Kesehatan Finansial dan Kinerja Sosial Bank Umum Syariah di Indonesia1 Oleh Azis Budi Setiawan2
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Upaya untuk melakukan implementasi sistem keuangan Islami empat dekade terakhir berjalan begitu gencar. Beberapa eksperimen awal untuk mendirikan perbankan Islam berlangsung di Melayu pada pertengahan tahun 1940-an, di Pakistan pada akhir 1950-an, dan di Mesir melalui Mit Ghamr Savings Banks (1963-1967) serta Nasser Sosial Bank (1971) (Lewis & Algaoud, 2007: 14-15). Meski sebagian besar institusi ini akhirnya gulung tikar, tetapi setidaknya telah memberikan pondasi yang kuat untuk pengembangan berikutnya. Serangkaian krisis yang bertubi-tubi ini, telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan sekaligus memberikan angin segar bagi pengembangan sistem keuangan Islam. Fenomena-fenomena ini kemudian mendorong Bank-bank Islam dalam jumlah besar bermunculan di seluruh penjuru dunia sepanjang 30 tahun terakhir (Chapra & Ahmad, 2002: 1). Meskipun terdapat sejumlah kesulitan, gerakan Islamisasi perbankan berjalan dengan baik. Kemajuan yang dicapai selama seperempat abad terakhir ini menunjukkan hasil yang menggembirakan (Chapra, 2002: 22). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga cukup menggembirakan. Perbankan syariah memasuki sepuluh tahun terakhir, pasca-perubahan UU Perbankan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 10/1998, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat. Perkembangan yang pesat itu terutama tercatat sejak dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin untuk pembukaan bank syariah yang baru maupun pendiriaan Unit Usaha Syariah (UUS). Sampai dengan akhir 2007 sudah terdapat tiga bank umum syariah (BUS), UUS mencapai 26 bank, dan BPR Syariah menjadi 114 (BI, 2007: 1-2). Sedangkan selama tahun 2008 jumlah bank syariah mengalami penambahan 2 BUS yaitu Bank Syariah BRI dan Bank Syariah Bukopin. Selain itu juga dibuka 2 UUS yaitu Bank Tabungan Pensiunan Nasional dan BPD Jawa Tengah. Selain itu tahun 2008 juga bertambah 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPR Syariah (LPPS BI, 2008: viii). Bagian dari tesis penulis, Disampaikan pada Seminar Ilmiah Kerjasama Magister Bisnis Keuangan Islam Univ. Paramadina, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Pusat dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Aula Nurcholis Madjid, Jakarta, Kamis, 30 Juli 2009. 2 Peserta Program Magister Bisnis Keuangan Islam Univ. Paramadina dan Staf Pengajar SEBI School of Islamic Economics (STEI SEBI). 1
Walaupun tingkat pertumbuhannya cukup tinggi, sejauh ini bank syariah baru menempati ceruk kecil (small niche) di sektor finansial negeri-negeri muslim, apalagi di sektor keuangan internasional. Termasuk juga di Indonesia. Hingga akhir 2007, pangsa perbankan syariah dibandingkan perbankan nasional baru mencapai 1,84 persen sedangkan akhir 2006 adalah 1,58 persen. Dimana nilai total aset perbankan nasional sampai dengan Desember 2007 mencapai Rp 1.986,5 triliun (Bank Indonesia, 2007). Selanjutnya, pada tahun 2008 industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sehingga pada akhir tahun mencapai Rp49,55 triliun, dengan pangsa terhadap total aset perbankan nasional sebesar 2,14% (LPPS BI, 2008: viii). Tantangan utama bank syariah saat ini diantaranya adalah bagaimana mewujudkan kepercayaan dari para stakeholder. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, hanya bank-bank yang sanggup membangkitkan kepercayaan stakeholder mereka saja yang akan bisa tumbuh, berkembang dan mengukir sejarah baru. Bank tersebut akan mampu memobilisasi simpanan, menarik investasi, menyalurkan pembiayaan, menanamkan investasi, sekaligus memperluas kesempatan kerja, membantu pemerintah membiayai defisit anggaran untuk pembangunan, dan mengakselerasi pembangunan ekonomi dengan baik. Hal ini terjadi karena semua institusi keuangan harus merespon realitas bahwa penyedia dana (shareholder dan deposan) serta stakeholder yang lain memiliki harapan, dan mereka tidak akan menanamkan dana atau berkontribusi dengan baik apabila ekspektasi mereka tidak diproyeksikan terpenuhi. Ekspektasi stakeholder terhadap bank syariah tentu berbeda dengan bank konvensional. Hal ini didasari oleh kesadaran bahwasannya bank syariah dikembangkan sebagai lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usaha sejalan dengan prinsipprinsip dasar dalam ekonomi Islam. Tujuan ekonomi Islam sendiri dalam hal ini tidak hanya terfokus pada tujuan komersil yang tergambar pada pencapaian keuntungan maksimal semata, tetapi juga mempertimbangkan perannya dalam memberikan kesejahteraan secara luas bagi masyarakat, yang merupakan implementasi peran bank syariah selaku pelaksana fungsi sosial. Berdasarkan latar belakang diatas penting untuk dilakukan penelitian tentang kesehatan finansial dan kinerja sosial dari bank syariah, karena dengan pencapaian keduanya diharapakan dapat meningkatkan kepercayaan dan loyalitas deposan, shareholder, dan stakeholder lainnya terhadap bank syariah. Hal ini diharapakan dapat mengevaluasi kinerja bank syariah secara komprehensif baik pencapaian kinerja bisnis dan kinerja sosialnya selama lima tahun terakhir.
1.2. Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Bank syariah dikembangkan sebagai lembaga bisnis keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam. Tujuan ekonomi Islam bagi bank syariah tidak hanya terfokus pada tujuan komersil yang tergambar pada pencapaian keuntungan maksimal semata, tetapi juga mempertimbangkan perannya dalam memberikan kesejahteraan secara luas bagi masyarakat. Kontribusi untuk turut serta dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut merupakan peran bank syariah dalam pelaksanaan fungsi sosialnya. Fungsi sosial tersebut yang paling nampak
2
diantaranya diwujudkan melalui aktivitas penghimpunan dan penyaluran zakat, infaq, sadaqah, hibah dan waqaf (ZISW). Selain itu bank syariah juga mengelurakan zakat dari keuntungan operasinya serta memberikan pembiayaan kebajikan (qardh). Melalui fungsi sosial ini diharapkan akan memperlancar alokasi dan distribusi dana sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama mereka yang sangat membutuhkan. Dengan demikian, karena bank syariah memiliki fungsi bisnis dan fungsi sosial maka dalam mengevaluasi kinerjanya juga harus dilakukan secara komprehensif. Bank syariah harus dievaluasi pencapaian kinerja bisnis sekaligus kinerja sosialnya. Namun sayangnya kinerja sosial bank syariah di Indonesia selama ini belum ada yang meneliti lebih jauh. Penelitian selama ini lebih cenderung untuk mengevaluasi kinerja bisnisnya saja (lihat penelitian Rosyadi, 2007; Prawira, 2007; Arsil, 2007; Mahfudz, 2006; Rindawati; 2007). Sehingga dengan demikian pencapaian kinerja sosial bank syariah di Indonesia belum diketahui. Padahal kinerja bisnis dan kinerja sosial merupakan bagian integral yang harus dievaluasi, menginggat bank syariah didirikan dan dikembangkan untuk memenuhi dua fungsi tersebut. Pemenuhan kedua fungsi inilah yang juga menjadi ciri unik bank syariah, dibandingkan dengan bank konvensional yang hanya berorientasi bisnis atau “profit maximizer” semata. Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana kesehatan finansial dari Bank Umum Syariah di Indonesia. 2. Bagaimana kinerja sosial dari Bank Umum Syariah di Indonesia.
1.3. Batasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu luas dan lebih fokus maka penelitian yang dilakukan dibatasi untuk beberapa hal berikut: 1. Objek penelitian adalah dua bank umum syariah yang ada di Indonesia, yaitu: Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Pada akhir tahun 2007, market share kedua bank umum syariah tersebut telah mencapai ± 65 persen dilihat dari sisi aset perbankan syariah secara keseluruhan. Sedangkan share pembiayaan dan dana pihak ketiga (DPK) masing-masing mencapai ± 67 persen dan ± 70 persen dari keseluruhan industri perbankan syariah (Laporan Keuangan BMI & BSM, 2007; LPPS BI, 2007). Dengan demikian hal ini relatif dapat merepresentasi kinerja perbankan syariah di Indonesia secara umum. 2. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Tahunan periode 2003-2007 yang telah diaudit dan dipublikasikan. 3. Untuk menilai kesehatan finansial BMI dan BSM penulis hanya berfokus untuk meneliti tiga variabel penting dalam komponen kesehatan finansial yaitu: Kualitas Aset (Asset Quality); Rentabilitas (Earning); dan likuiditas (Liquidity). 4. Untuk menilai kinerja sosial BMI dan BSM penulis berfokus untuk mengevaluasi aspek Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE), Kontribusi Kepada Masyarakat
3
(KKM), Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS), Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) serta Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE).
1.4. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan studi kasus, yaitu menggambarkan sifat sesuatu yang sedang berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebabsebab dari suatu gejala tertentu secara rinci mengenai suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh (Husein Umar, 2003: 55-56). Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk meneliti dan menemukan informasi sebanyakbanyaknya dari suatu fenomena. Teorisasi dan hipotesis dalam penelitian jenis ini kurang diperlukan (Hariwijaya & Jaelani, 2005: 39). Dalam hal ini, penulis akan melakukan studi kasus pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Tahunan periode 2003-2007 yang telah dipublikasikan. Laporan Keuangan Tahunan yang digunakan adalah laporoan keuangan yang telah diaudit, mencakup: Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Investasi Terikat, Laporan Perubahan Modal, Arus Kas, Laporan Dana Zakat Infaq dan Sadaqah serta Catatan Atas Laporan Keuangan yang sangat detail. Dari rincian Catatan Atas Laporan Keuangan hasil audit banyak didapatkan data yang sangat rinci untuk menghitung beberapa rasio yang membutuhkan data yang spesifik.
II.
LANDASAN TEORITIS
2.1. Latar Belakang dan Tujuan Perbankan Syariah Perbankan Islam atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai perbankan syariah telah menjadi lokomotif terdepan bagi proyek ilmu ekonomi Islam dan Islamisasi ilmu ekonomi, yang telah dirintis mulai empat dekade yang lalu. Pengakuan dan penerimaan terhadap perbankan Islam dalam sistem keuangan global telah memberikan energi positif bagi para penggiat ekonomi Islam untuk melanjutkan upaya Islamisasi ilmu ekonomi dan juga institusi ekonominya. Menurut Zamir Iqbal (1997: 1) sejumlah negara Muslim, sedang bergiat untuk menjalankan reformasi atas sistem perbankan dan keuangan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Adapun latar belakang yang mendasarinya menurutnya adalah telah lahirnya kesadaran bahwa lembaga kredit yang merupakan sistem perbankan dan keuangan kapitalis yang berdasarkan bunga, yang telah kokoh diterapkan oleh negaranegara Muslim selama dua abad terakhir dibawah pengaruh kolonialisme telah berimplikasi buruk pada pembangunan. Kesadaran pengembangan perbankan Islam dalam pandangan Abdullah Saeed (2003: 25-26) juga dipengaruhi oleh munculnya gerakan kebangkitan Islam (Islamic revivalism), terutama dari kelompok gerakan neo-Revivalis yang dimotori oleh tokohtokoh Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jam’iyat Al-Islami (Pakistan). Menurutnya, tokoh-
4
tokoh dari kelompok ini memiliki pendapat yang tegas bahwa bunga bank termasuk riba dan menyarankan untuk menghilangkannya. Hal ini kemudian membawa pengaruh pada aturan hukum di beberapa negara Muslim yang mengkategorikan bunga termasuk riba. Sehingga pada tahun 1970-an para pemimpin pemerintahan kemudian menetapkan penghapusan bunga. Kondisi ini juga didukung oleh melimpahnya hasil kekayaan minyak di negara kawasan Teluk, yang kemudian mendorong jutaan dolar di investasikan untuk mendirikan bank-bank Islam di Timur Tengah dan secara bersamaan Pakistan, Iran dan Sudan menetapkan menghapus bunga dalam sistem perbankan dan keuangan mereka. Pebankan dan keuangan Islam kemudian berkembang secara pesat satu dekade berikutnya. Hal yang menarik adalah ketertarikan negara-negara non-Muslim dalam menerapkan keuangan Islam di negaranya seperti, Denmark, Luxembourg, Swizerland dan Inggris. Bahkan, pusat-pusat keuangan dunia, seperti New York, Tokyo, London, Hong Kong, dan Singapura juga sudah mendeklarasikan keinginan mereka untuk menjadi pusat keuangan Islam dunia. Keuangan Islam telah diakui sebagai fenomena global yang telah terbukti sebagai suatu sistem keuangan yang mampu bertahan di tengah krisis ekonomi dan diharapkan mampu memberikan keadilan ekonomi. Menurut Islamic Development Bank (IDB) aset finansial syariah global saat ini telah mencapai US$900 miliar dengan pertumbuhan 20% per tahun dan diprediksi akan mencapai US$2 triliun pada 2010 (Bisnis Indonesia, 6/6/2008). Pertumbuhan perbankan dan keuangan Islam yang cerah ini juga didukung oleh hasil riset Ernst & Young, dimana investor Muslim saat ini diestimasi memiliki aset senilai 1,6 triliun dolar AS. Aset itu diproyeksi meningkat menjadi 2,7 triliun dolar AS pada 2010 (Republika, 2/6/2008). Menurut Hidayat (2008) faktor kenaikan harga minyak dunia memang merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pertumbuhan keuangan syariah. Namun menurutnya, di balik semua itu, faktor utama pendorong pertumbuhan keuangan syariah adalah semakin tingginya kesadaran investor Muslim terutama investor Timur Tengah akan pentingnya penyelarasan seluruh aspek hidupnya, termasuk aspek keuangan agar selaras dengan syariat Islam. Besarnya aset yang dipegang oleh investor Muslim tentu akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan instrumen dan institusi keuangan Islam, termasuk perbankan Islam didalamnya. Pondasi filosofis sistem perbankan dan keuangan Islam dalam pandangan Iqbal (1997: 3) berakar pada konsep interaksi faktor-faktor produksi dan perilaku ekonomi yang Islami. Menurutnya, sistem Islam memberikan penekanan yang sama pada dimensi etis, moral, sosial, dan spiritual dalam upaya meningkatkan keadilan dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini menurutnya, sangat berbeda dengan sistem keuangan konvensional yang memusat terutama hanya pada aspek transaksi keuangan dan ekonomi saja. Dalam konsepsi Islam aktivitas komersial, jasa dan perdagangan harus disesuaikan dengan prinsip Islam diantaranya “bebas bunga”. Hal inilah yang juga menjelaskan mengapa pada tahap awal bank Islam atau bank syariah juga dikenal sebagai bank “bebas bunga”. Meski demikian, perbankan syariah tidak bisa disederhanakan menjadi sekedar bank “bebas bunga”. Karena, pandangan yang penting ”bebas bunga” saja, merupakan jebakan pengembangan bank syariah yang hanya berfokus pada aspek transasksi saja dan meredusir pondasi filosofisnya. Mengambarkan sistem ini secara
5
sederhana dengan hanya “bebas bunga” menurut Iqbal (1997: 3) tidak menghasilkan suatu gambaran yang benar atas sistem ini secara keseluruhan. Melarang menerima dan membayar bunga memang menjadi inti (nucleus) dari sistem. Tetapi menurut Chapra (2000: 5) hal ini harus didukung oleh nilai-nilai Islam yang sangat fundamental seperti; berbagi resiko, hak dan kewajiban individu, hak milik, kesucian kontrak dan tangungjawab pembangunan bangsa atau ummat. Sehingga akan terbentuk kelembagaan perbankan Islam yang mendorong sharing resiko, mempromosikan entrepreneurship, melemahkan perilaku spekulatif, dan menekankan kesucian kontrak. Dalam pandangan Hidayat (2008), sistem perbankan dan keuangan Islam yang ada saat ini tercipta sebagai hasil ijtihad para ulama dalam rangka menyelaraskan semua aspek kehidupan seorang Muslim dengan ajaran agamanya. Hal ini dikarenakan Islam adalah sebuah cara hidup yang komprehensif yang tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat ritual, tetapi juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, dan aspek kehidupan lainnya. Sistem perbankan Islam, seperti halnya aspek-aspek lain dari pandangan hidup Islam, merupakan sarana pendukung untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial dan ekonomi Islam. Beberapa tujuan dan fungsi penting yang diharapkan dari sistem perbankan Islam menurut Chapra (2000: 2) antara lain: (a) Kemakmuran ekonomi yang meluas dengan tingkat kerja penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum; (b) Keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata; (c) Stabilitas nilai uang untuk memungkinkan alat tukar tersebut menjadi suatu unit perhitungan yang terpercaya, standar pembayaran yang adil dan nilai simpan yang stabil; (d) Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan cara-cara tertentu yang menjamin bahwa pihak-pihak yang berkepentingan mendapatkan bagian pengembalian yang adil; dan (e) Pelayanan yang efektif atas semua jasa-jasa yang biasanya diharapkan dari sistem perbankan. Dalam pandangan Chapra, jelas sekali bahwa selain memberikan jasa keuangan yang halal bagi komunitas muslim sebagai tujuan khusus, sistem keuangan dan perbankan Islam diharapkan juga memberikan kontribusi bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi Islam. Senada dengan Chapra, Lewis & Algaoud (2007: 123) menyimpulkan bahwa tujuan utama perbankan dan keuangan Islam dari perspektif Islam mencakup: (1) penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaruan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip Islam; (2) distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar; dan (3) mencapai kemajuan pembangunan ekonomi. Sedangkan menurut Hidayat (2008), sebagai suatu sistem keuangan yang berdasarkan syariat Islam, maka menurutnya, arah dan tujuan didirikannya keuangan Islam mestilah untuk mewujudkan tujuan syariah (maqasid al-syariah). Secara umum, tujuan syariah dikategorikan kepada pendidikan (tarbiyah), keadilan (adalah), dan kesejahteraan umat (maslahatul ammah). Peranan institusi keuangan Islam, seperti bank syariah dalam mewujudkan ketiga tujuan tersebut, sangatlah penting. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan, bank syariah perlu terlibat aktif dalam sosialiasi dan edukasi tentang keuangan dan perbankan syariah kepada masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan institusi pendidikan, institusi pelatihan, dan media masa. Tujuan menegakkan keadilan dapat diwujudkan bank syariah dengan bersikap transparan dalam laporan keuangan, adil dalam pembagian keuntungan dengan nasabah, dan adil dalam pembebanan setiap biaya jasa.
6
Kesejahteraan umat menurutnya juga dapat diwujudkan bank syariah melalui alokasi pembiayaan (financing) kepada sektor-sektor yang membawa manfaat bagi masyarakat luas.
2.2. Karakter Unik Bank Syariah Sesuai dengan fungsi bank syariah yang salah satu diantaranya untuk menggantikan fungsi perbankan konvensional, maka pada dasarnya prinsip-prinsip pokok dalam manajemen dan pengelolaan yang dikembangkan secara umum bagi sistem perbankan sebagian dapat berlaku pula pada bank syariah. Meski demikian, terdapat beberapa karakteristik khusus yang pada akhirnya menuntut adanya perbedaan dalam pengelolaan bank syariah3. 2.2.1 Bank Syariah Melibatkan Lebih Banyak Stakeholder Pada bank konvensional, sistem tata kelola yang baik antara lain dapat dikembangkan dengan memperjelas fungsi, kewenangan dan pola hubungan antara pemegang saham (dewan komisaris) dan manajemen bank. Sedangkan pada perbankan syariah struktur tata kelolanya akan melibatkan lebih banyak pihak karena adanya karakteristik khusus dari perbankan syariah. Dalam sistem organisasi bank syariah, masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda dan suatu sistem tata keola yang baik mempersyaratkan adanya pengaturan yang jelas tentang batasan hak, kewenangan dan kewajiban dari setiap unsur tersebut untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan agar tidak terjadi dominasi kepentingan salah satu pihak dengan mengabaikan kepentingan pihak lain. Beragamnya stakeholder bank syariah dapat dilihat dalam gambar 2.1. Gambar 2.1 Stakeholder Bank Syariah dalam Prespektif Agency Theory
Sumber: Ilyas, 2004; Fatima & Pramono, 2007
3
Bagian ini dikembangkan dari paper penulis “Corporate Governance Bank Syariah: Teori dan Dilema Praktik di Indonesia”, Paper Tugas Akhir Mata Kuliah Etika dan Tata Kelola Lembaga Keuangan Syariah pada Magister Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina, Juli 2007.
7
Selain banyaknya kepentingan yang harus dijaga bank syariah juga harus menjaga citra Islam. Karena menurut Chapra & Ahmad (2002), stakeholders terpenting dari bank syariah adalah Islam itu sendiri. Karena bank syariah memakai label Islami secara otomatis memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga citra Islam. Apabila terjadi masalah misalnya penyelewengan dan kegagalan usaha dari suatu bank syariah, secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak kepada citra Islam. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan tuntutan struktur yang khas dalam pengelolaan bank syariah, yaitu bagaimana kepentingan citra Islam dapat dilindungi. 2.2.2 Tuntutan Pemenuhan Prinsip Syariah Bila dirujuk pada sejarah perkembangan bank syariah, alasan pokok dari keberadaan perbankan syariah adalah munculnya kesadaran masyarakat muslim yang ingin menjalankan seluruh aktivitas keuangannya sesuai dengan tuntunan agama. Oleh karena itulah jaminan mengenai pemenuhan terhadap syariah (syariah compliance) dari seluruh aktivitas pengelolaan dana nasabah oleh bank merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan usaha bank syariah. Ketika suatu bank syariah tidak memberikan suatu sistem jaminan bahwa kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip syariah maka yang akan tersisa dalam menggunakan jasa bank syariah adalah nasabah-nasabah yang berpandangan bebas nilai, dan jelas ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan kenapa perlu repot mengembangkan bank syariah. Temuan menarik dari penelitian Chapra & Ahmad (2002) juga menandaskan hal ini, dimana sejumlah 288 nasabah (62%) responden dari 463 nasabah yang terlibat dalam survei tata kelola (GCG) yang dilakukannya (berasal dari 14 bank syariah di Bahrain, Bangladesh dan Sudan) menjawab akan memindahkan dananya ke bank syariah yang lain jika ditengarai terjadi “pelanggaran syariah” dalam operasional bank syariah. Hal ini menunjukan bahwa aspek kepatuhan terhadap prinsip syariah amat signifikan mempengaruhi perilaku nasabah dalam memilih bank syariah. 2.2.3 Karakteristik Operasional Mudharabah Bank syariah juga mempunyai keunikan berkaitan dengan hubungan Pemilik Rekening Investasi (Investment Account Holder/IAH) dengan bank yang menuntut keberadaan struktur tata kelola yang memadai untuk menjamin kepentingan IAH. Hal ini terjadi karena dalam operasional perbankan syariah memiliki ciri utama menerapkan sistem bagi hasil (akad mudharabah) dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat (DPK). Dalam konteks Indonesia hal ini dapat dijustifikasi dari data Bank Indonesia (2006) yang menunjukan bahwa porsi DPK yang berbentuk investasi mudharabah mencapai 81,9% (terdiri dari tabungan 29,5% dan deposito 52,4%), sedangkan akad wadiah hanya 18,1% (baik giro, tabungan dan lainnya). Bahkan tahun 2008 porsi DPK yang berbentuk investasi mudharabah meningkat menjadi 88,5% dan giro wadiah hanya 11,5% (BI, 2008). Manajemen bank syariah menjadi agent dari shareholder, dan sementara itu bank juga sebagai mudarib yang bertindak sebagai agent dari IAH. Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dari manajemen bank yang tidak hanya dalam hubungannya dengan shareholder dan IAH, tetapi perlakuan yang adil dan kepentingan antar kedua pihak tersebut. Hubungan antara bank dengan IAH memiliki konsekuensi agency problem yang unik yang agak berbeda dari konsepsi yang dikembangkan untuk bank konvensional. 8
Permasalahan serupa itu juga muncul pada hubungan pemilik vs manajemen pada bank konvensional, namun pada bank konvensional, shareholder mempunyai kewenangan untuk melakukan pemantauan dan menggunakan kekuasaannya dalam RUPS. Sedangkan dengan logika berfikir demikian, IAH tidak memiliki kewenangan yang serupa dengan kewenangan shareholder bank syariah. Secara umum, dari sisi pandang kepentingan IAH dengan skim mudharabah, terdapat sejumlah potensi permasalahan yang diakibatkan oleh ketentuan dasar mudharabah yang membatasi kekuasaan IAH untuk memonitor dan campur tangan dalam kegiatan bank, sementara itu akad mudharabah memberikan kewenangan besar bagi bank dalam kaitan menetapkan segala keputusan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai bagaimana kepentingan IAH dapat dilindungi dalam struktur manajemen dan pengelolaan bank syariah.
2.3. Harapan Stakeholder terhadap Bank Syariah Beragamnya stakeholder bank syariah merupakan karakter unik dari bank syariah tersebut. Hal ini menuntut pengaturan yang jelas tentang batasan hak, kewenangan dan kewajiban dari setiap unsur tersebut untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan serta menjamin keadilan untuk masing-masing pihak. Dalam sistem nilai Islam, perlindungan hak-hak semua stakeholder secara adil sangat ditekankan. Konsep Islam memberikan kerangka sistem nilai yang memberikan prioritas maksimum pada realisasi keadilan dan kewajaran. Dengan demikian diharapkan seluruh kepentingan stakeholder akan terakomodasi secara adil dan wajar. Adapun kepentingan-kepentingan dan harapanharapan dari seluruh stakeholder bank syariah dapat diidentikasi sebagai berikut. Tabel 2.1 Kepentingan dan Harapan Stakeholder Bank Syariah Stakeholder Manajemen
Kepentingan dan Harapan
Profitabilitas, likuiditas, dan kualitas aset yang baik. Gaji, Tunjangan dan Fasilitas yang baik. Pegawai Gaji dan Tunjangan yang baik. Fasilitas Peningkatan Kompetensi SDM. Penghargaan atas inovasi dan kreatifitas. Pemegang Saham Profitabilitas, likuiditas, dan kualitas aset yang baik. Dividen yang tinggi dan peningkatan nilai harga saham. Pemegang Investasi Bagi hasil (profit sharing) yang tinggi. Mudharabah Investasi yang aman. Pemegang Giro Wadiah Fasilitas jasa bank yang baik. Bonus yang memadai. Pemerintah Kontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. Kontribusi pembayaran pajak. Masyarakat (Ummat) Kontribusi kepada masyarakat dalam bentuk zakat perusahaan, pembiayaan qard dan peran edukasi publik. o Kontribusi dalam pembangunan ekonomi: mendorong pertumbuhan dunia usaha dan realisasi investasi. o Kontribusi dalam redistribusi pembangunan ekonomi. Sumber: Dikembangkan dari Chapra & Ahmad (2002), Ilyas (2004), Fatima & Pramono (2007). o o o o o o o o o o o o o o
9
Kepentingan dan harapan dari seluruh stakeholder bank syariah tentu harus diupayakan untuk dipenuhi oleh pengelola bank syariah dalam kerangka keadilan dan kewajaran. Seluruh kepentingan tersebut harus diakomodasi dengan menghindari terjadinya konflik kepentingan serta agar tidak terjadi dominasi kepentingan salah satu pihak dengan mengabaikan kepentingan pihak lain. Dari seluruh kepentingan dab harapan stakeholder terhadap bank syariah diatas dapat diakomodasi oleh sistem penilaian kinerja bisnis (business performance) dan kinerja sosial (social performance) yang dikembangkan secara komprehensif. Kinerja bisnis bagi bank syariah diantaranya bisa diwakili dalam beberapa variabel dalam pengukuran kesehatan finansial bank syariah. Sedangkan untuk melihat kinerja sosial perlu dikembangkan sebuah model penilaian yang dikembangkan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah ada, yang diharapkan bisa mencover kepentingan dan harapan dari manajemen, pegawai, pemegang saham, pemegang rekening investasi mudharabah, pemegang rekening wadiah, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.
