KERENTANAN WILAYAH TERHADAP KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (STUDI KASUS: KABUPATEN GUNUNGKIDUL) Dwi Prasetyo1 1
Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang tingkat kekeringan dan kerentanan wilayah terhadap kekeringan di Kabupaten Gunungkidul sebagai dampak terjadinya perubahan iklim yang ditinjau dari aspek keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif. Kabupaten Gunungkidul yang memiliki fisiografis karst, secara umum sering mengalami kekeringan. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan dikaji secara spasial dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process atas parameter durasi bulan kering, kemiringan lereng, penggunaan tanah, ketersediaan pipa PDAM, jarak desa ke Ibukota Kabupaten, kepadatan penduduk, kemiskinan, beban tanggungan hidup per kepala keluarga dan tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil analisis data, wilayah kekeringan terendah dapat dijumpai di 29 desa yang berada di selatan bagian timur dan sedikit di utara bagian timur dengan durasi bulan kering hanya sepanjang 2 – 3 bulan kering saja, sedangkan wilayah dengan tingkat kekeringan tertinggi dapat ditemui di 12 desa yang mengelompok di utara bagian timur dengan panjang bulan kering lebih dari 6 bulan. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan keterkaitan yang cukup nyata dengan kondisi fisiografis daerah penelitian. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan di daerah penelitian didominasi oleh wilayah dengan wilayah kerentanan sangat tinggi sebanyak 43 desa yang tersebar di selatan bagian barat dan sebagian tengah daerah penelitian dimana wilayah kerentanan sangat tinggi ini merupakan Zona Pegunungan Batur Agung dan Karst Gunung Sewu.
Place Vulnerability to Drought using Analyitical Hierarchy Process Method (Case Study : Kabupaten Gunungkidul) Abstract The focus of this research discusses about the level of drought and place vulnerability to drought in Gunungkidul as the impact of climate change in terms of exposure, sensitivity and adaptive capacity. Gunungkidul have a karst Physiographic, in general often occur drought. Place vulnerability to drought examined spatially using the Analytical Hierarchy Process with parameters dry months duration, slope, land use, availability of pipeline PDAM, village distance to the Capital District, population density, poverty, dependents living per head of family and education level. Based on the analysis of data, the lowest drought areas can be found in 29 villages in the east and a little south in the north eastern part of the duration of the dry season just round 2-3 dry months, whereas the region with the highest level of drought can be found in 12 villages clustered in the north eastern part of the long dry months more than 6 months. Vulnerability to drought areas in Gunungkidul showed fairly significant linkage with Physiographic conditions of the study area. Vulnerability to drought areas in the study area is dominated by regions with very high vulnerability areas as many as 43 villages scattered in the southern part of the western and central part of research areas in which this region is Mountainous Zone Batur Agung and Karst Gunung Sewu.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Key Words
: Vulnerability, Drought, AHP, Karst Gunung Sewu, Physiography
