miller, Lebacqz, & Brenner, 2003). Beberapa simtom penurunan performance yang disebabkan fatigue, antara lain, sebagai berikut: Pertama, penurunan motivasi dan perubahan suasana hati. Simtom awal dari fatigue dan kurang tidur biasanya adalah berubahnya perasaan atau suasana hati (moods) menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini, umumnya orang melaporkan munculnya rasa malas untuk memulai kerja, atau merasa kurang bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan negatif, dan mengantuk. Mereka yang mengalami hal tersebut seringkali menyangkal bahwa mereka mengalami hal tersebut. Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan dengan menurunnya performance. Menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan tidak suka serta perasaan mudah tersinggung pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim. Kedua, penurunan rentang perhatian (span of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam Cassie, Foklema, & Parry, 1964; Dhenin, Sharp, & Ernsting, 1978) menunjukkan bahwa fatigue dan terganggunya waktu tidur akan menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu khususnya yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur, seperti terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang
sama dengan gangguan sistematika berpikir yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian sesaat (lapses of attention) dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu tidur, lapses of attention menjadi meningkat pula. Ketiga, kehilangan daya ingat jangka pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat hilangnya waktu tidur adalah ketidakmampuan mengingat apa yang pernah didengar, dilihat, atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et al., 1978). Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada daya ingat jangka pendek (short term memory). Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya. Sebuah penelitian melaporkan, individu yang tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat beberapa informasi atau materi yang baru dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena harus bekerja terus menerus, daya ingat terhadap bahan/materi yang baru dibacanya akan menurun lebih dari 40 persen. Keempat, waktu reaksi melambat. Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi, melainkan juga akurasi reaksi. Bahaya fatigue dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat diprediksi, seperti jenis respon-respon apa sajakah yang terganggu. Hal ini tergantung dari tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap terganggunya waktu tidur dan fatigue, sedangkan untuk tugas yang lain kurang peka. Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas yang menuntut kewaspadaan, namun bila tugas tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka performance akan memburuk. Bertambahnya tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon
KESELAMATAN PENERBANGAN
jadi lebih lama yang mengakibatkan performance menjadi rusak. Kelima, tidak menyadari adanya penurunan performance. Dalam kondisi fatigue, individu biasanya lebih mudah menerima tingkat performance yang lebih rendah dan seringkali sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi tidak berusaha mengoreksinya. Di samping itu, kondisi fatigue juga membuat seseorang kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan masalah serta kemampuannya mengamati suatu persoalan, atau dalam melihat kemungkinan baru dalam mengatasi masalah. Keenam, menurunnya interpersonal skills dan kegagalan crew coordination. Seperti telah disinggung sebelumnya, fatigue dapat menyebabkan menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan negatif, serta perasaan mudah tersinggung yang pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan interaksi antar awak yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim (Rosekind, et al., 2003). Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang mendukung keberhasilan dan kegagalan operasi penerbangan adalah kemampuan awak pesawat memelihara komando, kendali, dan koordinasi antar awak pesawat. Problem koordinasi antar awak pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ketidaktepatan dalam menetapkan prioritas tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau (3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga macam keterampilan ini dipercaya paling peka terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur. Selain hal yang telah disebutkan di atas, masih terdapat simtom lainnya, yaitu lack of awareness, menurunnya keterampilan motorik,
129
konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan cenderung kembali ke kebiasaan lama.
Kegagalan Penerbangan Tanda-tanda penurunan performance seperti telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan penurunan performance karena fatigue diulas di bawah ini. Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan Rentang Perhatian
Hubungan antara pengalaman kecelakaan pesawat terbang dan situasi yang berkaitan dengan fatigue (shift kerja yang panjang, istirahat yang kurang memadai, dan sebagainya) sebenarnya telah dibuktikan oleh McFarlan, seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa bila penerbang mengalami fatigue di luar batas kemampuannya akan meningkatkan frekuensi dari “personnel error” (seperti lupa, tidak akurat dalam mengendalikan pesawat, dan sebagainya). Salah satu efek fatigue yang meningkat tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan “mental block”. Aspek mental yang berkaitan dengan hambatan dalam mengingat dan menurunnya daya assosiatif. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang sedang melakukan tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun. Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak teringat, dan detil yang penting tidak terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai, bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk
130
MUSTOPO
berfikir dan bertindak efisien. Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat menyebabkan tatapan perhatian cenderung menyempit dan rentang perhatian menjadi terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang cenderung lupa mencek instrumen di luar rentang perhatiannya, misalnya panel di samping. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang membuatnya khawatir daripada aspekaspek yang lebih penting dalam situasi penerbangan (Rosekind, et al., 2003). Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh instrumen utama dapat berubah secara cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang bersifat primitif (suatu reaksi alamiah bila seseorang mulai menjadi takut dan panik). Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan dapat membuat kesalahan dalam mengambil tindakan vital atau paling esensial.
