KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK, PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH
BAMBANG NGAJI UTOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah”, adalah karya saya sendiri di bawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Agustus 2011
Bambang Ngaji Utomo D161070061
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK, PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH
BAMBANG NGAJI UTOMO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. 2. Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. 2. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
: Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah
Nama
: Bambang Ngaji Utomo
NRP
: D161070061
Program Studi / Mayor
: Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Prof. Dr. drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc. Ketua Anggota
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Anggota
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal ujian: 28 Juli 2011
Tanggal lulus:
i
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya ilmiah dengan judul “Keragaman Fenotipik dan Genetik, Profil Reproduksi serta Strategi Pelestarian dan Pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah” berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan selama 15 bulan (November 2009 sampai Januari 2011) mempunyai arti penting mengingat: (1) Sapi Katingan adalah plasma nutfah yang tidak hanya sebagai aset daerah namun juga aset nasional yang perlu dilestarikan, dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya Kalimantan Tengah, (2) Sapi Katingan unik karena hanya dipelihara oleh masyarakat lokal (suku Dayak), mempunyai nilai kultural tinggi dan nilai sejarah, sehingga dengan demikian ikut serta memberdayakan masyarakat asli Kalimantan Tengah yang dewasa ini terkesan terpinggirkan melalui kegiatan bidang peternakan, dan (3) keberadaan Sapi Katingan mulai mengkhawatirkan sementara informasi dan data dasar ternak sangat minim karena belum pernah dilakukan penelitian, padahal data tersebut penting sebagai pijakan untuk pengembangan Sapi Katingan di masa mendatang. Penelitian ini dapat terlaksana karena dukungan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada: 1.
Guru-guru yang berkomitmen dan berdedikasi tinggi, Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. drh. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc., Prof. Dr. drh. Iman Supriatna dan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam membimbing sejak memunculkan ide penelitian, pelaksanaan kegiatan penelitian, penulisan proposal, artikel sampai selesainya penulisan disertasi ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahala dan diampuni dosanya oleh Allah SWT.
ii
2.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3.
3.
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah, yang telah memberikan kepercayaan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB dan seluruh jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.
5.
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB yang sekaligus sebagai anggota komisi pembimbing dan Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP) atas dukungannya baik dari aspek akademis maupun non akademis.
6.
Prof. Dr. Ir. Harimurti Martojo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dewi Apriastuti, MS. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. dan Dr. Ir. Achmad Mahmud Thohari, DEA. masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. dan Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.
7.
Ford Foundation dan The Indonesian International Education Foundation (IIEF) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menerima beasiswa Indonesian Scholar Dissertation Award (ISDA), sehingga sangat membantu kelancaran
pelaksanaan kegiatan penelitian lapang dan
laboratorium. 8.
Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Katingan, Ir. Slamet sebagai kepala sub
iii
bidang Peternakan, Dinas Pertanian Kabupaten Katingan beserta staf, yang telah memberikan dukungan, informasi dan bantuan tenaga di lapang. 9.
Kaspul dan Minarni, Ka UPTD dan penyuluh dari Kelurahan Pendahara, Kristiance, Ida dan Izul, Ka UPTD dan penyuluh dari Buntut Bali, Sriyono petugas teknis lapang Desa Tumbang Lahang yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan di lapang.
10.
Teman-teman di laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Fapet IPB yang telah membantu mengarahkan dari aspek teknis dan memberikan wawasan sehingga penelitian laboratorium bisa berjalan lancar.
11.
Teman-teman seangkatan tahun 2007, Ir. Aron Batubara, M.Sc., Ir. Eko Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda Takaendengan, S.Pt., M.Si. dan Suryana, S.Pt., MP. yang saling memberikan dukungan, semangat dan berbagi wawasan.
12.
Prof. Dr. Ir. Winugroho, M.Sc. yang selalu memberikan semangat, motivasi dan arahan.
13.
Akhirnya ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
orang tua dan
mertua, istri tercinta Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. serta ananda Yaumil Putri Erlambang, Puspita Vania Prajnaparamitha Ramadhani dan Bunga Rajhana Ragil Gayatri atas dukungan, pengertian dan do’anya. Pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan bahwa karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu peternakan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah serta pembaca.
Bogor,
Agustus 2011
Bambang Ngaji Utomo
iv
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Blora, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 3 Desember 1961. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan ayah Karsan Hadiprajitno dan almarhum ibu Satipah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Jetis II Blora pada tahun 1974, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri II Blora pada tahun 1977, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri Blora pada tahun 1981. Pada tahun 1981 penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1999 penulis mengikuti pendidikan pascasarjana di Wageningen University, Belanda dengan bantuan beasiswa berbagi antara Pemerintah Indonesia (Badan Litbang Pertanian) dengan Pemerintah Belanda (VNONCW). Program studi yang diambil adalah Tropical Animal Production dan berhasil lulus pada tahun 2001 dengan menyandang gelar Master of Science (MSc). Pada tahun 2007 penulis kembali melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengambil program studi/mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP). Bantuan beasiswa berasal dari Badan Litbang Pertanian. Sejak tahun 1989 penulis bekerja di Balai Penelitian Veteriner Bogor, kemudian pada tahun 1991 dipindah tugaskan di Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1995 bekerja di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru selama 2 tahun, kemudian sejak tahun 1997 bertugas di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah sampai sekarang sebagai Peneliti Madya. Penulis menikah dengan Ermin Widjaja, S.Pt., M.Si. pada tahun 1989 dan dikaruniai tiga orang puteri, yaitu Yaumil Putri Erlambang, Puspita Vania Prajnaparamitha Ramandhani dan Bunga Rajhana Ragil Gayatri.
Bogor,
Agustus 2011 Penulis
Bambang Ngaji Utomo
vi
DAFTAR PUBLIKASI
1. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, dan E.D. Gunardi. 2011. Keragaan Fenotipik Kualitatif Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Bulletin Plasma Nutfah (Terakreditasi) 2. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, E.D. Gunardi. 2010. Keragaan Morfometrik Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (Terakreditasi) 3. Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, dan E.D. Gunardi. 2011. Keragaman genetik Sapi Katingan dan hubungan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lain menggunakan analisis DNA mikrosatelit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (Terakreditasi)
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................. Dasar Pertimbangan ...................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ……………………………………………...
1 3 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Plasma Nutfah Ternak Sapi ......................................................... Keragaman ................................................................................... Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity ......................................... Tingkah Laku Kelamin …………………………………………
7 9 13 14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ...................................................................... Bahan dan Alat ……………………………………………….... Metode Penelitian ……………………………………………… Analisis Data ……………………………………………………
17 19 20 20
EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH Abstract ........................................................................................ Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
21 21 22 24 26 50 51
KERAGAMAN FENOTIPIK KUALITATIF SAPI KATINGAN Abstract ........................................................................................ Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
53 53 54 55 57 72 72
KERAGAMAN FENOTIPIK KUANTITATIF SAPI KATINGAN Abstract ........................................................................................
75
viii
Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
75 76 78 83 93 94
KERAGAMAN GENETIK SAPI KATINGAN DAN HUBUNGAN KEKERABATANNYA DENGAN BEBERAPA SAPI LOKAL LAIN BERDASARKAN PADA 15 LOKUS MIKROSATELIT Abstract ........................................................................................ Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
97 97 98 100 106 121 122
IDENTIFIKASI HORMON PROGESTERON PADA VARIASI UMUR UNTUK ESTIMASI PERMULAAN PUBERTAS SAPI KATINGAN BETINA Abstract ........................................................................................ Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
127 127 128 130 132 141 142
TINGKAH LAKU KELAMIN SAPI KATINGAN JANTAN PADA MANAJEMEN EKSTENSIF TRADISIONAL Abstract ........................................................................................ Abstrak ......................................................................................... Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ....................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................. Simpulan dan Saran ..................................................................... Daftar Pustaka ..............................................................................
147 147 148 150 151 157 157
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………
161
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ...................................................................................... Saran ............................................................................................
171 172
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
173
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Populasi ternak di Kabupaten Katingan tahun 2003-2007 .............
26
2.
Tataguna lahan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ..................................................................
27
Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang .............
30
Struktur penduduk berdasarkan usia produktif, pendidikan, dan pekerjaan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang...............................................................................
31
Populasi ternak di Kelurahan Pendahara (2008), Desa Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada tahun 2010 ..........................................
32
6.
Responden dan keluarga berdasarkan struktur umur tahun 2009 ...
33
7.
Tingkat pendidikan responden …………………………………..
33
8.
Pekerjaan utama responden ............................................................
34
9.
Jenis tanaman yang diusahakan oleh responden ............................
34
10.
Pendapatan tahunan per KK (responden) pada kegiatan usahatani campuran (mix farming) di tiga lokasi penelitian ............................
36
Hasil pemeriksaan kotoran sapi lokal di 11 titik ranch di Desa Buntut Bali dan Kelurahan Pendahara ............................................
39
Kinerja budidaya Sapi Katingan berdasarkan informasi responden di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang ............................................................................................
40
Rumusan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ………………………………………………
48
14.
Distribusi contoh Sapi Katingan untuk karakterisasi kualitatif ........
56
15.
Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ................................
59
16.
Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ................................
62
17.
Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina dewasa ..............
68
3.
4.
5.
11.
12.
13.
x
18.
Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ..............
69
19.
Bentuk tonjolan di kepala pada sapi lokal Kalimantan Tengah .....
71
20.
Distribusi contoh Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian yang diambil secara acak ........................................................................
79
Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) bobot hidup Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin ...........................................................................................
84
Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter tubuh Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin ..................................................................................
86
Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter kepala Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin ……………………………………………………..
88
Presentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok Sapi Katingan .................................................................
91
25.
Matrik jarak genetik antar tiga lokasi (sub populasi) Sapi Katingan
91
26.
Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh sapi Katingan di tiga lokasi penelitian ..............................................................................
93
Distribusi contoh darah sapi untuk pemeriksaan keragaman genetik .............................................................................................
101
28.
Karakteristik 15 lokus mikrosatelit ………………………………
104
29.
Sebaran genotipe untuk masing-masing lokus mikrosatelit pada tiga subpopulasi Sapi Katingan ......................................................
108
Jumlah alel yang dihasilkan setiap lokus DNA mikrosatelit pada Sapi Katingan di tiga subpopulasi ..................................................
109
Sebaran frekuensi alel tertinggi dan terendah pada tiga subpopulasi Sapi Katingan yang diskrining dengan 15 lokus DNA mikrosatelit
114
Alel-alel pada 15 lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali, Pendahara, atau Tumbang Lahang ............................................................................................
115
Nilai heterozigositas dan rataan heterozigositas ke 15 lokus mikrosatelit pada tiga subpopulasi Sapi Katingan ……………….
116
21.
22.
23.
24.
27.
30.
31.
32.
33.
xi
34.
Nilai rataan heterozigositas 15 lokus mikrosatelit pada populasi Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian …………………………...
118
Perbandingan nilai rataan heterozigositas (Ĥ) antara Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya yang diskrining dengan variasi lokus mikrosatelit ……………………………………………………….
118
Matrik jarak genetik Nei (1978) antara tiga subpopulasi Sapi Katingan dengan Sapi PO, Sapi Bali dan Sapi Bos Taurus ……...
119
Distribusi contoh darah Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon progesteron ……………………………………………………….
131
Hasil pemeriksaan hormon progesteron pada variasi umur Sapi Katingan ………………………………………………………….
134
39.
Perbandingan umur pubertas sapi tropis dan subtropis …………..
135
40.
Konsentrasi Cu Sapi Katingan dari contoh darah sapi yang sama untuk pemeriksaan hormon progesteron …………………………
138
Hasil pengamatan yang memberikan gabaran umum tingkah laku seksual pejantan Sapi Katingan …………………………………..
153
Lingkar skrotum Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian ………...
155
35.
36.
37.
38.
41.
42.
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Alur kerangka pemikiran penelitian ...............................................
5
2.
Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan …………………...
18
3.
Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian di Kabupaten Katingan ...
29
4.
Kontribusi variasi komoditas dalam % terhadap pendapatan keluarga responden per tahun di lokasi penelitian sapi lokal ……..
37
5.
Pemeliharaan sapi secara ekstensif di dalam ranch ........................
38
6.
Tali yang dibentangkan diantara pepohonan untuk menautkan tali kekang sapi .....................................................................................
39
Manajemen reproduksi 1 induk 1 anak dalam 1 tahun (20 responden) .......................................................................................
41
8.
Tanaman Karabayan penjinak sapi liar …………………………..
42
9.
Cara mengumpulkan sapi dengan memberi air garam ....................
43
10.
Kuadran analisa pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan …
49
11.
Bentuk tanduk dan tonjolan di kepala pada Sapi Katingan dewasa betina ...............................................................................................
57
12.
Performan Sapi Katingan dewasa jantan dan betina ……………
58
13.
Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina ................................
60
14.
Keragaman warna Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian ..
61
15.
Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan ……………………
63
16.
Keragaman warna Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian ..
64
17.
Sapi Katingan jantan umur 13 bulan dengan perubahan warna hitam di punuk mulai nampak jelas ……………………………...
67
18.
Keragaman bentuk tanduk pada Sapi Katingan dewasa betina …..
68
19.
Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian …………………………………………………………
69
7.
xiv
20.
Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan ………..
70
21.
Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian …………………………………………………………
70
22.
Variasi tonjolan pada Sapi Katingan betina ……………………...
71
23.
Perkiraan umur sapi berdasarkan pergantian gigi seri ……………
78
24.
Bagian-bagian permukaan tubuh sapi yang diukur ………………
80
25.
Perbandingan bobot badan Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Abdullah (2008), 2)Sarbaini (2004), 3)Suryoatmojo (1993), 4)Wijono dan Setiadi (2004) ……………………………..
85
Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Utomo et al. (2011), 2)Abdullah (2008), 3)Sarbaini (2004), 4,5,6)Surjoatmodjo (1993) ………………………………...
87
Perbandingan ukuran tubuh Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1)Suryoatmojo (1993), 2)Sarbaini, 3)Abdullah (2008) …..
87
Gambaran kanonikal Sapi Katingan di lokasi penelitian Buntut Bali (B), Pendahara (P) dan Tumbang Lahang (T) ........................
89
29.
Pohon fenogram dari ketiga lokasi (subpopulasi) Sapi Katingan ..
92
30.
Pola pita 2 lokus mikrosatelit (ILSTS045 dan ILSTS052) hasil elektroforesis PAGE 6% pada genom Sapi Katingan. M: Marker DNA (20 bp), Lajur 1-12: produk PCR ………………………….
107
Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan …………………………………………………….
111
Pohon filogenik pada tiga subpopulasi Sapi Katingan dan dengan beberapa sapi lokal lain …………………………………………..
119
Pohon filogenik dan fenogram pada tiga subpopulasi Sapi Katingan ………………………………………………………….
120
Konsentrasi hormon progesteron pada individu-individu Sapi Katingan berbagai umur ………………………………………….
134
Konsentrasi Cu pada Sapi Katingan yang diperiksa hormon progesteronnya …………………………………………………...
139
Korelasi antara kadar progestron dan kadar Cu Sapi Katingan …..
140
26.
27.
28.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Kuisener kegiatan penelitian eksploratif Sapi Katingan ................
181
2.
Daftar sapi yang diambil contoh darahnya untuk pemeriksaan DNA mikrosatelit ...........................................................................
203
Macam, ukuran alel dan genotipe pada 15 lokus mikrosatelit Sapi Katingan, Kalimantan Tengah …………………………………...
215
3.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki plasma nutfah ternak cukup berlimpah, khusus untuk ternak sapi, Indonesia memiliki banyak bibit-bibit ternak sapi unggulan. Jenis-jenis ternak sapi asli dan sapi lokal Indonesia adalah Sapi Bali, Sapi PO, Sapi Madura, Sapi Aceh, Sapi Grati, Sapi Jawa, Sapi Pesisir (Otsuka et al. 1980; Pane 1993; Soeroso 2004; Sarbaini 2004; Johari et al. 2007; Astuti et al. 2007; Abdullah 2008). Definisi ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah teradaptasi pada lingkungan dan atau manajemen setempat (Ditjennak 2009). Plasma nutfah sapi tersebut merupakan modal dasar bagi pembangunan subsektor peternakan karena dapat direkayasa untuk pembentukan bibit ternak unggul yang sesuai dengan kondisi tropis dan secara sosial budaya dapat diterima masyarakat. Sapi lokal secara genetik mempunyai potensi produksi yang baik bahkan dalam kondisi lingkungan yang minimal. Sapi mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah dan mempunyai daya reproduksi yang baik, yaitu mampu menghasilkan anak setiap tahun dan dapat beranak lebih dari 10 kali sepanjang hidupnya. Selain itu sapi lokal juga lebih tahan terhadap penyakit. Sapi Madura secara genetik memiliki sifat toleran terhadap iklim panas dan lingkungan marginal serta tahan terhadap serangan caplak. Sapi PO yang termasuk Bos indicus potensial dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis. Sapi-sapi lokal tersebut sangat penting untuk dilindungi, dimanfaatkan dan dikembangkan secara hati-hati dan bijaksana guna menghindari kerusakan genotip yang telah mereka miliki sebagai bangsa sapi tertentu. Sangat disayangkan sapi-sapi unggul tersebut banyak yang tidak dikembangbiakkan sebagaimana mestinya, akibatnya ukuran tubuh ternak semakin mengecil, sebagaimana dilaporkan oleh Abdullah (2008) pada sapi Aceh. Perbaikan mutu genetik sapi untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat
2
dilaksanakan secara seleksi pada komunitas in-situ yang telah cocok dengan lingkungannya. Program seleksi diterapkan untuk memelihara kemurniannya dalam rumpun dan meningkatkan kompetisi ekonominya atau produksinya, sementara dengan tetap memelihara sifat khas dari sapi tersebut. Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Meningkatnya permintaan yang cenderung lebih besar daripada produksi mengesankan seolah populasi sapi tidak meningkat padahal terkuras untuk memenuhi permintaan yang selama 5 tahun terakhir (2006-2010) rata-rata mencapai 446 042 ton/tahun dengan senjang produksi pada tahun 2010 sebesar 10.920 ton (Mayulu et al. 2010). Populasi sapi dari tahun 2005 sampai 2010 dilaporkan Mayulu et al. (2010) selalu meningkat setiap tahunnya dari 11 045 900 ekor pada tahun 2005 menjadi 14 763 000 ekor pada tahun 2010. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut adalah dengan meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong. Bibit sapi potong lokal merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Berbagai potensi sumberdaya genetik ternak yang ada, unggas,
ruminanasia
besar, ruminansia kecil bahkan juga ternak-ternak yang berpotensi penghasil daging (promising commodity) perlu dimanfaatkan secara maksimal agar swasembada daging dapat segera tercapai. Usaha peternakan di Indonesia membutuhkan sumberdaya genetik ternak sebagai bahan untuk merakit bibit ternak unggul agar peternakan mampu berkembang secara maksimal. Hal ini sesuai dengan yang diamanahkan pada UU No. 18 tahun 2009, dimana upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan ke depan yaitu melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Keanekaragaman sumberdaya genetik ternak perlu dipertahankan, untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam
3
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan, terciptanya lapangan kerja, dan peningkatan devisa negara.
Dasar Pertimbangan Kalimantan Tengah yang sebagian wilayahnya dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, diantaranya adalah plasma nutfah sapi potong. Sapi tersebut terletak di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas. Keunikannya adalah sapi tersebut hanya dibudidayakan oleh masyarakat Dayak yang merupakan masyarakat lokal Kalimantan Tengah, di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Katingan di Kabupaten Katingan dan DAS Kahayan di Kabupaten Gunung Mas, sedangkan sapi asli dan sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Sapi lokal yang ada di Kabupaten Gunung Mas sudah sulit dijumpai dan kemungkinan hampir punah, sedangkan sapi yang berada di Kabupaten Katingan relatif terjaga populasinya walaupun dalam jumlah tidak besar. Manajemen pemeliharaannya yang menyebar di sepanjang daerah aliran sungai Katingan, sehingga sapi tersebut dinamakan Sapi Katingan. Masyarakat Dayak sendiri menyebutnya dengan panggilan sapi lokal atau kadangkadang sapi “Helu” (sapi jaman dahulu), tidak pernah mereka menamakannya sapi Katingan. Istilah sapi Katingan diproklamirkan untuk membedakan dengan sapi lokal lainnya. Penamaan sapi diberikan sesuai lokasi habitatnya sebagaimana umumnya pada sapi-sapi lokal lainnya (Abdullah 2008; Sarbaini 2004; Sun et al. 2008). Sapi Katingan dipelihara oleh masyarakat Dayak sudah ratusan tahun sebelum ada introduksi sapi lokal lainnya baik melalui program pemerintah maupun swasta. Sapi Katingan adalah sapi lokal Kalimantan Tengah yang sangat terkait dengan nilai kultural dan sejarah warisan masyarakat Dayak. Berbagai acara ritual masyarakat Dayak selalu memanfaatkan sapi tersebut sebagai hewan korbannya, tidak dengan sapi lokal lainnya. Dengan demikian keberadaan Sapi Katingan mempunyai arti penting bagi masyarakat Dayak. Jumlah populasi sapi secara pasti tidak diketahui apalagi data dinamika populasinya. Nampaknya perhatian pemerintah daerah lebih difokuskan pada ternak-ternak asli dan lokal
4
lainnya seperti sapi Bali dan PO. Padahal menurut Noor (2008), sapi lokal adalah sapi yang terbaik untuk lokal setempat karena sapi-sapi tersebut mampu bertahan hidup berdasarkan seleksi alam selama bertahun-tahun. Demikian halnya Sapi Katingan yang mampu bertahan hidup dengan reproduksi yang baik walaupun dengan manajemen ekstensif tradisional, di daerah yang kondisi cuacanya relatif ekstrim, keterbatasan sumberdaya pakan terutama kualitasnya, lahan masam (pH rendah) dan diduga defisiensi mineral tertentu (Darmono 2009). Eksistensi Sapi Katingan ke depan mulai terancam. Populasi sapi berkembang lambat dan cenderung stagnan. Pemasaran dan perkembangan sapi yang hanya di seputaran wilayah tertentu dikhawatirkan memudahkan terjadinya kasus inbreeding ditambah lagi dengan masuknya sapi lokal lainnya mengakibatkan sering terjadi crossbreeding. Hal-hal tersebut dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya erosi genetik. Mengingat belum pernah ada penelitian tentang Sapi Katingan, informasi dasar tentang sapi tersebut sangat minim bahkan tidak ada, seperti data produktivitas ternak, morfometrik, genetik, lingkungan budidaya, ketrampilan peternak dan inovasi teknologi yang diterapkan. Astuti et al. (2007) juga melaporkan tidak ada data mengenai Sapi Katingan. Padahal informasi-informasi tersebut sangat penting terkait dengan keberhasilan program pelestarian, pemanfaatan dan pengembangannya di masa yang akan datang. Melihat sangat terbatasnya informasi-informasi penting terkait dengan kesuksesan pengembangan sapi lokal Kalimantan Tengah, perlu dilakukan penelitian yang sifatnya eksploratif sebagaimana dengan alur pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.
5
Sapi Katingan: sapi lokal Kalimantan Tengah
Potensi: - Sebagai sumber plasma nutfah daerah/nasional - Potensi ekonomi keluarga dan daerah - Nilai kultural dan sejarah masyarakat Dayak
Permasalahan: - Informasi potret budidaya sangat minim - Populasi rendah dan berkembang hanya pada wilayah tertentu - Data dasar ternak tidak ada - Ancaman erosi genetik (inbreeding dan crossbreeding)
Penelitian Eksploratif Kabupaten Katingan (Populasi)
Kec. Tewah Sanggalang Garing Pendahara (subpopulasi)
Kec. Pulau Malan Buntut Bali (subpopulasi)
Kec. Katingan Tengah Tbg. Lahang (subpopulasi)
Lapangan dan Laboratorium: - Eksistensi sapi Katingan - Keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya - Profil reproduksi: umur pubertas dan tingkah laku kelamin
Profil dan strategi konservasi Sapi Katingan
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian.
6
Tujuan Penelitian Tujuan Jangka Pendek Berdasarkan uraian di atas dilakukan rangkaian penelitian yang bertujuan: 1. Mengamati eksistensi sapi lokal Kalimantan Tengah yang dikenal dengan nama Sapi Katingan di daerah aliran sungai Katingan yang meliputi kegiatan budidaya, lingkungan, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan dan prospek ke depan. 2. Merumuskan strategi pelestarian dan pengembangannya di Kalimantan Tengah. 3. Mempelajari keragaman fenotipik, genetik dan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lainnya. 4. Mempelajari profil reproduksi sapi betina dalam penentuan umur pubertas dan reproduksi sapi jantan dari aspek tingkah laku kelamin.
Tujuan Jangka Panjang 1. Meningkatkan produksi dan reproduksi sapi serta strategi pemanfaatannya secara lestari berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. 2. Menempatkan Sapi Katingan sebagai salah satu plasma nutfah sapi lokal di Indonesia. 3. Meningkatkan peran serta secara aktif Pemerintah Daerah dalam peningkatan populasi Sapi Katingan. 4. Melestarikan nilai kultural masyarakat Dayak melalui pelestarian Sapi Katingan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam upaya: (1) optimalisasi reproduksi Sapi Katingan, (2) perbaikan mutu genetik sapi melalui program seleksi, dan (3) penentuan kebijakan mengenai perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan Sapi Katingan secara berkelanjutan yang sudah barang tentu secara simultan akan ikut meningkatkan peran sapi tersebut dalam mendukung kecukupan daging daerah dan pemberdayaan masyarakat Dayak.
7
TINJAUAN PUSTAKA Plasma Nutfah Ternak Sapi Indonesia dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah menciptakan
keanekaragaman
hayati
yang
sangat
tinggi.
Di
dalam
keanekaragaman hayati, terdapat keragaman di dalam jenis yang disebut plasma nutfah. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis (Sumarno 2002). Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal (Kurniawan et al. 2004). Plasma nutfah yang ada harus dipertahankan eksistensinya atau keberadaannya, karena plasma nutfah merupakan aset negara yang tak ternilai. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Upaya mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, maka perlu perhatian dalam bentuk kegiatan inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi) (Azmi et al. 2006). Keanekaragaman bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik ternak asli dan impor. Keanekaragaman ternak menurut Subandriyo dan Setiadi (2003) penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Punahnya keanekaragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak hingga saat ini. Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan plasma nutfah ternak yang lebih beragam. Sarbaini (2004) mengelompokkan ternak sapi Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi, dan (3) ternak impor. Beberapa diantara sumberdaya ternak sapi tersebut menurut
Utoyo (2002) dan Martojo (2003)
adalah Sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti Sapi Pesisir, Sapi Aceh, Sapi Madura, Sapi Sumba Ongole (SO) dan Sapi Peranakan Ongole (PO). Diperlukan upaya untuk mempertahankan ternak-ternak lokal di suatu daerah atau negara karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan
8
keadaan lingkungan baik terhadap makanan yang bernilai gizi rendah maupun penyakit terutama di daerah tropis. Dalam mempertahankan sumber daya genetik atau plasma nutfah ternak diperlukan langkah-langkah yang sistematis. Tahapan pengelolaan sumber daya genetik ternak menurut Turner (1981) adalah melakukan
dokumentasi,
evaluasi,
pengembangan
rencana
pemuliaan
(development of breeding plans) dan konservasi. Mengacu kepada UU No. 18 tahun 2009, upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan kedepan yaitu melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Hal ini masih mendapatkan hambatan karena inventarisasi terhadap potensi berbagai sumberdaya genetik ternak, distribusi, performans dan perkembangan masih belum lengkap sehingga sangat sulit dilakukan kebijakan-kebijakan yang strategis khususnya arah dan program kerja manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya genetik ternak baik secara morfologis maupun genetik (Azmi et al. 2006). Keberadaan plasma nutfah tidak mempunyai arti tanpa pemberdayaan melalui karakterisasi dan evaluasi serta pemanfaatan untuk kesejahteraan. Menurut KNPN (2002), pemanfaatan plasma nutfah ternak secara umum ada tiga macam, yaitu : 1. Penggunaan rumpun ternak asli (lokal) sebagai rumpun murni secara terus menerus. Hal ini diterapkan apabila rumpun ternak impor tidak akan lebih baik hasilnya dibandingkan dengan ternak asli (lokal), bahkan ternak asli (lokal) lebih baik mutunya dibandingkan dengan rumpun impor pada kondisi lingkungan tertentu. Keadaan ini dapat terjadi apabila kondisi produksi dan pasar statis. 2. Membentuk rumpun baru melalui persilangan. Apabila kondisi produksi atau pasar berubah secara cepat, maka pembentukan rumpun yang sesuai dengan persilangan dapat dicapai dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dengan menggabungkan rumpun-rumpun yang tersedia. Rumpun baru ini dikenal sebagai rumpun komposit atau sintetis.
9
3. Penggantian rumpun. Perubahan pasar dan kondisi produksi dapat mengakibatkan banyak rumpun yang tidak sesuai untuk digunakan lagi. Pada masa lampau penggantian rumpun dilakukan secara bertahap melalui metode silang balik berulang (repeated back cross atau grading up) terhadap suatu rumpun.
Keragaman Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak memiliki sistem pencernaan dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara individu satu dengan individu lain dalam populasi terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pemuliaan (Sutarno 2009). Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang peranan penting dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada variasi genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Populasi ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun outcrossing akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya peningkatan mutu genetik ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi yang ketat sehingga kemajuan genetik yang diperoleh akan lebih besar (Soeroso 2004). Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah dilakukan. Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Sutarno 2009). Keragaman
dalam
populasi
dibedakan
keragaman
fenotipik
dan
keragaman genetik (Noor 2008). Keragaman fenotipik lebih banyak digunakan pada kegiatan pemuliaan praktis. Dewasa ini keragaman genetik melalui teknologi
10
molekuler telah berkembang dengan pesat sejak ditemukannya PCR, marker dan teknologi sekuensing (Hanotte & Jianlin 2005).
Keragaman Fenotipik Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi. Keragaman pada sapi dapat dilihat dari ciri-ciri (karakteristik) yang dapat diamati atau terlihat secara langsung. Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994; Noor 2008). Potensi biologik seekor ternak diukur berdasar kemampuan produksi dan reproduksinya dalam lingkungan pemeliharaan yang tersedia, karena data kuantitatif potensi biologik yang berupa fenotipe produksi dan reproduksi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tempat ternak dipelihara. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Populasi Sapi Jawa yang menyebar pada lokasi-lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman performan yang tinggi pada beberapa sifat kuantitatif, hal ini disebabkan karena kondisi pakan pada setiap lokasi tidak sama (Soeroso 2004), kondisi yang relatif sama dilaporkan oleh Bugiwati (2007) pada Sapi Bali di Sulawesi Selatan. Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifatsifat penting yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas yang bersangkutan. Karakterisasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Sarbaini 2004; Noor 2008). Ukuran-ukuran tubuh yang merupakan sifat kuantitatif mempunyai peranan yang penting untuk melihat produktivitas ternak. Rekwot et al. 2000 dan Ho Son et al. 2001 melakukan penelitian dengan menghubungkan antara sifat kuantitatif (bobot badan) dengan umur pubertas sapi. Ukuran-ukuran tubuh banyak dikaitkan dengan bobot badan. Pada sapi ukuran tubuh yang digunakan untuk menentukan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan Abdullah (2008).
11
Warna bulu dan bentuk tanduk merupakan bentuk ekspresi gen lainnya selain ukuran tubuh yang dikenal dengan sifat kualitatif (Noor 2008). Sifat kualitatif menurut Soeroso (2004) dan Noor (2008) tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungan (lokasi penyebaran), oleh karena itu sifat kualitatif seperti warna bulu kulit memiliki keragaman yang rendah. Warna bulu kulit pada sapi dan mamalia disebabkan kehadiran melanin. Melanin ada 2 tipe yaitu eumelanin yang responsif terhadap warna hitam dan coklat dan phaeomelanin yang responsif terhadap warna merah dan kuning (Russo & Fontanesi 2004). Menurut Fries dan Ruvinsky (1999), hewan-hewan dengan warna bulu terang yang menutupi kulit berpigmen gelap akan beradaptasi dengan baik di daerah tropis dimana tingkat radiasi mataharinya tinggi.
Keragaman Genetik Studi genetik sangat diperlukan pada kegiatan konservasi. Riwantoro (2005) menjelaskan bahwa konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana pemanfaatan sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 konservasi adalah sebagai pengawetan, yaitu suatu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Pelestarian keragaman sumberdaya genetik penting dan diperlukan untuk mengantisipasi perubahan. Keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakitpenyakit yang ada di alam. Berkembangnya teknologi molekuler maka keragaman genetik, kesamaan genetik dan jarak genetik populasi sapi yang berasal dari berbagai wilayah dapat dipelajari (Astuti 2004). Menurut Metta et al. (2004) karakterisasi molekuler rumpun sapi adalah penting untuk mencegah erosi genetik karena adanya crossbreeding. Polimorfisme protein adalah marker molekuler pertama yang digunakan pada ternak yang dikenal sebagai allozyme. Sejumlah besar penelitian tersebut
12
telah didokumentasikan terutama pada periode tahun 1970an (Hanotte & Jianlin 2005). Adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah yang merupakan polimorfisme biokimia (misalnya albumin, alkaline phosphatase, transferrin dan lain-lain), sel darah merah (acid phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase dan sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta dan sebagainya) juga merupakan keragaman yang dapat dilihat pada sapi (Handiwirawan & Subandrio 2004). Lebih lanjut dikatakan Handiwirawan dan Subandrio (2004) bahwa jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme (dengan menggunakan prosedur elektroforesis),
yang
merupakan
cerminan
adanya
perbedaan
genetis.
Polimorfisme biokimia yang diatur secara genetis dijelaskan oleh Maeda et al. (1980) sangat berguna untuk membantu penentuan asal usul dan menyusun hubungan filogenetis antara spesies-spesies. Namun demikian menurut Hanotte dan Jianlin (2005), level polimorfisme yang diamati pada protein sering rendah sehingga akan mempengaruhi studi keragaman. Berkembangnaya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, polimorfisme berbasis DNA sekarang menjadi pilihan utama untuk studi keragaman genetik. Berthouly et al. (2008) melaporkan bahwa berbagai penelitian tentang keragaman genetik berbasis DNA molekuler muncul sekitar tahun 1990an. Salah satu marker DNA molekuler tertua yang digunakan untuk mengkaji keragaman adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLPs). Dewasa ini teknologi molekuler banyak dikembangkan untuk mempelajari keragaman genetik pada berbagai variasi sapi seperti RFLP, AFLP, SNP, mikrosatelit, dll. (Shashikanth & Yadav 2003). DNA mikrosatelit nampaknya banyak digunakan dan menjadi pilihan terbaik sebagai alat molekuler untuk karakterisasi rumpun sapi (Metta et al. 2004). Berbagai bangsa sapi di Indonesia dan di dunia telah diteliti keragaman genetiknya dengan menggunakan mikrosatelit (Pereira et al. 2003; Kim et al. 2004; Ibeagha et al. 2004; Metta et al. 2004; Sarbaini 2004; Liron et al. 2006; Nguyen et al. 2007; Sun et al. 2008; Abdullah 2008; Hartati 2010). DNA mikrosatelit merupakan rangkaian molekul DNA pendek yang susunan basanya berulang, biasanya terdiri dari 1 sampai 6 pasang basa (bp)
13
panjangnya, yang mana diulang bisa sampai maksimum 60 kali. Mikrosatelit mempunyai polimorfisme dan tingkat mutasi yang tinggi. Tingginya polimorfisme mikrosatelit disebabkan oleh variasi dalam jumlah unit ulangan (Masle 2007). Penyebab utama mutasi dikarenakan adanya mekanisme replikasi slippage (Ellegren 2004). Laju mutasi yang cepat dari DNA mikrosatelit lebih disebabkan oleh perubahan jumlah basa berulang yang mengalami penambahan atau pengurangan dibandingkan dengan perubahan pada urutan basa (Jeffreys et al. 1991). Tingkat mutasi mikrosatelit dilaporkan kira-kira 10-3 – 10-6 (Zhang & Hewitt 2003; Masle 2007).
Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity Dewasa kelamin atau pubertas adalah umur atau waktu dimana alat kelamin mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat berlangsung (Helbig 2005). Partodihardjo (1982) mengemukakan bahwa pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan atau betina dimana proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai oleh kemampuan untuk pertamakalinya memproduksi benih dan selain itu menurut Levaseur dan Thibault (1980) juga memperlihatkan kelakuan kelamin yang kompleks. Pubertas merupakan manifestasi kerja hormonal dan perubahan level hormon (Lunstra et al. 1978). Pubertas pada sapi jantan didefinisikan sebagai fase perkembangan tubuh yang kelenjar gonadnya mensekresikan sejumlah hormon dalam jumlah yang cukup untuk mempercepat (merangsang) pertumbuhan organ kelamin dan munculnya sifat-sifat kelamin sekunder (Toelihere 1985; Helbig 2005). Pubertas dimulai dengan pembentukan sperma hidup di dalam ejakulatnya (Toelihere 1985). Sapi dikatakan telah mencapai pubertas apabila jumlah sperma paling tidak mencapai 50 x 106/ml dan motilitas 10% (Lunstra et al. 1978; Brito et al. 2004; Casas et al. 2007; Devkota et al. 2008). Adapun hormon yang berperan dalam proses pubertas pada hewan jantan ialah androgen (Soeparna 1984), utamanya adalah testosteron (Lunstra et al. 1978; Helbig 2005). Pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur pada saat pertama kali munculnya estrus dan terjadi ovulasi (Senseman 1989; Elmer 1981). Hormon yang berperanan adalah estrogen
dan progesteron (Hardjopranjoto 1983).
14
Pubertas terjadi ketika hormon gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk mengawali pertumbuhan folikel, pemasakan oosit dan ovulasi. Pertumbuhan folikel dapat dideteksi beberapa bulan sebelum pubertas (Elmer 1981). Umur permulaan pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur ketika konsentrasi serum progesteron >1 ng/ml (Cooke & Arthington 2009; Getzewick 2005; Sargentini et al. 2007). Pubertas
tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Hewan
masih memerlukan waktu untuk mencapai level optimum atau dikenal mencapai dewasa kelamin (sexual maturity). Contohnya pada kerbau jantan menurut Cool dan Entwisle (1989) saat pubertas produksi harian sperma > 0.5 x 106 per gram parenkim testis, sedangkan dewasa kelamin dicapai saat produksi harian sperma mencapai 14 x 106 per gram parenkim testis.
Tingkah Laku Kelamin Hafez (1969) membagi sembilan bentuk dasar tingkah laku hewan, salah satunya adalah tingkah laku kelamin (sexual behavior). Tingkah laku kelamin betina tergantung pada keseimbangan sirkulasi endokrin, yang dikontrol oleh sekresi ovarium, terutama estrogen. Betina ketika estrus menjadi receptive mereka menaiki atau dinaiki oleh sapi betina lainnya dan ini berlangsung sekitar 1 hari. Tingkat tingkah laku kelamin ditentukan oleh genetik, faktor lingkungan, faktor fisiologis, kesehatan dan pengalaman sebelumnya (Hafez & Hafez 2000). Sapi betina akan menerima pejantan hanya selama benar-benar periode estrus. Pejantan mendeteksi pro-estrus betina sekitar 2 hari sebelum estrus (Albright et al. 1997). Ketika sapi betina mencapai estrus, pejantan menjadi sangat bergairah dan mengikuti betina dari dekat, menjilati dan membaui organ genital luar dan sering memperlihatkan flehmen (Jacobs et al. 1980). Sapi yang estrus akan menunjukkan tanda-tanda menaiki dan dinaiki oleh sapi lain baik yang jantan maupun betina. Periode ini (mounting) berlangsung 1 – 18 jam dengan ratarata sekitar 4.4 jam. Selama periode estrus betina meningkatkan frekuensinya mengeluarkan urin sehingga pejantan mendapatkan contoh baik bau maupun rasa urin betina (Phillips 1993). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pejantan menggunakan lidah untuk mentransfer (kemungkinan urin)
ke bantalan gigi,
15
kemudian di transfer ke organ vomeronasal (Jacobs et al. 1980) yang dipertimbangkan menjadi tempat identifikasi feromon. Libido dan kemampuan kopulasi (mengawini) adalah dua sifat penting pada pejantan, tanpa kedua sifat tersebut menjadikannya sebagai pejantan afkir (Chenoweth 1983). Libido menurut Tomaszewska (1991) adalah kesediaan dan keinginan untuk menaiki, mengawini dan menginseminasi betina. Sedangkan kemampuan kawin atau kopulasi adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan secara lengkap. Tingkah kawin menurut Chenoweth (1981) adalah tingkah laku yang muncul/ditunjukkan sebelum, selama dan setelah pelayanan. Ditambahkan oleh Chenoweth (1982) bahwa libido dan kemampuan untuk kawin adalah sangat penting pada sapi jantan dan dua sifat tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetik. Interaksi kelakuan kelamin jantan yang menghasilkan kopulasi dibagi menjadi 4 fase utama yaitu: pencarian pasangan seksual, penentuan keadaan fisiologis pasangan seksual, rangkaian interaksi kelakuan kelamin yang menghasilkan penyesuaian bentuk perkawinan oleh hewan betina, dan reaksi menaiki betina kemudian kopulasi. Munculnya kelamin sebenarnya dimulai oleh hewan betina. Peranan hewan betina saat estrus sangat penting terhadap hewan jantan yang sedang mencari pasangan seksual. Pada saat estrus hewan betina mengeluarkan tanda-tanda yang menarik perhatian pejantan (Alexander et al. 1980). Kelakuan kelamin hewan jantan menunjukkan rangkaian pola tertentu. Pola tersebut hampir sama pada semua spesies, hanya bentuknya berlainan. Rangkaian pola tersebut mengarah ke satu sasaran ialah kopulasi (Bailey 2003). Senger (1999) membagi rangkaian pola tingkah laku kelamin ke dalam beberapa stadium, yaitu tingkah laku pre-kopulatori, kopulatori dan post-kopulatori. Pada stadium pre-kopulatori, komponen-komponennya adalah mencari pasangan yang dilanjutkan dengan rayuan (courtship), dorongan seksual (sexual arousal), ereksi dan penile protrusion. Selama stadium kopulatori terjadi menaiki (mounting) diikuti intromisi dan ejakulasi. Sedangkan pada stadium post-kopulatori, pejantan turun (dismounting) dan rasa puas (refraktories). Respon flehmen terjadi pada stadium pre-kopulatori.
17
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penentuan tempat penelitian dilakukan secara stratified purposive sampling (Supranto 1998), yaitu berawal dari penentuan di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa yang dipilih berdasarkan lokasi yang padat ternak dan masing-masing lokasi agak terisolir sebagai sub populasi. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Katingan sebagai tempat populasi sapi lokal Kalimantan Tengah dan di tiga
kecamatan sebagai
subpopulasi, yaitu masing-masing di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing dengan konsentrasi lokasi di Kelurahan Pendahara, Kecamatan Pulau Malan dengan konsentrasi lokasi di Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah dengan konsentrasi lokasi di Desa Tumbang Lahang. Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang secara geografis terletak pada daerah aliran sungai (DAS) (Gambar 2) yaitu pada sabuk meander (meander belt) sungai Katingan dengan posisi ordinat berturut-turut: 113o17’35“ BT – 01o46’48” LS (Pendahara), 113o15’48“ BT – 01o41’13” LS (Buntut Bali) dan 113o08’00“ BT – 01o31’15” LS (Tumbang Lahang) dengan ketinggian tempat berada pada kisaran 0-700 meter diatas permukaan laut (Puslittanak 1996). Ke tiga lokasi penelitian dihubungkan oleh jalan darat yang berupa jalan tanah dan transportasi sungai. Jarak tempuh dari Pendahara ke Buntut Bali sekitar 1.5 jam, sedangkan dari Buntut Bali ke Tumbang Lahang sekitar 2 jam. Sarana transportasi darat untuk umum berupa kendaraan roda empat relatif jarang. Sarana transportasi sungai masih dimanfaatkan terutama ketika terjadi banjir di musim penghujan. Pada musim penghujan sering terjadi banjir yang mengakibatkan jalan darat antar lokasi sulit dilalui. Banjir terjadi hampir setiap tahun dengan jangka waktu lama, dengan demikian wilayah penelitian merupakan wilayah potensi banjir. Mengingat kondisi wilayah yang seperti itu mobilitas ternak sapi di ketiga lokasi relatif rendah, sehingga kontak ternak antar masing-masing lokasi juga relatif jarang, oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini digunakan sebagai peubah kelompok (subpopulasi).
18
LOKASI PENELITIAN
(Sumber: Bhermana 2010)
(Sumber: http://4.bp.blogspot.com/_mXBGNd5VbjU/TNPXUOVuILI/AAAAAAAAD3c/wMR0FRNTKN8/S1 600-R/indonesia-map+1.gif)
Gambar 2 Peta lokasi kegiatan penelitian Sapi Katingan.
19
Banjir yang sering terjadi di lokasi kegiatan penelitian berdampak pada sulitnya pelaksanaan kegiatan penelitian yang sifatnya monitoring rutin pada interval hari atau minggu tertentu. Penelitian dilaksanakan selama 15 bulan, terdiri dari kegiatan penelitian lapang selama 6 bulan (November 2009 - April 2010) dan selama 9 bulan (Mei 2010 - Januari 2011) di laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan dan di laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Lapang Bahan penelitian yang digunakan adalah peternak lokal, sebagai pembanding ternak Sapi Katingan, Sapi Bali, PO dan Sapi Limousin, lingkungan pemeliharaan dan lembaga pendukung. Peternak yang melakukan kegiatan bidadaya Sapi Katingan adalah masyarakat lokal yang dikenal dengan nama suku Dayak. Kata Dayak mempunyai arti sungai, suku Dayak artinya suku yang bermukim di sepanjang tepi sungai oleh karena itu masyarakat Dayak tidak bisa dipisahkan kehidupannya dari sungai dan hutan. Masyarakat Dayak yang memelihara Sapi Katingan di lokasi penelitian adalah dari suku Ngaju, merupakan suku Dayak terbesar di Kalimantan Tengah. Peralatan yang digunakan meliputi peralatan lapang untuk pengukuran parameter tubuh sapi (mistar dan pita ukur), untuk pengambilan contoh darah (tabung vakuntainer tanpa antikoagulan dan venojek), peralatan dokumentasi (kamera dan handycam), GPS dan alat untuk pengamatan sapi dari jarak agak jauh (binokuler).
Laboratorium Bahan penelitian laboratorium meliputi darah Sapi Katingan dalam alkohol absolut (96%) untuk pemeriksaan DNA mikrosatelit, serum Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon progesteron, bahan ekstraksi DNA, PCR dan gel akrilamid, KIT RIA progesteron dan bahan pemeriksaan hormon progestron.
20
Peralatan utama yang digunakan pada analisis DNA mikrosatelit adalah mesin PCR, elektroforesis, sedangkan pada pemeriksaan hormon progestron peralatan utama adalah gamma counter.
Metode Penelitian Kegiatan yang dilakukan merupakan kombinasi antara penelitian lapang dengan metode survei dan monitoring, serta pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan informasi: (1) gambaran umum kegiatan budidaya Sapi Katingan di DAS Katingan, (2) keragaman fenotipik dan genetik, (3) umur pubertas sapi betina dan (4) tingkah laku kelamin sapi jantan. Kegiatan lapang meliputi wawancara dengan para peternak, petugas lapang dan institusi terkait lainnya. Pengukuran parameter tubuh sapi, inventarisasi bentuk tanduk dan warna sapi serta dokumentasi sapi Katingan. Pengambilan contoh darah pada Sapi Katingan dan beberapa sapi lokal lainnya untuk analisis keragaman genetik dan kekerabatannya dengan menggunakan DNA mikrosatelit dan contoh darah dari individu-individu Sapi Katingan betina berbagai variasi umur untuk melihat konsentrasi hormon progesteron dalam rangka menentukan umur permulaan pubertas. Pengamatan tingkah laku reproduksi Sapi Katingan di dilakukan pada sekelompok Sapi Katingan yang dipelihara secara ekstensif tradisional. Estimasi fertilitas pejantan pada manajemen pemeliharaan tersebut dilakukan melalui pengukuran lingkar skrotumnya. Kegiatan laboratorium dilakukan untuk melihat keragaman genetik dengan analisis DNA mikrosatelit menggunakan metode modifikasi Sambrook et al., yaitu meliputi tahapan ekstraksi DNA, PCR dan elektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid 6% (Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Analisis hormon progesteron menggunakan KIT RIA untuk menentukan umur permulaan pubertas Sapi Katingan betina. Data dianalisis secara diskriptif untuk informasi yang bersifat kualitatif dan secara statistik untuk yang bersifat kuantitatif. Untuk memudahkan analisis data digunakan software SPSS dan Popgene 3.2.
