M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 58
Keseimbangan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Dalam Kerangka Restorative Justice
Oleh: Dheny Wahyudhi1 ABSTRAK
Negara wajib melindungi setiap warga negaranya dari setiap perbuatan yang dapat merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat, perlindungan yang diberikan tidak hanya kepada korban tindak pidana akan tetapi juga kepada pelaku itu sendiri, perlindungan ini haruslah diberikan secara seimbang sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam menyelesaikan sebuah konflik yang terjadi di dalam masyarakat (hukum pidana) diselesaikan melalui sebuah sistem yang dikenal dengan sistem peradilan pidana sistem ini bekerja dalam melindungi masyarakat yang mencari keadilan, tahapan ini dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, putusan hakim, dan lembaga pemasayarakatan, dalam perkembangannya hal ini dirasakan kurang memberikan rasa keadilan bagi mereka yang berperkara dengan hukum baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, ketidak seimbangan ini terlihat dari porporsi perlindungan yang diberikan lebih banyak kepada pelaku daripada korban tindak pidana itu sendiri, sementara kita ketahui bahwa korbanlah yang paling dirugikan dalam suatu tindak pidana, konsep restorative justice dianggap mampu memberikan keseimbangan perlindungan antara korban dan pelaku tindak pidana dalam konsep restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama menyelesaikan masalah akibat dari suatu tindak pidana. Kata kunci: Keseimbangan, Perlindungan Pelaku dan Korban, Restorative Justice
A. Pendahuluan Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat dari adanya perbedaan yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya dengan yang diharapkan untuk dlakukan dan apa yang dalam kenyataan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu.
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 59
Penyimpangan terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat membawa kesenjangan perilaku dan mengganggu ketertiban dalam masyarakat.2 Terhadap penyimpangan perilaku dalam masyarakat dibutuhkan sebuah aturan hukum untuk mengatur kesenjangan/penyimpangan perilaku yang terjadi. Perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat merupakan sebuah kontrol sosial terhadap penyimpangan perilaku. Hukum bekerja melindungi masyarakat dari perbuatan yang dapat merusak tatanan dan sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat, perlindungan hukum itu tidak hanya diberikan kepada masyarakat yang menjadi korban dari suatu penyimpangan/kejahatan akan tetapi juga diberikan kepada pelaku kejahatan sebagai bentuk perlindungan terdap hak asasi manusia. Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi/penyimpangan perilaku dalam masyarakat tersebut di lakukan dengan sebuah lembaga yang dikenal dengan sistem peradilan pidana guna menjalankan upaya penegakan hukum khususnya hukum pidana, yang dalam pelaksanaannya dibatasi oleh mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan tentang prosedur hukum yang dikenal dengan hukum acara pidana, sebagai dasar dari pelaksanaan hukum pidana dan jaminan atas pelaksanaan hukum. Proses ini melibatkan beberapa pihak yakni kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, dalam proses peradilan ini hakimlah yang menjadi puncak terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana. Karena putusan yang dijatuhkannya
membawa
dampak
yang
luas
tidak
hanya
terhadap
pelaku/terdakwa, korban atau keluarganya akan tetapi masyarakat secara keseluruhan.3 Sistem peradilan pidana yang diharapkan dapat berperan dalam penataan keadilan sebagai sarana pengendalian sosial dan mewujudkan keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan dirasakan kurang maksimal dan tidak memberikan porporsi yang seimbang antara perlindungan terhadap korban dan pelaku tindak pidana. Karena fokus perlindungan masih diberikan kepada pelaku 2
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Sudi Hukum Dan Masyarakat, Bandung, Remaja Karya, 1985, hlm. 53 3 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanti Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2010, hlm. 23
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 60
sementara korban hanya sebagai pelengkap saja dan bersifat pasif. Korban memiliki kontrol yang sangat terbatas
terhadap apa yang terjadi dan tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dan tidak bertangggung jawab terhadap tahapan dari proses peradilan. Posisi korban hanya sebagai pelapor dan saksi yang bersifat pasif.4 Kejahatan yang diartikan sebagai serangan terhadap negara berdasarkan aturan perundang-undangan yang dibuat sehingga kejahatan merupakan konflik antara pelaku dengan negara, paradigma yang dibangun dalam sistem peradilan pidana saat ini menentukan bagaimana negara harus memainkan peranannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, negara memiliki otoritas untuk mengatur warganegara melalui perangkatnya,5 atas dasar perlindungan terhadap warga negara maka negara mengambil tindakan kepada pelaku kejahatan yang dalam hal ini adalah meminta pertanggung jawaban termasuk menghukumnya. Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan keseimbangan sosial masyarakat, keseimbangan yang dimaksud di sini adalah antara pelaku dan korban tindak pidana, sehingga tercipta kembali harmonisasi sosial dalam masyarakat. Bentuk penyelesaian ini dilakukan secara seimbang dengan jalan musyawarah antara pihak pelaku dan korban. Konsep penyelesaian seperti ini disebut dengan restorative justice. Konsep restorative justice, menempatkan kejahatan sebagai bagian dari gejala yang menjadi bagian tindakan sosial, sehingga penyelesaiannya harus mengutamakan kearifan lokal yang sesuai dengan kaidah di masyarakat setempat.6 Perlindungan hukum bagi mereka yang terlibat dalam suatu tindak pidana sangat diperlukan baik perlindungan terhadap pelaku maupun perlindungan terhadap korban tindak pidana hal ini haruslah dilakukan secara seimbang dan proporsional sebagai wujud dari perlindungan hak asasi manusia. Dari uaraian
4
Lihat Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm, 183 5 Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, Jakarta, Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011, hlm. 27. 6 Ibid.