1. PENDAHULUAN Perubahan iklim saat ini sudah terjadi secara global, sudah banyak kajian mengenai perubahan iklim tersebut salah satunya adalah IPCC yang sedikit mengemukakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan salah satu kejadian dari adanya pemanasan global tersebut adalah fenomena kekeringan atau kemarau panjang. Menurut Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum sudah terjadi pergeseran musim yang cenderung menuju kepada kekeringan, musim kering yang mundur 1 bulan menyebabkan panjang musim kering pada tahun 2012 bertambah panjang. Hal ini juga akibat dari adanya perubahan iklim tersebut. Kejadian kekeringan juga sudah menjadi fenomena yang terjadi tiap tahun di Kabupaten Gunungkidul, seperti pada tahun 2011 menurut Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, setidaknya tercatat 15 kecamatan mengalami krisis air, kemudian menurun pada tahun 2012 sebanyak 10 Kecamatan. Pada akhirnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Surat Keputusan No. 309/Kep/2012 tentang kekeringan yang berlaku mulai dari 2 Agustus 2012 sampai 31 Oktober 2012. Kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari karst Gunung Sewu. Karst Gunung Sewu berkembang di batuan karbonat yang relatif tebal yang memungkinkan perkembangan bentukan karst bawah tanah, akan tetapi batuan dasar yang impermeabel tidak begitu dalam. Hal ini merupakan salah satu karakteristik Kabupaten Gunung Kidul yang menyebabkan daerah ini dinilai rentan terhadap kekeringan. Karena apabila terjadi musim kemarau di atas normal maka kekeringan akan sangat mudah terjadi, hal ini dikarenakan cadangan air tanah dangkal relatif sedikit dibandingkan daerah lainnya akibat dari tipisnya solum tanah pada daerah karst ini. Salah satu langkah dalam metode meningkatkan manajemen terhadap kekeringan adalah memetakan wilayah rentan terhadap kekeringan ditinjau dari beberapa aspek yang sudah disebutkan sebelumnya. Sehingga diperlukan upaya pengkajian wilayah yang rentan terhadap kekeringan tersebut yang akan dijelaskan dalam penelitian ini yang dapat bermanfaat untuk manajemen bencana kekeringan yang lebih baik.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Iklim Perubahan iklim yang terjadi akibat dari efek rumah kaca sudah sangat memengaruhi iklim secara global. IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Peningkatan suhu global atau adanya fenomena pemanasan global salah satunya adalah diakibatkan dari meningkatnya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi (Rajagukguk dan Ridwan, 2001). Konsentrasi gas karbondioksida (CO2) juga merupakan salah satu gas rumah kaca yang menjadi sebuah perangkap panas di atmosfer. Konsentrasi gas CO2 di atmosfer meningkat secara drastis setelah revolusi industri terjadi di negara besar. Meningkatnya gas-gas rumah kaca tersebut mengakibatkan beberapa fenomena yang terjadi di lapisan atmosfer salah satunya adalah fluktuasi curah hujan yang tinggi dan meningkatnya temperatur. 2.2 Kekeringan Kekeringan merupakan kejadian alam yang berlangsung secara alami, biasanya terjadi pada musim kemarau dimana ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan seharihari. Menurut International Glossary of Hyrology (WMO 1974) dalam Pramudia (2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius. Sedangkan Soenarno dan Syarief
(1994) menyatakan bahwa kekeringan
menunjukkan dampak dari suatu kondisi dinamis baik kualitas maupun kuantitas air yang tersedia (supply side) yang tidak dapat memenuhi jumlah dan kualitas air yang dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian terdapat interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam. Kekeringan memiliki dampak positif dan negatif, namun dalam kehidupan sehari-hari kekeringan lebih banyak memiliki dampak negatif daripada positif. Baharsjah dan Fagi (1995) mengatakan bahwa kekeringan merupakan faktor penghambat pertumbuhan produksi padi
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