21
EKSISTENSI, STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH ABSTRACT
General information of activities related to raising of Katingan Cattle by Dayak people including farming, Katingan Cattle, environment and technology aspect were obtained from survey activity, interview (primer data) and secondary data. The information usefull to find out the existency of Katingan Cattle and it will be used also to arrange conservation strategy of Katingan Cattle using SWOT analysis. The Research was conducted in three subdistricts, those were Tewah Sanggalang Garing subdistrict with focus location in Pendahara, Pulau Malan subdistrict with focus location in Buntut Bali and Katingan Tengah subdistrict with focus location in Tumbang Lahang. Fifteen to twenty respondens from each of locations used in this research in order to collect primary information. The respondens were choose based on purposive sampling and the data was collected by Participatory Rural Appraisal (PRA) method. Quisionary also used in order to the information focused on the topic. The results gave information that Katingan Cattle is more valueable than other local cattle due to the value of cultural heritage. The cattle gave contribution toward household income about 18-28%, second greatest after rubber commodity (46-57%). Based on biophysic condition, human resources and their experience in raising of the cattle, the Katingan Cattle can be increased their productivity in the area. Improving their productivity should be done by various aspects including farmer, cattle, environment and technology aspect without forget about social cultural and religion of local people. Based on SWOT analysis, the strategy conservation of Katingan Cattle was aggressive strategy in term of short term programme should be arranged. The strategy was recommended also based on the strengths and the opportunity factors. Although the conservation of Katingan Cattle in term of population number in stable condition which was naturally maintenanced by custom of Dayak people, the role of local Government is needed for instance technology, institution and acces in capital aspect in order to increase population and household income of local farmer.
Key words: Katingan cattle, existency, conservation strategy
ABSTRAK
Informasi potret kegiatan budidaya Sapi Katingan yang meliputi aspek peternak, ternak, lingkungan dan teknologinya diperoleh melalui kegiatan survei, wawancara (data primer) dan dari data sekunder. Informasi tersebut berguna untuk mengetahui eksistensi sapi Katingan saat ini dan juga sekaligus digunakan untuk
22
menyusun strategi konservasi Sapi Katingan melalui analisa SWOT. Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan yaitu di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Keluarahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai responden dalam penggalian informasi primer. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan secara purposive sampling dan pengumpulan data dilakukan dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Agar informasi yang dikumpulkan lebih terarah dibekali dengan daftar isian pertanyaan. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa nilai lebih dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal lainnya adalah nilai kulturalnya yang tinggi. Kontribusinya bagi pendapatan keluarga adalah sebesar 18-28%, kedua terbesar setelah komoditas karet. Berdasarkan kondisi biofisik lingkungan, SDM dan pengalaman beternak yang ada sangat memungkinkan Sapi Katingan bisa dikembangkan lebih baik lagi di lokasi habitatnya sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi dan reproduksi Sapi Katingan dilakukan melalui perbaikan berbagai aspek budidaya meliputi aspek peternak, ternak sapi, lingkungan dan teknologi dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya dan agama masyarakat setempat. Berdasarkan analisis SWOT pelestarian Sapi Katingan dilakukan melalui strategi yang bersifat agresif jangka pendek berdasarkan pertimbangan faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki. Walaupun kelestarian Sapi Katingan secara alami terjaga oleh adat istiadat yang ada namun demikian diperlukan dukungan pemerintah (teknis, kelembagaan, akses permodalan) untuk meningkatkan populasi dan pendapatan peternak.
Kata-kata kunci: Sapi Katingan, eksistensi, strategi pelestarian
PENDAHULUAN Kalimantan Tengah memiliki beberapa plasma nutfah ternak yang telah dibudidayakan sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat setempat, diantaranya adalah kerbau rawa, babi lokal dan sapi potong lokal. Sapi lokal Kalimantan Tengah khusus dipelihara oleh masyarakat Dayak di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan, sehingga diberi nama sebagai sapi Katingan, sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Keberadaan sapi yang jauh di pedalaman Kalimantan Tengah, yaitu di Kabupaten Katingan dengan infrastruktur yang minim membuat sapi-sapi ini kurang mendapatkan perhatian pengembangannya. Kebijakan Pemerintah Daerah lebih banyak mendatangkan sapi-sapi dari luar (utamanya Sapi Bali) untuk membantu
23
meningkatkan populasi sapi. Populasi Sapi Katingan belum diketahui secara pasti, demikian juga dengan berbagai aspek yang terlibat dalam kegiatan budidaya sapi tersebut. Nilai kompetitif dari Sapi Katingan dibandingkan dengan sapi lokal lainnya adalah nilai kulturalnya sehingga untuk sapi-sapi tertentu harga jualnya lebih mahal dan dari segi rasa daging Sapi Katingan lebih disukai. Manajemen pemeliharaan yang terbatas pada etnis tertentu dan pada wilayah tertentu dikhawatirkan sapi tidak bisa berkembang secara maksimal bahkan dimungkinkan akan terjadi erosi genetik seiring makin gencarnya sapisapi lokal lainnya yang dikembangkan melalui berbagai aktivitas (penyebaran dan introduksi inseminasi buatan). Sapi Katingan merupakan plasma nutfah yang mempunyai potensi untuk dirakit menjadi strain unggul hewan atau ternak, oleh karena itu menurut Riwantoro (2005) keberadaan plasma nutfah ternak lokal di berbagai daerah perlu diidentifikasi secara baik sehingga dapat dilakukan konservasi dengan tepat. Konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang, dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya (Riwantoro 2005). Secara singkat konservasi
meliputi
kegiatan
perlindungan,
pengawetan,
pemeliharaan,
rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan (Komisi Nasional Plasma Nutfah 2002). Dalam kegiatan konservasi Sapi Katingan permasalahan yang dihadapi adalah masih sedikitnya informasi dari semua aspek, yaitu produksi, reproduksi, lingkungan, manajemen pemeliharaan, ketrampilan petani yang mengelola, aspek genetik, dll. Oleh karena itu salah satu tahapan yang digali pada penelitian ini adalah dalam rangka untuk mengetahui gambaran umum kegiatan budidaya Sapi Katingan sekaligus untuk menentukan strategi pelestarian dan pengembangannya.
24
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian dilakukan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Katingan, yaitu Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Kelurahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali) dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Kegiatan penelitian difokuskan pada identifikasi kegiatan budidaya Sapi Katingan, lingkungan budidaya, potensi sumberdaya pendukung, permasalahan dan prospek pengembangan. Berbagai informasi yang diperlukan sebagai bahan penelitian diperoleh dari peternak sapi Katingan, petugas lapangan, petugas Dinas Pertanian Kabupaten Katingan dan petugas dari institusi terkait (kecamatan, kelurahan dan UPTD). Sebanyak 15-20 orang dari masing-masing lokasi penelitian dijadikan sebagai responden dalam penggalian informasi primer.
Metode Pembangunan peternakan yang tangguh menurut Darmawan (2003) merupakan interaksi 4 variabel, yaitu (1) peternak, subyek yang harus dijamin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan, (2) ternak, obyek yang ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan, basis ekologi yang mendukung pakan dan lingkungan budidaya, dan (4) teknologi, alat/rekayasa untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu penggalian informasi dan monitoring data difokuskan pada 4 variabel tersebut. Selain itu juga terhadap ketersediaan subsistem pendukung dan kebijakan pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah antara kebijakan dan aplikasi di lapangan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah diskriptif, yaitu melalui kegiatan survei, data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara dengan peternak, petugas dinas, petugas lapangan dan informan kunci. Teknik pengambilan contoh responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu dilakukan pemilihan secara sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) (Badan Litbang Pertanian 2006). Agar informasi yang
25
dikumpulkan lebih terarah digunakan daftar isian pertanyaan (Lampiran 1). Selain wawancara dilakukan kunjungan dan pengamatan lapang. Informasi (data primer) yang dikumpulkan diantaranya adalah sumber daya lahan dan ternak yang dimiliki, produktivitas usahatani (ternak dan tanaman), potensi sumberdaya pakan lokal dan pendapatan rumah tangga petani. Sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait meliputi data: kependudukan, iklim, tataguna lahan, jenis tanah, struktur organisasi lokal, data teknis peternakan, riwayat penyebaran ternak, dll.
Analisis Data Data yang diperoleh dilakukan analisa deskriptif melalui tabulasi dan dalam bentuk grafik. Tabulasi dimaksudkan untuk mempermudah proses analisis serta untuk memberikan gambaran tentang distribusi data dari seluruh responden. Terkait dengan strategi pelestarian dan pengembangan plasma nutfah Sapi Katingan ke depan dilakukan analisis SWOT (Strengths, Opportunities, Weakness, Threats). Salah satu manfaat pendekatan analisis SWOT menurut Yusdja dan Ilham (2006) adalah kemampuannya mengarahkan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Sistem penilaian SWOT sering dianggap mempunyai kadar subyektivitas, namun dengan menggunakan informasi di lapang dan justifikasi para ahli menurut Yusdja dan Ilham (2006) sifat subyektivitas dapat dikurangi atau dengan kata lain hasil analisis dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Analisis SWOT dilakukan adalah untuk identifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam merumuskan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Katingan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor lingkungan strategis lokasi keberadaan Sapi Katingan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (bersifat kondisional).
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Kabupaten Katingan Kabupaten Katingan adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 17.500 Km2, terdiri atas 11 (sebelas) kecamatan serta 145 (seratus empat puluh lima) desa dan 7 (tujuh) kelurahan yang memiliki sumber daya alam yang potensial untuk pengembangan baik sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanian secara umum dan sektor perikanan. Salah satu prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan adalah pengembangan pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya adalah pembangunan peternakan. Pengembangan peternakan di Kabupaten Katingan masih berskala kecil ataupun usaha rumah tangga, sementara lahan yang tersedia sangat cocok untuk usaha ini. Melihat potensi yang ada sangat berpeluang untuk pengembangan peternakan terutama sapi potong. Perkembangan populasi ternak di Kabupaten Katingan dari tahun 2003 – 2007 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi ternak di Kabupaten Katingan tahun 2003-2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Ternak Sapi Potong Kerbau Kambing Domba Babi Ayam Potong Ayam Buras Ayam Petelur Itik Entok
2003 4.158 198 478 198 5.113 32.452 117.542 5.798 1.865
2004 4.328 213 524 211 5.259 32.730 117.692 6.085 1.916
Populasi 2005 4.331 233 524 251 5.613 32.730 117.716 6.085 2.687
2006 4.792 240 573 265 5.935 32.987 11.820 6.375 2.875
2007 5.132 252 586 273 6.324 33.012 12.326 6.985 2.995
(Sumber data : Dinas Pertanian Kabupaten Katingan 2008)
Berdasarkan daya dukung lahan dan sumber daya yang dimiliki, kabupaten Katingan mampu menampung kurang lebih 76.000 ekor sapi. Menurut laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten Katingan (2009), daerah yang berpotensi untuk
27
pengembangan sapi potong adalah Kecamatan Katingan Tengah, Pulau Malan, Tewang Sanggalang Garing dan Kecamatan Marikit.
Profil Lokasi Penelitian Luas Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Tumbang lahang masing-masing adalah 155 km2, 136 km2 dan 16.000 ha. Dimanfaatkan pada berbagai kegiatan usahatani, adapun luas lahan yang telah diusahakan disajikan pada Tabel 2. Lahan yang tersedia baik yang sudah diusahakan maupun yang belum berpotensi untuk pengembangan usahatani terutama ternak sapi.
Tabel 2 Tataguna lahan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang No.
1.
2.
Peruntukan Lahan
Lahan Sawah - Sawah tadah hujan - Sawah Lebak Lahan bukan sawah a. Lahan Kering - Padang penggembalaan - Perkebunan - Pekarangan - Ladang + Tegal - Sementara tidak diusahakan - Hutan rakyat b. Lahan lainnya - Rawa/sungai
Kelurahan/Desa Pendahara Buntut T. Lahang (ha) Bali (ha) (ha) 1.075 200 900 75 125 1.200 25.6 11 43 585 44.5 72 723 103 + 28 5.163.2 12.426 4.342.5 150 25
1.400
8.300 5.000
Sumber: UPTD Kec. Tewang Sanggaling Garing (2008); UPTD Kec. Pulau Mulan (2008); Monografi Desa Tumbang Lahang (2006)
Berdasarkan kondisi biofisik lingkungan (sumberdaya lahan dan iklim), tipe batuan dan mineral yang mendominasi ke tiga tempat tersebut adalah aluvial muda (recent alluvial) dengan landform berupa dataran yang sewaktu-waktu dapat tergenang. Pada beberapa lokasi dijumpai batuan kuarsit dan secara umum jenis batuan endapan yang terdapat di wilayah ini umumnya bersifat masam (Puslittanak 1996).
28
Kondisi topografi secara umum adalah merupakan dataran (flat) dengan kelas kelerengan < 2%. Ketinggian tempat ketiga lokasi penelitian berada pada kisaran 0-700 meter diatas permukaan laut. Hal ini menjadikan kawasan ini memiliki rejim suhu panas (isohyperthermic) dan rejim kelembaban yang lembab (udic). Suhu udara maksimum rata-rata berkisar antara 30-32oC dan suhu minimum 25oC dengan suhu rata-rata tahunan 27oC (Puslittanak 1996). Berdasarkan zona agroklimat wilayah ini masuk ke dalam zona B1 dengan jumlah bulan basah (>200 mm/bulan) antara 7 – 9 bulan dan bulan kering (<100 mm/bulan) kurang dari 2 bulan (Oldeman et al. 1980). Berdasarkan sistem lahan skala 1:250.000, jenis tanah yang terdapat pada tiga tempat penelitian didominasi ordo Entisols dengan group besar Tropofluvents dan Fluvaquents (Gambar 3). Jenis tanah ini secara geografis terdapat di sepanjang jalur sungai Katingan dimana terdapat Kelurahan Pendahara dan Desa Buntut Bali, menuju ke atas Desa Tumbang Lahang (Bhermana 2009). Jenis-jenis tanah aluvial ini berasal dari endapan baru yang berlapis-lapis dengan kandungan bahan organik yang tidak beraturan berdasarkan kedalamannya dan terbentuk pada jalur aliran sungai (Hardjowigeno 1987). Tanah-tanah ini memiliki nilai Corganik > 0.2% dengan pH tanah 4.0-4.5. Kondisi drainase tergolong buruk karena sebagian besar jenuh air dengan kandungan lempung hasil endapan sungai. Di wilayah Pendahara pada beberapa tempat di bagian sebelah Timur dijumpai gambut tipis hingga kedalaman 0-25 cm, sedangkan diwilayah Tumbang Lahang pengaruh tanah-tanah berpasir yang berasal dari jenis tanah Placaquods terdapat di bagian sebelah Barat dengan kandungan pasir < 60%. Komposisi kimia tanah secara umum tanah ordo Entisol pada ketiga wilayah ini memiliki tekstur lempung liat berpasir; reaksi tanah masam, C organik sangat rendah, N dan C/N sedang, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan basa (KB) rendah, P 2 O 5 total sedang, P 2 O 5 tersedia sangat rendah, K 2 O sangat rendah dan kejenuhan Aluminium (Al) tinggi (Hartomi et al. 2000). Tanah-tanah Aluvial yang terdapat pada ketiga wilayah desa tersebut secara umum merupakan tanah yang subur karena mengandung cukup hara akibat adanya endapan sungai. Hal ini memungkinkan untuk pengembangan pertanian
29
termasuk peternakan melalui pengembangan kawasan HMT sebagai pakan ternak dan kawasan penggembalaan (pasture).
Tumbang Lahang
Buntut Bali
Pendahara
Gambar 3 Peta sumberdaya lahan lokasi penelitian. Menurut Direktorat Perluasan Areal dan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air (2009) perluasan areal untuk pengembangan HMT dilakukan melalui pembersihan lahan, pengolahan tanah, pemupukan dan penanaman. Berdasarkan
30
konsep evaluasi lahan, faktor kendala utama yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan kawasan HMT (seperti: rumput gajah, Setaria, leguminosa, dan lain-lain)
dan kawasan penggembalaan (pasture) pada wilayah ini meliputi
drainase, bahaya banjir, dan kesuburan tanah (Balittanah 2003; Puslittanak 1994). Hal ini dapat diatasi melalui perbaikan dan pembuatan sistem tata air yang sesuai dengan lokasi dan pemupukan berimbang. Sebagai sumber air untuk peternakan dan pertanian berasal dari sungai dan rawa-rawa serta air hujan, dimana ketersediaan air juga tergantung dengan musim. Namun melihat bulan basah sampai 9 bulan pertahunnya, air nampaknya tidak begitu menjadi masalah.
Sarana dan Prasarana Pendukung Prasarana jalan lebih banyak didominasi jalan tanah sehingga kalau musim hujan jalan becek, beberapa titik tergenangi air, bahkan kadang sulit dilalui oleh kendaraan. Prasarana jalan sangat penting di lokasi ini karena untuk membantu pemasaran hasil-hasil pertanian dan perkebunan, seperti durian, pisang, rotan, karet, serta pasokan kebutuhan bahan pokok dari luar. Kelembagaan pendukung mempunyai peranan penting untuk memajukan kegiatan pertanian. Beberapa kelembagaan yang ada di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian di Kelurahan Pendahara, Desa buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang
No. Kelembagaan pendukung kegiatan pertanian 1. Kelompok Tani 2. Lembaga ekonomi - Bank - KUD 3. Pasca panen - Penggilingan padi - Kios saprodi
Pendahara
Buntut Bali
12
6
Tumbang Lahang 8
1
-
-
-
-
-
Sumber: UPTD Kec. Tewang Sanggaling Garing (2008); UPTD Kec. Pulau Malan (2008); UPTD Kec. Katingan Tengah (2008)
31
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduknya sebagian besar adalah penduduk asli suku Dayak Ngaju dan sedikit pendatang dari luar, seperti suku Jawa, Banjar, bahkan Madura. Struktur penduduk berdasarkan kelompok umur dan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 4. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian relatif rendah, yaitu didominasi tamatan SD. Tingkatan pendidikan sangat mempengaruhi terhadap kemajuan pembangunan pertanian di daerah tersebut. Sebagian besar penduduk mata pencahariaannya adalah bertani, seperti tanam padi, kebun karet, rotan, dll. Adopsi teknologi masih sangat rendah, mereka melakukan kegiatan pertanian masih secara tradisional secara turun temurun.
Tabel 4
No.
Struktur penduduk berdasarkan usia produktif, pendidikan, dan pekerjaan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang Uraian
1.
Usia produktif (<15 – 60)
2.
Pendidikan: - Tidak sekolah - Tidak tamat SD - Tamat SD/SLTP - Tamat SLTA
3.
Pekerjaan (per KK): - Petani - Pekebun - Peternak - Penangkap ikan - Lain-lain (jasa, pedagang, PNS,TNI/Polri):
Pendahara 1 974 54 197 855 342 (Total 2 859) 509
Buntut Bali*)
Tumbang Lahang 1 522
21 227 (SD) 70 (SLTP) 45
1 225 (secara umum)
36 40 12 196
Total KK: 793
46 (PNS) 356 (Swasta) 33 (Buruh) Total Orang: 1 614
Sumber: UPTD Kec. Tewang Sanggaling Garing (2008); UPTD Kec. Katingan Tengah (2008) *) Tidak ada data
32
Selain mata pencahariannya dari sektor tanaman pangan dan perkebunan, peternakan juga dikembangkan terutama ternak sapi dan babi. Adapun data populasi ternak di ketiga wilayah tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Populasi ternak di Kelurahan Pendahara (2008), Desa Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada tahun 2010 Jenis ternak
Sapi Potong Babi Kambing Ayam Buras Itik
Pendahara
Buntut Bali
209 110 12 450 13
150 105 0 350 20
Tumbang lahang 488 151 30 550 85
Sumber: UPTD Kec. Tewang Sanggaling Garing (2008); UPTD Kec, Pulau Malan; UPTD Kec. Katingan Tengah (2008)
Populasi sapi yang ada di Kelurahan Pendahara sebagian besar adalah sapi Katingan dan sebagian kecil Sapi Bali, demikian pula populasi sapi yang ada di Desa Tumbang Lahang campuran antara Sapi Katingan dengan sapi lain (Sapi Bali dan PO). Adapun untuk sapi yang ada di Buntut Bali populasinya hanya Sapi Katingan. Pemasaran ternak berkisar pada wilayah tersebut terkecuali pada harihari tertentu seperti hari Raya Qurban pemasaran sapi sampai keluar daerah. Kebanyakan yang dijual adalah sapi-sapi jantan dalam bentuk hidup tidak dipotong karena di ketiga lokasi tersebut tidak ada rumah pemotongan hewan. Harga jual sapi jantan berkisar antara Rp6 000 000,- - Rp10 000 000,-.
Profil Peternak Responden Sumberdaya Manusia (SDM) Umur responden sebagian besar dalam usia produktif (15-55 tahun) (Tabel 6), dengan demikian mayoritas responden masih relatif kuat untuk melaksanakan kegiatan on farm, off farm maupun non farm. Terlebih lagi adanya dukungan tenaga kerja dari keluarga baik istri maupun anak yang sebagian besar juga dalam usia produktif. Umur yang demikian mempunyai pengaruh terhadap masukanmasukan inovasi teknologi yang akan diberikan (Azizi & Hikmah 2008).
33
Tabel 6 Responden dan keluarga berdasarkan struktur umur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kisaran umur (Tahun) < 15 15 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 > 55
Suami (%) 0 0 0 26.1 50.6 23.3
Istri (%) 0 0 27.3 41.8 21.8 9.1
Anak (%) 11.1 37.1 37.0 14.8 0 0
Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur yang berpengaruh terhadap perilaku petani dalam mengakses informasi, teknologi, modal maupun pasar. Rata-rata tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah SD 38.9%, SLTP 16.7%, SLTA 33.3%, bahkan ada yang sarjana (S1) (Tabel 7). Walaupun tingkat pendidikan didominasi SD namun pengalaman bertani/beternak mereka cukup lama seusia umur para responden, karena umumnya mereka memelihara ternak secara turun temurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif dengan tingkat adopsi inovasi teknologi (Azizi & Hikmah 2008; Sumarno 2010).
Tabel 7 Tingkat pendidikan responden No.
Tingkat pendidikan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Buta huruf SD tidak tamat SD tamat SLTP SLTA S1
Jumlah (%) 0 0 38.9 16.7 33.3 11.1
Kegiatan Usahatani dan Model Pengelolaan Kegiatan responden pada umumnya adalah bertani dan sekaligus usaha sambilannya adalah berdagang dari hasil pertanian mereka (Tabel 8). Responden sebagian besar (77.8%) menanam padi, terutama padi lokal atau padi ladang yang berumur 6 bulan. Padi yang dihasilkan tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan hidup selama 1 tahun.
34
Tabel 8 Pekerjaan utama responden No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis pekerjaan
Jumlah (%)
Tani + Dagang (hasil pertanian) Buruh tani PNS + tani Swasta + tani Pegawai swasta (perusahaan)
77.8 0 11.1 11.1 0
Selain padi mereka mengusahakan pula tanaman perkebunan dan hortikultura sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tanaman perkebunan dan hortikultura pada umumnya adalah warisan dari orang tua atau leluhur mereka.
Tabel 9 Jenis tanaman yang diusahakan oleh responden No. Perkebunan 1. 2. 3.
Karet Rotan Kelapa Sawit
Jenis tanaman Jumlah Hortikultura (%) 20 Durian 10 Pisang 0 Langsat Rambutan
Jumlah (%) 100 100 50 85
Penghasilan responden selain dari kegiatan usahatani tanaman pangan dan perkebunan, juga memelihara ternak terutama sapi dengan skala kepemilikan 2-34 ekor dan babi 2-4 ekor. Ternak dan tanaman tidak dalam satu kegiatan yang terpadu (non integrated farming) tetapi secara mix farming dimana masingmasing subsistem produksi tidak saling mendukung. Output yang biasanya berupa hasil samping dari subsistem produksi, misalnya subsistem produksi ternak, tidak dijadikan input bagi subsistem produksi yang lain (tanaman). Sehingga dengan demikian belum ada pemanfaatan hasil samping dari komoditas dalam rangka menuju efisiensi usahatani. Manajemen pengelolaan usahatani merupakan tradisi turun temurun. Ternak (sapi) dipelihara secara ekstensif, dilepas dalam ranch dengan rata-rata luasan < 1 ha untuk 2 – 7 ekor sapi atau dibiarkan di lepas di hutan. Tidak ada pemeliharaan ternak secara khusus, pakan terbatas hanya di dalam ranch yang
35
berupa rumput alam yang tumbuh di dalamnya. Penyediaan air minum dilakukan dengan membuat kolam di dalam ranch, 3 – 10 hari peternak datang untuk mengontrol dan memberi air minum, selebihnya hanya mengandalkan air hujan. Tanaman perkebunan (karet) atau lebih tepatnya disebut hutan karet dan hortikultura (durian, langsat) relatif tanpa memerlukan perawatan, karena umumnya adalah tanaman yang berasal dari leluhurnya. Mereka hanya menunggu saat panen dan menjualnya. Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan andalan masyarakat Dayak. Produksi karet umumnya bagi hasil antara pemilik (40%) dengan penyadap (60%). Karet disadap setiap 2 hari sekali dan dalam 1 bulan ada 12 hari kerja. Tidak terkecuali juga pada budidaya tanaman padi, tidak memerlukan perawatan khusus karena mereka menanam padi ladang, setelah ditanam ditinggal untuk melakukan kegiatan usaha lainnya hingga tiba saatnya panen. Kegiatan lainnya yang mendatangkan penghasilan adalah mencari hasil hutan berupa rotan. Rotan banyak tumbuh di sekitar pemukiman dan menjadi mata pencaharian masyarakat sekitarnya. Rotan dijual dalam bentuk bahan baku, bukan dalam bentuk barang jadi.
Kontribusi Komoditas bagi Pendapatan Peternak Besarnya kontribusi komoditas terhadap pendapatan keluarga dilakukan analisis finansial berdasarkan informasi dari responden yang memiliki kegiatan usahatani secara campuran (mix farming) tanaman perkebunan, hortikultura, tanaman pangan dan ternak sapi selama kurun waktu 1 tahun. Komoditas yang diikutsertakan dalam penghitungan analisa finansial adalah dikhususkan pada komoditas yang memberikan kepastian pendapatan pada setiap tahunnya. Hasil kontribusi per komoditas terhadap pendapatan keluarga disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 4. Tanaman karet masih menjadi andalan bagi masyarakat Dayak karena lebih dari setengahnya (56-57%) kontribusi pendapatan keluarga disuplai dari komoditas ini. Ternak sapi menempati posisi kedua sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan keluarga (18-28%) dibandingkan dengan komoditas lainnya. Widjaja dan Firmansyah (2002) melaporkan kontribusi ternak sapi pada usahatani sayuran sebesar 11.3%, sedangkan Priyanto et al. (2001) melaporkan sebesar
36
13.14% - 19.31%. Kontribusi lebih besar lagi dilaporkan oleh Paat et al. (1992) yaitu 15.0% - 48.0% terhadap total pendapatan keluarga.
Tabel 10 Pendapatan tahunan per KK pada kegiatan usahatani di lokasi penelitian Komoditas 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Padi
Luas (ha) Produksi GKG (ton/ha) Harga/kg (Rp.) Pendapatan/ tahun Sapi Jantan (ekor) Betina (ekor) Harga sapi/ekor (Rp.) Pendapatan/ tahun Karet Luas (ha) Produksi (kg/ha) Harga/kg (Rp.) Pendapatan/ tahun Rotan Luas (ha) Produksi (ton/ha) Harga/kg (Rp.) Pendapatan/ tahun Durian Jumlah pohon Produksi (butir/pohon) Harga/butir (Rp.) Pendapatan/ tahun Langsat Jumlah pohon Produksi (kg/pohon) Harga/butir (Rp.) Pendapatan/ tahun
Asumsi-asumsi: Tanaman karet:
Ternak sapi:
Pendahara 1.3 1.2 5 000 7 800 000 2.3 3.2 3 500 000 11 200 000 2.0 35 8 500 34 272 000 1.2 2.1 1 000 2 520 000 10.9 67.1 3 500 2 559 865 9.5 97.3 2 500 2 310 875
Rata-rata Buntut Bali 0.91 1.4 5 000 6 370 000 2.2 3.1 3 500 000 10 500 000 1.35 35 8 500 23 133 600 2.0 2.1 1 000 4 200 000 11.5 33.1 3 500 2 332 275 16.4 91.3 2 500 3 743 300
T. Lahang 1.2 1.1 5 000 6 600 000 2.4 7.2 3 500 000 24 500 000 2.75 35 8 500 47 124 000 2.8 2.1 1 000 5 880 000 5.5 53.6 3 500 1 031 800 9.2 100.7 2 500 2 316 100
- Tanaman karet sudah berproduksi untuk jenis klon lokal 35 kg/hari - Penyadapan setiap 2 hari, jadi ada 12 hari kerja dalam 1 bulan - Pembagian hasil 60% penyadap dan 40% yang punya karet - Satu induk melahirkan 1 anak dalam 1 tahun - Harga sapi umur 1 tahun sekitar Rp3 500 000,-
37
Gambar 4 Kontribusi variasi komoditas dalam % terhadap pendapatan keluarga responden per tahun di lokasi penelitian sapi lokal.
Sumberdaya Genetik Sapi Katingan Sebagian besar jenis sapi yang dipelihara di lokasi penelitian adalah sapi Katingan (80-90%), sisanya adalah sapi Bali (Pendahara dan Tumbang Lahang) dan sapi PO (Tumbang Lahang). Tidak ada nama khusus untuk penyebutan sapi Katingan, mereka sering menyebut hanya dengan nama sapi lokal, tetapi ada yang memberi sebutan sapi Itah, ada juga yang menyebut sapi Helu (sapi jaman dahulu). Asal usul sapi tidak diketahui secara pasti, kebanyakan mereka memperoleh sapi secara turun temurun dari para orang tua atau leluhur mereka. Kalaupun dari hasil membeli juga dari sekitar lokasi tersebut. Oleh karena itu Sapi Katingan sangat jarang dijumpai di luar wilayah pemeliharaan sekarang ini. Keberadaan Sapi Katingan banyak dijumpai di sepanjang DAS Katingan, terutama di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan Desa Tumbang Lahang. Ketiga lokasi tersebut merupakan pusatnya Sapi Katingan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Beberapa lokasi yang lain di Kabupaten Katingan dilaporkan juga ada sapi Katingan, namun tidak sebanyak di tiga lokasi tersebut. Selain di Kabupaten Katingan, di Kabupaten Gunung Mas di temukan pula sapi yang serupa, namun dari hasil penelusuran sapi tersebut sudah sulit dijumpai bahkan dikhawatirkan sudah tidak ada lagi. Keberadaan Sapi Katingan dipastikan lebih dari 150 tahun, hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden yang berusia hampir 6090 tahun, dimana menurut informasi mereka sapi-sapi lokal tersebut sudah ada
38
sejak mereka masih kecil yang dibudidayakan oleh orang tua mereka, bahkan sudah ada di era kakek mereka. Menurut responden ciri spesifik dari Sapi Katingan adalah tanduk sapi betina melengkung ke depan dan warna bulu sapi bervariasi, namun yang sering dilaporkan adalah warna merah dan hitam. Sejauh ini keberadaan Sapi Katingan relatif terjaga dari segi populasinya. Hal ini juga bisa dilihat dari komposisi antara jantan dan betina relatif masih ideal khusus untuk di Kelurahan Pendahara, yaitu dengan perbandingan 1 : 5.5 dari pengamatan terhadap 250 ekor sapi. Secara alami populasi sapi terjaga karena keberadaannya sangat diperlukan untuk kegiatan-kegiatan ritual, perkawinan, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan kegiatan adat istiadat. Sapi jantan terutama dengan warna bulu putih paling disukai oleh peternak demikian juga dengan warna merah, sehingga sapi dengan warna bulu tersebut mempunyai harga yang lebih mahal. Manajemen pemeliharaan dilakukan secara ekstensif tradisional, yaitu ada tiga model pemeliharaan: (1) sapi dilepas bebas dalam ranch yang dibatasi dengan kawat-kawat berduri (Gambar 5), (2) sapi dilepas bebas di hutan dan (3) sapi dilepas bebas tetapi tali kekang diikat pada tali yang dibentangkan di antara pohon-pohon besar (Gambar 6), namun ikatan tali kekang tersebut bisa bergerak sehingga sapi hanya berkeliaran sebatas di sekitar tali yang dibentangkan.
Gambar 5 Pemeliharaan sapi secara ekstensif di dalam ranch di Desa Tumbang Lahang.
39
Gambar 6 Tali yang dibentangkan diantara pepohonan besar untuk menautkan tali kekang sapi yang bisa bergerak (tanda panah) di Desa Buntut Bali.
Walaupun dengan manajemen pemeliharaan yang ekstensif tradisional, dan tidak pernah ada kontrol terhadap penyakit khususnya penyakit cacing, namun dari hasil pemeriksaan contoh kotoran di 11 titik ranch tidak ditemukan adanya cacing yang patogen, bahkan hanya cacing-cacing yang pada umumnya sering ditemukan seperti Strongyle dan Paramphistomum dengan jumlah telur pergramnya yang rendah (0 – 180 epg) (Tabel 11).
Tabel 11 Hasil pemeriksaan kotoran sapi lokal di 11 titik ranch di Desa Buntut Bali dan Kelurahan Pendahara No. 1. 2.
Lokasi 5 titik ranch di Desa Pendaharan 6 titik ranch di Desa Buntut Bali
Jenis cacing dan jumlah telur (epg) Strongyle Fasciola Paramphistomum 1
40
0
0
3
10 – 180
3
10 - 80
0
0
0
0
Sapi Katingan termasuk jenis sapi yang daya reproduksinya tinggi, kemampuan beranak menurut responden bisa mencapai lebih dari 10 kali. Berdasarkan pengamatan di lapangan dijumpai sapi yang sudah beranak sampai 11 kali (2 ekor) dan 12 kali (2 ekor). Kinerja teknologi budidaya Sapi Katingan oleh masyarakat Dayak disajikan pada Tabel 12.
40
Tabel 12
Kinerja budidaya Sapi Katingan berdasarkan informasi responden di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali, dan Desa Tumbang Lahang
Uraian 1. Jenis sapi 2. Pakan
3. Skala usaha 4. Manajemen pemeliharaan
5. Manajemen reproduksi
6. Manajemen Kesehatan hewan
7. Produktivitas ternak
8. Pengolahan limbah
Kinerja Teknologi Sapi Katingan dominan, sapi lokal lain: Sapi Bali dan Sapi PO Hijauan makanan ternak (HMT) alam yang tersedia di dalam ranch. Pakan tambahan (konsentrat) hampir tidak pernah diberikan Mineral yang kadang-kadang diberikan adalah garam dapur 2 – 34 ekor/KK Ekstensif tradisional, dilepas di dalam ranch dan di hutan dengan rata-rata luasan ranch < 1 ha untuk 2-7 ekor sapi. Tanpa ada tempat berteduh (kandang), siang dan malam sapi di padang gembalaan. Air minum sehari-hari disediakan di kolam/tempat minum. Kawin alam, Sapi Katingan betina dan jantan dicampur bersama-sama. Penggunaan pejantan untuk mengawinkan di dalam ranch yang sama 34 kali. Umur kawin pertama diperkirakan rata-rata 2 tahun. Beranak pertama rata-rata umur 3-3.5 tahun. Dikawinkan kembali 40-45 hari setelah beranak. Kalau tidak jadi diulang lagi setiap 24 hari sekali. Pola 1 induk 1 anak dalam 1 tahun sudah diterapkan (Gambar 7). Masa produksi anak bisa mencapai 11-12 kali bahkan bisa lebih. Kontrol terhadap kesehatan hewan (penyakit) sangat terbatas Penanganan penyakit masih sangat mengandalkan petugas dinas Pengobatan alternatif (tradisional) belum dikenal Hampir semua peternak tidak tahu pengendalian dan pengobatan penyakit Angka kematian anak pra sapih rendah (< 2%) Angka kebuntingan > 50% (pengamatan lapangan dengan jumlah induk terbatas) Kejadian penyakit penting 0% Kotoran belum dimanfaatkan dikarenakan manajemen pemeliharaan ekstensif tradisional
41
Waktu mengawinkan ternak setelah melahirkan cukup bervariasi, namun yang paling sering dilakukan adalah 40-45 hari setelah lahir, dan kalau tidak jadi diulangi lagi 1-3 kali dengan selang waktu 24 hari. Khusus untuk ternak yang sudah sering melahirkan biasanya sekali dikawinkan menjadi bunting. Pola seperti ini cukup logis dilakukan karena involusi uterus menurut Bastidas et al. (1984) rata-rata terjadi sekitar 33.0 + 1.0 hari. Namun demikian banyak peternak di tiga lokasi penelitian (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang) yang mengawinkan sapinya pada 24 hari setelah melahirkan dan kalau tidak jadi diulang lagi setiap 24 hari.
Dikawinkan
Ulangan kawin 1-3 kali @ 24 hari
9 bln 10-20 hari
40 hari
24 hr 24 hr
24 hr
9 bln 10-20 hari Lahir
Lahir Jarak beranak (CI): 12 – 13 bulan
Gambar 7 Manajemen reproduksi 1 induk 1 anak 1 tahun (20 responden).
Kearifan Lokal Budidaya Sapi Katingan Pemeliharaan sapi yang dilakukan secara ekstensif tradisional dimana sapi dilepas hidup bebas di padang gembalaan yang tidak selalu berupa padang rumput melainkan seperti hutan, membuat sapi-sapi Katingan berubah agak liar. Sapi agak jinak hanya kepada orang yang biasa memelihara (pemiliknya), sedangkan pada orang yang tidak biasa dikenal biasanya sapi lari dan sulit dipegang, tidak terkecuali terhadap pemiliknya sendiri yang jarang menengok, sapi-sapi tersebut tetap agak liar. Munculnya permasalahan tersebut nampaknya membuat peternak, khususnya para peternak tempo dulu menggunakan ilmu menjinakkan sapi. Beberapa desa mempunyai cara yang berbeda dalam hal menjinakkan sapi.
42
Masyarakat Dayak mengenal tanaman hutan yang diberi nama tanaman Karabayan. Daun tanaman inilah yang digunakan untuk menjinakkan sapi-sapi liar. Ada ritual tertentu yang harus dilaksanakan apabila akan menggunakan tanaman tersebut untuk menjinakkan sapi. Ritualnya adalah, pada waktu akan mengambil daunnya terlebih dahulu harus membawa garam dan paku secukupnya, kemudian ditaruh di dekat pohonnya. Bayangan tubuh yang mengambil tidak boleh melindungi tanaman tersebut. Pengambilan daun dilakukan pada sore hari (sekitar jam 3) dan yang diambil adalah daun yang baru tumbuh (daun kecil), daun tersebut kalau disentuh menciut (seperti daun putri malu) (Gambar 8).
Gambar 8 Tanaman Karabayan umur tua (sebelah kiri) dan daun muda (tanda panah) yang digunakan untuk penjinak sapi liar. Ada tiga tahap selama 3 hari dalam pengambilan daunnya. Hari pertama sebanyak 7 lembar (harus ganjil). Daun diremas diambil airnya, kemudian dicampurkan dengan air minum sapi sambil disebutkan nama panggilan sapinya. Hari ke dua diambil daunnya sebanyak 5 lembar, diremas, diambil airnya dan dicampurkan ke air minumnya lagi, dan pada hari yang ke 3 jumlah daun yang diambil adalah sebanyak 3 lembar, perlakuan selanjutnya adalah sama. Semua dilakukan harus dengan penuh keyakinan. Dengan cara ini sapi yang biasanya liar menjadi lebih jinak dan bisa dipegang. Lain halnya yang dilakukan di Desa Pendahara, untuk menjinakkan sapi liar digunakan minyak tertentu yang oleh
43
masyarakat setempat dinamakan minyak Parunduk. Minyak ini cukup digosokkan pada tangan untuk menjinakkan sapi. Konsekuensi lain dari sistem pemeliharaan ekstensif tradisional adalah kesulitan dalam mengumpulkan sapi. Peternak kalau mengumpulkan sapi harus dengan cara berteriak memanggil atau dengan memukul benda atau kayu yang bisa mengeluarkan suara. Sapi-sapi akan berdatangan karena sudah terbiasa mendengar suara tersebut, akan lebih mudah lagi dikumpulkan jika peternaknya memberikan air minum yang diberi garam (Gambar 9). Hampir semua peternak menggunakan air garam untuk mengumpulkan sapinya.
Gambar 9 Cara mengumpulkan sapi dengan memberi air garam di Desa Buntut Bali. Pada aspek teknologi peternakan, tidak banyak yang bisa digali karena pada umumnya masyarakat Dayak memelihara sapi dengan dilepas saja supaya mereka bisa melakukan aktivitas yang lain (menyadap karet, menanam padi, memancing, dll), sehingga dalam rangka meningkatkan produktivitas ternaknya melalui penerapan teknologi tidak pernah dilakukan. Hal-hal tertentu yang dilakukan pada beberapa orang peternak diantaranya adalah memberikan kecap, gula merah dan garam yang diyakini mereka bisa untuk memperbaiki bulu. Pada sapi yang habis melahirkan diberikan air gula merah 1 hari berikutnya untuk meningkatkan stamina induk.
44
Penyakit mata pada sapi yang sering terjadi dilapangan, dilakukan pengobatan dengan menggunakan kulit kayu Hanyer. Kulit bagian dalam yang tipis diambil, kemudian ditumbuk dan diperas, airnya diteteskan pada mata sapi yang sakit.
Strategi Pengembangan dan Pelestarian Plasma Nutfah Sapi Katingan Hasil analisis lingkungan strategik (identifikasi faktor-faktor SWOT) pada perencanaan strategis pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan disajikan sebagai berikut:
Pencermatan Lingkungan Internal dan Eksternal Lingkungan Internal Kekuatan: a. Ketersediaan sumberdaya lahan dan pakan HMT relatif cukup (kuantitas). b. Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) dalam usia produktif dan minat. yang tinggi untuk memelihara dan melestarikan Sapi Katingan karena nilai kultural dan sejarah. c. Daya adaptasi Sapi Katingan tinggi, dengan indikasi daya hidup tinggi, angka kematian dan kasus penyakit sangat rendah. d. Ketersediaan pejantan dengan komposisi yang ideal dengan sapi betina. e. Manajemen satu induk dengan satu anak dalam satu tahun telah diterapkan di tingkat peternak.
Kelemahan: a. Keterbatasan pengetahuan/wawasan tentang budidaya sapi. b. Penerapan inovasi teknologi peternakan hampir tidak ada (ekstensif tradisional). c. Keterbatasan modal dan akses terhadap skim-skim kredit. d. Pembinaan relatif kurang. e. Skor tubuh induk (BSC) < 5. f. Orietasi pemeliharaan sambilan. g. Petugas dan sarana pendukung kesehatan hewan sangat terbatas.
45
Lingkungan Eksternal Peluang: a. Kebutuhan pasar lokal dan nasional akan sapi potong. b. Kebijakan Pemda dan Pusat dalam mendukung P2SDS. c. Kebijakan pemerintah (pusat) dalam pelestarian plasma nutfah.
Ancaman: a. Kebijakan Pemerintah daerah memasukkan/menyebarkan sapi lokal lainnya sehingga sering terjadi crossbreeding dan introduksi inseminasi buatan dengan semen sapi lokal lainnya (erosi genetik). b. Minimnya informasi tentang Sapi Katingan baik di tingkat daerah maupun pusat sehingga para penentu kebijakan banyak yang tidak mengetahui keberadaan sapi tersebut.
Matrik Evaluasi Matrik Evaluasi Faktor Internal Faktor Strategis 1. KEKUATAN a. Ketersediaan sumberdaya lahan dan pakan HMT yang relatif cukup b. Ketersediaan SDM dengan minat tinggi untuk memelihara dan melestarikan sapi Katingan c. Daya adaptasi Sapi Katingan tinggi, dengan indikasi daya hidup tinggi, angka kematian dan kasus penyakit di lapang sangat rendah d. Ketersediaan pejantan dengan komposisi yang masih ideal dengan sapi betina e. Manajemen 1 induk, 1 anak dalam 1 tahun telah diterapkan Sub Total Keterangan : Penilaian rating menggunakan skala 1 – 4
Bobot
Rating
Nilai (Skor)
Prioritas
0.15
4
0.62
1
0.14
3
0.42
2
0.12
3
0.35
4
0.09
2
0.18
7
0.1
3
0.31 1.87
5
46
Faktor Strategis 2. KELEMAHAN a. Keterbatasan pengetahuan atau wawasan tentang budidaya sapi b. Penerapan inovasi teknologi peternakan hampir tidak ada c. Keterbatasana modal dan akses terhadap skim kredit d. Pembinaan relatif kurang e. Skor tubuh induk < 5 f. Orietasi pemeliharaan sambilan dan untuk ritual g. Petugas dan sarana pendukung kesehatan hewan sangat terbatas Sub Total Keterangan : Penilaian rating menggunakan skala 1 – 4
Bobot
Rating
Nilai (Skor)
Prioritas
0.04
2
0.08
10
0.08
2
0.15
8
0.13 0.03 0.06
3 2 3
0.38 0.05 0.19
3 11 6
0.01
2
0.03
12
0.05
2
0.1 0.99
9
Bobot
Rating
Nilai (Skor)
Prioritas
0.33
3
1
2
0.13
3
0.4
4
0.27
4
1.07 2.47
1
4
0.8
3
3
0.2 1
5
Matrik Evaluasi Faktor eksternal Faktor Strategis 1. PELUANG a. Kebutuhan pasar lokal akan sapi potong b. Kebijakan Pemda dalam mendukung P2SDS c. Kebijakan pemerintah dalam pelestarian plasma nurfah Sub Total
2. ANCAMAN a. Kebijakan Pemda memasukkan/menyebarkan sapi lokal lainnya (sapi Bali) dan kegiatan IB 6.85 b. Minimnya informasi tentang Sapi Katingan baik di pusat maupun di daerah 2.28 Sub Total Keterangan : Penilaian rating menggunakan skala 1 – 4
47
Rumusan Strategi Analisa SWOT ditujukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi. Dari berbagai faktor internal dan eksternal terpilih, disusun strategi untuk pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Sapi Katingan mempunyai peranan yang penting dalam adat istiadat masyarakat Dayak sehingga keberadaannya selalu dipertahankan. Manajemen reproduksi diterapkan cukup ketat oleh peternak (Gambar 7) dimana sangat dimungkinkan satu induk mampu menghasilkan satu anak dalam satu tahun, sehingga secara alami sebenarnya sapi-sapi Katingan ini terlestarikan. Namun demikian strategi yang ditempuh adalah bukan hanya untuk melestarikan saja tetapi bagaimana Sapi Katingan bisa berkembang lebih pesat dan dengan kualitas sapi yang lebih baik daripada yang ada sekarang ini sekaligus sapi-sapi tersebut mampu meningkatkan pendapatan/kesejahteraan peternak. Berdasarkan strategi yang diperoleh tersebut di atas, dalam tahapan operasional perlu disusun rencana aksi, yang terdiri dari aksi jangka pendek (short term) yang merupakan strategi pada kuadran I (sifatnya Agresif), aksi jangka menengah (medium term) yang merupakan strategi pada kuadran II (sifatnya Investasi) dan kuadran IV (sifatnya Diversifikasi) serta aksi jangka panjang (long term) yang merupakan strategi dari kuadran III (sifatnya Defensif). Rencana aksi yang disusun diantaranya harus mengacu kepada hasil-hasil penelitian pada Sapi Katingan yang telah dilakukan.