Fatigue dan Fleksibilitas Dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam tindakan penerbangan, terlebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini (Rosekind, et al., 2003). Dalam keadaan fatigue, pengambilan keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi tidak fleksibel dalam mengamati berbagai alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan, dan tentunya dapat berakibat fatal. Sebenarnya pengambilan keputusan tak
terlepas dari faktor psikologis yang telah dibicarakan sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, blocking mental dan penyempitan perhatian dapat mempengaruhi penerbang terutama dalam mendapatkan data informasi untuk dasar pertimbangan (judgment) sebelum keputusan diambil. Bilamana fatigue mulai menyempitkan perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir, biasanya seseorang akan mengambil beberapa kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama, ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan terpaku pada satu set prosedur yang khusus (biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia membuat suatu manuver dalam situasi pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya, dalam menghadapi situasi yang tak menguntungkan, penerbang mulai menurunkan standar akurasi performance yang lebih rendah. Suatu penyelidikan yang dikenal dengan “Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang mengalami fatigue cenderung meningkat keinginannya untuk menerima standar akurasi performance yang lebih rendah. Kemungkinan lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya mengandalkan satu cara atau tindakan yang sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena, menurut pengalaman subjektifnya, bila ia tidak menggunakan cara tersebut akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk. Ia mengambil tindakan yang diyakini secara subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang logis dan realistis.
Fatigue dan Deteriorisasi Akhir
Efek fatigue lainnya yang menarik untuk
KESELAMATAN PENERBANGAN
diamati adalah kekeliruan atau kesalahankesalahan yang muncul bila penerbang mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan. Efek ini sering disebut “end deterioration” (Dhenin, et al., 1978). Suatu kecenderungan kegagalan penerbang meningkat pada tahaptahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat terbang mendekati akhir penerbangan. Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam suatu penerbangan yang penuh dengan stres, pada titik tertentu penerbang akan mengalami kelelahan dan keinginan yang besar untuk beristirahat. Bila keinginan tersebut tak terbendung lagi akan menyebabkan penerbang ingin cepat-cepat sampai di pangkalan. Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi “skilled performance”. Beberapa eksperimen dari Bartlett dan Davis (dalam Cassie, et al., 1964) menunjukkan bahwa stres yang dialami secara terus menerus akan menyebabkan fatigue yang muncul dalam bentuk menurunnya “skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa penurunan performance tersebut umumnya tidak disadari oleh yang bersangkutan. Berbagai efek dari “end deterioration” tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi. Suatu penelitian mengindikasikan bahwa kecelakaan pada saat pendaratan yang berhubungan dengan sebab-sebab fatigue adalah “undershoot” (Cassie, et al., 1964). Dilaporkan kasus ini terjadi tidak kurang dari
131
17 kejadian di antara 23 kasus kecelakaan yang diteliti dalam jangka waktu tertentu.
Fatigue dan Rangkaian Kesalahan
Efek fatigue tidak saja mengakibatkan kecelakaan pada akhir suatu sort penerbangan. Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak berapa lama setelah lepas landas. Hal ini biasanya disebabkan oleh suatu rangkaian kesalahan (“series of error”) sejak persiapan penerbangan saat masih di darat. Dari suatu misi penerbangan yang panjang, para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu pangkalan untuk beristirahat dan keesokan harinya akan melanjutkan penerbangan, mungkin melakukan penerbangan untuk kembali ke home base, atau melanjutkan penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi operasi lainnya. Diharapkan, pada malam sebelumnya penerbang (dan awak pesawat lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan waktu membuat penerbang tidak mungkin beristirahat secara memadai, atau pada kasus lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan kondisi fisik maupun mental yang bersangkutan. Kondisi fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik setelah suatu penerbangan yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi tersebut sudah mempengaruhi pola dan sistimatika berpikir, maka sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan dan perencanaan penerbangan. Hasil penelitian dari “series of error” (Angus, Heselgrave, & Miles, 1985) yang
132
MUSTOPO
berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain (a) kecenderungan kekeliruan dalam membuat persiapan penerbangan, (b) penerbang melakukan error yang serius dalam memperkirakan ketahanan penerbangan, (c) keliru dalam mengamati penyelurusan ketika memasuki ketinggian tertentu pada saat merencanakan penerbangan, (d) keliru ketika memeriksa navigasi karena perkiraan posisi yang salah, (e) keliru dalam mempertahankan ketinggian yang aman, (f) kesalahan ketika penerbang secara prematur mulai menurunkan ketinggian.
