Kerja sama ASEAN dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional: Studi Kasus Peredaran Narkotika Oleh Dr. Agus Haryanto Direktur ASEAN Research Center, Universitas Jenderal Soedirman Jln. HR Boenyamin 993, Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia Email
[email protected]
Para Menteri Dalam Negeri anggota ASEAN melakukan pertemuan perdana pada tanggal 20 Desember 1997 untuk mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Kejahatan Transnasional. Dalam deklarasi ini, ASEAN bertekad untuk menerapkan pendekatan komprehensif dalam memerangi kejahatan transnasional melalui kolaborasi regional yang lebih luas dan dengan menjalin kerja sama internasional. Kemudian, pada Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-2 tentang Kejahatan Transnasional atau disebut ASEAN Ministrial Meeting for Transnational Crime (AMMTC) pada bulan Juni 1999 mengadopsi Rencana Aksi ASEAN untuk Memerangi Kejahatan Transnasional. Rencana tersebut menetapkan mekanisme dan kegiatan untuk memperluas upaya negara-negara anggota ASEAN dalam memerangi kejahatan transnasional dari tingkat nasional dan bilateral ke tingkat kerja sama regional, dan memperkuat komitmen regional dan kapasitas untuk menjalankan tugas yang diperluas. Rencana tersebut akan menerapkan strategi regional yang kohesif untuk memerangi kejahatan transnasional dan akan mencakup pertukaran informasi, kerja sama dalam hal hukum dan penegakan hukum, pengembangan kapasitas kelembagaan, pelatihan dan kerja sama ekstra-regional sebagai kegiatan program utama. Upaya regional ini akan melengkapi dan berkontribusi pada upaya bilateral yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN. Salah satu pertanyaan paling penting terkait kejahatan transnasional yang harus segera mendapatkan perhatian adalah bagaimana cara mengatasi perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkoba (Emmers, 2007: 506-507). Pada tahun 2005, nilai perdagangan narkotika di seluruh dunia diperkirakan mencapai 320 miliar dollar AS (UNODC, 2010: 10). Nilai tersebut hampir empat kali lipat lebih besar dari nilai perdagangan senjata di seluruh dunia pada tahun 2010 sebesar sekitar 72 miliar dollar AS (Amnesty International, 2015). Bahkan kalaupun data perdagangan senjata di seluruh dunia sampai pada tahun 2013
diperkirakan mendekati 100 miliar dollar AS (Finardi et.al., 2013), nilai total perdagangan narkotika di seluruh dunia masih tiga kali lipat lebih besar. Rute peredaran heorin di seluruh dunia mencerminkan peredaran gelap narkotika telah mencapai ke hampir seluruh kawasan di dunia (UNODC, 2010). Seperti yang ditulis Ralf Emmers (2007: 510), cukup sulit untuk memperoleh data estimasi yang tepat mengenai jumlah peredaran narkoba di kawasan Asia Tenggara secara umum dan negara per negara secara khusus. Laporan dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) memperkirakan bahwa nilai perdagangan heroin dan methamphetamin di Asia Tenggara pada tahun 2013 sebesar 31 miliar dollar AS (Marshall, 2016). Jumlah tersebut, menurut Direktur UNODC Jeremy Douglas, lebih besar daripada pendapatan ekonomi beberapa negara di Asia Tenggara sendiri. Meskipun sulit untuk menyediakan data yang tepat mengenai perkiraan produksi narkoba di kawasan Asia Tenggara, Golden Triangle disebut-sebut memproduksi 70 persen dari total opium di seluruh dunia. Dari kawasan Golden Triangle, berbagai jenis narkotika tersebut menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu faktor yang menunjang perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkoba di atas adalah globalisasi. Globalisasi membuat negara-negara seolah-olah tanpa batas. Sistem informasi yang semakin cepat dan teknologi yang semakin maju membuat batas-batas teritorial suatu negara tidak lagi menjadi penghambat dalam suatu hubungan lintas negara. Sindikat pengedar narkotika lintas negara yang berada di satu dapat menggunakan teknologi internet dan media sosial untuk berhubungan dengan sindikat atau klien lainnya yang berada di negara lain. Hal tersebut tentu saja memudahkan para sindikat pengedar narkotika lintas negara untuk meluaskan bisnisnya dan di sisi yang lain menyulitkan para aparat penegak hukum untuk mendeteksi adanya perdagangan atau transaksi gelap. Sindikat pengedar narkotika lintas negara juga terbiasa menggunakan truk, kapal, atau pesawat kecil (Macias, 2015). Dengan kata lain, perdagangan gelap narkotika tidak hanya menggunakan jalur darat, melainkan juga jalur laut dan udara yang semakin memungkinkan perpindahan barang dan jasa secara cepat dan tanpa terdeteksi. Berdasarkan fakta di atas, tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana kerja sama negara – negara di Asia Tenggara dalam memerangi kejahatan transnasional, terutama perdagangan Narkoba. Kejahatan Transnasional
Konsep 'kejahatan transnasional', dari perspektif kriminologis, berasal dari pemahaman yang muncul pada pertengahan 1970-an ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan istilah tersebut untuk mengidentifikasi kegiatan kriminal tertentu yang melampaui yurisdiksi nasional. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi delapan belas kategori kejahatan transnasional
dimana
kebanyakan
merupakan
kriminalistas
terorganisir.