48
Tabel 13
Rumusan strategi pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan di Kalimantan Tengah
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (O) 1. Kebijakan pemerintah dalam pelestarian plasma nutfah 2. Kebutuhan pasar lokal akan sapi potong 3. Kebijakan Pemda dan Pusat dalam mendukung P2SDS
ANCAMAN (T) 1. Kebijakan Pemda memasukkan atau menyebarkan sapi lainnya (Sapi Bali) 2. Minimnya informasi di level daerah dan pusat tentang Sapi Katingan sehingga sapi tersebut diabaikan
KEKUATAN (S) 1. Ketersediaan lahan dan HMT 2. Ketersediaan SDM dan minat melestarikan sapi Katingan 3. Daya adaptasi tinggi 4. Penerapan manajemen 1 induk, 1 anak dalam 1 tahun 5. Ketersediaan pejantan dengan komposisi ideal dengan sapi betina Strategi SO (Strategi memakai kekuatan untuk memanfaatkan peluang) : 1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada (ternak, lahan, HMT, SDM) untuk meningkatkan populasi dan pelestarian Sapi Katingan 2. Meningkatkan nilai tambah ekonomis Sapi Katingan melalui inovasi teknologi dan permodalan 3. Penetapan breed baru Strategi ST (Strategi memakai kekuatan untuk mengatasi ancaman) : 1. Pemberdayaan Sapi
Katingan untuk membantu meningkatkan populasi ternak 2. Melakukan konservasi terhadap Sapi Katingan 3. Memasyarakatkan informasi potensi produksi, reproduksi dan genetik Sapi Katingan
KELEMAHAN (W) 1. Keterbatasan modal dan aksesnya 2. Skor tubuh induk (BSC) < 5 3. Penerapan inovasi teknologi peternakan hampir tidak ada 4. Keterbatasan petugas dan sarana pendukung kesehatan hewan 5. Keterbatasan pengetahuan budidaya sapi Strategi WO (Strategi menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang) : 1. Meningkatkan akses peternak ke permodalan (skimskim kredit) 2. Meningkatkan pembinaan dan fasilitas pendukung 3. Perbaikan manajemen pemeliharaan
Strategi WT (Strategi memperkecil kelemahan dan mengatasi ancaman) : 1. Pembinaan budidaya sapi dan aspek terkait lainnya bagi peternak lokal 2. Program/kebijakan sapi potong lebih difokuskan pada Sapi Katingan 3. Pencanangan program pelestarian Sapi Katingan 4. Peningkatan peran pemerintah dalam hal teknologi dan permodalan
49
Posisi Strategi Berdasarkan data faktor-faktor internal dan eksternal didapatkan skor pembobotan untuk faktor kekuatan = 1.87; faktor kelemahan = 0.99; faktor peluang = 2.47 dan faktor ancaman = 1. Dari skor pembobotan di atas selanjutnya diplotkan pada gambar analisa diagram SWOT yang terdiri dari 4 kuadran yaitu : kuadran I (Agresif), kuadran II (Investasi), kuadran III (defensif) dan kuadran IV (Diversifikasi). Adapun perhitungannya sebagai berikut:
Skor pembobotan -
Faktor KEKUATAN
: 1.87
-
Faktor KELEMAHAN
: 0.99 ----------
P
: 0.88 (sumbu x)
-
Faktor PELUANG
: 2.47
-
Faktor ANCAMAN
: 1.00 ---------Q
: 1.47 (sumbu Y)
Dari perpotongan keempat garis faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka didapatkan koordinat (0.88 ; 1.47) yang mana koordinat ini masuk pada kuadran I, yakni kuadran agresif (Gambar 10). Peluang I. AGRESIF
II. INVESTASI Kelemahan
Kekuatan III. DEFENSIF
IV. DIVERSIFIKASI
Ancaman Gambar 10 Kuadran analisa pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan.
50
Hal ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan karena memiliki kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif jangka pendek. Adapun strategi yang disarankan adalah: 1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada meliputi ternak, lahan, hijauan makanan ternak (HMT) untuk meningkatkan populasi dan produksi Sapi Katingan. Ternak masih bisa ditingkatkan lagi produksi dan reproduksinya sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Lahan tersedia relatif luas dibandingkan dengan populasi ternak yang sudah ada sehingga memungkinkan untuk dikembangkan dalam skala menengah dan besar. Demikian juga dengan HMT bisa ditingkatkan kualitas dan variasinya. 2. Meningkatkan nilai tambah ekonomis Sapi Katingan melalui inovasi teknologi dan permodalan. Inovasi teknologi yang dianjurkan sangat terkait dengan strategi di atas. Inovasi teknologi tidak akan bisa diterapkan tanpa ada dukungan permodalan, untuk itu perlu diintroduksikan lembaga-lembaga keuangan, misalnya lembaga keuangan mikro (LKM) atau didekatkan dengan skim-skim kredit dari pemerintah. 3. Penetapan breed baru Sapi Katingan. Keberadaan Sapi Katingan harus dilegal formalkan agar ada perhatian dari para pengambil kebijakan baik yang ada di daerah maupun di pusat, sehingga Sapi Katingan nantinya bisa dilibatkan dalam pembangunan peternakan baik daerah maupun nasional.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Ketersediaan sumberdaya lahan, pakan dan SDM secara kualitas dan kuantitas sangat memungkinkan Sapi Katingan bisa dikembangkan lebih baik lagi di lokasi habitatnya.
2.
Peningkatan produksi dan reproduksi sapi Katingan dilakukan melalui perbaikan berbagai aspek budidaya dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya dan agama masyarakat setempat.
51
3.
Pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan dilakukan melalui strategi yang bersifat agresif jangka pendek berdasarkan pertimbangan faktor internal (kekuatan) dan eksternal (peluang).
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu: 1.
Pelestarian Sapi Katingan secara alami terjaga oleh adat istiadat yang ada namun demikian diperlukan dukungan pemerintah (teknis, kelembagaan, akses permodalan) untuk meningkatkan populasi dan pendapatan peternak.
2.
Dalam rangka meningkatkan populasi dan pendapatan peternak, pendekatan budidaya yang sesuai adalah kombinasi antara pemeliharaan pejantan dan betina dalam satu kegiatan usahatani (sistem produksi berkelanjutan).
DAFTAR PUSTAKA
Azizi A, Hikmah. 2008. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pengadopsian paket teknologi budidaya udang di Tanah Laut Kalimantan Selatan. J Bijak Riset Sosek KP 3(2):213231. Badan Litbang Pertanian. 2006. Petunjuk Teknis Participatory Rural Appraisal (PRA). Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Jakarta: Departemen Pertanian. [Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2003. Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Petunjuk Teknis. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 154 hal. Bastidas P, Troconiz J, Verde O, Silva O. 1984. Effect of suckling on pregnancy rates and calf performance in Brahman cows. Theriogenology 21:289-294. Bhermana A. 2009. Peta Sumberdaya Lahan Desa Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang, Kabupaten Katingan Skala 1:250.000. Palangka Raya: BPTP Kalimantan Tengah. Direktorat Perluasan Areal dan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air. 2009. Pedoman Teknis Perluasan Areal Kebun Hijauan Makanan Ternak. Jakarta: Departemen Pertanian. 39 halaman. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. PT. MSP. 220 halaman.
52
Hartomi H, Suriya A, Mulyadi J, Mulyani A. 2000. Laporan Akhir Evaluasi Ketersediaan Lahan untuk Perluasan Areal Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis di Provinsi Kalimantan Tengah. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 42 halaman. [KNPN] Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2002. Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah. Deptan. Badan Litbang Pertanian. 42 halaman. Oldeman LR, Irsal L, Muladi. 1980. Agroclimatic Map of Kalimantan. Paat PC, Sudaryanto B, Sariubang M, Setiadi B. 1992. Effek Skala Usaha Pembibitan Kambing PE Terhadap Efisiensi dan Adopsi Teknologi. Prosiding Saresehan Usaha Ternak Kambing dan Domba Menjelang Era PJPT II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Priyanto D, Setiadi B, Martawidjaja M, Yulistiani D. 2001. Peranan Usaha Ternak Kambing Lokal Sebagai Penunjang Perekonomian Petani Di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Part C. Strengthening Soil resources Mapping. Laporan Teknis No 7 April 1994. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 50 halaman. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk mendukung Penataan Ruang di Provinsi Kalimantan Tengah. Laporan Akhir. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 37 halaman. Riwantoro 2005. Konservasi plasma nutfah Domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumarno M. 2010. Tingkat adopsi inovasi teknologi pengusaha sentra industri kecil kerajinan gerabah Kasongan Kabupaten Bantul. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 12(1):1-10. Widjaja E, Firmansyah A. 2002. Kontribusi ternak dalam sistem usahatani di lahan gambut (Studi kasus di Kelurahan Kalampangan, Palangka Raya). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal. 107112. Yusdja Y, Ilham N. 2006. Arah kebijakan pembangunan peternakan rakyat. Analisis Kebijakan Pertanian 4(1):18-38.
53
KERAGAMAN FENOTIPIK KUALITATIF SAPI KATINGAN ABSTRACT
The characterization is main activities in order to identify important trait of Katingan Cattle. Information of it’s phenotypic characteristic is not available yet. The aim of the study is to describe the qualitative characteristic of Katingan cattle. Three location of the study were sub-district of Tewah Sanggalang Garing (Pendahara Village), sub-district of Pulau Malan (Bali Bali Village), and subdistrict of Katingan Tengah (Tumbang Lahang Village). The samples of Katingan cattle were taken as many as possible based on the field conditions to observe pattern of colour, growth of horn and gibbosity appear among two horns. General characteristic of Katingan Cattle was various in colour of coat, having horns, humped and dewlop. The main characteristics were expressed at female of Katingan Cattle. There were six variations of horn shape at female, however the growth of arching forwards was dominant (78.4%). Horn shape of male was generally grew upside (98.3%). Gibbosity was founded among horn only at female cattle (92.6%). There were 9 combinations of coat colour of female Katingan Cattle, those were brown reddish (27%), brown whitish (14.1%), brown like colour of Bali Cattle (13.8%), black (12.5%), brown dull (9.6%), brown sorrel (9.3%), blackish (7.1%), white brownish (5.5%) and white grayish (4.5%). Male of Katingan Cattle had eight colour combinations, those were brown whitish (14.8%), brown whitish and reddish (14.8%), brown reddish (13.1%), blackish (12.3%), brown whiteish with black withers (10.7%), brown sorrel (9.8%) and brown sorrel with black withers (7.8%).
Key words: Katingan Cattle, qualitative characteristic, coat colour, horn, gibbosity
ABSTRAK
Karakterisasi merupakan kegiatan utama dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat atau penciri dari rumpun Sapi Katingan. Informasi karakteristik kualitatif dan kuantitatif pada Sapi Katingan belum ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik kualitatif Sapi Katingan yang dilaksanakan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tewah Sanggalang Garing dengan fokus lokasi Kelurahan Pendahara, Kecamatan Pulau Malan dengan fokus lokasi Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah dengan fokus lokasi Desa Tumbang Lahang. Contoh Sapi Katingan diambil sebanyak-banyaknya sesuai kondisi lapang dalam rangka pengamatan terhadap warna bulu, pertumbuhan tanduk dan tonjolan diantara dua tanduk. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif dan dibuatkan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memudahkan pembahasan. Ciri umum Sapi Katingan adalah bergelambir,
54
berpunuk, bertanduk dan mempunyai banyak variasi warna bulu. Adapun penciri Sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya. Ada enam variasi pertumbuhan tanduk pada sapi betina, namun yang dominan pertumbuhan tanduknya melengkung ke depan (78.4%). Pertumbuhan tanduk pada sapi jantan umumnya ke samping atas (98.3%). Ditemukan tonjolan diantara tanduk hanya pada sapi betina (92.6%). Ada 9 kombinasi warna pada Sapi Katingan jenis kelamin betina, yaitu warna coklat kemerahan (27%), coklat keputihan (14.1%), coklat warna Sapi Bali (13.8%), hitam (12.5%), coklat keruh/kusam (9.6%), coklat merah bata (9.3%), kehitaman (7.1%), putih kecoklatan (5.5%) dan putih keabuan (4.5%). Sapi Katingan jenis kelamin jantan ditemukan delapan kombinasi warna, yaitu coklat keputihan (14.8%), coklat keputihan dan kemerahan (14.8%), coklat kemerahan (13.1%), kehitaman (12.3%), coklat keputihan punuk hitam (10.7%), coklat merah bata (9.8%) dan coklat merah bata punuk hitam (7.8%).
Kata-kata kunci: Sapi Katingan, karakteristik kualitatif, warna bulu, tanduk, tonjolan kepala
PENDAHULUAN Sapi Katingan merupakan sumberdaya genetik (plasma nutfah) seperti halnya sapi lokal lainnya yang dapat dikembangkan untuk perbaikan mutu genetik sapi lokal Indonesia. Perlindungan terhadap Sapi Katingan adalah langkah yang harus diambil untuk mencegah dari ancaman kepunahan. Dalam mengambil langkah tersebut, salah satu hal penting menurut Radacsi (2008) adalah memelihara karakteristik sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifatsifat penting yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari rumpun yang bersangkutan. Karakterisasi merupakan langkah penting yang harus ditempuh apabila akan melakukan pengelolaan sumberdaya genetik secara baik (Chamdi 2005). Karakterisaasi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Noor 2008; Abdullah 2008; Sarbaini 2004). Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat produksi dan reproduksi atau sifat yang dapat diukur (Mansjoer 1985; Noor 2008). Ekspresi sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik internal (umur dan seks) maupun eksternal (iklim, pakan, penyakit dan pengelolaan) (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Noor 2008). Sedangkan sifat kualitatif adalah sifat-sifat yang pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata atau gambar, misalnya warna bulu atau kulit, pola warna, sifat
55
bertanduk atau tanpa bertanduk yang dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya (Warwick et al. (1995). Sifat kualitatif menurut Noor (2008) biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen dan faktor lingkungan tidak berpengaruh. Sapi Katingan memiliki nilai budaya dan tradisi yang tinggi, banyak digunakan sebagai hewan kurban pada acara-acara seremoni. Sapi dengan warnawarna tertentu disukai untuk acara seremoni tersebut misalnya upacara kematian, bayar hajat, dll., sehingga Sapi Katingan mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal lainnya. Sebagaimana halnya yang ada di Ethiopia dan Kenya, masyarakat lebih menyukai warna sapi tertentu yaitu merah gelap karena mempunyai nilai kultural sebagai hewan kurban walaupun dengan warna tersebut peluang gigitan terhadap lalat Tsetse lebih besar (Ouma et al. 2004). Selain itu warna adalah sifat penting dalam membentuk karakteristik rumpun dan digunakan sejak domestikasi sebagai alat untuk membentuk rumpun dan kegiatan seleksi. Pengetahuan tentang variasi bentuk tanduk dan warna bulu barangkali dapat membantu untuk memahami sejarah rumpun, demografi dan karakter genetiknya (Radacsi 2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman fenotipik Sapi Katingan di Kalimantan Tengah dilihat dari karakteristik kualitatifnya.
BAHAN DAN METODE
Bahan Contoh berupa Sapi Katingan dari berbagai variasi umur dan jenis kelamin diperoleh di tiga lokasi penelitian yaitu di Kelurahan Pendaharan (Kecamatan Tewah Sanggalang Garing), Desa Buntut Bali (Kecamatan Pulau Malan) dan Desa Tumbang Lahang (Kecamatan Katingan Tengah) (Tabel 14). Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan November 2009 sampai April 2010 bersama-sama dengan pelaksanaan kegiatan pengukuran dimensi tubuh sapi.
56
Tabel 14 Distribusi contoh Sapi Katingan untuk karakterisasi kualitatif Jenis Pengamatan
Pendahara
Buntut Bali
T. Lahang
♀
♂
♀
♂
♀
♂
1. Warna bulu 2. Bentuk Tanduk
112 31
38 9
76 54
21 14
123 82
63 35
3. Tonjolan di antara dua tanduk
41
11
82
14
56
48
Metode Pengambilan contoh Sapi Katingan dilakukan secara acak dan diambil sebanyak-banyaknya sesuai kondisi di lapang. Pengamatan, pencatatan dan dokumentasi keragaman sifat kualitatif Sapi Katingan dilakukan terhadap pola warna tubuh, bentuk pertumbuhan tanduk dan ciri spesifik lain menurut lokasi dan jenis kelamin. Keberadaan sapi yang kadang-kadang sulit dijangkau, dalam pengamatan menggunakan alat binokuler (teropong). Data yang diperoleh, selanjutnya ditabulasi dan dihitung frekuensi fenotipnya. Frekuensi fenotip digunakan untuk menganalisis variasi sifat kualitatif. Frekuensi fenotip dihitung berdasarkan proporsi fenotip dengan rumus sebagai berikut (Johari et al. 2009): ∑ Sifat A Frekuensi fenotip sifat A = ------------------- x 100% N Keterangan: A = salah satu sifat kualitatif pada Sapi Katingan yang diamati N
= total contoh Sapi Katingan yang diamati
Perhitungan dari frekuensi fenotip kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memudahkan dalam pembahasan.
57
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sapi Katingan Berdasarkan pengamatan di lapang, karakteristik yang menonjol pada Sapi Katingan yang hidup di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan, Kalimantan Tengah yang membedakan dengan sapi lokal lainnya di Indonesia adalah pada sapi betina dewasa, yaitu bentuk tanduk yang sebagian besar melengkung ke depan (Gambar 11). Sedangkan pada sapi Katingan jantan bentuk tanduk tumbuh normal seperti umumnya sapi lokal yang lain, yaitu ke samping atas. Dijumpai adanya tonjolan pada kepala bagian atas diantara dua tanduk, tonjolan tersebut hanya ditemukan pada sapi betina.
Gambar 11 Bentuk tanduk dan tonjolan di kepala pada Sapi Katingan dewasa betina (tanda panah). Warna bulu sapi bervariasi, adapun warna yang menonjol dan mempengaruhi pola warna adalah warna coklat dan warna hitam. Warna bulu mata juga bervariasi, ada yang berwarna hitam, coklat kemerahan, coklat keputihan, bahkan ditemukan pula warna putih. Teracak pada Sapi Katingan ditemukan dua warna, yaitu warna hitam (dominan) dan warna coklat kemerahan (Gambar 12). Variasi warna bulu mata dan warna tracak coklat kemerahan hanya ditemukan pada Sapi Katingan Betina. Warna teracak pada Sapi PO dan Bali
58
adalah hitam (Setiadi & Diwyanto 1997), demikian juga dengan Sapi Aceh (Abdullah 2008).
Gambar 12 Performan Sapi Katingan dewasa jantan dan betina Ukuran tubuh dewasa Sapi Katingan tidak selalu sapi yang jantan lebih besar dibandingkan dengan sapi yang betina, demikian pula sebaliknya. Sapi jantan maupun sapi betina mempunyai gumba yang cukup jelas dapat dilihat (Gambar 12). Ukuran gumba pada sapi jantan jauh lebih tinggi ketika tumbuh dewasa. Demikian pula untuk gelambir juga ditemukan pada sapi jantan maupun sapi betinanya. Pada sapi jantan tampilan gelambir lebih tebal dan lebih berat dibandingkan dengan gelambir pada sapi betina. Gelambir dijumpai mulai bawah kerongkongan sampai bawah dada di antara dua kaki depan. Karakteristik morfologik sapi-sapi Katingan mirip dengan sapi lokal lainnya. Sapi PO mempunyai gumba yang besar dan gelambir lebar (Hardjosubroto 2004), Sapi Madura mempunyai gumba yang kecil, Sapi Bali walau tidak bergumba namun mempunyai gelambir kecil (Setiadi & Diwyanto 1997), Sapi Aceh dilaporkan
59
Abdullah (2008) mempunyai gumba dan bergelambir demikian juga dengan Sapi Pesisir (Sarbaini 2004).
Keragaman Warna Bulu Warna bulu sapi hanya dilihat berdasarkan warna utama/warna dasar untuk memudahkan dalam pengelompokan warna, karena dari warna dasar tersebut ditemukan warna lain di bagian-bagian tertentu tubuh sapi. Berdasarkan
pengelompokkan
warna
bulu
Sapi
Katingan
betina
sebagaimana disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 13 yang ditemukan di semua lokasi penelitian yaitu di Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang didapatkan 9 (sembilan) pola dasar penyebaran warna bulu. Selain warna tersebut ditemukan juga warna belang yaitu warna belang hitam putih ditemukan di Tumbang Lahang dan belang putih coklat ditemukan di Buntut Bali.
Tabel 15 Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina No.
Keragaman Warna
1. Coklat kemerahan 2. Coklat keputihan 3. Coklat warna sapi Bali 4. Hitam 5. Coklat keruh/ kusam 6. Coklat merah bata 7. Kehitaman 8. Putih kecoklatan 9. Putih keabuan 10. Pola warna belang: Hitam putih Putih coklat Total contoh
Pendahara n (%) 29 (25.9) 7 (58.3)
Lokasi Buntut Bali T. Lahang n (%) n (%) 31 (40.8) 24 (19.5) 15 (19.7) 22 (17.9)
Total (%) 27.0 14.1
30 (26.8) 13 (11.6)
5 (6.6) 11 (14.5)
8 (6.5) 15 (12.2)
13.8 12.5
8 (7.1) 9 (8.0) 8 (7.1) 5 (4.5) 3 (2.7)
9 (11.8) 8 (10.5) 4 (5.3) 2 (2.6) 2 (2.6)
13 (10.6) 12 (9.8) 10 (8.1) 10 (8.1) 9 (7.3)
9.6 9.3 7.1 5.5 4.5
0 (0.0) 0 (0.0) 112
0 (0.0) 1 (1.3) 76
1 (0.8) 0 (0.0) 123
0.3 0.3 311
60
Gambar 13 Keragaman warna bulu Sapi Katingan betina. Variasi warna bulu Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian didominasi oleh warna coklat kemerahan, yaitu 27%, diikuti berturut-turut coklat keputihan (14.1%), coklat warna sapi Bali (13.8%), hitam (12.5%), coklat keruh/kusam (9.6%), coklat merah bata (9.3%), kehitaman (7.1%), putih kecoklatan (5.5%) dan putih keabuan (4.5%). Warna belang hanya ditemukan 1 ekor di Tumbang Lahang (0.8%) dan 1 ekor di Buntut Bali (1.3%). Dominasi pola warna tertentu Sapi Katingan antara masing-masing lokasi berbeda, hal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Sapi Katingan asal Pendahara didominasi oleh warna coklat keputihan (58.3%), sapi asal Buntut Bali didominasi oleh warna coklat kemerahan (40.8%) dan Sapi Katingan asal Tumbang Lahang didominasi juga oleh warna coklat kemerahan sebesar 19.5%.
61
60 50 40 30 20 10 0 Coklat Coklat Coklat kemerahan keputihan warna sapi Bali
Hitam
Coklat keruh
Coklat Kehitaman Putih merah bata kecoklatan
Putih keabuan
Belang putih coklat
Belang putih hitam
Gambar 14 Keragaman warna Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian: Berdasarkan pengelompokkan warna bulu pada Sapi Katingan jantan sebagaimana disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 15 yang ditemukan di semua lokasi penelitian yaitu di Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang didapatkan 8 (delapan) pola dasar penyebaran warna bulu. Selain warna tersebut ditemukan juga warna belang yaitu warna belang putih coklat yang hanya ditemukan di Kelurahan Pendahara. Variasi warna bulu Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian didominasi oleh warna hitam sebesar 27%, diikuti berturut-turut coklat keputihan (14.8%), coklat keputihan dan kemerahan (14.8%), coklat kemerahan (13.1%), kehitaman (12.3%), coklat keputihan punuk hitam (10.7%), coklat merah bata (9.8%) dan coklat merah bata punuk hitam (7.8%). Warna belang putih coklat hanya ditemukan 1 ekor (0.8%). Menurut Fries dan Ruvinsky (1999), warna yang lebih gelap pada leher dan kepala pada sapi jantan merupakan warna tipe sapi liar.
62
Tabel 16 Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan No.
Keragaman Warna
1. 2. 3.
Hitam Coklat keputihan Coklat keputihan dan kemerahan 4. Coklat kemerahan 5. Kehitaman 6. Coklat keputihan punuk hitam 7. Coklat merah bata 8. Coklat merah bata punuk hitam 9. Pola warna belang putih coklat Total contoh
Lokasi Pendahara Buntut Bali T. Lahang n (%) n (%) n (%) 7 (18.4) 3 (14.3) 11 (17.5) 3 (7.9) 4 (19.0) 11 (17.5)
Total (%) 17.2 14.8
7 (18.4) 7 (18.4) 6 (15.8)
4 (19.1) 3 (14.3) 0 (0.0)
7 (11.1) 6 (9.5) 9 (9.5)
14.8 13.1 12.3
2 (5.3) 4 (10.5)
2 (9.5) 3 (14.3)
9 (14.3) 5 (7.9)
10.7 9.8
2 (5.3)
2 (9.5)
5 (7.9)
7.8
1 (2.6) 38
0 (0.0) 21
0 (0.0) 63
1 (0.8) 122
Sebagaimana pada Sapi Katingan jenis kelamin betina, dominasi pola warna tertentu pada Sapi Katingan jantan antara masing-masing lokasi juga berbeda, hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Sapi Katingan asal Pendahara didominasi oleh tiga warna, yaitu warna hitam (18.4%), warna coklat keputihan dan kemerahan (18.4%) dan warna coklat kemerahan (18.4%). Sapi Katingan asal Buntut Bali didominasi oleh warna coklat keputihan dan kemerahan (19.1%), sedangkan sapi asal Tumbang Lahang didominasi oleh warna hitam (17.5%) dan coklat keputihan (17.5%).
63
Gambar 15 Keragaman warna bulu Sapi Katingan jantan.
64
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Hitam
Gambar 16
Coklat keputihan
Coklat Coklat Coklat Coklat Kehitaman Coklat keputihan kemerahan keputihan merah bata merah bata dan punuk punuk kemerahan hitam hitam
Warna belang putih coklat
Keragaman warna Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian:
Warna bulu Sapi Katingan lebih beragam jika dibandingkan dengan Sapi Bali, PO dan Madura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis sapi lokal Indonesia lainnya menunjukkan berbagai variasi warna bulu. Namikawa et al. (1982) mengkasifikasi secara fenotip warna sapi-sapi di Indonesia menjadi enam jenis, yaitu hitam, coklat kegelapan, coklat kekuningan, putih keabu-abuan, warna seperti Bali dan tipe Bali. Pola warna Sapi Katingan ditemukan pada sapi lokal lainnya, seperti Sapi Pesisir, Sapi Aceh dan Sapi Jawa. Sarbaini (2004) mengelompokkan Sapi Pesisir ke dalam lima warna utama dan warna yang dominan adalah merah bata. Sedangkan warna bulu Sapi Aceh dikelompokkan oleh Abdullah (2008) ke dalam delapan pola warna bulu, dan yang dominan adalah warna merah bata dan cokelat muda. Sapi Jawa oleh Soeroso (2004) dikelompokkan ke dalam 4 kelompok dengan warna bulu dominan adalah coklat kekuningan. Warna bulu sapi menurut Johari et al. (2009) dapat menunjukkan kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Sapi Katingan jantan dan betina mempunyai variasi warna yang relatif tinggi yaitu delapan dan sembilan pola warna dengan dominasi warna hitam untuk sapi jantan dan warna coklat kemerahan untuk sapi betina. Variasi warna tersebut utamanya disebabkan adanya lokus E (Extension) (Olson 1999). Lokus E dengan gennya melanocortin receptor 1 (MC1R) (Russo 2004) terletak pada kromosom
65
18, lokus tersebut memiliki 3 alel, yaitu ED (hitam dominan), E+ (alel tipe liar menghasilkan berbagai variasi warna) dan e (merah resesif) (Klungland et al. 1995). Alel-alel lokus E menurut Olson (1999) mengatur produksi tirosinase, jika produksi tirosinase rendah akan menghasilkan pigmen phaeomelanin (merah) dan sebaliknya jika produksi tirosinase tinggi akan menghasilkan pigmen eumelanin (hitam). Dengan demikian Warna hitam yang mendominasi pada Sapi Katingan jantan diduga disebabkan oleh alel ED yang meningkatkan produksi eumelanin. Sedangkan warna coklat kemerahan pada sapi betina dipengaruhi oleh alel e (merah resesif). Selain lokus E menurut Joerg et al. (1996) dan Russo (2004) ada lokus utama lain yang ikut serta mengontrol produk pigmen melanin yaitu lokus agouti (A). Lokus A dengan gennya the agouti signaling protein (ASIP) menurut Russo (2004) bekerja secara antagonis pada MC1R. Lokus A mempunyai efek epistasis dengan lokus E. Alel pada lokus A menentukan warna hitam resesif ketika alel warna liar (E+), yang bukan alel dominan atau alel resesif, ada dalam lokus E (Russo 2004). Bangsa dengan campuran warna bulu merah dan hitam (warna tipe liar) membawa alel agouti resesif (Gil et al. 2007). Selain dua lokus E dan A, Russo (2004) juga mengidentifikasi beberapa lokus utama lain, yaitu Albino (C), Brown (B), Dilution (D), Roan (R), Silver dan Spotted (S). Menurut Kuhn & Weikard (2007) variasi warna bulu merupakan hasil dari efek kerjasama beberapa lokus yaitu lokus E, A dan D. Alel pada lokus D bertanggung jawab terhadap efek dilusi (pelunturan) pada warna asli individu. Pernyataan tersebut kemungkinan cocok untuk diterapkan terhadap fenomena variasi warna bulu yang ditemukan pada Sapi Katingan. Warna belang pada Sapi Katingan dijumpai di tiga lokasi penelitian dengan masing-masing lokasi ditemukan hanya 1 ekor. Warna belang yang ditemukan pada tubuh sapi berbeda dalam hal ukuran, bentuk dan tempat. Pola warna tersebut kelihatannya terjadi secara random (Gambar 13 dan 15). Warna belang adalah pola warna yang biasa ditemukan pada beberapa bangsa sapi diantaranya sapi Holstein, Simmental, Hereford, dll. Pada hewan domestik lokus utama warna belang putih adalah lokus S (spotting locus), yang meliputi alel SH (pola Hereford), alel Scs (pola belang samping), alel S+ (tidak belang tipe liar) dan
66
alel s (pola resesif belang). Lokus S terletak pada kromosom 6 di lokasi yang mengandung gen KIT (Fontanesi et al. 2010; Olson 1981; Grosz & MacNeil 1999). Warna belang yang ditemukan pada sapi dari Tumbang Lahang mirip dengan sapi FH. Ada kemungkinan sapi FH yang dulu pernah didatangkan misionaris ke lokasi tersebut pejantannya dikawinkan dengan betina Sapi Katingan. Genotipe ss yang resesif pada lokus S menurut Reinsch et al. (1999) menunjukkan pola warna belang pada sapi Holstein, pola warna tersebut mirip dengan sapi belang dari Tumbang Lahang. Grosz dan MacNeil (1999) juga melaporkan bahwa alel s adalah alel resesif dan pada tubuh sapi diekspresikan sebagai area pigmen berwarna putih yang tidak teratur. Pada bagian tubuh seperti kaki, ekor dan biasanya perut juga berwarna putih, pola warna seperti ini ditunjukkan pada sapi belang yang ditemukan di daerah Buntut Bali dan Pendahara.
Perubahan Warna pada Sapi Jantan Hasil pengamatan di lapang dan wawancara dengan pemilik sapi mengindikasikan bahwa ada perubahan warna bulu pada sapi jantan tetapi hanya ditemukan pada sapi dengan warna bulu tertentu, perubahan itupun terjadi hanya sebatas pada warna hitam di punuk (gumba) dan leher, tidak pada seluruh bagian tubuh sapi seperti yang terjadi pada Sapi Bali jantan. Sapi tersebut saat dilahirkan berwarna coklat pada seluruh bagian tubuhnya dan tidak ada warna hitam dipunuknya. Umur saat mulai munculnya warna hitam dipunggung/punuk belum diketahui secara pasti karena tidak dimonitoring secara rutin setiap bulannya. Namun berdasarkan informasi pemilik pada umur 10 bulan warna hitam tersebut sudah terlihat, makin lama makin tegas dan melebar warna hitamnya saat diamati pada umur 13 bulan (Gambar 17). Sapi Bali jantan dilaporkan mengalami perubahan warna dari coklat menjadi agak hitam mulai umur 12-18 bulan (Handiwirawan & Subandriyo 2004). Radacsi (2008) melaporkan perubahan warna pada Sapi Hongaria dari kemerahan menjadi abu-abu pada saat umur sapi 4-6 bulan. Berdasarkan pengamatan pada sapi dewasa dengan warna dasar bulu yang sama, warna hitam umumnya melebar sebatas pada leher dan bagian depan muka,
67
serta pada bagian muka kaki. Sapi jantan dewasa yang mempunyai warna hitam solid ketika dilahirkan juga mempunyai warna bulu yang sama yaitu warna hitam.
Gambar 17
Sapi Katingan jantan umur 13 bulan dengan perubahan warna hitam di punuk (dalam lingkaran) mulai nampak jelas.
Keragaman Bentuk Tanduk Berdasarkan pengamatan di lapangan, untuk memudahkan dalam membedakan bentuk tanduk pada sapi betina dewasa dikelompokkan ke dalam 6 bentuk (Gambar 18), dengan urutan prosentase dari yang terbesar ke terkecil (Tabel 17), yaitu: (1) bentuk tanduk dengan kategori melengkung ke depan (78.4%), dimana bentuk tanduknya juga bervariasi dalam hal panjang pendek dan besar kecilnya. Bentuk tanduk ini mendominasi di tiga lokasi penelitian (Gambar 19). Ukuran tanduk yang panjang menunjukkan bahwa sapi tersebut telah beranak beberapa kali, temuan di lapangan hingga sampai 12 kali beranak, (2) bentuk tanduk pendek dan kecil yang tidak melekat pada tulang kepala sehingga kalau dipegang goyang (14.4%). Arah pertumbuhan tanduk tersebut bervariasi, ada yang ke atas, ke samping dan ada yang melengkung kedepan, (3) bentuk tanduk melengkung menyamping ke depan (3.6%), (4) bentuk tanduk melengkung ke bawah (3.6%), (5) bentuk tanduk menyamping horizontal (1.8%), dan yang ke (6) sapi dewasa tetapi tidak bertanduk (1.8%). Dominasi pertumbuhan tanduk yang
68
melengkung ke depan bisa dijadikan penciri Sapi Katingan khusus untuk jenis kelamin betina. Kelemahan bentuk tanduk yang panjang sering menyebabkan patah dan kepala sapi sering tersangkut, bahkan dilaporkan sampai menimbulkan kematian.
Gambar 18 Keragaman bentuk tanduk pada Sapi Katingan dewasa betina.
Tabel 17 Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina dewasa No.
Keragaman tanduk Pendahara n (%)
Melengkung ke depan dengan berbagai variasi 2. Tanduk kecil tidak terfiksir 3. Melengkung menyamping ke depan 4. Melengkung ke bawah 5. Menyamping horizontal 6. Tidak bertanduk Total contoh
Lokasi Buntut Bali T. Lahang n (%) n (%)
Total (%)
1.
25 (80.7)
44 (81.5)
62 (75.6)
78.4
3 (9.7)
5 (9.4)
11 (13.4)
11.4
1 (3.2) 1 (3.2)
2 (3.7) 2 (3.7)
3 (3.7) 3 (3.7)
3.6 3.6
0 (0.0) 1 (3.2) 31
1 (1.9) 0 (0.0) 54
2 (2.4) 2 (2.4) 82
1.8 1.8 167
69
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Melengkung Tanduk kecil Melengkung Melengkung Menyamping ke depan tidak terfixir menyamping ke bawah horizontal berbagai (uklik-uklik) ke depan variasi
Tidak bertanduk
Gambar 19 Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian: Variasi pertumbuhan (bentuk) tanduk pada sapi jantan dewasa hanya ada 2, yaitu bentuk tanduk ke arah samping atas dan melengkung ke atas (Gambar 20). Namun dapat dikatakan bahwa bentuk tanduk sapi jantan adalah ke samping atas, karena bentuk tanduk inilah yang mendominasi di lapangan (98,3%) (Tabel 18), di semua lokasi penelitian (Gambar 21). Adapun bentuk tanduk yang melengkung ke atas hanya ditemukan 1 ekor di Desa Buntut Bali, dua desa pengamatan lainnya tidak ditemukan. Variasi tanduk lebih ke arah ukurannya panjang atau pendek.
Tabel 18. Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan. No.
1.
Keragaman tanduk
Menyamping ke atas 2. Melengkung ke atas Total contoh
Pendahara n (%) 9 (100.0)
Lokasi Buntut Bali T. Lahang n (%) n (%) 13 (92.9) 35 (100.0)
Total (%) 98.3
0 (0.0)
1 (7.1)
0 (0.0)
1.8
9
14
35
58
70
Gambar 20 Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan dewasa jantan. 120 100 80 60 40 20 0 Pendahara
B. Bali
T. Lahang
Gambar 21 Keragaman bentuk tanduk Sapi Katingan jantan di tiga lokasi penelitian, yaitu:
Variasi bentuk tanduk yang tinggi dilaporkan pula pada Sapi Aceh, ada tujuh macam bentuk tanduk pada sapi jantan dan 9 macam bentuk tanduk pada sapi betinanya. Seperti halnya pada Sapi Katingan, Sapi Aceh betina juga ditemukan ada yang tidak bertanduk (Abdullah 2008). Variasi bentuk tanduk juga ditemukan pada Sapi Bali, ada 12 variasi bentuk tanduk pada Sapi Bali betina dan 7 variasi bentuk tanduk pada sapi jantannya (Handiwirawan et al. 2003).
71
Keragaman Tonjolan di antara Tanduk Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, sebagaian besar pada sapi betina ditemukan adanya tonjolan pada kepalanya (82.93% - 97.56%), sedangkan pada yang jantan tidak (Tabel 19).
Tabel 19 Bentuk tonjolan di kepala Sapi Katingan No. 1. 2. 3.
Lokasi Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang
Betina
Jantan
n (N)
%
n (N)
%
40 (41) 68 (82) 54 (56)
97.56 82.93 96.43
0 (11) 0 (14) 0 (48)
0 0 0
Ukuran tonjolan bervariasi sebagaimana terlihat pada Gambar 22. Bentukan tonjolan di kepala tidak ditemukan pada Sapi PO, Bali dan Madura, dengan demikian tonjolan ini bisa dijadikan sebagai penciri pada Sapi Katingan.
Gambar 22 Variasi tonjolan pada Sapi Katingan betina.
72
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ciri umum Sapi Katingan adalah bergelambir dan berpunuk seperti pada umumnya sapi Bos indicus, namun karakteristik morfologinya sebagai penciri ditunjukkan pada sapi betinanya. 2. Secara kualitatif ditemukan keragaman pada bentuk tanduk dan pola warna bulu. 3. Terdapat enam pengelompokan keragaman bentuk tanduk termasuk di dalamnya sapi yang tidak bertanduk pada sapi betina, dengan pertumbuhan tanduk didominasi melengkung ke depan (78.4%), sedangkan pada sapi jantan ada dua. 4. Tonjolan tulang diantara dua tanduk hanya ditemukan pada sapi betina (92.6%) dengan berbagai variasi ukuran tetapi tidak pada sapi jantan. 5. Keragaman warna bulu lebih banyak pada sapi betina, yaitu sembilan kombinasi warna, sedangkan pada sapi jantan ada delapan kombinasi warna.
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, disarankan penelitian karakteristik kualitatif perlu dikembangkan lebih lanjut pada populasi yang lebih besar dan lebih menyebar terutama pada wilayah-wilayah pemeliharaan yang terisolir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MAN. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Chamdi AN. 2005. Karakteristik sumberdaya genetik ternak sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya (Review). Biodiversitas 6(1):70-75.
73
Fontanesi L, Tazzoli M, Russo V, Beever J. 2010. Genetic heterogeneity at the bovine KIT gene in cattle breeds carrying different putative alleles at the spotting locus. Anim Genet 41(3):295-303. Abstract. Online: http: // onlinelibrary. wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2052. 2009.02007.x/ abstract. Tanggal 6 Juli 2011. Fries R, Ruvinsky A. 1999. The Genetic of Cattle. New York: CAB International Publishing. Gil BG, Wiener P, Williams JL. 2007. Genetic effects on coat colour in cattle: dilution of eumelanin and phaeomelanin pigments in an F2-Backcross Charolais × Holstein population. BMC Genetics 8:1-12 Grosz MD, MacNeil MD. 1999. The “Spotted” locus maps to bovine chromosome 6 in a Hereford-cross population. J Herd 90(1): 233-236. Handiwirawan E, Noor RR, Muladno, Schuler L. 2003. The use of Hel9 and INRA035 microsatellites as specific markers for Bali cattle. Arch. Tierz, Dummerstorf 46(6):503-512. Handiwirawan E, Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115. Hardjosubroto W. 2004. Alternatif kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem perbibitan ternak lokal. Wartazoa 14 (3): 93-97. Johari S, Sutopo, Santi A. 2009. Frekuensi fenotipik sifat-sifat kualitatif ayam Kedu dewasa. Makalah Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang, 20 Mei 2009. Klungland H, Vage DI, Gomez-Raya L, Adalsteinsson S, Lien S. 1995. The role of melanocyte-stimulating hormone (MSH) receptor in bovine coat color determination. Mamm Genome 6:636-639. Abstract. Online: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8535072. Tanggal 15 Juni 2011. Kuhn Ch, Weikard R. 2007. An investigation into the genetic background of coat colour dilution in a Charolais × German Holstein F 2 resource population. Animal Genetics 38 (2):109–113. Abstract. Online: http: //onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2052.2007.01569. x/abstract. Tanggal 6 Juli 2011. Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi jarak genetik antara domba Garut tipe tangkas dengan tipe pedaging. Med Pet 30(2):129-138. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
74
Namikawa T, Amano J, Martojo H. 1982. Coat colour variation of Indonesia cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). Tokyo: The Research Group of Overseas Scientific Survey. page 31-34. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. Depok: PT. Penebar Swadaya. Olson TA. 1981. The genetic basis for piebald patterns in cattle. J Herd 72(2):113-116. Abstract. Online: http: //jhered.oxfordjournals.org/content /72/2/113.abstract. Tanggal 6 Juli 2011. Olson TA. 1999. Genetics of colour variation. In: Fries RF, Ruvinsky A, editor. The Genetics of Cattle. New York: CABI Publishing. page 33-53. Ouma E, Abdulai A, Drucker A, Obare G. 2004. Assessment of farmer preferences for cattle traits in smallholder cattle production systems of Kenya and Ethiopia. Conference on International Agricultural Research for Development. Berlin, October 5-7, 2004. Radacsi A. 2008. Horn and coat colour varieties of the Hongarian grey cattle [dissertation]. University of Debrecen. Reinsch et al. 1999. A QTL for the degree of spotting in cattle shows synteny with the KIT locus on chromosome 6. The American Genetic Association 90:629-634. Russo. 2004. Coat colour gene analysis and breed traceability. Speec held on the occasion of the 7th world conference of the Brown Swiss Cattle BreedersBruna 2004-Verona. Online: http: //www.anarb.it /inglese /Dossier% 20 milk%20 quality-inglese/ E_Scientific%20Evidence /012_RUSSO. Bruna 2004.pdf. Tanggal 7 Juli 2011. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA mikrosatelit sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiadi B, Diwyanto K. 1997. Karakterisasi morfologi sapi Madura. JITV 2(4):218-224. Soeroso. 2004. Performans sapi Jawa berdasarkan sifat kuantitatif dan kualitatif [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supranto J. 1998. Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Ed ke-5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
75
KERAGAMAN FENOTIPIK KUANTITATIF SAPI KATINGAN ABSTRACT
The phenotypic information of Katingan Cattle as a local cattle in Central Kalimantan is very limited. A number of 72 adults, consist of 57 heads female and 15 heads male of Katingan Cattle were used in this study. The samples were obtained from three of sub districts in district of Katingan, those were Tewah Sanggalang Garing (Pendahara Village), Pulau Malan (Buntut Bali Village) and Katingan Tengah (Tumbang Lahang Village). The location were used as the variable of groups (subpopulation). This study was conducted to describe morphometric performance, which was analysed by discriminant and canonical to estimate the phylogenic relationship and to determine the discriminant variable among the group (subpopulation). The SAS package program version 6.0 and MEGA 2 program was used to analyze data. The observed parameters were body length, wither height, chest width, chest deep, chest circumference, hip heigth, hip width, head height, head length and head width. The chest deep and hip height of female cattle from Buntut Bali were lower (P<0.05) than those of Pendahara and Tumbang Lahang. The different results on male cattle in group of Buntut Bali, the parameter of chest width, hip width and body length were higher (P<0.05) than group of Pendahara and Tumbang Lahang. The average of body weight male Katingan Cattle from Buntut Bali higher (P<0.05) than group of Pendahara and Tumbang Lahang but there were not different (P>0.05) bodyweight on female Katingan Cattle among location. The highest similarity value was Katingan cattle from group of Tumbang Lahang (82.35%) followed by group of Pendahara (45.16%) and group of Buntut Bali (41.67%), repectivelly. Katingan Cattle from group of Pendahara and Tumbang Lahang had closest genetic distance (1.225), while the longest genetic distance (2.151) was between group of Buntut Bali and group of Pendahara. Genetic distance between group of Buntut Bali and Tumbang Lahang was 1.866. Katingan Cattle from Pendahara and Tumbang Lahang within one cluster. Chest deep and hip height in canonical structure 1 and body length in canonical structure 2 can be used as discriminant variable.
Key words: Katingan Cattle, morphometric, genetic distance, discriminant analysis, canonical
ABSTRAK
Keragaan morfometrik Sapi Katingan memberikan informasi mengenai karakteristik kuantitatif, melalui analisis morfologi dengan pendekatan teknik diskriminasi dan kanonikal digunakan untuk menentukan hubungan filogenik dan peubah pembeda yang dapat menentukan pembeda antar kelompok. Analisis diskriminan dilakukan pada peubah lingkar dada, dalam dada, lebar dada, tinggi
76
gumba, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan, bobot badan, panjang kepala, lebar kepala, dan tinggi kepala. Lokasi penelitian di tiga kecamatan sebagai subpopulasi, yaitu Kecamatan Tewah Sanggalang Garing (Kelurahan Pendahara), Kecamatan Pulau Malan (Desa Buntut Bali), dan Kecamatan Katingan Tengah (Desa Tumbang Lahang). Contoh Sapi Katingan diambil secara acak dan diperoleh contoh sapi dewasa jantan 15 ekor dan sapi dewasa betina 57 ekor. Data dianalisis dengan program SAS versi 6.0 dan MEGA 2. Parameter dalam dada dan tinggi pinggul sapi Katingan betina asal Buntut Bali lebih rendah ukurannya (P<0.05) dari kelompok sapi Pendahara dan Tumbang Lahang. Berbeda untuk sapi jantannya dimana lebar dada, tinggi pinggul dan panjang badan lebih besar (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok sapi jantan dari Pendahara dan Tumbang Lahang. Rata-rata bobot badan Sapi Katingan betina tidak berbeda (P>0.05) antar lokasi tetapi untuk sapi jantannya kelompok dari Buntut Bali lebih berat (P<0.05) dibandingkan kedua lokasi lainnya. Sapi dari Tumbang Lahang mempunyai nilai kesamaan paling tinggi (82.35%), disusul sapi dari Pendahara (45.16%) dan sapi dari Buntut Bali (41.67%). Sapi dari subpopulasi Pendahara dan Tumbang Lahang mempunyai jarak genetik lebih dekat (1.225) dibandingkan antara subpopulasi Buntut Bali dengan Pendahara (2.151) dan dengan Tumbang Lahang (1.866). Sapi dari Pendahara dan Tumbang Lahang berada dalam 1 kluster. Dalam dada dan tinggi pinggul di struktur kanonikal 1 dan panjang badan di struktur kanonikal 2 memberikan pengaruh kuat terhadap peubah pembeda kelompok.