2.4. Kesehatan Finansial Bank Umum Syariah Kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank dan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas pengawasan bank. Menurut Riyadi (2006: 169) tingkat kesehatan bank adalah penilaian atas suatu kondisi laporan keuangan bank pada periode dan saat tertentu sesuai dengan standar BI. Standar BI paling awal yang mengatur penilaian kesehatan bank adalah Surat Keputusan Direksi BI tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Kesehatan Bank Umum, yang kemudian disempurnakan dengan SK Direksi BI No. 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998 tentang Perubahan SK Direski BI No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Kesehatan Bank Umum. Dalam standar tersebut faktor-faktor yang menentukan tingkat kesehatan bank meliputi: (a) Permodalan; (b) Kualitas Aktiva Produktif; (c) manajemen dengan penekanan pada manajemen umum dan manajemen risiko; (d) Rentabilitas; (e) Likuiditas; dan (f) pelaksanaan ketentuan lain yang mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank. Dengan semakin kompleksnya usaha dan tingkat risiko yang semakin tinggi, sebagai akibat kemajuan informasi dan teknologi bank perlu mengidentifikasi permasalahan yang akan atau mungkin timbul dari operasional bank. Dengan demikian hasil akhir penilaian Tingkat Kesehatan Bank, menurut Riyadi (2006: 169) bagi manajemen bank dapat dipergunakan sebagai salah satu alat untuk menetapkan strategi dan kebijakan yang akan datang. Sedangkan bagi BI digunakan sebagai sarana pengawasan terhadap pengelolaan bank oleh manajemen. Berikutnya, dikarenakan perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko bank serta perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara internasional maka BI membuat ketentuan baru berkaitan dengan penilaian tingkat kesehatan bank, menggantikan peraturan sebelumnya. BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang merupakan penyempurnaan dari sistem penilaian sebelumnya. Selanjutnya untuk mengakomodasi perbedaan operasional dari bank syariah, untuk menilai kesehatan bank syariah BI mengeluarkan ketentuan baru. Metode penilaian 10
baru tersebut ditetapkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9 Tahun 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Tingkat Kesehatan Bank Syariah dalam PBI tersebut dijelaskan bahwa adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui: (1) Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan (capital), kualitas aset (asset quality), rentabilitas (earning), likuiditas (liquidity), sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk); dan (2) Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen (management). Dalam menilai faktor permodalan yang ditetapkan BI, penilaian meliputi komponen-komponen: (a) kecukupan, proyeksi (trend ke depan) permodalan dan kemampuan permodalan dalam meng-cover risiko; dan (b) kemampuan memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham. Selanjutnya dalam penilaian terhadap faktor kualitas aset meliputi penilaian terhadap komponen-komponen: (a) kualitas aktiva produktif, perkembangan kualitas aktiva produktif bermasalah, konsentrasi eksposur risiko, dan eksposur risiko nasabah inti; dan (b) kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal, sistem dokumentasi dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. Penilaian terhadap faktor rentabilitas mencakup penilaian terhadap: (a) kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi; dan (b) diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya. Berikutnya, dalam menilai faktor likuiditas penilaian mencakup: (a) kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, potensi maturity mismatch, dan konsentrasi sumber pendanaan; dan (b) kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas, akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas pendanaan. Dalam penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar, penilaian difokuskan terhadap komponen-komponen: (a) kemampuan modal Bank atau UUS mengcover potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan (b) kecukupan penerapan manajemen risiko pasar. Sedangkan dalam penilaian terhadap faktor manajemen meliputi penilaian terhadap komponen-komponen: (a). kualitas manajemen umum, penerapan manajemen risiko terutama pemahaman manajemen atas risiko Bank atau UUS; dan (b) kepatuhan Bank atau UUS terhadap ketentuan yang berlaku, komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain, dan kepatuhan terhadap prinsip syariah termasuk edukasi pada masyarakat, pelaksanaan fungsi sosial. Untuk menganalisa kesehatan finansial bank syariah, variabel operasional penelitian diturunkan dari metode penghitungan tingkat kesehatan untuk bank syariah. Metode ini baru ditetapkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9 Tahun 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam PBI tersebut dijelaskan bahwa Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui: (1) Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktorfaktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar; dan (2) Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen. Selain itu, dalam PBI tersebut 11
juga dijelaskan faktor finansial adalah salah satu faktor pembentuk Tingkat Kesehatan Bank yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sesitivitas terhadap risiko pasar. Dalam penelitian ini penulis hanya berfokus untuk meneliti tiga variabel penting dalam komponen kesehatan finansial tersebut yaitu: kualitas aset (asset quality); rentabilitas (earning); dan likuiditas (liquidity). Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 9 Tahun 2007 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, diatur lebih lanjut tentang rasio-rasio yang digunakan. Rasio-rasio keuangan tersebut dibedakan menjadi rasio utama, rasio penunjang dan rasio pengamatan (observed). Rasio utama merupakan rasio yang memiliki pengaruh kuat (high impact) terhadap Tingkat Kesehatan Bank, sedangkan rasio penunjang adalah rasio yang berpengaruh secara langsung terhadap rasio utama dan rasio pengamatan (observed) adalah rasio tambahan yang digunakan dalam analisa dan pertimbangan (judgement). Adapun rasio-rasio yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan penurunan dari kelompok rasio kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas. Selanjutnya dari nilai rasio yang dihasilkan dari perhitungan kemudian akan ditentukan peringkatnya dari peringkat 1 (tertinggi) sampai dengan 5 (terendah) dimana kriterianya mengacu pada ketentuan BI (2007). 2.4.1.1
Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian kualitas aset dimaksudkan untuk menilai kondisi aset bank, termasuk antisipasi atas risiko gagal bayar dari pembiayaan (credit risk) yang akan muncul. Penilaian kuantitatif faktor kualitas aset dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap dua rasio penting yaitu kualitas aktiva produktif bank syariah dan besarnya pembiayaan non performing. 2.4.1.1.1 Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Kualitas aktiva produktif (KAP) merupakan rasio utama dalam mengukur kualitas aset bank syariah. KAP dihitung dengan cara mengurangkan satu dengan Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan Non-Performing (APYD) terhadap total Aktiva Produktif. APYD sendiri adalah aktiva produktif yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian yang besarnya ditetapkan sebagai berikut: (1) 25% dari aktiva produktif yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus; (2) 50% dari aktiva produktif yang digolongkan Kurang Lancar; (3) 75% dari aktiva produktif yang digolongkan Diragukan; dan (4) 100% dari aktiva produktif yang digolongkan Macet. Sedangkan aktiva produktif adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif serta sertifikat wadiah Bank Indonesia. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin baik kualitas aktiva produktif bank syariah. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KAP ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = KAP > 0,99; Peringkat 2 = 0,96 < KAP ≤ 0,99; Peringkat 3 = 0,93 < rasio KAP ≤ 0,96; Peringkat 4 = 0,90 < rasio KAP ≤ 0,93; dan Peringkat 5 = KAP ≤ 0,90.
12
2.4.1.1.2 Pembiayaan Non-Performing (NPF) Pembiayaan non performing (NPF) merupakan rasio penunjang dalam mengukur kualitas aset bank syariah. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah. NPF dihitung dengan membandingkan piutang dan pembiayaan yang non-performing terhadap total piutang dan pembiayaan. Piutang terdiri dari tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa berdasarkan akad murabahah, istishna dan atau ijarah. Sedangkan pembiayaan mencakup pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah, dan pembiayaan qardh. Cakupan komponen dan kolektibilitas pembiayaan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku. Dimana yang dihitung disini mencakup kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan macet. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas pembiayaan bank syariah semakin buruk. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio NPF ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = NPF < 2%; Peringkat 2 = 2% ≤ NPF < 5%; Peringkat 3 = 5% ≤ NPF < 8%; Peringkat 4 = 8% ≤ NPF < 12%; dan Peringkat 5 = NPF ≥ 12%. 2.4.1.2 Rentabilitas (Earning) Penilaian rentabilitas dimaksudkan untuk menilai kemampuan bank syariah dalam menghasilkan laba. Penilaian kuantitatif faktor rentabilitas dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap enam komponen rasio. 2.4.1.2.1 Net Operating Margin (NOM) Untuk menghitung rentabilitas bagi bank syariah, net operating margin (NOM) merupakan rasio utama. Melalui hasil penghitungan rasio ini diharapkan dapat diketahui kemampuan aktiva produktif bank syariah dalam menghasilkan laba. Nilai NOM dihasilkan dari membagi laba operasional dengan aktiva produktif. Laba operasional diperoleh dari pendapatan operasional setelah distribusi bagi hasil dikurangi biaya operasional. Biaya operasional sendiri mencakup beban operasional termasuk kekurangan PPAP yang wajib dibentuk. Untuk kriteria penilaian peringkat rasio NOM menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = NOM > 3%; Peringkat 2 = 2% < NOM ≤ 3%; Peringkat 3 = 1,5% < NOM ≤ 2%; Peringkat 4 = 1% < NOM ≤ 1,5%; dan Peringkat 5 = NOM ≤ 1%. 2.4.1.2.2 Return on Assets (ROA) Return on assets (ROA) merupakan rasio penunjang dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah. Rasio ini digunakan untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba. ROA dihitung dengan membagi laba sebelum pajak dengan total aset. Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan dan atau menekan biaya. Kriteria penilaian peringkat ROA ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = ROA > 1,5%; Peringkat 2 = 1,25% < ROA ≤ 1,5%; Peringkat 3 = 0,5% < ROA ≤ 1,25%; Peringkat 4 = 0% < ROA ≤ 0,5%; dan Peringkat 5 = ROA ≤ 0%.
13
2.4.1.2.3 Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO) Dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah, rasio efisiensi kegiatan operasional (REO) juga merupakan rasio penunjang. REO digunakan untuk mengukur efisiensi kegiatan operasional bank syariah. REO didapatkan dengan membagi biaya operasional dengan pendapatan operasional. Data biaya operasional yang digunakan adalah beban operasional termasuk kekurangan PPAP. Sedangkan data pendapatan operasional yang digunakan adalah data pendapatan operasional setelah distribusi bagi hasil. Adapun kriteria penilaian peringkat REO menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = REO ≤ 83%; Peringkat 2 = 83% < REO ≤ 85%; Peringkat 3 = 85% < REO ≤ 87%; Peringkat 4 = 87% < REO ≤ 89%; dan Peringkat 5 = REO > 89%. 2.4.1.2.4 Diversifikasi Pendapatan (DP) Diversifikasi pendapatan (DP) merupakan rasio penunjang untuk menghitung rentabilitas bagi bank syariah. Rasio ini mengukur kemampuan bank syariah dalam menghasilkan pendapatan dari jasa berbasis fee. Rasio DP ini dihitung dengan membagi pendapatan berbasis fee dengan pendapatan dari penyaluran dana. Pendapatan berbasis fee merupakan pendapatan yang diperoleh bank dari jasa-jasa perbankan yang diberikan oleh bank syariah. Pendapatan dari penyaluran dana adalah pendapatan yang berasal dari penyaluran dana setelah dikurangi bagi hasil untuk investor dana investasi. Semakin tinggi pendapatan berbasis fee mengindikasikan semakin berkurang ketergantungan bank terhadap pendapatan dari penyaluran dana. Adapun kriteria penilaian peringkat dalam rasio DP ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = DP > 12%; Peringkat 2 = 9% < DP ≤ 12%; Peringkat 3 = 6% < DP ≤ 9%; Peringkat 4 = 3% < DP ≤ 6%; dan Peringkat 5 = DP ≤ 3%. 2.4.1.2.5 Return on Equity (ROE) Dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah, Return on Equity (ROE) merupakan rasio pengamatan (observed). ROE digunakan untuk mengukur kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba. ROE dihitung dengan membagi laba setelah pajak dengan modal disetor. Cakupan modal disetor termasuk agio dan disagio. Semakin besar rasio ini menunjukkan kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham semakin besar. Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada. 2.4.1.2.6 Komposisi Penempatan Dana pada Surat Berharga (IdFR). Dalam perhitungan rentabilitas bagi bank syariah, komposisi penempatan dana pada surat berharga (IdFR) merupakan rasio pengamatan (observed). Rasio ini digunakan untuk mengukur besarnya penempatan dana bank syariah pada surat berharga dan pasar keuangan. Untuk mendapatkan nilai rasio ini diakumulasikan terlebih dahulu nilai penempatan dana pada SWBI, surat berharga dan penyertaan kemudian dibagi dengan total aktiva produktif. Surat berharga mencakup SWBI dan surat berharga yang meliputi surat berharga pada bank lain maupun pada non bank. Penyertaan termasuk penyertaan pada bank lain. Semakin tinggi rasio ini mengindikasikan fungsi intermediasi bank syariah belum optimal. Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada.
14
2.4.1.3 Likuiditas (Liquidity) Penilaian likuiditas dimaksudkan untuk menilai kemampuan bank dalam memelihara tingkat likuiditas yang memadai termasuk antisipasi atas risiko likuiditas yang akan muncul. Penilaian kuantitatif faktor likuiditas dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap tiga komponen rasio. 2.4.1.3.1 Besarnya Aset Jangka Pendek Dibandingkan dengan Kewajiban Jangka Pendek (Short Term Mismatch/STM) Dalam menghitung likuidtas bank syariah, besarnya aset jangka pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek (STM) merupakan rasio utama. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Aset jangka pendek adalah aktiva likuid kurang dari 3 bulan selain kas, SWBI dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam laporan maturity profile yang terdapat dalam Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Sedangkan kewajiban jangka pendek merupakan kewajiban likuid kurang dari 3 bulan yang juga terdapat dalam laporan maturity profile. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = STM > 25%; Peringkat 2 = 20% < STM ≤ 25%; Peringkat 3 =15% < STM ≤ 20%; Peringkat 4 = 10% < STM ≤ 15%; dan Peringkat 5 = STM ≤ 10%. 2.4.1.3.2 Kemampuan Aset Jangka Pendek, Kas dan Secondary Reserve dalam Memenuhi Kewajiban Jangka Pendek (Short Term Mismatch Plus/STMP) Dalam menghitung likuidtas bank syariah, kemampuan Aset Jangka Pendek, Kas dan Secondary Reserve dalam memenuhi Kewajiban Jangka Pendek (STMP), merupakan rasio penunjang. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank syariah dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva jangka pendek, kas, dan secondary reserve. Aset jangka pendek dan kewajiban jangka pendek sebagaimana telah dijelaskan diatas. Sedangkan kas adalah uang tunai dan secondary reserve mencakup Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) ditambah dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini menurut standar BI (2007) adalah: Peringkat 1 = STMP ≥ 50%; Peringkat 2 = 40% ≤ STMP < 50%; Peringkat 3 = 30% ≤ STMP < 40%; Peringkat 4 = 20% ≤ STMP < 30%; dan Peringkat 5 = STMP < 20%. 2.4.1.3.3 Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) Rasio Antar Bank Pasiva (RABP), merupakan rasio pengamatan (observed) dalam perhitungan likuiditas bank syariah. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan bank syariah pada dana antar bank. Nilai RABP didapatkan dengan membandingkan nilai Antar Bank Pasiva dengan Total Kewajiban. Antar Bank Pasiva merupakan semua kewajiban bank syariah kepada bank lain. Sedangkan Total Kewajiban terdiri dari Dana Pihak Ketiga, Antar Bank Pasiva, Pinjaman yang diterima, dan Surat Berharga yang diterbitkan. Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada.
15
2.4.1.4 Penilaian Kesehatan Finansial Bank Syariah Berikutnya untuk menghitung nilai kumulatif tingkat kesehatan bank syariah perlu dibuat pembobotan untuk masing-masing faktor keuangan. Berdasarkan ketentuan BI (2007) pembobotan tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Bobot Penilaian Faktor Keuangan Keterangan
Bobot
Peringkat Faktor Permodalan
25%
Peringkat Faktor Kualitas Aset
50%
Peringkat Faktor Rentabilitas
10%
Peringkat Faktor Likuiditas
10%
Peringkat Faktor Sensitivitas atas Risiko Pasar Sumber: Lampiran SE-BI No.9/24/DPbS, 2007.
5%
Berikutnya karena dalam penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel, yaitu kualitas aset (asset quality), rentabilitas (earning), dan likuiditas (liquidity) maka perlu dilakukan penyesuaian atas pembobotannya dengan mengacu pada standar pembobotan BI tersebut. Tabel 2.3 Penyesuaian Bobot Penilaian Faktor Keuangan Keterangan
Penyesuaian
Bobot Akhir
Peringkat Faktor Kualitas Aset
50/70
70%
Peringkat Faktor Rentabilitas
10/70
15%
Peringkat Faktor Likuiditas
10/70
15%
Total nilai bobot 70/70 Sumber: Penyesuaian dengan mengacu SE-BI No.9/24/DPbS, 2007.
100%
Maka berdasarkan penyesuaian pembobotan agar ketiga komponen berniali 100% maka hasil perhitungan menetapkan bahwa bobot untuk kualitas aset adalah 70%, rentabilitas 15%, dan likuiditas 15%. Selanjutnya berkaitan dengan penentuan angka kredit maka diberikan nilai masing-masing sebagai berikut: Peringkat 1 mendapatkan angka kredit 100, Peringkat 2 memiliki angka kredit 80, peringkat 3 mendapat angka kredit 60, peringkat 4 dan 5 masing-masing mendapatkan angka kredit 40 dan 20 (Assesment dari Penulis). Sedangkan predikat kesehatan finansial berdasarkan nilai terbobot adalah memiliki kriteria sebagai berikut: Tabel 2.4 Predikat Kesehatan Finansial Bank Keterangan
Nilai Bobot
Sehat
81 s/d 100
Cukup Sehat
66 s/d <81
Kurang Sehat
51 s/d <66
Tidak Sehat 0 s/d <51 Sumber: Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Mengacu Ketentuan BI, Slamet Riyadi (2006: 188).
16
Tabel 2.5 Komponen dan Formula Kesehatan Finansial Bank Syariah Faktor Dinilai Kualitas Aset
Rentabilitas
Komponen
Formula/Rasio
Keterangan/Tujuan
Kualitas aktiva produktif (rasio utama)
Mengukur kualitas aktiva produktif bank syariah. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin baik kualitas aktiva produktif bank syariah.
Besarnya Pembiayaan non performing (rasio penunjang)
Mengukur tingkat permasalahan Pembiayaan yang dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas Pembiayaan bank syariah semakin buruk. Mengetahui kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba.
Net operating margin (NOM) (rasio utama) Return on assets (ROA) (rasio penunjang)
Rasio efisiensi kegiatan operasional (REO)
Mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba. Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan dan atau menekan biaya. Mengukur efisiensi kegiatan operasional bank syariah.
(rasio penunjang) Diversifikasi pendapatan (rasio penunjang)
Return on equity (ROE) (rasio pengamatan)
Mengukur kemampuan bank syariah dalam menghasilkan pendapatan dari jasa berbasis fee. Semakin tinggi pendapatan berbasis fee mengindikasikan semakin berkurang ketergantungan bank terhadap pendapatan dari penyaluran dana. Mengukur kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba. Semakin besar rasio ini menunjukkan kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham semakin besar.
17
Komposisi penempatan dana pada surat berharga/pasar keuangan (rasio pengamatan) Likuiditas
Besarnya Aset Jangka Pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek (rasio utama) Kemampuan Aset Jangka Pendek, Kas dan Secondary Reserve dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (rasio penunjang) Ketergantungan pada dana antar bank (rasio pengamatan) Sumber: Bank Indonesia, 2007
Mengukur besarnya penempatan dana bank syariah pada surat berharga dan pasar keuangan. Semakin tinggi rasio ini mengindikasikan fungsi intermediasi bank syariah belum optimal. Mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva jangka pendek, kas, dan secondary reserve. Mengukur tingkat ketergantungan bank terhadap dana antar bank.
18
2.5. Kinerja Sosial Bank Syariah Secara umum, dengan melihat sejarah dan idealisme awal pendirian bank syariah dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki dua fungsi penting yaitu fungsi bisnis dan juga fungsi sosial. Suharto, dkk. ( 2001: 24) menjelaskan fungsi dan peran bank syariah, adalah sebagai : (1) Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi; (2) Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana; (3) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan (4) Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa fungsi pertama sampai ketiga berkaitan dengan fungsi bisnis, sedang fungsi keempat adalah peran sosial dari bank syariah. Hal senada juga disampaikan oleh Antonio (2001: 201-202), dimana menurutnya bank syariah selain memiliki fungsi sebagai pengelola investasi dan penyedia jasa-jasa keuangan juga memiliki jasa sosial. Dalam padangannya, konsep perbankan Islam mengharuskan bank syariah melaksanakan jasa sosial, bisa melalui dana pinjaman kebaikan (qard), zakat, atau dana sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih jauh lagi menurutnya, konsep perbankan Islam juga mengharuskan bank Islam memainkan peran dalam pengembangan sumber daya insani dan meyumbang dana bagi pemeliharaan serta pengembangan lingkungan hidup. Dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, fungsi sosial dari bank syariah ini juga dipertegas. Pada pasal 4 dinyatakan, bahwa selain berkewajiban menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu Bank Syariah dan UUS juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Selain penghimpunan dan penyaluran zakat dan wakaf, bank syariah juga memiliki produk pembiayaan qard (dana kebajikan). Produk ini juga dapat dikategorikan sebagai wujud tanggung jawab sosial bank syariah yang tidak dapat diperoleh dari bank konvensional. Dengan demikian jelas sekali bahwa fungsi sosial dari bank syariah sangat strategis dalam merealisasikan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui instrumen ekonomi Islam yang lain. Tetapi kemudian permasalahannya, sejauhmana pemenuhan tangungjawab sosial tersebut telah diwujudkan oleh bank syariah. Apakah fungsi bisnis dan fungsi sosial ini dimanage secara seimbang? Ataukah bank syariah terutama di Indonesia selama ini lebih cenderung berfokus untuk mengembangkan fungsi bisnisnya, sehingga fungsi sosialnya relatif terabaikan? Oleh karena itu sangat penting untuk direview kembali bagaimana pencapaian fungsi sosial atau yang bisa disebut sebagai kinerja sosial bank syariah ini.