yang selanjutnya mempengaruhi perekonomian nasional. Sebagian wilayah Indonesia kekeringan merupakan suatu masalah yang harus dihadapi hampir setiap tahun. Seperti yang terjadi pada tahun 1994, kekeringan di pulau Jawa telah menghancurkan 290.457 ha tanaman padi atau sekitar 79% dari luas total seluruh Indonesia (Boer dan Las, 1997). 2.3 Penentuan Kekeringan Meteorologis Dalam penentuan kekeringan meteorologis banyak metode yang digunakan, salah satunya adalah dengan melihat hygromenes. Hygromenes ini merupakan fenomena cuaca atau iklim yang bersifat dinamis dimana hygromenes memiliki dimensi ruang dan waktu. Dalam penentuan hygromenes biasanya digunakan paramater curah hujan dan evapotranspirasi. Metode penentuan kekeringan meteorologis ini antara lain Palmer Droght Severity Index (PDSI) yang menggabungkan dua parameter biofisik, yaitu karakteristik iklim dan tanah, kemudian klasifikasi Oldeman yang dilandasi oleh kebutuhan air tanaman pertanian, selanjutnya Standardized Precipitation Index (SPI) yang berdasarkan perhitungan statistik probalistik distribusi gamma dan contoh terakhir adalah hygromenes Mohr. Hygromenes Mohr diawali pada tahun 1933 ketika Mohr mengajukan klasifikasi iklim berdasarkan curah hujan. Hygromenes Mohr ini didasarkan pada jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah yang dihitung sebagai nilai rata-rata dalam waktu yang lama. Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (jumlah curah hujan lebih kecil dari jumlah penguapan). Bulan lembab adalah bulan dengan curah hujan 60-100 mm, dan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi) (Nawawi, 2001). Kemudian Sobirin (1989) dalam penelitiannya memodifikasi klasifikasi hygromenes Mohr menjadi bulan sangat kering adalah bulan dengan CH kurang dari 20 mm. Bulan kering adalah bulan dengan CH antara 20 – 60 mm. Bulan lembab adalah bulan dengan CH antara 60 – 100 mm. Bulan basah adalah Bulan dengan CH antara 100 – 200 mm dan bulan sangat basah yaitu bulan dengan CH lebih dari 200 mm. 2.4 Kerentanan Perubahan iklim dan kekeringan sangat berkaitan erat dengan kerentanan suatu daerah, karena kerentanan merupakan suatu indikator untuk mengkaji pengaruh adanya fenomena perubahan iklim. Kerentanan merupakan suatu terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Olmos, 2001). Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Kerentanan sendiri sangat ditentukan dari karakteristik kemampuan wilayah itu sendiri. Handmer, et al (1999) menjelaskan bahwa banyak wilayah dan negara akan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, tetapi negara-negara miskin dan daerah pedesaan akan mengalami kesulitan menanggapi perubahan iklim. Selain itu studi adaptasi terhadap perubahan iklim harus dimulai dengan studi kerentanan sosial dan ekonomi. IPCC pada tahun 2001 dalam Third Assesment Report juga memaparkan bahwa kerentanan tersebut merupakan fungsi dari karakter, besaran dan laju variasi iklim terhadap sistem keterpaparan atau tingkat keterpaparan (level of exposure), tingkat sensitivitas (level of sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Hal ini juga dapat dirumuskan secara matematis dengan kerentanan (V) merupakan fungsi dari keterpaparan (E), sensitivitas (S) dan kapasitas adaptif (A) (Turner et al, 2003). Kemudian Metzger et al (2006) menyatakan kerentanan tersebut dapat pula diekspresikan dengan fungsi V = f (E,S,A), dimana E adalah exposure, S adalah sensitivity dan A adalah adaptive capacity, atau lebih lanjut dapat dibuat rumus matematisnya yaitu V = (ExS)/AC atau
Kerentanan =
!"#"$%&%&$&' ! !"#$%&%'%&($ !"#"$%&"$ !"#$%&'
(ICCSR, 2010). 1.
Tingkat Keterpaparan (Level of Exposure) Keterpaparan didefinisikan sebagai derajat, lama dan atau besar peluang suatu sistem untuk kontak dengan gangguan pada analisis unit tertentu, hal ini juga dapat merepresentasikan perubahan kondisi iklim dalam waktu jangka panjang atau oleh perubahan variabilitas iklim, termasuk besarnya dan frekuensi kejadian ekstrim (IPCC, 2001).
2.
Tingkat Sensitivitas (Level of Sensitivity) Tingkat sensitivitas merupakan kondisi internal dari sistem yang menunjukkan derajat kerawanannya terhadap gangguan, atau juga dapat diartikan derajat dimana suatu sistem akan terpengaruh, atau mempunyai suatu respon tertentu terhadap rangsangan iklim (Smith dan Pilifosova, 2001)
3.