Upaya Pencegahan Penurunan Performance Karena Fatigue
Oleh karena biasanya penerbang atau awak pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya beristirahat di sela-sela operasi yang terus menerus, maka penting mereka dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan tidur yang minimal, setidaknya untuk memelihara atau mengembalikan kondisi agar performance dapat tetap efektif. Beristirahat atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya cukup bermanfaat bagi individu yang sedang melaksanakan tugas terbang terus menerus (Angus, Heselgrave, Pigeu, & Jamieson, 1987). Performance dan kondisi suasana hati (mood) secara konsisten menjadi lebih baik segera setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam. Namun efek positif dari istirahat di sela-sela tugas operasi intensif terhadap performance bersifat jangka pendek. Cara ini tidak bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan performance optimal. Karena cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue
dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur sejenak (nap) yang dilakukan antara 20-30 menit di tempat duduk cukup efektif untuk kembali segar, dan durasi nap minimum tidak kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek pemulihan (Angus, et al., 1987). Namun yang perlu diperhatikan adalah nap bersifat individual, sehingga bervariasi antara individu satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan dampak positif, namun mungkin ada yang tidak mendapatkan dampak atau manfaat. Bagi mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap, dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi segar (fresh) tidak terjadi serta merta. Diperlukan beberapa menit untuk mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang lambat, dan umumnya untuk kembali dapat bereaksi secara normal setelah ± 5 menit terbangun. Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam sebelum tugas operasi (Rosekind, et al., 2003), bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana kemungkinan sulit untuk mencari waktu istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian Naitoh, Englund, dan Ryman (1986) menunjukkan bahwa setelah 36 sampai 48 jam
133
KESELAMATAN PENERBANGAN
bekerja terus menerus, tingkat minimum performance dapat dicapai kembali sesudah beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati relatif tak berubah. Di samping cara-cara seperti tersebut di atas, masih ada beberapa kiat yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan performance karena fatigue, antara lain (1) menerima bahwa fatigue merupakan potensi yang dapat menimbulkan masalah, (2) rencanakan tidur / istirahat secara proaktif (rencanakan tidur / istirahat sebelum melaksanakan aktivitas berdurasi lama/panjang), (3) manfaatkan olah raga (exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan jaminan bahwa kita dalam kondisi fit, (4) kendalikan emosi dan kehidupan psikologis, (5) yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman, (6) yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan minuman yang cukup untuk penerbangan yang panjang, (7) yakinkan diri bahwa tempat duduk sudah disesuaikan (adjusted). Cara lain namun lebih membutuhkan keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter penerbangan), adalah dengan memanfaatkan obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine untuk memperoleh kondisi tetap terjaga atau menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif namun diperlukan keahlian dan pengalaman, karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah akan memberikan dampak yang tidak diinginkan.
Kesimpulan Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, pun bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut
perhatiannya. Bila penerbang mengalami kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang berlangsung terus menerus ataupun waktu istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan memadai, ia akan memperlihatkan penurunan performance. Cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert).
Bibliografi Angus, R. G., Heselgrave, R. J., & Miles, W. S, (1985, Mei). Effects of prolonged sleep deprivation, with and without chronic physical exercise, in mood and performance. Psychophysiology, 22(3), 276-82. Angus, R. G., Heselgrave, R. J., Pigeu, R. A., & Jamieson, D. W. (1987, Maret). Psychological performance during sleep loss and continuous mental work: The effort of interjected naps. Paper yang disajikan pada The NATO Seminar "Sleep and its Implications for the Military", Lyon, France. Cassie, A., Foklema, S. D., & Parry, J. B. (Eds.). (1964). Aviation psychology: studies on accident liability, proficiency criteria and personnel selection. Paris: Mouton & Co. Dhenin, S. G., Sharp, G. R., & Ernsting, J., (1978). Aviation medicine, physiology and human factors. London: Tri-Med Books Ltd.
134
MUSTOPO
Naitoh, P., Englund, C. E., & Ryman, D. H., (1986). Sleep management in sustained operation’s user guide (NHRC Report No. 86-22). San Diego: Naval Health Research Center. Rosekind, R. M., Gregory, B. K., Miller, D. L., Lebacqz, J. V., & Brenner, M. (2003). Examiner fatigue factors in accident investigations: Analysis of Guantanmo Bay aviation accident. Alertness Solutions, NASA Ames Research Center, and National Transportation Safety Board. Sells, S. B., & Berry, C. A. (1961). Human factors in jet and space travel. New York: The Roland Press Co. The Oxford Aviation Training. (2001). Human performance and limitation. Oxford Aviation Services Limited.