23
Evaluasi kinerja menurut Hameed, et. al. (2004) adalah satu metode untuk mengukur pencapaian perusahaan berbasis pada target-target yang disusun diawal. Hal ini menjadi bagian penting kontrol pengukur yang dapat membantu perusahaan memperbaiki kinerjanya dimasa depan. Dalam Islam keberadaan evaluasi kinerja sangat dianjurkan. Konsep muhasabah merupakan representasi yang mendasar dari evaluasi kinerja, yang bisa diterapkan untuk individu atau perusahaan. Hal ini kemudian menjadi landasan filosofis penting mengapa perlu dilakukan evaluasi kinerja bagi bank syariah, termasuk kinerja sosialnya. Selain itu, yang juga mendasar karena karakter khas bank syariah yang memiliki fungsi sosial maka alat ukur penilaian perlu dikembangkan secara berbeda. Hal ini untuk mengakomodasi kekhususan model operasi bank syariah tersebut. Sayangnya penelitianpenelitian yang berkaitan dengan kinerja bank syariah di Indonesia lebih banyak hanya berfokus pada kinerja keuangan atau bisnis saja (lihat penelitian Rosyadi, 2007; Prawira, 2007; Arsil, 2007; Mahfudz, 2006; Rindawati; 2007). Tentu hal ini kurang sesuai dengan khitah awal kelahiran dari bank syariah. Karena menurut Hameed, et. al. (2004), peradaban barat yang melahirkan perbankan konvensional, ketika mengembangkan alat pengukuran kinerja seperti return on investmen (ROI) misalnya, berbasis pada paradigma utilitarian positivis (utilitarian positivist paradigm) sebagai target utama atau hanya melihat kinerja keuangan saja. Dan ini tidak sepenuhnya sesuai untuk diterapkan bagi bank syariah. Kalau penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kinerja bank syariah di Indonesia lebih banyak berfokus pada kinerja keuangan atau bisnis maka beberapa pakar perbankan syariah internasional telah mencoba melihat kinerja bank syariah lebih komprehensif. Hal ini didasari oleh sebuah kesadaran bahwa perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam didirikan juga untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam seperti mewujudkan keadilan distribusi, dan seterusnya. Kesadaran akan sasaran ini, kemudian menghasilkan alat ukur kinerja bagi bank syariah yang khas dan lebih komprehensif. Penelitian Samad dan Hasan (2000) misalnya bisa merepresentasi upaya awal ini. Dalam penelitian ini Samad dan Hasan selain menggunakan beberapa rasio keuangan yang umum digunakan seperti rasio profitability, liquidity, risk and solvency juga mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi dan masyarakat muslim (commitment to domestic and Muslim community). Untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi digunakan analisis: 1. Long Term Loan Ratio (LTA) 2. Government Bond Investment Ratio (GBD) 3. Mudaraba-Musharaka Ratio (MM/L). Upaya lebih serius untuk merumuskan sekaligus menggunakan alat evaluasi kinerja yang khas bagi perbankan syariah dilakukan oleh Hameed, et. al. (2004). Dalam penelitian dengan judul Alternative Disclosure dan Performance for Islamic Bank’s, mereka merumuskan apa yang disebut “Islamicity Performance Index”. Dalam metode
24
pengukuran kinerja bagi bank syariah tersebut rasio keuangan yang digunakan antara lain: 1. Profit Sharing Ratio (Mudaraba+Musyarakah/Total Financing) 2. Zakat Performance Ratio (Zakat/Net Asset) 3. Equitable Distribution Ratio 4. Directors-Employees Welfare Ratio (Average directors’ remuneration/Average employees’ welfare) 5. Islamic Investment vs Non-Islamic Investment Ratio 6. Islamic Income vs Non-Islamic Income Ratio. Rumusan indeks kinerja bank syariah baru ini diaplikasikan mereka untuk mengevaluasi kinerja Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan Bahrain Islamic Bank (BIB) secara deskriptif. Dalam Islamicity Performance Index sebagian besarnya dapat disebut sebagai kinerja sosial sebagaimana alat evaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi yang digunakan oleh Samad dan Hasan diatas. Untuk melihat kinerja sosial bank syariah penulis mengembankan pendekatan yang pernah dibuat oleh Samad dan Hasan (2000), Hameed, et., al. (2004), serta menggabungkan dengan rasio-rasio yang berdimensi sosial dan telah ada dalam penilaian kesehatan bank syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (2007). Adapun komponen yang akan diteliti dalam kinerja sosial bank syariah ini mencakup: Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE), Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM), Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS), Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) serta Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE). Selanjutnya dari nilai rasio yang dihasilkan dari perhitungan kemudian ditentukan peringkatnya, dari peringkat 1 (tertinggi) sampai dengan 5 (terendah) yang kriterianya sebagian besar merupakan assesment penulis dan beberapa telah ada dalam ketentuan BI (2007), dan akan dijelaskan pada bagian masingmasing. 2.5.1 Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) Penilaian atas Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) dimaksudkan untuk menilai peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi bagi umat dan masyarakat secara umum. Hal ini didasari oleh premis bahwa ide dasar kelahiran perbankan syariah juga untuk meningkatkan pembangunan ekonomi agar lebih berkualitas. Untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi, Samad dan Hasan (2000) telah menggunakan analisis terhadap Long Term Loan Ratio (LTA), Government Bond Investment Ratio (GBD) dan MudarabaMusharaka Ratio (MM/L). Dalam penelitian ini, KPE bank syariah dinilai dari aspek Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR), Intensitas Fungsi Agency (AR), Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP), dan Pendalaman Fungsi Agency (PFA). 2.5.1.1
Rasio Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR)
Sebagian besar ulama dan pakar sependapat bahwa bank syariah merupakan bank yang berprinsip utama bagi hasil, sehingga pembiayaan bagi hasil seharusnya lebih diutamakan dan dominan dibandingkan dengan pembiayaan nonbagi hasil. Selain itu pola
25
pembiayaan bagi hasil, selain merupakan esensi pembiayaan syariah, juga lebih cocok untuk menggiatkan sektor riil, karena meningkatkan hubungan langsung dan pembagian risiko antara investor dengan pengusaha (Ascarya & Yumanita, 2005: 9). Rasio intensitas pembiayaan profit sharing atau mudharabah-musyarakah ratio (MMR) digunakan untuk mengukur besarnya fungsi intermediasi bank syariah melalui penyaluran dana dengan akad profit sharing. Menurut Hameed, et. al. (2004) karena sasaran utama dari bank syariah adalah profit sharing, maka sangat penting untuk mengidentifikasi sejauh mana bank syariah telah mencapai sasaran ini. Sedangkan menurut Samad & Hasan (2000) semakin tinggi rasio pembiayaan ini menunjukkan komitmen kepada pembangunan komunitas yang lebih tinggi. Nilai rasio ini dihitung dengan membagi jumlah pembiayan mudharabah dan musyarakah dengan total pembiayaan. Dengan demikian secara umum semakin besar hasil rasio ini maka kontribusi bank syariah untuk pengembangan sektor usaha dan pembangunan ekonomi umat semakin besar. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio MMR adalah: Peringkat 1 = MMR > 50%; Peringkat 2 = 40% < MMR ≤ 50%; Peringkat 3 = 30% < MMR ≤ 40%; Peringkat 4 = 20% < MMR ≤ 30%; dan Peringkat 5 = MMR ≤ 20%. 2.5.1.2
Rasio Intensitas Fungsi Agency (AR)
Rasio intensitas fungsi agency (AR) bank syariah digunakan untuk mengukur besarnya fungsi agency bank syariah dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Dana investasi masyarakat ini mencakup dana pihak ketiga (DPK) profit sharing yang dihimpun dari tabungan dan deposito mudharabah yang menggunakan metode bagi hasil (profit sharing). Untuk menghasilkan nilai dari rasio AR ini, DPK profit sharing dibagi dengan DPK total. Semakin besar AR menunjukkan bahwasanya peran bank syariah untuk mendorong masyarakat berinvestasi cukup baik, demikian juga sebaliknya. Selain itu menurut Bank Indonesia (2007) semakin besar AR maka biaya sistemik saat likuidasi semakin kecil. Apabila biaya sistemik likuidasi menurun maka kebutuhan financial safety net turun. Dan ini akan memperkuat sistem perbankan, keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio AR adalah: Peringkat 1 = AR > 90%; Peringkat 2 = 80% < AR ≤ 90%; Peringkat 3 = 70% < AR ≤ 80%; Peringkat 4 = 60% < AR ≤ 70%; dan Peringkat 5 = AR ≤ 60%. 2.5.1.3
Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP)
Bagian penting untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi menurut Samad dan Hasan (2000) adalah dengan melihat kontribusinya pada pembiayaan yang bersifat jangka panjang. Hal ini mengingat pembangunan infrastruktur-infrastruktur ekonomi yang penting biasanya bersifat jangka panjang dan juga akan memberi manfaat dalam masa yang panjang. Banyaknya investasi infrastruktur ekonomi jangka panjang juga akan memungkinkan sebuah negara untuk memiliki pertumbuhan yang bersifat berkelanjutan. Selain itu investasi jangka panjang juga akan memberikan efek multiplikasi yang besar dan berdaya jangkau waktu jauh sehingga memberi manfaat yang lebih luas. Rasio Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) bank syariah digunakan untuk mengukur besarnya pembiayaan yang berjangka waktu diatas 5 tahun. Pembiayaan ini mencakup baik Piutang Murabahah, Pembiayaan Qard, Mudharabah, Musyarakah, dan juga Aktiva Ijarah. Untuk menghasilkan nilai dari rasio KPJP ini, pembiayaan berjangka waktu diatas 5 tahun dibagi dengan total aset yang dimiliki bank syariah yang bersangkutan. Semakin besar 26
rasio KPJP menunjukkan peran bank syariah yang semakin baik dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional, demikian juga sebaliknya. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPJP adalah: Peringkat 1 = KPJP > 15%; Peringkat 2 = 12% < KPJP ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KPJP ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KPJP ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KPJP ≤ 6%. 2.5.1.4
Rasio Pendalaman Fungsi Agency (PFA)
Rasio pendalaman fungsi agency (PFA) bank syariah digunakan untuk mengukur seberapa dalam fungsi agency bank syariah dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Kedalaman ini berkaitan dengan horison waktu yang dipilih oleh investor. Karena semakin lama jangka waktu yang dipilih, juga akan memudahkan bank syariah untuk menginvestasikan pada pilihan-pilihan investasi yang baik. Selain itu, kebanyakan proyek atau bisnis juga membutuhkan invetasi dengan waktu yang relatif lama. Dengan demikian yang akan diperhatikan dalam rasio PFA ini adalah DPK profit sharing yang dihimpun dalam bentuk deposito mudharabah ditambahkan dengan obligasi mudharabah atau musyarakah yang dikeluarkan oleh bank syariah. Deposito dan obligasi mudharabah dipilih karena memiliki jangka waktu yang lebih panjang paling tidak satu bulan dibandingkan dengan tabungan mudharabah yang lebih pendek. Untuk menghasilkan nilai dari rasio PFA ini, nilai deposito dan obligasi mudharabah dibagi dengan total kewajiban. Semakin besar rasio PFA menunjukkan bahwasanya peran bank syariah untuk mendorong masyarakat berinvestasi dengan horison waktu yang lebih panjang cukup baik, demikian juga sebaliknya. Dan hal ini akan memperkuat bank syariah dalam membiayai proyek dan bisnis jangka panjang dan memiliki dampak ekonomi yang luas. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio PFA adalah: Peringkat 1 = PFA > 70%; Peringkat 2 = 60% < PFA ≤ 70%; Peringkat 3 = 50% < PFA ≤ 60%; Peringkat 4 = 40% < PFA ≤ 50%; dan Peringkat 5 = PFA ≤ 40%. 2.5.2 Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) Penilaian atas Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) dimaksudkan untuk menilai kontribusi langsung perbankan syariah kepada masyarakat, diantaranya untuk nasabah yang sedang membutuhkan dan masyarakat miskin. Penilaian ini penting mengingat perbankan syariah juga diharuskan untuk menjalankan peran sosialnya terutama berkaitan dengan distribusi zakat, memberikan pembiayaan kebajikan (qard) dan bahkan juga pendidikan publik. Untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap hal ini, Hameed, et. al. (2004) telah berupaya memasukkan Zakat Performance Ratio (Zakat/Net Asset). Sedangkan pada pengukuran kesehatan BI (2007) untuk bank syariah juga memasukkan rasio pelaksanaan fungsi sosial (RFS) yang digunakan untuk mengukur besarnya pelaksanaan fungsi sosial bank syariah. Dalam penelitian ini KKM bank syariah dinilai dari aspek Rasio Pembiayaan Qardh (QR), Rasio Kinerja Zakat (ZR), Rasio Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS), dan Rasio Pelaksanaan Fungsi Edukasi (CSR). 2.5.2.1.
Rasio Pembiayaan Qardh (QR)
Dalam aktivitasnya bank syariah juga berkewajiban untuk menjalankan fungsi sosial dengan diantaranya memberikan pembiayaan kebajikan (qard). Dengan demikian maka perlu dinilai sejauh mana peran ini telah dijalankan. Rasio pembiayaan qardh atau
27
qardh ratio (QR) digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi pembiayan qardh bank syariah tersebut. QR dihitung dengan membandingkan pembiayaan qardh dengan total pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kepedulian bank syariah yang tinggi kepada pihak yang mengalami kesulitan. Kriteria penilaian peringkat untuk QR adalah: Peringkat 1 = QR > 5%; Peringkat 2 = 3% < QR ≤ 5%; Peringkat 3 = 2% < QR ≤ 3%; Peringkat 4 = 1% < QR ≤ 2%; dan Peringkat 5 = QR ≤ 1%. 2.5.2.2.
Rasio Kinerja Zakat (ZR)
Rasio kinerja zakat atau zakah ratio (ZR) digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi zakat perusahaan yang dikeluarkan oleh bank syariah. Menurut Hameed, et. al. (2004) rasio ini penting karena zakat sendiri merupakan perintah dalam ajaran Islam. Menurutnya, untuk melihat kinerja bank syariah harus berbasis pada pembayaran zakat yang dilakukan oleh bank syariah untuk menggantikan indikator kinerja konvensional earning per share (EPS). Dalam standar AAOIFI sendiri, lembaga keuangan syariah diwajibkan untuk membayar zakat dengan berbasis pada aset bersih. Dalam penelitian ini ZR diperoleh dengan membandingkan zakat yang dibayarkan bank syariah dengan laba sebelum pajak. Karena secara konsensus umum bank syariah di Indonesia menghitung zakat berbasis pada laba sebelum pajak ini. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan zakah performance bank syariah yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk ZR adalah: Peringkat 1 = ZR > 2,5%; Peringkat 2 = 2% < ZR ≤ 2,5%; Peringkat 3 = 1,5% < ZR ≤ 2%; Peringkat 4 = 1% < ZR ≤ 1,5%; dan Peringkat 5 = ZR ≤ 1%. 2.5.2.3.
Rasio Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS)
Rasio pelaksanaan fungsi sosial (RFS) digunakan untuk mengukur besarnya pelaksanaan fungsi sosial bank syariah. Nilai RFS didapatkan dengan membandingkan pembiayan qardh ditambahkan dengan pembayaran zakat perusahaan dengan modal inti atau total ekuitas. Menurut BI (2007) semakin tinggi komponen ini mengindikasikan pelaksanaan fungsi sosial bank syariah semakin tinggi. Kriteria penilaian peringkat untuk RFS adalah: Peringkat 1 = RFS > 20%; Peringkat 2 = 15% < RFS ≤ 20%; Peringkat 3 = 10% < RFS ≤ 15%; Peringkat 4 = 5% < RFS ≤ 10%; dan Peringkat 5 = RFS ≤ 5%. 2.5.2.4.
Rasio Pelaksanaan Fungsi Edukasi (CSR)
Rasio pelaksanaan fungsi edukasi (CSR) digunakan untuk mengukur besar fungsi corporate social reponsibility (CSR) terhadap proses pembelajaran masyarakat. Rasio CSR dihitung dengan membandingkan biaya edukasi publik dengan total biaya operasional. Biaya edukasi publik dicerminkan oleh biaya promosi. Menurut BI (2007) semakin tinggi rasio CSR ini menunjukkan semakin besar peran bank syariah dalam proses pembelajaran masyarakat. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio CSR adalah: Peringkat 1 = CSR > 7%; Peringkat 2 = 5% < CSR ≤ 7%; Peringkat 3 = 3% < CSR ≤ 5%; Peringkat 4 = 2% < CSR ≤ 3%; dan Peringkat 5 = CSR ≤ 2%. 2.5.3 Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) Penilaian atas Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) dimaksudkan untuk menilai kontribusi langsung perbankan syariah bagi stakeholder terdekat. Stakeholder terdekat
28
yang dimaksud mencakup: Pemegang Saham (Shareholder/Sohibul Maal); Manajemen dan Pegawai Bank Syariah (Mudharib); Pemilik Rekening Tabungan dan Deposito Mudharabah (Investor); Pemilik Rekening Giro dan Tabungan Wadiah; dan juga Pemerintah. Masyarakat seluruhnya sebenarnya juga masuk sebagai stakeholder tetapi tidak dimasukkan disini karena sudah dinilai tersendiri melalui pengukuran kinerja bank syairah dalam aspek Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM). Peningkatan kesejahteraan seluruh stakeholder menjadi sasaran penting dari bank syariah. Peningkatan kesejahteraan tersebut juga harus dilihat aspek pemerataannya terhadap masing-masing pihak, yang sangat berbeda dengan perbanan konvensional yang lebih condong untuk mementingkan shareholder dan deposan saja misalnya. Hal ini penting karena menurut Chapra (2000: 2) salah satu tujuan dan fungsi penting hadirnya perbankan syariah adalah mengupayakan terwujudnya keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata. Selain itu juga harus menjamin bahwa pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) mendapatkan bagian pengembalian yang adil. Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana kinerja bank syariah memberikan kontribusi peningkatan dan distribusi pendapatan bagi masing-masing stakeholder tersebut. Untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap hal ini, Hameed, et. al. (2004) menggunakan Equitable Distribution Ratio dan Directors-Employees Welfare Ratio. Dengan mempertimbankan kesediaan data dalam penelitian ini KUS bank syariah dinilai dari aspek kontribusi terhadap Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM), Kesejahteraan Mudharib (KM), Kesejahteraan Investor (KI), Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW), dan Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP). 2.5.3.1.
Rasio Kontribusi Untuk Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM)
Rasio kontribusi bank syariah terhadap peningkatan kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) digunakan untuk mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh pemegang saham yang akan ditandai dengan meningkatnya laba yang ditahan oleh perusahaan. Hal ini bermakna peningkatan kekayaan dari pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan. Rasio KSM dihitung dengan membandingkan Laba Setelah Pajak dengan Modal Inti atau Total Ekuitas dari bank syariah yang mencerminkan kepemilikan Sohibul Maal (Shareholder). Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Sohibul Maal yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KSM adalah: Peringkat 1 = KSM > 15%; Peringkat 2 = 12% < KSM ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KSM ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KSM ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KSM ≤ 6%. 2.5.3.2.
Rasio Alokasi Kesejahteraan Mudharib (KM)
Rasio alokasi kesejahteraan Mudharib (KM) digunakan untuk mengukur besarnya proporsi alokasi pendapatan operasional bank syariah yang dinikmati oleh manajemen dan pegawai dalam bentuk gaji dan tunjangan lainnya. Rasio KM dihitung dengan membandingkan biaya gaji dan tunjangan kesejahteraan pegawai dengan pendapatan operasional dari bank syariah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi dari bank syariah untuk kesejahteraan Mudharib yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KM adalah: Peringkat 1 = KM > 15%; Peringkat 2 = 12% < KM ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KM ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KM ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KM ≤ 6%.
29
2.5.3.3.
Rasio Kontribusi Atas Kesejahteraan Investor (KI)
Rasio kontribusi bank syariah terhadap peningkatan kesejahteraan Investor (KI) digunakan untuk mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Tabungan dan Deposito Mudharabah. Hal ini ditandai dengan nilai bagi hasil yang diterima dari bank syariah. Rasio KI dihitung dengan membandingkan Distribusi Bagi Hasil yang telah dibayarkan oleh bank syariah dengan Total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berbentuk Investasi Tidak Terikat (Mudharabah Muthlaqoh). Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Investor yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KI adalah: Peringkat 1 = KI > 8%; Peringkat 2 = 6% < KI ≤ 8%; Peringkat 3 = 4% < KI ≤ 6%; Peringkat 4 = 2% < KI ≤ 4%; dan Peringkat 5 = KI ≤ 2%. 2.5.3.4.
Rasio Kontribusi Untuk Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW)
Rasio kontribusi bank syariah terhadap peningkatan kesejahteraan Pemegang Rekening Wadiah (KPW) digunakan untuk mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Giro dan Tabungan Wadiah. Hal ini ditandai dengan nilai bonus yang diterima dari bank syariah. Rasio KPW dihitung dengan membandingkan Bonus yang telah dibayarkan oleh bank syariah dengan Total Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk Wadiah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Pemegang Rekening Wadiah yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPW adalah: Peringkat 1 = KPW > 1,5%; Peringkat 2 = 1,2% < KPW ≤ 1,5%; Peringkat 3 = 0,9% < KPW ≤ 1,2%; Peringkat 4 = 0,6% < KPW ≤ 0,9%; dan Peringkat 5 = KPW ≤ 0,6%. 2.5.3.5.
Rasio Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP)
Rasio kontribusi pajak bank syariah untuk pemerintah (KPP) digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi pembayaran pajak bank syariah yang diterima oleh Pemerintah. Pajak yang diterima oleh pemerintah ini nantinya digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas pemerintah, belanja pembangunan, dan tranfer subsidi kepada masyarakat. Rasio KPP dihitung dengan membandingkan Beban Pajak Penghasilan Bersih bank syariah dengan Pendapatan Operasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah untuk pemerintah yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPP adalah: Peringkat 1 = KPP > 7%; Peringkat 2 = 5% < KPP ≤ 7%; Peringkat 3 = 4% < KPP ≤ 5%; Peringkat 4 = 3% < KPP ≤ 4%; dan Peringkat 5 = KPP ≤ 3%. 2.5.4 Kontribusi Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) Penilaian atas Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) dimaksudkan untuk menilai kontribusi langsung perbankan syariah bagi peningkatan kualitas SDI dan juga pembangunan institusinya. Hal ini penting mengingat keberlanjutan pelayanan yang berkualitas serta pelayanan yang efektif atas semua jasa-jasa yang biasanya diharapkan dari sistem perbankan perlu terus dijalankan oleh bank syariah untuk menjadi alternatif dari sistem ribawi. Dengan demikian menurut Chapra (2000: 2), mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dapat diperankan dengan baik oleh bank syariah. Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana kinerja bank syariah dalam mengalokasikan 30
budgetnya untuk Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset. Dalam penelitian ini PKSR bank syariah dinilai dari aspek alokasi anggaran untuk Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai (P4) dan Riset dan Pengembangan (R&D). 2.5.4.1.
Rasio Alokasi Untuk Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai (P4)
Rasio alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan pendidikan dan pelatihan pegawai (P4) digunakan untuk mengukur besarnya alokasi dana untuk program pendidikan dan pelatihan pegawai. Sebagai institusi jasa peningkatan kapasitas SDI bagi bank syariah sangat penting, karena jantung penciptaan layanan yang berkualitas adalah SDII yang dimiliki oleh bank syariah bersangkutan. Rasio PKSR dihitung dengan membandingkan alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan yang tercermin dalam Biaya Pendidikan dan Pelatihan dengan Laba Setelah Pajak. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan kualitas SDI-nya yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio PKSR adalah: Peringkat 1 = PKSR > 15%; Peringkat 2 = 12% < PKSR ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < PKSR ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < PKSR ≤ 9%; dan Peringkat 5 = PKSR ≤ 6%. 2.5.4.2.
Rasio Alokasi Untuk Riset dan Pengembangan (R&D)
Rasio alokasi anggaran bank syariah untuk penelitian dan pengembangan (R&D) digunakan untuk mengukur besarnya alokasi dana untuk program riset dan pengembangan institusinya. Persaingan dalam industri jasa perbankan sangat ketat, dan mereka yang memiliki keunggulan dan kemampuan menciptakan keunggulan baru yang akan mampu tumbuh. Dengan demikian inovasi yang menghasilkan keunggulan secara berkelanjutan menjadi penting bagi bank syariah dan ini akan tercermin dari konsen mereka terhadap alokasi sumber daya untuk program risetnya. Diantara bukti komitmennya adalah alokasi dana. Rasio R&D dihitung dengan membandingkan alokasi anggaran untuk riset yang tercermin dalam Biaya Riset dan Tenaga Ahli dengan Laba Setelah Pajak. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan riset dan pengembangannya yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio R&D adalah: Peringkat 1 = R&D > 3%; Peringkat 2 = 2% < R&D ≤ 3%; Peringkat 3 = 1% < R&D ≤ 2%; Peringkat 4 = 0,5% < R&D ≤ 1%; dan Peringkat 5 = R&D ≤ 0,5%. 2.5.5 Kontribusi Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) Penilaian atas peran bank syariah dalam menjalankan Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) dimaksudkan untuk menilai apakah bank syariah turut berkontribusi dalam pemerataan distribusi ekonomi nasional. Hal ini sangat penting mengingat kondisi saat ini menunjukkan bahwa kesenjangan distribusi pembangunan ekonomi antar wilayah yang semakin besar. Pulau Luar Jawa yang dihuni 40 persen jumlah penduduk hanya menikmati sebagain kecil dari kue ekonomi nasional. Disinilah arti penting peran bank syariah selama ini, apakah telah mendorong distribusi pembangunan ekonomi atau turut menciptakan konsentrasi di pulau Jawa. Evaluasi ini sejalan dengan tujuan dan fungsi penting yang diharapkan dari sistem perbankan syariah menurut Chapra (2000: 2). Tujuan tersebut adalah berupaya untuk mewujudkan kemakmuran ekonomi yang meluas
31
dengan tingkat kerja penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum serta menciptakan keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata. Dalam penelitian ini kontribusi Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) dari bank syariah akan dinilai dari aspek Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN), Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN), dan Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ). Ukuran distribusi yang ideal paling tidak mengacu pada proporsi 40 berbanding 60 sesuai dengan sebaran jumlah penduduk Luar Jawa dan Jawa. 2.5.6.1.
Rasio Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN)
Rasio Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) digunakan untuk mengukur proporsi kekayaan atau aset bank syariah yang berada diluar Jawa dibandingkan dengan aset nasionalnya. Selama ini aset perbankan nasional lebih cenderung terkonsentrasi di pulau Jawa dan khususnya Jakarta. Dengan kondisi ini, maka perbankan juga turut mendorong terjadinya konsentrasi aktivitas ekonomi dan pembangunan ke pulau Jawa. Padahal konsentrasi pembangunan ekonomi hanya pada satu wilayah akan menimbulkan banyak dampak sosial ekonomi lanjutan yang buruk, baik berupa tekanan sosial bagi pusat-pusat konsentrasi yang berlebihan. Atau menimbulkan dampak kemiskinan, ketertinggalan, kelesuan ekonomi, dan separatisme bagi daerah-daerah yang tertinggal. Dengan demikian perlu dievaluasi peran bank syariah dalam melakukan dekonsentrasi pembangunan ekonomi untuk Luar Jawa. Rasio PDAN dihitung dengan membandingkan proporsi Aset bank syariah di Luar Jawa dengan Total Aset Nasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi pembangunan ekonomi bank syariah yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio PDAN adalah: Peringkat 1 = PDAN > 40%; Peringkat 2 = 30% < PDAN ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < PDAN ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < PDAN ≤ 10%; dan Peringkat 5 = PDAN ≤ 10%. 2.5.6.2.
Rasio Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN)
Rasio Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) digunakan untuk mengukur proporsi investasi nasabah bank syariah yang berasal dari luar Jawa dibandingkan dengan total investasi nasabah nasionalnya. Bank syariah memiliki peran penting untuk mendorong pertumbuhan investasi nasabah yang ada diluar Jawa, yang juga merupakan representasi peningkatan ekonomi masyarakat luar Jawa. Dengan demikian perlu dievaluasi peran bank syariah dalam mendorong investasi nasabah Luar Jawa. Rasio PDIN dihitung dengan membandingkan proporsi invetasi nasabah bank syariah di Luar Jawa dengan Total Investasi Nasabah Nasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi investasi nasabah bank syariah secara nasional yang baik. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio PDIN adalah: Peringkat 1 = PDIN > 40%; Peringkat 2 = 30% < PDIN ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < PDIN ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < PDIN ≤ 10%; dan Peringkat 5 = PDIN ≤ 10%. 2.5.6.3.
Rasio Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ)
Rasio Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) digunakan untuk mengukur proporsi pendapatan bank syariah baik dari aktivitas pembiayaan maupun jasa yang berasal dari Luar Jawa dibandingkan dengan pendapatan nasionalnya. Semakin tinggi proporsi pendapatan dari Luar Jawa mengindikasikan bahwa aktifitas pembiayaan, investasi dan layanan jasa bank syariah yang semakin tinggi di Luar Jawa. Dengan demikian perlu dievaluasi pendapatan bank syariah dari Luar Jawa tersebut. Rasio KPLJ 32
dihitung dengan membandingkan Pendapatan bank syariah dari Luar Jawa dengan Total Pendapatan Nasional. Kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPLJ adalah: Peringkat 1 = KPLJ > 40%; Peringkat 2 = 30% < KPLJ ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < KPLJ ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < KPLJ ≤ 10%; dan Peringkat 5 = KPLJ ≤ 10%. 2.5.6.4.
Penilaian Kinerja Sosial Bank Syariah
Berikutnya untuk menghitung nilai kumulatif tingkat kinerja sosial bank syariah perlu dibuat pembobotan untuk masing-masing faktor. Berdasarkan assessment peneliti dengan mengacu pada model pembobotan untuk menghitung kesehatan finansial bank syariah, maka pembobotan untuk kinerja disusun sebagai berikut: Tabel 2.6 Bobot Penilaian Komponen Kinerja Sosial Keterangan
Bobot
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE)
20%
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM)
20%
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS)
20%
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR)
20%
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) Sumber: Assessment Peneliti.
20%
Selanjutnya berkaitan dengan penentuan angka kredit maka diberikan nilai untuk masing-masing sebagai berikut: Peringkat 1 mendapatkan angka kredit 100, Peringkat 2 memiliki angka kredit 80, peringkat 3 mendapat angka kredit 60, peringkat 4 dan 5 masing-masing mendapatkan angka kredit 40 dan 20. Sedangkan predikat kinerja sosial berdasarkan nilai terbobot adalah memiliki kriteria sebagai berikut: Tabel 2.7 Predikat Kinerja Sosial Bank Syariah
Keterangan
Nilai Bobot
Sangat Baik
81 s/d 100
Baik
66 s/d <81
Kurang Baik
51 s/d <66
Tidak Baik 0 s/d <51 Sumber: Assessment Peneliti, Mengacu Penilaian Kesehatan Bank, Slamet Riyadi (2006: 188).
33
Tabel 2.8 Komponen dan Formula Kinerja Sosial Bank Syariah Faktor Dinilai Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE)
Komponen Intensitas pembiayaan profit sharing bank syariah (MMR)
Intensitas fungsi agency bank syariah (AR)
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM)
Formula/Rasio
Keterangan/Tujuan
Mudharabah + Musyarakah Total Pembiayaan
Mengukur besarnya fungsi intermediasi bank syariah dengan akad profit sharing. Semakin besar hasil rasio ini maka kontribusi bank syariah untuk pengembangan sektor usaha semakin besar.
DPK Profit Sharing Total DPK
Mengukur besarnya fungsi agency bank syariah. Semakin besar AR maka biaya sistemik saat likuidasi semakin kecil. Apabila biaya sistemik likuidasi menurun maka kebutuhan financial safety net turun. Mengukur besarnya pembiayaan yang berjangka waktu diatas 5 tahun. Pembiayaan jangka panjang akan memberikan efek multiplikasi yang besar dan berdaya jangkau waktu jauh sehingga memberi manfaat yang lebih luas dalam perekonomian.
Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP)
Pembiayaan Jangka Panjang Total Aset
Rasio Pendalaman Fungsi Agency (PFA)
Deposito & Obligasi Mudharabah Total Kewajiban
Mengukur seberapa dalam fungsi agency bank syariah dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Kedalaman ini berkaitan dengan horison waktu yang dipilih oleh investor. Karena semakin lama jangka waktu yang dipilih, juga akan memudahkan bank syariah untuk menginvestasikan pada pilihanpilihan investasi yang baik secara ekonomi.
Rasio Pembiayaan Qardh (QR)
Pembiayaan Qard Total Pembiayaan
Mengukur besarnya kontribusi pembiayan qard bank syariah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kepedulian bank syariah yang tinggi kepada pihak yang mengalami kesulitan.
Penyaluran Zakat Perusahaan Laba Sebelum Pajak
Mengukur besarnya kontribusi zakat perusahaan bank syariah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan zakah performance bank syariah yang baik.
Rasio kinerja zakat (ZR)
34
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS)
Rasio pelaksanaan fungsi sosial (RFS)
Dana Zakat dan Kebajikan Modal Inti
Mengukur besarnya pelaksanaan fungsi sosial bank syariah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan pelaksanaan fungsi sosial bank syariah semakin tinggi.
Rasio pelaksanaan fungsi edukasi (CSR)
Biaya Promosi Biaya Operasional
Mengukur besar fungsi corporate social reponsibility (CSR) terhadap proses pembelajaran masyarakat. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin besar peran bank syariah dalam proses pembelajaran masyarakat.
Rasio Kontribusi Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM)
Laba Setelah Pajak Modal Inti (Total Ekuitas)
Rasio Alokasi Kesejahteraan Mudharib (KM)
Biaya Gaji dan Kesejahteraan Pendapatan Operasional
Mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh pemegang saham. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Sohibul Maal yang baik. Mengukur besarnya proporsi alokasi pendapatan operasional bank syariah yang dinikmati oleh manajemen dan pegawai dalam bentuk gaji dan tunjangan lainnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi dari bank syariah untuk kesejahteraan Mudharib yang baik. Mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Tabungan dan Deposito Mudharabah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Investor yang baik. Mengukur besarnya keuntungan bank syariah yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Giro dan Tabungan Wadiah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah atas peningkatan kesejahteraan Pemegang Rekening Wadiah yang baik.
Rasio Kontribusi Kesejahteraan Investor (KI)
Rasio Kontribusi Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW)
Distribusi Bagi Hasil Total DPK-ITT
Bonus Rekening Wadiah Total DPK-Wadiah
35
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR)
Rasio Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP)
Beban Pajak Penghasilan Bersih Pendapatan Operasional
Mengukur besarnya kontribusi pembayaran pajak bank syariah yang diterima oleh Pemerintah. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi bank syariah untuk pemerintah yang baik.