Kapasitas Adaptif (Adaptive Capacity) Kapasitas adaptif menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the consequences). Kapasitas adaptif juga mengacu pada potensi atau kemampuan sebuah sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim, termasuk Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
variabilitas iklim dan iklim ekstrim, cara memanfaatkan peluang, atau mengatasi masalah dan konsekuensi yang ada (Smith dan Pilifosova, 2001). Smith dkk, 2001 juga telah mengidentifikasi tujuh faktor berikut yang menentukan kapasitas adaptif, yaitu kesehatan ekonomi, teknologi, pendidikan, kekuatan institusi lembaga, informasi, infrastruktur, modal sosial. 2.5 Metode Analytical Hierarchy Process Proses Hirarki Analisis merupakan salah satu metoda pengambilan keputusan. Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Proses hirarki analisis pada dasarnya dirancang untuk menangkap secara rasional presepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Analisis ini diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah yang memerlukan pendapat (judgement), atau pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi data atau informasi statistik sangat minim atau pada masa yang hanya bersifat kualitatif yang didasarkan oleh persepsi, pengalaman dan intuisi (Saaty, 1993). Saaty (1993) juga memyatakan bahwa model AHP merupakan salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang komprehensif dan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap ahli sebagai
input utamanya. Suatu masalah yang tidak terstuktur dipecahkan kedalam
kelompok-kelompok yang kemudian diatur menjadi hirarki. Dalam penerapannya suatu tujuan yang bersifat umum dijabarkan kedalam sub-sub tujuan, dilakukan dalam beberapa tahap sehingga diperoleh tujuan operasional. Proses hirarki analitis dikembangkan untuk memecahkan masalah kompleks dengan struktur masalah yang belum jelas, ketidak pastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data statistik yang akurat. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang meliputi objektif dan multi kriteria, berdasarkan perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif pilihan yang ada yang bersifat kompleks atau multi kriteria.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
2. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini terdiri dari lima tahap, dimulai dari metode pendekatan, pengumpulan data, pengolahan data dan terakhir analisis data menggunakan metode AHP. Dalam penelitian ini diambil pula kondisi fisik dan sosial untuk menentukan tingkat kerentanan wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
Gbr 1. Alur Pikir Penelitian
Pengumpulan data sebagian besar adalah data sekunder yang didapatkan dari studi kepustakaan dan dari instansi yang berkaitan. Sedangkan data primer akan didapatkan foto hasil survey kondisi lapangan dan kuesioner dari masyarakat yang menggambarkan kondisi kekeringan yang terjadi. Kemudian dari kedua data tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kontennya, data atribut dan data spasial. Data spasial berisikan mengenai peta dan GCP (Ground Control Point) berdasarkan hasil survey sedangkan data atribut berisikan mengenai data tabular, angka atau huruf. Dalam memperoleh data primer mengenai kekeringan yang terjadi dilakukan survey lapangan yang dilakukan selama dua minggu pada tanggal 25 Maret 2013 sampai 7 April 2013. Pemilihan titik pengamatan dengan menggunakan metode acak namun dengan jumlah dan sebaran yang cukup untuk menggambarkan kekeringan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul dengan jumlah titik pengamatan sebanyak 48 titik. Wawancara dilakukan dengan para warga dan tokoh masyarakan untuk mengetahui secara terperinci dari kejadian kekeringan yang terjadi. Selain itu wawancara juga dilakukan Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
dengan keempat pakar untuk persepsi metode AHP yang digunakan dalam penelitian ini, adapun keempat pakar tersebut dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Identitas Pakar Nama Pakar
Pekerjaan
Prof. Dr. Suratman Worosuprojo, M.Sc.
Wakil Dekan Fakultas Geografi UGM, Ketua Ikatan Geografer Indonesia
Instansi UGM
Djaka Marwasta S.Si, M.Si
Pengajar dan Praktisi Kota dan Permukiman
UGM
Dr. Agus Supangat, DEA
Pengajar, Anggota DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim)
DNPI & ITB
Eli Martono, S.IP. M.PP. M.Eng.