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 61
yang telah dikemukakan di atas penulis tertarik untuk melihat lebih jauh mengenai keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku dan korban tindak pidana dalam kerangka restorative justice. B. Perumusan Masalah Agar tidak terjadi perluasan pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis membatasi permasalahan dalam rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku dan korban tindak pidana dalam kerangka restorative justice?
C. Pembahasan 1.
Konsep Dasar Restorative Justice Restorative justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang selama ini dirasa kurang mendapat perhatian dalam bekerja sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini, keadilan restorative juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Apapun bentuknya sepanjang tujuan restorative yaitu kesepakatan yang dicapai merupakan hasil dari suatu proses restorative. Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan teori hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto Rahardjo inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan manusia.7 Oleh karena itu cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-undang, tidak seharusnya keadilan bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu 7
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm 7
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 62
melihat dan menggali keadilan itu, sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.8 Ciri yang menonjol dari restorative justice, yakni kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.9 Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara, menghapuskan stigma/cap jahat dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal, pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian, memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.10
8
http://click-gtg.blogspot.com/2013/11/menuju-penyelesaian-perkara-pidana-yang.html Diakses Tanggal 15 Maret 2014 9 Setyo Utomo, Makalah Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Diselenggarakan Oleh BPHN Departement Hukum Dan Ham, 2010, hlm 24 10 Ibid
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 63
2.
Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Salah satu hal yang mendasar dalam perlindungan hukum yaitu adanya
persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law), prinsip dasar ini erat kaitannya terhadap peranan negara dalam proses berhukum, disamping menegakkan hukum negara juga mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Perlindungan hukum (Hukum pidana) diberikan melalui sebuah sistem yakni sistem peradilan pidana yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan, hal ini diberikan negara sebagai salah satu wujud perlindungan bagi setiap warga negara yang berkonflik dengan hukum baik mereka sebagai pelaku ataupun sebagai korban dari suatu tindak pidana tanpa terkecuali. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.11 Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk guna menjalankan penegakkan hukum (khususnya hukum pidana) yang dalam pelaksanaannya dibatasi oleh suatu mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan yakni Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara (KUHAP). Sistem peradilan pidana berjalan dengan tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas pelaksanaan hukum pidana. Menurut Mardjono Reksodiputro sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam 11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, liberty, Yogyakarta, 1999,
hal.71.
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 64
arti mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi dalam masyarakat,12 oleh karena itu sistem peradilan pidana mempunyai tujuan: 1.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.13
Adapun
perlindungan
(tersangka/terdakwa)
dalam
hukum sistem
yang
diberikan
kepada
pelaku
peradilan
pidana
(KUHAP)
yakni
perlindungan terhadap hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dari mulai proses penangkapan, penahanan dan penuntutan di pengadilan sampai pada tahap eksekusi dan resosialisasi kepada masyarakat tersangka berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu: “Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Sedangkan istilah terdakwa berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.” Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 50-68 KUHAP tersangka atau terdakwa berhak: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik (Pasal 50 ayat (1)); Hak untuk segera memajukan perkaranya ke pengadilan (Pasal 50 ayat (2)); Hak untuk segera diberitahukan dengan jelas terhadap apa yang dipersangkakan kepadanya (Pasal 51 sub a); Hak untuk memberikan keterangan sescara bebas kepada penyidik (Pasal 52); Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dan berhak pula untuk memilih sendiri penasehat hukum (Pasal 54 dan 55); Hak untuk mendapatkan juru bahasa/perjemah (Pasal 53 ayat (1));
12
Mardjon Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Pperan Penegak Hukum Melawan Kejahatan) Dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hlm. 84-85 13 Ibid
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 65
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Hak untuk mendapatkan nasehat dan penasehat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka yang diancam pidana mati, pidana penjara lima belas tahun atau lebih bagi mereka yang tidak mampu yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih dengan cuma-cuma (Pasal 65) Hak untuk menghubungi penasehat hukum, bagi tersangka yang dikenakan penahanan (Pasal 57 ayat (1)); Hak untuk menghubungi perwakilan negaranya bagi yang berkebangsaan asing (Pasal 57 ayat (2)); Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya (Pasal 58); Hak untuk diberitahukan tentang penahanan kepada kelaurganya (Pasal 59); Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya (Pasal 60 dan 61); Hak untuk mengirim dan menerima surat dari penasehat hukum sanak dan keluarganya (Pasal 62); Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniwan (Pasal 64); Hak untuk mengajukan saksi ahli yang a de charge (Pasal 65); Hak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 68).