Kontribusi Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR)
Biaya Pendidikan dan Pelatihan Laba Setelah Pajak
Mengukur besarnya alokasi dana untuk program pendidikan dan pelatihan pegawai. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan kualitas SDInya yang baik.
Biaya Riset dan Development Laba Setelah Pajak
Mengukur besarnya alokasi dana untuk program riset dan pengembangan institusinya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan riset dan pengembangannya yang baik.
Rasio Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN)
Aset Diluar Jawa Total Aset Nasional
Rasio Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN)
Investasi Nasabah Diluar Jawa Total Investasi Nasabah Nasional
Rasio Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ)
Pendapatan Dari Luar Jawa Total Investasi Nasabah Nasional
Mengukur proporsi aset bank syariah yang berada diluar Jawa dibandingkan dengan aset nasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi pembangunan ekonomi bank syairah yang baik. Mengukur proporsi investasi nasabah bank syariah yang berasal dari luar Jawa dibandingkan dengan total investasi nasabah nasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi investasi nasabah bank syairah secara nasional yang baik. Mengukur proporsi pendapatan bank syariah baik dari aktivitas pembiayaan maupun jasa yang berasal dari Luar Jawa dibandingkan dengan pendapatan nasionalnya. Semakin tinggi proporsi pendapatan dari Luar Jawa mengindikasikan bahwa aktifitas pembiayaan, investasi dan layanan jasa bank syariah yang semakin tinggi di Luar Jawa.
Rasio Alokasi Untuk Riset dan Pengembangan (R&D)
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE)
Sumber: Assessment dan pengembangan dari penelitian sebelumnya.
36
Tabel 2.9 Ringkasan Substansi Penelitian Sebelumnya Peneliti Rosyadi (2007)
Rindawati (2007)
Mahfudz (2006)
Judul
Tujuan
Metodologi
Hasil
Analisis Perbandingan Kinerja Bank Syariah dengan Bank Konvensional Berdasarkan Rasio Keuangan. Studi Kasus: BMI dan 7 (tujuh) Bank Umum Konvensional
Membandingkan kinerja keuangan BMI dengan Bank Mestika Darma (BMD), Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), American Express Bank (AEB), Bank Dagang Bali (BDB), Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT), Bank Mayapada Internasional dan Bank Hagakita (Tahun 19942003).
Metode inter-bank performance analysis dengan membandingkan antara kinerja bank syariah dengan bank konvensional, dimana signifikansi perbedaaan kedua jenis bank dianalisis dengan alat uji statistik independent samples t-test dan untuk mengetahui perbedaannya secara mendetail digunakan comparing means.
Secara umum kinerja BMI lebih baik dari bank umum konvensional, meski untuk beberapa rasio tidak lebih baik.
Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional.
Membandingkan kinerja keuangan perbankan syariah dengan perbankan konvensional pada periode 2001-2007. Sampel penelitian adalah dua kelompok, yaitu 2 bank umum syariah (BMI dan BSM) dan 6 bank umum konvensional (BPD Aceh, BPD DKI, BPD Kalimantan Timur, BPD Sumatera Utara, Bank Tabungan Pensiunan Nasional dan Bank Mizuho Indonesia).
Performance Evaluation of Islamic Commercial Banks In Indonesia After The Financial Crisis.
Mengevaluasi kinerja bank syariah di Indonesia setelah krisis (1999-2004) dan juga kontribusinya dalam pengembangan UMKM (20002002).
Penelitian ini menggunakan rasio keuangan: Capital Adquacy Ratio (CAR), Non-Performing Loan (NPL), Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), dan Loan to Deposit Rato (LDR). Alat analisis yang digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian tersebut adalah independent sample t-test. Ukuran kinerja bank yang digunakan adalah rasio keuangan bank yang meliputi Capital Adequacy Ratio (mewakili rasio permodalan), Non Performing Loan (mewakili rasio kualitas aktiva produktif), Return on Asset dan Return on Equity (mewakili rasio rentabilitas), Beban Operasional dibagi Pendapatan Operasional (mewakili rasio efisiensi), dan Loan to Deposit Ratio (mewakili rasio likuiditas). Dalam penelitian digunakan metode inter-bank performance analysis. Indikator kinerja yang digunakan adalah rasio profitability, liquidity, risk and solvency. Tahap pertama dilakukan komparasi perbandingan kinerja BMI dengan BSM. Berikutnya dibandingkan dua bank tersebut (BMI & BSM) dengan 5 (lima) bank konvensional besar (Bank Mandiri, BCA, BRI, BNI, dan Bank Danamon).
Rata-rata rasio keuangan perbankan syariah (NPL dan LDR) lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan perbankan konvensional, sedangkan pada rasio-rasio yang lain perbankan syariah lebih rendah kualitasnya. Tetapi Jika dilihat secara keseluruhan perbankan syariah menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan perbankan konvensional.
Kinerja keuangan BMI lebih baik dari BSM. Tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kinerja bank syariah dengan bank konvensional diatas. Meski demikian kontribusi dalam pengembangan UMKM bank syariah lebih baik.
37
Peneliti
Judul
Tujuan
Metodologi
Hasil
Perbandingan Kinerja PT. Bank Jabar Syariah Sebelum dan Sesudah Fatwa MUI Tentang Haramnya Bunga Bank.
Melihat perbedaan kinerja PT. Bank Jabar Syariah sebelum dan sesudah fatwa MUI tentang haramnya bunga bank.
Teknik analisis data adalah dengan melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji beda dua rata-rata (uji t).
Ssecara keseluruhan kinerja PT. Bank Jabar Syariah mempunyai perbedaan yang signifikan, dimana secara umum setelah keluarnya fatwa MUI 16 Desember 2003 menjadi lebih baik. Penghimpunan dana masyarakat meningkat, terutama tabungan mudharabah. Demikian juga penyaluran dana melalui pembiayaan musyarakah naik 2 persen, pembiayaan mudharabah 0,06 persen dan SWBI sebesar 11,3 persen.
Arsil (2007)
Analisis Kinerja Bank Syariah Ditinjau dari Pengaruh Eksternal (Studi Kasus: Bank Syariah Mandiri Periode Januari 2000–Juni 2003)
Meneliti dampak variabel makro seperti Suku Bunga SBI, Gross National Product (GNP), Indeks Harga Saham Habungan (IHSG), dan Nilai Tukar Rupiah terhadap kinerja keuangan.
Kinerja keuangan sebagai variabel dependen yang digunakan antara lain Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE), Loan to Deposit Rato (LDR) dan Capital Adquacy Ratio (CAR).
SBI mempengaruhi ROE, GNP dan SBI mempengaruhi ROA, nilai tukar terhadap dolar mempengaruhi LDR, dan GNP mempengaruhi CAR. Hasil penelitian juga menunjukkan faktor eksternal yang berpengaruh positif terhadap kinerja BSM adalah SBI dan IHSG.
Samad dan Hasan (2000)
The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Study
Membandingkan kinerja Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dengan Bank Pertanian serta Bank Perwira Affin
Kinerja Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dibandingkan dengan Bank Pertanian serta Bank Perwira Affin.
ROA dan ROE BIMB pada akhir periode lebih baik (diuji dengan t-test). Tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara ROA dan ROE BIMB dan kelompok bank konvensional. Selain itu likuiditas BIMB lebih baik dibanding kelompok bank konvensional, dilihat dari DER, LDR dan CR. BIMB juga memiliki risiko lebih rendah dan solvensi yang lebih baik bila dilihat dari DER, DTAR, EM dan LDR dibanding kelompok bank konvensional.
Prawira (2007)
Adapun rasio keuangan yang digunakan: (a) Rasio Profitabilitas, yaitu Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE); (b) Rasio Efisiensi Perbankan, yaitu Rasio Biaya Operasional dibanding dengan Pendapatan Operasional (BOPO); (c) Rasio Likuiditas, yaitu Loan to Deposit Rato (LDR); dan (d) Rasio Solvabilitas, yaitu menggunakan Debt to Equity Ratio (DER).
Rasio profitability yang digunakan antara lain: Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE) dan Profit Expense Ratio (PER). Rasio liquidity mencakup Cash Deposit Ratio (CDR), Loan Deposit Ratio (LDR), Current Ratio (CR), dan Current Asset Ratio (CAR). Berikutnya rasio risk and solvency mencakup Debt equity ratio (DER), Debt to total asset ratio (DTAR), Equity multiplier (EM), dan Loan to deposit ratio (LDR). Sedangkan untuk mengevaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi digunakan Long term loan ratio (LTA), Government Bond Investment ratio (GBD), serta Mudaraba-Musharaka Ratio (MM/L).
Sayangnya kontribusi terhadap pembangunan tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok bank konvensional, meski F-value tidak signifikan (ditunjukkan oleh GBD, LTA dan MM/L).
38
Peneliti Hameed, et. all. (2004)
Judul Alternative Disclosure dan Performance for Islamic Bank’s
Tujuan Mengevaluasi kinerja Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan Bahrain Islamic Bank (BIB) secara deskriptif.
Metodologi Selain merumuskan Islamicity Disclosure Index juga merancang apa yang disebut “Islamicity Performance Index”. Dengan indeks tersebut mencoba mengakomodasi kepentingan stakeholder bank syariah secara lebih luas. Dalam Islamicity Performance Index, mereka memasukkan Profit sharing ratio (Mudaraba+Musyarakah/Total financing), Zakat performance ratio (Zakat/Net Asset), Equitable distribution ratio, Directors-Employees welfare ratio, Islamic Investment vs Non-Islamic Investment ratio, dan Islamic Income vs Non-Islamic Income ratio.
Hasil BIB secara umum memliki kinerja sosial lebih baik dari BIMB. Dalam Islamicity Performance Index sebagian besarnya dapat disebut sebagai kinerja sosial sebagaimana alat evaluasi komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi yang digunakan oleh Samad dan Hasan diatas.
Sumber: Assesment dari penelitian-penelitian sebelumnya.
39
III.
HASIL ANALISIS KESEHATAN FINANSIAL DAN KINERJA SOSIAL
3.1. Kesehatan Finansial BMI dan BSM Pada bagian ini akan dideskripsikan hasil perhitungan dan analisis penilaian kesehatan finansial BMI dan BSM yang mencakup: kualitas aset (asset quality), rentabilitas (earning), dan likuiditas (liquidity). Setelah masing-masing bagian kesehatan finansial ini dianalisis, kemudian dilanjutkan dengan analisis tingkat kesehatan finansial tahunan yang merupakan kumulatif dari seluruh komponen untuk setiap tahun serta rata-rata dalam lima tahun. Data yang digunakan untuk melakukan analisis diolah dari Laporan Keuangan BMI dan BSM yang telah diaudit tahun 2003-2007. 3.1.1 Kualitas Aset (Asset Quality) Penilaian kuantitatif faktor kualitas aset dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap dua rasio penting yaitu kualitas aktiva produktif BMI dan BSM dan besarnya pembiayaan non performing. 3.1.1.1 Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Melalui perhitungan kualitas aktiva produktif (KAP) BMI dan BSM dapat diketahui kondisi aset produktifnya untuk mengantisipasi risiko gagal bayar dari pembiayaan (financing risk). KAP BMI dan BSM dihitung dengan cara mengurangkan satu dengan Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan Non-Performing (APYD) terhadap total Aktiva Produktif. APYD sendiri adalah aktiva produktif yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian yang dihitung khusus. Sedangkan aktiva produktif adalah penanaman dana BMI dan BSM baik dalam rupiah maupun valuta asing yang menghasilkan keuntungan (return). Nilai APYD dan Aktiva Produktif BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.6 Nilai APYD dan Aktiva Produktif BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah APYD (DPK, KL, D, M)
2003
2004
2005
2006
2007
68.10
104.94
146.22
297.72
261.92
3,049.46
4,861.47
6,994.23
7,873.58
10,009.11
63.10
144.10
290.94
541.89
625.74
3,155.20
6,404.23
7,970.95
8,912.73
12,269.37
BMI Aktiva Produktif (AP) APYD (DPK, KL, D, M) BSM Aktiva Produktif (AP)
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Nilai rata-rata KAP BMI pada periode tahun 2003-2007 lebih tinggi dari nilai KAP BSM sebesar 1,24%. Nilai rata-rata KAP BMI adalah sebesar 97,42% sedangkan nilai rata-rata KAP BSM mencapai 96,18%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif BMI lebih baik dari BSM pada periode ini. Nilai KAP BMI tertinggi adalah sebesar 97,91% terjadi pada tahun 2005 dan terendah sebesar 96,22% terjadi pada tahun 2006. Sedangkan nilai KAP BSM terendah sebesar 93,92% terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 98,00% pada tahun 2003.
40
Grafik 4.11 Kualitas Aktiva Produktif BMI dan BSM Tahun 2003-2007 99.00% 98.00%
97.77% 98.00%
97.00%
97.75% 97.91%
97.84%
97.38% 96.22%
96.00%
96.35% 94.90%
95.00% 94.00% 93.92% 93.00% 92.00% 91.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Berdasarkan kriteria penilaian peringkat untuk rasio KAP menurut BI (2007) maka nilai KAP BMI masing-masing tahun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 berada dalam peringkat 2 seluruhnya, karena masih dalam nilai kisaran peringkat ini yang ditetapkan diatas 96% sampai dengan 99%. Sedangkan nilai KAP BSM tahun 2003, 2004 dan 2005 masing-masing memperoleh peringkat 2. Dan untuk tahun 2006 dan 2007 nilai KAP BSM berada dalam peringkat 3, karena berada dalam range peringkat tersebut yaitu diatas 93% sampai dengan 96%. Adapun kriteria penilaian peringkat untuk rasio KAP tersebut menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = KAP > 0,99; Peringkat 2 = 0,96 < KAP ≤ 0,99; Peringkat 3 = 0,93 < rasio KAP ≤ 0,96; Peringkat 4 = 0,90 < rasio KAP ≤ 0,93; dan Peringkat 5 = KAP ≤ 0,90. 3.1.1.2 Pembiayaan Non-Performing (NPF) Rasio Pembiayaan Non Performing (NPF) digunakan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh BMI dan BSM. Rasio NPF dihitung dengan membandingkan piutang dan pembiayaan yang non-performing terhadap total piutang dan pembiayaan. Piutang terdiri dari tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa berdasarkan akad murabahah, istishna dan atau ijarah. Sedangkan pembiayaan mencakup pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah, dan pembiayaan qardh. Komponen pembiayaan non-performing disini mencakup kolektibilitas Kurang Lancar (KL), Diragukan (D) dan Macet (M). Nilai Pembiayaan Non-Performing dan Total Pembiayaan BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.7 Nilai Pembiayaan Non-Performing dan Total Pembiayaan BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Pembiayaan KL, D & M
2003
2004
2005
2006
2007
76.94
129.59
171.90
390.19
255.77
2,373.04
4,184.70
5,887.74
6,628.09
8,618.05
BMI Total Pembiayaan
41
Pembiayaan KL, D & M
62.95
128.15
204.67
514.58
582.41
2,170.57
5,295.66
5,847.59
7,414.76
10,326.37
BSM Total Pembiayaan
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Nilai rata-rata NPF BMI pada periode tahun 2003-2007 lebih baik dari nilai NPF BSM. Nilai rata-rata NPF BMI adalah sebesar 3,62% lebih rendah 0,66% dari nilai ratarata NPF BSM yang mencapai 4,28%. Hal ini juga menunjukkan bahwa kualitas pembiayaan BMI lebih baik dari kualitas pembiayaan BSM. Nilai NPF BMI terburuk adalah sebesar 5,89% terjadi pada tahun 2006 dan terbaik sebesar 2,92% terjadi pada tahun 2005. Sedangkan nilai NPF BSM terbaik sebesar 2,42% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 6,94% pada tahun 2006. Grafik 4.12 Rasio Pembiayaan Non Performing BMI dan BSM Tahun 2003-2007 8.00% 7.00% 6.94% 6.00% 5.00% 4.00%
3.24%
2.42%
3.00% 2.00%
5.64%
5.89%
2.90%
3.10%
3.50% 2.97%
2.92%
1.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Kriteria penilaian peringkat untuk rasio NPF ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = NPF < 2%; Peringkat 2 = 2% ≤ NPF < 5%; Peringkat 3 = 5% ≤ NPF < 8%; Peringkat 4 = 8% ≤ NPF < 12%; dan Peringkat 5 = NPF ≥ 12%. Maka dengan demikan nilai NPF BMI tahun 2003, 2004, 2005 dan 2007 berada dalam peringkat 2, karena dalam nilai kisaran peringkat ini yang ditetapkan 2% sampai dengan kurang dari 5%. Sedangkan nilai NPF BMI tahun 2006 berada dalam peringkat 3, antara 5% sampai dengan kurang dari 8%. Sedangkan nilai NPF BSM tahun 2003, 2004 dan 2005 masing-masing memperoleh peringkat 2. Dan untuk tahun 2006 dan 2007 nilai NPF BSM berada dalam peringkat 3. 3.1.2 Rentabilitas (Earning) Penilaian kuantitatif faktor rentabilitas BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap enam rasio penting. Hasil analisis akan dideskripsikan pada bagian ini, mencakup rasio Net Operating Margin (NOM), Return on
42
Assets (ROA), Rasio Efisiensi Operasional (REO), Diversifikasi Pendapatan (DP), Return on Equity (ROE), dan Komposisi Penempatan Dana pada Surat Berharga (IdFR). 3.1.2.1 Net Operating Margin (NOM) Melalui hasil penghitungan rasio Net Operating Margin (NOM) ini dapat diketahui kemampuan aktiva produktif BMI dan BSM dalam menghasilkan laba. Nilai NOM dihasilkan dari membagi Laba Operasional dengan Aktiva Produktif (AP). Laba Operasional diperoleh dari Pendapatan Operasional (PO) setelah Distribusi Bagi Hasil (DBH) dikurangi Biaya Operasional (BO). Biaya Operasional sendiri mencakup beban operasional termasuk kekurangan PPAP yang wajib dibentuk. Adapun data PO, DBH, BO, dan AP untuk perhitungan rasio NOM BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.8 Data Perhitungan Net Operating Margin (NOM) BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Pendapatan Operasional (PO)
324.76
502.15
785.14
1,049.31
1,165.32
Distribusi Bagi Hasil (DBH)
174.04
255.48
383.39
570.05
500.15
Biaya Operasional (BO)
154.22
228.59
322.21
396.66
561.67
3,049.46
4,861.47
6,994.23
7,873.58
10,009.11
Pendapatan Operasional (PO)
279.49
584.27
865.49
934.42
1,197.27
Distribusi Bagi Hasil (DBH)
148.39
269.25
386.38
455.49
511.87
Biaya Operasional (BO)
159.99
276.42
435.55
523.22
728.25
3,155.20
6,404.23
7,970.95
8,912.73
12,269.37
BMI
Aktiva Produktif (AP)
BSM
Aktiva Produktif (AP)
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Nilai rata-rata NOM BMI pada periode tahun 2003-2007 lebih baik dari nilai NOM BSM. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan aktiva produktif BMI dalam menghasilkan laba lebih baik dari BSM. Nilai rata-rata NOM BMI adalah sebesar 0,70% lebih tinggi 0,82% dari nilai rata-rata NOM BSM yang hanya -0,12%. Nilai NOM BMI terburuk adalah sebesar -0,11% terjadi pada tahun 2003 dan terbaik sebesar 1,14% terjadi pada tahun 2005. Sedangkan nilai NOM BSM terburuk sebesar -0,92% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 0,60% pada tahun 2004. Grafik 4.13 Rasio Net Operating Margin (NOM) BMI dan BSM Tahun 2003-2007
43
1.50% 1.14% 1.00%
0.60%
1.03%
1.05% 0.55%
0.50%
0.00%
-0.11% 2003
0.37% 2004
2005
2006
2007
-0.50%
-0.35%
-0.50% -1.00% -0.92% -1.50% BMI
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Adapun peringkat untuk rasio NOM BSM, berdasarkan kriteria penilaian BI (2007), tahun 2003-2007 seluruhnya berada pada peringkat 5, karena nilai seluruhnya dibawah 1%. Sedangkan nilai NOM BMI tahun 2003 dan 2004 memperoleh peringkat 5. Dan untuk tahun 2005, 2006 dan 2007, nilai NOM BMI membaik dan berada dalam peringkat 4, nilainya dalam kisaran diatas 1% sampai dengan 1,5%. Hal ini mengacu pada kriteria penilaian peringkat rasio NOM BI (2007) sebagai berikut: Peringkat 1 = NOM > 3%; Peringkat 2 = 2% < NOM ≤ 3%; Peringkat 3 = 1,5% < NOM ≤ 2%; Peringkat 4 = 1% < NOM ≤ 1,5%; dan Peringkat 5 = NOM ≤ 1%. 3.1.2.2 Return on Assets (ROA) Rasio Return on Assets (ROA) digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur keberhasilan manajemen BMI dan BSM dalam menghasilkan laba. ROA dihitung dengan membagi Laba Sebelum Pajak dengan Total Aset. Data Laba Sebelum Pajak dengan Total Aset untuk perhitungan rasio ROA BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.9 Laba Sebelum Pajak dan Total Aset BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Laba Sebelum Pajak
2003
2004
2005
2006
2007
34.49
74.37
156.26
161.47
212.04
3,308.68
5,209.80
7,427.05
8,370.59
10,569.08
24.50
150.42
136.71
95.24
168.18
3,422.30
6,869.95
8,272.96
9,554.97
12,885.39
BMI Total Aset Laba Sebelum Pajak BSM Total Aset
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
44
Nilai rata-rata ROA BSM pada periode tahun 2003-2007 lebih rendah dari nilai ROA BMI. Nilai rata-rata ROA BSM adalah sebesar 1,37%, lebih rendah 0,33% dari nilai rata-rata ROA BMI yang mencapai 1,70%. Hal ini menunjukkan kemampuan manajemen BMI dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan lebih baik dari manajemen BSM. Nilai ROA BSM terendah adalah sebesar 0,72% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 2,19% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan nilai ROA BMI terendah sebesar 1,04% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 2,10% pada tahun 2005. Adapun kriteria penilaian peringkat ROA ini menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = ROA > 1,5%; Peringkat 2 = 1,25% < ROA ≤ 1,5%; Peringkat 3 = 0,5% < ROA ≤ 1,25%; Peringkat 4 = 0% < ROA ≤ 0,5%; dan Peringkat 5 = ROA ≤ 0%. Maka dengan demikian peringkat untuk rasio ROA BMI, tahun 2003 berada pada peringkat 3, tahun 2004 masuk peringkat 2, dan tahun 2005, 2006 dan 2007 berada dalam peringkat 1. Sedangkan nilai ROA BSM tahun 2003 dan 2006 memperoleh peringkat 3. Dan untuk tahun 2004 dan 2005 nilai ROA BSM berada dalam peringkat 1, sedangkan tahun 2007 berada dalam peringkat 2. Grafik 4.14 Rasio Return on Assets (ROA) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 2.50%
2.19% 2.10%
2.00%
2.01% 1.93% 1.65%
1.50% 1.04%
1.43% 1.31%
1.00% 1.00% 0.50%
0.72%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.1.2.3 Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO) Rasio efisiensi kegiatan operasional (REO) dalam hal ini digunakan untuk mengukur efisiensi kegiatan operasional BMI dan BSM. REO didapatkan dengan membagi Biaya Operasional (BO) dengan Pendapatan Operasional (PO). Data BO yang digunakan adalah beban operasional termasuk kekurangan PPAP. Sedangkan data PO yang digunakan adalah data pendapatan operasional setelah distribusi bagi hasil. Adapun data untuk perhitungan rasio REO BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.10 Data Untuk Perhitungan Rasio REO BMI & BSM
45
Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Biaya Operasional (BO)
154.22
228.59
322.21
396.66
561.67
Pendapatan Operasional (PO-DBH)
150.72
246.67
401.75
479.26
665.17
Biaya Operasional (BO)
159.99
276.42
435.55
523.22
728.25
Pendapatan Operasional (PO-DBH)
131.10
315.02
479.11
478.93
685.40
BMI
BSM Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Pada periode tahun 2003-2007, efisiensi kegiatan operasional BMI lebih baik dari BSM. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata REO BMI pada periode tersebut yang lebih rendah dari nilai REO BSM. Nilai rata-rata REO BMI adalah sebesar 88,48%, lebih rendah 14,76% dari nilai rata-rata REO BSM yang mencapai 103,24%. Efisiensi kegiatan operasional terbaik BMI terjadi tahun 2005 dengan nilai REO adalah sebesar 80,20% dan terburuk sebesar 102,32% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan efisiensi terbaik BSM dengan nilai REO sebesar 87,75% terjadi pada tahun 2004 dan terburuk sebesar 122,04% pada tahun 2003. Efisiensi kegiatan operasional BSM lebih baik dari BMI terjadi pada tahun 2004. Grafik 4.15 Rasio Efisiensi Operasional (REO) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 140.00% 120.00%
122.04% 109.25%
102.32% 100.00%
92.67%
90.91%
82.77%
87.75%
80.00%
106.25% 84.44%
80.20%
60.00% 40.00% 20.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Adapun kriteria penilaian peringkat REO menurut BI (2007) adalah: Peringkat 1 = REO ≤ 83%; Peringkat 2 = 83% < REO ≤ 85%; Peringkat 3 = 85% < REO ≤ 87%; Peringkat 4 = 87% < REO ≤ 89%; dan Peringkat 5 = REO > 89%. Maka dengan demikian peringkat untuk rasio REO BMI, tahun 2003 dan 2004 berada pada peringkat 5, tahun 2005 dan 2006 masuk peringkat 1, dan tahun 2007 berada dalam peringkat 2.