Kata-kata kunci:
Sapi Katingan, morfometrik, diskriminan, kanonikal
jarak
genetik,
analisis
PENDAHULUAN
Sapi lokal Kalimantan Tengah yang dikenal dengan nama Sapi Katingan (Astuti et al. 2007) dewasa ini belum mendapatkan perhatian yang serius padahal sapi tersebut sangat berpotensi sebagai penghasil daging. Informasi tentang sapi tersebut sangat minim, data dasar seperti ukuran morfometrik atau ukuran bagian tubuh ternak baik pada sapi jantan maupun pada sapi betinanya tidak ada, padahal menurut Suparyanto et al. (1999) dan Zulu (2008), ukuran-ukuran tubuh dapat menggambarkan ciri khas dari suatu bangsa sapi. Pada studi keragaman genetik ukuran morfometrik digunakan sebagai penanda morfologi (fenotipik) yang banyak digunakan dalam program pemuliaan praktis. Penanda morfologi merupakan penciri yang ditentukan atas dasar ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau dilihat secara langsung (Hartati et al. 2010). Berbagai rumpun sapi lokal Indonesia telah mempunyai data morfologi ternak
77
(Sarbaini 2004; Abdullah 2008; Chamdi 2005) sehingga bisa menjadi acuan untuk program seleksi. Mengingat pentingnya parameter tersebut, pada tahap awal dilakukan penelitian untuk memperoleh ukuran karakteristik tubuh Sapi Katingan. Karakterisasi bisa dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Noor 2008; Sarbaini 2004). Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat produksi dan reproduksi atau sifat yang dapat diukur, seperti bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh. Ekspresi sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen (poligen), baik dalam keadaan homozigot maupun heterozigot (Noor 2008) dan dipengaruhi oleh lingkungan, yaitu melalui pakan, penyakit dan pengelolaan, tetapi tidak dapat mempengaruhi genotipe hewan dan kebanyakan sifat yang mempunyai nilai ekonomis adalah sifat kuantitatif (Warwick et al. 1995; Martojo 1992). Menurut Bugiwati (2007), ukuran dimensi tubuh dan bobot badan mencirikan pertumbuhan ternak dan salah satu faktor penting dalam pemuliabiakan ternak. Karakterisasi ukuran-ukuran tubuh dapat juga digunakan untuk mengukur jarak genetik, merupakan metode pengukuran yang murah dan sederhana (Brahmantyo et al. 2003). Analisis pada tingkat DNA memberikan hasil estimasi jarak genetik yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan metode lainnya, namun kelemahannya membutuhkan fasilitas yang memadai dan dana yang besar (Mansjoer et al. 2007). Beberapa penelitian pendugaan jarak genetik pada sapi lokal di Indonesia berdasarkan morfologis (analisis morfometrik) ternak telah dilakukan (Abdullah 2008; Sarbaini 2004), bahkan untuk menyelidiki asal-usul dan hubungan genealogikal pada beberapa tipe sapi asli Asia Timur (Otsuka et al. 1980; Otsuka et al. 1982). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman morfometrik dan hubungan filogenik Sapi Katingan di tiga pusat budidaya di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
78
BAHAN DAN METODE
Bahan Koleksi contoh Sapi Katingan diambil di tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Katingan, yaitu di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing dengan lokasi utama di Kelurahan Pendaharan, Kecamatan Pulau Malan dengan lokasi utama di Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah dengan lokasi utama di Desa Tumbang Lahang. Contoh Sapi Katingan dipisahkan berdasarkan 3 kelompok umur, yaitu: anak (umur + 0.5 - ≤ 1.4 tahun), muda (umur 1.5 - ≤ 2.9 tahun) dan dewasa (umur 3 - ≤ 6 tahun) (Sarbaini 2004) dari masing-masing lokasi (subpopulasi) dan masing-masing jenis kelamin. Penentuan umur dilakukan berdasarkan pada keterangan langsung pemiliknya dan dari hasil pengamatan terhadap pergantian dan pergesekan gigi seri (Gambar 23) (Abdullah 2008). Selanjutnya sapi-sapi dengan kode masing-masing I 2 , I4 , I6 dan I8 dimasukkan ke dalam kelompok umur 1, 2, 3 dan 4 tahun (Abdullah 2008).
< 1 th
1 th
(1) Io: Umur < 1 tahun (Belum ada gigi tetap) (Nomor 1) (2) I2: Umur 1-1.5 tahun (2 buah gigi tetap) (Nomor 2)
2 th
3 th
(3) I4: Umur 2-2.5 tahun (4 buah gigi tetap) (Nomor 3) (4) I6: Umur 3-3.5 tahun (6 buah gigi tetap) (Nomor 4)
4 th
> 4 th
(5) I8: Umur 4-6 tahun (8 buah gigi tetap) (Nomor 5) (6) Ia: Umur > 6 tahun (Gigi aus semua) (Nomor 6)
Gambar 23
Perkiraan umur sapi berdasarkan pergantian gigi seri (Sumber: http://www.fao.org/docrep/t0690e/t0690e05.htm. Tanggal 28 Mei 2011).
79
Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan November 2009 sampai April 2010 dan didapatkan distribusi contoh Sapi Katingan sebagaimana disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Distribusi contoh Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian yang diambil secara acak Lokasi
Jenis kelamin Jantan
Betina
Anak
Muda
Dewasa
Anak
Muda
Dewasa
Pendahara
12
6
5
5
8
26
Buntut Bali
4
6
6
4
12
18
Tumbang Lahang
5
5
4
4
12
13
Jumlah
21
17
15
13
32
57
Metode Penarikan contoh ternak sapi dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dimana setiap ditemukan sapi di lapangan dan mudah ditangani, sapi tersebut kemudian diambil datanya. Jumlah contoh sapi diambil sebanyak-banyaknya sesuai kondisi di lapangan. Data yang terkumpul kemudian ditabulasi untuk melihat distribusi contoh. Kekurangan contoh pada kelompok umur atau jenis kelamin tertentu dilengkapi lagi di lapangan. Koleksi sapi dimulai dengan pencatatan jenis kelamin dan umur sapi serta nama pemiliknya. Peubah atau bagian-bagian permukaan tubuh yang diamati dan diukur ada 9 parameter, yaitu panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang kepala dan lebar kepala. Metode pengukuran (Gilbert et al. 1993; Sarbaini 2004; Abdullah 2008) untuk masingmasing parameter tubuh (Gambar 24) dilakukan sebagai berikut: (1)
lingkar dada (cm), diukur melingkar tepat dibelakang scapula dengan menggunakan pita ukur,
(2)
dalam dada (cm), diukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada dengan menggunakan tongkat ukur,
80
(3)
lebar dada (cm), diukur diantara tuberositas humeri sinister dan dexter dengan menggunakan tongkat ukur,
(4)
tinggi pundak (cm), diukur dari bagian tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur,
(5)
tinggi pinggul (cm), diukur dari bagian tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur,
(6)
lebar pinggul (cm), diukur jarak lebar antara kedua sendi pinggul dengan menggunakan tongkat ukur,
(7)
panjang badan (cm), diukur dari tuber ischii sampai dengan tuberositas humeri dengan menggunakan tongkat ukur,
(8)
panjang kepala (cm), diukur pada posisi tengah kepala di antara dua tanduk sampai ke bagian mulut menghitam dengan menggunakan pita ukur,
(9)
lebar kepala (cm), diukur jarak kedua sisi tulang pipi dengan menggunakan pita ukur. Pengukuran bagian-bagian permukaan tubuh tersebut diambil ketika
hewan dalam kondisi berdiri normal dengan kepala tegak dan bobot badan bertumpu pada keempat kakinya (Gilbert et al. 1993).
Gambar 24 Bagian-bagian permukaan tubuh sapi yang diukur.
Kondisi lapang yang sulit dan tidak memungkinkan untuk membawa timbangan, pendugaan bobot hidup dilakukan dengan menggunakan rumus W =
81
LG2/300 (W = bobot badan dalam pound, L = panjang badan dalam inch, G = lingkar dada dalam inch). Selanjutnya dijabarkan menjadi: BB = LG2/10804, dimana L adalah panjang badan dalam cm dan G adalah lingkar dada dalam cm (Abdullah 2008).
Analisis Data Data kuantitatif, yaitu ukuran-ukuran tubuh dianalisa dengan: (1) statistik deskriptif, (2) uji rataan antara subpopulasi, dan (3) analisa morfometrik untuk pendugaan jarak genetik (Sarbaini 2004; Brahmantiyo 2008).
Analisis Statistik Deskriptif Analisa statistik diskriptif ditujukan untuk memperoleh karakterisasi bobot tubuh dan ukuran-ukuran tubuh sapi. Analisa ini dikerjakan dengan menghitung nilai rata-rata ( ), simpangan baku (s) dan koefisien keragaman (KK) dari setiap peubah yang diamati seperti petunjuk Steel dan Torrie (1995). Model persamaannya:
dimana
adalah ukuran ke-i dari peubah X, n adalah jumlah contoh yang
diperoleh dari populasi.
Uji Rataan antara Subpopulasi Pengujian rataan ukuran-ukuran tubuh antar kelompok (subpopulasi) diuji menggunakan uji-t pada α = 0.05 dan derajat bebas (n 1 + n 2 – 2). Nilai t h (Steel & Torrie 1995), dihitung dengan rumus :
82
dimana:
= rataan sampel pada kelompok pertama = rataan sampel pada kelompok kedua = nilai pengamatan ke j pada kelompok pertama = nilai pengamatan ke j pada kelompok ke dua = jumlah sampel pada kelompok pertama = jumlah sampel pada kelompok ke dua
Beda nyata antar subpopulasi mengikuti hipotesa H o : tidak terdapat perbedaan rataan antara subpopulasi 1 dan 2, dengan kriteria: tolak H o jika t h > t α (n 1 +n 2 -2) apabila t h bernilai positif atau t h < t α (n 1 +n 2 -2) apabila t h bernilai negatif (Sarbaini 2004). Ukuran parameter tubuh yang diamati dianalisa dengan menggunakan general linear model (GLM) dengan prosedur least squares means (LSM) menurut Statistics Analytical System (SAS) (1985).
Analisis Morfometrik Data ukuran tubuh sapi dewasa sebelum dianalisa terlebih dahulu dilakukan koreksi terhadap jenis kelamin. Data ukuran tubuh merupakan peubah morfometrik dan digunakan untuk pendugaan jarak genetik (Gunawan & Sumantri 2008; Sumantri et al. 2007; Muzani et al. 2005; Brahmantiyo et al. 2003) dengan menggunakan analisis diskriminan (Manly 1997). Fungsi diskriminan digunakan melalui pendekatan jarak Mahalanobis seperti yang di jelaskan oleh Nei (1987), sebagai ukuran jarak kuadrat genetik minimum dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
83
D2 (i,j) = (X i – X j )C-1(X i -X j ) Keterangan:
D2 (i,j)
= nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antar kelompok sapi ke-i dan kelompok sapi ke-j;
C-1
= kebalikan matrik gabungan ragam peragam antar peubah;
Xi
= vektor nilai rataan pengamatan dari kelompok sapi ke-i pada masing-masing peubah kuantitatif; dan
Xj
= vektor nilai rataan pengamatan dari kelompok sapi ke-j pada masing-masing peubah kuantitatif.
Setelah perhitungan jarak kuadrat, kemudian dilakukan pengakaran terhadap hasil kuadrat jarak, agar jarak genetik yang didapat bukan dalam bentuk kuadrat. Hasil pengakaran dianalisis lebih lanjut dengan program MEGA2 (Kumar et al. 2001) untuk memperoleh pohon fenogram. Analisis statistik Mahalanobis dikerjakan menggunakan paket program SAS versi 6.0 (SAS 1985) dengan prosedur PROC CANDISC dan PROC DISCRIM. Analisis kanonikal dilakukan untuk menentukan peta penyebaran dan nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok ternak (Herrera et al. 1996). Analisis ini juga dipakai untuk menentukan beberapa peubah dari ukuran fenotipik
yang
memiliki
pengaruh
kuat
terhadap
penyebab
terjadinya
pengelompokan ternak (pembeda kelompok) (Gunawan & Sumantri 2008; Sumantri et al. 2007; Mansjoer et al. 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Hidup dan Parameter Tubuh Analisis parameter tubuh hanya dilakukan pada umur sapi dewasa dengan pertimbangan bahwa secara fisiologis tidak terjadi pertumbuhan lagi. Menurut Suparno (1992), perbedaan komposisi tubuh diantara bangsa ternak, terutama
84
disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa. Analisis diskriptif dalam bentuk rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman berdasarkan lokasi dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 21, 22 dan 23. Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman bobot hidup sapi Katingan di tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 21. Rata-rata bobot hidup sapi betina di tiga lokasi penelitian, yaitu Sapi Katingan asal Buntut Bali 201.8 kg, sapi asal Pendahara 208.9 kg dan sapi asal Tumbang Lahang 217.1 kg tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Sebaliknya untuk rata-rata bobot hidup sapi jantan terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara sapi yang ada di Buntut Bali dengan rata-rata bobot hidupnya 299.9 kg lebih berat jika dibandingkan dengan yang ada di Pendahara (250.5 kg) dan di Tumbang Lahang (261.1 kg). Sapi jantan yang dipelihara di Pendahara bobot hidupnya tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan yang dipelihara di Tumbang Lahang. Rata-rata bobot hidup sapi jantan lebih berat dibandingkan dengan sapi betina (P<0.01).
Tabel 21 Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) bobot hidup Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin Lokasi (Sub
Betina
Jantan
populasi)
x
s.d
KK (%)
x
Pendahara
208.9a
+ 21.3
10.19 13.18
a
Buntut Bali
201.8
a
Tbg. Lahang Keterangan:
217.1
+ 26.6 + 23.0
10.59
s.d
KK (%)
250.5a
+106.0
42.32
b
+ 86.1
28.71
a
+ 20.5
7.85
299.9
261.1
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (a/b)
Variasi bobot hidup Sapi Katingan relatif besar kalau dilihat dari nilai koefisien keragaman (Tabel 21), baik pada sapi betina (10.19-13.18) maupun pada sapi
jantannya
(7.85-42.32).
Bahkan
sebagian
peternak
ada
yang
menggolongkannya ke dalam sapi tipe kecil dan tipe sedang, namun jumlah sapi yang bertipe kecil jauh lebih sedikit dibandingkan yang tipe sedang. Ada dugaan
85
faktor pakan dan inbreeding menjadi penyebab sebagian sapi menjadi kecil. Menurut Sumantri (2007) dan Gunawan dan Sumantri (2008), selain faktor genetik, ukuran-ukuran tubuh dapat dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan di setiap lokasi penelitian yang berbeda-beda. Apabila dibandingkan dengan bobot hidup sapi lokal lain (Gambar 25), Sapi Katingan relatif lebih besar dibandingkan dengan Sapi Aceh dan Sapi Pesisir tetapi relatif lebih kecil dibandingkan dengan Sapi Bali, Madura dan PO.
Gambar 25 Perbandingan bobot badan Sapi Katingan dengan sapi lokal 1) 2) lainnya: Abdullah (2008), Sarbaini (2004), 3) Surjoatmodjo (1993), 4)Wijono & Setiadi (2004). Hasil pengukuran parameter tubuh yang lain, yaitu lingkar dada, dalam dada, lebar dada, tinggi gumba, tinggi pinggul, lebar pinggul dan panjang badan disajikan pada Tabel 22. Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa ukuran parameter tubuh Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian sebagian besar tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05), hanya beberapa parameter yaitu dalam dada dan tinggi pinggul sapi betina asal Butut Bali lebih kecil ukurannya (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok sapi yang ada di Pendahara dan Tumbang Lahang. Sebaliknya untuk sapi jantan, parameter lebar dada, lebar pinggul dan panjang badan sapi asal kelompok Butut Bali lebih besar ukurannya (P<0.05) dibandingkan dengan sapisapi yang ada di Pendahara dan Tumbang Lahang. Sebagian besar ukuran parameter tubuh sapi sangat dipengaruhi (P<0.01) oleh faktor jenis kelamin pada setiap lokasi baik yang ada di Pendahara, Buntut Bali maupun di Tumbang Lahang.
86
Tabel 22 Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter tubuh Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin Parame Lokasi ter tubuh (Sub populasi) Lingkar Pendahara dada Buntut Bali
Dalam dada
Lebar dada
Tinggi gumba
Tinggi pinggul
Lebar pinggul
Panjang badan
Keterangan:
x
Betina s.d
141.4a
+ 5.7
KK (%) 4.03
Jantan s.d
x 148.9a
+ 22.3
KK (%) 14.98
a
137.0
a
+ 6.6
4.82
157.1
+ 18.1
11.52
T. Lahang
139.9a
+ 7.1
5.08
151.2a
+ 6.0
3.97
Pendahara
51.2a
+ 3.0
5.86
52.1a
+ 5.6
10.75
Buntut Bali
46.9b
+ 6.0
12.79
54.9a
+ 6.5
11.84
T. Lahang
52.1a
+ 2.5
4.79
52.3a
+ 4.6
8.79
Pendahara
27.2a
+ 3.8
13.97
28.2a
+ 4.5
15.96
b
Buntut Bali
26.6
a
+ 2.8
10.52
34.9
+ 1.2
3.44
T. Lahang
26.9a
+ 3.9
14.49
28.9a
+ 1.1
3.81
Pendahara
102.9a
+ 4.5
4.37
114.8a
+ 12.6
10.96
Buntut Bali
100.6a
+ 5.0
4.97
121.1a
+ 13.3
10.98
T. Lahang
104.4a
+ 5.2
4.98
115.5a
+ 7.1
6.15
Pendahara
108.0a
+ 2.8
2.59
111.0a + 6.7
6.04
Buntut Bali
102.4
b
4.59
113.1
a
+ 4.7
+ 6.2
5.48
T. Lahang
107.5a
+ 5.6
5.21
113.0a
+ 6.8
6.02
Pendahara
34.3a
+ 2.1
6.12
37.7a
+ 7.6
20.16
Buntut Bali
35.2a
+ 3.1
8.81
41.7b
+ 4.0
9.59
T. Lahang
35.2a
+ 2.9
8.24
35.0a
+ 0.9
2.57
Pendahara
112.7
a
a
+ 7.7
6.83
116.2
+ 15.6
13.43
Buntut Bali
115.6a
+ 7.4
6.40
128.4b
+ 9.9
7.71
T. Lahang
119.6a
+ 3.6
3.01
123.2ab + 0.9
0.73
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (a/b/ab)
Apabila ukuran-ukuran dimensi tubuh tersebut dibandingkan dengan sapi lokal lainnya ternyata konsisten dengan perbandingan bobot badannya, yaitu Sapi Katingan relatif masih lebih besar ukurannya dibandingkan dengan Sapi Aceh dan
87
Sapi Pesisir namun relatif lebih kecil dibandingkan dengan Sapi Bali, Madura dan PO (Gambar 26 dan 27).
Gambar 26 Perbandingan panjang badan, lingkar dada dan tinggi pundak Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 2) Abdullah (2008), 3)Sarbaini (2004), 4,5,6)Surjoatmodjo (1993).
Gambar 27 Perbandingan lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul dan lebar pinggul Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya: 1) Surjoatmodjo (1993), 2)Sarbaini, 3)Abdullah (2008).
Berdasarkan data yang diperoleh memberikan gambaran bahwa ukuran parameter Sapi Katingan relatif lebih besar dibandingkan dengan beberapa sapi lokal Indonesia, seperti Sapi Aceh dan Sapi Pesisir, namun relatif lebih kecil
88
dibandingkan dengan Sapi PO dan Sapi Bali. Menurut Sloan dan Marrow (1983) ukuran dimensi tubuh dapat dipakai sebagai penduga penampilan pejantan yang baik. Otsuka et al. (1980) menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan untuk melakukan perbandingan antara berbagai bangsa sapi asli Indonesia, serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia. Parameter ukuran kepala yang meliputi panjang kepala, lebar kepala dan tinggi kepala tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05) pada Sapi Katingan betina di tiga lokasi penelitian. Adapun pada Sapi Katingan berjenis kelamin jantan parameter tinggi kepala sapi asal Butut Bali lebih besar ukurannya (P<0.05) dibandingkan dengan sapi asal Pendahara dan Tumbang Lahang. Ukuran parameter panjang kepala dipengaruhi oleh jenis kelamin (P<0.01) untuk kelompok sapi asal Pendahara dan Butut Bali. Jenis kelamin juga mempengaruhi (P<0.01) parameter lebar kepala untuk sapi asal Butut Bali dan Tumbang Lahang, dan tinggi kepala untuk kelompok sapi asal Butut Bali (Tabel 23).
Tabel 23 Rataan (x), simpangan baku (s.d) dan koefisien keragaman (KK) parameter kepala Sapi Katingan dewasa berdasarkan lokasi dan jenis kelamin Parame ter kepala Panjang
Lokasi
x
+ 3.7
KK (%) 9.66
Jantan s.d
41.8a
+ 0.5
KK (%) 1.19
kepala
38.2a
+ 2.3
6.02
42.9a
+ 0.9
2.09
T. Lahang
39.5a
+ 1.7
4.30
41.1a
+ 1.3
3.16
Lebar
Pendahara
17.9
a
+ 1.6
8.94
18.7
a
+ 1.6
8.56
kepala
Buntut Bali
17.5a
+ 1.2
6.86
19.9a
+ 0.3
1.51
T. Lahang
17.8a
+ 1.2
6.74
19.8a
+ 1.7
8.59
Tinggi
Pendahara
25.8a
+ 2.1
8.14
24.4a
+ 1.8
7.38
kepala
Buntut Bali
25.8a
+ 3.1
12.02
28.7b + 2.1
7.32
T. Lahang
25.2a
+ 1.7
6.75
24.9a + 0.3
1.20
Keterangan:
x
Betina s.d
Pendahara
38.3a
Buntut Bali
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (a/b)
89
Peta Penyebaran (Gambaran Kanonikal) Sapi Katingan di Lokasi Penelitian Hasil analisis pada Gambar 28 menunjukkan adanya pengelompokkan secara morfologis. Can 2
I
II
IV
III
Can 1
Gambar 28 Gambaran kanonikal Sapi Katingan di lokasi Buntut Bali (B), Pendahara (P) dan Tumbang Lahang (T). Sapi Katingan yang berasal dari Butut Bali sebagian besar berada di kuadran I dan IV, sapi yang berasal dari Tumbang Lahang sebagian besar berada di kuadran I dan II dan sapi yang berasal dari Pendahara sebagian ada di kuadran II dan sebagian besar berada di kuadran III. Sapi-sapi yang berasal dari ke tiga
90
lokasi tersebut tidak terpisah secara tegas namun masih saling berhimpitan. Secara morfologis ada interaksi antar masing-masing kelompok dengan kualitas yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih adanya kesamaan ukuran fenotipik dari ketiga asal Sapi Katingan tersebut. Adanya himpitan dari ketiga kelompok asal sapi wajar karena mobilitas sapi walaupun relatif jarang, lebih banyak terjadi di tiga lokasi penelitian tersebut dibandingkan dengan di luar ketiga wilayah tersebut. Ketiga lokasi tersebut merupakan wilayah yang paling banyak populasi Sapi Katingannya dan hubungan antar ketiga wilayah relatif lebih mudah ditempuh. Tingkat himpitan kelompok menurut Sumantri et al. (2007) menunjukkan tingkat kesamaan ukuran fenotipik.
Nilai Campuran Fenotipik antar Kelompok Hasil analisis diskriminan dapat digunakan untuk menduga adanya nilai kesamaan pada suatu kelompok (Sumantri et al. 2007; Mansjoer et al. 2007; Gunawan & Sumantri 2008). Nilai kesamaan ukuran tubuh berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah kelompok Sapi Katingan dari Tumbang Lahang (82.35%), Sapi Katingan dari Pendahara (45.16%) dan Sapi Katingan dari Buntut Bali (41.67%) (Tabel 24). Sapi Katingan asal Tumbang Lahang ukuran tubuhnya dipengaruhi oleh kelompok sapi dari Buntut Bali sebesar 11.76% dan oleh kelompok sapi dari Pendahara 5.88%. Sebaliknya Sapi Katingan asal Buntut Bali banyak dipengaruhi oleh kelompok sapi dari Tumbang Lahang sebesar 45.83% dan sebagian kecil oleh kelompok sapi dari Pendahara 12.50%. Seperti halnya sapi dari Buntut Bali, Sapi Katingan dari Pendahara juga banyak dipengaruhi oleh kelompok sapi dari Tumbang Lahang yaitu sebesar 54.84%, sedangkan kelompok sapi dari Buntut Bali tidak mempengaruhi sama sekali (0.00%). Tingginya nilai kesamaan sapi yang berada di Tumbang Lahang diduga karena lokasinya yang relatif jauh sehingga perkembangbiakan dan pemeliharaannya lebih terisolasi daripada sapi-sapi yang ada di Buntut Bali dan Pendahara dimana lokasi keduanya relatif lebih berdekatan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
91
Tabel 24 Presentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok Sapi Katingan Lokasi (subpopulasi) Buntut Bali
Lokasi (subpopulasi) Buntut Bali Pendahara Tumbang Lahang 10 3 11
n
Pendahara
Tumbang Lahang
Total
Total
24
(%)
41.67
12.50
45.83
100.0
n
0
14
17
31
(%)
0.00
45.16
54.84
100.0
n
2
1
14
17
(%)
11.76
5.88
82.35
100.0
n
12
18
42
72
(%)
16.67
25.00
58.33
100.0
Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram Hasil analisis nilai matrik jarak genetik antara masing-masing kelompok Sapi Katingan dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Matrik jarak genetik antar tiga lokasi (sub populasi) sapi Katingan Kelompok/Sub populasi Buntut Bali Pendahara Tumbang Lahang
Lokasi Buntut Bali
Pendahara
Tumbang Lahang
0
2.151
1.866
0
1.225 0
Nilai matrik jarak genetik kelompok (subpopulasi) sapi dari Pendahara dan Buntut Bali memiliki nilai terbesar yaitu 2.151, sedangkan nilai matrik jarak genetik yang lebih kecil berturut-turut adalah antara Tumbang Lahang dengan Buntut Bali (1.866) dan Tumbang Lahang dengan Pendahara (1.225). Hal ini menunjukkan bahwa diantara ketiga lokasi sapi lokal di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, lokasi Pendahara memiliki hubungan morfologis sapi yang
92
relatif lebih dekat dengan lokasi Tumbang Lahang dibandingkan dengan lokasi Buntut Bali. Hasil ini dapat ditunjukkan pula pada konstruksi pohon fenogramnya (Gambar 29).
Pdhara Pendahara Tlahang T. Lahang Btbali Buntut Bali 1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Gambar 29 Pohon fenogram dari ketiga lokasi (subpopulasi) Sapi Katingan.
Kelompok Sapi Katingan yang berasal dari Buntut Bali secara genetik agak terpisah dengan Sapi Katingan yang berasal dari Pendahara dan Tumbang Lahang. Sapi Katingan yang ada di Buntut Bali relatif masih terjaga sistem perkawinannya, yaitu antar sesama Sapi Katingan, sedangkan untuk Sapi Katingan yang ada di Pendahara dan terutama yang ada di Tumbang Lahang sudah banyak dipelihara sapi lokal lain terutama Sapi Bali. Selain sapi Bali, di Tumbang Lahang sudah lama pula dipelihara jenis Sapi PO dan Zebu. Diduga hal ini yang menyebabkan perbedaan morfologi kelompok Sapi Katingan tersebut sebagaimana tampilan pohon fenogramnya. Kondisi ini serupa dengan yang dilaporkan oleh Amin (2010) pada sapi-sapi lokal di Banyuwangi dimana keragaman fenotipik disebabkan oleh adanya intervensi genetik sapi lokal lain (Bali, Ongole dan Brahman) dan karena program inseminasi buatan dengan semen dari Limousin, Simmental, Aberdeeen Angus dan Santa gertrudis.
Peubah Pembeda (Kanonikal) antar Lokasi (Subpopulasi) Pendugaan peubah ukuran dimensi tubuh yang menyebabkan perbedaan antar lokasi (subpopulasi) Sapi Katingan dilakukan dengan analisis korelasi kanonik dengan hasil disajikan pada Tabel 26.
93
Tabel 26 Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian Ukuran-ukuran tubuh
Kanonik 1
Kanonik 2
Lingkar dada
0.296676
-0.051759
Dalam dada
0.606095
0.402062
Lebar dada
0.110661
-0.054872
Tinggi gumba
0.256418
0.313214
Tinggi pinggul
0.705365
0.159693
Lebar pinggul
-0.151283
0.215189
Panjang badan
-0.144688
0.784822
Bobot badan
0.141037
0.250997
Ukuran nilai korelasi kanonik pada satu peubah mengindikasikan kekuatan peranan peubah-peubah tersebut sebagai pembeda antar kelompok atau subpopulasi (Sarbaini 2004). Hasil analisis total struktur kanonikal menunjukkan bahwa pada fungsi kanonik 1 ditemukan dua peubah yang mempunyai nilai korelasi kanonik yang relatif tinggi, yaitu dalam dada (0.606) dan tinggi pinggul (0.705). Hal ini menunjukkan bahwa dalam dada dan tinggi pinggul merupakan peubah pembeda antar lokasi (subpopulasi). Sedangkan pada fungsi kanonik 2 nilai korelasi kanonik yang relatif tinggi ditemukan pada panjang badan (0.785), dengan demikian hanya panjang badan yang dapat dijadikan sebagai peubah pembeda antar lokasi (subpopulasi). Nilai korelasi kanonik berkisar antara -0.151 – 0.785.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Keragaman kuantitatif sapi Katingan relatif tinggi dilihat dari nilai koefisien keragamannya. 2. Beberapa parameter tubuh Sapi Katingan mempunyai ukuran yang berbeda secara nyata antar subpopulasi, yaitu parameter dalam dada dan tinggi pinggul
94
sapi betina asal Buntut Bali ukurannya lebih rendah. Sedangkan pada sapi jantannya untuk ukuran lebar dada, tinggi pinggul dan panjang badan lebih besar dibanding yang ada di Pendahara dan Tumbang Lahang. 3. Rata-rata bobot badan sapi betina tidak berbeda antar lokasi tetapi untuk sapi jantannya dari subpopulasi Buntut Bali lebih besar dibandingkan kedua lokasi lainnya. 4. Sapi-sapi Katingan yang ada di lokasi Tumbang Lahang memiliki tingkat kesamaan morfologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi-sapi yang ada di Pendahara dan Buntut Bali dan ukuran dimensi tubuh yang bisa dijadikan faktor pembeda antar subpopulasi adalah dalam dada dan tinggi pinggul di struktur kanonik 1 dan panjang badan di struktur kanonik 2. 5. Secara morfometrik Sapi Katingan asal subpopulasi Tumbang Lahang mempunyai kedekatan dengan sapi subpopulasi Pendahara dibandingkan dengan subpopulasi Buntut Bali.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan bahwa penelitian keragaan morfometrik yang meliputi parameter tubuh dan pendugaan jarak genetik perlu dikembangkan lebih lanjut pada populasi yang lebih besar dan lebih menyebar terutama pada wilayah pemeliharaan Sapi Katingan yang terisolir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MAN. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amin M. 2010. Intervention of genetic flow of the foreign cattle toward diversity of phenotype expressions of local cattle in the District of Banyuwangi. Biodiversitas 10(2):69-74. Astuti M, Agus A, Gede SBS, Aryadi B, Yusiati LM, Anggriani M. 2007. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Ardana Media dan Rumah Produksi Informatika.
95
Bugiwati SRA. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan Sapi Bali di Kabupaten Bone dan Barru Sulawesi Selatan. J Sains Teknol 7(2):103108. Brahmantiyo B, Prasetyo LH, Setioko AR, Mulyono RH. 2003. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda galur itik (Alabio, Bali, Khaki Campbell, Mojosari dan Pegagan) melalui analisis morfometrik. JITV 8 (1):1-7. Chamdi AN. 2005. Karakteristik sumberdaya genetik ternak sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya (Review). Biodiversitas 6(1):70-75. Gilbert RP, Bailey DRC, Shannon NH. 1993. Linear body measurements of cattle before and after 20 years of selection for postweaning gain when fed two different diets. J Anim Sci 71:1712-1720. Gunawan A, Sumantri C. 2008. Pendugaan nilai campuran fenotipik dan jarak genetik domba Garut dan persilangannya. J Indon Trop Anim Agric 33(3): 176-185. Hartati, Sumadi, Subandriyo, Hartatik T. 2010. Keragaman morfologi dan diferensiasi genetik Sapi Peranakan Ongole di peternakan rakyat. JITV 15(1): 72-80. Haryana IGNR. 1989. Beberapa aspek biologi reproduksi Sapi Bali jantan muda [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kumar SK, Tamura, Nei M. 2001. MEGA. Moleculer Evolutionary Genetics Analysis. Version 1.01. Institute of Moleculer Evolutioner Genetic. London: The Pennsylvania University. Chapman and Hall Ltd. Manly BFJ. 1989. Multivariate Statistical Methods. A Primer. London: Champman and Hall Ltd. Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi jarak genetik antara domba Garut tipe tangkas dengan tipe pedaging. Med Pet 30(2):129-138. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Muzani A, Brahmantiyo B, Sumantri C, Tapyadi A. 2005. Pendugaan jarak genetik pada itik Cihateup, Cirebon dan Mojosari. Med Pet 28(3):109-116. Nei M. 1987. Moleculer Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. Depok: PT. Penebar Swadaya.
96
Otsuka J, Kondo J, Simamora S, Mansjoer SS, Martojo H. 1980. Bodymeasurements of the Indonesian native cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan. page 7-18. Otsuka J, Namikawa T, Nozawa K, Martojo H. 1982. Statistical analysis on the body measurement of East Asian native cattle and bantengs. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan. page 7-17. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA mikrosatelit sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sloan JL, Marrow RE. 1983. The relationship of performance traits and body measurement in evaluation of bull in test. J Anim Sci 57:35 (Abstract). Statistic Analytical System. 1985. SAS User’s Guide. SAS Inst., Inc., Cary. NC. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu pendekatan biometrik. Ed Ke 2. Jakarta: PT. Gramedia. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu I. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. JITV 12(1):42-54 Suparyanto A, Purwadaria T, Subandriyo. 1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. JITV 4:80-87. Surjoatmodjo M. 1993. Asal-usul sapi Madura ditinjau dari hasil pengukuran bagian-bagian tubuhnya. Proceedings Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sumenep, 11-12 Oktober 1992. Bogor: Puslitbang Peternakan. Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Ed ke-5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wijono DB, Setiadi B. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik Sapi Madura. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Okt 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. hal. 42-52. Zulu DN. 2008. Genetic characterization on Zambian native cattle breeds [thesis]. The Virginia Polytechnic Institute and State University.
97
KERAGAMAN GENETIK SAPI KATINGAN DAN HUBUNGAN KEKERABATANNYA DENGAN BEBERAPA SAPI LOKAL LAIN BERDASARKAN PADA 15 LOKUS MIKROSATELIT ABSTRACT
Katingan cattle is one of Indonesian the animal genetic resources located in Katingan District, Central Kalimantan. The existence of Katingan cattle is worried to be extint due to its small population size, therefore it is necessary to conserve the cattle. Breed characterization is the primary step in any conservation program. Characterization was done using 15 microsatellite markers to evaluate the genetic diversity of Katingan Cattle in three subpopulations and their genetic relationship with some other local cattle. A total number of 72 random samples consist of Pendahara (20 samples), Buntut Bali (20 samples), and Tumbang Lahang (32 samples) was used. The samples of Bali, PO, and Limousine Cattle were 11, 6 and 3 respectivelly. The number of 211 alleles were found with the variation from 9 alleles (CSSM066) to 20 alleles (ILSTS028) and the average of the allele was 14.1 alleles per locus. The average of allele in Tumbang Lahang and Pendahara subpopulation was the same (11.1 alleles) higher than Buntut Bali subpopulation (8.0 alleles). Some loci produced diagnostic allele which were varies from 1-7 kinds of alleles. The locus of ILSTS045 (Tumbang Lahang subpopulation) had one diagnostic allele and the loci of ILSTS028 (Tumbang Lahang and Pendahara subpopulations), ILSTS036 (Pendahara, Tumbang Lahang and Buntut Bali subpopulations) and ILSTS029 (Tumbang Lahang, Pendahara and Buntut Bali subpopulation) had the largest number of diagnostic alleles (7 alleles). The diagnostic alleles were more found in Tumbang Lahang and Pendahara subpopulations than in Buntut Bali subpopulation. Heterozigositas values of Pendahara, Buntut Bali, and Tumbang Lahang subpopulation were 0.5405, 0.5341, and 0.5892 respectively. While the average of heterozigositas (Ĥ) was 0.5609. Subpopulation of Tumbang Lahang was closer genetically to Pendahara (0.1872) than Buntut Bali (0.1872) and also the subpopulation was closer genetically to PO Cattle (0.3774) compared to subpopulation of Buntut Bali (0.4452) and Pendahara (0.4840). The population of Katingan Cattle within one kluster with PO Cattle.
Key words: Katingan Cattle, microsatellite, genetic diversity
ABSTRAK
Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah ternak yang ada di Kalimantan Tengah, perlu dilakukan perlindungan/konservasi. Karakterisasi adalah salah satu tahapan dalam program konservasi. Karakterisasi dilakukan
98
secara molekuler dengan menggunakan 15 lokus mikrosatelit dengan tujuan untuk mengevaluasi keragaman genetik molekuler Sapi Katingan di tiga subpopulasi dan hubungan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lainnya. Sebanyak 72 contoh darah, terdiri dari Pendahara 20 contoh, Buntut Bali 20 contoh dan Tumbang Lahang 32 contoh digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan contoh darah sapi lokal lainnya adalah Sapi Bali 11 contoh, Sapi PO 6 contoh dan Sapi Limousin 3 contoh. Hasil skrining 15 set lokus mikrosatelit pada Sapi Katingan didapatkan 211 alel dengan kisaran 9 (CSSM066) sampai 20 alel (ILSTS028) dan dengan rata-rata 14.1 alel per lokus. Rata-rata jumlah alel pada subpopulasi Tumbang Lahang sama dengan subpopulasi Pendahara (11.1 alel), sedangkan subpopulasi Buntut Bali (8.0 alel). Beberapa lokus tertentu menghasilkan alel diagnostik yang bervariasi dari 1-7 macam alel. Jumlah alel diagnostik terkecil yaitu 1 pada lokus ILSTS045 di subpopulasi Tumbang Lahang dan tertinggi 7 pada lokus ILSTS028 (Tumbang Lahang dan Pendahara), ILSTS036 (Pendahara, Tumbang Lahang dan Buntut Bali) dan ILSTS029 (Tumbang Lahang, Pendahara dan Buntut Bali). Alel-alel diagnostik banyak ditemukan pada subpopulasi Tumbang Lahang dan Pendahara. Nilai heterozigositas untuk masing-masing subpopulasi, yaitu Pendahara 0.5405, Buntut Bali 0.5341 dan Tumbang Lahang 0.5892. Sedangkan nilai rataan heterozigositas Ĥ) ( populasi yaitu 0.5609. Secara genetik subpopulasi Tumbang Lahang lebih dekat hubungan genetiknya (0.1814) dengan subpopulasi Pendahara, dibandingkan dengan subpopulasi Buntut Bali (0.1872) dan juga lebih mempunyai kedekatan secara genetik dengan Sapi PO (0.3774) dibandingkan dengan Sapi Katingan dari subpopulasi Buntut Bali (0.4452) dan Pendahara (0.4840). Secara keseluruhan populasi Sapi Katingan berada dalam satu kluster dengan Sapi PO.
Kata-kata kunci: Sapi Katingan, mikrosatelit, keragaman genetik
PENDAHULUAN Sapi Katingan adalah tipe sapi potong dengan performan mirip Sapi PO. Sapi Katingan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber penyedia daging. Selain dipelihara untuk dijadikan tabungan, Sapi Katingan secara khusus digunakan sebagai hewan korban pada berbagai upacara tradisional (upacara adat) masyarakat Dayak oleh karena itu sapi tersebut mempunyai nilai kultural tinggi. Pemasaran sapi hanya seputar kawasan-kawasan pemeliharaan tertentu sehingga populasi Sapi hanya berkembang di wilayah-wilayah tersebut saja, oleh karena itu Sapi Katingan sulit dijumpai di luar wilayah habitatnya sekarang ini. Mengingat kelebihan yang dimiliki Sapi Katingan, seperti daya reproduksi yang relatif tinggi mampu beranak lebih dari 10 kali pada kondisi pakan yang kualitasnya rendah dan tahan terhadap penyakit, menjadikan Sapi Katingan sangat berpotensi untuk
99
dikembangbiakkan dan ditingkatkan produktivitasnya dimasa mendatang. Dalam rangka itu harus didahului dengan tersedianya berbagai informasi dasar ternak. Tidak seperti halnya sapi lokal lainnya yang sudah banyak dilakukan penelitian (Sarbaini 2004; Winaya et al. 2007; Abdullah 2008; Hartati et al. 2010), informasi mengenai Sapi Katingan dari berbagai aspek masih sangat minim bahkan Astuti et al. (2007) melaporkan tidak ada data. Adanya kegiatan persilangan yang tidak terarah dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan produktivitas dan mutu genetik sapi sebagai sapi lokal Kalimantan Tengah, sehingga perlu dilakukan upaya mempertahankan eksistensi Sapi Katingan sebagai plasma nutfah. Perlindungan (konservasi) dan seleksi Sapi Katingan adalah sangat penting untuk menghasilkan rumpun sapi yang bermutu dan adaptif dengan lingkungan. Perbaikan mutu genetik dapat dilakukan melalui kegiatan seleksi pada suatu populasi yang keragaman genetiknya cukup tinggi (Hartati et al. 2010). Mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakitpenyakit yang ada di alam. Aplikasi penanda genetik molekuler untuk seleksi dan pemuliaan menurut Bawden dan Nicholas (1999) secara dramatis telah meningkatkan mutu genetik ternak. Karakterisasi keragaman genetik adalah tahapan pada program konservasi dan breeding (Rincon et al. 2007). Beberapa cara dilakukan untuk karakterisasi ternak, karakterisasi pada tingkat DNA akan memberikan hasil yang lebih akurat, namun kelemahannya membutuhkan fasilitas yang memadai dan dana yang besar (Mansjoer et al. 2007). Pada studi keragaman genetik sapi lokal Indonesia, penanda molekuler telah banyak digunakan (Satriani 2001; Sarbaini 2004; Winaya et al. 2007; Abdullah 2008; Hartati et al. 2010) dan salah satu alat bantu yang paling sering digunakan adalah DNA mikrosatelit (microsatellite markers) (Pereira et al. 2003; Ibeagha et al. 2004; Metta et al. 2004; Liron et al. 2006). Pada saat sekarang ini mikrosatelit adalah pilihan terbaik dan penting untuk karakterisasi rumpun sapi atau populasi (Metta et al. 2004; Rincon et al. 2007). Marka genetik tersebut juga sering digunakan untuk menjawab pertanyaan
100
terkait dengan keragaman genetik dan hubungan genetik diantara populasi sapi (Rincon et al. 2007; Sun et al. 2008; Chaudhari et al. 2009). Lokus mikrosatelit disukai karena polimorfisme yang tinggi (banyak alel dalam populasi), kodominan (segregasi homozigot dan heterozigot), relatif melimpah dalam genom (Rincon et al. 2007; Karthickeyan et al. 2008). Mikrosatelit disebut juga sebagai sequence repeats (SSR's), short tandem repeats (STR's), simple sequence tandem repeats (SSTR), variable number tandem repeats (VNTR), simple sequence length polymorphisms (SSLP), simple sequence repeats (SSR), dan sequence tagged microsatellites (STMS) (Teneva 2009). Mikrosatelit merupakan runutan DNA pendek berulang dengan panjang antara 1-5 bp serta memiliki panjang total sekitar 10-100 bp. Runutan DNA yang berulang meliputi DNA satelit, DNA mini satelit dan DNA mikrosatelit yang dalam genom memiliki jumlah total 15 %. DNA mikrosatelit ditemukan pada prokariot dan eukariot termasuk pada mamalia (Bennet 2000). Motif yang berulang pada mikrosatelit biasanya adalah dinucleotide, misalnya ATATAT (Karthickeyan et al. 2008). Informasi mengenai keragaman DNA mikrosatelit pada sapi-sapi lokal Indonesia telah dilaporkan sebelumnya (Satriani et al. 2002; Sarbaini 2004; Winaya et al. 2007; Abdullah 2008), akan tetapi belum pernah dilaporkan pada Sapi Katingan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keragaman genetik molekuler pada tiga subpopulasi Sapi Katingan dan hubungan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lainnya dengan menggunakan limabelas lokus mikrosatelit.
BAHAN DAN METODE
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh darah Sapi Katingan, PO, Bali, dan Limousin, pereaksi isolasi dan ekstraksi DNA, pereaksi PCR, 15 lokus/primer mikrosatelit, dan pereaksi pewarnaan perak. Koleksi contoh darah Sapi Katingan dilakukan di tiga kecamatan sebagai subpopulasi yang terletak di Kabupaten Katingan, yaitu di Kecamatan Tewah Sanggalang Garing dengan lokasi utama di Kelurahan Pendaharan, Kecamatan Pulau Malan dengan
101
lokasi utama di Desa Buntut Bali dan Kecamatan Katingan Tengah dengan lokasi utama di Desa Tumbang Lahang. Pengambilan contoh darah Sapi Katingan dilakukan secara acak dan diambil sebanyak-banyaknya sesuai kondisi di lapangan. Sebagai pembanding masing-masing diambil contoh darah dari Sapi Bali, PO dan Limousin dari wilayah Kalimantan Tengah. Darah diambil dari vena jugularis sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam tube test 12 ml yang telah diisi alkohol 96% sebanyak 5 ml dan diberi label. Distribusi contoh darah untuk pemeriksaan keragaman genetik disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Distribusi contoh darah sapi untuk pemeriksaan keragaman genetik No.
Lokasi
Contoh darah sapi Bali PO
Katingan 1.
2.
Kabupaten Katingan a. Kec. Tewah Sanggalang Garing (Pendahara) b. Kec. Pulau Malan (Buntut Bali) c. Kec. Katingan Tengah (Tumbang Lahang) Kalimantan Tengah
Jumlah contoh darah
Limousin
♂
♀
♂
♀
♂
♀
♂
♀
5
15
-
-
-
-
-
-
2
18
-
-
-
-
-
-
8
24
-
1
-
6
-
-
-
-
7
3
-
-
3
-
15
57 72
7
4 11
0
6 6
3
0 3
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan IPB selama 9 (sembilan) bulan dari bulan Mei 2010 sampai Januari 2011.
102
Metode Ekstraksi, Pemurnian dan Presipitasi DNA Eksraksi DNA dilakkukan dari darah sapi Katingan dan beberapa sapi local lainnya yang diawetkan dalam ethanol 96%. Prosedur ekstraksi mengikuti metode fenol-kloroform (modifikasi Sambrook et al. 1989).
Preparasi Contoh Sebanyak 200 µl contoh darah dalam alkohol 96% dimasukkan ke dalam tabung 1.5 ml. Alkohol dihilangkan dari sampel dengan menambahkan air destilasi sampai 1.000 µl, kocok kuat/vortex dan dibiarkan selama + 5 menit. Sampel kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm selama 5 menit, buang bagian supernatannya. Kegiatan ini diulangi sekali lagi.
Degradasi Protein Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan buffer lisis sel, yaitu 350 μl 1xSTE (sodium tris EDTA) dan 40 μl 10 % SDS (sodium dosesil sulfat) dan kemudian ditambahkan 10 μl proteinase-K 5 mg/ml. Campuran diinkubasikan pada suhu 55oC dan digoyang pelan selama dua jam.
Degradasi Bahan Organik Sampel (DNA) yang telah diinkubasikan dimurnikan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 400 μl larutan fenol, 400 µl kloroform iso amil alkohol (CIAA: 24:1) dan 40 μl 5 M NaCl. Campuran digoyang pada suhu ruang selama satu jam.
Presipitasi DNA Sampel (DNA) selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit hingga fase air terpisah dengan fase fenol. Fase air dipindahkan dalam tabung baru (tabung 1.5 ml) dengan volume terukur. Molekul DNA diendapkan dengan cara menambahkan 2x volume etanol absolut (800 µl) dan 0.1x volume NaCl 5M (40 μl). Campuran kemudian diinkubasikan pada suhu 20oC selama semalam. Pengendapan DNA selanjutnya dilakukan dengan
103
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang, endapan DNA yang diperoleh dicuci dengan menambahkan 800 μl etanol 70%. Selanjutnya diendapkan lagi melalui sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, etanol dibuang dan diuapkan. Selanjutnya endapan DNA yang telah bersih dari etanol dipulihkan dengan menambahkan 100 μl buffer TE (Tris EDTA) 80%. Sampel DNA disimpan pada suhu -20oC dan siap digunakan.
Amplifikasi DNA Mikrosatelit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi PCR dilakukan menurut metode Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi dengan pencampuran merata 1μl DNA, 1.25 μl 10 x PCR Dream taq buffer, 0.5 μl MgCl2, 0.1 μl dNTP dan 0.1 μl masing-masing primer (10 primer). Larutan kemudian ditambahkan 0.05 μl enzim Taq polimerase (Taq Permentas) dan air steril sampai volume 12 μl. Tabung PCR ini diinkubasi pada mesin thermocycler (AB System), dengan program sebagai berikut:
Tahap 1 dilakukan 1 x ulangan, meliputi proses denaturasi awal pada suhu 95ºC selama 5 menit, penempelan primer pada suhu optimasi (Temperatur annealing: Ta) selama 30 detik, pemanjangan fragmen DNA pada suhu 72ºC selama 45 detik. Tahap II dilakukan 35 x ulangan (siklus), meliputi denaturasi pada suhu 95ºC selama 20 detik, penempelan primer pada suhu optimasi selama 30 detik, pemanjangan fragmen DNA pada suhu 72ºC selama 45 detik. Tahap III dilakukan pemanjangan akhir fragmen DNA pada suhu 72ºC selama 5 menit.
95oC5 Menit [95oC20 Detik; TaoC30 Detik; 72oC45 Detik] 35x 72oC5 Menit Primer yang digunakan untuk memperoleh data sebaran dan jumlah alel mikrosatelit adalah primer sapi sebanyak 15 lokus dengan masing-masing suhu optimasinya (annealing temperature) berdasarkan beberapa kali pelaksanaan optimasi disajikan pada Tabel 28.
104
Tabel 28 Karakteristik 15 lokus mikrosatelit No
Lokus
1.
ILSTS045
Motif Ulangan (CA) 17
2.