Kejahatan
transnasional kemudian didefinisikan sebagai 'pelanggaran yang dimulai, pencegahan dan / atau efek langsung atau tidak langsung yang melibatkan lebih dari satu negara.' (UN Doc A.CONF 169/15 / Add.1 (1995)). Kejahatan yang tercantum termasuk, antara lain, pencucian uang, kegiatan teroris, pencurian benda seni dan budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata terlarang, pembajakan pesawat terbang, pembajakan laut, penipuan asuransi, kejahatan komputer, kejahatan lingkungan, perdagangan orang, perdagangan Di bagian tubuh manusia, perdagangan narkoba terlarang, kebangkrutan yang tidak benar, infiltrasi bisnis legal, korupsi dan penyuapan pejabat publik atau partai. Kejahatan transnasional telah menyebar secara eksponensial dengan perkembangan globalisasi dan hanya relatif baru bahwa beberapa kemajuan telah dicapai oleh negara bagian dan organisasi internasional dalam mengembangkan langkah-langkah untuk memerangi jenis kriminalitas ini.
(https://www.peacepalacelibrary.nl/research-guides/international-criminal-
law/transnational-crime/). Komunitas internasional kemudian melakukan pembahasan masalah keamanan nontradisional dan menghubungkan dengan kejahatan transnasional dengan mengadopsi United Nations Convention Againts Transnational Crime pada bulan Desember 2000 di Palermo, Italia. Dalam konvensi tersebut, mengutip Massari (2003: 52), kata "transnasional" merujuk pada: (1) lebih dari satu negara; (2) terjadi di satu negara tapi bagian-bagian penting seperti persiapan, perencanaan, arah, dan kontrol mengambil tempat di negara lain; (3) terjadi di satu negara tetapi melibatkan kelompok organisasi kriminal yang melakukan aktivitas kriminal di lebih dari satu negara; (4) terjadi di satu negara tapi memiliki efek di negara lain. Konvensi tersebut juga mengadopsi definisi yang lebih luas mengenai kelompok kriminal yang terorganisasi: "Organized criminal group shall mean a structured group of three or more persons, existing for a period of time and acting in concert with the aim of committing one or more serious crimes or offences established in accordance with this Convention, in order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit". Dalam konteks studi Hubungan Internasional (HI), Đorđević (2009) memberikan penjelasan mengenai bagaimana memahami kejahatan transnasionalisme dalam setidaknya dua perspektif besar dalam studi HI, yaitu realis dan konstruktivis. Dalam perspektif realis,
konsep keamanan fokus pada negara yang bertindak sesuai dengan kepentingan nasional dengan tujuan untuk bertahan dalam dunia yang anarki. Untuk memenuhi tujuan keamanan nasional, negara berusaha mempertahankan dan mengontrol teritorial untuk melindungi kedaulatan negara. Dalam perspektif realis, untuk melindungi teritoria tersebut, negara mengidentifikasi keamanan dengan kekuatan militer. Dengan tujuan yang sama, negaranegara yeng saling berbatasan bisa bekerja sama, misalnya, dengan membentuk aliansi. Hal tersebut merupakan refleksi dari sifat manusia yang semenjak dulu tidak berubah, yaitu selalu mencari kekuatan dan kekuasaan. Melalui pemahaman realis, kejahatan transnasionalisme tidak secara langsung mengganggu integritas teritorial atau kedaulatan suatu negara sebagaimana suatu invasi dari negara lain. Kejahatan transnasionalisme tidak berusaha merebut wilayah suatu negara, namun hanya memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Namun demikian, menurut Hurrell (1998: 541), kejahatan transnasionalisme berpotensi menciptakan instabilitas dalam negeri. Hal itu bisa menghasilkan efek spillover yang mengarah pada tantangan terhadap keamanan regional dan internasional. Sementara itu, dalam perspektif konstruktivis, konsep keamanan yang tadinya fokus kepada negara (state) bergeser pada masyarakat (society). Jika realisme fokus pada kedaulatan nasional sebagai konsep utama keamanan nasional, konstruktivisme