46
Sedangkan nilai REO BSM tahun 2003, 2005, 2006 dan 2007 memperoleh peringkat 5. Kecuali untuk tahun 2004 nilai REO BSM berada dalam peringkat 4. 3.1.2.4 Diversifikasi Pendapatan (DP) Rasio Diversifikasi Pendapatan (DP) ini digunakan untuk mengukur kemampuan BMI dan BSM dalam menghasilkan pendapatan dari jasa berbasis fee. Rasio DP ini dihitung dengan membagi pendapatan berbasis fee dengan pendapatan dari penyaluran dana. Pendapatan berbasis fee merupakan pendapatan yang diperoleh BMI dan BSM dari jasa-jasa perbankan yang diberikan. Pendapatan dari penyaluran dana adalah pendapatan yang berasal dari penyaluran dana setelah dikurangi bagi hasil untuk investor dana investasi. Adapun data untuk perhitungan rasio DP BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.11 Data Diversifikasi Pendapatan BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Pendapatan Berbasis Fee
2003
2004
2005
2006
2007
39.95
58.81
79.64
92.17
117.87
150.72
246.67
401.75
479.26
665.17
51.96
102.04
93.63
145.13
209.02
131.10
315.02
479.11
478.93
685.40
BMI Pendapatan dari Penyaluran Dana (PO-DBH) Pendapatan Berbasis Fee BSM Pendapatan dari Penyaluran Dana (PO-DBH)
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Diversifikasi pendapatan BSM pada periode tahun 2003-2007 lebih baik dari BMI. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata rasio DP BSM yang lebih tinggi dari nilai rasio DP BMI. Nilai rata-rata rasio DP BSM adalah sebesar 30,47%, lebih tinggi 9,05% dari nilai rata-rata rasio DP BMI yang hanya mencapai 21,42%. Hal ini mengindikasikan ketergantungan BSM terhadap pendapatan dari penyaluran dana lebih rendah dari BMI. Diversifikasi pendapatan BSM terbaik terjadi tahun 2003 dengan nilai rasio DP adalah sebesar 39,63% dan terendah sebesar 19,54% terjadi pada tahun 2005. Sedangkan diversifikasi pendapatan terbaik BMI dengan nilai rasio DP sebesar 26,51% terjadi pada tahun 2003 dan terendah sebesar 17,72% pada tahun 2007. Diversifikasi pendapatan BMI lebih baik dari BSM hanya terjadi pada tahun 2005, dimana BMI mencapai rasio DP 19,82%. Grafik 4.16 Rasio Diversifikasi Pendapatan (DP) BMI dan BSM Tahun 2003-2007
47
45.00% 39.63%
40.00% 35.00% 30.00%
30.50%
30.30%
32.39% 26.51% 23.84%
25.00%
19.82%
20.00%
19.23% 17.72%
19.54% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
BI (2007) telah menetapkan kriteria penilaian peringkat dalam rasio DP adalah sebagai berikut: Peringkat 1 = DP > 12%; Peringkat 2 = 9% < DP ≤ 12%; Peringkat 3 = 6% < DP ≤ 9%; Peringkat 4 = 3% < DP ≤ 6%; dan Peringkat 5 = DP ≤ 3%. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa, baik bagi BMI dan BSM untuk keseluruhan tahun 2003-2007 nilai rasio DP-nya lebih besar dari 12%, dengan demikian seluruhnya mendapat peringkat 1. 3.1.2.5 Return on Equity (ROE) Rasio Return on Equity (ROE) dalam analisis ini digunakan untuk mengukur kemampuan modal disetor BMI dan BSM dalam menghasilkan laba. ROE dihitung dengan membagi laba setelah pajak dengan modal disetor. Cakupan modal disetor termasuk agio dan disagio saham. Semakin besar rasio ini menunjukkan kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham semakin besar. Adapun data laba setelah pajak dan modal disetor BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.12 Laba Setelah Pajak dan Modal Disetor BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Laba setelah Pajak
2003
2004
2005
2006
2007
23.17
50.62
106.66
108.36
145.33
269.69
269.69
492.79
492.79
492.79
15.84
103.45
83.82
65.48
115.46
358.37
358.37
358.37
358.37
358.37
BMI Modal di setor Laba setelah Pajak BSM Modal di setor
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
48
Pada periode tahun 2003-2007 kemampuan modal disetor BSM dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham lebih tinggi dari BMI. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata ROE BSM yang lebih tinggi dari nilai ROE BMI. Nilai rata-rata ROE BSM adalah sebesar 21,43%, lebih tinggi 1,34% dari nilai rata-rata ROE BMI yang mencapai 20,10%. ROE BSM terbaik dengan nilai sebesar 32,22% terjadi tahun 2007 dan terendah sebesar 4,42% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan ROE terbaik BMI dengan nilai sebesar 29,49% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 8,59% pada tahun 2003. ROE BMI lebih baik dari BSM terjadi pada tahun 2003 dan 2006. Grafik 4.17 Rasio Return on Equity (ROE) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 35.00%
32.22%
30.00%
29.49%
28.87% 25.00%
23.39%
20.00% 18.77%
15.00% 10.00% 5.00%
21.99%
21.64% 18.27%
8.59% 4.42%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah menurut BI (2007), ROE merupakan rasio pengamatan (observed). Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada. Maka dengan demikian tidak perlu dibuat pemeringkatan, dan komponen ini nantinya tidak dimasukkan dalam penilaian akumulatif kesehatan finansial BMI dan BSM. 3.1.2.6 Komposisi Penempatan Dana pada Surat Berharga/Pasar Keuangan (IdFR) Rasio komposisi penempatan dana pada surat berharga (IdFR) dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur besarnya penempatan dana BMI dan BSM pada surat berharga dan pasar keuangan. Untuk mendapatkan nilai rasio ini diakumulasikan terlebih dahulu nilai penempatan dana BMI dan BSM pada SWBI, surat berharga dan penyertaan kemudian dibagi dengan total aktiva produktif. Surat berharga mencakup SWBI dan surat berharga yang meliputi surat berharga pada bank lain maupun pada non bank. Penyertaan 49
termasuk penyertaan pada bank lain. Adapun data penempatan dana pada surat berharga dan total aktiva produktif BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.13 Penempatan Pada Surat Berharga dan Aktiva Produktif BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
SWBI BMI
Surat Berharga dan Penyertaan Aktiva Produktif SWBI
BSM
Surat Berharga dan Penyertaan Aktiva Produktif
2004
2005
2006
2007
560.00
545.00
662.00
915.00
655.00
18.27
21.68
20.74
20.66
55.22
3,049.46
4,861.47
6,994.23
7,873.58
10,009.11
795.00
325.00
1,373.00
780.00
670.00
76.62
431.24
386.91
502.23
786.44
3,155.20
6,404.23
7,970.95
8,912.73
12,269.37
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Hasil perhitungan menunjukkan pada periode tahun 2003-2007 fungsi intermediasi BMI lebih optimal dibandingka dengan BSM. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata rasio IdFR BSM yang lebih tinggi dari nilai rasio IdFR BMI. Nilai rata-rata rasio IdFR BSM adalah sebesar 17,55%, lebih tinggi 5,68% dari nilai rata-rata rasio IdFR BMI yang hanya 11,87%. Nilai rasio IdFR BSM terbaik dengan nilai sebesar 11,81% terjadi tahun 2004 dan tertinggi sebesar 27,62% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio IdFR terbaik BMI dengan nilai sebesar 7,10% terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi sebesar 18,95% pada tahun 2003. Nilai rasio IdFR BMI untuk keseluruhan tahun lebih baik dari BSM. Grafik 4.18 Rasio Penempatan Pada Surat Berharga (IdFR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 30.00% 27.62%
25.00%
22.08% 20.00%
18.96% 14.39%
15.00% 11.81%
11.88%
11.66%
10.00%
11.87%
9.76% 7.10%
5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
50
Dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah menurut BI (2007), komposisi penempatan dana pada surat berharga (IdFR) merupakan rasio pengamatan (observed). Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada. Maka dengan demikian dalam penelitian ini juga dibuat pemeringkatan, dan komponen ini nantinya juga tidak dimasukkan dalam penilaian akumulatif kesehatan finansial BMI dan BSM. Maka dengan demikian, kesehatan finansial secara kumulatif dari sisi rentabilitas hanya diwakili rasio Net Operating Margin (NOM), Return on Assets (ROA), Rasio Efisiensi Operasional (REO), dan Diversifikasi Pendapatan (DP). Rasio Return on Equity (ROE) dan Komposisi Penempatan Dana pada Surat Berharga (IdFR) tidak digunakan. 3.1.3 Likuiditas (Liquidity) Penilaian likuiditas dalam penelitian kesehatan finansial ini untuk menilai kemampuan BMI dan BSM dalam memelihara tingkat likuiditas yang memadai termasuk antisipasi atas risiko likuiditas yang akan muncul. Dalam bagian ini akan dideskripsikan penilaian kuantitatif faktor likuiditas yang dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap tiga komponen rasio yaitu: Short Term Mismatch (STM), Short Term Mismatch Plus (STMP) dan Rasio Antar Bank Pasiva (RABP). 3.1.3.1 Besarnya Aset Jangka Pendek Dibandingkan dengan Kewajiban Jangka Pendek (Short Term Mismatch/STM) Rasio besarnya aset jangka pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek (STM) digunakan untuk mengukur kemampuan BMI dan BSM dalam memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Aset jangka pendek adalah aktiva likuid kurang dari 3 bulan selain kas, SWBI dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam laporan maturity profile yang terdapat dalam Laporan Berkala-nya. Sedangkan kewajiban jangka pendek merupakan kewajiban likuid kurang dari 3 bulan yang juga terdapat dalam laporan maturity profile tersebut. Adapun data aset jangka pendek dan kewajiban jangka pendek BMI dan BSM masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.14 Aset Jangka Pendek dan Kewajiban Jangka Pendek BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Aktiva Jangka Pendek
1,038.26
1,246.69
1,466.73
2,131.98
2,475.03
Kewajiban Jangka Pendek
1,857.37
2,122.30
3,414.06
6,424.64
7,194.66
574.56
1,450.78
1,552.66
1,956.70
2,915.08
2,284.69
5,416.96
6,655.77
8,140.06
11,028.59
BMI
Aktiva Jangka Pendek BSM Kewajiban Jangka Pendek
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Berdasarkan rasio STM ini, pada periode tahun 2003-2007, likuiditas BSM lebih baik dari BMI. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata rasio STM BSM yang lebih tinggi dari nilai rasio STM BMI. Nilai rata-rata rasio STM BSM adalah sebesar 25,15%, lebih
51
tinggi 2,62% dari nilai rata-rata rasio STM BMI sebesar 22,53%. Likuiditas BSM tertinggi terjadi tahun 2004 dengan nilai rasio STM adalah sebesar 26,78% dan terendah sebesar 23,33% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan Likuiditas tertinggi BMI dengan nilai rasio STM sebesar 29,62% terjadi pada tahun 2004 dan terendah sebesar 16,87% pada tahun 2006. Likuiditas BMI lebih tinggi dari BSM hanya terjadi pada tahun 2004. Grafik 4.19 Rasio Short Term Mismatch (STM) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 35.00% 29.62%
30.00% 25.00% 20.00%
26.43%
25.15% 26.78%
23.33%
22.31%
24.04%
22.88%
20.95% 16.87%
15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
BI (2007) telah menetapkan kriteria penilaian peringkat dalam rasio STM adalah sebagai berikut: Peringkat 1 = STM > 25%; Peringkat 2 = 20% < STM ≤ 25%; Peringkat 3 =15% < STM ≤ 20%; Peringkat 4 = 10% < STM ≤ 15%; dan Peringkat 5 = STM ≤ 10%. Maka dengan demikian peringkat untuk rasio STM BSM, tahun 2003, 2004 dan 2007 berada pada peringkat 1, tahun 2005 dan 2006 masuk peringkat 2. Sedangkan nilai rasio STM BSM tahun 2003, 2005 dan 2007 memperoleh peringkat 2, tahun 2004 meraih peringkat 1 dan tahun 2006 meraih peringkat 3. 3.1.3.2 Kemampuan Aset Jangka Pendek, Kas dan Secondary Reserve dalam Memenuhi Kewajiban Jangka Pendek (Short Term Mismatch Plus/STMP) Rasio kemampuan Aset Jangka Pendek, Kas dan Secondary Reserve dalam memenuhi Kewajiban Jangka Pendek (STMP), digunakan untuk mengukur kemampuan BMI dan BSM dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva jangka pendek, kas, dan secondary reserve. Aset jangka pendek dan kewajiban jangka pendek memiliki rincian yang sama seperti untuk menghitung STMP. Sedangkan kas adalah uang tunai dan secondary reserve mencakup Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) ditambah dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Adapun data BMI dan BSM yang berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.15 Data Perhitungan Short Term Mismatch Plus (STMP) BMI & BSM
52
Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Aktiva Jk Pendek
414.42
628.66
715.31
1,083.64
1,646.36
Kas
63.84
73.03
89.42
133.34
173.67
SWBI
560.00
545.00
662.00
915.00
655.00
1,857.37
2,122.30
3,414.06
6,424.64
7,194.66
Aktiva Jk Pendek
574.56
1,450.78
1,552.66
1,956.70
2,915.08
Kas
51.42
70.02
94.07
137.46
201.36
SWBI
795.00
325.00
1,373.00
780.00
670.00
2,284.69
5,416.96
6,655.77
8,140.06
11,028.59
BMI
Kewajiban Jk Pendek
BSM
Kewajiban Jk Pendek
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Pada periode tahun 2003-2007, berdasarkan rasio STMP likuiditas BMI lebih baik dari BSM. Hal ini berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika likuiditas dilihat dari nilai rasio STM. Nilai rata-rata rasio STMP BMI adalah sebesar 45,04%, lebih tinggi 2,78% dari nilai rata-rata rasio STMP BSM yang hanya sebesar 42,26%. Nilai rasio STMP BMI tertinggi terjadi tahun 2004 dengan nilai sebesar 58,74% dan terendah sebesar 33,18% terjadi pada tahun 2006. Sedangkan rasio STMP tertinggi BSM dengan nilai sebesar 62,20% terjadi pada tahun 2003 dan terendah sebesar 34,07% pada tahun 2004. Grafik 4.20 Rasio Short Term Mismatch Plus (STMP) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 70.00% 62.20% 60.00%
58.74%
55.90% 50.00%
45.37%
40.00%
42.96%
35.31%
34.07%
30.00%
33.18%
34.40% 34.33%
20.00% 10.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Kriteria penilaian peringkat untuk rasio STMP menurut standar BI (2007) adalah sebagai berikut: Peringkat 1 = STMP ≥ 50%; Peringkat 2 = 40% ≤ STMP < 50%; Peringkat 3 = 30% ≤ STMP < 40%; Peringkat 4 = 20% ≤ STMP < 30%; dan Peringkat 5 = STMP < 20%. Maka dengan demikian peringkat untuk rasio STMP BSM, tahun 2003 berada pada peringkat 1, tahun 2004, 2006 dan 2007 masuk peringkat 3, dan tahun 2005
53
pada peringkat 2. Sedangkan nilai rasio STMP BMI tahun 2003 dan 2004 memperoleh peringkat 1, tahun 2005 meraih peringkat 2 dan tahun 2006 serta 2007 meraih peringkat 3. 3.1.3.2 Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) Rasio Antar Bank Pasiva (RABP), dalam penelitian ini merupakan rasio pengamatan (observed) dalam perhitungan likuiditas yang digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan BMI dan BSM pada dana antar bank. Nilai RABP didapatkan dengan membandingkan nilai Antar Bank Pasiva dengan Total Kewajiban. Antar Bank Pasiva merupakan semua kewajiban bank syariah kepada bank lain. Sedangkan Total Kewajiban terdiri dari Dana Pihak Ketiga, Antar Bank Pasiva, Pinjaman yang diterima, dan Surat Berharga yang diterbitkan. Adapun data BMI dan BSM yang berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.16 Data Perhitungan Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Antar Bank Pasiva
2003
2004
2005
2006
2007
20.11
31.10
380.71
214.45
322.47
3,001.33
4,871.68
6,663.63
7,584.15
9,722.91
67.17
211.19
172.85
45.30
196.66
2,972.68
6,321.17
7,640.38
8,857.73
12,074.01
BMI Total Kewajiban Antar Bank Pasiva BSM Total Kewajiban
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Hasil perhitungan menunjukkan pada periode tahun 2003-2007 tingkat ketergantungan BMI pada dana antar bank lebih tinggi dibandingkan dengan BSM. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata RABP BMI yang lebih tinggi dari nilai RABP BMI. Nilai rata-rata RABP BMI adalah sebesar 2,63%, lebih tinggi 0,63% dari nilai rata-rata RABP BSM yang hanya 2,00%. Nilai RABP BSM terbaik dengan nilai sebesar 0,51% terjadi tahun 2006 dan tertinggi sebesar 3,34% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan nilai RABP terbaik BMI dengan nilai sebesar 0,64% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 5,71% pada tahun 2005. Grafik 4.21 Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) BMI dan BSM Tahun 2003-2007
54
6.00% 5.71% 5.00% 4.00% 3.32%
3.34% 3.00% 2.26%
2.26%
2.83%
2.00% 1.63% 1.00% 0.67%
0.64%
0.51%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dalam menghitung likuiditas bagi bank syariah menurut BI (2007), Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) merupakan rasio pengamatan (observed), karenanya kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada. Maka dengan demikian dalam penelitian ini juga tidak dibuat pemeringkatan, dan komponen ini nantinya juga tidak dimasukkan dalam penilaian akumulatif kesehatan finansial BMI dan BSM. Kesehatan finansial dari sisi likuiditas hanya diwakili oleh Short Term Mismatch (STM), Short Term Mismatch Plus (STMP). 3.1.4 Tingkat Kesehatan Finansial BMI dan BSM Berdasarkan hasil penyesuaian pembobotan untuk masing-masing faktor keuangan dengan mengacu Surat Edaran Direktorat Perbankan Syariah BI No. 9 tahun 2007 maka telah didapatkan pembobotan untuk kualitas aset adalah 70%, rentabilitas 15%, dan likuiditas 15%. Selanjutnya untuk menghasilkan nilai terbobot maka akan dimasukkan angka kredit untuk masing-masing dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam metodologi yaitu: Peringkat 1 mendapatkan angka kredit 100, Peringkat 2 memiliki angka kredit 80, peringkat 3 mendapat angka kredit 60, peringkat 4 dan 5 masing-masing mendapatkan angka kredit 40 dan 20. Berikutnya untuk menghasilkan nilai yang sudah dibobot maka dilakukan perkalian antara angka kredit dengan bobotnya. Sedangkan untuk menentukan predikat kesehatan finansial BMI dan BSM adalah mengikuti ketentuan yaitu: Sehat memiliki nilai bobot 81 s/d 100, Cukup Sehat memiliki nilai bobot 66 s/d <81, Kurang Sehat memiliki nilai bobot 51 s/d <66 dan Tidak Sehat memiliki nilai bobot 0 s/d <51. 3.1.4.1 Tingkat Kesehatan Finansial BMI dan BSM Tahun 2007 Setelah mengalami tekanan hebat tahun 2006, tahun 2007 nilai kualitas aset BMI mengalami perbaikan signifikan. NPF-nya mengalami kenaikan peringkat dari sebelumnya 3 kembali menjadi 2. Hal ini kemudian mengembalikan nilai kredit setelah pembobotan kualitas aset -nya kembali naik 7,00 mejadi 56 setelah sebelumnya 49. Disisi lain rentabilitas BMI mengalami penurunan skor sebesar 0,75 menjadi 12,00 dari sebelumnya 12,75. Sedangkan pada sisi likuiditas kembali mengalami apresiasi 1,50 55
sehingga skornya menjadi 10,50 dari sebelumnya 9,00. Secara kumulatif tahun 2007 kesehatan finansial BMI mengalami peningkatan cukup tinggi sebesar 7,75 dari 70,75 sehingga menjadi 78,50. Kondisi ini tetap dalam kategori predikat Cukup Sehat. Tabel 4.25 Tingkat Kesehatan Finansial BMI Tahun 2007 Komponen Finansial 1.
Kualitas Aset a. Kualitas Aktiva Produktif (KAP) b. Besarnya Pembiayaan Non Performing (NPF)
Peringkat
Angka Kredit
2 2
80 80
Nilai Terbobot KAP 2.
Rentabilitas a. Net operating margin (NOM) b. Return on assets (ROA) c. Rasio efisiensi operasional (REO) d. Diversifikasi Pendapatan (DP)
4 1 2 1
40 100 80 100
Nilai Terbobot Rentabilitas 3.
Likuiditas a. Short Term Mismatch (STM) b. Short Term Mismatch Plus (STMP)
2 3
80 60
Nilai Terbobot Likuiditas
Bobot
Nilai Bobot
35.00% 35.00%
28.00 28.00
70.00%
56.00
3.75% 3.75% 3.75% 3.75%
1.50 3.75 3.00 3.75
15.00%
12.00
7.50% 7.50%
6.00 4.50
15.00%
10.50
Nilai Kesehatan Finansial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI, 2007.
78.50
Hampir sama dengan BMI, tingkat kesehatan finansial BSM tahun 2007 mengalami peningkatan. Peningkatan terutama terjadi pada aspek komponen rentabilitas dan likuiditas. Masing-masing yang tahun sebelumnya memiliki nilai kredit setelah pembobotan 7,50 dan 10,50, meningkat 0,75 dan 1,50 sehingga menjadi 8,25 dan 12,00. Peringkat KAP dan NPF belum mengalami perbaikan sehingga nilai kredit setelah pembobotan kualitas aset masih 42,00. Jika dibandingkan dengan BMI, BSM memiliki skor likuiditas yang lebih baik 1,50. Sedangkan skor BMI lebih baik dengan selisih 14,75 dan 3,75 pada sisi kualitas aset dan rentabilitas. Kondisi ini menjadikan tingkat kesehatan finansial BSM masuk dalam predikat Kurang Sehat. Selain itu nilai kredit setelah pembobotan semakin jauh dibawah BMI terpaut 16,25 karena hanya bernilai 62,25. Tabel 4.26 Tingkat Kesehatan Finansial BSM Tahun 2007 Komponen Finansial 1.
Kualitas Aset a. Kualitas Aktiva Produktif (KAP) b. Besarnya Pembiayaan Non Performing (NPF)
Peringkat
Angka Kredit
3 3
60 60
Nilai Terbobot KAP 2.
Rentabilitas a. Net operating margin (NOM) b. Return on assets (ROA) c. Rasio efisiensi operasional (REO) d. Diversifikasi Pendapatan (DP) Nilai Terbobot Rentabilitas
5 2 5 1
20 80 20 100
Bobot
Nilai Bobot
35.00% 35.00%
21.00 21.00
70.00%
42.00
3.75% 3.75% 3.75% 3.75%
0.75 3.00 0.75 3.75
15.00%
8.25
56
3.
Likuiditas a. Short Term Mismatch (STM) b. Short Term Mismatch Plus (STMP)
1 3
100 60
Nilai Terbobot Likuiditas
7.50% 7.50%
7.50 4.50
15.00%
12.00
Nilai Kesehatan Finansial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BSM, 2007.
62.25
4.2.4.6 Tingkat Kesehatan Finansial BMI dan BSM Kumulatif Secara keseluruhan dalam periode tahun 2003-2007, tingkat kesehatan finansial BMI lebih baik dari BSM. Secara rata-rata dari periode tersebut tingkat kesehatan finansial BMI mendapatkan nilai kredit setelah pembobotan kumulatif sebesar 77,25. Nilai tersebut lebih tinggi 6,15 dari nilai kesehatan finansial BSM yang hanya sebesar 71,10. Meski demikian keduanya secara rata-rata dalam kondisi yang Cukup Sehat. Tingkat kesehatan finansial BMI tersebut merupakan nilai kumulatif kontribusi dari aspek kualitas aset 54,60, rentabilitas 10,65, dan likuiditas 12,00. Sedangkan nilai kumulatif bagi BSM berasal dari sumber kualitas aset sebesar 50,40, rentabilitas 8,40, dan likuiditas 12,30. Dari sini dapat dilihat bahwa BMI memiliki aspek kualitas aset dan rentabilitas yang lebih baik dari BSM, masing-masing berpaut 4,20 dan 2,12. Sedangkan nilai skor likuiditas BSM lebih baik berselisih 0,30 dari likuiditas BMI (Lihat Tabel 4.27 dan 4.28). Dari Grafik 4.22 juga terlihat bahwa nilai kesehatan finansial BSM hanya lebih baik dengan BMI pada tahun 2003. Selebihnya semenjak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 kesehatan finansial BMI lebih baik dibandingkan dengan BSM. Tren selisih skornya juga semakin meningkat. Dimana tahun 2004 nilainya hanya berpaut 1,50, tahun 2005 meningkat menjadi 3,75, tahun 2005 semakin tinggi menjadi 10,75 dan tahun 2007 menjadi semakin lebar berselisih 16,25. Grafik 4.22 Komparasi Tingkat Kesehatan BMI dan BSM Tahun 2003-2007 90.00 80.00
78.50 77.00
79.25 77.75
70.00
80.75
78.50 70.75
77.00
62.25
60.00
60.00
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
57
Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kesehatan Finansial BMI Tahun 2003-2007 Komponen Finansial 1
2003
2004
2005
2006
2007
RataRata
Angka Kredit
a.
Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
2
2
2
2
2
2.00
80
35.00%
28.00
b.
Besarnya Pembiayaan Non Performing (NPF)
2
2
2
3
2
2.20
76
35.00%
26.60
70.00%
54.60
Rentabilitas a.
Net operating margin (NOM)
5
5
4
4
4
4.40
32
3.75%
1.20
b.
Return on assets (ROA)
3
2
1
1
1
1.60
88
3.75%
3.30
c.
Rasio efisiensi operasional (REO)
5
5
1
1
2
2.80
64
3.75%
2.40
d.
Diversifikasi Pendapatan (DP)
1
1
1
1
1
1.00
100
3.75%
3.75
15.00%
10.65
Nilai Terbobot Rentabilitas 3
Nilai Bobot
Kualitas Aset
Nilai Terbobot KAP 2
Bobot
Likuiditas a.
Short Term Mismatch (STM)
2
1
2
3
2
2.00
80
7.50%
6.00
b.
Short Term Mismatch Plus (STMP)
1
1
2
3
3
2.00
80
7.50%
6.00
15.00%
12.00
Nilai Terbobot Likuiditas Nilai Kesehatan Finansial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI, 2003-2007.
77.25
58
Tabel 4.28 Hasil Perhitungan Kesehatan Finansial BSM Tahun 2003-2007 Komponen Finansial 1
2003
2004
2005
2006
2007
RataRata
Angka Kredit
a.
Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
2
2
2
3
3
2.40
72
35.00%
25.20
b.
Besarnya Pembiayaan Non Performing (NPF)
2
2
2
3
3
2.40
72
35.00%
25.20
70.00%
50.40
Rentabilitas a.
Net operating margin (NOM)
5
5
5
5
5
5.00
20
3.75%
0.75
b.
Return on assets (ROA)
3
1
1
3
2
2.00
80
3.75%
3.00
c.
Rasio efisiensi operasional (REO)
5
4
5
5
5
4.80
24
3.75%
0.90
d.
Diversifikasi Pendapatan (DP)
1
1
1
1
1
1.00
100
3.75%
3.75
15.00%
8.40
Nilai Terbobot Rentabilitas 3
Nilai Bobot
Kualitas Aset
Nilai Terbobot KAP 2
Bobot
Likuiditas a.
Short Term Mismatch (STM)
1
1
2
2
1
1.40
92
7.50%
6.90
b.
Short Term Mismatch Plus (STMP)
1
3
2
3
3
2.40
72
7.50%
5.40
15.00%
12.30
Nilai Terbobot Likuiditas Nilai Kesehatan Finansial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BSM, 2003-2007.