Kasubid. Tata Ruang Lingkungan Hidup, Perumahan dan Permukiman
BAPPEDA
Kemudian dalam pengolahan data, setelah masing-masing parameter dikelompokkan berdasarkan panduan Penyusunan Pedoman Kajian Kerentanan oleh Mulyanto, 2012, selanjutnya dibuat klasifikasi berdasarkan data yang ada. setelah pengklasifikasian tiap parameter selesai, persepsi dari keempat pakar yang sudah disebutkan di atas dimasukan menggunakan bantuan software Expert Choice 11, sehingga didapatkan bobot masing-masing parameter. Setelah itu kerentanan dihitung berdasarkan rumus dari ICCSR, 2010 yaitu:
Kerentanan =
!"#"$%&%&$&' ! !"#$%&%'%&($ !"#"$%&"$ !"#$%&'
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terletak antara 7°46’30”- 8°12’00” LS dan 110°20’00” 110°50’00” BT, terletak 39 Km tenggara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Propinsi DIY. ini, merupakan kabupaten terluas di Propinsi DIY Ketinggian Kabupaten Gunungkidul bervariasi mulai dari 0 – 1000 m di atas permukaan laut. Hampir sebagian besar Kabupaten Gunungkidul memiliki ketinggian 100 – 500 m yaitu hampir 90% dari luas Kabupaten Gunungkidul. Untuk kemiringan lereng, Kabupaten Gunungkidul juga memiliki variasi yang tinggi. Berdasarkan analisis data tingkat kemiringan lereng 0 – 2 % memiliki luasan 18 % dari keseluruhan luas Kabupaten, 15 – 40 % sebesar 39 % dan diatas 40 % hampir 16 % dan sisanya 2 –15 % sebesar 3 %.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Secara umum Kabupaten Gunungkidul dapat dibagi 3 zona fisiografis berdasarkan kondisi topografinya, yaitu: •
Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 – 700 m di atas permukaan air laut. Keadaannya berbukit-bukit dan terdapat sungai di atas tanah dan sumber-sumber air tanah serta dapat digali sumur dengan kedalaman 6-12 m. Jenis tanah vulkanik lateristik dengan bantuan induk dasiet dan andesiet. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara.
•
Zona Tengah, disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari dengan ketinggian 150 – 200 m di atas permukaan air laut. Apabila kemarau panjang masih terdapat sumber mata air. Jenis tanahnya berupa margaliet. Di zona ini terdapat air tanah dengan kedalaman 60 – 120 m di bawah permukaan tanah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara.
•
Zona Selatan, disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu dengan ketinggian 100 – 300 m di atas permukaan air laut. Batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur dengan ciri khas berbukit-bukit kerucut (conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah. Zona selatan meliputi Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Semanu bagian selatan.
Gbr 2. Peta Fisiografis
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Curah hujan merupakan parameter dalam menentukan kejadian kekeringan, salah satu indikator untuk melihat kerentanan kekeringan meteorologis adalah panjang atau durasi dan tingkat kekeringannya. Semakin lama dan tinggi tingkat kekeringannya makan akan semakin rentan daerah tersebut terhadap kekeringan. Dalam penelitian ini dibuat empat klasifikasi yaitu 2-3 bulan kering, 3 bulan kering dan sangat kering, 4 Bulan kering dan sangat kering dan > 4 bulan kering dan sangat kering. Klasifikasi 4 bulan kering dan sangat kering mendominasi daerah penelitian, sebanyak 