fokus pada identitas. Segala ancaman terhadap keamanan masyarakat merupakan ancaman atas nilai moral dan budaya dalam suatu masyarakat, yang bisa menyebabkan rasa saling tidak percaya antara anggota masyarakat atau komunitas. Menurut Wæver (1998), masyarakat berada pada rasa tidak aman ketika "significant social groups feel threatened, their identity is endangered by immigration, integration or cultural imperialism and they try to defend themselves". Masyarakat merasa tidak aman jika nilai-nilai moral atau hak asasi manusia mereka terancam. Dalam perspektif konstruktivis inilah penulis memahami ancaman perdagangan gelap narkotika sebagai kejahatan transnasional terhadap suatu masyarakat atau komunitas. Karena sifatnya yang melintasi batas negara, maka kerja sama dalam level regional atau internasional sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Kerja sama tersebut berusaha untuk melawan kejahatan transnasionalisme dengan cara-cara yang lebih efisien dalam menyelesaikan masalah, dalam hal ini perdagangan gelap narkoba. Perdagangan Narkoba di Asia Tenggara Setidaknya empat rute perdagangan heroin atau narkotika. Rute pertama adalah dari Myanmar bagian timur ke Provinsi Yunan, Tiongkok. Dalam peta, kedua wilayah tersebut memiliki batas berupa pegunungan yang cukup panjang. Rute pertama perdagangan heroin
ini melalui Tiongkok dari wilayah yang dihuni etnis Wa dan Shan di Myanmar, menyeberangi Yunan, jalan kota, Kunming, dan lalu menggunakan jalan udara atau jalan darat ke Baise, Nanning, Hongkong, dan masih terus ke barat. Heorin yang diselundupkan ke timur dari kota Kunming biasanya harus melalui perbatasan kota Yunnan-Guanxi di Baise. Polisi setempat memperkirakan sebanyak kurang lebih 100 kg heroin berhasil diselundupkan melalui wilayah ini per harinya di tahun 1998. Rute kedua adalah Myanmar bagian timur ke Tiongkok bagian barat laut. Rute ini mulai dari Burma timur, menuju kota Kunming di Yunna, kemudian ke arah utara dan barat, melalui Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, melintasi Tiongkok bagian barat ke Urumqi di Provinsi Xinjiang, lalu melalui perbatasan Tiongkok ke Kazakhstan. Rute ketiga adalah dari Myanmar atau Laos ke Vietnam bagian utara dan masuk Tiongkok bagian selatan. Dari rute ini, pertama kali adalah dari Myanmar atau Laos, kemudian melintasi perbatasan Vietnam-Laos ke Vietnam bagian utara, kemudian masuk ke Tiongkok melalui zona perbatasan Tiongkok-Vietnam di kota Pingxiang, Provinsi Guangxi. Kota Pingxiang termasuk kota dengan ketersediaan heroin yang termasuk tinggi. Menurut informasi, heorin di Vietnam lebih murah harganya daripada harga di Tiongkok sehingga banyak pengguna memilih berjalan kaki melintasi perbatasan untuk membeli narkoba di Vietnam. Rute keempat adalah Myanmar bagian selatan menuju Manipur, India bagian timur laut. Manipur adalah wilayah kecil di India bagian timur laut. Wilayah Manipur berbatas dengan Nagaland di bagian utara, Assam di bagian barat, Mizoram di bagian selatan, dan sekitar 358 kilometer dengan Myanmar di bagian timur. Manipur adalah salah satu daerah termiskin di India, dengan pendapat per kapita sedikit sepertiga dari rata-rata pendapatan per kapita nasional. Manipur merupakan wilayah yang memiliki situasi politik dan masalah yang cukup komplek. Wilayah itu memiliki sejarah untuk mencari otonomi, terdapat beberapa kelompok bersenjata, serta ratusan migran dan pengungsi dari Myanmar. Tidak heran jika di daerah tersebut sering terjadi perang sipil, konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia, serta beragam kekerasan lainnya. Penyelundupan narkoba melalui Manipur dilakukan terutama di zona Moreh-Thamu (Moreh merupakan wilayah yang berada di sisi India, sementara Thamu berada di sisi Myanmar). Heroin yang masuk ke Manipur berasal dari wilayah Myanmar seperti Shan, Wa, atau Kokang, yang merupakan wilayah penanaman narkoba.