71.10
59
1.5. Kinerja Sosial BMI dan BSM Pada bagian ini akan dideskripsikan hasil perhitungan dan analisis kinerja sosial BMI dan BSM yang mencakup: Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE), Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM), Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS), Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) serta Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE). Setelah masing-masing bagian dianalisis, kemudian dilanjutkan dengan analisis tingkat kinerja sosial tahunan yang merupakan kumulatif dari seluruh komponen untuk setiap tahun serta rata-rata dalam lima tahun. 3.2.1 Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) Penilaian kuantitatif aspek Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap empat rasio penting yang mencakup aspek Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR), Intensitas Fungsi Agency (AR), Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP), dan Pendalaman Fungsi Agency (PFA). 3.2.1.1 Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR) Melalui hasil penghitungan Rasio Intensitas Pembiayaan Profit Sharing atau Mudharabah-Musyarakah Ratio (MMR) ini dapat diketahui besarnya fungsi intermediasi bank syariah melalui penyaluran dana dengan akad profit sharing. Sebagaimana menurut Samad & Hasan (2000) sebelumnya, semakin tinggi rasio pembiayaan ini menunjukkan komitmen BMI dan BSM kepada pembangunan komunitas yang lebih tinggi. Nilai rasio ini dihitung dengan membagi jumlah pembiayan mudharabah dan musyarakah dengan total pembiayaan. Adapun data pembiayan mudharabah dan musyarakah dan total pembiayaan BMI dan BSM untuk perhitungan MMR masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.29 Pembiayan Mudharabah, Musyarakah dan Total Pembiayaan BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
BMI
2004
2005
2006
2007
Mudharabah
791.19
1,588.11
2,156.09
2,357.36
2,323.32
Musyarakah
34.84
369.04
493.21
818.77
1,768.58
2,373.04
4,184.70
5,887.74
6,628.09
8,618.05
Mudharabah
54.25
295.25
484.89
1,107.12
2,314.65
Musyarakah
278.44
756.17
1,186.90
1,481.28
1,872.94
2,170.57
5,295.66
5,847.59
7,414.76
10,326.37
Total Pembiayaan
BSM
2003
Total Pembiayaan
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.23 menunjukkan bahwa kontribusi BMI untuk pengembangan sektor usaha dan pembangunan ekonomi umat lebih baik dari BSM, dilihat dari MMR. Nilai rata-rata MMR BMI pada periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 44,39% lebih tinggi 16,55% dari nilai rata-rata MMR BSM yang hanya 27,85%. Nilai MMR BMI
60
terendah adalah sebesar 34,81% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 47,92% terjadi pada tahun 2006. Sedangkan nilai MMR BSM terendah sebesar 15,33% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 40,55% pada tahun 2007. Grafik 4.23 Mudharabah-Musyarakah Ratio (MMR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 60.00% 50.00%
47.48% 46.77%
40.00%
47.92%
45.00%
40.55%
34.81% 34.91%
30.00% 28.59% 20.00% 19.85% 10.00%
15.33%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio MMR adalah sebagai berikut: Peringkat 1 = MMR > 50%; Peringkat 2 = 40% < MMR ≤ 50%; Peringkat 3 = 30% < MMR ≤ 40%; Peringkat 4 = 20% < MMR ≤ 30%; dan Peringkat 5 = MMR ≤ 20%. Maka dengan demikian tahun 2003, MMR BMI berada pada peringkat 3, sedangka untuk tahun 2004-2007 berada pada peringkat 2. Sedangkan MMR BSM tahun 2003 dan 2004 berada pada peringkat 5, tahun 2005 pada peringkat 4, tahun 2006 pada peringkat 3, dan tahun 2007 pada peringkat 2. 3.2.1.2 Intensitas Fungsi Agency (AR) Rasio Intensitas Fungsi Agency (AR) digunakan untuk mengukur besarnya fungsi agency BMI dan BSM dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Semakin besar AR lebih baik, dan menunjukkan keberhasilan peran BMI dan BSM dalam mendorong masyarakat untuk berinvestasi. Selain itu semakin besar AR bagi BMI dan BSM maka biaya sistemik saat likuidasi semakin kecil, sehingga kebutuhan financial safety net juga turun. Dana investasi masyarakat ini mencakup DPK yang dihimpun dari tabungan dan deposito mudharabah yang menggunakan metode bagi hasil (profit sharing) atau yang juga dikenal dengan Investasi Tidak Terikat (ITT). Untuk menghasilkan nilai dari rasio AR ini, DPK profit sharing dibagi dengan DPK total. Data BMI dan BSM berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut. Tabel 4.30 DPK Profit Sharing dan DPK Total BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
61
DPK Profit Sharing (ITT)
2,265.81
3,910.64
5,608.82
6,324.09
8,007.54
DPK Total
2,508.87
4,330.56
5,750.23
6,837.43
8,691.33
DPK Profit Sharing (ITT)
2,331.08
4,744.35
5,775.84
6,160.27
9,248.26
DPK Total
2,628.89
5,725.01
7,037.51
8,219.27
11,105.98
BMI
BSM Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Nilai rata-rata AR BMI pada periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 92,56% lebih tinggi 10,19% dari nilai rata-rata AR BSM yang hanya 82,37%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi BMI dalam mendorong masyarakat untuk berinvestasi lebih tinggi dari BSM. Nilai AR BMI tertinggi adalah sebesar 97,54% terjadi pada tahun 2005 dan terendah sebesar 90,30% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan nilai AR BSM terendah sebesar 74,95% terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 88,67% pada tahun 2003. Pada keseluruhan tahun AR BMI lebih baik dari BSM. Grafik 4.24 Rasio Intensitas Fungsi Agency (AR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 120.00% 100.00% 80.00%
97.54% 90.31%
90.30% 92.49%
88.67% 82.87%
82.07%
74.95%
92.13% 83.27%
60.00% 40.00% 20.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa AR BMI dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 seluruhnya berada pada peringkat 1. Sedangkan AR BSM kecuali tahun 2006 yang berada pada peringkat 3, selebihnya berada pada peringkat 2. Hal ini mengikuti kriteria penilaian peringkat untuk rasio AR sebagai berikut: Peringkat 1 = AR > 90%; Peringkat 2 = 80% < AR ≤ 90%; Peringkat 3 = 70% < AR ≤ 80%; Peringkat 4 = 60% < AR ≤ 70%; dan Peringkat 5 = AR ≤ 60%. 3.2.1.3 Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) Rasio Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) digunakan untuk mengukur besarnya pembiayaan BMI dan BSM yang berjangka waktu diatas 5 tahun. Pembiayaan ini mencakup baik Piutang Murabahah, Pembiayaan Qard, Mudharabah, 62
Musyarakah, dan juga Aktiva Ijarah. Untuk menghasilkan nilai dari rasio KPJP ini, pembiayaan berjangka waktu diatas 5 tahun dibagi dengan total aset yang dimiliki BMI dan BSM. Semakin besar rasio KPJP menunjukkan peran yang semakin baik dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional, demikian juga sebaliknya. Adapun data Pembiayaan berjangka waktu diatas 5 tahun dan Total Aset BMI dan BSM adalah sebagai berikut. Tabel 4.31 Pembiayaan Jangka Panjang dan Total Aset BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Pembiayaan Jk Panjang
2003
2004
2005
2006
2007
374.06
448.08
449.85
472.54
1,252.28
3,308.68
5,209.80
7,427.05
8,370.59
10,569.08
213.72
629.49
775.36
441.16
623.46
3,422.30
6,869.95
8,272.96
9,554.97
12,885.39
BMI Total Aset Pembiayaan Jk Panjang BSM Total Aset
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Nilai rata-rata rasio KPJP BMI pada periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 8,69%. Nilai ini lebih tinggi 1,84% dari nilai rata-rata rasio KPJP BSM yang bernilai 6,85%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi BMI pembiayaan jangka panjang untuk menopang pembangunan ekonomi nasional sedikit lebih tinggi dari BSM. Nilai rasio KPJP BMI tertinggi adalah sebesar 11,85% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 5,65% terjadi pada tahun 2006. Sedangkan nilai rasio KPJP BSM terendah sebesar 4,62% terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 9,37% pada tahun 2005. Nilai rasio KPJP BSM lebih baik dari BMI terjadi pada tahun 2004 dan 2005. Grafik 4.25 Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 14.00% 12.00%
11.85%
11.31% 10.00%
9.16%
8.00% 6.00%
9.37%
8.60% 6.06%
6.24%
5.65% 4.62%
4.00%
4.84%
2.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai rasio KPJP BMI tahun 2003 berada pada peringkat 3, tahun 2004 dan 2005 peringkat 4, tahun 2006 turun
63
menjadi peringkat 5 dan tahun 2007 membaik menjadi peringkat 3. Sedangkan nilai rasio KPJP BSM, pada tahun 2003 berada pada peringkat 4, tahun 2004 dan 2005 mendapat peringkat 3, tahun 2006 dan 2007 memburuk menjadi peringkat 5. Hal ini mengikuti kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPJP sebagai berikut: Peringkat 1 = KPJP > 15%; Peringkat 2 = 12% < KPJP ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KPJP ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KPJP ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KPJP ≤ 6%. 3.2.1.4 Pendalaman Fungsi Agency (PFA) Rasio Pendalaman Fungsi Agency (PFA) digunakan untuk mengukur seberapa dalam fungsi agency BMI dan BSM dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Kedalaman ini berkaitan dengan horison waktu yang dipilih oleh investor. Karena semakin lama jangka waktu yang dipilih, juga akan memudahkan BMI dan BSM untuk menginvestasikan pada pilihan-pilihan investasi dengan waktu yang relatif panjang. Dalam rasio PFA ini komponen pentingnya adalah DPK profit sharing yang dihimpun dalam bentuk deposito mudharabah ditambahkan dengan obligasi mudharabah atau musyarakah yang dikeluarkan oleh BMI dan BSM. Deposito dan obligasi mudharabah dipilih karena memiliki jangka waktu yang lebih panjang, paling tidak satu bulan. Untuk menghasilkan nilai rasio PFA ini, nilai deposito dan obligasi mudharabah dibagi dengan total kewajiban. Semakin besar rasio PFA, akan menunjukkan semakin besar peran BMI dan BSM untuk mendorong masyarakat berinvestasi dengan horison waktu yang lebih panjang, sehingga akan dapat membiayai proyek dan bisnis jangka panjang dan memiliki dampak ekonomi yang luas. Data Deposito dan Obligasi Mudharabah dan Total Kewajiban BMI dan BSM selama tahun 2003-2007 adalah sebagai berikut. Tabel 4.32 Deposito, Obligasi Mudharabah dan Total Kewajiban BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Deposito & Obligasi Mudharabah
1,804.14
2,923.37
4,183.21
3,996.01
4,793.61
Total Kewajiban
3,001.33
4,871.68
6,663.63
7,584.15
9,722.91
Deposito & Obligasi Mudharabah
1,816.61
3,533.87
4,151.76
3,710.18
5,926.35
Total Kewajiban
2,972.68
6,321.17
7,640.38
8,857.73
12,074.01
BMI
BSM Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio PFA pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BMI memiliki peran yang lebih besar dalam mendorong masyarakat berinvestasi dengan horison waktu yang lebih panjang. Dengan demikian potensi mismatch BMI akan lebih rendah sekaligus dapat membiayai proyek dan bisnis dengan jangka yang relatif lebih panjang dan memiliki dampak ekonomi yang luas. Nilai rata-rata rasio PFA BMI pada periode tersebut adalah sebesar 56,98%, lebih tinggi 4,51% dari nilai rata-rata rasio PFA BSM yang mencapai 52,47%. Nilai rasio PFA BMI tertinggi adalah sebesar 62,78% terjadi pada tahun 2005 dan terendah sebesar 49,30% terjadi pada tahun 2007. Sedangkan nilai rasio PFA BSM terendah sebesar 41,89% terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 61,11% pada tahun 2003. Nilai rasio PFA BSM lebih baik dari BMI terjadi pada tahun 2003, selebihnya BMI lebih baik dari BSM.
64
Grafik 4.26 Pendalaman Fungsi Agency (PFA) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 70.00% 61.11% 60.00%
60.01%
62.78%
60.11% 55.91%
50.00%
52.69%
49.30%
54.34%
49.08% 41.89%
40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai rasio PFA BMI tahun 2003, 2004, dan 2005 berada pada peringkat 2, tahun 2006 pada peringkat 3, dan tahun 2007 memburuk menjadi peringkat 4. Sedangkan nilai rasio PFA BSM, pada tahun 2003 berada pada peringkat 2, tahun 2004 dan 2005 mendapat peringkat 3, tahun 2006 dan 2007 turun menjadi peringkat 4. Hal ini mengikuti kriteria penilaian peringkat untuk rasio PFA sebagai berikut: Peringkat 1 = PFA > 70%; Peringkat 2 = 60% < PFA ≤ 70%; Peringkat 3 = 50% < PFA ≤ 60%; Peringkat 4 = 40% < PFA ≤ 50%; dan Peringkat 5 = PFA ≤ 40%.
3.2.2 Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) Penilaian kuantitatif aspek Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap empat rasio penting yang mencakup aspek Rasio Pembiayaan Qardh (QR), Rasio Kinerja Zakat (ZR), Rasio Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS), dan Rasio Pelaksanaan Fungsi Edukasi (CSR). 3.2.2.1 Pembiayaan Qardh (QR) Melalui hasil penghitungan Rasio Pembiayaan Qardh atau Qardh Ratio (QR) dapat diketahui besarnya kontribusi pembiayan qardh BMI dan BSM bagi masyarakat. Semakin tinggi komponen ini akan mengindikasikan kepedulian BMI dan BSM yang tinggi kepada pihak yang mengalami kesulitan. QR dihitung dengan membandingkan pembiayaan qardh dengan total pembiayaan yang dilakukan oleh bank tersebut. Adapun data pembiayaan qardh dan total pembiayaan BMI dan BSM untuk perhitungan QR masing-masing dapat dilihat dalam tabel 4.33. Tabel 4.33 Pembiayaan Qardh dan Total Pembiayaan BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah)
65
Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Pembiayaan Qard
1.41
11.61
16.59
33.95
122.02
Total Pembiayaan
2,373.04
4,184.70
5,887.74
6,628.09
8,618.05
Pembiayaan Qard
121.72
56.14
69.65
241.43
522.36
Total Pembiayaan
2,170.57
5,295.66
5,847.59
7,414.76
10,326.37
BMI
BSM Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.27 menunjukkan bahwa kepedulian BSM terhadap pihak lain atau nasabah yang mengalami kesulitan lebih baik dari BMI, dilihat dari rasio QR. Nilai ratarata QR BSM pada periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 3,23% lebih tinggi 2,73% dari nilai rata-rata QR BMI yang hanya 0,51%. Nilai QR BSM tertinggi adalah sebesar 5,61% terjadi pada tahun 2003 dan terendah sebesar 1,06% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan nilai QR BMI terendah sebesar 0,06% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 1,42% pada tahun 2007. Grafik 4.27 Qardh Ratio (QR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 6.00% 5.61% 5.06%
5.00%
4.00% 3.26%
3.00%
2.00% 1.42% 1.19%
1.06%
1.00%
0.51% 0.06%
0.28%
0.28%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio QR adalah: Peringkat 1 = QR > 5%; Peringkat 2 = 3% < QR ≤ 5%; Peringkat 3 = 2% < QR ≤ 3%; Peringkat 4 = 1% < QR ≤ 2%; dan Peringkat 5 = QR ≤ 1%. Maka dengan demikian tahun 2003 dan 2007, QR BSM berada pada peringkat 1, sedangkan untuk tahun 2004 dan 2005 berada pada peringkat 4, serta tahun 2006 berada pada peringkat 2. Sedangkan QR BMI tahun 2003, 2004, 2005 dan 2006 berada pada peringkat 5, sedangkan tahun 2007 mengalami perbaikan menjadi peringkat 4.
66
3.2.2.2 Kinerja Zakat (ZR) Rasio kinerja zakat atau zakah ratio (ZR) digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur besarnya kontribusi zakat perusahaan yang dikeluarkan oleh BMI dan BSM. Zakat tersebut kemudian akan dapat dinikmati oleh mustahiq zakat, yang merepresentasi kelompok yang membutuhkan dalam masyarakat. ZR diperoleh dengan membandingkan zakat yang dibayarkan BMI dan BSM dengan laba sebelum pajak. Semakin tinggi komponen ini akan mengindikasikan zakah performance masing-masing bank syariah tersebut. Adapun data zakat perusahaan dan laba sebelum pajak BMI dan BSM untuk perhitungan ZR terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.34 Zakat Perusahaan dan Laba Sebelum Pajak BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
Zakat Perusahaan
2004
2005
2006
2007
0.00
0.86
2.98
3.91
6.74
34.49
74.37
156.26
161.47
212.04
0.00
0.39
2.59
2.09
1.64
24.50
150.42
136.71
95.24
168.18
BMI Laba Sebelum Pajak Zakat Perusahaan BSM Laba Sebelum Pajak
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata ZR pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BMI memberikan kontribusi zakat perusahaan yang lebih besar. Nilai rata-rata ZR BMI pada periode tersebut adalah sebesar 1,73%, lebih tinggi 0,67% dari nilai rata-rata ZR BSM yang mencapai 1,06%. Nilai ZR BMI tertinggi adalah sebesar 3,18% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 0,00% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai ZR BSM terendah sebesar juga 0,00% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 2,19% pada tahun 2006. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai ZR BMI tahun 2003 berada pada peringkat 5, tahun 2004 peringkat 4, tahun2005 berada pada peringkat 3, tahun 2006 pada peringkat 2, dan tahun 2007 meningkat menjadi peringkat 1. Sedangkan nilai ZR BSM pada tahun 2003 dan 2004 berada pada peringkat 5, tahun 2005 mendapat peringkat 3, tahun 2006 peringkat 2, dan tahun 2007 memburuk menjadi peringkat 5. Adapun kriteria penilaian peringkat untuk ZR yang digunakan adalah: Peringkat 1 = ZR > 2,5%; Peringkat 2 = 2% < ZR ≤ 2,5%; Peringkat 3 = 1,5% < ZR ≤ 2%; Peringkat 4 = 1% < ZR ≤ 1,5%; dan Peringkat 5 = ZR ≤ 1%. Grafik 4.28 Zakah Ratio (ZR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007
67
3.50% 3.18% 3.00% 2.42%
2.50%
2.19% 2.00%
1.91%
1.89%
1.50% 1.16% 1.00%
0.98%
0.50%
0.00%
0.00% 0.00% 2003
0.26%
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.2.2.3 Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS) Melalui hasil perhitungan Rasio Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS) dapat diukur manfaat yang diberikan oleh BMI dan BSM bagai masyarakat secara total dari zakat dan pembiayan kebajikan (qard). Nilai RFS didapatkan dengan membandingkan pembiayan qardh ditambahkan dengan pembayaran zakat perusahaan dengan modal inti atau total ekuitas. Menurut BI (2007), semakin tinggi komponen ini mengindikasikan pelaksanaan fungsi sosial bank syariah semakin tinggi. Adapun data yang mendukung perhitungan ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.35 Zakat, Pembiayaan Qardh dan Modal Inti BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Zakat dan Qard
2003
2004
2005
2006
2007
1.41
12.47
19.57
37.86
128.76
Modal Inti (Total Ekuitas)
307.35
339.11
763.41
786.44
846.16
Zakat dan Qard
121.72
56.53
72.24
243.52
524.00
Modal Inti (Total Ekuitas)
449.62
548.77
632.59
697.23
811.38
BMI
BSM Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.29 menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi sosial BSM melalui zakat dan pembiayaan qardh lebih baik dari BMI, dilihat dari rasio RFS. Nilai rata-rata rasio RFS BSM pada periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 29,66% lebih tinggi 24,31% dari nilai rata-rata RFS BMI yang hanya 5,35%. Nilai RFS BSM tertinggi adalah sebesar 64,58% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 10,30% terjadi pada tahun
68
2004. Sedangkan nilai RFS BMI terendah sebesar 0,46% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 15,22% pada tahun 2007. Grafik 4.29 Rasio Pelaksanaan Fungsi Sosial (RFS) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 70.00% 64.58%
60.00%
50.00%
40.00% 34.93% 30.00% 27.07% 20.00% 15.22% 10.30%
10.00% 0.46%
3.68%
11.42% 4.81%
2.56%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk RFS adalah: Peringkat 1 = RFS > 20%; Peringkat 2 = 15% < RFS ≤ 20%; Peringkat 3 = 10% < RFS ≤ 15%; Peringkat 4 = 5% < RFS ≤ 10%; dan Peringkat 5 = RFS ≤ 5%. Maka dengan demikian tahun 2003, 2006 dan 2007, RFS BSM berada pada peringkat 1, sedangkan untuk tahun 2004 dan 2005 berada pada peringkat 3. Sedangkan RFS BMI tahun 2003, 2004, 2005 dan 2006 berada pada peringkat 5, sedangkan tahun 2007 mengalami perbaikan signifikan menjadi peringkat 2. 3.2.2.4 Pelaksanaan Fungsi Edukasi (CSR) Rasio pelaksanaan fungsi edukasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur besar fungsi corporate social reponsibility (CSR) dalam proses pembelajaran masyarakat yang telah dijalankan BMI dan BSM. Rasio CSR dihitung dengan membandingkan biaya edukasi publik dengan total biaya operasional. Biaya edukasi publik dicerminkan oleh biaya promosi. Sebagaimana menurut BI (2007), semakin tinggi rasio CSR ini menunjukkan semakin besar peran bank syariah tersebut dalam proses pembelajaran masyarakat. Adapun data biaya promosi dan biaya operasional BMI dan BSM untuk perhitungan rasio CSR terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.36 Biaya Promosi dan Biaya Operasional BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Biaya Promosi
2003
2004
2005
2006
2007
10.58
16.76
23.21
28.23
38.12
154.22
228.59
322.21
396.66
561.67
9.87
14.61
19.25
12.85
25.62
BMI Biaya Operasional BSM
Biaya Promosi
69
Biaya Operasional
159.99
276.42
435.55
523.22
728.25
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio CSR pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BMI memberikan kontribusi edukasi publik yang lebih besar. Nilai rata-rata rasio CSR BMI pada periode tersebut adalah sebesar 7,06%, lebih tinggi 2,69% dari nilai rata-rata rasio CSR BSM yang mencapai 4,37%. Nilai rasio CSR BMI tertinggi adalah sebesar 7,33% terjadi pada tahun 2004 dan terendah sebesar 6,79% terjadi pada tahun 2007. Sedangkan nilai rasio CSR BSM terendah sebesar 2,46% terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 6,17% pada tahun 2003. Secara keseluruhan rasio kontribusi edukasi publik BMI pada setiap tahun lebih baik dari BSM. Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai rasio CSR BMI tahun 2003 dan 2007 berada pada peringkat 2, sedangkan tahun 2004, 2005 dan 2006 pada peringkat 1. Sedangkan nilai rasio CSR BSM pada tahun 2003 dan 2004 berada pada peringkat 2, tahun 2005 dan 2007 peringkat 3, dan tahun 2006 mendapat peringkat 4. Adapun kriteria penilaian peringkat untuk rasio kontribusi edukasi publik yang digunakan adalah: Peringkat 1 = CSR > 7%; Peringkat 2 = 5% < CSR ≤ 7%; Peringkat 3 = 3% < CSR ≤ 5%; Peringkat 4 = 2% < CSR ≤ 3%; dan Peringkat 5 = CSR ≤ 2%. Grafik 4.30 Rasio Pelaksanaan Fungsi Edukasi (CSR) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 8.00% 7.33% 7.00% 6.00%
7.20%
7.12%
6.86%
6.79%
6.17% 5.29%
5.00% 4.42% 4.00% 3.52% 3.00% 2.46% 2.00% 1.00%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.2.3 Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) Penilaian kuantitatif aspek Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap lima rasio yang mencakup aspek Rasio Kontribusi terhadap Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM), Kesejahteraan Mudharib (KM), Kesejahteraan Investor (KI), Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW), dan Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP). 70
3.2.3.1 Kontribusi Untuk Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) Melalui hasil penghitungan rasio kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) dapat diketahui besarnya keuntungan BMI dan BSM yang dinikmati oleh Sohibul Maal (Pemegang Saham) berupa peningkatan kekayaan mereka melalui peningkatan nilai perusahaan. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi BMI dan BSM terhadap peningkatan kesejahteraan Sohibul Maal yang baik. Rasio KSM dihitung dengan membandingkan Laba Setelah Pajak dengan Modal Inti atau Total Ekuitas dari BMI dan BSM, dengan data pendukung pada tabel berikut. Tabel 4.37 Laba Setelah Pajak dan Modal Inti BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Laba setelah Pajak
2003
2004
2005
2006
2007
23.17
50.62
106.66
108.36
145.33
307.35
339.11
763.41
786.44
846.16
15.84
103.45
83.82
65.48
115.46
449.62
548.77
632.59
697.23
811.38
BMI Modal Inti (Total Ekuitas) Laba setelah Pajak BSM Modal Inti (Total Ekuitas)
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.31 menunjukkan bahwa kontribusi BMI terhadap peningkatan kesejahteraan Pemegang Saham (Sohibul Maal) dalam periode tahun 2003-2007, lebih tinggi dari BSM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio KSM rata-rata dalam periode tersebut dimana BMI mendapatkan nilai 13,48% sedangkan nilai BSM adalah 11,85%, lebih rendah 1,63%. Nilai rasio KSM BMI tertinggi adalah sebesar 17,18% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 7,54% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio KSM BSM terendah sebesar 3,52% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 18,85% pada tahun 2004. Nilai rasio KSM BSM lebih tinggi dari BMI terjadi pada tahun 2004 tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio KSM adalah: Peringkat 1 = KSM > 15%; Peringkat 2 = 12% < KSM ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KSM ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KSM ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KSM ≤ 6%. Maka dengan demikian rasio KSM BMI pada tahun 2003 mendapat peringkat 4, sedangkan untuk tahun 2004, 2005 dan 2006 mengalami perbaikan peringkat sehingga berada pada peringkat 2, serta tahun 2007 meningkat kembali berada pada peringkat 1. Sedangkan rasio KSM BSM tahun 2003 mendapat peringkat 5, tahun 2004 peringkat 1, tahun 2005 dan 2007 berada pada peringkat 2, sedangkan tahun 2006 mendapat peringkat 3. Grafik 4.31 Kontribusi Untuk Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) BMI dan BSM Tahun 2003-2007
71
20.00%
18.85%
18.00% 17.18% 16.00%
14.93% 14.23%
13.97%
14.00%
13.78%
13.25% 12.00% 10.00%
9.39% 8.00%
7.54%
6.00% 4.00%
3.52%
2.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.2.3.2 Alokasi Kesejahteraan Mudharib (KM) Rasio Alokasi Kesejahteraan Mudharib (KM) dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur besarnya proporsi alokasi pendapatan operasional BMI dan BSM yang dinikmati oleh manajemen dan pegawai (mudharib) dalam bentuk gaji dan tunjangan lainnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi dari BMI dan BSM untuk kesejahteraan Mudharib yang lebih baik. Rasio KM dihitung dengan membandingkan Biaya Gaji dan Tunjangan Kesejahteraan Pegawai dengan Pendapatan Operasional. Adapun data Biaya Gaji dan Tunjangan serta Pendapatan Operasional BMI dan BSM untuk perhitungan rasio KM terdapat dalam tabel 4.38. Tabel 4.38 Biaya Gaji dan Tunjangan serta Pendapatan Operasional BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Gaji dan Tunjangan
2003
2004
2005
2006
2007
42.52
85.39
99.56
117.94
156.22
324.76
502.15
785.14
1,049.31
1,165.32
40.71
69.01
124.48
123.07
181.37
279.49
584.27
865.49
934.42
1,197.27
BMI Pendapatan Operasional Gaji dan Tunjangan BSM Pendapatan Operasional
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio KM pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BSM memberikan alokasi untuk Kesejahteraan Mudharib yang lebih besar. Nilai ratarata rasio KSM BSM pada periode tersebut adalah sebesar 13,82%, lebih tinggi 0,33% dari nilai rata-rata rasio KM BMI yang mencapai 13,48%. Nilai rasio KM BMI tertinggi adalah sebesar 17,00% terjadi pada tahun 2004 dan terendah sebesar 11,24% terjadi pada tahun 2006. Sedangkan nilai rasio KM BSM terendah sebesar 11,81% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 15,15% pada tahun 2007. Secara keseluruhan rasio alokasi 72
kesejahteraan Mudharib BSM pada setiap tahun lebih tinggi dari BMI, kecuali pada tahun 2004 (lihat Grafik 4.32). Grafik 4.32 Alokasi Kesejahteraan Mudharib (KM) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 18.00%
17.00%
16.00% 14.00%
13.09% 12.00%
15.15%
14.38%
14.57%
12.68%
11.81%
13.41%
13.17% 11.24%