64 desa termasuk klasifikasi ini. Paling sedikit dijumpai di daerah penelitian adalah klasifikasi > 4 bulan kering dan sangat kering yaitu sebanyak 12 desa. Semakin panjang dan tinggi tingkat kekeringannya maka akan semakin rentan terhadap kekeringan, karena pasokan air dari hujan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, terlebih ketika bulan kering panjang dan tingkat kekeringannya cukup tinggi. wilayah 2 – 3 bulan kering dapat ditemui di 29 desa. Klasifikasi ini tersebar di selatan bagian timur dan utara bagian timur. Wilayah 3 bulan kering dan sangat kering di daerah penelitian dapat dijumpai di 39 desa, ditemukan tersebar di bagian barat daerah penelitian. Tabel 2. Klasifikasi Durasi Bulan Kering Jumlah Desa
Persentase (%)
2-3 bulan kering
29
20
3 bulan kering dan sangat kering
39
27
4 Bulan kering dan sangat kering
64
44
Klasiifikasi Durasi Bulan Kering
>4 bulan kering dan sangat kering Jumlah
12
8
144
100
[Sumber : Pengolahan Data BMKG dan Dinas Pengairan, 2013]
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Gbr 3. Peta Durasi Bulan Kering
Masing-masing parameter dalam penelitian ini tentu memiliki kontribusi dalam menentukan kerentanan terhadap kekeringan di daerah penelitian. Sesuai dengan persepsi dari pakar, maka dapat dihasilkan bobot dengan menggunakan software Expert Choice 11 dari tiap parameter. Curah hujan sebagai paramater tertinggi sebesar 28,8 %. Selanjutnya adalah kemiskinan penduduk yang mempunyai persentase sebesar 17,6 %. Jarak desa ke Ibukota Kabupaten memiliki persentase sebesar 12 % dan penggunaan tanah 9,6 %. Kemudian tingkat kelerengan memiliki persentase sebesar 8,3 %. Jaringan PDAM dalam metode AHP ini persentasenya sebesar 7,5 %. Kepadatan penduduk mempunyai persentase 6,9 % dan beban tanggungan hidup sebesar 5,8 %. Prioritas terakhir adalah tingkat pendidikan dengan persentase sebesar 3,4 %. Dari keseluruhan parameter di atas, dapat dihitung kembali berdasarkan aspek dari keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan adaptasi. Keterpaparan kerentanan terhadap kekeringan berdasarkan hasil pengolahan skor keterpaparan, dapat dibuat tiga klasifikasi yaitu rendah (< 1), sedang (1 – 1,5) dan tinggi > 1,5. Semakin tinggi tingkat keterpaparan suatu wilayah terhadap kekeringan maka akan semakin tinggi pula tingkat kerentananannya. Wilayah keterpaparan sedang mendominasi daerah penelitian yaitu sebanyak 67 desa. Kemudian wilayah keterpaparan tinggi tidak jauh berbeda dengan wilayah keterpaparan rendah sebanyak 58 desa dan terakhir keterpaparan rendah, hanya berjumlah 19 desa (Tabel 3.) Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Tabel 3. Klasiikasi Keterpaparan Klasifikasi Keterpaparan
Jumlah Desa
Persentase (%)
<1
19
13
1 - 1,5
67
47
> 1,5
58
40
Jumlah
144 100 [Sumber : Pengolahan Data, 2013]
Sensitivitas kerentanan terhadap kekeringan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kelas, yaitu skor rendah (< 0,5), sedang (0,5 – 0,75), tinggi (0,75 – 1) dan tinggi (> 1). Semakin tinggi sensitivitas suatu wilayah maka semakin tinggi pula kerentanan wilayah tersebut terhadap kekeringan. wilayah dengan persentase tertinggi adalah sensitivitas tinggi (0,5 – 0,75) dengan jumlah desa 58 desa dan terendah adalah sensitivitas sangat tinggi (> 1) yang hanya berjumlah 14 desa (Tabel 4).