Kerja Sama Negara-negara Asia Tenggara Dengan mengamati peredaran dan perdagangan narkoba yang telah melalui lintas batas negara dan merugikan secara kesehatan, sosial, juga lingkungan, negara-negara ASEAN menyadari perlunya kesadaran untuk bekerja sama menanggulangi masalah tersebut. Ke depan, isu-isu yang terkait narkoba diperkirakan terus meningkat, seperti masalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi dan sebagainya. Untuk mengatasi peredaran dan perdagangan gelap narkoba, negara-negara di Asia Tenggara telah meratifikasi beberapa konvensi tingkat internasional mengenai narkoba sebagai dasar acuan strategi dan kebijakan. Negara-negara ASEAN yang mengikuti rezim anti-perdagangan gelap narkotika adalah sebagai berikut:
TABEL 4.4 Negara Asia Tenggara Peratifikasi Konvensi PBB (Per Desember 2014) Convention Negara
Against
1988 UN Drug
Transnational
Convention
Organized Crime 3 Mei 2002
Convention Againts Corruption
Thailand
17 Oktober 2013
1 Maret 2011
Laos
26 September 2003 1 Oktober 2004
25 September 2009
Myanmar
30 Maret 2004
11 Juni 1991
20 Desember 2012
Malaysia
24 September 2004 11 Mei 1993
24 September 2008
Singapura
28 Agustus 2007
23 Oktober 1997
6 November 2009
Indonesia
20 April 2009
23 Februari 1999
19 September 2006
Filipina
28 Mei 2002
7 Juni 1996
8 November 2006
Kamboja
12 Desember 2005 7 Juli 2005
5 September 2007
Brunei Darussalam 25 Maret 2008
12 November 1993 2 Desember 2008
Vietnam
4 November 1997
8 Juni 2012
19 Agustus 2009
Sumber: Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, U.S. Department of State, 2015
Peratifikasi UN Drug Convention oleh negara-negara di Asia Tenggara cukup bervariasi. Antara tahun 1991 sampai 1993, Myanmar, Malaysia, dan Brunei Darussalam meratifikasi konvensi. Antara tahun 1996 sampai 1998, Filipina, Vietnam, dan Singapura. Indonesia menyusul kemudian, melakukan ratifikasi pada tahun 1999. Antara tahun 2002 sampai 2004, giliran Thailand, Laos, dan Kamboja yang meratifikasi konvensi PBB. Sementara itu, negara Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi Melawan Organisasi Kriminal Transnasional adalah, secara berturut-turut, Filipina (2002), Laos (2003), Myanmar (2004), Malaysia (2004), Kamboja (2005), Singapura (2007), Brunei Darussalam (2008), Indonesia (2009), Vietnam (2012), dan Thailand (2013). Dengan demikian, negara-negara di Asia Tenggara memiliki kesamaan sikap terhadap narkoba dan organisasi kriminal transnasional yang menjadi pelaku perdagangan gelap narkoba. Presiden Indonesia Joko Widodo sendiri telah menggarisbawahi bahwa kejahatan narkoba bersifat "lintas negara dan terorganisir", sehingga penanganan yang harus dilakukan juga harus dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu, penelitian mengenai usaha-usaha kerjasama yang bersifat regional atau internasional dalam upaya memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba merupakan isu yang relevan. Negara-negara di Asia Tenggara mengawali upaya penanganan dalam organisasi ASEAN. Pada tahun 1972, ASEAN mengadakan ASEAN Experts Group Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse sebagai upaya awal memerangi ancaman narkotika di Asia Tenggara. Agenda penanganan tersebut kembali ditindaklanjuti dalam Bali Concord tahun 1976. Dalam pertemuan Bali Concord tersebut, negara-negara ASEAN sepakat untuk menyerukan upaya dan kerja sama yang lebih intensif bersama organisasi atau badan internasional yang relevan terhadap pencegahan dan pemberantasan perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkoba (Prameswaran, 2000). Tiga hal yang ditekankan adalah: (1) Intensify its vigilance and preventive and penal measures with regard to illict traffic in drug by: a). Organizing exchange of information on individuals, gangs and syndicates in the teritory of each
member country; b). Organizing efforts to eliminate the illict cultivation of opium poppy, cannabis and coca bush; c). Organizing efforts to eliminate the illict manufacture of drugs. (2) Organize cooperation in the fields of drug research and education. (3) Institute improvements in national legislation aimed at intensifying the fight against the abuse of drugs and its consequences.