10.00% 8.00% 6.00% 4.00% 2.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai rasio KM BMI tahun 2003, 2005 dan 2007 berada pada peringkat 2. Peringkat terendah adalah 3 terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada peringkat 1 dicapai tahun 2004. Sedangkan nilai rasio KM BSM pada tahun 2003 dan 2004 masing-masing berada pada peringkat 2 dan 3. Tahun 2005 dan 2006 mengalami perbaikan sehingga kembali ke peringkat 2, dan tahun 2007 semakin meningkat sehingga mendapat peringkat 1. Adapun kriteria penilaian peringkat untuk rasio alokasi kesejahteraan Mudharib yang digunakan adalah: Peringkat 1 = KM > 15%; Peringkat 2 = 12% < KM ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < KM ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < KM ≤ 9%; dan Peringkat 5 = KM ≤ 6%. 3.2.3.3 Kontribusi Atas Kesejahteraan Investor (KI) Melalui hasil penghitungan rasio kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan Investor (KI) ini dapat diketahui besarnya keuntungan BMI dan BSM yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Tabungan dan Deposito Mudharabah, berupa bagi hasil yang diterima. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi BMI dan BSM atas peningkatan kesejahteraan Investor yang semakin baik. Rasio KI dihitung dengan membandingkan Distribusi Bagi Hasil yang telah dibayarkan oleh BMI dan BSM dengan Total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berbentuk Investasi Tidak Terikat (Mudharabah Muthlaqoh), dimana datanya dalam tabel berikut. Tabel 4.39 Distribusi Bagi Hasil dan Total DPK Investasi Tidak Terikat BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah BMI
Distribusi Bagi Hasil
2003 174.04
2004 255.48
2005 383.39
2006 570.05
2007 500.15
73
DPK Profit Sharing (ITT)
2,265.81
3,910.64
5,608.82
6,324.09
8,007.54
148.39
269.25
386.38
455.49
511.87
2,331.08
4,744.35
5,775.84
6,160.27
9,248.26
Distribusi Bagi Hasil BSM DPK Profit Sharing (ITT)
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio KI pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BMI memberikan keuntungan untuk Investor yang lebih besar. Nilai rata-rata rasio KI BMI pada periode tersebut adalah sebesar 7,26%, lebih tinggi 0,93% dari nilai rata-rata rasio KI BSM yang mencapai 6,33%. Nilai rasio KI BMI tertinggi adalah sebesar 9,01% terjadi pada tahun 2006 dan terendah sebesar 6,25% terjadi pada tahun 2007. Sedangkan nilai rasio KI BSM terendah sebesar 5,53% juga terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi sebesar 7,39% pada tahun 2006. Secara keseluruhan rasio KI BMI pada setiap tahun lebih tinggi dari BSM. Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio KI adalah: Peringkat 1 = KI > 8%; Peringkat 2 = 6% < KI ≤ 8%; Peringkat 3 = 4% < KI ≤ 6%; Peringkat 4 = 2% < KI ≤ 4%; dan Peringkat 5 = KI ≤ 2%. Maka dengan demikian rasio KI BMI pada tahun 2003, 2004, 2005 dan 2007 berada pada peringkat 2, sedangkan tahun 2006 meraih peringkat terbaik yaitu pada peringkat 1. Sedangkan rasio KI BSM tahun 2003, 2005, dan 2006 mendapat peringkat 2, sedangkan tahun 2004 dan 2007 mendapat peringkat 3. Grafik 4.33 Kontribusi Atas Kesejahteraan Investor (KI) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 10.00% 9.01%
9.00% 8.00%
7.68%
7.00% 6.00%
7.39%
6.84% 6.53%
6.69%
6.37%
6.25%
5.68%
5.53%
5.00% 4.00% 3.00% 2.00% 1.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.2.3.4 Kontribusi Untuk Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) Melalui hasil penghitungan rasio kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan Pemegang Rekening Wadiah (KPW) dapat diketahui besarnya keuntungan BMI dan BSM yang dinikmati oleh Pemilik Rekening Giro dan Tabungan Wadiah, berupa bonus 74
yang diterima. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi BMI dan BSM atas peningkatan kesejahteraan Pemegang Rekening Wadiah yang baik. Rasio KPW dihitung dengan membandingkan Bonus yang telah dibayarkan dengan Total Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk Wadiah, dengan data pendukung pada tabel berikut. Tabel 4.40 Bonus dan Total DPK Wadiah BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
Beban bonus wadiah
2004
2005
2006
2007
2.29
0.66
0.86
2.16
4.07
243.06
419.92
141.41
513.34
683.79
3.83
6.12
12.20
18.26
17.51
297.81
980.66
1,261.67
2,059.00
1,857.72
BMI DPK Wadiah Beban bonus wadiah BSM DPK Wadiah
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.31 menunjukkan bahwa kontribusi BSM terhadap peningkatan Pemegang Rekening Wadiah (KPW) dalam periode tahun 2003-2007, lebih tinggi dari BMI. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio KPW rata-rata dalam periode tersebut dimana BSM mendapatkan nilai 0,94% sedangkan nilai BMI adalah 0,54%, lebih rendah 0,40%. Nilai rasio KPW BSM tertinggi adalah sebesar 1,29% terjadi pada tahun 2003 dan terendah sebesar 0,62% terjadi pada tahun 2004. Sedangkan nilai rasio KPW BMI terendah sebesar 0,16% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 0,94% pada tahun 2003. Nilai rasio KPW BSM untuk setiap tahun pada periode tersebut lebih tinggi dari BMI. Grafik 4.34 Kontribusi Untuk Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 1.40% 1.29% 1.20% 1.00% 0.94%
0.97%
0.80% 0.62%
0.60%
0.94% 0.89%
0.61%
0.60% 0.42%
0.40% 0.20%
0.16%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai rasio KPW BMI tahun 2003, berada pada peringkat 3, peringkat terendah adalah 5 terjadi pada tahun 2004 dan 2006, sedangkan tahun 2005 dan 2007 berada pada peringkat 4. Sedangkan nilai rasio
75
KPW BSM berada pada peringkat terbaik 2 pada tahun 2003, berikutnya peringkat 3 pada tahun 2005 dan 2007, dan peringkat terendah 4 terjadi pada tahun 2004 dan 2006. Adapun kriteria penilaian peringkat yang digunakan untuk rasio KPW ini adalah: Peringkat 1 = KPW > 1,5%; Peringkat 2 = 1,2% < KPW ≤ 1,5%; Peringkat 3 = 0,9% < KPW ≤ 1,2%; Peringkat 4 = 0,6% < KPW ≤ 0,9%; dan Peringkat 5 = KPW ≤ 0,6%. 3.2.3.5 Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP) Rasio kontribusi pajak untuk pemerintah (KPP) dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi pembayaran pajak BMI dan BSM yang diterima oleh Pemerintah dari skala aktivitas operasionalnya. Pajak yang diterima sangat penting karena kemudian digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas pemerintah, belanja pembangunan, dan tranfer subsidi kepada masyarakat. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan kontribusi BMI dan BSM untuk penyelenggaraan pemerintah yang semakin baik. Rasio KPP dihitung dengan membandingkan Beban Pajak Penghasilan Bersih dengan Pendapatan Operasional BMI dan BSM. Adapun data Beban Pajak Penghasilan Bersih dan Pendapatan Operasional BMI dan BSM untuk perhitungan rasio KPP terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.41 Beban Pajak Penghasilan Bersih dan Pendapatan Operasional BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Beban Pajak Penghasilan Bersih
2003
2004
2005
2006
2007
11.32
23.75
49.59
53.12
66.71
324.76
502.15
785.14
1,049.31
1,165.32
8.67
46.97
52.89
29.76
52.73
279.49
584.27
865.49
934.42
1,197.27
BMI Pendapatan Operasional Beban Pajak Penghasilan Bersih BSM Pendapatan Operasional
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio KPP pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BMI memberikan proporsi kontribusi pajak kepada pemerintah yang sedikit lebih besar dibanding dengan BSM, dengan perbedaan 0,10%. Nilai rata-rata rasio KPP BSM pada periode tersebut adalah sebesar 4,97%, sedangkan nilai rata-rata rasio KPP BMI mencapai 5,06%. Nilai rasio KPP BMI tertinggi adalah sebesar 6,32% terjadi pada tahun 2005 dan terendah sebesar 3,49% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio KPP BSM terendah sebesar 3,10% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 8,04% pada tahun 2004. Secara keseluruhan rasio KPP BMI pada setiap tahun lebih tinggi dari BSM, kecuali pada tahun 2004. Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa peringkat dari nilai rasio KPP BMI mengalami trend yang membaik. Dimana tahun 2003 dan 2004 masing-masing memperoleh peringkat 4 dan 3, berikutnya tahun 2005, 2006 dan 2007 meningkat shingga memperoleh peringkat 2. Sedangkan nilai rasio KPP BSM pada tahun 2003 dan 2006 berada dititik terendah pada peringkat 4. Peringkat terbaik 1 diperoleh tahun 2004, sedangkan tahun 2005 dan 2007 masing-masing pada peringkat 2 dan 3. Adapun kriteria 76
penilaian peringkat untuk rasio kontribusi pajak untuk pemerintah yang digunakan adalah: Peringkat 1 = KPP > 7%; Peringkat 2 = 5% < KPP ≤ 7%; Peringkat 3 = 4% < KPP ≤ 5%; Peringkat 4 = 3% < KPP ≤ 4%; dan Peringkat 5 = KPP ≤ 3%. Grafik 4.35 Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 9.00% 8.04%
8.00% 7.00%
6.32%
6.00%
5.72%
6.11% 5.06%
5.00% 4.73%
4.40%
4.00% 3.49% 3.00%
3.18%
3.10%
2.00% 1.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
3.2.4 Kontribusi Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) Penilaian kuantitatif aspek Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap dua rasio penting yang mencakup aspek alokasi anggaran untuk Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai (P4) dan Riset serta Pengembangan (R&D). 3.2.4.1 Alokasi Untuk Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai (P4) Melalui hasil penghitungan rasio alokasi anggaran untuk peningkatan pendidikan dan pelatihan pegawai (P4) ini dapat diketahui besarnya alokasi dana untuk program pendidikan dan pelatihan pegawai. Sebagai institusi jasa peningkatan kapasitas SDI bagi BMI dan BSM sangat penting, karena jantung penciptaan layanan yang berkualitas adalah dari kualitas SDI yang dimiliki. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan alokasi anggaran bank syariah untuk peningkatan kualitas SDI-nya yang baik. Rasio PKSR dihitung dengan membandingkan alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan yang tercermin dalam Biaya Pendidikan dan Pelatihan dengan Laba Setelah Pajak. Adapun data Biaya Pendidikan dan Pelatihan serta Laba Setelah Pajak yang digunakan untuk menghitung rasio ini terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.42 Biaya Pendidikan dan Pelatihan serta Laba Setelah Pajak BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah)
77
Bank Syariah
2003
Biaya Pendidikan dan Pelatihan
2004
2005
2006
2007
1.96
4.63
7.49
10.12
5.62
23.17
50.62
106.66
108.36
145.33
3.85
4.75
11.08
9.13
9.69
15.84
103.45
83.82
65.48
115.46
BMI Laba setelah Pajak Biaya Pendidikan dan Pelatihan BSM Laba setelah Pajak
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Data dari Grafik 4.36 menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk peningkatan pendidikan dan pelatihan pegawai (P4) BSM dalam periode tahun 2003-2007, lebih baik dari BMI. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio P4 rata-rata dalam periode tersebut dimana BMI mendapatkan nilai 7,57%, lebih rendah 5,32% dari nilai BSM yang mencapai 12,89%. Nilai rasio P4 BMI tertinggi adalah sebesar 9,34% terjadi pada tahun 2006 dan terendah sebesar 3,87% terjadi pada tahun 2007. Sedangkan nilai rasio P4 BSM terendah sebesar 4,59% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 24,31% pada tahun 2003. Nilai rasio P4 BMI lebih tinggi dari BSM haya terjadi pada tahun 2004. Grafik 4.36 Alokasi Untuk Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai (P4) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 30.00%
25.00% 24.31% 20.00%
15.00%
13.94% 13.22%
10.00% 8.46% 5.00%
9.15%
7.02%
9.34%
8.39% 3.87%
4.59%
0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio PKSR adalah: Peringkat 1 = PKSR > 15%; Peringkat 2 = 12% < PKSR ≤ 15%; Peringkat 3 = 9% < PKSR ≤ 12%; Peringkat 4 = 6% < PKSR ≤ 9%; dan Peringkat 5 = PKSR ≤ 6%. Maka dengan demikian rasio PKSR BMI pada tahun 2003 dan 2005 berada pada peringkat 4, sedangkan tahun 2004 dan 2005 meraih peringkat 3. Sedangkan tahun 2007, BMI untuk rasio ini mengalami penurunan peringkat sehingga berada pada peringkat 5. Sedangkan rasio PKSR BSM tahun 2003 mendapat peringkat 1, tahun 2004 peringkat 5, tahun 2005 dan 2006 berada pada peringkat 2, sedangkan tahun 2007 mendapat peringkat 4. 78
3.2.4.2 Alokasi Untuk Riset dan Pengembangan (R&D) Rasio alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D) dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur besarnya alokasi dana untuk program riset dan pengembangan BMI dan BSM. Besarnya alokasi sumber daya untuk program riset tentunya akan meningkatkan inovasi yang menghasilkan keunggulan secara berkelanjutan. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan komitmen untuk peningkatan riset dan pengembangannya yang semakin baik. Rasio R&D dihitung dengan membandingkan alokasi anggaran untuk riset yang tercermin dalam Biaya Penelitian dan Pengembangan serta Tenaga Ahli dengan Laba Setelah Pajak BMI dan BSM, dimana data pendukung untuk perhitungan terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.43 Biaya R&D serta Laba Setelah Pajak BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
Biaya Penelitian & Pengembangan
2005
2006
2007
0
0.02
0.18
0.29
0.13
23.17
50.62
106.66
108.36
145.33
0.53
0.83
1.91
1.50
1.26
15.84
103.45
83.82
65.48
115.46
BMI Laba setelah Pajak Biaya Penelitian & Pengembangan BSM Laba setelah Pajak
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio R&D pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D) BSM lebih besar dibanding dengan BMI. Nilai rata-rata rasio R&D BSM pada periode tersebut adalah sebesar 1,96%, lebih tinggi 1,85% dibandingkan dengan nilai rata-rata rasio R&D BMI yang hanya 0,11%. Nilai rasio R&D BMI tertinggi adalah sebesar 0,27% terjadi pada tahun 2006 dan terendah sebesar 0% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio R&D BSM terendah sebesar 0,80% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 3,35% pada tahun 2003. Secara keseluruhan rasio R&D BSM pada setiap tahun lebih tinggi dari BMI. Grafik 4.37 Alokasi Untuk Riset dan Pengembangan (R&D) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 4.00% 3.50% 3.35% 3.00% 2.50% 2.28%
2.00%
2.29%
1.50% 1.09%
1.00% 0.80% 0.50% 0.00%
0.00% 2003
0.04% 2004
0.27%
0.17%
0.09% 2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
79
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa peringkat dari nilai rasio R&D BMI pada keseluruhan tahun dari 2003-2007 memperoleh peringkat 5. Sedangkan nilai rasio R&D BSM pada tahun 2003 mendapat peringkat 1, tahun 2004 peringkat 4, tahun 2005 dan 2006 memperoleh peringkat 2, sedangkan tahun 2007 turun menjadi peringkat 3. Hal ini mengikuti penentuan kriteria penilaian peringkat untuk rasio alokasi anggaran untuk R&D adalah: Peringkat 1 = R&D > 3%; Peringkat 2 = 2% < R&D ≤ 3%; Peringkat 3 = 1% < R&D ≤ 2%; Peringkat 4 = 0,5% < R&D ≤ 1%; dan Peringkat 5 = R&D ≤ 0,5%. 3.2.5 Kontribusi Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) Penilaian kuantitatif aspek Kontribusi Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) BMI dan BSM dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap tiga rasio penting yang mencakup aspek Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN), Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN), dan Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ). 3.2.5.1 Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) Melalui hasil penghitungan rasio pemerataan distribusi aset nasional (PDAN) ini dapat diketahui besarnya proporsi kekayaan atau aset BMI dan BSM yang berada diluar Jawa dibandingkan dengan aset nasionalnya. Melalui perhitungan ini dapat dievaluasi peran bank syariah tersebut dalam melakukan dekonsentrasi pembangunan ekonomi untuk Luar Jawa. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi pembangunan ekonomi yang diperankan bank syairah tersebut yang semakin baik. Rasio PDAN dihitung dengan membandingkan proporsi Aset BMI dan BSM di Luar Jawa dengan Total Aset Nasionalnya, dimana data pendukungnya dapat dilihat dalam tabel 4.44. Tabel 4.44 Aset di Luar Jawa dan Total Aset Nasional BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah Aset di Luar Jawa
2003
2004
2005
2006
2007
514.05
1008.3
1617.44
1891.81
2,663.50
3,308.68
5,209.80
7,427.05
8,370.59
10,569.09
359.02
1368.82
2058.51
2959.43
3,921.67
3,422.31
6,869.95
8,272.96
9,554.97
12,885.39
BMI Total Aset Nasional Aset di Luar Jawa BSM Total Aset Nasional
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Data dari Grafik 4.38 menunjukkan bahwa proporsi aset BSM yang berada diluar Jawa dalam periode tahun 2003-2007, lebih tinggi dari BMI. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio PDAN rata-rata dalam periode tersebut dimana BMI mendapatkan nilai 20,89%, lebih rendah 2,45% dari nilai BSM yang mencapai 23,34%. Nilai rasio PDAN BMI tertinggi adalah sebesar 25,20% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 15,54% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio PDAN BSM terendah sebesar 10,49% terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 30,44% pada tahun 2007. Nilai rasio PDAN BMI lebih tinggi dari BSM haya terjadi pada tahun 2003.
80
Grafik 4.38 Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) BMI dan BSM Tahun 2003-2007 35.00% 30.97%
30.44%
30.00% 24.88%
25.00%
21.78%
19.92%
20.00%
25.20% 22.60%
19.35% 15.00% 10.00%
15.54% 10.49%
5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio PDAN adalah: Peringkat 1 = PDAN > 40%; Peringkat 2 = 30% < PDAN ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < PDAN ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < PDAN ≤ 10%; dan Peringkat 5 = PDAN ≤ 10%. Maka dengan demikian rasio PDAN BMI pada tahun 2003 dan 2004 berada pada peringkat 4, sedangkan tahun 2005, 2006 dan 2007 meningkat sehingga meraih peringkat 3. Sedangkan rasio PDAN BSM tahun 2003 dan 2004 mendapat peringkat 4, tahun 2005 peringkat 4, tahun 2006 dan 2007 mengalami peningkatan sehingga meraih peringkat 2. 3.2.5.2 Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) Rasio Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur proporsi investasi nasabah BMI dan BSM yang berasal dari luar Jawa dibandingkan dengan total investasi nasabah nasionalnya. Semakin tinggi komponen ini mengindikasikan disribusi investasi nasabah secara nasional yang semakin baik. Rasio PDIN dihitung dengan membandingkan proporsi invetasi nasabah BMI dan BSM dari Luar Jawa dengan Total Investasi Nasabah Nasionalnya, dimana data pendukung untuk perhitungan terdapat dalam tabel berikut. Tabel 4.45 Investasi dari Luar Jawa dan Investasi Nasional Pajak BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
2004
2005
2006
2007
Investasi dari Luar Jawa
339.66
837.23
1320.23
1586.92
2,102.25
Total Investasi Nasional
2,465.81
4,110.64
5,808.82
6,504.59
8,185.04
Investasi dari Luar Jawa
622.26
1119.85
1598.51
1965.52
2,718.70
BMI
BSM
81
Total Investasi Nasional
2,398.09
4,901.09
5,940.24
6,200.14
9,427.40
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio PDIN pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa proporsi investasi nasabah BMI dan BSM yang berasal dari luar Jawa BSM lebih besar dibanding dengan BMI. Nilai rata-rata rasio PDIN BSM pada periode tersebut adalah sebesar 27,25%, lebih tinggi 5,86% dibandingkan dengan nilai rata-rata rasio PDIN BMI yang bernilai 21,39%. Nilai rasio PDIN BMI tertinggi adalah sebesar 25,68% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 13,77% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio PDIN BSM terendah sebesar 22,85% terjadi pada tahun 2004 dan tertinggi sebesar 31,70% pada tahun 2006. Secara keseluruhan rasio PDIN BSM pada setiap tahun lebih tinggi dari BMI. Grafik 4.39 Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) Tahun 2003-2007 35.00% 31.70% 30.00% 25.00%
25.68% 22.85%
20.00% 15.00%
28.84%
26.91% 25.95% 22.73%
24.40%
20.37% 13.77%
10.00% 5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa peringkat dari nilai rasio PDIN BMI pada tahun 2003 memperoleh peringkat 4, dan tahun berikutnya pada setiap tahun meraih peringkat 3. Sedangkan nilai rasio PDIN BSM pada tahun 2003, 2004 dan 2005 memperoleh peringkat 3, sedangkan tahun 2006 meningkat menjadi peringkat 2, tetapi tahun 2007 turun kembali menjadi peringkat 3. Hal ini mengikuti penentuan kriteria penilaian peringkat untuk rasio rasio PDIN adalah: Peringkat 1 = PDIN > 40%; Peringkat 2 = 30% < PDIN ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < PDIN ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < PDIN ≤ 10%; dan Peringkat 5 = PDIN ≤ 10%.
3.2.5.3 Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) Melalui hasil penghitungan rasio Rasio Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) ini dapat diketahui proporsi pendapatan BMI dan BSM baik dari aktivitas 82
pembiayaan maupun jasa yang berasal dari Luar Jawa dibandingkan dengan pendapatan nasionalnya. Semakin tinggi proporsi pendapatan dari Luar Jawa mengindikasikan bahwa aktifitas pembiayaan, investasi dan layanan jasa yang semakin tinggi di Luar Jawa. Rasio KPLJ dihitung dengan membandingkan Pendapatan BMI dan BSM dari Luar Jawa dengan Total Pendapatan Nasional, dimana datanya dalam tabel 4.46. Tabel 4.46 Pendapatan dari Luar Jawa dan Total Pendapatan Nasional BMI & BSM Tahun 2003-2007 (dalam miliar rupiah) Bank Syariah
2003
Pendapatan dari Luar Jawa
2004
2005
2006
2007
54.69
122.7
216.64
282.24
337.45
364.70
560.96
868.31
1,142.32
1,284.87
67.26
179.09
280.3
363.3
493.73
339.03
696.09
958.65
1,073.95
1,408.31
BMI Total Pendpatan Nasional Pendapatan dari Luar Jawa BSM Total Pendpatan Nasional
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari nilai rata-rata rasio KPLJ pada periode tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa BSM memiliki proporsi pendapatan dari Luar Jawa baik dari aktivitas pembiayaan maupun jasa yang lebih besar. Nilai rata-rata rasio KPLJ BSM pada periode tersebut adalah sebesar 28,74%, lebih tinggi 6,918% dari nilai rata-rata rasio KPLJ BMI yang mencapai 22,56%. Nilai rasio KPLJ BMI tertinggi adalah sebesar 26,26% terjadi pada tahun 2007 dan terendah sebesar 15,00% terjadi pada tahun 2003. Sedangkan nilai rasio KPLJ BSM terendah sebesar 19,84% juga terjadi pada tahun 2003 dan tertinggi sebesar 35,06% pada tahun 2007. Secara keseluruhan, rasio KPLJ BSM pada setiap tahun lebih tinggi dari BMI. Grafik 4.40 Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) Tahun 2003-2007 40.00% 35.06%
35.00% 33.83%
29.24%
30.00% 25.73%
25.00%
26.26% 24.95%
20.00%
19.84%
15.00%
15.00%
24.71%
21.87%
10.00% 5.00% 0.00% 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
83
Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, kriteria penilaian peringkat untuk rasio KPLJ adalah: Peringkat 1 = KPLJ > 40%; Peringkat 2 = 30% < KPLJ ≤ 40%; Peringkat 3 = 20% < KPLJ ≤ 30%; Peringkat 4 = 10% < KPLJ ≤ 10%; dan Peringkat 5 = KPLJ ≤ 10%. Maka dengan demikian rasio KPLJ BMI pada tahun 2003 berada pada peringkat 4, sedangkan tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007 meraih peringkat 3. Sedangkan rasio KPLJ BSM tahun 2003 mendapat peringkat 4, sedangkan tahun 2004 dan 2005 mendapat peringkat 3, dan tahun 2006 dan 2007 semakin membaik sehingga mendapat peringkat 2.
3.2.6 Tingkat Kinerja Sosial BMI dan BSM Pada bagian ini akan dideskripsikan nilai kumulatif tingkat kinerja sosial BMI dan BSM baik pada setiap tahun maupun secara kumulatif. Untuk perhitungan bobot mengikuti metodologi yang telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya untuk menghasilkan nilai terbobot maka akan dimasukkan angka kredit untuk masing-masing dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam metodologi yaitu: Peringkat 1 mendapatkan angka kredit 100, Peringkat 2 memiliki angka kredit 80, peringkat 3 mendapat angka kredit 60, peringkat 4 dan 5 masing-masing mendapatkan angka kredit 40 dan 20. Berikutnya untuk menghasilkan nilai yang sudah dibobot maka dilakukan perkalian antara angka kredit dengan bobotnya. Sedangkan untuk menentukan predikat kinerja sosialnyanya adalah mengikuti ketentuan yaitu: Sangat Baik memiliki nilai bobot 81 s/d 100, Baik memiliki nilai bobot 66 s/d <81, Kurang Baik memiliki nilai bobot 51 s/d <66 dan Tidak Baik memiliki nilai bobot 0 s/d <51. 3.2.6.5 Tingkat Kinerja Sosial BMI dan BSM Tahun 2007 Tahun 2007 ditandai dengan perbaikan kinerja sosial BMI sebesar 2,60 dari tahun sebelumnya sebesar 57,60 sehingga menjadi 60,20 meski dengan predikat masih Kurang Baik. Peningkatan ini merupakan kontribusi dari aspek KPE, KKM dan KUS yang masing-masing meningkat 1,00, 4,00 dan 1,60. Sedangkan penurunan terjadi pada aspek PKSR yang menurun sebesar 4,00. Untuk aspek DPE tidak mengalami perubahan. Maka dengan demikian nilai terbobot BMI untuk aspek KPE sebesar 14,00, aspek KKM 15,00, aspek KUS 15,20, aspek PKSR 4,00 dan aspek DPE 12,00. Tabel 4.55 Tingkat Kinerja Sosial BMI Tahun 2007 Komponen Kinerja Sosial 1
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) a. Intensitas pembiayaan profit sharing (MMR) b. Intensitas fungsi agency (AR) c. Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) d. Pendalaman fungsi agency (PFA)
Peringkat
Angka Kredit
2 1 3 4
80 100 60 40
Nilai Terbobot KPE 2
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) a. Kontribusi Pembiayaan Qard (QR) b. Kinerja zakat (ZR)
4 1
40 100
Bobot
Nilai Bobot
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
4.00 5.00 3.00 2.00
20.00%
14.00
5.00% 5.00%
2.00 5.00
84
c. d.
Pelaksanaan fungsi sosial (RFS) Pelaksanaan fungsi edukasi (CSR)
2 2
80 80
Nilai Terbobot KKM 3
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) a. Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) b. Kesejahteraan Mudharib (KM) c. Kesejahteraan Investor DPK (KI) d. Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) e. Kontribusi Pajak untuk pemerintah (KPP)
1 2 2 4 2
100 80 80 40 80
Nilai Terbobot KUS 4
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) a. Peningkatan Pendidikan & Pelatihan Pegawai (P4) b. Riset dan Pengembangan (R&D)
5 5
20 20
Nilai Terbobot PKSR 5
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) a. Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) b. Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) c. Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ)
3 3 3
60 60 60
Nilai Terbobot DPE
5.00% 5.00%
4.00 4.00
20.00%
15.00
4.00% 4.00% 4.00% 4.00% 4.00%
4.00 3.20 3.20 1.60 3.20
20.00%
15.20
10.00% 10.00%
2.00 2.00
20.00%
4.00
6.67% 6.67% 6.67%
4.00 4.00 4.00
20.00%
12.00
Nilai Kinerja Sosial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI, 2007.
60.20
Berbeda dengan BMI yang mengalami peningkatan kecil, tingkat kinerja sosial BSM tahun 2007 mengalami penurunan 3,93. Pernurunan terjadi pada tiga komponen penting yaitu PKSR, DPE dan KKM yang masing-masing turun 6,00, 1,33 dan 1,00. Penurunan yang sangat signifikan ini tertahan dengan peningkatan KPE dan KUS yang meningkat sebesar 2,00 dan 2,40. Dibandingkan dengan BMI, BSM memiliki skor PKSR dan DPE yang lebih baik dengan nilai 10,00 dan 14,67 sehingga lebih tinggi masingmasing 6,00 dan 2,67. Tetapi skor BMI lebih baik pada tiga komponen yaitu pada sisi KPE, KKM dan KUS masing-masing senilai 3,00, 1,00 dan 0,80. BSM memiliki nilai KPE sebesar 11,00, KKM senilai 14,00 dan KUS sebesar 14,40. Tabel 4.56 Tingkat Kinerja Sosial BSM Tahun 2007 Komponen Kinerja Sosial 1
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) a. Intensitas pembiayaan profit sharing (MMR) b. Intensitas fungsi agency (AR) c. Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) d. Pendalaman fungsi agency (PFA)
Peringkat
Angka Kredit
2 2 5 4
80 80 20 40
Nilai Terbobot KPE 2
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) a. Kontribusi Pembiayaan Qard (QR) b. Kinerja zakat (ZR) c. Pelaksanaan fungsi sosial (RFS) d. Pelaksanaan fungsi edukasi (CSR) Nilai Terbobot KKM
1 5 1 3
100 20 100 60
Bobot
Nilai Bobot
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
4.00 4.00 1.00 2.00
20.00%
11.00
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
5.00 1.00 5.00 3.00
20.00%
14.00
85
3
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) a. Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) b. Kesejahteraan Mudharib (KM) c. Kesejahteraan Investor DPK (KI) d. Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) e. Kontribusi Pajak untuk pemerintah (KPP)
2 1 3 3 3
80 100 60 60 60
Nilai Terbobot KUS 4
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) a. Peningkatan Pendidikan & Pelatihan Pegawai (P4) b. Riset dan Pengembangan (R&D)
4 3
40 60
Nilai Terbobot PKSR 5
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) a. Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) b. Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) c. Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ)
2 3 2
80 60 80
Nilai Terbobot DPE Nilai Kinerja Sosial Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BSM, 2007.