HEL013
(CA) 18
3.
ILSTS017
(TG) 20
4.
ILSTS089
(CA) 17
5.
ILSTS029
(CA) 19
6.
ILSTS061
(CA) 14
7.
CSSM066
(AC) 17
8.
BM1818
(GT) 13
9.
ILSTS036
(GT) 19
10.
ILSTS026
(GT) 14
11.
ILSTS028
(CA) 7
12.
ILSTS030
(CA) 13
13.
ILSTS052
(CA) 12
14.
ILSTS056
(CA) 11
15.
ILSTS073
(CA) 20
Primer sekuensing
Referensi
Ta.
TTCTGGCAAACTATTCCACC CATGAAAGACACAGATGACC TAAGGACTTGAGATAAGGAG CCATCTACCTCCATCTTAAC GTCCCTAAAATCGAAATGCC GCATCTCTATAACCTGTTCC AATTCCGTGGACTGAGGAGC AAGGAACTTTCAACCTGAGG TGTTTGATGGAACACAGCC TGGATTTAGACCAGGGTTGG AAATTATAGGGGCCATACGG TGGCCTACCCTACCATTTCC ACACAAATCCTTTCTGCCAGCTGA AATTTAATGCACTGAGGAGCTTGG AGCTGGGAATATAACCAAAGG AGTGCTTTCAAGGTCCATGC GAGTATTATGCTTGGGAGGC AGACAGGATGGGAAGTCACC CTGAATTGGCTCCAAAGGCC AAACAGAAGTCCAGGGCTGC TCCAGATTTTGTACCAGACC GTCATGTCATACCTTTGAGC CTGCAGTTCTGCATATGTGG CTTAGACAACAGGGGTTTGG CTGTCCTTTAAGAACAAACC TGCAACTTAGGCTATTGACG GCTACTGAGTGATGGTAGGG AATATAGCCCTGGAGGATGG AGGGCAGGAGTAATCTTTGG AACAGAGAGTATGGTGGTGG
Kemp et al. 1995 Armstrong et al. 2006 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Barends et al. 1997 Bishop et al. 1994 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995 Kemp et al. 1995
57oC 55oC 60oC 60oC 60oC 60oC 60oC 62oC 61oC 55oC 55oC 60oC 55oC 60oC 55oC
Analisis produk PCR dan Deteksi Alel DNA Analisis produk DNA dan deteksi terhadap alel DNA mikrosatelit dilakukan dengan
elektroforesis
pada
gel
poliakrilamida
(Polyacrilamide
Gel
Electrophoresis: PAGE) dan pewarnaan dengan metode pewarnaan perak (Tegelstrom 1992).
Elektroforesis pada Gel Poliakrilamida DNA mikrosatelit produk PCR dipisahkan dengan teknik elektroforesis gel poliakrilamida 6% (Karthickeyan et al. 2008; Mishra et al. 2009), terdiri atas 5 ml akrilamid (29:1), 2.5 ml 5xTBE, 15 µl TEMMED, 17.3 ml aquades dan 150 µl APS 10%.
105
Sebanyak 2 μl produk PCR dicampur dengan + 0,5 μl loading dye, kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel kedua setelah gel diletakkan pada tangki elektroforesis yang telah diisi larutan penyangga 0,5xTBE. Penanda (marker) dengan ukuran 20 bp dimasukkan pada sumur gel pertama sebanyak 1 µl. Elektroforesis dilakukan sekitar 1.5 jam pada tegangan listrik konstan 100 volt atau sampai pewarna bromthymol blue mencapai bagian bawah gel.
Pewarnaan Perak Proses pewarnaan perak terdiri atas pencucian gel dengan larutan A (200 ml aquades + 0.20 g AgNO3 0.20 + 80 µl 10N NaOH + 800 µl Ammonia) selama + 10 menit, dibilas sebentar dengan 200 ml aquades, kemudian dicuci dengan larutan B (200 ml aquades + 6 g NaOH + 200 µl formaldehid) yang sebelumnya diletakkan dalam waterbath pada suhu 75oC, sambil digoyang-goyang sampai muncul pita. Selanjutnya yang terakhir dicuci dengan larutan C (200 ml aquades + 200 µl asam asetat).
Penentuan Posisi Pita DNA Penentuan genotipe dilakukan dengan cara melihat banyaknya pita pada gel elektroforesis, heterozigot ditunjukkan dengan dua pita, sedangkan homozigot satu pita. Skoring pita yang paling bawah diberi sandi A, B, C dan seterusnya sampai pita paling atas. Pita yang memiliki laju sama merupakan alel yang homolog (Sumantri et al. 2008). Frekuensi alel diperoleh dengan menghitung langsung jumlah satu alel terhadap total alel yang dihasilkan oleh satu lokus tertentu dalam satu sub populasi/populasi. Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit dihitung berdasarkan rumus Nei (1987) : X i = (2n ii + Σn ij ) / (2N) Keterangan : j≠1 X i = frekuensi alel ke-i n ij = jumlah individu untuk genotip AiAj n ii = jumlah individu untuk genotip AiAi
106
N = jumlah sampel Derajat heterozigositas ĥ( ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus DNA mikrosatelit dengan rumus Nei (1987) sebagai berikut: ĥ = 2n (1-Σx i 2) / (2n-1) Keterangan : x i = frekuensi alel lokus ke-i n = jumlah sampel ĥ = heterozigositas lokus Rataan heterozigositas (Ĥ) dari semua lokus DNA mikrosatelit yang diuji (r) dihitung dengan rumus sebagai berikut : Ĥ = Σ ĥj / r Keterangan : ĥ j = derajat heterozigositas untuk lokus ke-j r = jumlah lokus yang diuji Ĥ = rataan heterozigositas Perhitungan jumlah alel, frekuensi alel, heterozigositas dan jarak genetik (Nei 1987) diestimasikan menggunakan software POPGENE (Sodhi et al. 2006; Rehman & Khan 2009), demikian juga untuk konstruksi pohon filogeniknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman Genetik Hasil pengukuran keragaman genetik pada 72 contoh Sapi Katingan dengan menggunakan 15 lokus mikrosatelit, menunjukkan bahwa semua lokus adalah polimorfik. Pada penelitian ini digunakan lokus-lokus yang unit ulangannya lebih dari 10 kecuali ILSTS028 (Tabel 27), dimana menurut Weber (1990), polimorfisme makin tinggi apabila unit ulangannya tergandakan lebih dari
107
10 kali lipat. Rata-rata jumlah alel per lokus di tiga subpopulasi Sapi Katingan adalah 14.1. FAO menyarankan bahwa 5 alel yang berbeda per lokus diperlukan untuk mengestimasi perbedaan genetik antar rumpun (Metta et al. 2004), sedangkan menurut Sun et al. (2008) paling sedikitnya harus ada 4 alel untuk mengurangi standar error. Berdasarkan pertimbangan tersebut 15 lokus mikrosatelit yang digunakan pada penelitian ini layak untuk menganalisis keragaman genetik populasi. Hasil amplifikasi PCR terhadap lokus-lokus mikrosatelit pada contoh DNA genom Sapi Katingan menghasilkan pita/alel yang sebagian ditampilkan pada Gambar 30.
M
140
100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
123
123
123
123
123
123
125
123
123
123
113
113
113
113
113
113
117
113
113
113
11
12
123
123
113
113
ILSTS017
AC AC
M
1
160 120
2
AC
AC
AC
AC
BD
AC
AC
AC
3
4
5
6
7
8
9
10
151 145
143
151 145
143
AC AC
11
151 143
151
143
143
143
145
145
12
145
ILSTS052
BB Gambar 30
AC
BB
AC
AA CC
AA AA
AA
BC
BB
BB
Pola pita 2 lokus mikrosatelit (ILSTS017 dan ILSTS052) hasil elektroforesis PAGE 6% pada genom Sapi Katingan. M: Marker DNA (20 bp), Lajur 1-12: produk PCR.
108
Jumlah dan Sebaran Genotipe Berdasarkan pada macam dan jumlah alel yang dihasilkan oleh setiap lokus mikrosatelit pada masing-masing sampel untuk setiap subpopulasi, diperoleh jumlah sebaran genotipe yang disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran genotipe untuk masing-masing lokus mikrosatelit pada tiga subpopulasi Sapi Katingan No
Lokus
Jumlah Genotipe
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
ILSTS045 HEL013 ILSTS017 ILSTS089 ILSTS029 ILSTS061 CSSM066 BM1818 ILSTS036 ILSTS026 ILSTS028 ILSTS030 ILSTS052 ILSTS056 ILSTS073
47 17 21 30 39 34 25 32 38 38 44 35 28 53 31
Jumlah dan (%) genotipe pada subpopulasi Pendahara B. Bali T. Lahang 4 (8.51) 2 (4.26) 11 (23.40) 5 (29.41) 1 (5.88) 3 (17.65) 3 (14.29) 1 (4.76) 2 (9.52) 3 (10.00) 3 (10.00) 10 (33.33) 6 (15.38) 4 (10.26) 8 (20.51) 7 (20.59) 2 (5.88) 6 (17.65) 2 (8.00) 3 (12.00) 4 (16.00) 3 (9.38) 1 (3.13) 8 (25.00) 6 (15.79) 6 (15.79) 9 (23.68) 6 (15.79) 3 (7.89) 10 (26.32) 11 (25.00) 2 (4.55) 13 (29.55) 4 (11.43) 1 (2.86) 6 (17.14) 5 (17.86) 1 (3.57) 3 (10.71) 12 (22.64) 2 (3.77) 8 (15.09) 7 (22.58) 3 (9.68) 7 (22.58)
∑ dan (%) genotipe campuran 30 (63.83) 8 (47.06) 15 (71.43) 14 (46.67) 21 (53.85) 19 (55.88) 16 (64.00) 20 (62.50) 17 (44.74) 19 (50.00) 18 (40.91) 24 (68.57) 19 (67.86) 31 (58.49) 14 (45.16)
Keseluruhan lokus mampu menghasilkan genotipe-genotipe khas untuk masing-masing subpopulasi Sapi Katingan (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang). Genotipe khas tertinggi (33.33%) dihasilkan oleh lokus ILSTS089 pada subpopulasi Tumbang Lahang dan terendah (2.86%) dihasilkan oleh lokus ILSTS030 pada subpopulasi Buntut Bali. Adanya kepemilikan genotipe khas pada masing-masing subpopulasi menurut Sarbaini (2004) dapat menjadi indikasi bahwa ketiga subpopulasi Sapi Katingan ini berbeda secara genetik. Semakin tinggi proporsi genotipe khas yang dimiliki oleh suatu kelompok atau individu, semakin tinggi pula derajat perbedaan genetik mereka. Sebaliknya, semakin besar jumlah genotipe yang dimiliki bersama antar individu atau kelompok ternak semakin tinggi pula tingkat kesamaan genetik mereka. Lebih lanjut dikatakan Sarbaini (2004) bahwa semakin banyak satu lokus menghasilkan genotipe-
109
genotipe khas pada individu atau kelompok ternak, semakin besar pula kemungkinan lokus mikrosatelit tersebut dapat digunakan sebagai lokus penanda atau pembeda genetik baik antar individu maupun antar subpopulasi ternak. Jumlah dan Sebaran Alel Keseluruhan lokus mikrosatelit berhasil diamplifikasikan, menghasilkan jumlah dan ukuran alel sebagaimana disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Jumlah alel yang dihasilkan setiap lokus DNA mikrosatelit pada Sapi Katingan di tiga subpopulasi No
Lokus
1. ILSTS045 2. HEL013 3. ILSTS017 4. ILSTS089 5. ILSTS029 6. ILSTS061 7. CSSM066 8. BM1818 9. ILSTS036 10. ILSTS026 11. ILSTS028 12. ILSTS030 13. ILSTS052 14. ILSTS056 15. ILSTS073 Jumlah alel Rata-rata alel
Total Alel 18 12 10 14 16 14 9 13 16 14 20 10 13 19 13 211 14.1
Ukuran Alel 144-198 174-204 105-125 150-184 148-180 136-164 168-188 256-286 138-178 140-168 126-180 140-178 141-171 156-198 148-184
Jumlah dan (%) alel pada subpopulasi Pendahara Buntut Bali T. Lahang 14 (77.78) 10 (55.56) 17 (94.44) 10 (83.33) 5 (41.67) 9 (75.00) 10 (100.0) 6 (60.00) 7 (70.00) 8 (57.14) 6 (42.86) 11 (78.57) 12 (75.00) 7 (43.75) 12 (75.00) 11 (78.57) 6 (42.86) 11 (78.57) 7 (77.78) 7 (77.78) 8 (88.89) 9 (69.23) 8 (61.54) 11 (84.62) 12 (75.00) 10 (62.50) 11 (68.75) 11 (78.57) 8 (57.14) 11 (78.57) 15 (75.00) 11 (55.00) 16 (80.00) 8 (80.00) 6 (60.00) 10 (100.0) 13 (100.0) 9 (69.23) 10 (76.92) 17 (89.47) 14 (73.68) 15 (78.95) 10 (76.92) 7 (53.85) 8 (61.54) 167 120 167 11.1 8.0 11.1
Sebanyak 211 alel berhasil dideteksi dengan kisaran 9 (CSSM066) sampai 20 alel (ILSTS028) dan rata-rata tiap lokusnya adalah 14.1 alel. Rata-rata jumlah alel yang dihasilkan pada subpopulasi Buntut Bali paling rendah (8.0 alel), dibandingkan dengan subpopulasi Pendahara (11.1 alel) dan subpopulasi Tumbang Lahang (11.1 alel). Menurut Fatima (2007) jumlah alel yang dihasilkan banyak tergantung pada ukuran sampel (populasi), dimana jumlah observasi alel cenderung meningkat dengan meningkatnya ukuran populasi. Senada dengan yang disampaikan oleh Sun et al. (2008) bahwa pada populasi yang lebih besar
110
dapat dideteksi jumlah alel yang lebih besar dengan frekuensi yang rendah. Perbedaan macam (ukuran) dan jumlah alel yang dihasilkan menunjukkan bahwa subpopulasi Sapi Katingan memiliki tingkat keragaman genetik yang relatif tinggi, hasil ini didukung oleh pendapat Karthickeyan et al. (2009), bahwa meningkatnya jumlah alel pada lokus yang berbeda akan meningkatkan rata-rata keragaman genetik dalam populasi. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian lain di Indonesia, rata-rata jumlah alel per lokus pada populasi Sapi Katingan relatif lebih besar. Sarbaini (2004) melaporkan pada sapi Pesisir sebesar 11.7 alel, sedangkan pada Sapi Aceh dilaporkan oleh Abdullah (2008) sebesar 9.25 alel. Namun Sun et al. (2008), melaporkan rata-rata jumlah alel pada sapi Cina (8 rumpun) jauh lebih besar, yaitu 29.33 alel. Sapi-sapi yang relatif murni dan telah berkembang lama di masyarakat berdasarkan hasil-hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah alel per lokus relatif lebih kecil, sebagai contoh pada Sapi Bali (1,94 alel), Sapi Madura (2.19 alel) (Winaya et al. 2007), Sapi PO (2.63-4 alel) (Winaya et al. 2007; Satriani et al. 2002) dan Sapi Ongole India (3.88-4.5 alel) (Metta et al. 2004; Karthickeyan et al. 2008). Berdasarkan pada macam alel yang dihasilkan pada setiap lokus dari 15 lokus mikrosatelit pada ketiga subpopulasi Sapi Katingan diperoleh sebaran frekuensi alel yang ditampilkan pada Gambar 31. Frekuensi dan jenis alel dari yang terendah sampai yang tertinggi disajikan pada Tabel 31. Beberapa alel dari beberapa lokus menunjukkan frekuensi yang tinggi pada ketiga subpopulasi Sapi Katingan, namun dominasi atau frekuensi tertinggi alel-alel tersebut lebih banyak ditemukan pada Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali. Hal ini mengisyaratkan bahwa Sapi Katingan di subpopulasi Buntut Bali relatif lebih seragam atau lebih murni dibandingkan dengan Sapi Katingan yang ada di Pendahara dan Tumbang Lahang. Selain itu menurut Sumantri et al. (2008) tingginya frekuensi alel tersebut bisa menjadi indikasi adanya kekhususan marka penciri. Adapun frekuensi alel terendah banyak ditemukan pada subpopulasi Tumbang Lahang. Sampel pemeriksaan dari subpopulasi Tumbang Lahang lebih banyak dibandingkan dari subpopulasi Pendahara dan Buntut Bali dan ini memungkinkan lebih banyak munculnya alel namun dengan frekuensi rendah (Sun et al. 2008).
111
0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
ILSTS056
A
B
C
D
E
F
G
H
J
K
L
M N
O
P
Q
R
T
U
0,4 0,3
ILSTS045
0,2 0,1 0 B
C
D
E
G
H
J
K
L
M
N
O
P
R
S
T
U
V
0,4 ILSTS017
0,3 0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
0,5 0,4
ILSTS089
0,3 0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0,5 0,4
HEL013
0,3 0,2 0,1 0 B
C
D
E
F
G
H
I
M
O
P
R
Gambar 31 Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan, yaitu masing-masing di lokasi:
112
0,5 0,4
CSSM066
0,3 0,2 0,1 0 B
C
D
E
F
G
H
I
J
0,4 0,3
ILSTS029
0,2 0,1 0 E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
R
T
U
V
0,4 BM1818
0,3 0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
G
H
I
J
K
L
M
N
0,4 0,3
ILSTS026
0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0,5 0,4
ILSTS030
0,3 0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Gambar 31 Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan, yaitu masing-masing di lokasi: (lanjutan).
113
0,4 0,3
ILSTS036
0,2 0,1 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
O
P
ILSTS052
A
B
C
D
E
F
G
H
J
K
L
M
N
0,25 0,2
ILSTS028
0,15 0,1 0,05 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M N
O
P
Q
R
S
T
0,4 0,3
ILSTS061
0,2 0,1 0 B
C
D
E
F
G
H
I
K
L
M
N
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
O
P
ILSTS073
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
M
N
Gambar 31 Frekuensi alel pada 15 lokus DNA mikrosatelit di tiga subpopulasi Sapi Katingan, yaitu masing-masing di lokasi: (lanjutan).
114
Tabel 31 Sebaran frekuensi alel tertinggi dan terendah pada tiga subpopulasi Sapi Katingan yang diskrining dengan 15 lokus DNA mikrosatelit Lokus (%) Alel Tertinggi O (0.308)
Ukuran (bp) 180
HEL013
F (0.462)
182
ILSTS017 ILSTS061
D (0.346) I (0.346) G (0.308)
113 123 146
ILSTS029
L (0.333)
162
ILSTS089
D (0.450) F (0.450)
158 162
CSSM066 BM1818
D (0.385) I (0.320)
172 276
ILSTS036
L (0.368)
160
ILSTS026
D (0.375)
148
ILSTS028
H (0.209)
140
ILSTS030 ILSTS052 ILSTS056
G (0.400) C (0.500) M (0.269)
156 145 182
ILSTS073
E (0.521)
160
ILSTS045
Frekuensi Alel Lokasi (%) Alel Terendah B. Bali C (0.016) D (0.016) M (0.016) V (0.016) B. Bali E (0.017) I (0.017) M (0.017) B. Bali G (0.017) B. Bali I (0.017) B. Bali G (0.021) I (0.021) B. Bali H (0.017) P (0.017) V (0.017) B. Bali C (0.019) Pendahara H (0.019) I (0.019) L (0.019) B. Bali J (0.017) Pendahara D (0.016) N (0.016) T. Lahang C (0.017) F (0.017) Pendahara J (0.017) M (0.017) T. Lahang C (0.016) D (0.016) E (0.016) K (0.016) T. Lahang J (0.017) B. Bali H (0.016) B. Bali B (0.017) O (0.017) Q (0.017) U (0.017) Pendahara C (0.017) N (0.017)
Ukuran (bp) 148 154 176 198 180 188 196 119 125 146 150 154 170 180 156 166 168 178 188 264 286 142 148 160 166 130 132 134 146 178 157 158 186 190 198 156 180
Lokasi T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang Pendahara Pendahara T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang T. Lahang
Frekuensi alel pada setiap lokus dan subpopulasi sangat bervariasi. Beberapa lokus menghasilkan beberapa alel yang hanya ditemukan pada subpopulasi tertentu yang disebut alel diagnostik yang dapat digunakan untuk
115
membedakan antara ketiga subpopulasi (Sarbaini 2004), sebagai terlihat pada Gambar 31 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32 Alel-alel pada 15 lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali, Pendahara, atau Tumbang Lahang No
lokus
1. ILSTS045 2. HEL013
3. ILSTS017 4. ILSTS089 5. ILSTS029
6. ILSTS061
7. CSSM066 8. BM1818 9. ILSTS036
10. ILSTS026
11. ILSTS028 12. ILSTS030 13. ILSTS052 14. ILSTS056 15. ILSTS073
Alel diagnostik C B, C D R A, B, C C, H, J, K, M N E, P, V N, R, T U B, P C O E J A, H, M C A, B, D, E F, P N B, N J, M L C, E, K N, Q, S, T A, J G, J N, P, R Q A, B, J F M
Ukuran alel (bp) 148 174, 176 178 204 105, 109, 111 156, 166, 170, 174, 180 184 148, 170, 180 166, 172, 176 178 136, 164 138 162 176 188 256, 274, 284 262 138, 140, 144, 146 148, 178 164 144, 168 160, 166 164 130, 134, 146 152, 162, 168, 170 140, 178 155, 163 184, 188, 192 190 148, 152, 170 162 178
Lokasi Alel (subpopulasi) Tbg. Lahang Pendahara Buntut Bali Tbg. Lahang Pendahara Tbg. Lahang Pendahara Tbg. Lahang Pendahara Buntut Bali Tbg. Lahang Buntut Bali Pendahara Pendahara Tbg. Lahang Tbg. Lahang Pendahara Pendahara Tbg. Lahang Buntut Bali Pendahara Tbg. Lahang Buntut Bali Tbg. Lahang Pendahara Tbg. Lahang Pendahara Pendahara Tbg. Lahang Pendahara Tbg. Lahang Buntut Bali
Alel diagnostik yang dihasilkan bervariasi dari 1 – 7 macam alel per lokusnya. Jumlah alel diagnostik terkecil yaitu 1 pada lokus ILSTS045 di subpopulasi Tumbang Lahang dan tertinggi 7 pada lokus ILSTS028 (Tumbang
116
Lahang dan Pendahara), ILSTS036 (Pendahara, Tumbang Lahang dan Buntut Bali) dan ILSTS029 (Tumbang Lahang, Pendahara dan Buntut Bali). Alel-alel diagnostik banyak ditemukan pada subpopulasi Tumbang Lahang dan Pendahara.
Nilai Heterozigositas Alel Nilai heterozigositas ĥ)( merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur variasi genetik (Sumantri 2008). Nilai heterozigositas dan rataan heterozigositas (Ĥ) ke 15 lokus mikrosatelit pada ke tiga subpopulasi Sapi Katingan disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Nilai heterozigositas dan rataan heterozigositas ke15 lokus mikrosatelit pada tiga subpopulasi Sapi Katingan No Lokus 1. ILSTS045 2. HEL013 3. ILSTS017 4. ILSTS089 5. ILSTS029 6. ILSTS061 7. CSSM066 8. BM1818 9. ILSTS036 10. ILSTS026 11. ILSTS028 12. ILSTS030 13. ILSTS052 14. ILSTS056 15. ILSTS073 Rataan Heterozigositas (Ĥ)
Pendahara 0.6087 0.9545 1.0000 0.2500 0.5652 0.2917 0.0000 0.1600 0.2083 0.5000 1.0000 0.3600 0.6667 1.0000 0.5417 0.5405
Heterozigositas (ĥ) Buntut Bali Tumbang Lahang 0.5385 0.3548 1.0000 1.0000 1.0000 0.9667 0.3000 0.5385 0.7500 0.7333 0.0769 0.2581 0.3077 0.2000 0.0769 0.3548 0.5000 0.3000 0.2308 0.5862 1.0000 0.9677 0.1538 0.3333 0.5385 0.6452 1.0000 1.0000 0.5385 0.6000 0.5341
0.5892
Nilai heterozigositas (ĥ) terendah (0.0000) ditemukan pada subpoppulasi Pendahara yaitu pada lokus CSSM066 dan tertinggi ditemukan pada subpopulasi Buntut Bali dan Tumbang Lahang yaitu pada lokus ILSTS017, HEL013, ILSTS056 dan ILSTS028 (1.0000). Rataan heterozigositas (Ĥ) untuk masingmasing subpopulasi, yaitu 0.5405 (Pendahara), 0.5341 (Buntut Bali) dan 0.5892 (Tumbang Lahang). Takezaki dan Nei (1996) menekankan untuk mengukur keragaman genetik, rataan heterozigositas dari lokus-lokus mikrosatelit antara 0.3
117
dan 0.8 dalam populasi. Lokus heterozigositas pada tiga subpopulasi dari penelitian ini berkisar antara 0.5341 sampai 0.5892, dengan demikian sesuai kategori tersebut. Heterozigositas Sapi Katingan asal subpopulasi Tumbang lahang mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari Pendahara dan Buntut Bali. Menurut Nei (1987), tingkat heterozigositas dapat dipengaruhi oleh
ukuran
atau
jumlah
populasi.
Heterozigositas
yang
tinggi
pada
subpopulasi/populasi menurut Abdullah (2008) menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mengandung alel-alel sapi lain. Hal ini dimungkinkan karena di lokasi Tumbang Lahang telah dikembangkan sapi jenis Zebu, PO, Bali bahkan juga FH melalui berbagai program, baik dari Pemerintah maupun dari misionaris. Misionaris bekerja di Tumbang Lahang diantaranya pada saat itu untuk membina masyarakat lokal (Suku Dayak) guna melakukan kegiatan pertanian menetap. Dalam rangka mendukung kegiatan pertanian tersebut dikembangkan pula sapisapi (Sapi Zebu) yang dapat membantu untuk mengolah lahan. Sapi-sapi introduksi tersebut ada yang dikawin silangkan dengan sapi lokal setempat. Adanya kawin silang menimbulkan segregasi gen-gen sapi-sapi tersebut yang beragam dan meluas pada populasi sapi Katingan yang ada di Tumbang Lahang, dan membentuk performan sapi Katingan subpopulasi Tumbang Lahang seperti sekarang ini. Tidak adanya kegiatan seleksi sebagaimana yang ada di lapangan, menurut Karthickeyan et al. (2009) memunculkan tingginya alel observasi menggambarkan keragaman genetiknya juga akan tinggi. Hal yang sama terjadi dengan sapi-sapi Katingan yang ada di Pendahara, dimana di lokasi tersebut sudah berkembang pula sapi lokal lain. Hal ini berbeda dengan subpopulasi Sapi Katingan yang ada di Buntut Bali, yang menunjukkan tidak ditemukan sapi lokal lainnya sejauh ini. Hasil nilai rataan heterozigositas (Ĥ) populasi Sapi Katingan pada kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 34. Nilai Ĥ bervariasi antara 0.1538 (CSSM066) sampai 1.000 (ILSTS056). Lokus-lokus yang memperlihatkan nilai Ĥ relatif tinggi >0.3 adalah ILSTS045, ILSTS026, ILSTS073, ILSTS052, ILSTS029, HEL013, ILSTS017, ILSTS028, ILSTS089 dan ILSTS056.
118
Tabel 34 Nilai rataan heterozigositas 15 lokus mikrosatelit pada populasi Sapi Katingan di tiga lokasi penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Rataan heterozigositas (Ĥ)
Lokus ILSTS045 HEL013 ILSTS017 ILSTS089 ILSTS029 ILSTS061 CSSM066 BM1818 ILSTS036 ILSTS026 ILSTS028 ILSTS030 ILSTS052 ILSTS056 ILSTS073
Heterozigositas 0.4776 0.9846 0.9851 0.3929 0.6769 0.2353 0.1538 0.2319 0.2969 0.4848 0.9853 0.3088 0.6324 1.0000 0.5672 0.5609
Nilai rataan heterozigositas (Ĥ) relatif tinggi, yaitu 0.5609. Kriteria ini berdasarkan perbandingan dengan nilai Ĥ pada beberapa sapi lokal Indonesia lainnya yang ditunjukkan pada Tabel 35.
Tabel 35
Perbandingan nilai Ĥ antara Sapi Katingan dengan sapi lokal lainnya yang diskrining dengan variasi lokus mikrosatelit
Σ lokus mikrosatelit 16
Bangsa sapi
16
Sapi Madura
6
Sapi PO
16 16 6
Sapi Brangus Sapi Aceh Sapi Pesisir
15
Sapi Katingan
Sapi Bali
Rataan heterozigositas (Ĥ) 0.33 0.49 0.31 0.90 0.84-0.86 0.51-0.61 0.73 0.40 0.62 0.86-0.87 0.67 0.56
Sumber Winaya et al. (2007) Abdullah (2008) Winaya et al. (2007) Abdullah (2008) Hartati et al. (2010) Satriani et al. (2007) Abdullah (2008) Winaya et al. (2007) Abdullah (2008) Sarbaini (2004) Abdullah (2008) Hasil penelitian ini
119
Jarak Genetik dan Kekerabatan Sapi Katingan Matrik jarak genetik Nei, menunjukkan bahwa Sapi Katingan subpopulasi Tumbang Lahang mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan Sapi Katingan subpopulasi Pendahara (0.1814), dibandingkan dengan subpopulasi Buntut Bali (0.1872) (Tabel 36). Kedekatan genetik terlihat lebih jelas pada dendogramnya (Gambar 32).
Tabel 36 Matrik jarak genetik Nei (1978) antara tiga subpopulasi Sapi Katingan dengan Sapi PO, Sapi Bali dan Sapi Bos taurus (Limousine) Populasi Sapi Katingan (Subpop. Buntut Bali) (1) Sapi Katingan (Subpop. Pendahara) (2) Sapi Katingan (Subpop. Tumbang Lahang) (3) Sapi Bali (4) Sapi PO (5) Sapi Bos taurus (6)
1
2
3
4
5
6
0.0000 0.4139 0.3774 1.3475
0.0000 0.4956 0.8543
0.0000 1.1836
0.0000
0.0000
0.2503
0.0000
0.1872 0.4612 0.4452 1.3365
0.1814 0.5417 0.4840 1.2054
Pendahara T. Lahang B. Bali Sapi PO Sapi Bali Sapi Limousin 0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
Gambar 32 Pohon filogenik pada tiga subpopulasi Sapi Katingan dan dengan beberapa sapi lokal lain. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya ketika diskrining dengan 6 lokus mikrosatelit dan 10 lokus mikrosatelit (Supriana et al. 2010). Pohon filogenik yang dibangun berdasarkan hasil pemeriksaan DNA ternyata juga
120
sinkron dengan hasil pohon fenogram yang dibangun berdasarkan morfometrik (Gambar 33). Dengan demikian dimungkinkan untuk menentukan jarak genetik Sapi Katingan menggunakan ukuran morfometriknya. Cara ini lebih mudah dilaksanakan di lapang dan lebih murah biayanya.
Berbasis Morfometrik
Gambar 33 Pohon filogenik dan fenogram pada tiga subpopulasi Sapi Katingan.
Secara geografis lokasi Buntut Bali terletak di antara Pendahara dan Tumbang Lahang (Gambar 2), sehingga diduga letak geografis tidak mempengaruhi adanya perbedaan genetik. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa mobilitas ternak antar subpopulasi relatif jarang sehingga kemungkinan terjadinya perkawinan antar subpopulasi juga kecil. Kondisi ini bisa dipahami mengingat sarana transportasi (kendaraan pengangkut) yang menghubungkan di ketiga lokasi sangat minim, terlebih kalau hujan jalan banjir dan sulit dilalui oleh kendaraan. Perbedaan genetik antar subpopulasi diduga karena manajemen perkawinan, di Tumbang Lahang banyak dilakukan kawin silang dengan sapi lokal lainnya, demikian juga kecenderungan yang terjadi di Pendahara. Dengan demikian adanya crossbreeding diduga menyebabkan sapi-sapi Katingan yang ada di Tumbang Lahang dan Pendahara mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan sapi-sapi Katingan yang ada di Buntut Bali. Sapi Katingan subpopulasi Tumbang Lahang lebih mempunyai kedekatan genetik dengan Sapi PO (0.3774) dibandingkan dengan Sapi Katingan subpopulasi dari Buntut Bali (0.4452) dan Pendahara (0.4840). Hasil perhitungan tersebut diperkuat dengan dendogram jarak genetik hasil analisis DNA mikrosatelit (Gambar 32). Hasil ini sangat realistis karena di Tumbang Lahang telah lama dikembangkan sapi dari kelompok Bos indicus dan sekarang
121
berkembang dengan baik. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa populasi Sapi Katingan berada dalam satu kluster dengan Sapi PO. Abdullah (2008) melaporkan bahwa Sapi Aceh juga mempunyai kedekatan secara genetik dengan Sapi PO. Sapi Bali mempunyai kluster yang agak terpisah dengan Sapi Katingan dan Sapi PO. Senada dengan yang dilaporkan oleh Winaya et al. (2007) dimana Sapi Bali jarak genetiknya juga relatif jauh dengan Sapi PO, Madura dan Brangus. Adapun kluster sapi dari Bos taurus lebih jauh terpisah dengan Sapi Katingan. Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa Sapi Katingan mempunyai materi genetik dari Bos indicus. Kusdiantoro et al. (2007) melaporkan bahwa distribusi alel sapi Indonesia cocok dengan sapi Bos indicus (sapi India) dan data distribusi/frekuensi alel menurut Takezaki dan Nei (1996) adalah sangat berguna untuk studi kekerabatan populasi. Walaupun sapi dari Bos taurus juga dikembangkan di Tumbang lahang melalui program pemerintah dan missionaris, namun nampaknya tidak banyak memberikan kontribusi genetik pada populasi Sapi Katingan di subpopulasi Tumbang Lahang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Populasi Sapi Katingan menunjukkan tingkat keragaman genetik yang relatif tinggi hal ini dapat dilihat pada macam alel (9-20 alel), jumlah alel (211 alel dengan rata-rata 14.1 alel/lokus), jumlah genotipe (17-53 genotipe), dan nilai rataan heterozigositas subpopulasi (0.5341-0.5892) dan populasi (0.5609). 2. Tingkat keragaman genetik Sapi Katingan subpopulasi Tumbang Lahang lebih tinggi dibandingkan dengan subpopulasi Pendahara dan Buntut Bali. 3. Sapi Katingan subpopulasi Buntut Bali relatif lebih seragam. 4. Dihasilkan alel dan genotipe khas pada lokus-lokus tertentu yang dapat digunakan sebagai pembeda genetik antar subpopulasi. 5. Secara genetik subpopulasi Tumbang Lahang lebih dekat dengan subpopulasi Pendahara, dibandingkan dengan subpopulasi Buntut Bali dan juga lebih
122
mempunyai kedekatan secara genetik dengan Sapi PO dibandingkan dengan Sapi Katingan dari subpopulasi Buntut Bali dan Pendahara. 6. Secara keseluruhan Sapi Katingan berada dalam satu kluster dengan Sapi PO, dengan demikian ada materi genetik Bos indicus pada Sapi Katingan.
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu: 1. Diperlukan penelitian yang berbasis sekuensing untuk mengkonfirmasi variasi alel pada populasi Sapi Katingan. 2. Peningkatan kualitas Sapi Katingan ke depan disarankan melalui program seleksi yang selama ini belum pernah dilakukan sama sekali mengingat keragamannya baik secara morfometrik dan genetik relatif tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MAN. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Armstrong E, Postiglioni A, Martinez A, Rincon G, Vega-Pla JL. 2006. Microsatellite analysis of a sample of Uruguayan Creole bulls (Bos taurus). Genet Mol Biol 29( 2):267-272. Astuti M, Agus A, Gede SBS, Aryadi B, Yusiati LM, and Anggriani M. 2007. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Ardana Media dan Rumah Produksi Informatika. Barendse et al. 1997. A medium-density genetic linkage map of the bovine genome. Mamm Genome 8:21-28. Bawden WS, Nicholas KR. 1999. Molecular genetics of milk production. In: Fries R and Ruvinsky A, editors. The Genetics of Cattle. London: CAB I Publishing. page 539-576. Bhermana A. 2010. Peta lokasi pengambilan sampel Sapi Katingan. Palangka Raya: BPTP Kalimantan Tengah.
123
Bishop MD, Kappes SM, Keele JW, Stone RT, Sunden SLF, Hawkins GA, Toldo SS, Fries R, Grosz MD, Yoo J, Beattle CW. 1994. A genetic linkage map for cattle. Genetics 136:619-639. Chaudhari MV, Parmar SNS, Joshi CG, Bhong CD, Fatima S, Thakur MS, Thakur SS. 2009. Moleculer characterization of Kenkatha and Gaolao (Bos indicus) cattle breeds using microsatellite markers. Anim Biodiv and Conserv 32(2): 71-78. Fatima S. 2007. Study of genetic variability within Zalawadi, Gohilwadi and Surti breeds of goat using microsatellite markers [thesis]. Anand Agriculture University. Hartati, Sumadi, Subandriyo, Hartatik T. 2010. Keragaman morfologi dan diferensiasi genetik Sapi Peranakan Ongole di peternakan rakyat. JITV 15(1): 72-80. Ibeagha EM, Jann OC, Weimann, Erhardt G. 2004. Genetic diversity, introgression and relationship among West/Central African cattle breeds. Genet Sel Evol 36: 673-690. Karthickeyan SMK, Kumarasamy P, Sivaselvam SN, Selvam R, Thangareju P. 2008. Analysis of microsatellite markers in Ongole breed of cattle. Indian J Biotech 7:113-116. Karthickeyan SMK, Sivaselvam SN, Selvam R, Thangeraju P. 2009. Microsatellite analysis of Kangayam Cattle (Bos indicus). Indian J Sci Technol 2(10):38-40. Kemp et al. 1995. A panel of polymorphic bovine, ovine and caprine microsatellite markers. Anim Genet 26:299-306. Kusdiantoro et al. 2007. Genetic diversity and conservation of south-east asian cattle: From Indian Zebu to Indonesian banteng, and then to the Cambodian Kouprey? EU-Asia Link Project Symposium “Managing the Health and Reproduction of Elephant Population in Asia” 8-10 October 2007. Banglok: Faculty of Veterinary Medicine, Kasetsart University. page 120-124. Liron JP, Garcia PP, Giovambattista G. 2006. Genetic characterization of Argentine and Bolivian Creole Cattle breeds assessed through microsatellite. J Hered 97(4):331-339. Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi jarak genetik antara domba Garut tipe tangkas dengan tipe pedaging. Med Pet 30(2):129-138. Metta M, Kanginakudru S, Gudisewa S, Nagaraju J. 2004. Genetic characterization of the Indian cattle breeds, Ongole and Deoni (Bos
124
indicus), using microsatellite markers – a preliminary study. BMC Genetics 5(16):1-5. Mishra et al. 2009. Characterization of Banni buffalo of western India. Animal Genetic Resources Information 44:77-86. Nei M. 1987. Moleculer Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press. Pereira et al. 2003. Genetic characterization of shouthwestern european bovine breeds: A historical and biogeographical reassessment with a set of 16 microsatellite. J Hered 94(3):243-250. Rehman MS, Khan MS. 2009. Genetic diversity of Hariana and Hissa cattle from Pakistan using microsatellite analysis. Pakistan Vet J 29(2):67-71. Rincon AMS, Montiel HP, Bracamonte GMP. 2007. Assessment of genetic structure in Mexican charolais herds using microsatellite markers. Mol Biol and Gen 10(4):1-7. Sambrook J, Fritsch FF, Maniastis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA mikrosatelit sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Satriani N, Farajallah A, Muladno. 2002. Keragaman genetic Sapi Peranakan Ongole (PO) berdasarkan uji DNA mikrosatelit. Med Pet (25)3:84-91. Sodhi M, Mukesh M, Prakash MB, Ahlawat SPS, Sobti RC. 2006 Microsatellite DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of Indian zebu (Bos indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J Genet 85:165-170. Sumantri C, Farajallah A, Fauzi U, Salamena JF. 2008. Keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan performa bobot badan domba lokal. Med Pet 31(1):1-13. Sun W, Chen H, Lei C, Lei X, Zhang Y. 2008. Genetic variation in eight Chinese cattle breeds based on the analysis of microsatellite markers. Genet Sel Evol 40:681-692. Takezaki N, Nei M. 1996. Genetic distances and reconstruction of phylogenetic tree from microsatellite DNA. Genetics 144:389-399.
125
Tegelstrom H. 1992. Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for screening of genetic variation based on sensitive silver staining. Electrophoresis 7:226-229. Teneva A. 2009. Molecular markers in animal genome analysis. Biotech Anim Husb 25(5-6):1267-1284. Supriatna I, Tiesnamurti B, Utomo BN. 2010. Identifikasi ragam genetik Sapi Katingan serta jarak genetik dengan sapi lokal lain pada 15 marka gen mikrosatelit. Laporan Hasil Penelitian KKP3T Kerjasama IPB dan Sekretariat Badan Litbang Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Weber JL. 1990. Informativeness of human (dC-dA) n (dG-dT) n polymorphism. Genomics 7:524-530. Winaya A, Muladno, Tappa B. 2007. Panel 16 lokus mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan hubungan filogenetik pada genom sapi. Med Pet 24(2): 81-88.
127
IDENTIFIKASI HORMON PROGESTERON PADA VARIASI UMUR UNTUK ESTIMASI PERMULAAN PUBERTAS SAPI KATINGAN BETINA ABSTACT
The onset of puberty is important role in oder to optimize performance of Katingan Cattle reproduction. The management of extensive traditionally is difficult to determine the onset of puberty due to the field problem in term of faraway location and relatively often of flood in long time, the estimation of onset puberty was done by analysis of progesterone hormone in various age of individual cattle. A total number of 31 samples in age of between 13 months 15 days to 23 months 18 days obtained from Tumbang Lahang (11 samples) and Buntut Bali (20 samples) were used in the study. The samples were analysis using RIA method in order to know level of progesterone. The same samples were also analyzed to find out Copper (Cu) level. The result showed that all (100%) progesterone level under 1 ng/ml. The range of level between 0.008 to 0.184 ng/ml. The result indicated that the Katingan Cattle in 23 months old was still in prepuberty category. Environment factor may important role to delay the oset of their puberty, such as pH land was acid (pH<6), grass quality and climate in term of temperature and humidity relatively high. One of the environment problem was proved by the most of the same sample had level of Copper under adequate value.
Key words: Katingan Cattle, onset puberty, progesterone, environment
ABSTRAK
Umur permulaan pubertas sangat penting dalam rangka mengoptimumkan performan reproduksi Sapi Katingan. Manajemen pemeliharaan yang ekstensif tradisional menyulitkan untuk menentukan umur permulaaan pubertas. Kondisi lapangan yang sulit dan adanya banjir yang lama estimasi umur permulaan pubertas dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi hormon progesteron pada individu-individu Sapi Katingan dengan berbagai variasi umur. Sebanyak 31 ekor Sapi Katingan betina umur 13 bulan 15 hari – 23 bulan 18 hari yang diperoleh dari Buntut Bali 20 contoh dan dari Tumbang Lahang 11 contoh, diukur konsentrasi hormon progesteronnya dari serum darah dengan menggunakan metode RIA. Pada contoh serum yang sama juga dilakukan pemeriksaan terhadap kadar mikro mineral Copper (Cu). Hasil
128
pemeriksaan menunjukkan bahwa semua contoh konsentrasi progesteronnya di bawah 1 ng/ml yang dijadikan sebagai patokan pencapaian umur permulaan pubertas. Kisaran konsentrasi hormon yang berhasil diukur adalah 0.008 – 0.184 ng/ml. Konsentrasi progesteron dibawah 1 ng/ml mengindikasikan bahwa sapi-sapi Katingan tersebut pada umur 23 bulan masih dalam kategori prepubertas. Faktor lingkungan yang diduga kuat ikut berperanan dalam pencapaian umur permulaan pubertas Sapi Katingan, diantaranya adalah kualitas lahan (pH rendah), kualitas rumput yang diberikan, dan iklim yang ekstrim. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan kadar Cu dalam serum Sapi Katingan yang hampir semuanya di bawah kadar kecukupan.
Kata-kata kunci: Sapi Katingan, permulaan pubertas, progestron, lingkungan
PENDAHULUAN Salah satu efisiensi reproduksi adalah dicapainya umur permulaan pubertas yang lebih awal sesuai dengan potensi genetiknya. Hal ini penting untuk mencapai performan reproduksi sapi yang optimum dan memberikan peningkatan produktivitasnya. Informasi tentang umur pubertas sudah seharusnya diketahui oleh peternaknya, sehingga bisa dilakukan kegiatan reproduksi lebih awal dan jangka waktu produksi ternak bisa lebih lama. Informasi tersebut juga penting sebagai acuan dalam meningkatkan efisiensi reproduksi berdasarkan potensi dan permasalahan yang ada di lapangan melalui berbagai inovasi teknologi. Permulaaan pubertas mempunyai banyak definisi (Getzewick 2005). Pubertas meliputi umur ketika hewan mencapai kemampuan untuk melepaskan sel gamet (betina: pertama ovulasi) (Rawling et al. 2003), umur pertama kali estrus, umur pada saat betina mampu untuk bunting dimana organ-organ reproduksinya mulai berfungsi (Getzewick 2005). Suatu hewan telah dipertimbangkan
mencapai
pubertas
jika
dia
memperlihatkan
estrus,
mempunyai korpus luteum yang dapat dipalpasi antara hari ke 7 dan hari ke 15 setelah estrus dan mempunyai konsentrasi progesteron lebih dari 1 ng/ml dalam periode tetap (Rekwort et al. 2000).
129
Pubertas dikontrol oleh mekanisme-mekanisme fisiologis tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypofisa, sehingga pubertas tidak luput dari pengaruh faktor herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organorgan tersebut (Toelihere 1985). Menurut Hardjosubroto (1994) secara matematis gabungan faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi performans seekor ternak dapat ditentukan sebagai berikut: P = G + E, dimana P = Performans, G = genetik dan E = lingkungan. Lingkungan meliputi`nutrisi, iklim, musim dan pejantan atau biostimulation (Abdelgadir et al. 2010; Getzewick 2005; Rekwort et al. 2000). Umumnya pertumbuhan dan perkembangan menjadi prasyarat penting untuk inisiasi menuju pubertas (Rekwort et al. 2000). Menurut Getzewich (2005) pada umumnya pubertas dicapai ketika mereka telah mencapai 40% dari bobot badan dewasa dan aspek pakan mempunyai pengaruh yang besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternak yang diberi asupan pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat tumbuh dan umur pubertas lebih awal bisa dicapai (Son et al. 2001; Romano et al. 2005). Sapi dari spesies Bos indicus seperti halnya Sapi Katingan, permasalahan yang dihadapi
adalah
pencapaian
permulaan
umur
pubertas
lebih
lambat
dibandingkan dengan sapi dari Bos Taurus. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa sapi asal daerah tropis umur pubertasnya lebih lambat dibandingkan dengan sapi dari daerah subtropis (Sargentini et al. 2007). Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengurangi umur permulaan pubertas dan beranak pertama dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Menurut Noguiera (2004), seleksi genetik, crossbreeding dan nutrisi adalah pendekatan yang dapat digunakan untuk mengurangi umur pertama beranak sapi Bos indicus. Sapi Katingan yang dipelihara secara ekstensif tradisional menyulitkan untuk mengetahui umur pubertas sapi dan profil reproduksi lainnya. Peternak tidak mengetahui secara pasti kapan sebenarnya sapi tersebut siap untuk dikawinkan. Mereka hanya mencampurkan sapi jantan dalam sekumpulan sapi
130
betina mereka agar nantinya secara alami melakukan perkawinan sendiri (kawin alam). Dengan demikian tidak ada manajemen pemeliharaan yang baik untuk mengoptimalisasikan reproduktivitas Sapi Katingan. Manajemen pemeliharaan yang ekstensif tradisional dimana pakan sangat tergantung dengan kondisi alam sangat dimungkinkan menyebabkan produktivitas sapi tidak bisa dicapai secara maksimal sesuai dengan potensi genetiknya, termasuk pencapaian umur permulaan pubertasnya. Di sisi lain Sapi Katingan sudah beradaptasi sangat lama dengan cekaman lingkungan yang ekstrim. Melihat hal tersebut penentuan umur permulaan pubertas pada Sapi Katingan menjadi salah satu hal yang menarik untuk dilakukan penelitian dan diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternak Sapi Katingan dalam rangka membantu meningkatkan produktivitas ternak mereka.