Pada tahun yang sama, ASEAN mengadakan ASEAN Declaration on Principles to Combat the Abuse of Narcotis Drugs di Singapura. Pertemuan tersebut memberikan empat rekomendasi utama, yaitu "enforcement and legislation, treatment and rehabilitation; prevention and information; training and research". Pertemuan tersebut berusaha mendorong kerja sama dan implementasi prinsip-prinsip deklarasi ASEAN, serta pemaparan hukum-hukum yang terkait penanganan narkoba di antara negara-negara Asia Tenggara. Untuk mengatasi persoalan kejahatan dalam Narkotika, ASEAN telah membentuk ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD). ASOD secara resmi didirikan pada tahun 1984 merupakan inisiatif yang didasarkan untuk menangani persoalan obat – obatan terlarang.
Pada Rencana Aksi Pengendalian Penyalahgunaan Narkoba ASEAN yang
diadopsi pada Pertemuan ASOD ke 17 pada bulan Oktober 1994, Rencana Aksi mencakup empat bidang prioritas yaitu pendidikan, pengobatan dan rehabilitasi obat pencegahan, penegakan hukum, dan penelitian. Dalam pendidikan dan informasi preventif, berbagai lokakarya tentang pendidikan narkoba untuk guru dan perancang kurikulum dan penelitian komparatif tentang pendidikan pencegahan telah dilakukan. Sementara itu, kerja sama dalam penegakan hukum meliputi pertukaran petugas penegak hukum, pelaksanaan program pelatihan dengan bantuan lembaga internasional dan sharing informasi mengenai tren, modus operandi dan rute perdagangan narkotika. Anggota ASEAN telah melakukan pertukaran reguler personil yang terlibat dalam perawatan dan rehabilitasi di tingkat operasional.
Program ini dilengkapi dengan upaya empat pusat pelatihan yang berbasis di negaranegara anggota ASEAN. Pertama, Pusat Pelatihan Penindakan Narkotika ASEAN yang berlokasi di Bangkok. Kedua, Pusat Pelatihan untuk Pendidikan Obat Pencegahan ASEAN diManila. Ketiga,
Pusat Pelatihan Perlakuan dan Rehabilitasi di Kuala Lumpur. Dan
keempat, Pusat Pelatihan ASEAN untuk Deteksi Narkoba di Cairan Tubuh yang berlokasi di Singapura.
Selain ASOD, pada tahun 1981, kepolisian negara-negara di Asia Tenggara membentuk ASEANAPOL, yang salah satu perhatiannya adalah pemberantasan produksi, pengedaran, serta perdagangan gelap narkoba. ASEANAPOL menangani aspek pencegahan, penegakan dan operasional kerja sama melawan kejahatan transnasional. ASEANAPOL telah secara aktif terlibat dalam berbagi pengetahuan dan keahlian mengenai kepolisian, penegakan hukum, peradilan pidana, dan kejahatan transnasional dan internasional. Sejauh ini, ASEANAPOL telah membentuk tiga komisi ad-hoc yang menangani perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, pemalsuan, kejahatan ekonomi dan keuangan, penipuan kartu kredit, ekstradisi dan pengaturan untuk penyerahan pelaku kriminal dan pelarian. ASEANAPOL juga mengambil inisiatif untuk memerangi bentuk kejahatan transnasional yang baru, seperti dokumen perjalanan yang tidak benar, penipuan kapal hantu, pemalsuan produk dan pembajakan.