Di samping hak-hak tersebut di atas, masih ada lagi hak yang lain yang berkaitan dengan penahanan, penggeledahan, penyitaan barang dan lainnya. Perlindungan hukum yang diperikan kepada pelaku (tersangka/terdakwa) tersebut akan efektif apabila komponen yang terlibat di dalamnya (aparat penegak hukum) bekerja secara profesional dan memperhatikan hak-hak tersangka dari semua tingkatan pemeriksaan, dan tersangka tidak boleh dijadikan sebagai objek hukum tempat semua salah yang terjadi di masyarakat akan tetapi harus dilindungi haknya sesuai dengan ketentuan Undang-undang.14 Selanjutnya, KUHAP sebagai dasar hukum penyelenggaraan sistem pradilan pidana secara luas juga melindungi kepentingan korban kejahatan yakni:15 kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal
14
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 205-206 15 Mudzakkir, Makalah Perkembengan Viktimologi Dan Hukum Pidana, Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi (MAHUPIKI), UGM, Yogyakarta, 2014 hlm, 17
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 66
109 dan 10 ayat (2) KUHAP). Kedudukan korban kejahatan sebagai salah satu orang yang tercakup di dalamnya (Pasal 80-81 KUHAP) tidak diposisikan sebagai pihak yang berkepentingan dalam arti sesungguhnya. Hak untuk mengajukan keberatan tersebut dimaksudkan untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan melalui pengawasan horizontal. Hak korban yang berkaitan dengan kedudukan sebagai pelapor dan saksi (Pasal 108 KUHAP) dan hak untuk untuk mengundurkan diri sebagai saksi berdasarkan Pasal 268 KUHAP selanjutnya hak mengijinkan atau tidak mengijikan tindakan Polisi untuk melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Selanjutnya hak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang di alami akibat dari suatu kejahatan yang diatur dalam beberapa pasal yakni Pasal 98-101 KUHAP: Pasal 98 ayat (1) KUHAP “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Pasal 99 ayat (1) KUHAP “Apabila pihak yandirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksug dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukum penggantian biaya yang dirugikan tersebut.” Ayat (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Ayat (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidanaya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 67
Pasal 100 ayat (1) KUHAP “Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam tingkat banding.” Ayat (2) “Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.” Pasal 101 KUHAP “Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.” Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana tidak sebanyak perlindungan yang diberikan kepada pelaku, sementara kita ketahui bahwa korban adalah piahak yang paling dirugikan baik kerugian materiil maupun immateriil akibat dari suatu tindak pidana, untuk itu perlunya keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku maupun korban dalam sistem peradilan pidana mengingat bahwa setiap orang sama kedudukannya didepan hukum. perlindungan hukum itu tidak hanya diberikan kepada pelaku saja akan tetapi korban tindak pidana juga harus dilindungi dengan porporsi yang seimbang dengan demikian rasa keadilan bagi mereka yang berkonflik dengan hukum dapat tercapai.
3.