BAHAN DAN METODE
Bahan Lokasi pengambilan contoh darah hanya dilakukan di Kecamatan Katingan Tengah dengan konsentrasi lokasi di Tumbang Lahang sebanyak 11 contoh dan di Kecamatan Pulau Malan dengan konsentrasi lokasi di Buntut Bali sebanyak 20 contoh. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan informasi petugas dan peternak tentang sapi-sapi yang teridentifikasi hari, bulan dan tahun kelahirannya berdasarkan catatan peternak. Penelitian lapang dilakukan selama 6 bulan (Pebruari - Agustus 2010), bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan penelitian lainnya. Pengambilan contoh darah Sapi Katingan betina tidak bisa dilakukan secara rutin dengan interval waktu tertentu, melainkan hanya pada individuindividu sapi dengan umur yang berbeda, yaitu antara umur 13 bulan 15 hari – 23 bulan 18 hari (Tabel 37). Hal ini disebabkan karena kondisi lapang yang sulit dan saat itu terjadi fluktuasi banjir yang tidak menentu waktunya bahkan berlangsung selama beberapa bulan, akibatnya lokasi sapi sulit dijangkau. Pada
131
umumnya Sapi Katingan di pelihara di ranch atau di hutan yang lokasinya agak jauh dari pemukiman. Dengan demikian contoh darah hanya dikoleksi 1 kali pada 31 ekor Sapi Katingan. Darah diambil melalui vena jugularis, kemudian ditampung dalam tabung vakuntainer 7 ml tanpa antikoagulan. Tabung berisi darah kemudian dimiringkan untuk memperlebar bidang permukaan selama + 20 menit sampai serum terpisah dari bekuan darahnya. Serum yang keluar dipindahkan ke dalam tabung eppendrof dan disimpan dalam icebox selama berada di lapang. Sesampainya di laboratorium contoh disimpan pada suhu 20oC sampai siap untuk dilakukan analisis terhadap konsentrasi hormon progesteronnya.
Tabel 37 Distribusi contoh darah Sapi Katingan untuk pemeriksaan hormon progesteron No. 1. 2. 3.
4.
5.
Umur sapi Bulan Hari 13 15 14 15 18 15 2 17 21 16 15 21 29 29 17 0 6 15 17
Jumlah (Ekor) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3
No.
6.
7. 8. 9. 10.
Umur sapi Bulan Hari 17 22 23 26 27 19 5 15 19 20 16 26 21 3 16 22 0 5 23 18
Jumlah (Ekor) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Metode Analisis Konsentrasi Hormon Progesteron Pemeriksaan hormon progesteron dilakukan dengan metode RIA. Kotak (KIT) berisi perlengkapan uji imun Radioisotop untuk progesteron adalah
132
buatan Cisbio Bioassays dari Perancis. Pengukuran radioaktivitas dilakukan dengan alat gamma counter sehingga didapatkan nilai CPM (count per minute). Prosedur pengujian dilakukan sesuai dengan petunjuk yang tersedia pada KIT progesteron Cisbio Bioassays. Semua uji untuk kurva baku (standar) dibuat dua kali atau tiga kali, bersama-sama dengan contoh serum yang tidak diketahui konsentrasi progesteronnya. Pembuatan kurva baku untuk progesteron dibuat dari tabung-tabung A = 0.15 ng/ml, B = 0.40 ng/ml, C = 1.30 ng/ml, D = 3,50 ng/ml, E = 16.60 ng/ml, F = 63 ng/ml dan O = 0 ng/ml. Kurva dibuat dengan sumbu X berupa konsentrasi progesteron baku dan sumbu Y adalah nilai CPM. Perhitungan nilai progesteron dapat ditentukan langsung melalui grafik baku yang tersedia berdasarkan nilai CPM contoh atau dapat ditentukan dengan persamaan regresi linear.
Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif yaitu dengan melihat konsentrasi hormon. Konsentrasi serum progesteron lebih besar dari 1.0 ng/ml sering digunakan sebagai kriteria pencapaian umur permulaan pubertas sapi (Cooke & Arthington 2009; Getzewick 2005; Sargentini et al. 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi Hormon Progesteron Hasil pemeriksaan terhadap 31 contoh serum dari berbagai variasi umur didapatkan konsentrasi hormon progesteron yang disajikan pada Tabel 38 dan Gambar 34. Konsentrasi hormon progesteron Sapi Katingan pada umur 13 bulan 15 hari - 23 bulan 18 hari semuanya masih di bawah 1 ng/ml yang dijadikan sebagai patokan pencapaian permulaan umur pubertas. Kisaran hasil pemeriksaan konsentrasi hormon progesteron adalah 0.01 – 0.18 ng/ml. Konsentrasi progesteron dibawah 1 ng/ml mengindikasikan bahwa sapi-sapi
133
tersebut masih dalam kategori prepubertas (Rekwort et al. 2000; Swain & Harjit 2001). Konsentrasi hormon antara umur 13.5 sampai 23.5 bulan sangat berflutuaktif dan dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi hormon yang dihasilkan pada preriode prepubertas Sapi Katingan senada dengan yang dilaporkan Nakada et al. (2000) pada sapi FH. Menurut Nakada et al (2000) hormon progesteron dari lahir sampai prepubertas mempunyai konsentrasi yang rendah secara kontinyu antara 0.05 + 0.01 sampai 0.18 + 0.05 ng/ml, sedangkan Balakrishnan et al. (1986) melaporkan konsentrasi progestron saat prepubertas pada sapi cross Zebu dan Holstein rata-rata adalah 0.23 + 0.06 ng/ml. Konsentrasi progesteron akan meningkat signifikan sesaat sebelum pubertas (Berradinelli 1979). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi progesteron ketika mencapai umur permulaan pubertas melebihi dari 2 ng/ml. Romano et al. (2005) melaporkan umur permulaaan pubertas pada sapi lokal Nelore dari Barzil pada berbagai variasi umur dengan konsentrasi progesteron rata-rata 2.78 ng/ml. Rekwot et al. (2005) melaporkan pada sapi lokal Guinea Bunaji konsentrasi hormon progestronnya 3.00-3.40 ng/ml. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap konsentrasi hormon progesteron tersebut, di estimasikan bahwa umur permulaan pubertas pada Sapi Katingan di atas 23 bulan. Menurut Noguiera (2004) untuk membantu mengestimasi umur permulaan pubertas dapat dilakukan dengan melihat umur pertama kali beranak. Berdasarkan informasi dari 30 responden peternak yang ada di tiga lokasi penelitian (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang), diperoleh informasi bahwa rata-rata umur pertama kali beranak Sapi Katingan adalah 3-3.5 tahun. Kalau melihat umur tersebut sangat dimungkinkan bahwa umur permulaan pubertas sapi Katingan di atas 23 bulan. Kalau dibandingkan dengan sapi-sapi lokal lainnya di daerah tropis, pada umumnya pencapaian umur permulaan pubertas juga lebih dari 23 bulan, sebagaimana disajikan pada Tabel 39. Lamanya pencapaian umur pubertas menurut Bishop dan Pfeiffer (2008) menunjukkan bahwa performan reproduksi sapi tersebut jelek.
134
Tabel 38
No
Umur sapi Bulan Hari
1. 2.
13 14
3.
15
4.
5.
Hasil pemeriksaan hormon progesteron pada variasi umur Sapi Katingan
16
17
>1,00
15 15 18 2 17 21 15 21 29 29 0 6 15 17 17 17
Konsentrasi Progesteron (ng/ml) 0.05 0.02 0.03 0.01 0.01 0.02 0.02 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.07 0.01 0.01 0.01
No
6.
7. 8. 9. 10.
Umur sapi Konsentrasi Bulan Hari Progesteron (ng/ml) 17 22 0.01 23 0.01 26 0.07 27 0.01 19 5 0.04 15 0.18 19 0.15 20 16 0.05 26 0.13 21 3 0.01 16 0.03 22 0 0.01 5 0.08 23 18 0.01
Kriteria umur permulaan pubertas (Cooke & Arthington 2009)
Konsentrasi Progesteron (ng/ml) 0,2
13,15 14,15 14,18 15,2 15,17 15,21 16,15 16,21 16,29 16,29 17,0 17,6 17,15 17,17 17,17 17,17 17,22 17,23 17,26 17,27 19,5 19,15 19,19 20,16 20,26 21,3 21,16 22,0 22,5 23,18
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
Umur individu sapi (Bulan, Hari)
Gambar 34 Konsentrasi hormon progesteron pada individu-individu Sapi Katingan berbagai umur.
135
Sapi-sapi yang hidup di daerah beriklim tropis seperti di Afrika rata-rata pencapaian umur permulaan pubertas yang didasarkan pada level naiknya progesteronnya relatif lama berkisar 25-33 bulan (Eduvie et al. 1993; Kanuya et al. 1993; Osei et al. 1993). Sebaliknya sapi-sapi yang hidup di daerah subtropis umur permulaan pubertas lebih cepat kurang dari 25 bulan (Sargentini et al. 2007; Saenz et al. 2008). Menurut Kanuya et al. (1993) umur saat pubertas pada sapi Bos indicus yang hidup di daerah subtropis dan tropis bervariasi antara 16 sampai 40 bulan. Berbagai informasi tersebut mendukung hasil pemeriksaan terhadap konsentrasi hormon progesteron Sapi Katingan yang diperoleh, bahwa sapi Katingan termasuk dari Bos indicus yang dipelihara di wilayah beriklim tropis termasuk dalam kategori sapi dengan pencapaian umur permulaan pubertas yang relatif lambat. Monitoring konsentrasi hormon progesteron pada umur lebih dari 23 bulan perlu dilakukan untuk memastikan umur saat Sapi Katingan mencapai permulaan pubertas.
Tabel 39 Perbandingan umur pubertas sapi tropis dan subtropis No
Jenis sapi
1.
Sapi Banglades
2.
Sapi Bali NTT dan Sulsel Sapi lokal Srilanka Sapi Rwandan Sapi Deoni India Crossbreed sapi Eropa Sapi Italia Sapi Criollo
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Umur pubertas (bln) 25.92-36
30 24-28 27.7 35.6 14-20 17 12
Referensi
Faruque & Bhuiyan (2002); Sutradhar (2010); Miazi et al. 2007 Talib et al. (2003) Premasundera (2002) Bishop & Pfeiffer (2008) Sing et al. (2002) Premasundera (2002) Sargentini et al. (2007) Saenz et al. 2008
136
Lingkungan Sapi Katingan Diduga Mempengaruhi Umur Pubertas Mempercepat pencapaian umur permulaan pubertas melalui kegiatan seleksi telah menunjukkan keberhasilannya (Baptiste 2002), namun untuk mengurangi umur pubertas seleksi genetik bukanlah satu-satunya solusi sebab aspek peningkatan lingkungan adalah penting (Noguiera 2004). Gregory (1961) dalam Kadarsih (2003) menyebutkan bahwa penampilan produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan 60% dan 40% faktor genetik. Aspek lingkungan yang banyak dilaporkan adalah masalah pakan (Abdelgadir et al. 2010; Noguiera 2004; Son et al. 2000; Shehu et al. 2008). Terzano et al. (2007) melaporkan bahwa pada sistem manajemen pemeliharaan (intensif dan ekstensif) secara nyata juga mempengaruhi pencapaian bobot badan saat pubertas
yang sudah barang tentu akan mempengaruhi pencapaian umur
permulaan pubertas. Kondisi lingkungan pemeliharaan (habitat) Sapi Katingan yang diduga mempunyai pengaruh terhadap pencapaian umur permulaan pubertas, diantaranya adalah: (1) kondisi lahan dengan pH rendah (asam), pada lokasi Buntut Bali dilaporkan mempunyai pH 4.30 (Firmansyah 2011), (2) jenis pakan yang diberikan selama hidup hanya rumput yang secara kualitas kurang, dan (3) iklim yang meliputi temperatur dan kelembaban yang relatif tinggi. Manajemen pemeliharaan Sapi Katingan yang dilakukan secara ekstensif tradisional dimana sapi dilepas di padang gembalaan dengan pakan hanya bersumber dari rumput alam sejak lahir hingga dewasa yang secara kualitas terbatas dan terkadang juga secara kuantitas memungkinkan pertumbuhan sapi tidak maksimal. Utomo et al. (2008) melaporkan berdasarkan pemeriksaan proksimat di salah satu lokasi di Kalimantan Tengah menunjukkan kualitas rumput alam relatif rendah. Padahal dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pencapaian umur pubertas (Al-Shami 2007; Son et al. 2001; Romano et al. 2005; Noguiera 2004; Agustina et al. 2001). Pakan tidak hanya berhubungan dengan syarat pencapaian bobot badan saat pubertas tetapi juga mempengaruhi
137
produksi dan pelepasan hormon (Swain & Harjit 2001). Menurut Darmono (2009) sapi yang hampir 100% pakannya berasal dari tanaman pakan ternak atau
rumput
alam
akan
mengalami
defisiensi
mineral
yang
dapat
mengakibatkan daya reproduksi menurun. Kondisi lahan tempat pemeliharaan Sapi Katingan adalah asam (pH rendah) dan pada kondisi ini menurut Gartenberg (1990) terjadi kekurangan unsur mineral mikro Copper (Cu). Menurut Darmono (2009) hal ini akan berakibat hijauan yang tumbuh di atas tanah tersebut juga akan miskin mineral Cu. Copper berperanan dalam proses metabolism estrogen dan diperlukan pula untuk kesuburan ternak betina. Copper juga mempunyai peranan yang nyata dalam pemeliharaan fertilitas yang secara optimum dengan melibatkan aktivitas FSH, LH dan estrogen (Desai et al. 1982). Defisiensi Cu menyebabkan gangguan aktivitas ovarium (Ahmed et al. 2009). Sapi yang defisiensi Cu akan mengakibatkan sintesa estrogennya berkurang. Dilaporkan juga bahwa konsentrasi LH di jaringan pituitary akan lebih rendah ketika terjadi defisiensi Cu (Xin et al. 1993). Kondisi ini diperparah dengan para peternak jarang sekali bahkan hampir tidak pernah memberikan pakan tambahan dan mineral. Mineral yang kadang-kadang diberikan adalah garam dapur. Darmono (2007) melaporkan hasil penelitiannya bahwa di beberapa daerah transmigrasi di Kalimantan menunjukkan kondisi sapi yang memprihatinkan dengan status mineralnya mengalami defisiensi dan dari hasil penelitian lain menunjukkan bahwa defisiensi Cu adalah yang paling sering ditemukan di Indonesia (Stoltz et al. 1985). Walaupun kondisi lahan berdasarkan referensi tersebut ada kemungkinan defisiensi Cu namun demikian perlu dipastikan lebih lanjut melalui pemeriksaan laboratorium terhadap lingkungan (lahan dan rumput) dan sapinya sendiri. Hasil pemeriksaan 30 contoh darah terhadap kandungan mineral Cu dari sapi-sapi yang sama untuk pemeriksaan hormon progesteron disajikan pada Tabel 40.
138
Tabel 40 Konsentrasi Cu Sapi Katingan dari contoh darah sapi yang sama untuk pemeriksaan hormon progesteron No 1. 2. 3.
4.
5.
Umur sapi Bulan Hari 13 15 14 15 18 15 2 17 21 16 15 21 29 29 17 0 6 15 17 17 17
Kadar Cu (µg/ml) 0.52 0.43 0.52 0.40 0.45 0.76 0.43 0.58 0.50 0.65 0.42 0.42 0.27 0.40 0.47 0.39
No
6.
7. 8. 9. 10.
Umur sapi Bulan Hari 17 22 23 26 27 19 5 15 19 20 16 26 21 3 16 22 0 5 23 18
Kadar Cu (µg/ml) 0.45 0.54 0.18 0.55 0.37 0.50 0.18 0.43 0.36 0.39 0.57 0.47 0.51 0.36
Konsentrasi Cu serum berkisar antara 0.18 sampai 0.76 µg/ml. Menurut Kincaid (2000) konsentrasi Cu dalam plasma untuk batas marginal adalah 0.50 – 0.70 ug/ml, batas cukup 0.70 – 0.90 µg/ml sedangkan dikatakan kandungan Cu tinggi ketika konsentrasinya 0.90 – 1.10 µg/ml. Standar kecukupan mineral yang dianjurkan bervariasi, Leanne et al. (2010) memberikan batasan terendah 0.60 µg/ml, sedangkan menurut Gadberry et al. (2003) batas kecukupannya adalah dari 0.80 – 1.40 ppm (µg/ml). Hasil pemeriksaan contoh serum Sapi Katingan menunjukkan sebagian besar di bawah standar kecukupan mineral Cu. Hanya satu dari keseluruh contoh yang diperiksa (3.30%) mempunyai konsentrasi yang di atas cukup yaitu 0.76 µg/ml menurut standar yang disampaikan Kincaid (2000) (Gambar 35). Dapat dinyatakan bahwa sapi-sapi Katingan tersebut mengalami defisiensi
139
mineral Cu yang diduga ikut berperan dalam menunda terjadinya permulaan pubertas. Hubungan/korelasi antara kadar progesteron dengan kadar Cu dipelajari melalui analisis korelasi linear sederhana (Pearson correlation) dan didapatkan tingkat hubungan yang rendah dengan arah negatif (P-Value = 0.06) (Gambar 36) dan dengan tingkat keeratan R = -0.35. Hal ini wajar karena unsur Cu lebih berperanan pada metabolisme estrogen. Melihat kenyataan bahwa hampir semua contoh darah Sapi Katingan yang diperiksa menunjukkan di bawah kecukupan mineral Cu, ada kemungkinan hal ini juga merupakan pencerminan status Cu Sapi Katingan yang ada di lapang. Indikasi defisiensi Cu sudah terlihat di lapang selama pelaksanaan kegiatan penelitian yaitu dijumpainya beberapa kasus kesulitan melahirkan dan retensi plasenta. Dengan demikian faktor mineral utamanya Cu menjadi bahan pertimbangan penting dalam rangka membantu mengurangi pencapaian umur permulaan pubertas pada Sapi Katingan. Menurut Gardner et al. (2003) suplementasi Cu efektif untuk meningkatkan konsentrasi Cu sapi.
Konsentrasi Cu (µg/ml)
0,8 0,7
Batas konsentrasi kecukupan Cu (Kincaid 2000)
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah contoh Gambar 35
Konsentrasi Cu pada Sapi Katingan yang diperiksa hormon progesteronnya.
140
Konsentrasi Progesteron
0.20
Kadar Progesteron
0.15
0.10
0.05
0.00 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Kadar Cu
Konsentrasi Cu
Gambar 36 Korelasi antara konsentrasi progestron dan Cu Sapi Katingan.
Rumput alam sebagai penyedia utama pakan Sapi Katingan kualitasnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan tempat tumbuhnya (Darmono 2009). Pakan sangat terkait dengan pencapaian bobot saat pubertas. Romano et al. (2005) melaporkan bahwa pada sapi dengan pemberian pakan yang berbeda kualitasnya ketika mencapai umur permulaan pubertas diperoleh bobot badan yang tidak berbeda nyata, namun pada sapi yang diberi pakan berkualitas rendah umur pubertasnya lebih lama. Hal ini menunjukkan bahwa minimum bobot badan diperlukan untuk mencapai pubertas. Iklim yang meliputi suhu, curah hujan dan kelembaban bagi pemeliharaan ternak sapi dapat dilihat menjadi suatu peluang atau bahkan dapat menjadi ancaman. Menurut Abidin (2002), pada umumnya sapi potong dapat tumbuh optimal di daerah dengan kisaran suhu 10-27oC, dengan curah hujan 800-1500 mm/tahun dan kelembaban udara 60-80%. Menurut Ahmed (2007), zona termonetral suhu nyaman untuk sapi adalah 21-27oC, kelembaban udara tidak boleh melebihi 60oC dan indek kelembaban suhu (temperature humidity index) 72. Iklim menurut Gwazdauskas (1985) dapat mempengaruhi reproduksi karena iklim yang ektrim dapat mengubah fungsi endokrin dan dapat mempengaruhi pencapaian umur pubertas. Ketinggian tempat di tiga lokasi
141
penelitian (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang) berada pada kisaran 0-700 meter diatas permukaan laut. Hal ini menjadikan kawasan ini memiliki rejim suhu panas (isohyperthermic) dan rejim kelembaban yang lembab (udic). Suhu udara maksimum rata-rata berkisar antara 30-32oC dan suhu minimum 25oC dengan suhu rata-rata tahunan 27oC (Puslittanak 1996). Berdasarkan hasil beberapa kali pengukuran terhadap temperatur dan kelembaban di Pendahara pada bulan April 2010 didapatkan rata-rata temperatur dan kelembaban pada pagi hari 28oC dan >100% sedangkan pada sore hari 34oC dan 93%. Informasi tersebut mengisyaratkan bahwa iklim di lingkungan pemeliharaan Sapi Katingan relatif ekstrim. Ada sisi positif pada manajemen pemeliharaan Sapi Katingan yang dilakukan secara ekstensif tradisional, dimana sapi jantan dan betina dilepas bersama-sama di dalam ranch atau di hutan. Adanya sapi jantan dalam kelompok sapi tersebut yang oleh Rekwot et al. (2000) dikenal dengan istilah bull biostimulation berdasarkan hasil penelitian mampu mengurangi pencapaian umur permulaan pubertas. Namun demikian ternyata pencapaian umur permulaan pubertas pada sapi Katingan relatif lama. Faktor lingkungan diduga lebih menonjol pengaruhnya terhadap permulaan pubertas, khususnya aspek lahan yang asam yang berpengaruh pada rumput yang dihasilkan (miskin nutrisi dan mineral) dan aspek iklim.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Umur pubertas Sapi Katingan betina diestimasikan lebih dari 23 bulan berdasarkan konsentrasi progesteron dan informasi jarak beranak. 2. Faktor lingkungan terutama pakan diduga kuat mempengaruhi pencapaian permulaan umur pubertas Sapi Katingan.
142
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kepastian umur permulaan pubertas
dengan
menggunakan
metode
non
invasive
pada
pola
pemeliharaan ekstensif tradisional. 2. Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan terhadap lingkungan yang diduga mempengaruhi terhadap pencapaian umur permulaan pubertas pada Sapi Katingan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdelgadir AM, Izeldin A, Babiker, Eltayeb AE. 2010. Effect of concentrate supplementation on growth and sexual development of dairy heifers. J Appl Sci Res 6(3):212-217. Agustina D, Mansjoer SS, Purwanto BP. 2001. Performa reproduksi sapi perah pada tiga zona klimatik di Bogor. J II Pert Indon 10(2):50-57. Ahmed WM. 2007. Overview on some factors negatively affecting ovarian activity in large farm animals. Global Vet 1(1):53-66. Ahmed WM, El Khadrawy HH, Hanafi EM, El Hameed ARA, Sabra HA. 2009. Effect of copper deficiency on ovarian activity in Egyptian Buffalo-cows. World J Zool 4(1):01-08. Al-Shami, SA. 2007. Effect of feeding hay supplemented with concentrates on feedlot and reproductive performance of prepubertal Hassawi heifers. J Anim Vet Adv 6(1):26-28. Balakrishnan M, Chinnaiya GP, Nair PG, Rao AJ. 1986. Studies on serum progesterone levels in Zebu × Holstein heifers during pre- and peripubertal periods. Anim Reprod Sci 11:11-15. Abstract. Baptiste QS. 2002. The Effect of Diet and Weight on Induction of Puberty and Fertility Response in Yearling Beef Heifers [thesis]. West Virginia University.
143
Berardinelli JG, Dailey RA, Butcher RL, Inskeep EK. 1979. Source of progesterone prior to puberty in beef heifers. J Anim Sci 49:1276-1280. Bishop H, Pfeiffer D. 2008. Factors effecting reproductive performance in Rwandan cattle. Trop Anim Health Prod 40:181-184. Cooke RF, Arthington JD. 2009. Plasma progesterone concentrations as puberty criteria for Brahman-crossbred heifers. Livestock Sci 123:101– 105. Darmono. 2007. Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan upaya pencegahannya. l Litbang Pert 26(3):104-108. Darmono. 2009. Menyiasati Peran Suplemen Logam dan Mineral Terhadap Kesehatan Ternak Menuju Swasembada Daging. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. Jakarta: Badan Penellitian dan Pengembangan Pertanian. Desai MC, Thakkar TP, Darshoane A, Janakiramon J. 1982. A note on serum copper and iron in Surti buffalo in relation to reproduction and gonadotropins. Indian J Anim Sci 52:443-444. Eduvie et al. 1993. Factors affecting the reproductive performance of Bunaji cattle under different pastoral management systems in the Guine savanna zone of Nigeria. In: Improving The Productivity of Indigenous African Livestock. Vienna: IAEA. Page 31-38. Faruque MO, Bhuiyan AKFH. 2002. Cattle and Buffalo Breeding in Bangladesh. In: Allen J and Ancharlie NA, editors. Development Strategies for Genetic Evaluation for Beef Production in Developing Countries. Proceedings of an International Workshop held in Khon Kaen Province, Thailand, July 23–28 2001. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Page 23-27. Gadberry MS, Troxel TR, Davis GV. 2003. Blood Trace Mineral Concentrations of Cows and Heifers from Farms Enrolled in the Arkansas Beef Improvement Program. Arkansas Animal Science Department Report 2003. Online: http://arkansasagnews.uark.edu/50912.pdf. Tanggal 20 April 2011 Gartenberg PK, McDowell LR, Rodriguez D, Wikiinson N, Conrad JH, Martin FG. 1990. Evaluation of trace mineral status of ruminant in northeast Mexico. Livestock Res. For rural Development 3(2):1-6.
144
Gardner WC, Broersma K, Popp JD, Mir Z, Mir PS, Buckley WT. 2003. Copper and health status of cattle grazing high-molybdenum forage from a reclaimed mine tailing site. Can J Anim Sci 83:479–485. Getzewich KE. 2005. Hormonal regulation of the onset puberty in purebred and crossbred Holstein and Jersey heifers [thesis]. The Virginia Polytechnic Institute and State University. Gwazdauskas FC. 1985. Effects of climate on reproduction in cattle. J Dairy Sci 68: 1568-1578. Abstract. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Kadarsih S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan Sapi Bali di Propinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 9(1) 45-48. Kanuya NL, Nkya R, Kessy BM. 1993. Reproductive performnace of Tanzania MPWAPWA Cattle at puberty and post-partum. In: In Improving The Productivity of Indigenous African Livestock. Vienna: IAEA. Page 4957. Kincaid RL. 2000. Assessment of trace mineral status of ruminants: A review. J Anim Sci 77:1-10. Leanne MVDW, Hendrick S, Waldner CL. 2010. Serum micronutrient concentrations in beef cows before and after the summer grazing season. Can J Anim Sci 90:563-574. Miazi OM, Hossain E, Hassan MM. 2007. Productive and reproductive performance of crossbred and indigenous dairy cows under rural conditions in Comilla, Bangladesh. Univ J Zool Rajashahi Univ 26:6770. Nakada K, Moriyoshi M, Nakao T, Watanabe G, Taya K. 2000. Changes in concentrations of plasma immunoreactive follicle-stimulating hormone, luteinizing hormone, estradiol 17-ß, testosterone, progesterone, and inhibin in heifers from birth to puberty. Domest Anim Endocrinol 18:5769. Nogueira GP. 2004. Puberty in South American Bos indicus (Zebu) cattle. Anim Reprod Sci 82–83:361–372.
145
Osei et al. 1993. Studies on the reproductive performance of indigenous beef cattle breeds raised on- farm in Ghana. In: Improving The Productivity of Indigenous African Livestock. Vienna: IAEA. Page 103-112. Premasundera AS. 2002. Cattle and Buffalo Production and Breeding in Sri Lanka. In: Allen J and Ancharlie NA, editors. Development Strategies for Genetic Evaluation for Beef Production in Developing Countries Proceedings of an International Workshop held in Khon Kaen Province, Thailand, July 23–28 2001. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Page 81-87. [Puslittanak]. 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk mendukung Penataan Ruang di Provinsi kalimantan Tengah. Laporan Akhir. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 37 halaman. Rawlings NC, Evans ACO, Honaramooz A, Bartlewski PM. 2003. Antral follicle growth and endocrine changes in prepubertal cattle, sheep and goats. Anim Reprod Sci 78:259–270. Rekwot P, Ogwu D, Oyedipe E, Sekoni V. 2000. Effects of bull exposure and body growth on onset of puberty in Bunaji and Friesian Bunaji heifers. Reprod Nutr Dev 40:359–367. Romano MA, Barnabe WH, Silva AEDF, Freitas, Romano. 2005. The effect of nutritional level on advancing age at puberty in Nelore heifers. Ambiencia Guarapuava PR 1(1):157-167. Saenz et al. 2008. Age at puberty in beef heifers: Criollo Cattle versus British crossbred cattle. Proceedings, Western Section, American Society of Animal Science 59: 237-240. Sargentini C. et al. 2007. Onset of puberty in Maremmana heifers. Ital J Anim Sci 6: 385-394. Shehu DM, Oni OO, Olorunju SAS, Adeyinka IA. 2008. Genetic and phenotypic parameters for body weight of sokoto Gudali (Bokoloji) Cattle. Int Jor P App Scs 2(2):64-67. Singh G, Gaur GK, Nivsarkar AE, Patil GR, Mitkari KR. 2002. Deoni cattle breed of India. A study on population dynamics and morphometric characteristics. Agri 32:35-43.
146
Son CH, Kang HG, Kim SH. 2001. Application of progesterone measurement for age and body weight at puberty, and postpartum anestrus in Korean Native Cattle. J Vet Med Sci 63(12):1287-1291. Stoltz DR, Darmono, Ismawan, Gunawan, Marshall RB. 1985. Bovine copper deficiency in Indonesia. Proc. 3rdAnimal Sc.Congr. Seoul: AsianAustralian Assoc Animal Prod Soc 1:531-533. Sutradhar ABC, Hasanuzzaman M, Miazi OF, Aktaruzzaman M, Faruk MO. 2010. Study on the productive and reproductive performances of Red Chittagong Cow ar rural areas in Chittagong. Univ J Zool Rajashahi Univ 28:27-31. Swain RK, Harjit K. 2001. Plasma progesterone levels during prepubertal period and estrous cycle in crossbred heifers fed on two dietary protein levels. J nuclear agric biol 31(2):99-103. Abstract. Talib C, Entwistle K, Siregar A, Turner SB, Lindsay D. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia. In: Entwistle K and Lindsay DR, editors. Strategies to Improve Bali Cattle in eastern Indonesia. ACIAR Proceedings no 110. Proceedings of a Workshop 4–7 Februrary 2002, Bali, Indonesia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Page 3-9. Terzano et al. 2007. Effect of intensive or extensive systems on buffalo heifers performances: onset of puberty and ovarian size. Ital J Anim Sci 6(2):1273-1276. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa. Xin Z, Silvia WJ, Waterman DF, Hemken RW, Tucker WB. 1993. Effect of copper status on In vivo oxidative modification of erythrocyte luteinizing hormone secretion in dairy steers. J. Dairy membrane proteins in copper deficiency. Free Radical Sci 76:437-444.
147
TINGKAH LAKU KELAMIN SAPI KATINGAN JANTAN PADA MANAJEMEN EKSTENSIF TRADISIONAL ABSTRACT
Katingan Cattle is raised in extensive traditionally management. They are released in large area or even in the forest. In the such as management will appear the hierarchy system namely dominant bull-subordinat bull and in the condition, they have been interesting sexual behaviour to be observed. The dominant bull have important role in order to increase success of cow reproduction. The research was conducted in the farmers in three locations, those were Pendahara, Buntut Bali and Tumbang Lahang, who had herd of cattle in range 20-60 heads. The objective of the research was to observe sexual behavior especially for bull and cow oestrus. The estimation of bull fertility in the field based on semen quality analysis was rather difficult to be done. Based on many researchs, the one of parameter usually used in the evaluation of bull fertility was scrotal circumference measurement. The result of observation showed that various access including cow oestrus was under authority bull dominant. Sexual behavior was inisiated by dominan and subordinat bull but the dominant bull always took over the role of subordinat bull. The size of scrotal circumference of Katingan Cattle was variation between 19.5 cm – 34 cm with the average 22.8 cm on 1.5-3.5 years old. The average size of the scrotal circumference based on the previous researchs on PO Cattle which having similar performance with Katingan Cattle was normal standard for fertility of bull. Nevertheless, the examination of bull Katingan fertility by semen quality in the future should be done in order to confirm with the size of scrotal circumference, may have different standar of size.
Key words: Katingan Cattle, extensive traditionally, sexual behaviour, bull, scrotal circumference.
ABSTRAK
Sapi Katingan yang dipelihara dengan manajemen ekstensif tradisional yaitu di lepas di padang gembalaan yang luas memunculkan tingkah laku repoduksi yang menarik untuk diamati. Pada manajemen tersebut memunculkan sistem hierarki pejantan dominan dan pejantan subordinat. Kesuburan pejantan dominan menjadi sangat penting peranannya dalam rangka meningkatkan
148
suskses reproduksi sapi betinanya. Kegiatan penelitian di lakukan di tiga lokasi penelitian (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang) pada peternak yang memiliki jumlah sapi 20-60 ekor dalam 1 ranch. Pengamatan dilakukan terhadap tingkah laku kelamin terutama pada sapi pejantan terhadap betina estrus. Pendugaan seleksi kesuburan pejantan berdasarkan analisis kualitas semen tampaknya dilapangan sulit dilakukan. Salah satu cara yang praktis dilakukan adalah melalui ukuran lingkar skrotum yang dari berbagai penelitian dapat digunakan untuk mengestimasi kesuburan pejantan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Pejantan dominan memang mendominasi pada berbagai akses terutama pada betina birahi. Inisiatif tingkah laku perkawinan dilakukan oleh pejantan baik dominan maupun subordinat namun pejantan dominan selalu mengambil alih peran pejantan subordinat. Ukuran lingkar skrotum pejantan Sapi Katingan bervariasi antara 19.5 - 34 cm dengan rata-rata 22.8 cm pada umur 1.5-3.5 tahun. Ukuran tersebut menurut hasil penelitian pada sapi PO yang mempunyai kemiripan dengan Sapi Katingan sesuai dengan standar yang dianjurkan sebagai pejantan pemacek. Namun demikian pemeriksaan kualitas semen perlu dilakukan di masa mendatang untuk mengkorfirmasi fertilitas pejantan Sapi Katingan, barangkali mempunyai standar ukuran yang berbeda.
Kata-kata kunci:
Sapi Katingan, ekstensif tradisional, tingkah laku kelamin, pejantan, lingkar skrotum. . PENDAHULUAN
Sapi Katingan dipelihara dengan manajemen ekstensif tradisional, yaitu di lepas di padang gembalaan yang dibatasi dengan pembatas berupa kawat berduri atau dilepas bebas di hutan. Siang dan malam sapi dibiarkan di udara terbuka dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan mereka, termasuk reproduksi. Perkawinan terjadi secara alam karena pejantan kebanyakan tersedia dalam kelompok sapi-sapi tersebut. Aspek yang menarik untuk dilihat pada manajemen pemeliharaan tersebut adalah tingkah laku seksual, hal in penting untuk meningkatkan sukses reproduksi khususnya pada sapi betina. Tingkah laku seksual pada sapi telah banyak dilaporkan (Chenoweth 1983; Orgeur & Signoret 1990; Price 1995; Bailey 2003; Dobicki et al. 2007; Katz 2008; Tucker 2009), namun dibandingkan dengan kegiatan penelitian yang lain, informasi mengenai tingkah laku seksual relatif lebih sedikit.
149
Sapi adalah hewan sosial yang hidupnya berkelompok (Bouissou & Boissy 2005). Organisasi sosial sapi dicirikan oleh adanya hubungan pejantan dominan -pejantan subordinat. Dominansi sapi diekspresikan melalui interaksi agonistik (ofensive dan defensive) (Bouissou & Boissy 2005). Adanya hubungan pejantan dominan - pejantan subordinat mempengaruhi akses mereka terhadap sumberdaya yang tersedia termasuk betina estrus (Tucker 2009). Pejantan dominan sering menekan performan seksual pejantan subordinat tetapi hal ini tidak terjadi sebaliknya. Umur, perbedaan bobot badan, tingkah laku agresif,
pengalaman
seksual
dan
konsentrasi
testosterone
barangkali
berkontribusi terhadap efek ini. Efek dominasi lebih nyata terlihat pada kelompok pejantan yang umurnya bervariasi dibandingkan pada kelompok pejantan dengan umur yang relatif sama (Price 1995). Adanya sistem hierarki pada kelompok sapi tersebut, sangat penting untuk dilihat fertilitas pejantan dominannya. Untuk mengkaji fertilitas pejantan dapat dilihat dari libido dan kemampuan mengawini melalui uji kapasitas pelayanan (service capacity test) (Petherick 2005). Menurut Orgeur dan Signoret (1990) fertilitas pada sistem perkawinan alam tergantung pada kualitas semen dan pada efisiensi seksual pejantannya. Pada aplikasi di tingkat lapang pemeriksaan semen untuk melihat fertilitas pejantan dominan relatif merepotkan dan yang lebih praktis adalah dengan melihat ukuran lingkar skrotumnya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan lingkar skrotum dengan umur pubertas (Torres-Júnior & Henry 2005), normalitas dan abnormalitas sperma (Latif et al. 2009; Chacon 2001; Soeroso & Duma 2006), level serum testosteron dan volume ejakulasi (Sajjad et al. 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran umum aktivitas dan tingkah laku kelamin sapi pejantan ketika ada betina yang birahi pada manajemen pemeliharaan ekstensif tradisional di area padang gembalaan yang luas serta melihat ukuran lingkar skrotum pejantan pemacek. Informasi diharapkan berguna untuk membantu memformulasikan suatu strategi agar
150
efisiensi reproduksi pada model manajemen ekstensif tradisional bisa dicapai terutama untuk meningkatkan angka kebuntingannya. BAHAN DAN METODE
Bahan Kegiatan penelitian di lakukan di Kelurahan Pendahara, Desa Buntut Bali dan DesaTumbang Lahang, masing-masing dari Kecamatan Tewah Sanggalang Garing, Pulau Malan dan Katinngan Tengah, Kabupaten Katingan. Kegiatan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan penelitian lainnya, yaitu saat pengukuran morfometrik sapi dan pengambilan contoh darah untuk pemeriksaan keragaman genetik dan umur pubertas. Kegiatan penelitian dilakukan pada Sapi Katingan yang dipelihara di dalam ranch dan di hutan dengan jumlah sapi dalam kelompok 20-60 ekor. Jumlah peternak yang memiliki sapi sejumlah tersebut sudah tidak banyak lagi. Jumlah rasio pejantan betina memadai sekitar 1:5 – 1:10, namun kebanyakan pejantan tersebut dalam kategori umur muda yaitu sekitar 1.5 – 2 tahun bahkan banyak yang di bawah 1.5 tahun. Pengamatan tingkah laku kelamin dibantu dengan peralatan binokuler.
Metode Kegiatan penelitian dilakukan secara alami pada manajemen ekstensif tradisional dimana interaksi sosialnya juga berlangsung secara alami. Pengamatan dilakukan pada kondisi alami tanpa ada perlakuan reproduksi, yang biasanya digunakan untuk membantu pencapaian birahi sehingga memudahkan dalam pengamatan (Freitas et al. 2006; Solano et al. 2005; Bailey 2003). Perangsangan birahi pada sapi betina menggunakan preparat hormon menimbulkan birahi kering, sapi pejantan kebanyakan hanya mengendus endus sapi, lain halnya kalau betinanya birahi secara alami, pejantan lebih agresif dan berusaha terus untuk menaiki (Utomo et al. 2008).
151
Pengamatan
dalam
kondisi
alami
tersebut
menyulitkan
untuk
mengetahui waktu betina birahi, karena saat pengamatan beberapa kali belum tentu ada sapi yang birahi. Keberadaan sapi betina birahi diindikasikan adanya tingkah laku tertentu dari pejantan. Pejantan dapat mendeteksi adanya betina birahi menggunakan indera penciuman karena adanya rangsangan visual (Tucker 2009). Atas dasar tersebut kemudian dilakukan pengamatan berbagai aktivitas (tingkah laku) terutama pada sapi pejantannya. Pengamatan serta mengikuti pergerakan sapi betina birahi yang dikejar oleh pejantan dilakukan dengan jarak agak jauh mengingat dengan manajemen pemeliharaan yang ekstensif tradisional sapi (pejantan) agak liar. Informasi dari peternak juga digali terkait dengan tingkah laku reproduksinya. Pengamatan tidak bisa dilakukan sampai terjadinya kopulasi karena mobilitas sapi saat mau melakukan aktivitas perkawinan selalu bergerak dengan wilayah jelajah yang luas dan sulit dimonitoring lagi. Selain itu sebanyak 40 ekor pejantan dengan kisaran umur menurut informasi pemiliknya antara 1.5 – 3.5 tahun dari masing-masing lokasi pemeliharaan tersebut dilakukan pengukuran lingkar skrotumnya.
Analisa Data Informasi yang diperoleh berupa tingkah laku sapi dan data ukuran lingkar skrotum diinformasikan secara deskriptif dan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkah Laku Libido Pejantan Tingkah laku menonjol yang sering teramati adalah pejantan selalu melakukan pendekatan dengan betina estrus, sebaliknya betina tidak melakukan pendekatan ke pejantannya, hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Freitas (2006) pada kuda. Pejantan selama ada betina estrus berusaha untuk
152
mengendus/menjilati bagian vagina dan berusaha menaiki betina (mounting). Hal ini menunjukkan bahwa pejantan lebih mengambil inisiatif daripada betina dan ini berbeda dengan yang dilaporkan Dobicki et al. (2007) bahwa betina justru yang sering menaiki jantannya. Usaha menaiki adalah paling biasa dilakukan pada sapi sebagaimana dilaporkan oleh Solano et al. (2005). Pejantan yang merupakan anak sendiri sering teramati berusaha juga menaiki betina induknya sendiri. Pada manajemen seperti inilah dan berdasarkan informasi peternaknya sering menyebabkan terjadinya inbreeding. Menjilati (licking) dan membaui (smelling) menurut Solano et al. 2005) merupakan tingkah laku utama antara jantan dan betina (heterosexual), terutama selama waktu pendekatan estrus. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sapi betina yang estrus juga dijilati oleh sapi betina yang lainnya, bahkan sapi betinapun kadang juga berusaha menaiki betina lainnya yang estrus. Pejantan-pejantan yang ada dalam kelompok akan berusaha menaiki betina yang estrus, namun selalu dihalangi oleh pejantan dominan. Pejantan dominan yang kebanyakan memiliki postur tubuh yang besar tidak selalu menginisiasi menaiki betina estrus, pejantan subordinat mempunyai peluang yang sama untuk berusaha mengawini, namun selalu dihalangi oleh pejantan dominan. Memurut Dobicki et al. (2007), lari menghindar dari pejantan dominan adalah standar tingkah laku yang biasa dilakukan oleh pejantan subordinat. Pejantan dominan begitu mendominasi di dalam kelompok, setiap ada yang mau mendekati betina birahi termasuk manusia
akan
dihalaunya.
Pejantan
tersebut
nampaknya
harus
bisa
menuntaskan keinginannya sampai-sampai harus menghadang betina estrus di jalan yang biasanya dilewati saat pulang sore hari menuju tempat tertentu. Secara ringkas hasil pengamatan tingkah laku kelamin pejantan dominan terhadap betina estrus dan pejantan subordinat disajikan pada Tabel 41.
153
Tabel 41 Hasil pengamatan yang memberikan gabaran umum tingkah laku kelamin pejantan Sapi Katingan (pre copulatory) Elemen tingkah laku kelamin
Skor tingkah laku
Hubungan: Pejantan subordinat jantan - betina estrus 1.
Pejantan subordinat mendekati betina
+++++
2.
Pejantan subordinat membaui betina
++
3.
Pejantan subordinat menggosoki betina
+
4.
Pejantan subordinat menjilat betina
+
5.
Pejantan subordinat mencoba menaiki betina
+++
Hubungan: Pejantan dominan - betina estrus 1.
Pejantan dominan selalu mendekati betina
+++++
2.
Pejantan dominan membaui betina
++++
3.
Pejantan dominan menggosok betina
++
4.
Pejantan dominan menjilat betina
++
5.
Pejantan dominan mencoba menaiki betina
++++
Hubungan: Pejantan dominan - pejantan subordinat 1.
Pejantan dominan mengusir pejantan subordinat
+++++
Catatan: estrus yang ditampilkan kurang jelas +
> +++++ : frekuensi yang sering teramati
Pada manajemen grassing atau model pemeliharaan ekstensif tradisional beberapa hal yang dijumpai dan perlu mendapatkan perhatian adalah (1) Kebanyakan sapi jantan sulit untuk menaiki sapi betina karena selalu bergerak menghindar setiap mau dinaiki oleh pejantan, selalu berlangsung demikian dan ini memerlukan waktu yang relatif lama untuk sampai terjadi kopulasi. Apalagi kalau ukuran pejantannya besar. Efisiensi pelaksanaan perkawinan perlu dipikirkan
dengan memasukkan betina ke kandang pemacek. (2) Melihat
pentingnya peranan pejantan dominan terhadap keberhasilan kebuntingan, kemampuan pejantan dalam hal libido dan mengawini betina mempunyai peranan sangat penting, artinya pejantan dominan harus mempunyai kesuburan
154
yang tinggi. Menurut Parkinson (2004), potensi fertilitas pejantan dapat dievaluasi di lapang melalui pengamatan terhadap kemampuan kawin (koitus, libido dan kapasitas melayani), ukuran lingkar skrotum dan kualitas semen. Informasi tentang potensi fertilitas pejantan menurut Torres-Júnior dan Henry (2005) sangat (ekstrim) penting untuk meningkatkan produktivitas sapi pada manajemen pemeliharaan secara ekstensif. Dewasa ini perhatian banyak diarahkan kepada pengukuran lingkar skrotum untuk mengestimasi fertilitas pejantan. Penentuan ukuran lingkar skrotum adalah aspek yang penting pada breeding soundness examination sapi jantan sebab lingkar skrotum secara nyata dapat digunakan sebagai indikator pubertas pejantan Bos indicus (Brito et al. 2004).
Lingkar Skrotum Hasil pengukuran lingkar skrotum di tiga lokasi penelitian (Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang) disajikan pada Tabel 42. Sapi-sapi pejantan sebagai pemacek mempunyai ukuran lingkar skrotum berkisar antara 19.5 – 34 cm. Sapi-sapi dengan ukuran besar mulai berkurang jumlahnya, hal ini merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi peternak di lokasi penelitian tersebut. Namun jumlah pejantan muda tidak menjadi masalah karena dari monitoring masih banyak dijumpai di lapang, perbandingan antara pejantan dan betina antara 1:5 – 1:10. Lingkar skrotum pada Sapi Katingan rata-rata di bawah ukuran 30 cm, yaitu 22.8 cm. Kuswahyuni (2008) melaporkan rata-rata lingkar skrotum pada umur 2.5-3 tahun pada Sapi Simmental, Limmousin dan Brahman berturut-turut adalah 45,42 cm, 35.6 cm dan 32 cm. Ada korelasi antara bobot badan dan lingkar skrotum, menurut Torres-Júnior dan Henry (2005) diameter lingkar skrotum meningkat secara linear dengan umur dan bobot badan.
155
Tabel 42 Ukuran lingkar skrotum Sapi Katingan pada umur 1.5-3.5 tahun di tiga lokasi penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Rata-rata Rata-rata total
Buntut Bali 20.3 19.9 21.5 26 23.3 27.3 25.2 22.7 23.5 22.3 21.7
23.06
Lokasi Pendahara 21.8 25.7 20.5 30* 24 23 23.4 22.1 21.5 22 23 21.8 22.9 23.7 34* 30* 24.3
Tumbang Lahang 19.5 18 20 21 20.3 18.5 22 23.4 23 21.5 20.7 21.2 24.3
21.03 22.80
Keterangan: *) Pejantan dominan
Beberapa penelitian mencatat bahwa meningkatnya ukuran lingkar skrotum, juga akan meningkatkan motilitas, persen sperma normal, volume semen (Latif et al. 2009; Sajjad et al. 2007; Sarder 2005), konsentrasi sperma, jumlah produksi sperma per ejakulat (Latif et al. 2009; Sarder 2005), output keseluruhan sperma, testosteron (Sajjad et al. 2007), sementara prosentase abnormalitas sperma menurun (Sarder 2008; Soeroso dan Duma 2006). Sapi crossbreed dengan ukuran lingkar skrotum > 30 cm, menghasilkan semen dengan kualitas baik (Latif et al. 2009). Sapi Zebu dengan lingkar skrotum ≤ 30 cm menunjukkan kejadian proximal cytoplasmic droplets lebih tinggi dibandingkan lingkar skrotumnya > 30 cm (Chacon 2001). Menurut Soeroso & Duma (2006) setiap kenaikan 1 cm ukuran lingkar skrotum maka konsentrasi sperma mengalami kenaikan sebesar 0.15x109/ml, persentase sperma mati
156
menurun sebesar 0.22%, sperma abnormal primer menurun 0.25% dan skor gelombang massa sperma meningkat 0.18 unit. Budiwiyono dan Aryogi (2007) menganjurkan untuk pejantan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya lebih dari 32 cm (32–37 cm), namun rekomendasi tersebut untuk sapi Grati. Lindsay et al. (1982) melaporkan bahwa minimum estimasi lingkar skrotum pada sapi PO dewasa jantan yang normal adalah 23 cm. Sapi Katingan mempunyai performan yang mirip dengan Sapi PO sehingga standar dari Sapi PO hasil penelitian Lindsay et al. (1982) tersebut sementara bisa dijadikan sebagai acuan. Pertimbangan lain seleksi berdasarkan ukuran lingkar skrotum adalah bahwa lingkar skrotum mempunyai nilai heritabilitas medium-tinggi untuk rumpun (breeds) tropis 30-35% (Phillips 2001). Oleh karena itu, salah satu upaya untuk memperoleh hewan yang sesuai dengan kondisi sistem produksi di iklim tropis kegiatan seleksi berdasarkan lingkar skrotum bisa dilakukan (Siddiqui et al. 2008; Yokoo et al. 2010). Atas dasar tersebut di atas lingkar skrotum pejantan Sapi Katingan yang telah dilakukan pengukuran dengan rata-rata 22.8 cm masih masuk dalam kategori standar normal sebagai pejantan pemacek. Namun demikian untuk mendukung hasil pengukuran lingkar skrotum yang telah dilakukan perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas semennya. Ada kemungkinan ukuran lingkar skrotum Sapi Katingan mempunyai standar tersendiri, karena menurut Kuswahyuni (2008), ukuran lingkar skrotum dan volume berbeda menurut bangsa.