Tabel 4. Klasifikasi Sensitivitas
Klasifikasi Sensitivitas
Jumlah Desa
Persentase (%)
< 0,5 0,5 - 0,75 0,75 – 1 >1 Jumlah
31 41 58 14 144
22 28 40 10 100
[Sumber : Pengolahan Data, 2013]
Kapasitas adaptif kerentanan terhadap kekeringan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelas, yaitu skor rendah (< 0,15), sedang (0,15 – 0,2) dan tinggi (> 0,2). Semakin tinggi kapasitas adaptif suatu wilayah maka semakin rendah kerentanan wilayah tersebut terhadap kekeringan. wilayah dengan persentase tertinggi adalah kapasitas adaptif tinggi (> 0,2) dengan jumlah desa 79 desa dan terendah adalah kapsitas adaptif sedang (0,15 – 0,2) sebanyak 30 desa tidak jauh berbeda dengan kelas rendah (< 0,15) yaitu 35 desa (Tabel 5)
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Tabel 5. Klasifikasi Kapasitas Adaptif Klasifikasi Kapasitas Adaptif
Jumlah Desa
Persentase (%)
< 0,15
35
24
0,15 - 0,20
30
21
> 0,20
79
55
Jumlah
144
100
[Sumber : Pengolahan Data, 2013]
Hasil dari ketiga aspek tersebut kemudian dihitung menggunakan rumus kerentanan menurut ICCSR (2010) untuk dihasilkan nilai kerentanan wilayah terhadap kerentanan kekeringan. hasil kerentanan wilayah terhadap kekeringan di daerah penelitian tersebur dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu rendah (< 3), sedang (3 – 4), tinggi (4 – 5) dan sangat tinggi (> 5). Kerentanan wilayah terhadap kekekeringan sangat tinggi dan sedang mendominasi di daerah penelitian dengan jumlah desa mencapai 43 dan 42 desa. Sedangkan kerentanan tinggi sebanyak 37 desa dan rendah hanya sebanyak 22 desa. Wilayah kerentanan rendah yang dapat dijumpai di 22 desa tersebar di tengah bagian barat dan timur bagian selatan daerah penelitian. Wilayah ini tingkat keterpaparannya cukup rendah, panjang bulan kering tidak melebihi 3 bulan serta persentase tingkat kemiskinan cukup rendah. Selain itu, wilayah ini memiliki sensitivitas yang cukup rendah terhadap kekeringan dilihat dari persentase luasan penggunaan tanah ladang, tegalan, sawah tadah hujan dan sawah 1 kali padi/tahun cukup rendah. Wilayah kerentanan sedang dapat dijumpai di 42 desa, persebarannya hampir sama dengan klasifkikasi rendah yaitu di tengah bagian barat dan timur bagian selatan dari daerah penelitian. Kemudian kerentanan wilayah terhadap kekeringan tinggi ditemui di 37 desa yang tersebar di bagian tengah dan utara daerah penelitian. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan sangat tinggi dapat ditemui di 43 desa. Wilayah dengan kerentanan sangat tinggi ini mengelompok di selatan bagian barat dan sebagian tengah serta tersebar di utara daerah penelitian, selain itu wilayah ini mempunyai kondisi keterpaparan dan sensitivitas yang tinggi terhadap kekeringan terutama tingkat kemiskinan dan panjang bulan keringnya panjang serta tingkat kekeringannya tinggi, namun kapasitas adaptif nya dalam hal ini adalah tingkat pendidikan masih cukup rendah dan ketersediaan jaringan pipa PDAM belum menjangkau wilayah ini, selain itu wilayah kerentanan sangat tinggi ini termasuk ke dalam fisiografis karst gunung sewu dan pegunungan vulkanik Batur Agung dimana pada kedua wilayah fisiografis tersebut sangat sulit memperoleh air pada musim kemarau.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Tabel 6. Klasifikasi Kerentanan Wilayah terhadap Kekeringan menggunakan Metode AHP Klasifikasi Kerentanan
Jumlah Desa
Persentase (%)
<3 (Rendah )
22
15
3 – 4 (Sedang)
42
29
4 – 5 (Tinggi)
37
26
> 5 (Sangat Tinggi)
43
30
144
100
Jumlah
[Sumber : Pengolahan Data, 2013
Gbr 5. Peta Kerentanan Wilayah terhadap Kekeringan