Keseimbangan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Dalam Kerangka Restorative Justice Penyelenggaraan peradilan pidana bertujuan untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi akibat adanya pelanggaran hukum pidana, permasalahan yang sering muncul dalam penyelesaian perkara melalui peradilan pidana dirasakan kurang maksimal masih banyak masyarakat yang kecewa atas bekerjanya sistem peradilan pidana, terutama para pihak yang berpekara belum memperoleh rasa keadilan yang diingikan. Hal ini berkaitan dengan terlalu bergantungnya sistem
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 68
peradilan terhadap kekuasaan dan penguasa sehingga seolah-olah hukum hanya milik penguasa bukan milik masyarakat.16 Sistem peradilan pidana selama ini masih terfokus pada pelaku tindak pidana (retributive justice) yang mana setiap fase sistem peradilan pidana bekerja dengan mereduksi korban, pelanggar, dan masyarakat untuk menjadi partisipasi yang pasif. Korban bukan pihak-pihak berkepentingan dalam kasus-kasus kejahatan, tetapi korban adalah warga Negara (masyarakat) hanya sebagai saksi (jika diperlukan) bagi kepentingan penuntutan.17 Konsep retributive justice yang berjalan selama ini belum bisa memberikan perlindungan yang memadai terhadap korban tindak pidana sementara kita ketahui bahwa akibat dari suatu tindak pidana tersebut korban tidak hanya mengalami kerugian materil akibat dari suatu tindak pidana akan tetapi juga mengalami kerugian immateriil. Karaktesistik lain dari retributive justice dalam merespon suatu kejahatan terpaku pada perilaku masa lalu pelaku dengan begitu stigma tidak terhapuskan walaupun pelaku menyesal dan sudah dimaafkan dan penyelesain kasus dengan konsep ini tetap bergantung pada aparat dan prosesnya sangat rasional. Akibat dari kesenjangan perlindungan pelaku dan korban dalam sistem peradilan pidana timbullah sebuah pemikiran untuk merestorasi/pemulihan keadaan akibat dari tindak pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif yang memperhatikan keseimbangan perlakuan tidak hanya memperhatikan pelaku saja akan tetapi juga memperhatikan korban, masyarakat dan negara dengan porporsi yang seimbang demi tercapainya suatu keadilan diharapakan. Konsep kejahatan restorative justice lebih mempertegas bahwa kejahatan adalah konflik antar orang perseorangan. Kejahatan dipahami sebagai suatu pelanggaran yang melanggar hak perseorangan dan juga melanggar hak masyarakat (kepentingan publik), kepentingan negara, dan juga secara tidak langsung melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri.18 Negara tidak lagi diposisikan sebagai peran tunggal dan dominan dalam penyelenggaraan peradilan 16
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm, 152 17 Ibid, hlm 182 18 Mudzakkir, Op Cit, hlm. 16-17
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 69
pidana, karena Negara bukanlah korban tunggal yang sesungguhnya dan perannya dibatasi dan lebih diperankan sebagai mediator dan fasilitator, fokusnya pada pemecahan masalah dan memperbaiki kerugian, hak dan kebutuhan korban sangat diperhatikan.19 Hubungan antar pelanggar dan korban dalam proses peradilan dibangun berdasarkan hubungan dialogis kemudian dikenal dengan hubungan kemanusiaan yang saling membutuhkan. Adapun pokok gagasan desain pemidanaan perspektif restoratif dapat dilihat pada tabel berikut:20 No
Tema Pokok
1
Adanya pidana (penjara)
2
Tujuan pidana
3
Pertanggung jawaban
4
Bentuk pidana
5
Efek
Konsep Dasar Pidana penjara tidak penting/tidak perlu - Pertanggung jawaban perbuatan - Menyelesaikan konflik - Mendamaikan - Pertanggung jawaban terhadap dampak/akibat kejahatan - Dasarnya kerugian, membahayakan dan menderitakan - Tidak dibatasi dalam bentuk pidana tetapi dipahami konteksnya secara keseluruhan - Kewajiban merestorasi akibat kejahatan dalam bentuk restitusi atau kompensasi - Rekonsiliasi dan penyatuan sosial - Lamanya pidana tergantung kepada besarnya kerugian yang terjadi - Tanggung jawab sosial - Preventif - Menghindari stigmatisasi - Kehidupan dimasa yang akan datang
Dari tabel di atas terlihat bahwa konsep dasar dari perlindungan hukum yaitu dengan adanya keseimbangan perlakuan, kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tidak di tegaskan yang berujung pada penjatuhan pidana akan tetapi 19
Rena Yulia, Op Cit, hlm. 162-163 Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 203 20
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 70
bagaimana para pihak yang terlibat bersama-sama mencari solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi baik secara restitusi dan kompensasi. Penyelelesaian secara manusiawi saling memaafkan akibat dari suatu tindak pidana dapat mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat. Pergeseran dari retributive justice kearah restorative justice membawa dampak
yang positif bagi pencegahan dan penanggulangan kejahatan,