157
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Dalam manajemen ekstensif tradisional, pejantan dominan mendominasi berbagai akses termasuk betina birahi, sehingga tingkat keberhasilan terjadinya
kebuntingan
sangat
ditentukan
oleh
fertilitas
pejantan
dominannya. 2. Berdasarkan ukuran lingkar skrotum pada pejantan yang ada di lapang menandakan bahwa rata-rata masih memenuhi syarat untuk menjadi pejantan pemacek.
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu: 1. Pemeriksaan pejantan dominan dari segi fertilitas penting untuk meningkatkan keberhasilan proses reproduksi. 2. Pemeriksaan kualitas semen perlu dilakukan pada penelitian mendatang untuk melihat potensi fertilitas pejantan untuk mendukung hasil pengukuran lingkar skrotumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey JD. 2003. An Approach to The Measurement of Sexual Behavior in The Bull (Bos taurus) Using Variable Female Stimulus Condition [dissertation]. The University of Kentucky. Budiwiyono D, Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bouissou MF, Boissy A. 2005. The social behaviour of cattle and its consequences on breeding. INRA Prod Anim 18(2): 87-99. Abstract.
158
Brito LF et al. 2004: Sexual development in early- and late-maturing Bos indicus and Bos indicus x Bos taurus crossbred bulls in Brazil. Theriogenology 62:1198-1217. Abstract. Chacon J. 2001. Assessment of sperm morphology in Zebu bulls, under field conditions in the tropics. Reprod Domest Anim 36(2):91-99. Abstract. Chenoweth PJ. 1983. Sexual behavior of the bull: A Review. J Dairy Sci 66(1):173-179. Freitas et al. 2006. Sexual behavior of Criollo stallions on pasture. Anim Reprod Sci 94:42–45. Abstract. Katz LS. 2008. Variation in male sexual behavior. Anim Reprod Sci 105:64–71. Kuswahyuni IS. 2008. Lingkar skrotum, volume testis, volume semen dan konsentrasi sperma pada beberapa bangsa sapi potong. Agromedia 26(1):20-26. Latif MA, Ahmed JU, Bhuiyan MMU, Shamsuddin M. 2009. Relationship between scrotal circumference and semen parameters in crossbred bulls. The Bangladesh Veterinarian 26(2):61-67. Lindsay DR, Entwistle KW, Winantea A. 1982. Reproduction in Domestic Livestock in Indonesia. Australian Universities International Development Program (AUIDP), University of Queensland Press, Melbourne. Orgeur P, Signoret JP. 1990. L’activite sexuelle du taureau: Revue bibliographique. INRA Prod Anim 3(4):235-242. Parkinson TJ 2004: Evaluation of fertility in natural service bulls. The Veterinary Journal 168:215-229. Abstract. Phillips A. 2001. Genetic Effects on the Productivity of Beef Cattle. NT Australia Agnote. Online: http ://www.highlandcattleusa.org/ content/ management/ GeneticEffects.pdf. Tanggal 11 April 2011. Sajjad M, Ali S, Ullah N, Anwar M, Akhter S, Andrab SMH. 2007. Blood serum testosterone level and its relationship with scrotal circumference and semen characteristics in Nili_Ravi Buffalo bulls. Pakistan Vet J 27(2):63-66. Sarder MJU. 2005. Scrotal circumference variation on semen characteristics of artificial insemination (AI) bulls. J Anim Vet Adv 4(3):335-340.
159
Sarder MJU. 2008. Effects of age, body weight, body condition and scrotal circumference on sperm abnormalities of bulls used for artificial insemination (AI) programme in Bangladesh. Univ j zool Rajshahi Univ 27: 73-78. Siddiqui et al. 2008. Crossbred bull selection for bigger scrotum and shorter age at puberty with potentials for better quality semen. Reprod Domest Anim 43:74-79. Soeroso, Duma Y. 2006. Hubungan antara lingkar skrotum dengan karakteristik cairan dan spermatozoa dalam cauda epididymis pada sapi Bali. J Indon Trop Anim Agric 31: 219-223. Solano J, Orihuela A, Galina CS, Montiel F, Galindo F. 2005. Relationships between social behavior and mounting activity of Zebu cattle (Bos indicus). Appl Anim Behav Sci 94:197-203. Torres-Júnior JRS, M. Henry M. 2005. Sexual development of Guzerat (Bos taurus indicus) bulls raised in a tropical region. Anim Reprod 2(2):114121. Tucker CB. 2009. Behaviour of Cattle. In: Jensen P, editor. The Ethology of Domestic Animals. 2nd Edition: An Introductory Text. CAB International 2009. page 151-160. Yokoo MJ et al. 2010. Genetic associations between carcass traits measured by real-time ultrasound and scrotal circumference and growth traits in Nelore cattle. J Anim Sci 88: 52-58.
161
PEMBAHASAN UMUM Sapi Katingan merupakan peternakan rakyat yang dibudidayakan oleh masyarakat lokal, yaitu suku Dayak Ngaju. Menurut Yusdja dan Ilham (2006) peternakan tersebut dicirikan dengan tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, dan rata-rata skala usaha relatif kecil. Masyarakat lokal tidak bisa dipisahkan kehidupannya dari keberadaan Sapi Katingan, karena sapi tersebut mempunyai nilai kultural dan historis tinggi dan sekaligus sebagai tabungan bagi keluarga. Sejauh ini peranan Sapi Katingan hanyalah sebagai usaha sambilan belum menjadi cabang usaha, namun demikian kontribusi pendapatan bagi keluarga cukup besar mampu mencapai 18-28%. Kontribusi ternak terhadap pendapatan keluarga jauh lebih besar dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya (Widjaja & Firmansyah 2002; Priyanto et al. 2001; Paat et al. 1992). Kegiatan usaha peternakan Sapi Katingan sudah seharusnya diarahkan menjadi cabang usaha, bukan lagi sekedar sebagai penyedia hewan korban untuk acara ritual atau hanya sebagai tabungan. Apalagi didukung dengan ketersediaan rumput alam dan lahan yang luas yang dapat digunakan sebagai padang gembalaan, karena peternakan rakyat nantinya diharapkan menjadi tulang punggung keberhasilan program swasembada daging. Dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas Sapi Katingan berbagai aspek masih harus mendapatkan perhatian, yaitu aspek (1) petani, (2) ternak, (3) lingkungan dan (4) teknologi. Empat aspek tersebut nampaknya menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Walaupun tingkat pendidikan sebagian besar rata-rata Sekolah Dasar, dan menurut Mayulu et al. (2010), SDM yang memadai merupakan prasyarat untuk memacu penerapan teknologi adaptif, namun dari pengalaman beternak yang lama menjadi modal dasar untuk bisa diarahkan menjadi peternak yang baik. Hal ini bisa dilihat pada sebagian besar peternak
162
yang sudah bisa menerapkan pola satu induk satu anak dalam satu tahun. Kurangnya wawasan dan pembinaan
menjadikan masyarakat Dayak
memelihara Sapi Katingan secara ekstensif tradisional tanpa memberikan sentuhan teknologi sama sekali. Aspek pakan dari segi kualitas dan diversivitasnya sangat kurang mendapatkan perhatian, padahal menurut Mayulu et al. (2010) dalam banyak hal, kegagalan reproduksi ternak dan pemeliharaan pedet berkaitan erat dengan kecukupan pakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian penentuan umur pubertas sapi yang lebih dari 23 bulan dan faktor lingkungan dalam hal ini adalah kualitas pakan nampaknya menjadi masalah yang serius. Mineral Cu pada tubuh sapi ditemukan di bawah batas kecukupan, kondisi ini nyata sekali terlihat di lapang dengan adanya penyakit-penyakit reproduksi yang diakibatkan defisiensi mineral tertentu seperti kesulitan melahirkan dan retensi plasenta. Manajemen pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif tradisional memunculkan sistem hierarki pada kelompok sapi. Pejantan dominan mendominasi berbagai aspek terutama betina birahi, sehingga tingkat keberhasilan reproduksi pada betina yang birahi sangat ditentukan oleh tingkat fertilitas pejantan dominan. Oleh karena itu penelitian lanjutan penting untuk dilakukan dan difokuskan pada pemeriksaan fertilitas pejantan dominan. Kegiatan ini sekaligus untuk menentukan kriteria ukuran lingkar skrotum pada pejantan normal yang bisa digunakan sebagai pemacek. Sapi Katingan berdasarkan ciri-ciri umumnya sebagaimana disampaikan oleh Regitano et al. (2006), yaitu mempunyai gumba dan gelambir yang besar termasuk dalam spesies Bos indicus. Hal ini dikonfirmasi lagi melalui pemeriksaan DNA mikrosatelit yang menghasilkan pengelompokan Sapi Katingan berada satu kluster dengan Sapi PO, menunjukkan bahwa Sapi Katingan adalah dari maternal Sapi Zebu (Bos indicus) (Abdullah 2008). Sapi Katingan mempunyai karakteristik tertentu yang bisa dibedakan dengan sapi lainnya walaupun masih dalam satu spesies, diantaranya adalah warna yang bervariasi, bentuk tanduk dan adanya tonjolan diantara dua tanduk.
163
Sapi Bos indicus adalah sapi daerah tropis, merupakan sapi yang toleran terhadap panas dan parasit (Machado et al. 2003; Regitano et al. 2006; Ariosto 2010). Daya adaptasi terhadap iklim (temperatur dan kelembaban) yang ekstrim memungkinkan Sapi Katingan bisa berkembang dengan baik, indikasi ini dapat dilihat bahwa sapi tersebut mampu bereproduksi (menghasilkan anak) sampai lebih dari 11 kali, program satu induk satu anak dalam satu tahun bisa diterapkan, kasus penyakit infeksius belum pernah dilaporkan, parasit patogen sejauh ini tidak ditemukan. Berdasarkan kriteria tersebut, Sapi Katingan bisa dijadikan sebagai sumber bibit sapi lokal di Kalimantan Tengah. Perkembangan produksi Sapi Katingan tidak sepesat seperti pada sapi lokal lainnya terutama sapi Bali, diduga disebabkan oleh (1) pemberdayaan yang kurang dari Pemerintah Daerah (pelayanan aspek reproduksi, kesehatan hewan, wawasan budidaya, dll.), (2) ada kecenderungan sapi dikembangkan di wilayah-wilayah tertentu dan hanya di masyarakat tertentu (masyarakat Dayak) sehingga Sapi Katingan tidak berkembang luas di luar wilayah tersebut, dan (3) masyarakat mulai tertarik dengan Sapi Bali karena menurut petugas, Sapi Bali lebih laku dijual dibandingkan dengan Sapi Katingan betina. Keberadaan sapi lain (Sapi Bali, PO) di lokasi pemeliharaan dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan sumberdaya genetik Sapi Katingan, perubahan kesukaan masyarakat lokal yang mulai mengarah kepada Sapi Bali dikhawatirkan akan menyebabkan menyusutnya populasi Sapi Katingan. Berdasarkan analisis SWOT dengan melihat faktor internal dan ekternal diperoleh posisi strategi pelestarian plasma nutfah Sapi Katingan terletak pada kuadran I, artinya bersifat agresif, perlu disusun rencana aksi jangka pendek yang bersifat operasional. Hasil ini senada dengan strategi yang dilaporkan oleh Yusdja dan Ilham (2006) tentang arah dan kebijakan pembangunan peternakan rakyat dengan menggunakan analisis SWOT, yaitu sama-sama memberikan strategi pada posisi kuadran I dengan istilah lain sebagai kuadran pertumbuhan. Adapun peternakan rakyat berada dalam kuadran III yang bersifat defensif/survival. Pada posisi ini menurut Yusdja dan
164
Ilham (2006) peran Pemerintah sangat penting, karena dengan kekuatan dan peluang yang tersedia dapat mempertahankan dan mengembangkan plasma nutfah Sapi Katingan dalam skala lebih luas. Adapun rencana aksi yang ditempuh dalam merealisasikan strategi agresif meliputi: 1. Sumber Daya Manusia (SDM): Sumberdaya manusia (SDM) yang merupakan peternak lokal harus ditingkatkan wawasan budidaya ternaknya. Upaya ini dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan, penyuluhanpenyuluhan, temu lapang dan demonstrasi plot (demplot). Keunggulan teknologi akan sulit diadopsi oleh peternak tanpa mereka melihat sendiri hasilnya secara langsung, untuk itu perlu ada unit percontohan atau demplot. Meningkatnya wawasan/pengetahuan peternak bisa merubah orientasi pemeliharaan Sapi Katingan bukan hanya sebagai budaya tetapi sudah mengarah ke budidaya. 2. Ternak sapi: Sapi Katingan dapat ditingkatkan kualitasnya sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki. Peningkatan kualitas sapi dilakukan melalui program seleksi, sedangkan peningkatan produksi dan populasi dapat dilakukan melalui perbaikan manajemen pakan. Melalui peningkatan kualitas pakan yang diberikan akan meningkatkan produksi dan reproduksi sapi. Umur pubertas sapi bisa diperpendek sehingga jumlah anak yang dilahirkan bisa lebih banyak. 3. Lingkungan: Lingkungan utama adalah padang penggembalaan sapi dimana mereka melakukan aktivitas sehari-hari terutama mencari pakan. Hijauan makanan ternak (HMT) yang tersedia perlu ditingkatkan kualitas dan keragamannya. Introduksi legume (Gliricidia, Stylosanthes, dll) dan rumput unggul harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan keragamannya baik untuk manajemen grassing (Brachiaria decumbens, Brachiaria huminicola, dll) maupun cut and carry (Setaria, Penisetum purpureum, King grass, dll). Ketersediaan lahan yang luas dapat dikembangkan
165
berbagai variasi (diversifikasi) HMT dan jumlah Sapi Katingan dalam skala menengah bahkan dalam skala besar. 4. Teknologi: Inovasi teknologi peternakan sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi dan reproduksi Sapi Katingan. Inovasi-inovasi teknologi baik untuk meningkatkan produksi maupun reproduksi sudah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian dan sudah melalui berbagai tahapan kajian di lapang. Informasi teknologi yang tersedia disampaikan dalam gaya bahasa yang mudah dipahami oleh peternak dalam bentuk leaflet atau brosur-brosur. Penerapan inovasi teknologi dalam rangka meningkatan produksi dan reproduksi Sapi Katingan harus berbasis pada budaya setempat. Manajemen pemeliharaan secara ekstensif tradisional yang sudah dilakukan selama ratusan tahun tidak serta merta bisa dirubah begitu saja. 5. Kelembagaan: Inovasi teknologi tanpa didukung permodalan akan sia-sia. Penyediaan modal dapat dilakukan melalui pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM), KUD, dll. Peran pemerintah menjadi sangat penting dalam pembinaan kelembagaan tersebut. Penyediaan modal bagi para peternak dapat dilakukan pula melalui penyediaan skim-skim kredit yang banyak digulirkan oleh pemerintah. 6. Rencana aksi selanjutnya adalah peran Pemerintah Daerah dalam penetapan breed baru Sapi Katingan. Pengakuan secara hukum Sapi Katingan sangat diperlukan agar sapi tersebut lebih dikenal secara luas, mudah mendapatkan perhatian
atau
diberdayakan
khususnya
oleh
pemerintah
dengan
melibatkannya dalam program-program pencapaian swasembada daging. Diharapkan Sapi Katingan nantinya bisa ikut berperan serta dalam pembangunan peternakan baik di level lokal maupun level nasional. Selain itu yang terpenting dalam waktu dekat Sapi Katingan bisa diakui sebagai salah satu plasma nutfah sapi lokal Indonesia mendampingi empat bangsa sapi utama di Indonesia lainnya yang sudah ditetapkan, yaitu Sapi Aceh, Sapi Pesisir, Sapi Madura dan Sapi Bali (Zulkharnaim et al. 2010).
166
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, namun pada program pemuliaan ternak, yang lebih penting dan lebih memperoleh perhatian adalah faktor genetik karena unsur inilah yang diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Faktor lingkungan seperti iklim, pakan, penyakit dan pengelolaan tidak diwariskan (Kurnianto et al. 2008). Melihat keunggulan yang dimiliki dan dengan meminimalkan kendala lingkungan yang ada, produktivitas Sapi Katingan masih dapat ditingkatkan lagi sesuai dengan potensi genetiknya. Sapi Katingan diharapkan dengan demikian menjadi salah satu bibit sapi lokal Indonesia yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Adanya tingkat keragaman yang tinggi pada Sapi Katingan baik secara fenotipik dan genetik sangat dimungkinkan untuk dilakukan program seleksi supaya bisa dipilih bibit Sapi Katingan sesuai dengan keinginan yang dipilih. Salah satu tahapan utama yang penting pada pengembangan program breeding Sapi Katingan adalah karakterisasi sifat-sifat fenotipik. Berdasarkan pada kepraktisan sifat-sifat yang dapat diukur atau paling sedikit sudah dapat dikenal nilai ekonomisnya umumnya paling banyak diberikan penekanan, walaupun demikian sifat dengan alasan kultural barangkali juga menjadi pertimbangan penting (Jain & Muladno 2009), seperti halnya Sapi Katingan yang nilai kultural dan historisnya tinggi. Keragaman pada Sapi Katingan dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti ukuran tubuh, bobot badan, warna dan perkembangan tanduk. Fenotipik Sapi Katingan yang meliputi karakteristik kualitatif dan kuantitatif mempunyai keragaman yang relatif tinggi. Hasil tersebut diperkuat dari skrining 15 lokus mikrosatelit yang juga menunjukkan keragaman cukup tinggi berdasarkan macam alel, frekuensi alel serta nilai heterozigositasnya. Panel mikrosatelit dewasa ini telah digunakan secara luas untuk melihat keragaman genetik populasi sapi (Burriel et al. 2007; Mao et al. 2008; Carruthers 2009; Novoa & Usaquén 2010), hal ini disebabkan mudah dikerjakan dan memberikan derajat informasi yang tinggi melalui
167
jumlah alel yang besar perlokusnya (Gholizadeh & Mianji 2007). Dibandingkan dengan analisis allozyme dan RAPD, analisis mikrosatelit dapat memberikan informasi keragaman genetik (heterozigositas) yang lebih tinggi (Zhang et al. 2002) demikian juga dibandingkan dengan SNPs (Carruthers 2009). Keragaman
Sapi
Katingan
memegang
peranan
penting
dalam
pemuliabiakan ternak. Semakin tinggi variasi genotip di dalam populasi semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Menurut Muladno (2010) program seleksi akan sangat efektif apabila populasi dalam kondisi sangat beragam. Pemuliaan ternak melalui seleksi pada umumnya sangat lambat, akan tetapi seleksi harus tetap dilaksanakan untuk mempertahankan kemurnian dan konservasi melalui usaha pengelolaan ternak (Chamdi 2005). Keragaman yang tinggi sangat memungkinkan untuk melakukan seleksi pada Sapi Katingan. Data karakteristik morfometrik Sapi Katingan dapat digunakan untuk melakukan seleksi. Data produktivitas Sapi Katingan belum tersedia banyak, ukuran morfometrik, warna, daya adaptasi, kasus penyakit, daya reproduksi anak tinggi adalah beberapa sifat produksi dan reproduksi yang memiliki nilai ekonomis dan biologis penting yang menurut Handiwirawan dan Subandriyo (2004) dapat digunakan sebagai indikator seleksi. Menurut Astuti (2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas ternak. Saat ini untuk Sapi Katingan
yang
bisa
menjadi
pertimbangan
seleksi
selain
ukuran
morfometriknya adalah warna bulu kulitnya. Identifikasi warna bulu sapi penting karena menurut Wiyono dan Aryogi (2007) merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi spesiesspesies dengan melihat warna atau pola warna tertentu. Baker dan Manwell (1991) mengemukakan bahwa warna memiliki nilai estetika tersendiri sehingga warna dapat memberikan nilai keuntungan ekonomi. Masyarakat Dayak yang kebanyakan beragama Hindu Kaharingan menyukai warna sapi jantan putih dan merah untuk kegiatan acara ritual tertentu. Sebagai contoh pada acara bayar hajat, yaitu untuk mengungkapkan syukur terhadap yang di atas air (“Pakanan
168
Umang”) menggunakan sapi jantan berwarna putih sedangkan untuk yang di dalam air (“Pakanan Jata”) menggunakan sapi jantan berwarna merah. Pada saat ini relatif sulit untuk mendapatkan sapi jantan yang berwarna putih. Upaya mencegah agar Sapi Katingan tidak tercampur dengan sapi lain perlu ada kebijakan wilayah tentang pemurnian Sapi Katingan. Berdasarkan analisis DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa Sapi Katingan yang berasal dari Buntut Bali mempunyai nilai keragaman yang relatif lebih rendah dan lebih seragam dibandingkan dengan Sapi Katingan yang berasal dari Pendahara dan Tumbang Lahang. Indikasi perbedaan ini juga terlihat pada gambaran pohon fenogram (berbasis morfometrik) dan pohon felogeniknya (berbasis genetik), yaitu subpopulasi Sapi Katingan asal Buntut Bali terpisah posisinya dari subpopulasi Pendahara dan Tumbang Lahang. Secara geografis letak Desa Buntut Bali di tengah-tengah antara Pendahara dan Tumbang Lahang, justru pada posisi
tersebut
Desa Buntut
Bali
lebih
terisolir.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dimungkinkan Desa Buntut Bali dijadikan sebagai tempat untuk konservasi Sapi Katingan. Merangkum semua bahasan tersebut di atas ada dua peran strategis yang harus dilakukan dalam menyikapi eksistensi Sapi Katingan, yaitu perbaikan mutu genetik dan perbaikan manajemen “budaya peternakan” dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya dan agama masyarakat setempat. Manajemen pemeliharaan Sapi Katingan dewasa ini lebih condong dikatakan sebagai budaya peternakan dan belum mengarah ke budidaya peternakan, dengan orientasi sudah pada peningkatan produksi dan reproduksi sapi serta pendapatan keluarga. Fokus kegiatan dalam rangka peningkatan produktivitas dan populasi Sapi Katingan adalah melalui kegiatan manajemen pakan (HMT, mineralisasi), baik dari aspek penyediaannya maupun tata cara pemberiannya (disesuaikan dengan fungsi fisiologisnya) baik dengan tujuan untuk meningkatkan produksi atau untuk perbaikan kondisi fisik induk (skor) dengan maksud meningkatkan reproduktivitasnya. Selain itu untuk memperbaiki kualitas ternak dan
169
mempertahankan sumberdaya genetiknya adalah melalui seleksi. Program seleksi harus tetap mempertahankan atau memelihara keragaman genetik dan meningkatkan nilai kompetitif ekonomisnya. Dengan tidak mengecilkan peranan penyakit, upaya pencegahan dan penanggulangan dilaksanakan pada manajemen pemeliharaan ternak. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam melestarikan Sapi Katingan dan meningkatkan populasinya melalui kebijakan program-program yang bersifat teknis, ekonomis, kelembagaan dan sosial budaya yang dalam pelaksanaannya didukung dengan peraturan perundang-undangan. Kegiatan pelestarian Sapi Katingan merupakan kegiatan dalam rangka untuk memberdayakan Sapi Katingan itu sendiri dan peternak lokal (Suku Dayak). Peternak lokal di dekatkan kepada berbagai akses untuk meningkatkan produktivitas Sapi Katingan dan pendapatannya. Nilai-nilai kultural masyarakat lokal yang terkait dengan keberadaan Sapi Katingan dengan demikian dapat dilestarikan.
171
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan dari beberapa hasil kegiatan penelitian, rangkuman kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Ciri umum Sapi Katingan adalah bergelambir dan berpunuk seperti pada umumnya sapi Bos indicus, namun karakteristik morfologinya sebagai penciri ditunjukkan pada sapi betinanya berupa tanduk melengkung ke depan dan ada tonjolan di atas kepala di antara dua tanduknya. 2. Sapi Katingan secara fenotipik (kualitatif dan kuantitatif) dan genetik mempunyai keragaman yang tinggi. 3. Ketersediaan sumberdaya lahan, pakan dan SDM secara kualitas dan kuantitas sangat memungkinkan Sapi Katingan bisa dikembangkan lebih baik lagi di lokasi habitatnya. 4. Peningkatan produksi dan reproduksi Sapi Katingan dilakukan melalui perbaikan mutu genetik mengacu kepada keragamannya yang tinggi dan berbagai aspek yang terkait dengan budidaya dengan tetap memperhatikan sosial budaya dan agama masyarakat setempat. 5. Umur pubertas Sapi Katingan dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pakan (mineral) dan sukses reproduksi sapi betina pada manajemen ekstensif tradisional sangat ditentuan oleh fertilitas pejantan dominan. 6. Pelestarian dan pengembangan Sapi Katingan dilakukan melalui strategi yang bersifat agresif jangka pendek berdasarkan pertimbangan faktor internal (kekuatan) dan eksternal (peluang). Rencana aksi yang bersifat operasional dibuat diantaranya dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Sapi Katingan ini serta sosial budaya dan agama masyarakat setempat.
172
Saran Berdasarkan hasil dari beberapa kegiatan penelitian, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu: 1. Sapi Katingan merupakan aset dan modal dasar untuk pembentukan rumpun unggul masa depan untuk itu perlu di lestarikan dan dikembangkan. Penelitianpenelitian yang menyangkut berbagai aspek yang terkait dengan Sapi Katingan perlu dilakukan pada populasi yang lebih besar dan lebih menyebar terutama pada wilayah-wilayah pemeliharaan yang terisolir. 2. Peningkatan kualitas sapi dilakukan dengan cara seleksi dengan tetap mempertahankan keragaman genetiknya. 3. Pelestarian plasma nutfah Sapi Katingan dilakukan melalui kegiatan konservasi dan wilayah konservasi yang disarankan adalah Desa Buntut Bali. 4. Diusulkan untuk penetapan rumpun baru Sapi Katingan sebagai sapi lokal Kalimantan Tengah sehingga diakui secara legal formal.
173
DAFTAR PUSTAKA Abdullah MAN. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ariosto AA. 2010. Breeding programs for the main economically important traits of zebu dairy cattle. Rev Med Vet 19:11-20. Abstract. Astuti M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole (PO). Wartazoa 14 (3):98-106. Astuti M, Agus A, Gede SBS, Aryadi B, Yusiati LM, and Anggriani M. 2007. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Ardana Media dan Rumah Produksi Informatika. Azmi, Gunawan, Suharnas E. 2006. Karakteristik morfologis dan genetik Itik Talang benih di Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Bailey JD. 2003. An Approach to The Measurement of Sexual Behavior in The Bull (Bos taurus) Using Variable Female Stimulus Condition [dissertation]. The University of Kentucky. Berthouly C et al. 2008. Using molecular markers and multivariate methods to study the genetic diversity on local European and Asian chicken breeds. Anim Genet 39:121-129. Brito LF et al. 2004: Sexual development in early- and late-maturing Bos indicus and Bos indicus x Bos taurus crossbred bulls in Brazil. Theriogenology 62:1198-1217. Abstract. Bugiwati SRA. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan Sapi Bali di Kabupaten Bone dan Barru Sulawesi Selatan. J Sains & Teknologi 7(2):103-108. Burriel et al. 2007. Genetic diversity and relationships of endangered Spanish Cattle breeds. J Hered 98(7):687-691.
174
Carruthers CR. 2009. Comparison of Canadian and international Angus Cattle population using gene variants and microsatellites [thesis). The University of Saskatchewan. Chamdi AN. 2005. Karakteristik sumberdaya genetik ternak sapi Bali (Bosbibos banteng) dan alternatif pola konservasinya (Review). Biodiversitas 6(1):70-75. Chenoweth PJ. 1981. Libido and mating behaviour in bulls, boars and rams: a review. Theriogenology 16:155-177. Chenoweth PJ. 1983. Sexual behavior of the bull: A review. J Dairy Sci 66:173-179. Darmono. 2009. Menyiasati Peran Suplemen Logam dan Mineral Terhadap Kesehatan Ternak Menuju Swasembada Daging. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. Jakarta: Badan Penellitian dan Pengembangan Pertanian. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 1997. Konsep Pengembangan dan Pelestarian Plasma Nutfah Ternak Nasional. Konsep Umum, Konsep Teknis. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan. [Dirjennak] Direktur Jenderal Peternakan. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor: 21080/Kpts/PD.410/F/10/2009 Tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Perbibitan Sapi Lokal/Eksotik. Jakarta: Direktur Jenderal Peternakan. Ellegren H. 2004. Microsatellites: simple sequences with complex evolution. Nat Rev Genet 5:435–445. Fries R, Ruvinsky A. 1999. The Genetics of Cattle. New York: CAB International Publishing. Getzewich KE. 2005. Hormonal regulation of the onset puberty in purebred and crossbred Holstein and Jersey heifers [thesis]. The Virginia Polytechnic Institute and State University Gholizadeh M, Mianji GR. 2007. Use of microsatellite markers in poultry research. Int J Poul Sci 6(2):145-153. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. Handiwirawan E, Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115.
175
Hanotte O, Jianlin H. 2005. Genetic characterization of livestock populations and its use in conservation decision-making. Nairobi: International Livestock Research Institute (ILRI). Online: http: //www.fao.org /biotech /docs/ hanotte. pdf. Tanggal 3 Mei 2011. Hardjopranjoto S. 1983. Biologi reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalus) ditinjau dari segi kesuburan, hormon kelamin, morfologi kelenjar hipofisa dan spermatozoa [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hartati, Sumadi, Subandriyo, Hartatik T. 2010. Keragaman morfologi dan diferensiasi genetik Sapi Peranakan Ongole di peternakan rakyat. JITV 15(1): 72-80. Ibeagha EM, Jann OC, Weimann, Erhardt G. 2004. Genetic diversity, introgression and relationship among West/Central African cattle breeds. Genet Sel Evol 36: 673-690. Jain AK, Muladno M. 2009. Selection criteria and breeding objectives in improvement of productivity of cattle and buffaloes. In: Strategies and Criteria for Improved Breeding. Vienna: IAEA. Johari S, Kurnianto E, Sutopo, Aminah S. 2007. Keragaman protein darah sebagai parameter biogenetik pada sapi Jawa. J Indon Trop Anim Agric 32 (2):112-118. Kim KS, Min MS, An JH, Lee H. 2004. Cross-species amplification of Bovidae microsatellites and low diversity of the endangered Korean Goral. J Heredity 95: (6):521–525. [KNPN] Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2002. Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. 42 halaman. Kurnianto E, Sumeidiana I, Astuti PP. 2008. Evaluasi keunggulan genetik sapi perah betina untuk program seleksi. J Indon Trop Anim Agric 33(3):186-190. Kurniawan, Haranida I, Hadiatmi, Asadi. 2004. Katalog Data Paspor Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
176
Liron JP, Garcia PP, Giovambattista G. 2006. Genetic characterization of Argentine and Bolivian Creole Cattle breeds assessed through microsatellite. J Hered 97(4):331-339. Lunstra DD, Ford JJ, Echterncamp SE. 1978. Puberty in beef bulls: hormone concentrations, growth, testicular development, sperm production and sexual aggressiveness in bulls of different breeds. J Anim Sci 46:10541062. McCool CJ and Entwistle KW. 1989. The development of puberty and sexual maturity in the Australian Swamp buffalo bull. Theriogenology 32(2):171-184. Abstract. Online: http: //www.sciencedirect.com /science/article/pii /0093691X89903087. Tanggal 17 Juni 2011. Machado MA, Schuster I, Martinez ML, Campos AL. 2003. Genetic Diversity of Four Cattle Breeds Using Microsatellite Markers. R. Bras. Zootec 32(1):93-98. Mao Y. et al. 2008. The analysis of genetic diversity and differentiation of six Chinese cattle populations using microsatellite markers. J Genet and Genomics 35(1):25-32. Abstract Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Martojo H. 2003. Indigenous Balli Cattle: The Best Suited Cattle Breed for Sustainable Small Farm in Indonesia. Laboratory of Animal Breeding and Genetics, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University, Indonesia. Masle S. 2007. Multistage QTL mapping strategy in an advanced backcross cattle population (dissertation). the Ludwig-Maximilians-University. Mayulu H, Sunarso, Sutrisno CI, Sumarsono. 2010. Kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. J Litbang Pert 29(1):34-41. Metta M, Kanginakudru S, Gudisewa S, Nagaraju J. 2004. Genetic characterization of the Indian cattle breeds, Ongole and Deoni (Bos indicus), using microsatellite markers – a preliminary study. BMC Genetics 5(16):1-5. Muladno. 2010. Menata Perbibitan Ternak dalam Menjamin Ketersediaan Bibit/Benih Ternak di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB, 25 September 2010. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
177
Nguyen TT et al. 2007. Genomic conservation of cattle microsatellite loci in wild gaur (Bos gaurus) and current genetic status of this species in Vietnam. BMC Genetics 8:1-8. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. Depok: PT. Penebar Swadaya. Novoa MA, Usaquén W. 2010. Population genetic analysis of the Brahman cattle (Bos indicus) in Colombia with microsatellite markers. J Anim Breed and Genet 127(2):161–168. Abstract. Otsuka J, Kondo J, Simamora S, Mansjoer SS, Martojo H. 1980. Bodymeasurements of the Indonesian native cattle. The Origin and Phylogeny of Indoensia Native Livestock (report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey, No.404315). The Research Group of Overseas Scientific Survey. page 7-18. Paat PC, Sudaryanto B, Sariubang M, Setiadi B. 1992. Effek Skala Usaha Pembibitan Kambing PE terhadap Efisiensi dan Adopsi Teknologi. Prosiding Saresehan Usaha Ternak Kambing dan Domba Menjelang Era PJPT II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pane I. 1993. Pemuliaan Ternak Sapi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Pereira et al. 2003. Genetic characterization of shouthwestern european bovine breeds: A historical and biogeographical reassessment with a set of 16 microsatellite. J Hered 94(3):243-250. Priyanto D, Setiadi B, Martawidjaja M, Yulistiani D. 2001. Peranan Usaha Ternak Kambing Lokal Sebagai Penunjang Perekonomian Petani Di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Regitano LCA, Martinez ML, Machado MA. 2006. Moleculer aspects of bovine tropical adaptation. 2006. 8th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, August 13-18, 2006, Belo Horizonte, MG, Brasil. http://ainfo.cnptia. embrapa.br/digital/ bitstream /CPPSE/ 16351/1/PROCILCAR2006.00061.pdf. Tanggal 28 April 2011. Rekwot P, Ogwu D, Oyedipe E, Sekoni V. 2000. Effects of bull exposure and body growth on onset of puberty in Bunaji and Friesian Bunaji heifers. Reprod Nutr Dev 40:359–367. Riwantoro 2005. Konservasi plasma nutfah Domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
178
Russo V, Fontanesi L. 2004. Coat colour gene analysis and breed traceability. Speech held on the occasion of the 7th World Conference of The Brown Swiss Cattle Breeders-Bruna. On line: http: //www.anarb.it /inglese/ Dossier % 20milk%20 quality-inglese /E_Scientific% 20 Evidence/ 012_RUSSO. Bruna2004.pdf. Tanggal 3 Mei 2011. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA mikrosatelit sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. 1st revised Ed. Current Conceptions, Inc. Pullman, WA. Sumarno. 2002. Penggunaan bioteknologi dalam pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah tumbuhan untuk perakitan varietas unggul. Seminar Nasional Pemanfaatan danPelestarian Plasma Nutfah. Kerjasama Pusat Penelitian Bioteknologi IPB dan KNPN Deptan. Soeroso. 2004. Performans sapi Jawa berdasarkan sifat kuantitatif dan kualitatif [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Son CH, Kang HG, Kim SH. 2001. Application of progesterone measurement for age and body weight at puberty, and postpartum anestrus in Korean Native Cattle. J Vet Med Sci 63(12):1287-1291. Subandriyo dan Setiadi B. 2003. Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai aset dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor, 21-28 Juli 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Sun W, Chen H, Lei C, Lei X, Zhang Y. 2008. Genetic variation in eight Chinese cattle breeds based on the analysis of microsatellite markers. Genet Sel Evol 40:681-692. Supranto J. 1998. Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Sutarno. 2009. Penggunaan teknik molekuler untuk memperbaiki sifat-sifat produksi hewan ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar UNS. Solo: Universitas Sebelas Maret. Online: http://pustaka.uns.ac.id/?menu= news&option=detail&nid=170. Tanggal 3 Mei 2011. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.
179
Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Turner HN. 1981. Animal genetic resources. Int Goat and Sheep Res 1(4):243247. Utoyo DP. 2002. Management of the Farm Domestic Animal Genetic Resources in Indonesia. In Animal Genetic Resources. Jakarta: Directorate Generale of Livestock Services. Widjaja E, Firmansyah A. 2002. Kontribusi ternak dalam sistim usahatani di lahan gambut (Studi kasus di Kelurahan Kalampangan, Palangka Raya). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal. 107-112. Wiyono DB, Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Zhang X, Leung FC, Chan DKO, Chen Y, Wu C. 2002. Comparative analysis of allozyme, random amplified polymorphic DNA, and microsatellite polymorphism on Chinese native chickens. Poul Sci 81:1093–1098. Zulkharnaima, Jakaria, Noor RR. 2010. Identifikasi Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR|Alu I) pada Sapi Bali. Med Pet 33(2): 81-87.
181
Lampiran 1. Kuisener kegiatan penelitian eksploratif Sapi Katingan
KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK, PROFIL REPRODUKSI SERTA STRATEGI PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH DAFTAR PERTANYAAN RESPONDEN
Nama Responden
:
Desa
:
Kecamatan
:
Kabupaten
:
Enumerator
:
Tanggal wawancara
:
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
182
I. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA A. INFORMASI UMUM 1. Anggota rumah tangga (termasuk kepala keluarga) Jenis kelamin
<15 th Kerja Tidak Kerja
15-55 th Kerja Tidak Kerja
> 55 th Jumlah Kerja Tidak Kerja Tidak Kerja Kerja
Laki Perempuan Jumlah
2. Aktivitas usahatani yang utama: 1. Produksi peternakan 2. Produksi tanaman pangan 3. Produksi tanaman perkebunan 4. Perikanan 5. Lainnya
3. Penguasaan lahan dan status penggarapan lahan Jenis lahan Sawah irigasi teknis/semi teknis Sawah irigasi desa/sederhana Sawah tadah hujan Sawah lebak/rawa Tegalan/ladang Kebun Kolam/tambak
Luas Status (ha) penguasaan 1)
Status penggarapan 2)
Sumber Ketersedia air 3) an air 4)
183
Keterangan: 1) 1 = Milik; 4 = Gadaian 2) 1 = Digarap sendiri; 4 = Tidak digarap 3) 1 = Bendungan; 4 = Rawa 4) 1 = Padi 3x pertahun;
2 = Menyewa;
3 = Bagi hasil;
2 = Disewakan;
3 = Dibagihasilkan
2 = Sungai;
3 = Embung air;
2 = 2x pertahun;
3 = 1x pertahun
4. Penguasaan ternak Jenis ternak
Milik sendiri (ekor)
Gaduhan*) (ekor)
Total Ekor
Rp. (000)
Sapi Kambing Babi Ayam buras Itik Lain-lain: ........................
*) Cara pengembalian : .................................................................................................................... ....................................................................................................................
5. Penguasaan dan tipe lahan penggembalaan Tipe lahan Lahan penggembalaan terbuka Lahan penggembalaan dengan pohonpohon Lahan penggembalaan dengan semak belukar Lahan penggembalaan berawa-rawa
Milik sendiri
Sewa
Bersama
184
B. PENDAPATAN RUMAH TANGGA KELUARGA 1. Pendapatan perbulan/pertahun dari kegiatan berburuh Anggota keluarga Kepala keluarga
Jenis pekerjaan buruh
Lokasi kegiatan berburuh1)
Penghasilan kotor per bulan/tahun (Rp.000)
Istri Anak 1 Anak 2 Anak 3 1) 1 = dalam desa; 2 = luar desa; 3 = luar kecamatan; 4 = luar kabupaten; 5 = luar provinsi
2. Pendapatan per bulan/ pertahun dari pekerjaan tetap Anggota keluarga
Jenis pekerjaan
Penghasilan kotor per bulan/pertahun (Rp.000)
Kepala keluarga Istri Anak 1 Anak 2 Anak 3
3. Pendapatan perbulan/pertahun dari usaha rumah tangga dan kiriman Jenis usaha Warung/toko/kios Pedagang hasil bumi Pedagang input Pedagang ternak Pengojek Industri/kerajinan (sebutkan: .....................) Menyewakan lahan Menyewakan ternak pengolah tanah/pejantan Menyewakan alsintan
Pendapatan per tahun (Rp.000)
185
Bengkel Pendapatan dari kiriman anak/istri/suami yang bekerja di kota atau TKI Lainnya (sebutkan: ...............................)
4. Pendapatan pertahun dari usaha tanaman tahunan Jenis tanaman
Jumlah pohon menghasilkan
Produksi per tahun (kg)
Nilai per tahun (Rp.000)
Perkebunan 1. 2. 3. Buah-buahan 1. 2. 3.
5. Pendapatan per tahun dari usaha tanaman semusim Jenis tanaman
Padi dan palawija 1. 2. 3. Sayuran 1. 2. 3.
MH Produksi Nilai per tahun (Rp.000) (kg)
MK-1 Produksi Nilai per tahun (Rp.000) (kg)
MK-2 Produksi Nilai per tahun (Rp.000) (kg)
186
6. Pendapatan per tahun dari usaha ternak Jenis ternak
Jumlah ternak dan hasil ternak yang dijual/dikonsumsi selama 1 tahun Dijual Dikonsum Total (ekor si (ekor nilai per kg) per kg) (Rp.000)
Pendapatan per Total tahun dari pendapa menyewakan ternak tan untuk membajak (Rp.000) lahan/pejantan/dll (Rp.000)
Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Ayam ras Ayam buras Itik Ikan Telur Lainnya
II. TERNAK SAPI A. SISTEM PRODUKSI 1. Pengalaman beternak
: …….. tahun
2. Tujuan memelihara sapi
: .................................................................................. .................................................................................. ……………………………………………………..
187
3. Komposisi umur dan perkembangan ternak sapi Uraian
Sapi Anak (< 1 tahun) Jantan Betina
Muda (1 – 3 tahun) Jantan Betina
Dewasa (≥ 3 tahun) Jantan Betina
Jumlah
Jumlah (ekor) Nilai total (Rp) Perkembangan ternak 1 tahun terakhir: - Lahir - Jual - Beli - Mati - Disembelih
4. Dijual, alasan
: ................................................ ................................................
a. Sistem dan cara penjualan
: ................................................
b. Kapan penjualan maksimal
: ………………………………
c. Cara pembayaran
: ………………………………
d. Lokasi pembeli/pasarnya
: ………………………………
e. Ternak yang paling mudah dijual
: ………………………………
f. Jumlah rata-rata sapi yang dijual perbulan/tahun : ………………………......
5. Disembelih, alasan
: ................................................
188
6. Penyebab kematian: 1. Predator
4. Keracunan
2. Penyakit
5. Kekeringan
3. Kecelakaan
6. Tidak diketahui
7. Perlakuan sapi yang mati : .................................................................................... .....................................................................................
8. Manajemen pemeliharaan ternak Sistem pemeliharaan
Musim hujan
Musim kemarau
Ekstensif (digembalakan) Semi intensif (dikandangkan hanya malam hari) Intensif (dikandangkan sepanjang hari) Lainnya (sebutkan)
9. Manajemen pemeliharaan anak : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ...........................................................................
189
10. Pemberian pakan Jenis pakan
Pemberian pakan (kg/hari) Kemarau Penghujan
Harga pakan (Rp/kg)
Nilai per tahun (Rp.000)
Rumput lapangan Rumput unggul Limbah pertanian/perkebunan: 1. 2. 3. 4. Konsentrat Dedak padi Mineral Lainnya (sebutkan) ............................
Total Nilai
11. Pemberian air 11.1. Sumber air Sumber air Mata air Kolam/waduk Air hujan Sungai dll (sebutkan) ................................................
Kemarau (jarak km)
Penghujan (jarak km)
190
11.2. Cara pemberian air Frekuensi pemberian air
Musim Kemarau Musim Penghujan Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa
Disediakan bebas Sekali sehari Sekali dalam 2 hari Sekali dalam 3 hari Lain-lain (sebutkan)
12. Penerapan teknologi budidaya lokal (indigenous knowledge) : .......................... .............................................................................................................................
13. Biaya investasi kandang/ranch dan peralatan Jenis investasi
Nilai investasi (Rp.000)
Umur pakai (Tahun)
Biaya penyusutan per tahun*) (Rp.000/tahun)
*) Biaya penyusutan = nilai investasi/umur pakai
14. Biaya pemeliharaan ternak (Rp.000/tahun) a. Pembelian obat
: ......................................................
b. Ongkos pengobatan termasuk vaksinasi : ...................................................... c. Biaya perkawinan / IB
: ......................................................
d. Biaya lain (sebutkan)
: ......................................................
e. Biaya tenaga kerja
: ......................................................
f. Total biaya
: ......................................................
191
B. KESEHATAN 1. Akses ke pelayanan kesehatan
2. Jarak terdekat dengan pelayanan
kesehatan Dokter Hewan
< 1 km
Mantri Hewan
1 – 5 km
Petugas lainnya
6 – 10 km
........................
> 10 km
3. Kejadian penyakit Penyakit dominan (Nama atau gejala) 1.
Musim Kema Penghu rau jan
Pengobatan Tradisio Modern nal
Vaksinasi Rutin Jika diperlukan
2. 3. 4. Wabah penyakit
4. Kontrol terhadap parasit eksternal (caplak, lalat, dll) Modern
: ..............................................................................................
Tradisional
: ..............................................................................................
5. Kontrol terhadap parasit internal (cacing, parasit darah, dll) Modern
: ..............................................................................................
Tradisional
: ..............................................................................................
192
C. BREEDING 1. Alasan untuk memelihara pejantan
2. Kriteria memilih pejantan
1. Untuk perkawinan
1. Ukuran
2. Keagamaan/budaya
2. Warna
3. Tenaga kerja
3. Tanduk
4. Lainnya ....................
4. Lainnya .....
3. Sistim perkawinan 1. Alami (kawin dengan pejantan) - Dikontrol - Tanpa dikontrol
2. Inseminasi Buatan (IB)
4. Sumber pejantan dalam 1 tahun terakhir Asal pejantan
Pejantan milik sendiri (hasil memelihara sendiri) Pejantan milik sendiri (hasil membeli) Pejantan milik tetangga Pejantan milik bersama (umum) Pejantan yang tidak diketahui
Breed 1: Nama umum (contoh: PO, Bali, Madura, dll)
Breed 2: Nama umum
193
5. Pemilihan/penolakan sapi (disposal/culling) menurut pemilik Parameter
Jantan
Betina
Ukuran Warna Karakter Kesehatan Kondisi tubuh Performan produksi Umur tua Kesuburan Lain-lain: ........................
D. BREED SAPI LOKAL DI DAS KALIMANTAN TENGAH 1. Nama lokal spesifik : .............................................................................................
2. Karakteristik awal ternak datang 1. Warna ........................................................................................................ 2. Ukuran ....................................................................................................... 3. Bentuk tanduk ........................................................................................... 4. dll ..............................................................................................................