4.00% 4.00% 4.00% 4.00% 4.00%
3.20 4.00 2.40 2.40 2.40
20.00%
14.40
10.00% 10.00%
4.00 6.00
20.00%
10.00
6.67% 6.67% 6.67%
5.33 4.00 5.33
20.00%
14.67 64.07
3.2.6.6 Tingkat Kinerja Sosial BMI dan BSM Kumulatif Secara kumulatif, dalam periode tahun 2003-2007, tingkat kinerja sosial BSM lebih baik dari BMI. Secara rata-rata dalam periode tersebut tingkat kinerja sosial BSM mendapatkan nilai kredit setelah pembobotan kumulatif sebesar 64,07. Nilai tersebut lebih tinggi 8,17 dari nilai kinerja sosial BMI yang hanya sebesar 55,89. Dengan demikian, dari nilai rata-rata tersebut keduanya masih mendapat predikat Kurang Baik atau masih belum optimal berdasarkan kriteria dari penelitian ini. Tingkat kinerja sosial BSM tersebut merupakan nilai kumulatif kontribusi dari aspek KPE 10,80, KKM 13,00, KUS 13,60, PKSR 13,60, dan DPE bernilai 13,07. Sedangkan nilai kumulatif bagi BMI berasal dari sumber KPE 14,40, KKM 10,40, KUS 13,76, PKSR 6,40 dan DPE 10,93. Dari sini dapat dilihat bahwa BSM memiliki aspek KKM, PKSR dan DPE yang lebih baik dari BMI, masing-masing berpaut 2,60, 7,20 dan 2,13. Sedangkan nilai skor KPE dan KUS BMI lebih baik senilai 3,60 dan 0,16 dari KPE dan KUS BSM (Lihat Tabel 4.57 dan 4.58). Grafik 4.41 Komparasi Kinerja Sosial BMI dan BSM Tahun 2003-2007
86
80.00 70.00
70.00
68.00 66.20
64.07
56.27
60.00
57.60
57.40 50.00
60.20
52.07
48.00
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2003
2004
2005 BMI
2006
2007
BSM
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI & BSM, 2003-2007.
Dari Grafik 4.41 juga terlihat bahwa nilai kinerja sosial BMI hanya lebih baik dari BSM pada tahun 2004. Selebihnya semenjak tahun 2003, 2005 sampai dengan tahun 2007 kinerja sosial BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI. Meski demikian trend kinerja sosial BMI terus meninggkat, dan selisih skornya juga semakin kecil. Dimana tahun 2003 nilainya berpaut sangat lebar 22,00, tetapi tahun 2004 BMI bisa lebih baik berpaut 4,20. Tahun 2005 BSM mendapat skor lebih tinggi dengan selisih menjadi 8,80, dan tahun 2006 selisih semakin tinggi menjadi 10,40. Tetapi tahun 2007 karena kinerja sosial BSM turun dan BMI meningkat maka selisihnya menyempit senilai 3,87.
87
Tabel 4.57 Hasil Perhitungan Kinerja Sosial BMI Tahun 2003-2007 Komponen Kinerja Sosial 1
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) a. Intensitas pembiayaan profit sharing (MMR) b. Intensitas fungsi agency (AR) c. Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) d. Pendalaman fungsi agency (PFA)
2003
2004
2005
2006
2007
Rata-Rata
Angka Kredit
3 1 3 2
2 1 4 2
2 1 4 2
2 1 5 3
2 1 3 4
2.20 1.00 3.80 2.60
76 100 44 68
Nilai Terbobot KPE 2
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) a. Kontribusi Pembiayaan Qard (QR) b. Kinerja zakat (ZR) c. Pelaksanaan fungsi sosial (RFS) d. Pelaksanaan fungsi edukasi (CSR)
5 5 5 2
5 4 5 1
5 3 5 1
5 2 5 1
4 1 2 2
4.80 3.00 4.40 1.40
24 60 32 92
Nilai Terbobot KKM 3
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) a. Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) b. Kesejahteraan Mudharib (KM) c. Kesejahteraan Investor DPK (KI) d. Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) e. Kontribusi Pajak untuk Pemerintah (KPP)
4 2 2 3 4
2 1 2 5 3
2 2 2 4 2
2 3 1 5 2
1 2 2 4 2
2.20 2.00 1.80 4.20 2.60
76 80 84 36 68
Nilai Terbobot KUS 4
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) a. Peningkatan Pendidikan & Pelatihan Pegawai (P4) b. Riset dan Pengembangan (R&D)
4 5
3 5
4 5
3 5
5 5
3.80 5.00
44 20
Nilai Terbobot PKSR 5
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) a. Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) b. Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) c. Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) Nilai Terbobot DPE Nilai Kinerja Sosial
4 4 4
4 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3.40 3.20 3.20
52 56 56
Bobot
Nilai Bobot
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
3.80 5.00 2.20 3.40
20.00%
14.40
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
1.20 3.00 1.60 4.60
20.00%
10.40
4.00% 4.00% 4.00% 4.00% 4.00%
3.04 3.20 3.36 1.44 2.72
20.00%
13.76
10.00% 10.00%
4.40 2.00
20.00%
6.40
6.67% 6.67% 6.67%
3.47 3.73 3.73
20.00%
10.93 55.89
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BMI, 2003-2007.
88
Tabel 4.58 Hasil Perhitungan Kinerja Sosial BSM Tahun 2003-2007 Komponen Kinerja Sosial 1
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) a. Intensitas pembiayaan profit sharing (MMR) b. Intensitas fungsi agency (AR) c. Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) d. Pendalaman fungsi agency (PFA)
2003
2004
2005
2006
2007
Rata-Rata
Angka Kredit
5 2 4 2
5 2 3 3
4 2 3 3
3 3 5 4
2 2 5 4
3.80 2.20 4.00 3.20
44 76 40 56
Nilai Terbobot KPE 2
Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) a. Kontribusi Pembiayaan Qard (QR) b. Kinerja zakat (ZR) c. Pelaksanaan fungsi sosial (RFS) d. Pelaksanaan fungsi edukasi (CSR)
1 5 1 2
4 5 3 2
4 3 3 3
2 2 1 4
1 5 1 3
2.40 4.00 1.80 2.80
72 40 84 64
Nilai Terbobot KKM 3
Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) a. Kesejahteraan Sohibul Maal (KSM) b. Kesejahteraan Mudharib (KM) c. Kesejahteraan Investor DPK (KI) d. Kesejahteraan Pemegang Wadiah (KPW) e. Kontribusi Pajak untuk pemerintah (KPP)
5 2 2 2 4
1 3 3 4 1
2 2 2 3 2
3 2 2 4 4
2 1 3 3 3
2.60 2.00 2.40 3.20 2.80
68 80 72 56 64
Nilai Terbobot KUS 4
Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) a. Peningkatan Pendidikan & Pelatihan Pegawai (P4) b. Riset dan Pengembangan (R&D)
1 1
5 4
2 2
2 2
4 3
2.80 2.40
64 72
Nilai Terbobot PKSR 5
Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) a. Pemerataan Distribusi Aset Nasional (PDAN) b. Pemerataan Distribusi Investasi Nasional (PDIN) c. Kontribusi Pendapatan dari Luar Jawa (KPLJ) Nilai Terbobot DPE Nilai Kinerja Sosial
4 3 2
4 3 3
3 3 3
2 2 2
2 3 2
3.00 2.80 2.40
60 64 72
Bobot
Nilai Bobot
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
2.20 3.80 2.00 2.80
20.00%
10.80
5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
3.60 2.00 4.20 3.20
20.00%
13.00
4.00% 4.00% 4.00% 4.00% 4.00%
2.72 3.20 2.88 2.24 2.56
20.00%
13.60
10.00% 10.00%
6.40 7.20
20.00%
13.60
6.67% 6.67% 6.67%
4.00 4.27 4.80
20.00%
13.07 64.07
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan BSM, 2003-2007.
89
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan dalam periode tahun 2003-2007, kesehatan finansial BMI lebih baik dari BSM. Secara rata-rata dari periode tersebut tingkat kesehatan finansial BMI mendapatkan nilai kredit setelah pembobotan kumulatif sebesar 77,25. Nilai tersebut lebih tinggi 6,15 dari nilai kesehatan finansial BSM yang hanya sebesar 71,10. Tingkat kesehatan finansial BMI tersebut merupakan nilai kumulatif kontribusi dari aspek: Kualitas Aset 54,60; Rentabilitas 10,65; dan Likuiditas 12,00. Sedangkan nilai kumulatif bagi BSM berasal dari sumber Kualitas Aset sebesar 50,40; Rentabilitas 8,40; dan Likuiditas 12,30. Dari sini dapat dilihat bahwa BMI memiliki aspek Kualitas Aset dan Rentabilitas yang lebih baik dari BSM, masing-masing berpaut 4,20 dan 2,12. Sedangkan nilai skor Likuiditas BSM lebih baik berselisih 0,30 dari likuiditas BMI. Berdasarkan masing-masing tahun, nilai kesehatan finansial BSM tahun 2003 lebih baik bila dibandingkan dengan BMI. Tetapi, selebihnya semenjak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007, kesehatan finansial BMI lebih baik dibandingkan dengan BSM. Tren selisih skornya juga semakin meningkat. Dimana tahun 2004 nilainya hanya berpaut 1,50, tahun 2005 meningkat menjadi 3,75, tahun 2005 semakin tinggi menjadi 10,75 dan tahun 2007 semakin lebar berselisih 16,25. 2. Tingkat kinerja sosial BSM dalam periode tahun 2003-2007 lebih baik dari BMI. Secara rata-rata dalam periode tersebut tingkat kinerja sosial BSM mendapatkan nilai kredit setelah pembobotan kumulatif sebesar 64,07. Nilai tersebut lebih tinggi 8,17 dari nilai kinerja sosial BMI yang hanya sebesar 55,89. Tingkat kinerja sosial BSM tersebut merupakan nilai kumulatif kontribusi dari aspek: Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) sebesar 10,80; Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) sebesar 13,00; Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS) sebesar 13,60; Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) sebesar 13,60; dan Distribusi Pembangunan Ekonomi (DPE) bernilai 13,07. Sedangkan nilai kumulatif bagi BMI berasal dari sumber: KPE sebesar 14,40; KKM sebesar 10,40; KUS sebesar 13,76; PKSR sebesar 6,40; serta DPE senilai 10,93. Dari sini dapat dilihat bahwa
90
BSM memiliki aspek KKM, PKSR dan DPE yang lebih baik dari BMI, masingmasing berpaut 2,60, 7,20 dan 2,13. Sedangkan nilai skor KPE dan KUS BMI lebih baik senilai 3,60 dan 0,16 dari KPE dan KUS BSM. Berdasarkan masingmasing tahun, penelitian ini juga menemukan bahwa nilai kinerja sosial BMI lebih baik dari BSM hanya terjadi pada tahun 2004. Selebihnya semenjak tahun 2003, 2005 sampai dengan tahun 2007 kinerja sosial BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI. Meski demikian trend kinerja sosial BMI terus meninggkat, dan selisih skornya juga semakin kecil. Dimana tahun 2003 nilainya berpaut sangat lebar 22,00, tetapi tahun 2004 BMI bisa meningkatkan kinerja sosialnya menjadi lebih baik dibanding BSM sehingga selisih berpaut 4,20. Tahun 2005 BSM mendapat skor lebih tinggi dengan selisih menjadi 8,80, dan tahun 2006 selisih semakin tinggi menjadi 10,40. Tetapi tahun 2007 karena kinerja sosial BSM turun dan kinerja sosial BMI meningkat maka selisihnya menyempit senilai 3,87. Dari penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi atau saran sebagai berikut: 1. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja bisnis, baik bagi BMI maupun BSM, aspek penting yang dominan dan perlu diperhatikan adalah kualitas aktiva produktif (KAP) dan pembiayaan non-performing (NPF). Terlebih dalam kondisi makro ekonomi yang berat yang akan dihadapi bank syariah tahun 2009 –hal ini mirip seperti tahun 2006 pasca pemerintah menaikkan harga BBM yang sangat tinggi diakhir tahun 2005-, maka KAP dan NPF bank syariah potensial mengalami pukulan yang berat. Menjaga dan memperbaiki KAP dan NPF menjadi mutlak, karena dari sinilah kondisi pendapatan utama bank akan terbentuk, yang berikutnya akan menentukan pada profitabilitasnya. Terutama bagi BSM, aspek KAP dan NPF ini harus menjadi perhatian serius untuk diperbaiki, mengingat dalam tahun 2006 dan 2007 mengalami penurunan nilai dan bahkan keduanya juga mengalami penurunan peringkat menjadi peringkat 3. 2. Secara umum, kedua bank syariah tersebut perlu meningkatkan kinerja sosialnya. Kontribusi sosial BMI dan BSM dalam pembangunan jangka panjang (KPP) dan juga peran untuk mendorong redistribusi pembangunan ekonomi (DPE) nasional
91
perlu diperhatikan. Hal ini penting mengingat kehadiran bank syariah diharapkan akan mendorong realokasi dan redistribusi pembangunan ekonomi yang selama ini terkonsentrasi kepada kelompok atau wilayah tertentu baik melalui sebaran aset, investasi maupun aktivitasnya. Selain itu yang juga penting, aspek Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR) serta aspek Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM) baik dalam bentuk Pembiayaan Qardh, penunaian Zakat, serta kontribusi edukasi publik dari BMI dan BSM tetap perlu ditingkatkan. 3. Dalam penelitian ini tentunya masih banyak kekurangan, baik akibat keterbatasan waktu, sumber data dan juga berbagai keterbatasan dari peneliti. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan dari peneliti-peneliti berikutnya, terutama untuk mengelaborasi kinerja sosial bagi bank syariah tersebut. Penelitian tersebut diantaranya dapat memperdalam hasil penelitian ini baik dengan menguji komponen aspek yang dinilai dalam kinerja sosial bank syariah, penentuan nilai dan juga model pembobotannya. Dengan demikian diharapkan kedepan akan terbentuk satu model standar untuk mengukur kinerja sosial bank syariah yang solid, valid dan reliabel yang kemudian dapat ditetapkan dan digunakan oleh pihak regulator dalam hal ini Bank Indonesia serta bagi industri perbankan syariah secara keseluruhan.
Daftar Pustaka Ahmad, Ausaf, 2000. Instrument of Regulation and Control of Islamic Banks by The Central Banks. Jeddah: IRTI-IDB. Ahmad, Ausaf, 1993. Contemporary Practices of Islamic Financing Techniques. Jeddah: IRTI-IDB. Ahmed, Habib, 2004. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTI-IDB. Ahmed, Habib, 2002. A Microeconomic Model of an Islamic Bank. Jeddah: IRTI-IDB. Ahmed, Habib, 2002. Theoretical Foundations of Islamic Economics. Jeddah: IRTI-IDB. Ahmed, Ziauddin, Iqbal, Munawar and Khan, Fahim (Eds), 1996. Money and Banking In Islam. International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad-Pakistan. Ahmed, Ziauddin, 1994. Islamic Banking: State of The Art. Jeddah: IRTI-IDB. Al Amin, Hassan Abdullah, 2000. Shari’ah Ruling (Hukm) on Contemporary Banking Transactions with Interest. Jedah: IRTI-IDB.
92
Al Dhareer, Siddiq Mohammad AI-Ameen, 1997. Al-Gharar in Contracts and Its Effect on Contemporary Transactions. Jedah: IRTI-IDB. Al Jarhi, Mabid Ali & Iqbal, Munawar, 2001. Islamic Banking: Answers to Some Frequently Asked Questions. Jeddah: IRTI-IDB. Al Suwailem, Sami, 2006. Hedging in Islamic Finance. Jeddah: IRTI-IDB. Al Zuhayli, Wahbah, 1999. Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu. Edisi terjemah Jakarta: BMI. Al Zuhayli, Wahbah, 2003. Financial Transaction in Islamic Jurisprudence. Damascus Syria: Dar al-Fikr al-Mouaser. Ali, Salman Syed & Ahmad, Ausaf, 2007. Islamic Banking and Finance: Fundamentals and Contemporary Issues. Jeddah: IRTI-IDB. Alsem, Karel Jan, 2007. Strategic Marketing: An Applied Perspective. Singapore: McGraw Hill. Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Antonio, Muhammad Syafi’i, 1999. Bank Syariah; Wacana Ulama & Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute. Archer, Simon and Karim, Rifaat Ahmed Abdel, 2002. Islamic Finance: Innovation & Growth. London: Euromoney Books. Arif, Muhammad, 1988. “Islamic Banking”. Asian-Pacific Economic Literature Vol. 2, No. 2 September 1988. hal. 48-64. Arifin, Zainul, 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet. Arsil, Fadhil, 2007. “Analisis Kinerja Bank Syariah Ditinjau dari Pengaruh Eksternal (Studi Kasus: Bank Syariah Mandiri Periode Januari 2001 – Juni 2003)”, Jurnal EKSIS-PSTTI UI, Vol. 3. No. 1, Januari-Maret 2007. hal. 35-49. Ascarya & Yumanita, Diana, 2005. “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni. Asutay, Mehmet, 2007. “Conceptualisation of the Second Best Solution in Overcoming the Social Failure of Islamic Finance: Examining the Overpowering of Homoislamicus by Homoeconomicus”. IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, April 20-23. Bakhtiar, Ahmad & Nazli, Mohd., 2003. “Islamic Worldview and Effective Corporate Governance”. IIUM MSc Accounting Seminar. Bank Indonesia, 2007. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 9 Tahun 2007 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Bank Indonesia, 2007. PBI No. 9 Tahun 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Bank Indonesia, 2007. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 9/12/DPNP perihal pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Bank Indonesia, 2006. PBI Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Bank Indonesia, 2006. PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
93
Bank Indonesia, 2005. PBI No. 7 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syarah. Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2004-2008. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bank Indonesia, 2007. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bank Muamalat Indonesia, Laporan Akhir Tahun 2003-2007. Jakarata: PT BMI. Bank Syariah Mandiri, Laporan Akhir Tahun 2003-2007. Jakarata: PT BSM. Capra, M. Umer & Ahmed, Habib, 2002. Corporate Governance in Islamic Financial Institution. Jedah: IRTI-IDB. Capra, M. Umer, 2002. Pengharaman Bunga Bank; Rasionalkah ?; Analisis Syar’i dan Ekonomi dibalik Pengharaman Bunga Bank. Jakarta: SEBI. Capra, M. Umer, 2001. What is Islamic Economics?. Jedah: IRTI-IDB. Capra, M. Umer, 2001. The Future of Economics. Edisi terjemah. Jakarta: SEBI. Capra, M. Umer & Khan, Tariqullah, 2000. Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jedah: IRTI-IDB. Capra, M. Umer, 2000. Sistem Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani Press & Tazkia Cendekia. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: DSN MUI dan Bank Indonesia. David, Fred R., 2002. Manajemen Strategis: Konsep. Edisi Indonesia. Jakara: PT Prenhallindo. El-Ghazali, Abdel Hamid, 1994. Profit versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law. Jedah: IRTI-IDB. Elhiraika, Adam B., 2004. On the Design and Effects of Monetary Policy in an Islamic Framework: The Experience of Sudan. Jedah: IRTI-IDB. Elhiraika, Adam B., 2003. On the experience of Islamic Agricultural Finance in Sudan: Challenges and sustainability. Jedah: IRTI-IDB. Fatima & Pramono, Sigit, 2007. “Governance Committee and Governance Audit Model in Islamic Banks: How will it Resolve the Problem of Information Asymmetry?”. IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, April 20-23. Ghufron, Sofiniyah, dkk, 2005. Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah, Jakarta: Renaisan. Grais, Wafik & Pellegrini, Matteo, 2006. “Corporate Governance and Shariah Compliance in Institutions Offering Islamic Financial Services”. World Bank Policy Research Working Paper 4054, November. Hameed, Shahul, et. al., 2004. “Alternative Disclosure dan Performance for Islamic Bank’s. Proceeding of The Second Conference on Administrative Science: Meeting The Challenges of The Globalization Age. Dahran, Saud Arabia. Hasanuzzaman, S.M. 1991. Economics Function of an Islamic State (The Early Experience). London: The Islamic Foundation.
94
Hidayat, Sutan Emir, 2008. “Tujuan dan Arah Keuangan Islam”, Republika 4 Agustus. Hitt, Michael A., R. Duane Ireland, Robert E. Hokisson dan Kendall W. Artz, 2001. Manajemen Strategis: Daya Saing & Globalisasi. Edisi terjemah, Buku 1&2. Jakarta: Salemba Empat. Hitti, Philip K., 2006. History of The Arabs; From Earlies Times to the Present. Edisi terjemah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Nurul Huda, Handi Risza Idris, Mustafa Edwin & Ranti Wiliasih, 2008. Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis. Jakarta: Kencana. Hunger, J. David & Thomas L. Whellen, 2003. Manajemen Strategis. Edisi Terj. Yogyakarta: Penerbit Andi Hussein, Khaled A, 2004. Banking Efficiency in Bahrain: Islamic vs Conventional Banks. Jeddah: IRTI-IDB. IFSB, 2006. Guiding Principles on Corporate Governance for Institutions Offering onlyIslamic Financial Services (Excluding Islamic Insurance (Takaful) Institutions and Islamic Mutual Funds). Kuala Lumpur: Islamic Financial Services Board (IFSB). Ilako, Charles, 2002. “Corporate Governance and Risk Management Issues for Islamic Banks”. Proceding of Conference on Regulation of Islamic Banking by AAOIFI, IMF, IDB & BMA, Bahrain 8-9 February. Ilyas, Nasirwan, 2004. “Seputar Isu Corporate Governance dalam Bank Syariah”. Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional Ekonomi Islam Good Corporate Governance in Islamic Banking , STIE SEBI, Jakarta. Imtiazi, I. A., M. A. Mannan, M. A. Niaz & A. H. Deria, 2000. Management of Zakah in Modern Muslim Society. Jeddah: IRTI-IDB. Iqbal, Munawar and Khan, Tariqullah, 2004. Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective. Jeddah: IRTI-IDB. Iqbal, Munawar, Ausaf, Ahmad & Khan, Tariqullah, 1998. Challenges Facing Islamic Banking. Jeddah: IRTI-IDB. Iqbal, Zamir & Mirakhor, Abas, 2007. An introduction to Islamic finance, Theory and Practice. Singapore: John and Wiley & Sons. Iqbal, Zamir, 1997. “Islamic Financial System”, World Bank: Finance & Development, June. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, 2006. Al-Fiqh al-Iqtishodi li Amiril Mukminin Umar Ibn alKhaththab. Edisi terjemah. Jakarta: Khalifa. Kamel, Saleh, 2000. Development of Islamic Banking Activity, Problems and Prospects. Jeddah: IRTI-IDB. Karim, Adiwarman, 2007. Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Karim, Adiwarman A., 2007. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Karim, Adiwarman A., 2007. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Karim, Adiwarman A., 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi ketiga. Jakarta: Rajawali Press. Kartajaya, Hermawan & Syakir Sula, M., 2006. Syariah Marketing. Bandung: Mizan. Kasmir, 2001. Manajemen Pemasaran Perbankan. Jakarta: Raja Grapindo Persada1.
95
Khaf, Monzer, 2003. Sustainable Development in The Muslim Countries. Jedah: IRTI-IDB. Kahf, Monzer, 1999. “The Performance of The Institution of Zakah in Theory and Practice. Paper tersebut telah disampaikan pada the International Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kuala Lumpur, April 26-30. Khaf, Monzer, 1997. Instrumen of Meeting Budget Deficit ini Islamic Economy. Jedah: IRTIIDB. Khaf, Monzer & Khan, Tariqullah, 1992. Principle of Islamic Financing. Jedah: IRTI-IDB. Kennedy, John E., & Soemanegara, R. Dermawan, 2006. Marketing Communication: Taktik & Strategi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Khan, Tariqullah and Ahmed, Habib, 2001. Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry. Jeddah: IRTI-IDB. Kotler, Philip, 2007. Manajemen Pemasaran. Jilid 1&2, Edisi Kedua Belas. Jakarta : PT Indeks-Prenhallindo. Lewis, Mervin K. & Algaoud, Latifa M., 2007. Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan Prospek. Edisi terjemah. Jakarta: Serambi. Lupiyoadi, Rambat, 2001. Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktik. Jakarta: Salemba Empat. Mahfudz, Ahmad Afandi, 2006. “Performance Evaluation of Islamic Commercial Banks In Indonesia After The Financial Crisis”, Tazkia Islamic Finance & Business Review Vol. 1. No. 2 Agustus-Desember, hal. 93-107. Mirakhor, Abbas, 2007. A Note on Islamic Economics. Jeddah: IRTI-IDB. Misanam, Munrokhim, dkk., 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: P3EI-UII, Bank Indonesia, dan PT RajaGrafindo Persada. Muhammad, 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Muhammad, 2004. Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Ekonisia. Muhammad, 2004. Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Yogyakarta :UII Pres. Mulyadi, 2001. Balanced Scorecard; Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat. Obaidullah, Mohammed, 2006. Theacing Corporate Finance Form an Islamic Perspective. Jeddah: Islamic Economics Research Center, King Abdulaziz University. Obaidullah, Mohammed, 2005. Islamic Financial Services. Jeddah: Islamic Economics Research Center, King Abdulaziz University. Payne, Adrian, 2000. The Essence of Services Marketing: Pemasaran Jasa. Jakarta: Penerbit Andi. Prawira, Hendra, 2007. “Perbandingan Kinerja PT. Bank Jabar Syariah Sebelum dan Sesudah Fatwa MUI Tentang Haramnya Bunga Bank”, Jurnal EKSIS-PSTTI UI, Vol. 3. No. 1, Januari-Maret 2007. hal. 51-65. Qardhawi, Yusuf, 2001. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Rabbani Press. Ra’ana, Irfan Mahmud, 1997. Economic System Under Umar The Great. Edisi terjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
96
Ramalingam, Chithra Latha, 2007. “Current Developments of Corporate Governance in Islamic Banking and Finance”. IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, April 20-23. Rindawati, Erna, 2007. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional. Skripsi S-1 UII Yogyakarta. Riyadi, Selamet, 2006. Banking Assets and Liability Management, Edisi Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Rosly, Saiful Azhar & Zaini, Mohammad Ashadi Mohd., 2007. “Risk-Return Analysis of Islamic Banks ‘Investment Deposits and Shareholders’ Fund”. IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, April 20-23. Rosyadi, Ibnu Fallah, 2007. “Analisis Perbandingan Kinerja Bank Syariah dengan Bank Konvensional Berdasarkan Rasio Keuangan. Studi Kasus: BMI dan 7 (tujuh) Bank Umum Konvensional”, Jurnal EKSIS-PSTTI UI, Vol. 3. No. 1, Januari-Maret 2007. hal. 19-33. Saeed, Abdullah, 2003. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Edisi Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sakti, Ali, 2003. Pengantar Ekonomi Islam. Modul Kuliah STEI SEBI. Sakti, Ali, 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: Aqsha Publishing. Samad, Abdus and Hasan, M. Kabir, 2000. “The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Studi”, International Journal of Islamic Financial Services, Vol.1. No. 3. Sekaran, Uma, 2006. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Buku 1& 2. Jakarta: Salemba Empat. Shabsigh, Ghiath, 2002. “Issues in Islamic Banking Governance, Conference Regulation of Islamic Banking”. Proceding of Conference on Regulation of Islamic Banking by AAOIFI, IMF, IDB & BMA, Bahrain 8-9 February. Siddiqi, M. Nejatullah, 2006. Teaching Islamic Economics. Jeddah: Islamic Economics Research Center, King Abdulaziz University. Siddiqi, M. Nejatullah, 2004. Riba, Bank Interest and the Rational of its Prohibition. Jeddah: IRTI-IDB. Siddiqi, M. Nejatullah, 1996. Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective. Leicester, UK: Islamic Foundation. Siddiqi, M. Nejatullah, 1983. Banking Without Interest. Leicester UK: The Islamic Foundation. Suharto, dkk., 2001. Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Cetakan Ketiga. Jakarta: CV. ALFABETA. Tahir, Sayid, Aidit Ghazali, & Syed Omar Syed Agil, 1992. Readings in Microeconomics: an Islamic Perspective. Malaysia: Longman. Umar, Husein, 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Rajawali Press.
97
Widyaningrum, Nurul, 2002. Model Pembiayaan BMT dan Dampaknya Bagi Pengusaha Kecil: Studi Kasus BMT Dampingan Yayasan Peramu Bogor. Bandung: Yayasan AKATIGA. Zulkifli, Sunarto, 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah-Edisi Mahasiswa, Jakarta: Zikrul Hakim.
98