perlindungan hukum terhadap masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik perseorangan ataupun kelompok berpotensi untuk menjadi korban tindak pidana dan bahkan menjadi pelaku kejahatan. Di dalam keadilan retributive justice perlindungan yang diberikan terfokus pada pelaku tindak pidana korban bersifat pasif karena sudah diwakili oleh negara melalui perangkatnya, sementara keadilan restorative justice lebih terfokus pada keseimbangan perlindungan baik terhadap pelaku, korban, masyarakat, dan Negara. Sehingga konflik yang terjadi dapat segera diselesaikan dan dipulihkan seperti sebelum terjadi suatu tindak pidana. Teori keadilan restorative justice menempatkan sejumlah nilai yang lebih tinggi pada keterlibatan langsung oleh pihak-pihak. Korban berfungsi sebagai suatu elemen kontrol. Pelaku didorong untuk menerima tanggung jawab sebagai tahapan yang penting dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh kejahatan, dalam membangun suatu sistem nilai tanggung jawab sosial keterlibatan masyarakat secara aktif dapat memperkuat masyarakat itu sendiri dan menegakkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang tanggap dan peduli terdadap sesama. Cara pandang
restorative justice menuntut kerjasama
masyarakat pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan dimana pelaku dan korban dapat merekonsiliasi konflik mereka dan menyelesaikan kerugian yang timbul akibat suatu tindak pidana dan dalam waktu bersaman menimbulkan rasa aman dalam masyarakat.21 Salah satu Undang-undang yang telah mencerminkan perlindungan restorative justice adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem 21
Mudzakir, Makalah Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi XI, Surabaya, 2005, hlm. 25
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 71
Peradilan Anak. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Undang-Undang ini juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui diversi. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Diversi ini bertujuan sebagai berikut: a. Mencapai perdamaian antara korban dan ana;k b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang ini merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana anak yang sebelumnya. penyelesaian perkara anak yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem peradilan formal yang selama ini diterapkan. Penyelesaian konflik yang terjadi melalui proses peradilan adalah proses untuk menemukan keadilan. Dalam poses peradilan tersebut banyak kepentingan yang harus dilindungi fokus perhatian tidak hanya pada pelaku tindak pidana akan tetapi perlindungan itu juga harus diberikan kepada pelaku tindak pidana, masyarakat
dan
negara,
serta
menciptakan
kembali
harmonisasi
dan
keseimbangan dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu tindak pidana. Keseimbangan yang adil akan mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi. Pelaku akan lebih bertanggungjawab terhadap perbuatan yang ia lakukan dan korban pun juga dapat merasakan keadilan bilamana kerugian yang ia derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. D. Penutup Dalam
penyelesaian
perkara
pidana
perlu
adanya
keseimbangan
perlindungan baik terhadap pelaku maupun korban, sistem peradilan yang berjalan saat ini terfokus pada pelaku dan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang dirugikan sangat minim. Akibat dari kesenjangan tersebut sehingga perlu
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 72
dilakukan restorasi/pemulihan keadaan hal ini dikenal dengan keadilan restoratif yang memperhatikan keseimbangan perlakuan tidak hanya terfokus pada pelaku akan tetapi juga memperhatikan korban, masyarakat dan negara dengan porporsi yang seimbang. Korban dalam pandangan restrorative justice berfungsi sebagai suatu elemen kontrol sementara pelaku didorong untuk menerima tanggung jawab sebagai tahapan yang penting dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana dan membangun suatu nilai tanggung jawab sosial, keterlibatan masyarakat secara aktif sangat diperlukan demi tercapainya suatu ketertiban dan keadilan. Selanjutnya pelaku dan korban dapat merekonsiliasi konflik mereka dan menyelesaikan kerugian yang timbul akibat suatu tindak pidana. Penyelelesaian secara manusiawi saling memaafkan akibat dari suatu tindak pidana dapat mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat.
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a | 73
Daftar Pustaka
Eva Achjani Zulfa dan Indriyanti Seno Adji, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung. -------------------------, 2011, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI). Mardjon Reksodiputro, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Pperan Penegak Hukum Melawan Kejahatan) Dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Mudzakkir, 2010, Makalah Perkembengan Viktimologi Dan Hukum Pidana, Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi (MAHUPIKI), UGM, Yogyakarta. -------------------, 2005, Makalah Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi XI, Surabaya. -------------------, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta. Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing. Setyo Utomo, 2010, Makalah Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Diselenggarakan Oleh BPHN Departement Hukum Dan Ham. Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, liberty, Yogyakarta. http://click-gtg.blogspot.com/2013/11/menuju-penyelesaian-perkara-pidanayang.html Diakses Tanggal 15 Maret 2014
ISSN : 0854 – 789 X
Volume 25, Nomor 1, Maret 2014