3. Populasi breed lokal Meningkat
Alasan : ..............................................
Stabil
Alasan : .............................................
Menurun
Alasan : .............................................
Tidak diketahui
Alasan : .............................................
194
4. Asal dari breed lokal Turunan (warisan)
Spesifik informasi : ........................... (misal: Tahun, dll)
Tetangga
Spesifik informasi : ...........................
Pasar
Spesifik informasi : ...........................
Proyek pemerintah
Spesifik informasi : ...........................
Tidak diketahui
Spesifik informasi : ...........................
Lain-lain .............
Spesifik informasi : ...........................
5. Perkawinan paling sering terjadi Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
6. Karakteristik Produktivitas Uraian
Sapi breed lokal Jantan
1. Umur pubertas (dewasa kelamin) (birahi pertama) 2. Umur pertama kali kawin Rata-rata (bulan) Minimum (bulan) Maksimum (bulan) 3. Jumlah anak sekelahiran per ekor (tunggal/kembar) 4. Umur sapih Rata-rata (bulan) Minimum (bulan) Maksimum (bulan) 5. Jarak beranak
Betina
195
Rata-rata (bulan) Minimum (bulan) Maksimum (bulan) 6. Umur produksi sapi sampai di afkir (Tahun) 7. Kematian anak (mortalitas) - Sebelum sapih - Setelah sapih 8. Abortus - Pernah terjadi - Belum pernah terjadi
7. Sifat-sifat kualitatif sapi breed lokal menurut pemilik Sifat kualitatif
Ukuran Warna Toleran terhadap panas Toleran terhadap dingin Karakter Tenaga kerja Kualitas daging Angka pertumbuhan Kesuburan Umur produksi panjang Tahan penyakit Tahan kekeringan Tahan kemasaman Lain-lain
Tidak penting
Jelek (Poor)
Rata-rata (Average)
Baik (Good)
Tidak ada pendapat
196
8. Karakteristik fenotipik breed lokal menurut pemilik 1. Warna : Jantan Badan
: .................................................................................
Kepala
: .................................................................................
Kaki
: ..................................................................................
Lain-lain
: ..................................................................................
Betina Badan
: ..................................................................................
Kepala
: ..................................................................................
Kaki
: ..................................................................................
Lain-lain
: ..................................................................................
2. Bentuk tanduk Jantan
: ..................................................................................
Betina
: ..................................................................................
3. Bentuk kepala Jantan
: ..................................................................................
Betina
: ..................................................................................
9. Program penyebaran ternak dari pemerintah 1. Tahun
: ......................................................................
2. Lokasi penyebaran
: ......................................................................
197
10. Jenis ternak yang disebarkan
: ......................................................................
11. Responden memperoleh gaduhan ternak pemerintah saat itu Jantan : ........ ekor
Betina : ........ ekor
12. Penggunaan ternak sapi bantuan pemerintah ....................................................
IV. TENAGA KERJA UNTUK TERNAK 1. Penggunaan tenaga kerja ternak Uraian pekerjaan
Dalam keluarga (HOK)
(HOK)
1. …………. 2. …………. 3. …………. 4. …………. 5. …………. 6. …………. 7. …………. 8. ………….
Keterangan
:
HOK : Hari Orang Kerja 1 HOK : 7 – 8 jam kerja
Luar keluarga @ per HOK (Rp.)
Nilai (Rp.)
198
V. KELEMBAGAAN a. Kelembagaan usahatani/produksi 1. Koperasi a. Nama koperasi
: ……………………………………………
b. Jumlah anggota
: ……………………………………………
c. Lokasi
: ……………………………………………
d. Waktu dibentuk
: ……………………………………………
2. Pertemuan anggota koperasi dengan pengurus berapa kali : ................................
3. Apa manfaatnya menjadi anggota koperasi : ........................................................ ..................................................................................................................................
4. Kelompok tani a. Jumlah kelompok tani
: ……………………………………………..
b. Nama kelompok tani
: ……………………………………………..
c. Jumlah anggota
: ……………………………………………..
d. Lokasi
: …………………………………………......
e. Waktu dibentuk
: ……………………………………………..
5. Pertemuan kelompok tani berapa kali : ………………….....................................
6. Bagaimana usaha kelompok tani mencari informasi teknologi pertanian a. Melalui media cetak/elektronika b. Mendatangi petugas/instansi terkait
199
c. Menunggu informasi dari petugas d. Lainnya, sebutkan …………………………………………………….....
7. Menyampaikan informasi kepada anggota melalui a. Pertemuan kelompok b. Mendatangi ke anggota c. Lainnya, sebutkan ……………………………………………………......
8. Persoalan pertanian dan peternakan, dipecahkan secara sendiri atau kelompok .. ................................................................................................................................
9. Apa manfaatnya menjadi anggota kelompok tani .................................................
b. Kelembagaan input usahatani 1. Berapa jumlah pedagang input saprodi/sapronak yang biasa dihubungi responden ……………………………………………………………………....
2. Jarak terdekat ke pedagang tersebut ......................................................................
3. Jenis input yang biasa dibutuhkan petani/peternak 1 ................................................................................................................... 2 ................................................................................................................... 3 ....................................................................................................................
200
4. Apakah input yang dibutuhkan selalu tersedia .....................................................
5. Cara pembayaran input yang dibeli .......................................................................
c. Kelembagaan permodalan 1. Jenis lembaga permodalan Bank
KUD
LKM
Lain-lain
2. Kepada siapa mereka biasanya meminjam modal usahatani Bank
Pedagang input
Sesama petani
Pedagang hasil
Rentener
Lain-lain
3. Jumlah petani yang sering meminjam modal ..... %
4. Untuk usahatani apa pinjaman modal tersebut paling sering digunakan (sesuai urutan prioritas) Perkebunan
Tanaman pangan
Ternak
Lain-lain
201
5. Input usahatani apa pinjaman modal tersebut sering digunakan (sesuai urutan prioritas) Obat tanaman ..................
Benih/bibit .................
Obat ternak ......................
Lain-lain ....................
f. Kelembagaan penyuluhan 1. Aksesibilitas petani/peternak terhadap pelayanan penyuluhan ............................
2. Jenis penyuluhan yang diberikan 1 .................................................................................................................... 2 .................................................................................................................... 3 ....................................................................................................................
VI. PERMASALAHAN 1. Aspek teknis a. Sulit mendapatkan bibit/benih b. Teknis pemeliharaan c. Sulit memperoleh sapronak (pakan, obat-obatan, dll) d. Kurang tersedianya tenaga kerja e. Penyakit f. Lainnya, sebutkan ………………………………………………………
202
2. Aspek pemasaran a. Harga komoditas murah b. Tidak ada pembeli c. Tempat permasaran jauh d. Sulitnya transportasi e. Lainnya, sebutkan ………………………………………………………
3. Aspek finansial a. Permodalan b. Sulit memperoleh kredit c. Lainnya, sebutkan ………………………………………………………
4. Aspek permasalahan lainnya .............................................................................. .............................................................................. …………………………………………………..
203
Lampiran 2. Daftar Sapi Katingan yang diambil contoh darahnya untuk pemeriksaan DNA mikrosatelit. Nomor Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
Tlg14
1a
Tumbang Lahang
S: 01o30’57.3” E: 113o07’37.3” Location: + 7 m Elevation: 35 m
P15
2a
Pendahara
S: 01o45’08.0” E: 113o18’51.3” Location: + 9 m Elevation: 45 m
Kasmandi Betina
BB11
3a
Buntut Bali
S: 01o41’02.2” E: 113o15’48.8” Location: + 10 m Elevation: 39 m
Ikik Betina
Tlg3
4a
Tumbang Lahang
Dodi Betina
KB9
2
Kuluk Bali
Kaslan Betina
P12
3
Pendahara
S: 01o45’08.0” E: 113o18’51.3” Location: + 9 m Elevation: 45 m
Leman Betina
Kasmandi Jantan
Foto Contoh Sapi
204
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
H2
4
Hampalam
Sabrani Betina
P7a
5
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Yudediman Jantan
P8
6
Pendahara
S: 01o45’06.9” E: 113o18’53.7” Location: + 13 m Elevation: 26 m
Manen Betina
P10
7
Pendahara
S: 01o45’06.9” E: 113o18’53.7” Location: + 13 m Elevation: 26 m
Kasman Betina
P18
8
Pendahara
S: 01o45’23.7” E: 113o18’33.3” Location: + 9 m Elevation: 29 m
Sukara Jantan
Tlg4
9
Tumbang Lahang
Dodi Betina
Foto Contoh Sapi
205
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
P14
10
Pendahara
KB8
11
Kuluk Bali
12
Tumbang Lahang
S: 01o31’35.1” E: 113o08’42.2” Location: + 11 m Elevation: 50 m
SS. Rangkar Jantan
12b
Tumbang Lahang
Body parameter: Available
Leman Jantan
Tlg30
Tlg16
01o45’08.0” 113o18’51.3” Location: + 9 m Elevation: 45 m
Pemilik/ Sex
Kasmandi Betina
Kaslan Betina
S: 01o30’57.3” E: 113o07’37.3” Location: + 7 m Elevation: 35 m PP31a
15
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Sakoci Betina
Tlg2
16
Tumbang Lahang
S: 01o31’00.9” E: 113o07’41.6” Location: + 9 m Elevation: 35 m
N’Otok/Ga ndis Betina
Foto Contoh Sapi
206
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
P17
17
Pendahara
S: 01o45’16.5” E: 113o18’35.9” Location: + 8 m Elevation: 32 m
Hendro Jantan
P9
18
Pendahara
S: 01o45’06.9” E: 113o18’53.7” Location: + 13 m Elevation: 26 m
Manen Betina
Tlg8
19
T. Lahang
S: 01o30’57.6” E: 113o08’58.3” Location: + 6 m Elevation: 31 m
Lenis Betina
BB6
20
B. Bali
S: 01o41’16.0” E: 113o15’31.7” Location: + 11 m Elevation: 21 m
Johar Betina
BB3
21
B. Bali
S: 01o41’03.0” E: 113o15’53.9” Location: + 39 m Elevation: 75 m
Banning Betina
BB4
22
B. Bali
S: 01o41’16.0” E: 113o15’31.7” Location: + 11 m Elevation: 21 m
Johar Betina
Foto Contoh Sapi
207
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
P2
24
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
M. Dawim Betina
P7B
25
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Yudediman Jantan
PP37a
26
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Lodewik Betina
Tlg11a
27
Tumbang Lahang
S: 01o31’15.8” E: 113o08’39.1” Location: + 8 m Elevation: 31 m
Uris Betina
PP35a
29
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Koweo Betina
P1
30
Pendahara
S: 01o45’35.3” E: 113o17’53.3” Location: + 12 m Elevation: 37 m
Talo Betina
Foto Contoh Sapi
208
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
Tlg23
31
Tumbang Lahang
S: 01o31’08.7” E: 113o08’25.9” Location: + 7 m Elevation: 47 m
Heri Betina
BB10
32
Buntut Bali
S: 01o41’02.2” E: 113o15’48.8” Location: + 10 m Elevation: 39 m
Ikik Betina
BB5
33
Buntut Bali
S: 01o41’16.0” E: 113o15’31.7” Location: + 11 m Elevation: 21 m
Johar Betina
BB12
34
Buntut Bali
S: 01o41’02.2” E: 113o15’48.8” Location: + 10 m Elevation: 39 m
Ikik Betina
Tlg11b
35
Tumbang Lahang
S: 01o31’15.8” E: 113o08’39.1” Location: + 8 m Elevation: 31 m
Uris Betina
BB13
36
Buntut Bali
S: 01o40’59.0” E: 113o15’36.9” Location: + 8 m Elevation: 35 m
Siner Betina
Foto Contoh Sapi
209
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
BB1
37
Buntut Bali
S: 01o41’03.0” E: 113o15’53.9” Location: + 39 m Elevation: 75 m
Banning Jantan
P11
38
Pendahara
S: 01o45’06.9” E: 113o18’53.7” Location: + 13 m Elevation: 26 m
Yandi Betina
PP36
39
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Lodewik Betina
P4
40
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Regene Betina
KB7
41
Kuluk Bali
Tlg 10
42
Tumbang Lahang
Kaslan Betina
S: 01o31’12.9” E: 113o08’41.1” Location: + 8 m Elevation: 31 m
Harum Betina
Foto Contoh Sapi
210
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
Tlg25
43
Tumbang Lahang
S: 01o31’08.7” E: 113o08’25.9” Location: + 7 m Elevation: 47 m
Heri Betina
PP38
45
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Lodewik Jantan
PP37b
46
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Lodewik Betina
Tlg6
47
Tumbang Lahang
Tlg26
48
Tumbang Lahang
S: 01o31’08.7” E: 113o08’25.9” Location: + 7 m Elevation: 47 m
Heri Betina
PP34
49
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Koweo Jantan
Lenis Betina
Foto Contoh Sapi
211
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
Tlg22
51
Tumbang Lahang
S: 01o31’08.7” E: 113o08’25.9” Location: + 7 m Elevation: 47 m
Heri Jantan
P16
52
Pendahara
S: 01o45’00.2” E: 113o18’58.3” Location: + 6 m Elevation: 33 m
P19
53
Pendahara
Sukara Betina
H1
54
Hampalam
Sabrani Betina
Tlg29
55
Tumbang Lahang
S: 01o31’35.1” E: 113o08’42.2” Location: + 11 m Elevation: 50 m
SS. Rangkar Betina
BB2
58
Buntut Bali
S: 01o41’03.0” E: 113o15’53.9” Location: + 39 m Elevation: 75 m
Banning Betina
Cornelis Betina
Foto Contoh Sapi
212
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
PP31b
59
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Sakoci Betina
PP35b
60
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Koweo Betina
P3
62
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Regene Betina
P5
64
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Esra Jantan
Tlg9
66
Tumbang Lahang
Tlg28
67
Tumbang Lahang
Lenis Jantan
S: 01o31’35.1” E: 113o08’42.2” Location: + 11 m Elevation: 50 m
SS. Rangkar Betina
Foto Contoh Sapi
213
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
Tlg15
68
Tumbang Lahang
S: 01o30’57.3” E: 113o07’37.3” Location: + 7 m Elevation: 35 m
Leman Jantan
PP32
69
Petak Putih
S: 01o29’06.5” E: 113o06’17.9” Location: + 10 m Elevation: 48 m
Sakoci Betina
P6
70
Pendahara
S: 01o45’36.7” E: 113o17’51.9” Location: + 9 m Elevation: 37 m
Esra Betina
Tlg24
75
Tumbang Lahang
S: 01o31’08.7” E: 113o08’25.9” Location: + 7 m Elevation: 47 m
Heri Betina
Tlg7
77
Tumbang Lahang
Lenis Betina
Foto Contoh Sapi
214
Kode Contoh Lap. Lab.
Lokasi
GPS
Pemilik/ Sex
GM2bf
83
Gunung Mas
Poiman Betina
GM1bf
84
Gunung Mas
Poiman Betina
BB1bf
85
Buntut Bali
Toni Jantan
BB2bf
86
Buntut Bali
Toni Betina
BB3bf
87
Buntut Bali
Toni Betina
BB4bf
88
Buntut Bali
Yus Betina
BB5bf
89
Buntut Bali
Yus Betina
Foto Contoh Sapi
215
Lampiran 3.
Macam, ukuran alel dan genotipe pada 15 lokus mikrosatelit, Sapi Katingan dan sapi lokal lain.
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS045) A 140
B 144
C 148
D 154
S 188
T 190
U 192
V 198
E 156
F 158
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 188
Alel 2 (bp) 198
Genotipe
2a
180
3a
180
4a
170
1
188
2 3
G 160
H 162
I 164
SV
No Lab 28
Alel 1 (bp) 176
Alel 2 (bp) 176
188
OS
29
190
188
OS
30
180
170
JJ
31
198
SV
32
180
192
OU
198
198
VV
4
198
198
5
180
192
6
188
198
7
180
8
180
J 170
K 172
Genotipe
L 174
M 176
N 178
O 180
P 182
MM
No Lab 59
Alel 1 (bp) 178
Alel 2 (bp) 178
Genotipe
190
TT
60
160
160
GG
190
OT
61
176
176
MM
178
188
NS
62
160
160
GG
188
198
SV
63
140
140
AA
33
178
178
NN
64
180
180
OO
34
180
192
OU
65
160
160
GG
VV
35
180
184
OR
66
182
182
PP
OU
36
180
180
OO
67
182
192
PU
SV
37
172
172
KK
68
180
180
OO
180
OO
38
180
184
OR
69
180
180
OO
192
OU
39
180
192
OU
70
182
192
PU
NN
9
160
160
GG
40
180
192
OU
71
180
190
OT
10
160
172
GK
41
182
192
PU
72
160
160
GG
11
162
172
HK
42
172
172
KK
73
180
190
OT
12
160
162
GH
43
184
184
RR
74
160
160
GG
12b
180
180
OO
44
182
192
PU
75
180
180
OO
14
158
158
FF
45
162
162
HH
76
180
180
OO
15
180
180
OO
46
156
162
EH
77
188
192
SU
16
180
180
OO
47
148
156
CE
78
178
178
NN
17
170
180
JO
48
162
162
HH
79
178
178
NN
18
160
160
GG
49
144
144
BB
80
180
180
OO
19
170
170
JJ
50
154
162
DH
81
180
180
OO
20
160
160
GG
51
144
154
BD
82
184
184
RR
21
198
198
VV
52
144
154
BD
83
-
-
-
22
174
180
LO
53
144
144
BB
84
180
192
OU
23
176
188
MS
54
144
154
BD
85
-
-
-
24
180
188
OS
55
144
154
BD
86
188
198
SV
25
176
176
MM
56
164
164
II
87
-
-
-
26
190
190
TT
57
164
164
II
88
-
-
-
27
176
180
MO
58
180
180
OO
89
178
178
NN
R 184
216
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (HEL013) A 166
B 174
C 176
D 178
E 180
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 182
Alel 2 (bp) 200
Genotipe
2a
182
200
3a
182
4a
182
1 2
F 182
G 184
H 186
I 188
J 190
Alel 1 (bp) 182
Alel 2 (bp) 200
Genotipe
FN
No Lab 28
FN
29
182
200
200
FN
30
182
200
FN
31
180
180
184
EG
32
182
200
FN
33
3
182
200
FN
4
182
200
5
182
200
6
180
7
182
8 9
K 194
L 196
M 198
N 200
O 202
P 204
Alel 1 (bp) 186
Alel 2 (bp) 204
Genotipe
FN
No Lab 59
FN
60
182
200
FN
186
FH
61
186
204
HP
180
EE
62
184
202
GO
178
182
DF
63
186
194
HK
182
200
FN
64
184
202
GO
34
182
200
FN
65
186
202
HO
FN
35
182
200
FN
66
184
202
GO
FN
36
182
200
FN
67
184
202
GO
184
EG
37
182
200
FN
68
184
202
GO
200
FN
38
182
200
FN
69
184
200
GN
182
200
FN
39
182
200
FN
70
180
196
EL
182
200
FN
40
182
200
FN
71
180
196
EL
10
176
182
CF
41
182
200
FN
72
182
198
FM
11
182
200
FN
42
182
200
FN
73
180
196
EL
12
-
-
-
43
182
200
FN
74
182
198
FM
12b
182
200
FN
44
182
200
FN
75
184
188
GI
14
182
200
FN
45
182
200
FN
76
182
198
FM
15
186
204
HP
46
182
200
FN
77
180
196
EL
16
182
200
FN
47
182
200
FN
78
184
200
GN
17
182
200
FN
48
182
200
FN
79
166
184
AG
18
182
200
FN
49
182
200
FN
80
186
200
HN
19
182
200
FN
50
186
202
HO
81
184
190
GJ
20
182
200
FN
51
182
200
FN
82
178
178
DD
21
184
184
GG
52
182
200
FN
83
-
-
-
22
182
182
FF
53
182
200
FN
84
176
176
CC
23
182
200
FN
54
182
200
FN
85
-
-
-
24
182
182
FF
55
182
200
FN
86
174
174
BB
25
184
188
GI
56
184
190
GJ
87
-
-
-
26
182
200
FN
57
186
204
HP
88
-
-
-
27
182
200
FN
58
184
202
GO
89
-
-
-
HP
217
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS017) A 105
B 109
C 111
D 113
E 115
F 117
G 119
H 121
I 123
J 125
Alel 1 (bp) -
Alel 2 (bp) -
Genotipe
K 127
Alel 1 (bp) 115
Alel 2 (bp) 123
Genotipe
-
No Lab 59
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 113
Alel 2 (bp) 123
Genotipe DI
No Lab 28
2a
113
123
DI
29
-
-
-
60
115
123
EI
3a
113
123
DI
30
113
123
DI
61
115
123
EI
4a
113
123
DI
31
113
123
DI
62
115
123
EI
1
113
123
DI
32
113
123
DI
63
119
127
GK
2
113
123
DI
33
113
123
DI
64
113
121
DH
3
117
125
FJ
34
113
123
DI
65
115
125
EJ
4
113
125
DJ
35
113
123
DI
66
113
121
DH
5
113
125
DJ
36
113
123
DI
67
113
121
DH
6
113
125
DJ
37
113
123
DI
68
113
121
DH
7
113
125
DJ
38
113
123
DI
69
113
121
DH
8
113
125
DJ
39
117
121
FH
70
117
121
FH
9
117
121
FH
40
117
121
FH
71
113
121
DH
10
117
121
FH
41
117
121
FH
72
121
121
HH
11
117
121
FH
42
117
121
FH
73
113
121
DH
EI
12
117
117
FF
43
117
121
FH
74
119
123
GI
12b
117
121
FH
44
113
113
DD
75
117
125
FJ
14
117
121
FH
45
117
121
FH
76
115
123
EI
15
117
121
FH
46
117
121
FH
77
113
121
DH
16
117
121
FH
47
117
121
FH
78
115
123
EI
17
117
117
FF
48
117
121
FH
79
115
123
EI
18
117
121
FH
49
117
121
FH
80
115
123
EI
19
119
123
GI
50
117
121
FH
81
119
119
GG
20
117
123
FI
51
115
123
EI
82
113
121
DH
21
113
119
DG
52
115
123
EI
83
111
119
CG
22
113
119
DG
53
117
123
FI
84
109
117
BF
23
113
119
DG
54
113
123
DI
85
-
-
-
24
113
123
DI
55
115
123
EI
86
105
109
AB
25
113
123
DI
56
119
127
GK
87
111
119
CG
26
113
123
DI
57
115
119
EG
88
-
-
-
27
113
123
DI
58
115
123
EI
89
111
119
CG
218
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS089) A 150
B 152
C 156
D 158
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 160
Alel 2 (bp) 160
Genotipe
2a
162
162
3a
158
4a
158
1 2
E 160
F 162
G 164
H 166
I 168
Alel 1 (bp) 158
Alel 2 (bp) 158
Genotipe
EE
No Lab 28
FF
29
162
162
158
DD
30
162
162
DF
31
-
160
160
EE
32
-
158
162
DF
33
160
3
162
162
FF
34
158
4
160
160
EE
35
5
158
162
DF
36
6
158
162
DF
7
162
162
FF
8
158
158
9
162
162
10
162
11
158
12
-
J 170
K 174
L 178
M 180
N 184
Alel 1 (bp) 158
Alel 2 (bp) 164
Genotipe
DD
No Lab 59
FF
60
160
160
EE
162
FF
61
164
164
GG
-
-
62
164
164
GG
-
-
63
158
158
DD
160
EE
64
164
164
GG
158
DD
65
158
158
DD
160
160
EE
66
160
160
EE
-
-
-
67
164
164
GG
37
152
160
BE
68
170
170
JJ
38
160
168
EI
69
164
164
GG
DD
39
160
164
EG
70
164
164
GG
FF
40
160
160
EE
71
158
158
DD
162
FF
41
152
152
BB
72
158
158
DD
158
DD
42
160
160
EE
73
164
164
GG
-
-
43
160
166
EH
74
158
158
DD
DG
12b
-
-
-
44
158
164
DG
75
156
160
CE
14
158
162
DF
45
-
-
-
76
158
158
DD
15
158
162
DF
46
168
174
IK
77
158
164
DG
16
158
162
DF
47
174
180
KM
78
158
158
DD
17
158
158
DD
48
158
164
DG
79
158
158
DD
18
-
-
-
49
174
180
KM
80
158
158
DD
19
162
162
FF
50
168
178
IL
81
158
162
DF
20
-
-
-
51
174
178
KL
82
168
168
II
21
150
150
AA
52
162
162
FF
83
-
-
-
22
160
164
EG
53
150
160
AE
84
-
-
-
23
158
158
DD
54
178
184
LN
85
-
-
-
24
162
162
FF
55
158
162
DF
86
162
162
FF
25
-
-
-
56
150
158
AD
87
-
-
-
26
-
-
-
57
150
160
AE
88
-
-
-
27
162
162
FF
58
158
158
DD
89
-
-
-
219
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS029) A 140
B 142
C 144
D 146
S 174
T 176
U 178
V 180
E 148
F 150
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 168
Alel 2 (bp) 170
Genotipe
2a
164
176
3a
164
4a
162
1
G 152
H 154
I 156
J 158
K 160
Alel 1 (bp) 152
Alel 2 (bp) 152
Genotipe
OP
No Lab 28
MT
29
158
162
178
MU
30
154
164
LM
31
154
160
160
KK
32
2
158
162
JL
3
156
164
IM
4
158
162
5
156
164
6
156
156
7
156
156
8
156
9
156
10
L 162
M 164
N 166
O 168
P 170
Alel 1 (bp) 162
Alel 2 (bp) 162
Genotipe
GG
No Lab 59
JL
60
162
180
LV
160
HK
61
162
162
LL
160
HK
62
158
166
JN
158
162
JL
63
158
158
JJ
33
154
158
HJ
64
158
158
JJ
34
162
162
LL
65
170
170
PP
JL
35
-
-
-
66
160
162
KL
IM
36
-
-
-
67
160
162
KL
II
37
158
162
JL
68
162
162
LL
II
38
150
150
FF
69
160
162
KL
156
II
39
158
162
JL
70
158
158
JJ
164
IM
40
150
150
FF
71
166
170
NP
156
164
IM
41
156
156
II
72
162
178
LU
11
158
162
JL
42
158
158
JJ
73
158
166
JN
12
156
156
II
43
148
158
EJ
74
154
168
HO
12b
158
162
JL
44
148
158
EJ
75
152
158
GJ
14
158
162
JL
45
148
158
EJ
76
150
166
FN
15
158
162
JL
46
148
160
EK
77
152
158
GJ
16
158
162
JL
47
158
158
JJ
78
140
140
AA
17
158
158
JJ
48
150
150
FF
79
140
140
AA
18
162
162
LL
49
158
162
JL
80
140
140
AA
19
162
164
LM
50
156
168
IO
81
140
140
AA
20
162
164
LM
51
158
162
JL
82
140
148
AE
21
164
164
MM
52
160
160
KK
83
140
140
AA
22
162
164
LM
53
160
168
KO
84
140
140
AA
23
164
166
MN
54
160
166
KN
85
-
-
-
24
162
164
LM
55
168
168
OO
86
158
162
JL
25
152
162
GL
56
158
158
JJ
87
-
-
-
26
152
168
GO
57
158
158
JJ
88
-
-
-
27
160
160
KK
58
158
168
JO
89
162
172
LR
LL
R 172
220
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS061) A 134
B 136
C 138
D 140
E 142
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 164
Alel 2 (bp) 164
Genotipe
2a
162
162
3a
160
4a
160
1 2
F 144
G 146
H 148
I 150
J 152
Alel 1 (bp) 146
Alel 2 (bp) 146
Genotipe
PP
No Lab 28
OO
29
146
146
160
NN
30
156
160
NN
31
146
164
164
PP
32
144
144
FF
33
3
146
160
GN
4
144
144
5
144
154
6
154
160
7
162
162
8
144
154
9
158
158
10
158
158
11
140
154
12
146
12b 14
K 154
L 156
M 158
N 160
O 162
P 164
Alel 1 (bp) 140
Alel 2 (bp) 140
Genotipe
GG
No Lab 59
GG
60
144
144
FF
156
LL
61
142
148
EH
146
GG
62
148
148
HH
146
146
GG
63
148
148
HH
146
146
GG
64
150
156
IL
34
138
138
CC
65
148
158
HM
FF
35
146
146
GG
66
146
150
GI
FK
36
146
146
GG
67
148
148
HH
KN
37
146
146
GG
68
150
160
IN
OO
38
158
158
MM
69
148
148
HH
FK
39
136
140
BD
70
148
148
HH
MM
40
158
158
MM
71
142
148
EH
MM
41
140
140
DD
72
-
-
-
DK
42
140
140
DD
73
150
162
IO
146
GG
43
140
160
DN
74
140
140
DD
160
160
NN
44
138
138
CC
75
142
142
EE
154
154
KK
45
136
140
BD
76
146
146
GG
15
144
144
FF
46
136
140
BD
77
142
142
EE
16
140
140
DD
47
136
140
BD
78
144
144
FF
17
140
140
DD
48
158
158
MM
79
142
142
EE
18
140
148
DH
49
140
140
DD
80
142
142
EE
19
160
160
NN
50
-
-
-
81
142
142
EE
20
160
160
NN
51
140
140
DD
82
134
148
AH
21
144
144
FF
52
142
142
EE
83
138
138
CC
22
144
144
FF
53
140
140
DD
84
144
144
FF
23
144
144
FF
54
144
158
FM
85
160
160
NN
24
144
144
FF
55
140
140
DD
86
148
148
HH
25
148
148
HH
56
138
138
CC
87
-
-
-
26
142
150
EI
57
140
140
DD
88
-
-
-
27
156
156
LL
58
140
140
DD
89
148
148
HH
DD
221
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (CSSM066) A 160
B 168
C 170
D 172
E 176
F 178
G 180
H 182
I 184
J 188
Alel 1 (bp) 172
Alel 2 (bp) 172
Genotipe
K 192
Alel 1 (bp) 178
Alel 2 (bp) 178
Genotipe
DD
No Lab 59
DD
60
178
178
FF
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 172
Alel 2 (bp) 182
Genotipe DH
No Lab 28
2a
172
172
DD
29
172
172
3a
172
172
DD
30
172
172
DD
61
178
178
FF
4a
172
172
DD
31
172
180
DG
62
180
180
GG
1
178
178
FF
32
180
180
GG
63
184
184
II
2
178
184
FI
33
180
180
GG
64
180
180
GG
3
178
178
FF
34
172
172
DD
65
180
180
GG
4
178
178
FF
35
180
180
GG
66
184
188
IJ
5
178
178
FF
36
172
172
DD
67
180
180
GG
6
178
178
FF
37
172
172
DD
68
180
180
GG
7
178
178
FF
38
172
172
DD
69
180
180
GG
8
178
178
FF
39
172
172
DD
70
184
184
II
9
178
178
FF
40
172
172
DD
71
-
-
-
10
178
178
FF
41
168
180
BG
72
188
188
JJ
11
172
172
DD
42
172
172
DD
73
178
178
FF
12
172
172
DD
43
172
180
DG
74
180
180
GG
12b
170
182
CH
44
172
180
DG
75
178
178
FF
14
168
168
BB
45
172
172
DD
76
180
180
GG
15
168
168
BB
46
172
172
DD
77
178
178
FF
16
170
170
CC
47
172
172
DD
78
178
178
FF
17
168
168
BB
48
172
172
DD
79
-
-
-
18
170
170
CC
49
172
172
DD
80
168
178
BF
19
168
168
BB
50
192
192
KK
81
160
160
AA
20
170
180
CG
51
180
180
GG
82
178
180
FK
21
170
170
CC
52
180
180
GG
83
-
-
-
22
170
182
CH
53
180
180
GG
84
172
172
DD
23
170
182
CH
54
180
180
GG
85
-
-
-
24
180
180
GG
55
180
180
GG
86
176
176
EE
25
-
-
-
56
184
184
II
87
-
-
-
FF
26
-
-
-
57
178
178
FF
88
-
-
-
27
180
184
GI
58
178
178
FF
89
176
176
EE
222
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (BM1818) A 256
B 260
C 262
D 264
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 270
Alel 2 (bp) 280
Genotipe
2a
276
286
3a
266
4a
270
1 2
E 266
F 268
G 270
H 274
I 276
Alel 1 (bp) 260
Alel 2 (bp) 260
Genotipe
GK
No Lab 28
IN
29
274
274
278
EJ
30
260
270
GG
31
256
270
270
GG
32
276
276
II
33
3
276
276
II
4
276
276
5
276
276
6
282
7
282
8
282
9
270
10 11
J 278
K 280
L 282
M 284
N 286
Alel 1 (bp) 264
Alel 2 (bp) 270
Genotipe
BB
No Lab 59
HH
60
270
270
GG
260
BB
61
-
-
-
256
AA
62
264
270
DG
260
260
BB
63
270
270
GG
280
280
KK
64
270
270
GG
34
282
282
LL
65
270
270
GG
II
35
280
282
KL
66
270
270
GG
II
36
282
282
LL
67
270
270
GG
282
LL
37
282
282
LL
68
270
270
GG
282
LL
38
282
282
LL
69
270
278
GJ
282
LL
39
280
282
KL
70
278
278
JJ
278
GJ
40
282
282
LL
71
278
278
JJ
262
270
CG
41
282
282
LL
72
278
278
JJ
278
278
JJ
42
282
282
LL
73
270
278
GJ
12
278
278
JJ
43
282
282
LL
74
270
278
GJ
12b
278
284
JM
44
282
282
LL
75
278
278
JJ
14
278
284
JM
45
266
266
EE
76
268
278
FJ
15
278
284
JM
46
266
266
EE
77
270
278
GJ
16
278
284
JM
47
266
266
EE
78
266
274
EH
17
286
286
NN
48
266
266
EE
79
268
274
FH
18
286
286
NN
49
270
270
GG
80
-
-
-
19
280
286
KN
50
270
270
GG
81
276
276
II
20
286
286
NN
51
260
260
BB
82
280
280
KK
21
280
280
KK
52
260
260
BB
83
-
-
-
22
280
280
KK
53
260
260
BB
84
280
280
KK
23
280
280
KK
54
260
260
BB
85
-
-
-
24
280
280
KK
55
260
260
BB
86
276
280
IK
25
276
276
II
56
256
256
AA
87
276
276
II
26
274
274
HH
57
270
270
GG
88
276
276
II
27
274
274
HH
58
270
270
GG
89
276
276
II
DG
223
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS036) A 138
B 140
C 142
D 144
E 146
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 150
Alel 2 (bp) 150
Genotipe
2a
150
150
3a
150
4a
142
1 2
F 148
G 150
H 152
I 154
J 156
Alel 1 (bp) 162
Alel 2 (bp) 162
Genotipe
GG
No Lab 28
GG
29
162
162
150
GG
30
162
150
CG
31
162
142
150
CG
32
-
142
142
CC
33
158
3
142
150
CG
34
158
158
4
150
150
GG
35
160
5
140
140
BB
36
158
6
144
144
DD
37
158
7
144
144
DD
38
168
8
138
144
AD
39
9
160
160
LL
40
10
160
160
LL
11
154
160
IL
12
154
160
12b
160
14
152
15 16
K 158
L 160
M 162
N 164
O 168
P 178
Alel 1 (bp) 148
Alel 2 (bp) 158
Genotipe
MM
No Lab 59
MM
60
152
158
HK
162
MM
61
154
154
II
162
MM
62
160
160
LL
-
-
63
154
154
II
158
KK
64
152
154
HI
KK
65
154
154
II
160
LL
66
152
154
HI
164
KN
67
-
-
-
168
KO
68
158
158
KK
168
OO
69
160
162
LM
168
168
OO
70
146
146
EE
158
158
KK
71
160
160
LL
41
190?
190?
-
72
164
164
NN
42
168
168
OO
73
-
-
-
IL
43
168
168
OO
74
158
158
KK
160
LL
44
168
168
OO
75
156
158
JK
160
HL
45
160
160
LL
76
-
-
-
160
160
LL
46
160
160
LL
77
156
156
JJ
160
160
LL
47
158
158
KK
78
-
-
-
17
154
160
IL
48
158
158
KK
79
-
-
-
18
160
160
LL
49
160
160
LL
80
-
-
-
19
160
160
LL
50
-
-
-
81
146
150
EG
20
-
-
-
51
158
160
KL
82
160
160
LL
21
152
156
HJ
52
160
160
LL
83
-
-
-
22
162
162
MM
53
158
158
KK
84
160
160
LL
23
162
162
MM
54
-
-
-
85
-
-
-
24
158
158
KK
55
158
160
KL
86
160
162
LM
25
158
158
KK
56
160
160
LL
87
162
162
MM
26
178
178
PP
57
158
158
KK
88
160
160
LL
27
178
178
PP
58
152
152
HH
89
160
160
LL
FK
224
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS028) A 126
B 128
C 130
D 132
R 164
S 168
T 170
U 180
E 134
F 136
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 150
Alel 2 (bp) 164
Genotipe
2a
140
150
3a
140
4a
150
1
G 138
H 140
I 142
J 144
K 146
Alel 1 (bp) 138
Alel 2 (bp) 152
Genotipe
MR
No Lab 28
HM
29
140
146
150
HM
30
148
158
MO
31
138
136
138
FG
32
2
138
148
GL
3
150
168
MS
4
136
138
5
148
160
6
138
7
148
8 9
L 148
M 150
N 152
O 158
P 160
Alel 1 (bp) 136
Alel 2 (bp) 140
Genotipe
GN
No Lab 59
HK
60
148
164
LR
162
LQ
61
160
180
PU
148
GL
62
142
158
IO
138
148
GL
63
140
158
HO
33
140
158
HO
64
140
150
HM
34
140
158
HO
65
136
148
FL
FG
35
132
140
DH
66
140
150
HM
LP
36
140
158
HO
67
140
158
HO
150
GM
37
140
150
HM
68
140
158
HO
164
LR
38
140
150
HM
69
140
142
HI
148
164
LR
39
142
160
IP
70
140
158
HO
148
164
LR
40
142
160
IP
71
144
150
JM
10
148
164
LR
41
128
142
BI
72
142
158
IO
11
148
164
LR
42
142
160
IP
73
140
152
HN
12
136
150
FM
43
128
144
BJ
74
134
148
EL
12b
144
160
JP
44
128
144
BJ
75
130
142
CI
14
142
160
IP
45
126
140
AH
76
132
148
DL
15
138
140
GH
46
126
140
AH
77
134
148
EL
16
140
158
HO
47
140
150
HM
78
132
148
DL
17
138
150
GM
48
140
150
HM
79
130
142
CI
18
144
162
JQ
49
150
164
MR
80
148
164
LR
19
128
128
BB
50
136
152
FN
81
148
164
LR
20
142
160
IP
51
138
148
GL
82
140
152
HN
21
132
144
DJ
52
136
148
FL
83
152
164
NR
22
142
160
IP
53
148
162
LQ
84
152
164
NR
23
142
150
IM
54
132
148
DL
85
-
-
-
24
132
142
DI
55
136
150
FM
86
140
152
HN
25
152
170
NT
56
132
148
DL
87
150
164
MR
26
138
148
GL
57
132
148
DL
88
-
-
-
27
138
148
GL
58
132
148
DL
89
150
164
MR
FH
Q 162
225
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS030) A 140
B 146
C 148
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 152
Alel 2 (bp) 152
Genotipe
2a
146
156
3a
152
4a
152
1 2
D 150
E 152
F 154
G 156
Alel 1 (bp) 156
Alel 2 (bp) 158
Genotipe
EE
No Lab 28
BG
29
156
156
152
EE
30
156
152
EE
31
156
150
150
DD
32
152
152
EE
33
3
156
156
GG
4
152
152
5
146
152
6
152
7
152
8
152
9
146
10
146
11
150
12
H 158
I 160
J 178
Alel 1 (bp) 146
Alel 2 (bp) 156
Genotipe
GH
No Lab 59
GG
60
156
156
GG
160
GI
61
156
156
GG
156
GG
62
156
156
GG
156
156
GG
63
158
158
HH
156
156
GG
64
158
158
HH
34
160
160
II
65
158
158
HH
EE
35
156
156
GG
66
156
156
GG
BE
36
156
160
GI
67
156
156
GG
152
EE
37
160
160
II
68
158
158
HH
152
EE
38
160
160
II
69
160
178
IJ
152
EE
39
156
160
GI
70
146
160
BI
156
BG
40
156
156
GG
71
156
156
GG
150
BD
41
146
156
BG
72
152
156
FG
150
DD
42
154
154
FF
73
156
156
GG
150
150
DD
43
156
160
GI
74
156
156
GG
12b
152
152
EE
44
154
154
FF
75
156
156
GG
14
154
154
FF
45
156
156
GG
76
156
156
GG
15
146
154
BF
46
150
150
DD
77
156
156
GG
16
154
154
FF
47
150
150
DD
78
158
160
HI
17
154
154
FF
48
150
156
DG
79
156
156
GG
18
154
154
FF
49
146
150
BD
80
156
156
GG
BG
19
-
-
-
50
148
152
CE
81
150
150
DD
20
154
154
FF
51
140
156
AG
82
150
150
DD
21
150
150
DD
52
152
152
EE
83
150
150
DD
22
156
156
GG
53
148
152
CE
84
140
146
AB
23
156
156
GG
54
150
150
DD
85
-
-
-
24
156
156
GG
55
148
148
CC
86
150
150
DD
25
146
156
BG
56
148
148
CC
87
150
150
DD
26
158
158
HH
57
156
156
GG
88
152
158
EH
27
140
146
AB
58
146
146
BB
89
156
160
GI
226
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS052) A 141
B 143
C 145
D 147
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 141
Alel 2 (bp) 141
Genotipe
2a
143
143
3a
143
4a
143
1 2
E 149
F 151
G 155
H 157
I 159
Alel 1 (bp) 145
Alel 2 (bp) 145
Genotipe
AA
No Lab 28
BB
29
145
145
143
BB
30
141
143
BB
31
145
145
165
CK
32
145
165
CK
33
3
145
165
CK
4
145
165
5
145
165
6
145
7
145
8 9
J 163
K 165
L 167
M 169
N 171
Alel 1 (bp) 151
Alel 2 (bp) 171
Genotipe
CC
No Lab 59
CC
60
151
171
FN
141
AA
61
145
163
CJ
157
CH
62
145
163
CJ
145
145
CC
63
149
167
EL
145
145
CC
64
149
167
EL
34
145
145
CC
65
151
169
FM
CK
35
145
145
CC
66
149
167
EL
CK
36
145
145
CC
67
149
167
EL
165
CK
37
145
165
CK
68
149
167
EL
155
CG
38
145
145
CC
69
149
167
EL
145
165
CK
39
145
145
CC
70
151
169
FM
145
165
CK
40
145
145
CC
71
149
167
EL
10
145
165
CK
41
145
145
CC
72
151
169
FM
11
145
165
CK
42
147
151
DF
73
145
145
CC
12
145
165
CK
43
145
151
CF
74
143
151
BF
12b
145
165
CK
44
145
145
CC
75
145
145
CC
14
145
165
CK
45
145
145
CC
76
143
151
BF
15
145
165
CK
46
145
165
CK
77
143
143
BB
16
145
165
CK
47
145
145
CC
78
151
151
FF
17
145
165
CK
48
145
151
CF
79
143
143
BB
18
147
167
DL
49
145
165
CK
80
143
143
BB
19
147
167
DL
50
145
145
CC
81
143
143
BB
20
147
167
DL
51
145
151
CF
82
145
151
CF
21
149
169
EM
52
147
165
DK
83
145
145
CC
22
149
169
EM
53
149
157
EH
84
145
145
CC
23
147
167
DL
54
151
171
FN
85
-
-
-
24
147
167
DL
55
151
171
FN
86
143
143
BB
25
145
145
CC
56
149
159
EI
87
143
143
BB
26
145
145
CC
57
149
169
EM
88
-
-
-
27
145
145
CC
58
151
171
FN
89
143
143
BB
FN
227
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS056) A 156
B 158
C 160
D 162
R 192
S 194
T 196
U 198
E 164
F 168
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 168
Alel 2 (bp) 180
Genotipe
2a
168
180
3a
168
4a
168
1
G 170
H 172
I 174
J 176
K 178
Alel 1 (bp) 162
Alel 2 (bp) 172
Genotipe
FL
No Lab 28
FL
29
168
186
180
FL
30
164
180
FL
31
168
164
178
EK
32
2
160
178
CK
3
160
178
CK
4
160
180
5
160
170
6
178
192
7
164
178
8
178
9
170
10
L 180
M 182
N 184
O 186
P 188
Alel 1 (bp) 172
Alel 2 (bp) 182
Genotipe
DH
No Lab 59
FO
60
172
182
HM
182
EM
61
162
174
DI
182
FM
62
162
178
DK
164
182
EM
63
168
172
FH
33
182
186
MO
64
162
178
DK
34
168
182
FM
65
168
188
FP
CL
35
168
182
FM
66
162
178
DK
CG
36
182
186
MO
67
162
182
DM
KR
37
178
198
KU
68
160
180
CL
EK
38
162
168
DF
69
160
180
CL
192
KR
39
162
180
DL
70
158
178
BK
182
GM
40
162
180
DL
71
164
174
EI
168
184
FN
41
162
182
DM
72
176
196
JT
11
170
182
GM
42
178
198
KU
73
176
178
JK
12
170
182
GM
43
162
178
DK
74
164
174
EI
HM
12b
-
-
-
44
178
198
KU
75
170
172
GH
14
160
176
CJ
45
162
176
DJ
76
172
174
HI
15
160
176
CJ
46
162
180
DL
77
176
196
JT
16
164
168
DF
47
162
182
DF
78
172
194
IS
17
156
176
AJ
48
170
190
GQ
79
162
174
DI
18
156
176
AJ
49
178
196
KT
80
162
174
DI
19
158
176
BJ
50
178
196
KT
81
162
174
DI
20
156
176
AJ
51
168
178
FK
82
156
162
AD
21
158
176
BJ
52
178
196
KT
83
168
188
FP
22
176
178
JK
53
178
196
KT
84
168
188
FP
23
162
176
DJ
54
168
180
FL
85
180
198
LU
24
176
184
JN
55
178
196
KT
86
168
180
FL
25
162
172
DH
56
178
182
KM
87
172
180
HL
26
164
182
EM
57
168
180
FL
88
170
188
GP
27
164
180
EL
58
172
182
HM
89
170
178
GK
Q 190
228
Macam alel menurut ukuran panjang (bp) (ILSTS073) A 148
B 152
C 156
D 158
E 160
No Lab 1a
Alel 1 (bp) 160
Alel 2 (bp) 160
Genotipe
2a
160
170
3a
156
4a
160
1
170
2
160
3
F 162
G 164
H 166
I 168
J 170
K 174
L 176
M 178
N 180
O 184
Alel 1 (bp) 160
Alel 2 (bp) 168
Genotipe
Alel 1 (bp) 160
Alel 2 (bp) 168
Genotipe
EE
No Lab 28
EI
No Lab 59
EJ
29
160
160
EE
60
160
168
EI
164
CG
30
160
168
EI
61
168
184
IO
174
EK
31
160
168
EI
62
160
168
EI
176
JL
32
160
160
EE
63
168
184
IO
160
EE
33
156
164
CG
64
160
168
EI
160
164
EG
34
156
164
CG
65
160
168
EI
4
160
160
EE
35
160
160
EE
66
156
158
CD
5
160
160
EE
36
160
160
EE
67
162
174
FK
6
164
174
GK
37
160
166
EH
68
160
168
EI
7
164
180
GN
38
160
160
EE
69
160
160
EE
8
164
164
GG
39
160
160
EE
70
160
170
EJ
9
158
160
DE
40
160
168
EI
71
166
180
HN
10
158
160
DE
41
168
168
II
72
166
180
HN
11
158
178
DM
42
160
168
EI
73
160
166
EH
12
-
-
-
43
160
166
EH
74
174
174
KK
12b
158
162
DF
44
160
166
EH
75
162
166
FH
14
158
158
DD
45
160
160
EE
76
160
166
EH
15
158
158
DD
46
160
160
EE
77
160
166
EH
16
158
162
DF
47
160
160
EE
78
160
174
EK
17
158
180
DG
48
166
166
HH
79
166
170
HJ
18
158
158
DD
49
160
166
EH
80
174
174
KK
19
158
162
DF
50
-
-
-
81
166
170
HJ
20
158
158
DD
51
160
166
EH
82
160
178
EM
21
160
168
EI
52
160
166
EH
83
-
-
-
22
160
160
EE
53
160
160
EE
84
160
160
EE
23
168
168
II
54
160
160
EE
85
-
-
-
24
160
160
EE
55
166
180
HN
86
160
160
EE
25
160
160
EE
56
166
180
HN
87
-
-
-
26
160
160
EE
57
160
168
EI
88
148
152
AB
27
160
160
EE
58
160
168
EI
89
164
164
GG
EI