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, durasi bulan kering terpendek dapat dijumpai di 29 desa yang berada di selatan bagian timur dan sedikit di utara bagian timur, wilayah ini memiliki tingkat kekeringan yang rendah. Sedangkan wilayah dengan durasi bulan kering terpanjang dapat ditemui di 12 desa yang mengelompok di bagian utara bagian timur dengan panjang bulan kering > 6 bulan, wilayah ini memiliki tingkat kekeringan yang tinggi. Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Kerentanan wilayah terhadap kekeringan di Kabupaten Gunungkidul dengan menggunakan metode Analytical Hierarcy Process menunjukkan keterkaitan yang cukup nyata dengan kondisi fisiografis daerah penelitian. Wilayah dengan kerentanan rendah mengelompok di zona Ledok Wonosari yang memiliki ketersediaan air tanah yang cukup baik. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan sedang yang meliputi 42 desa terletak di bagian utara, tengah dan selatan bagian timur. Kerentanan terhadap kekeringan tinggi, wilayahnya tersebar di selatan bagian tengah dan barat serta mengelompok di tengah bagian timur. Wilayah kerentanan sangat tinggi dapat ditemui di 43 desa yang tersebar di selatan bagian barat dan sebagian tengah daerah penelitian dimana wilayah kerentanan sangat tinggi ini merupakan Zona Pegunungan Batur Agung dan Karst Gunung Sewu.
Daftar Referensi Baharsjah J, dan Fagi AM. 1995. Konsepsi dan Implementasi Gerakan Hemat Air. Kongres III PERHIMPI dan SIMPOSIUM Meteorologi Pertanian IV. Yogyakarta. Boer R, dan Las Irsal. 1997. Metode Penentuan Tingkat Kerawanan Kekeringan : Kasus untuk Daerah Pertanaman Padi Sawah Tadah Hujan di Jawa Barat. Jurnal Agromat Vol. XII No. 1 dan 2. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Handmer J., Dovers S., and Downing T. 1999. Societal Vulnerability to Climate Change and Variability. Jurnal Strategi Mitigasi dan Adaptasi untuk Perubahan Iklim Global. ICCSR. 2010. Sektor Sumber Daya Air. Republik Indonesia. IPCC. 2001. Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press. Metzger MJ, Rounsevell MDA, Acosta-Michlik L, Leemans L, & Schröter L. 2006. The Vulnerability of Ecosystem Servoces to Land Use Change. Agriculture, Ecosystems and Environment. Mulyanto, Haneda Sri. 2012. Penyusunan Pedoman Kajian Kerentanan. Bidang Kerentanan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta : KLH Nawawi, G. 2001. Pengantar Klimatologi Pertanian. Modul Dasar Bidang Keahlian. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional. Olmos, Santiago. 2001. Vulnerability and Adaptation to Climate Change : Concept, Issues, Assessment Mehods. Kanada: Universiy of Guelph. Pramudia, A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat Terhadap Kekeringan dan ElNino [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013
Rajagukguk E dan Ridwan K. 2001. Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Negara Kepulauan Indonesia. Jakarta. Saaty, T. L.. 1993. Decision Making for Leader The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Prentice Hall Coy. Ltd. Pittsburgh. Smit, B., and Pilifosova, O. 2001. Adaptation to climate change in the context of sustainable development and equity. Cambridge: Cambridge University Press. Soenarno dan R. Syarief. 1994. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik Sumber Air di Pulau Jawa. Makalah pada Panel Diskusi Antisipasi dan Penanggulangan Kekeringan Jangka Panjang, PERAGI dan PERHIMPI. Sukamandi. Turner, B. L., II, Kasperson, R. E., Matson, P. A., McCarthy, J. J., Corell, R. W., Christensen, L., Eckley, N., Kasperson, J. X., Luers, A., Martello, M. L., Polsky, C., Pulsipher, A., & Schiller, A. 2003. A Framework for Vulnerability Analysis In Sustainability Science’, Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A.
Universitas Indonesia
Kerentanan wilayah…, Dwi Prasetyo, FMIPA UI, 2013