Secara umum, ASEAN menyelenggarakan pertemuan khusus membahas Narkotika dalam ASEAN Drug Experts Meeting. Pada pertemuan ke-8, ASEAN Drugs Meeting menegaskan perlunya pendekatan regional dalam mengontrol dan mencegah penyalahgunaan narkoba dengan menerapkan kebijakan ASEAN Regional Policy Strategy in the Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking. Setahun setelahnya, para menteri luar negeri ASEAN menggarisbawahi upaya tersebut dengan menghasilkan ASEAN Foreign Ministers Joint Statement on the International Problem of Drug Abuse and Trafficking. Para menteri luar negeri juga turut menandatangani Joint Declaration for a Drug-Free ASEAN untuk memberantas produksi, proses, perdagangan, serta penyalahgunaan pemakaian narkoba ilegal di Asia Tenggara pada tahun 2020. Pada ASEAN Summit ke-6 tahun 1998, para pemimpin negara kembali menyerukan dan mempromosikan penguatan kerja sama regional melalui mekanisme institusional ASEAN. Para pemimpin negara mengadopsi Hanoi Plan of Action yang merupakan rencana aksi pertama untuk mewujudkan visi ASEAN tahun 2020.
Kesimpulan Narkotika merupakan ancaman bagi Asia Tenggara. Studi mengenai bagaimana narkotika menyebar, dampak, dan bagaimana pencegahannya perlu diperdalam untuk memberikan
jawaban komprehensif atas ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan transnasional perdagangan Narkotika di Asia Tenggara. Selain itu, agenda keamanan dan pembangunan regional perlu dihubungkan dan dikoordinasikan. ASEAN memiliki kepentingan langsung, dan sebenarnya merupakan tanggung jawab, untuk memastikan bahwa upaya terkait komprehensif dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk merespon dengan cepat. Selanjutnya, diperlukan sinergi yang lebih besar antara pejabat hukum dan pejabat kementerian negara sehingga instrumen hukum yang sesuai dapat dikembangkan untuk memerangi kejahatan yang baru muncul sambil memperkuat yang sudah ada. REFERENSI ASEAN Secretariat & UNODC. (2008). Drug-Free ASEAN 2015: Status and Recommendations. Jakarta & Vienna: Penulis. Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs. (2015). International Narcotics Control Strategy Report. U.S.: Penulis. Đorđević, S. (2009). Understanding transnational organized crime as a Security threat and Security Theories. [Original Scientific Paper]. Carl Schmitt and Copehagen School of Secuirty Studies, No. 13. Emmers, R. (2007). International Regime-Building in ASEAN: Cooperation againts the Illicit Trafficking and Abuse of Drugs. Contemporary Southeast Asia, 29(3), 506525. https://www.peacepalacelibrary.nl/research-guides/international-criminal-law/transnationalcrime/ Hurrell, A. (1998). Security in Latin America. International Affairs, 74(3). Macias, A. (2015, 19 Februari). These astonishing maps show how hard drugs are produced
and
sold
around
the
world.
Diakses
dari
www.busi
nessinsider.co.id/how-drugs-travel-around-the-world-2015-2/?r=US& IR=T#1HVUXd vZmpDWrHyo.97. Marshall, A. R.C. (2016, 15 Maret). Mekong Nations Take on Golden Triangle NarcoEmpire. Diakses dari http://www.maritime-executive.com/fea tures/mekongnations-take-on-golden-triangle-narco-empire. Massari, M. (2008). Transnational organized crime between myth and reality: The social construction of a threat. Dalam Allum, F. & Siebert, R. (Eds.), Organized Crime and the Challenge to Democracy. New York, London: Routledge.
Prameswaran, P. (2000). Combating and Preventing Drug and Substance Abuse. [Paper]. 10th International Federation of Non-Governmental Organisations for the Prevention
of
Drug
and
Substance
Abuse.
Diakses
dari
http://asean.org/?static_post=combating-and-preventing-drug-and-substanceabuse-by-pratap-parameswaran-senior-officer-ase an-secretariat-2. United Nations Office on Drugs and Crime. (2014). Drug trafficking trends & border management in South-East Asia: "Responding to an evolving context of regional integration". Vienna: UNODC Regional Office for Southeast Asia and the Pacific. United Nations Office on Drugs and Crime. (2015). Southeast Asia Opium Survey 2015: Lao PDR, Myanmar. Vienna: UNODC Regional Office for Southeast Asia and the Pacific. United Nations on Drugs and Crime. (2010). World Drug Report. Diakses dari http://www/unodc.org/documents/wdr/WDR_2010/World_Drug_Report_2010_lo -res.pdf. Wæver, O. (1998). Securitization and Desecuritization. Dalam Lipschutz, R. (Ed.), On Security. New York: Columbia University Press.